hasil dan pembahasan penyebaran desa idt iv... · utama desa, lapangan usaha mayoritas penduduk,...
TRANSCRIPT
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebaran Desa IDT
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda Kabupaten Bogor, terdapat
80 desa yang tergolong pada desa tertinggal berdasarkan kriteria indeks desa
tertinggal (IDT) dari Badan Pusat Statistik (BPS). Jika dilihat berdasarkan
wilayah pembangunannya, di Kabupaten Bogor wilayah barat terdapat 36 desa
tertinggal, di wilayah tengah terdapat 31 desa dan 13 desa lainnya berada di
wilayah timur seperti yang terlihat dalam Gambar 4. Hal ini menunjukkan bahwa
berdasarkan kriteria dari BPS, wilayah barat relatif lebih tertinggal dibandingkan
di wilayah tengah dan timur.
Ketertinggalan wilayah barat tersebut disebabkan karena rendahnya nilai
wilayah ini dari beberapa variabel penilaian yang digunakan, antara lain jalan
utama desa, lapangan usaha mayoritas penduduk, fasilitas pendidikan, fasilitas
kesehatan, tenaga kesehatan, sarana komunikasi, kepadatan penduduk per km2,
persentase rumah tangga listrik, persentase rumah tangga yang mempunyai TV,
persentase rumahtangga pertanian, persentase rumahtangga yang memiliki
kendaraan bermotor serta aksesibilitas baik terhadap puskesmas, pasar permanen
maupun pertokoan. Jika dikaitkan dengan densitas jalan yang ada, desa-desa ini
berada di wilayah yang memiliki densitas jalan yang rendah (0.64%) dan berada
pada bentuk lahan (landform) yang datar, terutama di wilayah barat tengah,
hingga bergelombang dan berbukit.
Berdasarkan data penggunaan lahan di Kabupaten Bogor seperti yang
terdapat pada Tabel 5, terlihat bahwa sebagian besar penggunaan lahan di wilayah
barat masih tertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan, dengan kepadatan
penduduk rata-rata yang relatif rendah (< 500 per km2) di beberapa kecamatan.
Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya desa yang masuk
dalam katagori IDT di wilayah barat. Selain itu, ketersediaan berbagai sarana dan
fasilitas pelayanan umum yang relatif rendah, seperti sarana pendidikan (rata-rata
jumlah SMA 0.35 per desa), fasilitas tenaga dan sarana kesehatan, juga sangat
mempengaruhi masuknya desa-desa di wilayah barat menjadi desa IDT.
54
Selain dari variabel di atas, adanya hutan baik di wilayah barat terutama
hutan lindung yang ada di wilayah barat bagian selatan serta di wilayah timur
diduga turut menyebabkan wilayah ini menjadi tertinggal. Adanya kawasan hutan
di suatu wilayah tentu memberikan beberapa konsekuensi, yaitu pertama, wilayah
ini tentunya mempunyai kepadatan penduduk yang relatif lebih rendah dibanding
wilayah lainnya sehingga relatif tidak memerlukan sarana dan prasarana yang
banyak. Kedua, sebagai kawasan hutan, aksesibilitas yang tersedia relatif lebih
terbatas. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kawasan hutan dari
kerusakan yang disebabkan oleh perambahan. Dengan rendahnya aksesibilitas
maka tingkat interaksi masyarakat yang ada di wilayah tersebut juga relatif lebih
terbatas sehingga perkembangan wilayah tersebut relatif lebih lambat dibanding
daerah yang tingkat interaksinya lebih tinggi. Ketiga, kawasan hutan umumnya
lebih ditujukan sebagai kawasan konservasi, terutama di daerah-daerah yang
mempunyai tingkat kelerengan yang tinggi sehingga upaya budidaya masyarakat
di daerah tersebut menjadi lebih terbatas.
Hasil Analisis Skalogram
Hasil analisis skalogram akan menentukan struktur pusat pelayanan
menurut hirarki wilayah. Penentuan hirarki didasarkan atas tingkat perkembangan
dan kapasitas pelayanan yang dapat disediakan oleh suatu wilayah. Tingkat
hirarki ini penting dalam penentuan kapasitas suatu wilayah, apakah suatu wilayah
merupakan pusat/inti atau hinterland.
Perkembangan pembangunan yang berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya akan berdampak pada adanya struktur hirarki pada wilayah-
wilayah tersebut yang dicerminkan dari adanya pusat-pusat pelayanan di suatu
wilayah. Wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk yang relatif tinggi dan
yang relatif lebih maju akan membutuhkan berbagai sarana dan prasarana serta
pelayanan sosial ekonomi yang lebih dari wilayah dengan kepadatan penduduk
yang lebih rendah dan yang relatif belum maju. Contohnya dalam hal prasarana
pendidik dan kesehatan serta sarana dan prasarana transportasi.
55
660000
660000
680000 700000 720000 740000
740000
9240
000 9240000
9260
000 9260000
9280
000 9280000
9300
000 9300000
9320
000 9320000
7 0 7 14 Km
Peta Penyebaran Desa IDTBerdasarkan Wilayah Pemerintahan
N
EW
S
Sumber :- Peta Topografi skala 1 : 25.000- Pemda Kabupaten Bogor
Program Studi Perencanaan WilayahSekolah Pasca Sarjana IPB
2006
Batas Kecamatan
Batas Wilayah Pemerintahan
Desa-desa IDT di Wilayah Barat
Desa-desa IDT di Wilayah Tengah
Desa-desa IDT di Wilayah Timur
Keterangan :
Gambar 4 Peta penyebaran desa IDT menurut wilayah pembangunan
56
Tingkat perkembangan desa-desa di Kabupaten Bogor ditentukan dengan
metode skalogram yang dimodifikasi dan dicerminkan oleh nilai Indeks
Perkembangan Desa (IPD). Semakin tinggi nilai IPD, umumnya akan semakin
tinggi pula kapasitas pelayanan suatu desa dan tingkat perkembangannya. Dari
hasil perhitungan skalogram, diperoleh kisaran nilai IPD antara 2.30 hingga
177.78 yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Nilai IPD tertinggi
177.78 diperoleh oleh Desa Pabuaran di Kecamatan Cibinong dan nilai IPD
terendahl diperoleh oleh Desa Tangkil di Citerureup.
Berdasarkan hasil perhitungan analisis skalogram untuk menentukan
hirarki wilayah menurut jumlah dan jenis fasilitas pelayanan atau infrastruktur,
diperoleh hasil kelompok sebagai berikut :
a. Wilayah yang termasuk pada hirarki I merupakan desa-desa yang mempunyai
tingkat perkembangan yang paling tinggi dengan jumlah sebanyak 24 desa
(5.65% dari seluruh desa di Kabupaten Bogor) yang tercakup dalam 12
kecamatan, yaitu Cibinong (tujuh desa), Megamendung (satu desa),
Bojonggede (dua desa), Cileungsi (dua desa), Citeureup (tiga desa), Gunung
Putri (tiga desa), Jonggol, Dramaga, Leuwiliang, Sukaraja, Parung, Cariu
masing-masing satu desa. Desa-desa dalam tingkat hirarki ini mempunyai
nilai IPD antara 64.40 – 177.78. Desa-desa ini umumnya mempunyai tingkat
ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan umum yang lebih
tinggi dan lebih memadai dibandingkan desa-desa dengan hirarki yang lebih
rendah. Adapun sarana dan prasarana yang lebih terutama dalam hal sarana
pendidikan, sarana kesehatan (termasuk tenaga kesehatan) dan aksesibilitas
terhadap pusat pemerintahan. Ciri-ciri lain yang menonjol dari wilayah desa-
desa hirarki I ini adalah mempunyai landform yang relatif datar dan
merupakan daerah urban dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi serta
tidak lagi mengandalkan pada sektor pertanian.
b. Wilayah yang termasuk pada hirarki II yang merupakan wilayah desa-desa
dengan tingkat perkembangan yang sedang dengan jumlah 188 desa (44.24%
dari selueuh desa di Kabupaten Bogor) yang tercakup dalam 34 kecamatan,
yaitu Babakan Madang (empat desa), Bojonggede (sebelas desa), Caringin
(enam desa), Cariu (satu desa), Ciampea (sebelas desa), Ciawi (sembilan
57
desa), Cibinong (lima desa), Cibungbulang (satu desa), Cigudeg (empat desa),
Cijeruk (enam desa), Cileungsi (enam desa), Ciomas (enam desa). Cisarua
(sembilan desa), Ciseeng (enam desa), Citeureup (delapan desa), Dramaga
(empat desa), Gunung Puteri (enam desa), Gunung Sindur (lima desa), Jasinga
(dua desa), Jonggol (empat desa), Kemang (delapan desa), Klapanunggal
(empat desa), Leuwiliang (sepuluh desa), Megamendung (empat desa),
Nanggung (dua desa), Pamijahan (tujuh desa), Parung (lima desa), Parung
Panjang (lima desa), Rancabunngur (tiga desa), Rumpin (sembilan desa),
Sukamakmur (dua desa), Sukaraja (tujuh desa), Taman Sari (empat desa), dan
Tenjo (empat desa). Desa-desa yang termasuk dalam tingkat hirarki ini
mempunyai IPD antara 24.67 – 60.24. Ciri-ciri dari wilayah desa-desa ini
adalah mempunyai ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan
yang relatif lebih rendah dari hirarki I, berada di dekat desa-desa yang
berhirarki I, dan masih mengandalkan pada sektor pertanian.
c. Wilayah yang termasuk pada hirarki III merupakan wilayah dengan tingkat
perkembangan yang paling rendah dengan jumlah sebanyak 213 desa (50.12%
dari seluruh desa di Kabupaten Bogor) yang tercakup dalam 34 kecamatan
yaitu Babakan Madang (lima desa), Bojonggede (tiga desa), Caringin (enam
desa), Cariu (18 desa), Ciampea (delapan desa), Ciawi (empat desa),
Cibungbulang (14 desa), Cigudeg (sebelas desa), Cijeruk (12 desa), Cileungsi
(empat desa), Ciomas (lima desa). Cisarua (satu desa), Ciseeng (empat desa),
Citeureup (tiga desa), Dramaga (lima desa), Gunung Puteri (satu desa),
Gunung Sindur (lima desa), Jasinga (15 desa), Jonggol (delapan desa),
Kemang (satu desa), Klapanunggal (lima desa), Leuwiliang (delapan desa),
Megamendung (enam desa), Nanggung (delapan desa), Pamijahan (delapan
desa), Parung (tiga desa), Parung Panjang (enam desa), Rancabunngur (tiga
desa), Rumpin (empat desa), Sukajaya (tujuh desa), Sukamakmur (delapan
desa), Sukaraja (lima desa), Taman Sari (empat desa), dan Tenjo (tiga desa).
