hal awal prosiding - himpunan mahasiswa program studi...
TRANSCRIPT
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN FISIKA DAN FISIKA 2010
“Problematika Pendidikan Indonesia dan Perkembangan
Fisika Akan Datang”
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2010
ISBN : 978 – 602 – 96622 – 1 – 4
i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN FISIKA DAN FISIKA
“PROBLEMATIKA PENDIDIKAN INDONESIA DAN
PERKEMBANGAN FISIKA AKAN DATANG”
Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta
ii
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN FISIKA DAN FISIKA
“Problematika Pendidikan Indonesia dan Perkembangan Fisika Akan Datang”
Hak Cipta Dilindung Undang-Undang
© all right reserved
2010
Penyunting
Dr. Moh. Toifur, M.Si.
Drs. Ishafit, M.Si.
Design Cover
Ngadimin
Setting – layout
Toni Kus Indratno
ISBN:
978 – 602 – 96622 – 1 – 4
Penerbit
HMPS Pendidikan Fisika Universitas Ahmad Dahlan
Jln. Prof. Dr. Soepomo, Janturan, Yogyakarta
e-mail : [email protected]
http://www.pf.uad.ac.id/
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi
atau memperbanyak sebagian atau seluruh
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Isi diluar tanggung jawab percetakan
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i
HALAMAN .............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv
CERAMAH UMUM
FISIKA : “TINJAUAN PERKEMBANGAN DAN KEHIDUPAN SOSIAL”
Ridwan, Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional ........ 1
MAKALAH-MAKALAH YANG DISAJIKAN
A. RESEARCH ON ANALYTICAL STUDY FOR LOW BETA AND ISOTHERMAL
CORONAL MAGNETIC ARCADE TO PROVIDE INITIAL MHD SIMULATION IN
LAPAN WATUKOSEK 2010 : WARNINGS TO HELMET STREAMER FORMATION
Bambang Setiahadi, LAPAN ................................................................................ 17
B. ANALYSIS OF LARGE MAGNETIC STORMS ASSOCIATED TO SHOCKS OF SOLAR
WIND
L. Muhammad Musafar K., LAPAN ................................................................... 25
C. EFFECTS OF FAST FORWARD SHOCKS TO THE LOW LATITUDE MAGNETIC
FIELD VARIATIONS
L. Muhammad Musafar K., LAPAN ................................................................... 34
D. EXTRACTION OF SUNSPOT GROUPS FROM THE SOHO FULL-DISK IMAGES TO
STUDY SUNSPOT ACTIVITY
Bachtiar Anwar, LAPAN ...................................................................................... 40
E. STUDI ANALITIK DAN KOMPUTASIONAL KESEGARISAN BENDA-BENDA
TATA SURYA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONDISI FISIS BUMI
(Analytical and Computational Study of Planets Alignment and
its Effects on Earth)
iv
Rina Dewi Mayasari, Ibnu Jihad, Rafika Sari, M. Irsyad Ismi, Irkham Huda,
M.F. Rosyid, Universitas Gadjah Mada .................................................................. 50
F. OPTIMASI SISTEM ELEKTROOSMOSIS DENGAN VARIASI POLA PULSA
PADA PROSES PENGURANGAN KANDUNGAN AIR UNTUK PELESTARIAN
CAGAR BUDAYA (Optimization of Electro-osmosis System with Pulse Pattern
Variation in Dehydrating Process for Preservation of Cultural Heritage)
Akrom Khasani, Ar Rohim, Detiza Goldianto, Octensi Hernowo, Didik Nur
Huda, Universitas Gadjah Mada ............................................................................. 66
G. PENGUKURAN KONSENTRASI GAS ETILEN PADA BENIH KEDELAI
MENGGUNAKAN TEKNIK SPEKTROSKOPI FOTOAKUSTIK (The Measuring Of
Ethylene Concentration of Soybean Seedlings Using Photoacoustic Spectroscopy
Technique )
Rudyanto, Universitas Sanata Dharma ................................................................... 73
H. PENGARUH WAKTU KARBONASI DAN DIMENSI TERHADAP
KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET DARI LIMBAH
PENGGILINGAN PADI (SEKAM) (The Effect of Carbonation Duration to the
Burning Characteristics of Biobricket From Chaff)
Laifa Rahmawati, Rizky Stiyabudi, Christin Lita Agustiani, Universitas Negeri
Yogyakarta .............................................................................................................. 89
I. PERANAN PENDIDIKAN DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
BAGI KESEJAHTERAAN MANUSIA (The Role of Education in Increasing the
Quality of Education for Human Welfare)
Nur Hidayah, Universitas Ahmad Dahlan .............................................................. 97
J. UPAYA MENINGKATKAN MINAT DAN PRESTASI BELAJAR FISIKA
MELALUI METODE PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE (TTW) (The Effort
to Improve Achievement and Interest Physical Learning Through Think Talk Write
(TTW))
Hidayati, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa...................................................106
v
K. PERANAN KELOMPOK DALAM MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
JIGSAW DAN STAD (STUDENT TEAM ACHIEVMENT DIVISION) DITINJAU
DARI PRESTASI BELAJAR POKOK BAHASAN GERAK LURUS PADA SISWA
KELAS VII SMP MUHAMMADIYAH 4 YOGYAKARTA (Role Model in Group
Cooperative Learning Jigsaw And Stad (Achievment Student Team Division) Viewed
From The Review of Learning Achievement on Student's Motion Straight Class VII
Junior Muhammadiyah 4 Yogyakarta )
Betha Ugahari, Supriyadi, Dian Artha Kusumaningtyas, Pendidikan Fisika
Universitas Ahmad Dahlan ................................................................................... 129
L. PENTINGNYA PEMANFAATAN PERMAINAN TRADISIONAL SEBAGAI MEDIA
ALTERNATIF DALAM PEMBELAJARAN FISIKA (The Importance of use of
Traditional Games as Alternative Media in Physics Learning )
Bella Nurfadilah, Adhani Prima Syarafina, M. Reza Primadi, Sri Maiyena,
Pendidikan Fisika Universitas Ahmad Dahlan ...................................................... 140
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum W. W.
Alhamdulillah, dengan rahmat Allah SWT, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
Fisika dan Fisika dengan tema Problematika Pendidikan Indonesia Dan Perkembangan
Fisika Akan Datang telah disusun.
Seminar ini diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia, memberikan masukan untuk
perbaikan sistem pendidikan di sekolah, khususnya dalam bidang Fisika dan menjadi
sarana promosi dalam rangka meningkatkan daya tarik Fisika di tengah-tengah
masyarakat.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyusunan prosiding ini, kami juga mengharap kritik dan saran untuk penyempurnaan
dimasa yang akan datang.
Wassalamualaikum W. W.
Yogyakarta, Mei 2010
Dian Artha Kusumaningtyas, M.Pd.Si.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
1
Fisika : “Tinjauan Perkembangan dan Kehidupan Sosial”
Ridwan
Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan
PUSPIPTEK, Serpong 15314 Tangerang
e-mail : [email protected]
Abstrak. Fisika adalah salah satu cabang dari ilmu dasar (basic science) yang membahas tentang fenomena alam berdasarkan data-data hasil pengamatan untuk dapat menjelaskan bagaimana alam ‘bekerja’. Makalah ini sebagian merupakan studi literatur mengenai perkembangan fisika dari sejak zaman Yunani kuno, yang ikuti dengan pembahasan tentang penguasaan Muslim Arab terhadap science dan technology. Tinjauan mengenai perkembangan fisika dimasa depan dibahas dengan mengaitkan pada kemajuan di bidang nanoscience dan nanotechnology terutama dalam ruang lingkup magnetisme. Kepekaan fisikawan terhadap kehidupannya ditantang dengan mengambil contoh respons Mimosa pudica terhadap gangguan dari luar. Relevansi fisika terhadap fenomena kehidupan sosial telah dicoba juga dikaitkan dengan perubahan sifat bahan setelah mengalami perlakuan mekanik. Kata kunci : Fisika, sejarah, kehidupan sosial, nanoscience dan nanotechnology, magnetisme I. Pendahuluan
Fisika dalam bentuk keilmuan berkembang dari suatu cabang ilmu filsafat,
philosophy dan physics yang dalam bahasa Yunani ditulis φύσις dibaca physis yang berarti
alam, nature sehingga sering disebut sebagai filsafat mengenai alam (natural philosophy),
yakni sesuatu bidang study yang berkaitan dengan bagaimana alam ini bekerja. Sehingga
pemahaman yang mendasar mengenai hubungan antara penyebab (cause) dan akibat
(effect) adalah kunci untuk memecahkan segala permasalahan dalam fisika [1]. Sebagai
contoh, pertanyaan mengenai “mengapa air mendidih?’. Jika suatu wajan berisi air
diletakkan di atas tungku dan seseorang menyalakan apinya, maka hal ini dapat dipandang
sebagai penyebab air mendidih. Namun apabila diperhatikan lebih mendalam lagi, air
dapat juga mendidih apabila tekanan atmosfir sekitar air diturunkan. Selain itu faktor
gravitasi juga menentukan sehingga air tetap berada di dalam wajan dan temperatur air itu
sendiri juga ikut merupakan faktor penentu. Sehingga dalam usaha kita untuk menjelaskan
suatu kejadian fenomena alam, maka kita harus benar-benar memperhatikan tidak hanya
yang mudah terlihat juga hal-hal lain yang bersifat abstrak. Pemisahan yang lebih
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
2
gamblang mengenai penyebab dan akibat ini adalah seperti terlihat pada kasus mekanika
Newton, gaya yang bekerja pada suatu benda merepresentasikan penyebab dan percepatan
adalah menyatakan akibat seperti secara kuantitatif dijelaskan oleh hukum ke-dua Newton.
Namun demikian dalam penentuan faktor penyebab dan akibat untuk suatu keadaan
ditinjau dengan teori fisika yang berbeda mungkin saja tidak sama. Sehingga untuk
menentukan apa yang disebut sebagai penyebab dan apa yang disebut akibat sangat
bergantung pada keadaan keseluruhan dari sistem yang ditinjau [2]. Walaupun dalam
kenyataan banyak sekali kita temukan individu-individu yang berpikir praktis dan tidak
dapat membedakan penyebab dan akibat, yakni lebih mementingkan memperoleh “hasil”
tanpa berupaya untuk memenuhi terlebih dahulu kondisi-kondisi yang diperlukan agar
apa yang diharapkan tercapai. Sehingga banyaklah kasus-kasus berkaitan dengan
“pajak’/markus yang saat ini marak dibicarakan orang.
II. Sejarah Fisika
Seperti telah disinggung di depan, bahwa fisika adalah suatu ilmu dasar yang
membahas tentang bagaimana alam ini bekerja. Pemahaman mengenai kejadian di alam
terlepas dari pengaruh “supernatural” telah dimulai sejak periode Achaic di Yunani ( 650
SM - 480SM ) yakni pre-filosof Socratic. Salah satunya Filosof Thales (abad ke-7 dan ke-6
SM) , kemudian disebut sebagai “Father of Science” karena telah mengenyampingkan
aspek-aspek supernatural, kepercayaan dan mistik untuk menjelaskan fenomena alam
yang terjadi, yang menyatakan bahwa setiap sesuatu pasti ada faktor penyebabnya yang
dapat diterima secara logika [3].
Aristotle (384SM - 322SM) seorang murid dari Plato, mengenalkan suatu konsep
tentang hubungan bahwa pengamatan mengenai suatu fenomena fisika dapat melahirkan
suatu hukum alam bagaimana fenomena tersebut terjadi. Aristotle adalah orang pertama
yang menulis hasil kerjanya yang dapat digolongkan sebagai hasil study dari fisika (Fisika
Aristotle) [4]. Dari sejak itu berkembang banyak cabang ilmu pengetahuan yang mencoba
untuk menjelaskan fenomena alam, seperti mengenai sistem matahari serta peredaran
planet bumi dengan matahari sebagai titik pusat. Teori fisika terus berkembang dengan
waktu mulai dari era klasik hingga masuk pada periode fisika modern. Ketersedian fasilitas
analitik yang semakin canggih saat ini, maka membuka peluang yang sangat besar atau
boleh dikatakan tak terbatas di bidang fisika untuk menelaah prinsip universal terkait
dengan gerak, energi, dan hal lain yang sangat mendasar mengenai fenomena alam.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
3
Menjelang abad ke-21 ini, prinsip-prinsip fisika semakin luas teraplikasikan dalam bidang-
bidang kelistrikan, areospace, dan materials engineering.
III. Perkembangan Fisika Dalam Dunia Islam [5]
Membahas perkembangan Fisika dari sisi Islam di Indonesia sangat relevan, selain
karena sebahagian besar masyarakatnya pemeluk Islam, namun yang jauh lebih penting
lagi Islam mewajibkan pemeluknya untuk mengejar ilmu pengetahuan.
Sebagaimana Firman Allah mengatakan :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. (Q.S 17:36)
Seperti telah disinggung di depan, ilmu fisika sepenuhnya berlandaskan percobaan
dan pengukuran yang akurat guna dapat diturunkan kaedah (hukum-hukum) dan teori
untuk menjelaskan fenomena alam yang selanjutnya digunakan untuk kemasalahatan umat
manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa fisika menolong kita untuk memahami dunia di
sekeliling kita, selain fisika itu sendiri merupakan fondasi dari ilmu ketekhnikan
(technological science). Penjelasan fisika terhadap suatu fenomena alam haruslah
bersandar pada logika, bukan sesuatu bersifat supernatural ataupun mistik, sangat sesuai
dengan Islam.
Muslim Arab mulai memperdalam fisika sejak mereka menterjemahkan buku dari
Aristotle berjudul “Physics” dan “Spiritual Tricks and Weight Lifting” serta literatur lain
dari Archimedes, Hayron dan mengembangkan teori-teori tersebut dan ide-ide mekanik
yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan bangsa Yunani yang menekankan pada hal-
hal yang bersifat abstrak filosofis, ilmuwan bangsa Muslim Arab mengandalkan pada
percobaan (experimentation) dan mengadopsi metode ilmiah dalam penelitiannya serta
mengembangkannya. Bersandarkan pada kemampuan riset terapan, mereka benar-benar
dapat memahami bagaimana suatu kaedah ilmiah bekerja sehingga mereka dapat bergerak
maju dan kreatif di bidang fisika, kimia, kesehatan dan obat-obatan dan berbagai bidang
keilmuan lainnya.
Kemampuan yang sangat menonjol dari cendekiawan muslim adalah penguasaan
sistem penunjuk arah dan penentuan waktu serta optik. Arah dan waktu merupakan secara
eksplisit di sebutkan di Al-Quran, yakni berkaitan dengan penentuan arah kiblat (Q.S.
2:115,142,150) dan waktu-waktu sholat (Q.S. 17:6, :30:18). Oleh sebab itu sangat
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
4
beralasan mengapa pengembangan peralatan untuk penentuan arah menjadi sangat
menonjol. Sejarah mencatat di bidang Astronomi, cendekiawan Muslim telah menemukan
banyak peralatan untuk menentukan posisi benda-benda langit, navigasi diantaranya oleh
al Khawarismy. Demikian juga peralatan penunjuk waktu, cendekiawan muslim Abdul
Hassan Ali adalah yang pertama melaporkan secara detail bagaimana bekerjanya sistem
penunjukkan waktu dan sistem penanggalan. Arah dan waktu seperti kita ketahui
merupakan satuan besaran yang sangat penting di dalam fisika, terutama dalam
eksperimen fisika. Penutup pada bagian ini dapatlah ditarik pelajaran, bahwa penguasaan
bidang fisika eksperimen yang ditunjukkan oleh cedekiawan Muslim pada beberapa
dekade yang lalu karena mereka mendalami secara utuh ilmu yang terkandung di dalam Al
Qur’an dan berusaha untuk dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini sangat sesuai dengan fisika yang mengandalkan pada unsur logika, eksperimen dan
analisa serta perumusan terhadap fenomena yang diamati.
IV. Perkembangan Fisika
Penelusuran mengenai perkembangan awal Fisika di Indonesia cukup sulit. Banyak
alasan mengapa kita sulit menemukan literatur tersebut diantaranya sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa kita sangat malas untuk menulis, apalagi materi yang akan
ditulis cukup meminta pemikiran. Selain itu Fisika dan juga ilmu-ilmu dasar lainnya belum
menjadi primadona di banding bidang ilmu keteknikan dan lainnya. Di awal tahun ’80-an
untuk menarik siswa berprestasi untuk masuk ke jurusan IPA (ITB,UI,UGM) harus
diimingi dengan tanpa tes masuk serta diberikan beasiswa jurusan langka (BJLK). Baru
pada tahun ‘90-an diawali oleh kebijakan Menristek (Prof. Dr. B.J. Habibie) untuk
menyiapkan tenaga profesional dengan pemberian beasiswa untuk belajar keluar negeri
dari S1 hingga S3, jumlah peminat di bidang ilmu dasar meningkat. Hal ini bersamaan
dikembangkannya kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(PUSPIPTEK), Serpong. Di kawasan PUSPIPTEK ini terdapat lembaga penelitian seperti
Batan, LIPI, BBPT, Pusarpedal, yang membutuhkan banyak tenaga profesional.
Beberapa waktu yang lalu pada suatu media cetak nasional dilansir bahwa data
publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia menurut Thomson Scientific (2004) pada jurnal
internasional hanya sebanyak 522 jauh di bawah Malaysia mencapai 1.428, Thailand
(2.397) dan Singapura (5.781). Dari jumlah tersebut yang terkait dengan penelitian fisika
akan lebih kecil lagi. Hal ini juga terkait dengan masih rendahnya alokasi dana Pemerintah
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
5
untuk riset, dana R&D untuk tahun anggaran 2010 hanya sebesar Rp1,9 T. Bandingkan
dengan dana-dana riset perguruan tinggi di Inggris (lihat Tabel).
Alokasi dana yang rendah tentunya akan sangat berpengaruh pada luaran dari hasil
penelitian.
Perkembangan yang pesat di bidang nanoscience dan nanotechnology, tidak terlepas
dari tersedianya sistem peralatan untuk proses sintesis dan karakterisasi bahan. Untuk uji
dan karakterisasi bahan dalam skala nanometer (10-9
m) dibutuhkan sistem peralatan
dengan keakurasian yang tinggi. Sifat-sifat fisika, kimia, kelistrikan dan kemagnetan bahan
dalam ukuran nanometer dapat jauh berbeda di bandingkan bahan yang sama dalam
ukuran yang besar (bulk). Jumlah fraksi atom dipermukaan untuk bahan dalam ukuran
nano jauh lebih besar dari atom-atom di bagian dalam. Oleh sebab tiu bahan nanostruktur
sangat reaktif. Perbandingan benda dilihat dari ukurannya terlihat pada Gambar 1.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
6
Penelaahan tentang mekanisme interaksi yang terjadi di dalam bahan dalam ukuran
nano juga berbeda untuk bahan dalam ukuran bulk. Interaksi yang terbentuk sangat
mungkin melebihi sistem jarak interatomic. Sebagai contoh, peningkatan nilai koersivitas
magnet (Hci) yang sangat tinggi dalam bahan nanomagnetic tidak memadai dengan
menggunakan teori yang telah dikebangkan oleh Stoner-Wohlfarth [7].
Pada waktu ke depan perkembangan penelitian ke arah nanoscience dan nanotechnology
sudah mulai masuk ke dalam tahap implementasi. Dengan demikian kerjasama antar
beberbagai disiplin keilmuan sangat dibutuhkan. Sebagai contoh, penggunaan bahan
partikel nano magnet untuk tujuan aplikasi medis [8,9].
Metode wet chemistry banyak digunakan untuk memperoleh partikel nano magnet,
dalam ukuran skala nanometer dengan bentuk yang seragam. Bagaimana mengontrol
mekanisme reaksi agar diperoleh hasil akhir yang optimal, maka pengetahuan kimia sangat
dibutuhkan, lihat Gambar 2. Namun untuk memahami sifat bahan partikel nano magnet
diperlukan penjelasan dari sudut fisika, lihat Gbr. 3 .
Gambar 1. Perbandingan ukuran partikel nano
dengan sel biologi [6]
Gambar 2. Partikel nano
magnet Fe3O4 hasil proses
presipitasi [9]
Gambar 3. Kurva hysteresis
magnet partikel nano magnet
Fe3O4 hasil proses presipitasi [9]
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
7
Apabila partikel nano magnet tersebut akan digunakan sebagai contras agent untuk
diagnosa bagian dari tubuh yang terserang tumor, dengan menggunakan metoda Magnetic
Resonance Imaging (MRI), maka partikel magnet tersebut haruslah diusahakan tidak
menggumpal. Proses penggumpalan pada bahan magnet ini, dapat disebabkan gaya
elektrostatik. Untuk itu dibutuhkan bahan pembungkus partikel sehingga terbentuk sistem
ferro fluid yang stabil. Bahan pembungkus ini juga haruslah dapat diterima oleh sistem
tubuh, kalau tidak akan diterjemahkan sebagai benda asing oleh sistem pertahanan tubuh
ataupun bersifat racun. Untuk ini diperlukan pengetahuan ilmu kedokteran dan farmasi,
lihat Gbr. 4
Pemanfaatan partikel nano magnet sebagai contrast agent ternyata memberikan
perbaikan pada citra dari hasil scan menggunakan MRI. Hal ini dapat diperoleh dengan
memberikan pengaruh terhadap waktu relaksasi magnetisasi mikroskopik ( T1 dan atau T2)
dari proton (H) dalam medan magnet (B), setelah mendapat diekspos dengan gelombang
RF [13]. Keuntungan lain dalam pemanfaatan bahan partikel nano magnet untuk tujuan
medis selain pada tahap diagnosa juga pada tahap terapi. Pada permukaan bahan partikel
nano magnet dapat dicangkokkan senyawa kimia lain yang berfungsi untuk
menyembuhkan sel-sel yang rusak (drug delivery), karena bahan bersifat magnet maka
obat yang dimasukkan dapat diarahkan hanya pada sel-sel tubuh yang tidak sehat saja.
Sehingga metode terapi menggunakan bahan partikel nano magnet ini menjadi lebih
efisien dibandingkan dengan metode chemotraphy, karena efek samping dari terapi yang
digunakan menjadi sangat terbatas. Sehingga pada saat ini proses fungsionalisasi
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
8
permukaan partikel nano merupakan salah satu topik yang banyak dibahas. Kombinasi
berbagai gugus fungsional yang dicangkokkan pada permukaan partikel nano magnet,
menyebabkan bahan ini dapat berfungsi sekaligus sebagai sensor, bioctalysis, targeted
infection, magnetic resonance imaging, drug delivery dsb.[14], lihat Gambar 6.
Seperti terlihat pada Gbr. 2 dan 3, partikel nano magnet bersifat superparamagnetik
artinya bahan ini akan bersifat magnet hanya selama dibawah pengaruh medan magnet
luar. Dalam ukuran nanometer, bahan magnet dapat mendekati kondisi domain tunggal.
Pada keadaan demikian momen magnet partikel secara keseluruhan bebas untuk bergerak
di bawah pengaruh termal, namun momen magnet atom secara individual tetap dalam
keadaan relatif teratur satu sama lain [15]. Fenomena superparamagnetik yang terbentuk
pada bahan magnet dalam ukuran nanometer (domain tunggal) dapat dijelaskan dengan
model Néel-Brown yang secara eksperimen teramati bahwa pembalikan magnetisasi
(magnetization reversal) terjadi bila energi termal aktivasi lebih besar dari energi ambang
yang dibutuhkan untuk pembalikan spin momen magnet, dimana energi aktivasi secara
eksperimen terukur sama dengan volume partikel dalam rentang 15-30 nm [16]. Namun
dalam pemanfaatan bahan superparamagnet untuk tujuan medis, paramater yang penting
dipertimbangkan adalah waktu relaksasi, τ dari magnetisasi total partikel terhadap waktu
pengamatan τm
. Apabila τ « τm
maka partikel nampak seolah-olah bersifat paramagnet. Jika
τ » τm
pembalikan momen spin magnet terlihat lambat sehingga nampak seakan-akan
dalam keadaan statis. Oleh sebab itu dalam banyak eksperimen τm
dipilih sekitar 102
detik
untuk magnetisasi menggunakan DC dan 10-1
-10-5
detik untuk suseptibilitas AC [8].
Magnetisasi setiap bahan ferromagnet, antiferromagnet, termasuk ferrimagnetik
dapat berubah terhadap pengaruh medan magnet luar (applied field), mengikuti suatu
bentuk loop tertutup (M-H) berupa kurva histeresis. Untuk itu dibutuhkan energi yang
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
9
cukup untuk menggerakkan domain wall, yang berasal dari anisotopi intrinsik dan
ketidakteraturan struktur mikro serta batas butir di dalam bahan. Besar energi yang berasal
dari medan magnetisasi ini tercermin dari luas daerah yang dibatasi oleh kurva histeresis.
Oleh sebab itu apabila pada bahan ferromagnet ataupun ferrimagnet dikenakan suatu
medan magnet yang bervariasi terhadap waktu, maka energi yang diterima bahan magnet
ini akan diubah menjadi suatu energi termal. Energi termal dapat berasal dari a) magnetic
losses terkait pergerakan domain wall (di dalam sistem multi-domain particles) yang
disebut Néel losses; dan b) energy loss akibat rotasi mekanik partikel, melawan gaya
viscous dari media cairan (Brown losses) [17,18].
Prinsip bahwa energi magnet dapat diubah menjadi energi termal ini yang kemudian
dimanfaatkan dalam terapi medik dengan perlakuan hyperthermia. Disini partikel nano
magnet diarahkan pada bagian tubuh yang terserang tumor, kemudian secara eksternal
diberikan medan magnet bolak-balik. Energi termal yang dihasilkan dapat mencapai suhu
yang cukup untuk menghentikan pertumbuhan sel-sel tumor [19]. Metode hyperthermia ini
lebih baik dibandingkan dengan menggunakan teknik penyinaran menggunakan
radioisotop, karena partikel magnet hanya terlokalisasi pada tumor, lihat Gbr.7
Modifikasi permukaan partikel nano magnet
dengan komponen bahan yang dapat berinteraksi
secara spesifik terhadap sel biologis, memberikan
kemungkinan untuk dapat memisahkan sel-sel
yang terinfeksi di dalam cairan tubuh dengan
metode separasi. Partikel nano magnet yang telah
dimodifikasi permukaannya dengan gugus
molekul yang dapat mengikat sel-sel yang
terinfeksi dapat dipisahkan dari sel-sel yang
masih sehat. Metode ini sangat efisien karena
partikel magnet ini dapat digunakan kembali setelah dilakukan pencucian.
Pemisahan sel terinfeksi dengan sistem penyaringan mekanik dipandang kurang praktis
dan mahal. Karena saringan akan sangat sulit untuk dibersihkan dan sangat mudah rusak,
lihat Gambar 8 [8].
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
10
Sistem separator magnet ini juga dapat
digunakan untuk memisahkan unsur polutan dari
limbah cair dari industri, misalnya limbah industri
tekstil yang banyak mengandung zat warna,
electroplatting yang banyak mengandung logam,
bahkan dapat juga digunakan untuk pengambilan
kembali unsur-unsur logam berharga hasil proses
penambangan. Hal ini dilakukan dengan
memodifikasi permukaan nano partikel magnet
dengan bahan yang bersifat adsorbent [20].
Prinsip fisika dalam bidang magnet dapat terlihat juga dalam proses penyerapan
gelombang elektromagnet dalam banhan anti RADAR. Penyerapan/pelemahan energi
gelombang pendek berkaitan dengan dielectric loss
dan/ atau magnetic loss dari bahan absorber. Dielectric
loss berhubungan dengan komponen imajiner dari
permitivitas kompleks terkait medan listrik, E dan
magnetic loss terdapat pada komponen imajiner
permeablitas dan terkait dengan medan magnetik, H.
Oleh sebab itu bahan penyerap gelombang pendek
yang baik adalah yang mempunyai permeabilitas
magnet dan konstanta dielektrik yang tinggi. Hal ini
dapat ditempuh dengan membuat suatu susunan lapisan
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
11
ferro atau ferrimagnet di atas bahan bersifat konduktor atau berupa sistem komposit,
seperti terdapat pada pesawat tempur AS, stealth. Sistem absorbsi yang mengandalkan
dielectric loss umumnya tebal, dan bersifat penghantar listrik. Sehingga berpotensi
menyebabkan hubungan pendek bila ditempatkan dekat rangkaian RF, radio frequency.
Sedangkan bahan absorber magnet lebih tipis karena kompoen riil dari permitivitas dan
permeabilitasnya yang tinggi. Bahan ferromagnet atau ferrimagnet yang mempunyai
damping factor (α) dan saturasi magnet (Ms) yang besar dapat berfungsi sebagai absorber
yang baik, sesuai dengan model magnetisasi Landau-Lifshitz-Gilbert (LLG)[210].
Penerapan prinsip-prinsip fisika yang spektakuler adalah dalam usaha mewujudkan
pembangkit energi dengan fusi nuklir. Beberapa data menunjukkan bahwa persediaan
energi dunia berasal dari bahan bakar fosil total (minyak bumi, gas, batu bara) paling lama
220 tahun, itupun tergantung pada
perkembangan kebutuhan dunia yang saat ini
terus meningkat. Sehingga persediaan energi
sangat mungkin semakin pendek. Oleh sebab
itu sumber energi alternatif merupakan
jaminan itu untuk keberlangsungan umat
manusia. Fusi nuklir merupakan solusi yang
ideal, karena besarnya energi yang dapat
dihasilkan dan tanpa effek lingkungan.
Sebagai contoh untuk mendapatkan listrik 1
GW/hari maka PLTB mengkonsumsi batu bara 10.000 ton/hari, sedangkan untuk fusi
nuklir hanya membutuhkan 1 kg (D+T)/hari [21]. Peranan magnet dalam sistem fusi nuklir
ini, adalah bagaimana mengungkung plasma yang merupakan partikel bermuatan dengan
suhu > 108
_C tidak menabrak dinding akselerator [24]. Medan magnet ditimbulkan dari
suatu lilitan kawat high temperature superkonduktor (HTS) seperti Bi-Sr-Cu-Ca-O (Bi-
2223) yang didinginkan dengan Helium. Untuk menjaga sistem plasma tetap dengan
kerapatan dan suhu tinggi, maka konfigurasi medan magnet di sekeliling plasma
merupakan kombinasi medan magnet toroidal (toroidal magnetic field ) dan juga medan
magnet helicoidal. Besar medan magnet yang ditimbulkan oleh sistem lilitan HTS ini
adalah sekitar ≈ 13 Tesla, dengan berat total HTS sekitar 500 kg untuk sistem yang di
bangun di Massachusetts Institute of Technology (MIT) [25,26].
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
12
V. Fisika dalam Kehidupan Sehari-Hari
Seperti telah disinggung di depan, dari sejak zaman Yunani kuno fisika sudah mulai
di ekspolarasi secara intensif. Karena dengan fisika kita dapat memahami bagaimana
bekerjanya alam disekitar kita dan kemudian menyusun faktor-faktor berpengaruh dan
kemudian memformulasikannya untuk menopang kehidupan. Pemahaman yang mendalam
seperti ini dituangkan oleh Eric Drexler dan Chris Peterson [27] dalam bukunya
“Unbounding the Future : the Nanotechnology Revolution”, menggambarkan bagaimana
teknologi saat ini sangat tidak efisien dan merusak keseimbangan ekosistem dibandingkan
dengan bagaimana sistem molecular mechines yang bekerja di dalam tumbuh-tumbuhan
yang demikian presisi memproduksi bahagian dari tumbuh-tumbuhan seperti kayu, daun
(mungkin saja bunga dan buah), memanfaatkan sumber alam (mineral, sinar matahari)
tanpa menghasilkan limbah. Efisiensi yang sangat tinggi terbukti dengan produk yang
dihasilkan mempunyai harga yang sangat murah dengan rasa, warna, dan ukuran ideal
sesuai struktur tumbuh-tumbuhan. Pemahaman yang mendalam sampai tingkat molecular,
menurut Drexler akan mendorong revolusi teknologi dimasa depan. Ini merupakan
tantangan.!!
Sebagai contoh mungkin kita semua mengetahui
tanaman semak ‘Putri Malu’ (Mimosa pudica) yang
bereaksi jika mendapat gangguan dari luar. Namun sampai
sekarang belum banyak dipahami orang bagaimana
mekanisme tanaman tersebut dapat mengenali ‘shock
mechanic’ yang diberikan, bagaimana mekanisme kerja
‘sensor’ di dalam tumbuhan tersebut bekerja dan apakah
ada pusat kendali yang mengolah informasi yang masuk,
masih belum diketahui dengan baik!!! Beberapa penelitian yang telah dilakukan masih
terbatas pada senyawa kimia yang terdapat di dalam tumbuhan ini [28]. Namun bagaimana
sistem biomolecular di dalam tumbuhan ini bekerja untuk mengatisipasi respons luar
masih dalam perdebatan. Mekanisme gerak motorik yang terdapat pada keluarga Mimosa
pudica, menjadi titik perhatian apakah relevan dengan apa yang disebut molecular
machines oleh Eric Drexler dalam bukunya “Unbounding the Future : the nanotechnology
Revolution” tsb, bagaimana proses penjalaran sinyal dan pemrosesannya ini adalah
fisika!!!
