hipotiroid kongenital adoro
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
CASE REPORT
HIPOTIROID KONGENITAL
Dosen Pembimbing :dr.Ida Bagus Eka, Sp.A
Disusun oleh :Riduan Adoro Lumban Gaol (08-033)
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAKPERIODE 12 MEI 2014 – 7 JUNI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIAJAKARTA
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas case report mengenai topik “Hipotiroid
Kongenital” sebagai salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
dr. Ida Bagus Eka Sp.A yang telah membimbing penulis dalam
kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak, serta kepada semua pihak yang
terkait, khususnya dalam penyelesaian case report ini.
Penulis menyadari bahwa case report ini masih jauh dari
sempurna.Oleh karena itu mohon maaf atas segala kesalahan dan
kekurangan yang ada dan penulis juga menerima adanya kritik dan saran
yang membangun atas isi daripada case report ini.
Akhir kata, semoga case report ini dapat berguna bagi para
pembaca. Sekian dan terimakasih.
Penulis.
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................iDaftar Isi.......................................................................................................iiBAB I Pendahuluan.....................................................................................1BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi........................................................................................22.2 Embriologi...................................................................................22.3 Anatomi dan Fisiologi.................................................................42.4 Epidemiologi...............................................................................82.5 Etiologi dan Patogenesis ...........................................................82.6 Diagnosis..................................................................................102.7 Penatalaksanaan......................................................................152.8 Prognosis..................................................................................19
BAB III Kesimpulan....................................................................................20BAB IV Laporan Kasus..............................................................................21Daftar Pustaka...........................................................................................33
3
BAB I
PENDAHULUAN
Hipotiroid kongenital adalah kurangnya produksi hormon tiroid pada
bayi baru lahir. Hal ini dapat terjadi karena cacat anatomis kelenjar tiroid,
kesalahan metabolisme tiroid, atau kekurangan iodium.1
Hipotiroid kongenital merupakan salah satu penyebab retardasi
mental. Hipotiroid kongenital yang tidak diobati sejak dini dapat
mengakibatkan retardasi mental yang berat. Hormon tiroid sudah
diproduksi dan diperlukan oleh janin sejak usia kehamilan 12 minggu,
mempengaruhi metabolisme sel di seluruh tubuh sehingga berperan
penting pada pertumbuhan dan perkembangan.2
Gejala hipotiroid pada bayi baru lahir biasanya tidak terlalu jelas,
oleh sebab itu sangat diperlukan skrining hipotiroid pada neonatus.
Program skrining memungkinkan bayi mendapatkan terapi dini dan
memiliki prognosis yang lebih baik, terutama dalam perkembangan sistem
neurologis.2
Pengobatan secara dini dengan hormon tiroid dapat mencegah
terjadinya morbiditas fisik maupun mental. Pemantauan tetap diperlukan
untuk mendapatkan hasil pengobatan dan tumbuh kembang anak yang
optimal.1
Program pendahuluan skrining hipotiroid kongenital yang dilakukan
di Bandung dan Jakarta sejak tahun 2000 terhadap lebih dari 100.000
bayi, didapatkan angka kejadian hipotiroid kongenital pertahun antara 1:
2600 dan 1 : 3800.3
Hipotiroid kongenital yang terlambat diketahui dan diobati, dapat
menyebabkan retardasi mental dan akan berdampak pada kualitas
sumber daya manusia.1
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Hipotiroid kongenital adalah suatu keadaan hormon tiroid yang
tidak adekuat pada bayi baru lahir sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan tubuh yang dapat disebabkan oleh kelainan anatomi kelenjar
tiroid, kelainan genetik, kesalahan biosintesis tiroksin serta pengaruh
lingkungan.3
2.2. Embriologi
Kelenjar tiroid janin berasal dari endoderm foregut yang kemudian
bermigrasi ke inferior sampai ke daerah kartilago tiroid. Segala sesuatu
yang terjadi selama proses migrasi ini dapat menyebabkan terjadinya
tiroid ektopik. Pada usia 7 minggu, kelenjar tiroid sudah terdiri dari 2
lobus.1
Gambar 1. Perkembangan Kelenjar Tiroid 4
5
Gambar 2. Anatomi Kelenjar tiroid 4
Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) mulai terdapat dalam
neuron pada janin saat usia 4 minggu sedangkan Tiroid Stimulating
Hormone (TSH) mulai dihasilkan oleh hipofisis pada usia 9 minggu, dan
dapat dideteksi dalam sirkulasi pada usia 11 sampai 12 minggu. Kadar
TSH dalam darah mulai meningkat pada usia 12 minggu sampai aterm.
Pada usia 4 minggu, janin mulai mensintesis tiroglobulin. Aktivitas tiroid
mulai tampak pada usia 8 minggu kehamilan. Pada usia kehamilan 8
sampai 10 minggu, janin dapat melakukan ambilan (trapping) iodium dan
pada usia 12 minggu dapat memproduksi T4 yang secara bertahap
kadarnya terus meningkat sampai mencapai usia 36 minggu. Produksi
TRH oleh hipotalamus dan TSH oleh hipofisis terjadi dalam waktu yang
berrsamaan, tetapi integrasi dan fungsi aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid
dengan mekanisme umpan baliknya belum terjadi sampai trimester kedua
kehamilan.1
Sebelum memasuki trimester kedua kehamilan, perkembangan
normal janin sangat bergantung pada hormon tiroid ibu. Kira-kira sepertiga
kadar T4 ibu dapat melewati plasenta dan masuk ke janin. Apabila ibu
hamil mengalami kelainan tiroid atau mendapatkan pengobatan anti tiroid,
misalnya penyakit Grave’s maka, obat anti tiroid juga melewati plasenta
sehingga janin beresiko mengalami hipotiroid.1
6
Sesudah bayi lahir terjadi kenaikan TSH mendadak yang
menyebabkan peningkatan kadar T3 dan T4 yang kemudian secara
perlahan-lahan menurun dalam 4 minggu pertama kehidupan bayi. Pada
bayi prematur kadar T4 saat lahir rendah kemudian meningkat mencapai
kadar bayi aterm dalam usia 6 minggu. Semua tahap yang melibatkan
sintesis hormon tiroid termasuk trapping, oksidasi, organifikasi, coupling
dan sekresinya berada di bawah pengaruh TSH.1
2.3. Anatomi dan Fisiologi
Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus jaringan endokrin yang menyatu
di bagian tengah oleh bagian sempit kelenjar, sehingga kelenjar ini
tampak seperti dasi kupu-kupu. Kelenjar ini bahkan terletak di posisi yang
tepat untuk pemasangan dasi kupu-kupu, yaitu berada di atas trakea,
tepat di bawah laring. sel-sel sekretorik utama tiroid tersusun menjadi
gelembung-gelembung berongga, yang masing-masing membentuk unit
fungsional yang disebut folikel. Dengan demikian sel-sel sekretorik ini
sering disebut sebagai sel folikel. Pada potongan mikroskopik, folikel
tampak sebagai cincin-cincin sel folikel yang meliputi lumen bagian dalam
yang dipenuhi koloid, suatu bahan yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan untuk hormon tiroid.2,5
Konstituen utama koloid adalah molekul besar dan kompleks yang
dikenal sebagai tiroglobulin, yang didalamnya berisi hormon-hormon tiroid
dalam berbagai tahap pembentukannya. Sel-sel folikel menghasilkan dua
hormon yang mengandung iodium, yang berasal dari asam amino tirosin,
yaitu tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3). Awalan tetra
dan tri serta huruf bawaan 4 dan 3 menandakan jumlah atom Iodium yang
masing-masing terdapat di dalam setiap molekul hormon. kedua hormon
ini yang secara kolektif disebut sebagai hormon tiroid, merupakan
regulator penting bagi laju metabolisme basal keseluruhan.2,5
Di ruang interstisium di antara folikel-folikel terdapat sel sekretorik
jenis lain, yaitu sel C (disebut demikian karena mengeluarkan hormon
peptida kalsitonin), yang berperan dalam metabolisme kalsium. Kalsitonin
sama sekali tidak berkaitan dengan kedua hormon tiroid utama di atas.