Desa-desa yang termasuk pada tingkat hirarki ini mempunyai IPD antara 2.30
– 24.64. Adapun ciri-ciri yang menonjol dari desa-desa ini adalah
ketersediaan sarana yang relatif kurang dibandingkan desa-desa pada hirarki
yang lebih tinggi, mempunyai akses terhadap pusat yang jauh lebih sulit,
58
berada pada daerah dengan tingkat kelerengan yang lebih tinggi dan berada
dekat dengan kawasan hutan.
Cariu
Cigudeg
Sukajaya
JonggolJasinga
Nanggung
Tenjo
Rumpin
Sukamakmur
CiawiCisarua
Leuwiliang
Cileungsi
Pamijahan
Ciampea
CijerukCaringin
Citeureup
Gunung Putri
Ciseeng
Parungpanjang
Babakan Madang
KlapanunggalCibinongBojonggede
Sukaraja
Tamansari Megamendung
Parung
Kemang
Cibungbulang
Gunung Sindur
Dramaga
Ciomas
660000
660000
680000
680000
700000
700000
720000
720000
740000
740000
9240
000 9240000
9260
000 9260000
9280
000 9280000
9300
000 9300000
7 0 7 14 Km
Peta Penyebaran Desa Berhirarki IMenurut Kecamatan
N
EW
S
Sumber :- Peta Topografi skala 1 : 25.000- Pemda Kabupaten Bogor
Program Studi Perencanaan WilayahSekolah Pasca Sarjana IPB
2006
Batas Kecamatan
Keterangan :
Kec. Bojonggede
Kec. Cariu
Kec. Cibinong
Kec. Cileungsi
Kec. Citeureup
Kec. Dramaga
Kec. Gunung Putri
Kec. Jonggol
Kec. Leuwiliang
Kec. Megamendung
Kec. Parung
Kec. Sukaraja
Gambar 5 Penyebaran Desa Berhirarki I Menurut Kecamatan
59
Berdasarkan hasil pengelompokkan di atas terlihat bahwa sebagian besar
(50.12%) desa-desa yang ada di Kabupaten Bogor berada di hirarki III dan
44.24% berada di hirarki II. Hanya 5.65% yang berada di Hirarki I. Hal ini
menunjukkan struktur hirarki yang jelas di Kabupaten Bogor dan penyebaran
fasilitas yang ada cenderung memusat di pusat-pusat pertumbuhan yang ada di
sekitar Kecamatan Cibinong, yang masuk pada wilayah tengah dari Kabupaten
Bogor terus ke arah timur (menuju Kecamatan Cileungsi dan Gunung Putri)
sedangkan di daerah-daerah lain ketersediaan fasilitas ini relatif masih kurang.
Jika dilihat sebaran dari hirarki I maka terlihat bahwa pusat hirarki terletak
di tengah utara, yaitu di Kecamatan Cibinong. Hal ini dapat dimengerti karena
Cibinong merupakan ibukota dari Kabupaten Bogor dimana sebagai pusat
pemerintahan biasanya diikuti dengan berkumpulnya berbagai fasilitas dan
pelayanan sosial. Lokasi yang terletak pada poros Bogor-Jakarta juga turut
mempercepat perkembangan wilayah ini. Selain itu, wilayah timur laut
Kabupaten Bogor juga merupakan lokasi industri yang menandakan wilayah ini
mempunyai infrastruktur yang relatif lebih baik daripada wilayah-wilayah lainnya.
Selain itu, adanya aksesibilitas jalan yang baik, dengan adanya jalan tol, juga
sangat menunjang perkembangan wilayah ini.
Untuk wilayah Kabupaten Bogor bagian barat, daerah yang mempunyai
hirarki I hanya terdapat di Kecamatan Leuwiliang. Hal ini menunjukkan bahwa
Kecamatan Leuwiliang merupakan pusat pelayanan bagi wilayah barat Kabupaten
Bogor dan sudah lebih berkembang dibandingkan daerah-daerah lain di wilayah
ini sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya belum berkembang dengan baik.
Hal ini disebabkan dari faktor lokasi yang relatif lebih dekat dengan pusat
pertumbuhan seperti Kota Bogor dan mempunyai aksesibilitas yang lebih baik
dibanding wilayah lain dimana Kecamatan Leuwiliang ini dilalui oleh jalur
lalulintas dari arah Bogor menuju Kabupaten Pandeglang. Hal ini selain
menunjukkan masih kurangnya penyediaan sarana pelayanan sosial secara umum
di Kabupaten Bogor bagian barat juga menunjukkan adanya disparitas
perkembangan wilayah dimana wilayah tengah dan timur dari Kabupaten Bogor
mempunyai perkembangan yang lebih baik dibandingkan wilayah barat. Hal ini
dapat dilihat dari penggunaan lahan yang ada seperti pada Tabel 10 berikut.
60
Tabel 10 Persen penggunaan lahan berdasarkan wilayah pembangunan
Persen (%) Berdasarkan Wilayah Pembangunan Jenis Penggunaan Lahan
Barat Tengah Timur Belukar 3.09 0.59 1.03 Hutan 19.28 5.49 16.34 Tegalan/Ladang 18.08 11.37 9.54 Sawah 20.98 20.00 20.18 Pemukiman 6.64 21.57 8.64 Kebun/Perkebunan 1.05 2.65 4.37 Rumput/Tanah Terbuka 6.45 8.36 17.68 Luas Wilayah (hektar) 129 790 86 051 82 183 Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 1 041 2 370 934
Sumber : Peta Landuse, diolah kembali.
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa wilayah terbangun di Kabupaten
Bogor bagian tengah relatif lebih besar dibandingkan daerah lain dan di wilayah
barat, tingginya persentasi belukar memperlihatkan masih banyaknya lahan-lahan
yang belum termanfaatkan dengan optimal. Selain itu adanya kawasan lindung di
sebelah barat daya dan tengah yang merupakan hutan lindung menyebabkan
kawasan tersebut relatif menjadi lebih sulit untuk dikembangkan.
Pada wilayah tengah, persen wilayah terbangun yang ditunjukkan dari
persentasi penggunaan lahan untuk pemukiman menunjukkan bahwa wilayah
tersebut relatif lebih berkembang karena untuk membangun suatu kawasan
pemukiman tentu membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai baik berupa
sarana jalan, jaringan listrik, telepon ataupun air bersih serta mempunyai
aksesibilitas yang baik terhadap sarana-sarana pelayanan sosial seperti sarana
pendidikan, kesehatan ataupun pemerintahan. Perkembangan wilayah ini juga
ditunjang oleh adanya jalur transportasi utama antara Bogor – Jakarta baik melalui
kendaraan maupun kereta api yang menyebabkan pesatnya pertumbuhan kawasan
perumahan di wilayah ini.
Dari Tabel 10 di atas juga terlihat bahwa walaupun wilayah tengah
mempunyai persentase penggunaan lahan untuk pemukiman yang paling tinggi
tetapi juga mempunyai persentase penggunaan lahan untuk tegalan/ladang serta
61
kebun/perkebunan yang juga relatif tinggi. Kedua jenis penggunaan lahan ini
terutama berada di sebelah barat daya dan timur dari wilayah ini.
Untuk wilayah Kabupaten Bogor bagian Timur, daerah yang mempunyai
hirarki I terdapat di beberapa kecamatan, yaitu Cariu, Jonggol, Cileungsi dan
Gunung Putri. Ini menunjukkan bahwa di wilayah timur, perkembangan wilayah
sudah lebih maju dengan infrastruktur yang lebih baik. Hal ini ditunjang dengan
arahan pengembangan industri yang cenderung lebih mengarah ke wilayah timur.
Selain itu, adanya jalur alternatif dari Jakarta menuju Bandung melalui Jonggol
dan Cariu menjadikan daerah ini mempunyai tingkat interaksi yang relatif lebih
tinggi.
Jika dilihat dari Gambar 1, sebagian besar dari Kabupaten Bogor wilayah
barat ini mempunyai tingkat densitas jalan yang rendah. Hal ini membawa
dampak yang kurang baik dalam perkembangan wilayah karena aksesibilitas ini
sangat penting untuk adanya interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lain.
Jika aksesibilitas masih relatif rendah maka interaksi wilayah akan relatif rendah
sehingga perkembangan wilayah tersebut akan cenderung lebih lambat
dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai interaksi antar wilayah yang lebih
tinggi.
Berdasarkan hasil ovelay peta densitas jalan dengan wilayah berhirarki III
seperti pada Gambar 6, terlihat bahwa rendahnya aksesibilitas yang ditunjukkan
oleh tingkat densitas jalan yang rendah ternyata sangat berpengaruh terhadap
penyediaan infrastruktur wilayah. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa
sebagian besar desa-desa yang berada pada hirarki III (135 desa atau 63.4%)
berada di wilayah dengan densitas jalan yang rendah (kurang dari 22.54 meter per
hektar) dan 66 desa (31%) berada pada wilayah dengan densitas jalan sedang
(antara 22.54 – 47.04 meter per hektar). Hal ini menunjukkan bahwa untuk
mengembangkan suatu wilayah, ketersediaan prasarana transportasi mempunyai
peranan yang penting.
Lain halnya dengan desa-desa yang berhirarki I dimana hanya (37.5%)
saja dari dari desa-desa tersebut yang berada pada densitas jalan yang tinggi,
seperti yang terlihat pada Gambar 7. Hal ini diduga bahwa perkembangan daerah-
62
daerah tersebut lebih didukung oleh faktor lokasinya terhadap pusat-pusat
pertumbuhan atau pada simpul-simpul pertumbuhan.
daerah tersebut lebih didukung oleh faktor lokasinya terhadap pusat-pusat
pertumbuhan atau pada simpul-simpul pertumbuhan.
