hadist beriktikaf
TRANSCRIPT
Hadist-Hadist tentang Ber’itikaf
Hadits Pertama
�ك�ف� �ع�ت ي �ان� ك �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي� �ب الن ن�� أ �ه�ا ع�ن �ه� الل ض�ي ر� ة� �ش� ع�ائ ع�ن�
�ع�د�ه� ب م�ن� و�اج�ه� ز�� أ �ك�ف� اع�ت �م� ث �ه� الل �و�ف�اه� ت �ى ح�ت م�ض�ان� ر� م�ن� و�اخ�ر�
� �أل ا ر� �ع�ش� ال
Dari Aisyah, semoga Allah ridha kepadanya, “Sesungguhnya Nabi saw. beri’tikaf sepuluh hari
terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istri beliau
beri’tikaf sepeninggalnya”. [Hadits Sahih Riwayat Imam Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, Ahmad dan Malik]
Penjelasan
1. Pengertian I’tikaf
Secara bahasa I’tikaf diambil dari kata dasar al ‘Ukuuf. Kata kerjanya adalah ‘a-ka-fa, ya’-ku-fu.
artinya “tetap pada sesuatu [tempat] serta manahan diri padanya. Apakah dalam kebaikan
ataupun dalam keburukan”.
Dalam beberapa ayat I’tikaf ditujukan kepada sikap tekun beribadah atau berdiam diri di tempat
peribadatan dalam rangka persembahan kepada Tuhan. Baik itu dalam rangka menyembah Allah
seperti yang dilakukan kaum Muslimin ataupun menyembah berhala sebagaimana yang
dilakukan kaum Musyrikin. Perhatikanlah beberapa ayat di bawah ini.
�س�ف3 ن �م6 �ي ال ف�ي �ه� ف�ن �س� �ن �ن ل �م� ث �ه� ق�ن �ح�ر6 �ن ل �ف3ا ع�اك �ه� �ي ع�ل ظ�ل�ت� �ذ�ي ال �ه�ك� �ل إ �ل�ى إ �ظ�ر� :و�ان (97طه)
“Dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan
membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut
)berupa abu yang berserakan(”.
�اس� �لن ل �ه� �ات ء�اي �ه� الل 6ن� �ي �ب ي �ك� �ذ�ل ك �وه�ا ب �ق�ر� ت ف�ال� �ه� الل ح�د�ود� �ل�ك� ت اج�د� �م�س� ال ف�ي �ف�ون� ع�اك �م� �ت ن� و�أ وه�ن� ر� �اش� �ب ت � و�ال
�ق�ون� �ت ي �ه�م� �ع�ل (187البقرة ) : ل
“Dan janganlah kamu campuri mereka [istri-istrimu]itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid.
Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”.
األنبياء ) �ف�ون� ع�اك �ه�ا ل �م� �ت ن� أ �ي �ت ال �يل� �م�اث الت ه�ذ�ه� م�ا و�ق�و�م�ه� �يه� ب
� أل� ق�ال� �ذ� (52 : إ
“)Ingatlah(, ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini
yang kamu tekun beribadat kepadanya?"
طه ) : م�وس�ى �ا �ن �ي �ل إ ج�ع� �ر� ي �ى ت ح� �ف�ين� ع�اك �ه� �ي ع�ل ح� �ر� �ب ن �ن� ل �وا (91ق�ال
“Mereka menjawab: "Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali
kepada kami.”
�ف�ين� ع�اك �ه�ا ل Qظ�ل� ف�ن �ام3ا ص�ن� أ �د� �ع�ب ن �وا (71الشعراء ) : ق�ال
“Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun
menyembahnya".
�ه�م� ل R �ام ص�ن� أ ع�ل�ى �ف�ون� �ع�ك ي R ق�و�م ع�ل�ى �و�ا ت
� ف�أ �ح�ر� �ب ال �يل� ائ ر� �س� إ �ي �ن �ب ب �ا ن (138األعراق ) : و�ج�او�ز�
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada
suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka…”
Jadi orang-orang kafir juga biasa beri’tikaf di rumah-rumah ibadah mereka dengan cara bertapa,
semedi, bersujud dan sebagainya, dalam rangka pengabdian kepada tuhan-tuhan mereka. Sedang
yang dimaksud I’tikaf dalam pembicaraan di sini adalah peribadatan kaum muslimin dengan cara
berdiam dan mengasingkan diri di mesjid untuk berdzikir, berdoa, tadarrus al-Qur’an, dan shalat
pada waktu-waktu tertentu dengan niyat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT.
