herpes zoster
DESCRIPTION
referat herpes zosterTRANSCRIPT
HERPES ZOSTER
I. PENDAHULUAN
Herpes zoster merupakan penyakit infeksi oleh Varicella-Zoster Virus (VZV) yang
menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi VZV yang masuk melalui
saraf perifer selama episode awal cacar air, kemudian menetap di ganglion spinalis
posterior. Herpes zoster umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama orang tua dan
individu yang mengalami penurunan imunitas tubuh. Adapun faktor penting yang
mempengaruhi penyakit ini adalah umur, obat imunosupresif, limfoma, kelelahan,
gangguan emosional, dan terapi radiasi yang berdasarkan hasil penelitian terbukti juga
dapat terlibat dalam pengaktifan kembali virus herpes, yang kemudian berjalan kembali ke
saraf sensorik dan menginfeksi saraf tersebut. (1,2)
VZV saat pertama kali menyerang kulit dan mukosa manusia sebagai suatu infeksi
akut primer akan memberikan gambaran berupa ruam vesikuler yang unilateral pada
sebagian besar bagian tubuh terutama di bagian sentral tubuh, disertai rasa gatal, dengan
penyembuhan yang cepat, dan sebagian besar terkena pada anak-anak. Setelah virus ini
menyerang manusia sebagai virus penyebab cacar air kemudian virus mengalami
reaktivasi dan multiplikasi hingga menyebabkan penyakit herpes zoster dengan gambaran
berupa ruam vesikuler yang unilateral, berbatas pada satu dermatom disertai dengan
keluhan nyeri. Pemberian antivirus secara dini sangat penting, karena mampu
meminimalisir manifestasi klinis akibat penyakit herpes zoster. (1,2)
II. EPIDEMIOLOGI
Herpes zoster terjadi secara sporadis dan tidak musiman. Kejadian herpes zoster
bergantung pada prevalensi dari varisela, dan tak ada bukti meyakinkan bahwa herpes
zoster dapat ditularkan melalui kontak dengan penderita varisela atau herpes zoster.
Insidensi herpes zoster ditentukan oleh berbagai faktor yang memengaruhi hubungan host-
virus. (1)
Faktor risiko utama adalah usia tua. Diestimasikan ada lebih dari satu juta kasus
baru dari herpes zoster di US tiap tahun, lebih dari setengah terjadi pada kelompok usia
≥60 tahun, dan jumlah ini akan terus meningkat. Faktor resiko lainnya adalah disfungsi
1
imun. Pasien dengan imunosupresi 20-100 kali lebih berisiko terkena herpes zoster
dibandingkan individu lain yang seumur. Keadaan imunosupresi yang berhubungan
dengan risiko tinggi herpes zoster antara lain HIV, transplantasi sumsum tulang belakang,
leukemia dan limfoma, kemoterapi kanker, dan penggunaan kortikosteroid.(1)
Faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko herpes zoster termasuk jenis kelamin
wanita, trauma fisik pada dermatom yang terpengaruh, gen IL-10 yang polimorfik, dan ras
kulit putih.(1)
Pada anak-anak dengan herpes zoster yang tidak memiliki riwayat cacar air,
kemungkinan mereka telah memperoleh penyakit cacar air sebelumnya melalui
transplasenta. Pada individu dengan imunitas menurun, herpes zoster mungkin cukup
parah dan dapat memiliki gambaran klinis yang tidak biasa, misalnya persisten, crusted,
lesi verukosa pada pasien AIDS, atau hiperhidrosis pasca herpetik. Penyakit kulit
diseminata (didefinisikan sebagai lebih dari 20 vesikel di luar area dermatom primer atau
berdekatan) dan atau keterlibatan viseral terjadi pada sekitar 10% dari orang yang
memiliki imunitas menurun.(2,3)
Risiko ini lebih tinggi bagi perempuan daripada laki-laki, untuk kulit putih
daripada orang kulit hitam, dan bagi orang-orang dengan riwayat keluarga herpes zoster
dibandingkan mereka tanpa latar belakang seperti itu.(4)
Data dari sejumlah sumber secara konsisten menunjukkan bahwa insidensi herpes
zoster meningkat dengan usia. Meskipun herpes zoster juga sering ditemukan pada orang
muda, usia rata-rata pasien dengan herpes zoster adalah 64 tahun, sedangkan usia rata-rata
dari penduduk AS adalah 46 tahun. Insiden herpes zoster berkisar 1,2-3,4 kasus per 1.000
orang-tahun dalam studi individu imunokompeten di masyarakat, tetapi meningkat
menjadi 3,9-11,8 kasus per 1.000 orang-tahun di antara mereka yang berusia >65 tahun.
