halaman judulrepo.apmd.ac.id/1491/1/libertus renaldi_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan...

65
i HALAMAN JUDUL

Upload: others

Post on 18-Jul-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

i

HALAMAN JUDUL

Page 2: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

ii

Page 3: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

iii

Page 4: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

iv

MOTTO

Aku tak peduli akan jadi apa aku di masa depan, apakah aku akan

berhasil atau gagal. Tapi yang pasti, apa yang aku lakukan sekarang

akan membentukku di masa depan.

(Uzumaki Naruto)

Titik kesempurnaan sejati adalah mengakui ketidak sempurnaan itu

sendiri.

(Libertus Renaldi)

Selain mendaki, menulis adalah salah satu cara untuk melihat ketidak

sempurnaan.

(Libertus Renaldi)

Skripsi itu mudah, yang sulit itu malasmu.

(Libertus Renaldi)

Page 5: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya berupa skripsi ini penulis persembahkan pertama, untuk Ayah Sunardi Elias

dan Ibu Aniatin. Terimakasih karena Ayah dan Ibu telah percaya kepada penulis dan

tiada henti memfasilitasi, memotivasi, mendukung dan mendoakan penulis dalam

menyelesaikan perkuliahan dan penulisan karya berupa skripsi ini. Sungguh, penulis

merasa bangga dapat menyelesaikan perkuliahan ini karena itu semua berkat jasa

Ayah dan Ibu.

Kedua, untuk Nenek Alina dan Alm.Kakek Tainyi, Om Demansius, Om Hendro,

Tante Mely, Tante Jeki, Tante Aan, Tante Norsiana. Terimakasih atas doa, dukungan,

semangat serta motivasi yang telah Kalian berikan. Pesan-pesan yang Kalian berikan

membuat penulis menjadi lebih semangat dalam menjalani masa perkuliahan sampai

pada penyelesaian karya berupa skripsi ini.

Ketiga, untuk Adik Lidia Janiasti, Dion, Dias, Sonde, Jeri, dan Jeti. Terimakasih atas

hiburan yang kalian berikan dalam proses penulisan skripsi ini. Berkat hiburan kalian,

penulis merasa bahagia, bisa tertawa lepas sehingga beban yang penulis rasakan

menjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani.

Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan, serta doa kalian

selama ini. Tindakan baik kalian terhadap penulis turut menuntun hidup penulis

sampai dengan saat ini, terutama disaat penulis berada diperantauan dalam misi untuk

menyelesaikan perkuliahan.

Kelima, untuk teman-teman, pelatih dan dosen yang selama ini memberi dorongan,

arahan serta bimbingan kepada penulis. Berkat hal-hal baik terutama diskusi rutin,

telah membentuk penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulisan berupa skripsi

ini.

Page 6: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan rahmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

judul “Runtuhnya Dinasti Lokal” (Studi Kasus Pilkades 2019 di Desa Sudimoro,

Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah)”.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh

mahasiswa untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta. Pada Kesempatan ini dengan segala

kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Sutoro Eko Yunanto, M.Si selaku Ketua Sekolah Tinggi

Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Guno Tri Tjahjoko, M.A selaku Ketua Program Studi Ilmu

Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.

3. Bapak Dr. Guno Tri Tjahjoko, M.A selaku Dosen Pembimbing yang telah

berkenan meluangkan waktu, pikiran dan tenaga dalam membimbing

terhadap penulisan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Rijel Samaloisa selaku penguji samping I yang telah

memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dra. B Hari Saptaning Tyas, M.Si selaku penguji samping II yang

telah mengarahkan dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Gregorius Sahdan, S.IP.MA selaku Dosen Wali yang telah

membantu penulis dalam melaksanakan perkuliahan dan menyelesaikan

masalah selama perkuliahan.

7. Bapak dan Ibu dosen, serta segenap karyawan Program Studi Ilmu

Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.

8. Pemerintah Desa Sudimoro, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang,

Provinsi Jawa Tengah yang telah membantu dalam memberikan informasi

untuk skripsi ini.

9. Ayah Sunardi Elias dan Ibu Aniati yang telah memberikan dukungan moril

dan materil kepada penulis sehingga skripsi ini bisa diselesaikan.

10. Keluarga Besar penulis yang selalu bertanya kapan wisuda? Terimakasih

karena selalu mengingatkan.

Page 7: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

vii

11. Pelatih Maklon Hatti yang selalu memberikan energi-energi positif

terhadap penulis.

12. Teman seperjuangan Yosefa Lusi Among yang selalu mendampingi

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga Gagas, Apap, Ega dan Andre

yang menjadi teman datang ke Jogja.

13. Teman-teman yang selama ini berdinamika bersama di Kampus Yohanes,

Edison, Arnol, Hendri, Aziz, Listy, Hamny, Dobi, Vinsent, Sandre, Esti,

Krismon, Felix, Rikky, Mikael, Gun, Daniel, Rivaldo, Beben, Mutia, Ayu,

Aldo, Mutiara, Jean, Kiki, Ensi, Susan, Rue, Tante, abg Sakro, Widy, Ina,

Yoel, Lidia serta teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu. Juga kepada bapak kos Pamungkas Nusantoro beserta keluarga

dan teman kos Mukio dan Darma.

14. Teman-teman perjalanan ke NTT Heri Kabut, Lino, Abe, Efan, Wulan,

Olive, An, Obas, abg Olan, abg Arif beserta keluarga, Listi beserta

keluarga, abg Rizky, abg Rino, yang telah memberikan pengalaman hidup

yang luar biasa bagi penulis.

15. Teman-teman di organisasi KESA, UKM KATOLIK, KOMAP, UKM

TAEKWONDO yang menjadi wadah bagi penulis untuk belajar banyak

hal sebagai bekal untuk kehidupan di masa depan.

Yogyakarta, 25 Januari 2021

Penulis

Libertus Renaldi

Page 8: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

xii

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji aktor yang menang dalam kontestasi Pilkades dan

berhasil meruntuhkan dinasti lokal yang telah lama dibangun di Desa Sudimoro,

Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Teori yang Penulis

gunakan sebagai pijakan untuk membedah dinamika kemenangan aktor dimulai dari

mendudukkan konsep demokrasi lokal dalam ranah Pilkades, lalu dipadukan dengan

konsep patronase, oligarki dan local strongman.

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode deskriptif kualitatif

dengan pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa, kemenangan aktor dalam kontestasi Pilkades dan

berhasil meruntuhkan dinasti lokal dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni patronase

atau relasi patron-klien berhasil dimanfaatkan untuk mendulang dukungan politik

masyarakat. Patronase ini terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya; pertama

individual yang merujuk pada keunggulan aktor dari sisi umur yang lebih muda dari

kandidat yang lainnya. Kedua, jiwa sosial yang mengarah kepada aktivitas yang

dilakukan oleh aktor dalam hidup bermasyarakat, sehingga masyarakat menilai bahwa

aktor adalah orang baik, peduli terhadap sesama dan tidak membeda-bedakan

masyarakat berdasarkan golongan, agama, kaya dan miskin. Ketiga aktor juga unggul

dalam hal memiliki banyak keluarga di desa tersebut, sehingga dengan begitu

memudahkan aktor untuk membangun relasi dan meminta dukungan politik. Selain

itu, ternyata aktor juga merupakan local strongman (orang kuat lokal) di wilayah itu.

Kekuatan aktor terletak pada sisi ekonomi yang memadai, sehingga aktor dengan

mudah menggerakan mesin politik berupa tim sukses untuk mencari dukungan politik

kepada masyarakat. Selanjutnya, selain unggul karena memiliki banyak keluarga,

aktor juga memperluas jangkauan terhadap masyarakat sebagai pemilih melalui

jaringan orang kuat lokal lainnya, dalam hal ini para tokoh masyarakat yang berada di

wilayah tersebut.

Kata Kunci: Pilkades, demokrasi, aktor, patronase, oligarki dan local strongman

Page 9: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang dilakukan secara serentak

mengindikasikan adanya kemajuan demokrasi pada ranah desa. Akan tetapi, dibalik

kemajuan tersebut, ternyata dalam pelaksanaannya masih merefleksikan strategi yang

menimbulkan konsekuensi negatif. Maksudnya, masih banyak terdapat permasalahan

seperti politik uang hingga berujung pada kasus korupsi. Padahal, menghadirkan

Pilkades secara langsung adalah salah satu upaya untuk mencetak pemimpin desa yang

handal, yang dengan sepenuh hati mengatur serta mengurus masyarakat desa.

Sehingga harapannya bisa menghilangkan kecenderungan hanya orang-orang tertentu

saja yang bisa menjadi pemimpin pada ranah desa.

Dalam konteks pemilihan kepala desa secara langsung dan serentak

sesungguhnya menandai hadirnya demokasi liberal. Demokrasi liberal memiliki

kecenderungan individualistik karena menerapkan sistem one person, one vote, one

value. Pemberlakuan demokrasi liberal pada Pilkades untuk menentukan pemimpin

desa yang tidak diimbangi dengan pendidikan politik pada masyarakat desa ternyata

memiliki kecenderungan negatif dalam prosesnya. Fenomena yang marak terjadi

akibat pemberlakukan demokrasi liberal ini antara lain; politik uang, terjadinya

patronase, local strongman (orang kuat lokal), hingga fenomena perjudian dan

menghadirkan dinasti politik serta oligarki sehingga berujung pada terjadinya krisis

demokrasi ranah desa.

Page 10: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

2

Fenomena-fenomena tersebut dapat dibuktikan dari penelitian sebelumnya yang

mengkaji kaitannya juga tentang Pilkades. Artinya bahwa, penelitian ini bukanlah

penelitian satu-satunya tentang Pilkades. Penelitian yang dilakukan di Pati dan

Sumatera Selatan oleh Fitriyah (2015) dan Kazali dan kawan-kawan (2020). Temuan

Fitriyah dan Kazali dan kawan-kawan menunjukan bahwa money politik atau politik

uang marak terjadi di pemilihan kepala desa dan bisa mempengaruhi pilihan

masyarakat. Semakin besar dan semakin banyak seorang calon memberikan uang atau

barang, maka semakin besar peluang untuk menang. Kelemahan penelitian Fitriyah

dan Kazali dan kawan-kawan ialah hanya memaparkan hasil penelitian secara naratif

tanpa menggali lebih jauh seperti apa hubungan antara uang dengan suara masyarakat.

Selain itu, dalam penelitian Kazali dan kawan-kawan juga kurang mengeksplor lebih

dalam seperti apa cara kerja atau pola yang dilakukan oleh calon kepala desa dalam

mencari dukungan masyarakat dengan politik uang.

Penelitian mengenai praktik politik uang dalam proses Pilkades dan Pilkada juga

dilakukan di Desa Sumberingin Kidul, Tulungagung oleh Rozy dan kawan-kawan

(2020) dan di Desa Bangli, Bali oleh Erviantono (2017). Temuan Rozy dan kawan-

kawan menunjukan, masing-masing kandidat calon kepala desa menggunakan politik

uang sebagai strategi untuk meraup suara dari masyarakat. Kandidat pertama

memberikan uang kepada masyarakat sebesar Rp. 100.000 hingga Rp. 200.000,

sedangkan kandidat lain memberikan uang sebesar Rp. 50.000 dan barang berupa

sajadah serta sarung. Selain membagikan uang untuk meraup suara masyarakat, calon

kepala desa juga mengundang masyarakat untuk makan malam bersama dan

mengadakan orkestra. Sementara itu, temuan dari Erviantono menunjukan ternyata

masyarakat sudah familier dengan politik uang dan bahkan masyarakat menganggap

bahwa amplop yang berisikan uang yang dibagi beberapa jam sebelum pemilihan

Page 11: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

3

dimaklumi sebagai kompensasi/imbalan untuk masyarakat yang datang ke tempat

pemungutan suara (TPS).

Praktik seperti inilah yang penulis maksudkan bahwa demokrasi tidak diimbangi

dengan pendidikan politik terhadap masyarakat. Demokrasi yang seharusnya dimulai

dengan proses yang lancar tanpa adanya konotasi negatif seperti politik uang untuk

melahirkan pemimpin yang bisa menjadi teladan, siap mengatur dan mengurus

masyarakat justru sulit dilaksanakan. Kelemahan penelitian Erviantono dan Rozy dan

kawan-kawan adalah belum mengupas tuntas pola atau strategi apa yang dimainkan.

Selain itu penelitian Rozy dan kawan-kawan juga tidak wawancara secara mendalam

terhadap calon kepala desa, masyarakat, panitia penyelenggara, sehingga bisa

memperkuat argumentasi. Hal ini bisa dibuktikan dengan tidak memaparkan hasil

wawancara dengan informan.

Selaras dengan hal tersebut, penelitian mengenai Pilkades yakni seorang calon

kepala desa berhasil menang tanpa menggunakan politik uang juga ada. Hal ini

dibuktikan dengan penelitian Guno Tri Tjahjoko (2019) yang meneliti mengenai

Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Sriharjo Kabupaten Bantul tahun 2018. Temuan

Guno Tri Tjahjoko menunjukkan bahwa salah satu kandidat perempuan di Desa

Sriharjo Bantul bisa memenangi pemilihan kepala desa (Pilkades) tanpa politik uang

tetapi menggunakan strategi seperti dukungan keluarga, pendekatan hati nurani,

sosialisasi intensif kepada masyarakat dan pengawalan melekat terhadap ‘sniper’,

politik uang dapat dipatahkan.