2. Pernyataan Siti Aisyah pada hadits di atas “bahwa Rasulullah senantiasa beri’tikaf pada
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai akhir hayatnya” memberi pengertian beberapa
hukum:
Pertama, menunjukkan bahwa I’tikaf adalah ibadah yang sangat penting bagi Nabi sehingga
beliau memelihara pengamalannya sampai beliau wafat. Kebiasaan I’tikaf ini sudah beliau
lakukan pada bulan Ramadhan sebelum beliau diangkat Allah menjadi Nabi dan Rasul. Yaitu
dengan cara beliau bertahannuts, beribadah menyendiri di Gua Hira berminggu-minggu lamanya.
Sampai pada akhirnya beliau mendapat wahyu dari Allah SWT. Tidak ada dalil dan bukti bahwa
setelah beliau diutus jadi Rasul Allah selama tiga belas tahun di Makkah beliau melaksanakan
lagi I’tikaf. Baik itu di Gua Hira ataupun di samping Ka’bah. Baru setelah beliau hijrah ke
Madinah dan diturunkan kewajiban ibadah shaum, beliau mulai beri’tikaf lagi selama sepuluh
hari di bulan Ramadhan.
Kedua, menurut sumber-sumber sejarah Islam, seperti Sierah Ibnu Hisyam, Tarikh Thabary dan
Tarikh Ibnu Katsir, bahwa shaum Ramadhan itu mulai disyariatkan pada tahun ke dua dari
Hijrahnya Rasul dan kaum muslimin ke Madinah. Sementara peristiwa Hijrah terjadi pada bulan
Rabi’ul Awwal. Berarti pertama kali shaum Ramadhan dilaksanakan oleh Rasulullah bersama
para sahabatnya setelah beliau berada di Madinah selama tujuhbelas bulan. Pada tahun pertama
kali diwajibkannya shaum Ramadhan ini, kuat dugaan bahwa Rasulullah tidak melaksanakan
I’tikaf. Karena pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijrah itu Rasulullah menghadapi
pertempuran Badar. Puncak Pertempuran Badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Beliau
pulang ke Madinah beberapa hari kemudian. Dan setelah itu beliau disibukkan dengan mengurus
persoalan tawanan perang Badar.
Demikian juga pada tahun ke delapan Hijrah. Rasululllah dan para sahabatnya tidak sempat
melaksanakan I’tikaf. Karena bulan Ramadhan tahun itu terjadi perang penaklukkan kota
Mekkah. Yang diikuti dengan peristiwa perang Hawazin dan perang Hunain. Beliau menetap
beberapa bulan di Mekkah mengurus berbagai persoalan umat. Terutama mengorganisir kegiatan
penyebaran delegasi-delegasi dakwah di kota Mekkah dan daerah-derah sekitarnya. Sehingga
beliau baru bisa kembali ke Madinah pada awal bulan Dzulhijjah. Dengan demikian, selama
sepuluh Ramadhan Rasulullah tinggal di Madinah, tiga kali Ramadhan beliau tidak menunaikan
I’tikaf. Yaitu pada tahun pertama karena belum disyariatkannya shaum Ramadhan, tahun ke dua
hijrah karena menghadapi perang Badar, dan tahun ke delapan hijrah karena disibukkan oleh
perang penaklukkan Mekkah.
Ketiga, Rasulullah memilih waktu I’tikaf-nya pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Ini
menunjukkan keutamaan beribadah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan melibihi hari-
hari yang sebelumnya karena pada salah satu malam dari hari-hari tersebut terdapat peluang
Lailatul Qadar yang penuh keberkahan.
