hiv

98
Veerasamy Ravichandran 1 , Vishnukanth Mourya 2 and Ram Kishore Agrawal 1 (1 ) Pharmaceutical Chemistry Research Laboratory, Department of Pharmaceutical Sciences, Dr. Hari Singh Gour University, Sagar, MP, 470 003, India (2 ) Goverment College of Pharmacy, Osmanpura, Aurangabad, Maharashtra, India Received: 7 February 2008 Accepted: 10 December 2008 Published online: 9 January 2009 Abstract In pursuit of better anti-human immunodeficiency virus (HIV) agents, quantitative structure–activity relationship (QSAR) studies were performed on a series of imidoyl thiourea (ITU) derivatives using WIN CAChe 6.1. Stepwise multiple linear regression analysis was performed to derive QSAR models, which were further evaluated for statistical significance and predictive power by internal and external validation. The best QSAR model was selected, having correlation coefficient (R) of 0.844 and cross- validated squared correlation coefficient (Q 2 ) of 0.617. The QSAR model reported herein providing interest insight in understanding the hydrophobic, electronic, and structural requirements of anti-HIV activity among the ITU derivatives. The results of the present study may be useful on the designing of more potent ITU analogs as anti-HIV agents. Graphical Abstract The presence of -CH2- group at A is must for better anti-HIV activity. Keywords QSAR - Imidoyl thiourea analogs - Anti-HIV http://www.springerlink.com/content/p10183nh657q8437/

Upload: indrayudianto

Post on 02-Jul-2015

376 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hiv

Veerasamy Ravichandran1, Vishnukanth Mourya2 and Ram Kishore Agrawal1 

(1)  Pharmaceutical Chemistry Research Laboratory, Department of Pharmaceutical Sciences, Dr. Hari Singh Gour University, Sagar, MP, 470 003, India

(2)  Goverment College of Pharmacy, Osmanpura, Aurangabad, Maharashtra, India

Received: 7 February 2008  Accepted: 10 December 2008  Published online: 9 January 2009

Abstract  In pursuit of better anti-human immunodeficiency virus (HIV) agents, quantitative structure–activity relationship (QSAR) studies were performed on a series of imidoyl thiourea (ITU) derivatives using WIN CAChe 6.1. Stepwise multiple linear regression analysis was performed to derive QSAR models, which were further evaluated for statistical significance and predictive power by internal and external validation. The best QSAR model was selected, having correlation coefficient (R) of 0.844 and cross-validated squared correlation coefficient (Q 2) of 0.617. The QSAR model reported herein providing interest insight in understanding the hydrophobic, electronic, and structural requirements of anti-HIV activity among the ITU derivatives. The results of the present study may be useful on the designing of more potent ITU analogs as anti-HIV agents. Graphical Abstract  The presence of -CH2- group at A is must for better anti-HIV activity.

Keywords  QSAR - Imidoyl thiourea analogs - Anti-HIV

http://www.springerlink.com/content/p10183nh657q8437/

Ternyata Tanaman Asli Indonesia Miliki Potensi Obat Anti HIV/AIDS

Page 2: Hiv

Rabu, 2 Desember 2009 | 19:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak tanaman asli Indonesia yang berpotensi sebagai anti-HIV/AIDS, tetapi belum diuji skrining hingga menjadi obat yang diakui.

"Justru skrining terhadap tanaman herbal tropis anti-HIV banyak dilakukan negara-negara maju seperti AS atau Eropa," kata pakar biomedik Suprapto Ma’at di Jakarta, Rabu (2/12).

Suprapto mengatakan skrining itu diawali dengan penentuan sitotoksisitas ekstrak terhadap kultur sel yang telah diinveksi HIV, hingga skrining terhadap fraksi ekstrak tanaman untuk diketahui mana yang memiliki aktivitas mantap sebagai anti-HIV.

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu mencontohkan, dari hasil penelitian Barat terhadap kunyit (curcuma domestika/longa) diketahui pigmen berwarna kuningnya ternyata memiliki efek farmakologik seperti antitumor, aktivitas anti infeksi, anti-inflamasi dan dapat menghambat aktivitas enzim integrase HIV-1.

Acemannan yang merupakan polisakarida asetilasi dari lidah buaya (aloe vera) yang diteliti laboratorium di AS dan di Kanada, ternyata bersifat antitumor, imunostimulan, dan antiviral.