7
Seluruh langkah sintesis hormon tiroid berlangsung di molekul besar
tiroglobulin, yang kemudian menyimpan hormon-hormon tersebut. bahan
dasar untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan Iodium, yang
keduanya harus diserap dari darah oleh sel-sel folikel. Tirosin suatu asam
amino, disintesis dalam jumlah memadai oleh tubuh, sehingga bukan
merupakan kebutuhan esensial dalam makanan. di pihak lain, Iodium
yang diperlukan untuk sintesis hormon tiroid, harus diperoleh dari
makanan.5
Sintesis hormon tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di dalam
koloid. Tiroglobulin itu sendiri dihasilkan oleh kompleks golgi/ retikulum
endoplasma sel folikel tiroid. Tirosin menyatu ke dalam molekul
tiroglobulin sewaktu molekul besar ini diproduksi. Setelah diproduksi,
tiroglobulin yang mengandung tirosin dikeluarkan dari sel folikel ke dalam
koloid melaluui eksositosis. Tiroid menangkap Iodium dari darah dan
memindahkannya ke dalam koloid melalui suatu “pompa Iodium” yang
sangat aktif atau “Iodine trapping mechanism” protein pembawa yang
sangat kuat dan memerlukan energi yang terletak di membran luar sel
folikel. Hampir semua Iodium di tubuh dipindahkan melawan gradien
konsentrasinya ke kelenjar tiroid untuk mensintesis hormon tiroid. Selain
untuk sintesis hormon tiroid, Iodium tidak memiliki manfaat lain di tubuh.2,5
Dalam koloid, Iodium dengan cepat melekat ke sebuah tirosin di
dalam molekul tiroglobulin. Perlekatan sebuah Iodium ke tirosin
menghasilkan monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua Iodium ke tirosin
menghasilkan diiodotirosin (DIT). Kemudian, terjadi proses penggabungan
antara molekul-molekul tirosin beriodium untuk membentuk hormon tiroid.
Penggabungan dua DIT (masing-masing mengandung dua atom iodium)
menghasilkan (T4 atau tiroksin), yaitu bentuk hormon tiroid dengan empat
Iodium. Penggabungan satu MIT (dengan satu iodium) dan satu DIT
(dengan dua iodium) menghasilkan triiodotironin atau T3 (dengan tiga
iodium). Penggabungan tidak terjadi antara dua molekul MIT. Karena
reaksi-reaksi ini berlangsung di dalam molekul tiroglobulin, semua produk
tetap melekat ke protein besar tersebut. Hormon-hormon tiroid tetap
8
disimpan dalam bentuk ini di koloid sampai mereka dipecah dan
disekresikan. Diperkirakan bahwa jumlah hormon tiroid yang secara
normal disimpan di koloid cukup untuk memasok kebutuhan tubuh untuk
beberapa bulan.2,5
Pengeluaran hormon-hormon tiroid ke dalam sirkulasi sistemik
memerlukan proses yang agak rumit karena dua alasan. Pertama,
sebelum dikeluarkan T4 dan T3 tetap terikat ke molekul tiroglobulin.
Kedua, hormon-hormon ini disimpan di luar lumen folikel, sebelum dapat
memasuki pembuluh darah yang berjalan di ruang interstisium, mereka
harus diangkut menembus sel folikel. Proses sekresi hormon tiroid pada
dasarnya melibatkan pemecahan sepotong koloid oleh sel folikel,
sehingga molekul tiroglobulin terpecah menjadi bagian-bagiannya, dan
pelepasan T4 dan T3 bebas ke dalam darah. Apabila terdapat rangsangan
yang sesuai untuk mengeluarakan hormon tiroid, sel-sel folikel
memasukkkan sebagian dari kompleks hormon-tiroglobulin dengan
memfagositosis sekeping koloid.5
Di dalam sel, butir-butir koloid terbungkus membran menyatu
dengan lisosom, yang enzim-enzimnya kemudian memisahkan hormon
tiroid yang aktif secara biologis, T4 dan T3, serta iodotirosin yang nonaktif,
MIT dan DIT. Hormon-hormon tiroid, karena sangat lipofilik, dengan
mudah melewati membran luar sel folikel dan masuk kedalam darah. MIT
dan DIT tidak memiliki nilai endokrin. Sel-sel folikel mengandung suatu
enzim yang dengan cepat mengeluarkan Iodium dari MIT dan DIT,
sehingga Iodium yang dibebaskan dapat didaur ulang untuk sintesis lebih
banyak hormon. Enzim yang sangat spesifik ini akan mengeluarkan
Iodium hanya dari MIT dan DIT yang tidak berguna, bukan dari T4 dan
T3.2,5
Sekitar 90 % produk sekretorik yang dikeluarkan dari kelenjar tiroid
adalah dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktivitas biologis sekitar
empat kali lebih baik daripada T4. Namun sebagian besar T4 yang
disekresikan kemudian diubah menjadi T3, atau diaktifkan melalui proses
pengeluaran satu Iodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah
9
berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran Iodium di
jaringan perifer. Dengan demikian T3 adalah bentuk hormon tiroid yang
secara biologis aktif di tingkat sel, walaupun tiroid lebih banyak
mengeluarkan T4.2
Setelah dikeluarkan ke dalam darah hormon tiroid yang sangat
lipofilik dengan cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang
dari 1 % T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap berada pada bentuk tidak
terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa hanya
hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke reseptor
sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.2
Terdapat tiga protein plasma yang penting dalam pengikatan
hormon tiroid: globulin pengikat tiroksin (TBG) yang secara selektif
mengikat hormon tiroid—55% dari T4 dan 65% dari T3 dalam sirkulasi—
walaupun namanya hanya menyebutkan secara khusus “tiroksin” (T4)
albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormon lipofilik,
termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3 dan thyroxine-binding prealbumin
yang mengikat sisa 35% T4.2
Gambar 3. Pengaturan Produksi Hormon Tiroid 4
2.4 Epidemiologi
Insiden hipotiroid kongenital bervariasi antar negara, umumnya
sebesar 1 : 3000 – 4000 kelahiran hidup. Dengan penyebab tersering
10
adalah, disgenesis tiroid yang mencakup 80% kasus. Lebih sering
ditemukan pada anak perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan
2:1. Anak dengan sindrom Down memiliki resiko 35 kali lebih tinggi untuk
menderita hipotiroid kongenital dibanding anak normal. Insiden hipotiroid
di Indonesia diperkirakan jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1:1500 kelahiran