Selain Politik uang yang tampak dalam Pilkades, fenomena yang marak terjadi

juga menghadirkan local strongman (orang kuat lokal). Orang kuat lokal ini adalah

orang yang memiliki pengaruh dalam mengambil keputusan pada aras lokal. Hal ini

Page 12: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

4

bisa dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan di Banten oleh Saepudin dan Joni

Firmansyah (2017). Temuan Saepudin dan Joni Firmansyah menunjukan bahwa local

strongman yang disebut ‘Jawara’ mempunyai peranan yang besar dalam penentuan

keputusan di bidang politik karena Jawara ini memiliki jaringan seperti di partai

politik, birokrasi (legislatif dan eksekutif) serta mempunyai basis massa, magis dan

unggul di sisi ekonomi. Sementara itu, penelitian yang dilakukan di Bangkalan

Madura oleh Ainillah (2016) mengemukakan bahwa ‘Blater’ (penyebutan local

strongman di Madura) mempunyai pengaruh pada pertarungan di Pilkades.

Blater ini mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat karena unggul

dalam hal ekonomi, memiliki banyak saudara dikawasan desa itu. Akan tetapi,

kelemahan penelitian yang dilakukan oleh Ainillah dan saepudin dan Joni Firmansyah

adalah tidak melakukan wawancara mendalam untuk mencari data kaitannya dengan

kekuatan magis, relasi patron-klien sehingga tidak menguak secara detail seperti apa

cara kerja Blater dalam merancang strateginya untuk mencari dukungan massa. Hal

tersebut dapat dibuktikan dengan tidak memaparkan hasil wawancara sebagai data

primer penelitian dekriptif-kualitatif.

Selaras dengan itu, penelitian serupa juga dilakukan di Sumenep, Klaten dan

Demak yang dilakukan oleh Basri (2020), Muhazir (2020) dan Astuti dan kawan-

kawan (2019). Penelitian Basri berbicara mengenai demokrasi liberal dan demokrasi

komunitarian. Hasilnya adalah demokrasi yang kini digunakan (demokrasi liberal)

dalam pemilihan kepala desa syarat akan permasalahan yakni kalangan Blater (orang

kuat lokal) mampu mengubah preferensi politik pemilih hingga berhasil

memenangkan calon kepala desa dengan cara intimidasi. Sementara temuan Muhazir

menunjukan kemenangan calon kepala desa karena menggunakan strategi pemasaran

politik dengan cara mendekati orang kuat lokal seperti tokoh masyarakat dan asosiasi

Page 13: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

5

taklim, sedangkan Astuti dan Sulistyowati mengemukakan diantara 17 desa yang

mengadakan Pilkades yang menjadi calonnya adalah suami istri. Astuti dan kawan-

kawan menunjukan bahwa alasan suami istri maju dalam Pilkades karena tidak ada

penantang lain yang berani maju dalam kontestasi Pilkades. Oleh karena itu, supaya

menghindari kompensasi untuk menghadirkan calon boneka, maka yang menjadi

sasarannya ialah mencalonkan istrinya sendiri. Alasan lain yang menjadi temuan

Astuti dan kawan-kawan yakni supaya anggota keluarga tersebut tetap memegang

kekuasaan di ranah desa.

Kelemahan dari masing-masing penelitian tersebut ialah kurang mengeskplorasi

lebih dalam misalnya; cara kerja seperti apa yang dilakukan Blater untuk

mengintimidasi masyarakat supaya masyarakat mau memilih calon yang ditunjuk, lalu

siapa keluarga yang maju tersebut? unggul dari sisi mana keluarga tersebut dengan

keluarga yang lainnya sehingga tidak ada yang berani maju sebagai penantangnya.

Kemudian yang menjadi kelemahan dalam penelitian itu adalah tidak memaparkan

hasil diskusi atau wawancara dengan masyarakat yang menjadi cikal bakal dari data

primer penelitian deskriptif-kualitatif.

Fenomena local strongman ini ternyata mampu membuat proses demokrasi

terutama pada tingkatan lokal menjadi ‘stagnan’ bahkan mengalami kemunduran. Hal

ini telah dibuktikan oleh penelitian yang penulis paparan di atas. Pembuktian ini juga

dilakukan di Biak Numfor oleh Paraisu (2016) dan di Kuantan Singing oleh Handoko

dan kawan-kawan (2020). Temuan dari penelitian tersebut menunjukan bahwa

keberhasilan seorang calon kandidat dalam Pilkades karena adanya Mambri (kepala

suku) dan datuk politik yang ada di Biak dan Kuantan Singing. Kelemahan penelitian

Page 14: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

6

oleh Paraisu ialah tidak memaparkan narasumber hasil wawancara yang menjadi

modal dasar penelitian kualitatif sedangkan Handoko dan kawan-kawan kurang

menggali lebih dalam data yang melakukan penelitian tentang seorang senior politik

tersebut yang menjadi modal dari studi literatur.

Local strongman yang tumbuh ini, apabila dilacak keberadaannya, ternyata tidak

hanya berada pada desa yang masih tradisional saja melainkan juga pada desa yang

sudah dikatakan modern. Namun, bentuk dan cara kerjanya yang menjadi pembeda.

Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan di Jawa Timur oleh Yuningsih

dan Subekti (2016) yang membagi tipologi desa yakni tradisional, transisional dan

modern. Penulis memahami bahwa temuan tersebut menunjukan ketiga desa yang

dibagi tipologinya menjadi desa tradisional, transisional dan modern, motif calon

kepala desa hadir karena local strongman. Perbedaannya terletak pada cara kerja di

masing-masing tipologi. Desa tradisional misalnya calon yang dimunculkan karena

kepala suku atau sesepuh desa. Sedangkan desa dengan tipologi transisional dan

modern lebih kepada perusahaan, botoh (penjudi) dan partai politik yang

melatarbelakangi calon kepala desa bisa hadir. Maksudnya adalah yang akan menjadi

calon kepala desa mendapatkan biaya dari perusahaan, partai politik atau botoh

(penjudi). Dampaknya, apabila calon tersebut bisa menang dalam Pilkades, maka

secara otomatis jika akan mendirikan perusahaan di desa tersebut akan dibantu oleh

calon yang menang itu. Artinya hubungan yang terjalin ini merujuk pada hubungan

simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan. Namun kelemahan

penelitian ini terletak pada tidak menguak lebih dalam seperti apa strategi yang

dilakukan untuk mencari dukungan masyarakat, hal ini didasarkan pada tidak adanya

diskusi mendalam dengan masyarakat sekitar. Buktinya tidak melampirkan data

wawancara.

Page 15: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

7

Bekerjanya sistem local strongman ini tentunya dampak dari menguatnya

patronase-klientelisme sehingga melahirkan dinasti politik pada aras lokal. Tidak bisa

dipungkiri bahwa satu sama lainnya saling berhubungan. Bukti lain ditunjukan melalui

penelitian yang dilakukan oleh Martien Herna Susanti (2017) dengan judul “Dinasti

Politik dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.” Temuannya menunjukan

dinasti politik terbentuk karena adanya jaringan kekuasaan yang menyebar dan kuat

dan memungkinkan melahirkan kekuasaan absolut sehingga menyebabkan tekanan

terhadap demokrasi. Namun kelemahan penelitian ini ialah belum menguak

bagaimana dinasti itu bekerja. Sementara itu, penelitian yang dilakukan di Aceh oleh

Lesmana Rian Andika (2017) dengan judul “Bahaya Patronase dan Klientelisme

dalam Pemilihan Kepala Desa Serentak” menunjukan, strategi patronase-klientelisme

hingga vote buying (pembelian suara) sering dilakukan oleh para calon untuk meraup

suara masyarakat. Hal tersebut memiliki dampak pada kasus korupsi bagi calon kepala

desa yang akan menjadi kepala desa nantinya. Namun kelemahan penelitian tersebut

ialah belum menguak bagaimana proses patronase-klientelisme dan pembelian suara

dilaksanakan, melainkan hanya mengupas gambaran umum tentang bahaya yang

ditimbulkan dalam penggunaan strategi tersebut.

Penelitian tentang dinasti politik juga dilakukan di Kalimantan Timur oleh

Afriandi (2019). Temuan Afriandi menunjukan bahwa hadirnya dinasti politik

memiliki dampak yang baik terhadap pembangunan di masyarakat. Akan tetapi ketika

petahana hendak mencalonkan diri, terdapat kasus penggelapan uang yang menjadi

penghalang. Hal ini yang membuat masyarakat menjadi kecewa. Sehingga dalam

pemilihan, pilihan masyarakat menjadi tidak rasional melainkan primordial dengan

melihat suku dan agama kandidat lain. Namun, kelemahan penelitian ini ialah tidak

memaparkan strategi atau cara main untuk memobilisasi masyarakat terutama dalam

Page 16: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

8

pandangan primordial tersebut, bagaimana kandidat tersebut meyakinkan masyarakat

sehingga masyarakat mau memilihnya.

Pada sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Endik dan kawan-kawan pada

tahun (2016) dan (2018), serta Gunawan dan kawan-kawan (2020) yang dilakukan di

Kediri dan Aceh menemukan petahan gagal mempertahankan dinasti politik. Endik

dan kawan-kawan mengungkapkan strategi yang dilakukan oleh kandidat ialah

menggunakan strategi spiritual dan sumber material, seperti slametan, pitou (jasa

dukun), Laku ngelmu yakni bertapa hampir seminggu di pundhen pendiri desa dan

petilasan Joyoboyo hingga politik uang dan ngebosi (mengajak masyarakat makan di

warung). Sedangkan Gunawan dan kawan-kawan memaparkan kandidat yang

mengalahkan petahana menggunakan strategi ofensif (menyerang) yakni strategi

dengan cara membentuk basis kelompok pemilih baru dan ekspolarasi potensi yang

dimiliki kandidat. Namun, Gunawan dan kawan-kawan belum mengupas secara detail

seperti apa cara kerja strategi tersebut. Penelitian yang dilakukan menggunakan

metode studi literatur tersebut belum memberikan data tentang penelitian yang

mengupas bagaimana strategi itu dijalankan. Sedangkan kelemahan dari Endik dan

kawan-kawan juga tidak mengeksplor lebih jauh mengenai hubungan antara pemilih

dengan hal-hal mistis itu. Ini bisa dibuktikan dengan tidak ada data wawancara

mendalam dengan masyarakat dan dukun.

Strategi dalam Pilkades juga dilakukan di Desa Tanjung, Kediri, oleh Endik

Hidayat. Temuan Endik bahwa kandidat yang menang dalam kontestasi Pilkades

menggunakan kepercayaan atau berbasis pada kebudayaan Jawa seperti slametan,

pitou yang berasal dari dukun atau Kiai, pulung sebagai tanda kekuasaan hingga luri

(garis keturunan). Namun yang menjadi kelemahan penelitian tersebut adalah kurang

mengeksplor lebih jauh apakah benar kemenangan suatu kandidat calon hanya

Page 17: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

9

ditopang dengan kepercayaan atau tradisi adat istiadat budaya. Seperti apa

hubungannya terhadap masyarakat? hal ini bisa dilihat dari tidak adanya pemaparan

hasil wawancara dengan masyarakat biasa atau dukun.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya ialah terletak pada pokok pembahasan seperti apa pola

yang dibangun atau strategi yang dilakukan oleh kandidat dalam Pilkades. Peneliti

juga akan mengekplorasi lebih jauh seperti apa hubungan uang dengan pemilih, lalu

seperti apa cara kerja kandidat dalam mencari dukungan pada masyarakat. Penelitian

ini akan memaparkan pergulatan kandidat calon kepala desa yang berhasil menang

dan mampu meruntuhkan dinasti lokal yang telah dibangun sejak mulai dari kepala

keluarga yang bernama Sarimin sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 1998 lalu

dilanjutkan oleh Rubiyati yang merupakan istri dari Sarimin yang mulai menjabat

pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2007 dan dilanjutkan pada tahun 2014 sampai

dengan 2019. Oleh karenannya penelitian ini mengangkat judul “Runtuhnya Dinasti

Lokal” Kasus Pilkades 2019 di Desa Sudimoro, Kecamatan Srumbung, Kabupaten

Magelang, Jawa Tengah.

B. Rumusan Masalah

Memperhatikan latar belakang yang telah penulis paparkan, maka penulis

hendak melakukan penelitian ini yang dipandu dengan pertanyaan besar yakni

mengapa dinasti lokal runtuh dalam Pilkades tahun 2019, di Desa Sudimoro,

Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah?

C. Fokus Penelitian

Page 18: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

10

Titik yang akan menjadi fokus penelitian ini ialah terletak aktor yang berhasil

menang dalam kontestasi Pilkades. Peneliti akan mengulas seperti apa strategi yang

dilakukan oleh aktor tersebut sehingga bisa meruntuhkan dinasti lokal yang telah

dibangun sebagai modal peneliti untuk memberikan jawaban atas terjadinya krisis

demokrasi. Strategi tersebut tentunya akan ditemui untuk bisa dikupas tuntas melalui

pencarian data di lapangan seperti wawancara mendalam terhadap kandidat yang maju

dalam Pilkades, tim sukses yang bekerja sebagai mesin politik untuk mencari

dukungan politik masyarakat serta masyarakat sekitar yang terdaftar menjadi pemilih.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan daripada penelitian ini adalah sebagai berikut;

a) Untuk mengetahui seperti apa strategi yang dilakukan oleh aktor

yang maju dalam kontestasi Pilkades.

b) Untuk menggambarkan mekanisme yang dilakukan oleh aktor yang

menang dalam kontestasi Pilkades sehingga bisa meruntuhkan

dinasti lokal yang telah lama dibentuk.