Diterpenoid lakton yang terdapat pada sambiloto (andrographis paniculata) dapat menghambat pertumbuhan virus HIV-1 maupun virus HIV-2 dan dipatenkan di Universitas Bastyr dengan nama AndroVir.

Penelitian terhadap akstrak meniran (phyllanthus niruri) bekerja sebagai anti-viral dan imunostimulator (perangsang imunitas) pada penderita HIV/AIDS.

Ekstrak buah mengkudu (morinda citrifolia) telah dipatenkan sejumlah peneliti di negara maju sebagai antiinfeksi dan antikanker.

Ekstrak Bratawali (tinospora cordifolia) mampu menurunkan gejala yang terjadi pada infeksi HIV seperti mual, muntah, anoreksia dan lemah.

Ekstrak jambu biji (psidium guajava) sebagai penghambat virus HIV dan meringankan efek samping penderita HIV, seperti diare.

Agar peneliti Indonesia bisa lebih aktif melakukan pencarian obat anti-HIV dari berbagai tanaman asli tropis, perlu dibangun laboratorium khusus virus dan laboratorium kultur sel, meski lab ini membutuhkan investasi sangat besar.

Ia mengatakan China yang sudah melakukan skrining terhadap tanaman anti-HIV terhadap 5.000 spesies tanaman obat, hanya menghasilkan sekitar 90 spesies yang menunjukkan aktivitas anti-HIV atau hanya sekitar 13 persen saja.

Page 3: Hiv

Sejauh ini penanganan HIV/AIDS mengandalkan HAART (Highly active antiretroviral therapy) yang diperkenalkan sejak 1996, yang mencakup kombinasi tiga obat kimia yang berasal dari sedikitnya dua jenis agen antiretroviral.

HAART membuat adanya stabilisasi gejala dan meningkatkan waktu bertahan penderita antara 4-12 tahun, tetapi tidak menyembuhkan pasien dari HIV dan bisa kambuh kembali setelah perawatan berhenti.

"Dengan demikian pasien HIV membutuhkan obat alternatif pendamping dan potensi obat herbal perlu terus digali," katanya.

http://sains.kompas.com/read/2009/12/02/19351065/Ternyata.Tanaman.Asli.Indonesia.Miliki.Potensi.Obat.Anti.HIV/AIDS

Delima, Virus Anti HIV, Al QuranBy Republika NewsroomMinggu, 26 Oktober 2008 pukul 19:01:00 Font Size A A A

EMAIL PRINT Facebook

WORDPRESS.COM

DELIMA-ALQURAN: Mahasiswa Unsyiah melakukan kajian, Analisis potensi pemanfatan buah delima (punica granatum sebagai pembunuh virus (virusid) dan anti HIV I yang resisten nucleotida dan non nucleotide berdasarkan tinjauan ilmiah dan Al-Quran

Page 4: Hiv

BANDA ACEH -- Harapan T (23), mahasiwa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh yang menganalisis virus anti HIV dari tinjauan Alquran, menjuarai lomba karya tulis ilmiah Islam nasional yang berlangsung di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Karya ilmiahnya berjudul "Analisis potensi pemanfatan buah delima (punica granatum sebagai pembunuh virus (virusid) dan anti HIV I yang resisten nucleotida dan non nucleotide berdasarkan tinjauan ilmiah dan Al-Quran," dipilih sebagai makalah terbaik oleh dewan juri lomba.

"Kami dari unsur akademi Fakultas Kedokteran Unsyiah menyatakan bangga dan terharu atas prestasi yang diraih Harapan T," kata dosen Fakultas Kedokteran Unsyiah Darussalam dr. HM Andalas SPoG di Banda Aceh, Minggu.

Lomba karya tulis yang diselenggarakan forum ukhuwah lembaga dakwah Fakultas Kedokteran SeIndonesia ini diikuti oleh seluruh Fakultas Kedokteran di Indonesia, dengan dewan juri antara lain Prof DR Marsetyawan, DR Muhammad Tarqib, SpBS dan DR Jamal A.Aziz MAg. "Dewan Juri sangat tertarik dengan penyajian dari mahasiswa Harapan T. Apalagi, sampai saat ini belum ada jawaban pasti untuk obat penyakit AIDS," terang Andalas.

Sejauh ini buah delima memang sering digunakan untuk mengobati penyakit demam berdarah, namun belum ada pihak yang melakukan penelitian ilmiah dengan jumlah sample besar terhadap buah ini. "Kita berharap kedepan Harapan mau melakukan riset lanjutan tentang peran buah delima untuk mengobati seseorang yang terkena HIV/AIDS," ujar Andalas.

