herpes zoster

24
HERPES ZOSTER I. PENDAHULUAN Herpes zoster merupakan penyakit infeksi oleh Varicella-Zoster Virus (VZV) yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi VZV yang masuk melalui saraf perifer selama episode awal cacar air, kemudian menetap di ganglion spinalis posterior. Herpes zoster umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama orang tua dan individu yang mengalami penurunan imunitas tubuh. Adapun faktor penting yang mempengaruhi penyakit ini adalah umur, obat imunosupresif, limfoma, kelelahan, gangguan emosional, dan terapi radiasi yang berdasarkan hasil penelitian terbukti juga dapat terlibat dalam pengaktifan kembali virus herpes, yang kemudian berjalan kembali ke saraf sensorik dan menginfeksi saraf tersebut. (1,2) VZV saat pertama kali menyerang kulit dan mukosa manusia sebagai suatu infeksi akut primer akan memberikan gambaran berupa ruam vesikuler yang unilateral pada sebagian besar bagian tubuh terutama di bagian sentral tubuh, disertai rasa gatal, dengan penyembuhan yang cepat, dan sebagian besar terkena pada anak-anak. Setelah virus ini menyerang manusia sebagai virus penyebab cacar air kemudian virus mengalami reaktivasi dan multiplikasi hingga menyebabkan penyakit herpes zoster dengan gambaran berupa ruam vesikuler yang unilateral, berbatas pada satu dermatom disertai dengan keluhan nyeri. Pemberian antivirus secara 1

Upload: ruth-faustine-jontah-rayo

Post on 21-Jul-2016

110 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

referat herpes zoster

TRANSCRIPT

Page 1: Herpes Zoster

HERPES ZOSTER

I. PENDAHULUAN

Herpes zoster merupakan penyakit infeksi oleh Varicella-Zoster Virus (VZV) yang

menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi VZV yang masuk melalui

saraf perifer selama episode awal cacar air, kemudian menetap di ganglion spinalis

posterior. Herpes zoster umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama orang tua dan

individu yang mengalami penurunan imunitas tubuh. Adapun faktor penting yang

mempengaruhi penyakit ini adalah umur, obat imunosupresif, limfoma, kelelahan,

gangguan emosional, dan terapi radiasi yang berdasarkan hasil penelitian terbukti juga

dapat terlibat dalam pengaktifan kembali virus herpes, yang kemudian berjalan kembali ke

saraf sensorik dan menginfeksi saraf tersebut. (1,2)

VZV saat pertama kali menyerang kulit dan mukosa manusia sebagai suatu infeksi

akut primer akan memberikan gambaran berupa ruam vesikuler yang unilateral pada

sebagian besar bagian tubuh terutama di bagian sentral tubuh, disertai rasa gatal, dengan

penyembuhan yang cepat, dan sebagian besar terkena pada anak-anak. Setelah virus ini

menyerang manusia sebagai virus penyebab cacar air kemudian virus mengalami

reaktivasi dan multiplikasi hingga menyebabkan penyakit herpes zoster dengan gambaran

berupa ruam vesikuler yang unilateral, berbatas pada satu dermatom disertai dengan

keluhan nyeri. Pemberian antivirus secara dini sangat penting, karena mampu

meminimalisir manifestasi klinis akibat penyakit herpes zoster. (1,2)

II. EPIDEMIOLOGI

Herpes zoster terjadi secara sporadis dan tidak musiman. Kejadian herpes zoster

bergantung pada prevalensi dari varisela, dan tak ada bukti meyakinkan bahwa herpes

zoster dapat ditularkan melalui kontak dengan penderita varisela atau herpes zoster.