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
13
VI. Matematika dan Fisika
Fenomena fisika tidak cukup hanya deskripsikan, namun perlu untuk
diformulasikan. Dalam bentuk formulasi inilah dibutuhkan bahasa matematika. Oleh sebab
itu pemahaman operasi matematika yang berlaku sangat diperlukan apabila agar
penyusunan formula yang dilakukan tidak keliru. Lebih jauh lagi matematika walaupun
bersifat abstrak namun dapat membuka kemungkinan untuk prediksi sesuatu yang belum
dapat dibuktikan karena teknologi untuk itu belum tersedia. Seperti sistem tata surya kita,
secara model matematis diturunkan oleh Copernicus [29], dengan mengambil batasan
bahwa matahari adalah pusat dari sistem. Penjelajahan matematika kadang-kadang
melampaui capaian zamannya, namun menurut Poincaré (29 April 1854 – 17 July 1912)
seorang ahli matematika, fisika teori dan seorang philosopher of science, dari Francis
bahwa setiap model di dalam matematik haruslah berhubungan dengan alam nyata [30].
Lebih jauh lagi, berdasarkan catatan sejarah tentang kemajuan yang telah dicapai Muslim
Arab dengan menterjemahkan abstraksi fenomena fisis dari filsuf Yunani kuno ke dalam
suatu formula berupa rumus-rumus fisika adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri.
Aljabar (algebra) tidak lain adalah salah satu karya dari Muhammad ibn Mūsā al-
Khwārizmī (780-850) seorang cendikiawan Muslim [31]
VII. Relevansi Fisika dengan Pola Kehidupan Sosial
Karena hukum-hukum fisika bersifat universal, maka apakah fenomena fisika dapat
diberlakukan pada kehidupan sosial manusia. Tinjau bagaimana struktur kristal suatu
bahan, yang secara sederhana seperti terlihat pada Gambar. 14.
Walaupun terdiri dari bermacam-macam atom (warna
berbeda), namun tersusun mengikuti aturan tertentu. Kondisi
seperti ini ekivalen dengan kondisi masyarakat, terdiri dari
berbagai suku, agama, status sosial dsb. Namun apabila semua
tunduk pada aturan hukum yang berlaku maka akan terwujud
suatu kristal harapan yang indah. Namun demikian fisika selalu
tertarik dengan kondisi dinamis, yakni dengan memberikan
gangguan (pertubasi) misalnya menaikkan suhu, substitusi dan intertisi atom atau
memberikan medan (listrik atau magnet), tekanan maupun tarikan. Sebelum hal ini
dilakukan maka haruslah dengan seksama dipahami karakter dari masing-masing atom
atau molekul di dalam struktur kristalnya. Artinya, sebelum ditetapkan suatu kebijakan
menyangkut masyarakat, maka pengambil keputusan sudah melakukan riset yang
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
14
mendalam mengenai struktur sosial masyarakatnya. Jika para pemimpin sudah benar-benar
menguasai struktur masyarakatnya, maka tidak perlu ragu-ragu menerapkan kebijakan
yang walaupun pada awalnya menyebabkan kegoncangan sosial. Kondisi demikian
mungkin sangat relevan dengan eksperimen modifikasi sifat bahan magnet hexaferrite,
BaO.6Fe2O
3 dengan metoda hig energy milling [33], lihat Gambar 15 dan 16.
Pada Gambar 15, jelas terlihat bahwa struktur kristal bahan magnet hexaferrite, BaO.
6Fe2O
3 mengalami deformasi namun tidak berupa fasa setelah mendapat perlakuan
mekanik (milling selama 30 jam), terlihat juga sifat magnet setelah milling juga menurun,
Gambar 16. Namun setelah dilakukan re-annealing pada suhu 1000_C/3jam, struktur
kristal kembali tersusun namun dengan ukuran kristalit yang lebih kecil. Terlihat dari
kurva hysteresis sifat magnet bahan hasil re-annealing semakin baik dibandingkan tanpa
perlakuan ditandai oleh nilai koersivitas magnet intrinsik (Hci) meningkat hampir 2 (dua)
kali lebih besar dari bahan tanpa perlakuan.
Dari eksperimen ini mungkin dapat ditarik pelajaran, bahwa kebijakan apapun yang
diambil mungkin pada awalnya akan menyebabkan distorsi dimasyarakat, namun apabila
ada trigger yang tepat maka hasil akhir yang diperoleh akan jauh lebih baik dari kondisi
awal. Parameter apa saja yang berpengaruh dapat ditentukan dengan menganalisa data-data
hasil pengukuran yang dilakukan, menggunakan formulasi yang tepat. Sebagai contoh
untuk kasus ini telah dianalisa dengan menggunakan metoda Jiles-Atherton [34,35], yang
disusun dalam perangkat lunak komputer maka parameter yang berpengaruh dapat
ditentukan. Oleh sebab itu pendekatan fisika mungkin dapat digunakan untuk mencari
solusi dalam mengatasi problema sosial dengan ongkos yang murah dengan parameter
yang terukur, karena fisika juga merupakan bagian dari budaya [36]. Sehingga sebelum
suatu kebijakan besar diterapkan, maka perlu dilakukan terlebih dahulu suatu proses
simulasi dan eksperimen terbatas dan ini adalah salah satu cara fisika dalam mempelajari
fenomena alam semesta.
VIII. Penutup
Pembahasan fisika dalam tulisan ini terasa masih sangat terbatas dan bersifat umum,
karena pembahasan fisika tidak lain adalah membahas bagaimana hubungan antara
manusia dengan alam sekelilingnya. Pemahaman fisika tidak cukup hanya pada tataran
filosofi, namun yang lebih penting lagi adalah implementasinya agar terwujud suatu
tatanan kehidupan yang seimbang dengan alam sekitarnya.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
15
Daftar Pustaka
1. http://en.wikipedia.org/wiki/Hystory_of_physics
2. http://en.wikipedia.org/wiki/causality_(physics)
3. http://en.wikipedia.org/wiki/Archaic_Greece
4. http://en.wikipedia.org/wiki/Aristotelian_physics
5. http://english.islamstory.com/article
6. http://www.pharmainfo.net/reviews/nanomedical-devices-overview
7. Stoner, E. C., and Wohlfarth, E. P., A mechnism of magnetic hysteresis in
heterogeneous alloys, Philos. Trans. R. Soc. London. Ser., A240, 1949
8. Pankhurst,Q.A, Connoly,J.,Jones,S.K.,and Dobson,J., Applications of Magnetic
Nanoparticles in Bio-medicine, J.Phys. D:Appl. Phys.36,2003,R167-R181
9. Pankhurst,Q.A, Thanh,N.K.T., Jones,S.K.,and Dobson, J., Progress Applications of
Magnetic Nano-particles in Biomedicine, J.Phys. D:Appl.Phys.42, (2009) 15pp
10. Grace Tj. Sulungbudi, Mujamilah dan Ridwan, Variasi Komposisi Fe (II)/Fe(III) pada
Proses Sintesis Spion dengan metode Prepitasi, Jurnal Sains Materi Indonesia,volume
8, No. 1, Oktober 2006, hal 31-34
11. Mc Neil, J. Leuk. Biol., 78, pp. 585-594
12. Hyon Bin Na, et al., Advanced Materials, Vol 21, 21,(2009) 2133-2148
13. http://www.biac.duke.edu/education/courses/fall05/fmri/handouts/2005_Week2_Basic
Physics_files/frame.htm
14. Berry, C.C., Progress Functionalisation of Magnetic Nanoparticles for Applications in
Biomedicine, J. Phys. D: Appl. Phys.42(2009) 9pp
15. Willard, M.A., Kurihara, L.K., Carpenter, E.E., Calvin, S., and Harris, V.G.,
Chemically Prepared Magnetic Nanoparticles, International Materials Reviews,
Vol.49,No.3-4(2004) 125-170
16. Wernsdorfer,W.,Bonet Orozco,E., Hasselbach, K.,Benoit,A., Barbara,B., Demoncy,N.,
Loiseu,A., Pascard,H., and Mailly,D., Experimental Evidence of The Neel-Brown
Model of Magnetization Reversal, Physc. Rev. Lettr. Vol. 78, number 9(1997)1791-
1794
17. Andreas Jordan, Regina Scholz, Peter Wust, Horst Fahling, Roland Felix, Magnetic
Fluid Hyperthermia (MFH): Cancer Treatment with AC Magnetic Field Induced
Excitation Biocompatible Superparamagnetic Nanoparticles, J. Magn. Magn. Mater
122(1993)374
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
16
18. Hilger,I., Hergt,R., and Kaiser,W.A., Use of Magnetic Nanoparticle Heating in the
Treatment of Breast Cancer, IEE Proc. Nanobiotechnol.,Vol. 152,No. 1,2005,33-39
19. Andreas Jordan, et.al, J. Magn. Mag. Mater.225(2001) 118-126
20. Ridwan dan Azwar Manaf, Riset dan Pengembangan Nanopartikel Magnetik untuk
Pengolahan Limbah Cair, di Presentasikan dalam Seminar Nasional Magnet2009, 11
November 2009.
21. Ramprecht, J.,Sjoberg,D., Biased Magnetic Materials in RAM Applications, Progress
In Electromagnetics Research, PIER 75,2007,85-117
22. Vandenplas, Controlled Magnetic Nuclear Fusion, www.kbr.be/~capas/Propos/
Controlled_Fusion.pdf
23. http://www-fusion-magnetique.cea.fr/gb/accueil/ index.htm
24. Garabedian, P.R., McFadden, G.B., Design of the DEMO Fusion Reactor Following
ITER, J. Res. Natl. Inst. Stand. Technol. 114(2009) 229-236
25. Salisbury, W.W., Scottsdale, Ariz, Magnetic Confinement Nuclear Energy Generator,
US Patent, Number 4,618,470. 1987
26. www.phys.washington.edu/users/sharpe/486/pasko_f.pdf
27. Eric Drexler and Chris Peterson, Unbounding the Future : the Nanotechnology
Revolution, William Morrow and Company, Inc, New York, 1991
28. Minoru Ueda,et al., Int. J. Mol. Sci. (2001),2, 156-164
29. http://scienceworld.wolfram.com/biography/Copernicus.htm
30. http://en.wikipedia.org/wiki/Henri_Poincar%C3%A9
31. http://en.wikipedia.org/wiki/Algebra
32. www.physorg. com/news11433.html
33. Ridwan, Akmal Johan, Mujamilah dan Wisnu AA., Efek High Energy Milling
Terhadap Koersivitas Magnet Intrinsik BaO.6Fe2O
3, Jurnal Sains Materi
Indonesia,volume 7, No. 1, Oktober 2005, hal 37-41
34. Jiles, D.C., and Atherton,D.L., J. Magn.Magn.Mater. 61, 48 (1986)
35. Ridwan, Mujamilah, Johan,A.,The Semi-quantitative Study of Magnetization Process
on Milling and Reannealing of Barium Hexaferrite (BaO.6Fe2O
3), Atom Indonesia
Vol. 35, No.2(2009)105-113
36. Stephan Hartmann and Jurgen Mittelstraβ,Physics-Physics Research : Topics,
Significance and Prospects, (2002), 195-198
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
17
RESEARCH ON ANALYTICAL STUDY FOR LOW BETA AND ISOTHERMAL CORONAL MAGNETIC ARCADE TO
PROVIDE INITIAL MHD SIMULATION IN LAPAN WATUKOSEK 2010:
WARNINGS TO HELMET STREAMER FORMATION
Bambang Setiahadi Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)
Watukosek, Gempol P.O. Box 04, Pasuruan 67155 Fax: 0343-851-887. Tel: 0343-851-569
e-mail: [email protected]
Abstract. Analytical algebraic solution is innovated by assuming isothermal solar coronal environment. The magnetohydrostatic balance is entered to the physical differential equation that rely on the plasma pressure gradient and the magnetic Lorentz force in equally balance each other. The solution approaches the solar coronal helmet streamer structure in low height corona. This solution may provide further study for dynamical solar corona and solar activity warnings. Keywords: Analytical expressions, low beta isothermal corona, helmet streamer I. Introduction
The solar corona has physical characteristic such that the magnetic topology and
plasma dynamics meets ideal interactions. This physical situation is kept by high
temperature so that material existing in the corona is only sub-atomic structure inhibited by
protons and electrons. High temperature and sub-atomic material makes the solar corona
behaves as perfect conductor that it is impossible to construct in ground-based laboratory.
Analytical study of solar coronal magnetic field topology is important since this
study provides analytical initial condition for a magnetohydrodynamics numerical
computer simulation (see e.g. Setiahadi, 2005, 2009d) An initial condition of an assumed
initial solar coronal magnetic topology has to be assigned correctly before any coronal
model disturbance is applied in a magnetostatic initial topology.
This paper is not addressed for extensive numerical study; instead it is directed to
discuss analytical efforts to have some algebraic expressions for assumed solar coronal
environment before any eruption may occur in a coronal magnetic topology. Even though,
signs of evolution towards non-equilibrium are also considered as an analytical guide-line
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
18
to any possibilities that a coronal magnetic topology may become lost the magnetostatic
equilibrium.
II. Magnetohydrostatic Balance
A magnetohydrostatic environment in solar corona may be constructed from an
equation of magnetohydrodynamics when all dynamical forces are in balanced, or
definitively the equation of magnetohydrodynamic momentum transfer attains zero
condition (see e.g. Setiahadi, 2007) is expressed below,
0)(. 2
GBBPVVVtV (2.1)
Where all symbols in equation (2.1) has their usual standard meanings in
mathematical physic texts. The equation becomes essentially an equation of
magnetohydrostatic differential equation as written below
0)(2
GBBPV (2.2)
Further assumption by considering the magnetostatic solar coronal environment for
a relatively low solar corona, one may ignore the first term in equation (2.2) as follow,
02
V , (2.3)
Since by our assumption, in magnetohydrostatic coronal environment the velocity
vector of plasma motions is approximately zero every where in space under our
consideration.
The next assumption we consider is a relatively low solar coronal height may
further ignore the gravitational stratification in the magnetohydrostatic differential
equation, such that equation (2.3) becomes
0)(
BBP (2.4)
Since the last term of equation (2.2) is approximately zero. The over all structure of
the solar coronal may be represented by magnetohydrostatic balance differential equation
as expressed below,
BBP )( (2.5)
or it may be manipulated to attain the expression below,
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
19
BBBBP ..
21 (2.6)
The situation may further simplified by assuming that the coronal structure under
consideration is in isothermal magnetohydrostatic balance, since from ideal gas relation we
have
TP (2.7)
In isothermal solar coronal situation the temperature is assumed constant
everywhere and takes its values to the solar coronal ambient temperature 6102 Kelvin
(or K0 ). So that in a constant temperature one may still have algebraic solutions with
variation on P and in a way that the temperature is kept constant as /PT .
III. Low Beta Corona
Consider next a potential and unsheared arcade evolving in response to changes in
the magnetic flux F , the ambient base pressure 0eP , the ambient temperature eT , and the
footpoint positions of magnetic field lines, as sketched in Figure 1 in the left side. The
magnetic arcade is, in general, in equilibrium under a balance between Lorentz and
pressure forces due to equation (2.5), and has magnetic field components (see e.g.
Setiahadi, 2009a),
)(,,),,( ABxA
yABBB zzyx (3.1)
Which are independent of the coordinate z along the arcade axis, so that equation
(2.5) reduces to the form (e g., Low 1981)
)()(21 22 APAB
dAdA z (3.2)
The familiar solution is
(3.3)
ly
y lxeBB sin0 (3.4)
lyx lxeBB cos0
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
20
where
lylxel
BA cos0 (3.5)
The arcade is assumed to be bounded by the magnetic flux surface 0AA , which
meets the base ( 0y ) at 0xx such that
lBAlx
0
00cos (3.6)
The arcade is contained by an ambient isothermal medium with a plasma pressure Hy
e ePP /0
(3.7)
Where
GT
GPH e
(3.8)
is the scale height.
Total pressure balance, the plasma pressure plus magnetic pressure at the interface
( 0AA ) gives
lyHye eBeP 22
0/
0 21 (3.9)
So that
Hl /12 (3.10)
And
200 2
1 BPe (3.11)
For this model the maximum arcade width that is possible is
Hl
x 22 0 (3.12)
Or roughly 6 times the external coronal scale height. Adopting a temperature of 106
K, gives a scale height of 50,000km and a maximum arcade width of 300,000 km .
The height ( 0y ) of the arcade is given by putting 0x x = 0 in equation (3.3) by
000
lyel
BA (3.13)
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
21
Or, using equations (3.6) and (3.10) to eliminate 0A and l
H
xe Hy
2cos 0)2/(0 (3.14)
Thus, as 0x increases from 0 to H , the arcade’s height ( 0y )increases from zero to
infinity. We may also inspect the magnetic flux F through the arcade’s base as adopted
below
0
00
00
sinx
Al
BlxdxBF
(3.15)
Or after using equation (3.6) and (3.10) to eliminate 0A and l , we have
0
0
21
2cos
HBF
Hx
(3.16)
Equation (3.16) determines the arcade height and width evolution by three
parameters. First is the magnetic flux-growth F on the base. Second is the external base
pressure 202
10 BPe . Third is the coronal scale-height H .
IV. Evolution Toward Eruption
Suppose that 0eP and H are held constant, while F and the foot point, and
therefore 0x change in such a way that the arcade evolves through a series of equilibriums
of the above form. Then, as F increases from 0 to 02HB , so 0x increases from 0 to H ,
while the arcade height 0y increases from 0 to infinity (see figure 1). Thus, there is a
maximum possible flux 02HBF at which the arcade has erupted to infinity.
A second possibility is to keep H and F fixed, while changing 0eP and 0x . As the
external pressure 0eP decreases from infinity to 220 8/ HFPe ,so 0B decreases from
infinity to HF 2/ , while 0x increases from 0 to H and the arcade height 0y increases
from 0 to infinity. In this case a minimum critical external pressure makes the arcade erupt
to infinity.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
22
A third possibility is to keep 0B and F fixed, but to change the external temperature
eT , and therefore scale height H together with 0x . For large values of H , 0x approaches
infinity like 2/10 )/4( BFH , whereas for H close to 02/ BF , 0x approaches 02/ BF with a
slope of )2( . As H decreases from infinity to 02/ BF , so 0x decreases to 02/ BF and
0y increases from 0 to infinity. Thus, if the external temperature is low enough the arcade
erupts to infinity.
Figure 1: The solar coronal magnetic arcade model in balance and isothermal
environment. The left hand side is the magnetic arcade in potential balance and the right
hand is in magnetohydrostatic balance.
V. Discussions
It is obvious that a solar coronal structure may evolve from initially potential un-
disturbed to a situation that equilibrium may not be attained. Even this study is not
addressed to the evolution approaches the instability condition, but we still arrived natural
situation that instability and eruption may at least will enter the model.
From the solar observation it is obvious that the solar coronal can not be considered
as in magnetostatic for relatively longer time scale. The solar corona is slowly ever
expanding magnetic structure and plasma flow into its surrounding the interplanetary
space.
The structure we have derived may serve as initial and boundary condition for a full
magnetohydrodynamics computer simulation implemented to follow highly non-linear
evolution of solar coronal magnetic structure that erupted due to some model of
disturbance applied in it.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
23
The helmet streamer structure before an escaping of a solar coronal mass ejection
has a magnetic structure similar to the solution in this work as long as the structure is still
low in the corona (see e.g. Setiahadi, 2009b,c). The structure evolves to a cusp type
streamer as slowly growing up and enter higher coronal layer. Warnings to this structure
when entering higher corona is worth since this is the sign of a launch of extensive solar
coronal mass ejection.
References
Low, B.C. (1981), Astronomical Journal, 251, p. 352.
Setiahadi, B. (2005), Simulasi Pembentukan Struktur Helmet Streamer di Lapisan Korona
Matahari, Seminar Nasional Matematika dan Informatika, Universitas Sebelas
Maret Surakarta, p. 337.
Setiahadi, B. (2007), Magnetohydrostatic and Magnetohydrodynamic Structure of
Magnetic Arcade to Study the Solar Coronal Helmet Streamer, SNASTI, p. 214
Setiahadi, B. (2009a), Coronal Magnetic Arcade Dis-Equilibrium as The Cause of Solar
Coronal Mass Ejection, UNPAR, p. 118.
Setiahadi, B. (2009b), Magnetic Topology Dynamics During Solar Flares as Observed at
LAPAN Watukosek, UNPAR, p. 123.
Setiahadi, B. (2009c), Cavity-Produced Acceleration by Magnetic Arcade Eruption on
Two-Ribbon Flare Studied at LAPAN Watukosek 2009, UKSW, p. 182.
Setiahadi, B. (2009d), Numerical Scheme for Non-Linear and Non-LTE MHD
Solar Physics and Astrophysics developed at LAPAN Watukosek 2009, UKSW, p.
189.
Tanya Jawab
Nirva Diana, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Ketika bumi mengalami kenaikan suhu (pemanasan global) maka matahari akan
mengalami perubahan. Perubahan apa yang terjadi?
? Bumi memiliki pelindung (medan magnet) tetapi meengapa benda – benda langit
(meteor) bisa menembus bumi?
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
24
Bambang Setiahadi, LAPAN
@ Pemanasan global terjadi karena pelepasan gas rumah kaca (contoh CO2) berlangsung
secara perlahan. Jika berlangsung terus akan terjadi pencairan es di kutub utara
ataupun selatan yang mengakibatkan naiknya muka laut. Efek siklus musim kemarau
atau hujan karena sudut jatuh sinar matahari terhadap bumi.
@ Medan magnet bumi menahan atau menangkis elektron dari matahari. Benda padat
atau meteor tidak dapat ditahan oleh medan magnet bumi.
Teguh Budi Prasetyo, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Bapak tadi makalahnya mengenai matahari. Bagaimana tentang gejala badai matahari
di tahun 2012?
Bambang Setiahadi, LAPAN
@ Badai Matahari melepaskan elektron dan medan magnet. Medan magnet bumi
mempunyai kemampuan menahan Badai Matahari. Tahun 2012 tidak memberikan
efek terhadap kehidupan kita di permukaan bumi.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
25
ANALYSIS OF LARGE MAGNETIC STORMS ASSOCIATED TO SHOCKS IN
SOLAR WIND
L. Muhammad Musafar K.
Division of Applied Geomagnetism and Space Electromagnetism, National Institute of
Aeronautics and Space (LAPAN), Jl. Dr. Djundjunan No. 133, Bandung, 40173
email: [email protected]
Abstract. Magnetic storm is classified into large, intermediate and small storm where it is related with magnitude of Dst (Disturbance Storm Time). This paper describes analysis on three large magnetic storms on April, August and September, 2000 and their relation with shock waves in the interplanetary space. The shock waves were identified by using data of solar wind plasma and interplanetary magnetic field recorded by ACE (Advanced Satellite Explorer) satellite. We observed that duration of expansion phase of magnetic storm depend on duration of southward turning of interplanetary magnetic field and magnitude of a storm maybe depend on shock type of solar wind and energy of particle that injected into Earth’s magnetosphere during the magnetic storm.
Keywords: magnetic storm, interplanetary shock, solar wind, Dst index
I. Introduction
Magnetic storm is a manifestation of ring current growth where the ring current is a
largest magnetic disturbance in Earth’s magnetosphere current system. According to its
strength magnetic storm is classified into small, intermediate and large storm. Strength of
the storm could be measured by using Dst (Disturbance Storm Time) index where the
index were derived from averaging of global magnetic field observed by ground-based
stations that uniform distributed at mid and low latitude. Large, intermediate and small
magnetic storm can be identified according to magnitude of Dst index in the range
between 30 < Dst <50 nT, 50 < Dst <100 nT and > 100 nT, respectively.
Time evolution of a magnetic storm is divided into 3 phases: initial, main and
recovery phase. Initial phase is a period when the storm is initiated until the Dst value
decreased monotonically. Main phase starts at the end of initial phase until the Dst index
reached its minimum value and recovery phase is started when Dst reached it minimum
value until Dst back to its initial value before the storm.
According to its initiation type magnetic storms are distinguished into gradual and
commencement storm. A gradual storm is a storm that associated with high speed
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
26
recurrent stream solar wind that origin of coronal hole. While commencement storm is
usually initiated by a storm sudden commencement that associated with solar transient
phenomena such as solar flares that accompanied by coronal mass ejection (CME) and/or
shock in the solar wind. In this paper we analyzed large commencement storm with
magnitude of Dst index larger that 150 nT. Analysis is performed by looking at solar wind
plasma and direction of interplanetary magnetic recorded by ACE (Advanced Satellite
Explorer).
II. Observational Data
To analyzed magnetic storms that associated with shock in the solar wind the Dst
index has been used to identify occurrence of the storms. We selected magnetic storm with
magnitude of Dst index larger that 150 nT during January to December, 2000. Four
magnetic storm has been identified with magnitude larger that 150 nT where the storms
were occurred on April, August and September, 2000. The storm events were selected
according to whether data of solar wind plasma and interplanetary magnetic field recorded
by ACE satellite or not. We only analyzed the large storms if the ACE data of all
parameters of solar wind are available.
Figure 1: Dst Index on April 2000 where red-line represents zero level of Dst index.
Figure 2: Dst Index on August, 2000 where red-line represents zero level of Dst index.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
27
First magnetic storm, is shown in Figure 1, was identified on April 2000. This storm
was initiated by a sudden commencement with magnitude -6 nT at 16:00 UT on 6 April,
2000. Its main phase also was starting at the sudden commencement and the storm reached
its minimum value of Dst is -288 nT at 00:00 UT on 7 April, 2000. Second storm, is
shown in Figure 2 identified on August, 2000. The storm was initiated by sudden
commencement with magnitude -46 nT at 00:00 UT on 12 August, 2000. The minimum
Dst of the storm is -235 nT at 09:00 UT on 12 August, 2000 and the end of its recovery
phase at 00:00 UT on 15 August, 2000. The last storm, is shown in Figure 3, was identified
on September 2000. It is initiated by sudden commencement with magnitude 28 nT at
19:00 UT on 17 September, 2000, reached it minimum -193 nT of Dst at 00:00 UT on 18
September 2000 and the storm end at 00:00 UT on 22 September, 2000.
Figure 3: Dst Index on September, 2000 where red-line represents zero level of Dst index.
III. Analyses and Discussion
First we summarized information which associated to the storms mentioned above
as follow :
Storm SSC (nT) Min. Dst Duration (Hours)
April, 2000 -6 -288 8
August, 2000 -46 -235 9
September, 2000 28 -193 4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
28
Figure 4: Interplanetary magnetic field on 6 April, 2000
The sudden commencement of the first storm was associated with shock of solar
wind at 16:00 UT as shown in Figure 4 and 5. The shock of solar wind plasma was
identified as fast-shock (Musafar, L. M., 2010a; Musafar, L. M., 2010b). The
interplanetary of magnetic field orientation during expansion phase of the storm are in
southward during 16:00 to 23:30 UT on 6 April 2000. This means that reconnection
between interplanetary magnetic field and magnetosphere was effective during in the
period where high speed and energetic of solar wind was injected into the Earth’s
magnetosphere.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
29
Figure 5: Plasma parameters of solar wind on 6 April, 2000
Second storm was associated with two shocks in the solar wind at 01:30 and 04:50
UT on 12 August 2000, as shown in Figure. The first shock is called as fast shock where it
is characterized with increasing of temperature, velocity and magnetic field but decreasing
of density of proton. While, second shock is a slow-shock where all parameters of solar
wind plasma were decreased except interplanetary magnetic field. After the first shock the
Bz component of interplanetary magnetic field were in southward direction as well as after
the second shock. Long duration of southward interplanetary magnetic field support for
entry of amount high energy particles injected into magnetosphere then caused ring current
to grow. The development of magnetic storm also supported by interplanetary coronal
mass ejection (ICME) that reach Earth’s magnetic field after the second shock. The ICME
was characterized by low temperature of proton after the second shock during 05:10 to
24:00 UT on 12 August, 2000. The presence of this ICME and longer duration of Bz in
southward could be a reason why the storm on August was longer than on April, 2000
even magnitude of Dst on April larger that on August, 2000.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
30
Figure 6: Interplanetary magnetic field on 12 August, 2000.
Figure 7: Plasma parameters of solar wind on 12 August, 2000.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
31
Figure 8: Interplanetary magnetic field on 17 September, 2000.
Figure 9: Plasma parameters of solar wind on 17 September, 2000.
The third storm was initiated by fast shock of solar wind where all parameters of
plasma were increased, as shown in Figure 8 and 9. After the shock, Bz component of
interplanetary magnetic field were in southward direction during 19:00 to 21:30 UT on 17
September, 2000 or in other word the main phase of third storm associated with southward
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
32
turning of Bz-component of interplanetary magnetic field during about 2h:30min. This
caused duration of expansion phase of the magnetic storm about 4 hours.
By comparing duration of southward turning of Bz-component that associated to the
magnetic storms, the storm on August associated with longest duration of southward and
storm on September associated with shortest duration of southward orientation of
interplanetary magnetic field. This is the reason why the third storm has smallest
magnitude of Dst between the storms. Why the first storm has magnitude larger than
second storm even its southward orientation of interplanetary magnetic field shorter than
second storm? This maybe associated with the type of shock that initiated of the storm, as
well as the particles of solar wind plasma that associated with the first storm were more
energetic than that associated with the second storm. As shown in Figure 5 for storm on
April and in Figure 7 for storm on August, 2000 the proton temperature that associated
with first storm were higher that second storm, as well as their density as shown in Figure
6 and 8 for storm on April and August, respectively.
IV. Concluding Remarks
Three magnetic storms that occurred on April, August and September, 2000 has
been analyzed. The storm (i) on April with magnitude -288 nT was initiated by fast shock
with duration expansion phase about 8 hours, (ii) on August with magnitude -235 nT was
initiated by fast shock then followed by slow shock and its expansion phase during 9 hours
and (iii) on September, 2000 with magnitude -193 nT was initiated by fast shock and its
expansion phase during 4 hours. Duration of expansion phase of the storms were depend to
how long Bz-component of interplanetary magnetic field turning into southward and
magnitude of storm depend on the energy of solar wind that injected into Earth’s
magnetosphere.
References
Musafar, L. M., 2010a, Methods for Identifying Discontinuity and Shock Wave in the
Solar Wind, Seminar Nasional HFI, Universitas Diponegoro, Semarang, 10 April
2010.
Musafar, L. M., 2010b, Awan Magnetic Tanggal 6-10 April 2000 dan Pengaruhnya
terhadap Medan Magnet Bumi, Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Sains,
Universitas Sebelas Maret, 8 Juni 2010.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
33
Tanya Jawab
Teguh Budi Prasetyo, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Apakah siklus badai matahari mempunyai rentang waktu dan apakah posisi matahari
berpengaruh dalam peristiwa badai matahari itu sendiri.
L. Muhammad Musafar K, LAPAN
@ Badai magnet dibedakan menjadi dua yaitu badai Gradual dan badai Commencement.
Badai Gradual terjadi karena pengaruh partikel matahari yang berasal dari lubang
korona. Badai ini terjadi dengan periodisitas tertentu mengikuti pola rotasi dan siklus
matahari sedangkan badai Commencement terjadi karena peristiwa transien di
matahari seperti lontaran massa korona. Badai Gradual umumnya memiliki kekuatan
kecil.
Purnomo Hadi Santoso – UAD
? Bagaimanakah goncangan dari badai matahari bergantung pada berbagai panjang
gelombang dan berbagai kaitannya dengan terjadinya gempa dan akan bagaimana
kerja ataupun keadaan magnetnya.
L. Muhammad Musafar K, LAPAN
@ Badai matahari menghasilkan atau melontarkan partikel bermuatan energi tinggi yang
bergerak dengan kelajuan tinggi dan membawa medan magnet kuat. Ketika partikel
tersebut menuju ruang antar planet dan bertemu dengan aliran berkelajuan rendah
maka terjadi shock. Hingga saat ini belum terpikirkan gagasan untuk menyelidiki
hitungan peristiwa shock dan gempa bumi. Angin Surya menyebabkan aliran arus
listrik di lingkungan bumi, tetapi terlalu kecil atau lemah untuk menggerakkan
lempeng bumi.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
34
EFFECTS OF FAST FORWARD SHOCKS TO THE LOW LATITUDE
MAGNETIC FIELD VARIATIONS
L. Muhammad Musafar K.
Division of Applied Geomagnetism and Space Electromagnetism, National Institute of
Aeronautics and Space (LAPAN), Jl. Dr. Djundjunan No. 133, Bandung, 40173
email: [email protected]
Abstract. Fast forward shock is governed by conditions where all plasma parameter such as density and temperature of proton, speed of solar wind and interplanetary magnetic field have positive jump from downstream to upstream side of the shock. In this paper we analyzed effects of fast forward shock on 11 January, 2000 to the low-latitude magnetic field variations. We used solar wind plasma parameters and magnetic field recorded by ACE (Advanced Satellite Explorer) satellite and SYM-H index or magnetic field variation recorded by ground-based magnetometer at Biak (BIK) during 2000. We observed positive sudden impulse in the low latitude magnetic field variation that associated by the fast-forward shock.
Keywords: Fast-Forward Shock, Solar Wind, Magnetic Field, Positive Sudden Impulse
I. Introduction
The magnetopause is the boundary that separates the region of space where plasmas
are dominated by the Earth’s magnetic field (the magnetosphere) from the region where
the interplanetary magnetic field (IMF) predominates. This interface contains a current
sheet or the Chapman-Ferraro current (Nishida, 1978; Russell, 1990). The magnetopause
position is determined through a pressure balance. The solar wind dynamic pressure is
balanced by the geomagnetic field pressure at the magnetopause location.