hidup. Prevalensi ini lebih rendah pada Amerika Negro (1 dalam 32.000),
dan lebih tinggi pada keturunan Spanyol dan Amerika asli (1 dalam
2000).1,3
Penyebab hipotiroid yang paling sering di dunia ialah defisiensi
Iodium yang merupakan komponen pokok tiroksin (T4) dan triiodotrionin
(T3). Anak yang lahir dari ibu dengan defisiensi Iodium berat akan
mengalami hipotiroid yang tidak terkompensasi karena hormon tiroid ibu
tidak dapat melewati plasenta.1
Banyak faktor yang berperan pada hipotiroid sehingga gambaran
klinisnya bervariasi. Terjadinya hipotiroid tidak dipengaruhi oleh faktor
geografis, sosial ekonomi, maupun iklim dan tidak terdapat predileksi
untuk golongan etnis terte ntu. Umumnya kasus tiroid kongenital timbul
secara sporadik. Faktor genetik hanya berperan pada hipotiroid tipe
tertentu yang diturunkan secara autosomal resesif.1
2.5 Etiologi dan Patogenesis
Hipotiroid dapat terjadi melalui jalur berikut
Jalur 1
Agenesis tiroid dan keadaan lain yang sejenis menyebabkan
sintesis dan sekresi hormon tiroid menurun sehingga terjadi hipotiroid
primer dengan peningkatan kadar TSH tanpa adanya struma.1
Jalur 2
Defisiensi iodium berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon
tiroid menurun, sehingga hipofisis non sekresi TSH lebih banyak untuk
memacu kelenjar tiroid mensintesis dan mensekresi hormon tiroid agar
sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya kadar TSH meningkat dan kelenjar
tiroid membesar (stadium kompensasi). Walaupun pada stadium ini
terdapat struma difusa dan peningkatan kadar TSH, tetapi kadar tiroid
11
tetap normal. Bila kompensasi ini gagal, maka akan terjadi stadium
dekompensasi, yaitu terdapatnya struma difusa, peningkatan kadar TSH,
dan kadar hormon tiroid rendah.1
Jalur 3
Semua hal yang terjadi pada kelenjar tiroid dapat mengganggu atau
menurunkan sintesis hormon tiroid (bahan/ obat goitrogenik, tiroiditis,
pasca tiroidektomi, pasca terapi dengan iodium radioaktif, dan adanya
kelainan enzim didalam jalur sintesis hormon tiroid) disebut
dishormogenesis yang mengakibatkan sekresi hormon tiroid menurun,
sehingga terjadi hipotiroid dengan kadar TSH tinggi, dengan/tanpa struma
tergantung pada penyebabnya.1
Jalur 4A
Semua keadaan yang menyebabkan penurunan kadar TSH akibat
kelainan hipofisis akan mengakibatkan hipotiroid tanpa struma dengan
kadar TSH yang sangat rendah atau tidak terukur.1
Jalur 4B
Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan yang
menyebabkan sekresi TSH yang menurun akan menyebabkan hipotiroid
dengan kadar TSH rendah dan tanpa struma.1
Jalur 1, 2, dan 3 adalah patogenesis hipotiroid primer dengan kadar
TSH yang tinggi. Jalur 1 tanpa desertai struma, jalur 2 disertai struma,
dan jalur 3 dapat dengan atau tanpa struma. Jalur 4A dan 4B adalah
patogenesis hipotiroid sekunder dengan kadar TSH yang tidak terukur
atau rendah dan tidak ditemukan struma.1
2.6 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis dan skrining.1
2.6.1 Anamnesis
12
Anamnesis yang cermat pada keluarga dapat membantu
menegakkan diagnosis dengan menanyakan apakah ibu berasal dari
daerah gondok endemik, riwayat struma pada ibu, riwayat pengobatan anti
tiroid waktu hamil atau tidak, riwayat struma pada keluarga dan
perkembangan anak.1,6
2.6.2 Gejala Klinis
Kebanyakan anak dengan hipotiroid kongenital, gejala klinis pada
periode neonatal sangatlah jarang atau ringan dan tidak spesifik,
meskipun terdapat agenesis kelenjar tiroid komplit. Berat badan dan
panjang lahir adalah normal, tetapi ukuran kepala dapat sedikit meningkat
karena miksedema otak. Ikterus fisiologis yang berkepanjangan, yang
disebabkan oleh maturasi glukoronid konjugasi yang terlambat, mungkin
merupakan gejala paling awal. Kesulitan memberi makan, terutama
kelambanan, kurang minat, somnolen, dan serangan tersedak saat
dirawat, sering muncul selama umur bulan pertama. Kesulitan bernapas,
sebagian karena lidah yang besar, termasuk episode apnea, pernapasan
berbunyi, dan hidung tersumbat. Sindrom distres pernapasan yang khas
juga dapat terjadi. Bayi yang terkena sedikit menangis, banyak tidur, tidak
selera makan, dan biasanya lamban. Mungkin ada konstipasi yang
biasanya tidak berespon terhadap pengobatan. Perut besar dan biasanya
ada hernia umbilikalis. Suhu badan subnormal, sering dibawah 350C, dan
kulit terutama tungkai, mungkin dingin dan burik (mottled). Edema genital
dan tungkai mungkin ada. Nadi lambat, bising jantung, kardiomegali, dan
efusi perikardium asimptomatik biasanya ada. Anemia makrositik sering
ada dan refrakter terhadap pengobatan dengan hematinik. Karena gejala-
gejala muncul secara bertahap, diagnosis sering kali terlambat. 3,6,7
Manifestasi ini terus berkembang. Retardasi perkembangan fisik
dan mental menjadi lebih besar selama bulan-bulan berikutnya, dan pada
usia 3-6 bulan, gambaran klinis berkembang sepenuhnya. Bila hanya ada
defisiensi hormon tiroid parsial, gejalanya dapat lebih ringan, dan
onsetnya terlambat. Meskipun air susu ibu mengandung sejumlah hormon
tiroid, terutama T3, hormon ini tidak cukup untuk melindungi bayi yang
13
menyusu dengan hipotiroidisme kongenital, dan tidak mempunyai
pengaruh pada uji skrining tiroid neonatus. 6,7
Pertumbuhan anak tersendat, ekstremitas pendek, dan ukuran
kepala normal atau bahkan meningkat. Fontanella anterior dan posterior
terbuka lebar. Pengamatan tanda ini pada saat lahir dapat berperan
sebagai pedoman awal untuk mengenali hipotiroidisme kongenital. Hanya
3% bayi baru lahir normal memiliki fontanella posterior yang lebih besar
dari 0,5cm. Matanya tampak terpisah lebar, dan jembatan hidung yang
lebar terlihat cekung. Fisura palpebra sempit dan kelopak mata
membengkak. Mulut terbuka, dan lidah yang tebal serta lebar terjulur ke
luar. Pertumbuhan gigi terlambat. Leher pendek dan tebal, terdapat
endapan lemak di atas klavikula dan diantara leher dan bahu. Tangan
lebar dan jari pendek. Kulit kering dan bersisik, dan sedikit keringat.
