hasil kajian migas
DESCRIPTION
hasil kajian migasTRANSCRIPT
KAJIAN KRITIS KONTRAK MIGAS:
STUDI KASUS PRODUCTION SHARING CONTRACT
PERTAMINA DAN APEX (BENGARA II)
DISUSUN OLEH:
TOTOK DWI DIANTORO
DANANG KURNIADI
FAJARIYANTO
CHANDRA ARI NOFAT
ALIF ALFAFA
KERJASAMA PUSAT KAJIAN ANTI (PuKAT) KORUPSI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA DENGAN
INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
DAFTAR ISI BAB I Latar Belakang .......................................................................................................... 1 A. Latar Belakang Permasalahan ........................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 3 C. Tujuan ................................................................................................................... 3 D. Metode Kajian ........................................................................................................ 3 BAB II Tinjauan Hukum Hubungan Kontraktual Kegiatan Hulu Pengelolaan Sumberdaya Alam Migas ........................................................................................ 6 A. Jenis‐jenis Kontrak Bagi Hasil ........................................................................... 8 A.1. Kontrak Bagi Hasil Untuk Wilayah Konvensional Maupun Frontier
Area ............................................................................................................... 9 A.1.1. Kontrak Bagi Hasil Generasi Pertama (1964‐1977) ...................... 9 A.1.2. Kontrak Bagi Hasil Generasi Kedua (1978‐1988) ........................ 9 A.1.3. Kontrak Bagi Hasil Generasi Ketiga (1988‐2001) ...................... 10 A.1.4. Kontrak Bagi Hasil Generasi Keempat (2001‐ sekarang) .......... 11
A.2. Kontrak Bagi Hasil Joint Operation Agreement – Joint Operation Body (JOA‐JOB) ....................................................................................... 12
A.3. Kontrak Bantuan Teknis (Technical Assistance Contract) ..................... 12 A.4. Kontrak Peningkatan Produksi Minyak (Enchanced Oil Recovery Contract) ..................................................................................................... 13
B. Dasar Hukum Kontrak Bagi Hasil ................................................................... 13 C. Konsekuensi‐ konsekuensi UU Migas 2001 .................................................. 14
C.1. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP‐Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerjasama .................................. 14 C.2. Bentuk, Substansi, dan Syarat Kontrak Kerjasama .............................. 15 C.3. Cost Recovery .............................................................................................. 16 C.4. Domestic Market Obligation ....................................................................... 18 C.5. Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak Kerjasama .............................. 19
BAB III Analisa Kontrak Bagi Hasil (PSC) Pertamina – APEX (Benggara II) .............. 21 A. Fakta Hukum dalam PSC ................................................................................ 24 B. Analisis Formil .................................................................................................. 28 C. Analisis Materiil ................................................................................................ 30 D. Analisis Aktual .................................................................................................. 34 BAB IV Penutup ................................................................................................................... 36 Daftar Pustaka Lampiran
0
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Di dalam konstitusi yaitu UUD’45 Pasal 33 (3) disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai hukum dasar, ketentuan tersebut secara tersurat dan tersirat menyatakan bahwa semua kekayaan alam/sumberdaya alam yang ada dan terkandung di bumi Indonesia memang seharusnya diperuntukkan bagi sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Menurut sifatnya, sumberdaya alam dapat diklasifikasikan sebagai yang bersifat terbarukan (renewable) dan yang bersifat tidak dapat terbarukan (unrenewble). Pada karakter sumberdaya alam yang bersifat terbarukan maka padanya melekat daya restorasi secara alamiah, sehingga keberlanjutan ketersediannya dapat bertahan dan berlanjut untuk jangka waktu yang sangat lama bahkan tak terbatas. Sementara sumberdaya alam yang mempunyai karakter tidak dapat terbarukan, adalah berlaku sebaliknya. Oleh karenanya, dalam rentang waktu tertentu, praktek eksploitasi atas sumberdaya alam yang bersifat tidak terbarukan ini akan membawa konsekuensi pada habisnya ketersediaan sumberdaya tersebut.1 Sebagai salah satu sumberdaya mineral yang unrenewable, minyak dan gas bumi (migas) menempati posisi yang penting bagi pembangunan dan upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, adalah tugas Negara—yaitu pemerintah—untuk mengawal pemanfaatan migas melalui instrumen kebijakan oleh karena otoritasnya. Pada saat yang sama, melalui kebijakan—sebagai instrumennya—pemerintah diposisikan sebagai pemegang kuasa pertambangan (mineral interest/right) untuk juga dapat mengusahakan sendiri produksi migas.
1 Meskipun demikian, bukan berarti bahwa terhadap sumberdaya alam yang bersifat terbarukan, pasti akan terjamin selalu ketersediaanya secara berkelanjutan (sustainable) sehingga tidak akan habis, musnah. Pada konteks praktek eksploitasi yang serampangan (baca: ’tidak terkendali’) terhadap sumberdaya alam yang mempunyai sifat terbarukan, juga terdapat kecenderungan untuk habis ketersediaannya, oleh karena adanya sifat keterbatasan daya dukung (carrying capacity) sumberdaya dimaksud. (Totok Dwi Diantoro. 2010, ”Diskursivitas dan Kontestasi Kepentingan (Publik) dalam Kebijakan Kehutanan Lokal: studi kasus sengketa pengelolaan sumberdaya hutan Kabupaten Wonosobo pasca desentralisasi,” Tesis Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2009. hal. 2)
1
Namun begitu, adalah juga kenyataan bahwa keberadaan swasta (privat)—selain sebagai konsekuensi dari konsep negara—merupakan keadaan yang tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, terutama ketika realitanya pemerintah lebih sering tidak dapat mengusahakan produksi migas sendiri. Keberadaan sektor swasta, pada konteks pengusahaan produksi migas selanjutnya adalah rekanan (mitra) usaha dimana kuasa pertambangannya tetap berada di tangan pemerintah. Dengan memandatkan lebih lanjut kuasa pertambangan kepada badan usaha (sebagai wakil pemerintah), selanjutnya bentuk kemitraan dengan swasta diwujudkan dalam mekanisme kontrak kerjasama pengelolaan migas sebagai panduannya. Jauh sebelum berlakunya UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 2001), segala bentuk kerjasama pengelolaan migas antara pihak pemerintah dengan rekanan lain (swasta asing/domestik) dilakukan berdasarkan pada UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960). Dan disamping itu, berdasarkan UU No. 8 Tahun 1970 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU Pertamina) pihak pemerintah sendiri diwakili oleh Pertamina sebagai badan usaha negara yang memang didirikan untuk kepentingan itu. Melalui kontrak bagi hasil (production sharing contract‐PSC) selanjutnya relasi hukum antara Pertamina dan perusahaan swasta dibangun ke dalam kesepakatan‐kesepakatan keperdataan yang mengikat di antara kedua belah pihak. Persoalannya, pada konteks relasional yuridis (kontrak bagi hasil) antara Pertamina dengan perusahaan swasta lain tidak jarang mengemuka rumor yang mengungkapkan bahwa Pertamina—sebagai pihak yang mewakili pemerintah/publik—seringkali berada pada posisi yang tidak cukup powerful. Bahkan bukan tidak mungkin justru hingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Hasil laporan audit BPK 2006‐2007 menemukan potensi penyimpangan klaim cost recovery lima kotraktor PSC, yakni PT Chevron Pacivific Indonesia, PT Conoco Philips Grissik, Petro China Internasional Jabung Ltd, PT Medco E&P Rimau, dan BOB Pertamina Hulu‐PT Siak Pusako yang berpotensi merugikan negara sebesar US$2,53 miliar atau sebesar Rp. 22 triliun. Pada Semester I‐2006, Semester I‐2007, dan Semester II‐2007, BPK menemukan indikasi kerugian negara dari penyimpangan cost recovery sebesar Rp. 39,999 triliun.2 Guna mendapatkan gambaran lebih jauh tentang fenomena lemahnya posisi pemerintah dalam praktek PSC, PuKAT Korupsi FH UGM mencoba
2 Kholid S. 2009, “Di Bawah Bendera Asing,” LPES, Jakarta hlm. 69
2
melakukan kajian kritis terhadap salah satu contoh PSC antara Pertamina dengan perusahaan swasta. Selanjutnya tulisan kecil ini akan mencoba membedah salah satu sisi dari fenomena tersebut melalui judul ”Kajian Kritis Kontrak Bagi Hasil (production sharing contract‐PSC) Pertamina dan APEX (Bangara‐II)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, batasan rumusan masalah yang hendak dijawab oleh tulisan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk kontrak bagi hasil kegiatan hulu pengelolaan migas di Indonesia?
2. Bagaimana bentuk hubungan hukum PSC Pertamina dan APEX (Bengara‐II)?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan permasalahan atas, dengan demikian tujuan kajian antara lain:
1. mengetahui lebih dalam tentang seluk‐beluk mekanisme PSC Pertamina dan APEX (Bengara‐II); dan
2. menggambarkan gagasan kontrak kerjasama migas antara pemerintah dan swasta ke depan.
D. Metode Kajian Jenis Kajian Jenis kajian yang dilakukan oleh studi ini adalah kajian hukum normatif. Yaitu studi yang hendak mencari gambaran tentang fakta‐fakta normatif berkaitan dengan kontrak bagi hasil‐PSC pengelolaan migas. Narasumber Narasumber sebagai subyek yang dianggap cukup representatif untuk mendukung dalam memperdalam data dan informasi, dalam hal ini adalah praktisi hukum yang dipandang cukup berpengalaman dalam bidang hukum kontrak PSC. Dalam konteks studi ini, praktisi hukum yang bersangkutan dilibatkan melalui kontribusi mereka dengan merumuskan pendapat hukum (legal opinion) dan mempresentasikannya di dalam forum focused group discussion (FGD) yang dihadiri oleh para penulis. Narasumber tersebut adalah:
1. Wirawan Adnan, S.H (advokat pada Sholeh, Adnan & Associates, dan manta in house lawyer selama lebih dari 15 tahun pada perusahaan Total Indonesie dan Maxus Southeast Sumatra);
2. Zahru Arqom, S.H (advokat pada Kantor Advokat Arqom, Dony & Co).
3
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Sebagai konsekuensi dari jenis kajian hukum normatif, maka jenis data dan informasi adalah data sekunder. Jenis data‐informasi demikian biasanya telah diolah dan dibahas oleh pihak lain selain oleh penulis. Oleh karena itu cara pengumpulan data sekunder tradisinya dilakukan melalui studi kepustakaan. Adapun data sekunder di dalam penelitian hukum berupa:
1. bahan hukum primer: peraturan perundang‐undangan yang berkaitan dengan persoalan PSC migas. Antara lain:
a. KUH Perdata. b. Undang‐undang No. 44 Pnrp Tahun 1960 Tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. c. Undang‐undang No. 8 Tahun 1971 Tentang
Pertamina. d. Undang‐undang No. 10 Tahun 1974 Tentang
Perubahan e. Undang‐undang No. 8 Tahun 1970 tentang Pertamina. f. Undang‐undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi. g. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU‐I/2003. h. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002 tentang
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
i. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
j. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2005 tentang perubahan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
2. bahan hukum sekunder: materi kepustakaan baik yang bersifat teoritis maupun praksis berkenaan dengan analisis terhadap tema penulisan, yaitu PSC pengelolaan migas; dan
3. bahan hukum tersier: kamus yang relevan dengan istilah‐istilah yang bermanfaat untuk memperjelas bahan hukum primer dan bahan sekunder.
Data dan informasi sekunder tersebut di atas kemudian diverifikasi dan divalidasi oleh para penulis melalui FGD dengan narasumber. Analisis Bentuk analisis yang dilakukan dalam penulisan ini adalah deskriptif kualitatif. Yaitu, data dan informasi yang diperolah diperlakukan melalui langkah‐langkah sebagai berikut: (a). reduksi data‐informasi dengan cara mengelompokkan ke dalam masing‐masing permasalahan dan unsur‐unsur yang terdapat di dalamnya; (b). penyajian data‐infromasi secara
4
sistematis dan logis; serta (c). memberikan penjelasan terhadap sajian data‐informasi.
5
BAB II TINJAUAN HUKUM HUBUNGAN KONTRAKTUAL KEGIATAN HULU
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM MIGAS
Pengusahaan penambangan minyak dan gas bumi (migas) pada konteks Indonesia sesungguhnya dapat dikatakan telah berlangsung cukup lama. Jauh sebelum masa kemerdekaan, praktek eksploitasi tambang migas oleh pemerintah kolonial Hindia‐Belanda diawali sejak akhir abad ke‐19. Beroperasinya Royal Dutch Petroleum Company melalui pengembangan ekplorasi dan eksploitasi konsesi Langkat pada 16 Juni 1890, serta pengoperasian lapangan Sangasanga‐Tarakan oleh Nederlandsch‐Indische Industrie en Handel Maatchappij (NIIHM) pada periode 1897‐1905—yag selanjutnya beralih ke Batavia Petroleum Maatschappij (BPM) pada1905‐1942—adalah beberapa contoh rintisan mengenai praktek pemanfaatan sumberdaya migas tersebut. Mula‐mula relasi kontraktual perusahaan pertambangan migas pada waktu itu dilakukan dengan penguasa‐penguasa daerah setempat. Baru kemudian pada tahun 1899, pemerintah kolonial mengeluarkan Undang‐undang Pertambangan (Indische Mijn Wet‐IMW) dimana di dalam salah satu ketentuannya menyatakan bahwa pemerintah Hindia‐Belanda berwenang untuk melalukan eksplorasi dan eksploitasi, serta mengadakan kerjasama dengan perusahaan migas dalam bentuk kontrak melalui sistem konsesi. Dengan sistem konsesi tersebut, perusahaan migas tidak saja menikmati kuasa pertambangan tetapi juga hak untuk menguasai hak atas tanah. Seiring dengan berjalannya waktu ketika legitimasi kekuasaan pemerintah kolonial Hindia‐Belanda berakhir karena kemerdekaan Indonesia, selanjutnya peraturan mengenai pertambangan juga diganti untuk disesuaikan dengan iklim pemerintahan yang baru yang otonom. Pada tahun 1960 pemerintah menerbitkan UU No. 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan dan UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang mencabut dan menggantikan Indische Mijn Wet Stbl. 1899 No. 214 jo Stbl. 1906 No. 434.3 Dengan keluarnya regulasi tersebut, maka pengusahaan migas diselenggarakan oleh negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh perusahaan negara semata‐mata melalui kerjasama dengan kontraktor dalam bentuk kontrak karya. Sistem konsesi dalam pengusahaan pertambangan tidak lagi digunakan dikarenakan dinilai memberikan hak yang terlalu luas
3 Relasi antara keduanya, satu dengan yang lain berposisi sebagai lex generalis dan lex spesialis. UU No. 37 Prp. Tahun 1960 yang mengatur pertambangan secara umum sebagai lex generalis, sementara UU No. 44 Prp. Tahun 1960 yang mengatur tentang pertambangan spesifik minyak dan gas bumi sebagai lex spesialis.
6
dan terlalu kuat bagi pemegang konsesi; yaitu perusahaan pertambangan (migas) asing. Secara khusus kemudian, UU No. 44 Prp. Tahun 1960 di dalam Pasal 6 menegaskan bahwa Menteri Keuangan dapat menunjuk kontraktor untuk perusahaan negara guna melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan oleh perusahaan negara. Konteks Pasal 6 pada saat itu maksudnya adalah agar semua pemegang konsesi pertambangan migas yaitu Shell, Stanvac dan Caltex beralih menjadi Kontraktor Perusahaan Negara. Dengan kata lain, berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut dengan disepakatinya kontrak karya yang mengubah status perusahaan pertambangan asing saat itu menjadi Kontraktor Perusahaan Negara, dapat disimpulkan bahwa dengan diundangkannya UU No. 44 Prp. Tahun 1960, maka tidak lagi ada perusahaan pertambangan asing yang mempunyai hak pertambangan atas wilayah Indonesia.4 Artinya, hanya Perusahaan Negara lah yang mempunyai hak pertambangan tersebut. Namun mengingat industri migas membutuhkan modal yang cukup besar dan keahlian di bidang migas, karenanya UU No. 44 Prp. Tahun 1960 masih membuka kesempatan bagi perusahaan pertambangan asing untuk bekerja sebagai Kontraktor Perusahaan Negara melalui skema Kontrak Karya. Kontrak karya sendiri merupakan bentuk perjanjian berdasarkan pembagian keuntungan/pendapatan (profit/income sharing agreement) dimana aspek manajemen dan kepemilikan aset bukan menjadi pertimbangan penting sehingga manajemen dan kepemilikan aset berada di tangan kontraktor sampai aset tersebut sepenuhnya terdepresiasi. Sedangkan kepemilikan minyak dan gas bumi berada di tangan negara yang diwakil oleh perusahaan negara. Penerapan kontrak karya secara umum dapat dikatakan belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat dan diakui perlu adanya pembenahan dan peningkatan kinerja perusahaan negara.5 Terhadap ketidakpuasaan berbagai pihak akan model kontrak karya tersebut, Ir. Soekarno mendapatkan ide perjanjian bagi hasil berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa dimana petani mendapatkan penghasilannya dari bagi hasil yang pengelolaannya ada di tangan pemiliknya. Ide Bung Karno ini didukung oleh Ibnu Sutowo yang menyatakan bahwa pada pengusahaan minyak nasional, manajemen seharusnya dipegang oleh pemerintah dan yang dibagi seharusnya adalah 4 Dengan demikian, penandatanganan Kontrak Karya adalah tonggak yang cukup penting dalam meletakkan posisi negara pada posisi yang lebih dominan terhadap perusahaan asing, yang sebelumnya dapat menjadi pemilik mineral interest.
5 Simamora Rudi M.,Hukum Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta, hal 87
7
hasil minyak dan bukan keuntungan (baca: uang),6 sebagaimana yang
diterapkan dalam kontrak karya.7 Prinsip bagi hasil ini kemudian diterapkan oleh Pertamina, yang merupakan gabungan tiga perusahaan negara pemegang kuasa pertambangan yakni PN PERTAMIN, PN PERMINA, dan PN PERMIGAN, berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina). Dalam Pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa perusahaan—Pertamina—dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil (Production SharingContract). Pengaturan Kontrak Bagi Hasil selama 30 tahun hanya diatur dalam UU Pertamina, beserta peraturan pelaksananya, tanpa adanya pengaturan tersendiri yang khusus mengatur pengusahaan minyak dan gas bumi. Baru pada tahun 2001 Pemerintah beserta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat peraturan yang khusus mengatur pengusahaan minyak bumi melalui UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 2001). A. Jenis‐Jenis Kontrak Bagi Hasil
Selama tiga dekade Pertamina telah membuat beberapa jenis Kontrak Bagi Hasil. Jenis‐jenis Kontrak Bagi Hasil yang banyak digunakan dalam investasi minyak dan gas bumi antara lain: 1. Kontrak Bagi Hasil untuk wilayah konvensional maupun frontier area; 2. Kontrak Bagi Hasil Joint Operation Agreement – Joint Operation Body
(JOA‐JOB). 3. Kontrak Bantuan Teknis (“Technical Assistance Contract”); dan 4. Kontrak Peningkatan Produksi Minyak (“Enhanced Oil Recovery
Contract”). Selanjutnya, elaborasi masing‐masing jenis Kontrak Bagi Hasil diuraikan di dalam bagian berikut ini. A.1. Kontrak Bagi Hasil untuk Wilayah Konvensional maupun Frontier
Area Jenis kontrak bagi hasil untuk wilayah konvensional merupakan kontrak utama dari seluruh bentuk kontrak bagi hasil. Oleh karena itu
6 Pada fase ekplorasi dan ekploitasi (produksi), mengenai pembagian hasil produksi, ditinjau dari jenis‐jenis praktek perjanjian pengusahaan migas di dunia, bentuk kesepakatan bagi hasil biasanya dapat berupa: berdasarkan pembagian hasil produksi; pembagian keuntungan; atau, kombinasi pembagian hasil produksi dan keuntungan.