Insidensi herpes zoster ditentukan oleh berbagai faktor yang memengaruhi hubungan host-

virus. (1)

Faktor risiko utama adalah usia tua. Diestimasikan ada lebih dari satu juta kasus

baru dari herpes zoster di US tiap tahun, lebih dari setengah terjadi pada kelompok usia

≥60 tahun, dan jumlah ini akan terus meningkat. Faktor resiko lainnya adalah disfungsi

1

Page 2: Herpes Zoster

imun. Pasien dengan imunosupresi 20-100 kali lebih berisiko terkena herpes zoster

dibandingkan individu lain yang seumur. Keadaan imunosupresi yang berhubungan

dengan risiko tinggi herpes zoster antara lain HIV, transplantasi sumsum tulang belakang,

leukemia dan limfoma, kemoterapi kanker, dan penggunaan kortikosteroid.(1)

Faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko herpes zoster termasuk jenis kelamin

wanita, trauma fisik pada dermatom yang terpengaruh, gen IL-10 yang polimorfik, dan ras

kulit putih.(1)

Pada anak-anak dengan herpes zoster yang tidak memiliki riwayat cacar air,

kemungkinan mereka telah memperoleh penyakit cacar air sebelumnya melalui

transplasenta. Pada individu dengan imunitas menurun, herpes zoster mungkin cukup

parah dan dapat memiliki gambaran klinis yang tidak biasa, misalnya persisten, crusted,

lesi verukosa pada pasien AIDS, atau hiperhidrosis pasca herpetik. Penyakit kulit

diseminata (didefinisikan sebagai lebih dari 20 vesikel di luar area dermatom primer atau

berdekatan) dan atau keterlibatan viseral terjadi pada sekitar 10% dari orang yang

memiliki imunitas menurun.(2,3)

Risiko ini lebih tinggi bagi perempuan daripada laki-laki, untuk kulit putih

daripada orang kulit hitam, dan bagi orang-orang dengan riwayat keluarga herpes zoster

dibandingkan mereka tanpa latar belakang seperti itu.(4)

Data dari sejumlah sumber secara konsisten menunjukkan bahwa insidensi herpes

zoster meningkat dengan usia. Meskipun herpes zoster juga sering ditemukan pada orang

muda, usia rata-rata pasien dengan herpes zoster adalah 64 tahun, sedangkan usia rata-rata

dari penduduk AS adalah 46 tahun. Insiden herpes zoster berkisar 1,2-3,4 kasus per 1.000

orang-tahun dalam studi individu imunokompeten di masyarakat, tetapi meningkat

menjadi 3,9-11,8 kasus per 1.000 orang-tahun di antara mereka yang berusia >65 tahun.

Studi terbaru menemukan beberapa tapi tidak semua kejadian herpes zoster akan

meningkat, meskipun penjelasan tidak jelas. Sangat mungkin bahwa kejadian herpes zoster

akan berubah jauh selama dekade mendatang, sebagai akibat dari bertambahnya usia

penduduk, perubahan dalam terapi untuk penyakit ganas dan autoimun, dan meningkatnya

penggunaan transplantasi organ, dan, mungkin, sebagai konsekuensi dari vaksinasi varisela

pada masa kanak-kanak.(5)

2

Page 3: Herpes Zoster

III. ETIOLOGI

Varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama, yang disebut sebagai

Varicella-Zoster Virus (VZV). Varisela merupakan infeksi primer dengan tahap viremik

setelah virus menetap di dalam sel saraf ganglion sensoris yang menular pada paparan

awal dan biasanya terjadi pada anak-anak. Sedangkan herpes zoster adalah reaktivasi dari

sisa virus laten. Virus ini memasuki host melalui sistem pernapasan (nasofaring) infiltrat

pada sistem retikuloendotelial dan akhirnya masuk kedalam aliran darah.(1)

VZV adalah anggota keluarga virus herpes. 23 spesies lainnya patogen bagi

manusia termasuk HSV-l dan HSV-2, sitomegalovirus, Epstein-Barr, human herpes virus-

6 (HHV-6) dan HHV-7, yang menyebabkan roseola, dan sarkoma Kaposi yang terkait

virus herpes yang disebut HHV-8. VZV ini mengandung kapsid yang berbentuk

ikosahedral dikelilingi dengan amplop lipid yang menutupi genom virus, dimana genom

ini mengandung molekul linear dari double-stranded DNA. Diameternya 150-200 nm dan

memiliki berat molekul sekitar 80 juta.(1,6)

Faktor risiko utama untuk herpes zoster adalah bertambahnya usia. Dengan

meningkatnya waktu setelah infeksi varisela, ada penurunan tingkat kekebalan sel T untuk

VZV, yang, tidak seperti tingkat antibodi spesifik virus, berkorelasi dengan perlindungan

terhadap herpes zoster.(4)

Masa inkubasi biasa untuk VZV adalah 14-16 hari, dengan penularan berkisar

antara 10-21 hari setelah paparan awal. Seorang individu tidak bisa lagi menularkan VZV

setelah lesi kulit akhir telah berkrusta. Transmisi tidak langsung diduga tidak terjadi.(6)

3

Page 4: Herpes Zoster

Gambar 1: Struktur VZV.