Studi terbaru menemukan beberapa tapi tidak semua kejadian herpes zoster akan
meningkat, meskipun penjelasan tidak jelas. Sangat mungkin bahwa kejadian herpes zoster
akan berubah jauh selama dekade mendatang, sebagai akibat dari bertambahnya usia
penduduk, perubahan dalam terapi untuk penyakit ganas dan autoimun, dan meningkatnya
penggunaan transplantasi organ, dan, mungkin, sebagai konsekuensi dari vaksinasi varisela
pada masa kanak-kanak.(5)
2
III. ETIOLOGI
Varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama, yang disebut sebagai
Varicella-Zoster Virus (VZV). Varisela merupakan infeksi primer dengan tahap viremik
setelah virus menetap di dalam sel saraf ganglion sensoris yang menular pada paparan
awal dan biasanya terjadi pada anak-anak. Sedangkan herpes zoster adalah reaktivasi dari
sisa virus laten. Virus ini memasuki host melalui sistem pernapasan (nasofaring) infiltrat
pada sistem retikuloendotelial dan akhirnya masuk kedalam aliran darah.(1)
VZV adalah anggota keluarga virus herpes. 23 spesies lainnya patogen bagi
manusia termasuk HSV-l dan HSV-2, sitomegalovirus, Epstein-Barr, human herpes virus-
6 (HHV-6) dan HHV-7, yang menyebabkan roseola, dan sarkoma Kaposi yang terkait
virus herpes yang disebut HHV-8. VZV ini mengandung kapsid yang berbentuk
ikosahedral dikelilingi dengan amplop lipid yang menutupi genom virus, dimana genom
ini mengandung molekul linear dari double-stranded DNA. Diameternya 150-200 nm dan
memiliki berat molekul sekitar 80 juta.(1,6)
Faktor risiko utama untuk herpes zoster adalah bertambahnya usia. Dengan
meningkatnya waktu setelah infeksi varisela, ada penurunan tingkat kekebalan sel T untuk
VZV, yang, tidak seperti tingkat antibodi spesifik virus, berkorelasi dengan perlindungan
terhadap herpes zoster.(4)
Masa inkubasi biasa untuk VZV adalah 14-16 hari, dengan penularan berkisar
antara 10-21 hari setelah paparan awal. Seorang individu tidak bisa lagi menularkan VZV
setelah lesi kulit akhir telah berkrusta. Transmisi tidak langsung diduga tidak terjadi.(6)
3
Gambar 1: Struktur VZV.
