hiv aids manajemen
DESCRIPTION
hiv aids vct pict cst stigma arvTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah HIV-AIDS adalah masalah yang mengglobal dimana HIV/AIDS
merupakan penyakit yang belum ada obatnya dan belum bisa disembuhkan.
Human Immunedeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang dan
merusak system kekebalan tubuh manusia. Acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia
setelah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Seseorang positif terkena
HIV terlihat sehat untuk jangka waktu yang lama setelah terinfeksi. Namun
lambat laun virus ini akan membunuh dan merusak system kekebalan tubuh
sehingga tubuh kehilangan kemampuan untuk melawan infeksi dan penyakit lain.
Definisi ini membuat seseorang sangat takut ketika mendengar tentang
HIV/AIDS.1 Sejauh ini, jumlah pengidap HIV/AIDS yang terlihat jauh lebih kecil
dari jumlah sebenarnya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat
masih enggan untuk memeriksakan diri karena masih ada stigma terhadap
pengidap HIV/AIDS di masyarakat. Lebih dari 58% yang terkena HIV-AIDS
adalah anak muda yang berusia sekitar 15-29 tahun dan mungkin terinfeksi HIV
pada saat remaja. Sementara perkiran orang yang terinfeksi HIV-AIDS pada tahun
2010 di Indonesia berjumlah 1-5 juta orang.1 Berdasarkan data orang yang
terinfeksi tersebut maka berbagai upaya dilakukan demi mencegah penyebaran
virus tersebut. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain melakukan pencegahan ke
berbagai status kehidupan social. Tidak hanya upaya pencegahan yang dilakukan
tetapi upaya perawatan untuk HIV-AIDS juga terus dikembangkan. Maka dari itu
kami akan membahas tentang pecegahan HIV-AIDS yaitu VCT, PICT, CST dan
perawatan HIV-AIDS dengan ARV.2
BAB II
ISI
1
2.1 STIGMA HIV/AIDS
Stigma adalah pandangan negatif yang menempel pada pribadi seseorang
terhadap penderita HIV/AIDS karena pengaruh lingkungannya. Stigma terhadap
orang yang terkena HIV/AIDS atau disebut ODHA adalah suatu pandangan
negative terhadap Odha yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh
lingkungannya.3 Hal ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan penderita HIV/AIDS
meliputi masyarakat dan media massa, sedangkan faktor internal adalah faktor
yang berasal dari penderita itu sendiri.
2.1.1 Faktor Eksternal
Stigma dari masyarakat muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat
mengenai HIV/AIDS secara menyeluruh. Masyarakat mengetahui HIV/AIDS
sebatas “penyakit ini menular dan penderitanya berbahaya”. Adanya
ketidakpahaman ini menyebabkan timbulnya sikap seperti diskriminasi dengan
tidak mau bergaul dengan ODHA dan stigma bahwa penderita HIV harus
dihindari. Pemahaman yang setengah-setengah dan tidak menyeluruh tersebut
timbul karena adanya disfungsi media massa. Media massa yang merupakan
sumber informasi bagi masyarakat masih memberikan informasi yang kurang
jelas.4 Pemberitaan yang muncul lebih didominasi bahaya HIV/AIDS
dibandingkan upaya untuk mencegah penyebarannya. Adanya pemberitaan yang
kurang lengkap ini menyebabkan masyarakat melakukan interpretasi yang salah
dalam menyikapi kasus HIV/AIDS. Dampak lebih lanjut dari pemberitaan media
massa yang kurang menyeluruh ini menyebabkan masyarakat terpengaruh secara
mental untuk mendiskriminasikan penderita HIV/AIDS.
2.1.2 Faktor Internal
2
Munculnya stigma di masyarakat diperkuat dengan perilaku yang timbul
dari ODHA yang diakibatkan oleh masalah psikososial. Ketidakmampuan
beradaptasi penderita HIV/AIDS terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya
dapat mengakibatkan rasa minder, stress, putus asa, frustasi, dan depresi.4 Segala
macam faktor psikososial ini memperngaruhi tingkah laku ODHA sehingga
mereka cenderung memilih untuk menutup diri dari masyarakat. Hal tersebut
justru menambah stigma masyarakat dan memicu diskriminasi terhadap ODHA.
2.2 VCT (Voluntary Counseling Testing)
2.2.1 Definisi Konseling dalam Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Konseling dalam VCT adalah kegiatan yang menyediakan dukungan
psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan
antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan
HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat
dan lebih aman.5
2.2.2 Definisi VCT
VCT atau Voluntary Counseling Testing adalah salah satu strategi kesehatan
masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS
berkelanjutan. Prinsip dari VCT yaitu Sukarela dalam melaksanakan testing HIV,
saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas, mempertahankan hubungan
relasi konselor dan klien yang efektif Konselor mendukung klien untuk kembali
mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk
mengurangi prilaku beresiko, testing merupakan salah satu komponen dari VCT.