IV. PATOGENESIS

Patogenesis herpes zoster pada umumnya belum diketahui. Pada awalnya virus

mencapai ganglion diduga dengan cara hematogenik, transport neural retrograde atau

keduanya, kemudian menjadi laten pada sel ganglion. Virus ini berdiam di ganglion

posterior susunan saraf tepi ganglion kranialis. Kadang-kadang virus ini juga menyerang

ganglion anterior, bagian motorik kranial sehingga memberikan gejala-gejala gangguan

motorik.(7)

Selama infeksi varisela primer, virus di dalam darah akan bereplikasi dalam

kelenjar getah bening regional selama 2-4 hari. Viremia sekunder berkembang setelah

siklus kedua replikasi virus di hati, limpa, dan organ lain. Perjalanan virus ke epidermis

yang menginvasi sel-sel endotel kapiler sekitar 14-16 hari. Setelah paparan VZV kemudian

perjalanan dari lesi kulit dan mukosa untuk menyerang akar ganglion dorsalis dimana virus

tersebut masih dapat teraktivasi dikemudian hari.(3)

Pada keadaan reaktivasi, gen translasi dan transkripsi mampu mencapai DNA virus

di inti sel dan mengaktifkan replikasi virus serta memproduksi virus yang infeksius. Virus

tersebut kemudian keluar dari ganglion dan menginfeksi sel epitel disekitarnya dan

membentuk lesi herpes zoster. Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang

4

Page 5: Herpes Zoster

setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Herpes zoster menstimulasi sistem

imun yang mampu mencegah reaktivasi pada ganglion lainnya serta reaktivasi klinis

berikutnya. Oleh karena itu herpes zoster umumnya hanya menyerang satu atau sejumlah

kecil ganglion serta umumnya hanya sekali muncul seumur hidup.(3)

Penyebab reaktivasi tidak diketahui secara pasti tetapi insidensi herpes zoster

berhubungan erat dengan menurunnya imunitas terhadap VZV, atau pada orang dengan

usia lanjut. Herpes zoster juga dapat terjadi secara spontan atau dapat diinduksi oleh stres,

demam, terapi radiasi, kerusakan jaringan (misalnya trauma). Selama VZV terus

bereplikasi pada akar ganglion dorsalis yang terkena akan menyebabkan nyeri

ganglionisitis. Peradangan dan nekrosis saraf dapat mengakibatkan neuralgia berat yang

dapat menyebabkan virus menyebar ke saraf sensoris.(3,8)

Infeksi VZV memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam mempertahankan

latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster. Keadaan ini terbukti dengan

insidensi herpes zoster meningkat pada pasien HIV dengan jumlah CD4 yang menurun,

dibandingkan dengan orang normal. Latensi adalah tanda utama VZV yang tidak

diragukan lagi peranannya dalam patogenisitas. Sifat latensi ini menandakan virus dapat

bertahan seumur hidup di host dan pada suatu saat akan masuk dalam fase reaktivasi yang

mampu menjadi media transmisi penularan kepada seorang yang rentan.(1)

V. MANIFESTASI KLINIS

Terdapat gejala prodormal sistemik, seperti demam, pusing, dan malaise, serta

terdapat gejala prodormal lokal, seperti nyeri otot – tulang, gatal, pegal, dan sebagainya.