660000
660000
680000
680000
700000
700000
720000
720000
740000
740000
9240
000 9240000
9260
000 9260000
9280
000 9280000
9300
000 9300000
9320
000 9320000
7 0 7 14 Km
Peta Overlay Desa Berhirarki IIIDengan Densitas Jalan
N
EW
S
Sumber :- Peta Topografi skala 1 : 25.000- Pemda Kabupaten Bogor
Program Studi Perencanaan WilayahSekolah Pasca Sarjana IPB
2006
Densitas Jalan Rendah
Densitas jalan sedang
Desa-desa berhirarki III
Keterangan :
62
660000
660000
680000
680000
700000
700000
720000 740000
720000 740000
9240
000 9240000
9260
000 9260000
9280
000 9280000
9300
000 9300000
9320
000 9320000
7 0 7 14 Km
Peta Overlay Desa Berhirarki IIIDengan Densitas Jalan
Keterangan :
Desa-desa berhirarki III
Densitas Jalan Rendah
N
EW
S
Sumber :- Peta Topografi skala 1 : 25.000- Pemda Kabupaten Bogor
Program Studi Perencanaan WilayahSekolah Pasca Sarjana IPB
2006
Densitas jalan sedang
Gambar 6 Peta Overlay Densitas Jalan dengan Desa berhirarki III
63
Secara lokasi, letak kecamatan yang mempunyai desa-desa yang berhirarki
I memang sesuai dengan pusat-pusat pertumbuhan di masing-masing wilayah
pembangunan, yaitu Leuwiliang di wilayah barat, Cibinong di wilayah tengah dan
Cileungsi di wilayah timur.
Cariu
Cigudeg
Sukajaya
JonggolJasinga
Nanggung
Tenjo
Rumpin
Sukamakmur
CiawiCisarua
Leuwiliang
Cileungsi
Pamijahan
Ciampea
CijerukCaringin
Citeureup
Gunung Putri
Ciseeng
Parungpanjang
Babakan Madang
KlapanunggalCibinong
Bojonggede
Sukaraja
Tamansari Megamendung
Parung
Kemang
Cibungbulang
Gunung Sindur
Dramaga
Ciomas
660000
660000
680000
680000
700000
700000
720000
720000
740000
740000
9240
000 9240000
9260
000 9260000
9280
000 9280000
9300
000 9300000
9320
000 9320000
7 0 7 14 Km
Peta Overlay Desa Berhirarki IDengan Densitas Jalan
N
EW
S
Sumber :- Peta Topografi skala 1 : 25.000- Pemda Kabupaten Bogor
Program Studi Perencanaan WilayahSekolah Pasca Sarjana IPB
2006
Densitas Jalan Tinggi
Desa-desa Berhirarki I
Batas Kecamatan
Keterangan :
Gambar 7 Peta Hasil Overlay Wilayah Hirarki I dengan Densitas Jalan
Desa-desa yang berhirarki II, sebanyak 110 desa (58,5%) berada di
wilayah tengah, 55 desa (29.3%) berada di wilayah barat dan 23 desa (12.2%)
64
berada di wilayah timur. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran fasilitas
pelayanan sosial di wilayah tengah sudah jauh lebih merata sedangkan di wilayah
lainnya relatif masih kurang baik. Penyebaran desa-desa berhirarki II dapat
dilihat pada Gambar 8.
660000
660000
680000
680000
700000
700000
720000
720000
740000
740000
9240
000 9240000
9260
000 9260000
9280
000 9280000
9300
000 9300000
9320
000 9320000
7 0 7 14 Km
Peta Penyebaran Desa Berhirarki IIMenurut Wilayah Pemerintahan
N
EW
S
Sumber :- Peta Topografi skala 1 : 25.000- Pemda Kabupaten Bogor
Program Studi Perencanaan WilayahSekolah Pasca Sarjana IPB
2006
Batas Wilayah Pemerintahan
Desa-desa Berhirarki II di Wilayah Barat
Desa- desa Berhirarki II di Wilayah Tengah
Desa-desa Berhirarki II di Wilayah Timur
Keterangan :
Gambar 8 Peta Penyebaran Desa Berhiraraki II menurut Wilayah pembangunan
65
Penyebaran desa-desa berhirarki II yang lebih banyak di wilayah tengah
menunjukkan bahwa secara umum, fasilitas pelayanan yang ada di wilayah ini
sudah lebih merata. Ini disebabkan adanya kemudahan akses terhadap pusat-pusat
pertumbuhan baik terhadap Jakarta melalui jalan tol, jalan nasional maupun jalan
kereta maupun terhadap Kota Bogor. Keadaan ini telah menyebabkan banyak
daerah di wilayah ini menjadi satelit, baik bagi Jakarta, Kota Bogor maupun
Cibinong sendiri.
Keterkaitan Antar Variabel
Untuk mengetahui keterkaitan antar variabel maka dilakukan analisa
korelasi antar variabel. Hasil analisa korelasi ini selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 7.
Berdasarkan hasil analisa korelasi, variabel Keluarga Pertanian (KP)
paling banyak berkorelasi dengan variabel lainnya. Variabel ini berkorelasi
positif dengan variabel Jumlah SD, Jumlah Masjid, Jarak ke Jakarta, Jarak ke
Bogor, Hutan dan Lereng 8-25%. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
jumlah keluarga pertanian semakin banyak pula jumlah masjid yang ada.
Keluarga pertanian cenderung berada di wilayah-wilayah rural yang relatif lebih
jauh dari pusat kota (Jakarta dan Bogor) atau di sekitar hutan dan berada di
wilayah dengan tingkat kelerengan 8 – 25%. Variabel ini berkorelasi negatif
dengan Tingkat Kepadatan Penduduk, PAD per Kapita, Sarana Perbelanjaan,
Lembaga Keuangan, Sarana Komunikasi, Sarana Kesehatan, Sarana Pendidikan
(jumlah SMP, SMA, jumlah siswa SD, SMP dan SMA, jumlah guru SD, SMP dan
SMA), Sarana transportasi (roda dua, roda empat dan densitas jalan), jarak
terhadap ibukota kecamatan yang membahawi, jarak terhadap ibukota Kabupaten
yang membawahi dan jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat,
kawasan bukan hutan dan wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8%. Hasil ini
menunjukkan bahwa keluarga pertanian cenderung berada di wilayah dengan
tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah, mempunyai PAD per kapita yang
relatif rendah, mempunyai sarana perbelanjaan, sarana komunikasi dan lembaga
keuangan yang lebih sedikit, jumlah sarana pendidikan menengah yang lebih
sedikit, sarana transportasi yang lebih terbatas dan tingkat densitas jalan yang
rendah.
66
Variabel kepadatan penduduk berkorelasi positif dengan sarana
perbelanjaan, lembaga keuangan, sarana komunikasi, jumlah SMA, jumlah siswa
SMA, jumlah guru SMA dan SMA, jumlah masjid, jumlah sarana dan prasarana
transportasi (roda dua, roda empat dan densitas jalan), kawasan bukan hutan,
wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8% dan densitas sungai. Hasil ini
menunjukkan bahwa semakin padat suatu wilayah akan membutuhkan sarana atau
fasilitas pelayanan sosial yang semakin banyak, baik sarana perbelanjaan,
lembaga keuangan maupun sarana komunikasi, sarana pendidikan tingkat
menengah, sarana ibadah, sarana dan prasarana trnasportasi, berada di areal yang
relatif datar dan mempunyai sungai yang mengalir di kawasan tersebut. Variabel
ini mempunyai korelasi negatif dengan variabel jumlah SD, jarak ke Bogor, luas
hutan lindung dan hutan lainnya, wilayah dengan tingkat kelerengan 8 – 25% dan
diatas 25%. Hasil ini menunjukkan bahwa pada wilayah dengan tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi maka akan semakin rendah jumlah sekolah dasar,
semakin jauh jaraknya dari pusat (Bogor), semakin sedikit jumlah hutan yang ada
dan bentuk wilayahnya akan relatif semakin datar.
Variabel angkatan kerja kerja berkorelasi positif dengan variabel tenaga
kesehatan, jumlah siswa SD dan luas hutan. Variabel PAD per kapita berkorelasi
positif dengan variabel sarana komunikasi, densitas jalan dan luas hutan lindung
serta berkorelasi negatif dengan variabel wilayah dengan tingkat kelerengan 0 –
8%.
Variabel Sarana Perbelanjaan mempunyai korelasi positif dengan variabel
lembaga keuangan, sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan
(jumlah SMP, SMA, jumlah siswa SD, SMA, jumlah guru SD, SMA), sarana
transportasi, jarak ke ibukota kabupaten yang membawahi, luas kawasan bukan
hutan dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 – 8%. Hasil ini menunjukkan
bahwa keberadaan sarana perbelanjaan sangat terkait dengan adanya lembaga
keuangan dan juga sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan,
sarana transportasi, jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi dan
bentuk wilayah yang relatif datar. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel
jarak ke Jakarta, jarak ke Bogor dan kelerengan 8 – 25%.
67
Variabel sarana komunikasi berkorelasi positif dengan variabel sarana
kesehatan, sarana pendidikan, sarana transportasi, jarak terhadap ibukota
kecamatan dan ibukota kabupaten yang membawahi, luas kawasan bukan hutan,
wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8 % dan densitas sungai. Hasil ini
menunjukkan bahwa sarana komunikasi merupakan cerminan ketersediaan sarana
pelayanan sosial di suatu wilayah. Semakin tinggi ketersediaan sarana
komunikasi akan seiring dengan semakin banyaknya ketersediaan sarana
kesehatan, pendidikan dan transportasi. Variabel ini berkorelasi negatif dengan
variabel jumlah SD, jarak ke jakarta, jarak ke bogor, luas hutan, persen luas
wilayah dengan kelerengan 25% atau lebih dan persen luas wilayah dengan
kelerengan 8 – 25%.
Variabel tenaga kesehatan berkorelasi positif dengan sarana kesehatan,
sarana pendidikan, jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi dan jarak
ke Jakarta. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan tenaga kesehatan sangat
terkait dengan keberadaan sarana kesehatan, sarana pendidikan dan relatif dekat
dengan ibukota kecamatan dan lebih terkonsentrasi di wilayah yang lebih dekat
dengan Jakarta.
Variabel sarana kesehatan berkorelasi positif dengan variabel jumlah SMP,
jumlah siswa SD dan SMP, jumlah guru SD dan SMP dan berkorelasi negatif
dengan jumlah masjid.
Variabel jumlah SD berkorelasi positif dengan jumlah SMP, jumlah siswa
SD, jumlah guru SD, jarak ke Jakarta, jarak ke Bogor, luasan hutan lindung atau
hutan lain, persen luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25%. Variabel ini
berkorelasi negatif dengan densitas jalan dan bukan kawasan hutan.