Interplanetary shocks are observed as sudden variations in solar wind plasma and
magnetic fields. They occur when the relative difference between a fast solar wind stream
and the slow, background solar wind stream is higher than the solar wind
magnetohydrodynamics (MHD) characteristic speed – magnetosonic (Burgess, 1995;
Echer et al., 2003). When the disturbance has a larger velocity than the fast mode MHD
wave, a fast shock can be formed. Shock can be of the forward type, propagation away
from the Sun (Gosling et al., 1990; Burlaga, 1995). In this paper we will describe effect of
fast forward shock to Earth magnetic field by analyzing magnetic field variation recorded
by low-latitude magnetometer.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
35
II. Observational Data and Methods
Dalam studi ini digunakan data plasma angin surya dan medan magnet antar planet
hasil rekaman satelit ACE. Data plasma angin surya diukur dalam koordinat GSE meliputi
temperatur dan kerapatan plasma serta kecepatan proton. Instrumen SWEPAM yang
dipasang pada satelit ACE mengukur tiga komponen kecepatan yaitu dalam arah X, Y dan
Z. Sumbu X terletak pada garis penghubung matahari-Bumi, sumbu Y tegak lurus terhadap
sumbu-X dan terletak pada bidang ekliptik matahahari sedangkan sumbu-Z ortogonal
terhadap bidang ekliptik dan mengikuti aturan tangan-kanan, sebagaimana ditunjukkan
dalam Gambar 1.
Figure 1. Definition of the GSE (Geocentric Solar Ecliptic) coordinate system and the
angles theta and phi with respect to Sun and Earth
The interplanetary magnetic field is measured in nT with time resolution 1-second
and plasma parameters such as density, temperature and velocity are measured in number
of particle per cm3, Kelvin and km/second, respectively with time sampling 64-seconds.
We extracted 1-minute resolution of each parameter of solar wind plasma and
interplanetary magnetic field by averaging the data for 1-minute segment.
To analyzed the effect shock in the solar wind to the Earth’s magnetic field we also
used SYM-H data that represent magnetic field at mid-latitude as well as magnetic field
variation recorded by ground-based magnetometer at Biak station at low-latitude of
geomagnetic. The SYM-H has time-resolution 1-minute. Magnetic field recorded at Biak
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
36
with resolution 1-second, thus we extracted 1-minute data with same procedure as
described above.
III. Discussions
Shock in the solar wind plasma occurs when supersonic flow comes into subsonic
flow. Type of shock depends to changing of the plasma parameters from downstream to
upstream side of the shock (Musafar, 2010). Fast-forward shock in the plasma of solar
wind is governed by conditions where speed, density, temperature of plasma and its
magnetic field increased from downstream side and upstream side of the shock.
Figure 2. Fast-forward shock on 11 January, 2000 that observed from solar wind plasma
recorded by ACE.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
37
During 11 January, 2000 we observed condition of solar wind which appropriate for
fast-forward shock as shown in Figure 2. From top to bottom panels represent thermal
speed of particles, proton temperature, proton density and total magnetic field,
respectively. The data are plotted in the UT (Universal Time) during 13:00 to 15:00. On
13:38 UT as shown by red-vertical line in the figure we observed there are sharp
increasing of all solar wind parameters where it is associated to fast-forward shock as
mentioned above.
Post the shock of plasma position of ACE satellite in the GSE coordinate system is
(1513616.25, 189398.70, 60380.04) km where it is measured from center of the Earth. And
velocity of particle is (445.78964, -445.19843, -4.47019) km/second. The position of ACE
satellite is illustrated in Figure 3. By approximating that speed of particles or shock
propagation to the ground is linear we approximate its time propagation to reach the
ground about 56.3 minutes where the radius of Earth is taken 6700 km in the calculation.
Figure 3. Illustration of ACE Satellite position.
Figure 4. SYM-H index on 11 January, 2000
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
38
Figure 5. Magnetic field variation recorded at BIK stations on 11 January, 2000
From SYM-H index that associated with the fast-forward shock we observed an
increasing of magnetic field variation and then, it is called as positive sudden impulse at
14:26 UT as indicated by arrow in Figure 4. As well, in the low latitude the positive
sudden impulse were observed in H-component of magnetic field variation at BIK station
on 14:26 as indicated by arrow in Figure 5. The positive sudden impulse due to forward
shocks occurs as a result of the compressed magnetosphere and intensified magnetopause
current, which cause a positive variation in the magnetic field observed at ground level.
The delay time between fast-forward shock in solar wind and the positive sudden impulse
in SYM-H and magnetic field variation recorded at BIK station about 48 minutes. Thus,
difference between linear-approximation of shock propagation to the ground and delay
time of the shock to positive sudden impulse are about 8 minutes. This could be interpreted
that there was an acceleration of solar wind due to the fast-forward shock. This maybe be
associated to compression of Earth’s magnetosphere caused by the fast-forward shock.
IV. Concluding Remarks
We analyzed a fast-forward shock on 11 January, 2000 by using solar wind plasma
and magnetic field recorded by ACE satellite. An increasing in all parameters of solar
wind and interplanetary magnetic at upstream to downstream which associated to the
shock. Effect of fast-forward shock to the Earth magnetic field at the ground was observed
as positive sudden impulse at low-latitude magnetic field variation.
Time propagation of the shock from interplanetary space to ground that estimated
by using linear speed approximation is about 56.3 minutes. However, delay time between
the shock of solar wind in interplanetary space and time rise of sudden impulse that
recorded at low-latitude is about 48 minutes. This means that there was particles
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
39
acceleration associated with the fast-forward shock during compression of the Earth’s
magnetosphere.
Acknowledgment
I always acknowledge Prof. Kiyohumi Yumoto who setup ground-based magnetometer at
BIK stations. Also thanks to ACE Team and WDC Kyoto for data sharing.
REFERENCES
Burgess, D.,. Collisionless Shocks. In: Kivelson, M. G. & Russell, C. T. (Ed.).
Introduction to Space Physics. Cambridge, University Press, 129–163.
Burlaga, L. F., 1995, Interplanetary Magnetohydrodynamics, Oxford University
Press, New York. 250 pp.
Gosling, J. T., Bame, S. J., McComas D. J. & Phillips, J. L. 1990. Coronal mass
ejections and large geomagnetic storms, Geophys. Res. Lett., 17: 901–904.
Iyemori, T., Araki, T., Kamei, T. & Takeda, M, 1999, Mid-latitude geomagnetic
indices ASY and SYM. Data analysis center for geomagnetism and space
magnetism. Graduate School of Science, Kyoto University, October 19, 2005.
Nishida, A. A., 1978, Geomagnetic diagnosis of the Magnetosphere, Physics and
Chemistry in Space, V. 9, Springer-Verlag, New York. 256 pp.
Russell, C. T., 1990, The magnetopause, in AGU Geophysical Monograph, 58: 439–
453.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
40
EXTRACTION OF SUNSPOT GROUPS FROM THE SOHO FULL-DISK IMAGES
TO STUDY SUNSPOT ACTIVITY
Bachtiar Anwar
Division of Solar Physics and Space Environment
National Institutes of Aeronautic and Space (LAPAN)
E-mail: [email protected]
Abstract. Sunspot groups are intersection of magnetic flux tubes with the photosphere. The dark appearance of sunspot groups resembles a lower temperature compared to the surrounding photosphere. The magnetic field of sunspot groups is the source of energy which it is eventually released suddenly as an explosion at the Sun, namely flare or coronal mass ejection (CME). In order to study the evolution of sunspot group, a utility program has been developed using Interactive Data Language (IDL) to extract the sunspot groups automatically based on the SOHO/MDI observations. To achieve this task, Join USAF/NOAA Solar Region Summary is used to obtain the locations of sunspot groups in daily basis. Based on this position, the sequence of sunspot groups are extracted partially from the full-disk images taken by SOHO/MDI. The extraction methods are applied to active region NOAA 10242 during period of January 03 – 11, 2003. It is concluded that activity in NOAA 10242 was caused by magnetic flux emergence that formed Beta-Gamma magnetic type. No large flare was occurred as the size of active region was relatively small.
Key words: sunspot groups, magnetic field, solar flare, coronal mass ejection.
I. Introduction
Dark areas of the Sun or sunspots are intersection of magnetic flux tubes with the
photosphere. They are seen dark as their temperature (4800oK) lower than the surrounding
photosphere (5800oK). Sunspot groups store magnetic energy that eventually will be
released as an explosion namely solar flare. The solar flare suddenly emits an intense
electromagnetic radiation to interplanetary space and toward the Earth. A large flare may
disrupt satellite communication, HF communications using ionosphere and may damage
satellites in orbits [9, 10, 13]. Other solar event that may have great effects on the Earth’s
space environment is coronal mass ejection [1,2,3,4,5].
Sunspot group usually evolves from a single tiny black spot that will gradually
become a pair of sunspots with positive and negative polarities. The size of spots and the
number of spots in group will increase, with additional new spots in between or close to
main sunspots. The magnetic type may also change to a complex one such as ‘delta’
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
41
sunspot, where the positive and negative polarities are surrounding the same penumbra.
This is a most critical condition preferable to produce a major solar flare. After reaching
the peak, the sunspot group will gradually decay by decreasing the area and number of
spots, and finally the sunspot disappears.
This work aims to develop some routines in image processing to ease in data
analysis. The methods used are applied to active region NOAA 10242 to study its
evolution and flare occurrences. It is expected that this work will support and improve our
understanding on evolution of active region toward flare. Some flares may be accompanied
with a coronal mass ejection. It is important to know whether flares in NOAA 19242 were
related to CME events or not. CME is magnetized plasma that may threat technologies in
orbits and ground-based facilities as well as human life, understanding this event is very
important [6,7,8, 11,12].
Section 2 explains the observation data used in this work. Methods and data
processing are described in section 3, while the results and discussions are provided in
section 4. Finally, conclusions of this work are given in section 5.
II. Observation Data
The full-disk images from the Michelson Doppler Imager (MDI) aboard Solar and
Heliospheric Observatory (SOHO) are utilized in this work. The images represent the
condition of solar photosphere where dark regions (sunspot groups) can be recognized. To
study the activity of an active region, the images taken by the Extreme-ultraviolet Imaging
Telescope (EIT) are compared with the photospheric data. The activity level of the active
region can be studied from flares list compiled by NOAA. Example of SOHO/MDI
Continuum image and EIT195Å image is shown in Figure 1. The active region to be
extracted and studied its activity is NOAA 10242. The corresponding solar region map
constructed by Mees Solar Observatory based on Join USAF/NOAA solar region summary
is given in Figure 2. On January 03, 2003, the active region was evolved to magnetic type
‘Beta’.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
42
Figure 1. Comparison MDI Continuum (left) and EIT195Å (right) images to show active
region NOAA 10242 (box) in early stage of evolution.
III. Methods and Data Processing
In order to perform extraction of sunspots the following steps have been done:
1. Compile the SOHO/MDI Continuum images from SOHO web site.
2. Compile the data from Join USAF/NOAA observations on solar active regions.
3. Create IDL scripts to read active region summary and store to a structure variable.
4. Extract the date and time of observation and location of sunspot groups.
5. Based on this information, extract the sunspot groups from the first MDI Continuum
image.
6. For other MDI Continuum images taken on the same day, use the observation time to
shift location of active region to the West and extract the sunspot groups.
7. Analyze the activity of sunspot group by comparing the extracted sunspot groups,
corona images and flare occurrences.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
43
Figure 2. Active region map of January 03, 2003, generated by Mees Solar Observatory
based on Joint USAF/NOAA Solar Region Summary.
We have developed IDL scripts to process SOHO images as well as USAF/NOAA
Solar Region Summary. The IDL scripts are used to read MDI and EIT images in GIF or
JPEG format. The date and time of each image are extracted from the filename. Extraction
of sunspot groups from the full-disk MDI images is performed using information in solar
region summary of USAF/NOAA. The extraction of EIT images is conducted manually by
clicking at the center of sunspot group for each full disk images. The size of MDI and EIT
partial images is 128x128 pixels. The partial images are then displayed to study the
morphological changes in photosphere and corona to find its relationship with activity in
NOAA 10242.
IV. Results and Discussions
Active region NOAA 10242 appeared at the East solar limb on January 01, 2003.
Two days later, it was recognized as sunspot of magnetic type ‘Beta’. MDI images of the
active region extracted from the full-disk images are given in Figure 3. In the early stage of
evolution, the leading sunspot (West spot) of the main sunspot was larger than the trailing
(following) sunspot (East spot). Gradually, the following sunspot developed in area
comparable to the leading sunspot. There were magnetic flux emergences in between the
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
44
main sunspot. The sunspot evolved to Beta-Gamma on January 05-06 as there was
magnetic flux emergence at the southern region from the main sunspot. The active region
changed to Beta type again on January 07-08. In the following three days, the magnetic
type of NOAA 10242 changed to Beta-Gamma to indicate a more complex magnetic
configuration. The area of sunspot group was not greater than 400 of the solar hemisphere
or categorized as small sunspot group. As the sunspot represent intersection of magnetic
flux with the photosphere, the area of sunspot indicates the magnetic energy. Larger area
means larger magnetic energy.
Solar flare is a process of sudden release of magnetic energy into electromagnetic
radiation from radio to X ray or γ ray. Based on GOES observations of X ray flux, 17
flares from NOAA 10242 were B or C-class, indicating small flares (Table 2). The reason
is that the size of sunspot group was small and therefore its magnetic energy also small. A
complexity of magnetic configuration (Beta-Gamma) caused by magnetic flux emergence
in between or close to the main sunspots leads to triggering the magnetic flux of main
sunspot. Evolution of NOAA 10242 from January 03 – 11, 2003 is given in Table 1.
Example of evolution of NOAA 10242 in EUV is shown in Figures 4. These partial
images are extracted from the full-disk images of size 512x512 pixels. The EIT images
normally were taken more frequent than the MDI images. If an active region evolves
slowly as the case of NOAA 10242, there is no remarkable change in corona over the
active region during a short period of time. With a time cadence of 12 – 30 minutes
between EIT images, it is difficult to find the coronal changes in NOAA 10242. This is
supported by the fact that all flares that occurred in NOAA 10242 were small (B or C-
class).
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
45
Figure 3. Sequence of images showing evolution of active region NOAA 10242 based on
extraction of SOHO/MDI Continuum from January 3 at 00:52UT to January 6 at 18:28UT,
2003.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
46
Figure 4. Evolution of active region NOAA 10242 during six hours starting from January
05, 2003 at 14:36UT.
Table 1. Evolution of NOAA 10242 in daily basis from USAF/NOAA Solar Region
Summary.
Date Area McIntosh
Class Magnetic Type
2003-01-03 30 Cso Beta
2003-01-04 90 Dai Beta
2003-01-05 180 Dai Beta-Gamma
2003-01-06 190 Dai Beta-Gamma
2003-01-07 190 Dac Beta
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
47
2003-01-08 190 Dac Beta
2003-01-09 370 Dac Beta-Gamma
2003-01-10 370 Dac Beta-Gamma
2003-01-11 190 Dai Beta-Gamma
Table 2. Flare activities in NOAA 10242 from January 03 – 11, 2003.
V. Conclusions
We have described the methods to extract sunspot groups from the full-disk images
taken by SOHO spacecraft. The extracted partial images in Continuum and EUV
wavelengths were compared to find any relationship between magnetic configuration in
photosphere and the changes in corona based on EUV images. Combining with flare
occurrences based on GOES X ray flux, it is concluded that activity in NOAA 10242 was
caused by magnetic flux emergence to form Beta-Gamma magnetic type. The fact that no
large flare of M or X-class seems to be caused by the fact that the active region was never
to evolve to a larger sunspot group such as E or F type in optical class.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
48
ACKNOWLEDGEMENTS
Author acknowledges the use of SOHO data, USAF/NOAA solar region summary
and the flares list from GOES observations. This is a series of studies dedicated to
establish space early warning at LAPAN.
REFERENCES
1. Anwar, B. 2009h Identifying the Source Disturbance of Geomagnetic Storm, Digital
Information & System Conference (DISC), Maranatha Christian University, October
3, 2009, Bandung.
2. Anwar, B. 2009g The Response of Magnetosphere to Coronal Mass Ejection at the
West Solar Limb, SIPTEKGAN, LAPAN, October 11, 2009, Jakarta.
3. Anwar, B. 2009f Analyzing Coronal Mass Ejection of July 10, 2005 and Its Effect on
the Earth’s Magnetosphere, DISC 2009, Maranatha Christian University, October 3,
Bandung.
4. Anwar, B. 2009d Determination of Final Speed of Coronal Mass Ejection, Proc.
National Seminar in Mathematics, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Surabaya State University (UNESA), June 20, 2009, Surabaya.
5. Anwar, B. 2009c Identifying the Source Region of Coronal Mass Ejection, Proc.
National Seminar in Mathematics and Natural Sciences, Faculty of Mathematics and
Natural Sciences, Satyawacana Christian University (UKSW), June 13, 2009,
Salatiga.
6. Anwar, B. 2009b Automatic Detection of Coronal Mass Ejection, Proc. National
Seminar in Mathematics and Natural Sciences, Faculty of Mathematics and Natural
Sciences, May 16, 2009, Yogyakarta State University, Yogyakarta.
7. Anwar, B. 2009a Monitoring the Sun for Space Weather, Proc. National Seminar in
Education Mathematics (LSM XVII), April 4, 2009, Faculty of Mathematics and
Natural Sciences, Yogyakarta State University.
8. Anwar, B. 2008 Development of Database System for Space Early Warning, Proc.
National Seminar in Science and Technology II, 17-18 November 2008, Lampung
University, p.18.
9. Bothmer, V. and Daglis, I.A. Space Weather, Physics and Effects, Springer-Praxis
Publishing, 2007.
10. Lanzerotti, L.J. Space Weather Effects on Technologies, in “Space Weather”, Song,
P., Singer, H.J. and Siscoe, G.L. (Eds), Geophysical monograph, 125, 2001, p.11.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
49
11. Setiahadi, B. Problems of Equilibria and Instabilities on Solar Coronal Magnetic
Fields and Its Evolution Towards Energetic Energy Liberation: Effect to
Interplanetary Space, Proc. National Seminar in Mathematics, FMIPA UNDIP, 2005,
E1., p.1.
12. Setiahadi, B., Sakurai, T., Miyazaki, H., and Hiei, E. Research on
Magnetohydrodynamic Transport Phenomena in Solar-Terrestrial Space at LAPAN
Watukosek 2006, Proc. National Seminar in Space Science III, 2006, p. 17.
13. Singer, H.J., Heckman, G.R. and Hirman, J.W. Space Weather Forecasting: A Grand
Challenge in “Space Weather”, Song, P., Singer, H.J. and Siscoe, G.L. (Eds),
Geophysical monograph, 125, 2001, p.11
Tanya Jawab
Dwi Wahyu B., Pend. Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Apakah ada dampak buruk yang terjadi dengan adanya sunspot pada matahari untuk
bumi ataupun untuk alam semesta, sebut dan jelaskan!
Bachtiar Anwar, LAPAN :
@ Dampak adanya sunspot yang melepaskan ledakan atau lontaran massa korona adalah
pada teknologi-teknologi di antariksa (satelit) dan teknologi di permukaan bumi
seperti jaringan listrik di kutub-kutub bumi. Dampak ke manusia tidak secara
langsung, misal alat komunikasi terganggu, navigasi pesawat terbang yang melintas
dekat kutub. Dampak untuk alam semesta tidak ada.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
50
STUDI ANALITIK DAN KOMPUTASIONAL KESEGARISAN BENDA-BENDA
TATA SURYA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONDISI FISIS BUMI
Rina Dewi Mayasari1, Ibnu Jihad1, Rafika Sari1,M. Irsyad Ismi2, Irkham Huda3, M.F.
Rosyid4
1 Program Studi Fisika, Jurusan Fisika, FMIPA, UGM
2 Program Studi Matematika, Jurusan Fisika, FMIPA, UGM
3 Program Studi Ilmu Komputer, Jurusan Fisika, FMIPA, UGM
4Kelompok Penelitian Kosmologi, Astrofisika, dan Fisika Matematik, Jurusan Fisika, FMIPA,
UGM
Intisari. Makalah ini membahas kesegarisan benda-benda tata surya. Pembahasan dibedakan atas dua hal, yaitu waktu terjadinya kesegarisan dan pengaruh kesegarisan terhadap kondisi fisis Bumi. Kesegarisan benda-benda tata surya diartikan secara sederhana ketika benda-benda tata surya mengelilingi pusat massa di dalam inti Matahari berada pada posisi segaris membentuk suatu barisan planet. Kesegarisan ini terbagi menjadi dua kondisi, yaitu kesegarisan kuat dan kesegarisan lemah. Dengan tinjauan masalah dua benda, sistem orbit tiap planet mengedari Matahari di tata surya identik dengan sistem orbit Bumi mengedari Matahari. Sistem orbit tiap planet dapat dinyatakan dalam enam unsur orbit Kepleran yang berupa A, e, i, ω, Ω, T. Orbit-orbit planet dinyatakan dengan persamaan Kepler untuk mendapatkan nilai yang akan menentukan posisi planet sebenarnya. Persamaan tersebut dikomputasikan dalam suatu program simulasi grafik sudut vs waktu t dan simulasi gerak tiga dimensi planet mengedari Matahari. Pengaruh kesegarisan ditinjau dalam tiga hal, yaitu pergeseran pusat massa, pasang surut air laut dan medan magnet. Batasan tinjauan efek ini adalah saat kesegarisan berada pada posisi kesegarisan kuat.
Kata Kunci: kesegarisan, tata surya, persamaan Kepler
Analytical and Computational Study of Planets Alignment and its Effects on Earth
Abstract. This paper discusses the alignment of the planets of our solar system. There are three problems which are solved in this work, i.e. the possibility of the alignments, the time of the alignments and the effects of the alignments on Earth. An alignment of the planets of our solar system is defined simply as the configuration of our solar system in which the eight planets and the sun are in a same plane perpendicular to ecliptical plane. More rigorously, there are two kind of alignment of the planets of our solar system, namely strict or strong alignment and weak alignment. With reviews of the two-body problem, in solar system, the orbit of each planet around the Sun is identical to the earth’s orbit around the Sun. The orbit of each planetary system can be expressed in six Keplerian orbital elements: A, e, i, ω, Ω, T. Planetary orbits are expressed with Kepler equation to get the value that would determine the actual position of the planet. The equations were computed in a graphical simulation programs, with the axes of the graph is the angle vs
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
51
time t and three-dimensional simulation of planetary motion around the Sun. The effects of the alignment are studied in three cases, the shifting of the center of mass of our solar system, the tide of sea level and the magnetic field effect.
Keywords: alignment, the solar system, Kepler's equations I. Pendahuluan
Tata surya kita, dengan sejumlah planet dan satelitnya, meteor serta benda langit
lainnya, saling berinteraksi satu dengan yang lain. Masing-masing mempunyai perilaku
yang berbeda-beda, namun saling melengkapi membentuk tatanan yang harmonis dan
seimbang sehingga tatanan yang ada saat ini tetap bertahan dan diperkiraan akan terus
bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama.
Masing-masing unsur dalam tata surya mempunyai keteraturan yang serasi dan saling
memengaruhi. Keteraturan satu planet berbeda dari keteraturan planet lainnya. Planet
Jupiter misalnya, mempunyai jarak orbit yang berbeda dari bumi dan juga memiliki kala
revolusi dan rotasi yang berbeda. Hal ini berlaku pula untuk ketujuh planet lainnya,
masing-masing saling berinteraksi dan kesemuanya berinteraksi dengan Matahari
membentuk yang kita sebut tata surya.
Sejauh ini, penelitian mengenai posisi kesegarisan benda-benda di tata surya belum
menjadi fokus para ilmuwan. Penelitian tersebut hanya sebatas kapan terjadinya gejala
kesegarisan planet-planet yang sudah terjadi di masa lalu dan asumsi-asumsi akan dampak
yang akan terjadi di Bumi. Karena alasan tersebut, makalah ini menjelaskan tentang posisi
kesegarisan benda-benda di tata surya untuk mendapatkan fakta ilmiah mengenai gejala
kesegarisan planet, prediksi waktu terjadinya dan bagaimana dampaknya terhadap keadaan
fisis Bumi kita.
Kesegarisan itu sendiri memiliki pengertian bahwa planet-planet dan benda tata surya
lainnya berada pada posisi segaris dengan pusat massa. Kesegarisan dibagi atas dua
kondisi, yaitu kesegarisan kuat dan kesegarisan lemah. Dalam menentukan posisi
kesegarisan benda-benda tata surya, acuan yang dipakai adalah besarnya sudut , yaitu
sudut antara posisi planet dengan garis radial dari Matahari yang melalui Bumi sebagai
acuannya. Kesegarisan benda-benda tata surya dikatakan kuat saat sudut n ,
sedangkan kesegarisan lemah terjadi saat posisi benda-benda tata surya berada pada daerah
toleransi yang dibatasi oleh daerah yang masih terpengaruh oleh efek2 kesegarisan
yang ditinjau.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
52
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan waktu terjadinya kesegarisan benda-
benda tata surya melalui grafik dan simulasi tiga dimensi. Selain itu, peninjauan pengaruh
kesegarisan benda-benda tata surya diberikan dengan hasil perhitungan yang dikaji secara
ilmiah. Batasan penelitian ini adalah kesegarisan kuat (strong / strict alignment), karena
untuk mencari pengaruh kesegarisan lemah akan lebih mudah ketika pengaruh kesegarisan
kuat telah diketahui.
II. Kajian Analitik
II.1. Anomali Rata-rata dan Persamaan Kepler
Gambar 3. Penurunan persamaan Kepler [Karttunen, 2007]
Anomali rata-rata (M) didefinisikan sebagai sudut antara perihelion dan vektor
posisi, dengan asumsi bahwa planet bergerak dengan kecepatan sudut tetap. Persamaan
anomali rata-rata dituliskan sebagai :
)(2
tnP
tM (1)
dengan P adalah periode orbital planet dan n = 2π/P. Bilangan n disebut gerak rata-rata
atau kecepatan sudut rata-rata. Berdasarkan hukum kedua Kepler yang menyatakan bahwa
kecepatan luasan adalah tetap, maka luasan bagian bayangan pada Gambar.3 adalah :
Pt
abA
(2)
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
53
Luasan A juga dapat ditulis
)'luasan ( FFPabA (3)
)sin(21
)sin)((21)(
21
)' segitigaluasan 'bagian luasan (
EeEab
EaaeaEaab
FCPXCPab
Dua pernyataan ((2) dan (3)) luasan itu memberikan persamaan :
M 21)(
21)sin(
21 abtabn
PtabEeEabA
(4)
atau
MEeE sin (5)
Persamaan (5) dinamakan persamaan Kepler. Persamaan ini memberikan hubungan
antara anomaly eksentrik (E) dan anomaly rata-rata (M) yang bertambah secara tetap
terhadap waktu.
II.2. Penyelesaian Persamaan Kepler
Anomali rata-rata diperoleh dengan mudah karena langsung sebanding dengan
waktu. Anomali eksentrik (E) diselesaikan dari persamaan Kepler yang transeden. Hal ini
karena pada persamaan Kepler, tidak terdapat pernyataan posisi sebagai fungsi waktu.
Penyelesaian diperoleh secara numerik atau dihitung dengan deret. Namun, terdapat
metode sederhana untuk menyelesaikan persamaan Kepler, yaitu dengan iterasi
(komputasional).
Jika eksentrisitas sangat besar, maka anomali eksentrik (E) tidak berbeda dengan
anomali rata-rata, sehingga dapat dituliskan sebagai
xME
dengan x adalah koreksi yang kecil. Subsitusi persamaan ini ke persamaan Kepler
memberikan
MxMexM )sin( (6)
atau
)sin( xMex
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
54
Dengan menerapkan rumus penjumlahan sinus dan mengganti sin x dan cos x dengan suku
pertama deret Taylor ( 1cosdan sin xxx ), didapat
)cossinsin(cos xMxMex
dan
MeMexx sincos
Dari sini persamaan pertama dapat diselesaikan untuk x,
MeMex
cos1sin)1(
Subsitusi persamaan ini ke persamaan (6), dan merupakan pendekatan penyelesaian yang
lebih baik untuk x :
)sin( )1()2( xMex
Kemudian iterasi ini diteruskan sampai nilai-nilai x berurutan yang tidak berubah lebih
dari akurasi yang diperlukan. Seluruh algoritma dapat dijumlahkan sebagai berikut :
)sin(::
)sin()sin(
cos1sin
)1()(
)2()3(
)1()2(
)1(
nn xMex
xMexxMexMe
Mex
Iterasi ini dapat diakhiri ketika )1()( nxnx , dengan ε adalah akurasi yang
diperlukan. Akurasi secara absolut diperlukan untuk menyatakan sudut dalam radian.
Untuk eksentrisitas kecil, metode ini mengerucut (konvergen) sangat cepat.
II.3. Hasil Simulasi Perhitungan Komputasi
Perhitungan ini diselesaikan oleh metode komputasi dengan memasukkan data-data
astronomi sebagai berikut:
Tabel 1. Data Planet, jarak, waktu revolusi dan eksentrisitas
Planet Jarak planet ke
Matahari (AU)
Waktu revolusi
planet (hari) Eksentrisitas
merkurius 0,387 87,969 0,206
venus 0,723 224,701 0,0167
Bumi 1,000 365,256 0,01671
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
55
mars 1,524 686,980 0,093
jupiter 5,203 4332,590 0,048
saturnus 9,359 10746,940 0,05555
uranus 19,181 30685,400 0,04718
neptunus 30,058 60190,300 0,009
pluto 39,500 90465,000 0,2488
(Sumber: Karttunen, H. dkk, Fundamental Astronomy, p 499 (2007))
Tabel 2. Data Perihelion dan Apehelion Planet
Jarak (mega mil) Waktu Kejadian Selanjutnya Planet
Perihelion Apehelion Perihelion Apehelion
Merkurius 28.6 43.4 16 Oktober 1995 29 November 1995
Venus 66.8 67.7 11 Agustus 1995 1 Desember 1995
Bumi 91.4 94.5 21 Desember 1995 21 Juni 1996
Mars 128.4 154.9 19 Februari 1996 28 Januari 1997
Jupiter 460.3 507.2 5 Mei 1999 29 Maret 2005
Saturnus 837.6 936.2 26 Mei 2003 8 Februari 2018
Uranus 1699.0 1868.0 1 Maret 2050 17 April 2008
Neptunus 2771.0 2819.0 Maret 2030 Februari 2112
(Sumber: http://www.astronomycafe.net)
Perhitungan dimulai pada tanggal 19 Februaari 1996, yaitu pada saat planet Mars
berada pada posisi perihelion. Hasil kajian analitik dan komputasional ini kemudian
disimulasikan dalam grafik dan simulasi tiga dimensi untuk melihat waktu dan kondisi
peristiwa kesegarisan benda-benda tata surya. Berikut adalah hasilnya:
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
56
Gambar 3. Grafik simulasi kesegarisan empat planet dalam tata surya
(Merkurius, Venus, Bumi dan Mars)
Gambar 4. Simulasi 3D pergerakan planet dalam yang dimulai
pada tanggal 19 Februari 1996
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
57
Gambar 4. Simulasi 3D pergerakan planet luar yang dimulai
pada tanggal 19 Februari 1996
Melalui grafik dan simulasi tiga dimensi di atas, kita dapat menentukan waktu
terjadinya kesegarisan benda-benda tata surya. Simulasi keduanya akan berhenti secara
otomatis saat delapan planet dan Matahari berada dalam posisi satu garis. Selain itu,
simulasi ini juga telah dapat memerlihatkan waktu terjadinya kesegarisan benda-benda tata
surya dan posisi planet pada saat itu.
III. Pengaruh Kesegarisan Terhadap Kondisi Fisis Bumi
Pengaruh kesegarisan ditinjau dalam tiga hal, yaitu pergeseran pusat massa tata
surya, pasang surut air laut, dan medan magnet. Tiga hal tersebut yang memberikan
pengaruh terbesar di Bumi jika terjadi perubahan kondisi pada sistem tata surya. Batasan
pengkajian pengaruh kesegarisan ini adalah saat terjadi kesegarisan kuat. Pada posisi
kesegarisan kuat, benda-benda tata surya (khususnya Bumi) merasakan pengaruhnya
paling besar. Sehingga, dengan mengetahui pengaruh kesegarisan kuat, pengaruh yang
ditimbulkan oleh kesegarisan posisi lain akan lebih mudah dicari dan diprediksi.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
58
III.1. Pergeseran Pusat Massa
Pada kondisi normal, benda-benda tata surya mengelilingi pusat massa tata surya
yang terletak di dalam Matahari. Akibatnya, semua benda tata surya terlihat mengelilingi
Matahari dan bahkan Matahari pun berotasi karena mengelilingi pusat massanya. Pada saat
kondisi kesegarisan kuat terjadi pergeseran pusat massa ke kanan sejauh 1968758,52 km.
Angka tersebut diperoleh dengan memasukkan data-data planet berikut:
Tabel 3. Jarak dan massa planet
Planet Jarak Planet
dari Matahari (km)
Massa Planet
(kg)
Merkurius 57910000 3,00 x 1023
Venus 108200000 4,87 x 1024
Bumi 149600000 5,98 x 1027
Mars 227940000 6,42 x 1023
Jupiter 778330000 1,90 x 1027
Saturnus 1426940000 5,96 x 1026
Uranus 2870990000 8,69 x 1025
Neptunus 4497070000 1,02 x 1026
(Sumber: Karttunen, H. Dkk, Fundamental Astronomy (2007))
ke dalam persamaan pusat massa :
n
nn
n
nn
n
nn
mmmmzmzmzmzmz
mmmmymymymymy
mmmmxmxmxmxmx
......
......
......