Setelah itu, timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok,

dengan dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel terbentuk antara 12 hingga 24

jam. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu – abu),

dapat menjadi pustul dan krusta. Pustul terbentuk pada hari ke-3, dan krusta mulai

terbentuk 7 – 10 hari, dan dapat menetap hingga 2 - 3 minggu setelah terbentuk. Kadang –

kadang vesikel mengandung darah, disebut herpes zoster hemoragik. Pada pasien normal,

lesi baru dapat muncul kembali untuk 1 sampai 4 hari (paling lama 7 hari). Ruam dapat

menjadi parah dan sangat lama pada orang – orang lanjut usia, dan akan terjadi hal yang

sebaliknya pada anak, dimana ruam pada anak tidak begitu parah. (1,7)

5

Page 6: Herpes Zoster

Gambar 2: Herpes zoster (A) Gambaran awal yang muncul pada daerah dermatom thorakal, dengan eritema, serta kumpulan vesikel. (B) Fase akhir yang muncul dengan gambaran krusta pada bagian

punggung, dengan erupsi muncul pertama kali, dengan vesikel yang mengandung darah (Herpes zoster Hemoragik) dan bulla pada bagian lateral dada (C) Oftalmik zoster. (1)

Sekitar 10 – 15% penderita Herpes zoster dilaporkan juga menderita oftalmik

zoster, yang mengenai saraf trigeminus nya. Lesi pada oftalmikus zoster dapat terlihat

pada sekitaran mata, dan bagian vertex dari tengkorak.(1)

Dapat timbul infeksi sekunder, sehingga menimbulkan ulkus dengan

penyembuhan berupa sikatriks. Rasa nyeri dan paresthesia sering terjadi lebih awal

beberapa hari sebelum akhirnya lesi muncul. Rasa nyeri yang dirasakan mungkin bersifat

tetap atau intermitten. Nyeri pre-erupsi dari herpes zoster dapat menstimulasi terjadinya

pleuritis, infark miokard, ulser duodenum, kolesistisis, kolik kantung empedu atau ginjal,

apendisitis, atau glaukoma. Banyak pasien mengalami nyeri dermatom atau

ketidaknyamanan saat fase akut (30 hari sejak onset), dengan derajat nyeri ringan hingga

berat. Rasa nyeri digambarkan oleh pasien seperti terbakar, gatal, sakit yang mendalam,

hingga seperti tertusuk – tusuk. Nyeri akut ini berhubungan dengan kondisi emosional

penderita. (1,7)

Kelainan khusus yang dapat ditemukan pada herpes zoster adalah lokasi dan

distribusi dari ruamnya, yaitu hampir selalu unilateral, dan secara general terbatas pada

daerah yang diinervasi oleh single saraf ganglia sensorik. Daerah – daerah yang dimaksud

adalah saraf trigeminalis, pada daerah oftalmikus, dan bagian tubuh yang terinervasi oleh

6

Page 7: Herpes Zoster

saraf Torakal 3 – Lumbal 2, yaitu daerah torakal dan bagian distal dari siku dan lutut.

Daerah – daerah tersebut adalah daerah yang sering terkena. (1)

Disamping gejala kulit, pembesaran kelenjar getah bening regional juga dapat

ditemui. Lokalisasi penyakit unilateral dan bersifat dermatormal sesuai tempat persarafan.

Kelainan motorik lebih sering berupa kelainan sentral, dari pada perifer. Terdapat

hiperestesi pada daerah yang terkena. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh

gangguan nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri), atau nervus fasialis dan optikus

(dari ganglion genikulatum). (7)

Pada herpes zoster oftalmikus, terjadi infeksi cabang pertama nervus trigeminus yang

menimbulkan kelainan pada mata, serta cabang kedua dan ketiga, yang menyebabkan kelainan

kulit pada daerah persarafannya.

Sindrom Ramsay Hunt diakibatkan gangguan nervus fasialis dan otikus, sehingga

memberikan gejala paralisis otot muka (Bell’s Palsy), kelainan sesuai tingkat persarafan,

tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, dan nausea, juga gangguan

pengecapan. (1)

7

Page 8: Herpes Zoster

Gambar 4: (A) Infeksi VZV. Herpes zoster dengan kumpulan vesikel eritema, disertai krusta. (B) Herpes zoster pada daerah dermatom T8–T1 dengan vesikel dan pustul, disertai eritema dan edema.