Variabel jumlah SMP berkorelasi positif dengan jumlah SMA, jumlah
siswa SD, SMP dan SMA, jumlah guru SD, SMP dan SMA, jarak terhadap
ibukota kabupaten yang membawahi dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0
– 8%. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta, luas
kawasan hutan lindung dan persen luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25%.
Variabel jumlah SMA berkorelasi positif dengan variabel jumlah siswa SD
dan SMA, jumlah guru SD, SMP dan SMA, sarana transportasi roda dua, jarak
terhadap ibukota kecamatan yang membawahi, kawasan bukan hutan dan persen
68
luas wilayah dengan kelerengan 0 – 8%. Variabel ini berkorelasi negatif dengan
variabel jarak ke Jakarta, luas kawasan hutan dan persen luas wilayah dengan
kelerengan 8 – 25%.
Variabel roda dua berkorelasi positif dengan variabel jumlah kendaraan
roda empat, jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi, kawasan bukan
hutan dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 – 8%. Variabel ini
berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta, jarak ke Bogor, kawasan
hutan, persen luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25% dan densitas sungai. Hasil
ini menunjukkan bahwa jumlah kendaraan roda dua lebih banyak berada dekat
dengan ibukota kecamatan dan di daerah bukan hutan yang relatif datar.
Variabel kendaraan roda empat berkorelasi positif dengan variabel jarak
terhadap ibukota kecamatan yang membawahi dan jarak terhadap ibukota
kabupaten yang membawahi dan densitas jalan. Variabel ini berkorelasi negatif
dengan variabel jarak ke Jakarta dan jarak ke Bogor. Hasil ini menunjukkan
bahwa ketersediaan prasarana transportasi sangat menentukan keberadaan
kendaraan roda empat dan cenderung terkonsentrasi di ibukota kecamatan atau
kabupaten.
Hasil Analisa Komponen Utama
Dalam melakukan analisis komponen utama (PCA), dilakukan beberapa
kali analisis untuk menghasilkan nilai akar ciri (eigenvalues) yang baik. Dalam
penelitian ini, setelah dilakukan beberapa kali analisa, maka untuk menghasilkan
nilai akar ciri yang baik jumlah variabel yang ada dikurangi (dengan
penggabungan beberapa variabel) sehingga dari 71 variabel direduksi menjadi 27
variabel (selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5). Hasil analisis komponen
utama terhadap 27 variabel awal ini menghasilkan komponen utama sebanyak
sepuluh faktor yang sudah saling ortogonal. Melalui analisis ini, variabel asal
dikelompokkan ke dalam faktor-faktor baru berdasarkan nilai factor loading-nya.
Nilai kumulatif eigenvalue atau akar ciri dari faktor baru yang dihasilkan
adalah 70.09% seperti yang tertera pada tabel di bawah, yang artinya nilai total
keragaman yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang baru adalah 70,09%.
Nilai ini sudah memenuhi syarat proporsi keragaman yang dapat dijelaskan.
69
Tabel 12 memperlihatkan nilai factor loading dari variabel asal terhadap
komponen-komponen utamanya. Nilai factor loading dianggap sebagai peubah
penciri komponen utamanya adalah pada nilai lebih dari 70% sehingga apabila
suatu variabel asal memiliki nilai factor loading lebih dari 70% maka variabel itu
termasuk ke dalam faktor tersebut.
Tabel 11 Eigenvalue komponen-komponen utama
Eigenvalue % Total Cumulative Cumulative Faktor variance Eigenvalue % 1 5.116133 18.94864 5.11613 18.94864 2 2.980967 11.04062 8.0971 29.98926 3 2.08284 7.71422 10.17994 37.70348 4 1.882338 6.97162 12.06228 44.6751 5 1.432006 5.30372 13.49428 49.97883 6 1.306886 4.84032 14.80117 54.81915 7 1.24334 4.60496 16.04451 59.42411 8 1.084358 4.01614 17.12887 63.44025 9 1.008992 3.73701 18.13786 67.17726
10 1.006349 3.72722 19.14421 70.90448
Berdasarkan hasil analisa komponen utama, masing-masing faktor yang
diperoleh adalah sebagai berikut :
Faktor 1 terdiri dari empat variabel asal, yaitu luas kawasan hutan, persen luas
wilayah dengan kelerengan 25% atau lebih, persen luas wilayah dengan
kelerengan 8 – 25% dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 – 8%.
Faktor 1 ini dapat dikategorikan sebagai faktor tingkat kelerengan
rendah. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 1 adalah
sebesar 18.95%.
Faktor 2 terdiri dari lima variabel asal, yaitu jumlah SMP, jumlah SMA, jumlah
siswa SMP, jumlah guru SMP dan jumlah guru SMA. Berdasarkan hasil
analisa, faktor 2 dapat dikategorikan sebagai penciri fasilitas pendidikan
tingkat menengah. Nilai keragaman yang dapat dijelaskan oleh faktor 2
adalah sebesar 11.04%
Faktor 3 terdiri dari dua variabel asal, yaitu kepadatan penduduk dan jarak dari
Kota Bogor. Faktor 3 ini dapat dikategorikan sebagai daerah dengan
kepadatan yang tinggi dan berlokasi yang relatif lebih jauh dari Kota
Bogor. Korelasi kependudukan yang positif dan jarak dari kota Bogor
70
yang negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi kependudukannya
maka akan semakin mendekati Kota Bogor. Nilai keragaman data yang
dapat dijelaskan oleh faktor 2 adalah sebesar 7.71%.
Tabel 12 Factor Loading dari hasil Factor Analysis
Faktor Variabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KP -0.06 -0.16 -0.57 -0.41 0.21 -0.21 -0.11 -0.06 0.02 0.21 Kpdtn 0.25 0.06 0.76 0.02 -0.18 0.07 0.03 0.01 -0.13 0.05 Angker -0.06 0.01 -0.13 0.03 -0.13 0.06 -0.15 -0.01 0.77 -0.03 PADK -0.08 0.01 0.12 0.07 -0.01 -0.04 0.25 0.68 0.25 -0.22 Kom 0.08 0.24 0.55 0.44 -0.14 0.17 0.02 0.06 -0.06 -0.12 Tkes -0.03 0.07 0.06 0.21 0.06 0.02 -0.77 0.02 0.20 0.08 SD -0.08 0.03 -0.60 0.29 0.03 0.12 -0.01 0.15 -0.16 0.31 SMP 0.07 0.71 0.06 0.16 0.09 0.12 0.21 0.05 0.12 0.29 SMA 0.07 0.72 -0.01 -0.05 -0.14 0.06 0.16 0.01 -0.19 0.06 SSD 0.01 0.05 -0.12 0.87 0.00 -0.04 -0.16 -0.04 0.10 0.01 SSMP 0.02 0.80 0.16 0.13 0.07 -0.12 -0.11 -0.02 0.21 -0.02 SSMA 0.10 0.67 -0.08 0.03 -0.17 0.05 -0.26 -0.11 -0.36 -0.32 GSD 0.09 0.20 0.00 0.85 -0.04 0.05 -0.02 0.00 -0.02 0.05 GSMP 0.04 0.80 0.17 0.17 0.08 -0.08 -0.04 -0.01 0.26 0.02 GSMA 0.10 0.77 -0.09 0.09 -0.20 0.11 -0.19 -0.10 -0.25 -0.27 R2 0.06 0.01 0.15 0.07 -0.85 -0.02 0.04 -0.03 0.12 0.04 R4 0.00 0.06 0.11 0.00 -0.82 0.06 0.03 0.06 0.00 -0.05 jrk2 0.05 0.05 0.20 0.09 -0.10 0.79 0.03 -0.09 0.06 -0.06 jrk3 0.09 -0.02 0.05 -0.03 0.04 0.81 -0.02 0.04 -0.01 0.05 Denjl 0.07 0.00 0.23 -0.01 0.00 0.01 0.11 0.07 0.03 -0.74 jjkt -0.36 -0.10 0.07 -0.21 0.16 -0.23 -0.42 0.32 -0.26 0.28 jbgr -0.12 -0.01 -0.71 0.15 0.01 -0.14 0.13 0.02 0.06 0.05 hl -0.05 -0.07 -0.14 -0.05 -0.04 0.01 -0.22 0.72 -0.17 0.09 htn -0.78 -0.03 -0.19 -0.07 0.03 -0.07 0.01 -0.14 0.07 0.16 lrg25 -0.77 0.00 0.01 0.06 -0.03 -0.04 0.13 -0.03 0.02 0.16 lrg8 -0.76 -0.15 -0.20 -0.10 0.06 -0.04 -0.18 0.22 0.00 -0.18 lrg0 0.91 0.12 0.16 0.06 -0.04 0.04 0.10 -0.17 0.00 0.09 Expl.Var 2.91 3.53 2.46 2.17 1.66 1.52 1.22 1.25 1.22 1.21 Prp.Totl 0.11 0.13 0.09 0.08 0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.04
Sumber : Hasil Analisa
Faktor 4 terdiri dari dua variabel asal, yaitu jumlah siswa SD dan rasio guru SD
terhadap murid. Faktor 4 dapat dikategorikan sebagai penciri pendidikan
tingkat dasar. Korelasi yang positif menunjukkan bahwa semakin
banyak murid SD yang bersekolah akan meningkatkan rasio jumlah guru
terhadap murid. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor
4 adalah sebesar 6.97%.
71
Faktor 5 terdiri dari dua variabel asal, yaitu jumlah kendaraan roda dua dan roda
empat. Faktor 5 dikategorikan sebagai penciri dari ketersediaan sarana
transportasi. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 5
adalah sebesar 5.30%.
Faktor 6 terdiri dari dua variabel asal, yaitu invers jarak terhadap ibukota
kabupaten yang membawahi dan invers jarak terhadap ibukota
kabupaten lain yang terdekat Korelasi antara komponen utama dengan
variabel asal menunjukkan nilai yang positif. Nilai keragaman data yang
dapat dijelaskan oleh faktor 6 adalah sebesar 4.84%.
Faktor 7 terdiri dari satu variabel asal, yaitu rasio tenaga kesehatan per jumlah
penduduk. Variabel tenaga kesehatan ini merupakan gabungan dari
jumlah dokter, bidan dan dukun bayi. Faktor 7 ini dikategorikan sebagai
penciri tenaga kesehatan. Korelasi yang positif menunjukkan bahwa
wilayah yang lebih maju cenderung akan memiliki tenaga kesehatan
yang lebih banyak. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh
faktor 7 adalah sebesar 4.60%.