IV. PATOGENESIS
Patogenesis herpes zoster pada umumnya belum diketahui. Pada awalnya virus
mencapai ganglion diduga dengan cara hematogenik, transport neural retrograde atau
keduanya, kemudian menjadi laten pada sel ganglion. Virus ini berdiam di ganglion
posterior susunan saraf tepi ganglion kranialis. Kadang-kadang virus ini juga menyerang
ganglion anterior, bagian motorik kranial sehingga memberikan gejala-gejala gangguan
motorik.(7)
Selama infeksi varisela primer, virus di dalam darah akan bereplikasi dalam
kelenjar getah bening regional selama 2-4 hari. Viremia sekunder berkembang setelah
siklus kedua replikasi virus di hati, limpa, dan organ lain. Perjalanan virus ke epidermis
yang menginvasi sel-sel endotel kapiler sekitar 14-16 hari. Setelah paparan VZV kemudian
perjalanan dari lesi kulit dan mukosa untuk menyerang akar ganglion dorsalis dimana virus
tersebut masih dapat teraktivasi dikemudian hari.(3)
Pada keadaan reaktivasi, gen translasi dan transkripsi mampu mencapai DNA virus
di inti sel dan mengaktifkan replikasi virus serta memproduksi virus yang infeksius. Virus
tersebut kemudian keluar dari ganglion dan menginfeksi sel epitel disekitarnya dan
membentuk lesi herpes zoster. Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang
4
setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Herpes zoster menstimulasi sistem
imun yang mampu mencegah reaktivasi pada ganglion lainnya serta reaktivasi klinis
berikutnya. Oleh karena itu herpes zoster umumnya hanya menyerang satu atau sejumlah
kecil ganglion serta umumnya hanya sekali muncul seumur hidup.(3)
Penyebab reaktivasi tidak diketahui secara pasti tetapi insidensi herpes zoster
berhubungan erat dengan menurunnya imunitas terhadap VZV, atau pada orang dengan
usia lanjut. Herpes zoster juga dapat terjadi secara spontan atau dapat diinduksi oleh stres,
demam, terapi radiasi, kerusakan jaringan (misalnya trauma). Selama VZV terus
bereplikasi pada akar ganglion dorsalis yang terkena akan menyebabkan nyeri
ganglionisitis. Peradangan dan nekrosis saraf dapat mengakibatkan neuralgia berat yang
dapat menyebabkan virus menyebar ke saraf sensoris.(3,8)
Infeksi VZV memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam mempertahankan
latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster. Keadaan ini terbukti dengan
insidensi herpes zoster meningkat pada pasien HIV dengan jumlah CD4 yang menurun,
dibandingkan dengan orang normal. Latensi adalah tanda utama VZV yang tidak
diragukan lagi peranannya dalam patogenisitas. Sifat latensi ini menandakan virus dapat
bertahan seumur hidup di host dan pada suatu saat akan masuk dalam fase reaktivasi yang
mampu menjadi media transmisi penularan kepada seorang yang rentan.(1)
V. MANIFESTASI KLINIS
Terdapat gejala prodormal sistemik, seperti demam, pusing, dan malaise, serta
terdapat gejala prodormal lokal, seperti nyeri otot – tulang, gatal, pegal, dan sebagainya.
Setelah itu, timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok,
dengan dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel terbentuk antara 12 hingga 24
jam. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu – abu),
dapat menjadi pustul dan krusta. Pustul terbentuk pada hari ke-3, dan krusta mulai
terbentuk 7 – 10 hari, dan dapat menetap hingga 2 - 3 minggu setelah terbentuk. Kadang –