2. Manfaat Penelitian

a) Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan

jawaban mengenai krisis demokrasi yang terjadi sehingga bisa

menambah pengetahuan terhadap pembaca, masyarakat dan

terlebih untuk mahasiswa Studi Ilmu Pemerintah di STPMD

“APMD” Yogyakarta tentang runtuhnya dinasti lokal yang ada di

Page 19: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

11

Desa Sudimoro, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang,

Jawa Tengah.

b) Manfaat Praktis

Memberikan gambaran atau pemahaman bagi peneliti

selanjutnya yang mengkaji mengenai dinasti lokal yang terjadi

secara akademik terkhusus kepada civitas akademik STPMD

“APMD” Yogyakarta.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif

kualitatif dengan pengumpulan data melalui observasi lapangan dan wawancara

mendalam sebagai data primer. Sedangkan data sekunder dari penelitian ini adalah

berupa dokumen yang memiliki relevansi dengan topik penelitian, seperti antara lain;

profil desa, berita acara pemilihan kepala desa, surat pernyataan calon kandidat dalam

kontestasi pemilihan kepala desa, surat riwayat hidup calon kepala desa dan surat tugas

penunjuk saksi. Dokumen yang relevan dengan topik penelitian ini peneliti dapatkan

dengan cara memintannya diorang-orang terkait sewaktu melakukan wawancara

mendalam. Salah satu contoh misalnya ketika peneliti melakukan wawancara dengan

sekretaris desa, maka pada kesempatan itu pula peneliti menanyakan terkait dokumen

yang dibutuhkan itu apakah peneliti bisa dapatkan lalu dengan siapa peneliti bisa

mengambilnya.

Page 20: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

12

Penelitian ini dilakukan di Desa Sudimoro, Kecamatan Srumbung, Kabupaten

Magelang, Jawa Tengah, dengan durasi penelitian lima bulan, terhitung mulai pada

bulan September 2019 – Januari 2020. Fokus penelitian ini berusaha untuk

mengungkap strategi yang dilakukan oleh seorang calon kepala desa dalam

menghadapi incumbent/petahana. Langkah pertama, sebelum sampai pada tahapan

penelitian, terlebih dahulu peneliti melakukan pendekatan, terutama dengan

pemerintah desa kaitannya dengan apakah di desa yang akan dituju itu bisa dijadikan

tempat untuk penelitian. Hal ini menjadi penting, sebab pada tahun 2020 ini banyak

desa-desa yang tidak mau menerima orang luar untuk masuk ke desa dengan alasan

adanya pandemi Corona Virus (Covid-19) yang sedang marak di Indonsia bahkan

dunia. Oleh karena itu, penting adanya untuk melakukan pendekatan terlebih dahulu

supaya memastikan desa itu bisa dijadikan tempat penelitian. Pendekatan dengan

pemerintah desa dilakukan pada tanggal 20 agustus 2020. Pada saat itu peneliti

bersama ketiga orang teman langsung menemui kepala desa di rumah kediaman

pribadinya di Dusun Argopeni.

Setelah semuanya sudah dipastikan, langkah selanjutnya untuk dapat

menemukan data-data yang menunjang penelitian ini, maka peneliti melakukan

beberapa hal, antara lain; pertama, observasi lapangan. Observasi lapangan bagi

peneliti sangat penting. Alasannya ialah supaya peneliti bisa mengetahui secara jelas

letak wilayah Desa Sudimoro yang menjadi tempat penelitian. Selain itu, observasi

lapangan juga membantu peneliti untuk menambah data penelitian kaitannya dengan

kondisi masyarakat disetiap dusun, aktivitas yang sering dilakukan oleh masyarakat

serta perilaku masyarakat terhadap orang luar.

Kedua, wawancara mendalam. Wawancara mendalam pertama dilakukan pada

tanggal 21 September 2020. Adapun informan atau narasumber yang ditemui ialah

Page 21: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

13

Muh Rofie yang merupakan kandidat pemenang Pilkades tahun 2019 dan Karnadi

yang merupakan sekretaris desa yang sudah menjabat mulai dari tahun 2017 hingga

sekarang. Pertemuan peneliti dengan Muh Rofie dan Karnadi dilakukan di balai desa.

Kemudian peneliti mewawancarai calon kepala desa lainnya seperti Suparno

(Kranggan Kidul) dan Rubiyati (Sudimoro). Pertemuan tersebut dilakukan dimasing-

masing rumah kediaman mereka. Pada konteks Pilkades di Desa Sudimoro 2019,

Rubiyati disini posisinya ialah sebagai incumbent atau petahana yang sebelumnya

telah menjabat selama 2 (dua) periode, sedangkan Suparno adalah penantang baru

sama seperti Muh Rofie. Suparno merupakan pensiunan TNI tahun 2019 dan sebelum

mencalonkan diri sebagai kepala desa, Ia terlebih dulu dipercayakan masyarakat untuk

menjadi anggota BPD Desa Sudimoro. Oleh karena Ia akan mencalonkan diri sebagai

kepala desa, maka posisinya sebagai anggota BPD pun Ia lepaskan, namun karena

dalam perhitungan suara dalam Pilkades Ia dinyatakan kalah, maka Ia kembali

dipercaya oleh masyarakat untuk masuk dalam keanggotaan BPD.

Inti pembicaraan peneliti dengan calon kepala desa tersebut ialah merujuk pada

seperti apa strategi yang telah dilakukan dalam kontestasi Pilkades tahun 2019 yang

lalu, sedangkan dengan sekretaris desa lebih mengarah kepada seperti apa proses yang

dilakukan oleh desa dalam menyelenggarakan Pilkades. Hal ini dilakukan karena

sekretaris desa tersebut juga termasuk menjadi sekretaris di kepanitian Pilkades.

Selanjutnya wawancara mendalam kedua peneliti lakukan pada tanggal 24 September

2020. Adapun yang menjadi narasumber peneliti yakni Jumrodin (Kranggan Kidul),

Darwanto (Kranggan Lor) Riyanto (Argopeni) yang merupakan anggota dari

kepanitian Pilkades. Wawancara peneliti dengan Jumrodin dan Darwanto dilakukan

di Balai Desa Sudimoro, hal ini karena mereka juga termasuk perangkat desa dimana

Jumrodin menjadi kepala dusun sedangkan Darwanto menjadi kasi pemerintahan.

Page 22: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

14

Sedangkan Riyanto penulis temui rumah kediamannya. Inti pembicaraan peneliti

dengan mereka lebih merujuk kepada seperti apa proses yang dilakukan untuk

mensukseskan kontestasi Pilkades tahun 2019. Selain itu, peneliti juga melakukan

wawancara dengan dengan ketua BPD yakni Sunario (Kemukus) yang dilakukan di

rumahnya. Pokok pembicaraan peneliti dengan Sunario tentang seperti apa proses

pembentukan kepanitian Pilkades 2019 serta bagaimana respon masyarakat dengan

adanya kontestasi Pilkades 2019 yang telah berlangsung. Di hari yang sama peneliti

juga melakukan wawancara mendalam dengan Tri Ahmad wasidi yang merupakan

kepala dusun di Dusun Jombong. Pokok pembicaraan kami ialah seputar pergulatan

yang terjadi di tengah masyarakat terkait Pilkades dan seperti apa pergerakan tim

sukses yang dilakukan oleh masing-masing kandidat terkhusus di Dusun Jombong

sendiri. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan masyarakat Dusun

Jombong yang bernama Supri dan Tri Utami. Pokok pembicayaan kami ialah bermula

dari seperti apa pembentukan panitia Pilkades hingga seperti apa profil setiap kandidat

(termasuk keuntungan atau kekurangan yang dimiliki).

Selaras dengan itu, wawancara mendalam ketiga dilakukan pada tanggal 1

Oktober 2020. Pada tanggal tersebut ada beberapa narasumber yang peneliti temui

seperti, antara lain; (1) Heri Purnomo (Argopeni) yang merupakan sekretaris BPD.

Pokok pertanyaan peneliti terhadap Heri Purnomo ialah mengenai seperti apa

pembentukan panitia Pilkades serta seperti apa gejolak yang ditimbulkan di tengah-

tengah masyarakat saat Pilkades berlangsung, terutama masyarakat yang secara

adminitrasi berada di Dusun Argopeni. (2) Sudi Margono dari Dusun Kranggan Lor

(3) Supardi dari Dusun Jombong. Mereka adalah tim sukses dari Muh Rofie. Oleh

karenanya, topik pembicaraan peneliti dengan kedua orang tersebut mengenai seperti

apa strategi yang dilakukan untuk memenangkan kandidat. (4) Marianto dari Dusun

Page 23: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

15

Banaran. Marianto ini merupakan salah seorang tim sukses dari petahana, Rubiyati.

Pokok wawancara peneliti dengan Marianto juga sama, yakni membahas mengenai

seperti apa strategi yang dilakukan dalam kontestasi Pilkades tahun 2019 kemarin.

Wawancara mendalam keempat, kembali peneliti lanjutkan pada tanggal 13

Oktober 2020. Pada tanggal tersebut, peneliti menemui beberapa narasumber, yakni

(1) Mlinggo, masyarakat Dusun Banaran. (2) Rohadi, masyarakat Dusun Kranggal

Lor. Pokok pembicaraan peneliti dengan kedua masyarakat tersebut mulai dari seperti

apa pembentukan panitia Pilkades tahun 2019, serta seperti apa cara yang dilakukan

oleh setiap kandidat untuk mendapatkan dukungan politik dari masyarakat.

wawancara mendalam ini dilakukan dimasing-masing rumah mereka, karena peneliti

disini menggunakan sistem jemput bola. Artinya bukan narasumber yang datang

menemui peneliti melainkan peneliti sendiri yang mencari narasumber itu. (3) Lukas

Suhariono. (4) Harianto. Kedua orang itu adalah tim sukses Muh Rofie yang berasal

dari Dusun Sempon. Meskipun disini mereka berasal dari satu dusun, tetapi

wawancara dilakukan ditempat yang berbeda. Artinya peneliti menemui mereka

dimasing-masing rumahnya. Lukas Hariono dan Harianto merupakan tim sukses yang

memiliki tugas utama untuk memobilisasi masyarakat yang beragama katolik. Oleh

karena itu, topik pembicaraan peneliti dengan kedua orang tersebut ialah seperti apa

strategi yang dilakukan supaya masyarakat yang beragama katolik mau untuk

mendukung Muh Rofie. (5) Sri Winarni. Sri Winarni adalah salah seorang masyarakat

Dusun Sempon yang beragama katolik dan juga termasuk istri dari Harianto yang

merupakan tim sukses Muh Rofie. Topik pembicaraan peneliti dengan Sri Winarni

dimulai dengan seperti apa pembentukan panitia Pilkades, lalu masuk ke seperti apa

cara yang dilakukan oleh setiap kandidat untuk mendekati masyarakat.

Page 24: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

16

Selanjutnya, wawancara kelima dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2020.

Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan tim sukses Muh Rofie dari Sempon

yang bernama Herman Adianto. Pada saat itu wawancara mendalam dilakukan di

rumahnya. Pokok pembicaraan kami mengenai seperti apa cara kerja tim sukses dari

Muh Rofie sehingga masyarakat terkhusus di Dusun Sempon mau memberikan

dukungan politik kepada Muh Rofie dalam kontestasi Pilkades tahun 2019.

Terakhir, wawancara keenam dilakukan pada tanggal 7 Januari 2021 peneliti

melakukan wawancara dengan beberapa narasumber, antara lain; (1) Muh Rofie.

Untuk yang ketiga kalinya peneliti melakukan wawancara dengan Muh Rofie tetapi

dengan topik yang berbeda. Pada pertemuan yang ketiga ini, peneliti mengajukan

pertanyaan dengan Muh Rofie khusus mengenai tanah bengkok yang diterima sebagai

kepala desa. wawancara itu dilakukan di balai desa. (2) Mariam yang berasal dari

Dusun Argopeni. Ia merupakan salah seorang pengurus Kelompok Wanita Tani

(KWT). KWT adalah penjabaran dari Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Adapun pokok pertanyaan peneliti dengan Mariam adalah mengenai profil dari setiap

kandidat serta berbicara mengenai seperti apa hubungan yang dilakukan oleh kandidat

terhadap KWT itu sendiri. Maksudnya ialah apakah ada janji-janji yang dilakukan oleh

kandidat supaya KWT atau PKK mau mendukung kandidat tersebut secara politik

dalam kontestasi Pilkades tahun 2019. (3) Margono yang berasal dari Dusun

Kemukus. Informan ini merupakan keluarga dari kandidat yang bernama Muh Rofie.

Margono di Desa Sudimoro memiliki jabatan sebagai ketua Badan Usaha Milik Desa

(BUM Desa). Meskipun begitu, pokok pertanyaan peneliti terhadap Margono ialah

mengenai seperti apa dukungan yang diberikan keluarga kepada Muh Rofie. (4) Ponijo

yang merupakan ketua RT 03 Kranggan Kidul. Ponijo merupakan masyarakat yang

kini mengelola tanah bengkok yang dimiliki oleh kepala desa. Ia sudah menjadi

Page 25: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

17

penggarap tanah bengkok mulai dari kepala desa terdahulu (termasuk incumbent).

Oleh karena itu, pokok pembicaraan peneliti dengan beliau mengenai seperti apa

sistem penyewaan tanah bengkok itu serta seperti apa dinamika yang terjadi di

masyarakat saat berlangsungnya Pilkades tahun 2019 kemarin. (5) Bilong yang

merupakan masyarakat Dusun Kranggan Kidul. Bilong juga termasuk pekerja di depo

pasir. Inti pembicaraan peneliti dengan Bilong adalah seputar depo pasir, seperti, siapa

yang menjadi pemilik depo pasir itu lalu bagaimana sistem penyewaan tanah yang ada

disana untuk tempat berlangsungnya depo pasir. (6) Sastro Widodo dan Rame yang

merupakan sepasang suami istri yang berasal dari Dusun Kemukus. Rame merupakan

suami dari Sastro widodo dan Rame sendiri adalah pengurus kesenian yang ada di

Desa Sudimoro. Oleh karena itu pokok pembicaraan peneliti dengan beliau ialah

mengenai cara kandidat mendekati kelompok kesenian untuk meminta dukungan

secara politik di Pilkades tahun 2019 yang lalu.