Miksedema tampak, terutama pada kulit kelopak mata, punggung tangan,
dan genitalia eksterna. Karotenemia dapat menyebabkan warna kulit
menjadi kuning, tetapi skleranya tetap putih. Kulit kepala tebal dan rambut
kasar, mudah patah dan tipis. Garis rambut menurun jauh ke bagian
bawah dahi, yang biasanya tampak mengerut, terutama ketika bayi
menangis. 7
Perkembangan biasanya terlambat. Bayi hipotiroid tampak letargi
dan lamban dalam belajar duduk dan berdiri. Suaranya serak dan bayi
tidak mau belajar berbicara. Tingkat retardasi fisik dan mental meningkat
sejalan dengan usianya. Maturasi seksual dapat terlambat atau tidak
terjadi sama sekali. Otot biasanya hipotonik, tetapi pada keadaan yang
jarang, terjadi pseudohipertrofi otot menyeluruh (sindrom Kocher-Debre-
Semelaigne sindrome). Anak yang terkena dapat berpenampilan atletis
karena pseudohipertrofi, terutama pada otot betis. Patogenesisnya belum
diketahui. Perubahan ultrastruktural dan histokimia yang tidak spesifik
tampak pada biopsi otot yang kembali normal dengan pengobatan.
Sindrom ini cenderung berkembang pada anak laki-laki, yang telah
diamati pada saudara kandung yang lahir dari perkawinan sedarah.
Penderita menderita hipotiroidisme yang lebih lama dan lebih berat. 6
14
Tabel 1. Gejala Hipotiroid Kongenital 6
Sistem organ Manifestasi Klinis
Kulit dan jaringan ikat Kulit dingin, kering dan pucat, rambut kasar,
kering dan rapuh, kuku tebal, lambat tumbuh.
Miksedema, carotenemia, Puffy face,
makroglosi, erupsi gigi lambat, hipoplasia
enamel.
Kardiovaskuler Bradikardi, efusi perikardial, kardiomegali,
tekanan darah rendah.
Neuromuskuler Lamban (mental dan fisik), gangguan neurologis
dan fisik, refleks tendon lambat, hipotonia,
hernia umbilikalis, retardasi ental, disfungsi
serebelum (pada bayi), tuli.
Pernafasan Efusi pleura, sindrom sleep apnoe (obstruksi
saluran nafas karena lidah besar, hipotoni otot
faring), sindrom distress nafas.
Ginjal dan metabolisme elektrolit Retensi air, edema, hiponatremia, hipokalsemia
Metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein Gemuk, intoleransi terhadap dingin, absorbsi
glukosa lambat, hiperlipidemia, sintesis
proteolipid dan protein pada susunan saraf bayi
menurun.
Saluran cerna dan hepar Obstpasi (menurunnya gerakan usus), ikterus
berkepanjangan (fungsi konjugasi hepar
menurun)
Hematopoetik Anemia karena menurunnya eritropoesis,
kemampuan absorbsi zat besi rendah.
Skelet/somatik Produksi GH dan IGF 1 menurun, menyebabkan
hambatan pertumbuhan, pusat osifikasi
sekunder terhambat, maturitas dan aktifitas sel-
sel tulang menurun.
Reproduksi Pubertas terlambat, pubertas precoks, gangguan
haid.
15
2.6.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hipotiroid kongenital ditemukan nilai TSH
meningkat, dan T3 serta T4 menurun. Kadar T4 serum rendah, kadar T3
serum dapat normal dan tidak bermanfaat pada diagnosis. Jika defeknya
terutama pada tiroid, kadar TSH meningkat, sering diatas 100µU/mL.
Kadar prolaktin serum meningkat, berkorelasi dengan kadar TSH serum.
Kadar Tg serum biasanya rendah pada bayi dengan disgenesis tiroid atau
defek sintesis atau sekresi Tg. Kadar Tg yang tidak dapat dideteksi
biasanya menunjukkan aplasia tiroid.3
2.6.4 Pemeriksaan Radiologis
Retardasi perkembangan tulang dapat ditunjukkan dengan
roentgenographi saat lahir dan sekitar 60% bayi hipotiroid kongenital
menunjukkan kekurangan hormon tiroid selama kehidupan intrauterine.
Contohnya, distal femoral epiphysis, yang biasanya ada saat lahir, sering
tidak ada. Pada pasien yang tidak diobati, ketidaksesuaian antara umur
kronologis dan umur osseus meningkat. Epiphyses sering memiliki
beberapa fokus penulangan (epifisis disgenesis), deformitas (retak) dari
vertebra thorakalis 12 atau ruas lumbal 1 atau 2 sering ditemukan. Foto
tengkorak menunjukkan fontanela besar dan sutura lebar, tulang antar
sutura biasanya ada. Sella tursica sering besar dan bulat, dalam kasus-
kasus langka mungkin ada erosi dan menipis. Keterlambatan pada
pembentukan dan erupsi gigi dapat terjadi. Pembesaran jantung atau
efusi perikardial mungkin ada. 6
Skintigraphy dapat membantu menentukan penyebab pada bayi
dengan hipotiroid bawaan, tetapi pengobatan tidak boleh ditunda karena
pemeriksaan ini. Pemeriksaan 123 I-natrium iodida lebih unggul dari 99m Tc-
natrium pertechnetate untuk tujuan ini. Ultrasonographic tiroid sangat
membantu, tapi penelitian menunjukkan jaringan tiroid ektopik yang tidak
terdeteksi dengan USG tiroid dan ini dapat ditunjukkan oleh skintigrapI.