2.2.3 Peran VCT sebagai pintu gerbang pencegahan dan perawatan HIV6
Pencegahan HIV yaitu untuk :
a) Memfasilitasi perubahan perilaku
b) Memfasilitasi intervensi MCTC
3
c) Terapi pencegahan & perawatan reproduksi
Perawatan HIV yaitu untuk :
a) Manajemen dini infeksi oportunistik & IMS; introduksi ARV
b) Perencanaan masadepan, perawatan anak yatim piatu, pewarisan
c) Normalisasi HIV/AIDS
d) Rujukan dukungan social dan sebaya
e) Penerimaan sero-status, coping & perawatan diri.
2.2.4 Tahapan VCT5,6
a. Pre-test counseling
Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan
untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien
tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi pengetahuan
klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah
menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari depan, membantu klien
memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan informed consent dan konseling
seks yang aman.
b. HIV testing
Tes HIV yang umumnya digunakan adalah Enzyme Linked Imunosorbent
Assay (ELISA), Rapid Test dan Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah
kemampuan tes untuk mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan
spesifisitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang
sangat spesifik.
c. Post-test counseling
Post-test counseling adalah diskusi antara konselor dengan klien yang
bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan
4
hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional
klien, membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna dalam
kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti
dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan perawatan, dan membuat
perencanaan dukungan.
GOLD STANDAR TAHAPAN VCT5
2.3 PICT (Provider Initiative Counseling and Testing)
5
Konseling pra tes mencakup penilaian kondisi perilaku berisiko dan kondisi psikososial, dan penyediaan informasi faktual tertulis ataupun lisan
Gejala atau kecemasan yang membawa seseorang memutuskan untuk tes status HIV
Beri waktu untuk berpikir
Penundaan pengambilan darah
Pengambilan darah
HIV Negatif :Mendorong mengubah prilaku kearah positif
Lakukan periksa ulang
HIV Positif:
Sampaikan berita dengan hati-hati, dan sediakan waktu yang cukup untuk berdiskusi
Gerakan keluarga dan masyarakat
Konseling berkelanjutan, dan motivasi
2.3.1 Definisi PICT
Diperlukan deteksi dini penemuan kasus penderita HIV/AIDS dalam upaya
mengendalikan penyebaran penyakit HIV/AIDS. Mengapa deteksi dini ini begitu
penting? Deteksi dini dapat mencegah penderita HIV yang tidak tahu bahwa
dirinya terinfeksi untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain karena penderita
HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain meskipun
belum menunjukkan gejala klinis. Di Indonesia dan sebagian besar negara lain,
telah diadakan program konseling dan tes HIV sukarela atau VCT (Voluntary
Counseling and Testing). Program VCT ini dilakukan secara sukarela dan rahasia.
Namun, karena sifatnya sukarela, VCT belum dapat menjaring terlalu luas.
Masyarakat belum secara sukarela penuh untuk melakukan VCT karena minimnya
pengetahuan, stigma masyarakat, serta perasaan malu dan takut. Hal ini tentu saja
diperparah dengan suatu fakta bahwa gejala – gejala penyakit akibat infeksi HIV
baru muncul setelah beberapa tahun terinfeksi HIV. Sehingga, para penderita HIV
tidak merasa sakit sehingga menambah keengganan mereka untuk melakukan
VCT ini.
PICT (Provider Initiative Counseling and Testing) adalah suatu tes HIV
dimana inisiatifnya bukan berasal dari pasien seperti pada VCT melainkan berasal
dari penyedia layanan kesehatan. Penyedia layanan kesehatan berperan aktif untuk
melihat apakah pasien bersangkutan memiliki gejala-gejala terinfeksi HIV
ataupun faktor risiko tinggi terpapar HIV. Setiap pasien yang datang ke dokter
dengan indikasi gejala-gejala infeksi HIV dapat segera dideteksi apakah positif
atau tidak sehingga deteksi dini HIV dapat lebih efektifPasien akan mendapat
keuntungan dengan mengetahui status HIV, mereka dapat menentukan
pencegahan spesifik ataupun pengobatannya. Dalam keadaan seperti ini,
konseling dan tes HIV direkomendasikan oleh penyedia layanan kesehatan
sebagai suatu bagian dari paket yang disediakan untuk semua pasien selama
interaksi di fasilitas kesehatan.7
2.3.2 Keunggulan PICT
6
Di Indonesia dan sebagian besar negara lain, telah diadakan program
konseling dan tes HIV sukarela atau VCT (Voluntary Counseling and Testing).