Pada penelitian ini, karena fokus penelitian ialah ingin melihat seperti apa

strategi yang dilakukan oleh kandidat yang berhasil mengalahkan incumbent dan

mampu meruntuhkan dinasti lokal, maka wawancara mendalam lebih banyak

mengarah kepada tim sukses kandidat tersebut. Terhadap tim sukses ini, peneliti ingin

mencari data lebih spesifik dan mendalam mengenai seperti apa cara kerja dari calon

kepala desa dalam menggelar dukungan suara dari masyarakat. Strategi-strategi atau

cara kerja yang dilakukan oleh calon kepala desa secara otomatis akan berjalan secara

maksimal apabila didukung dengan komposisi tim sukses yang dibentuk.

Lalu untuk tim sukses dari incumbent dalam wawancara mendalam ini sedikit

yang ditampilkan, alasannya karena melihat fokus penelitian yang lebih mengarah

kepada kandidat yang menang. Dalam konteks ini juga, incumbent tidak mau banyak

berbicara terkait dengan dinamika yang terjadi dalam Pilkades 2019 yang lalu. Kurang

Page 26: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

18

keterbukaannya incumbent dengan peneliti membuat peneliti juga menjadi kesulitan

untuk mencari siapa yang menjadi tim sukses incumbent. Sedangkan untuk Suparno

dalam konteks ini, peneliti tidak menampilkan siapa tim suksesnya karena memang Ia

mengakui sendiri bahwasnya dalam Pilkades 2019 yang lalu Ia tidak menggunakan

tim sukses.

Ketiga, studi literatur. Posisi studi literatur disini ialah untuk membantu peneliti

memahami kaitannya dalam konteks pemilihan kepala desa. Studi literatur juga

penting untuk memperjelas posisi dari penelitian yang dilakukan. Artinya penelitian

yang dilakukan ini berbeda daripada yang lain sehingga hasilnya juga mendapat

kebaharuan dan tidak terkesan mengulang penelitian sebelumnya. Studi literatur yang

digunakan oleh peneliti lebih banyak menggunakan jurnal, baik yang berasal dari

penelitian di pulau Jawa hingga jurnal yang penelitiannya dilakukan di luar pulau

Jawa.

Setelah selesai melakukan semua tugas yang dikemukakan di atas, tahap

selanjutnya yang dilakukan ialah analisis data. Secara khusus, penulis dalam

menganalisis data dipandu menggunakan teknik analisis Miles dan Huberman.

Analisis data dilakukan pada saat berlangsungnya pengumpulan data sampai selesai

pengumpulan data dalam periode tertentu. Merujuk Miles dan Huberman dalam

Sugiyono (2017) proses analisis data ini dilakukan secara interaktif yang berlangsung

secara terus menerus sampai data tersebut jenuh.

Hal pertama yang dilakukan penulis dalam analisis data ialah collection data

(pengumpulan data). Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara

mendalam, serta dokumentasi. Kedua, reduksi data (data reduction) digunakan untuk

Page 27: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

19

menajamkan, menggabungkan, mengorganisasi data, membuang yang tidak perlu

sehingga data tersebut dapat ditarik kesimpulannya, sehingga memudahkan peneliti

untuk menganalisisnya. Ketiga, penyajian data (display data). Aktivitas ini

mengarahkan penulis untuk menyajikan sekumpulan data yang diperlukan sehingga

memudahkan peneliti untuk dapat melakukan penarikan kesimpulan. Sajian data

kualitatif ini berupa teks naratif yang berbentuk catatan di lapangan, serta bagan. Oleh

karenanya, pada penelitian ini, data disajikan dengan sistematis dalam bentuk uraian

deskripif. Keempat, (conclution drawing/verivication) atau penarikan kesimpulan dari

penelitian yang dilakukan.

Hambatan utama dari penelitian ini adalah peneliti sulit untuk menemukan data

primer wawancara. Peneliti sulit untuk menemukan narasumber (masyarakat) yang

bisa dan bersedia diwawancarai. Banyak masyarakat yang menolak untuk

diwawancarai dengan alasan ‘takut’ salah berbicara. Alasannya karena masyarakat

menganggap bahwasannya hal-hal yang berkaitan dengan kontestasi Pilkades adalah

sensitif sebab masyarakat Desa Sudimoro mempunyai pengalaman yang tidak bagus

di masa lalu. Ada juga yang mengungkapkan tidak pantas untuk berdiskusi dengan

alasan tidak memiliki pendidikan tinggi, hanya orang biasa, serta tidak mengerti

politik.

Hambatan ini hadir, alasannya bagi peneliti karena aktivitas yang dilakukan oleh

masyarakat pada pagi sampai sore hari berada di luar rumah, melakukan pekerjaan

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kita

berjalan menyusuri Desa Sudimoro, kita hanya disuguhi banyaknya rumah tanpa

penghuni. Dengan demikian, maka akan banyak alasan yang dilontarkan oleh

masyarakat supaya dapat menghindar dari peneliti. Adapun cara yang peneliti gunakan

untuk mengatasi masalah tersebut antara lain; pertama, dengan menunggu narasumber

Page 28: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

20

selesai melakukan pekerjaannya. Kedua, melakukan wawancara tanpa terlihat tidak

sedang melakukan wawancara. Salah satu contoh misalnya dengan datang ke warung

untuk membeli sesuatu, lalu berpura-pura menanyakan alamat dan karena komunikasi

sudah terjadi, maka secara perlahan peneliti masuk dalam pertanyaan-pertanyaan yang

mengarah pada topik penelitian. Tentu saja dari cara yang dilakukan ini, peneliti tidak

mengeluarkan buku catatan, tetapi lebih kepada memanfaatkan handphone untuk

merekam pembicaraan peneliti dengan narasumber.

Terakhir, penulis juga memuat daftar informan wawancara dalam bentuk tabel

yang bisa dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini. Tujuan dimuatnya tabel tersebut ialah

untuk memaparkan lebih rinci mengenai siapa saja yang menjadi informan atau

narasumber dari penelitian ini.

Tabel 1.1 Daftar Nama-Nama Informan

No Nama Asal

Dusun

Pendidikan

Terakhir

Pekerjaan /

Posisi di

Pilkades

Posisi di

Pilkades

1 Muh Rofie

(50 Tahun)

Argopeni D3

Pariwisata

Kepala Desa Kandidat

2 Rubiyati,

AMK

(67 Tahun)

Sudimoro D3

Keperawatan

Pensiunan

Dinas

Kesehatan

Kandidat

3 Suparno

(54 Tahun)

Kranggan

Kidul

SLTA Pensiunan

TNI

Kandidat

Page 29: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

21

4 Jumrodin

(42 Tahun)

Kranggan

Kidul

SLTA Kepala Dusun Panitia

Penyelengara

Pilkades

5 Darwanto

(51 Tahun)

Kranggan

Lor

SLTA Kasi

Pemerintahan

Panitia

Penyelenggara

Pilkades

6 Riyanto

(61 Tahun)

Argopeni SLTA Pensiunan

POLRI

Ketua Panitia

Penyelenggara

Pilkades

7 Sunario

(51 Tahun)

Kemukus SLTA Ketua BPD Ketua BPD

8 Tri Ahmad

Wasidi (31

Tahun)

Jombong SLTA Kepala Dusun Panitia

Penyelenggara

Pilkades

9 Supri

(40 Tahun)

Jombong SLTA Tukang

Bangunan

Masyarakat

10 Utami

(33 Tahun)

Jombong SLTA Tani Masyarakat

11 Heri

Purnomo

(42 Tahun)

Argopeni SMK Sekretaris

BPD

Sekretaris

BPD

12 Sudi

Margono

(74 Tahun)

Kranggan

Lor

Sekolah

Rakyat (SR)

Tani Tim Sukses

Muh Rofie

Page 30: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

22

13 Supardi

(67 Tahun)

Jombong SD Tani Tim Sukses

Muh Rofie

14 Marianto

(37 Tahun)

Banaran SMP Buruh Tim sukses

Rubiyati

15 Rohadi

(40 Tahun)

Kranggan

Lor

SMP Buruh Masyarakat

16 Lukas

Suhariono

(60 Tahun)

Sempon SLTA Buruh (Ketua

RT 01)

Tim Sukses

Muh Rofie

17 Harianto

(50 Tahun)

Sempon SMK Tani Tim Sukses

Muh Rofie

18 Sri Winarni

(44 Tahun)

Sempon SMA Ibu Rumah

Tangga

Masyarakat

19 Mariam

(50 Tahun)

Argopeni SMEA Pengurus

KWT

Masyarakat

20 Margono

(57 Tahun)

Kemukus SLTA Ketua

BUMDesa

Keluarga Muh

Rofie

21 Ponijo

(58 Tahun)

Kranggan

Kidul

SMP Tani (Ketua

RT 03)

Masyarakat

22 Bilong

(41 Tahun)

Kranggan

Kidul

SMK Buruh Masyarakat

23 Sastro

Widodo

(50 Tahun)

Kemukus SD Kelas 2 Ibu Rumah

Tangga

Pengurus

Kelompok

Kesenian

Page 31: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

23

24 Rame

(60 Tahun)

Kemukus Tidak

Sekolah

Jual Beli

Singkong dan

Kelapa

Masyarakat

Page 32: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

24

BAB II

KONSEPSI DEMOKRASI LOKAL; PATRONASE,

OLIGARKI DAN LOCAL STRONGMAN

a. Pengantar

Topik penulisan dalam bab II ini akan membahas mengenai kerangka teori

dalam penelitian ini. Referensi yang peneliti gunakan disini utamanya berasal dari

buku yang tentunya relevan dengan topik penelitian. Teori yang peneliti paparkan

dalam bab II ini tentunya akan digunakan sebagai pijakan untuk menganalis

temuan dalam penelitian. Kemudian, sajian penulisan dalam bab II ini penulis

rangkai menjadi satu kesatuan yang utuh sesuai topik penelitian yakni tentang

Pilkades.

Pada bagian pertama berbicara mengenai demokrasi lokal. Poin ini dimulai

dengan membahas mengenai demokrasi secara umum, lalu berbicara mengenai

seperti apa konsep sebenarnya yang menjadi ciri khas demokrasi yang ada di

Indonesia itu sendiri dengan negara lainnya. Teori ini dilatarbelakangi oleh

pemikiran Bung Hatta. Bagian kedua berbicara mengenai patronase Pada poin ini

menampilkan gagasan seperti James Scott, Guno Tri Tjahjoko dan Aspinal dan

Sukmajati. Hal yang menarik ialah ketiga orang tersebut memiliki cara pandang

yang berbeda mengenai pola patronase yang terjadi. Kemudian pada bagian ketiga

membahas mengenai oligarki. Rujukan teori oligarki ini menggunakan pandangan

Jeffrey A. Winters. Pembahasannya dimulai dari cara kita untuk mendefinisikan

oligarki dengan baik hingga seperti apa oligarki itu bekerja. Selanjutnya pada

bagian keempat membahas mengenai local strongman (orang kuat lokal). Pada poin

Page 33: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

25

ini, penulis memaparkan perdebatan konsepsi oleh dua orang peneliti seperti Joel

S. Migdal dan John T. Sidel. Ciri khas dalam teori ini ialah Joel S. Migdal hadir

dengan teorinya yang bernama local strongman sedangkan John T. Sidel muncul

dengan teorinya yang bernama bossism.

b. Demokrasi Desa

Demokrasi secara etimologi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat

atau penduduk suatu tempat, dan “cratein” yang berati kekuasaan atau kedaulatan.

Jadi, “demos-cratein” atau “demokrasi” adalah keadaan negara dimana dalam

sistem pemerintahannya, kedaulatan di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada

dalam keputusan bersama rakyat (Inu Kencana, 2014). Demokrasi sendiri

memerlukan waktu yang panjang untuk bisa bertransformasi seperti sekarang ini,

sehingga kita bisa menikmatinya. Dalam tulisan Firmanzah (2012) mengulas bahwa

sejarah demokrasi diawali oleh pidato Pericles di depan masyarakat Athena. Saat

itu, demokrasi didefinisikan sebagai kesamaan, pemilihan orang berdasarkan

kemampuan dan toleransi atas perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat.

Pemikiran tersebut kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles dengan mengajukan

social-base-democracy. Paham ini lebih melihat bahwa demokrasi harus melihat

dan memperhatikan aspek sosial daripada hanya mengejar kekayaan.

Pandangan tersebut lalu lebih dikembangkan lagi oleh pemikir-pemikir

demokrasi modern seperti; Montesquieu, Machiavelli, Hobbes, John Locke,

Tocqueville dan yang lainnya. Pemikiran mereka nyatanya sampai sekarang masih

berguna bagi negara yang menganut sistem demokrasi. Pemikiran-pemikiran

tersebut memberikan manfaat dalam pembentukan pemerintahan demokratis. Dari

Page 34: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

26

Montesquieu misalnya, dunia, terkhusus Indonesia mengenal yang namanya

pembagian kekuasaan politik dalam kelembagaan yaitu trias politica (lembaga

legislatif, eksekutif dan yudikatif).

Berangkat dari hal tersebut, peneliti melihat demokrasi adalah suatu sistem

yang kekuasaan tertinggi itu berada di tangan rakyat sendiri. Atau yang dituturkan

oleh Abraham Lincon, demokrasi ialah dari, oleh dan untuk rakyat. Studi literatur

tentang demokrasi sangat beragam. Studi literatur yang dilakukan oleh Collier dan

Levitsky (1997) dalam Firmanzah (2012) menunjukan bahwa tidak kurang terdapat

550 definisi tentang demokrasi. Artinya disini ada banyak sekali acuan yang bisa

kita gunakan untuk mendefinisikan tentang demokrasi.