7 Partowidagdo Widjajono, makalah tentang Kontrak Kerja Sama, Institusi dan iklim investasi, Disampaikan pada media briefing Indonesia Energy Watch
8
jenis kontrak ini dikenal dengan kontrak bagi hasil standar. Selama kurang lebih 30 tahun, kontrak bagi hasil ini hanya diatur melalui UU Pertamina tanpa adanya suatu pengaturan yang lebih komprehensif ke dalam suatu peraturan khusus mengenai minyak dan gas bumi khususnya ada kegiatan usaha hulu. Hal ini, seperti dikatakan di atas, membuat Pertamina menentukan ketentuan dan jenis kontrak yang digunakan untuk suatu wilayah. Selama tiga dekade itu pula telah beberapa kali terjadi perubahan ketentuan‐ketentuan dalam kontrak bagi hasl standar yakni :
A.1.1. Kontrak Bagi Hasil Generasi Pertama (1964‐1977)
Ketentuan‐ketentuan pada kontrak bagi hasil generasi ini dapat dilihat sebagai berikut:
(1) Manajemen operasi perminyakan dilakukan oleh Pertamina;
(2) Kontraktor menyediakan seluruh biaya operasi; (3) Biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor akan
mendapatkan pengembalian tidak lebih dari 40% dari hasil produksi. Sisa 60% hasil produksi kemudian dibagi antara Pertamina (65%) dan kontraktor (35%);
(4) Pertamina membayar pajak pendapatan kontraktor; (5) Kontraktor berkewajiban untuk memenuhi Domestic Market Obligation maksimum sebesar 25% dari bagiannya dengan harga US$ 20/barrel;
(6) Seluruh peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh kontraktor menjadi milik Pertamina;
(7) 10 % dari participating interest kontraktor harus ditawarkan pada suatu perusahaan nasional setelah diketahui bahwa daerah kerja kontraktor bersifat komersial;
(8) Selama tahun 1974‐1977, kontraktor wajib membayar pembayaran tambahan kepada pemerintah Indonesia akibat naiknya keuntungan kontraktor akan minyak dan gas bumi secara signifikan.
A.1.2. Kontrak Bagi Hasil Generasi Kedua (1978‐1988)
Ketentuan‐ketentuan mengenai kontrak bagi hasil pada periode ini mengalami perubahan‐perubahan yang diakibatkan faktor‐faktor yang antara lain krisis energi dunia pada tahun 1970‐an dimana harga minyak meningkat secara signifikan dan Pemerintah Amerika Serikat tidak menerima pajak perusahaan‐
9
perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia.8 Adapun ketentuan‐ketentuan yang mengalami perubahan yakni:
(1) Tidak ada pembatasan pada pengembalian biaya operasi kontraktor;
(2) Setelah pengurangan biaya operasi, pembagian produksi minyak menjadi 65.91% untuk Pertamina dan 34.09% untuk kontraktor sedangkan produksi gas menjadi 31.80% untuk Pertamina dan 68.20% untuk kontraktor;
(3) Kontraktor membayar 56% pajak kepada pemerintah Indonesia;
(4) Pada tahun 1984, terjadi perubahan pengaturan perpajakan yang diterapkan untuk kontrak bagi hasil dengan total pajak sebesar 48% yang berlaku mulai efektif pada tahun 1987 sehingga terjadi pula perubahan ketentuan kontrak bagi hasil dimana pembagian minyak menjadi 71.15% untuk Pertamina dan 28.25% untuk kontraktor sedangkan untuk gas 42.31% untuk pertamina dan 57.64% untuk kontraktor. Maka pembagian minyak setelah pajak menjadi 85% untuk Pemerintah indonesia dan 15% untuk kontraktor sedangkan gas menjadi 70% untuk pemerintah Indonesia dan 30% untuk kontraktor;
(5) Kontraktor mendapatkan seluruh harga ekspor untuk insentif Domestic Market Obligation setelah 5 tahun produksi;
(6) Kontaktor mendapatkan 20% dari biaya kapital untuk pengembangan lapangan.
A.1.3. Kontrak Bagi Hasil Generasi Ketiga (1988‐2001)
Perubahan‐perubahan pada kontrak bagi hasil generasi ini disebabkan karena faktor‐faktor yaitu sulitnya pengembangan lapangan marjinal dan sub‐komersial dan penurunan harga minyak menjadi dibawah US$10/barrel.9 Hal‐hal tersebut membuat ketentuan‐ketentuan kontrak bagi hasil menjadi:
(1) Harga Domestic Market Obligation menjadi 10% dari harga ekspor setelah 5 tahun;
(2) Diaturnya ketentuan mengenai first tranche petroleum sebesar 20% dari hasil produksi yakni pengambilan pertama minyak bumi sebelum pengurangan biaya
8 Widyawan, Upstream Oil and Gas Cooperation Contract in Indonesia Article, Disampaikan pada Asean Law Student Association oil and gas week di Universitas Indonesia, Jakarta.
9 Ibid
10
operasi yang kemudian didistribusikan untuk Pertamina dengan kontraktor;
(3) Mulai dikenalnya produksi deep sea dimana pengembangannya mendapatkan kredit investasi sebesar 110% untuk minyak dan 55% untuk gas;
(4) Terdapatnya additional sharing untuk daerah frontier; (5) Dalam generasi ini terdapat insentif‐insentif yang
diberikan pemerintah untuk pengembangan lapangan agar pemasukan negara juga bertambah.
A.1.4. Kontrak Bagi Hasil Generasi Keempat (2001‐sekarang)
Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi maka dimulailah generasi baru kontrak bagi hasil dimana pihak yang mewakili pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan tidak lagi Pertamina namun menjadi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dalam kontrak bagi hasil generasi ini, yang merupakan bentuk utama dari seluruh kontrak bagi hasil BP Migas, memiliki kewenangan manajemen atas kegiatan operasi perminyakan secara keseluruhan. Dalam melaksanakan kewenangan manajemen ini, Pertamina menyetujui anggaran belanja kontraktor, program kerja, rencana penggunaan tenaga kerja, rencana pembiayaan dan pengadaan barang dan jasa. Yang bertindak sebagai operator adalah kontraktor yang menyelenggarakan kegiatan operasi perminyakan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi perminyakan sehingga kontraktor bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan secara umum, khususnya pada tahap eksplorasi. Seluruh dana investasi untuk eksplorasi, pengembangan dan produksi disediakan oleh kontraktor, selaku operator, dan biaya dapat dikembalikan hanya apabila ada penemuan cadangan komersial melalui penjualan hasil produksi. Oleh karena itu kontraktor menanggung seluruh resiko eksplorasi dan eksploitasi. Pengembalian biaya investasi/operasi dilakukan melalui pembagian hasil produksi minyak dan/atau gas bumi, yang dilakukan dengan cara: pertama‐tama memotong dari hasil produksi sebesar 20% untuk First Tranche Petroleum dan kredit investasi baru dipotong untuk biaya operasi, yang diberikan kepada kontraktor. Setelah dikembalikannya biaya operasi maka kemudian minyak sisa hasil pemotongan‐pemotongan tersebut
11
dibagi antara pemerintah dan kontraktor. Setelah berproduksi secara komersial kontraktor berkewajiban untuk menyediakan dan menjual minyak bagiannya untuk Domestic Market Obligation sebesar 25%. Harga untuk kewajiban ini di titik ekspor adalah 25% persen dari harga yang ditentukan kecuali untuk 5 tahun pertama.
A.2.Kontrak Bagi Hasil Joint Operation Agreement – Joint Operation Body (JOA‐JOB)
Dalam kontrak jenis ini operasi pertambangan dilaksanakan oleh suatu badan kerjasama operasi (Joint operation Body‐JOB) yang dipimpin oleh Pertamina dan dibantu oleh kontraktor yang masing‐masing menugaskan karyawannya dalam JOB tersebut. Dalam hal ini Pertamina bertindak selaku operator. Dalam JOB ini, kedua belah pihak memiliki participating interest pada awalnya ditetapkan sebesar 50:50. Seluruh dana untuk operasi minyak dan/atau gas bumi ini pada awalnya akan disediakan oleh kontraktor dan kemudian setelah berproduksi secara komersial, akan ditanggung bersama dengan Pertamina dengan pembagian secara merata 50:50, dengan syarat kontraktor wajib mengeluarkan biaya minimum tertentu yang telah ditentukan untuk mengimbangi pengeluaran biaya yang telah dilakukan Pertamina sebelum kontrak ditandatangani. Dalam hal tidak adanya penemuan komersial, Pertamina tidak memiliki kewajiban untuk membayar biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor yang menjadi bagian participating interest‐nya sehingga dengan demikian seluruh resiko ditanggung oleh kontraktor. Jika berproduksi maka pengembalian biaya akan diambil dengan cara, pertama‐tama total produksi akan dibagi rata 50:50 untuk Pertamina dan kontraktor. Dari 50% bagian kontraktor, kontraktor akan mengambil bagiannya atas First Tranche Petroleum, kredit investasi baru kemudian pengembalian biaya operasi. Setelah diambilnya biaya operasi maka dibagi kembali sisa produksi tersebut sebagaimana dalam kontrak bagi hasil daerah konvensional atau standar.
A.3.Kontrak Bantuan Teknis (Technical Assistance Contract)
Technical Assistance Contract diperkenalkan pada tahun 1968 dimana Pertamina menyerahkan pengoperasian wilayah‐wilayah operasinya yang sudah tua untuk direhabilitasi oleh kontraktor yang berkedudukan sebagai operator dalam pengoperasian tersebut. Kontrak jenis ini baru kemudian digunakan Pertamina dalam pengoperasian wilayah Pertamina yang telah berproduksi dimana kontraktor diharapkan dapat meningkatkan hasil produksi dan memikul semua biaya operasi.
12
Dalam kontrak jenis ini produksi minyak bumi dibedakan dalam dua segmen yakni minyak yang tidak dibagi (Non Shareable Oil‐NSO), yang merupakan produksi minyak yang menjadi hak Pertamina yang tidak akan dibagi dengan kontraktor, dan segmen minyak yang dibagi (Shareable Oil‐SO), yaitu produksi minyak yang jumlahnya di atas minyak yang tidak dibagi, yang merupakan bagian yang akan dibagi antara Pertamina dengan kontraktor. Biaya operasi untuk minyak yang tidak dibagi dan minyak yang dibagi pada awalnya dipikul oleh kontraktor. Kompensasi untuk penggantian sebagian biaya operasi untuk produksi minyak yang tidak dibagi pada beberapa tahun pertama diberikan oleh Pertamina. Pengembalian biaya operasi untuk produksi kedua diambil dari minyak yang dibagi. Jumlah minyak yang dibagi tersisa, setelah dikurangi pengembalian biaya operasi, dibagi antara Pertamina dan kontraktor dengan rasio pembagian hasil bersih setelah pajak penghasilan sebesar 80/15. Di setiap kontrak bantuan teknis lainnya, kontraktor mendapat bagian yang lebih tinggi tergantung kasus per kasus.; Kontraktor juga diisyaratkan untuk melakukan pembayaran tunai setiap kwartal kepada Pertamina, yang diambilkan dari bagian yang menjadi hak kontraktor.
A.4.Kontrak Peningkatan Produksi Minyak (Enhanced Oil Recovery Contract)
Kontrak Enhanced Oil Recovery dibuat oleh Pertamina dan kontraktor dengan tujuan meningkatkan produksi minyak mentah melalui teknik operasi Enhanced Recovery dari wilayah‐wilayah Pertamina yang belum habis diproduksi secara primary recovery. Secara umum ketentuan dan persyaratan‐persyaratan pada kontrak jenis ini menyerupai dengan ketentuan dan persyaratan dalam kontrak bagi hasil JOA‐JOB. Namun, pada Enhanced Oil Recovery Contract ini, pengembalian biaya operasi dari bagian participating interest kontraktor diambil dari dan terbatas pada 65% dari bagiannya atas peningkatan produksi minyak pada suatu tahun. Biaya operasi yang tidak terbayar akan diambil pada tahun‐tahun berikutnya. Setelah adanya peningkatan produksi secara komersial, Pertamina akan mengganti biaya‐biaya yang telah dikeluarkan kontraktor dari bagiannya atas peningkatan produksi minyak. Selain itu Pertamina akan membayar tambahan sebesar 30% dari seluruh biaya operasi yang menjadi bagian Pertamina yang telah didanai kontraktor.
B. Dasar Hukum Kontrak Bagi Hasil
Kontrak atau Perjanjian Bagi Hasil tidak memiliki pengaturan secara khusus pada buku tiga KUH Perdata. Walaupun tidak dikenal dengan
13
nama khusus dalam KUH Perdata namun kontrak bagi hasil tunduk pada ketentuan umum perjanjian pada titel I, II, III, dan IV pada Buku III KUH Perdata. Kontrak Bagi Hasil baru memiliki pengaturan secara khusus pada UU No. 22 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU‐I/2003 dan peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2005. Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 maka UU No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina tidak berlaku lagi.
C. Konsekuensi‐konsekuensi UU Migas 2001
Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 2001), tentu membawa beberapa perubahan yang berkonsekuensi secara cukup signifikan terhadap pengaturan pemanfaatan sumberdaya migas nasional. Dalam bagian ini mencoba menguraikan mengenai hal‐hal penting sehubungan dengan berlakunya UU Migas 2001 yang menggantikan UU Migas 1960.
C.1.Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP‐Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama10
Apabila berdasarkan rejim UU Migas 1960 Negara sebagai mineral interest menguasakan kepada Pertamina sebagai pemegang kuasa hukum pertambangan, maka dengan berlakunya UU Migas 2001, sebagai mineral interest Negara tidak lagi memberikan kuasa hukum pertambangan kepada Pertamina. Sebagaimana mandat UU Migas 2001, kemudian negara membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP‐Migas) untuk selanjutnya diposisikan sebagai wakil Negara di dalam melakukan operasionalisasi tindakan hukum kontraktual dengan perusahaan pertambangan migas, baik asing maupun domestik. Sementara itu, Pertamina berubah peran dan posisi manjadi kontrakator kontrak bagi hasil (kerjasama) sebagaimana kedudukan perusahaan‐perusahaan mitra lainnya dalam usaha
10 Kontrak Kerja Sama adalah terminologi generik yang dikonsepkan oleh UU Migas 2001. Di dalam Pasal 1 angka 19 disebutkan: Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya digunakan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat. Artinya, mengacu pada uraian tersebut, memungkinkan akan adanya bentuk spesifik kontrak kerja sama antara BP‐Migas dengan Kontraktor dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas.
14
eksplorasi dan eksploitasi migas.11 BP‐Migas itu sendiri didefinisikan sebagai suatu badan hukum milik negara dan sebagai pemegang kuasa hukum pertambangan terhadap seluruh wilayah Indonesia atas nama pemerintah Indonesia—yang bersifat tidak mencari keuntungan—yang kekayaannya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. BP‐Migas diatur berdasarkan PP No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dimana di dalam Pasal 11 menyatakan bahwa tugas dari BP Migas adalah:
(1) Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; (2) Memberikan pertimbangan kepada menteri atas kebijaksanaan
dalam hal penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta kontrak kerjasama;
(3) Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi dalam suatu wilayah kerja kepada menteri untuk mendapatkan persetujuan;
(4) Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan; (5) Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; (6) Melaksanakan pengawasan dan melaporkan kepada menteri
mengenai pelaksanaan kontrak kerjasama; (7) Menunjuk penjual minyak dan/atau gas bumi bagian negara
yang dapat memberikan keuntungan sebesar‐besarnya bagi negara.
Sedangkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama , sebagaimana UU Migas 2001 adalah perusahaan/badan usaha yang dapat berupa Bentuk Usaha Tetap12 atau badan usaha usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, usaha kecil dan menengah, yang hanya diberikan satu wilayah kerja untuk satu wilayah. Sebagai mitra dalam Kontrak Kerjasama dengan BP‐Migas, Kontraktor terikat ketentuan hanya dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu. Atau degan kata lain, tidak boleh sekaligus merangkap melaksanakan kegiatan hilir.
C.2.Bentuk, Substansi, dan Syarat Kontrak Kerja Sama
11 Kegiatan operasi migas dapat dikategorikan dalam 5 kegiatan yang berbeda, yaitu: eksplorasi dan produksi (ekploitasi); pengolahan; penyimpanan; pengangkutan; dan, pemasaran. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi merupakan kegiatan usaha hulu yang dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kotrak Kerja Sama (Pasal ayat (1) UU Migas 2001).
12 Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peratunan perundang‐undangan yang berlaku di Republik Indonesia (Pasal 1 angka 18 UU Migas 2001).
15
Kontrak Kerja Sama berbentuk tertulis yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan antara BP Migas dengan badan usaha dan/atau badan usaha tetap. Substansi yang harus dimuat dalam kontrak bagi hasil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 ayat (3) UU Migas 2001 adalah:
(i) penerimaan Negara; (ii) wilayah kerja dan pengembaliannya; (iii) kewajiban pengeluaran dana; (iv) perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan
gas bumi; (v) jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak; (vi) penyelesaian perselisihan; (vii) kewajiban pemasokan minyak dan/atau gas bumi untuk
kebutuhan dalam negeri; (viii) berakhirnya kontrak; (ix) kewajiban pasca operasi pertambangan; (x) keselamatan dan kesehatan kerja; (xi) pengelolaan lingkungan hidup; (xii) pengalihan dan kewajiban; (xiii) pelaporan yang diperlukan; (xiv) rencana pengembangan lapangan; (xv) pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; (xvi) pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak‐
hak masyarakat adat; (xvii) pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Dalam peraturan pelaksanaan UU Migas 2001 yakni Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa kontrak bagi hasil paling sedikit memuat persyaratan:
(1) Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan;
(2) Pengendalian manajemen operasi berada pada badan pelaksana;
(3) Modal dan resiko seluruhnya ditanggung badan usaha atau badan usaha tetap.