Faktor 8 terdiri dari satu variabel asal, yaitu luas hutan lindung per luas desa.
Faktor 7 ini dikategorikan sebagai penciri ketersediaan kawasan lindung.
Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 8 adalah sebesar
4.02%.
Faktor 9 terdiri dari satu variabel asal, yaitu rasio angkatan kerja terhadap jumlah
penduduk. Faktor 9 ini dikategorikan sebagai penciri penduduk di usia
produktif. Korelasi yang positif menunjukkan bahwa wilayah yang lebih
maju cenderung akan mempunyai jumlah angkatan kerja yang lebih
tinggi. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 9 adalah
sebesar 3.74%.
Faktor 10 terdiri dari satu variabel asal, yaitu rasio panjang jalan terhadap luas
wilayah. Faktor 10 ini dikategorikan sebagai penciri aksesibilitas.
Korelasinya menunjukkan nilai yang negatif dan nilai keragaman data
yang dapat dijelaskan oleh faktor 10 adalah sebesar 3.73%.
72
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkembangan Desa
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
perkembangan desa yang dicirikan oleh Indeks Perkembangan Desa (IPD) maka
dilakukan analisis regresi berganda metode Forward Stepwise yang diawali
dengan analisis komponen utama (PCA). Hasil PCA berupa nilai-nilai pada tabel
faktor skor inilah yang selanjutnya digunakan untuk analisis regresi berganda.
Analisis regresi berganda bertujuan untuk menentukan model persamaan
yang menjelaskan hubungan antara IPD sebagai variabel tujuan (dependent
variable) dengan faktor-faktor yang (diduga) mempengaruhi tingkat
perkembangan sebagai variabel penjelas (independent variable). Variabel-
variabel penduganya adalah variabel-variabel baru hasil PCA atau faktor, yaitu :
1) landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8% (F1)
2) fasilitas pendidikan tingkat menengah (F2)
3) kepadatan penduduk dan aksesibilitas (F3)
4) pendidikan tingkat dasar (F4)
5) sarana transportasi (F5)
6) invers jarak terhadap pusat (F6)
7) tenaga kesehatan (F7)
8) hutan lindung (F8)
9) tenaga kerja (F9)
10) aksesibilitas (F10)
Hasil analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise
menunjukkan bahwa dari sepuluh variabel penduga, hanya tujuh variabel saja
yang berpengaruh nyata terhadap variabel tujuan/respon (IPD) pada taraf nyata α
sebesar 0.1. Variabel-variabel tersebut adalah F1, F2, F3, F4, F5, F6, F7, F8 dan
F10 (Tabel 11). Variabel-variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap respon
karena mempunyai nilai p-level yang lebih kecil dari taraf nyata α. Sedangkan
variabel F9 tidak berpengaruh nyata karena mempunyai nilai p-level yang lebih
besar dari taraf nyata α. Hasil selengkapnya dari analisa regresi berganda ini
disajikan pada Lampiran 8.
73
Tabel 13 Komponen Utama yang Mempengaruhi IPD
Variabel Koefisien p-level Intercept 29.20 F1= landuse dan luas wilayah dengan tingkat
kelerengan 0 – 8% 2.55 0.00 F2 = sarana pendidikan tingkat menengah 7.02 0.00 F3 = kepadatan penduduk dan aksesibilitas 6.51 0.00 F4 = pendidikan tingkat dasar 5.35 0.00 F5 = sarana transportasi 5.17 0.00 F6 = invers jarak terhadap pusat 4.30 0.00 F7 = tenaga kesehatan 2.09 0.00 F8 = hutan lindung - 1.14 0.061 F10 = aksesibilitas - 1.19 0.051 Sumber : Hasil Analisis
Nilai R2 (R-square) dari persamaan tersebut adalah 0.5424 yang artinya
bahwa model persamaan tersebut mampu menjelaskan keragaman data sebesar
54.24%. Persamaan yang dihasilkan dari analisis regresi berganda dengan metode
Forward Stepwise (dengan nilai α = 0,1) adalah sebagai berikut :
Y = 29.20 + 2.55F1 + 7.02F2 + 6.51F3 + 5.35F4 + 5.17F5 + 4.30F6 + 2.09F7
– 1.14F8 – 1.19F10
dimana : Y = Indeks Perkembangan Desa (IPD)
F1 = landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8%
F2 = Fasilitas pendidikan tingkat menengah
F3 = Kepadatan penduduk dan aksesibilitas
F4 = Pendidikan tingkat dasar
F5 = Sarana transportasi
F6 = Invers jarak terhadap pusat
F7 = Tenaga kesehatan
F8 = Hutan lindung
F10 = Aksesibilitas
Berdasarkan hasil analisis di atas terlihat bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap indeks perkembangan desa adalah pendidikan tingkat
menengah, diikuti oleh kependudukan, pendidikan tingkat dasar dan yang paling
kecil pengaruhnya adalah tenaga kesehatan.
74
Besarnya pengaruh variabel-variabel penduga terhadap respon dapat
diinterpretasikan berdasarkan koefisisen regresi yang dimilikinya. Model
persamaan hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa nilai koefisien F1,
F2, F3, F4, F5, F6, F7, F8, dan F10 merupakan faktor-faktor yang diduga besar
dalam mempengaruhi IPD. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi
respon secara searah (positif) adalah faktor F1, F2, F3, F4, F5, F6, dan F7 yang
berarti peningkatan nilai IPD dipengaruhi oleh peningkatan nilai F1, F2, F3, F4,
F5, F6, dan/atau F7; dan sebaliknya. Sedangkan untuk faktor F8 dan F10
mempunyai koefisien yang berlawanan arah (negatif) yang berarti bahwa
peningkatan nilai IPD dipengaruhi oleh semakin kecilnya nilai F8 dan F10.
∗ Landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8% (F1)
Variabel Landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8%
mempengaruhi IPD secara searah karena memiliki nilai koefisien positif. Hal ini
mengindikasikan bahwa desa-desa yang lebih berkembang berada pada tingkat
kelerengan yang rendah (daerah yang datar).
Desa-desa yang mempunyai tingkat kelerengan yang rendah akan lebih
mudah dalam penyediaan berbagai fasilitas sarana dan prasarana, baik prasarana
transportasi maupun penyediaan area untuk produksi, tempat tinggal serta
berbagai sarana lainnya sehingga akan lebih mudah berkembang.
∗ Fasilitas pendidikan tingkat menengah (F2)
Variabel fasilitas pendidikan tingkat menengah mempunyai korelasi
positif yang berarti bahwa peningkatan nilai IPD searah dengan peningkatan
ketersediaan saran pendidikan tingkat menengah (SMP dan SMA atau sederajat)
baik dalam bangunannya maupun tenaga pengajarnya. Variabel ini juga
mempunyai nilai koefisien yang paling besar yang berarti mempunyai pengaruh
yang paling besar dalam meningkatkan nilai IPD. Hal ini berarti bahwa desa-desa
yang lebih berkembang mempunyai ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan
tingkat menengah yang lebih baik atau dengan kata lain, desa-desa yang lebih
berkembang mempunyai kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik yang
ditunjang oleh ketersediaan sarana dan sarana pendidikan untuk tingkat menengah
yang memadai.
75
∗ Kepadatan penduduk dan aksesibilitas (F3)
Variabel kepadatan penduduk dan aksesibilitas mempunyai nilai koefisien
yang positif yang berarti bahwa desa-desa dengan tingkat kepadatan penduduk
yang tinggi akan mempunyai indeks perkembangan yang lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa penduduk lebih banyak terkonsentrasi di daerah yang lebih
berkembang (pusat) daripada di daerah hinterland.
Adanya korelasi positif antara variabel kependudukan dengan IPD dapat
disebabkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan untuk
penduduk yang lebih baik di pusat serta aksesibilitas terhadap pusat yang kurang
baik dari wilayah hinterland sehingga penduduk merasa lebih baik untuk tinggal
di pusat dibandingkan di daerah hinterland.
∗ Pendidikan Tingkat Dasar (F4)
Variabel pendidikan tingkat dasar mempunyai nilai koefisien yang positif.
Hal ini berarti bahwa desa-desa dengan tingkat perkembangan yang tinggi
mempunyai sarana dan prasrana pendidikan tingkat dasar yang lebih baik.
Perkembangan suatu wilayah yang baik akan sangat memperhatikan juga sarana
pendidikan tingkat dasar karena disadari bahwa semakin baik pendidikan di
tingkat dasar akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan
selanjutnya dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia.
∗ Sarana Transportasi (F5)
Variabel sarana transportasi mempunyai nilai koefisien yang positif yang
berarti bahwa desa-desa yang mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi akan
mempunyai sarana transportasi yang lebih memadai, baik kendaraan roda dua
maupun roda empat. Akan tetapi hasil ini berlawanan dengan hasil factor loading
dan merupakan satu anomali yang dapat disebabkan faktor yang belum dapat
dijelaskan.
Keberadaan sarana transportasi memang sangat mendukung dalam
perkembangan suatu wilayah karena fungsinya dalam mendukung interaksi antar
wilayah. Semakin tinggi tingkat perkembangan suatu wilayah maka kebutuhan
akan sarana transportasi untuk interaksi dengan wilayah lain juga akan semakin
tinggi.
76
∗ Invers Jarak Terhadap Pusat (F6)
Variabel invers jarak terhadap pusat mempunyai nilai koefisien yang
positif yang artinya bahwa desa-desa dengan tingkat perkembangan yang tinggi
berada lebih dekat kepada inti/pusat pemerintahan. Hal ini jelas terlihat dari
penyebaran desa-desa yang berhirarki I yang memang terletak lebih dekat kepada
pusat pemerintahan (dalam hal ini ibukota kabupaten).
Kondisi tersebut juga menandakan bahwa secara spasial, kedekatan
terhadap pusat ternyata membawa pengaruh yang besar dalam mendukung
perkembangan suatu desa, disamping perlu juga didukung oleh berbagai sarana
dan prasarana lainnya.
∗ Tenaga Kesehatan (F7)
Variabel tenaga kesehatan mempunyai nilai koefisien yang positif yang
artinya bahwa desa-desa dengan tingkat perkembangan yang tinggi mempunyai
ketersediaan tenaga kesehatan (mencakup dokter, bidan dan tenga kesehatan
lainnya).