Dalam konteks demokrasi, Aristoteles berpandangan bahwa pemilihan

langsung pemimpin adalah wujud kedaulatan rakyat, rakyatlah yang berdaulat

bukan negara atau elit politik, sebab secara esensi demokrasi ialah kedaulatan dari,

oleh dan untuk rakyat (Tjahjoko, 2019). Pandangan tersebut mengindikasikan

sistem demokrasi ialah sesuatu hal yang berkaitan dengan pemilihan langsung

untuk memilih pemimpin yang akan memimpin rakyat yang memiliki kedaulatan.

Mengutip dari pernyataan Winston Churchill dalam pidatonya dihadapan

Majelis Perwakilan Rendah Inggris pada tanggal 11 november 1947 mengatakan,

demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk, tetapi yang paling baik

diantara semua bentuk pemerintahan yang pernah dicoba dari masa ke masa

(Andrew Heywood, 2014;137). Dalam pernyataan tersebut nampak jelas

bahwasannya sistem demokrasi masih memiliki posisi yang bagus daripada sistem

seperti monarki atau yang lainnya. Kaitannya dengan demokrasi, Mukthie Fadjar

Page 35: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

27

(2013) dalam bukunya yang berjudul ‘Pemilu Perselisihan Hasil Pemilu dan

Demokrasi’ berujar;

“tidak ada semua negara yang ingin disebut tidak

demokratis atau bukan negara demokrasi, kendatipun

barangkali demokasinya diberi tambahan lebel yang

beraneka, misal demokrasi rakyat, demokrasi terpimpin,

demokrasi liberal, demokrasi proletar, demokrasi

pancasila dan sebagainya, juga mungkin hakekat

demokrasi dan syariat (mekanisme) demokrasinya

berbeda”.

Senada dengan hal tersebut, sebenarnya yang perlu diketahui, Indonesia juga

mempunyai demokrasi asli yang seharusnya bisa dipertahankan dan bisa menjadi

landasan untuk berlakunya sistem yang diterapkan saat ini. Mohammad Hatta

(1966) yang merupakan seorang Proklamator pernah memaparkan dalam tulisannya

bahwa demokrasi kita ini bermuara pada musyawarah yang ada di desa. Bung Hatta

(1966) pernah menuliskan tentang demokrasi asli kita yang berbunyi;

“Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong

royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak

menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dipuja dalam

lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat

bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar

pemerintahan Indonesia Merdeka di masa datang. Tidak

semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat

dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan modern. Tetapi

sebagai dasar ia dipandang berguna. Bagaimanapun,

orang tak mau melepaskan cita-cita demokrasi sosial, yang

sedikit-banyak bersendi pada organisasi sosial di dalam

masyarakat asli sendiri”.

Kutipan tersebut menunjukan bahwasannya demokrasi sosial (asli)

mengedepankan yang namanya musyawarah untuk mufakat. Meskipun dalam hal

ini, demokrasi desa tidak bisa dipakai sampai pada tataran yang lebih tinggi namun

hal tersebut dapat berguna sebagai batu loncatan atau pandangan dasar kita. Bung

Page 36: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

28

Hatta (1966) berpandangan, demokrasi sosial yang merupakan demokrasi asli

Indonesia itu memiliki perbedaan mekanisme (cara kerja) seperti demokrasi ala

barat. Katakanlah demokrasi liberal yang mengacu pada one person, one vote, one

value. Sedangkan demokrasi sosial (asli) bermuara pada musyawarah untuk

mufakat yang sering dilakukan dan menjadi kebiasaan orang-orang desa. Berangkat

dari sini, dalam konteks demokrasi (asli) yang bermuara pada musyawarah

sebenarnya mengindikasikan bahwa kaitannya dengan pemilihan pemimpin desa

(Pilkades) bisa dilakukan dengan cara musyawarah untuk menentukan siapa yang

bisa memimpin masyarakat desa. Akan tetapi kenyataannya, sekarang hal tersebut

bergeser pada demokrasi ala barat (demokrasi liberal) sehingga membuat

mekanisme (cara kerja) juga mengalami perubahan. Hal ini juga disadari oleh

Fukuyama (dalam Firmanzah 2012) yang mengatakan bahwa teori demokrasi

modern sarat akan pengaruh demokrasi liberal.

Demokrasi desa yang dikemas oleh UU No. 6/2014 sebenarnya mengandung

gado-gado (hibrid) antara tradisi liberal, radikal dan komunitarian (Sutoro Eko, dkk

2017; 103). Oleh karena demokrasi desa dalam pengemasannya mengambil

beberapa tradisi yang dianggap baik, maka mekanisme yang bekerja di dalamnya

juga akan mengalami perubahan. Salah satu hal yang dalam demokrasi desa

menjadi berubah yakni dalam pemilihan kepala desa (Pilkades). Dalam konteks ini,

peneliti mau menujukan bahwasannya peneliti lebih menitikberatkan mekanisme

demokrasi desa dalam ranah pemilihan kepala desa.

Selaras dengan kutipan Sutoro Eko, dan kawan-kawan di atas, sebelum

ekspansi kolonialisme Eropa, Pilkades diselenggarakan dengan mekanisme

demokrasi deliberatif yakni melalui musyawarah antarawarga untuk menentukan

Page 37: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

29

siapa yang berhak menjadi pemimpin desa (Fikri Disyacitta, 2019;208). Dalam

tulisan-Nya yang terkandung dalam buku “Desa Kuat Negara Berdaulat”,

diceritakan bahwasannya sistem pemilihan itu berubah total ketika Inggris melalui

Gubernur Thomas Stanford Raflles (1811-1816) mulai memperkenalkan metode

pemilihan kepala desa secara langsung. Salah satu tujuannya adalah untuk

memudarkan dominasi langsung raja-raja lokal atas penduduk pribumi. Lebih lanjut

dijelaskan, mekanisme pemilihan langsung dalam Pilkades menggunakan sistem

biting (lidi) dan bumbung (kurungan dari bambu) dimana setiap masyarakat yang

mempunyai hak pilih diberikan masing-masing satu biting lalu dimasukan ke dalam

bumbung dan kandidat yang memperoleh biting terbanyaklah yang menjadi

pemenangnya. Sepintas kita berpikir itu terlihat demokratis, tetapi dibalik itu semua

tentu ada kepentingan lain. Tujuan pemerintah kolonial Hindia-Belanda adalah

memupus relasi erat antara kepala desa dan warganya, kepala desa terpilih tidak

lagi menjadi sosok patriarki atau primus interpares yang dekat dengan warganya,

Ia hanya menjadi bagian dari pejabat birokrasi yang tugasnya hanya menjalankan

perintah dan menyelenggarakan kebijakan dari administrasi kolonial (Fikri

Disyacitta, 2019;208). Oleh karenannya, hingga saat ini Pilkades pun dalam

implementasinya tetap menggunakan demokrasi liberal yang mengedepankan one

man, one vote, one value.

c. Patronase

Setelah membahas kaitannya mengenai demokrasi desa, hal selanjutnya yang

menjadi perlu dibahas untuk melihat dinamika demokrasi desa kaitannya dengan

Page 38: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

30

Pilkades adalah patronase. Menurut Scott, patronase adalah relasi patron-klien

antara dua orang yang berbeda status, di dalamnya terjadi proses pemberian uang,

barang dan jasa (Tjahjoko, 2016;10). Lebih lanjut dijelaskan, biasanya sang patron

ini berasal dari kalangan bangsawan atau tuan tanah. Oleh karena patron memiliki

pengaruh yang sangat besar di masyarakat, lalu Ia bisa menjadi pelindung,

memberikan pinjaman uang, tanah serta peralatan pertanian kepada sang klien.

Sedangkan klien berasal dari kalangan kelas sosial yang lebih rendah dari patron

sehingga sang klien hanya menerima pemberian tersebut dan membalasnya dengan

cara loyalitas.

Pandangan Scott memperlihatkan bahwa adanya perbedaan posisi antara

patron dan klien. Semakin banyak dan besar pemberian dari sang patron, maka klien

akan merasa berhutang semakin besar hingga tertutup kemungkinan untuk

membalasnya pada sang patron. Akan tetapi, teori Scott tentang patronase tersebut

tidaklah bisa digunakan sebagai pijakan sepenuhnya ketika kita meneliti di suatu

tempat. Artinya teori tersebut bisa relevan bisa juga tidak. Alasannya karena setiap

tempat memiliki ciri khasnya tersendiri. Teori Scott tersebut ternyata mampu

dipatahkan oleh Guno Tri Tjahjoko (2016). Bukunya yang berjudul “Politik

Ambivalensi” yang merupakan hasil disertasi yang dilakukan di Kalimantan Timur

menunjukan ada beberapa temuan bahwa patronase ala Scott tersebut kurang

relevan di Kalimantan Timur, diantarannya; pertama, patronase bukan keharusan

dua orang yang berbeda status dan berbentuk kluster. Temuan Tjahjoko (2016),

dalam politik lokal Kalimantan Timur, klien memiliki potensi untuk mandiri dari

patron dengan alasan tidak lagi memerlukan jasa baiknya. Lalu, relasi patronase

Page 39: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

31

bisa saja dilakukan kepada orang yang sama statusnya dan tidak dimulai dari

kesenjangan sosial.

Kedua, patronase bisa terjadi karena sang patron hanya membutuhkan

legitimasi dari si klien. Misalnya digambarkan, sang patron memberikan materi dan

non-materi. Pemberian sang patron dipersepsikan sebagai kehormatan dan si klien

membalas dengan pemberian materi dan non-materi. Dalam hal tersebut ada

kesetaraan pemberian sekalipun berbeda status. Ketika si klien memberikan hasil

panenan kepada patron, maka tanggungjawabnya dianggap sudah selesai.

Ketiga, relasi patronase bisa terjadi antar patron yang disini seorang patron

digambarkan menjadi patron A, B dan C. Patron A bisa menjalin relasi dengan

patron B dan C, tetapi relasi yang dibangun tersebut tidak secara otomatis

berpengaruh pada klien sang patron A. Dan demikian sebaliknya. Artinya dalam

hal ini relasi antar patron hanya bersifat investasi kebaikan yang nantinya dapat

dimanfaatkan oleh masing-masing dari patron tersebut.

Keempat, patronase multi-piramida. Scott dalam konteks ini hanya berfokus

pada relasi patron-klien dengan memperluas jangkauan sang patron terhadap klien.

Sedangkan Tjahjoko menunjukan bahwa relasi dua arah yang dibangun oleh sang

patron untuk memperluas jangkauan sang patron. Secara ringkas, sang patron yang

digambarkan oleh Scott hanya berfokus pada relasi patron-klien yang berhubungan

langsung dengan si klien yang berada di bawah. Sedangkan pandangan dari

Tjahjoko bahwa sang patron juga bisa memperlebar jangkauan sang klien lewat

patron yang lain.

Menurut Tjahjoko (2016) dengan kebiasaan patronase ini akan berimplikasi

terhadap perilaku elite lokal karena ketika elite mencalonkan diri dalam kontestasi

Page 40: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

32

politik maka relasi patron-klien tersebut ditransformasikan menjadi mobilisasi

massa dan perolehan suara baginya.

Setelah mengupas pemikiran Scott dan Tjahjoko tentang patronase-

klientelisme, langkah selanjutnya yang mesti dibahas juga ialah pemikiran Aspinal

dan Sukmajati. Berbeda dengan Scoot dan Tjahjoko, Aspinal dan Sukmajati

mengungkapkan bahwa patronase itu adalah sama dengan politik uang (money

politics). Sebagaimana diungkapkan bahwa, Aspinal dan Sukmajati (2015)

mendefinisikan patronase sebagai pertukaran keuntungan demi memperoleh

dukungan politik.

Aspinal dan Sukmajati melihat pertukaran dalam patronase ini terdapat

problematika. Masalahnya adalah kandidat yang memberikan hadiah atau

membayar pemilih tidak yakin bahwa pemilih tersebut akan berbuat yang sesuai

keinginan kandidat. Artinya, dengan kandidat membayar pemilih, maka masih ada

kemungkinan terbuka lebar peluang bagi pemilih untuk tetap tidak akan memilih

kandidat tersebut. Oleh karenanya, untuk mengatasi permasalahan yang muncul

maka kandidat membalut pemberian tersebut dengan cara yang menimbulkan

kedekatan emosional antara pemilih dengan kandidat. Misalnya, memberikan

pemberian sebagai amal yang mengandung sanksi religius atau sebagai kemurahan

hati sosial dengan situasi para tokoh kaya dan terhormat yang terlibat di dalamnya.

Selanjutnya, Aspinal dan Sukmajati (2015) membagi patronase menjadi

beberapa bagian diantaranya;

1) Pembelian Suara (Vote Buying).

Pembelian Suara dimaknai sebagai distribusi pembayaran uang tunai/barang

dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu

Page 41: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

33

yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan

membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi. Secara umum,

pemaknaan pembelian suara oleh Aspinal dan Sukmajati sering dikenal sebagai

serangan fajar. Secara sederhana penulis melihat bahwa vote buying ala Aspinal

dan Sukmajati ini merupakan praktik politik uang. Tentunya skema pembelian

suara atau vote buying ini tersusun secara sistematis, sebab untuk melakukan

pendataan terhadap pemilih yang menjadi tujuan untuk serangan fajar memerlukan

beberapa pengetahuan mendasar seperti; pemilih loyalitas atau pemilih

mengambang, melihat loyalitas partai atau bukan dan lain sebagainya. Oleh

karenanya, penting untuk melakukan mobilisasi tim guna mendapatkan data

pemilih secara spesifik.

2) Pemberian-Pemberian Pribadi (Individual Gifts).