321
332211
321
332211
321
332211
Jika nilai pergeseran pusat massa tata surya tersebut dibandingkan dengan jari-jari
Matahari (posisi awal pusat massa pada titik tengah Matahari) sebesar 695500,00 km,
maka pusat massa bergeser ke kanan sejauh tiga kali jari-jari Matahari. Hal ini akan
mengakibatkan adanya hentakan gerak orbital semua planet yang mengalami rekonfigurasi
orbit. Matahari yang awalnya terlihat hanya berputar mengelilingi porosnya akan berputar
mengelilingi pusat massa tata surya dan mempunyai garis edar sendiri. Jika Matahari
berputar mengelilingi pusat massa dan memiliki orbit sendiri, maka kekhawatiran yang
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
59
muncul adalah planet Merkurius tertabrak oleh Matahari. Jarak planet Merkurius ke
Matahari sejauh 57910000,00 km, sedangkan pergeseran pusat massa sejauh 1968758,52
km, maka dapat disimpulkan Matahari tidak akan menabrak Merkurius.
III.2. Pengaruh Pasang Surut
Sesuai dengan hukum Newton bahwa dua benda yang mempunyai massa dan jarak
akan saling tarik menarik satu sama lain, begitu juga dengan Bumi dan Bulan yang saling
mempengaruhi dengan gaya gravitasi masing-masing. Gravitasi Bulan lebih kecil daripada
gravitasi Bumi, yaitu sekitar 0,16 = (1/6) gaya gravitasi Bumi. Akibat gaya gravitasi Bumi
ini, Bulan lebih bersifat seperti satelit alami yang beredar mengelilingi Bumi yang
ukurannya lebih besar dari Bulan. Bulan yang beredar mengelilingi Bumi hanya berukuran
seperempat ukuran Bumi dan beredar mengelilinginya setiap 27,3 hari, pada jarak rata-rata
384.400 kilometer di bawah tarikan gravitasi Bumi.
Bulan yang ditarik oleh gaya gravitasi Bumi tidak jatuh ke Bumi disebabkan oleh
gaya sentrifugal yang timbul dari orbit Bulan mengelilingi Bumi. Efek sentrifugal adalah
dorongan ke arah luar pusat rotasi. Besarnya gaya sentrifugal Bulan adalah sedikit lebih
besar dari gaya tarik-menarik antara gravitasi Bumi dan Bulan. Pada dasarnya, hal ini
bukan hanya akan menimbulkan tabrakan antara Bumi-Bulan, sebaliknya menyebabkan
Bulan semakin menjauh dari Bumi dengan kecepatan sekitar 3,8 cm/tahun. Di masa yang
akan datang, ilmuwan memprakirakan bahwa kecepatan Bulan menjauh dari Bumi ini akan
semakin besar hingga akhirnya Bulan terlepas dari orbit Bumi.
Gravitasi Bulan menarik kandungan yang ada di Bumi seperti lautan atau material
yang ada di Bumi. Akibat Bumi berbentuk bulat maka terjadi perbedaan kekuatan gaya
tarik pada setiap sisi diBumi. Gaya tarik terbesar terdapat pada sisi Bumi yang dekat
dengan Bulan dan terlemah pada sisi yang jauh dari Bulan. Hal ini terjadi karena efek gaya
gravitasi tergantung jarak. Perbedaan tarikan gravitasi pada sisi Bumi, yaitu ada yang kuat
dan ada yang lemah, menyebabkan ada efek pasang surut air laut. Selain itu pasang surut
juga disebabkan adanya gaya sentrifugal.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
60
Gambar 5. Terjadinya pasang surut air laut
Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah Bulan dan Matahari dan menghasilkan dua
tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Sementara itu, di Bulan tidak
mengalami tonjolan karena di Bulan tidak ada air dan udara. Yang ada hanyalah kawah
yang terbentuk akibat hantaman komet. Selain itu efek pasang surut juga dipengaruhi oleh
adanya gravitasi Matahari. Hanya saja gaya tarik gravitasi Matahari hanya setengah dari
gaya tarik gravitasi Bulan. Matahari dan Bulan keduanya akan bersama-sama
mempengaruhi efek pasang surut pada Bumi. Terlihat ketika Matahari, Bulan dan Bumi
berada dalam satu kesegarisan maka akan timbul efek pasangsurut yang lebih besar. Efek
pasang surut ini dikategorikan menjadi dua macam yaitu spring tide dan neap tide.
Selain dipengaruhi oleh Matahari dan Bulan, Bumi juga dipengaruhi oleh gaya gravitasi
planet lain. Hanya saja kuat tarik gravitasi dan pengaruh pasang surut tergantung pada
massa dan jarak planet tersebut dari Bumi. Kekuatan gaya tarik masing-masing planet
dapat kita cari dengan membandingkan dengan gaya tarik Bulan terhadap Bumi. Adapun
dengan persamaan:
2
2rGMg
Terlihat bahwa efek pasang surut masing-masing planet sangat jauh perbandingannya
dengan Bulan. Tentunya hal tersebut tidak akan mempengaruhi apa-apa terhadap kondisi
Bumi. Namun ketika terjadi suatu kesegarisan dengan planet-planet lain maka gaya tarik
yang dialami Bumi akan berbeda. Kita bisa meninjau ketika terjadi kesegarisan paling
ekstrem dimana semua planet berada pada satu garis lurus dengan Matahari berada di
ujung. Dengan melihat masing-masing gaya tarik tiap planet, maka gaya tarik yang dialami
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
61
Bumi adalah jumlahan dari gaya tarik tiap planet. Berikut hasil perhitungan perbandingan
gaya gravitasi Bumi dan planet lain serta Bulan:
Benda-benda
Tatasurya
Jarak planet
terhadap Matahari
(km)
Massa
(kg)
delta g
(km/s2)
Merkurius 57.910 3,30 x 1023 2,2577 x 10-9
Venus 108.200 4,87 x 1024 3,61897 x 10-7
Bumi 149.600 5,98 x 1024 -
Mars 227.940 6,42 x 1023 7,0424 x 10-5
Jupiter 778.330 1,90 x 1027 4,03179 x 10-8
Saturnus 1.426.940 5,69 x 1026 1,43989 x 10-9
Uranus 2.870.990 8,69 x 1025 2,27395 x 10-11
Neptunus 4.497.070 1,02 x 1026 6,546786 x 10-12
Matahari 0 2,0 x 1033 0,46
Bulan 150.000 7,3 x 1025 2,1739
(Sumber: Karttunen, H. Dkk, Fundamental Astronomy (2007))
Gambar 8. Gaya tarik antar planet
Terlihat pada tabel hasil perhitungan, gaya gravitasi yang dari Bulan memberikan
pengaruh paling besar diantara planet-planet yang lain. Meskipun besar gravitasi Bulan
lebih kecil dari pada planet lain, tetapi jarak Bulan yang paling dekat dengan Bumi
memberikan pengaruh terhadap pasang surut air laut. Gaya gravitasi yang dirasakan oleh
Bumi akibat gaya gravitasi planet lain hanya berpengaruh sangat kecil bahkan dalam
menghitung gaya total gravitasi yang dialami Bumi pada saat terjadi kesegarisan kuat,
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
62
nilai-nilai gaya gravitasi planet lain dapat diabaikan karena sangat kecil. Sehingga, gaya
gravitasi total yang dirasakan Bumi saat kesegarisan kuat benda-benda tata surya sebesar
1,7139 km/s2.
Nilai gaya gravitasi total yang besarnya 1,7139 km/s2 menyimpulkan bahwa saat
kesegarisan benda-benda tata surya, Bumi tidak merasakan pengaruh apapun jika ditinjau
dari gaya gravitasi. Hal ini dikarenakan pada kondisi normal Bulan yang memberikan efek
pasang surut hanya memberikan pengaruh gaya gravitasi sebesar 2,1739 km/s2.
Kesegarisan kuat tidak akan menyebabkan adanya pasang surut ekstrem dan atau tsunami.
III.3. Pegaruh Medan Magnet
Kedua planet yang memiliki medan magnet dan berdekatan akan saling berinteraksi
jika keduanya berada dalam jangkauan medan magnet. Setiap planet, seperti halnya Bumi,
memiliki medan magnet yang mengintari seluruh permukaan dan memiliki kutub utara dan
selatan (lihat gambar 7).
Gambar 7. Medan Magnet Bumi
(Sumber: http://www.greatdreams.com/biomag.htm)
Namun, akibat adanya angin matahari, medan magnet tersebut seperti tersapu hingga
terbentuklah dua bagian medan magnet pada setiap planet, yaitu bow shock yang posisinya
pada bagian depan planet yang menghadap Matahari dan ekor medan magnet
(magnetotail) (lihat gambar 8). Jika magnetotail planet yang lebih dekat dengan Matahari
mencapai planet yang lebih jauh dari Matahari, maka planet yang di belakangnya akan
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
63
terkena imbas pula. Planet yang di depan akan terkena dampak jika bow shock planet yang
di belakangnya mempunyai jangkauan yang cukup jauh hingga ke planet depan.
Gambar 8. Bow shock dan ekor magnet akibat angin dan sinar Matahari
(Sumber: http://www.inilah.com/news/read/teknologi/2008/12/18/69602/lubang-di-medan-
magnet-bumi/)
Pada kondisi normal, planet-planet dalam memiliki medan magnet terlalu kecil,
sehingga sangat kecil pengaruhnya terhadap Bumi. Namun, yang mungkin memberikan
dampak adalah bow shock dari Jupiter karena medan magnetnya cukup besar dan kuat.
Kekhawatiran lain adalah mencapainya bow shock Jupiter hingga ke Bumi. Jangkauan bow
shock Jupiter adalah sejauh 5.361.900 km, yaitu 75 kali radius Jupiter (71492 km),
sedangkan jarak antara Jupiter dengan Bumi sejauh 628730000 km. Sehingga, dapat
diambil kesimpulan bahwa jangkauan bow shock Jupiter tidak akan sampai ke Bumi
meskipun Bumi dan Jupiter berada pada kondisi segaris (strong alignment).
IV. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil kajian analitik dan komputasional beserta kajian pengaruh
kesegarisan benda-benda tata surya, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kesegarisan benda-benda tata surya dapat dicari waktu terjadinya dengan
menggunakan persamaan Kepler dan dibuat dengan simulasi tiga dimensi serta
grafiknya untuk menentukan kesegarisan secara lebih mudah
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
64
2. Pengaruh kesegarisan kuat terhadap kondisi fisis Bumi adalah pergeseran pusat massa
tata surya yang menyebabkan keterkejutan gerakan orbital (shock orbital motion) tiap-
tiap planet, sehingga terjadi rekonfigurasi tata surya
3. Pengaruh kesegarisan kuat yang ditinjau dari medan magnet dan pasang surut air laut
akibat gravitasi planet hanya memberikan pengaruh sangat kecil terhadap kondisi fisis
Bumi.
Pengembangan lebih lanjut atas kajian ini dapat dilakukan dengan:
1. Meninjau semua jenis kesegarisan, baik kesegarisan kuat dan kesegarisan lemah
beserta pengaruhnya terhadap kondisi fisis Bumi
2. Nilai inklinasi setiap planet dimasukkan pada simulasi tiga dimensi, sehingga
memerlihatkan kejadian yang sesungguhnya
Daftar Pustaka
Eales, S., 2009, Planet and Planetary Systems, First Edition, John Wiley & Sons, Ltd,
Singapore.
Karttunen, H., Kröger, P., Oja, H., Pautanen, M., Donner, K. J., 2007, Fundamental
Astronomy, Fifth Edition, Springer Berlin Heidelberg, New York.
Valtonen, M., dan Kartunen, H, 2005, Three Body Problem, Cambrige University Press,
New York.
http://www.astronomycafe.net
http://www.greatdreams.com/biomag.htm
http://home.hiwaay.net/~krcool/Astro/moon/moontides/
http://www.inilah.com/news/read/teknologi/2008/12/18/69602/lubang-di-medan-magnet-
bumi/
Tanya Jawab
Agusta Danang Wijaya, Jember
? Bagaimana efek kesegarisan planet-planet jika ada gangguan benda-benda angkasa
asing lainnya seperti asteroid dan meteorid?
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
65
? Bagaimana efeknya jika jupiter berpengaruh terhadap mars, apakah mars akan
berpengaruh juga terhadap bumi, lalu apakah bumi berpengaruh terhadap planet-
planet sebelumnya?
Rina Dewi Mayasari, FMIPA – UGM
@ Belum ada benda-benda angkasa lain selain planet yang mampu memberi pengaruh
signifikan ke bumi ( kecuali kalau menabrak langsung).
@ Dalam hal medam magnet,medan magnet planet merkurius, venus, mars sangat kecil
bahkan hampir 0. Dan yang cukup besar hanya jupiter dan jovian planet lain, yang
paling dekat adalah jupiter. Jadi yang paling memungkinkan mempengaruhi adalah
jupiter.
Karena mars tidak mempunyai medan magnet maka tidak ada efek sampai ke bumi.
Deden Herdiana, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Dari penelitian efek kesegarisan dapatkah diprediksi kapan terjadinya?
? Apa kesimpulan dari paparan yang telah dijelaskan?
? Dari efek kesegarisan dapatkah efek sockh bour planet terdekat berpengaruh terhadap
bumi?
Rina Dewi Mayasari, FMIPA – UGM
@ Sesuai simulasi grafik yang dihasilkan dapat ditentukan kapan terjadi, hanya saja
ketika semua planet akan membutuhkan waktu yang sangat lama.
@ Kesimpulan efek yang ada belum mempengaruhi kondisi fisis bumi. Ditinjau dari
pusat massa, medan magnet dan pasang surut ketika kesegarisan paling ekstrem.
@ Efek medan magnet planet-planet tata surya berbeda-beda. Hanya planet jupiter yang
mempunyai medan magnet tersebar yang mempengaruhi terhadap bumi. Setelah
dilakukan penelitian ternyata madan magnet yangt ditimbulkan jupiter tidak akan
mencapai bumi karena jarak yang jauh. Sedangkan planet lain mempunyai medan
magnet yang kecil.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
66
OPTIMASI SISTEM ELEKTROOSMOSIS DENGAN VARIASI POLA PULSA
PADA PROSES PENGURANGAN KANDUNGAN AIR UNTUK PELESTARIAN
CAGAR BUDAYA
Akrom Khasani, Ar Rohim, Detiza Goldianto Octensi Hernowo, Didik Nur Huda
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Intisari. Cagar budaya seperti candi merupakan warisan sejarah yang perlu dijaga dari kerusakan. Faktor utama yang menyebabkan kerusakan ini adalah terjebaknya air di pori-pori dan sela-sela batu candi. Elektroosmosis merupakan salah satu metode pengeringan media berpori dengan memanfaatkan medan listrik. Prinsip kerja dari elektroosmosis adalah dengan melewatkan medan listrik pada media berpori sehingga molekul air akan bergerak mengikuti arah medan listrik, yaitu dari anoda ke katoda. Telah dilakukan penelitian yang membandingkan antara metode elektroosmosis pulsa dan tanpa pulsa dengan metode pengeringan lain seperti penjemuran, pemanggangan, dan didiamkan di tempat teduh. Keunggulan metode elektroosmosis dibandingkan metode pengeringan dengan pemanasan adalah tidak mengubah suhu media yang dikeringkan sehingga media tersebut lebih aman dari kerusakan. Volume air yang diangkut pada elektroosmosis pulsa lebih banyak daripada elektroosmosis tanpa pulsa.
Kata kunci : elektroosmosis, pola pulsa, metode pengeringan
Optimization of Electro-osmosis System with Pulse Pattern Variation in Dehydrating
Process for Preservation of Cultural Heritage
Abstract. Cultural heritages such as temples are historical heritages that need to be protected from damage. The main factor that causes this damage is the entrapped water in the gaps and pores of the stone temple. Electro-osmosis is a method of dehydrating porous material by using Electric field. The principle of electro-osmosis is applying an electric field in the porous medium so that the water molecules will move according to the direction of the applied field, i.e. from anode to cathode. We have done a research that compare electro-osmosis pulse and no pulse with other dehydrating methods such as sunbathing, roasting, and hushed in the shade. The advantage of electro-osmosis compared to other dehydrating methods is that it does not change the temperature of the medium so that the medium is safe from damage of heating. The amount of water transported by electro-osmosis pulse is greater than the water transported by electro-osmosis with no pulse.
Keywords : electro-osmosis, pulse pattern, dehydrating method
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
67
I. Latar Belakang Masalah
Candi Borobudur adalah salah satu karya besar nenek moyang bangsa Indonesia
yang memerlukan pemeliharaan, perawatan, dan upaya pelestarian. Usaha untuk
pemeliharaan, perawatan, dan upaya pelestarian adalah dengan monitoring secara kontinu.
Selain kegiatan monitoring, sangat diperlukan juga kegiatan konservasi. Konservasi candi
Borobudur dengan cara modern salah satunya menggunakan metode pengeringan yang tak
merusak yaitu elektroosmosis. Elektroosmosis adalah pergerakan air pada media berpori
karena pengaruh medan listrik (McInerney dkk., 2002). Sistem elektroosmosis
membutuhkan beda potensial antara dua titik pada sebuah obyek, yaitu dengan memasang
anoda pada media berpori dan memasang katoda pada tanah. Beda potensial dihasilkan
dari tegangan DC atau tegangan konvensional AC yang dihubungkan dengan dioda pada
sistem elektroosmosis (Bjerke dan Olson, 2005).
Elektroosmosis banyak mengalami kemajuan dalam aplikasi di antaranya pemberian
pulsa pada sistem elektroosmosis yang lebih dikenal dengan nama elektroosmosis pulsa.
Pulsa yang digunakan adalah pulsa tegangan DC. Penggunaan pulsa ini dimaksudkan agar
waktu pemindahan air lebih lama karena gaya osmosis tidak mudah berbalik arah. Apabila
gaya elektroosmosis arahnya membalik maka air akan mengalir dalam obyek.
Penelitian ini merupakan kajian lanjutan dari penelitian awal yang menggunakan
pasir sebagai media penelitian, sedangkan media yang digunakan dalam penelitian ini
berupa susunan batuan yang menyerupai susunan batuan pada candi Borobudur.
II. Metode Pelaksanaan
Data diambil dengan dua cara, yaitu simulasi dan elektroosmosis dengan variasi pola
pulsa. Adapun pada simulasi digunakan empat metode yaitu pemanggangan, penjemuran,
didiamkan di tempat teduh dan kering, dan elektroosmosis tanpa ada pulsa dengan beda
potensial 12 volt. Keempat metode ini dilakukan dengan rentang waktu yang sama.
Sedangkan cara elektroosmosis digunakan satu metode yaitu variasi pola pulsa dengan
jarak elektrode yang sama.
Penelitian ini seluruhnya dilaksanakan di laboratorium fisika zat padat FMIPA
UGM. Secara garis besar, teknik pengumpulan data dapat dituliskan dalam bentuk diagram
alir sebagai berikut :
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
68
1) Hasil Penelitian
1) Metode Pemanggangan
Kode Batu Volume air yang terangkut (ml)
B1 6,372
B2 7,686
B3 6,267
B4 5,393
Volume total 25,718
Rata-rata 6,43
2) Metode Tempat Teduh
Kode Batu Volume air yang terangkut (ml)
C1 1,859
C2 1,412
C3 1,698
C4 1,915
Volume total 6,884
Rata-rata 1,721
Pengolahan dan analisis data Penyimpulan hasil
Pengeringan dengan elektroosmosis pulsa dan tanpa
pulsa
Persiapan alat dan bahan
Pengeringan dengan pemanggangan, penjemuran,
dan peneduhan
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
69
3) Metode Penjemuran
Kode Batu Volume air yang terangkut (ml)
D1 12,01
D2 11,358
D3 11,39
D4 10,973
Volume total 45,731
Rata-rata 11,433
4) Metode Elektroosmosis tanpa pulsa ( V = 12 Volt )
Kode Batu Volume air yang terangkut (ml)
A1 0,387
A2 0,287
A3 0,175
A4 0,452
Volume total 1,301
Rata-rata 0,325
5) Metode Elektroosmosis Pulsa [ Pulsa: (+, -, 0) = (85, 5, 10) detik ]
1) Penelitian Pertama
100
200
300
400
500
600
0 100 200 300 400 500
Waktu (menit)
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
70
2) Penelitian Kedua
3) Penelitian Ketiga
III. Kesimpulan
1) Elektroosmosis dapat digunakan sebagai salah satu metode untuk mengeringkan air
pada batu candi (media berpori).
2) Semakin tinggi tegangan yang digunakan, semakin cepat proses pengeringan.
3) Elektroosmosis pulsa lebih efektif daripada elektroosmosis tanpa pulsa.
100
200
300
400
500
600
700
800
0 100 200 300 400 500
Waktu (menit)
0
20
40
60
80
100
120
0 50 100 150 200 250 300 350
Waktu (menit)
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
71
Daftar Pustaka
Bjerke, E. dan H. Olson. 2005. Method for Dehydrating a Porous Material. U.S.Patent No.
6 866 761 B2.
McInerney, M. K., S. Cooper, P. Malone, C. Weiss, M. Brady, S. Morefield, J. P.
Bushman, J. Taylor, V. F. Hock. 2002. Electro-osmotic Pulse Technology for
Control of Water Seepage in Concrete Structures. U.S.Army Construction
Engineering Research Laboratories. Campaign IL.
Morefield, S., V. F. Hock, M. K. McInerney, O. S. Marshall, C. Marsh, S. Cooper. 2005.
Control of Water Mitigation Through Concrete Using Electro-osmosis. U.S.Army
Engineer and Development Center Contruction Engineering Research Laboratories.
Campaign IL.
Tanya Jawab
Rina Dewi Mayasari, FMIPA – UGM
? Bagaimana aplikasi dari penelitian ini untuk pelestarian cagar budaya, Contohnya
Candi
Borodudur dan candi-candi yang lain atau cagar budaya yang lain.
Akrom Khasani, FMIPA – UGM
@ Untuk candi Borobudur sudah ada pelat-pelat baja di dasarnya, sehingga tinggal set-up
alat.
Rafika Sari, FMIPA – UGM
? Apakah ini suatu penelitian yang baru? Karena sebelumnya presentator menyatakan
bahwa ada LPPT yang sudah menangani?
Akrom Khasani, FMIPA – UGM
@ Baru dalam hal optimasi pola tegangan atau pulsa listrik.
Ibnu Jihad, FMIPA – UGM
? Medan, berapa tenaganya?
? Dari segi efektif dan efisiensinya? Dari segi finansial?
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
72
? Bagaimana jika batunya besar?
Akrom Khasani, FMIPA – UGM
@ V= 40 Volt
@ Kelebihan elektro-osmosis yaitu menggunakan suhu normal sehingga tidak merusak.
Cukup murah dalam fabrikasinya karena hanya perlu elektroda dan generator
tegangan
@ Jika batunya besar maka butuh tenaga yang lebih besar pula.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
73
PENGUKURAN KONSENTRASI GAS ETILEN PADA BENIH KEDELAI
MENGGUNAKAN TEKNIK SPEKTROSKOPI FOTOAKUSTIK
Rudyanto
Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Intisari. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur konsentrasi gas etilen pada benih kedelai dengan menggunakan teknik spektroskopi fotoakustik. Sumber radiasi spektroskopi fotoakustik yang digunakan pada penelitian ini adalah laser CO2. Benih kedelai yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedelai varietas Baluran kelas benih pokok, benih sebar, dan benih konsumsi selama perkecambahan. Selain dilakukan pengukuran konsentrasi, juga dilakukan pengamatan kondisi fisik benih kedelai yang diteliti. Telah diperoleh pola konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh masing-masing kelas selama berkecambah dan ternyata terdapat perbedaan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh kelas-kelas yang berbeda. Terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi fisik benih dengan konsentrasi gas etilen. Kata kunci : Spektroskopi Fotoakustik, Konsentrasi Gas Etilen, Benih Kedelai
THE MEASURING OF ETHYLENE CONCENTRATION OF SOYBEAN
SEEDLINGS USING PHOTOACOUSTIC SPECTROSCOPY TECHNIQUE
Abstract. The aim of this research is to measure ethylene concentration of soybean seedlings using photoacoustic spectroscopy technique. The spectroscopy radiatian source is CO2 laser. The soybean seeds used in this research are registered seed, extension seed, and consumption seed class of Baluran variety during germination. Besides measuring the ethylene concentration, the physical condition of the seeds is also observed. The ethylene concentration patterns have been obtained for each class during germination and they show that the ethylene concentrations are different for each class. There is a significant relation between physical condition and ethylene concentration.
Keyword : Photoacoustic Spectroscopy, Ethylene Concentration, Soybean seed
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Spektroskopi fotoakustik adalah suatu teknik spektroskopi yang berdasarkan pada
efek fotoakustik (wikipedia.org). Sebelumnya, untuk mengukur konsentrasi gas digunakan
Gas Chromatography (GC). Namun GC memiliki kelemahan, yaitu kurang sensitif untuk
pengukuran gas yang konsentrasinya sangat kecil (ppt) dan waktu tanggapnya lambat
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
74
sehingga tidak dapat digunakan secara online. Oleh karena itu, teknik untuk mengukur
konsentrasi gas beralih ke teknik spektroskopi fotoakustik. Keunggulan spektroskopi
fotoakustik adalah spektroskopi fotoakustik dapat mengukur konsentrasi gas dengan sangat
sensitif dan waktu tanggapnya relatif cepat sehingga dapat digunakan secara online
(Santosa dalam Watini, 2008: 1). Spektroskopi fotoakustik dapat mengukur produksi gas
etilen dengan interval waktu yang singkat dengan batas terendah 0,006 mikroliter per liter
sedangkan Gas Chromatography memerlukan waktu minimal 20-30 menit dengan batas
minimal 0.1 mikroliter per liter dari satu gram jaringan tumbuhan (reeis.usda.gov).
Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah ditegaskan dalam Undang-
undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang dirumuskannya sebagai usaha
mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rurnah tangga, dalam jumlah yang cukup,
mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu
(Krisnamurthi dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, 2003). Di Indonesia kedelai merupakan
komoditas pangan yang strategis sehingga upaya untuk berswasembada tidak hanya
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga mendukung agroindustri dan
menghemat devisa serta mengurangi ketergantungan terhadap impor.(Baharsjah dalam
Supadi, pse.litbang.deptan.go.id)
Benih kedelai digolongkan menjadi benih penjenis (breeder seed), benih dasar
(foundation seed), benih pokok (registered seed atau stock seed), benih berlabel (certified
seed). Perbedaan antara kelas benih satu dan yang lain adalah tingkat kemurnian genetik
dan kemurnian fisik, serta ketentuan khusus sesuai dengan jenis tanamannya. Benih
berlabel ini secara langsung dipasarkan kepada para konsumen/petani sehingga sering
disebut sebagai benih sebar (extension seed) (fp.unud.ac.id).
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana pola konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh benih kedelai saat
berkecambah untuk benih pokok, benih sebar, dan benih konsumsi?
b. Apakah ada perbedaan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh benih kedelai saat
berkecambah untuk benih pokok, benih sebar, dan benih konsumsi?
1.3. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pola konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh benih kedelai saat
berkecambah untuk benih pokok, benih sebar, dan benih konsumsi.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
75
b. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh
benih kedelai saat berkecambah untuk benih pokok, benih sebar, dan benih
konsumsi.
II. LANDASAN TEORI
2.1. Spektroskopi Fotoakustik
Bidang spektroskopi terkait dengan karakter atom atau molekul. Secara sederhana
hal ini dapat ditunjukkan pada warna lampu lucutan yang tergantung gas isiannya. Karena
itu, bidang ini banyak digunakan untuk mempelajari atom dan molekul. Selain itu, bidang
ini juga menghasilkan metode-metode pengukuran yang banyak diterapkan di berbagai
bidang seperti kimia, biologi, dan lingkungan.
Spektroskopi fotoakustik berdasar pada proses serapan cahaya. Penyerapan cahaya
tergantung pada beberapa parameter antara lain koefisien serapan dan konsentrasi
penyerap. Pada teknik serapan yang konvensional, dilakukan pengukuran intensitas cahaya
sebelum dan sesudah melewati sampel. Dari pengukuran tersebut dapat dihitung intensitas
cahaya yang diserap dan selanjutnya dapat ditentukan konsentrasi penyerapnya (Santosa,
2008:2).
2.2. Teori Efek Fotoakustik pada Gas
Selama abad ke sembilan belas, peneliti efek fotoakustik memusatkan
penyelidikannya pada cupilikan gas, oleh karena eksperimen fotoakustik dengan cuplikan
gas lebih mudah dilakukan dan dipahami. Bahkan di abad ke dua puluh pun masih banyak
penerapan teknik fotoakustik ditujukan pada cuplikan gas (Rosencwaig dalam Mitrayana,
2002:18)
Dalam spektroskopi fotoakustik modern untuk gas, cuplikan gas yang diselidiki
diletakkan di dalam sel fotoakustik, kemudian disinari oleh radiasi dengan intensitas
termodulasi baik berupa radiasi laser maupun dari pancaran sumber radiasi konvensional.
Sebagian tenaga radiasi yang datang diserap oleh gas tersebut sehingga dihasilkan variasi
tekanan terhadap waktu, yang tampil sebagai bunyi yang dapat dideteksi oleh mikrofon.
Serapan radiasi oleh suatu molekul gas terjadi apabila radiasi tersebut bertalun
dengan transisi antar tingkat-tingkat tenaga molekul itu (Harren; Rosencwaig; Pao dalam
Mitrayana, 2002:18). Jika molekul gas berpeluang menyerap radiasi foton, maka molekul
yang menduduki tingkat tenaga dasar E0 (ground state) akan tereksitasi ke tingkat tenaga
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
76
yang lebih tinggi E1 (excited state), dengan hEEE 01 merupakan perbedaan
selisih tenaga antara dua tingkat tenaga tersebut, sedang merupakan frekuensi radiasi
foton yang diserap. Molekul yang tereksitasi tadi berada dalam keadaan tidak stabil
sehingga cenderung kembali ke keadaan dasar yang stabil dengan cara membuang tenaga
E (proses deeksitasi). Proses deeksitasi molekul tersebut berlangsung melalui berbagai
cara (Rosencwaig; Pao dalam Mitrayana, 2002:18)
a. Molekul memancarkan radiasi foton yang sering disebut deeksitasi radiatif atau proses
fluoresensi.
b. Molekul memulai reaksi secara kimia, atau pengaturan ikatan kimia, yang dinamakan
proses fotokimia.
c. Molekul satu membentur melekul lain yang berspesies sama yang berada pada
keadaan dasar 0E kemudian mengeksitasi molekul tersebut ke keadaan eksitasinya
1E . Proses demikian disebut sebagai pemindahan tenaga antar sistem.
d. Molekul gas saling berbenturan dan sewaktu itu tenaga eksitasi diubah menjadi tenaga
translasi atau tenaga kinetik yang mengakibatkan tenaga translasi dua molekul
sesudah benturan lebih besar dari pada sebelum benturan. Hal ini akan menimbulkan
pemanasan medium gas.
Proses fotokimia terjadi bila tenaga radiasinya cukup tinggi. Pada tenaga rendah,
proses yang saling berkompetisi adalah fluoresensi dan pererasan (decay) dengan cara
benturan. Pada panjang gelombang m 10 , pererasan tak radiatif jauh lebih cepat dari
pada laju pererasan radiatif. Efek fotoakustik sangat ditentukan oleh banyaknya proses
pererasan tak radiatif sedangkan proses yang terjadi pada serapan radiasi oleh melekul
dapat diatur sesuai yang dikehendaki. Dengan demikian, untuk radiasi laser yang
mempunyai riak gelombang di sekitar m 10 , proses pererasan yang terjadi hampir
seluruhnya berwujud deeksitasi tak radiatif. Adapun panjang gelombang pada daerah ini
dimiliki oleh radiasi inframerah yang dihasilkan oleh sumber radiaisi laser CO2 (Sigrist;
Harren dalam Mitrayana 2002:20)
Radiasi inframerah menyebabkan molekul tereksitasi ke arah rotasi-vibarsi. Dari arah
vibrasi tersebut, tenaga dialihkan kepada derajat kebebasan translasi melaui proses
benturan molekul satu dengan yang lain. Kenaikan tenaga kinetik rerata molekul gas yang
timbul akibat benturan tersebut mengakibatkan suhu cuplikan naik. Pada volume tertutup
sesuai dengan persamaan keadaan yang berlaku pada gas, kenaikan suhu akan
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
77
mengakibatkan kenaikan tekanan. Jika berkas radiasi yang datang pada cuplikan gas
dimodulasi intensitasnya secara periodik pada frekuensi audio , maka akan didapatkan
kenaikan dan penurunan tekanan secara periodik pula yang membangkitkan bunyi pada
frekuensiya pula. Gelombang akustik yang terbentuk dapat dideteksi dengan mikrofon
(Pao; Rosencwaig; Sigrist; Harren dalam Mitrayana, 2002:20).
Pada tahun 1982, laser CO2 mulai dipakai dalam spektroskopi fotoakustik sebagai
sumber radiasi. Laser CO2 terus dipakai sebagai sumber radiasi dalam spektroskopi
fotoakustik, hingga kepekaannya mencapai orde ppt (1:1012). Menurut Mitrayana, dkk
(dalam Andrianto, 2008: hal 33) kelebihan laser CO2 sebagai sumber radiasi spektroskopi
fotoakustik antara lain:
a. Batas pengukuran sangat sensitif, yaitu orde ppb (part per billion) hingga ppt (part
per trilliun).
b. Panjang gelombangnya yang dapat ditala (Holohan, dkk. dalam Andrianto, 2008:33)
c. Daya sangat besar (untuk konfigurasi intra, orde daya keluaran hingga ratusan watt).
d. Efisiensi Laser CO2 mencapai 30%, hal ini melampaui semua jenis laser, yang
efisiensinya hanya 2%.
e. Berinteraksi dengan banyak molekul gas
2.3. Detektor Fotoakustik
Detektor fotoakustik berbasis laser mempunyai bagian-bagian yang terdiri dari laser,
sel fotoakustik, mikrofon, lock-in amplifier, powermeter, dan PC. Laser digunakan sebagai
sumber cahaya. Laser diarahkan ke sel fotoakustik tempat sampel gas berada. Di dalam sel
fotoakustik ini akan terjadi penyerapan tenaga laser oleh gas yang mengakibatkan
kenaikan suhu dan tekanan di dalam sel fotoakustik. Tekanan dalam sel fotoakustik dibuat
berubah secara periodik untuk menghasilkan bunyi dalam sel fotoakustik dengan
memodulasi lasernya. Modulasi laser dilakukan oleh chopper. Bunyi yang dihasilkan
ditangkap oleh mikrofon dan keluaran mikrofon akan diperkuat oleh lock-in amplifier.