Tingkat perkembangan desa yang tinggi dicirikan oleh kebutuhan
masyarakat akan berbagai sarana dan fasilitas pelayanan, termasuk pelayanan
kesehatan. Semakin tinggi tingkat perkembangan suatu desa maka akan semakin
meningkat pula kebutuhan akan pelayanan kesehatan, karena itu maka tenaga
kesehatan lebih banyak dijumpai di wilayah yang mempunyai tingkat
perkembangan yang lebih tinggi.
∗ Hutan Lindung (F8)
Variabel hutan lindung mempunyai nilai koefisien yang negatif. Hal ini
berarti bahwa desa-desa yang mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi
cenderung tidak mempunyai areal hutan lindung atau berada di areal hutan
lindung..
Keberadaan suatu kawasan lindung (termasuk hutan lindung) di suatu
wilayah akan berdampak pada keterbatasan dalam mengembangakan wilayah
tersebut karena pada dasarnya kawasan lindung memang merupakan kawasan
dengan fungsi konservasi bukan kawasan untuk budidaya. Karena itu maka
perkembangan wilayah dengan persentase areal kawasan lindung yang tinggi
77
memang akan berakibat pada tingkat perkembangan wilayah yang lebih rendah
dibandingkan wilayah lain yang tidak mempunyai kawasan lindung.
∗ Aksesibilitas (F10)
Variabel aksesibilitas mempunyai nilai koefisien yang negatif. Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi tingkat aksesibilitas (dalam hal ini densitas jalan)
akan menurunkan nilai indeks pembangunan desa. Hal ini disebabkan oleh nilai
yang digunakan dalam faktor aksesibilitas ini merupakan nilai rasio panjang jalan
terhadap luas wilayah.
Tingkat aksesibilitas suatu wilayah merupakan salah satu faktor penting
dalam pembangunan wilayah dan merupakan salah satu penciri tingkat
perkembangan wilayah. Wilayah dengan aksesibilitas yang baik akan mempunyai
beberapa kelebihan, yaitu lebih mudah dalam melakukan interaksi dengan wilayah
lain yang ada di sekitarnya maupun di dalam wilayah itu sendiri, lebih mudah
dalam melakukan pembangunan berbagai fasilitas pelayanan serta dapat
mendorong timbulnya berbagai aktivitas ekonomi lainnya melalui distribusi
barang dan jasa yang lebih baik.
Tipologi Desa-desa di Kabupaten Bogor
Untuk menentukan tipologi desa-desa yang ada di Kabupaten Bogor,
dilakukan dengan melakukan analisis gerombol (clustering analysis) terhadap
seluruh desa di Kabupaten Bogor. Tipologi wilayah ini bertujuan untuk
menggabungkan beberapa unit wilayah ke dalam kelas yang sama berdasarkan
persamaan karakteristiknya.
Teknik analisis yang digunakan dalam menentukan tipologi wilayah
dimulai dengan melakukan standardisasi data (dari 35 variabel) lalu dilakukan
analisis gerombol dengan membagi desa-desa di Kabupaten Bogor menjadi tiga
gerombol (cluster) dan terakhir dilakukan analisis diskriminan. Hasil analisis
gerombol selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.
Dari hasil penggerombolan terhadap variabel-variabel yang diukur, dapat
dilihat pola perbedaan karakteristik antara tiga kelompok desa yang terlihat pada
78
Gambar 10 yang merupakan grafik nilai tengah dari setiap variabel untuk masing-
masing kelompok desa.
Klaster satu merupakan wilayah yang relatif maju yang dicirikan oleh
mempunyai persen keluarga pertanian yang rendah dan tingkat kepadatan
penduduk yang paling tinggi, keberadaan sarana perbelanjaan, sarana komunikasi
serta tenaga kesehatan dan sarana kesehatan yang tinggi. Tingkat pendidikan
penduduknya juga relatif tinggi dengan ketersediaan sarana dan tenaga pendidikan
yang paling banyak. Dengan aksesibilitas yang baik, sarana transportasi juga
relatif lebih banyak tersedia. Klaster ini merupakan daerah-daerah yang relatif
dekat dengan pusat-pusat pemerintahan dan lebih dekat dengan Jakarta ataupun
Kota Bogor. Klaster ini merupakan wilayah dimana lahan-lahan pertanian yang
relatif telah banyak mengalami perubahan fungsi lahan menjadi penggunaan lain,
terutama untuk menyediakan lahan pemukiman. Bentuk lahannya relatif datar dan
bukan merupakan kawasan hutan. Jumlah desa yang termasuk pada klaster ini
sebanyak 86 desa.
Plot of Means for Each Cluster
Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3PADK Tkes SMA GSD R2 jrk3 jbgr lrg25
Variables
-2.5
-2.0
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Gambar 9 Hasil clustering variabel-variabel yang diukur
79
Klaster dua merupakan wilayah yang relatif masih berkembang yang
dicirikan oleh persentase keluarga pertanian yang masih tinggi, tingkat kepadatan
penduduk yang sudah mulai tinggi akan tetapi cenderung tidak pada usia produktif
(<15 atau >55 tahun), potensi desa cenderung rendah yang ditunjukkan oleh PAD
per kapita yang rendah. Klaster ini cenderung merupakan wilayah sub urban yang
relatif tidak terlalu jauh dari pusat-pusat pemerintahan, memiliki aksesibilitas
yang sedang dan memiliki bentuk lahan yang relatif datar hingga bergelombang.
Tingkat pendidikan penduduk masih relatif rendah, terutama rasio siswa SD yang
bersekolah yang paling rendah. Jumlah desa yang termasuk dalam klaster ini
sebanyak 239 desa.
Klaster tiga merupakan wilayah yang paling tertinggal yang dicirikan oleh
keberadaan keluarga pertanian yang paling tinggi, tingkat kepadatan penduduk
yang paling rendah, ketersediaan sarana perbelanjaan, sarana komunikasi dan
lembaga-lembaga keuangan yang masih kurang. Fasilitas pendidikan juga masih
relatif rendah, terutama ketersediaan guru pengajar yang paling rendah. Wilayah
ini adalah yang berada paling jauh dari Jakarta dan Kota Bogor dengan bentuk
lahan yang didominasi oleh perbukitan dan berada di sekitar kawasan hutan atau
hutan lindung. Jumlah desa yang termasuk dalam klaster ini sebanyak 100 desa.
Jika dilihat dari pola penyebaran klaster-klaster tersebut, klaster satu
sebagian besar berada di sekitar tengah utara yang termasuk Kecamatan Cibinong,
Bojonggede dan Gunung Putri. Ketiga kecamatan ini memang merupakan pusat
pertumbuhan dan memang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang paling
tinggi (Cibinong dan Bojonggede). Sebagian lainnya, yaitu sebanyak 14 desa
berada di bagian tengah selatan yang merupakan poros Bogor Bandung melalui
Puncak atau Sukabumi. Daerah ini merupakan daerah tujuan wisata utama bagi
warga Bogor dan Jakarta sehingga mempunyai ketersediaan sarana dan prasarana
yang relatif cukup, baik aksesibilitas maupun sarana lainnya.
Klaster tiga cenderung berada di wilayah selatan dan terbentang dari Barat
hingga ke timur. Daerah ini memang mempunyai bentuk lahan yang mempunyai
luas lahan dengan tingkat kelerengan tinggi yang relatif tinggi dan merupakan
kawasan hutan atau kawasan lindung. Sedangkan klaster dua cenderung
menyebar dan merata di setiap wilayah pembangunan.
80
660000
660000
680000
680000
700000
700000
720000
720000
740000
740000
9240
000 9240000
9260
000 9260000
9280
000 9280000
9300
000 9300000
9320
000 9320000
7 0 7 14 KmPeta Penyebaran Setiap Klaster
N
EW
S
Sumber :- Peta Topografi skala 1 : 25.000- Pemda Kabupaten Bogor
Program Studi Perencanaan WilayahSekolah Pasca Sarjana IPB
2006
Klaster 1 (Wilayah Paling Maju)
Klaster 2 (Wilayah Sedang Berkembang)
Klaster 3 (Wilayah Tertinggal)
Keterangan:
Gambar 10 Pola penyebaran setiap klaster
81
Hasil Analisis Diskriminan
Analisis fungsi diskriminan merupakan analisis lanjutan setelah dilakukan
pengelompokkan. Analisis ini berfungsi untuk memilih faktor-faktor yang paling
mencirikan tipologi wilayah yang didapat dari hasil analisis kelompok atau
dengan kata lain, faktor-faktor mana saja yang menjadi penciri atau yang paling
berpengaruh terhadap masing-masing tipologi tersebut.
Dalam analisis fungsi diskriminan ini, data yang digunakan adalah data
dari variabel asalnya akan tetapi untuk menjaga agar matriks yang terbentuk tidak
menjadi ill-condition, maka dilakukan pengurangan variabel menjadi hanya 32
variabel. Sedangkan yang menjadi dasar pengelompokkan tidak hanya hasil
analisis gerombol tapi juga hasil dari analisis skalogram. Hal ini untuk melihat
perbedaan dasar pengelompokkan yang dilakukan oleh kedua metode
pengelompokkan tersebut.
Tabel. 14 Hasil Dugaan Klasifikasi Kelompok Berdasarkan Klaster dan Hirarki
% Ketepatan Hasil G_1:1 G_2:2 G_3:3 Klaster Klasifikasi p=.20235 p=.56235 p=.23529
1 90.698 78 7 1 2 99.163 1 237 1 3 95.000 0 5 95
Total 96.471 79 249 97 G_1:1 G_2:2 G_3:3 Hirarki p=.05647 p=.44235 p=.50118
I 75.000 18 6 0 II 64.894 10 122 56 III 85.446 0 31 182
Total 75.765 28 159 238 Sumber : Hasil Analisa
Hasil di atas memperlihatkan bahwa ketepatan pengelompokan yang
dilakukan pada analisis klaster mencapai 96.47%. Ketidaktepatan yang paling
banyak terjadi justru pada klaster 1. Hal ini mungkin disebabkan karena secara
fisik, ada daerah-daerah yang mirip dengan klaster 1 akan tetapi secara fasilitas
belum mencerminkan sebagai klaster 1. Demikian juga untuk klaster 3, ada
delapan desa yang sebenarnya bisa masuk ke dalam klaster 2, akan tetapi mungkin
secara fisik lebih mirip dengan klaster 3.