Bentuk patronase yang kedua ini sebenarnya ditujukan untuk melancarkan

bentuk yang pertama. Maksudnya adalah pemberian-pemberian pribadi merupakan

upaya untuk mendukung pembelian suara yang lebih sistematis. Aspinal dan

Sukmajati melihat kandidat dalam melakukan praktik ini ketika kandidat

melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau kegiatan kampanye yang

mempertemukan antara kandidat dengan pemilih. Pemberian ini sering dibahasakan

dengan perekat hubungan sosial yang merujuk pada barang pemberian kenang-

kenangan. Contoh barang yang merujuk pada pemberian-pemberian pribadi seperti

kalender atau gantungan kunci yang disertai nama kandidat, atau pemberian barang

lain yang merujuk pada kategori sembako seperti beras, gula,kopi dan lain

Page 42: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

34

sebagainya. Atau barang lain yang merujuk pada makna religius seperti mukena,

jilbab dan sajadah.

Dalam konteks pemberian-pemberian pribadi ini, oleh Aspinal dan Sukmajati

menganggap bahwa hal itu berbeda dengan pembelian suara atau dalam bahasa

penulis ialah money politics. Akan tetapi, dalam penjelasannya, penulis belum

menemukan argumen yang kuat dari Aspinal dan Sukmajati mengenai perbedaan

antara pemberian barang dengan pembelian suara.

3) Pelayanan dan Aktivitas ( services and activities).

Pada bagian ini sama seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya. Pada

bagian ini, kandidat memberikan penyediaan atau membiayai beragam aktivitas dan

pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye

pada acara perayaan oleh aktivitas tertentu, sehingga kandidat punya ruang untuk

mempromosikan diri. Contoh lainnya misalnya seperti penyelenggaraan

pertandingan olahraga, turnamen catur atau domino, forum-forum pengajian,

menyanyi bersama dan lain sebgainya. Selain itu, kandidat sering juga mengadakan

pelayanan kesehatan bagi masyarakat seperti check-up dan pelayanan kesehatan

gratis lainnya.

4) Barang-Barang Kelompok (Club Goods).

Page 43: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

35

Aspinal dan Sukmajati mendefinisikan istilah club goods sebagai praktik

patronase yang diberikan lebih untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial

tertentu ketimbang keuntungan indivisual. Kemudian Aspinal dan Sukmajati

membedakan club goods ini menjadi dua bagian yaitu donasi untuk asosiasi-

asosiasi komunitas dan donasi untuk kemunitas yang tinggal di lingkungan

perkotaan, pedesaan atau lingkungan lain. Jenis barang yang dibagikan oleh

kandidat kepada masyarakat sebagai pemilih yaitu perlengkapan ibadah, peralatan

olahraga, alat musik, sound system, peralatan dapur, tenda, peralatan pertanian dan

sejenisnya. Ada juga yang berupa sumbangan pembangunan atau renovasi

infrastruktur seperti pembangunan rumah ibadah, jalan, jembatan penyediaan

penerangan jalan, dan lain sebagainya. Pada tahapan ini, supaya kandidat

memperoleh dukungan suara dari pemilih, maka kandidat umumnya menggunakan

tokoh masyarakat yang menjadi broker sebagai mediasi atau penghubung antara

kandidat dan masyarakat.

5) Proyek-Proyek Gentong Babi (Pork Barrel Projects).

Bagian ini diartikan sebagai proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk

wilayah geografis tertentu. Karakter utamanya yaitu kegiatan tersebut ditujukan

kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik dapat

memberikan dukungan politik kepada kandidat. Dalam kampanye kandidat, hal ini

sering kali di jumpai terutama oleh kandidat petahana yang lantang menyuarakan

program-program yang telah berhasil dicapai oleh kandidat tersebut. Dalam

konteks ini, bagi Aspinal dan Sukmajati banyak dijumpai diberbagai daerah. Setiap

anggota DPRD Kabupaten/Kota maupun provinsi memperoleh dana khusus untuk

Page 44: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

36

tujuan-tujuan semacam ini yang diberi nama dana aspirasi (gagasan dari dana

aspirasi adalah bahwa dalam rangka mendukung para legislator dalam aktivitas

penyerapan dan memberikan respons terhadap aspirasi konstituen mereka

diberikan jatah beberapa proyek pemerintah). Dalam pengertian yang sederhana,

penulis melihat bahwa pork barrel projects merupakan strategi ‘mencari muka’

dihadapan masyarakat. Disini kandidat seolah-olah berposisi seperti orang yang

layak dipilih kembali oleh masyarakat karena telah berhasil memperjuangkan apa

yang diperlukan oleh masyarakat sebagai pemilih.

Setelah berbicara mengenai patronase, maka supaya menjadi lebih lengkap

lagi akan dibahas juga mengenai klientelisme versi Aspinal dan Sukmajati. Peneliti

tersebut (merujuk pada Aspinal dan Sukmajati, 2015) melihat bahwasanya broker

yang berada diakar rumput memiliki peranan yang amat penting bagi para kandidat.

Hal mendasar yang menjadi alasannya ialah para kandidat menyadari bahwa

mereka dihadapkan dengan konstituen yang sangat besar, sehingga tidak mungkin

bisa melakukan interaksi secara langsung. Oleh karenanya peranan broker menjadi

sangat penting, supaya bisa menjadi penghubung antara para kandidat dengan

konstituen. Para broker ini biasannya merupakan tokoh masyarakat baik formal

ataupun informal, bahkan masyarakat biasa yang bekerja atas nama kandidat

tertentu. Tentunya tugas utama para broker adalah membujuk anggota masyarakat

lain seperti tetangga dan kenalan terdekat untuk memilih kandidat tertentu.

Posisi klientelisme disini memiliki peranan yang penting. Seperti yang sudah

dijelaskan dimuka, bahwa kandidat yang menggunakan patronase sebagai strategi

pemenangannya selalu berhadapan dengan ‘masalah timbal balik’. Artinya supaya

patronase berjalan dengan baik sehingga bisa diterima dengan baik pula oleh

Page 45: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

37

masyarakat, maka klientelisme mestinya berjalan dengan lancar supaya dukungan

pemilih bisa tercapai. Oleh karena itulah, mengapa para broker harus orang yang

dikenal oleh masyarakat sekitar, supaya patronase bisa berjalan lancar. Aspinal dan

Sukmajati (2015) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk membuat patronase

berjalan dengan efektif adalah dengan membentuk relasi murni klientelistik.

Sehingga, relasi tidak semata-mata merujuk pada pertukaran material jangka

pendek, tetapi membentuk relasi menuju ke arah jangka panjang.

Selaras dengan itu, Aspinal dan Sukmajati (2015) membagi tiga bentuk dasar

dari jaringan broker suara yang digunakan di Indonesia, yakni; pertama tim sukses.

Tim sukses merupakan broker penjaring suara yang paling umum digunakan oleh

kandidat. Dalam tim sukses ini ada banyak penyebutannya, antara lain; tim

kemenangan, tim keluarga, dan tim relawan. Sebagaimana dipaparkan oleh Aspinal

dan Sukmajati (2015) bahwasannya tim sukses untuk kandidat DPR pusat akan

menyertakan tim penasehat inti dan para asistennya. Kemudian, di bawahnya

terdapat sejumlah koordinator seperti; koordinator kabupaten/kota, koordinator

kecamatan (korcam) koordinator desa (kordes) dan terakhir adalah broker pada akar

rumput atau yang sering disebut sebagai koordinator lapangan (korlap). Tentu saja,

tugas utama dari broker tersebut adalah menghubungkan kandidat yang berada pada

puncak piramida dengan para pemilih yang berada pada level terbawah piramida.

Struktur tim sukses dari Aspinal dan Sukmajati ini dapat dilihat dalam Gambar 2.1

di bawah ini.

Gambar 2.1 Struktur Tim Sukses Aspinal dan Sukmajati (2015)

Page 46: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

38

Kedua, mesin-mesin jaringan sosial. Poin kedua ini nampaknya hampir

serupa dengan poin pertama. Maksudnya ialah kandidat selain menggunakan tim

sukses, juga memanfaatkan dukungan dari orang-orang yang memiliki pengaruh

pada masyarakat. para tokoh masyarakat ini bisa memiliki jabatan formal atau

informal. Jabatan formal seperti kepala desa, kepala dukuh, ketua RT/RW, atau

pemimpin dari asosiasi formal seperti club-club olahraga. Sedangkan jabatan

informalnya yaitu tokoh-tokoh keagamaan, para tetua desa, atau pemimpin adat.

Pada intinya ialah merujuk pada orang memiliki pengaruh yang besar atau memiliki

pengikut yang banyak. Temuan Aspinal dan Sukmajati (2015) mengemukakan

bahwa struktur broker setidaknya menggunakan dua rute yang berbeda, pada satu

sisi menggunakan rute tim sukses, sedangkan pada sisi lain menggunakan jaringan

sosial. Melalui jaringan sosial inilah kemudian kandidat melakukan pendistribusian

club goods kepada masyarakat. Jadi, melalui orang yang berpengaruh itulah

harapannya masyarakat menjadi mendukung kandidat tersebut.

Page 47: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

39

Ketiga, partai politik. Dalam konteks ini, Aspinal dan Sukmajati (2015)

melihat bahwasannya partai politik memainkan peranan yang minim dalam

mengorganisir kampanye di akar rumput. Namun, bukan berarti itu semua tidak

bermanfaat. Kadangkala, kandidat yang menjabat sebagai pengurus utama partai

politik mampu mendominasi partai politik dan secara efektif mampu membuat

kepengurusan di tingkatan cabang dari partai tersebut untuk menjadi tim sukses

pribadinya. Oleh karenanya, kandidat tersebut memanfaatkan partai politik untuk

mempromosikan agenda kampanye pribadinya (meskipun ini merugikan kandidat

lain yang ada dalam daftar partai di dapil yang sama).

Memperhatikan tiga bentuk broker dalam usahanya meraup suara

masyarakat, sepertinya tidak bisa sepenuhnya diterapkan ke dalam fokus penelitian

yang dilakukan ini. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwasannya dalam

kontestasi Pilkades berbeda dengan pemilu. Perbedaannya ialah dalam Pilkades

tidak menggunakan partai politik. Sehingga dalam Pilkades, seorang kandidat

kepala desa, apabila merujuk pada broker Aspinal dan Sukmajati (2015) hanya bisa

menerapakan dua poin yakni tim sukses dan jaringan sosial. Namun tidak menutup

kemungkinan seorang kandidat kepala desa juga menggunakan partai politik untuk

memobilisasi masyarakat. Lalu praktik-praktik seperti patronase dan klientelisme

dapat terjadi apabila masing-masing dari kedua belah pihak (patron-klien)

mendapatkan keuntungan-keuntungan dari hubungan yang dibuat. Meskipun

kadang keuntungan tersebut tidak berimbang antara patron dan klien. Sebagai

contoh, misalnya ada seorang kandidat yang memberikan material yang sangat

besar kepada klien dengan harapan mendapat dukungan politik, tetapi yang terjadi

justru hal tersebut berbanding terbalik.

Page 48: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

40

d. Oligarki

Oligarki merupakan konsep yang sering digunakan namun paling kurang

untuk dirumuskan dengan jelas dalam ilmu sosial (Jeffrey A. Winters 2011).

Banyak orang sering mendefinisikan oligarki sebagai kekuasaan yang dipegang

oleh segelintir orang atau minoritas. Pernyataan tersebut sebenarnya keliru. Apabila

demikian definisinya, maka hal mendasar yang menjadi pertanyaan adalah orang-

orang yang berada di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif berarti tergolong

oligarki.

Sebagian besar teori tentang oligarki berawal dengan mendefinisikan istilah

oligarki sebagai satu ragam “kekuasaan sekelompok kecil” lalu kemudian mencari

oligark secara real. Nyatanya itu keliru. Bagi Jeffrey A. Winters (2011),

mendefinisikan oligarki bukan dari mendefinisikan istilah oligarki itu, melainkan

mendefinisikan tentang oligark, baru kemudian menjelaskan mengenai apa itu

oligarki. Bagi Winters (2011) oligark (oligarch) adalah pelaku yang menguasai dan

mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk

mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial

eksklusifnya. Sumber daya itu harus tersedia untuk digunakan demi kepentingan

pribadi, biarpun tidak harus dimiliki sendiri. Apabila kekayaan pribadi ekstream

mustahil dimiliki atau tidak ada, maka oligark juga tidak ada.

Lalu, setelah hadir definisi daripada oligark tersebut, Winters kemudian

menjelaskan bahwasannya oligarki merujuk kepada politik pertahanan kekayaan

oleh pelaku yang memiliki kekayaan material. Pertahanan kekayaan tersebut

Page 49: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

41

mencakup tantangan dan kapasitas tertentu yang tidak dimiliki bentuk dominasi

atau eksklusi minoritas lain. Kekuasaan oligarki harus di dasarkan pada kekuasaan

yang sukar dipecah, dan jangkauannya harus sistemik. Studi tentang oligarki ini

memusatkan perhatian kepada kuasa kekayaan dan politik spesifik seputar kuasa

itu. Penekanannya ada terhadap dampak politik kesenjangan material terhadap

ketidaksetaraan kondisi membuat bentuk-bentuk kekuasaan dan eksklusi minoritas

berbeda dengan semua yang lain.

Dalam konteks ini, oligark tidak perlu menggunakan senjata atau terlibat

secara langsung dalam peran politik. Akan tetapi, oligark akan terlibat langsung

dalam peran politik apabila pelaku luar atau lembaga gagal mempertahankan hak

milik oligark tersebut. Sesungguhnya dari sini mulai tampak bahwa jika oligark

tersebut sudah turun tangan langsung mengambil peran politik, mengindikasikan

bahwa oligark tersebut menjadi kewalahan dalam mempertahankan hartanya.

Winters berpendapat oligarki didasarkan kepada konsentrasi kekuasaan material

sementara demokrasi didasarkan pada penyebaran kekuasaan nonmaterial.