Daya laser yang digunakan diukur dengan powermeter. Selanjutnya sinyal akustik dan
daya laser tersebut akan dimasukkan ke komputer melalui ADC-card. Dari data tersebut
akan dapat diperoleh nilai konsentrasi gas penyerapnya. Komputer yang sama juga
digunakan untuk mengendalikan laser CO2 (Santosa,2008:4).
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
78
2.4. Etilen
Etilen adalah sebuah komponen fitohormon-kompleks yang penting yang mengatur
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Khan, 1977:157). Etilena termasuk salah satu
hormon utama yang berhubungan dengan fisiologi benih selain giberelin, asam absisat,
siktokinin, dan auksin. Selain berfungsi untuk mempercepat pemasakan buah, etilena juga
berfungsi untuk mengatur pemekaran bunga, pengguguran daun dan juga memegang
peranan penting dalam perkecambahan benih. Proses biokimia dan fisis dalam
perkecambahan dikendalikan oleh etilen.
Indikasi awal bahwa etilen dihasilkan secara alami oleh benih dilaporkan oleh Denny
dan Miller pada tahun 1935. Sesuatu yang dihasilkan dari perkecambahan benih kacang
lima dan kacang polong mengakibatkan pengguguran daun kentang diperkirakan sebagai
etilen. Penemuan oleh Beyer (1975) menunjukkan bahwa metabolisme dan aksi etilen
mungkin berkaitan erat dengan pertumbuhan benih kacang polong (Khan, 1977:175).
Penelitian-penelitian lain yang telah dilakukan menunjukkan bahwa etilen dapat
mengakhiri masa tidur benih, diproduksi secara alami oleh benih, dapat mempertahankan
dan meningkatkan kekuatan beberapa benih dan merangsang metabolisme benih (Khan,
1977:158). Etilen juga memiliki kemampuan untuk melawan penghambat proses
perkecambahan seperti asam absisat dan penghambat-penghambat lainnya (Khan,
1977:175).
Biosintesis etilen dimulai dari pengubahan asam amino methionine menjadi S-
adenosyl-L-methionine (SAM) oleh enzim Met Adenosyltransferase. SAM kemudian
diubah menjadi 1-aminocyclopropane-1-carboxylic-Acid (ACC) oleh enzim ACC synthase
(ACS). Langkah terakhir memerlukan oksigen dan melibatkan enzim ACC-oxidase (ACO)
yand dulunya dikenal sebagai Ethylene Forming Enzyme (EFE) (wikipedia.org).
Konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh tumbuhan atau benih umumnya sangat
rendah (sub-ppb). Oleh karena itu, Spektroskopi Fotoakustik Laser merupakan teknik yang
cocok untuk memonitor konsentrasi yang sangat rendah ini. Penelitian yang dilakukan
dalam daerah panjang gelombang inframerah dengan sumber laser CO2 telah menunjukkan
bahwa Spektroskopi Fotoakustik Laser dapat digunakan untuk memonitor gas dengan
sensitivitas yang sangat tinggi (Harren dalam Wasono:2). Garis laser yang digunakan
adalah 10P14 dan gas etilen mempunyai koefisien serapan 32 cm-1. (Henningsen, dkk;
Muadzin, dalam Andrianto, 2008:34).
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
79
III. METODOLOGI PENELITIAN
1. Persiapan
a. Botol-botol dicuci dengan menggunakan sedikit deterjen dan pasir. Setelah kering,
botol dibilas dengan Metanol Pro Analisis.
b. Tutup botol dan karet dicuci dengan menggunakan sedikit deterjen. Setelah kering,
tutup botol dan karet dibilas dengan Metanol Pro Analisis.
c. Semua benih direndam secara terpisah sesuai kelasnya dalam aquades selama kurang
lebih 7 jam
d. Satu jam menjelang waktu perendaman berakhir, dilakukan persiapan botol yang
akan dijadikan kuvet. 2 helai kapas dengan panjang 6 cm, lebar 6 cm, tebal (tanpa
tertekan) 0,5 cm dimasukkan ke masing-masing botol. Setelah itu, kapas dibasahi
dengan aquades 52 ml aquades.
e. Setelah proses perendaman selesai, 100 biji BP dimasukkan ke dalam botol pertama
dan diberi label BP, 100 biji BR dimasukkan ke botol kedua dan diberi label BR, dan
100 biji BK dimasukkan ke dalam botol ketiga dan diberi label BK. Semua biji
diratakan di atas kapas dan diusahakan tidak ada biji yang saling menumpuk.
f. Setelah semua benih selesai dimasukkan dan diratakan, karet direkatkan pada mulut
botol dengan lem silikon. Setelah itu, ketiga botol beserta karet yang telah direkatkan
didiamkan selama 36 jam.
g. Setelah 36 jam, mulut botol kemudian ditutup erat dengan tutup botol yang telah
disiapkan. Setelah ditutup, pengambilan data dimulai.
2. Pengambilan Data
a. Langkah pendahuluan sebelum mengukur konsentrasi etilen dari sampel adalah
melakukan kalibrasi dengan mengalirkan gas etilen murni 10 ppm ke dalam sel
fotoakustik
b. Setelah itu, sel fotoakustik dibersihkan dari sisa-sisa gas etilen murni dengan
mengalirkan udara tekan ke dalam sel fotoakustik. Sel fotoakustik telah bersih jika
sinyal akustik yang diterima dari mikrofon menunjukkan nilai minimal. Setelah
sinyal yang diterima dari mikrofon tidak mengalami kenaikan lagi, sinyal ini dicatat
sebagai sinyal latar. Setelah diperoleh data kalibrasi dan data sinyal latar, langkah
berikutnya adalah mengukur konsentrasi etilen sampel.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
80
c. Botol dengan label BP dihubungkan dengan selang yang terhubung dengan scrubber
CaCl2 dan sel fotoakustik dengan cara menancapkan ujung selang yang berupa jarum
ke karet melalui lubang pada tutup botol.
d. Setelah itu, udara tekan dialirkan ke dalam botol melalui selang yang terhubung
dengan botol.
e. Perekaman data dilakukan selama 45 menit dengan menggunakan program sfa4win.
f. Setelah pengukuran berakhir, selang dicabut dari botol dan dilakukan pembersihan
kembali sel fotoakustik.
g. Setelah sel fotoakustik bersih, dimulai pengukuran konsentrasi gas etilen untuk
sampel dalam botol BR. Kemudian, langkah c) sampai f) diulang kembali.
h. Langkah c) sampai f) diulang untuk sampel dalam botol BK.
i. Setelah proses pengukuran konsentrasi gas etilen untuk semua sampel selesai,
dilakukan pengamatan kondisi fisik dari masing-masing sampel.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kedelai Varietas Baluran Kelas BP
1) Grafik Sinyal/Daya Vs Waktu
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
81
2) Grafik Konsentrasi Vs Waktu
4.2. Kedelai Varietas Baluran Kelas BR
1) Grafik Sinyal/Daya Vs Waktu
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
82
2) Grafik Konsentrasi Vs Waktu
4.3. Kedelai Varietas Baluran Kelas BK
1) Grafik Sinyal/Daya Vs Waktu
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
83
2) Grafik Konsentrasi Vs Waktu
1.4 Perbandingan Konsentrasi Etilen Awal Kelas BP, BR, dan BK
BP
Sinyal/Daya (Sinyal/Daya) Latar Konsentrasi ppm (1000ppb)
0,0165 5,72E-05 9,36E-06 9,36
BR
Sinyal/Daya (Sinyal/Daya) Latar Konsentrasi ppm (1000ppb)
0,017 5,72E-05 9,64E-06 9,64
BK
Sinyal/Daya (Sinyal/Daya) Latar Konsentrasi ppm (1000ppb)
0,011 5,72E-05 6,23E-06 6,23
KELAS KONSENTRASI (ppm)
BP 9,36
BR 9,64
BK 6,23
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
84
1.5. Perbandingan Konsentrasi Etilen Flat Kelas BP, BR, dan BK
BP
Sinyal/Daya (Sinyal/Daya) Latar Konsentrasi ppm
1,11E-03 5,72E-05 5,99E-07 0,60
BR
Sinyal/Dayal (Sinyal/Daya) Latar Konsentrasi ppm
0,00403 5,72E-05 2,26E-06 2,26
BK
Sinyal/Daya Total (Sinyal/Daya) Latar Konsentrasi ppm
0,00188 5,72E-05 1,04E-06 1,04
KELAS KONSENTRASI (ppm)
BP 0,6
BR 2,26
BK 1,04
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
85
1.6. Kondisi Fisik Kedelai
KELAS KONDISI FISIK
BP
o Semua biji mulai berkecambah yang dilihat dari
tumbuhnya akar. Tapi, akar masih belum menembus kulit
ari.
BR
o Semua biji mulai berkecambah yang dilihat dari
tumbuhnya akar.
o Jumlah biji yang akarnya masih belum menembus kulit ari:
56 biji
o Jumlah biji yang akarnya sudah menembus kulit ari
dengan panjang 5 mm: 18 biji
o Jumlah biji yang akarnya sudah menembus kulit ari
dengan panjang 10 mm: 26 biji
BK
o 98 biji mulai berkecambah yang dilihat dari tumbuhnya
akar. Tapi, akar masih belum menembus kulit ari.
o 2 biji tidak berkecambah
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
86
Dalam penelitian ini telah diperoleh pola konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh
benih kedelai kelas BP, BR, dan BK saat berkecambah. Selain itu, grafik perbandingan
konsentrasi etilen awal dan grafik perbandingan konsentrasi etilen flat dari ketiga kelas,
menunjukkan bahwa adanya perbedaan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh ketiga
kelas tersebut. Dari grafik perbandingan konsentrasi etilen awal dan grafik perbandingan
konsentrasi etilen flat dari ketiga kelas, tampak bahwa kelas BR menghasilkan gas etilen
paling banyak.
Jika hanya memperhatikan grafik perbandingan konsentrasi etilen awal maka hasil
perolehan data menunjukkan bahwa konsentrasi gas etilen berkaitan dengan kelas benih.
Walaupun konsentrasi gas etilen kelas BP sedikit di bawah kelas BR, hal ini adalah wajar
karena kelas BP diukur terlebih dahulu. Dengan demikian, untuk kelas BR terjadi
akumulasi 45 menit lebih lama dibandingkan dengan kelas BP.
Pada grafik perbandingan konsentrasi gas etilen flat konsentrasi gas etilen kelas BP
lebih kecil dari kelas BR dan BK. Faktor yang mungkin memperngaruhi adalah kebocoran.
Kebocoran mungkin terjadi karena selama 45 menit, udara tekan yang dialirkan ke dalam
botol dapat mendorong tutup karet. Jika memang terjadi kebocoran maka hasil pengukuran
seharusnya lebih tinggi dan data yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi kelas
benih semakin tinggi konsentrasi gas etilen. Jika tidak terjadi kebocoran maka data yang
diperoleh tidak menunjukkan adanya kaitan antara konsentrasi gas etilen dengan kelas
benih. Dengan anggapan bahwa tidak terjadi kebocoran, maka penelitian ini tidak
menunjukkan adanya kaitan antara konsentrasi gas etilen dengan kelas benih.
Hasil pengamatan kondisi fisik benih menunjukkan bahwa benih kelas BR
mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan kelas BP dan BK.
Konsentrasi awal dan flat untuk kelas BR adalah lebih tinggi dari kelas BP dan BK. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kondisi fisik dengan
konsentrasi gas etilen yang dihasilkan selama perkecambahan.
V. Kesimpulan dan Saran
a. Kesimpulan
(1) Dalam penelitian ini berhasil diperoleh pola konsentrasi gas etilen yang dihasilkan
oleh benih kedelai kelas BP, BR, dan BK saat berkecambah. Untuk kelas BP
diperoleh konsentrasi awal 9,36 ppm dan konsentrasi flat 0,6 ppm. Untuk kelas BR
diperoleh konsentrasi awal 9,64 ppm dan konsentrasi flat 2,26 ppm. Untuk kelas BK
diperoleh konsentrasi awal 6,23 ppm dan konsentrasi flat 1,04 ppm.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
87
(2) Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsentrasi gas etilen
yang dihasilkan oleh benih kedelai kelas BP, BR, dan BK saat berkecambah.
b. Saran
Pengukuran sebaiknya dilakukan beberapa kali untuk memperkuat data.
Daftar Pustaka
Andrianto. 2008. Optimalisasi Daya Laser CO2 Tipe Semi Sealed-Off sebagai Sumber
Radiasi Spektroskopi Fotoakustik Melalui Variasi Komposisi Gas CO2, N2, dan He.
Yogyakarta: USD (Skripsi S-1)
Harrison dan Miksovska. 2007. Kinetic Analysis of Plant Ethylene Production Using
Photoacoustic Spectroscopy. diunduh pada tanggal 1 November 2009 dari
http://www.reeis.usda.gov/ web/crisprojectpages/ 204242 .html Khan, A. A..1977. The Physiology and Biochemistry of Seed Dormancy and Germination.
NewYork.: North-Holland Publishing Company
Krisnamurthi, Bayu. 2003. dalam Jurnal Ekonomi Rakyat. diunduh pada tanggal 1
November 2009 dari http://www.ekonomirakyat.org/index5.php
Mitrayana. 2002. Ultra Sensitive Intracavity Photoacoustic Spectrometer with Sealed-off
CO2 Laser Source Applied to The Determination of Insect Trachea Volume Via Its
Respiration Mode Study. Yogyakarta: UGM (Tesis S-2)
Santosa, I. E..2008. Spektroskopi Fotoakustik. dalam Diskusi Forum Bersama Mahasiswa
Fisika Se-DIY, 20 September 2008 di USD, Yogyakarta.
Supadi,.2009. Dampak Impor Kedelai Berkelanjutan terhadap Ketahanan Pangan. dalam
analisis kebijakan pertanian volume 87 hal 105 diunduh pada tanggal 1 November
2009 dari http://pse.litbang.deptan.go.id
Watini, Katarina. 2008. Optimalisasi Detektor Fotoakustik dengan Menentukan Frekuensi
Resonansinya. dalam Diskusi Forum Bersama Mahasiswa Fisika Se-DIY, 20
September 2008 di USD, Yogyakarta.
Ethylene. diunduh pada tanggal 2 Oktober 2009 dari http://en.wikipedia.org/wiki/ethylene
Photoacoustic Spectroscopy. diunduh pada tanggal 2 Oktober 2009 dari
http://en.wikipedia.org/wiki/photoacoustic_spectroscopy
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
88
Tanya Jawab
Detiza Goldianto Octensi H. , FMIPA – UGM ? Apakah laser yang digunakan hanya laser CO2? Apa alasan memilih laser CO2 pada
penelitian? ? Apakah ada sumber radiasi lain yang dapat digunakan untuk penelitian saudara selain
laser CO2?
Rudyanto, Pend.Fisika – USD @ Laser CO2 memilikki efisiensi mencapai 30%, hal ini melampaui semua jenis laser,
yang efisiensinya hanya 2%. @ Tidak ada yang lebih efisien dibandingkan laser CO2 .
Efi Mufliani, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ? Apakah ada kelemahan dari metode Spektroskopi Foto Akustik? ? Mengapa perbandingan etilen pada BR di awal selalu lebih tinggi dibandingkan
BP/BK?
Rudyanto, Pend.Fisika – USD @ Tanpa memperhatikan perangkaian alat, metode spektroskopi fotoakustik tidak ada
kelemahan dibandingkan dengan Gas Chromatograph ( GC ). Tetapi jika memperhatikan perangkaian alat, metode spektroskopi dengan menggunakan laser CO2 sebagai sumber radiasinya membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan pelurusan laser.
@ Perbandingan etilen pada BR pada kondisi flat dan awal selalu lebih tinggi dibandingkan BP dan BK karena pertumbuhan benih kedelai BR lebih cepat deibandingkan dengan BP dan BK.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
89
PENGARUH WAKTU KARBONASI TERHADAP KARAKTERISTIK
PEMBAKARAN BIOBRIKET DARI LIMBAH PENGGILINGAN PADI (SEKAM)
Laifa Rahmawati1, Rizky Stiyabudi2, Christin Lita Agustiani3
1Pend. IPA, FMIPA, UNY; [email protected] 2Pend. Fisika, FMIPA, UNY; [email protected]
3Fisika, FMIPA, UNY; [email protected]
Intisari. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh waktu karbonasi terhadap karakteristik pembakaran biobriket dari limbah penggilingan padi (sekam). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan waktu karbonasi dan dimensi sebagai variabel bebas.Waktu karbonasi, meliputi variasi waktu karbonasi 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Pengaruh variabel tersebut terhadap karakteristik pembakaran bioriket dari sekam dianalisis dari nilai uji pembakaran. Dari penelitian ini didapati kesimpulan bahwa pengaruh waktu karbonasi terhadap karakteristik pembakaran biobriket sekam berupa semakin lama waktu karbonasi biobriket sekam, semakin baik karakteristik pembakaran yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari semakin lama waktu karbonasinya, waktu pembakaran yang diperlukan untuk pengurangan massa semakin sedikit; bahwa semakin lama waktu karbonasinya maka laju pembakarannya akan semakin besar; serta adanya kenaikan temperature akhir yang sebanding dengan waktu karbonasi yang semakin lama.
Kata kunci : waktu karbonasi, biobriket ,sekam
THE EFFECT OF CARBONATION DURATION TO THE BURNING
CHARACTERISTICS OF BIOBRICKET FROM CHAFF
Abstract. This reseach is aimed to study about the effect of carbonation duration to the burning characteristics of biobricket from chaff. This research is an experimental research with carbonation duration as a independent variable. Carbonation duration includes variety of carbonation duration, 90 minutes, 120 minutes, and 150 minutes. The effect of these variables to the burning characteristics of biobricket from chaff is analyzed from the result of burning test. From this research, it can be concluded that the effect of carbonation duration to the burning characteristics of biobricket from chaff is in the form of in a longer carbonation duration, better burning characteristics is resulted. This can be seen from longer carbonation duration, less burning time is needed; in a longer carbonation duration, the burning velocity value is bigger; and there is a staraight comparison between carbonation duration and the increasing of the final temperature.
Keywords : carbonation duration, biobricket, chaff
I. Pendahuluan
Melonjaknya harga minyak dunia per Juli 2009 hingga menyentuh 73US$/barel
merupakan persoalan yang dihadapi dunia beberapa tahun terakhir. Konsumsi BBM yang
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
90
mencapai 1,3 juta/barel tidak seimbang dengan produksinya 1 juta/barel sehingga dapat
defisit yang dipenuhi melalui impor. Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Rachmat Witoelar (Kompas, 12 Juni 2009) menyatakan bahwa cadangan minyak bumi
Indonesia saat ini semakin menipis dan tersisa bagi pemanfaatan selama 23 tahun,
cadangan batu bara di Indonesia tersisa 146 tahun,dan cadangan minyak bumi 23 tahun,
tetapi yang lebih ditekankan cadangan energi fosil pasti akan habis cepat atau lambat.
Persoalan lain dari penggunaan energi fosil ini adalah menjadi penyebab perubahan iklim
dan pemanasan global. Energi fosil ini banyak menghasilkan gas yang dapat menyebabkan
efek rumah kaca (Kompas, 12 Agustus 2009).
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang
Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif pengganti
bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat
diperbaharui sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak. Peraturan tersebut
kemudian diikuti dengan penerbitan Instruksi presiden No 1 tahun 2006 tertanggal 25
Januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel), sebagai
energi alternatif.
Indonesia memiliki beberapa sumber energi alternatif terbarukan yang berpotensi
besar, antara lain : energi hidro dan mikro hidro, energi biotermal, energi biomassa, energi
surya, dan energi angin.
Potensi sumber – sumber energi tersebut sebagai berikut (pranaka, 2006):
Tabel 1. Potensi energi terbarukan di Indonesia
Jenis Sumber
Energi
Potensi Kapasitas Terpasang
Hidro 75,67 GW 4200 MW
Mikrohidro 712 MW 206 MW
Geothermal 27 GW 807 MW
Biomassa 49,81 GW 302,4 MW
Surya 4,8 kWh/m²/day 6 MW
Angin 3 – 6 m/sec 0,6 MW
(Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2006 )
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
91
Salah satu sumber energi alternatif terbarukan yang cukup menjanjikan adalah
biobriket. Hal ini mengingat bahwa Indonesia mempunyai potensi energi biomasa yang
cukup besar. Terutama penekanan pemerintah terutama dalam pemanfaatan energi hijau.
Pemanfaatan energi hijau telah dirancang sejak 2003, yang menjadi pertimbangan
pemerintah adalah Indonesia merupakan negara agraris dan berbagai tumbuh – tumbuhan
dapat tumbuh subur ( menteri ESDM, 2008). Diperkirakan potensi keseluruhan energi
biomasa setara 50.000 MW. Biomasa juga mempunyai kadar sulfur yang rendah (kurang
dari 1%). Karakteristik pembakaran bahan bakar briket dan bahan bakar lain dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2.Berbagai jenis bahan bakar dan karakteristiknya
Biobriket dapat merupakan bahan bakar padat yang terbuat dari bahan baku
biomassa dengan campuran sedikit perekat. Terdapat beberapa jenis biobriket yang telah
dikembangkan, beberapa diantaranya adalah biobriket dari tebu, jerami, sisa gergajian
kayu, sabut kelapa, serta sekam. Biobriket terutama dikembangkan berdasarkan
kelimpahan bahan baku serta karakteristik pembakaran yang dihasilkan; salah satu bahan
baku biobriket yang sering digunakan adalah sekam padi.
Padi merupakan sumber makanan pokok orang Indonesia. Untuk dapat dikonsumsi,
padi harus diolah melalui beberapa proses terlebih dahulu, yang pada setiap pengolahan
padi selalu menghasilkan limbah sisa hasil pengolahan, termasuk limbah hasil
penggilingan beras. Pada saat penggilingan, dihasilkan limbah yang biasa disebut dengan
sekam. Dari catatan pada tahun 1995-2001, produksi sekam padi di Indonesia dapat
mencapai 4 juta ton per tahunnya. Oleh masyarakat, sekam pada umumnya hanya dibuang
percuma, kalaupun dimanfaatkan lebih jauh, sekam dijadikan sebagai media tanam
ataupun bahan bakar biomassa. Namun, pembakaran sekam dalam bentuk biomassa dinilai
kurang dari segi efektifitas pembakarannya.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
92
Dari penjelasan di atas maka akan dikaji mengenai pengolahan sekam menjadi
bioriket. Selama ini, telah banyak pembuatan biobriket dari sekam, namun perlu dilakukan
kajian yang lebih mendalam tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas
biobriket tersebut. Dengan pengkajian mendalam yang dilakukan setelah percobaan yang
ditujukan untuk menguji faktor yang berpengaruh, maka diharapkan dapat diketahui
pengaruh faktor-faktor tesebut terhadap kualitas akhir biobriket. Kualitas biobriket
ditunjukkan dengan karakteristik pembakaran biobriket, yaitu nilai kalor pada pembakaran
briket dari sekam ini. Percobaan ini selanjutnya akan memberikan kontribusi terhadap
kajian kelaikan sekam sebagai biobriket maupun sebagai kajian mengenai variasi
perlakuan pada faktor yang berpengaruh pada kualitas akhir biobriket dari sekam,
sehingga dapat dihasilkan satu kajian mengenai variasi faktor, terutama waktu karbonasi,
yang akan memberikan kualitas pembakaran biobriket sekam yang terbaik. Penelitian serta
kajian ini dipandang penting terutama karena keduanya mendukung upaya untuk
menemukan sumber bahan bakar lain dengan memanfaatkan sumber daya yang melimpah
dan kurang bernilai ekonomis, sehingga penggunaan bahan bakar fosil dapat dikurangi.
II. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Penelitian ini dilaksanakan dalam
tiga tahapan mayor; yaitu tahap pembuatan biobriket sekam, tahap pengujian karakteristik
pembakaran biobriket sekam, serta analisis hasil pengujian. Tahapan pembuatan biobriket
sekam meliputi observasi serta pengumpulan bahan dan alat, karbonasi / pengarangan
sekam, pencetakan biobriket, serta pengeringan biobriket sekam. Variabel-variabel untuk
membatasi penelitian ini supaya tidak melebar, dimana variabel bebas yang digunakan
adalah waktu karbonasi, waktu karbonasi yang digunakan yatu 90 menit, 120 menit, dan
150 menit. Untuk mengkontrol variabel-variabel tadi digunakan variabel kontrol yaitu
tekanan 3 ton, massa sebelum pengarangan 50 gram, dengan suhu pengarangan 250 ◦C,
massa biobriket 5 gram, diameter 15 mm. Tahapan selanjutnya adalah tahap pengujian
karakteristik pembakaran biobriket sekam. Tahapan ini meliputi tahap pengujian nilai
kalor biobriket. Pengujian kharakteristik pembakaran juga dilakukan beberapa
pengontrolan terhadap laju pembakaran 0,6 m/s dan temperatur awal pembakaran 200 ◦C.
Tahap selanjutnya adalah menganalisis hasil pengujian tersebut, dimana dari hasil
pengujian dapat diketahui efisiensi pembakaran yang dari biobriket sekam dengan
biobriket yang telah ada sebelumnya.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
93
III. Hasil dan Pembahasan
Untuk mengetahui kharakteristik pembakaran suatu bahan bakar padat atau biomassa
dilakukan uji pembakaran yang nantinya dihasilkan data yang lengkap terkait dengan
efisiensi bahan bakar.
Grafik 1. Pengurangan massa pembakaran
Lama waktu karbonasi membuat tingkat kearangan semakin pekat dan semakin lama
tingkat karbonasi maka ukuran partikel biobriket sekam yang dikarbonasi akan semakin
kecil. Hal itu dikarenakan ketika dikarbonasi kandungan air yang ada di dalam biobriket
sekam semakin lama semakin berkurang. Pada grafik di atas, ditunjukkan bahwa bahwa
semakin lama waktu karbonasi maka waktu pembakaran yang diperlukan untuk
pengurangan massa biobriket sekam akan semakin berkurang akan semakin cepat terbakar.
Hal itu disebabkan karena partikel penyusun biobriket sekam dan kadar air di dalam
biobriket sekam juga semakin berkurang.
Grafik 2. Laju pembakaran
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
94
Laju pembakaran pada grafik diatas di dapatkan berupa grafik berbentuk polymonial,
dimana dapat diketahui bahwa suatu ketika laju pembakaran mencapai titik maksimun,
tetapi titik maksimum laju pembakaran dari setiap biobriket sekam yang diuji berbeda-
beda, tergantung pada kadar air dan partikel penyusun biomasaa. Semakin renggang
partikel maka titik puncak laju pembakaran dari biobriket sekam akan semakin rendah.
Jadi dapat dikatakan bahwa dari grafik diatas dapat digambarkan bahwa titik puncak
paling tinggi berada pada waktu karbonasi 150 menit. Setelah mencapai titik puncak paling
tinggi dengan waktu karbonasi yang dibutuhkan 150 menit maka grafik akan mengalami
peluruhan hingga pada titik terendah yang berarti bahwa semakin besar waktu pembakaran
maka laju yang dibutuhkan semakin besar. Apabila dibandingkan dari ketiga waktu
karbonasi maka didapatkan hasil bahwa semakin lama waktu karbonasinya maka laju
pembakarannya akan semakin besar.
Grafik 3. Temperatur Pembakaran
Pada grafik di atas ditampilkan hasil grafik hubungan antara waktu pembakaran
dengan temperatur akhir pembakaran. Dari hasil analisis grafik, didapatkan grafik yang
berbentuk linier untuk waktu karbonasi 90 menit dengan temperature akhir pembakaran
80 0 . Setelah mencapai temperature 800, maka grafik akan berbentuk polynomial dengan
variasi laju aliran 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Dari hasil juga terlihat bahwa pada
waktu karbonasi 150 menit maka temperatur akhir mengalami kenaikan pada temperatur
1200. Sehingga dapat dikatakan bahwa temperatur akhir akan mengalami kenaikan
sebanding dengan waktu karbonasi yang semakin lama.
Ketiga analisis di atas, digunakan untuk mengetahui pengaruh waktu karbonasi
terhadap karakteristik pembakaran, yang didasarkan pada uji pembakaran yang dilakukan
pada ketiga sampel biobriket sekam yang divariasikan waktu karbonasinya, yaitu 90 menit,
120 menit, serta 150 menit. Pada grafik pertama, grafik yang menunjukkan hubungan
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
95
antara waktu karbonasi dengan pengurangan massa pembakaran, diketahui bahwa
semakin lama waktu karbonasi maka waktu pembakaran yang diperlukan untuk
pengurangan massa semakin berkurang akan semakin cepat terbakar. Pada grafik kedua,
yang menunjukan hubungan antara waktu karbonasi dengan laju pembakaran, diketahui
bahwa semakin besar waktu pembakaran maka laju yang dibutuhkan semakin besar. Dan
apabila dibandingkan dari ketiga waktu karbonasi maka didapatkan hasil bahwa semakin
lama waktu karbonasinya maka laju pembakarannya akan semakin besar. Pada grafik
ketiga, yang menggambarkan hubungan antara waktu karbonasi dengan temperatur
pembakaran, diketahui bahwa temperature akhir akan mengalami kenaikan sebanding
dengan waktu karbonasi yang semakin lama.
IV. Kesimpulan
Dari penelitian ini, dapat diketahui bahwa pengaruh waktu karbonasi terhadap
karakteristik pembakaran biobriket sekam berupa semakin lama waktu karbonasi biobriket
sekam, semakin baik karakteristik pembakaran yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari
semakin lama waktu karbonasi, waktu pembakaran yang diperlukan untuk pengurangan
massa semakin sedikit; semakin lama waktu karbonasi maka laju pembakarannya akan
semakin besar; dan adanya kenaikan temperatur akhir yang sebanding dengan waktu
karbonasi yang semakin lama.
Daftar Pustaka
Agus Rasidi. Briket Limbah Menghilangkan Sampah. 03 Januari 2008.
Borman,G.L.and Ragland,K.W.1998. Combusting.Engineering. McGraw-Hill Book Co.
Singapore.
Bungay,Henry. R.1981. Energi: The BiomassOptions, John Wilay & Sons, New York.
Chin, O.C, Siddiqui. 1999. Characteristic of some biomass briquettes prepared under
modest die pressure. Biomass dan Bioenergi 18,223 – 228. Pergoman.
Demibas., A.1997. Physical properties of briquettes from waste paper and wheat
strawmixtures. Energi conversion & Managemant journal, 40, 437-445, Elsevier.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral ( DESDM). 2006. Statistika Energi
Indonesia.
Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi. Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral ( DESDM). 2006. Pemanfaatan Energi.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
96
Husein, M.Z.M. 2006. Semangat Berhemat Energi: Belajar dari Negara Maju, Inovasi
Vol 7.
Kementrian Negara Riset dan Teknologi(KNRT).2006. Buku Putih Penelitian,
Pengembangan dan Penera[pan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2005 – 2—25.
Jakarta.
Kompas, 12 juni 2009, Harga Minyak Dunia Dekati 73 Dollar AS.
Kompas, 12 Agustus 2009, Puluhan Ribu Kilometer Persegi Es Arktik Meleleh.
Lu Hong. 2006. Comprehensive Study of Biomass Priicle Combustion, Annual
ACERC Conference, February 22.
M. Syamsiro dan Harwin Saptoadi. 2007. Pembakaran Briket Biomassa Cangkang Kakao:
Pengaruh Temperatur Udara Prehea.Yogyakarta : Seminar Nasional Teknologi
2007.
Pranaka P. 2006. Ultilization of Biomass Sources In Indonesian : challanges &
Opportunity for the Development, Biomassa Asia Forum. Tokyo.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomer 5 tahhun 2006 Tentang Kebijakan Energi
Nasional
Rita Kartika Sari, Adi Setiadi, Patria Kusumadiya. 2007. Pembuatan Briket Arang.
Sofyan. Pembuatan Briket Arang. 31 Desember 2008
Sri Widowati.2008. Pemanfaatan Hasil Samping Penggilingan Padi dalam Menunjang
Sistem Agroindustri di Pedesaan. Bogor : Agrobio.
Vest.H. 2003. Small Scale Briquetting and Carbonasation of Organic Residus for Fuel.
Infogate. Eschbrown, Germany.
Tanya Jawab
Cicilia Wamman T.D. – USD
? Bahan apa yang digunakan untuk perekat sekam tersebut? Dan komposisi
campurannya?