82
Untuk pengelompokkan berdasarkan hasil analisis skalogram, ketepatan
pengelompokkan adalah 75.76% dimana ketidaktepatan paling banyak terjadi
pada hirarki II. Dalam hal ini, ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu turun ke
hirarki III atau malah naik ke hirarki I. Jika turun ke hirarki III, hal ini mungkin
disebabkan karena adanya pengaruh dari faktor fisik yang lebih mirip dengan
hirarki III. Jika sebaliknya, secara kuantitas, ketersediaan sarana dan fasilitas
pelayanan lebih mirip dengan hirarki I.
Dari Tabel 11 di atas juga terlihat bahwa antara metode analisis klaster
dengan analisis skalogram terdapat perbedaan yang mencolok dalam melakukan
penglompokkan desa-desa di Kabupaten Bogor. Analisis klaster menghasilkan
anggota kelompok yang lebih banyak di klaster dua (sedang), tetapi analisis
skalogram lebih banyak menghasilkan anggota di hirarki III (rendah). Hal ini
dapat dimaklumi karena pada analisa klaster, yang menjadi dasar dalam
melakukan pengelompokkan adalah perbedaan nilai tengah dari masing-masing
variabel pada setiap desa sedangkan pada analisis skalogram, pengelompokkan
dilakukan dengan membagi nilai indeks perkembangan desa berdasarkan nilai
median dan standar deviasinya.
Untuk jumlah grup/kelompok yang lebih dari tiga, analisis fungsi
diskriminan juga dapat menduga fungsi diskriminan untuk membedakan antara
grup/kelompok petama dengan kombinasi grup/kelompok kedua dan ketiga. Hal
ini dilakukan dengan analisis kanonikal yang akan menghasilkan fungsi
diskriminan yang jumlahnya sama dengan jumlah grup/kelompok dikurangi satu..
Untuk pembagian kelompok berdasarkan hasil clustering, hasil selengkapnya dari
analisis ini dapat dilihat pada Lampiran 12, sedangkan untuk pembagian
kelompok berdasarkan hasil skalogram, hasil selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 13.
83
Tabel 15 Koefisien Hasil Standardisasi untuk Pembeda Antar Grup/Kelompok
Klaster Akar 1 Akar 2
lrg8 -0.675 0.449Htn -0.506 0.353GSMA 0.350 0.446Kom 0.144 0.218lrg25 -0.367 0.164jrk1 0.110 0.260GSMP 0.104 0.283KP -0.141 -0.207hl -0.197 0.210GSD 0.327 0.115SMA 0.175 0.162jjkt -0.161 -0.154Denjl 0.052 0.239Skes 0.003 0.192jrk2 0.043 0.283Lkeu 0.165 0.148PADK -0.159 -0.031Kpdtn 0.086 0.325Jbgr -0.025 0.170Tkes 0.039 0.119Sgi -0.132 -0.087R2 -0.101 -0.100SSMA -0.171 -0.043SSD -0.132 0.008jrk3 -0.027 -0.123SD -0.037 0.111Angker -0.033 0.089Eigenvalue 4.985 1.877Cum.Prop 0.727 1.000
Keterangan : dicetak tebal adalah variabel yang menjadi pembeda nyata
Tabel 16 Tes Chi-Square untuk masing-masing akar
Eigen- Canonical Wilks' value R Lambda
Chi-Sqr. df p-level
0 4.985 0.913 0.058 1164.004 54 0 1 1.877 0.808 0.348 432.176 26 0
Berdasarkan fungsi diskriminan seperti yang terlihat pada Tabel 15 di atas,
variabel yang membedakan pengelompokkan berdasarkan klaster adalah rasio luas
wilayah dengan lereng 8 – 25%, kawasan hutan, rasio guru SMA terhadap murid,
rasio luas wilayah dengan lereng >25% dan rasio guru SD terhadap murid.
Fungsi diskriminan ini ditandai oleh koefisien yang negatif untuk variabel
rasio luas wilayah dengan lereng 8 – 25%, kawasan hutan, dan rasio luas wilayah
84
dengan lereng >25% sedangkan untuk variabel rasio guru SMA terhadap murid
dan rasio guru SD terhadap murid bertanda positif. Hal ini berarti bahwa semakin
luas wilayah dengan lereng 8 – 25%, semakin luas kawasan hutan dan semakin
luas wilayah dengan lereng > 25% serta semakin rendah rasio guru SMA terhadap
murid dan rasio guru SD terhadap murid maka akan semakin tidak mirip desa-
desa yang ada dengan desa-desa pada klaster satu.
Tabel 17 Koefisien Hasil Standardisasi untuk Pembeda Antar Grup/Kelompok
Hirarki Root 1 Root 2
Kom 0.344 0.215jrk1 0.311 0.311SMP 0.232 -0.380Jjkt -0.398 0.001KP -0.232 0.239Lkeu 0.235 -0.081PADK -0.170 -0.300SMA 0.133 -0.410Jbgr 0.021 0.489R4 0.093 0.303jrk3 -0.024 -0.417jrk2 0.110 0.328SSMA 0.147 0.267Kpdtn 0.256 0.262lrg8 0.196 0.191Angker 0.104 -0.103GSD 0.116 -0.018Sarbelj 0.109 -0.020Eigenval 1.295 0.207Cum.Prop 0.862 1.000
Keterangan : dicetak tebal adalah variabel yang menjadi pembeda nyata
Tabel 18 Tes Chi-Square untuk masing-masing akar
Eigen- Canonicl Wilks' value R Lambda
Chi-Sqr. df p-level
0 1.295 0.751 0.361 421.487 36 0 1 0.207 0.414 0.828 77.936 17 0
Berdasarkan fungsi diskriminan seperti yang terlihat pada Tabel 17 di atas,
variabel yang membedakan pengelompokkan berdasarkan hirarki adalah sarana
komunikasi, jarak terhadap ibukota kecamatan, jumlah SMP, jarak ke Jakarta,
persen keluarga pertanian, jumlah lembaga keuangan dan kepadatan penduduk.
Fungsi diskriminan ini ditandai dengan nilai koefisien yang negatif untuk
variabel jarak ke Jakarta dan persen keluarga pertanian dan nilai koefisien yang
85
positif untuk variabel sarana komunikasi, jarak terhadap ibukota kecamatan,
jumlah SMP, jumlah lembaga keuangan, dan kepadatan penduduk Hal ini berarti
bahwa semakin jauh jaraknya ke Jakarta dan semakin tinggi persen keluarga
pertanian serta semakin sedikit sarana komunikasi, semakin jauh jaraknya
terhadap ibukota kecamatan, semakin sedikit jumlah SMP, lembaga keuangan dan
semakin rendah kedatan penduduknya akan semakin sedikit kemiripannya desa-
desa yang ada dengan desa-desa pada hirarki I.
Jika dilakukan overlay antara hasil skalogram dengan hasil clustering
seperti yang terlihat pada Gambar 11 maka akan didapatkan bahwa seluruh desa
yang berada pada hirarki I juga berada pada klaster 1. Hal ini berarti bahwa desa-
desa berhirarki I memang merupakan desa-desa yang paling maju dengan
karakteristik fisik yang juga mendukung perkembangan wilayahnya, seperti
terletak pada daerah dengan tingkat kelerengan yang rendah sampai sedang (0 –
25%) dan pada kawaasan bukan hutan atau relatif jauh dari kawasan hutan.
Sedangkan overlay antara desa-desa berhiraki III dengan klaster 3 diperoleh 70
desa yang benar-benar merupakan desa yang tertinggal (34 desa di barat, 15 desa
di tengah dan 21 desa di timur). Desa-desa ini selain yang paling minim sarana
dan fasilitas pelayanan sosialnya juga mempunyai karakter fisik yang kurang
mendukung untuk perkembangan wilayah, seperti rasio daerah dengan tingkat
kelerengan tinggi yang lebih besar atau juga berada di kawasan hutan atau di
sekitar kawasan hutan. Adapun nama-nama desa tersebut selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 10.
Hasil Analisis Korelasi Kanonikal
Korelasi kanonik digunakan untuk mengukur hubungan antara satu set
variabel tujuan/respon yang dapat menduga perbedaan antara desa-desa yang lebih
berkembang dengan set variabel yang menjadi variabel penjelasnya. Dalam
analisis ini, yang menjadi set variabel tujuan adalah pendapatan asli daerah per
kapita, sarana komunikasi, densitas jalan, rumahtangga yang berlangganan listrik
PLN, rasio rumah permanen, rumahtangga yang memiliki televisi, rasio keluarga
86
sejahtera dan indeks perkembangan desa. Sedangkan variabel penjelasnya
berjumlah 31 variabel.
660000
660000
680000
680000
700000
700000
720000
720000
740000
740000
9240
000 9240000
9260
000 9260000
9280
000 9280000
9300
000 9300000
9320
000 9320000
7 0 7 14 Km
Peta Overlay Desa Berhirarki III dengan Desa pada Klaster 3
N
EW
S
Sumber :- Peta Topografi skala 1 : 25.000- Pemda Kabupaten Bogor
Program Studi Perencanaan WilayahSekolah Pasca Sarjana IPB
2006
Batas Wilaah Pemerintahan
Desa-desa di Wilayah Barat
Desa-desa di Wilayah Tengah
Desa-desa di Wilayah Timur
Keterangan :
Gambar 11 Hasil overlay desa-desa berhirarki III dengan desa-desa pada klaster 3
87
Berdasarkan hasil analisa korelasi kanonik, terlihat bahwa antara set
variabel tujuan dengan set variabel penjelas mempunyai koefisien korelasi yang
cukup tinggi (nilai R = 0.85323) dan sangat signifikan (p-level = 0.00001).
Sedangkan dari fungsi kanonik yang terbentuk (selengkapnya pada Tabel 16),
terlihat bahwa tingkat perkembangan desa yang lebih tinggi dipengaruhi oleh
setidaknya tujuh variabel, yaitu persen keluarga pertanian, tingkat kepadatan
penduduk, sarana lembaga keuangan, jarak terhadap ibukota kabupaten yang
membawahi, rasio guru SD terhadap murid, rasio guru SMA terhadap murid, dan
jarak terhadap ibukota kecamatan.