Bagi winters (2011), oligarki tidak sama dengan kapitalis dan berbeda juga

dengan elite serta oligarki akan kebal atau tahan terhadap reformasi kelembagaan.

Hal ini karena oligarki ataupun oligark tidak didefinisikan melalui cara produksi

atau bahkan juga tidak didefinisikan oleh kelembagaan yang ada, serta yang

menjadi pusat perhatian oligarki merujuk pada kekuasaan pelaku yang

menggunakan sumber daya material di bidang politik dengan efek ekonomi yang

penting. Atas dasar inilah, kebanyakan orang sering keliru dalam menafsirkan

oligarki.

Page 50: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

42

Mengutip dari Winters (2011) bahwa seorang bangsawan feodal dapat

menjadi oligark, tapi jelas bukan kapitalis. Seorang pemilik bisnis bisa menjadi

kapitalis, namun mungkin kekuasaan materialnya masih kurang untuk menjadi

oligark. Seorang CEO perusahaan besar boleh jadi mengerahkan banyak

sumberdaya material demi pemegang saham, tapi masih menerima gaji yang kurang

daripada yang diperlukan supaya dia bisa memegang dan menggunakan kekuasaan

oligarkis. Begitu juga pejabat tinggi pemerintah (elite juga) dapat menyalurkan

miliaran dolar tiap hari melalui anggaran negara, namun secara pribadi mungkin

hanya punya sumber daya setara warga negara kelas menengah atas. Namun, jika

pejabat itu korup dan mengumpulkan kekayaan pribadi (dengan cara apapun) maka

kiranya dia menjadi elite pemerintahan sekaligus oligark yang mampu melibatkan

diri dalam politik pertahanan kekayaan. Contoh tersebut mau menjelaskan

bahwasannya kita jangan terlalu cepat menafsirkan tentang oligarki dengan

kapitalis.

Selanjutnya, Winters (2011) mengajak kita untuk memahami dan memikirkan

lima sumber kekuasaan individual diantaranya; pertama, hak politik formal. Hak

politik formal adalah sumber kekuasaan yang paling tidak langka dan paling

tersebar di tingkat individu. Beberapa contohnya yaitu kebebasan berpendapat,

berkumpul dan berserikat dan lain sebagainya. Kedua, kekuasaan jabatan resmi.

Jabatan tinggi pada pemerintahan, organisasi besar atau perusahaan (pribadi dan

publik) merupakan suatu sumber daya kekuasaan yang punya pengaruh dramatis

pada profil kekuasaan segelintir orang. Ketiga, kekuasaan pemaksaan (koersif).

Pada intinya adalah kekuasaan pemaksaan telah bergeser dari sumber daya

kekuasaan yang penting dalam profil kekuasan individual oligark menjadi satu

Page 51: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

43

bentuk kekuasaan elite di negara-bangsa modern, dimana para pelaku mengelola

kekerasan dalam lembaga resmi. Keempat, kekuasaan mobilisasi. Sumber daya

kekuasaan ini mempunyai dua dimensi yakni kekuasaan mobilisasi yang merujuk

pada kapasitas individu untuk menggerakan atau mempengaruhi orang lain. Salah

satu contoh orang yang memiliki kemampuan untuk memobilisasi massa ialah

Martin Luther King. Kelima, kekuasaan material. Kekayaan adalah sumber daya

kekuasaan yang mendefinisikan oligark dan menggerakkan politik serta proses

oligarki. sumber daya material menyediakan dasar untuk tegaknya oligark sebagai

pelaku politik yang tangguh. Kekuasaan materiallah yang bisa membeli pertahanan

kekayaan, baik dalam bentuk kemampuan pemaksaan atau menyewa jasa

pertahanan dari profesional yang ahli. Selain itu, ukuran kekuasaan bagi oligark

hanya dibatasi ukuran kekayaan yang mereka bisa kerahkan.

Dari kelima sumber daya kekuasaan yang telah disebutkan di atas, ternyata

tidak serta-merta mencirikan hadirnya oligarki. Sumber daya kekuasaan pertama

sampai keempat ketika dipegang oleh individu secara terkonsentrasi dan tertutup,

maka akan menghasilkan elite sedangkan sumber kekuasaan yang kelima-lah yang

akan menghasilkan oligark dan oligarki. Secara ringkas, oligarki mencirikan adanya

kesenjangan sumber daya material yang signifikan. Oleh karenanya, Winters

berpendapat bahwa jalan untuk melenyapkan oligark dan oligarki bukan lewat

prosedur demokratis, melainkan distribusi sumber daya material yang sangat

signifikan atau tidak seimbang ditiadakan, supaya tidak lagi memberi kekuasaan

politik terlalu besar kepada segelintir pelaku.

Page 52: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

44

e. Lokal Strongman (Orang Kuat Lokal)

Secara konsep, orang kuat lokal didefinisikan sebagai kekuatan

informal baik berupa kepala suku, kepala agama, panglima suku, tuan tanah,

petani kaya, bos tambang atau yang lainnya, yang memiliki pengaruh besar

dan berusaha untuk memonopoli kontrol atas masyarakat dalam cakupan

wilayah tertentu. Semakin luas cakupan wilayah yang dikontrolnya, maka

semakin berpengaruh pula-lah dalam penentuan keputusan dikehidupan

masyarakat.

Dalam dinamika politik lokal di Indonesia, orang kuat lokal bisa

ditemui melalui beragam kultur dan budaya yang ada. Artinya setiap

wilayah mempunyai ciri khasnya tersendiri. Oleh karenanya, penyebutan

nama orang kuat lokal pun menjadi beragam. Tito Handoko, dkk (2020)

misalnya yang meneliti kaitannya dengan orang kuat lokal di Kabupaten

Kuantan Singingi, Riau, menemukan bahwa penyebutan orang kuat lokal

dengan nama blater. Atau di Banten misalnya, orang kuat lokal disebut

dengan Jawara.

Merujuk pada Migdal sendiri, bahwasannya ada faktor yang membuat

orang kuat lokal ini bermunculan. Sebagaimana Migdal dalam Ahmad

Nurcholis (2016) mengatakan bahwa faktor munculnya orang kuat lokal dan

sepak terjang mereka yaitu; pertama, local strongman tumbuh subur dalam

masyarakat yang mirip dengan jejaringan. Karena adanya struktur yang

mirip jejaringan inilah, para orang kuat lokal memperoleh pengaruh

signifikan yang jauh melampaui pengaruh para pemimpin dan para birokrat

lokal formal.

Page 53: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

45

Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan

memanfaatkan komponen penting yang diyakini masyarakat sebagai strategi

bertahan hidup. Logika bertahan hidup, memberikan kesempatan bagi local

strongman bukan saja bagi membangun legitimasinya di mata rakyat yang

mengharapkan ibanya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, tetapi

juga memperluas kekuasaannya. Personalisme orang kuat lokal

menempatkan mereka sebagai patron yang memberi kebaikan personal bagi

kliennya yang serba kekurangan di daerah kekuasaan mereka.

Ketiga, local strongman secara langsung ataupun tidak telah berhasil

membatasi kapasitas lembaga dan aparatur negara sehingga menyebabkan

pemerintah lemah. Penekanan pada lemahnya kapasitas negara disini bagi

Migdal dipengaruhi oleh sulitnya negara dalam melakukan kontrol sosial

pada masyarakat. Sebagaimana dikutip dalam Ahmad Nurcholis (2016)

Migdal menerangkan, kontrol sosial disini diartikan sebagai “kapasitas

negara untuk memobilisasi masyarakat bertumpu pada kontrol sosial, yang

didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat aturan operasi dari

aturan main untuk orang-orang dalam masyarakat. Perjuangan utama di

banyak masyarakat adalah lebih kepada siapa yang benar dan mampu

membuat aturan yang membimbing perilaku masyarakat sosial (negara atau

organisasi lain). Artinya bahwa, kehadiran negara bagi masyarakat tidak

memiliki pengaruh yang begitu besar bagi kehidupan mereka apabila tidak

mengindahkan aturan yang dibuat daripada yang dibuat oleh kelompok

informal yang dalam hal ini adalah orang kuat lokal.

Secara ringkas, keberhasilan local strongman atau orang kuat lokal

Page 54: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

46

dalam mencapai distribusi dan pengakuan kontrol sosial mereka di

masyarakat menurut Migdal (Ahmad Nurcholis, 2016), didasari atas tiga

faktor utama. Pertama, karena sifat masyarakat yang berbentuk jejaring,

dimana klientelisme tumbuh subur dan berkembang. Sehingga kontrol sosial

terfragmentasi pada kekuatan-kekuatan yang ada, karena tidak mampu

dimonopoli oleh negara.

Kedua, karena proses akulturasi mitos “strategi bertahan hidup” yang

ada dalam diri orang kuat lokal di masyarakat, dan sudah menjadi simbol

tersendiri di antara mereka. Di mana orang kuat menjadi satu-satunya

tumpuan hidup masyarakat. Ketiga, kemampuan orang kuat lokal

mengintervensi, menembus, dan menangkap lembaga-lembaga negara

sehingga menjadikan negara menjadi lemah – yakni melalui semacam

gangguan lewat berbagai tindakan koersif (pemaksaan) yang ditujukan pada

birokrat-birokrat pemerintah.

Apabila kita lacak dalam literatur, dalam beberapa kasus, orang kuat

lokal sering ditemukan di negara-negara Asia-Afrika. Pada umumnya adalah

sering dijumpai dalam negara-negara yang baru merdeka dengan modal

infrastruktur hukum serta ke-institusian yang minim pengalaman. Infiltrasi

yang dibuat oleh orang kuat lokal dalam negara, setidaknya menghasilkan

instabilitas politik yang mau tidak mau telah meningkatkan eksistensi

mereka di mata para politisi maupun implementors (sebutan Migdal untuk

para pelaksana tugas pemerintah pusat di daerah) untuk dijadikan partner

maupun jaringan patronase atau agen kepentingan mereka dalam momen-

momen pemilu (Ahmad Nurcholis 2016).

Page 55: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

47

Adapun dampak yang didapatkan dari proses-proses tersebut adalah

para orang kuat ini mendapatkan akses langsung pada perolehan sumber

daya ekonomi yang diberikan politisi atau para implementors. Bahkan

dampak yang paling tidak bisa dihindari ialah orang kuat lokal berhasil

melakukan negosiasi untuk menaruh beberapa keluarganya di pos-pos

pemerintahan supaya dapat memastikan bahwa sumber proyek ekonomi

yang diberikan tidak jatuh ke tangan pihak lain.

Selain Joel S. Migdal dengan teori local strongmannya, dalam literatur

juga hadir John T. Sidel dengan teorinya bossism. Dalam konteks ini, Sidel

berusaha untuk mengungkap kelemahan teori Migdal tentang local

strongman. Penelitian Sidel di Asia Tenggara seperti di Negara Thailand,

Filipina dan Indonesia ternyata mampu membantah teori Migdal tersebut.

Apabila sebelumnya Migdal mengungkapkan bahwa local strongman hadir

karena lemahnya negara, namun argumen Sidel justru berbanding terbalik.

Bagi Sidel, hadirnya orang kuat lokal atau yang Ia sebut sebagai bossism

merupakan penggabungan antara negara dan sistem pasar. Artinya, bagi

Sidel, negara mempunyai peran untuk menciptakan, mereproduksi serta

mengembangkan orang kuat lokal.

Lalu kemudian, Migdal mengungkapkan bahwa orang kuat lokal

menjadi penghambat arus modal dan sistem pasar. Akan tetapi bagi Sidel itu

tidak benar. Sidel berpendapat bahwa yang namanya orang kuat lokal telah

mampu beradaptasi dengan arus modal, bahkan orang kuat lokal menjadi

Page 56: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

48

pemain di dalamnya dan mampu meraup keuntungan bagi dirinya sendiri.

Pasca gelombang demokratisasi hadir dalam negara-negara di dunia

ketiga, alih-alih menghasilkan demokrasi substansial yang mampu

membawa kemakmuran bagi seluruh rakyat, ternyata hanya sampai pada

titik pemenuhan syarat demokrasi prosedural belaka. Pada kenyataanya,

demokasi yang dibangun hanya dimanfaatkan oleh sebagian orang saja. Hal

tersebut dibuktikan dengan perebutan kekuasaan oleh para pengusaha dan

premanisme pada lembaga pemerintahan baik tingkat lokal maupun

nasional. Oleh karena itu, Sidel merumuskan ulang definisi orang kuat lokal.

Bagi Sidel, orang kuat adalah para bos lokal yang berhasil memelihara

jejaring politik mereka dan mendapatkan akses terhadap monopoli kontrol

sosial di masyarakat melalui penguasaan pada sumber-sumber ekonomi dan

penguasaan pada tindak kekerasan dalam yuridis teritori mereka. Dalam

pengertian tersebut, Sidel mau menunjukan bahwa orang kuat tersebut

mempunyai jejaring yang kuat, berhasil menempati posisi-posisi tertentu

baik pada tingkatan Kabupaten/kota, provinsi hingga pusat.

Pada kasus orang kuat lokal di Filipina, Sidel mengungkapkan bahwa

kemunculan orang kuat lokal di negara tersebut tidak hanya berasal dari

monopoli pemilikkan tuan tanah atas tanah besar dan kekuatan patron- klien

yang mengakar. Keabadian orang kuat lokal di Filipina lebih disebabkan

oleh subordinasi negara dan akumulasi primitif yang bermula semenjak era

penjajahan. Subordinasi yang dilakukan semenjak penjajah seperti negara

Page 57: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

49

Spanyol berkuasa melalui pemilihan aparatur negara di tiap tingkatan

dengan mekanisme pengawalan yang sangat ketat yang melibatkan institusi

gereja sebagai lembaga seleksi, berubah drastis ketika AS memegang alih

kekuasaannya di Filipina. Subordinasi negara tetap berjalan tetapi melalui

mekanisme yang lebih independen sehingga tidak mengikutsertakan gereja

dalam pemilihan. Hal tersebut mengakibatkan, penguasaan kontrol sosial

menjadi lebih terbuka bagi pihak ketiga (swasta) di mana mereka tetap

menggunakan diskresi politik mereka semasa penjajah Spanyol, guna

mendapatkan kekuatan penuh terhadap aturan-aturan yang dikehendaki.

