hak ulayat

22
HAK ULAYAT DALAM HUKUM ADAT Disusun guna untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum Adat II Dosen : Drs. Abd. Halim, M.Hum. Disusun oleh Kelompok 2 IH-B : ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

Upload: rifqi-mubarok

Post on 22-Dec-2015

35 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Hak Ulayat Dalam Hukum Adat

TRANSCRIPT

Page 1: Hak Ulayat

HAK ULAYAT DALAM HUKUM ADAT

Disusun guna untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum Adat II

Dosen : Drs. Abd. Halim, M.Hum.

Disusun oleh Kelompok 2 IH-B :

ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2015

Page 2: Hak Ulayat

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketentuan pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat atas tanah

dan sumber daya alam di Indonesia, sangat terkait dengan ketentuan Pasal

18B ayat (2) UUD 1945. Dimana ketentuan tersebut memberikan posisi

konstitusional bagi masyarakat hukum adat dalam hubungannya dengan

negara dan landasan konstitusional bagi penyelenggara negara, bagaimana

seharusnya masyarakat hukum adat diperlakukan, serta mandat konstitusi

yang harus ditaati oleh penyelenggara negara untuk mengatur pengakuan dan

penghormatan atas keberadaan masyarakat hukum adat dalam suatu bentuk

undang-undang.

Tanah mempunyai fungsi penting dalam kehidupan manusia,

termasuk di dalamnya masyarakat hukum adat. Dimana tanah bagi kehidupan

manusia mengandung makna yang multidimensional. Pertama, dari sisi

ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan

kesejahteraan. Kedua, secara politis, tanah dapat menetukan posisi seseorang

dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai kapital budaya,

dapat menetukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah

bermakna sakral, karena pada akhir hayat setiap orang akan kembali ke

tanah.1 Karena makna yang multidimensional tersebut ada kecenderungan,

bahwa orang yang memiliki tanah akan mempertahankan tanahnya dengan

cara apapun apabila hak-haknya dilanggar.

Menyadari akan hal itu, maka diperlukan adanya campur tangan

negara untuk turut mengaturnya. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan

1 Heru Nugroho, Menggugat Kekuasaan Negara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hlm. 237.

Page 3: Hak Ulayat

bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Dalam pasal ini secara jelas mengatur hubungan antara negara dengan bumi,

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pasal tersebut, maka

diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut dengan UUPA. Dimana tanah

dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat

(1) UUPA, “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,

yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-

orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta

badan-badan hukum”.

Arti penting hubungan manusia dengan tanah selain dalam

hubungan hukum, tanah juga sering dihubungkan dengan nilai komunalistik-

magis religius dalam masyarakat hukum adat. Hubungan ini bukan saja

antara individu dengan tanah, tetapi juga antar sekelompok anggota

masyarakat suatu persekutuan hukum adat dalam hubungannya dengan hak

ulayat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian hak ulayat?

2. Apa ciri-ciri dan bagaimana berlakunya hak ulayat?

3. Bagaimana pandangan UUPA dan UU lainnya terhadap hak ulayat?

Page 4: Hak Ulayat

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Ulayat

Hak ulayat merupakan nama yang diberikan oleh ahli hukum pada

lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat

hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut “tanah ulayat”.

Definisi hak ulayat menurut Peraturan Menteri Negara Agraria No.

5 Tahun 1999, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) adalah

“kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum

adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya

untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam

wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul

dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus

antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.

Kewenangan dalam hukum perdata adalah yang berhubungan dengan hak

bersama kepunyaan atas tanah tersebut (unsur kepunyaan). Sedangkan

kewenangan dalam hukum publik berupa kewenangan untuk mengelola,

mengatur, memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan

pemeliharaannya (unsur tugas kewenangan).2

Sedangkan pengertian terhadap hak ulayat menurut G.

Kartasapoetra dan kawan-kawan adalah hak tertinggi atas tanah yang dimiliki

oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban

pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh

suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat

(persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang

2 Iwan Permadi, Eksistensi Hak Ulayat dan Model Penyelesaian Konflik, Yustitia Jurnal Hukum, Volume 5, No. 2, Oktober 2011, hlm. 229.

Page 5: Hak Ulayat

pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang

bersangkutan).3

Secara umum, hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai

suku di Indonesia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu “hak ulayat” dan

“hak pakai”. Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil

hutan serta hak untuk berburu.4 Sedangkan hak pakai membolehkan

seseorang untuk memakai. Sebidang tanah bagi kepentingannya biasanya

terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-

menerus dalam waktu yang lama.5

Konsepsi hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai

komunalistik-magis religius yang memberi peluang penguasaan tanah secara

individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi. Namun, hak ulayat bukanlah

hak perseorangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak ulayat bersifat

komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat

hukum adat atas tanah yang bersangkutan, bukan perseorangan.

Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut

merupakan tanah milik bersama yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki

sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur pada

kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi kehidupan dan

penghidupan mereka sepanjang kehidupan itu berlangsung.

Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat itu sendiri.