Program VCT ini dilakukan secara sukarela dan rahasia. Namun, karena sifatnya
sukarela, VCT belum dapat menjaring terlalu luas. Masyarakat belum secara
sukarela penuh untuk melakukan VCT karena minimnya pengetahuan, stigma
masyarakat, serta perasaan malu dan takut. Hal ini tentu saja diperparah dengan
suatu fakta bahwa gejala – gejala penyakit akibat infeksi HIV baru muncul
setelah beberapa tahun terinfeksi HIV. Sehingga, para penderita HIV tidak
merasa sakit sehingga menambah keengganan mereka untuk melakukan VCT ini.
Oleh karena itu munculah suatu gagasan untuk beralih ke Provider Initiated
Counseling and Testing (PICT).
Keuntungan dari PICT ini adalah provider kesehatan berperan aktif untuk
melihat apakah pasien bersangkutan memiliki gejala-gejala terinfeksi HIV
ataupun faktor risiko tinggi terpapar HIV. Setiap pasien yang datang ke dokter
dengan indikasi gejala-gejala infeksi HIV dapat segera dideteksi apakah positif
atau tidak sehingga deteksi dini HIV dapat lebih efektif. Penderita penyakit yang
memiliki kemungkinan menderita HIV/ AIDS adalah penderita penyakit infeksi
menular seksual (IMS), tuberculosis, dan beberapa penyakit lainnya. Selain itu,
provider kesehatan juga dapat mendatangi orang-orang yang memiliki risiko
tinggi tertular HIV, seperti WPS, lelaki pengguna WPS, homoseksual, pengguna
NAPZA suntik. PICT juga dapat disediakan sebagai salah satu asuhan
keperawatan sebelum melahirkan karena meningkatnya Mother to Child
Transmission (MTCT) pada beberapa tahun terakhir.
Pada Agustus 2006, dalam upaya untuk memberikan beberapa arahan,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Program Bersama PBB tentang HIV
/AIDS (UNAIDS) mengeluarkan pernyataan yangmereka mempromosikan tes
HIV dan Konseling yang diprakarsai oleh penyedia layanan kesehatan di fasilitas
kesehatan, dan beberapa bulan kemudian WHO merilis guidelines untuk
pelaksanaan PICT.8
2.3.3 Elemen dan Proses PICT Elemen PICT
7
Beberapa elemen seperti aspek sosial, peraturan dan kerangka pelaksanaan
yang harus ada untuk mendukung implementasi dari PICT di fasilitas kesehatan
antara lain adalah :9
Persiapan komunitas dan mobilisasi sosial
Kampanye kepada masyarakat harus dilakukan untuk meningkatkan
kepedulian mengenai HIV/AIDS, mempromosikan hak dari ODHA dan
keuntungan dari mengetahui status HIV, dan menyediakan informasi yang jelas
tentang ketersediaan tes HIV, pencegahan dan care and support treatment, serta
mengikutsertakan ODHA dalam implementasi dan monitoring kampanye tersebut.
Sumber Daya dan Infrastruktur yang Adekuat
Pembuat kebijakan dan perencana harus mengantisipasi kebutuhan sumber
daya tambahan yang diperlukan untuk mengimplementasikan PICT di fasilitas
kesehatan, mencakup training, infrastruktur klinis dan pembelian komoditas
seperti alat tes HIV. WHO dan UNAIDS merekomendasikan agar tidak ada biaya
tambahan yang dibebankan pada pelaksanaan PICT kepada pasien.
Health care provider training
Investasi utama yang harus dimiliki ketika ingin mengimplementasikan
PICT adalah training dan supervise terhadapa penyedia layanan kesehatan .
Training untuk orang yang akan memberikan pelayanan PICT juga harus
dilakukan pada staf yang akan berhubungan dengan pasien di fasilitas pelayanan
kesehatan, harus dikembangkan dan diimplementasikan ketika melakukan PICT.
Training harus berdasarkan protocol dan sesuai are sebagai berikut :
– Memastikan Proses Etik Dalam Melakukan Informed Consent
Pasien harus mendapatkan informasi yang adekuat sebagai dasar
pengambilan keputusan personal yang sukarela untuk melakukan tes,
dan memberikan kesempatan pada pasien untuk menolak rekomendasi
untuk tes dan konseling HIV tanpa ada paksaan.
– Memproteksi Kerahasian dan Privasi
training yang dilakukan harus melatih penyedia layanan kesehatan agar
bertanggung jawab untuk menjaga kerahasiaan hasil tes , walaupun
pasien telah menandatangani informed consent untuk melakukan tes
HIV secara sukarela, dan hasilnya akan dimasukan kedalam rekam
8
medis pasien, penyedia layanan kesehatan yang bertugas untuk mencatat
hasil tes tersebut tidak boleh disebarluaskan sebagai tanggung jawab
terhadap pasien.
– Mencegah Stigma dan Diskriminasi di Fasilitas Kesehatan
Implementasi dari PICT merupakan kesempatan untuk meningkatkan
kepedulian mengenai HIV/AIDS dan HAM diantara penyedia layanan
kesehatan agar pasien mendapatkan pelayanan yang sesuai standar.