Adapun pola variasi bos lokal dalam masyarakat Filipina,

digambarkan oleh Sidel dalam Ahmad Nurcholis (2016) sebagai berikut;

Pertama, bos lokal berhasil berurat-akar bila dan di mana “puncak

komando” (commanding height) dari politik ekonomi lokal memberi kontrol

monopolistis, utamanya terhadap berbagai kegiatan ilegal, simpul

perniagaan/kemacetan transportasi, tanah-tanah pemerintah, pengaturan

ketat tanaman dagang dan industri.

Kedua, dimana kontrol monopolistis terhadap perekonomian lokal

bergantung pada kekuasaan derivatif dan diskresi yang didasarkan pada

negara, maka satu generasi bos-bos dengan gaya preman terpaksa harus

bersandar pada pialang kekuasaan superordinat yang dukungannya menjadi

landasan kemunculan, berurat-akar, dan bertahan hidupnya mereka.

Mengambil sikap bermusuhan berarti kehancuran atau kematian mereka.

Ketiga, sebaliknya, dimana kontrol monopolistis terhadap

Page 58: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

50

perekonomian lokal bersandar pada pembangunan basis kokoh pemilik

kekayaan di luar bidang campur tangan negara, para bos terpaksa melawan

kasak-kusuk permusuhan pialang-pialang kekuasaan superordinat dan

berhasil mewariskan daerah kekuasaan mereka kepada generasi penerus

dengan model dinasti klasik.

Pada kasus bos lokal di Filipina, dengan adanya para bossism memiliki

jejaring patron mereka di tingkat politik nasional dan memiliki klien jejaring

mereka di struktur bawah, menandaskan bahwa patron-klien sistem sangat

terasa dalam praktek per-bos-an di Filipina.

Selain di negara Filipina, Sidel juga melakukan penelitian di Thailand.

Menurutnya, bossism di Filipina dan Thailand memiliki dua perbedaan.

Perbedaan Pertama yaitu transisi pelimpahan wewenang ‘kontrol sosial’

untuk kasus Thailand dari pusat ke daerah yang berbarengan dengan

pertumbuhan kapitalisme cenderung lambat. Sedangkan perbedaan kedua

adalah pola komunikasi antara pemerintahan pusat dan parlemen yang

dibentuk, dibalut melalui koalisi sistem multipartai yang didasarkan jaringan

patronase antar mereka.

Sementara itu, pada kasus di Indonesia Sidel melihat tidak semasif

kedua negara tersebut. Hal ini di dasarkan pada tahun 1966-1998 di bawah

pimpinan Soeharto yang menjalankan roda kepemerintahan otoritarianisme

membuat kekuatan di luar negara di bungkam. Soeharto menjadi penguasa

tunggal. Oleh karenanya membuat segala bentuk keputusan harus berasal

dari pusat termasuk di dalamnya penempatan posisi-posisi para pemimpin

daerah sampai pada tingkatan lokal pun di jaga ketat. Hal inilah yang

Page 59: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

51

membuat bossism dalam istilah Sidel menjadi nihil, sebab kekuatan informal

untuk mendikte kontrol sosial di tengah masyarakat tidak terjadi.

Akan tetapi, setelah lengsernya Soeharto dengan ditandai hadirnya

penerapan sistem desentralisasi membuat sedikit kelonggaran. Bagi Sidel

para bos lokal memiliki peluang untuk bersaing menduduki parlemen.

Ringkasnya, hadirnya bossism di Indonesia karena dampak dari pemilihan

langsung pilkada, karena dengan begitu mereka dapat memperluas jaringan,

memobilisasi massa, menjaga serta memperkuat kuasa di tingkat lokal.

Inilah yang menjadi kelemahan demokrasi di negara berkembang, sebab

demokrasi hanya dipandang sebagai ajang prosedural bukan secara

substansial.

f. Alur Pikir Penelitian

Adapun alur pikir penelitian dapat diamati dari Gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.2 Alur Pikir Penelitian

Page 60: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

52

Tujuan hadirnya gambar 2.1 di atas ialah untuk mempermudah penulis

dalam memetakan alur penelitian ini. Dalam konteks ini, kandidat yang

menang dalam kontestasi Pilkades tersebut penulis sebut sebagai aktor,

sebagaimana dilihat pada gambar 2.1 di atas. Selanjutnya, strategi politik

secara sederhana berarti cara-cara atau strategi-strategi yang dilakukan oleh

aktor untuk dapat memobilisasi masyarakat. Sehingga dengan begitu,

masyarakat dapat mendukung aktor dengan cara memilihnya dalam

pertarungan Pilkades yang berlangsung. Dengan bahasa lain, strategi politik

digunakan untuk mendapat dukungan politik dari masyarakat. Pada posisi ini

strategi politik yang dilakukan oleh aktor dipetakan menjadi yakni patronase,

oligarki dan local strongman (orang kuat lokal).

Strategi politik ini digunakan untuk mendapatkan jabatan politik.

Kemudian, jabatan politik disini merujuk kepada posisi sebagai kepala desa.

Hal mendasar mengapa kepala desa disebut sebagai jabatan politik karena

posisi tersebut didapatkan melalui pemilihan yang langsung dipilih oleh rakyat.

Page 61: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

53

Secara ringkas, aktor menggunakan strategi politik yang dipetakan dari tiga

konsep besar teori yaitu patronase, oligarki dan local strongman,

ditrasformasikan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh untuk

mendapatkan atau menduduki jabatan politik sebagai kepala desa.

Page 62: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

142

Daftar Pustaka

Sumber Buku

Anderson, Benedict R. O’G. (2000). Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya

Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa

Aspinal, Edward & Mada Sukmajati. 2015. Politik Uang di Indonesia:

Patronase Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta:

PolGov.

Disyacitta, Fikri. (2019). Desa Kuat Negara Berdaulat. Yogyakarta: The

Indonesian Power For Democracy.

Eko, Sutoro. (2015). Regulasi Baru Desa Baru. Jakarta: Kemeterian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik

Indonesia.

Eko, Sutoro., Barori, M., & Hastowiyono.(2017). Desa Baru Negara Lama.

Yogyakarta: Pascasarjana STPMD”APMD”.

Fadjar, Mukthie. (2013). Pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu, dan Demokrasi:

Membangun Pemilu Legislatif, Presiden, dan Kepala Daerah dan

Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Secara Demokratis. Malang:

Setara Press.

Firmanzah. (2012). Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Gunawan, Imam. (2017). Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik.

Jakarta : Bumi Aksara.

Heywood, Andrew. (2014). Politik : Edisi keempat. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Maschab, Mashuri. (2013). Politik Pemerintahan Desa di Indonesia.

Yogyakarta: PolGov.

Mochtar, Hilmy. (2011). Demokrasi dan Politik Lokal di Kota Santri.

Malang: UB Press.

Moleong, Lexy. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif: untuk penelitian yang

bersifat: eksploratif, enterpretif, interaktif dan konstruktif. Bandung:

ALAFABETA.

Syafiie, Kencana Inu. (2014). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT

Refika Aditama.

Tjahjoko, Guno Tri. (2016). Politik Ambivalensi: Nalar Elit di Balik

Pemenangan Pilkada. Yogyakarta: PolGov.

Page 63: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

143

Sumber Jurnal

Afriandi, Fadli. 2019. Perilaku Memilih Masyarakat Pasca Runtuhnya Dinasti

Kekuasaan di Kutai Kartanegara. Jurnal Polgov, Vol 1 No 1.

Ainillah, Siti Rohmatul. 2016. Elite Politik Dalam Kontestasi di Desa Dengan

Menggunakan Studi Peran Blater Dalam Pilkades di Desa Banjar,

Galis, Bangkalan Madura. Jurnal Politik Muda Vol 5 No 3 Agustus.

Andhika, Lesmana Rian. 2017. Bahaya Patronase dan Klientelisme dalam

Pemilihan Kepala Desa Serentak. Jurnal Kajian, Vol 22 No 3,

September.

Astusti, Puji, Sulistyowati, Lusia Astrika. 2019. Kontestasi Pasangan Suami

Istri Dalam Pilkades. JPW (Jurnal Politik Walisongo), Vol 1 No 1.

Basri, Hasan. 2020. Pola Praktik Penggunaan Politik Uang Dalam Pilkades

di Kabupaten Sumenep. Jurnal Setia Pancasila, Vol 1 No 1.

Erviantono, Tedi. 2017. Bahaya Politik, Uang dan Pilkada. Jurnal

Transformative, Vol 3 No 2, September.

Fitriyah. 2015. Cara Kerja Politik Uang. Jurnal Politika, Vol 6 No 2,

Oktober: 101-111.

Gunawan, Arry Bainus, dan Caroline Paskarina. 2020. Strategi Politik Koalisi

Partai Dalam Pemenangan Paslon Kepala Daerah: Studi Kasus Pada

Pilkada Kabupaten Nagan Raya Tahun 2017. Jurnal Politik Islam,

Vol 3 No 1, Januari.

Handoko, Tito, Ramlan Darmansyah, dan Syofian. 2020. Fenomena Local

Strongman (Studi Kasus Pengaruh Sukarmis Dalam Mendukung

Kemenangan Andi Putra Sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kuantan Singing. Jurnal Moderat, Vol 6 No 3, Agustus.

Hanif, Hasrul. 2009. Politik Klientelisme Baru dan Dilema Demokratisasi di

Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 12 No 3, Maret:

257-390.

Halili. 2009. Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa: Studi di

Desa Pakandangan, Barat Bluto, Sumenep, Madura. Jurnal

Humaniora(lemlit UNY), Vol 14 No 2, Oktober: 99-112.

Hidayat, Endik., Prasetyo, Budi., dan Yuwana, Setya. 2016. Praktik Politik

Oligarki dan Mobilisasi Sumber Daya kekuasaan di Pilkades Desa

Sitimerto Pada Tahun 2016. Jurnal Sospol, Vol 4 No 2, Juli-

Desember: 124-151.

Hidayat, Endik., Prasetyo, Budi., dan Yuwana, Setya. 2018. Runtuhnya

Politik Oligarki Dalam Pemilihan Kepala Desa: Kekalahan Incumbent

Pada Pilkades Tanjung Kabupaten Kediri. Jurnal Politik, Vol 4 No 1,

Agustus.

Page 64: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

144

Kartini ,Sri, Dede., Mulyawan, Rahman., dan Yuningsih, Yani, Neneng.

2017. Kapitalisme Pedesaan Di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Tanjung Lesung Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten. Jurnal Ilmu

Pemerintahan, Vol 3 No 1, April.

Kazali, Revi, Endang, Rochmiatun, dan Nico, Oktario, Adytyas. 2020.

Pengaruh Money Politics Terhadap Pilihan Masyarakat Pada Pilkades

Serentak di Kabupaten Muara Enim Tahun 2017 (Studi Kasus di Desa

Teluk Limau Kecamatan Gelumbang). Jurnal Ampera: A Research

Journal on Politics and

Islamic Civilization, Vol. 1 No. 2, April.

Muhazir, Alfian. 2020. Strategi Political Marketing Kandidat Dalam Pilkades

Serentak Periode III di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu

Komunikasi, Vol 1 No 1, Juli.

Paraisu, Ratnasari. 2016. Peran Local Strongman Dalam Pilkades Ramdori,

Kecamatan Swandiwe, Kabupaten Biak Numfor. Jurnal Lyceum, Vol

4 No 1, Januari.

Saepudin, dan Joni Firmansyah. 2017. Jawara dan Pemilu: Peran Jawara

Sebagai Identitas Politik di Dalam Pilkada Banten. Jurnal

BAWASLU, Vol 3 No 2.

Susanti, Martien Herna. 2017. Dinasti Politik Dalam Pilkada di Indonesia.

Journal of Government and Civil Society Vol 1 No 2, September.

Sya’ban S.P, Syihabudin, dan Hanafi Tanawijaya. 2019. Eksistensi Tanah

Bengkok Setelah Berubahnya Pemerintah Desa Menjadi Pemerintah

Kelurahan (Studi Kasus di Wilayah Kelurahan Kelapa Dua dan

Kelurahan Bencongan, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten

Tangerang). Jurnal Hukum Adigama, Vol 2 No 2, Desember.

Tjahjoko, Guno Tri. 2019. Demokrasi Desa Tanpa Politik Uang. Jurnal

Pemerintahan Daerah dan Desa Indonesia, Vol 1 No 1, Juni.

Yuningsih, Neneng Yani dan Valina Singka Subekti. 2016. Demokrasi Dalam

Pemilihan Kepala Desa? Studi Kasus Desa Dengan Tipologi

Tradisional, Transisional, dan Modern di Provinsi Jawa Barat Tahun

2008-2013. Jurnal Politik, Vol 1 No 2, Februari.

Page 65: HALAMAN JUDULrepo.apmd.ac.id/1491/1/LIBERTUS RENALDI_17520315.pdfmenjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan,

145

Sumber UU dan Perbup

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Peraturan Bupati Magelang Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Tata Cara

Pemilihan Kepala Desa.

Sumber Lainnya

Nurcholis, Ahmad. (2016). “Orang Kuat Dalam Dinamika Politik Lokal

Studi Kasus: Kekuasan Politik Fuad Amin di Bangkalan”. Skripsi.

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah, Jakarta.