3. Bahwa istri-istri Nabi melanjutkan kebiasaan I’tikaf setelah beliau wafat. Ini menjadi dalil
bahwa syari’at I’tikaf mencakup kaum laki-laki dan kaum wanita. Serta menunjukkan perintah
memelihara dan melanjutkan kebiasaan ibadah sunnah yang utama. Di antara kecintaan keluarga
terhadap orang yang sudah meninggal ditunjukkan dengan melanjutkan kebiasaan baik dari
orang yang meninggal itu, baik itu orangtuanya ataupun suaminya.
Hadits Kedua
م�ن� و�اخ�ر�� �أل ا ر� �ع�ش� ال �ك�ف� �ع�ت ي �ن� أ �ر� ذ�ك �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� �ن� أ �ه�ا ع�ن �ه� الل ض�ي ر� ة� �ش� ع�ائ ع�ن�
�ك� ذ�ل ت�� أ ر� �م�ا ف�ل ف�ف�ع�ل�ت� �ه�ا ل ذ�ن�
� �أ ت �س� ت ن�� أ ة� �ش� ع�ائ ح�ف�ص�ة� �ل�ت� أ و�س� �ه�ا ل ذ�ن�
� ف�أ ة� �ش� ع�ائ �ه� �ت ذ�ن� �أ ت ف�اس� م�ض�ان� ر�
�األ ب �ص�ر� ف�ب �ه� �ائ �ن ب �ل�ى إ ف� �ص�ر� ان ص�ل�ى �ذ�ا إ �ه� الل س�ول� ر� �ان� و�ك ق�ال�ت� �ه�ا ل �ي� �ن ف�ب Rاء� �ن �ب ب ت� م�ر�� أ Rج�ح�ش �ة� �ن اب �ب� �ن ي ز�
Rك�ف� �م�ع�ت ب �ا ن� أ م�ا �ه�ذ�ا ب د�ن� ر�
� أ �ر� �ب ال� أ �ه� الل س�ول� ر� ف�ق�ال� �ب� �ن ي و�ز� و�ح�ف�ص�ة� ة� �ش� ع�ائ �اء� �ن ب �وا ق�ال ه�ذ�ا م�ا ف�ق�ال� �ة� �ي �ن ب
Rو�ال ش� م�ن� ا ر3 ع�ش� �ك�ف� اع�ت �ف�ط�ر� أ �م�ا ف�ل ج�ع� ف�ر�
Dari Aisyah, semoga Allah ridha kepadanya, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah bermaksud
untuk i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Aisyah meminta izin kepadanya untuk ikut
beri’tikaf. Beliau mengizinkannya. Kemudian Hafshah meminta Aisyah agar memohonkan izin
kepada Rasulullah baginya. Aisyahpun mengabulkannya. Ketika Zainab binti Jakhsy melihat hal
itu, ia menyuruh seseorang untuk membuatkan bangunan [tenda] baginya. Adalah Rasulullah
apabila selesai shalat [shubuh] beliau masuk ke tempat i’tikafnya. Maka beliau melihat ada
beberapa bangunan [tenda i’tikaf]. Beliau bertanya, “Apa ini?”. Mereka mengatakan, “Itu
bangunan [tenda tempat i’tikafnya] Aisyah, Hafshah dan Zainab!”. Rasulullah bersabda,
“Apakah kabaikan yang kalian inginkan dengannya? Sungguh aku tidak akan jadi ber-i’tikaf!”.
Kemudian beliau pulang. Tatkala lebaran, Rasulullah i’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal”.
)Hadits Sahih Riwayat Bukhari-Muslim dan yang lainnya(
Penjelasan Hadits
1. Bagi kaum wanita yang hendak melaksanakan I’tikaf hendaknya meminta izin kepada
suaminya.
Tempat pelaksanaan I’tikaf Nabi saw. adalah di Mesjid Jami, yaitu Mesjid Nabawi. Demikian
juga istri-istri Nabi, mereka melaksanakan i’tikaf di Mesjid Jami bersama beliau.