– Patient referral
Penyedia layanan kesehatan harus mendapatkan training tentang cara
rujukan yang diperlukan oleh pasien, pasangannya, serta keluarganya
dan menyediakan CST termasuk PICT.
Monitoring dan Sistem Evaluasi
Sistem yang memonitor implementasi dari penerapan PICT
Proses PICT
Berikut merupakan bagan dari proses PICT 10
9
1. Interpretasi Hasil Tes
Hasil testing positif (disebut reaktif) dan testing negatif (disebut non- reaktif)
atau indeterminate. Hasil reaktif apabila pada hasil pemeriksaan pertama
10
Pasien datang dengan/tanpa keluhan yang mengarah pada
gejala/tanda HIV/AIDS atau dengan riwayat perilaku berisiko
(riwayat penggunaan napza, perilaku seksual berisiko riwayat
transfusi darah dan lainnya)
Dokter/Tenaga kesehatan memberikan KIE dan diskusi yang cukup
dan menginisiasi pasien untuk melakukan testing
Setuju Tidak
Penandatanganan informed consent
Testing HIV
Membuka hasil untuk dilanjutkan dengan tatalaksana selanjutnya sesuai kebutuhan pasien
Pemberian KIE dan anjuran untuk melakukan testing kembali
reaktif, dilanjutkan kedua reaktif dan dilanjutkan keti ga tetap reaktif, atau
melewati hasil indeterminate namun hasil akhir akhir adalah reaktif (strategi
reaktif dan non reaktif bisa berupa dua kali reaktif atau dua kali non-reaktif
dengan melihat penilaian faktor risiko klien/pasien. Bila hasil indeterminate,
pemeriksaan harus diulang dengan spesimen baru setelah 2 minggu, 1 bulan, 3
bulan, 6 bulan, 1 tahun. Bila sampai 1 tahun hasil tetap indeterminate dan
faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan non reaktif.
2. Konseling Pasca Tes
Konseling pasca testing membantu klien/pasien dan orang terdekatnya untuk
memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes. Konselor mempersiapkan
klien untuk menerima hasil tes, memberikan hasil tes dan menyediakan
informasi selanjutnya.
3. Pemeriksaan Kesehatan
Pemeriksaan kesehatan rutin dilakukan kepada klien untuk mengetahui status
kesehatan mereka. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu :
a. Pemeriksaan fisik
b. Pemeriksaan penunjang lainnya: laboratorium darah rutin, hitung CD 4,
kadar virus dalam darah/viral load/VL, foto rontgen toraks dan lainnya sesuai
dengan indikasi.
4. Pemberian Profilaksis dan Terapi
Pemberian profilaksis dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi
oportunistik dilakukan sesuai dengan indikasi yaitu jumlah sel CD4 di darah
tepi kurang dari 200/µl
2.4 Care, Support and Treatment (CST)11
2.4.1 Definisi CST
11
CST merupakan suatu layanan medis, psikologis dan sosial yang terpadu
dan berkesinambungan dalam menyelesaikan masalah terhadap ODHA selama
perawatan dan pengobatan.
Dalam pelaksanaan CST yang optimal, perlu adanya kerjasama dari
semua pihak, termasuk dari bagian pemerintah, praktisi kesehatan, LSM serta
elemen lainnya, dalam peningkatan akses pendanaan, perencanaan yang mapan
dan penataan manajemen progam untuk mempercepat langkah global
penanggulanggan HIV/AIDS jangka panjang.
a. Care (perawatan)
Implementasi perawatan (care) bersifat komprehensif berkesinambungan,
yaitu perawatan yang melibatkan jaringan sumberdaya dan pelayanan dukungan
secara holistik, komprehensif dan luas untuk ODHA maupun keluarganya dan
menghubungkan antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan di rumah
secara timbal balik sepanjang perjalanan penyakit. Pencapaian hal tersebut
merupakan tanggung jawab tenaga medis yang berperan pada perawatan rumah
sakit dan keluarga yang berperan pada perawatan di rumah, tindakan kedua pihak
terhadap perawatan ODHA harus dimaksimalkan agar pelayanan komprehensif
bisa tercapai.
Yang perlu disosialisasikan adalah kesinambungan perawatan di rumah,
seperti pendanaan dan informed consent tertulis antara ODHA, keluarga, dokter
dan elemen terkait. Perbekalan untuk ODHA dan perawatan di rumah, seperti
sarung tangan lateks sekali pakai, masker, juga perlu penyediaan obat demam,
diare, anti mual, anti nyeri jika sewaktu waktu diperlukan. Diet gizi seimbang,
kebersihan pengolahan bahan mentah, kesterilan alat dan proses memasak serta
kematangan penyajian makanan dan minuman bagi ODHA penting diperhatikan.