Rendahnya level TG serum menunjukkan agenesis dan peningkatan Tg
serum ada pada kelenjar ektopik dan gondok, tetapi ada tumpang tindih
dengan rentang luas. Adanya jaringan tiroid ektopik adalah diagnostik
16
untuk disgenesis tiroid yang membutuhkan pengobatan seumur hidup
dengan T4. Kegagalan menemukan jaringan tiroid menunjukkan tiroid
aplasia, tetapi hal ini juga terjadi pada bayi dengan defek trapping- iodida.
Kelenjar tiroid yang normal dengan ambilan radionuklida yang normal atau
meningkat menunjukkan cacat dalam biosintesis hormon tiroid. Pasien
dengan goiter hipotiroidisme memerlukan evaluasi lebih lanjut yaitu
pemeriksaan radioiodine, uji cairan perklorat, penelitian kinetik,
kromatografi, dan pemeriksaan jaringan tiroid, jika sifat biokimia defek
harus ditentukan. 3,6
Elektrokardiogram mungkin menunjukkan gelombang P dan T
voltase rendah dengan amplitudo kompleks QRS yang berkurang dan
menunjukkan fungsi ventrikel kiri jelek dan efusi perikardial.
Elektroensefalogram sering menunjukkan voltase rendah. Pada anak-
anak yang berumur lebih dari 2 tahun, tingkat kolesterol serum biasanya
meningkat. MRI otak sebelum pengobatan dilaporkan normal, meskipun
spektroskopi resonansi magnetik proton menunjukkan tingkat tinggi yang
mengandung senyawa kolin, yang mungkin mencerminkan blok di
pematangan myelin. 3,6
2.7Penatalaksanaan
Walaupun pengobatan hipotiroid efisien, mudah, murah dan
memberikan hasil yang sangat memuaskan, namun perlu dilakukan
pemantauan dan pengawasan yang ketat mengingat pentingnya masa
depan anak, khususnya perkembangan mentalnya. 1
Tujuan pengobatan adalah1
a. Mengembalikan fungsi metabolisme yang esensial agar menjadi
normal dalam waktu singkat. Termasuk fungsi termoregulasi, respirasi,
metabolisme otot dan otot jantung yang sangat diperlukan pada masa
awal kehidupan seperti proses enzimatik di otak, perkembangan
akson, dendrite, sel glia dan proses mielinisasi neuron.
b. Mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak
c. Mengembalikan tingkat maturitas biologis yang normal, khususnya
otak
17
2.7.1 Medikamentosa
Terapi harus dimulai segera setelah diagnosis hipotiroid kongenital
ditegakkan. Orang tua pasin harus diberikan penjelasan mengenai
kemungkinan penyebab hipoiroid, pentingnya kepatuhan minum obat dan
prognosisnya baik jika terapi diberikan secara dini. Natrium L-tiroksin
(sodium L-thyroxin) merupakan obat yang tepat untuk pengobatan
hipotiroid kongenital. Karena 80% T3 dalam sirkulasi darah berasal dari
monodeiodinasi dari T4 maka dengan dosis yang tepat kadar T4 dan T3
akan segera kembali normal. Dalam prakteknya pemberian dosis inisial
berkisar antara 25, 37,5 atau 50 g per hari. Tiroksin sebaiknya tidak
diberikan bersama-sama dengan protein kedele atau zat besi atau
makanan tinggi serat karena makanan ini akan mengikat T4 dan atau
menghambat penyerapannya.1, 3, 8
Pada umumnya dosis bervariasi tergantung dari berat badan dan
disesuaikan dengan respons masing-masing anak dalam menormalkan
kadar T4. Sebagai pedoman, dosis yang umum digunakan adalah :
0 – 6 bulan 25-50 g/hari atau 8-15 g/kg/hari
6 – 12 bulan 50-75 g/hari atau 7-10 g/kg/hari
1 – 5 tahun 50-100 g/hari atau 5-7 g/kg/hari
5 – 10 tahun 100-150 g/hari atau 3-5 g/kg/hari
>10-12 tahun 100-200 g/hari atau 2-4 g/kg/hari
Setelah masa bayi biasanya dosis berkisar sekitar 100 g/m2/hari
Untuk neonatus yang terdeteksi pada minggu awal kehidupan
direkomendasikan untuk diberikan dosis inisial sebesar 10-15 µg/kg/hari
karena lebih cepat dalam normalisasi kadar T4 dan TSH. Bayi-bayi dengan
hipotiroidisme berat ( kadar T4 sangat rendah, TSH sangat tinggi, dan
hilangnya epifise femoral distal dan tibia proksimal pada gambaran
radiologi lutut) harus dimulai dengan dosis 15 µg/kgBB/hari.1
Kadang-kadang kita dihadapkan pada diagnosis yang meragukan
dan dituntut untuk menetukan pengobatan, misalnya bila pada hasil
pemeriksaan serum didapatkan kadar T4 rendah dengan TSH normal atau
kadar T4 normal dengan kadar TSH sedikit meninggi. Bila hal ini terjadi
18
pada bayi cukup bulan maka harus dilakukan skintigrafi tiroid untuk
memastikan diagnosis. Bila pada skintigram didapatkan hipoplasia,
aplasia, kelenjar tiroid ektopik, maka dapat diberikan preparat hormone
tiroid. Bila keadaan kelenjar tiroid normal, maka harus dilakukan
pemeriksaan ulang kadar T4 dan TSH. Bila hasil pemeriksaan kadar TSH
meningkat maka pengobatan harus segera dimulai, dan bila kadar T4 dan
TSH normal maka pengobatan harus ditunda.1
Bila kadar T4 rendah dan TSH normal maka untuk memastikan
perlunya pengobatan tidak perlu dilakukan skintigrafi, namun cukup
dengan pemeriksaan kadar T4 dan TSH secara serial. Umumnya kadar T4
meningkat mendekati angka normal, sedangkan TSH tetap normal. Bila
kadar T4 terus menurun dan TSH meningkat, dapat dipertimbangkan
skintigrafi tiroid dan pengobatan dapat dimulai. Tetapi bila tanda-tanda
klinis hipotiroid jelas maka tidak perlu dilakukan skintigrafi atau
pemeriksaan darah ulang dan dapat langsung diberikan pengobatan.