C.3.Cost Recovery Cost recovery, yang dalam Bahasa Indonesia berarti pengembalian biaya, adalah suatu klausul dalam kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi dimana biaya yang dikeluarkan kontraktor dalam pengusahaan minyak dan gas bumi dibayarkan kembali dalam bentuk minyak atau
16
gas bumi ketika pengusahaan minyak dan gas bumi tersebut telah berproduksi secara komersial. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa cost recovery merupakan salah satu klausul pada perjanjian bagi hasil migas, maka tentunya dasar hukum dari klausula ini adalah Kontrak Kerja Sama migas itu sendiri yang diatur dalam UU Migas 2001 serta pelaturan pelaksanaannya. Namun demikian, cost recovery tidak secara langsung diatur dalam undang‐undang. Cost recovery diatur pada salah satu peraturan pelaksana UU Migas 2001 yakni pada Pasal 56 PP No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang mengatur:
(1) Pengeluaran biaya investasi dan operasi dari Kontrak Bagi Hasil wajib mendapatkan persetujuan Badan Pelaksana;
(2) Kontraktor mendapatkan kembali biaya‐biaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan rencana kerja dan anggaran serta otorisasi pembelanjaan financial (Authorization Financial Expenditure) yang telah disetujui oleh Badan Pelaksana setelah menghasilkan produksi komersial.
Melihat bunyi pasal tersebut maka jelas bahwa biaya yang dikembalikan terbatas pada biaya‐biaya dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi. Namun apa yang dimaksud dengan eksplorasi dan eksploitasi tidak dijelaskan secara rinci pada peraturan pemerintah tersebut. Maksud atau tujuan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi itu sendiri dapat kita temukan pada UU Migas 2001, yang dalam Pasal 1 ayat (8) undang‐undang tersebut menyatakan bahwa tujuan kegiatan eksplorasi adalah :
a. memperoleh informasi mengenai geologi; b. menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan
gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan. Wilayah kerja tertentu adalah daerah tertentu didalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi. Wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia.
Sedangkan tujuan kegiatan eksploitasi, selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (9) UU Migas 2001, adalah :
a. pengeboran dan penyelesaian sumur; b. pembangunan sarana pengangkutan; c. penyimpanan;
17
d. pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan;
e. kegiatan lain yang mendukung. Dalam hal ini mendukung terlaksananya eksploitasi minyak dan gas bumi.
Dengan mengetahui tujuan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi maka biaya yang mendapat penggantiannya adalah terbatas pada biaya‐biaya yang dikeluarkan untuk tujuan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud di atas.
“Contractor will recover all operating cost out of sales proceeds or other dispotition of the required quantity of crude oil equal in value to such operating cost, which is produced and saved hereunder and not used in petroleum operation. Except as provided, Contractor shall be entitled to take and receive and freely export such crude oil. For purpose of determining the quantity of crude oil delivered to Contractor required to recover said operating cost, the weighted average price of all crude oil produced and sold from the contract area during the calendar year will be used excluding however deliveries made pursuent to Domestic Market Obligation. If, in any calendar year, the operating cost exceed the value of crude oil produced and saved hereunder and not used in petroleum operation, after deducting First Tranche Petroleum and any investment credit, then the unrecovered excess shall be recovered in succeeding years”.13
Melalui kutipan di atas, berarti bahwa kontraktor akan mendapatkan pengembalian biaya operasi dalam bentuk minyak setelah minyak yang diproduksi dipotong terlebih dahulu untuk first tranche petroleum dan kredit investasi.
C.4.Domestic Market Obligation
Sebagaimana diungkapkan telah bahwa pengembalian biaya operasi (cost recovery) “dibayarkan” dalam bentuk minyak yang didapat dari hasil produksi setelah dikurangi first tranche petroleum dan kredit investasi. Baru kemudian biaya operasi dibagi berdasarkan persentase bagi hasil yang telah disepakati. Setelah pembagian tersebut kontraktor diwajibkan memberikan suatu persentase tertentu dari bagiannya kepada pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Ketentuan ini diterapkan pada kontrak bagi hasil standar berdasarkan Pasal 46 PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak
13 Kontrak Bagi Hasil Standar BP Migas generasi IV
18
dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa : (1) Kontraktor bertanggungjawab untuk ikut serta memenuhi
kebutuhan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk keperluan dalam negeri;
(2) Bagian Kontraktor dalam memenuhi keperluan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan sistem prorata hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi;
(3) Besaran kewajiban Kontraktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah paling banyak 25% (dua puluh lima per seratus) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi;
(4) Menteri menetapkan besaran kewajiban setiap Kontaktor dalam memenuhi kebutuhan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Ketentuan ini menyatakan bahwa kontraktor wajib menjual migas yang dihasilkan sebesar 25% dari hasil produksi yang menjadi bagiannya dengan harga tertentu yang lebih kecil daripada harga migas aktual saat itu. Dasar pertimbangan yang melandasi logika ini adalah, tidaklah wajar suatu negara pengekspor suatu produk yang dihasilkannya didalam negeri sementara dia masih membutuhkannya untuk konsumsi lokal.14 Dalam prakteknya, biasanya kewajiban ini dibagi rata di antara kontraktor‐kontraktor yang beroperasi di negara yang bersangkutan berdasarkan perbandingan hasil produksi di antara mereka.
C.5.Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak Kerja Sama
Di dalam UU Migas 2001 tidak diatur mengenai penyelesaian perselisihan jika terjadi sengketa antara BP‐Migas dengan kontraktor. Hal ini memberi kebebasan kepada kedua belah pihak dalam kontrak untuk mengatur mengenai penyelesaian sengketa. Berdasarkan Pasal 38 PP No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, bahwa terhadap kontrak ini berlaku hukum Indonesia. Hal ini dipertegas dalam bab XVI tentang ketentuan lain, kontrak‐kontrak bagi hasil yang dibuat BP‐Migas yang dapat dilihat dari: “The laws of the Republic of Indonesia shall apply to this Contract and No terms or provisions of this Contract, including the agreement of the Parties to submit to arbitration hereunder, shall prevent or limit Government of Indonesia from exercising its inalienable rights”.
14 Simamora Rudi M, Op.cit, hal 45
19
Hal ini berarti bahwa terhadap kontrak ini berlaku hukum Indonesia, serta tidak ada ketentuan‐ketentuan ataupun syarat‐syarat—termasuk persetujuan untuk menyerahkan kepada arbitrase—dapat membatasi hak‐hak dari pemerintah Indonesia yang bersifat mutlak.
20
BAB III
ANALISA KONTRAK BAGI HASIL (PSC)
PERTAMINA‐APEX (BENGARA II)
Penegasan mengenai mineral interest/right ada pada Negara—meskipun tidak mengemuka secara eksplisit—pada hakikatnya telah tertuang di dalam maksud konstitusi, yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD’1945. Dimana di dalam ketentuan tersebut mengisyaratkan mengenai pentingnya Negara menguasai sumber‐sumber kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, jelas bahwa pelimpahan mandat rakyat kepada Negara—melalui pemerintah sebagai penyelenggaranya—membawa konsekuensi beban tanggungjawab dari penyelenggara bahwa konteks penguasaan pada akhirnya juga untuk digunakan dan ditujukan bagi kepentingan rakyat. Dengan demikian maka, manakala pengaturan tentang pertambangan sumberdaya alam minyak dan gas bumi (migas) yang diembankan kepada pemerintah—dimana kemudian pemerintah membentuk unit usaha khusus dalam pelaksanaannya—sesungguhnya tidak boleh dilepaskan dari spirit utama yang melatarbelakangi. Jauh sebelum berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas bumi (UU Migas 2001) yang mengkonstruksikan unit usaha Badan Pelaksana Migas (BP‐Migas) sebagai wakil pemerintah di dalam urusan pertambangan migas, melalui UU No. 44 Prp. 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960) disebutkan bahwa “Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata‐mata”.15 Dimana pada gilirannya rumusan Perusahaan Negara ini kemudian menemukan sandarannya—sebagai satu‐satunya unit usaha pemerintah dalam pertambangan migas—ketika diterbitkan UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU Pertamina). Lebih jelasnya oleh Pasal 2 ayat (3) UU Pertamina disebutkan, bahwa “definisi Perusahaan Negara yang tercantum dalam Undang‐undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Pasal 1 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070) harus dibaca Perusahaan dalam pengertian Undang‐undang ini”.
15 Pasal 3 ayat (2) UU Migas 1960.
21
Pertamina sendiri, sebagai bentuk perusahaan negara yang mengemban tugas dan fungsi menyelenggarakan kuasa pertambangan migas, bukan merupakan unit usaha negara yang sekali terbentuk. Dalam perjalanannya sebagai mandat dari Pasal 3 UU Migas 1960—sebelum kemudian muncul UU Pertamina—perusahaan negara yang dimaksud oleh UU Migas 1960 adalah PN Pertamin (Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia), PN Permina (Perusahaan Negara Minyak Nasional) dan PN Permigan (Perusahaan Negara Minyak dan Gas Bumi Negara). Selanjutnya muncul kebijakan peleburan (konsolidasi) perusahaan negara melalui PP No. 27 Tahun 1968 menjadi Pertamina, yang kemudian dikukuhkan lagi melalui UU No. 8 tahun 1971. Dengan demikian Pertamina merupakan integrated state oil company dan sebagai satu‐satunya perusahaan negara pemegang kuasa pertambangan yang meliputi ekplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan serta penjualan. Oleh karena itu, dengan merujuk pada intisari Pasal 3 UU Migas 1960 yang menyatakan bahwa pengusahaan pertambangan migas oleh Negara dan pelaksanaannya dikuasakan kepada perusahaan negara, dengan demikian kedudukan Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan migas adalah sah (legitimate) adanya. Kuasa pertambangan itu sendiri merupakan wewenang yang diberikan kepada perusahaan negara guna melaksanakan usaha pertambangan migas.16 Kuasa pertambangan diberikan kepada perusahaan negara dari dasar pemikiran bahwa tidak dapat diberikan hak yang lebih dari Hak Mengusasi, dimana hak menguasai atas migas sebagai bahan galian khusus yang penting bagi hajat hidup orang banyak hanya ada pada Negara. Sebagaimana Penjelasan Umum butir 3 UU Migas 1960:
“Bahan galian minyak dan gas bumi bukan saja mempunyai sifat‐sifat khusus, akan tetapi hasil‐hasil pemurnian dan pengolahannya adalah penting bagi hajat hidup orang banyak dan pertahanan nasional. Itu sebabnya ditentukan, bahwa pengusahaan minyak dan gas bumi hanya dapat diselenggarakan oleh negara dan pelaksanaan pengusahaan itu hanya dilakukan oleh Perusahaan Negara, agar kemanfaatan bahan galian minyak dan gas bumi dapat terjamin dalam rangka penyusunan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dan dalam pembangunan Negara Republik Indonesia yang jaya, lagi kuat.”
Namun meskipun demikian, spirit nasionalisasi melalui pelimpahan kuasa pertambangan kepada perusahaan Negara (Pertamina) lantas bukan berarti menutup kemungkinan terlibatnya pihak asing di dalam usaha pertambangan migas sebagaimana semangat nasionalisasi pada era 1960‐an. 16 Pasal 1 huruf g UU Migas 1960.
22
Kalaulah pada masa sebelum berlakunya UU No. 37 Prp. 1960 tentang Pertambangan Jo. UU No. 44 Prp. 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, perusahaan asing mempunyai hak yang cukup istimewa berupa konsesi atas wilayah‐wilayah pertambangan berdasarkan “Indische Mijnwet”, maka selanjutnya hanya perusahaan Negara‐lah yang dapat menguasai suatu wilayah pertambangan migas.17 Keberadaan perusahaan asing dimungkinkan berperan sebagai kontraktor dari perusahaan Negara. Hal ini berangkat dari latar pemikiran tentang belum mencukupinya kapasitas permodalan dan sumberdaya manusia nasional ketika itu, dimana di dalam bidang pengusahaan pertambangan migas yang faktanya memang mengisyaratkan untuk itu. Secara tegas Pasal 7 ayat (1) UU Migas 1960 menyebutkan, pemerintah dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan‐pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perusahaan negara. Selebihnya, perusahaan asing menjadi kontraktor perusahaan negara di dalam perjanjian (kontrak) karya. Dimana kontrak karya tersebut selanjutnya berlaku sebagai ketentuan yang mengikat kedua belah pihak dalam pengusahaan pertambangan migas nasional. Pada konteks ini, selanjutnya relasional konstruksi hukum pengusahaan pertambangan migas dapat digambarkan sebagai berikut:
Negara (mineral interest/right)
Pemerintah (mineral interest/right)
Gambar I. Relasi Negara, Pemerintah, Perusahaan Negara, dan Kontraktor dalam Pengusahaan Pertambangan Migas menurut UU Migas 1960
Pada bagian sebelumnya telah digambarkan konstruksi mengenai seluk beluk Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil). Khusus dalam bagian analisis ini, akan ditampilkan 4 pokok bahasan menyangkut PSC antara 17 Itupun berlainan sama sekali dengan hak konsesi lama. Kuasa pertambangan yang diberikan kepada perusahaan Negara tidak meliputi hak‐hak atas tanah permukaan bumi yang bersangkutan dengan hukum agraria nasional.
Perusahaan Negara (Kuasa Pertambangan)
Kontrak Karya
Kontraktor Perusahaan Negara (bekerja menggali) Migas
23
Pertamina dan APEX (Bengara II) yaitu: pertama, gambaran fakta hukum yang terdapat dalam PSC antara Pertamina dengan APEX (Bengara II), kedua, analisis formil terhadap kontrak tersebut yang berupa analisis pada sisi pemenuhan syarat formil kontrak sesuai dengan hukum perdata. Ketiga, analisis materiil yaitu analisis yang menyangkut masalah apakah materi yang menjadi objek perjanjian tersebut telah mengandung keseimbangan prestasi yang akan didapatkan oleh para pihak. Terakhir menyangkut problematika aktual yang terjadi dalam perkembangan pelaksanaan kontrak tersebut. Dalam problematika actual ini akan digambarkan keberadaan kontrak tersebut dikaitkan dengan realita yang terjadi pada saat penelitian ini dilakukan. A. Fakta Hukum dalam PSC
Rezim hukum yang dipakai dalam kontrak antara Pertamina dengan APEX (Bengara II) ini adalah Undang‐Undang Nomor. 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Sesuai dengan pasal 12 UU Pertamina ini, sistem yang dipakai guna mendasari kontrak ini adalah sistem bagi hasil produksi (production sharing contract). Sistem ini merupakan perbaikan dari sistem Kontrak karya yang dirasa tidak mencerminkan keberpihakan pada keuntungan Bangsa Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam. Dalam sistem kontrak karya ini, aspek manajemen dan kepemilikan aset tidaklah menjadi pertimbangan penting sebagai dasar pembagian keuntungan/pendapatan (profit/income sharing agreement). Sehingga, kontrak karya dianggap tidak berpihak pada tujuan pasal 33 UUD 1945 yang berorientasi pada sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat.
Secara sederhana, sistem production sharing contract (PSC) dalam rezim hukum Undang‐Undang Pertamina ini dapat digambarkan:
a. Pertamina diberikan kuasa oleh negara untuk menguasai seluruh meilayah hukum pertambangan Indonesia sepanjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi
b. Pertamina dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk kontrak Production Sharing
c. Dalam melaksanakan kontrak Production Sharing dengan Pihak lain berlaku ketentuan bahwa: 1. Pihak kontraktor menanggung terlebih dahulu semua dana
untuk biaya operasi, menyediakan teknologi dan keahlian yang diperlukan dalam eksplorasi minyak yang akan dilakukan
2. Semua resiko yang timbul apabila tidak terdapat minyak ataupun gas yang dapat dikelola (dikomersilkan) menjadi tanggung jawab kontraktor
24
3. Apa nantinya terdapat minyak dan/atau gas bumi yang dapat diproduksi (dikomersilkan) maka semua biaya operasi yang timbul akan diganti
4. Penggantian biaya operasi tersebut dimasukkan dalam perhitungan bagi hasil yang disebut sebagai cost recovery
Semangat lahirnya sistem PSC ini secara jelas tertuang dalam penjelasan pasal 12 UU Pertamina yang menyebutkan bahwa “dalam mengadakan kerja sama ini harus diusahakan syarat‐syarat yang paling menguntungkan bagi Negara”. Selanjutnya, sebagai acuan untuk mewujudkan semagat tersebut diatur secara terperinci perihal pembagian yang harus diterima negara sebagaimana tertuang dalam pasal 14 UU Pertamina yaitu “dalam melaksanakan pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan‐ketentuan yang tercantum dalam Undang‐Undang ini Perusahaan (Pertamina) wajib menyetor kepada Kas Negara, jumlah‐jumlah sebagai berikut”:
a. enam puluh (60%) persen dari penerimaan bersih usaha (net operating income)18 atas hasil operasi Perusahaan sendiri;
b. enam puluh persen (60%) dari penerimaan bersih usaha (net operating income) atas hasil Kontrak Production Sharing sebelum dibagi antara Perusahaan dan Kontraktor;
c. seluruh hasil yang diperoleh dari Perjanjian Karya termaksud dalam Undang‐Undang No. 14 tahun 1963;
d. enam puluh persen (60%) dari penerimaan‐penerimaan bonus Perusahaan yang diperoleh dari hasil Kontrak Production Sharing.
Dengan adanya perhitungan tersebut, diharapkan negara dapat memperoleh keuntungan secara optimal guna mewujudkan kesejahteraaan rakyat.
Sepintas terlihat bahwa kontrak ini akan sangat menguntungkan bangsa Indonesia. Namun, pada prakteknya jika menelisik lebih dalam, banyak terdapat celah‐celah yang membuat sistem kontrak bagi hasil (PSC) pertambangan ini tidak berfungsi optimal sesuai dengan tujuan yang diharapakan. Adanya ketidaksempurnaan perihal PSC telah terlihat dalam formulasi dalam undang‐undang tersebut. Disamping secara tegas memberikan acuan penerimaan negara seperti gambaran diatas, undang‐undang pertamina juga memberikan celah yang besar untuk timbulnya pergeseran dari tujuan pemanfaatan mineral secara optimal bagi Negara.
18 Yang dimaksud dengan net operting income ialah hasil (revenue) dikurangi dengan biaya‐biaya (general cost), Lihat Penjelasan Pasal 14 Undang‐Undang Nomor. 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
25
Sistem pembebasan pajak, iuran, pungutan dan bea masuk yang diterapkan pada “Pasal 15 Undang‐Undang Pertamina”19 boleh jadi dianggap sangat memanjakan para kontraktor/perusahaan asing yang nantinya dapat memberi posisi berlebih bagi kontraktor asing dalam menegosiasikan kontrak PSC ini.