Serta Kenyamanan perawatan bagi ODHA.
b. Support (dukungan)
Dukungan merupakan pengobatan aspek psikologis klinis dan sosial. Upaya
dapat berupa konseling pendampingan psikoterapi oleh konselor dan psikoreligi
12
oleh pemuka agama sesuai keyakinan ODHA. Dalam bentuk kunjungan terbuka
atau konsultasi via telepon/internet.
Masyarakat perlu diberikan edukasi yang benar tentang HIV/AIDS berupa
penyuluhan dan diskusi terbuka, termasuk menghilangkan stigma negatif dan
diskriminasi untuk mengurangi beban psikis, stres dan depresi pada ODHA sebab
ODHA juga memiliki hak-hak asasi. Kestabilan emosional mempengaruhi
peningkatan ketahanan tubuh sehingga menurunnya pertumbuhan virus. Berada di
komunitas yang menghormati dan menghargai keberadaannya akan membuat
ODHA betahan hidup.
Dukungan pendanaan dari pemerintah dan LSM terkait, diperlukan bagi
ODHA dan keluarga, sebab progam pengobatan jangka panjang berdampak pada
peningkatan kebutuhan biaya. Pemerintah perlu membuat anggaran khusus terkait
dengan hal ini.
c. Treatment (pengobatan)
Pada dasarnya mencakup aspek medis klinis, psikologi klinis dan sosial.
Pengobatan medis klinis meliputi pengobatan suportif yang mencakup penilaian
gizi ODHA dari awal untuk mencegah gangguan nutrisi yang memperburuk
kondisi, bila nafsu makan sangat turun, pertimbangkan pemberian obat anabolik
steroid. Profilaksis infeksi oportunistik (IO), dimana IO yang sering terjadi adalah
renitis, kebutaan bahkan ensefalitas akibat sitomegalovirus, tuberkolosis,
toksoplasma, PCP, jamur kanida, pengobatan profilaksis bisa didapatkan di RS
rujukan khusus penanganan HIV/AIDS.
Terapi Antiretroviral (ARV), yang berfungsi untuk memperlambat
perjalanan penyakit, meningkatkan jumlah sel CD4 dan mengurangi jumlah virus
dalam darah. Pertimbangan memulai ARV adalah jika CD4 berjumlah 200-350
/mm3. Sebelum memulai terapi ARV, ODHA perlu mendapatkan konseling
kepatuhan tentang cara penggunaan, efek samping, tanda bahaya dan semua yang
terkait dengan terapi agar tidak terjadi resistensi. Bila terjadi kegagalan terapi di
masa depan akibat resistensi, semua obat harus diganti dengan kombinasi baru.
Jika semua ODHA terjangkau mendapatan akses layanan CST. Dan Negara
bersama rakyat memilih visi dan misi yang sama dalam penanggulangan
13
HIV/AIDS maka progam ini akan mencapai puncak keberhasilan selaras dengan
progam universal access WHO.
2.5 ANTIRETROVIRAL (ARV)
Saat ini tidak ada vaksin atau obat yang dapat menyembuhkan secara total
pasien dengan HIV atau AIDS. Beberapa obat antiretroviral telah dikembangkan
guna mengurangi risiko infeksi dan viral load dalam tubuh pasien. Berdasarkan
mekanisme kerjanya, obat antiretroviral (ARV) atau obat anti-AIDS ini
diklasifikasikan menjadi lima golongan, yaitu : 12,13,14
1. Reverse Transcriptase Inhibitors (RTIs) yang terdiri dari golongan
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs) dan Non-Nukleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTIs).