2. Ada perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha mengenai tempat yang di bolehkan untuk
melaksanakan I’tikaf. Mayoritas ulama sepakat bahwa I’tikaf mesti di Mesjid Jami. Sebagian
lain membolehkan di mesjid manapun. Bahkan ada yang berpendapat boleh di tempat selain
mesjid. Khusus bagi wanita, sebagian ulama membolehkan mereka beri’tikaf di mesjid atau
mushalla dalam rumahnya sendiri. Ada juga yang berpendapat bahwa I’tikaf hanya disyariatkan
di tiga mesjid; Mesjid Nabawi di Madinah, Mesjid Al Haram di Mekkah, dan Mesjid Al Aqsha
di Palestina. Bahkan ada yang memandang bahwa i’tikaf husus untuk Mesjid Nabawi di Madinah
saja. Tidak diperkenankan di mesjid yang lainnya. Akar dari perbedaan pendapat ini adalah
mengenai Firman Allah SWT,
�اس� �لن ل �ه� �ات ء�اي �ه� الل 6ن� �ي �ب ي �ك� �ذ�ل ك �وه�ا ب �ق�ر� ت � ف�ال �ه� الل ح�د�ود� �ل�ك� ت اج�د� �م�س� ال ف�ي �ف�ون� ع�اك �م� �ت ن� و�أ وه�ن� ر� �اش� �ب ت � و�ال
�ق�ون� �ت ي �ه�م� �ع�ل (187البقرة ) : ل
“Dan janganlah kamu campuri mereka [istri-istrimu]itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid.
Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”.
Apakah pengertian “Kalian sedang i’tikaf di dalam mesjid” itu maksudnya masjid mana saja
atau mesjid khusus yang dipakai Nabi Saw. yaitu Nabawi dan Haram? Apakah mesjid itu harus
Mesjid Jami atau tidak, mengingat orang yang sedang i’tikaf itu tidak boleh keluar masuk mesjid
semaunya. Maka kalau mesjid itu tidak dipakai berjamaah atau shalat jum’at maka orang-orang
yang sedang beri’tikaf akan sering mondar-mandir keluar mesjid untuk shalat jamaah dan
jum’atan? Bagaimana dengan wanita yang melaksanakan i’tikaf, sementara mereka tidak
diharuskan berjamaah di Mesjid dan tidak ada kewajiban jum’at. Apakah bagi mereka boleh
i’tikaf di dalam kamar rumah atau mushala yang ada di dalam bangunan rumahnya? Dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan itulah maka terjadi perbedaan pandangan. Sementara
Rasulullah sendiri tidak memberi pengaturan secara rinci melalui sabda-sabdanya. Melainkan
dengan pengamalan secara langsung yang mengandung banyak kemungkinan penafsiran.
Mereka yang berpendapat bahwa I'tikaf hanya dianjurkan di Mesjid Nabawi, Mesjidil Haram
atau Mesjidil Aqsha berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Ismaily, Al
Baihaqi dan At Thahawy dari Khuzaifah bahwa Nabi bersada,
الثالثة المساجد في إال اعتكاف ال
Tidak ada I'tikaf melainkan di tiga Mesjid )yaitu Mesjidil Haram, Mesjid Nabawy dan Mesjidil
Aqsha(
Dalam asbabul wurud hadits di atas diceritakan bahwa suatu ketika Hudzaifah melihat orang-
orang beri'tikaf di Mesjid antara rumah Abdullah bin Mas'ud dan rumah Abu Musa. Maka
berkata Hudzaifah kepada Abdullah bin Mas'ud, "Orang-orang beri'tikaf di )mesjid( antara
rumahmu dan rumah Abu Musa tapi anda membiarkan mereka tidak mencegahnya, padahal anda
tahu bahwa Rasulullah bersabda; tidak ada I'tikaf kecuali di tiga mesjid?". Abdullah bin Mas'ud
menjawab, "Bisa jadi anda lupa sedang mereka hafal, atau anda salah sedang mereka benar!".
Hadits ini menurut Syaekh Al-Albany adalah hadits yang shahih dan menjadi pembatas atas
keumuman ayat dan hadits tentang I'tikaf. Masih menurut Al Bany di antara ulama generasi Salaf
yang berpendapat dengan hadits ini adalah Hudzaifah Ibnul Yaman, Said Ibnul Musayyib, dan
'Atha.
Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa boleh beri'tikaf di mesjid manapun selama itu
mesjid Jâmi sehingga orang yang beri'tikaf tidak keluar masuk mesjid untuk ikut shalat jamaah
dan jum'at di mesjid lain. Mereka berpegang kepada keumuman ayat di atas dan tidak berpegang
kepada hadits Hudzaifah. Mungkin disebabkan kesahihan hadits tersebut masih diragukan karena
tidak diriwayatkan oleh mayoritas ulama hadits yang teliti semisal Bukhari, Muslim, dan yang
lainnya. Mungkin juga sekiranya hadits itu shahih pengertian "tidak ada I'tikaf kecuali di tiga
mesjid itu" maksudnya adalah I'tikaf yang paling sempurna. Seperti perkataan Nabi, "tidak
beriman di antaramu sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri".
Maksudnya iman seseorang belum mencapai puncak kesempurnaan, bukan berarti ia tidak
beriman sama sekali atau kufur. Atau seperti perkataan "tidak ada agama bagi yang tidak
amanat", maksudnya tidak mencapai kesempurnaan agama tanpa amanat, bukan tidak beragama
sama sekali. Disamping itu pada kenyataannya para shahabat juga ikhtilaf, Ibnu Mas'ud dan Abu
Musa membolehkan I'tikaf di mesjid selain tiga mesjid tersebut. Lagi pula jika syariat I'tikaf itu
dibatasi dengan tiga mesjid saja, pastilah pembatasan itu dengan pernyataan hadits Nabi yang
masyhur, qath'iy shahihnya dan diketahui banyak shahabat, sebab pembatasan atas keumuman
ayat Al-Qur'an yang jelas dan tegas sepatutnya juga dengan hadits yang jelas, tegas, shahih dan
masyhur di kalangan para ulama. Wallahu A'lam bishawab!
3. Dibolehkan membuat tenda, bilik, tirai atau hijab yang layak di dalam mesjid untuk tempat
tinggal orang-orang yang melaksanakan i’tikaf.
Mu’takif atau orang yang beri’tikaf adalah orang yang sedang memusatkan seluruh konsentrasi
jiwanya kepada Allah SWT. melalui tafakkur, dzikir, do’a, dan tilawah al-Qur’an, dan hal itu
hanya dapat terlaksana dengan mengurangi -atau kalau sanggup- menghentikan aktivitas yang
tidak terkait dengan tujuan i’tikaf tersebut. Karenanya untuk menjaga diri dari berkata-kata yang
tidak manfaat, atau dari bergaul dan berbaur dengan orang lain yang tidak i’tikaf sehingga jadi
terlalaikan kegiatan i’tikafnya, maka sepatutnya orang yang beri’tikaf menempati tempat yang
khusus semacam kamar mesjid atau hijab. Apalagi jika yang beri’tikaf itu terdiri dari kaum laki-
laki dan kaum wanita yang bukan mahram, sementara mesjid adalah tempat mendirikan shalat
jum’at dan shalat berjamaah lima waktu bagi kaum muslimin secara umum, maka membuat hijab
pemisah dalam kondisi seperti itu menjadi suatu kewajiban. Hal inilah yang dilakukan
Rasulullah SAW. bersama istri-istrinya.
4. Boleh mengganti i’tikaf yang tidak jadi dilaksankan pada bulan Ramadhan pada bulan
Syawwal. Rasulullah saw. membatalkan niyat i’tikaf beliau pada sepuluh terakhir di bulan
Ramadhan kemudian beliau menggantinya pada sepuluh hari di bulan Syawwal. Tidak ada
penjelasan dalam hadits di atas; apakah Rasulullah menggantinya di sepuluh terakhir bulan
Syawal, dipertengahannya ataukah di permulaanya? Di dalam kitab Fathul Bary Syarah Shahih
al Bukhary, Ibnu Hajar Al Ashqalany membawakan dua riwayat yang berbeda. Satu riwayat dari
Ibnu Fudhail bahwa Rasulullah menggantinya pada “akhir sepuluh” bulan Syawal. Sedang satu
lagi riwayat dari Abu Mua’awiyah bahwa beliau menggantinya pada “sepuluh permulaan” bulan
Syawal. Ibnu hajar mengkompromikan kedua riwayat yang berbeda ini dengan mengatakan
bahwa “yang dimaksud akhir sepuluh bulan Syawal itu adalah selesainya i’tikaf Nabi”. Jadi
mungkin beliau ber’itikaf mulai tanggal satu dari Syawal itu sampai dengan tanggal sepuluhnya.