Disamping itu, dalam penjelasan Pasal 14 juga mengandung indikasi pemakluman adanya syarat‐syarat yang sangat memungkinkan untuk menghambat tujuan pengelolaan pertambangan bagi negara yaitu:
“Dari pembagian ini terlihat bahwa makin baik syarat‐syarat kontrak untuk fihak Indonesia makin besar bagian untuk perusahaan. Sewajarnyalah Perusahaan mendapatkan fee yang lebih besar dari usahanya yang lebih baik. Dengan pembagian ini Perusahaan harus dapat menutup biaya‐biaya pelaksanaan Production Sharing yang dikeluarkan sendiri.”20
Padahal, fungsi penjelasan tersebut adalah untuk menjelaskan salah satu persentase yang sebelumnya terlihat sangat mendukung optimalisasi penerimaan bagi negara yang berbunyi “enam puluh persen (60%) dari penerimaan bersih usaha (net operating income) atas hasil Kontrak Production Sharing sebelum dibagi antara Perusahaan dan Kontraktor”.
Seperti dikemukakan diatas bahwa kontrak pertambangan yang dilakukan oleh Pertamina dengan APEX (Bengara II) pada Blok Bengara II yang terletak pada cekungan Tarakan juga menggunakan sistem production sharing contract (PSC). Berdasar pada asumsi itulah apakah kontrak antara Pertamina dengan APEX (Bengara II) dapat dinilai telah mencerminkan
19 Bunyi Pasal 15 Undang‐Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina adalah “Penyetoran kepada Kas Negara sebagaimana tercantum pada ayat (1) sub a dan b pasal 14 Undang‐undang ini, membebaskan Perusahaan dan Kontraktor, serta merupakan pembayaran dari:
Pajak Perseroan termaksud dalam Ordonantie Pajak Perseroan (Staatsblad 1925 No. 319) sebagaimana telah diubah dan ditambah;
Iuran pasti, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi dan pembayaran‐pembayaran lainnya yang berhubungan dengan pemberian Kuasa Pertambangan termaksud dalam Undang‐undang No. 44 Prp. tahun 1960
Pungutan atas ekspor minjak dan gas bumi serta hasil‐hasil pemurnian dan pengolahan;
Bea masuk termaksud dalam Indische Tariefwet 1873 (Staatsblad 1878 No. 35) sebagaimana telah ditambah dan dirobah dan Pajak Penjualan atas impor termaksud dalam Undang‐undang No. 19 Drt. tahun 1951 (Lembaran‐Negara tahun 1951 No. 94, Tambahan Lembaran‐Negara no. 157) jo. Undang‐undang No. 2 tahun 1968 (Lembaran‐Negara tahun 1968 No. 14, Tambahan Lembaran‐Negara No. 2847) sebagaimana telah dirobah dan ditambah dari pada semua barang‐barang yang dipergunakan dalam operasi Perusahaan, yang pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah;
Iuran Pembangunan Daerah.
20 Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf (b) Undang‐Undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
26
sistem yang mendukung pada pencapaian tujuan optimalisasi pertambangan guna mecapai kesejahteraan rakyat atau hanya memberikan penghasilan yang cenderung berpihak pada kontraktor. Fakta hukum yang terdapat dalam kontrak antara Pertamina dan APEX (Bengara II) adalah sebagai berikut: a. Para pihak dalam perjanjian ini adalah Pertamina dengan APEX
(Bengara II) Ltd. b. Dasar hukum yang berlaku dalam kontrak ini adalah Undang‐
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Undang‐Undang Nomor. 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
c. Berdasarkan Pasal 5 Undang‐Undang Nomor. 8 Tahun 1971, Pertamina diberikan tugas oleh Pemerintah dan Negara untuk membangun dan melaksanakan pengusahaan Migas untuk sebesar‐besarnya bagi kemakmuran rakyat dan Negara serta menciptakan ketahanan nasional.
d. Berdasarkan Pasal 11 Undang‐Undang Nomor. 8 tahun 1971, Negara menyediakan seluruh wilayah hukum pertambangan di Indonesia menjadi kekuasaannya Pertamina sepanjang mengenai pertambangan migas
e. Berdasarkan Pasal 12 Undang‐Undang Nomor. 8 tahun 1971, Pertamina diberikan wewenang oleh Negara untuk bekerjasama dengan pihak lain dalam bentuk “Production Sharing Contract”
f. Jangka waktu berlakunya kontark ini adalah 30 Tahun terhitung sejak penandatangan yaitu tanggal 4 Desember 1997 hingga 3 Desember 2027.
g. Dalam kontrak ini, yang diaksud dengan Operasi Migas adalah kegiatan eksplorasi, pengembangan, ekstraksi, produksi, transportasi, pemasaran dan kegiatan lain yang bermanfaat bagi Blok Bengara‐II
h. Kontrak ini adalah Kontrak Production Sharing dimana menejemen Operasi berada ditangan pertamina Pertamina dan pelaksana Operasi Migas (operator) berada ditangan kontraktor yaitu APEX Ltd.
i. Sebagai operator, APEX bekerja dibawah pengawasan dan control Pertamina. Kontraktor wajib menyediakan dana, teknisi untuk operai/kegiatan ini dan menanggung resiko biaya kegiatan sampai dengan adanya hasil/timbulnya keuntungan dari cadangan minyak dari wilayah kontrak (contract area).
j. Selama 10 Tahun pertama, kontraktor berkewajiban melakukan Operasi Migas sesuai dengan Pasal 4.2, yang mana pembiayaan dan pembelanjaan Kontraktor selama masa ini ditentukan paling sedikit US $ 25 juta.
27
k. Kontraktor sebagai Operator Migas sembagaimana Pasal 5.2.15 huruf (c) dan Pasal 6.1.2 berhak memperoleh pengembalian biaya (Cost Recovery) jika status Blok sudah berproduksi secara komersiil. Namun sebaliknya jika kontraktor tidak menemukan Migas, segala investasi dan biaya operasi yang telah dikeluarkan kontraktor menjadi resiko dan tanggunan kontraktor sendiri.
l . Dalam Kontrak ini pembagian hasil produksi Migas adalah: (1) Untuk lapangan marginal (produksi lebih kecil dari 10.000 BOPD) dengan pembagian Pertamina 64.28% dan Kontraktor (APEX) 35.72%
(2) Untuk lapangan tertier (yang mempergunakan EOR) pembagian produksinya adalah: a. 0‐50.000 BOPD: Pertamina 64.3% dan Kontraktor (APEX)
35.7% b. 50.001‐150.000 BDOP: Pertamina 73.2% dan Kontraktor
(APEX) 26.8% c. Lebih dari 150.000 BOPD: Pertamina 82.15 dan Kontraktor
(APEX) 17.85% (3) Produksi minyak diluar poin b diatas pembagiannya Pertamina
73.2% dan Kontraktor 26.8% (4) Produksi Gas Alam, P rtamina 37.5% an Kontraktor 2.5% m. Yang dimaksud dengan Biaya Operasi adalah semua biaya yang diperlukan untuk melakukan Operasi Migas yaitu segala biaya diluar biaya investasi (Exhibit‐C)
e d 6
B. Analisis Formil
Secara umum, seperti yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, kontrak bagi hasil (PSC) tidak merupakan suatu jenis kontrak yang diatur secara khusus dalam KUHPerdata. Dalam hal perjanjian tersebut dibuat secara tertulis, bentuk tertulis tersebut untuk lebih mudah membuktikan tentang adanya dan isinya perjanjian.21 Penyebutan/pemilihan jenis kontrak ini seperti yang telah dikemukakan diatas tercantum dalam Undang‐Undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Minyak dan Gas Negara. Walaupun telah nyata terlihat bahwa penentuan jenis kontrak PSC merupakan mandat dari Undang‐Undang Pertamina, namun secara umum harus mengikuti aturan umum yang terdapat dalam KUH Perdata khususnya menyangkut masalah sarat sahnya perjanjian. Keberadaan kontrak tersebut tetap harus tunduk pada ketentuan‐ketentuan formil yang terdapat dalam KUH Perdata terutama ketentuan mengenai syarat
21 Mashudi dan Chidir Ali, Pengertian‐Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2001,hal 86.
28
sahnya perjanjian pada pasal 1320 KUHPerdata. Syarat yang terdapat dalam pasal 1320 inilah yang menjadi dasar pijakan untuk menganalisis formil dalam kontak/perjanjian ini.
Dalam pasal 1320 KUHPerdata, yang dimaksud dengan sayrat sahnya perjanjian adalah terpenuhinya unsur‐unsur berupa: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan para pihak, suatu persoalan tertentu, dan terakhir adalah suatu sebab yang tidak terlarang. Adanya pasal 1320 KUHPerdata merupaka alat ukur untuk menilai hubungan hukum yang menjadi dasar sahnya perjanjian antara Pertamina dan APEX (Bengara II) Ltd.
Setelah diteliti secara seksama bagian per bagian, maka dapat dikatakan bahwa syarat sah Kontrak Bagi Hasil antara Pertamina dengan Apex (Bengara II) Ltd., tersebut adalah telah memenuhi semua ketentuan. Hal tersebut antara lain:
(1) Unsur yang menyangkut kesepakan telah terpenuhi dengan adanya penandatangan oleh para pihak yaitu Pertamina yang diwakili oleh Faisal Abda’oe yang berposisi sebagai Presiden Direktur Pertamina dengan Richard L. McAdo sebagai Direktur APEX (Bengara II) pada tanggal 4 Desember 1997.
(2) Unsur Kecakapan Para Pihak juga telah terpenuhi yaitu Faisal Abda’oe sebagai wakil dari Pertamina memenuhi ketentuan yang berlaku yaitu bukan orang yang belum dewasa, tidak dibawah pengampuan dan sesuai dengan tugas dan wewenangnya di Pertamina yaitu sebagai orang yang berwenang menandatangani perjanjian. Begitu pula halnya dengan Richard L. McAdo, semua ketentuan tersebut juga terpenuhi.
(3) Unsur suatu persoalan tertentu juga telah terpenuhi yang mana persoalan yang menjadi perjanjian adalah persoalan produksi Pertambangan Minyak Bumi. Dalam pertambagan minyak bumi tersebut bentuknya adalah barang yang telah jelas jenisnya, dapat diperdagangkan dan dapat diperhitungkan. Secara terperinci, objek dalam perjanjian ini adalah “contract area” sebagaimana termuat dalam Lampiran A dan Lampiran B kontrak ini.
(4) Unsur sebab yang tidak terlarang juga terpenuhi karena perjanjian mengenai eksploitasi migas ini bukan merupakan perjanjian yang lahir dari suatu sebab yang dilarang baik dari sisi undang‐undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Mengenai masalah pembuktian adanya hal‐hal kecacadan dalam proses penyusunan kontra/perjanjian yang dapat dikategorikan sebagai adanya kekhilafan, pemaksaan dan/atau tipu muslihat, penelitian ini tidak
29
berfokus pada hal tersebut. Namun, secara sekilas berdasarkan pengamatan umum, dalam konteks penyusunan kontrak ini tidak atau setidak‐tidaknya belum diketemukan adanya hal‐hal yang mengindikasikan terjadinya kecacadan tersebut. Sehingga, berdasarkan asas pacta sunt servanda maka Pemerintah RI mau tidak mau, harus tunduk dan menghormati Kontrak Bagi Hasil tersebut.
C. Analisis Materiil Pada bagian ini, akan dibahas mengenai apakah materi yang menjadi objek perjanjian tersebut telah mengandung keseimbangan prestasi yang akan didapatkan oleh para pihak. Dasar asumsi dari analisis ini adalah pertanyaan apakah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dengan Apex (Bengara II) Ltd. tersebut telah memenuhi asas keadilan dan tidak merugikan salah satu pihak?
Secara konstitusional MIGAS adalah milik seluruh rakyat Indonesia yang kemudian diserahkan penguasaan dan pengelolaannya kepada Negara/Pemerintah RI. Selanjutnya, oleh Negara pengelolaan Migas tersebut diserahkan kepada Pertamina untuk melakukan peng‐eksploitasian. Sehingga dalam konteks ini penguasa sesungguhnya dari kekayaan Migas di Indonesia adalah Negara dengan tujuan untuk mensejahterakan seluruh rakyat. Pertamina hanyalah instrument Negara yang diberi tugas untuk mengelola guna menambang minyak demi mewujudkan tujuan Negara tersebut. Kehadiran Kontraktor asing seperti APEX dalam penambangan migas di Indonesia, khususnya di Blok Bengara‐II hanyalah sebagai operator dibawah supervise dari Pertamina. Sebagai operator, secara defakto hanya melakukan penambangan migas di Blok ini dengan ketentuan jika menemukan migas maka Pertamina akan memberikan kompensasi berupa bagi hasil atas migas yang diperoleh.
Dengan asumsi diatas, keberadaan APEX sebagai kontraktor asing hanyalah sebagai “penambang/tukang keduk”, mereka tidak memiliki kuasa atas wilayah penambangan, mereka hanyalah operator pertambangan yang bekerja untuk dan atas nama Pertamina. Hak yang mereka peroleh hanyalah upah kerja berupa bagi hasi apabila ditemukan migas. pertamina selaku wakil Negara sebagai pengelola dalam kontrak ini seharusnya menjadi pihak yang memperoleh keuntungan terbesar dalam hal pertambangan ini jika nantinya telah terjadi produksi secara komersiil. Hal ini dikarenakan jika dilihat sesuai dengan pembagian keuntungan secara sekilas akan terlihat PERTAMINA selalu mendapatkan variable keuntungan yang sangat besar, sedangkan operator terlihat hanya
30
mendapat bagi hasil yang jauh lebih kecil. Dalam Section 6.1.3 dan 6.2.2 secara gamblang ditegaskan mengenai persentase pembagian hasil pada perjanjian PSC ini yaitu: 1. Untuk lapangan marginal (produksi lebih kecil dari 10.000 BOPD)
dengan pembagian pertamina 64.28% dan Kontraktor (APEX) 35.72% 2. Untuk lapangan tertier (yang mempergunakan EOR) pembagian
produksinya adalah: (a) 0‐50.000 BOPD: Pertamina 64.3% dan Kontraktor (APEX) 35.7% (b) 50.001‐150.000 BDOP: Pertamina 73.2% dan Kontraktor (APEX)
26.8% (c) Lebih dari 150.000 BOPD: Pertamina 82.15 dan Kontraktor (APEX)
17.85% (d) Produksi minyak diluar poin b diatas pembagiannya Pertamina
73.2% dan Kontraktor 26.8% 3. Produksi Gas Alam, Pertamina 37.5% dan Kontraktor 62.5%
Namun dalam kenyataannya, jika mendasarkan pada klausula biaya operasi yang termasuk dalam cost recovery dapat menjadikan Pertamina (Negara) mengalami pengurangan biaya yang sangat besar sedangkan pihak operator tetap mendapat bagian sesuai dengan proporsi yang telah ditentukan. Sebab dalam kontrak ini, variable untuk proporsi yang dimiliki oleh operator merupakan variable tetap yang tidak dikurangi biaya‐biaya lain. Sedangkan variable yang dimiliki oleh Pertamina merupakan variable yang nantinya masih harus dikurangi dengan biaya‐biaya yang termasuk dalam cost recovery.
Gambaran ketidakberpihakan kontrak ini dalam mendapatkan keuntungan sebesar‐besarnya bagi Negara terlihat dari luasnya batasan yang terdapat dalam biaya operasi yang bisa dimintakan cost recovery tersebut. Menurut Section 1.2.14, Operating Costs adalah expenditures made and obligations incurred in carrying out Petroleum Operations hereunder determined in accordance with the Accounting Procedure attached hereto and made a part hereof as Exhibit “C”. Sedangkan Exhibit C berisi penjelasan lebih lanjut dari Kontrak Utama (PSC) tentang definisi Operating Cost dan bagaimana menghitung pengembalian (Recovery) atas operating cost (biaya operasi), serta apa saja yang termasuk biaya operasi.22
Jika diperinci, berdasarkan pengalaman narasumber yaitu Adnan Wirawan yang merupakan seorang advokat dengan pengalaman pada bidang kontrak migas, yang termasuk dalam operating cost adalah segala
22 Adnan Wirawan, 9 April 2010, Foccused Group Discussion, Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi FH UGM Yogyakarta.
31
biaya diluar biaya investasi (Exhibit‐C), antara lain biaya tenaga kerja, pembelian barang dan jasa, sewa kantor, biaya adminitrasi umum, sewa mobil, kepentingan pribadi pegawai pejabat, biaya kehumasan, biaya produksi, biaya pengeboran, biaya studi dan segala keperluan laninnya termasuk biaya diluarnegeri (expenses aboard).23
Keleluasaan yang diberikan kepada kontraktor (APEX) dalam kontrak ini sangatkan besar dalam hal memasukkan pengeluaran dalam kategori operating cost untuk kemudian di claim sebagai biaya operasi dalam cost recovery. Pada akhirnya, adanya biaya tersebut dapat mengurangi pendapatan yang akan diterima oleh Negara. Dengan adanya kalusula biaya operasi yang sangat luas tersebut, sebagian besar bahkan hampir secara keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh operator ditanggun oleh Pertamina. Padahal, biaya tersebut tidak termasuk secara langsung dalam ranah operasi migas—misalnya biaya kepentingan pribadi karyawan seperti berlibur, biaya cuti, biaya sopir pribadi hingga biaya untuk menjamu pejbat Negara, bahkan biaya untuk pengelolaan kantor pusat di luar negeri—sehingga merugikan pendapatan yang seharusnya diterima oleh Negara. Selama periode 2000‐2005, BPKP telah mengaudit cost recovery dari 152 KPS senilai Rp 122,684 triliun. Hasilnya terdapat temuan‐temuan pelanggaran yaitu:24
No Uraian Nilai (juta Rp) 1 Pajak Perseran (PPs) dan Pajak Bunga Deviden Roalti
(PBDR) 6.242.643
2 Investment Credit 2.476.859 3 Kelebihan Pembebanan Biaya Home Office 1.626.175 4 Pembebanan tunjangan pajak 860.240 5 Pembebanan gaji expatriate tanpa izin kerja 495.708 6 Pembebanan biaya tanpa approval BP Migas 470.641 7 Biaya Depresiasi Aset yang Belum Placed Into Service
(PIS) dan overlifting 462.933
8 Pengadaan barang jasa tidak sesuai ketentuan 409.901 9 Biaya yang tidak berkaitan dengan PSC 204.913 10 Pembebanan legal/consultant/audit fee 163.621
23 Adnan Wirawan, Ibid. 24 Hukumonline, BPKP:Ada Indikasi Penyimpangan Cost Recovery sebesar 18 Triliun, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16094/bpkp‐‐ada‐indikasi‐penyimpangan‐icost‐recoveryi‐sebesar‐18‐triliun, diakses tanggal 10 April 2010.