(10)

Pada herpes zoster abortif penyakit berlangsung Gambar 3: VZV pada ganglion saraf.

dalam waktu singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa vesikel dan eritema. Kelainan

kulit pada herpes zoster generelisata adalah unilateral dan segmental ditambah yang

menyebar secara generealisata, berupa vesikel soliter dan ada umbilikasi. Kasus ini

terutama terjadi pada orangtua atau pada orang yang kondisi fisiknya sangat lemah,

misalnya pada pasien limfoma malignum. Neuralgia pasca

herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas

penyembuhan, dapat berlangsung sampai beberapa bulan,

bahkan bertahun–tahun dengan gradasi nyeri bervariasi

dalam kehidupan sehari – hari. Hal ini cenderung dijumpai

pada orang yang mendapat herpes zoster diatas usia 40

tahun. (7)

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan dengan cara

melihat gambaran klinis, pemeriksaan histopatologi,

biopsi, PCR, dan tes serologik. Pada fase pre-erupsi, nyeri yang dirasakan pada pasien

herpes zoster sering kali sulit dideskripsikan, karena sulit dilokalisasi. Karena sekali erupsi

8

Page 9: Herpes Zoster

muncul, karakter dan lokasi dermatom dari lesi yang timbul, bersamaan dengan nyeri yang

dirasakan, sehingga sulit untuk dinilai.(1)

Kelompok – kelompok vesikel, sering kali ditemukan di daerah mulut atau

genitalia. Vesikel tersebut dapat berupa gambaran klinis dari herpes zoster secara

langsung, maupun gambaran rekurensi dari infeksi Herpes Simpleks Virus (HSV).(1)

Dapat dilakukan pemeriksaan pada lesi dari herpes zoster. Adanya

multinucleated- giant cell (sel berinti banyak) dan adanya sel epitel yang mengandung

asidofilik intranuklear, dapat membedakan lesi penyakit kulit lain yang disebabkan oleh

VZV. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan melakukan pemeriksaan Tzank Test, dengan

cara mengambil dasar dari pada vesikel yang ada dari vesikel yang baru timbul / muncul

dipermukaan kulit. Kemudiaan sediaan ditaruh pada object-glass, kemudian difiksasi

dengan menggunakan Aseton atau Metanol, dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa, HE

(Hematoxylin-Eosin), Papanicolaou atau pewarnaan Paragon. (1)

Diagnosis juga dapat dilakukan dengan cara kultur, yaitu mengisolasi virus

dalam sel inokulasi dengan cairan vesikel, darah, cairan serebrospinalis atau jaringan yang

terinfeksi, atau identifikasi langsung oleh antigen VZV, atau asam nukleat yang terdapat

pada spesimen. Untuk memaksimalkan penyembuhan virus, spesimen harus di inokulasi

langsung ke sel kultur. Sangat penting memilih varisela yang baru timbul untuk dijadikan

spesimen pemeriksaan, karena kemungkinan sifat isolasi dari VZV berkurang pesat saat

telah menjadi pustul. Virus ini hampir tidak pernah terisolasi dari krusta. VZV dapat

terisolasi dan menyebar secara in-vitro pada kultur mononuklear. (1)

9

Page 10: Herpes Zoster

Gambar 5: Histopatologi Herpes zoster. (A) Vesikel itraepidermal, akantosis, degenerasi retikular ; dermis bagian bawah menunjukkan adanya edema dan vaskulitis. (B) Giant cell

berinti banyak dengan karakteristik kelainan nukleus. (1)

Dapat juga dilakukan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) setelah

medeteksi antigen VZV dengan pewarnaan antibodi-fluoresen. Biopsi pada kulit dapat

juga dilakukan dengan cara immunohistochemistry, untuk mendeteksi protein pada VZV. (9)

Tes serologik merupakan tes yang juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis

riwayat varisela dan herpes zoster dan untuk membandingkan stadium akut dan

konvalesen. Tes ini juga dapat mengidentifikasi dan mengisolasi individu yang diduga

mengalami herpes zoster sehingga dapat digunakan sebagai pencegahan. Teknik yang

paling sering digunakan adalah solid-phase enzyme-linked immunoabsorbent assay.

Kekurangan dari tes ini adalah tidak memiliki sensitivitas dan spesifitas terhadap orang

yang memiliki antibodi herpes zoster dan menunujukkan hasil positif palsu pada orang

tersebut. (1)

VII. DIAGNOSIS BANDING

Herpes zoster(1) Herpes Simpleks(7)Dermatitis

Kontak(7)

EtiologiHerpes zoster

Virus

Herpes Simpleks Virus

Tipe 1 dan 2

Bahan yang bersifat

iritan

Gejala

Klinis

Demam, nyeri,

rasa terbakar,

gatal, vesikel dapat

menjadi papul lalu

menjadi krusta.