Dosen pembimbing Harapan T itu menjelaskan, mahasiswanya ini telah dua kali membawa harum nama Fakultas Kedokteran Unsyiah, etelah sebelumnya menjuarai lomba karya ilmiah wilayah Jawa dan Sumatra 2007, dan Unsyiah berjanji untuk memperhatikan bakat Harapan lebih serius lagi."Kami ingin Harapan T bisa memperkuat almamaternya kelak setelah menyelesaikan pendidikannya," kata Andalas yang menyebut pencapaian Harapan T. ini akan mengharumkan pendidikan tinggi di Aceh.ant/kp

http://www.ssffmp.or.id/berita/10064/Delima_Virus_Anti_HIV_Al_Quran

Page 5: Hiv

Pengertian, Definisi dan Cara Penularan / Penyebaran Virus HIV AIDS - Info / Informasi Penyakit Menular Seksual / PMSMon, 05/06/2006 - 3:57pm — godam64

A. Virus HIV

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.

Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia terkena pilek biasa.

B. Penyakit AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembang biakan virus hiv dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.

Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang mematikan. Seseorang dapat menjadi HIV positif. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS.

C. Metode / Teknik Penularan dan Penyebaran Virus HIV AIDS- DarahContoh : Tranfusi darah, terkena darah hiv+ pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb- Cairan Semen, Air Mani, Sperma dan Peju PriaContoh : Laki-laki berhubungan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks, dsb.- Cairan Vagina pada PerempuanContoh : Wanita berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks, dll.- Air Susu Ibu / ASIContoh : Bayi minum asi dari wanita hiv+, Laki-laki meminum susu asi pasangannya, dan lain sebagainya.

Page 6: Hiv

Cairan Tubuh yang tidak mengandung Virus HIV pada penderita HIV+ :- Air liur / air ludah / saliva- Feses / kotoran / tokai / bab / tinja- Air mata- Air keringat- Air seni / air kencing / air pipis / urin / urine

Tambahan :Jangan mengucilkan dan menjauhi penderita HIV karena mereka membutuhkan bantuan dan dukungan agar bisa melanjutkan hidup tanpa banyak beban dan berpulang ke rahmatullah dengan ikhlas.

kesehatan masyarakat

http://organisasi.org/pengertian_definisi_dan_cara_penularan_penyebaran_virus_hiv_aids_info_informasi_penyakit_m

AIDS ( Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit yang menghancurkan sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia. HIV dengan cepat akan melumpuhkan sistem kekebalan manusia. Setelah sistem kekebalan tubuh lumpuh, seseorang penderita AIDS biasanya akan meninggal karena suatu penyakit (disebut penyakit sekunder) yang biasanya akan dapat dibasmi oleh tubuh seandainya sistem kekebalan itu masih baik.

AIDS merupakan penyakit yang paling ditakuti pada saat ini. HIV,

virus yang menyebabkan penyakit ini, merusak sistem pertahanan

tubuh (sistem imun), sehingga orang-orang yang menderita

penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari

serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang positif

mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS. Banyak kasus di

mana seseorang positif mengidap HIV, tetapi tidak menjadi sakit

dalam jangka waktu yang lama. Namun, HIV yang ada pada tubuh

seseorang akan terus merusak sistem imun. Akibatnya, virus,

Page 7: Hiv

jamur dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat

berbahaya karena rusaknya sistem imun tubuh.

http://74.125.153.132/search?q=cache:bCBVamqoPWEJ:www.e-dukasi.net/pengpop/pp_full.php%3Fppid%3D246%26fname%3Dhal2.htm+pengertian+aids&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id(diakses 13 januari 2010)07.20 wita

http://biokimia.dagdigdug.com/2010/01/13/pengertian-hivaids/3 april 2010

Simposium Setengah Hari Informasi Pengobatan HIV Terkini yang Pertama

Pengobatan HIV sebagai PencegahanDilaksanakan oleh Yayasan Spiritia bekerja sama dengan Ford Foundation, HCPI, dan Lembaga Penelitian danPengembangan Masyarakat Universitas Atma Jaya, di Aula Gedung D Universitas Atma Jaya, 24 Februari 2009