32
Disamping mengurangi atau bahkan merugikan pendapatan Negara, adanya system kontrak dengan model PSC seperti pada kontrak ini sangat berpotensi menimbulkan terjadinya praktik kejahatan terutama praktik korupsi. Hal ini dikarenakan setiap biaya‐biaya yang akan dimintakan pengembaliannya (di‐recover) harus meminta persetujuan pejabat yang terkait, dalam hal ini adalah pejabat Pertamina. Kekuasaan yang sangat besar yang dimiliki oleh pejabat Pertamina dalam menyetujui permintaan pengembalian yang bersumber dari biaya operasi dalam cost recovery yang definisinya sangat luas dan dalm jumlah sangat besar memungkinkan terjadinya penyelewengan oleh aparat tersebut. Apalagi besarnya kewenangan dan tanggungjawab yang dibebankan pada instansi tersebut tidak dibarengi dengan adanya pengawasan maksimal serta ukuran‐ukuran baku dalam penilaian perbuatan yang dilakukan oleh aparat tersebut apakah salah atau tidak. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Djoko Siswanto dalam Thesisnya yang berjudul ”What Should Indonesian Petroleum Policy Be In The Future” pada University of Dundee tahun 2002 yang dikutip oleh Granita R. Layungasri menyatakan bahwa ”while Indonesia never set of standard costs and controlable cost to control the budget of PSCs activities and accounting control towards the activities of the NOC and the Contractor until now. This negligence act conducted by Indonesia opens the opportunity of corruption inside Pertamina”.25
Contoh sederhananya adalah persetujuan terhadap biaya operasional yang termasuk didalamnya biaya berlibur, cuti menjamu pejabat Negara, bahkan biaya kantor pusat dari kontraktor yang berada di luar negeri dapat dikategorikan sebagai pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan operasi migas namun dibebankan sebagai operasi dan disetujui oleh pejabar tersebut. Tindak lanjut yang mungkin terjadi adalah adanya “permainan” dibalik persetujuan tersebut namun apakah persetujuan tersebut dapat dipersalahkan? Pertanyaan ini dalam logika awam dapat dijawab bahwa sangat merugikan dan patut untuk diselidiki dan dihukum. Namun dalam logika hukum, ketiadaan ukuran yang jelas dalam hal biaya operasi akan sangat mempersulit untuk menyatakan terjadinya pelanggaran oleh pejabat tersebut. Kecuali kalau para aparat penegak hukum dapat membuktikan
25 Granita R. Layungasri, 2010, Comparative Study of Indonesian PSC and Malaysian PSC: Challanges and Solution, Working Paper, University of Dundee‐Center for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy (CEPMLP), Scotland, page 13.
33
adanya timbal balik yang didap oleh pejabat tersebut atas keputusannya tersebut yang mana hal ini sangat sulit dilakukan apalagi dalam keadaan aparat penegak hukum yang tidak pada posisi baik bahkan cenderung korup.
Jadi secara keseluruhan, adanya klausula biaya operasi yang dapat dimintakan cost recovery dimana dibebankan pada variable penerimaan Pertamina (Negara) dengan system persetujuan dari pejabat Pertamina sangat membuka peluang untuk terjadinya pengurangan atau kerugian pendapatan ngeara serta munculnya perilaku korupsi.
D. Analisis Aktual
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kontrak PSC ini berlaku sejak ditandatangani yaitu pada tanggal 4 Desember 1997. Secara keseluruhan, durasi kontrak PSC ini adalah 30 tahun, namun terdapat ketentuan lain bahwa pada akhir tahun ke 6 kontraktor dapat meminta opsi tambahan 4 tahun lagi untuk masa eksplorasi. Jadi secara sederhana terdapat 2 termin waktu masa berlakunya kontra. Pertama, kontrak hanya berdurasi 10 tahun jika dalam waktu tersebut belum juga dapat menghasilkan minyak dengan jumlah yang menguntungkan (produksi secara komersiil) maka perjanjian secara otomatis akan berakhir. Kedua, jika sebelum jangka waktu 10 tahun tersebut telah dapat dilakukan produksi migas secara komersiil maka durasi kontra adalah 30 tahun.
Jika dikaitkan dengan saat dilakukannya analisis terhadap kontrak ini yaitu tahun 2010 maka kontrak PSC antara Pertamina dan APEX (Bengara II) telah berlangsung 12 tahun lebih. Dengan asumsi diatas, apabila kontrak ini masih berjalan maka seharusnya sudah dalam tahap produksi karena masa berlakunya 10 tahun untuk eksplorasi sudah berakhir. Namun pada kenyataannya saat ini, APEX (Bengara II) Ltd. sebagai pihak kontraktor ketika PSC ditandatangani kini telah berubah kerena terjadinya pengalihan hak dan kewajiban (dijual) kepada China Wisdom International bersama Continental Energy Corporation sebanyak 76% wilayah sedangkan 24% lagi dikuasakan pada Geo Petro Resources Company dengan status yang masih dalam tahap eksplorasi belum masa produksi.
Adanya status yang masih dalam tahap eksplorasi ini dapat dipertanyakan:
(1) Dari sisi kontrak, sesuai dengan masa berlakunya kontrak yang tercantum dalam section II maka seharusnya kontrak ini sudah tidak berlaku lagi, karena telah melewati batas maksimum untuk
34
disebut dalam masa eksplorasi yaitu 10 tahun yaitu pada 3 Desember 2007.
(2) Patut untuk diselidiki lebih lanjut perihal status masih dalam tahap eksplorasi yang ada pada saat ini. Sebab secara geografis blok Bengara II berada pada Cekungan Tarakan dimana pada cekungan ini termasuk dalam daerah yang telah berproduksi sebanyak 320 juta barel minyak dan 96 milyar kaki kubik gas alam. Artinya dengan kondisi seperti itu, potensi migas yang terdapat dalam Blok Bengara II seluas 96 hektar tersebut sangat besar, namun mengapa hingga saat ini belum berproduksi.
(3) Patut pula untuk dilakukan audit secara seksama perihal klausula pada Section IV perihal pemenuhan tindakan‐tindakan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan tahap‐tahap eksplorasi dan total biaya sebesar US $ 25 juta yang menjadi kewajiban dari kontrakor pada Blok Bengara II ini.
Berdasarkan pada klausula bahwa pada tahap eksplorasi, semua beban menyangkut operasional menjadi tanggung jawab kontraktor, ada yang berasumsi bahwa Negara belum dirugikan baik secara ekonomis maupun strategis. Asumsi mengenai tidak ada kerugian Negara baik secara strategis maupun ekonomis dalam kasus Bengara II ini harus dinyatakan ditolak. Sebab, seperti telah dikemukakan diatas, Blok Bengara II berada pada Blok migas pada Cekungan Tarakan yang telah berproduksi sehingga potensi untuk terdapat migas sangat besar.
Untuk itu patut diduga bahwa adanya kerugian ekonomis akibat belum beroperasinya Blok ini, apalagi saat ini masih berada dalam tahap eksplorasi maka telah bertentangan dengan klausula kontrak. Disamping sisi ekonomis, dengan belum beroperasinya Blok ini dalam tahap produksi dapat diasumsikan terjadi kerugian Negara dalam bidang ekologi dan lingkungan. Dengan adanya tindakan pertambangan, dapat diasumsikan telah terjadi perubahan kondisi awal terhadap lahan yang ditempati atau bahkan dapat terjadi kerusakan lingkungan pada lahan tersebut.
35
BAB IV PENUTUP
Secara prinsip, jelas bahwa sumberdaya alam migas memang normatifnya harus membawa kemanfaatan berupa kesejahteraan rakyat. Amanat konstitusi UUD’45 Pasal 33 ayat (3) juga telah menegaskan demikian. Melalui komitmen kontrak sosial, penundukan warga kepada Negara semestinya membawa konsekuensi kewajiban Negara untuk mengolah dan mengelola migas guna memenuhi kepentingan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, dapat dipahami manakala kuasa pertambangan (mineral interest/right) selayaknya tidak boleh beralih selain daripada Negara. Kecuali, kepada pemerintah dimana kemudian dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP‐Migas). Pengelolaan migas terdiri dari 2 kegiatan pengusahaan, yaitu: pertama, kegiatan usaha hulu yang mencakup eksplorasi dan ekspolitasi. Dan kedua, kegiatan usaha hilir yang meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.26 Kegiatan usaha hulu tunduk pada rezim kontrak, sedangkan kegiatan usaha hilir menggunakan rezim perijinan. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama dalam bentuk kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, yang diharapkan lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat.27 Oleh sebab itu, dalam posisinya yang sangat strategis, maka kontrak kerja sama sedikit banyak merupakan permulaan bagi jaminan bahwa Negara harus untung dalam mengelola sumberdaya migas. Bukan sebaliknya, merugi. Namun demikian, agaknya fenomena yang terjadi justru sebaliknya. Kontrak Kerja Sama dalam salah satu bentuknya, yaitu Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract‐PSC), disinyalir kontra‐produktif. Melalui cost recovery sebagai salah satu substansi penting kesepakatan dalam kontrak, menyebabkan potensi keuntungan negara menguap. Hasil audit BPKP selama periode 2000‐2005 sedikit banyak dapat menggambarkan fenomena tersebut. BPKP telah mengaudit cost recovery dari 152 Kontrak Production Sharing (KPS) senilai Rp 122,684 triliun. Dari jumlah tersebut setelah melalui proses audit yang cukup ketat ternyata ditemukan adanya indikasi penyimpangan pelaksanaan cost recovery dari 43 KPS yang nilainya mencapai Rp. 18,067
26 UU Migas 2001 Pasal 5.
27 Ibid. Pasal 1 Angka 19.
36
triliun.28 Mungkin pada kasus PSC antara Pertamina dengan APEX (Bengara‐II), hingga saat ini masih dalam status tahap eksplorasi sehingga belum ada potensi kerugian Negara oleh karena belum ada proses cost recovery. Berbeda apabila telah sampai pada tahap eksploitasi. Konsekuensi dari tahap eksploitasi yang telah menghasilkan produksi migas komersial, maka pihak pemerintah (dalam hal ini Pertamina) harus bertanggungjawab dan mempunyai kewajiban untuk membayar cost recovery yang telah dikeluarkan oleh kontraktor. Sebagaimana pengalaman‐pengalaman yang terjadi dalam PSC sebelumnya yang dibuat antara Pertamina dengan kontraktor asing, yang terjadi sesungguhnya adalah timbulnya kerugian (potensi) keuangan negara. Seperti banyak disoroti dalam berbagai pandangan para tokoh di Indonesia, bahwa cost recovery merupakan item yang abstrak dalam kontrak yang dapat dimanupulasi sedemikian rupa oleh pihak kontraktor. Karena tidak jarang, di dalam praktek lingkup pembiayaan yang diinginkan oleh kontraktor sebagai beban cost recovery Pertamina antara lain termasuk biaya cuti untuk pulang‐pergi keluar negeri bagi pegawai asing, biaya liburan, biaya rekreasi, biaya berobat keluar negeri, biaya untuk sopir pribadi atau pembantu rumah tangga, dan biaya untuk mentraktir pejabat negara.29 Temuan BPK atas pelaksanaan kontrak PSC terutama menyangkut nilai cost recoverable yang terdiri dari insentif dan cost recovery umumnya terjadi karena:30
(1) adanya pasal‐pasal terbuka yang mencerminkan adanya aturan yang sangat longgar mengenai biaya‐biaya yang dapat diperhitungkan dalam cost recovery, termasuk deductions serta exemptions;
(2) adanya pasal tertentu yang terkesan “saling bertentangan” satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dari pasal dalam kontrak PSC yang mengatur tentang tidak dapat dibebankannya biaya bunga ke dalam biaya operasional, namun dalam lampiran kontrak PSC (yang merupakan
28 Hingga 31 Desember 2006 lalu, bersama BP Migas dan KPS yang bersangkutan, BPKP telah menindaklanjuti temuan tersebut. Yang berhasil diselesaikan nilainya mencapai Rp 8,695 triliun (48%) sehingga tersisa Rp 9,372 triliun (52 %). Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16094/bpkp‐‐ada‐indikasi‐penyimpangan‐icost‐recoveryi‐sebesar‐18‐triliun diakses pada tanggal 10 April 2010.
29 Wirawan Adnan , S.H, Law Firm Sholeh, Adnan & Associates, Advocates and Counselour at Law, dalam FGD 9 April 2010, PuKAT Korupsi FH‐UGM, Yogyakarta.
30 Anonim. 2007, “Cost Recovery: daya Tarik Investasi atau Beban bagi Negara,” Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, 11 Juni 2007.
37
bagian tidak terpisahkan dari kontrak PSC) membolehkan pembebanan biaya bunga ke dalam biaya operasional dalam rangka cost recovery.
Oleh sebab itu, guna menghindari penggelembungan cost recovery secara terus‐menerus, ke depan perlu diperjelas mengenai bagaiamana kontrak kerjasama antara pemerintah (BP‐Migas) dengan kontraktor agar lebih mengkonkretkan batasan‐batasan cost recovery. Melalui gagasan, dengan asumsi bahwa prosentase 70% untuk BP‐Migas seharusnya dapat direalisasikan dengan utuh tanpa ada potongan cost recovery ataupun biaya lainnya, sesungguhnya negara sudah dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Pada konteks ini, kebijakan pemerintah Pakistan mungkin dapat dijadikan role model. Dalam pola Offshore Production Sharing Agreement yang dibuat antara Government Holdings Pakistans dengan Kontraktor, dalam artikel 2 PSC tersebut disebutkan secara rigid bahwa kontraktor berkewajiban membayar semua cost recovery dan tidak menerima ganti rugi atas jasanya atau pembayaran atas segala biaya operasional minyak dan gas bumi.31 PSC antara Pertamina dengan APEX (Bengara‐II) dibuat berdasarkan UU No. 44 Prp Tahun 1960 dan UU No 8 Tahun 1971. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengubah PSC menjadi Kontraktor Kontrak kerjasama (KKKS). Dengan berlakunya UU Migas 2001 ini serta‐merta telah merubah pengelolaan dan pengawasan kontrak, yang semula oleh Pertamina sebagai wakil negara, atas ketentuan peraturan ini BP‐MIGAS menjadi pengelola dan pengawas dalam pelaksanaan kontrak pengusahaan minyak dan gas bumi. Dengan diundangkannya UU Migas 2001 selanjutnya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 22 Tahun 2008 tentang Jenis‐jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kerjasama. Berikut adalah negative list biaya yang tidak boleh dikembalikan pada kontraktor kontrak kerjasama (cost recovery):
1. Pembebanan biaya yang berkaitan dengan kepentingan pribadi pekerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama antara lain personal income tax, rugi penjualan rumah dan mobil pribadi.
2. Pemberian insentif kepada karyawan Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang berupa Long Term Incentive Plan (LTIP) atau insentif lain yang sejenis.
3. Penggunaan tenaga kerja asing/expatriate tanpa melalui prosedur Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan tidak memiliki Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA) bidang Migas dari BP‐MIGAS dan/atau Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Burni.
31 Salim HS. 2008, “Hukum Pertambangan di Indonesia,” PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta hlm. 351.
38
4. Pembebanan biaya konsultan hukum yang tidak terkait dengan operasi Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
5. Pembebanan biaya konsultan pajak (tax consultant fee). 6. Pembebanan biaya pemasaran minyak dan gas bumi bagian
Kontraktor Kontrak Kerja Sarna dan biaya yang timbul akibat kesalahan yang disengaja, terkait dengan pemasaran minyak dan gas bumi.
7. Pembebanan biaya Public Relation tanpa batasan, baik jenis maupun jumlahnya tanpa disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat sebagaimana diatur dalam ketentuan perpajakan, antara lain: biaya golf, bowling, credit card, member fee, family gathering, farewell party, sumbangan ke yayasan pendidikan Kontraktor Kontrak Kerja Sama, biaya ulang tahun Kontraktor Kontrak Kerja Sama, sumbangan kepada persatuan istri karyawan, exercise, nutrition and fitnes.
8. Pembebanan dana pengembangan Iingkungan dan masyarakat setempat (Community Development) pada masa Eksploitasi.
9. Pengelolaan dan Penyimpanan dana cadangan untuk abandonment dan site restoration pada rekening Kontraktor Kontrak Kerja Sama
10. Pembebanan semua jenis technical training untuk tenaga kerja asing/expatriate. Pencadangan biaya abandonment dan site restoration wajib disimpan pada Bank Pemerintah dalam bentuk rekening bersama antara Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
11. Pembebanan biaya yang terkait dengan merger dan akuisisi. 12. Pembebanan biaya bunga atas pinjaman untuk kegiatan Petroleum Operation.
13. Pembebanan Pajak Pengl1asilan pihak ketiga. 14. Pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang melampaui
nilai persetujuan Otorisasi Pembelanjaan Finansial (Authorization Financial Expenditure/AFE) di atas 10% (sepuluh persen) dari nilai AFE dan tanpa justifikasi yang jelas.
15. Surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan pembelian.
16. Pembangunan dan pengoperasian projek/fasilitas yang telah Place into Service (PIS) dan tidak dapat beroperasi sesuai dengan umur ekonomis akibat kela/aian Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
17. Transaksi‐transaksi dengan pihak‐pihak yang menjadi afiliasinya (affiliated parties) yang merugikan Pemerintah, tanpa tender atau bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan perundang‐undangan di bidang Perpajakan.
Dengan demikian, ke depan berarti potensi penyimpangan cost recovery
39
seharusnya peluangnya menjadi semakin kecil. Kontrak Kerja Sama kegiatan hulu migas selanjutnya berarti juga harus menyertakan batasan‐batasan pengeluaran opreasional yang tidak boleh dimintakan ganti kepada pemerintah (BP‐Migas). Sejalan dengan hal ini maka tinggal kemauan politik pemerintah untuk menjadi lebih transparan dan akuntabel di dalam mekanisme penyetujuan (endorsement) klaim penggantian biaya operasional yang diklaim oleh pihak kontraktor. Kalaulah memang penguasaan sumberdaya alam migas ditujukan abgi sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Bukan sebaliknya justru berkolusi memanipulasinya untuk kepentingan segelitir pengemban amanat kuasa pertambangan.
40
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Kholid Syeirazi. M, 2009, Di Bawah Bendera Asing, LPES, Jakarta.
Mashudi dan Chidir Ali, 2001, Pengertian‐Pengertian Elementer Hukum
Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung.
Simamora Rudi M.,Hukum Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta
Salim HS. 2008, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
Thesis
Totok Dwi Diantoro. 2010, Diskursivitas dan Kontestasi Kepentingan (Publik) dalam Kebijakan Kehutanan Lokal: studi kasus sengketa pengelolaan sumberdaya hutan Kabupaten Wonosobo pasca desentralisasi, Tesis Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2009.
Peraturan Perundang‐undangan
UU No. 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan
UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Undang‐Undang Nomor. 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara.
Undang‐undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Makalah
Adnan Wirawan, 9 April 2010, Foccused Group Discussion, Pusat Kajian Anti
(PuKAT) Korupsi FH UGM Yogyakarta.
Anonim. 2007, Cost Recovery: daya Tarik Investasi atau Beban bagi Negara,
Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, 11 Juni 2007.
Granita R. Layungasri, 2010, Comparative Study of Indonesian PSC and Malaysian
PSC: Challanges and Solution, Working Paper, University of Dundee‐Center
for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy (CEPMLP), Scotland.