Rizky Stiyabudi, Laifa Rahmawati, Cristin – UNY
@ Amilum ( pati )
Sekam ( 91% )
Amilum ( 5% )
Air ( 4% )
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
97
PERANAN PENDIDIKAN DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
BAGI KESEJAHTERAAN MANUSIA
Nurhidayah
Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta
e-mail : [email protected]
Intisari. Menurut Comenius, pendidikan yang layak bagi anak didik atau peserta didik tidaklah dengan mencekoki berbagai kata-kata, kalimat dan ide-ide dalam kepala mereka yang diulurkan bersama beragam pengarang, tapi melainkan pendidikan harus mampu membuka pemahaman mereka terhadap dunia luas sehingga aliaran kehidupan bisa mengalir dari pikiran mereka. Pendidikan yang terjebak pada kebutuhan teknis dan melayani industri biasanya akan terjebak pada upaya menjawab pertanyaan mendasar tentang fungsi dan hakikat pendidikan. Jika pendidikan bertujuan menciptakan kesadaran, selain pengetahuan dan keterampilan teknis, maka hal ini memang berhadapan dengan dominasi ideologi yang membuat kebanyakan orang kehilangan daya kritisnya. Setiap transisi melibatkan perubahan, namun tidak setiap perubahan melahirkan transisi (Paulo Frire, 1967, terjemahan Alois A. Nugroho: 1984:7). Perubahan- perubahan ini tampak pada kemajuan pemikiran yang mendalam dan ini terlihat pada diri manusia ketika manusia menggapai cita-cita penuntutan terhadap mutu pendidikan untuk mencapai cita-cita tersebut. Oleh sebab itu semakin kompleks pula jiwa manusia karena didorong oleh tuntutan hidup yang semakin meningkat pula. Itulah sebabnya pendidikan beserta lembaga-lembaganya harus menjadi cermin dari cita-cita kelompok manusia disatu pihak dan pada waktu bersamaan dan sekaligus mampu mengubah dan meningkatkan cita-cita hidup kelompok manusia agar tidak terbelakang dan statis. Kata kunci : pendidikan, mutu pendidikan
THE ROLE OF EDUCATION IN INCREASING THE QUALITY OF EDUCATION FOR HUMAN WELFARE
Abstract. According to Comenius, a decent education for our students or learners are not with fed a variety of words, sentences and ideas in their heads that was offered with a variety of authors, but the other hands must be able to open their understanding to wide world so that life can flows from their minds. Education that is trapped on the technical needs and serving the industry commonky wich would trapped in an effort to answer fundamental questions about the function and education nature. If education aims to create awareness, besides knowledge and technical skills, so in this ceses actually face with the dominant ideology that makes most of people lose their critical power. Each transition involves a change, but not every change in birth transition (Frire Paulo, 1967, translate of Alois A. Nugroho: 1984:7). These changes appear on the progress of intended paradigm and it is seem in humans seft when humans get the dreams to ward the quality of education to achieve that goal. There fore the human soul is more complex because is supported by
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
98
demands of life which is more increase too because of that educations and its institutions must be mirror of the ideals of the human groups in one side. At the same time also be able change and increase the ideals of life, of the human groups in order that not back word and static.
Keywords: education, quality of education
I. Pendahuluan
Pendidikan merupakan tempat untuk membuktikan adanya perbedaan tingkat
kemampuan seseorang. Melalui pendidikan, suatu bangsa akan mampu menciptakan
kader-kader atau generasi-generasi pencetus yang berkualitas. Oleh sebab itu, hanya
pendidikanlah yang bisa menjawab “apakah bangsa kita akan mampu menghadapi
persaingan intelektualitas di kancah internasional?”.
Memang pendidikan merupakan investasi yang sangat berharga untuk menjadikan
masa depan kita menjadi lebih baik dan ini terbukti dengan banyak orang yang berlomba-
lomba menuntut ilmu setinggi-tingginya bahkan sampai keluar negeri sekalipun. Namun
terlepas dari hal tersebut masih banyak saudara-saudara kita yang tidak bisa merasakan
indahnya pendidikan karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu salah satunya faktor
kemiskinan.
Menurut Comenius dalam karyanya yang berjudul Didactica Magna (“Seni
Pengajaran yang Agung”) menyatakan bahwa prinsip terpenting adalah “education for
everyone” (pendidikan untuk semua), ini menunjukan Comenius berprinsip bahwa tidak
hanya orang kaya atau yang punya kekuasaan saja yang bisa merasakan pendidikan,
melainkan semua orang harus bisa merasakan pendidikan. Oleh karenanya masalah
pendidikan merupakan wahana yang sangat penting untuk mencapai kemerdekaan.
Dimana sejarah telah membuktikan hal itu ketika para pemimpin perjuangan kemerdekaan
diberbagai Negara jajahan memulai kegiatan mereka dari bidang pendidikan.
II. Deskripsi Konsep Pendidikan
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia adalah suatu kebutuhan mutlak yang harus
dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa adanya pendidikan maka mustahil dan tidak mungkin
seseorang atau kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-
cita) untuk maju, berkembang, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup
mereka. Oleh sebab itu, pendidikan menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara
sistematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan teorikal dan praktikal sepanjag
waktu sesuai dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri. Kerena pendidikan sangat
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
99
berperan penting dalam pembangunan suatu bangsa, maka ini dijadikan suatu pacuan
untuk mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Definisi pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli antara lain: (1) Dirkarya mengatakan
bahwa : Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia
ketaraf insani itulah yang disebut mendidik (Ditjen Dikti, 1983/1984:19). (2) Dictionary
of education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses dimana seseorang
mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya didalam
kehidupan bermasyarakat, proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh
lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia
dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan
individu yang optimum (Ditjen Dikti, 1983/1984:19). (3) Crow and crow menyebutkan
bahwa pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi
individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta
kelembagaan sosial dari generasi ke gerasi (Suprapto, 1975). (4) Ki Hadjar Dewantara
dalam Kongres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930 menyebutkan bahwa
pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran, intelek dan tubuh anak.
Dari uraian diatas, maka pendidikan dapat diartikan sebagai : (1) Suatu proses
pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan. (2) Suatu pengarahan dan
bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya. (3) Suatu usaha sadar
untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikendaki oleh masyarakat. (4)
Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak dalam menuju dewasa (Fuad Ihsan,
2003).
Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan
pembentukan keterampilan saja, namun perlu diperluas sehingga mencakup usaha untuk
mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup
pribadi dan sosial yang memuaskan. Dari paparan tersebut maka implikasi konsep
pendidikannya adalah (a) Semua tenaga pendidikan baik pada jalur formal, nonformal
maupun informal yang mencakup manajer atau administrator pendidikan, pengawas
pendidikan atau supervisor, guru, dosen, eksper, dan narasumber serta tenaga penunjang
akademik harus memiliki pengertian yang benar tentang pendidikan, paham akan tujuan
pendidikan, menyiapkan segala sesuatu, serta melaksanakan tugasnya masing-masing
sesuai dengan prinsip pendidikan dan mengarah kepada pencapain tujuan pendidikan. Ada
tiga macam pendidikan, yaitu: (1) Pendidikan yang dipakai oleh masyarakat umum, yang
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
100
tidak ilmiah melainkan diwariskan secara turun temurun; (2) Teori umum pendidikan yang
mirip dengan filsafat pendidikan, yang menekankan pada prinsip-prinsip mengajar atau
didakti; (3) Ilmu pendidikan, suatu pendidikan yang bersifat ilmiah, yang utuh sebagai satu
kesatuan ilmu. (b) Mendidik adalah suatu upaya untuk membuat peserta didik mau dan
dapat belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi dan potensi-
potensi lainnya secara optimal kearah yang positif. (c) Tujuan mendidik adalah membantu
anak untuk mengembangkan semua potensi jiwa dan jasmaninya secara berimbang
harmonis dan terintegrasi sehingga menjadi manusia yang berkembang seutuhnya yang
diwarnai oleh sila-sila pancasila.
Untuk mengatasi praktik-praktik pendidikan yang bersumber dari konsep-konsep
pendidikan luar negri dan yang mengutamakan pengembangan kognisi, perlu segera
dipikirkan untuk mewujudkan ilmu pendidikan yang bercorak Indonesia. Serta
penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan sebagai bagian yang terpenting dalam
mengsukseskan misi pendidikan, sebab cara ini lebih menjamin dari pada nonsistem.
III. Pembahasan
1. Fungsi pendidikan
Pendidikan sangat berperan penting terhadap perkembangan seseorang maupun
sekelompok orang. Dengan pendidikan seseorang dapat merubah dirinya sendiri baik dari
segi tingkah laku maupun dari segi pemikirannya. Tidak heran bahwa banyak peserta didik
menuntut ilmu setinggi-tingginya sampai keluar negeri sekalipun untuk mencapai cita-cita
yang ingin digapainya. Fungsi pendidikan dapat diartikan secara sempit maupun secara
luas. Fungsi pendidikan secara sempit adalah membantu secara sadar perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik, sedangkan pengertian secara luasnya adalah sebagai alat
pengembangan pribadi, perkembangan warga Negara, budaya dan bangsa (Fuad Ihsan,
2003).
Melalui pendidikan yang diberikan seseorang atau sekelompok orang dapat
mengetahui apa yang belum diketahui dan menambah wawasan pemikirannya sehingga
menjadi manusia yang seutuhnya. Suatu bangsa dikatakan maju apabila mutu
pendidikannya bagus sehingga dapat menciptakan kader-kader anak bangsa yang cerdas.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
101
2. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan di Indonesia tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia
(UURI) nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan-
peraturan pemerintah yang bertalian dengan pendidikan. Dalam peraturan pemerintah
republik Indonesia (PPRI) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
pasal 26 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar :
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri,
mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dari urain tersebut dapat dikatakan bahwa peranan
pendidikan dari mulai SD, SMP, SMA dan pendidikan tingkat lanjut mempunyai tujuan
yang sama, hanya saja dalam pendidikan dasar dinyatakan dalam peletak dasar, sedangkan
pendidikan umum disebutkan untuk meningkatkan apa yang telah dicapai pada pendidikan
dasar. Masih dalam pasal yang sama yaitu ayat 4 pada PP itu menyatakan bahwa tujuan
pendidikan tinggi adalah untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, terampil, mandiri, mampu menemukan,
mengembangkan dan menerapkan ilmu, teknologi, serta seni yang bermanfaat bagi
kemanusiaan. Tujuan pendidikan tinggi ini sudah komprehensif, sebab sudah mencakup
ranah afeksi, kognisi, dan psikomotor, serta dilengkapi dengan kemampuan mandiri dan
menjadi ilmuwan. Jika tujuan pendidikan diatas dikaitkan dengan tujuan pendidikan
nasional yang tertulis dalam UURI No. 20 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional berupaya untuk dapat mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis
serta bertanggungjawab.
Secara umum tujuan-tujuan pendidikan di Indonesia, baik tujuan-tujuan sekolah,
perguruan tinggi, maupun tujuan nasional sudah mencakup tiga ranah perkembangan
manusia, seperti yang tertulis dalam teori-teori pendidikan, yaitu perkembangan afeksi,
kognitif, dan psikomotor. Melalui sistem pendidikan nasional diharapkan setiap rakyat
Indonesia mempertahankan hidupnya, mengembangkan dirinya dan secara bersama-sama
membangun masyarakatnya. Dengan demikian tujuan pendidikan di Indonesia yang sudah
komprehensif yang mencakup afeksi, kognitif, dan psikomotor hendaklah dikembangkan
secara berimbang, optimal, dan integrative. Berimbang artinya perkembangan ketiga ranah
tersebut diatas dilakukan dengan intensitas yang sama, yang professional dan tidak berat
sebelah. Optimal artinya setiap ranah itu dilayani perkembangannya sesuai dengan besar
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
102
potensinya masing-masing. Sedangkan integrative menunjukan perkembangan ketiga
ranah itu dikaitkan satu dengan yang lain sehinggan menjadi kebulatan.
3. Faktor-faktor Pendidikan
Ada beberapa faktor pendidikan yang dapat membentuk pola interaksi atau saling
mempengaruhi diantaranya adalah sebagai berikut :
(1) Faktor Tujuan; Menurut Langeveld dalam bukunya Beknopte Teoritische Pedagogik
bahwa macam-macam tujuan pendidikan dibedakan sebagai berikut yaitu tujuan
umum, tujuan tak sempurna/ tak lengkap, tujuan sementara, tujuan perantara dan
tujuan insidental.
(2) Faktor Pendidik; ini dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu: (a) pendidik menurut
kodrat yaitu orang tua; Maksudnya pendidik pertama dan utama karena secara kodrati
anak manusia dilahirkan oleh orang tuanya yaitu ibu. Hubungan orang tua dan
anaknya dalam edukatif mengandung dua unsur dasar yaitu unsur kasih sayang
pendidik terhadap anak dan unsur kesadaran dan tanggung jawab dari pendidik untuk
menuntun perkembangan anak. (b) Pendidik menurut jabatan yaitu guru; Maksudnya
guru sebagai pendidik menerima jabatan dan tanggung jawab dari tiga pihak yaitu
orang tua, masyarakat dan Negara. Tanggungjawab dari orang tua diterima guru atas
dasar rasa kepercayaan bahwa guru mampu memberikan pendidikan dan pengajaran
sesuai dengan perkembangan peserta didik dan diharapkan pula dari pribadi guru
memancar sikap-sikap dan sifat-sifat yang normative baik sebagai kelanjutan dari
sikap dan sifat orang tua pada umumnya yaitu kasih sayang pada peserta didik dan
tanggungjawab pada tugas pendidik.
(3) Faktor Peserta Didik; Seiring dengan perubahan dan kemajuan pendidikan dimana
pendidikan dulu memandang peserta didik sebagai organisme yang pasif dan hanya
menerima informasi dari orang dewasa. Kini paradigma itu bergeser sejalan dengan
komunikasi antara manusia berkembang amat cepat. Hal ini ditinjau dari konteks yang
mendorong perkembangan seseorang yaitu : (a) Lingkungan dimana peserta didik
secara kebetulan dan kadang-kadang belajar secara tidak terprogram; (b) Lingkungan
belajar dimana peserta didik belajar secara sengaja dan dikehendaki; (c) Sekolah
dimana peserta didik belajar mengikuti program yang ditetapkan; (d) Lingkungan
pendidikan optimal, di sekolah yang ideal dimana peserta didik dapat melakukan cara
belajar siswa aktif (CSBA) sekaligus menghayati / mengimplisitkan nilai-nilai.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
103
Secara teoritis peserta didik bisa berkembang secara optimal dalam arti kata mampu
berkembang kreatif optimal: (a) Faktor Isi / Materi Pendidikan ialah segala sesuatu yang
berasal dari pendidik yang diberikan secara langsung kepada peserta didik dalam rangka
untuk mencapai tujuan pendidikan. Adapun materi yang disampaikan yaitu harus materi
yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan peserta didik; (b) Faktor Metode Pendidikan;
Hal ini ditandai dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi ini dapat berlangsung
secara efektif dan efesien dalam mencapai pendidikan dan tujuannya maka dibutuhkan
pemilihan bahan / materi pendidikan yang tepat. Oleh sebab itu, perlu menentukan suatu
metode agar mempunyai patokan yang bersumber dari beberapa faktor dan faktor utama
yang menetukan adalah tujuan yang akan dicapai; (c) Faktor Situasi Lingkungan; Faktor
lingkungan ini juga mempengaruhi pendidikan yaitu meliputi lingkungan fisis, lingkungan
teknis maupun lingkungan sosial. Dimana faktor ini dapat berefek negarif terhadap
pendidikan maupun peserta didik baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
IV. Kesimpulan
Pendidikan adalah suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar
pandangan hidup bangsa itu sendiri. Dan sekaligus juga menunjukan sesuatu bagaimana
warga negaranya berfikir dan berperilaku secara turun temurun hingga kepada generasi
berikutnya yang dalam perkembangan akan sampai pada tingkat peradaban yang maju atau
meningkatnya nilai-nilai kehidupan dan menghasilkan pembinaan kehidupan yang
sempurna. Melalui usaha yang dilakukan tersebut akan tertanam nilai-nilai dan norma-
norma pada diri manusia dan hal itu dapat diwariskan pada kader-kader bangsa untuk
mengembangkannya dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses
pendidikan.
Ditinjau dari tujuan pendidikan Paulo Freire mengemukakan bahwa pendidikan
hendaklah membuat manusia menjadi transitif yaitu suatu kemampuan menangkap dan
menanggapi masalah-masalah lingkungan serta kemampuan berdialog tidak hanya dengan
sesama, tetapi juga dengan dunia beserta segala isinya (Freire, 1984). Selanjutnya ia
mengatakan bahwa pendidikan harus pula membekali manusia dengan kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap kecenderungan semakin kuatnya kebudayaan industri
meskipun kebudayaan itu dapat menaikan standar hidup manusia. Seperti yang dikemukan
oleh Alvin Toffler (1987) yang menyatakan bahwa masa sekarang tidak sama dengan masa
yang akan datang. Oleh sebab itu peranan pendidikan terhadap kemajuan suatu bangsa
sangat berperan penting untuk mengembangkan diri secara alami atau wajar dalam arti
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
104
memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi-potensi mereka
seperti apa adanya. Namun cita-cita tersebut tidak mungkin dapat dicapai jika manusia itu
sendiri tidak berusaha keras meningkatkan kemampuannya seoptimal mungkin melalui
pendidikan, karena proses kependidikan adalah suatu kegiatan secara bertahap berdasarkan
peranannya yang matang untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut.
Daftar Pustaka
Barnadib, Ny. Soetari. 1985. Pendidikan Sistematis.Yayasan Penerbit FIP-FKIP:
Yogyakarta.
Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. PT Gramedia: Jakarta.
Ihsan, Fuad. 2003. Dasar-dasar Kependidikan. PT Rineka Cipta: Jakarta.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. PT Rineka Cipta: Jakarta.
Soyomukti, Nurani. 2008. Metode Pendidikan Marxisme Sosialis. Ar-Ruzz Media:
Yogyakarta.
Undang-undang Nomor 2/1989. 1990. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.Departemen
Penerangan.
Zubaedi. 2007. Pendidikan Berbasis Masyarakat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Tanya Jawab
Hendra Agus S. , Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Bagaimana mutu pendidikan di Indonesia
? Standar mutu pendidikan yang baik
? Bagaimana pendidikan nonformal bisa mendukung dari pendidikan formal itu sendiri
Nur Hidayah – UAD
@ Mutu pendidikan di Indonesia, pemerintah tidak bisa seutuhnya menjadi penentu dari
mutu pendidikan, banyak faktor lain yang terkait.
@ Peningkatan standarisasi mutu pendidikan dengan perkembangan kurikulum (KBK,
KTSP)
@ Pendidikan nonformal bisa mendukung adanya pendidikan formal karena banyak hal-
hal yang bisa dicapai/prestasi dari pendidikan non formal
Contoh: homeschooling
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
105
Rusli Irwanto, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Bagaimana pandangan anda tentang pendidikan yang terdapat unsur ketidakjujuran?
? Bagaimana pola pendidikan yang benar dan bagus untuk meningkatkan mutu
pendidikan bagi kesejahteraan manusia?
Nur Hidayah – UAD
@ Kejujuran dalam pendidikan itu sebenarnya dapat dicapai dengan kesadaran diri dan
menanamkan pola-pola pendidikan yang ada.
@ Dengan ranah kognitif dan psikomotor dari diri sendiri kemudian baru kepada orang
lain.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
106
UPAYA MENINGKATKAN MINAT DAN PRESTASI BELAJAR FISIKA
MELALUI METODE PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE (TTW)
Hidayati
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Yogyakarta
Intisari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan minat dan prestasi belajar fisika melalui metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST tahun akademik 2009/2010. Selain itu juga untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap pelaksanaan pembelajaran TTW. Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah ada peningkatan minat dan prestasi belajar fisika melalui metode pembelajaran TTW. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan secara kolaboratif. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST yang menempuh mata kuliah fisika sebanyak 27 mahasiswa. Obyek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan proses pembelajaran melalui metode TTW, minat belajar fisika dan prestasi belajar fisika. Penelitian dilakukan selama 6 bulan, mulai bulan September 2009 sampai Februari 2010. Teknik pengumpulan data dengan teknik observasi, wawancara, catatan lapangan, angket dan tes. Angket untuk menjaring data minat belajar dan tes untuk menjaring data prestasi belajar fisika. Validitas instrumen angket dan tes dicari dengan korelasi Produk Moment dari Pearson. Reliabilitas instrumen angket dan tes dicari dengan Alpha Cornbach. Analisis data angket partisipasi mahasiswa dicari dengan kriteria Sukardi (2006:147). Analisis prosentase keberhasilan menggunakan rumus Suharsimi Arikunto (2006:214). Penentuan skor peningkatan individu dan kelompok dicari dengan kriteria Muslimin Ibrahim (2006:57). Hasil penelitian menunjukan bahwa ada peningkatkan minat mahasiswa dalam pembelajaran fisika melalui metode TTW dari kriteria sedang menjadi kriteria tinggi atau dari skor rata rata siklus I sebesar 58,62 menjadi 77,33 pada siklus II. Selanjutnya ditemukan bahwa ada peningkatan prestasi belajar fisika setelah diajar melalui metode TTW. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai awal rata rata sebesar 48,43 kemudian pada siklus I menjadi 65,89 dan pada siklus II menjadi 80,78. Ditinjau dari respon mahasiswa diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran melalui metode TTW lebih menarik minat dan lebih menyenangkan sebab jika ada kesulitan dapat ditanyakan kepada kelompok dan mendapat penghargaan.
THE EFFORT TO IMPROVE ACHIEVEMENT AND INTEREST PHYSICAL
LEARNING THROUGH THINK TALK WRITE (TTW)
Abstract. This research have a purpose to improve interest and achievement of physical learning through Think Talk Write (TTW) learning method university student IPA FKIP UST academic year 2009/2010. Else to know student respond about realization of TTW learning. Action hypothesis in this research is there are interest and achieve to learn physic through TTW learning method. This research is a action research that done collaboratively. Subject in this research are 27 students of Science Education study program of FKIP UST that have physics subject. Object in this research is learning process execution with TTW method, interesting and achieve to learn physic. This research is done for 6 months, start
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
107
from September 2009 until Februari 2010. Collecting data method and observation technical, interview, field notes, questionnaire and exam. Questionnaire for filter study interest data and exam for filter study physic achievement data. Validity of questionnaire instrument and exam are searched by moment product correlation from Pearson. Reliability of questionnaire instrument an exam are searched by Alpha Cornbach. Questionnaire data analysis of student university participation are search by Sukardi criteria (2006:147). Achievement percentage analysis use Suharsimi Arikunto method (2006:214). Determination of increment of individual and groups are search by Muslim Ibrahm Criteria (2006:57). The result of this research show that there are increment of student interest in studying physic by TTW method from medium criteria to high criteria or from average score cycle 1 about 58,62% to 77,33% on cycle II. Then founded that there are increment in learning physic achievement after taught by TTW method. It can be proved from average first score about 48,83 then in 1st cycle become 65,89 and in 2nd cycle become 80,78. Viewed from university student respond, can be concluded that learning by TT method more intrigue and more pleasant because if there are some difficulties can be asked in groups and get reward. Keyword : Think Talk Write Learning Mathod, Interest and Achievement.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan sarana penting untuk mencetak manusia yang berkualitas.
Untuk mewujudkan hal tersebut peran pendidik sangat besar, antara lain dalam hal
peningkatan mutu pendidikan dan keberhasilan mahasiswa. Ini berarati dosen sebagai
pendidik dituntut untuk dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dengan baik.
Berhasil tidaknya suatu pembelajaran yang diterapkan pendidik di kampus salah satunya
tergantung dari metode dan strategi yang digunakan.
Pendidik sebagai agen pembelajaran harus mampu menyajikan proses pembelajaran
secara kontekstual dengan melibatkan keaktifan mahasiswa secara langsung. Sebaik
apapun substansi materi, tetapi jika pendidik tidak mampu mengemas secara baik dalam
penyampaiannya, maka substansi materi tersebut tidak akan sampai kepada mahasiswa.
Dalam arti mahasiswa akan menjadi bosan karena kurangnya respon dan antusiasme
mereka. Untuk itu pendidik harus mampu meramu sistem pembelajaran dan mampu
menyampaikannya secara menarik, efektif dan inovatif sehingga dapat mendorong
kreatifitas mahasiswa dan menumbuhkan minat belajarnya, yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan prestasi belajar fisikanya.
Fisika sebagai salah satu mata kuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa program
studi pendidikan IPA FKIP UST pada semester I, dengan bobot 2 sks teori dan 1 sks
praktikum. Berdasar pengamatan yang ada diperoleh data bahwa prestasi belajar fisikanya
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
108
masih di bawah rata rata. Hal ini disebabkan karena selama ini dalam pelaksanaan
pembelajarannya masih menggunakan metode konvensional dan ceramah, sehingga
mahasiswa cenderung pasif, menghafal seperangkat fakta dan konsep yang dijelaskan
dosen. Hal lain yang turut andil melatar belakangi masalah ini adalah adanya asumsi siswa
dari tingkat SD sampai PT yang menganggap bahwa fisika merupakan mata pelajaran yang
paling membosankan, sulit dimengerti dan bahkan menakutkan.
Untuk menanggulangi hal tersebut tidaklah mudah, namun dibutuhkan strategi yang
jitu agar dapat menarik minat dan keinginan mahasiswa untuk belajar, yang pada akhirnya
akan dapat meningkatkan prestasi belajar fisikanya. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan memilih metode pembelajaran yang dapat memberi kesempatan
seluas luasnya kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa dapat mengembangkan seluruh
potensi yang dimilikinya. Salah satu metode pembelajaran yang dapat diterapkan adalah
metode Think Talk Write (TTW)
Melalui metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) mahasiswa mempunyai peran
yang sangat dominan, yaitu terjadinya kerja sama dalam kelompok dengan ciri utama
berfikir, berbicara dan menulis atau mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas,
sehingga semua mahasiswa akan berusaha untuk dapat memecahkan permasalahan yang
dihadapi. Hal ini berarti mahasiswa mempunyai kesempatan yang luas untuk bekerja
sendiri dan bekerja bersama orang lain untuk memecahkan masalah dengan cara
berdiskusi. Hasil akhirnya adalah mahasiswa dapat mengkomonikasikan pengetahuan yang
telah diperoleh kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Jika metode TTW ini
dibiasakan akan dapat membantu mahasiswa yang berkemampuan rendah untuk dapat
meningkatkan kemampuannya, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan minat dan
prestasi belajar fisikanya.
B. Pembatasan Masalah.
Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada upaya meningkatkan minat dan
prestasi belajar fisika melalui metode Think Talk Write (TTW) Mahasiswa Program Studi
Pendidikan IPA FKIP UST Tahun Akademik 2009/2010.
C. Perumusan Masalah.
1. Bagaimanakah proses pembelajaran dengan menggunakan metode Think Talk Write
(TTW) sehingga dapat meningkatkan minat belajar fisika mahasiswa Program Studi
Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010?.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
109
2. Bagaimana metode pembelajaran TTW sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar
fisika mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun
Akademik 2009/2010?.
3. Bagaimana respon mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta
Tahun Akademik 2009/2010 setelah mengikuti pembelajaran fisika dengan
menggunakan metode TTW?.
D. Tujuan Penelitian.
1. Untuk mengetahui peningkatan minat belajar fisika mahasiswa Program Studi
Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010 melalui metode
Think Talk Write (TTW)
2. Untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar fisika mahasiswa Program Studi
Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010 melalui metode
TTW .
3. Untuk mengetahui respon mahasiswa setelah mengikuti pembelajaran fisika melalui
metode TTW.
II. KAJIAN PUSTAKA DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teori.
1. Prestasi Belajar Fisika.
Pengertian prestasi menurut Anton Moeliono (2005:144) adalah ”upaya yang telah
dicapai atau dilakukan atau dikerjakan dan sebagainya”.
Menurut Nasution (2008:35) ”belajar adalah suatu kegiatan yang membawa
perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah
pengetahuan melainkan juga jumlah kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian,
penghargaan, minat, penyesuaian diri, pendeknya mengenai segala aspek pribadi
seseorang”.
Pengertian fisika menurut Tipler (2001: Vii) ”adalah pengetahuan yang paling
mendasar karena berhubungan dengan perilaku dan struktur benda.” Dengan demikian
fisika tidak hanya terjadi dari sekumpulan fakta berupa hukum tapi juga merupakan cara
berfikir. Karena itu fisika adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengungkap rahasia
alam dengan cara berfikir dan bertindak atas dasar observasi dan eksperimen. Materi
fisika yang dibahas dalam penelitian ini adalah fluida statis, fluida dinamis dan gerak
harmonis.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
110
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
prestasi belajar fisika adalah tingkat perubahan pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan
dari diri siswa tentang materi fisika yang dikaitkan dengan alam sekitar melalui proses
belajar. Tingkat perubahan ini yang digunakan sebagai informasi untuk mengetahui
seberapa jauh pengetahuan dan kemampuan telah dicapai oleh mahasiswa pada akhir
proses pembelajaran, dan hasilnya dituangkan dalam bentuk angka atau nilai.
2. Minat Belajar Fisika
Menurut Anton M. Moeliono (2005: 583) “minat adalah kecenderungan hati yang
tinggi terhadap suatu gairah, keinginan”. Selanjutnya Muhibbin Syah ( 2000 : 71)
mendifinisikan bahwa “minat adalah kecenderungan, kegairahan atau keinginan yang
tinggi terhadap sesuatu, minat mempengaruhi dalam pemusatan perhatian sehingga
mendorong untuk melakukan atau memperhatikan sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Adapun yang dimaksud minat belajar fisika adalah aspek psikologi seseorang yang
menampakkan diri dalam beberapa gejala, seperti : gairah, keinginan, perasaan suka untuk
melakukan proses perubahan tingkah laku melalui berbagai kegiatan dalam belajar fisika,
yang meliputi mencari pengetahuan dan pengalaman, dengan kata lain, minat belajar fisika
itu adalah perhatian, rasa suka, ketertarikan seseorang (mahasiswa) terhadap pelajaran
fisika yang ditunjukkan melalui keantusiasan, partisipasi dan keaktifan dalam belajar
fisika.
3. Metode Pembelajaran Think Talk Write (TTW)
Think Talk Write (TTW) adalah suatu pembelajaran yang dimulai dengan berpikir
melalui bahan bacaan, yaitu menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi. Hasil
bacaannya kemudian dikomunikasikan melalui presentasi dan diskusi. Dari hasil presentasi
ini kemudian dibuat laporannya. Sintaksnya adalah informasi, kelompok untuk membaca-
mencatat-menandai, presentasi, diskusi, dan melaporkan.
(http://yadirosadi.co.cc/category/pendidikan/). Strategi pembelajaran TTW dibangun
melalui berpikir, berbicara dan menulis. Alur kemajuan strategi TTW ini dimulai dari
keterlibatan mahasiswa dalam berpikir atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses
membaca, selanjutnya berbicara dan membagi ide (talking) dengan temannya dalam
kelompok sebelum menulis. Suasana seperti ini lebih efektif jika dilakukan dalam
kelompok yang heterogen dengan jumlah tiga sampai lima mahasiswa. Dalam kelompok
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
111
ini mahasiswa diminta membaca, membuat catatan kecil, menjelaskan, mendengarkan ide
bersama teman kemudian mengungkapkannya melalui tulisan. Alur TTW meliputi :
a. Berpikir (thinking)
Aktifitas berpikir (Think) dapat dilihat dari proses membaca soal atau bacaan fisika
atau membaca kejadian alam. Misalnya: mengapa pesawat bisa terbang di awan?.
Mengapa kapal laut sebesar dan seberat itu tidak tenggelam?. Mengapa dongkrak kecil
bisa mengangkat mobil yang berat?. Mengapa air bisa dialirkan naik ke gedung
bertingkat?. Mengapa kita bisa mendengar bunyi?. dan sebagainya. Jawaban dari apa yang
telah dibaca dan beberapa hasil pemikiran tersebut kemudian dibuat catatannya. Dalam
membuat catatan ini mahasiswa mempersatukan ide yang disarikan dari bacaan, masalah
atau soal, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa sendiri, dan hasilnya dipresentasikan
di depan kelas. Hal ini jika dilakukan secara rutin akan dapat merangsang aktifitas berpikir
sebelum, selama dan setelah membaca, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
minat, pengetahuan dan ketrampilan berpikir mahasiswa.
b. Berdiskusi (Talking)
Pada tahap Talk atau berdiskusi atau berkomunikasi dengan kelompoknya
menggunakan kata kata dan bahasa mereka sendiri. Talking membantu pendidik untuk
mengetahui tingkat pemahaman mahasiswa dalam belajar, sehingga dapat digunakan untuk
mempersiapkan perlengkapan pembelajaran yang dibutuhkan.
Strategi talking ini memungkinkan mahasiswa untuk terampil berbicara. Proses
komunikasi dipelajari mahasiswa melalui kehidupannya sebagai individu yang berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya. Misalnya mengkomunikasikan tentang ide fisika yang
dihubungkan dengan pengalaman mereka, sehingga mereka mampu untuk menulis tentang
ide itu. Ketrampilan berkomunikasi dapat mempercepat kemampuan mahasiswa dalam
mengungkapkan idenya melalui tulisan. Selanjutnya dengan berkomunikasi dapat
menkontruksi berbagai ide untuk dikemukakan melalui dialog. Dalam hal ini pendidik
hanya berperan sebagai mediator dalam lingkungan belajar.
c. Fase Write adalah menuliskan hasil diskusi yang telah dikerjakan.
Aktifitas menulis berarti mengkontruksi ide, karena setalah berdiskusi atau berdialog
antar teman, kemudian mengungkapkannya melalui tulisan. Aktivitas menulis akan
membantu mahasiswa dalam membuat hubungan dan memungkinkan pendidik melihat
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
112
pengembangan konsep dan memantau kesalahan mahasiswa, konsepsi mahasiswa terhadap
ide yang keliru dan keterangan nyata dari prestasi mahasiswa.