Demam, malaise,

anoreksia, pembesaran

kelnejar getah bening,

terdapat vesikel dapat

menjadi krusta, rasa panas

gatal dan nyeri.

Kulit terasa pedih,

rasa terbakar, terlihat

eritema yang

berubah menjadi

vesikel atau bahan

nekrosis, disertai

edema.

Predileksi Mengikuti arah

dermatom

Tipe 1: Didaerah

pinggang keatas, terutama

Dapat ditemukan di

seluruh tubuh.

10

Page 11: Herpes Zoster

dimulut dan hidung.

Tipe 2: Didaerah

pinggang kebawah

terutama dibagian

genitalia

Tabel Diagnosis Banding Herpes zoster

Herpes zoster dapat didiagnosis banding dengan HSV (Herpes Simplex

Zosteriform), dan Dermatitis Kontak. (1)

a. Herpes Simplex Zosteriform (HSV)

Zosteriform menggambarkan gugusan lesi pada kulit yang tersebar, dan

tampak seperti Herpes zoster. Penyakit ini disebabkan oleh Virus Herpes

Simpleks tipe I atau tipe II. Ditandai dengan adanya vesikel, dengan

eritematosa pada daerah dekat mukokutan. Virus ini mereplikasi diri pada

daerah kulit dan mukosa. Seperti herpes zoster, penyakit ini sama – sama

menyerang saraf dan daerah orofacial, serta dapat menyerang daerah

genitalia. (1,7)

b. Dermatitis Kontak

Dermatitis Kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan / substansi

yang menempel pada kulit. Penyakit ini semata – mata disebabkan oleh

bahan yang bersifat iritan. Adanya bahan iritan yang bersifat toksin dapat

merusak membran lemak keratinosit, yang nantinya, akan mengaktifkan sel

– sel inflamasi sebagai kompensasi terhadap toksin. Penyakit ini

didiagnosis banding dengan herpes zoster dikarenakan oleh gambaran

lesinya yang hampir mirip. Vesikel dengan eritema disertai edema adalah

menjadi gambaran umum pada dermatitis kontak. Selain memperhatikan

gejala klinis serta anamnesis perjalanan penyakit yang didapatkan,

pemeriksaan pada dermatitis kontak juga dapat menjadi salah satu cara

yang dapat dilakukan untuk membedakan herpes zoster dengan dermatitis

kontak. Dapat dilakukan tes tempel pada lesi dermatitis kontak. Tes ini

menggunakan antigen. Pada tes ini, jika pasien menderita dermatitis

11

Page 12: Herpes Zoster

kontak, respon alergik biasanya muncul. Sebaliknya, jika pasien menderita

herpes zoster, tidak akan ada reaksi alergik yang muncul. Dapat muncul

reaksi positif palsu, namun untuk itu, perlu dilakuakn 2 kali pembacaan

hasil tes tempel, untuk menyingkirkan hasil palsu, baik positif maupun

negatif. (7)

Gambar 6: (A) Dermatitis Kontak. Adanya gambaran erosif dan eritema pada daerah dorsal tangan. (B) Herpes Simpleks. Terlihat kumpulan vesikel dengan eritema, disertai edema.(10)

VIII. PENATALAKSANAAN

Prinsip pengobatan pada herpes zoster adalah dengan cara memberikan terapi

yang berkonsentrasi pada sel yang terinfeksi virus. Tujuan terapi pasien herpes zoster

adalah membatasi durasi, penyebaran dan tingkat keparahan rasa nyeri dan lesi primer

yang terlihat pada dermatom, dan juga untuk mencegah penyakit lain yang dapat muncul,

serta mencegah PHN (Post Herpetic Neuralgia). Terapi sistemik umumnya bersifat

simptomatik, untuk nyeri dapat diberikan analgetik. Infeksi sekunder dapat terjadi, dan

dapat diobati dengan pemberian antibiotik.(1,7) Obat – obat yang dapat digunakan adalah:

a. Terapi Topikal

Pada herpes zoster fase akut, aplikasi kompresi dingin, losion calamine,

tepung jagung, atau soda bikarbonat mampu mengurangi gejala luka dan

mempercepat pengeringan pada lesi vesikuler. Salep yang oklusif, krem,

atau lotion yang mengadungi glukokortikoid tidak boleh diaplikasikan pada

lesi herpes zoster. Lidocaine patch 5% atau disebut juga dengan vehicle

12

Page 13: Herpes Zoster

patch diberikan pada daerah yang sangat nyeri. Pasien juga dapat diberikan

Capsaicin krim (Zostrix) atau disebut juga dengan vehicle krim diberikan

pada daerah yang terasa sakit 4 kali sehari selama 6 minggu, sebagai

pengobatan PHN.(1,11)

b. Antiviral

Indikasi pemberian obat – obatan antiviral adalah pada pasien dengan

herpes zoster oftalmikus, yang menyerang bagian mata. Antiviral juga

dapat diberikan untuk pasien dengan defesiensi imunitas. Penggunaan

antiviral sudah tidak dapat diberikan jika lesi sudah muncul lebih dari 72

jam. Namun, masih tetap dapat diberikan pada pasien dengan herpes zoster

oftalmikus. Obat – obat yang biasa digunakan adalah Asiklovir, dan

modifikasinya, misalnya Vaslaiklovir. Obat yang lebih baru adalah

Famsiklovir dan Pensiklovir yang mempunyai waktu eliminasi yang lebih

lama, sehingga cukup diberikan dengan dosis 3 x 250 mg sehari. Obat

tersebut diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis yang

dianjurkan untuk pasien normal, adalah:

Asiklovir 5 x 800 mg/ hari, selama 7 hari.

Valasiklovir 3 x 1000mg/hari.

Jika lesi baru masih tetap timbul, obat – obat tersebut masih dapat

diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari, sejak lesi baru tidak muncul lagi.

Sementara untuk pasien dengan Immuncompromised, dapat diberikan

Asiklovir intravena 500 mg/m2, tiap 8 jam selama 7 hari. (1,7)

c. Obat Antiinflamasi

Kemungkinan PHN dapat menyebabkan inflamasi dari saraf ganglion

sensorik menjadi indikasi pemberian glucokortikosteroid pada fase akut

dari herpes zoster, untuk mengurangi nyeri akut yang akan mungkin timbul

dan juga untuk mencegah terjadinya PHN itu sendiri. Indikasi pemberian

kortikosteroid adalah untuk mencegah fibrosis ganglion, dan juga untuk

13

Page 14: Herpes Zoster

Sindrom Ramsay Hunt. Penberian harus diberikan sedini mungkin, untuk

mencegah terjadinya paralisis pada daerah wajah. Obat yang dapat

diberikan adalah Prednison, dengan dosis 3 x 20mg/ hari. Setelah itu dosis

diturunkan secara bertahap (tappering-off). Dengan dosis prednison

setinggi itu, dapat menyebabkan imunitas menurun atau tertekan, sehingga

lebih baik digabung dengan obat Antiviral. (1,7)

d. Analgesik

Faktor resiko terjadinya PHN adalah adanya rasa nyeri yang parah, yang

dirasakan oleh pasien. Nyeri PHN bersifat individual. Rasa nyeri yang akut

dapat menyebabkan nyeri kronik. Tingkat keparahan dari nyeri pada herpes

zoster dapat dideteksi dengan menggunakan skala nyeri. Obat yang

digunakan untuk nyeri PHN yang dapat diberikan adalah Pregabalin. Dosis

awal yang dapat diberikan adalah 2 x 75 mg sehari, setelah 3 – 7 hari. Bila

responnya kurang, dapat dinaikkan menjadi 2 x 150 mg sehari. Dosis

maksimalnya adalah 600 mg / hari. Efek samping ringan dapat berupa

pusing dan somnolen yang akan menghilang sendiri, sehingga obat tersebut

tidak perlu dihentikan. Obat lain yang dapat digunakan adalah anti-depresi

trisiklik (misalnya nortiptilin dan amitriptilin). Dosis awal amitriptilin

adalah 75 mg sehari, kemudian ditinggikan sampai timbul efek terapeutik,

biasanya antara 150 – 300 mg sehari. Dosis notritiptilin adalah 50 – 150

mg.(7)