Partowidagdo Widjajono, makalah tentang Kontrak Kerja Sama, Institusi dan iklim
investasi, Disampaikan pada media briefing Indonesia Energy Watch
Widyawan, Upstream Oil and Gas Cooperation Contract in Indonesia Article,
Disampaikan pada Asean Law Student Association oil and gas week di
Universitas Indonesia, Jakarta.
Internet Hukumonline, BPKP:Ada Indikasi Penyimpangan Cost Recovery sebesar 18
Triliun, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16094/bpkp‐‐ada‐
indikasi‐penyimpangan‐icost‐recovery‐sebesar‐18‐triliun, diakses tanggal
10 April 2010.
LAMPIRAN
PRODUCTION SHARING CONTRACT
BENGARA II—DATED DECEMBER 4, 1997
PRODUCTION SHARING CONTRACT
between
PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA (PERTAMINA) and
APEX (BENGARA-II) LTD.
Contract Area: BENGARA-II BLOCK
INDEX
Section Title
I
SCOPE AND DEFINITIONS 3
II TERM
5
III EXCLUSION OF AREAS
5
IV WORK PROGRAM AND EXPENDITURES
6
V RIGHTS AND OBLIGATIONS OF THE PARTIES
7
VI RECOVERY OF OPERATING COSTS AND HANDLING OF PRODUCTION
10
VII VALUATION OF CRUDE OIL
13
VIII COMPENSATION, ASSISTANCE & PRODUCTION BONUS
14
IX PAYMENTS
15
X TITLE TO EQUIPMENT
15
XI CONSULTATION AND ARBITRATION
15
XII EMPLOYMENT & TRA1NING OF INDONESIAN PERSONNEL
16
XIII TERMINATION
16
XIV BOOKS, ACCOUNTS, AND AUDITS
16
XV OTHER PROVISIONS
17
XVI PARTICIPATION
18
XVII
EXHIBITS EFFECTIVENESS
1 9
EXHIBIT “A” DESCRIPTION OF CONTRACT AREA
35
EXHIBIT “B” MAP OF CONTRACT AREA
35
EXHIBIT “C” ACCOUNTING PROCEDURE
35
EXHIBIT “D” MEMORANDUM ON PARTICIPATION 35
PRODUCTION SHARING CONTRACT
between
PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA (PERTAMINA) and
APEX (BENGARA-II) LTD.
THIS CONTRACT, made and entered on this 4th day of December 1997, by and between PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA, a State Enterprise, established on the basis of Law No. 8/1971 hereinafter called “PERTAMINA”, party of the first part, and APEX (BENGARA-II) LTD., a corporation organized and existing under the laws of the British Virgin Islands, hereinafter called “CONTRACTOR”, party of the second part, both hereinafter sometimes referred to either individually as the “Party” or collectively as the “Parties”.
WITNESSETH:
WHEREAS, all mineral oil and gas existing within the statutory mining territory of Indonesia, are national riches
controlled by the State; and WHEREAS, PERTAMINA has an exclusive “Authority to Mine” for mineral oil and gas in and throughout the area
described in Exhibit “A” and outlined on the map which is Exhibit “B”, both attached hereto and made part hereof, which area is hereinafter referred to as the “Contract Area”; and
WHEREAS, PERTAMINA wishes to promote the development of the Contract Area and CONTRACTOR desires to
join and assist PERTAMINA in accelerating the exploration mad development of the potential resources within the Contract Area; and
WHEREAS, CONTRACTOR has the financial ability, technical competence and professional skills necessary to carry
out the Petroleum Operations hereinafter described; and WHEREAS, in accordance with Law No. 44 Prp/1960 and Law No. 8/1971 cooperative agreements in the form of a
Production Sharing Contract may be entered into in the sector of oil and gas between PERTAMINA and foreign capital investors.
NOW, THEREFORE, in consideration of the mutual covenants herein contained, it is hereby agreed as follows:
SECTION 1
SCOPE AND DEFINITIONS
1.1 SCOPE
This Contract is a Production Sharing Contract. In accordance with the provisions herein contained, PERTAMINA shall have and be responsible for the management of the operations contemplated hereunder. CONTRACTOR shall be responsible to PERTAMINA for the execution of such operations in accordance with the provisions of this Contract, and is hereby appointed and constituted the exclusive company to conduct Petroleum Operations.
CONTRACTOR shall provide all the financial and technical assistance required for such operations. CONTRACTOR
shall carry the risk of Operating Costs required in carrying out operations and shall therefore have an economic interest in the development of the Petroleum deposits in the Contract Area. Such costs shall be included in Operating Costs recoverable as provided in Section VI.
Except as may otherwise be provided in this Contract, in the Accounting Procedure attached as Exhibit “C” hereto or
by written agreement of PERTAMINA, CONTRACTOR will not incur interest expenses to finance its operations hereunder. During the term of this Contract the total production achieved in the conduct of such operations shall be divided in
accordance with the provisions of Section VI hereof. 1.2 DEFINITIONS In the text of this Contract, the words and terms defined in Article 1 of Law No. 44 Prp/1960 shall have
the same meaning in accordance with such definitions.
1.2.1 Affiliated Company or “Affiliate” means a company or other entity that controls, or is controlled by a Party to
this Contract, or a company or other entity which controls or is controlled by a company or other entity which controls a Party to this Contract, it being understood that control shall mean ownership by one company or entity of at least fifty percent (50%) of (a) the voting stock, if the other company is a corporation issuing stock, or (b) the controlling rights or interests, if the other entity is not a corporation.
1.2.2 Barrel means a quantity or unit of oil equal to forty-two (42) United States gallons at the temperature of sixty
(60) degrees Fahrenheit. 1.2.3 Barrel of Oil Equivalent (BOE) means six thousand (6,000) standard cubic feet of Natural Gas based on the
gas having a calorific value of one thousand (1,000) British Thermal Unit per cubic foot (BTU/ft3). 1.2.4 Budget of Operating Costs means cost estimates of all items included in the Work Program. 1.2.5 Calendar Year or Year, means a period of twelve months commencing with January 1 and ending on the
following December 31, according to the Gregorian Calendar. 1.2.6 Contract Area means the Area within the statutory mining territory of Indonesia covered by the “Authority to
Mine” which is the subject of this Contract, which Contract Area is described and outlined in Exhibits “A” and “B” attached hereto and made a part hereof.
1.2.7 Contract Year means a period of twelve (12) consecutive months according to the Gregorian Calendar counted
from the Effective Date of this Contract or from an anniversary of such Effective Date. 1.2.8 Crude Oil means crude mineral oil, asphalt, ozokerite and all kinds of hydrocarbons and bitumens, both in
solid and in liquid form, in their natural state or obtained from Natural Gas by condensation or extraction. 1.2.9 Effective Date means the date of the approval of” this Contract by the Government of the Republic of
Indonesia in accordance with the provisions of the applicable law. 1.2.10 Force Majeure means delays or defaults in performance under this Contract caused by circumstances beyond
the control and without the fault or negligence of PERTAMINA and/or CONTRACTOR that may affect economically or otherwise the continuing of operations under this Contract, including but not restricted to acts of God or the public enemy, perils of navigation, fire, hostilities, war (declared or undeclared), blockade, labor disturbances, strikes, riots, insurrections, civil commotion, quarantine restrictions, epidemics, storms, earthquakes, or accidents.
1.2.11 Foreign Exchange means currency other than that of the Republic of Indonesia but acceptable to
PERTAMINA and to the Government of the Republic of Indonesia and to CONTRACTOR. 1.2.12 Indonesian Income Tax Law means the current Tax Code including all the appropriate regulations. 1.2.13 Natural Gas means all associated and/or non-associated gaseous hydrocarbons produced from wells, including
wet mineral gas, dry mineral gas, casinghead gas and residue gas remaining after the extraction of liquid hydrocarbons from wet gas.
1.2.14 Operating Costs means expenditures made and obligations incurred in carrying out Petroleum Operations
hereunder determined in accordance with the Accounting Procedure attached hereto and made a part hereof as Exhibit “C”.
1.2.15 Petroleum means mineral oil and gas, hereinafter called Crude Oil and Natural Gas as defined in Law No. 44
Prp/1960. 1.2.16 Petroleum Operations means all exploration, development, extraction, producing, transportation, marketing,
abandonment and site restoration operations authorized or contemplated under this Contract.
1.2.17 Point of Export means the outlet flange of the loading arm after final sales meter at the export terminal, or some other point(s) mutually agreed by the Parties.
1.2.18 Work Program means a statement itemizing the Petroleum Operations to be carried out in the Contract Area as
set forth in Section IV. SECTION II
TERM
2.1 The term of this Contract shall be thirty (30) years as from the Effective Date. 2.2 At the end of the initial six (6) years as from the Effective Date CONTRACTOR shall have the option to request
PERTAMINA for a four (4) years extension, the approval of such request shall not be unreasonably withheld. 2.3 If at the end of the initial six (6) years as from the Effective Date, or the extension thereof, no Petroleum is discovered
in commercial quantities in the Contract Area, then without prejudice to Section XII1 this Contract shall automatically terminate in its entirety.
2.4 If Petroleum is discovered in any portion of the Contract Area within the initial six (6) years period, or the extension
thereof, which in the judgment of PERTAMINA and CONTRACTOR can be produced commercially, based on consideration of all pertinent operating financial data, then as to that particular portion of the Contract Area development will commence. In other portions of the Contract Area exploration may continue concurrently without prejudice to the provisions of Section III regarding the exclusion of areas.
SECTION III
EXCLUSION OF AREAS
3.1 On or before the end of the initial three (3) years’ period as from the Effective Date, CONTRACTOR shall relinquish
twenty five percent (25%) of the original Contract Area. 3.2 On or before the end of the sixth (6th) Contract Year, CONTRACTOR shall relinquish an additional area equal to
twenty five percent (25%) of the original Contract Area. 3.3 On or before the end of the tenth (10th) Contract Year, CONTRACTOR shall relinquish an additional area so that the
area retained thereafter shall not be in excess of nine hundred seventy (970) square kilometers, or twenty percent (20%) of the original total Contract Area, whichever is less.
3.4 CONTRACTOR’s obligation to relinquish parts of the original Contract Area under the preceding provisions shall not
apply to any part of the Contract Area corresponding to the surface area of any field in which Petroleum has been discovered.
3.5 With regard to the remaining portion of the Contract Area left after the mandatory relinquishments as set forth in
clauses 3.1, 3.2 and 3.3 above, the Parties shall maintain a reasonable exploration effort. In respect of any part of such remaining unexplored portion of the Contract Area, for which CONTRACTOR does not during two (2) consecutive years submit an exploration program, PERTAMINA may by written notice to CONTRACTOR require them either to submit an exploration program or to relinquish such part of the Contract Area.
3.6 Upon thirty (30) days written notice to PERTAMINA prior to the end of the second Contract Year and prior to the end
of any succeeding Contract Year, CONTRACTOR shall have the right to relinquish any portion of the Area, and such portion shall then be credited against that portion of the Contract Area which CONTRACTOR is next required to relinquish under the provisions of clauses 3.1, 3.2 and 3.3 hereof.
3.7 CONTRACTOR shall advise PERTAMINA in advance of the date of relinquishment of the portion to be relinquished.
For the purpose of such relinquishments, CONTRACTOR mid PERTAMINA shall consult with each other regarding the shape and size of each individual portion of the areas being relinquished; provided, however, that so far as reasonably possible, such portions shall each be of sufficient size and convenient shape to enable Petroleum Operations to be conducted thereon.
SECTION IV
WORK PROGRAM AND EXPENDITURES
4.1 CONTRACTOR shall commence Petroleum Operations hereunder not later than six (6) months after the Effective Date.
4.2 The amount to be spent and the Work Program to be carried out by the CONTRACTOR in conducting exploration
operations pursuant to the terms of this Contract during the first six (6) Contract Years and in conducting Petroleum Operations pursuant to the terms of this Contract during the next four (4) Contract Years following the Effective Date shall in the aggregate be not less than hereafter specified for each of these ten (10) Contract Years as follows:
Contract Year
Program Amount
First G&G Studies
Five Hundred Thousand United States Dollars (US$500,000)
Second Seismic Reprocessing
Five Hundred Thousand United States Dollars (US$500,000)
Third Drill Two Wells
Six Million United States Dollars (US$6,000,000)
Fourth G&G Studies
One Million United States Dollars (US$1,000,000)
Fifth Drill One Well
Five Million United States Dollars (US$5,000,000)
Sixth Shoot 300Mn Seismic
Three Million Seven Hundred Fifty Thousand United States Dollars (US$3,750,000)
Seventh Drill One Well
Five Million Two Hundred Fifty Thousand United States Dollars (US$5,250,000)
Eighth Evaluate Well Results
One Million United States Dollars (US$1,000,000)
Ninth G&G Studies
One Million United States Dollars (US$1,000,000)
Tenth G&G Studies
One Million United States Dollars (US$1,000,000)
Total
Twenty Five Million United States Dollars (US$25,000,000)
CONTRACTOR shall carry out Petroleum Operations during the first three (3) Contract Years, during which period
CONTRACTOR shall spend at least Seven Million United States Dollars (US$ 7,000,000), called the firm commitment. If during any Contract Year CONTRACTOR should spend less than the amount of money required to be so expended,
an amount equal to such under expenditure may, with PERTAMINA’s consent, be carried forward and added to the amount to be expended in the following Contract Year without prejudice to CONTRACTOR’s rights hereunder. If during any Contract Year CONTRACTOR should expend more than the amount of money required to be so expended, the excess may be subtracted from the amount of money to be so expended by CONTRACTOR during the succeeding Contract Years.
4.3 At least three (3) months prior to the beginning of each Calendar Year or at such other time as may otherwise be
mutually agreed to by the Parties, CONTRACTOR shall prepare and submit for approval to PERTAMINA a Work Program and Budget of Operating Costs for the Contract Area setting forth the Petroleum Operations which CONTRACTOR proposes to carry out during the ensuing Calendar Year.
4.4 Should PERTAMINA wish to propose a revision as to certain specific features of said Work Program and Budget of
Operating Costs, it shall within thirty (30) days after receipt thereof so notify CONTRACTOR specifying in reasonable detail its reasons therefor. Promptly thereafter, the Parties will meet and endeavor to agree on the revisions proposed by PERTAMINA. In any event, any portion of the Work Program as to which PERTAMINA has not proposed a revision shall insofar as possible be carried out as prescribed therein.
4.5 It is recognized by the Parties that the details of a Work Program may require changes in the light of existing
circumstances and nothing herein contained shall limit the right of CONTRACTOR to make such changes, provided they do not change the general objective of the Work Program, nor increase the expenditures in the approved budget of Operating Costs.
4.6 It is further recognized that in the event of emergency or extraordinary circumstances requiring immediate action,
either Party may take all actions it deems proper or advisable to protect their interests and those of their respective employees and any cost so incurred shall be included in the Operating Costs.
4.7 PERTAMINA agrees that the approval of a proposed Work Program and Budget of Operating Costs will not be
unreasonably withheld. SECTION V
RIGHTS AND OBLIGATIONS OF THE PARTIES
5.1 Subject to the provisions of clauses 5.2.6 and 5.2.7, 5.2 CONTRACTOR shall:
5.2.1 advance all necessary funds and purchase or lease all equipment, supplies and materials required to be purchased or leased with Foreign Exchange pursuant to the Work Program;
5.2.2 furnish all technical aid, including foreign personnel, required for the performance of the Work Program,
payment whereof requires Foreign Exchange; 5.2.3 furnish such other funds for the performance of the Work Program that requires payment in Foreign
Exchange, including payment to foreign third parties who perform services as a CONTRACTOR; 5.2.4 be responsible for the preparation and execution of the Work Program, which shall be implemented in a
workmanlike manner and by appropriate scientific methods; 5.2.5 (a) conduct an environmental baseline assessment at the beginning of CONTRACTOR’s activities;
(b) take the necessary precautions for protection of ecological systems, navigation and fishing and shall prevent extensive pollution of the area, sea or rivers and other as the result of operations undertaken under the Work Program;
(c) after the Contract expiration or termination, or relinquishment of part of the Contract Area, or
abandonment of any field, remove from the area all equipment and installations brought to the area by CONTRACTOR in a manner acceptable to PERTAMINA, and perform all necessary site restoration activities in relation to CONTRACTOR’s Petroleum Operations in accordance with the applicable Government regulations to prevent hazards to human life and property of others or environment to the extent caused by or arising from CONTRACTOR’s Petroleum Operations; provided however, if PERTAMINA or any third party designated by PERTAMINA, takes over any area or field prior to its abandonment, CONTRACTOR, shall be released from its obligation to remove the equipment and installations and perform the necessary site restoration activities in respect of the field in such area. In such event, all the accumulated funds reserved for the removal and restoration operations shall be transferred to PERTAMINA;
(d) include in the annual Budget of Operating Costs, estimates of the anticipated abandonment and site
restoration costs for each exploratory well in the Work Program. All expenditures incurred by the CONTRACTOR in the abandonment of all such wells and restoration of their drillsites shall be treated as Operating Costs in accordance with the Accounting Procedure attached hereto as Exhibit “C”;
(e) include with requisite plan of development for each commercial discovery, an abandonment and site
restoration program together with a funding procedure for such program. The amount of monies estimated to be required for this program shall be determined each year in conjunction with the Budget of Operating Costs for the plan of development and all such estimates shall be treated as Operating Costs in accordance with the Accounting Procedure attached hereto as Exhibit “C”;
5.2.6 have the right to sell, assign, transfer, convey or otherwise dispose of all, or any part of, its rights and interests
under this Contract to any Affiliated Company without the prior written consent of PERTAMINA, provided that PERTAMINA shall be notified in writing of the same beforehand and further provided that any assignee whom such rights and interests are assigned to under any clause of this Contract shall not hold more that one Technical Assistance Contract or Production Sharing Contract at any given time;
5.2.7 have the right to sell, assign, transfer, convey or otherwise dispose of all, or any part of, its rights and interests
under this Contract to parties other than Affiliated Companies with the prior written consent of PERTAMINA and the Government of the Republic of Indonesia, which consent shall not be unreasonably withheld; also provided that any assignee whom such rights and interests are assigned to under any clause of this Contract shall not hold more that one Technical Assistance Contract or Production Sharing Contract at any given time; except during the first three (3) Contract Years CONTRACTOR shall hold a more dominant participating interest than any other participant and shall hold operatorship of this Contract;
5.2.8 retain control of all leased property paid for with Foreign Exchange and caused to be brought into Indonesia,
and be entitled to freely remove same therefrom; 5.2.9 have the right of ingress to and egress from the Contract Area and to and from facilities wherever located at
all times; 5.2.10 have the right to use and have access to, and PERTAMINA shall furnish all geological, geophysical, drilling,
well, production and other information held by PERTAMINA or by any other governmental agency, relating to the Contract Area including well location maps;
5.2.11 submit to PERTAMINA copies of all such original geological, geophysical, drilling, well, production, and
other data and reports as it may compile during the term hereof; 5.2.12 prepare and carry out plans and programs for industrial training and education of Indonesians for all job
classifications with respect to operations contemplated hereunder; 5.2.13 have the right during the term hereof to freely lift, dispose of and export its share of Crude Oil, and retain
abroad the proceeds obtained therefrom; 5.2.14 appoint an authorized representative for Indonesia with respect to this Contract, who shall have an office in
Jakarta; 5.2.15 after commercial production commences, fulfill its obligation towards the supply of the domestic market in
Indonesia. CONTRACTOR agrees to sell and deliver to PERTAMINA a portion of the share of the Crude Oil to which it is entitled pursuant to clauses 6.1.3 and 6.3.1 calculated for each Year as follows:
(a) multiply the total quantity of Crude Oil produced from the Contract Area by a fraction, the numerator
of” which is the total quantity of Crude Oil to be supplied and the denominator of which is the entire Indonesian production of Crude Oil of all petroleum companies; and
(b) compute twenty-five percent (25%) of total quantity of Crude Oil produced from the Contract Area;
and (c) multiply the lowest quantity of Crude Oil computed either in accordance with paragraphs (a) or (b)
above by the percentage of CONTRACTOR’s entitlement as applicable under clause 6.1.3 hereof, from the Crude Oil remaining after deducting Operating Costs.