Kelebihan Metode Think Talk Write (TTW).
Menurut Silver dan Smith yang dikutip oleh Bansu Irianto Ansari (dalam
Http://pendidikanmatematika.blogspot.com/2009/03/pendekatan -think-talk-write) adalah:
a. Mengajukan pertanyaan dan tugas yang mendatangkan keterlibatan dan menantang
setiap siswa untuk berpikir.
b. Mendengarkan secara hati-hati ide siswa.
c. Menyuruh siswa mengemukakan ide secara lisan dan tulisan.
d. Memutuskan apa yang digali dan dibawa siswa dalam diskusi.
e. Memutuskan kapan memberi informasi, mengklarifikasi persoalan-persoalan,
menggunakan model, membimbing dan membiarkan siswa berjuang dengan
kesulitan.
f. Memonitor dan menilai partisipasi siswa dalam diskusi, dan memutuskan kapan dan
bagaimana mendorong setiap siswa untuk berpartisipasi.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan.
1. Hasil penelitian Yusi Maryati (2008:77) menyimpulkan bahwa metode Think Talk
Write (TTW) dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa klas 2 SMP
Negri Bandung.
2. Hasil penelitian Taufiq (2009) menyimpulkan bahwa penggunaan strategi TTW
dapat meningkatkan hasil belajar dimensi tiga di kelas VIII SMP Negri Peukan.
C. Kerangka Berpikir
Untuk dapat meningkatkan minat dan prestasi belajar fisika adalah pendidik harus
mampu mengemas materi dengan baik dan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang
optimal. Salah satu model pembelajaran yang dapat memberi kesempatan seluas luasnya
pada mahasiswa untuk berkembang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya adalah
metode Think Talk Write (TTW).
Dalam metode pembelajaran TTW mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok
heterogen yang mempunyai kemampuan sama. Dalam kelompok ini mahasiswa diberi
kesempatan untuk bertindak, mengeluarkan pendapat tanpa takut salah, berdiskusi dan
mengkomunikasikan hasilnya pada teman lain didepan kelas. Dengan pembelajaran TTW
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
113
ini diharapkan dapat meningkatkan aktifitas dan minat mahasiswa dalam belajar fisika
yang pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar fisikanya.
D. Pengajuan Hipotesis.
Ada peningkatan minat dan pretasi belajar Fisika melalui metode pembelajaran
Think Talk Write (TTW) mahasiswa program Studi Pendidikan IPA FKIP UST
Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010.
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yang dilakukan secara
kolaboratif. Ciri utama PTK ini adalah tindakan yang berulang dan metode utamanya
adalah refleksi diri yang bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran.
B. Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester I Program Studi Pendidikan
IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010.
Obyek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan proses pembelajaran, minat dan
prestasi belajar fisika, yang diperoleh dari penggunaan metode Think Talk Write (TTW).
C. Disain Penelitian
Disain dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan
menggunakan model spiral dari Kemmis dan Taggart yang dikutip oleh Sukardi
(2006:214) yang terdiri dari dua siklus dan empat komponen tindakan yaitu perencanaan,
tindakan, observasi, dan refleksi.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengamatan
(observasi), pedoman wawancara, angket minat belajar fisika dan tes prestasi belajar
fisika. Untuk mencari validitas instrumen minat dan tes prestasi belajar fisika digunakan
rumus korelasi produk momen dari Pearson (Suharsimi Arikunto, 2006:104). Untuk
mencari reliabilitas instrumen minat dan prestasi belajar fisika dengan rumus Alpha
Cornbah (Suharsimi Arikunto, 2006:158 ).
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa lembar observasi dalam setiap
proses pembelajaran, angket mahasiswa pada akhir siklus, hasil wawancara yang
dilakukan dengan mahasiswa pada akhir siklus dan tes prestasi belajar fisika.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
114
Tes penempatan bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal mahasiswa. Tes
kemampuan awal ini ini untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar fisika mahasiswa
sebelum dan sesudah diberikan tindakan. Dari hasil tes penempatan diperoleh data sebagai
berikut:
Tabel 1. Nilai Tes Awal / Penempatan dan Pembentukan Kelompok.
Sebaran Nilai Anggota No 1 2 3 4 5 5
Jumlah
N
Rata-rata Kelompok
1 2 3 4 5 6
55 54 57 54 54 56
57 56 55 55 56 54
44 45 44 44 43 44
40 41 42 44 43 44
- 44
- 40 40
-
196 240 198 237 236 199
4 5 4 5 5 4
4948
49,547,447,249,5
I II III IV V VI
Jumlah 1305 Rata-rata Nilai Tes Awal 48,43
1. Kegiatan Pada Siklus I
a. Presentasi Dosen.
Sebelum mahasiswa belajar secara individu, dosen memberikan materi yang akan
dipelajari. Hal ini dilakukan karena dosen tetap mempunyai peran meskipun tidak terlalu
dominan. Peran dosen dalam pembelajaran ini adalah mengatur dan memantau jalannya
diskusi dalam belajar kelompok, saat presentasi di depan kelas dan memberi apersepsi
tentang materi yang dipelajari.
b. Belajar Secara Individu.
Dalam pertemuan siklus I, mahasiswa diberi lembar pertanyaan atau tugas yang
harus dikerjakan secara individu di meja masing masing. Untuk memantau jalannya
kegiatan, peneliti melakukan pengamatan dengan berkeliling.
c. Belajar Secara Kelompok.
Setelah mahasiswa memahami dan menjawab pertanyaan atau tugas secara individu,
hasil pemikiran tersebut selanjutnya didiskusikan dengan anggota kelompok masing
masing dan dipresentasikan di depan kelas. Hasil pengamatan saat presentasi, diskusi dan
pembuatan laporan secara kelompok pada siklus I, dapat disajikan seperti pada tabel 2
berikut.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
115
Tabel 2: Nilai Presentasi, Diskusi dan Laporan Kelompok Pada Siklus I
Pengamatan ke Kelompok
1
2
3
Jumlah
Rata-rata per Kelompok
I II
III IV V
VI
50 55 50 54 50 52
60 62 61 63 60 65
69 70 69 72 68 73
179 187 180 189 178 190
59,67 62,33 60,00 63,00 59,33 63,33
Jumlah 311 371 421 Rata-rata per Pengamatan
51,83 61,83 70,17
d. Pelaksanaan Tes Akhir Siklus I.
Tes diberikan pada akhir siklus I, mencakup materi pembelajaran fisika yang telah
disampaikan dengan metode TTW.
Tabel 3. Nilai Tes Akhir Fisika Siklus I
Nilai Masing-Masing Anggota NO
1 2 3 4 5 5
Jumlah
N
Rata-rata Kelompok
1
2
3
4
5
6
80
82
80
81
82
83
69
67
66
67
68
67
60
63
61
60
61
62
61
61
55
62
51
60
-
58
-
54
58
-
270
331
262
324
320
272
4
5
4
5
5
4
67,50
66,20
65,50
64,80
64,00
68,00
I
II
III
IV
V
VI
Jumlah 1778 27
Rata-rata Nilai Tes Akhir Fisika siklus I 65,89
Nilai tes akhir siklus I diakumulasikan dengan nilai yang didapat dalam kelompok.
Setelah dirata rata maka hasilnya digunakan sebagai dasar dalam pemberian penghargaan.
e. Perhitungan Nilai Kelompok dan Pemberian Penghargaan.
Perhitungan nilai kelompok didasarkan pada nilai rata rata hasil diskusi, presentasi
dan pembuatan laporan dan nilai tes akhir fisika siklus I secara kelompok disajikan seperti
pada tabel 4.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
116
Tabel 4. Nilai Capaian Rata Rata Kelompok Sikus I.
Kelompok Nilai Rata rata Presentasi Diskusi dan Laporan
Nilai Tes Akhir Fisika
Siklus I
Jumlah Nilai Capaian Rata-rata Kelompok
Siklus I I II III IV V VI
59,67 62,33 60,00 63,00 59,33 63,33
67,50 66,20 65,50 64,80 64,00 68,00
127,70 128,53 125,50 127,80 123,33 131,33
63,58 64,26 62,75 63,90 61,67 65,67
Hasil nilai capaian kelompok kemudian dibandingkan dengan nilai tes awal atau tes
penempatan. Hal ini digunakan untuk menentukan kriteria penghargaan kelompok. Hasil
kriteria penghargaan kelompok siklus I dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Hasil Peningkatan Dan kriteria Penghargaan Kelompok Siklus I
Kel Nilai Rata-rata Tes
Awal / Penempatan
Nilai Kelompok
Capaian Siklus I
Pening -
katan
Poin
Perbaikan
Kreteria
Penghargaan
1
II
III
IV
V
VI
48,43
48,43
48,43
48,43
48,43
48,43
63,58
64,26
62,75
63,90
61,67
65,67
15,15
15,83
14,32
15,47
13,24
17,24
20
20
15
20
15
25
Great Team
Great Team
Good Team
Great Team
Good Team
Super Team
Dari tabel 5 di atas terlihat bahwa kelompok VI menjadi kelompok terbaik. Kelompok VI
diklasifikasikan dalam kriteria kelompok Super Team.
f. Data Hasil Observasi
Observasi pada penelitian ini dilakukan pada tiap pertemuan. Dalam kegiatan
observasi ini peneliti menggunakan lembar observasi sebagai instrumen dalam penelitian.
Tabel 6. Hasil Observasi Minat Belajar Fisika Pada Siklus I
Rerata Skor
Pengamatan
No Aspek yang diamatai
1 2 3
∑
Capaian
Rata-
rata
1 Perhatian terhadap pelajaran Fisika 57 69 75 201 67,00
2 Semangat dalam mempelajari Fisika 56 60 77 192 64,00
3 Partisipasi dalam Belajar Fisika 56 67 79 202 67,33
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
117
4 Keteraturan dalam belajar Fisika 50 69 75 194 64,67
5 Mencatat materi Pelajaran 50 65 70 185 61,67
6 Mengerjakan soal dipapan tulis 40 49 55 144 48,00
7 Mengerjakan Tes secara Individu 44 60 65 169 56,33
8 Menyimpulkan materi pelajaran
diakhir pertemuaan.
30 40 50 120 40,00
Rata-rata Hasil Observasi minat Belajar Fisika Siklus I 58,62
Pencapaian rata rata minat belajar fisika mahasiswa siklus I dalam setiap aspeknya
jika diklasifikasikan termasuk dalam kategori sedang. Namun ada yang rendah yaitu minat
dalam mengerjakan soal di papan tulis dan dalam menyimpulkan materi pelajaran di akhir
pertemuan.
g. Refleksi
Tujuan refleksi ini adalah untuk melakukan evaluasi hasil tindakan dari penelitian
yang telah dilakukan pada siklus I. Hasil evaluasi ini kemudian digunakan sebagai acuan
perbaikan dalam penyusunan rencana tindakan pada siklus selanjatnya.
2. Kegiatan Pada Siklus II
a. Perencanan Tindakan
Perencanaan tindakan yang telah disusun pada siklus II ini mengacu pada perbaikan
perbaikan masalah yang didapat pada refleksi siklus I. Dalam hal ini peneliti dan dosen
mitra bersepakat akan melakukan perubahan perubahan positip.
b. Pelaksanaan Tindakan
Tahap tahap pembelajaran pada siklus II ini pada dasarnya sama dengan tahap
pembelajaran pada siklus I. Perbedaannya adalah bahwa pada siklus II tidak dilakukan tes
penempatan. Tes penempatan hanya dilakukan pada awal tindakan, dengan maksud
menentukan pembagian kelompok mahasiswa yang sifatnya permanen.
c. Presentasi Dosen
Presentasi pada siklus II ini, peneliti hanya sedikit mengulang cara pembelajaran yang
sudah diberikan pada siklus I, sehingga mahasiswa akan lebih jelas lagi cara dalam
memahami materi.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
118
d. Belajar Secara Individu
Pada pertemuan siklus II ini sama seperti pada siklus I, setelah peneliti selesai
presentasi, selanjutnya membagikan tugas atau pertanyaan yang harus dipikirkan dan
direnungkan secara individu di meja masing masing.
e. Belajar Secara Kelompok
Pada tahap ini mahasiswa sudah langsung duduk dengan anggota kelompok masing
masing. Selanjutnya mendiskusikan hasil pikiran dan jawaban yang telah mereka pikirkan
secara individu. Pada tahap ini semua anggota kelompok terlibat aktif berdiskusi, saling
bertukar pikiran untuk merangkum dan menyatukan pandangan, untuk selanjutnya
mempresentasikan dan membuat laporannya. Hasil presentasi, diskusi kelompok dan
penulisan laporan pada siklus II ini terlihat pada tabel 7 di bawah.
Tabel 7. Nilai Presentasi,Diskusi dan Laporan Pada Siklus II.
Pengamatan ke
Kelompok
1
2
3
Jumlah
Rata-rata per
Kelompok
I
II
III
IV
V
VI
70
72
70
71
73
75
81
80
82
82
80
85
86
87
83
85
84
90
237
239
235
238
237
250
79,00
79,67
78,33
79,33
79,00
83,33
Jumlah 431 490 515
Rata-rata per
Pengamatan
71,83 81,66 85,83
f. Pelaksanaan Tes Akhir Fisika Siklus II
Pada pertemuan terakhir siklus II diadakan Tes akhir siklus II. Materi tes mencakup
pembelajaran fluida statis, fluida dinamis dan getaran gelombang. Hasil tes akhir siklus II
adalah seperti pada tabel 8 di bawah.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
119
Tabel 8. Nilai Tes Akhir Fisika Siklus II
Nilai Masing-Masing Anggota No
1 2 3 4 5 5
Jumlah
N
Rata-rata Kelompok
1
2
3
4
5
6
87
85
80
84
82
92
80
81
79
83
83
86
81
82
83
84
82
87
76
77
75
78
76
79
-
72
-
73
74
-
324
397
317
402
397
344
4
5
4
5
5
4
81,00
79,40
79,25
80,40
79,40
86,00
I
II
III
IV
V
VI
Jumlah 2181 27
Rata-rata Nilai Tes Akhir Siklus II 80,78
g. Perhitungan Nilai Kelompok dan Pemberian Penghargaan.
Penilaian yang digunakan untuk menentukan pencapaian kelompok pada siklus II
didapat dengan menjumlahkan nilai rata rata presentasi, diskusi dan penulisan laporan dan
rata rata tes akhir siklus II kemudian dibagi 2. Hasil perhitungan selengkapnya tertera pada
tabel 9 berikut.
Tabel 9. Nilai Capaian Rata rata Kelompok Sikus II
Kelompok Nilai Rerata
Presentasi Diskusi
dan Laporan
Nilai Tes
Akhir Fisika
Siklus II
Jumlah Nilai Capaian Rata-
rata Kel Siklus II
I
II
III
IV
V
VI
79,00
79,67
78,33
79,33
79,00
83,33
81,00
79,40
79,25
80,40
79,40
86,00
160,00
159,07
157,58
159,73
158,40
169,33
80,00
75,53
78,79
79,86
79,20
84,66
Setelah mendapat nilai rata rata capaian kelompok siklus II, hasil ini kemudian
dibandingkan dengan nilai rata rata capaian siklus I. Hal ini dimaksudkan untuk
menentukan kriteria penghargaan pada siklus II. Hasil perhitungan selengkapnya disajikan
pada tabel 10 di bawah.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
120
Tabel 10. Hasil Peningkatan Dan kriteria Penghargaan Kelompok Siklus II.
Kel Nilai Capaian Rata-
rata Siklus I
Nilai Capaian
Rata-rata Siklus II
Pening -
katan
Poin
Perbaikan
Kreteria
Penghargaan
1
II
III
IV
V
VI
63,58
64,26
62,75
63,90
61,67
65,67
80,00
78,79
78,79
79,86
79,27
86,66
16,42
14,43
16,04
15,06
17,53
20,99
20
15
20
20
20
25
Great Team
Good Team
Great Team
Great Team
GreatTeam
Super Team
Dari tabel 10 terlihat bahwa penghargaan diberikan lagi pada kelompok VI. Hal ini
disebabkan karena kelompok VI mempunyai nilai paling tinggi dan diklasifikasikan dalam
kriteria Super Team (kelompok super).
h. Data Hasil Observasi
Observasi pada penelitian ini dilakukan pada tiap pertemuan. Dalam kegiatan observasi
ini peneliti menggunakan lembar observasi sebagai instrumen dalam penelitian. Hasil
observasi minat belajar fisika mahasiswa disajikan pada tabel 11 di bawah.
Tabel 11. Hasil Observasi Minat Belajar Fisika Pada Siklus II
Rerata Skor
Pengamatan
No Aspek yang diamatai
1 2 3
∑
Capaian
Rata-
rata
1 Perhatian terhadap pelajaran Fisika 74 80 91 245 81,67
2 Semangat dalam mempelajari Fisika 70 79 86 235 78,33
3 Partisipasi dalam Belajar Fisika 76 84 90 250 83,33
4 Keteraturan dalam belajar Fisika 71 85 93 249 83,00
5 Mencatat materi Pelajaran 70 81 89 240 80,00
6 Mengerjakan soal dipapan tulis 70 74 80 224 74,67
7 Mengerjakan Tes secara Individu 75 80 89 224 74,67
8 Menyimpulkan pelajaran diakhir
pertemuaan.
55 64 70 189 63,00
Rata-rata Hasil Observasi Minat Belajar Fisika Siklus II 77,33
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
121
Pencapaian rata rata minat belajar fisika mahasiswa pada siklus II dalam setiap
aspeknya jika diklasifikasikan termasuk dalam kategori tinggi. Namun demikian ada satu
yang sedang yaitu minat dalam menyimpulkan pelajaran di akhir pertemuan. Meskipun
demikian bila dilihat secara keseluruhan selama tiga pengamatan pada siklus II ini,
nampak bahwa minat belajar fisika rata rata tiap aspeknya selalu mengalami
peningkatan.
i. Refleksi
Tujuan refleksi pada penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap hasil
tindakan yang telah dilakukan selama pembelajaran pada siklus II. Dari hasil refleksi
diperoleh beberapa hasil sebagai berikut.
1. Pada pertemuan siklus II ini mahasiswa merasa sudah terkondisi dengan penerapan
pembelajaran dengan metode Think Talk Write (TTW).
2. Apabila mendapatkan permasalahan mahasiswa sudah langsung mendiskusikan
terlebih dahulu dengan kelompok masing masing.
3. Alokasi waktu yang disediakan sudah dilaksanakan secara konsisten
4. Pada saat mengerjaan tes secara individu, mahasiswa langsung berusaha
mengerjakannya secara mandiri.
5. Dalam bekerja secara kelompok mahasiswa sudah terlihat antusias. Masing masing
kelompok sudah mau mendiskusikan semua permasalahan yang dihadapi dalam
mencari jawaban yang tepat kepada teman sekelompoknya.
6. Untuk menghemat waktu sebelum pelaksanaan tindakan, mahasiswa sudah diberi
rambu rambu materi atau permasalahan yang harus dipelajari.
Dari hasil diskusi yang dilakukan peneliti dengan dosen mitra diperoleh kesimpulan
bahwa proses pembelajaran pada siklus II ini sudah dapat meningkatkan minat dan prestasi
belajar fisika. Jika dibandingkan dengan siklus I, maka penelitian pada siklus II ini sudah
mengalami banyak peningkatan. Jadi pada akhir siklus II ini peneliti yakin bahwa
pembelajaran dengan metode Think Talk Write (TTW) dapat meningkatkan minat dan
prestasi belajar fisika.
3. Data Hasil Angket Minat Dan Respon Mahasiswa.
a. Hasil Angket Minat Belajar Fisika.
Angket minat belajar fisika diberikan dua kali, yaitu setelah akhir pembelajaran pada
siklus I dan siklus II. Hasil perbandingan minat belajar fisika antara siklus I dengan siklus
II adalah seperti pada tabel 12 berikut.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
122
Tabel 12. Perbandingan Prosentase Minat Belajar Fisika Siklus I dengan Siklus II.
No Aspek yang diamatati Prosentase
Minat Rata-
rata Siklus I
Prosentase
Minat Rata-
rata Siklus II
1 Perhatian terhadap pelajaran Fisika 67,00 81,67
2 Semangat dalam mempelajari Fisika 64,00 78,33
3 Partisipasi dalam Belajar Fisika 67,33 83,33
4 Keteraturan dalam belajar Fisika 64,67 83,00
5 Mencatat materi Pelajaran 61,67 80,00
6 Mengerjakan soal dipapan tulis 48,00 74,67
7 Mengerjakan Tes secara Individu 56,00 74,67
8 Menyimpulkan pelajaran diakhir pertemuaan. 40,00 63,00
Perbandingan Rata-rata Minat Belajar Fisika
antara Siklus I dengan Siklus II
58,62 77,33
Dari tabel dapat dilihat bahwa prosentase minat belajar fisika mahasiswa pada
setiap aspeknya mengalami peningkatan. Pada aspek mengajukan pertanyaan, ikut serta
diskusi, mencatat materi pelajaran dan mengerjakan tes secara individu meningkat dari
sedang menjadi tinggi.
b. Hasil Angket Respon Mahasiswa Terhadap Pelaksanaan Pembelajaran Dengan
Metode Think Talk Write (TTW).
Data prosentase respon mahasiswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan metode
TTW adalah sebagai berikut:
Tabel 13.Data Prosentase Respon Mahasiswa Terhadap Pembelajaran TTW
No Indikator yang diamati Prosentase Kualifikasi
1 Saya menyukai proses pembelajaran TTW 76,73 Tinggi
2 Pembelajaran TTW membuat saya lebih
tertarik untuk belajar Fisika
90,33 Tinggi
3 Soal tes dan permasalahan yang diberikan
terlalu sulit
63,67 Sedang
4 Saya terlibat aktif dalam diskusi 73,13 Tinggi
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
123
5 Saya senang mengikuti pembelajaran yang
telah dilaksanakan
87,72 Tinggi
6 Model pembelajaran TTW memudahkan saya
dalam memahami dan mendalami materi
Fisika
86,92 Tinggi
7 Waktu yang diberikan untuk belajar
kelompok, mendiskusikan dan menyelesaikan
permasalahan atau soal sudah cukup
76,24 Tinggi
8 Saya dapat bekerja sama dengan anggota
kelompok
84,27 Tinggi
9 Adanya penghargaan kelompok dapat
memotivasi saya untuk belajar lebih giat
87,33 Tinggi
Prosentase respon mahasiswa terhadap pelaksaan pembelajaran dengan metode TTW
pada sebagian besar indikator termasuk dalam kriteria tinggi. Namun ada satu yang
sedang, yaitu pada indikator yang menyatakan bahwa soal tes dan permasalahan yang
diberikan terlalu sulit.
c. Hasil Wawancara.
Dari hasil wawancara dengan mahasiswa pada akhir siklus II adalah sebagai berikut:
a. Pembelajaran yang dilaksanakan lebih menarik, karena jika ada kesulitan dapat
ditanyakan kepada kelompok atau jika sulit kepada peneliti dan ada penghargaannnya.
b. Waktu yang digunakan untuk diskusi kelompok dan mengerjakan tugas sudah cukup,
sebab mahasiswa dapat menyelesaikannya
c. Soal yang diberikan tidak terlalu sulit dalam arti bisa diatasi dengan kelompok.
d. Adanya penghargaan kelompok membuat mahasiswa lebih berminat dalam belajar
fisika.
4. Pembahasan Hasil Penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa minat belajar mahasiswa dalam pembelajaran
fisika dapat meningkat. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya prosentase minat belajar
fisika pada setiap indikatornya. Selain itu juga terlihat minat dan keantusiasan mereka
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
124
pada saat proses pembelajaran berlangsung. Dalam hal prestasi belajar fisikanyapun juga
terlihat meningkat, yaitu dari nilai rata rata sebelum dan sesudah diberi tindakan.
Pada tahap belajar kelompok, setiap anggota mendiskusikan hasil pemikiran dan
pekerjaannya bersama sama, dan saling menukarkan pengetahuannya. Dalam pelaksanaan
diskusi ini, peneliti memantau jalannya diskusi dan membantu kelompok yang mengalami
kesulitan. Pelaksanaan belajar kelompok pada siklus I ini minat mahasiswa sebagian besar
cenderung sedang dan ada tiga yang rendah, yaitu minat dalam mengerjakan tugas,
mengerjakan tes secara individu, dan menyimpulkan di akhir pembelajaran. Hal ini
disebabkan karena mahasiswa masih terbiasa diajar dengan menggunakan metode
konvensional, yang hanya sekedar datang, duduk dan mendengarkan keterangan dosen,
belum terbiasa menggunakan metode TTW yang menantang mahasiswa untuk berpikir
mencari dan menemukan jawaban atas permasalahan yang dihadapi.
Pada siklus II, minat mahasiswa cenderung meningkat. Setelah diskusi kelompok
dianggap cukup, selanjudnya mahasiswa mempresentasikan hasil diskusinya di depan
kelas. Hasil diskusi tersebut selanjutnya dituliskan di papan tulis atau ditampilkan lewat
LCD. Pada siklus II ini kegiatan belajar kelompok dan diskusi dapat berjalan lebih baik
dan hasilnya sudah terlihat meningkat. Hal ini disebabkan karena mahasiswa sudah terlatih
menggunakan metode TTW yang menuntut mereka untuk aktif berpikir, berdiskusi
mengemukakan dan mempertahankan pendapatnya, mempresentasikan hasilnya dan
merangkum dalam bentuk laporan atau tulisan.
Pada akhir siklus mahasiswa diberi tes yang dikerjakan secara individu. Skor yang
diperoleh mahasiswa secara individu ini akan dijumlahkan dengan skor mahasiswa lain
dalam kelompoknya untuk menentukan penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok
diberikan kepada kelompok yang memiliki nilai rata rata tertinggi. Rata rata nilai
mahasiswa sebelum dikenai tindakan adalah 48,43. setelah dikenai tindakan pada siklus I
nilai rata rata meningkat menjadi 65,89 dan nilai rata rata tes mahasiswa pada siklus II
meningkat menjadi 80,78. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran melalui metode TTW
dapat meningkatkan prestasi belajar fisika.
Adanya peningkatan prestasi belajar fisika ini disebabkan karena dalam pembelajaran
dengan metode TTW mahasiswa dapat memecahkan masalah dalam menyelesaikan
kesulitan yang dihadapi secara individual. Selain hal tersebut juga disebabkan karena
melalui pembelajaran ini mahasiswa dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran pada level
yang lebih kongkret dan lebih memberikan tekanan pada efek sosial yang tinggi. Hal inilah
yang dapat meningkatkan prestasi belajarfisika.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
125
Penelitian yang telah dilaksanakan ini memiliki keterbatasan keterbatasan antara lain:
1. Pengamatan dalam penelitian ini hanya dilakukan oleh peneliti, sementara selama
pelaksanaan pembelajaran mahasiswa banyak menuntut perhatian atau bertanya
kepada peneliti pada saat observasi, sehingga dimungkinkan adanya data yang
terlewatkan.
2. Cukup sulit untuk memberikan bimbingan secara individu ke seluruh mahasiswa
selama proses pembelajaran.
3. Karena keterbatasan waktu, maka jawaban hasil diskusi tidak bisa dipresentasikan dan
dibahas bersama secara maksimal.
IV. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan Berupa Proses
Dalam penelitian ini, pelaksnaan pembelajaran dengan metode Think Talk Write
(TTW) diawali dengan tes penempatan. Tes penempatan bertujuan untuk mengetahui
kemampuan awal mahasiswa dan sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan
kelompok secara heterogen. Pada awal pembelajaran mahasiswa dituntut untuk berpikir
(Think) mempelajari materi, tugas tugas, lembar pertanyaan yang harus dikerjakan secara
individu di meja masing masing. Setelah mahasiswa memahami dan membuat catatan
secara individu, kemudian mendiskusikan (Talk) dengan anggota kelompok masing
masing. Dalam diskusi kelompok ini masing masing mahasiswa saling bertukar pikiran,
saling mengoreksi terhadap jawaban teman lain dalam anggota kelompoknya. Perwakilan
masing masing kelompok selanjutnya mempresentasikan dan mendiskusikan hasilnya di
depan kelas, menuliskannya di papan tulis (Write) atau ditampilkan lewat LCD dan
melaporkannya dalam bentuk tulisan. Pada akhir pertemuan mahasiswa diberi tes yang
harus dikerjakan secara individu, dan skor yang diperoleh ditambahkan ke dalam skor
kelompok. Selanjutnya untuk kelompok yang memenuhi ktiteria yang telah ditetapkan
akan diberi penghargaan. Hal ini bertujuan agar mahasiswa lebih berminat dalam belajar
fisika.
2. Kesimpulan Berupa Hasil
a. Ada peningkatan minat belajar fisika dalam pembelajaran melalui metode TTW dari
kriteria sedang menjadi kriteria tinggi atau dari skor rata rata siklus I sebesar 58,62
menjadi 77,33 pada siklus II. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil observasi bahwa:
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
126
1). Minat mahasiswa pada siklus I sebagian besar ada pada kriteria sedang. Namun ada
tiga yang rendah yaitu minat dalam mengerjakan soal di papan tulis, mengerjakan
tes secara individu dan dalam menyimpulkan materi pelajaran di akhir pertemuan.
2).Minat mahasiswa pada siklus II sebagian besar ada pada kriteria tinggi, berarti ada
peningkatan yaitu dari kriteria sedang pada siklus I menjadi kriteria tinggi pada
siklus II. Namun pada siklus II ini juga ada satu yang mempunyai kriteria sedang
yaitu minat dalam menyimpulkan materi pelajaran diakhir pertemuan. Meskipun
berada pada kriteria sedang tetapi sudah mengalami kenaikan bibanding pada siklus
I, yaitu dari kriteria rendah pada siklus I menjadi kriteria sedang pada siklus II.
b. Ada peningkatan prestasi belajar fisika setelah diajar melalui metode TTW. Hal ini
dapat dibuktikan dari nilai awal rata rata sebesar 48,43 kemudian pada siklus I nilai
rata ratanya menjadi 65,89 dan pada siklus II nilai rata ratanya menjadi 80,78.
c. Ditinjau dari respon mahasiswa diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran dengan
metode TTW lebih menarik minat dan lebih menyenangkan, sebab jika ada kesulitan
dapat ditanyakan kepada kelompok dan ada penghargaannya.
2. Saran
a. Dalam kegiatan pembelajaran fisika sebaiknya menggunakan metode TTW, mengingat
metode tersebut dapat meningkatkan minat dan prestasi belajar yang lebih tinggi
dibanding sebelumnya.
b. Pembelajaran fisika yang telah dilaksanakan melalui metode TTW, belum sepenuhnya
mencapai maksimal. Hal ini terlihat dari masih adanya satu aspek minat mahasiswa
yang berada pada kriteria sedang. Untuk itu disarankan pada peneliti lain agar
melakukan penelitian lebih lanjut hingga mencapai minat yang lebih tinggi.
c. Metode pembelajaran TTW ini dapat digunakan sebagai variasi dalam pembelajaran
fisika disesuaikan dengan materi yang dipelajari, mengingat tidak semua materi fisika
dapat diajarkan menggunakan model ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anton W. Moeliono. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Bansu Irianto Ansari.2009. http://pendidikan_matematika.blogspot.co
didownload pada tanggal 12 Januari 2010.
http//yadirosadi.co.cc/category/pendidikan/ diakses 29 Januari 2010.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
127
Yusi Maryati.2008. http://one.indoskripsi.com/judulskripsi pendidikan/4018. didownload
pada tanggal 24 Januari 2010.
Muhibbin Syah. 2007. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nasution. 2008. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumu
Aksara
Suharsimi Arikunto. 2006.Dasar Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukardi. (2006). Metodelogi Penelitian Pendidikan. Jakarta. PT Bumi Aksara.
Taufiq. 2009. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsipendidikan/4018. didownload pada
tanggal 24 Januari 2010.
Tipler. 2001. Fisika Untuk Sains Dan Teknik. Jakarta: Erlangga.
Tanya Jawab
Hendra Agus S. , Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Apakah prinsip dasar metode Think Talk Write (TTW) ?
? Kendala atau masalah yang dihadapi dalam mengaplikasikan metode tersebut?
? Adakah penyelesaian tersebut dari metode Think Talk Write (TTW)?
Hidayati, Pend.Fisika – UST :
@ Think Talk Write (TTW) berusaha agar siswa berfikir memikirkan suatu masalah
dengan pemecahan secara kelompok untuk didiskusikan dalam kelompok yang telah
dibagi kemudian dipresentasikan.
@ Membosankan, ketidakaktifan siswa dan kurang respon.
@ Ada, guru harus lebih aktif dalam mengatur siswa dan adanya atau disiapkannya
lembar observasi untuk pengawasan dan penyelesaian dari suatu masalah tersebut.
Rusli Irwanto, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Keunggulan dan kelemahan metode Think Talk Write (TTW) ini?
Hidayati, Pend.FISIKA – UST
@ Kelebihan atau keunggulan
Bisa belajar secara mandiri
Berlatih bersosialisasi dengan kawan
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
128
Kelemahan
Pendidik harus intens mengobservasi dan memotivasi kelompok yang pasif.
Farah Robithoh, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Apakah metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) akan mampu atau bisa efisien
dalam proses pendidikan di daerah terpencil (pembelajaran fisika)?