kadang vesikel mengandung darah, disebut herpes zoster hemoragik. Pada pasien normal,
lesi baru dapat muncul kembali untuk 1 sampai 4 hari (paling lama 7 hari). Ruam dapat
menjadi parah dan sangat lama pada orang – orang lanjut usia, dan akan terjadi hal yang
sebaliknya pada anak, dimana ruam pada anak tidak begitu parah. (1,7)
5
Gambar 2: Herpes zoster (A) Gambaran awal yang muncul pada daerah dermatom thorakal, dengan eritema, serta kumpulan vesikel. (B) Fase akhir yang muncul dengan gambaran krusta pada bagian
punggung, dengan erupsi muncul pertama kali, dengan vesikel yang mengandung darah (Herpes zoster Hemoragik) dan bulla pada bagian lateral dada (C) Oftalmik zoster. (1)
Sekitar 10 – 15% penderita Herpes zoster dilaporkan juga menderita oftalmik
zoster, yang mengenai saraf trigeminus nya. Lesi pada oftalmikus zoster dapat terlihat
pada sekitaran mata, dan bagian vertex dari tengkorak.(1)
Dapat timbul infeksi sekunder, sehingga menimbulkan ulkus dengan
penyembuhan berupa sikatriks. Rasa nyeri dan paresthesia sering terjadi lebih awal
beberapa hari sebelum akhirnya lesi muncul. Rasa nyeri yang dirasakan mungkin bersifat
tetap atau intermitten. Nyeri pre-erupsi dari herpes zoster dapat menstimulasi terjadinya
pleuritis, infark miokard, ulser duodenum, kolesistisis, kolik kantung empedu atau ginjal,
apendisitis, atau glaukoma. Banyak pasien mengalami nyeri dermatom atau
ketidaknyamanan saat fase akut (30 hari sejak onset), dengan derajat nyeri ringan hingga
berat. Rasa nyeri digambarkan oleh pasien seperti terbakar, gatal, sakit yang mendalam,
hingga seperti tertusuk – tusuk. Nyeri akut ini berhubungan dengan kondisi emosional
penderita. (1,7)
Kelainan khusus yang dapat ditemukan pada herpes zoster adalah lokasi dan
distribusi dari ruamnya, yaitu hampir selalu unilateral, dan secara general terbatas pada
daerah yang diinervasi oleh single saraf ganglia sensorik. Daerah – daerah yang dimaksud
adalah saraf trigeminalis, pada daerah oftalmikus, dan bagian tubuh yang terinervasi oleh
6
saraf Torakal 3 – Lumbal 2, yaitu daerah torakal dan bagian distal dari siku dan lutut.
Daerah – daerah tersebut adalah daerah yang sering terkena. (1)
Disamping gejala kulit, pembesaran kelenjar getah bening regional juga dapat
ditemui. Lokalisasi penyakit unilateral dan bersifat dermatormal sesuai tempat persarafan.
Kelainan motorik lebih sering berupa kelainan sentral, dari pada perifer. Terdapat
hiperestesi pada daerah yang terkena. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh
gangguan nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri), atau nervus fasialis dan optikus
(dari ganglion genikulatum). (7)
Pada herpes zoster oftalmikus, terjadi infeksi cabang pertama nervus trigeminus yang
menimbulkan kelainan pada mata, serta cabang kedua dan ketiga, yang menyebabkan kelainan
kulit pada daerah persarafannya.
Sindrom Ramsay Hunt diakibatkan gangguan nervus fasialis dan otikus, sehingga
memberikan gejala paralisis otot muka (Bell’s Palsy), kelainan sesuai tingkat persarafan,
tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, dan nausea, juga gangguan
pengecapan. (1)
7
Gambar 4: (A) Infeksi VZV. Herpes zoster dengan kumpulan vesikel eritema, disertai krusta. (B) Herpes zoster pada daerah dermatom T8–T1 dengan vesikel dan pustul, disertai eritema dan edema.
(10)
Pada herpes zoster abortif penyakit berlangsung Gambar 3: VZV pada ganglion saraf.