The quantity of Crude Oil computed under paragraph (c.) above shall be the maximum to be supplied by CONTRACTOR in any Year pursuant to this paragraph and deficiencies, if any, shall not be carried forward to any subsequent Year; provided that if for any Year the recoverable Operating Costs exceeds the difference of total sales proceeds from Crude Oil produced and saved hereunder minus the First Tranche Petroleum as provided under Section VI hereof, CONTRACTOR shall be relieved from this supply obligation for such Year. The price at which such Crude Oil shall be delivered and sold under this clause 5.2.15 shall be fifteen (15%) percent of the price as determined under clause 6.1.2 hereof. CONTRACTOR shall not be obligated to transport such Crude Oil beyond the point of delivery, but upon request from PERTAMINA, shall assist in arranging transportation and such assistance provided shall be without cost or risk to CONTRACTOR.
Notwithstanding the foregoing, for a period of five (5) consecutive Years (meaning 60 consecutive calendar months) starting the month of the first delivery of Crude Oil produced and saved from each new field in the Contract Area, the fee per barrel for the quantity of Crude Oil supplied to the Indonesian domestic market from each such new field shall be equal to the price determined in accordance with Section VII hereof for Crude Oil from such field taken for the recovery of Operating Costs. The proceeds in excess of those arising due to the aforesaid fifteen percent (15%) shall preferably be used to assist financing of continued exploration efforts by CONTRACTOR in the Contract Area or in other areas of the Republic of Indonesia if such opportunity exists. In case no such opportunity can be demonstrated to exist in accordance with good oil field practice, CONTRACTOR shall be free to use such proceeds at its own discretion;
5.2.16 give preference to such goods and services which are produced in Indonesia or rendered by Indonesian nationals, provided such goods and services are offered at equally advantageous conditions with regard to quality, price, availability at the time and in the quantities required;
5.2.17 severally, be subject to and pay to the Government of the Republic of Indonesia the Income Tax and the final
tax on profit after tax deduction imposed on it pursuant to the Indonesian Income Tax Law and its implementing regulations and comply with the requirements of the tax law in particular with respect to filing of returns, assessment of tax and keeping and showing of books and records;
5.2.18 comply with all applicable laws of Indonesia. It is also understood that the execution of the Work Program
shall be exercised so as not to conflict with obligations imposed on the Government of the Republic of Indonesia by international laws;
5.2.19 not disclose geological, geophysical, petrophysical, engineering, well logs. completion status reports and any
other data as CONTRACTOR may compile during the term hereof to third parties without PERTAMINA’s written consent. This clause shall survive after the termination of this Contract.
5.3 PERTAMINA shall:
5.3.1 have and be responsible for the management of the operations contemplated hereunder; however, PERTAMINA shall assist and consult with CONTRACTOR with a view to the fact that CONTRACTOR is responsible for the Work Program;
5.3.2 except with respect to CONTRACTOR’s obligation to pay income tax and the final tax on profit after tax
deduction as set forth in clause 5.2.17 herein above, assume and discharge other Indonesian taxes of CONTRACTOR including value added tax (VAT), transfer tax, import and export duties on materials, equipment and supplies brought into Indonesia by CONTRACTOR, its contractors and subcontractors; exactions in respect of property, capital, net worth, operations, remittances or transactions including any tax or levy on or in connection with operations performed hereunder by CONTRACTOR.
PERTAMINA shall not be obliged to pay CONTRACTOR’s income tax and the final tax on profit after tax deduction, nor taxes on tobaccos, liquor and personal income tax and other taxes not listed above of contractors and subcontractors. The obligations of PERTAMINA hereunder shall be deemed to have been complied with by the deliver), to CONTRACTOR within one hundred and twenty (120) days after the end of each Calendar Year, of documentary proof in accordance with the Indonesian fiscal laws that liability for the above mentioned taxes has been satisfied, except that with respect to any of such liabilities which CONTRACTOR may be obliged to pay directly, PERTAMINA shall reimburse CONTRACTOR only out of PERTAMINA’s share of production within sixty (60) days after receipt of invoice therefore. PERTAMINA should be consulted prior to payment of such taxes by CONTRACTOR or by any other party on CONTRACTOR’s behalf;
5.3.3 otherwise assist and expedite CONTRACTOR’s execution of the approved Work Program by providing facilities, supplies and personnel including, but not limited to, supplying or otherwise making available all necessary visas, work permits, transportation, security protection and rights of way and easements as may be requested by CONTRACTOR and made available from the resources under PERTAMINA’s control. In the event such facilities, supplies or personnel are not readily available, then PERTAMINA shall promptly secure the use of such facilities, supplies and personnel from alternative sources. Expenses thus incurred by PERTAMINA at CONTRACTOR’s request shall be reimbursed to PERTAMINA by CONTRACTOR and
the funds provided therefore shall be included in the Operating Costs. Such reimbursement will be made in United States Dollars computed at the rate of exchange at the time of conversion.
CONTRACTOR shall advance to PERTAMINA before the beginning of each annual Work Program a minimum amount of seventy five thousand United States Dollars (US$ 75,000) for the purpose of enabling PERTAMINA to meet Rupiah expenditures incurred pursuant to this paragraph. If at any time during the annual Work Program period the minimum amount advanced under this paragraph has been fully expended, separate additional advance payments as may be necessary to provide for Rupiah expenses estimated to be incurred by PERTAMINA during the balance of such annual Work Program period will be made. If any amount advanced hereunder is not expended by PERTAMINA by the end of an annual Work Program period, such unexpended amount shall be credited against the minimum amount to be advanced pursuant to this paragraph for the succeeding annual Work Program period;
5.3.4 ensure that at all times during the term hereof sufficient Rupiah funds shall be available to cover the Rupiah expenditure necessary, for the execution of the Work Program;
5.3.5 have title to all original data resulting from the Petroleum Operations including but not limited to geological,
geophysical, petrophysical, engineering, well logs and completion status reports and any other data as CONTRACTOR may compile during the term hereof; provided, however, that all such data shall not be disclosed to third parties without informing CONTRACTOR and giving CONTRACTOR the opportunity to discuss the disclosure of such data if CONTRACTOR so desires and further provided that CONTRACTOR may retain copies of such data, which should not be disclosed to any third party without PERTAMINA’s consent pursuant to clause 5.2.19; and
5.3.6 to the extent that it does not interfere with CONTRACTOR’s performance of the Petroleum Operations use
the equipment which becomes its property by virtue of this Contract solely for Petroleum Operations envisaged under this Contract and if PERTAMINA wishes to use such equipment for any alternative purpose, then PERTAMINA shall first consult CONTRACTOR.
SECTION VI
RECOVERY OF OPERATING COSTS AND HANDLING OF PRODUCTION
6.1 CRUDE OIL
6.1.1 CONTRACTOR is authorized by PERTAMINA and obligated to market all Crude Oil produced and saved from the Contract Area subject to the provisions hereinafter set forth.
6.1.2 CONTRACTOR will recover all Operating Costs out of the sales proceeds or other disposition of the required
quantity of Crude Oil equal in value to such Operating Costs which is produced and saved hereunder and not used in Petroleum Operations. Except as provided in clauses 7.1.4 and 7.1.5, CONTRACTOR shall be entitled to take and receive and freely export such Crude Oil. For the purpose of determining the quantity of Crude Oil delivered to CONTRACTOR required to recover said Operating Costs, the weighted average price of all Crude Oil produced and sold from the Contract Area during the Calendar Year will be used, excluding however deliveries made pursuant to clause 5.2.15. If, in any Calendar Year, Operating Costs exceed the value of Crude Oil produced and saved hereunder and not used in Petroleum Operations, then the unrecovered excess shall be recovered in the succeeding years.
6.1.3 Of the Crude Oil remaining after deducting Operating Costs:
(a) If the first Crude Oil production of this Contract Area is from a Marginal Field as described herein below, for such Crude Oil production the Parties shall be entitled to take and receive each Year, respectively, sixty four point two eight five seven percent (64.2857%) for PERTAMINA and thirty five point seven one four three percent (35.7143%) for CONTRACTOR over the life of such field.
A Marginal Field is the first field of the Contract Area proposed for development and approved by PERTAMINA, capable of Crude Oil production not exceeding ten thousand (10,000) Barrels daily
average projected for the initial two (2) producing years (24 consecutive producing months). Marginal Field production represents a separate segment from the others.
(b) For Crude Oil production as a result of Tertiary Recovery EOR projects, the Parties shall be entitled to take and receive each Year, respectively, sixty four point two eight five seven percent (64.2857%) for PERTAMINA and thirty five point seven one four three percent (35.7143%) for CONTRACTOR.
Tertiary Recovery EOR production represents a separate segment from the others.
(e) For Crude Oil production from pre-Tertiary reservoir rocks the Parties shall be entitled to take and receive each Year as follows:
(i) PERTAMINA sixty four point two eight five seven percent (64.2857%) and
CONTRACTOR thirty five point seven one four three percent (35.7143%) for the segment of zero (0) to fifty thousand (50,000) Barrels daily average of all of such pre-Tertiary production of the Contract Area for the Calendar Year;
(ii) PERTAMINA seventy three point two one four three percent (73.2143%) and
CONTRACTOR twenty six point seven eight five seven percent (26.7857%) for the segment of fifty thousand and one (50,001) to one hundred fifty thousand (150,000) Barrels daily average of all of such pre-Tertiary production of the Contract Area for the Calendar Year;
(iii) PERTAMINA eighty two point one four two nine percent (82.1429%) and CONTRACTOR
seventeen point eight five seven one percent (17.8571%) for the segment of more than one hundred fifty thousand (150,000) Barrels daily average of all of such pre-Tertiary production of the Contract Area for the Calendar Year.
Pre-Tertiary, reservoir rocks means petroleum reservoir rocks deposited or formed in pre-Tertiary times.
(d) For Crude Oil production from the Contract Area other than those segments described in paragraphs (a), (b) and (c) herein above, PERTAMINA shall be entitled to take and receive each Year seventy three point two one four three percent (73.2143%) and CONTRACTOR twenty six point seven eight five seven percent (26.7857%) of Crude Oil production from the Contract Area for the Calendar Year. Such production represents a separate segment from the others.
Each of the above segments represents a separate production segment From the others. The deduction of investment credit and Operating Costs, before the entitlements are taken by each respective Party as provided herein above clause 6.1.3, shall be subject to the following pro-ration method: For each Calendar Year, the recoverable investment credits and Operating Costs shall be apportioned for deduction from the production of each of the segments as herein above defined, at the same ratios as the production from each such segment from the total production of such Year. In the event that Crude Oil production from a field qualifies for more than one of the definitions set out in paragraphs (a), (b) and (c) of this clause 6.I.3, CONTRACTOR shall have the option to elect which of the paragraphs above shall be applied. Such election when made shall not be changed.
6.1.4 Title to CONTRACTOR’s portion of Crude Oil under clauses 6.1.3 and 6.1.7 and clause 6.3.1 as well as to such portion of Crude Oil exported and sold to recover Operating Costs and the investment credit provided for in clause 6.1.7 shall pass to CONTRACTOR at the Point of Export, or, in the case of oil delivered to PERTAMINA pursuant to clause 5.2.15 or otherwise, at the point of delivery.
6.1.5 CONTRACTOR will use its best reasonable efforts to market such Crude Oil to the extent markets are
available. Either Party shall be entitled to take and receive their respective portion in kind.
6.1.6 If PERTAMINA elects to take any of its portion of Crude Oil in kind, it shall so advise CONTRACTOR in
writing not less than ninety (90) days prior to the commencement of each semester of each Calendar Year specifying the quantity which it elects to take in kind, such notice to be effective for the ensuing semester of each Calendar Year provided, however, that such election shall not interfere with the proper performance of any Crude Oil sales agreement for Petroleum produced within the Contract Area which CONTRACTOR has executed prior to the notice of such election. Failure to give such notice shall be conclusively deemed to evidence the election not to take in kind. Any sale of PERTAMINA’s portion of Crude Oil shall not be for a term of more than one Calendar Year without PERTAMINA’s consent.
6.1.7
(a) CONTRACTOR may recover an investment credit amounting to fifteen point seven eight zero zero percent (15.7800%) of the capital investment costs directly required for developing Crude Oil production facilities as provided under clause 2.3.3 of Exhibit “C” hereof, of a new field, producing from Tertiary reservoir rock, out of deduction from gross production before recovering Operating Costs, commencing in the earliest production Year or Years before tax deduction (to be paid in advance in such Production Year when taken).
(b) CONTRACTOR may recover an investment credit amounting to one hundred two point one four zero
zero percent (102.1400%) of the capital investment costs directly required for developing Crude Oil production facilities as provided under Article 2.3.3 of Exhibit “C” hereof, of a new field, producing from pre-Tertiary reservoir rock, out of deduction from gross production before recovering Operating Costs, commencing in the earliest production Year or Years before tax deduction (to be paid in advance in such Production Year when taken).
The investment credits referred to in paragraphs (a) and (b) above may be applied to new secondary recovery and tertiary recovery EOR projects but are not applicable to any interim production schemes nor further investments to enhance production and reservoir drainage in excess of what was contemplated in the original development program as approved by PERTAMINA.
6.2 NATURAL GAS
6.2.1 Any Natural Gas produced from the Contract Area to the extent not used in Petroleum Operations hereunder may be flared if the processing or utilization thereof is not economical. Such flaring shall be permitted to the extent that gas is not required to effectuate the maximum economic recovery of Petroleum by secondary recovery operations, including repressing and recycling.
6.2.2 Should PERTAMINA and CONTRACTOR consider that the processing and utilization of Natural Gas is
economical and choose to participate in the processing and utilization thereof; in addition to that used in secondary recovery operations, then the construction and installation of facilities for such processing and utilization shall be carried out pursuant to an approved Work Program.
It is hereby agreed that all costs and revenues derived from such processing, utilization and sale of Natural Gas shall be treated on a basis equivalent to that provided for herein concerning Petroleum Operations and disposition of Crude Oil except of the Natural Gas, or the propane and butane fractions extracted from Natural Gas but not spiked in Crude Oil, remaining after deducting Operating Costs associated with the Natural Gas operations as stipulated in Exhibit “C”; PERTAMINA shall be entitled to take and receive thirty seven point five zero zero zero percent (37.5000%) and CONTRACTOR shall be entitled to take and receive sixty two point five zero zero zero percent (62.5000%);
6.2.3 CONTRACTOR may recover an investment credit amounting to one hundred two point one four zero zero percent (102.1400%) of the capital investment costs directly required for developing Natural Gas production facilities as provided under clause 2.3.3 of Exhibit “C” hereof of a new field, producing from pre-Tertiary reservoir rocks, out of deduction from gross production before recovering Operating Costs, commencing in the earliest production Year or Years before tax deduction (to be paid in advance in such production Year when taken).
6.2.4 In the event, however, CONTRACTOR considers that the processing and utilization of Natural Gas is not
economical, then PERTAMINA may choose to take and utilize such Natural Gas that would otherwise be flared, all costs of taking and handling to be for the sole account and risk of PERTAMINA.
6.3 FIRST TRANCHE PETROLEUM
6.3.1 Notwithstanding anything to the contrary elsewhere contained in this Contract, the Parties shall be entitled to first take and receive each Year a quantity of Petroleum of Twenty Percent (20%) of the Petroleum production for each such Year, called the “First Tranche Petroleum”, before rely deduction for recovery of Operating Costs and handling of production as provided herein under this Section VI.
6.3.2 Such First Tranche Petroleum for each Calendar Year shall further be shared for Crude Oil between
PERTAMINA and CONTRACTOR in accordance with the sharing splits provided under clause 6.1.3, by apportioning it as applicable, to the respective production segments as herein above defined, at the same ratios as the production from each such segment over the total production of the Year.
6.3.3 For Natural Gas, such First Tranche Petroleum is shared between PERTAMINA and CONTRACTOR in
accordance with the sharing split provided under clause 6.2.2.
SECTION VII VALUATION OF CRUDE OIL
7.1 Crude Oil sold to third parties shall be valued as follows:
7.1.1 All Crude Oil taken by CONTRACTOR, including its share and the share for the recovery of Operating Costs, and sold to third parties shall be valued at the net realized price f.o.b. Indonesia received by CONTRACTOR for such Crude Oil.
7.1.2 All of PERTAMINA’s Crude Oil taken by CONTRACTOR and sold to third parties shall be valued at the net
realized price f.o.b. Indonesia received by CONTRACTOR for such Crude Oil. 7.1.3 PERTAMINA shall be duly advised before the sales referred to herein above in clauses 7.1.1 and 7.1.2 are
made. 7.1.4 Subject to any existing Crude Oil sales agreement, if a more favorable net realized price is available to
PERTAMINA for the Crude Oil as referred to in clauses 7.1.1 and 7.1.2 herein above, except CONTRACTOR’s share of Crude Oil, then PERTAMINA shall so advise CONTRACTOR in writing not less than ninety (90) days prior to the commencement of the deliveries under PERTAMINA’s proposed sales contract. Forty-five (45) days prior to the start of such deliveries, CONTRACTOR shall notify PERTAMINA regarding CONTRACTOR’s intention to meet the more favorable net realized price in relation to the quantity and period of delivery concerned in said proposed sales contract. In the absence of such notice PERTAMINA shall market said Crude Oil.
7.1.5 PERTAMINA’s marketing of such Crude Oil as referred to in clause 7.1.4 shall continue until forty-five (451)
days after PERTAMINA’s net realized price on said Crude Oil becomes less favorable. CONTRACTOR’s obligation to market said Crude Oil shall not apply until after PERTAMINA has given CONTRACTOR at least forty-five (45) days advance notice of its desire to discontinue such sales. As long as PERTAMINA is marketing the Crude Oil referred to above, it shall account to CONTRACTOR on the basis of the more favorable net realized price.