2. Protease Inhibitors (PIs).
3. Fusion Inhibitor.
4. Entri Inhibitor.
5. Integrase Inhibitor.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini diuraikan golongan obat-obat tersebut.
2.5.1 REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITORS (RTI)
Dalam tahap replikasi virus HIV, enzim reverse transcriptase yang terdapat
pada sel host berfungsi untuk mengubah genom virus HIV dari bentuk RNA rantai
tunggal menjadi DNA rantai ganda sehingga akan terbentuk virus DNA yang akan
berintegrasi dengan kromosom DNA sel host yang kemudian akan
memungkinkan terjadinya proses seluler sel host seperti transkripsi dan translasi
untuk memproduksi virus. Proses inilah yang menyebabkan virus HIV
berkembang dan tumbuh di dalam tubuh. Peran Reverse Transcriptase Inhibitor
(RTI) adalah untuk memblokir aktivitas enzim reverse transcriptase, menggangu
pembentukan DNA virus rantai ganda sehingga dapat mencegah
perkembangbiakan virus HIV. Reverse Transcriptase Inhibitor dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu 1) Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitors (NRTI) dan 2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
(NNRTI).12,13
14
1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)
NRTI adalah analog alami deoxyribonucleoside yang kekurangan kelompok
3'-hidroksi pada gula ribosa.12 Kebanyakan NRTI merupakan prodrugs yang harus
mengalami fosforilasi untuk diubah oleh enzim kinase sel host menjadi bentuk
aktif 5'-triphosphate. Triphosphate ini bersaing dengan analog substrat
deoxyribonucleotide triphosphates (dNTP) dan masuk ke dalam rantai DNA virus
yang sedang disintesis.13,14 Hal ini menyebabkan penghentian perpanjangan lebih
lanjut atau terminasi dari rantai DNA karena kurangnya 3'-hidroksil pada gula
ribosa sehingga tidak terjadi penempelan nukleotida.12 Golongan obat ini tidak
dimetabolisme oleh enzim cytochrome P (CYP).14 Resistensi golongan obat ini
dapat terjadi bila terdapat mutasi pada pol gen virus yang dapat mencegah obat ini
menempel pada target kerjanya. Selain itu, resistensi juga dapat terjadi jika obat
yang sudah menempel terlepas kembali akibat dimana terjadinya tymidin analog
mutasi. Mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya cross resistence.15
Golongan NRTI merupakan inhibitor lemah pada DNA polymerase manusia
seperti obat Tenofovir Disoproxil Fumarate (TDF) dan Emtricitabine.12,14 Obat-
obat yang tergolong NRTI antara lain adalah Zidovudine (ZDV), Didanosine
(ddI), Zalcitabine (ddC), Stavudine (d4T), Lamivudine (3TC), Abacavir,
Tenofovir Disoproxil Fumarate (TDF), dan Emtricitabine. Efek samping dari
penggunaan golongan obat ini antara lain myopati atau kelemahan otot
(Zidovudine), pancreatitis (Didanosine dan Zalcitabine, Lamivudine), kelainan
saraf (Zalcitabine, Stavudine dan Lamivudine), pembesaran dan gagal hati parah
(Stavudine), dan efek samping umum, seperti demam, mual, muntah, nyeri perut,
sakit kepala, ruam pada kulit, dan diare.12,13
2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
NNRTI memiliki tempat ikatan yang berbeda dengan tempat ikatan NRTI
pada reverse transcriptase. NNRTI tidak memerlukan proses fosforilasi untuk
menjadi aktif dan tidak berkompetisi dengan nukleosida triphosphate.12,13 NNRTI
merupakan kelompok kecil molekul hidrofobik dengan struktur berbeda yang
spesifik menghambat reverse transcriptase HIV-1 secara langsung dengan
berikatan pada enzim dan mengganggu fungsinya. Tempat ikatan pada enzim
15
adalah P66 sub unit dari P66/5 hetero dimeric enzim, yang dikenal sebagai
NNRTI-binding pocket (NNRTI-BP).12,15 NNRTI merupakan substrat bagi enzim
CYP 3A4 or 2B6 hati.14 Tidak ada cross-resisten dengan NRTI. Resistensi dapat
terjadi jika ada mutasi pada pol gen yang biasanya diakibatkan oleh pemakaian
monoterapi, sehingga afinitas obat berkurang dan mencegah penempelan obat dan
transkripsi berjalan kembali.15 Obat-obat yang tergolong NNRTI antara lain
adalah Nevirapine (NVP), Delavirdin (DLV), Efavirenz (EFV), dan Etravirine.
NNRTI kadang-kadang dapat menginduksi terjadinya toksisitas pada hati. Efek
samping lain yang umum ditimbulkan dari penggunaan obat ini antara lain,
pusing, mual, muntah, kelelahan, ruam, dan diare.12,13
2.5.2 PROTEASE INHIBITORS (PI)
Protease virus merupakan suatu enzim yang berfungsi untuk memotong-
motong rantai polipeptida untuk membentuk suatu struktur virus yang esesnsial
dan komponen enzim yang fungsional. Dengan memblok enzim protease tersebut,
menggunakan protease inhibitor, HIV dapat membuat salinan dirinya sendiri
tetapi tidak dapat menginfeksi sel-sel baru. Dengan demikian, dapat mengurangi
jumlah virus dalam darah dan meningkatkan jumlah CD4 dalam tubuh.12,13
Namun, telah diamati bahwa efek menguntungkan dari protease inhibitor
berkurang seiring berjalannya waktu. Hal ini terjadi karena selama produksi setiap
HIV yang baru, virus yang dihasilkan akan mengalami sedikit modifikasi.