Setelah usia 2 atau 3 tahun, pengobatan dihentikan untuk sementara
sambil dilakukan evaluasi apakah hipotiroid yang terjadi transien atau
menetap. Secara umum pengobatan langsung dengan dosis penuh aman
bagi neonatus. Bila ada tanda-tanda kelainan jantung atau tanda-tanda
dekompensasi jantung, maka pengobatan dianjurkan dimulai dengan
dosis rendah, yaitu 1/3 dosis, dan setelah selang beberapa hari dinaikkan
1/3 dosis lagi sampai dosis penuh yang dianjurkan tercapai.1
2.7.2 Monitoring
Untuk menentukan dosis pengobatan yang diberikan, harus
dilakukan pemantauan kemajuan klinis maupun kimiawi secara berkala
karena terapi setiap kasus bersifat individual.
Pemantauan pada pasien dengan hipotiroid kongenital antara lain:
1. Pertumbuhan dan perkembangan
2. Pemantauan kadar T4 bebas dan TSH
19
Kadar T4 harus dijaga dalam batas normal ( 10-16 µg/dl) atau T4 bebas
dalam rentang 1,4-2,3 ng/dl dengan TSH ditekan dalam batas normal.
Bone-age tiap tahun.
Jadwal pemeriksaan kadar T4 dan TSH, yaitu setiap 1-2 bulan
selama 6 bulan pertama kehidupan, tiap 3-4 bulan pada usia 6 bulan – 3
tahun, selanjutnya tiap 6-12 bulan. Selain itu kadar T4 dan TSH juga harus
diperiksa 6-8 minggu setelah perubahan dosis. Hal ini penting untuk
mencegah pengobatan yang berlebihan. Efek samping dari pengobatan
berlebihan ini adalah fusi dini dari sutura, percepatan kematangan tulang,
dan masalah pada tempramen, dan perilaku. Hal ini penting untuk
mencegah pengobatan yang berlebihan. Efek samping dari pengobatan
berlebihan ini adalah fusi dini dari sutura, percepatan kematangan tulang,
dan masalah pada tempramen, dan perilaku.1,8
2.7.3 Suportif
Selain pengobatan hormonal juga diperlukan beberapa pengobatan
suportif lainnya. Anemia berat diobati sesuai dengan protokol anemia
berat. Rehabilitasi atau fisioterapi diperlukan untuk mengatasi retardasi
perkembangan motorik yang sudah terjadi. Penilaian intelegensi atau IQ
dilakukan menjelang usia sekolah untuk mengetahui jenis sekolah yang
dapat diikuti, sekolah biasa atau luar biasa.4,8
2.7.4 Diet
Suplementasi Iodium sangat dibutuhkan terutama di daerah
defisiensi Iodium. Umumnya anak yang menderita hipotiroid kongenital
dan mendapat replacement hormon tiroid, asupan makanan yang
mengandung goitrogen harus dibatasi seperti asparagus, bayam, brokoli,
kubis, kacang-kacangan, lobak, salada, dan susu kedelai karena dapat
rnenurunkan absorbsi Sodium-L-Tiroksin.4,8
2.7.5 Skrining
Di negara maju program skrining hipotiroid kongenital pada
neonatus sudah dilakukan. Sedangkan untuk negar berkembang seperti
Indonesia masih menjadi kebijakan nasional. Tujuannya adalah untuk
eradikasi retardasi retardasi mental akibat hipotirod kogenital. Skrining
20
dilakukan dengan mengukur kadar T4 atau TSH yang dilakukan pada
kertas saring pada usia 3-4 hari. Bayi yang memiliki kadar TSH awal > 50
µU/mL memiliki kemungkinan sangat besar untuk menderita hipotiroid
kongenital permanen, sedangkan kadar TSH 20-49 µU/mL dapat
menunujukkan hipotiroid transien atau positif palsu.1
2.8 Prognosis
Dengan adanya program skrining neonatus untuk mendeteksi
hipotiorid kongenital, prognosis bayi hipotiroid kongenital lebih baik dari
sebelumnya. Diagnosis awal dan pengobatan yang cukup sejak umur
minggu pertama kehidupan memungkinkan pertumbuhan linier yang
normal dan intelegensinya setingkat dengan saudara kandung yang tidak
terkena. Tanpa pengobatan bayi yang terkena menjadi cebol dan
defisiensi mental. Bila pengobatan dimulai pada usia 46 minggu IQ pasien
tidak berbeda dengan IQ populasi kontrol. Program skrinng di Quebec
(AS) mendapatkan bahwa IQ pasien pada usia 1 tahun sebesar 115, usia
18 bulan sebesar 104, dan usia 36 bulan sebesar 103. Pada pemeriksaan
di usia 36 bulan didapatkan “hearing speech” dan “practical reasoning”
lebih rendah dari populasi control. Pada sebagian kecil kasus dengan IQ
normal dapat dijumpai kelainan neurologis, antara lain gangguan
koordinasi motorik kasar dan halus, ataksia, tonus otot meningggi atau
menurun, gangguan pemusatan perhatian dan gangguan bicara. Tuli
sensorineural ditemukan pada 20% kasus hipotiroid kongenital.1,3
BAB III
21
KESIMPULAN
Hipotiroid kongenital merupakan gangguan pertumbuhan kelenjar
tiroid secara kongenital. Gejala klinis Hipotiroid kongenital tidak begitu
jelas Diagnosis Hipotiroid kongenital ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gejala klinis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan skrining. Skrining pada
Hipotiroid kongenital dilakukan pada minggu pertama bayi lahir, untuk
mencegah komplikasi lanjut.
Perlu deteksi dini kasus hipotiroid kongenital dan pemberian
penatalaksanaan yang tepat demi tercapainya pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental yang optimal bagi penderita hipotiroid kongenital
BAB IV
22
LAPORAN KASUS
4.1 Identitas Pasien
Nama : Kesya Aulia Putri
Tanggal Lahir : 9 Desember 2012
Umur : 1 tahun 5 bulan
No MR :77.46.05.00
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Padang
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jl. Cipinang Muara RT02/RW01 No.63D Jakarta
Timur
MRS : 16 Mei 2014 (Pkl. 11.18 WIB di IGD Anak)
Tanggal pemeriksaan: 20 Mei 2014 (Pkl. 11.00 WIB, di Bangsal Anggrek
RS UKI)
4.2 Anamnesis (Alloanamnesis)
4.2.1 Keluhan Utama : Demam
4.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam tinggi sejak ±1hari SMRS.
Demam muncul mendadak dan terus menerus. Pasien sempat di ukur
suhu tubuhnya 38,60C. Keluhan lain pasien sempat batuk berdahak dan
pilek sejak ±4hari SMRS. Pasien sempat di bawa berobat dan diberi obat
namun keluhan tidak berkurang. Keluhan lain pasien menjadi tampak
nafsu makannya berkurang dan semakin rewel. Keluhan BAK dan BAB
disangkal, sesak napas disangkal, mual dan muntah disangkal.