7.1.6 Without prejudice to any of the provisions of Section VI and Section VII, CONTRACTOR may at its option
transfer to PERTAMINA during any Calendar Year the right to market any Crude Oil which is in excess of CONTRACTOR’s normal and contractual requirements provided that the price is not less than the net realized price from the Contract Area. PERTAMINA’s request stating the quantity and expected loading date must be submitted in writing to CONTRACTOR at least thirty (30) days prior to lifting said Crude Oil. Such lifting must not interfere with scheduled tanker movements. PERTAMINA shall account to CONTRACTOR in respect of any sale made by it hereunder.
7.1.7 PERTAMINA shall have the option, in any Year in which the quantity of Crude Oil to which it is entitled
pursuant to clause 6.1.3 and clause 6.3.1 hereof is less than fifty percent (50%) of the total production by ninety (90) days written notice in advance of that Year, to market for the account of CONTRACTOR, at the price provided for in Section VII hereof for the recovery of Operating Costs, a quantity of Crude Oil which together with PERTAMINA’s entitlement under clause 6.1.3 and clause 6.3.1 equals fifty percent (50%) of the total Crude Oil produced and saved from the Contract Area.
7.2 Crude Oil sold to other than third parties shall be valued as follows:
7.2.1 by using the weighted average per unit price received by CONTRACTOR and PERTAMINA from sales to third parties excluding, however, commissions and brokerages paid in relation to such third party sales during the three (3) months preceding such sale adjusted as necessary for quality, grade and gravity; or
7.2.2 if no such third party sales have been made during such period of time, then such Crude Oil shall be valued on
the basis used to value Indonesian Crude Oil of similar quality, grade and gravity and taking into consideration any special circumstances with respect to sales of such Indonesian Crude Oil.
7.3 Third party sales referred to in this Section VII shall mean sales by CONTRACTOR to purchasers independent of
CONTRACTOR, that is purchasers with whom (at the time sale is made) CONTRACTOR has no contractual interest involving directly or indirectly any joint interest.
7.4 Commissions or brokerages incurred in connection with sales to third parties, if any, shall not exceed the customary,
and prevailing rate. 7.5 During any given Calendar Year, the handling of production (i.e., the implementation of the provisions of Section VI
hereof) and the proceeds thereof shall be provisionally dealt with on the basis of the relevant Work Program and Budget of Operating Costs based upon estimates of quantities of Crude Oil to be produced, of internal consumption in Indonesia, of marketing possibilities, of prices and other sale conditions as well as of any other relevant factors. Within thirty (30) days after the end of the said given Year, adjustments and cash settlements between the Parties shall be made on the basis of the actual quantities, amounts and prices involved, in order to comply with the provisions of this Contract.
7.6 In the event the Petroleum Operations involve the segregation of Crude Oil of different quality and/or grade and if the
Parties do not otherwise mutually agree:
7.6.1 any and all provisions of this Contract concerning evaluation of Crude Oil shall separately apply to each segregated Crude Oil.
7.6.2 Each Crude Oil produced and segregated in a given Year shall contribute to:
(a) the “required quantity” destined in such Year to the recovery of all Operating Costs and investment credit pursuant to clauses 6.1.2 and 6.1.7 hereof;
(b) the “required quantity” of Crude Oil to which a Party is entitled in such Year pursuant to clause 6.1.3 and clause 6.3.1 hereof;
(e) the “required quantity” of Crude Oil which CONTRACTOR agrees to sell and deliver in such Year for domestic consumption in Indonesia pursuant to clause 5.2.15 hereof, out of the share of Crude Oil to which it is entitled pursuant to clause 6.1.3 and clause 6.3.1;
with quantities, each of which shall bear to the respective “required quantity” referred to in paragraphs (a), (b) and (c) above, the same proportion as the quantity of such Crude Oil produced and segregated in such given Year bears to the total quantity of Crude Oil produced in such Year from the Contract Area.
SECTION VIII COMPENSATION, ASSISTANCE AND PRODUCTION BONUS
8.1 CONTRACTOR shall pay to PERTAMINA as compensation for information now held by PERTAMINA the sum of
Two Hundred Fifty Thousand United States Dollars (US$ 250,000) after approval of this Contract by the Government
of the Republic of Indonesia in accordance with the provisions of applicable law. Such payment shall be made within thirty (30) days after the Effective Date.
8.2 CONTRACTOR shall within thirty (30) days after PERTAMINA’s request during the first Contract Year provide
PERTAMINA with equipment or services not exceeding One Hundred Thousand United States Dollars (US$ 100,000) in value for exploration and production activities in Indonesia’s petroleum industry.
8.3 CONTRACTOR shall pay to PERTAMINA the sum of Five Hundred Thousand United States Dollars (US$ 500,000)
within thirty (30) days after cumulative Crude Oil production from the Contract Area has reached twenty five million (25,000,000) Barrels of Oil Equivalent (BOE).
CONTRACTOR shall pay to PERTAMINA the sum of One Million Five Hundred Thousand United States Dollars (US$ 1,500,000) within thirty (30) days after cumulative Crude Oil production from the Contract Area has reached sixty million (60,000,000) Barrels of Oil Equivalent (BOE). CONTRACTOR shall pay to PERTAMINA the sum of Two Million Five Hundred Thousand United States Dollars (US$ 2,500,000) within thirty (30) days after cumulative Crude Oil production from the Contract Area has reached one hundred million (100,000,000) Barrels of Oil Equivalent (BOE).
8.4 Such compensation, assistance and production bonuses shall be borne solely by CONTRACTOR and shall not be included in the Operating Costs.
SECTION IX PAYMENTS
9.1 All payments which this Contract obligates CONTRACTOR to make to PERTAMINA or the Government of the
Republic of Indonesia shall be made in United States Dollar currency at a bank to be designated by each of them and agreed upon by Bank Indonesia or at CONTRACTOR’s election, other currency acceptable to them, except that CONTRACTOR may make such payments in Indonesian Rupiahs to the extent that such currencies are realized as a result of the domestic sale of Crude Oil or Natural Gas or Petroleum products, if any.
9.2 All payments due to CONTRACTOR shall be made in United States Dollars or at PERTAMINA’s election, other
currencies acceptable to CONTRACTOR at a bank to be designated by CONTRACTOR. 9.3 Any payments required to be made pursuant to this Contract shall, unless otherwise specified, be made within thirty
(30) days following the end of the month in which the obligation to make such payments occurs.
SECTION X TITLE TO EQUIPMENT
10.1 Equipment purchased by CONTRACTOR pursuant to the Work Program becomes the property of PERTAMINA (in
case of import, when landed at the Indonesian ports of import) and will be used in Petroleum Operations hereunder. I0.2 The provisions of clause 10.1 above shall not apply to leased equipment belonging to third parties who perform
services as a contractor, such equipment may be freely exported from Indonesia.
SECTION XI CONSULTATION AND ARBITRATION
11.1 Periodically, PERTAMINA and CONTRACTOR shall meet to discuss the conduct of the Petroleum Operations
envisaged under this Contract and will make every effort to settle amicably any problem arising therefrom. 11.2 Disputes, if any, arising between PERTAMINA and CONTRACTOR relating to this Contract or the interpretation and
performance of any of the clauses or this Contract, and which cannot be settled amicably, shall be submitted to the decision of arbitration. PERTAMINA on the one hand and CONTRACTOR on the other hand shall each appoint one arbitrator and so advise the other Party and these two arbitrators will appoint a third. If either party fails to appoint an arbitrator within thirty (30) days after receipt of a written request to do so, such arbitrator shall, at the request of the
other Party, if the Parties do not otherwise agree, be appointed by the President of the International Chamber of Commerce. If the first two arbitrators appointed as aforesaid fail to agree on a third within thirty (30) days following the appointment of the second arbitrator, the third arbitrator shall, if the Parties do not otherwise agree, be appointed, at the request of either Party, by the President of the International Chamber of Commerce. If an arbitrator fails or is unable to act, his successor will be appointed in the same manner as the arbitrator whom he succeeds.
11.3 The decision of a majority of the arbitrators shall be final and binding upon the Parties. 11.4 Arbitration shall be conducted at a place to be agreed upon by both Parties and in accordance with the Rules of
Conciliation and Arbitration of the International Chamber of Commerce.
SECTION XII EMPLOYMENT AND TRAINING OF INDONESIAN PERSONNEL
12.1 CONTRACTOR agrees to employ qualified Indonesian personnel in operations and after commercial production
commences will undertake the schooling and training of Indonesian personnel for labor and staff positions including administrative and executive management positions. At such time CONTRACTOR shall also consider with PERTAMINA a program of assistance for training of PERTAMINA’s personnel.
12.2 Costs and expenses of training Indonesian personnel for its own employment shall be included in Operating Costs.
Costs and expenses for a program of training for PERTAMINA’s personnel shall be on a basis to be agreed by PERTAMINA and CONTRACTOR.
SECTION XIII
TERMINATION
13.1 This Contract cannot be terminated during the first three (3) years as from the Effective Date, except by Provisions as stipulated in clause 13.3 hereunder.
13.2 At any time following the end of the third Contract Year as from the Effective Date, if in the opinion of
CONTRACTOR, circumstances do not warrant continuation of the Petroleum Operations CONTRACTOR may, by giving written notice to that effect to PERTAMINA and after consultation with PERTAMINA, relinquish its rights and be relieved of its obligations pursuant to this Contract, except such rights and obligations as related to the period prior to such relinquishment.
13.3 If during the first three (3) Contract Years, CONTRACTOR has not completed the Work Program and spent less than
the amount required to be so expended pursuant to subsection 4.2 and after consultation with PERTAMINA, CONTRACTOR elects to relinquish its rights and be relieved of its further obligations under this Contract, CONTRACTOR shall transfer the remaining amount of the initial three (3) Contract Years firm expenditures commitment to PERTAMINA.
13.4 Without prejudice to the provisions stipulated in clause 13.1 herein above, either Party shall be entitled to terminate
this Contract in its entirety by ninety (90) days written notice if a major breach of Contract is committed by the other Party, provided that conclusive evidence thereof is proved by arbitration as stipulated in Section XI.
SECTION XIV
BOOKS AND ACCOUNTS AND AUDITS
14.1 BOOKS AND ACCOUNTS
Subject to the requirements of clause 5.2.17, PERTAMINA shall be responsible for keeping complete books and accounts, with the assistance of CONTRACTOR, reflecting all Operating Costs as well as monies received from the sale of Crude Oil, consistent with modem petroleum industry practices and proceedings as described in Exhibit “C” attached hereto. Until such time that commercial production commences, however, PERTAMINA hereby delegates to CONTRACTOR its obligations to keep books and accounts. Should there be any inconsistency between the provisions of this Contract and the provisions of Exhibit “C”, then the provisions of clause 6.1.2 of this Contract shall prevail.
14.2 AUDITS
14.2.1
CONTRACTOR shall have the right to inspect and audit PERTAMINA’s books and accounts relating to this Contract for any Calendar Year within the one (1) year period following the end of such Calendar Year. Any such audit will be satisfied within twelve (12) months after its commencement. Any exception must be made in writing within sixty (60) days following the end of such audit and failure to give such written exception within such time shall establish the correctness of PERTAMINA’s books and accounts.
14.2.2
PERTAMINA and the Government of the Republic of Indonesia shall have the fight to inspect and audit CONTRACTOR’s books and accounts relating to this Contract for any Calendar Year covered by this Contract. Any exception must be made in writing sixty (60) days following the completion of such audits.
In addition, PERTAMINA and the Government of the Republic of Indonesia may require CONTRACTOR to engage independent accountants to examine, in accordance with generally accepted auditing standards, CONTRACTOR’s books and accounts relating to this Contract for any Calendar Year or perform such auditing procedures as deemed appropriate by PERTAMINA.
A copy of the independent accountant’s report including any exceptions shall be forwarded to PERTAMINA and CONTRACTOR within sixty (60) days following the completion of such audit. The costs related to the engagement of such independent accountants shall be included in Operating Costs.
SECTION XV
OTHER PROVISIONS
15.1 NOTICES:
Any notices required or given by either Party to the other shall be deemed to have been delivered when properly acknowledged for receipt by the receiving Party. Either party may substitute or change such address on written notice thereof to the other. All such notices shall be addressed to: PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA (PERTAMINA) JL. MERDEKA TIMUR 1-A Jakarta, 10110 INDONESIA Attn: President Director and Chief Executive Officer FAX: 62-21-310-6564 PHONE: 62-21-310-2101 APEX (BENGARA-II) LTD. WISMA INDOCEMENT 6th Floor JL. JENDRAL SUDIRMAN Jakarta, INDONESIA Attn: President and Chief Executive Officer FAX: 62-21-251-0220 PHONE: 62-21-570-3778
15.2 LAWS AND REGULATIONS:
15.2.1 The laws of the Republic of Indonesia shall apply to this Contract. 15.2.2 No term or provision of this Contract, including the agreement of the Parties to submit to arbitration
hereunder, shall prevent or limit the Government of the Republic of Indonesia for exercising its inalienable rights.
15.3 SUSPENSION OF OBLIGATIONS:
15.3.1 Any failure or delay on the part of either Party in the performance of their obligations or duties herein under shall be excused to the extent attributable to Force Majeure.
15.3.2 If operations are delayed, curtailed or prevented by such causes, then the time for carrying out the obligations
thereby affected, the term of this Contract and all rights and obligations hereunder shall be extended for a period equal to the period thus involved.
15.3.3 The Party whose ability to perform its obligations so affected shall notify the other Party thereof in writing,
stating the cause, and the Parties shall do all reasonably within their power to remove such cause.
15.4 PROCESSING OF PRODUCTS:
15.4.1 CONTRACTOR shall be willing to consider to come to another contract or loan agreement for the processing of products derived from the Petroleum Operations hereunder, on mutually agreeable terms.
15.4.2 Within the framework of the preceding principle, CONTRACTOR would agree on the conditions stated
below to have refined in Indonesia twenty eight point five seven percent (28.57%) of CONTRACTOR’S share of Crude Oil to which it is entitled pursuant to clauses 6.1.3 and 6.3.1 of hereof, and should no refining capacity be available therefore to set up a corresponding refining capacity for that purpose. The conditions above referred to are that:
(a) PERTAMINA has first requested CONTRACTOR thereto; (b) CONTRACTOR’s share of Crude Oil pursuant to clause 6.1.3 and clause 6.3.1 hereof be not less than
one hundred thousand (100,000) Barrels per day; and (c) if refining capacity has to be erected that the setting up and use of such refining capacity be
economical in the judgment of the Parties.
15.4.3 It is further agreed that CONTRACTOR may in lieu of setting up such refining capacity, but subject to the same conditions, make an equivalent investment in another project related to petroleum or petrochemical industries.
15.4.4 Petroleum to be delivered to such facilities would be sold by CONTRACTOR at the net realized prices f.o.b.
Indonesia received by CONTRACTOR established pursuant to Section VII hereof or at another mutually agreed price.
SECTION XVI
PARTICIPATION
16.1 PERTAMINA shall have the right to demand from CONTRACTOR that ten percent (10%) of CONTRACTOR’s undivided interest in the total rights and obligations under this Contract be offered to either itself or a limited liability company to be designated by PERTAMINA, the shareholders of which shall be Indonesian Nationals, (both hereinafter called the “Indonesian Participant”).
16.2 The right referred to in clause 16.1 shall lapse unless exercised by PERTAMINA not later than three (3) months after
CONTRACTOR’s notification by registered letter to PERTAMINA of the first discovery of Petroleum in the Contract Area, which in the judgment of CONTRACTOR after consultation with PERTAMINA can be produced commercially. PERTAMINA shall make its demand known to CONTRACTOR by registered letter.
16.3 CONTRACTOR shall make its offer by registered letter to the Indonesian Participant within one (1) month after
receipt of PERTAMINA’s registered letter referred to in clause 16.2. CONTRACTOR’s letter shall be accompanied by a copy of this Contract and a draft Operating Agreement embodying the manner in which CONTRACTOR and the Indonesian Participant shall cooperate. The main principles of the draft Operating Agreement are contained in Exhibit “D” to this Contract.
16.4 The offer by CONTRACTOR to the Indonesian Participant shall be effective for a period of six (6) months. If the
Indonesian Participant has not accepted this offer by registered letter to CONTRACTOR within the said period, CONTRACTOR shall be released from the obligation referred to in this Section XVI.
16.5 In the event of acceptance by the Indonesian Participant of CONTRACTOR’s offer, the Indonesian Participant shall be
deemed to have acquired the undivided interest on the date of CONTRACTOR’s notification to PERTAMINA referred to in clause 16.2.
16.6 For the acquisition of such ten percent (10%) undivided interest in the total of the rights and obligations arising out of
this Contract, the Indonesian Participant shall reimburse CONTRACTOR an amount equal to ten percent (10%) of the sum of the Operating Costs which CONTRACTOR has incurred for and on behalf of its activities in the Contract Area up to the date of CONTRACTOR’s notification to PERTAMINA mentioned in clause 16.2, ten percent (10%) of the compensation paid to PERTAMINA for information referred to in clause 8.1 of this Contract and ten percent (10%) of the amount referred to in clause 8.2 of this contract.
16.7 At the option of the Indonesian Participant the said amount shall be reimbursed:
16.7.1 either by a transfer of cash equal to the said amount by the Indonesian Participant within three (31) months after the date of its acceptance of CONTRACTOR’s offer referred to in clause 16.3 herein above, to CONTRACTOR’s account with the banking institution to be designated by it, in the currency in which the relevant costs have been financed; or
16.7.2 by way of a “payment out of production” of fifty (50) percent of the Indonesian Participant’s production
entitlements under this Contract valued in the manner as described in Section VII of this Contract, equal in total to one hundred fifty percent (150%) of the said amount set forth in the preceding clause 16.1 and commencing as from the first sale of Petroleum produced and saved from the Contract Area.
16.8 At the time of its acceptance of CONTRACTOR’s offer the Indonesian Participant shall state whether it wishes to
reimburse in cash or out of production in the manner indicated in clauses 16.7.1 or 16.7.2 above.
SECTION XVII
EFFECTIVENESS
17.1 This Contract shall come into effect on the Effective Date. 17.2 This Contract shall not be annulled, amended or modified in any respect except by the mutual consent in writing of the
Parties hereto.
IN WITNESS WHEREOF, the Parties hereto have executed this Contract in quadruplicate and in the English language, as of the day and year first above written.
PERUSAHAAN PERTAMBANGAN
MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA
(PERTAMINA)
APEX (BENGARA-II) LTD.
«Signed by F. Abdoue»
«Signed by Richard L. McAdoo» President Director and Chief Executive Officer
Director
APPROVED BY THE MINISTER OF MINES AND ENERGY
This ‹4th› day of «December» ,1997 on behalf of the
GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA.
«Signed by His Excellency LB. Sudjana»