dalam waktu singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa vesikel dan eritema. Kelainan
kulit pada herpes zoster generelisata adalah unilateral dan segmental ditambah yang
menyebar secara generealisata, berupa vesikel soliter dan ada umbilikasi. Kasus ini
terutama terjadi pada orangtua atau pada orang yang kondisi fisiknya sangat lemah,
misalnya pada pasien limfoma malignum. Neuralgia pasca
herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan, dapat berlangsung sampai beberapa bulan,
bahkan bertahun–tahun dengan gradasi nyeri bervariasi
dalam kehidupan sehari – hari. Hal ini cenderung dijumpai
pada orang yang mendapat herpes zoster diatas usia 40
tahun. (7)
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan cara
melihat gambaran klinis, pemeriksaan histopatologi,
biopsi, PCR, dan tes serologik. Pada fase pre-erupsi, nyeri yang dirasakan pada pasien
herpes zoster sering kali sulit dideskripsikan, karena sulit dilokalisasi. Karena sekali erupsi
8
muncul, karakter dan lokasi dermatom dari lesi yang timbul, bersamaan dengan nyeri yang
dirasakan, sehingga sulit untuk dinilai.(1)
Kelompok – kelompok vesikel, sering kali ditemukan di daerah mulut atau
genitalia. Vesikel tersebut dapat berupa gambaran klinis dari herpes zoster secara
langsung, maupun gambaran rekurensi dari infeksi Herpes Simpleks Virus (HSV).(1)
Dapat dilakukan pemeriksaan pada lesi dari herpes zoster. Adanya
multinucleated- giant cell (sel berinti banyak) dan adanya sel epitel yang mengandung
asidofilik intranuklear, dapat membedakan lesi penyakit kulit lain yang disebabkan oleh
VZV. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan melakukan pemeriksaan Tzank Test, dengan
cara mengambil dasar dari pada vesikel yang ada dari vesikel yang baru timbul / muncul
dipermukaan kulit. Kemudiaan sediaan ditaruh pada object-glass, kemudian difiksasi
dengan menggunakan Aseton atau Metanol, dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa, HE
(Hematoxylin-Eosin), Papanicolaou atau pewarnaan Paragon. (1)
Diagnosis juga dapat dilakukan dengan cara kultur, yaitu mengisolasi virus
dalam sel inokulasi dengan cairan vesikel, darah, cairan serebrospinalis atau jaringan yang
terinfeksi, atau identifikasi langsung oleh antigen VZV, atau asam nukleat yang terdapat
pada spesimen. Untuk memaksimalkan penyembuhan virus, spesimen harus di inokulasi
langsung ke sel kultur. Sangat penting memilih varisela yang baru timbul untuk dijadikan
spesimen pemeriksaan, karena kemungkinan sifat isolasi dari VZV berkurang pesat saat
telah menjadi pustul. Virus ini hampir tidak pernah terisolasi dari krusta. VZV dapat
terisolasi dan menyebar secara in-vitro pada kultur mononuklear. (1)
9
Gambar 5: Histopatologi Herpes zoster. (A) Vesikel itraepidermal, akantosis, degenerasi retikular ; dermis bagian bawah menunjukkan adanya edema dan vaskulitis. (B) Giant cell
berinti banyak dengan karakteristik kelainan nukleus. (1)
Dapat juga dilakukan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) setelah
medeteksi antigen VZV dengan pewarnaan antibodi-fluoresen. Biopsi pada kulit dapat
juga dilakukan dengan cara immunohistochemistry, untuk mendeteksi protein pada VZV. (9)
Tes serologik merupakan tes yang juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis
riwayat varisela dan herpes zoster dan untuk membandingkan stadium akut dan
konvalesen. Tes ini juga dapat mengidentifikasi dan mengisolasi individu yang diduga
mengalami herpes zoster sehingga dapat digunakan sebagai pencegahan. Teknik yang
paling sering digunakan adalah solid-phase enzyme-linked immunoabsorbent assay.
Kekurangan dari tes ini adalah tidak memiliki sensitivitas dan spesifitas terhadap orang
yang memiliki antibodi herpes zoster dan menunujukkan hasil positif palsu pada orang
tersebut. (1)
VII. DIAGNOSIS BANDING
Herpes zoster(1) Herpes Simpleks(7)Dermatitis
Kontak(7)
EtiologiHerpes zoster
Virus
Herpes Simpleks Virus
Tipe 1 dan 2
Bahan yang bersifat
iritan
Gejala
Klinis
Demam, nyeri,
rasa terbakar,
gatal, vesikel dapat
menjadi papul lalu
menjadi krusta.
Demam, malaise,
anoreksia, pembesaran
kelnejar getah bening,
terdapat vesikel dapat
menjadi krusta, rasa panas
gatal dan nyeri.
Kulit terasa pedih,
rasa terbakar, terlihat
eritema yang
berubah menjadi
vesikel atau bahan
nekrosis, disertai
edema.