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit herpes zoster dapat menyerang bagian

kulit, mata, saraf, dan organ dalam. Komplikasi yang dapat terjadi pada herpes zoster

berhubungan dengan penyebaran VZV yang meliputi saraf ganglion sensorik, atau kulit

dapat melalui pembuluh darah dan secara langsung menyerang saraf.(1)

Nyeri setelah terkena herpes zoster disebut PHN. PHN adalah komplikasi yang

paling umum dan menjadi penyebab utama morbiditas. Resiko PHN terjadi seiring dengan

peningkatan usia (terutama pada pasien yang lebih tua dari 50 tahun) dan meningkat pada

14

Page 15: Herpes Zoster

pasien yang mengalami sakit parah atau munculnya ruam yang berat. Rasa sakit ini sering

memberat dan bertambah parah. (2)

Zoster generalisata juga merupakan komplikasi, dan termasuk komplikasi yang

paling serius, yang dapat terjadi pada pasien herpes zoster. Orang lanjut usia, dan orang –

orang dengan immuno-logically compromised adalah yang paling mudah terkena

komplikasi ini. Lesi herpes zoster dapat meninggalkan bekas yang disebut

Postinflamatory hyperpigmentation..(12)

Selain PHN yang paling sering ditemui, herpes zoster juga dapat memberikan

komplikasi berupa ensefalitis akibat cairan serebrospinalis yang dapat terinfeksi, yang

dapat dideteksi melalui pemeriksaan sel dan konsentrasi protein yang meningkat. Dapt

juga dan retinitis pada pasien – pasien dengan imunocompromized.(2,5)

X. PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung

pada tindakan perawatan secara dini. (7)

DAFTAR PUSTAKA

1. Straus, SE Oxman, MN Schmader, KE. Varicella and Herpes zoster in Wolff

KG, LA. Katz,SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. Leffeld. DJ Fitzpatrick’s

Dermatology In General Medicine. 8th ed: McGraw Hill; 2012. P. 3388 – 3411

2. Thomas P., Md. Habif. Herpes zoster in Thomas P., Md. Habif, Thomas P.

Habif By Mosby. Clinical Dermatology : A Color Guide to Diagnosis and

Therapy. 4th ed. USA: Mosby; 2004. P.394-406

3. Bolognia JL, Jprizzo JL, Rapini RP. Varicella Zoster Virus (HHV-3).

Dermatology, 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008.

4. Cohen, Jeffrey I., M.D, Solomon Caren. G. Herpes Zoster in Cohen, Jeffrey I.,

M.D. The New England Journal of Medecine. Massachusetts Medical Society;

2013. Pg.255-262

5. Dworkin RH. Journal of Recommendations for the Management of Herpes

zoster. United States: Infection Disease Society of America; 2006.

15

Page 16: Herpes Zoster

6. Roxas Mario, ND. Herpes zoster and Postherpetic Neuralgia; Diagnosis and

Therapeutic Consideration. Alternative Medicine Volume 11 ;2006.P. 102-103

7. Handoko P. Ronny. Herpes Zoster in Djuanda Adhi dr. Dr. Ilmu Penyakit Kulit

dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

P. 110-112,130-138,380

8. Benson Ogunjimi, Pierre Van Damme, Philippe Beutels. Herpes Zoster Risk

Reduction through Exposure to Chickenpox Patients. Plos One Journal Volume

6: www.plosone.org; 2013.

9. Sterling JC. Virus Infection in Burns Tony, B. Stephen, Cox Neil, Griffiths C.

Rook’s Textbook Of Dermatology. 8th ed: Wiley Blackwell; 2010. P .33.25 –

33.28

10. Wolff KG, LA. Johnson R.S, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas &

Synopsis of Clinical Dermatology. 5th ed: McGraw Hill; 2007

11. E. Tidwell, B. Hutson, N. Burkhart, JL. Gutmann, D.D Ellis. Herpes zoster of

the Trigeminal Nerve 3rd Branch, International Endodontic Journal: Texas,

USA, 1999.

12. Trozak DJ, Tennenhouse J, Russell JJ. Herpes Zoster (Shingles). Dermatology

Skills for Primary Care. Totowa, New Jersey: Human Press; 2006. P. 335-344

16