5. Dari hadits ini menjadi dalil pula bahwa I'tikaf tidak disyaratkan sambil berpuasa. Sebab
tidak ada keterangan bahwa Nabi ketika mengganti I'tikaf di bulan Syawal beliau sambil
melaksanakan shaum. Apabial diperkirakan beliau sambil shaum sunnah syawal, ini tentu tidak
juga menjadi dalil sebab shaum sunnah Syawal hanyalah enam hari sementara Nabi I'tikafnya
sepuluh hari.
6. Kasus yang diberitakan dalam hadits Aisyah di atas menjadi dalil bahwa boleh
membatalkan suatu ibadah sunnat yang sangat utama, semacam i’tikaf, karena ada suatu hal atau
kejadian yang tidak baik. Rasulullah melihat ketidak baikan terjadi pada istri-istri beliau yang
saling bersaing dan saling cemburu. Sehingga tiga istrinya membuat tenda di mesjid untuk
beri’tikaf bersama beliau. Ketika Siti Aisyah meminta izin beliau mengizinkannya. Demikian
pula ketika Hafshah meminta izin kepada Nabi melalui lisan Aisyah maka Nabipun
mengizinkannya. Tetapi Siti Zainab tidak mahu meminta izin dengan perantaraan Aisyah. Beliau
langsung membuat tenda di mesjid. Hal ini adalah gelagat yang tidak baik. Nabi saw. tahu persis
keakraban Aisyah dengan Hafshah. Tetapi beliau juga sangat akan faham kecemburuan Aisyah
terhadap Zainab dan sebaliknya kecemburuan Zainab terhadap Aisyah. Jika beliau membiarkan
ini kemudian istri-istri beliau yang lain yaitu Shafiyah, Ummu Habibah dan Ummu Salamah
juga mengikuti langkah Zainab, tentulah akan menimbulkan kesan yang amat negatif dan
menodai tujuan mulia dari i’tikaf. Lagi pula keadaan seperti itu akan menimbulkan kesulitan bagi
para jamaah shalat karena banyaknya tenda yang terpasang di mesjid. Sementara istri-istri Nabi
adalah wanita-wanita terhormat yang tidak boleh bertatapan muka dengan laki-laki lain tanpa
dibatasi dengan hijab. Maka layak sekali ketika Nabi bersabda kepada istri-istrinya itu, “Apakah
kalian mencari kebaikan dengan cara ini?”. Tentulah Nabi tidak mencela i’tikafnya tetapi
mencela motivasi dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Sebagai pribadi yang agung, Nabi
bukan hanya menyuruh istri-istri beliau membatalkan i’tikafnya namun beliau sendiri juga
membatalkannya demi membahagiakan semua pihak dari istri-istrinya. Lalu beliau
menggantinya di bulan Syawal itu.
Para ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum mengganti atau mengqadha’ suatu ibadah
sunnat. Seperti Nabi yang mengqadha’ i’tikaf Ramadhan di bulan Syawal, apakah yang demikian
itu wajib? Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa setiap ibadah sunnat yang sudah biasa
dilaksanakan dan telah diniyatkan secara pasti jika ditinggalkan wajib diqadha’. Sebagaimana
Nabi mengqadha’ i’tikaf dan mengqadha’ shalat ba’diyah dhuhur pada waktu ba’da ‘Ashar.
Pendapat ini tidak disetujui oleh mayoritas ulama, sebab sebagaimana ditetapkan dalam kaidah
fiqih bahwa semata-mata Nabi melaksanakan sesuatu belum tentu menunjukkan bahwa hal
tersebut wajib. Lagi pula, kalaulah mengqadha’ i’tikaf itu wajib bagi yang sudah terbiasa atau
yang sudah meniyatkan kemudian membatalkannya, seharusnya istri-istri Nabi juga mengqadha’.