Predileksi Mengikuti arah
dermatom
Tipe 1: Didaerah
pinggang keatas, terutama
Dapat ditemukan di
seluruh tubuh.
10
dimulut dan hidung.
Tipe 2: Didaerah
pinggang kebawah
terutama dibagian
genitalia
Tabel Diagnosis Banding Herpes zoster
Herpes zoster dapat didiagnosis banding dengan HSV (Herpes Simplex
Zosteriform), dan Dermatitis Kontak. (1)
a. Herpes Simplex Zosteriform (HSV)
Zosteriform menggambarkan gugusan lesi pada kulit yang tersebar, dan
tampak seperti Herpes zoster. Penyakit ini disebabkan oleh Virus Herpes
Simpleks tipe I atau tipe II. Ditandai dengan adanya vesikel, dengan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan. Virus ini mereplikasi diri pada
daerah kulit dan mukosa. Seperti herpes zoster, penyakit ini sama – sama
menyerang saraf dan daerah orofacial, serta dapat menyerang daerah
genitalia. (1,7)
b. Dermatitis Kontak
Dermatitis Kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan / substansi
yang menempel pada kulit. Penyakit ini semata – mata disebabkan oleh
bahan yang bersifat iritan. Adanya bahan iritan yang bersifat toksin dapat
merusak membran lemak keratinosit, yang nantinya, akan mengaktifkan sel
– sel inflamasi sebagai kompensasi terhadap toksin. Penyakit ini
didiagnosis banding dengan herpes zoster dikarenakan oleh gambaran
lesinya yang hampir mirip. Vesikel dengan eritema disertai edema adalah
menjadi gambaran umum pada dermatitis kontak. Selain memperhatikan
gejala klinis serta anamnesis perjalanan penyakit yang didapatkan,
pemeriksaan pada dermatitis kontak juga dapat menjadi salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk membedakan herpes zoster dengan dermatitis
kontak. Dapat dilakukan tes tempel pada lesi dermatitis kontak. Tes ini
menggunakan antigen. Pada tes ini, jika pasien menderita dermatitis
11
kontak, respon alergik biasanya muncul. Sebaliknya, jika pasien menderita
herpes zoster, tidak akan ada reaksi alergik yang muncul. Dapat muncul
reaksi positif palsu, namun untuk itu, perlu dilakuakn 2 kali pembacaan
hasil tes tempel, untuk menyingkirkan hasil palsu, baik positif maupun
negatif. (7)
Gambar 6: (A) Dermatitis Kontak. Adanya gambaran erosif dan eritema pada daerah dorsal tangan. (B) Herpes Simpleks. Terlihat kumpulan vesikel dengan eritema, disertai edema.(10)
VIII. PENATALAKSANAAN
Prinsip pengobatan pada herpes zoster adalah dengan cara memberikan terapi
yang berkonsentrasi pada sel yang terinfeksi virus. Tujuan terapi pasien herpes zoster
adalah membatasi durasi, penyebaran dan tingkat keparahan rasa nyeri dan lesi primer
yang terlihat pada dermatom, dan juga untuk mencegah penyakit lain yang dapat muncul,
serta mencegah PHN (Post Herpetic Neuralgia). Terapi sistemik umumnya bersifat
simptomatik, untuk nyeri dapat diberikan analgetik. Infeksi sekunder dapat terjadi, dan
dapat diobati dengan pemberian antibiotik.(1,7) Obat – obat yang dapat digunakan adalah:
a. Terapi Topikal
Pada herpes zoster fase akut, aplikasi kompresi dingin, losion calamine,
tepung jagung, atau soda bikarbonat mampu mengurangi gejala luka dan
mempercepat pengeringan pada lesi vesikuler. Salep yang oklusif, krem,
atau lotion yang mengadungi glukokortikoid tidak boleh diaplikasikan pada
lesi herpes zoster. Lidocaine patch 5% atau disebut juga dengan vehicle
12