Tabel 19 Pembobot kanonik pada masing-masing fungsi kanonik (FC)
FC I FC II FC III R = 0.853 R = 0.603 R = 0.528 p = 0.000 p = 0.000 p = 0.000
Set Variabel Tujuan PADK 0.137 0.045 -0.115 Kom 0.841 0.324 -0.395 Denjl 0.229 -0.004 0.282 rpln 0.470 0.339 0.297 ruper 0.429 0.478 0.346 rtv 0.566 0.333 0.617 kesej 0.400 -0.263 0.029 Indeks 0.888 -0.392 0.048
Set Variabel Penjelas KP -0.808 -0.078 0.043 Kpdtn 0.659 0.069 0.348 Angker 0.041 -0.007 0.079 Sarbelj 0.341 0.060 0.046 Lkeu 0.513 -0.065 -0.242 Tkes 0.025 0.178 -0.191 Skes 0.277 0.112 -0.259 SD -0.300 -0.278 -0.321 SMP 0.368 -0.184 -0.070 SMA 0.379 -0.212 0.015 SSD 0.235 -0.009 -0.427 SSMP 0.343 -0.136 -0.195 SSMA 0.353 -0.268 -0.165 GSD 0.414 0.011 -0.263 GSMP 0.388 -0.156 -0.143 GSMA 0.405 -0.290 -0.111 Mas -0.095 0.370 0.265 R2 0.346 -0.176 0.290 R4 0.344 -0.063 0.100 jrk1 0.403 -0.370 -0.096 jrk2 0.452 0.079 0.066
88
Tabel 19 Lanjutan
FC I FC II FC III R = 0.853 R = 0.603 R = 0.528 p = 0.000 p = 0.000 p = 0.000 Set Variabel Penjelas jrk3 0.179 -0.081 0.150 Jjkt -0.338 0.428 -0.108 Jbgr -0.372 -0.464 -0.514 Hl -0.119 -0.058 -0.118 Htn -0.310 -0.057 -0.107 Bhtn 0.355 0.120 0.069 lrg25 -0.132 -0.060 -0.126 lrg8 -0.348 -0.115 -0.195 lrg0 0.336 0.117 0.208 Sgi 0.048 0.399 -0.019
Ketarangan : Dicetak tebal adalah yang paling berpengaruh
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dalam menentukan tipologi
wilayah desa-desa di Kabupaten Bogor, diperoleh karakteristik tipologi tiap
wilayah seperti yang tercantum dalam Tabel 20 di bawah ini.
Tabel 20 Karakteristik Tipologi Wilayah Desa-desa di Kabupaten Bogor Tipologi Wilayah Karakteristik Kesimpulan
Tipologi Wilayah
I
∗ Jika dilihat dari sumberdaya alam dan fisik lahannya, wilayah ini termasuk datar, dengan aktivitas budidaya padi yang cenderung rendah, sedangkan aktivitas budidaya tanaman semusim dan perkebunan cenderung sedang. Rasio luas hutan paling rendah. Perubahan penggunaan telah banyak terjadi untuk mendukung perluasan pemukiman. Aktivitas ekonominya telah mulai bergeser ke sektor non pertanian.
∗ Jika dilihat dari sumberdaya buatan, rasio infrastruktur dasar penunjang pendidikan (SD, SMP dan SMA), sarana dan tenaga kesehatan, perekonomian (perbankan dan sarana belanja) dan prasarana transportasi (densitas jalan) yang paling tinggi. Ketersediaan sarana transportasi juga yang paling tinggi dibandingkan desa-desa di klaster lain.
∗ Jika dilihat dari sumberdaya manusia, tingkat pendidikan paling tinggi yang ditandai dengan rasio siswa per 1000 penduduk yang paling tinggi. Kepadatan penduduk per km2 juga paling tinggi. Rasio keluarga yang berusaha di bidang pertanian paling rendah yang berarti telah banyak keluarga yang mengandalkan hidupnya di luar bidang pertanian, seperti di bidang industri dan jasa.
Wilayah terbangun dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan infrstruktur serta sumberdaya manusia yang baik. Telah banyak terjadi perubahan penggunaan lahan dan mata pencaharian penduduk cenderung beralih ke sektor industri dan jasa.
Tipologi Wilayah
II
∗ Jika dilihat dari sumberdaya alam dan fisik lahannya, wilayah ini termasuk yang agak bergelombang, dengan aktivitas budidaya padi yang lebih tinggi, sedangkan aktivitas budidaya tanaman semusim dan perkebunan cenderung tinggi. Rasio luas hutan sedang.
Wilayah pertanian tanaman pangan dengan tingkat kepadatan sedang dan sumberdaya manusia sedang.
89
Tabel 20 Lanjutan Tipologi Wilayah Karakteristik Kesimpulan
Tipologi Wilayah
II
∗ Jika dilihat dari sumberdaya buatan, rasio infrastruktur dasar penunjang pendidikan (SD, SMP, SMA), raso sarana perekonomian, dan rasio sarana komunikasi cenderung sedang. Tetapi untuk rasio sarana dan tenaga kesehatan dan pendapatan asli desa per kapita adalah yang paling rendah. Rasio sarana dan prasarana transportasi juga sedang.
∗ Jika dilihat dari sumberdaya manusia, rasio siswa SD adalah yang paling rendah tetapi untuk rasio siswa SMP dan SMA adalah sedang. Kepadatan penduduk dan persen keluarga pertanian cenderung sedang
Tipologi Wilayah
III
∗ Jika dilihat dari sumberdaya alam dan fisk lahan, wilayah ini termasuk wilayah yang paling bergelombang yang ditandai dengan tingginya rasio luas lahan dengan tingkat kelerengan tinggi. Aktivitas ekonominya mengandalkan pada pertanian tanaman padi tadah hujan dan perkebunan atau kehutanan. Wilayah ini lebih berfungsi sebagai wilayah konservasi bagi wilayah-wilayah lain di sekitarnya.
∗ Jika dilihat dari sumberdaya buatan, rasio infrastruktur dasar penunjang pendidikan (SD, SMP, SMA), rasio sarana dan prasarana transportasi, rasio sarana komunikasi, dan rasio sarana perekonomian paling rendah.
∗ Jika dilihat dari sumberdaya manusia, tingkat kepadatan penduduk adalah paling rendah. Persen keluarga pertanian paling tinggi, rasio siswa per 1000 penduduk cenderung paling rendah.
Wilayah dengan fungsi utama konservasi tanah dan air dengan kepadatan penduduk paling rendah. Kapsitas infrastruktur yang rendah dengan mata pencaharian utama perkebunan.
Arahan Pengembangan Desa-desa di Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang berbatasan
langsung dengan wilayah metropolitan Jakarta. Sebagai wilayah yang berbatasan
langsung, tentunya ada pengaruh dari wilayah metropolitan ini terhadap
perkembangan pembangunan desa-desa di Kabupaten Bogor. Areal yang cukup
luas menyebabkan adanya variasi baik dalam hal fisik lahan maupun sosial
ekonomi yang cukup besar antara desa-desa di Kabupaten Bogor.
Dalam merencanakan pembangunan suatu wilayah, terlebih dahulu harus
disusun kebijakan dasar pembangunan yang bertujuan untuk memberi gambaran
tentang pola perkembangan yang akan ditempuh. Untuk itu maka perlu
mengetahui potensi daerah, kondisi sosial ekonomi, infrastruktur, permasalahan
dan berbagai faktor lain yang mempengaruhi.
90
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan, untuk desa-desa tertinggal yang
ada di Kabupaten Bogor hasil ovelay seperti pada Gambar 11, secara umum
merupakan kawasan konservasi yang terbentang mulai dari barat hingga ke timur
di selatan Kabupaten Bogor . Hal ini menjadikan wilayah tersebut menjadi sangat
terbatas untuk dikembangkan. Akan tetapi jika memang akan dikembangkan
sebaiknya dilakukan dengan budidaya tanaman kehutanan/perkayuan atau
tanaman buah-buahan pada zona-zona pemanfaatan yang telah ditentukan. Ini
dilakukan sebagai upaya untuk tidak merubah secara drastis fungsi kawasan
terebut dan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya bencana yang mungkin
timbul akibat adanya perubahan fungsi kawasan. Salah satunya adalah Desa
Bojong Murni di Kecamatan Ciawi yang mempunyai kepadatan penduduk yang
tinggi (6.400 jiwa/km2) dengan persen luas wilayah yang bekelerengan lebih dari
25% seluas 42,3%, dapat menjadi potensi bencana jika tidak dilakukan penataan
ruang yang mengakomodasikan kondisi yang seperti itu. Pada daerah-daerah
yang seperti ini, pengembangan wilayah harus dilakukan dengan hati-hati. Untuk
wilayah barat dan timur, banyak lahan yang dapat dikembangkan dengan merubah
penggunaan lahan dari belukar menjadi penggunaan lain seperti areal pertanian
tanaman pangan atau perkebunan yang ditanami dengan tanaman yang bernilai
ekonomis tinggi. Kondisi fisiknya yang sebagian besar bergelombang,
menjadikan wilayah ini kurang cocok untuk pengembangan areal pertanian lahan
basah (sawah) walaupun mempunyai potensi sumber air (sungai) yang memadai.
Selain dari sumberdaya alamnya, untuk mendukung upaya pengembangan
wilayah/desa juga perlu peningkatan kualitas sumberdaya manusia, antara lain
dengan meningkatkan jumlah sarana dan prasarana pendidikan, baik berupa
bangunan sekolah maupun tenaga pengajarnya, serta sarana dan prasarana
kesehatan. Partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan juga perlu
ditingkatkan agar rasio jumlah siswa yang bersekolah juga semakin meningkat.
Demikian juga dengan infrastruktur, khususnya rasio jaringan jalan yang masih
rendah perlu ditingkatkan untuk mempertinggi interaksi antara desa-desa yang
tertinggal dengan desa-desa yang lebih maju. Hal ini bertujuan agar ada aliran
keuntungan dari desa-desa yang berhirarki lebih tingi ke desa sekitarnya yang
berhirarki lebih rendah.
91
Hasil analisa skalogram menunjukkan bahwa desa-desa dengan hirarki
tinggi (hirarki I) umumnya memiliki kapasitas pelayanan yang lebih baik yang
ditandai oleh ketersediaan fasilitas pelayanan umum yang lebih tinggi dan
mempunyai tingkat perkembangan yang lebih maju. Untuk itu maka desa-desa
yang berhirarki tinggi ini dapat dijadikan sebagai pusat/inti kawasan dengan desa-
desa yang berhirarki lebih rendah menjadi hinterlandnya. Selain itu, dengan
ketersediaan fasilitas pelayanan yang baik ditambah dengan sumberdaya menusia
yang baik, wilayah desa-desa berhirarki I ini dapat dikembangkan menjadi
wilayah industri dan jasa, khususnya industri dan jasa yang berkaitan sektor
pertanian agar tidak terlepas dari wilayah hinterlandnya.