Maka ketika istri-istri Nabi tidak mengqadha’nya dan Nabipun tidak memerintahkannya kepada
mereka, ini menunjukkan bahwa mengqadha’ i’tikaf tersebut tidaklah wajib, melainkan suatu
anjuran kebaikan semata. Hal ini terkait dengan kebiasaan Nabi saw. yang tidak suka
meninggalkan suatu ibadah sunat yang sudah rutin beliau kerjakan.
Demikian juga dipilihnya bulan Syawal sebagai bulan pengganti ‘itikaf Nabi tidak dapat
dijadikan dalil bahwa mengganti i’tikaf itu mesti di bulan tersebut. Sebab asal dari kebolehan
mengqadha’ itu berlaku umum pada setiap bulan selain Ramadhan, kecuali jika ada dalil yang
mengkhususkannya.
Hadits Ketiga
ص�ل�ى �ك�ف� �ع�ت ي �ن� أ اد� ر�� أ �ذ�ا إ �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� �ان� ك ق�ال�ت� �ه�ا ع�ن �ه� الل ض�ي ر� ة� �ش� ع�ائ ع�ن�
�ف�ه� �ك م�ع�ت د�خ�ل� �م� ث �ف�ج�ر� ال
Dari Aisyah, semoga Allah ridha kepadanya, “Adalah Rasulullah apabila beliau bermaksud
I’tikaf, beliau shalat shubuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya”. )Mutafaq Alaih(
Penjelasan
Berdasarkan hadits di atas, Imam al Auza’iy, Al laits dan Ats Tsaury menyatakan bahwa waktu
mulai melaksanakan i’tikaf itu adalah setelah shalat shubuh [yaitu pada pagi hari tanggal ke
duapuluh satu Ramadhan]. Tetapi Imam yang empat dan beberapa ulama lain mentakwilkan
hadits di atas. Menurut mereka, bahwa yang dimaksud masuk ketempat i’tikaf itu adalah ke
tenda tempat menyendirinya di mesjid. Sedang i’tikafnya itu sendiri sudah dimulai sejak dari
waktu maghrib malam ke duapuluh satu.
Hadits Keempat
ه� و�اج� ز�� أ م�ن� �ة^ أ ام�ر� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� م�ع� �ف�ت� �ك اع�ت ق�ال�ت� �ه�ا ع�ن �ه� الل ض�ي ر� ة� �ش� ع�ائ ع�ن�
�ص�ل6ي ت و�ه�ي� �ه�ا ت �ح� ت الط�س�ت� �ا و�ض�ع�ن �م�ا ب ف�ر� ة� و�الصQف�ر� ة� �ح�م�ر� ال ى �ر� ت �ت� �ان ف�ك �ح�اض�ة ت م�س�
Dari Aisyah, semoga Allah meridhainya, ia berkata, “Seorang istri Nabi ikut beri’tikaf bersama
beliau padahal dia sedang istihadhah [keluar darah karena penyakit bukan karena haid], ia
melihat darah merah kekuning-kuningan. Terkadang kami meletakkan mangkok di bawahnya
ketika ia sedang shalat”. )Hadits Mutafaq Alaih(
Penjelasan Hadits
1. Hadits di atas menjadi dalil bahwa istri-istri Nabi ikut i’tikaf bersama beliau. Nampaknya
pelaksanaan i’tikaf yang disebut dalam hadits ini berbeda dengan kejadian yang disebutkan
terdahulu. Dimana Nabi dan istri-istrinya membatalkan i’tikaf dan beliau menggantinya pada
bulan Syawal. Sementara pada hadits ini disebutkan bahwa istri-istri Nabi menyertai beliau
dalam i’tikafnya dan Nabi mengizinkannya.
2. Wanita yang sedang istihadhah tetap wajib shalat dan ia boleh beri’tikaf di mesjid selama
dapat menjaga kebersihan mesjid dari tetesan darahnya.
3. Pada hadits ini Siti Aisyah tidak menyebutkan siapa istri Nabi yang istihadhah itu. Tetapi
dalam riwayat Said bin Manshur disebutkan bahwa istri Nabi tersebut adalah Ummu Salamah.
Oleh. Jeje Zainudin