patch diberikan pada daerah yang sangat nyeri. Pasien juga dapat diberikan
Capsaicin krim (Zostrix) atau disebut juga dengan vehicle krim diberikan
pada daerah yang terasa sakit 4 kali sehari selama 6 minggu, sebagai
pengobatan PHN.(1,11)
b. Antiviral
Indikasi pemberian obat – obatan antiviral adalah pada pasien dengan
herpes zoster oftalmikus, yang menyerang bagian mata. Antiviral juga
dapat diberikan untuk pasien dengan defesiensi imunitas. Penggunaan
antiviral sudah tidak dapat diberikan jika lesi sudah muncul lebih dari 72
jam. Namun, masih tetap dapat diberikan pada pasien dengan herpes zoster
oftalmikus. Obat – obat yang biasa digunakan adalah Asiklovir, dan
modifikasinya, misalnya Vaslaiklovir. Obat yang lebih baru adalah
Famsiklovir dan Pensiklovir yang mempunyai waktu eliminasi yang lebih
lama, sehingga cukup diberikan dengan dosis 3 x 250 mg sehari. Obat
tersebut diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis yang
dianjurkan untuk pasien normal, adalah:
Asiklovir 5 x 800 mg/ hari, selama 7 hari.
Valasiklovir 3 x 1000mg/hari.
Jika lesi baru masih tetap timbul, obat – obat tersebut masih dapat
diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari, sejak lesi baru tidak muncul lagi.
Sementara untuk pasien dengan Immuncompromised, dapat diberikan
Asiklovir intravena 500 mg/m2, tiap 8 jam selama 7 hari. (1,7)
c. Obat Antiinflamasi
Kemungkinan PHN dapat menyebabkan inflamasi dari saraf ganglion
sensorik menjadi indikasi pemberian glucokortikosteroid pada fase akut
dari herpes zoster, untuk mengurangi nyeri akut yang akan mungkin timbul
dan juga untuk mencegah terjadinya PHN itu sendiri. Indikasi pemberian
kortikosteroid adalah untuk mencegah fibrosis ganglion, dan juga untuk
13
Sindrom Ramsay Hunt. Penberian harus diberikan sedini mungkin, untuk
mencegah terjadinya paralisis pada daerah wajah. Obat yang dapat
diberikan adalah Prednison, dengan dosis 3 x 20mg/ hari. Setelah itu dosis
diturunkan secara bertahap (tappering-off). Dengan dosis prednison
setinggi itu, dapat menyebabkan imunitas menurun atau tertekan, sehingga
lebih baik digabung dengan obat Antiviral. (1,7)
d. Analgesik
Faktor resiko terjadinya PHN adalah adanya rasa nyeri yang parah, yang
dirasakan oleh pasien. Nyeri PHN bersifat individual. Rasa nyeri yang akut
dapat menyebabkan nyeri kronik. Tingkat keparahan dari nyeri pada herpes
zoster dapat dideteksi dengan menggunakan skala nyeri. Obat yang
digunakan untuk nyeri PHN yang dapat diberikan adalah Pregabalin. Dosis
awal yang dapat diberikan adalah 2 x 75 mg sehari, setelah 3 – 7 hari. Bila
responnya kurang, dapat dinaikkan menjadi 2 x 150 mg sehari. Dosis
maksimalnya adalah 600 mg / hari. Efek samping ringan dapat berupa
pusing dan somnolen yang akan menghilang sendiri, sehingga obat tersebut
tidak perlu dihentikan. Obat lain yang dapat digunakan adalah anti-depresi
trisiklik (misalnya nortiptilin dan amitriptilin). Dosis awal amitriptilin
adalah 75 mg sehari, kemudian ditinggikan sampai timbul efek terapeutik,
biasanya antara 150 – 300 mg sehari. Dosis notritiptilin adalah 50 – 150
mg.(7)
IX. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit herpes zoster dapat menyerang bagian
kulit, mata, saraf, dan organ dalam. Komplikasi yang dapat terjadi pada herpes zoster