4.2.3 Riwayat Penyakit Terdahulu
Sejak umur 9 bulan pasien didiagnosa mengalami Down Syndrome oleh
dokter di RS Hermina dan RSCM. Pasien juga didiagnosa mengalami
Hipotiroid Kongenital. Pasien mempunyai riwayat pneumonia ±1 bulan
SMRS, sempat di rawat di RSCM dan sempat dinyatakan sembuh.
4.2.4 Riwayat Pengobatan
23
Pasien mendapatkan terapi Thyrax dari RSCM untuk terapi Hipotiroid
Kongenital.
4.2.5 Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat penyakit Hipotiroid di dalam keluarga disangkal.
4.2.6 Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, kejiwaan, dan kebiasaan:
Pasien mempunyai riwayat keterlambatan dalam tumbuh kembang dan
riwayat imunisasi tidak lengkap. Riwayat imunisasi Hepatitis B 1 kali, Polio
1 kali, DPT 1 kali, BCG 1 kali.
4.2.7 Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Selama kehamilan, ibu pasien memeriksa kehamilan sebulan 1 kali dan
pada bulan terakhir sebanyak 1 kali seminggu, dan ibu pasien bersalin di
tolong oleh bidan di rumah bersalin pada tanggal 9 Desember 2012,
4.2.8 Riwayat Nutrisi
ASI diberikan sejak pasien lahir sampai sekarang masih berlanjut.
Makanan pendamping asi (PASI) yang diberikan adalah pediasure,buah-
buahan seperti pisang,melon,pepaya, dan nasi Tim. Pemberian ASI dan
susu tambahan diberikan setiap hari dengan frekuensi 12 kali, buah-
buahan sebanyak ½ atau 1 potong sehari, nasi Tim sebanyak 3 kali
sehari.
4.2.9 Riwayat Alergi
Riwayat alergi disangkal.
4.2.10 Riwayat Sosial
Pasian adalah anak kedua, tinggal bersama ayah, ibu, dan 1 kakak laki-
laki. Pasien bertempat tinggal di tempat yang padat penduduk.
4.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present (16 Mei 2014)
Keadaan umum : tampak sakit sedang Panjang Badan : 85 cm
Kesadaran : kompos mentis Berat Badan : 7,4 kg
Nadi : 140 x/ menit, reguler, isi cukup
Respirasi : 32 x/ menit, reguler.
Suhu Aksila : 39,5° C
24
Status General (16 Mei 2014)
Kepala : kepala bulat lonjong, wajah tampak mongoloid
Leher :Kelenjar getah bening tidak membesar
Mata :Anemia ( -/- ), ikterus ( -/- ), refleks pupil ( +/+ )
isokor, strabismus(+)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret(-)
Mulut : faring: hiperemis(+), Lidah : makroglosia (+)
Dada :diameter laterolateral > anteroposterior
Thorax
Jantung:
Inspeksi: iktus kordis terlihat pada midclavicula sinistra ICS 5
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V Midclavicula sinistra
Perkusi : batas jantung kanan: garis parasternal sinistra ICS 4;
batas jantung kiri: garis Midclavicula sinistra ICS 4
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur(-), gallop(-)
Paru-paru :
Inspeksi : pergerakan dinding simetris, retraksi sela iga (-),
normochest
Palpasi : stem fremitus simetris
Perkusi : sonor, simetris kanan dan kiri
Auskultasi : bising nafas dasar bronkial , Ronki +/+, wheezing -/-
Abdomen:
Inspeksi : umbilikus tampak menonjol
Auskultasi : Bising usus (+), 4x/menit
Palpasi : Supel,hepar dan spleen tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : akral hangat ( + ), capillary refil time <2”,
normotonus, ROM baik
25
Apgar Score Hypothyroidsm
Gejala Score pasien
Hernia umbilical 2 2
Female 1 1
Pucat, hipotermia 1 1
Fascies tipikal, edema 2 2
Makroglosia 1 1
Jaundice kronis 1 0
Hypotonus 1 0
Kulit kasar, kering 1 0
Fontanelle posterior terbuka 1 0
Konstipasi 2 2
Kelahiran > 40 minggu 1 0
Berat badan lahir>3,5kg 1 0
TOTAL 8
*diagnosis Hipotiroid Kongenital jika skor >5*
Status Antropometri
BB : 7400g
PB :85 cm
Bb/U : (7,4:9,1)x100%= 81,31% (gizi baik)
TB/U : (85:80)x100%=106,35% (tinggi normal)
BB/TB: (7,4:11,5)x100%=64,34% (gizi buruk)
4.4Diagnosa Kerja
HIPOTIROID KONGENITAL + Bronkitis
26
4.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hematologi
(16-05-2014)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Laju Endap Darah 45 mm/jam <15
Hemoglobin 12,4 g/dl 12-14
Leukosit 14,8 ribu/ul 5-10
Eritrosit 4,24 juta/ml 4,5-5,5
Hematokrit 34,9 % 37-43
Trombosit 267 ribu/ul 150-400
MCV 82,2 /fl 82-92
MCH 29,2 pg 27-31
MCHC 35,5 % 32-36
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 0 % 0-3
Neutrofil batang 4 % 2-5
Neutrofil segmen 64 % 50-70
Limfosit 27 % 20-40
Monosit 5 % 2-8
SGOT/AST 60 U/L 10-34
SGPT/ALT 18 U/L 9-36
4.6 Terapi
Diet: biasa
IVFD: Tridex plain 8 tetes/menit(makro)→30 tetes/menit(mikro)
Mm/:
-Sanmol drip 3x100mg
-Isprinol 3 x ½ CTH
-Inhalasi ventolin+pulmicort 2x/hari
27
4.7 Follow up
(TANGGAL) (S) (O) (A) (P)
17-05-2014 Batuk
berdahak
(+),
pilek(+)
KU:TSS
Kes : CM
R R : 30 x /
menit
N : 124x /menit
S:37,5oC
Status
Generalis :
Mata :
konjungtiva
pucat -/- ,
sklera ikterik-/-,
Leher: kelenjar
getah bening
tidak
membesar
THT:
Faring
hiperemis(-),
Tonsil: T1-T1,
hiperemis (-)