Protease yang baru memungkinkan virus dapat menolak obat protease inhibitor
tersebut dimana hanya bekerja pada protease jenis virus yang lama, sehingga
dalam perkembangannya dapat menimbulkan resistensi dan penggunaan protease
inhibitor menjadi kurang efektif.12,15 Untuk menghindari terjadinya resistensi
tersebut, tentu penting untuk menghentikan atau mengurangi produksi berulang
HIV dalam tubuh. Dengan demikian, untuk menjaga kadar HIV dalam tubuh agar
tetap rendah, pemberian protease inhibitor sebaiknya dikombinasikan dengan
setidaknya dua obat anti HIV yang lain seperti NRTI.12,16
Protease inhibitor yang dikombinasikan dengan obat analog nukleosida
antiretroviral, dapat menekan lebih kuat replikasi virus, sehingga mengurangi
morbiditas dan memperpanjang lama hidup pasien dengan infeksi HIV.12 Protease
16
inhibitor dapat menghambat metabolism yang dimediasi oleh CYP3A.14 Beberapa
efek samping yang ditemukan dalam penggunaan protease inhibitor antara lain
adalah dislipidemia, lipodistrofi, resistensi insulin, dan aterosklerosis dini. Selain
itu, efek samping yang umum ditimbulkan antara lain, mual, muntah, nyeri perut,
dan sakit kepala.12,13
Obat-obat yang tergolong ke dalam protease inhibitor dibedakan menjadi
dua, yaitu sebagai berikut.12
a) Generasi pertama Protease Inhibitor HIV : Saquinavir, Ritonavir,
Indinavir, Nelfinavir, Amprenavir, Lopinavir, Fosamprenavir.
b) Generasi kedua Protease Inhibitor HIV : Atazanavir, Tipranavir, dan
Darunavir.
2.5.3 FUSION INHIBITORS (FI)
Fusion inhibitor adalah senyawa yang mengganggu virus HIV-1 pada tahap
akhir fusi dengan sel target dan mencegah agar sel-sel lain yang sehat tidak ikut
terinfeksi. Golongan obat ini bertindak pada tahap awal siklus hidup virus, dimana
fusion inhibitor ini berfunsi untuk mencegah masuknya virus ke dalam sel target,
dan memiliki mekanisme kerja yang sangat spesifik dengan tingkat toksisitas yang
rendah. Golongan obat ini akan berikatan dengan molekul subunit gp41 yang
terdapat pada kapsul glikoprotein virus. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya perubahan struktur virus yang dapat membentuk lubang pada membran
sel target sehingga tidak terbentuk fusi antara virus dan sel taget.12,13 Reisitensi
terhadap obat ini bila terjadi mutasi pada pol gen pengkode molekul gp 41.15
Enfuvirtide, merupakan satu-satunya obat anti HIV yang termasuk golongan
fusion inhibitor. Jika dikombinasikan dengan obat anti HIV yang lain, enfuvirtide
sangat efektif digunakan pada orang yang telah gagal dengan obat anti HIV
sebelumnya.12,13,14 Karena strukturnya yang rapuh, enfuvirtide tidak dapat
diberikan secara oral, sehingga harus diberikan dalam bentuk injeksi subkutan.12
Enfuvirtide tidak dimetabolisme oleh cytochrome P450.14 Efek samping yang
ditimbulkan dari penggunaan obat ini antara lain reaksi penolakan pada tempat
injeksi, neuropati perifer, insomnia, depresi, batuk, anoreksia, infeksi, demam,
mual, muntah, dan hipotensi.12,13
17
2.5.4 ENTRY INHIBITOR
Entry inhibitor yang merupakan senyawa CCR5 antagonis yang berfungsi
untuk memblokir CCR5, dimana CCR5 ini merupakan co-reseptor penempelan
utama virus HIV pada sel target.12,134,14 Golongan obat ini merupakan substrat bagi
enzim cytochrome P450.14 Selzentry dan maraviroc, merupakan obat yang bekerja
sebagai CCR5 antagonis dengan berikan langsung pada CCR5. Dengan demikian
penempelan virus pada sel target dapat dihambat sehingga dapat mencegah virus
masuk ke dalam sel target.12,14 Namun, seiring berlangsungnya penyakit, domain
ikatan co-reseptor gp 120 dapat bermutasi sehingga dapat tetap dapat menempel
pada bagian lain reseptor CCR5. Selain itu, virus ini dapat menyesuaikan diri
dengan menggunakan jalan masuk alternatif seperti menggunakan reseptor
CXCR4. Efek samping yang dirtimbulkan dari penggunaan obat ini antara lain
batuk, demam, pilek, ruam, nyeri otot dan sendi, dan pusing. Selain itu, efek
samping serius yang dapat ditimbulkan adalah toksisitas pada hati dan masalah
kardiovaskular seperti serangan jantung.12
2.5.5 INTEGRASE INHIBITOR
Integrase merupakan enzim virus yang esensial untuk replikasi virus HIV-1,
dimana enzim ini berfungsi untuk transfer strain virus dan mengkatalisis
penyisipan DNA provirus ke dalam genom sel host. Peran integrase inhibitor
adalah untuk mencegah pertumbuhan virus dengan memblok enzim integrase ini.