Hidayati, Pend.Fisika – UST
@ Dituntut kekreatifitasan guru untuk membimbing siswa dan inovatif.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
129
PERANAN KELOMPOK DALAM MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
JIGSAW DAN STAD (STUDENT TEAM ACHIEVMENT DIVISION) DITINJAU
DARI PRESTASI BELAJAR POKOK BAHASAN GERAK LURUS PADA SISWA
KELAS VII SMP MUHAMMADIYAH 4 YOGYAKARTA
Betha Ugahari, Supriyadi, Dian Artha Kusumaningtyas
Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Intisari. Fisika merupakan salah satu pelajaran yang dianggap sulit dan menjenuhkan oleh siswa dibanding dengan mata pelajaran lain. Untuk meningkatkan prestasi belajar Fisika diperlukan model pembelajaran yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan ada tidaknya perbedaan antara model pembelajaran kooperatif jigsaw dan STAD dan untuk mendapatkan model pembelajaran yang lebih baik antara model pembelajaran kooperatif jigsaw dan STAD. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII semester genap SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Sebagai sampelnya adalah kelas 7A dan 7B. Untuk prasarat analisis data dalam penelitian ini dilakukan uji normalitas dengan menggunakan rumus Chi-Kuadrat dan uji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett. Uji hipotesis digunakan rumus uji-t. Dalam penelitian diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar Fisika pada pokok bahasan gerak lurus antara pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw dan model pembelajaran kooperatif STAD. Perolehan skor rata-rata posttest untuk kelas eksperimen sebesar 17,4 dan skor rata-rata posttest untuk kelas kontrol sebesar 13,7 sehingga hipotesis yang diajukan dapat diterima.
Kata kunci : jigsaw, STAD (Student Team Achievment Division), Prestasi belajar.
ROLE MODEL IN GROUP COOPERATIVE LEARNING JIGSAW AND STAD
(ACHIEVMENT STUDENT TEAM DIVISION) VIEWED FROM THE REVIEW
OF LEARNING ACHIEVEMENT ON STUDENT'S MOTION STRAIGHT CLASS
VII JUNIOR MUHAMMADIYAH 4 YOGYAKARTA
Abstract. Physics is one lesson that is considered difficult and saturated by the students compared with other subjects. To increase the academic Physics achievement required an appropriate learning model. This study aimed to find whether there is any difference between the model STAD cooperative learning and jigsaw and for getting a better learning model between the STAD cooperative learning and jigsaw. The population in this study were all students of class VII semester 4 SMP Muhammadiyah Yogyakarta. As the sample is a class 7A and 7B. To requrement data analysis in this study normality test using the formula and Chi-Square test of homogeneity using the Bartlett test. The hypothesis testing used a t-test formula. In the study conclude that there are differences in academic
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
130
achievement in Physics on the subject of straight-line motion between the study by using a model of cooperative learning jigsaw cooperative learning model and STAD. Obtaining the average posttest score for the experimental class at 17.4 and posttest mean scores of 13.7 for the control class, so the hypothesis can be accepted. Keywords : jigsaw, STAD (Student Team Achievment Division), Achievement of learning.
I. Pendahuluan
Kemajuan ilmu dan teknologi perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia, yaitu dengan meningkatkan mutu pendidikan. Dalam KTSP,
metode dan teknik pelaksanaan pembelajaran di sekolah dituntut untuk lebih menekankan
kepada penggunaan strategi yang dapat mengaktifkan siswa yakni orientasi pembelajaran
yang terpusat kepada siswa sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat. Karena
tuntutan tersebut, maka guru harus berlomba-lomba dan menggali informasi sebanyak-
banyaknya mengenai berbagai model pembelajaran yang dapat digunakan untuk
mengaktifkan siswa. Pemilihan model pembelajaran yang tepat sangat penting agar dalam
proses belajar mengajar dapat terjadi interaksi antara guru dan murid sehingga
pembelajaran tidak hanya terpusat pada guru.(Susilo, Joko 2007).
Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang akhir-akhir ini
menjadi perhatian dan dianjurkan para ahli pendidikan untuk digunakan. Slavin (2008)
mengemukakan dua alasan, pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa
penggunaan model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar Fisika
sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap
menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua,
pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berfikir,
memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.
Pendekatan-pendekatan dalam model pembelajaran kooperatif yaitu: tipe STAD (Student
Team Achievment Division), tipe jigsaw, tipe investigasi kelompok, dan tipe pendekatan
struktural (Slavin, 2008: 11).
Jigsaw merupakan salah satu pendekatan model pembelajaran kooperatif. Belajar ala
jigsaw merupakan teknik yang paling banyak dipraktikkan. Teknik ini serupa dengan
pertukaran kelompok dengan kelompok, namun ada satu perbedaan penting yakni tiap
siswa mengajarkan sesuatu. Ini merupakan alternatif menarik bila ada materi belajar yang
bisa disegmentasikan (dibagi-bagi) dan bagian-bagian tersebut harus diajarkan secara
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
131
berurutan. Setiap siswa mempelajari sesuatu yang bila digabungkan dengan materi yang
dipelajari oleh siswa lain akan membentuk kumpulan pengetahuan atau keterampilan yang
padu (Siberman, 2006: 180).
Slavin (2008) mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif STAD (Student
Team Achievment Division) merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang
terdiri dari 5 tahap pembelajaran, yaitu presentasi kelas, belajar kelompok, kuis,
peningkatan individu, dan penghargaan kelompok. Setiap anggota kelompok terdiri dari 4-
5 anggota. Dalam kegiatan kelompok ini, para siswa bersama-sama mendiskusikan
masalah yang dihadapi, membandingkan jawaban, atau memperbaiki miskonsepsi.
Kelompok diharapkan bekerja sama dengan sebaik-baiknya dan saling membantu dalam
memahami materi pelajaran. Setelah melihat pada latar belakang masalah yang ada, maka
penelitian ini mengambil tujuan:
1. Untuk mendapatkan ada tidaknya perbedaan antara model pembelajaran kooperatif
jigsaw dan STAD (Student Team Achievment Division) ditinjau dari prestasi belajar
siswa.
2. Untuk mendapatkan model pembelajaran yang lebih baik antara model pembelajaran
kooperatif jigsaw dan STAD (Student Team Achievment Division).
II. Kajian Pustaka
1. Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin (2008) metode kooperatif merupakan sebuah pengembangan belajar
bersama. Belajar bersama berarti melakukan sesuatu bersama, saling membantu dan
bekerja sama sebagai sebuah tim (kelompok). Jadi, metode kooperatif berarti belajar
bersama, saling membantu dalam pembelajaran agar setiap anggota kelompok dapat
mencapai tujuan atau menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik.
Fase-fase pembelajaran kooperatif
Model pembelajaran kooperatif ditandai dengan 6 fase atau langkah utama dalam
pembelajaran kooperatif. Keenam fase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Fase Pembelajaran Kooperatif
Fase Kegiatan Guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang
ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan
memotivasi siswa.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
132
Fase 2
Menyampaikan informasi
Guru menyampaikan informasi kepada siswa, baik
dengan peragaan atau teks materi ajar.
Fase 3
Mengorganisasi siswa ke
dalam kelompok-kelompok
belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
caranya membentuk kelompok belajar dan
membantu setiap kelompok agar melakukan
perubahan yang efisien.
Fase 4
Membantu kerja kelompok
dalam belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar
pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Fase 5
Evaluasi
Guru memberikan evaluasi pelajaran atau
kelompok menyajikan hasil-hasil pekerjaan
mereka.
Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru memberikan cara-cara untuk menghargai
baik upaya maupun hasil belajar individu dan
kelompok. (Ibrahim, 2000: 11)
Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
Model pembelajaran kooperatif dapat memberikan efektifitas yang dapat memberikan
motivasi dan sikap belajar diantaranya ialah teknik jigsaw. Teknik jigsaw merupakan
model pemnbelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Elliot Aronson (1997), dan
setelah itu dikembangkan lagi oleh Slavin (1998). Teknik jigsaw merupakan model
pembelajaran yang mendorong siswa beraktifitas dan saling membantu dalam menguasai
materi pelajaran untuk mencapai prestasi maksimal ( Isjoni, 2008: 155).
Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli menurut Ibrahim (2007)
digambarkan sebagai berikut:
Kelompok Asal
Kelompok Ahli
Gambar 1. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
133
Model Pembelajaran Kooperatif STAD (Student Team Achievment Division)
Menurut Slavin (2008) pada pembelajaran kooperatif STAD terdapat lima komponen
utama, antara lain:
a. Presentasi Kelas (Class Presentation)
Materi yang akan dipelajari dalam kegiatan pembelajaran diperkenalkan kepada siswa
dalam presentasi kelas.
b. Belajar Kelompok (Teams)
Kelompok tim terdiri dari empat atau lima siswa yang heterogen. Setelah guru
mengenalkan materi, anggota kelompok berkumpul untuk mempelajari materi yang
sudah diberikan oleh guru dengan menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS).
c. Kuis (Quizzes)
Setelah presentasi kelas dan belajar kelompok, siswa melaksanakan kuis individu. Tes
individu ini digunakan untuk menilai sejauh mana siswa telah memahami materi yang
telah dipelajari serta untuk mengetahui hasil belajar siswa dengan pembelajaran
kooperatif STAD.
d. Peningkatan Nilai Individu (Individual Improvement Scores)
Setelah dilakukan kuis, guru mengemukakan nilai individu, skor kelompok dan
memberikan penghargaan (hadiah) pada kelompok yang memperoleh skor tertinggi.
Peningkatan nilai individu siswa dalam STAD adalah nilai yang diperoleh
berdasarkan kriteria tertentu, dengan membandingkan perolehan nilai tes terbaru dan
nilai tes sebelumya.
e. Penghargaan Kelompok (Teams Recognition)
Kelompok mendapatkan penghargaan sesuai dengan yang telah ditentukan. Pemberian
penghargaan pada tiap kelompok dapat ditentukan berdasarkan skor kelompok yang
didapat dengan menjumlah nilai peningkatan anggota kelompoknya.
Dalam STAD (Student Team Achievment Division), para siswa dibagi dalam tim
belajar yang terdiri atas empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis
kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja
dalam tim untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran.
Selanjutnya, semua siswa mengerjakan kuis secara sendiri-sendiri, dimana saat itu mereka
tidak diperbolehkan untuk saling membantu (Slavin, 2008:11).
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
134
2. Gerak Lurus
a. Pengertian Gerak
Benda dikatakan bergerak terhadap benda lain jika kedudukan antara kedua benda itu
berubah. Titik acuan adalah titik awal pengukuran.Gerak bersifat relatif artinya benda
dapat dikatakan bergerak terhadap benda tertentu, tetapi belum tentu bergerak
terhadap benda yang lainnya.
b. Jarak dan Perpindahan
Jarak menyatakan panjang lintasan yang dilalui oleh benda yang bergerak. Jarak
merupakan besaran skalar, artinya memiliki besar dan tidak memiliki arah.
Perpindahan adalah perubahan posisi benda ( 12 xx ) karena adanya perubahan waktu.
Perpindahan termasuk besaran vektor, artinya memiliki besar dan arah. Jadi,
perubahan x ditulis x :
x = 12 xx (1)
c. Kelajuan dan Kecepatan
Kelajuan merupakan besaran yang tidak bergantung pada arah, sehingga kelajuan
termasuk besaran skalar. Kelajuan rata-rata adalah perbandingan jarak total yang
ditempuh terhadap waktu total yang dibutuhkan.
Kecepatan merupakan besaran yang bergantung pada arah, sehingga kecepatan
termasuk besaran vektor. Untuk perpindahan dalam satu dimensi sepanjang sumbu X,
kecepatan rata-rata ( v ) dapat dinyatakan dengan persamaan
12
12
ttxx
txv
(2)
d. Gerak Lurus Beraturan (GLB)
Gerak lurus beraturan adalah gerak dari benda dengan lintasan lurus dan kecepatan
tetap.
e. Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB)
Gerak lurus berubah beraturan adalah gerak benda dengan lintasan lurus dan
percepatannya konstan. Percepatan konstan artinya baik besar maupun arahnya tetap.
f. Percepatan
Percepatan adalah perubahan kecepatan setiap satuan. Satuan percepatan adalah m/s².
Percepatan dapat dinyatakan dalam bentuk rumus seperti di bawah ini:
tva (3)
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
135
Hipotesis
Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
0H : Pembelajaran Fisika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw
tidak berbeda dengan model pembelajaran kooperatif STAD di tinjau dari
prestasi belajar siswa.
1H : Pembelajaran Fisika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw
berbeda dengan model pembelajaran kooperatif STAD ditinjau dari prestasi
belajar siswa.
III. Metode Penelitian
Adapun desain penelitian yang digunakan dalam bentuk tabel dapat disajikan sebagai
berikut:
Tabel 2. Desain penelitian
Kelompok Perlakuan Tes
Eksperimen Menggunakan model pembelajaran kooperatif
jigsaw
T1
Kontrol Menggunakan model pembelajaran kooperatif
STAD (Student Team Achievment Division)
T2
Metode Analisis Data
a. Uji normalitas data
Dalam penelitian ini menggunakan rumus Chi-Kuadrat sebagai berikut:
k
i
i
EE
1 1
212
b. Uji homogenitas
Untuk menguji homogenesis data dapat digunakan uji Bartlett dengan rumus sebagai
berikut:
21
2 log)1()10(ln isnB
dengan harga 2s dan B
1
1 212
i
i
nsn
s
1log 12 nsB
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
136
c. Uji Hipotesis
Pasangan hipotesis nol (H0) dan tandingannya (H1) yang akan di uji adalah
H0 : µ1 = µ2
H1 : µ1 ≠ µ2
Hipotesis nol (H0) dan tandingannya (H1) pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
H 0 : Pembelajaran Fisika dengan model pembelajaran kooperatif jigsaw tidak berbeda
dengan model pembelajaran kooperatif STAD (Student Team Achievment Division)
ditinjau dari prestasi belajar siswa
H 1 : Pembelajaran Fisika dengan model pembelajaran kooperatif jigsaw berbeda
dengan model pembelajaran kooperatif STAD (Student Team Achievment Division)
ditinjau dari prestasi belajar siswa
Rumus uji-t yang digunakan adalah:
21
21
11nn
s
xxt
dengan
2
11
21
222
2112
nn
snsns (Sudjana, 2002: 273)
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
a. Uji normalitas data
Uji normalitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui distribusi atau sebaran
data normal atau tidak. Setelah dilakukan tes kemampuan akhir siswa, maka
diperoleh ringkasan hasil uji normalitas pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4.Ringkasan hasil uji normalitas nilai kemampuan akhir
Sampel Taraf
Signifikan 2 hitung 2 tabel dk Distribusi
Kelas
eksperimen 5 % 6,82 11,070 5 normal
Kelas
kontrol 5 % 2,89 11,070 5 normal
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
137
b. Uji homogenitas
Setelah dilakukan tes kemampuan akhir siswa, maka diperoleh ringkasan hasil uji
homogenitas dengan menggunakan uji Bartlet dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 6. Uji homogenitas kemampuan akhir berupa nilai posttest Ringkasan hasil uji
homogenitas variabel Y
Variabel Taraf
Signifikan 2 hitung 2 tabel db Distribusi
Y 5 % 3,09 3,481 1 homogen
c. Uji Hipotesis
Apabila sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen,
maka dapat dilakukan uji hipotesis. Untuk analisis uji-t digunakan hasil dari
posttest.. Ringkasan hasil analisis uji-t antara kelas eksperimen dengan kelas
kontrol dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 7. Ringkasan hasil uji-t antara kelas eksperimen dan kelas kontrol
dk Taraf
Signifikan t hitung t tabel Kesimpulan
60 5 % 3,4206 2,000 H0 ditolak
Ringkasan hasil perolehan skor adalah sebagai berikut:
Tabel 8.Deskripsi Hasil Penelitian
Kelompok Treatment Posttest
Eksperimen 1X x 17,4
Kontrol 2X x 13,7
keterangan:
1X = pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw
2X = pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif STAD
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
138
V. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat
diambil kesimpulan bahwa:
1. Ada perbedaan prestasi belajar Fisika pada pokok bahasan gerak lurus antara
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw dan model
pembelajaran kooperatif STAD (Student Team Achievment Division) siswa kelas VII
semester genap SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta
2. Model pembelajaran kooperatif jigsaw lebih baik digunakan untuk mencapai
meningkatkan prestasi belajar siswa dibandingkan dengan model pembelajaran
kooperatif STAD (Student Team Achievment Division) yang ditunjukkan dengan
perolehan skor rata-rata posttest untuk kelas eksperimen sebesar 17,4 dan skor rata-
rata posttest untuk kelas kontrol sebesar 13,7.
Daftar Pustaka
Ibrahim, Muslimin. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.
Isjoni, dkk. 2008. Model-Model Pembelajaran Mutakhir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Joko Susilo, Muh. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
Kanginan, Marthen. 2002. IPA Fisika untuk SMP kelas VII. Jakarta: Erlangga.
Lie, Anita. 2007. Cooperative Learning : Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Siberman, Melvin L. 2006. Active Learning : 101 Cara Siswa Aktif. Bandung : Nusa
Media.
Slavin, Robert E. Cooperatif Learning : Teori, Riset dan Praktik. Bandung : Nusa Media.
Sudjana. 2002. Metoda Statistik, Bandung: Tarsito.
Suharsimi Arikunto. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi , Jakarta: Bumi
Aksara.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
139
Tanya Jawab
Hapizan, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ? Bagaimana solusi dari teori ketika kelompok yang dibentuk oleh guru ternyata tidak
sesuai dengan apa yang kita tuju, seperti kelompoknya tidak sesuai diantara masing-masing individu.
Dian Artha K. – UAD @ Dipilih kelompok – kelompok yang heterogen sehingga kemampuannya beragam.
Komunikasi terjalin dengan baik di kelompok dan kelompok ahli bertanggung jawab oleh sharing hasil diskusi kelompok ahli ke kelompok asal. Siswa tidak memilih sendiri menurut teori jig saw melainkan guru yanng mengelompokkan dan memilah-milah dengan siapa kelompok tersebut mendapatkan anggota. Rasa tanggung jawad lebih besar, akan dialami oleh setiap kelompok.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
140
PENTINGNYA PEMANFAATAN PERMAINAN TRADISIONAL
SEBAGAI MEDIA ALTERNATIF DALAM PEMBELAJARAN FISIKA
Bella Nurfadilah, Adhani Prima Syarafina, M. Reza Primadi, Sri Maiyena
Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Ahmad Dahlan
Intisari. Siswa sering mengalami mengalami kejenuhan belajar di sekolah. Hal ini akan berdampak pada mutu pendidikan yang dihasilkan. Salah satu penyebabnya adalah media pembelajaran yang kurang variatif. Media variatif lain yang bisa digunakan adalah permainan tradisional. Pemanfaatan permainan tradisional sangat penting digunakan sebagai salah satu media alternative dalam pembelajaran fisika. Permainan tradisional memberikan nilai-nilai pengetahuan kepada peserta didik, menumbuhkan pemahaman dan pemaknaan terhadap apa yang dipelajari. Kata kunci : mutu pendidikan, jenuh, media pembelajaran, permainan tradisional
THE IMPORTANCE OF USE TRADITIONAL GAMES MEDIA AS AN
ALTERNATIVE LEARNING IN PHYSICS
Abstract: Saturation of the students have learned in school. This will impact on the quality of education being produced. One possible cause is a lack of varied instructional media. Another variety of media that can be used is a traditional game. Utilization of the traditional game is very important to use as one of the alternative media in learning physics. Traditional games provide the values of knowledge to students, fostering understanding and the meaning of what is learned. Keywords : quality of education, saturated, learning media, traditional games
I. Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu proses untuk menciptakan kehidupan yang cerdas,
damai, inovasi, terbuka dan demokrasi. Dimana pendidikan itu sebagai penentu bagi
kualitas kehidupan bangsanya. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan harus segera
dilakukan untuk mencapai kualitas pendidikan yang nantinya dapat menghasilkan sumber
daya manusia yang bermutu dan mampu bersaing di dunia internasional.
Peningkatan mutu pendidikan hanya akan terjadi secara efektif bilamana dikelola
melalui menejemen yang tepat, salah satu contoh nyata dari peningkatan mutu pendidikan
tersebut dengan penyediaan media pembelajaran yang dapat mendukung kelancaran proses
sistem pembelajaran. Fisika adalah bagian dari ilmu pengetahuan alam yang mempelajari
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
141
tentang benda, gejala-gejala kebendaan dan saling antar aksinya. Faktor media dalam
pembelajaran fisika sesuai dengan kerucut pengalaman Edgar Dale, memiliki peran besar
dalam memberikan pengalaman langsung kepada siswa sehingga memungkinkan untuk
memperoleh pengetahuan, ketrampilan, maupun hasil yang sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang dirumuskan.
Namun demikian mutu pendidikan di Indonesia mengalami ketertinggalan dari
Negara-negara lain. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Human
Development Indeks (HDI) oleh UNDP (2007) bahwa pada tahun 2005, Indonesia berada
pada peringkatan 110 dari 177 negara dengan indeks 0,697 peringkat ini turun dari posisi
sebelumnya diurutan 102 dengan indeks 0,677 pada tahun 1999. Posisi ini cukup jauh
dibandingkan dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia pada urutan ke-61 dengan
indeks 0,796; Thailand pada urutan ke-73 dengan indeks 0,778; Vietnam pada urutan ke-
84 dengan indeks 0,704.
Dari hasil uraian data diatas menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia
masih sangat rendah dibandingkan dengan Negara-negara lainnya. Jika kita melihat pada
era 50-an, Malaysia mengimport guru dari Indonesia. Namun, saat ini keadaan tersebut
menjadi terbalik. Mutu pendidikan Malaysia sekarang menjadi lebih unggul dibanding
Indonesia. Bahkan saat ini pelajar Indonesia berbondong-bondong untuk menempuh
pendidikan ke Negeri Jiran dengan alasan mutu pendidikan Indonesia yang mulai
menurun.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan proses pembelajaran yang
dirasakan bermakna bagi siswa sehingga tumbuh pemahaman dan kesan yang mendalam
pada diri siswa dan mengurangi kejenuhan dalam belajar. Kajian dalam makalah ini
membahas tentang Pentingnya Pemanfaatan Permainan Tradisional Sebagai Media
Alternatif Dalam Pembelajaran Fisika.
II. Landasan Teori
Media Pembelajaran
Putra (2005) menyatakan bahwa media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk
jamak dari “medium” yang secara harfiah berarti “perantara” atau “pengantar” yaitu
perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Sedangkan menurut
Nasution (2005), media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan
pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian,
dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
142
Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Latuheru (1998)
mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat
dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (Sudrajat, 2008)
berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaiakan isi atau
materi pembelajaran seperti: buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National
Education Association (Sudrajat, 2008) mengungkapkan bahwa media pembelajaran
adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk
teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media
pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang
fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses
belajar pada diri peserta didik.
Brown (Sudrajat, 2008) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas
pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru
untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad ke-20
usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah
alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media
pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet.
Namun, tidak ada satu alatpun yang memiliki kesempurnaan untuk mencapai tujuan
tertentu, melainkan beberapa alat saling mengisi, sehingga dalam penggunaan media
pengajaran dikenal istilah multimedia. Namun juga perlu disadari bahwa sebuah media
dapat berbicara banyak apabila digunakan secara tepat oleh pengajar (Susilo, 2006).
Permainan Tradisional
Permainan digunakan sebagai istilah luas yang mencakup jangkauan kegiatan dan
prilaku yang luas serta mungkin bertindak sebagai ragam tujuan yang sesuai dengan usia
anak. Menurut Pellegrini (1991: 241) dalam Naville Bennet (1998: 5-6) bahwa permainan
didefinisikan menurut tiga matra sebagai berikut: (1) Permainan sebagai kecendrungan; (2)
Permainan sebagai konteks; dan (3) Permainan sebagai prilaku yang dapat diamati.
Menurut Mulyadi (2004: 30) bermain secara umum sering dikaitkan dengan
kegiatan anak-anak yang dilakukan secara spontan yang terdapat lima pengertian bermain;
(1) sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai intrinsik pada anak; (2) tidak memiliki
tujuan ekstrinsik, motivasinya lebih bersifat intrinsik; (3) bersifat spontan dan sukarela,
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
143
tidak ada unsur keterpaksaan dan bebas dipilih oleh anak serta melibatkan peran aktif
keikutsertaan anak; dan (4) memiliki hubungan sistematik yang khusus dengan sesuatu
yang bukan bermain, seperti kreativitas, pemecahan masalah, belajar bahasa,
perkembangan sosial.
Oleh karena itu, bahwa permainan tradisional disini adalah permainan anak-anak
dari bahan sederhana sesuai aspek budaya dalam kehidupan masyarakat (Sukirman,
2008:19). Permainan tradisional juga dikenal sebagai permainan rakyat merupakan sebuah
kegiatan rekreatif yang tidak hanya bertujuan untuk menghibur diri, tetapi juga sebagai alat
untuk memelihara hubungan dan kenyamanan sosial. Dengan demikian bermain suatu
kebutuhan bagi anak. Jadi, bermain bagi anak mempunyai nilai dan ciri yang penting
dalam kemajuan perkembangan kehidupan sehari-hari termasuk dalam permainan
tradisional.
Menurut Bennet (1998:46) dengan ini diharapkan bahwa permainan dalam
pendidikan untuk anak usia dini ataupun anak sekolah terdapat pandangan yang jelas
tentang kualitas belajar, hal ini diindikasikan sebagai berikut: (1) gagasan dan minat anak
merupakan sesuatu yang utama dalam permainan; (2) permainan menyediakan kondisi
yang ideal untuk mempelajari dan meningkatkan mutu pembelajaran; (3) rasa memiliki
merupakan hal yang pokok bagi pembelajaran yang diperoleh melalui permainan; (4) anak
akan mempelajari cara belajar dengan permainan serta cara mengingat pelajaran dengan
baik; (5) pembelajaran dengan permainan terjadi dengan gampang, tanpa ketakutan; (6)
permainan memudahkan para guru untuk mengamati pembelajaran yang sesungguhnya
dan siswa akan mengalami berkurangnya frustasi belajar.
III. Metode
Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk membuat
gambaran secara sistematis mengenai hubungan antara fenomena yang diselidiki dan
hasilnya tidak dinyatakan dengan angka-angka.
Data penulisan ini dikumpulkan dengan teknik studi pustaka (library research).
Penulis mengkaji sejumlah referensi berupa buku-buku, majalah, artikel-artikel dan jurnal-
jurnal lainnya yang relevan dengan judul makalah ini. Maksud dari studi pustaka ini adalah
untuk mendapatkan teori yang dapat menunjang keabsahan penulisan. Jenis data yang
digunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
144
buku, artikel koran dan website atau jurnal lainnya yang berhubungan dengan media
pembelajaran fisika.
IV. Pembahasan
Permainan tradisional sebagai model pembelajaran yang berhubungan langsung
dengan dunia nyata yang berkembang dan terjadi di lingkungan sekitar siswa. Akibatnya,
siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dengan
kehidupan sehari-hari mereka. Disini, guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan
dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari
pengkontruksian sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya
sebagai anggota masayarakat. Pembelajaran dengan media ini adalah salah satu
pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya lingkungan alamiah itu diciptakan
dalam proses belajar agar kelas lebih hidup dan bermakna, karena siswa mengalami sendiri
apa yang dipelajarinya dengan mempraktekan materi fisika secara langsung dan tidak
membosankan, yaitu dengan menggunakan media mainan tradisional.
Permainan tradisional dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian
siswa, memudahkan siswa dalam memahami setiap materi yang diberikan. Dengan
menggunakan media tersebut diharapkan pendidik mampu menjelaskan materi yang
diberikan, dan dengan mudah konsep dari materi tersebut dipahami oleh para peserta didik.
Permainan tradisional tidak hanya memiliki kelebihan dalam hal penanaman konsep
materi dengan tepat dan mudah dipahami. Namun, permainan tradisional dapat pula
memacu para siswa untuk meningkatkan kreatifitasnya. Para siswa umumnya akan
semakin merasa tertarik pada materi yang diberikan jika dalam menjelaskannya
menggunakan media yang unik dan menarik, contohnya permainan tradisional itu sendiri.
Sehingga para siswa akan lebih mudah dalam memahami konsep materi yang diberikan.
Penerapan permainan tradisional ini menjadikan para pendidik dapat memberikan
bahan pelajaran yang efektif dan kreatif melalui media pembelajaran yang menarik, yang
dapat membuat peserta didik lebih cepat dalam memahami konsep materi yang diberikan.
Penerapan media permainan tradisional bagi para pendidik dapat memudahkan serta
menghidupkan kegiatan pembelajaran yang baik, aktif, kreatifitas, pembelajaran tidak lagi
terpusat pada guru. Bagi siswa, dengan penerapan media permainan tradisional akan
merasakan asyiknya belajar sains. Disamping itu, dapat menciptakan ruang kelas yang
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
145
didalamnya siswa akan menjadi aktif dan dapat membantu guru menghubungkan materi
pelajaran pada dunia nyata serta memotivasi siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Sedangkan kegiatan permainan dalam pembelajaran dapat menarik siswa cerdik,
menyenangkan dan sangat memikat dalam meningkatkan hasil belajar siswa.
Penggunaan permainan tradisional dapat membantu daya nalar siswa untuk
menjelaskan konsep fisika yang dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Melalui
permainan tradisional siswa melihat, memperhatikan serta akhirnya mengemukakan ide,
menerapkan konsep tersebut melalui fakta yang diaplikasikan dalam permainan
tradisional. Dengan demikian permainan tradisional bukan hanya sebagai alat bantu tetapi
dapat membantu pemahaman siswa tentang obyek yang sedang diamatinya.
Penggunan permainan tradisional dapat mengatasi sipat pasif anak didik . Dalam hal
ini dapat juga berperan untuk menimbulkan kegembiraan belajar. Memungkinkan interaksi
yang lebih langsung antara anak didik dan lingkungan dan kenyataan. Memungkinkan
anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampun dan minatnya.
Permainan tradisional dapat berperan dalam pembentukan karakter siswa. Hal ini
karena permainan tradisional yang digunakan berisikan fakta-fakta yang terdapat dalam
kehidupan sehari-hari. Tujuan dari pendidikan fisika terutama meningkatkan keyakinan
terhadap Tuhan Yang maha Esa dan menumbuhkan rasa ingin tahu tercapai. Dalam hal ini
untuk proses selanjutnya tentu akan berarah kepada penanaman dan pembentukan karakter
siswa. Pembentukan karakter yang baik akan sangat berpengaruh dalam kemampuan
akademik.
V. Kesimpulan
Pemanfaatan permainan tradisional sebagai media alternative cocok digunakan
untuk pembelajaran fisika. Dengan menggunakan media ini dapat mencapai tujuan
pembelajaran fisika yang diharapkan. Akibatnya, berperan penting dalam meningkatkan
mutu pendidikan.
Daftar Pustaka
Anonim.2003.Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun
2003.Bandung:Citra Umbara.
Putra, Amali. 2005. Media Pengajaran Fisika. Padang: FMIPA UNP.
Latuheru, Jhon D. 1998. Media Pembelajaran Dalam Proses Belajar masa Kini.
Jakarta:Depdikbud.
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
146
Nasution.2005.Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan
Mengajar.Jakarta:Bumi Aksara.
Susilo, Muhammad Joko.2006.Dasar-Dasar dan Proses Pembelajaran (Dpp-i).
Yogyakarta:Pinus.
Uno, Hamzah.2007.Teori Motivasi dan Pengukurannya.Jakarta:PT. Bumi Aksara.
Simanjuntak dan Pasaribu.1983.Proses Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito.
Ikaha, Moh. Arif.2009.Implementasi Contextual Teaching And Learning (CTL) Pada
Pembelajaran Sains Melalui Permainan
Tradisional.http://moharifikaha.blogspot.com/2009/07/blog-post.html[16 April
2010]
Sugiharti, Piping, S.Pd.2005.Penerapan Teori Multiple Intelegence dalam Pembelajaran
Fisika.Jurnal Pendidikan Penabur-
no.05/Th.IV/Desember.2005.http://www.bpkpenabur.or.id/files/29-42-Penerapan
Teori Multiple Intelligence dalam Pembelajaran Fisika.pdf>[21 April 2010]
Siregar, Ir. Harrys.2003.Peranan Fisika Pada Disiplin Ilmu Teknik Kimia.
http://library.usu.ac.id/download/ft/tkimia-harrys2.pdf>[23 April 2010]
Tanya Jawab
Rudi Ashari, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Apakah semua bidang fisika dapat diumpamakan dengan permainan tradisional?
? Apakah bisa efektif, jika permainan tradisional hilang digerus zaman dengan terus
berkembangnya IPTEK dan Globalisasi?
? Apakah benar mutu pendidikan akan efektif jika manajemennya tepat?
Bella Nurfadilah, Adhani Prima S, M.Reza Primadi, Sri Maiyena, UAD
@ Tidak, semua materi fisika baru disampaikan dengan permainan tradisional
@ Dengan kita menggunakan media permainan tradisional kita malah bisa ikut
melestarikan budaya bangsa seperti permainan tradisional. Tetapi tidak semua materi
fisika bisa menerapkan metode permainan tradisional untuk penyampaiannya.
Teknologi pasti akan berkembang.
@ Ya benar, guru (pendidik) adalah masuk dalam manajemen itu sendiri
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010 ISBN : 978-602-96622-1-4
147
Wahyu Budi Santosa, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD :
? Apa contoh permainan tradisional yang sesuai dengan pembelajaran fisika?
? Apa yang harus dilakukan di luar ruangan?
Bella Nurfadilah, Adhani Prima S, M.Reza Primadi, Sri Maiyena, UAD
@ Parasut, bola bekel, yoyo, jagram warna
@ Permainan tradisional tidak harus selalu dilakukan di luar ruangan, di dalam ruang pun
bisa dilaksanakan, karena pada dasarnya permainan yang dilaksanakan adalah
sederhana. Bisa dikondisikan tempatnya.