Makroglosia(+)
Thorax :
Inspeksi:
Pergerakan
dinding dada
simetris
Palpasi:
stem fremitus
-Bronkitis,
Hipotiroid
kongenital
Diet: biasa
IVFD:
Tridex plain
30tetes/menit
(mikro)
Mm/:
-Cefotaxime
2x350mg
-Sanmol 3x80mg
-Isprinol 3x ½ CTH
-Mucopect 2tab,
Ryvell ¾ tab,
Salbutamol ¾ tab
→Puyer batuk
3x1pulv
-Nymico 3x0,7cc
28
simetris
Perkusi: sonor
simetris
Auskultasi:
BND bronkial,
ronkhi +/+,
wheezing -/-,
bunyi jantung I
dan II reguler,
murmur(-),
gallop(-)
Abdomen :
Inspeksi:
umbilikus
tampak
menonjol
Auskultasi;
BU(+),5x/menit
Palpasi: Supel
Perkusi:
Timpani
Ekstremitas:
Akral hangat,
CRT<2”, ROM
baik
18-5-2014 Batuk
berdahak
(+),
pilek(+),
Kes : CM
KU : TSS
N : 100 x/menit
R R : 40x/menit
S : 36,7oC
Status
-Bronkitis,
Hipotiroid
Kongenital
Diet: biasa
IVFD: Tridex Plain
30 tetes/menit (IV)
Mm/:
-Cefotaxime
2x350mg (IV)
29
Generalis:
Mata :
konjungtiva
pucat -/- ,
sklera ikterik-/-,
Leher: kelenjar
getah bening
tidak
membesar
THT:
Faring
hiperemis(-),
Tonsil: T1-T1,
hiperemis (-)
Makroglosia
(+)
Thorax :
Inspeksi:
Pergerakan
dinding dada
simetris
Palpasi:
stem fremitus
simetris
Perkusi:
Sonor simetris
Auskultasi:
BND bronkial,
ronkhi +/+,
wheezing -/-,
bunyi jantung I
dan II reguler,
-Sanmol 3x80mg
(IV)
-Isprinol 3x ½
CTH(PO)
- Mucopect 2tab,
Ryvell ¾ tab,
Salbutamol ¾ tab
→Puyer batuk
3x1sach(PO)
-Nymico
3x0,7mg(PO)
-Dexamethason
extra k/p
-Inhalasi 2x/hari;
ventolin-pulmicort
30
murmur(-),
gallop(-)
Abdomen :
Inspeksi:
umbilikus
tampak
menonjol
Auskultasi;
BU(+),4x/menit
Palpasi: Supel
Perkusi:
Timpani
Ekstremitas:
Akral hangat,
CRT<2”, ROM
baik
19-5-2014 Batuk(+),
pilek(+)
KU:TSS
Kes : CM
N: 116x/menit
RR : 36 x/menit
S : 37,3oC
Status
Generalis:
Mata :
konjungtiva
pucat -/- ,
sklera ikterik-/-,
Leher: kelenjar
getah bening
tidak
membesar
-Bronkitis
-Hipotiroid
Kongenital
Diet: biasa
IVFD:
-Tridex plain: 30
tetes/menit
Mm/:
-Cefotaxime
2x500mg
-Sanmol drip
3x80mg
-Isprinol 3x ½ CTH
- Mucopect 2tab,
Ryvell ¾ tab,
Salbutamol ¾ tab
→Puyer batuk 3x1
pulv DTD
31
THT:
Faring
hiperemis(-),
Tonsil: T1-T1,
hiperemis (-)
Makroglosia(+)
Thorax :
Inspeksi:
Pergerakan
dinding dada
simetris
Palpasi:
stem fremitus
simetris
Perkusi:
sonor simetris
Auskultasi:
BND bronkial,
ronkhi +/+,
wheezing -/-,
bunyi jantung I
dan II reguler,
murmur(-),
gallop(-)
Abdomen :
Inspeksi:
umbilikus
tampak
menonjol
Auskultasi;
BU(+),4x/menit
Palpasi: Supel
-Nymico 3x0,7mg
-Inhalasi 2x/hari
32
Perkusi:
Timpani
Ekstremitas:
Akral hangat,
CRT<2”, ROM
baik
20-5-2014 Batuk
berdahak
(+), pilek
(+), nafsu
makan
membaik
KU: TSS
Kes : CM
RR : 36x/menit
N :120 x/menit
S : 36,5oC
Status
Generalis :
Mata :
konjungtiva
pucat -/- ,
sklera ikterik-/-,
Leher: kelenjar
getah bening
tidak
membesar
THT:
Faring
hiperemis(-),
Tonsil: T1-T1,
hiperemis (-)
Makroglosia(+)
Thorax :
Inspeksi:
Pergerakan
dinding dada
-Bronkitis
-Hipotiroid
Kongenital
Diet: Biasa
IVFD:
-Tridex plain 30
tetes/menit
Mm/:
-Cefotaxime
2x500mg
-Sanmol drip
3x80mg
-Isprinol 3x ½ CTH
- Mucopect 2tab,
Ryvell ¾ tab,
Salbutamol ¾ tab
→Puyer batuk 3x1
pulv DTD
-Nymico 3x0,7mg
-Inhalasi 2x/hari
33
simetris
Palpasi:
stem fremitus
simetris
Perkusi:
sonor simetris
Auskultasi:
BND bronkial,
ronkhi +/+,
wheezing -/-,
bunyi jantung I
dan II reguler,
murmur(-),
gallop(-)
Abdomen :
Inspeksi:
umbilikus
tampak
menonjol
Auskultasi;
BU(+),5x/menit
Palpasi: Supel
Perkusi:
Timpani
Ekstremitas:
Akral hangat,
CRT<2”, ROM
baik
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Batubara, Jose RL, dkk. Ganggguan Kelenjar Tiroid. Dalam : Buku
Ajar Endokrinologi Anak Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010.
hal.205-212.
2. Schteingart, David E. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Price AS,
Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
ke-6, Volume 2. Jakarta: EGC, 2006. hal 1225-1234.
3. La Franchi, Stephen. Hypothyroidism. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics 18th ed.
Philadelphia: Saunders, 2007.hal. 2319-25.
4. Postellon DC, Bourgeouis MJ. Anatomy of Thyroid Gland. 2009. Di
akses dari www.emedicine.medscape.com .
5. Sherwood, Lauralee. Organ Endokrin Perifer. Fisiologi Manusia Dari
Sel ke Sistem (Human Physiology: From Cells to Systems). Edisi 6.
Jakarta: EGC, 2012. hal 758-762.
6. Van vliet, G, Polak, M. Pediatric Endocrinology Fifth Edition volume 2.
Thyroid Disorders In Infancy. New York : Informa Healthcare USA Inc.
2007.hal. 392-8.
7. Larson, Cecilia A. Congenital Hypothyroidism. Dalam: Radovick, S,
MD, MacGilivray, MH, MD, editor. Pediatric Endocrinology : A Practical
Clinical Guide. New Jersey : Humana Press Inc. 2003.hal. 275-284.
8. Jian, Vandana, dkk. Congenital Hypothyroidism. 2010. Di akses dari
www.newbornwhocc.org.
35