berhubungan dengan penyebaran VZV yang meliputi saraf ganglion sensorik, atau kulit
dapat melalui pembuluh darah dan secara langsung menyerang saraf.(1)
Nyeri setelah terkena herpes zoster disebut PHN. PHN adalah komplikasi yang
paling umum dan menjadi penyebab utama morbiditas. Resiko PHN terjadi seiring dengan
peningkatan usia (terutama pada pasien yang lebih tua dari 50 tahun) dan meningkat pada
14
pasien yang mengalami sakit parah atau munculnya ruam yang berat. Rasa sakit ini sering
memberat dan bertambah parah. (2)
Zoster generalisata juga merupakan komplikasi, dan termasuk komplikasi yang
paling serius, yang dapat terjadi pada pasien herpes zoster. Orang lanjut usia, dan orang –
orang dengan immuno-logically compromised adalah yang paling mudah terkena
komplikasi ini. Lesi herpes zoster dapat meninggalkan bekas yang disebut
Postinflamatory hyperpigmentation..(12)
Selain PHN yang paling sering ditemui, herpes zoster juga dapat memberikan
komplikasi berupa ensefalitis akibat cairan serebrospinalis yang dapat terinfeksi, yang
dapat dideteksi melalui pemeriksaan sel dan konsentrasi protein yang meningkat. Dapt
juga dan retinitis pada pasien – pasien dengan imunocompromized.(2,5)
X. PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung
pada tindakan perawatan secara dini. (7)
DAFTAR PUSTAKA
1. Straus, SE Oxman, MN Schmader, KE. Varicella and Herpes zoster in Wolff
KG, LA. Katz,SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. Leffeld. DJ Fitzpatrick’s
Dermatology In General Medicine. 8th ed: McGraw Hill; 2012. P. 3388 – 3411
2. Thomas P., Md. Habif. Herpes zoster in Thomas P., Md. Habif, Thomas P.
Habif By Mosby. Clinical Dermatology : A Color Guide to Diagnosis and
Therapy. 4th ed. USA: Mosby; 2004. P.394-406
3. Bolognia JL, Jprizzo JL, Rapini RP. Varicella Zoster Virus (HHV-3).
Dermatology, 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008.
4. Cohen, Jeffrey I., M.D, Solomon Caren. G. Herpes Zoster in Cohen, Jeffrey I.,
M.D. The New England Journal of Medecine. Massachusetts Medical Society;
2013. Pg.255-262
5. Dworkin RH. Journal of Recommendations for the Management of Herpes
zoster. United States: Infection Disease Society of America; 2006.
15
6. Roxas Mario, ND. Herpes zoster and Postherpetic Neuralgia; Diagnosis and
Therapeutic Consideration. Alternative Medicine Volume 11 ;2006.P. 102-103
7. Handoko P. Ronny. Herpes Zoster in Djuanda Adhi dr. Dr. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
P. 110-112,130-138,380
8. Benson Ogunjimi, Pierre Van Damme, Philippe Beutels. Herpes Zoster Risk
Reduction through Exposure to Chickenpox Patients. Plos One Journal Volume
6: www.plosone.org; 2013.
9. Sterling JC. Virus Infection in Burns Tony, B. Stephen, Cox Neil, Griffiths C.
Rook’s Textbook Of Dermatology. 8th ed: Wiley Blackwell; 2010. P .33.25 –
33.28
10. Wolff KG, LA. Johnson R.S, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology. 5th ed: McGraw Hill; 2007
11. E. Tidwell, B. Hutson, N. Burkhart, JL. Gutmann, D.D Ellis. Herpes zoster of
the Trigeminal Nerve 3rd Branch, International Endodontic Journal: Texas,
USA, 1999.
12. Trozak DJ, Tennenhouse J, Russell JJ. Herpes Zoster (Shingles). Dermatology
Skills for Primary Care. Totowa, New Jersey: Human Press; 2006. P. 335-344
16