Raltegravir, merupakan obat pertama yang dirancang sebagai inhibitor enzim
integrase HIV. Biasanya obat ini digunakan secara kombinasi dengan obat
antiretroviral yang lain. Obat ini dapat menurunkan viral load dalam tubuh pasien
dan meningkatkan kadar sel darah putih seperti kadar sel CD4+. Raltegravir akan
memblok enzim integrase sehingga tidak terjadi penyisipan DNA virus ke dalam
DNA sel target pada tahap awal replikasi virus HIV ini.12,13,1417 Selain raltegravir,
obat yang termasuk golongan ini adalah elvitegravir dan dolutegravir.17 Resistensi
obat ini bisa terjadi bila terjadi mutasi pada pol gen yang mengkode terbentuknya
enzim integrase.15 Efek samping dari penggunaan obat ini antara lain adalah
meningkatkan kreatinin kinase, myopati, and rabdomyolisis.18
18
Pemberian obat antiretroviral (ARV) dalam menangani pasien HIV/AIDS
secara tunggal tidak dapat dianggap benar-benar efektif dan ideal. Untuk itu, guna
mencapai pengobatan yang lebih efektif dan menguntungkan, terapi antiretroviral
(ARV) diadopsi sebagai terapi kombinasi yang dikenal sebagai Highly Active
Antiretroviral Therapy (HAART). Kombinasi antiretroviral merupakan dasar
penatalaksanaan pemberian antiretroviral terhadap pasien HIV/AIDS, karena
dapat mengurangi resistensi dan mampu menekan replikasi HIV secara efektif.12,16
Dua golongan antiretroviral yang dianjurkan oleh World Health Organization
dalam terapi HAART adalah kombinasi dari dua Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitors (NRTI) ditambah satu Protease Inhibitor (PI) atau satu
Non-Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI).18,19 Kombinasi ini
biasanya menyebabkan peningkatan jumlah sel CD4+ dan mengurangi viral load
dalam tubuh, sehingga penularan, infeksi oportunistik, dan komplikasi lainnya
dapat dihindari serta meningkatkan kualitas dan harapan hidup dari pasien
HIV/AIDS.12,16
Di Indonesia, pilihan kombinasi ARV lini pertama yang ditetapkan dalam
Pedoman Nasional Antiretroviral adalah kombinasi Lamivudin + Zidovudin +
Nevirapin, Lamivudin + Zidovudin + Efavirenz, Lamivudin + Stavudin +
Nevirapin dan Lamivudin + Stavudin + Efavirenz.20
BAB III
KESIMPULAN
19
Kasus HIV/AIDS merupakan kasus yang mengglobal. Tiap tahun kasusnya
terjadi peningkatan. Salah satu penyebabnya adalah mereka enggan untuk
memeriksakan dirinya karena ada stigma dari masyarakat mengenai penderita
HIV/AIDS. Stigmanya itu bisa berasal dari lingkungan tempat mereka tinggal dan
dari diri mereka sendiri. Dengan adanya stigma dan dikriminasi dari masyarakat
maka diperlukan pencegahan dan perawatan HIV yaitu VCT. VCT merupakan
pintu gerbang pencegahan dan perawatan HIV yang bersifat sukarela dan rahasia.
Tahapan-tahapan dari VCT yaitu pre-test counseling,test HIV, dan post-test
counseling. VCT masih banyak memiliki kekurangan diantaranya sulitnya
membuat masyarakat secara sukarela untuk mengikuti VCT, hal ini dikarenakan
mereka tidak tahu keuntungan dari mengetahui status HIV serta masyarakat juga
tidak bisa mengenali gejala dan tanda HIV/AIDS pada fase awal, oleh karena itu
munculah gagasan untuk membuat suatu tes dan konseling yang diprakarsai oleh
penyedia layanan kesehatan yang sekarang program itu dikenal dengan PICT
( Provider Initiated Counseling and Testing). PICT memiliki tahapan yang sama
dengan VCT perbedaanya terletak pada penyedia layanan kesehatan yang
memiliki inisiatif untuk melakukan konseling dan tes dengan persetujuan pasien.
Selain juga memerlukan konseling dan test, seseorang yang melakukan VCT atau
PICT juga memerlukan layanan secara medis,psikologis dan social dimana
dipenuhi oleh program CST . CST merupakan suatu layanan medis, psikologis
dan sosial yang terpadu dan berkesinambungan dalam menyelesaikan masalah
terhadap ODHA selama perawatan dan pengobatan. Tahapan-tahapan CST yaitu
care,support and treatment. Seseorang yang telah memiliki hasil tes HIV positif
maka penanganan yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan memberikan
antiretroviral (ARV). Berdasarkan mekanisme kerjanya, ARV terbagi menjadi 5
golongan yaitu 1) Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI) yang terdiri dari
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) dan Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI), 2) Protease Inhibitor, 3) Fusion Inhibitor, 4)
Entry Inhibitor, dan 5) Integrase Inhibitor. ARV ini digunakan secara kombinasi
guna meningkatkan efektivitas kerja obat sehingga dapat menurunkan penularan,
infeksi oportunistik, dan komplikasi lainnya,serta meningkatkan kualitas dan
harapan hidup pasien.
20
21