Menurut Boedi Harsono, subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat

yang mendiami suatu wilayah tertentu.6 Dimana masyarakat hukum adat

terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:

3 G. Kertasapoetra, RG. Kartasapoetra, dkk, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 88.

4 Iswantoro, Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional, Sosio-Religia, Volume 10, No.1, Februari 2012, hlm. 99.

5 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), hlm. 16.

Page 6: Hak Ulayat

1. Masyarakat hukum adat teritorial, disebabkan para warganya bertempat

tinggal di tempat yang sama.

2. Masyarakat hukum adat geneologik, disebabkan para warganya terikat

oleh pertalian darah.

Sedangkan obyek hak ulayat ini tidak hanya tanah, tetapi meliputi

juga hutan belakar, perairan, dan tanaman yang tumbuh sendiri beserta

binatang liar yang hidup di dalamnya. Obyek hak ulayat menurut Bushar

Muhammad meliputi:7

1. Tanah (daratan)

2. Air (perairan, seperti kali, danau, pantai, serta perairannya)

3. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon

untuk kayu pertukangan atau kayu bakar, dan sebagainya)

4. Binatang liar yang hidup bebas di dalam hutan.

B. Ciri-ciri dan Berlakunya Hak Ulayat

Menurut van Vollenhoven sebagaimana yang dikutip oleh Bushar

Muhammad, ciri-ciri hak ulayat itu adalah sebagai berikut:8

1. Tiap anggota dalam persekutuan hukum (etnik, sub-etnik, atau fam)

mempunyai wewenang dengan bebas untuk mengerjakan tanah yang

belum digarap, misalnya dengan membuka tanah untuk mendirikan

tempat tinggal baru.

6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm. 182.

7 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2000), hlm. 13.

8 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1988), hlm. 30.

Page 7: Hak Ulayat

2. Bagi orang diluar anggota persekutuan hukum, untuk mengerjakan

tanah harus dengan izin persekutuan hukum (dewan pimpinan adat).

3. Anggota-anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah ulayat

itu mempunyai hak yang sama, tapi untuk bukan anggota selalu

diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa

hutang, bunga pasir, dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu

persembahan (ulutaon, pemohon).

4. Persekutuan hukum sedikit banyak masih mempunyai campur tangan

dalam hal tanah yang sudah dibuka dan ditanami oleh seseorang.

5. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi

dalam ulayatnya.

6. Persekutuan hukum tidak dapat memindah tangankan hak penguasaan

kepada orang lain.

7. Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/masyarakat

hukum/desa.

Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat

dapat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar.9 Berlaku ke dalam

berhubungan dengan anggota persekutuan. Dimana persekutuan sebagai suatu

keseluruhan yang berarti semua anggota persekutuan bersama-sama sebagai

suatu kesatuan melakukan hak ulayat, dalam artian memetik hasil dari tanah

beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup diatasnya.

Sedangkan berlaku ke luar berhubungan dengan bukan anggota persekutuan,

yang disebut “orang asing atau orang luar”. Pada prinsipnya tidak

diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan

persekutuan yang bersangkutan, tanpa dengan seizin persekutuan dan

membayar atau memberikan ganti rugi. Kewajiban utama penguasa adat yang

bersumber pada hak ulayat adalah memelihara kesejahteraan dan kepentingan

9 Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 190.

Page 8: Hak Ulayat

anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul

perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian atas tanah.

Berlakunya hak ulayat ini menurut sistematika Ter Haar adalah

sebagai berikut:10

1. Anggota masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat

atas tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di

atasnya.

2. Anggota masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu,

mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik

bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila

pohon itu dipelihara olehnya.

3. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan

kepala suku atau kepala masyarakat hukum. Hubungan hukum antara

orang yang membuka tanah dengan tanah tersebut makin lama makin

kuat, apabila tanah tersebut terus-menerus dipelihara/digarap dan

akhirnya dapat menjadi hak milik si pembuka. Sekalipun demikian, hak

ulayat masyarakat hukum tetap ada walaupun melemah. Sebaliknya,

apabila tanah yang dibuka itu tidak diurus atau ditelantarkan, maka

tanah akan kembali menjadi tanah masyarakat hukum. Selain itu,

transaksi-transaksi penting mengenai tanah harus dengan persetujuan

kepala suku.

4. Berdasarkan kesepakatan masyarakat hukum setempat, dapat ditetapkan

bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat pemukiman,

makam, penggembalaan umum, dan lain-lain.

5. Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat,

kecuali dengan seizin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan

dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih

10 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Bandung: Sumur Batu, 1985), hlm. 45.

Page 9: Hak Ulayat

dahulu. Izin tersebut bersifat sementara, misalnya untuk selama musim

panen, namun suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah

tersebut. Sifat istimewa hak ulayat terletak pada daya berlakunya secara

timbal balik hak-hak itu terhadap orang lain. Karena pengelolaan tanah

makin memperkuat hubungan perseorangan dengan sebidang tanah.

Bila hubungan perseorangan atas tanah itu berkurang atau bila

hubungan itu diabaikan terus-menerus, maka pulihlah hak masyarakat

hukum atas tanah itu dan tanah tersebut kembali menjadi hak ulayat.

6. Apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau

dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu suku bangsa, maka suku

atau masyarakat hukum di wilayah bersangkutan bertanggung jawab

untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.

C. Pandangan UUPA & UU Lainnya Terhadap Hak Ulayat

Dalam UUPA dan beberapa undang-undang RI telah mengatur

mengenai masyarakat hukum adat beserta hak-haknya dengan pengakuan

bersyarat.

Kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam konstitusi di

Indonesia terdapat dalam hasil amandemen kedua UUD 1945. Dimana dalam

Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyebutkan:

1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan

undang-undang.

2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Page 10: Hak Ulayat

Ketentuan diatas memisahkan antara persoalan tata pemerintahan

yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan UU (Pasal 18B ayat 1)

dengan persoalan hak ulayat dan pembatasannya (Pasal 18B ayat 2).

Pemisahan antara Pasal 18B ayat (1) dengan Pasal 18B ayat (2) memberi arti

penting untuk membedakan antara bentuk persekutuan masyarakat (hukum)

adat dengan pemerintahan “kerajaan” lama yang masih hidup dan dapat

bersifat istimewa. Dimana terkadang permasalahan hak ulayat sering

dikaitkan dengan hak-hak atas sumber daya alam yang ditarik dari sistem

kerajaan pada masa lalu.

Dalam UUPA juga mengatur mengenai masalah eksistensi hak

ulayat masyarakat hukum adat. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3

UUPA yang berbunyi “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1

dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-

masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,

yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Di dalam Pasal 3 UUPA dan penjelasannya disebutkan bahwa

pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan keadaan negara kesatuan.

Dimana hak ulayat diakui dengan 2 (dua) pembatasan:

1. Hak ulayat diakui sepanjang masih ada (tanpa penjelasan tentang

kriteria ‘masih ada’).

2. Biarpun hak ulayat diakui dan masih ada, kegunaannya harus

disesuaikan dengan ketentuan bahwa masyarakat hukum adat sudah

menjadi bagian integral masyarakat Indonesia.

Selain dalam UUD 1945 & UUPA diatas, pengakuan hak ulayat

masyarakat hukum adat juga dapat ditemukan dalam:

Page 11: Hak Ulayat

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan perubahannya tentang

Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 2 ayat (9) menyebutkan bahwa:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia”.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diatur

dalam Bab IX tentang Masyarakat Hukum Adat. Pada Pasal 67

menyebutkan bahwa:

1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih

ada dan diakui keberadaannya berhak:

a) Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan

kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang

bersangkutan;

b) Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum

adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-

undang; dan

c) Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan

kesejahteraannya.

2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan

Peraturan Daerah.

3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999

tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat

Hukum Adat. Pada Pasal 2 angka (2) menyebutkan bahwa:

Page 12: Hak Ulayat

Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:

1) Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh

tatanan hukum adanya sebagai warga bersama suatu persekutuan

hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-

ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

2) Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup

para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya

mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

3) Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan,

penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan

ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

BAB III

PENUTUP

Page 13: Hak Ulayat

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan seperti

yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran

sebagai berikut :

A. Kesimpulan

Petunjuk atau pedoman untuk menentukan eksistensi

keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat secara yuridis harus

disertai dengan syarat-syarat, yaitu:

1. Hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat, khususnya

hak ulayat dapat diakui oleh Negara apabila sepanjang masih hidup

dan menurut kenyataannya masih ada, serta sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang dan tidak boleh

bertentangan dengan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

2. Pengertian sepanjang masih hidup dan kenyataannya masih ada

adalah masyarakat hukum adat tersebut memenuhi kriteria:

a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban

(rechsgemeenschap);

b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c) ada wilayah hukum adat yang jelas;

d) ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih

ditaati; dan

e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan

sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

3. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat

ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Page 14: Hak Ulayat

B. Saran

1. Perlu adanya pengaturan yang jelas terhadap kelembagaan

masyarakat hukum adat di Indonesia. Pengaturan tersebut bisa

berupa pendataan secara detail yang dilakukan aparat desa setempat

terhadap lembaga-lembaga masyarakat hukum adat yang masih

hidup.

2. Para tetua adat atau penguasa adat harus diidentifikasi dan didata

berapa luas lahan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat

tersebut, kemudian dikumpulkan oleh pejabat pemerintahan untuk

diberikan bimbingan mengenai pentingnya menentukan batas-batas

lahan garapannya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Page 15: Hak Ulayat

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta:

Djambatan, 1999.

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, Jakarta:

Pradnya Paramita, 1988.

Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya

Paramita, 2000.

G. Kertasapoetra, RG. Kartasapoetra, dkk., Hukum Tanah, Jaminan

Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan

Tanah, Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Heru Nugroho, Menggugat Kekuasaan Negara, Surakarta:

Muhammadiyah University Press, 2001.

Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Bandung: Sumur Batu,

1985.

B. Jurnal

Iswantoro, Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum

Agraria Nasional, Sosio-Religia, Volume 10, No.1, Februari 2012

Iwan Permadi, Eksistensi Hak Ulayat dan Model Penyelesaian Konflik,

Yustitia Jurnal Hukum, Volume 5, No. 2, Oktober 2011