Rangkuman keseluruhan oleh Prof. IrwantoTerapi antiretroviral (ART) telah diakui merupakan satu di antara sedikit

sekali pilihan yang menunjukkan efektivitas dalam mempertahankan hidup

dan memperbaiki mutu hidup Odha.Meskipun demikian, dunia tokh

dikejutkan dengan penyataan Swiss Federal Commission forHIV/AIDS

(Komisi Penanggulangan AIDS/KPA) Swiss yang baru-baru ini

mengeluarkan

pernyataan bahwa: Seorang Odha tanpa IMS dan sedang menjalani ART

sehingga virus HIV tidak

terdeteksi, secara seksual tidak akan menularkan HIV selama beberapa

kondisi berikut

terpenuhi: (1) Odha patuh menggunakan ARV dan kondisinya selalu

dievaluasi dokter, (2) Virus tidak terdeteksi sekurang-kurangnya selama 6

bulan, dan (3) Tidak mengidap infeksi menular seksual

lainnya (Vernazza, Hirschel, Bernasconi, & Flepp, 2008). Pernyataan KPA

Swiss tersebut kemudian

Page 8: Hiv

didukung oleh berbagai perhitungan matematis yang tiba pada kesimpulan

bahwa pengobatan ARV

dapat dipertimbangkan sebagai kebijakan utama dalam pencegahan, bahkan

pemberantasan infeksi

HIV/AIDS (Granich, Gilks, Dye, De Cock, & Williams, 2008).

Argumen di atas dibangun berdasarkan analisis terhadap berbagai penelitian

empirik terhadap

pasangan diskordan (satu yang HIV-positif, yang lain HIV-negatif). Dalam

penelitian, pasangan yang

HIV-positif menjalani pengobatan ARV sehingga viral load tidak lagi

terdeteksi selama paling kurang enam bulan. Berbagai penelitian tersebut

menunjukkan secara meyakinkan bahwa tidak

terjadi infeksi pada pasangan seksual walau melakukan hubungan seks tanpa

kondom.Indonesia mempunyai banyak sekali keterbatasan dalam

menanggulangi infeksi HIV/AIDS.Pernyataan KPA Swiss dan bukti-bukti

empirik tentang keampuhan ART untuk menekan jumlah

virus hingga tidak terdeteksi dan tidak menular, tentu harus dikaji dengan

seksama dan diambil pelajaran yang paling berharga. Hal ini terbukti dari

pengalaman di Negara Amerika, yang

menunjukkan penularan masih terjadi walaupun Odha sudah memakai ART,

karena ada fenomena ‘blips’ (peningkatan sementara). Blips ini terjadi akibat

replikasi terus-menerus pada jaringan getah bening, beda metabolisme antar

individu dan interaksi obat sehingga dapat menyebabkan reservoir

HIV meningkat dalam waktu yang singkat. Kebijakan nasional untuk

mencegah dan menanggulangi infeksi HIV/AIDS tentu harus dirumuskan

dengan memanfaatkan pengetahuan berbasis kajian-kajian empirik yang

dapat dipertanggung

Page 9: Hiv

jawabkan. Sebelum dikeluarkannya pernyataan KPA Swiss, telah diketahui

dan terbukti secara meyakinkan bahwa infeksi HIV dapat dicegah melalui

penggunaan kondom dan peralatan suntik steril. Kedua intervensi ini perlu

memperoleh dukungan yang semestinya – sampai saat ini tidak

tampak seperti itu.ART diakui efektif menekan jumlah virus dalam cairan

tubuh. Sebagai pengobatan, ART tidak memancing kontroversi moral,

agama, dan hukum. Persoalannya

adalah jika ART dianggap sebagai cara pencegahan yang paling efektif,

maka banyak bukti dan argumen yang mengharuskan kita untuk ekstra hati-

hati. Persyaratan ART sebagai pencegahan adalah sebuah proposal yang

mahal. Indonesia pasti tidak mampu memenuhi kebutuhan Odha yang

saat ini berjumlah kurang lebih 270.000 untuk memperoleh ART. Penelitian

empirik juga

menyatakan bahwa kepatuhan minum obat (terus-menerus selama bertahun-

tahun) merupakan

masalah besar bagi banyak orang, termasuk Odha. Jika perilaku seksual

berisiko masih dilakukan,

infeksi menular seksual (IMS) merupakan ancaman nyata bagi orang

Indonesia. Last but not leas

http://www.pdfqueen.com/html/aHR0cDovL3NwaXJpdGlhLm9yLmlkL2FydC9wZGYvYTMwMDEucGRm

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSIS HIV DAN AIDS PADA ANAK

PEMERIKSAAN LABORATORIUMPemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari

Page 10: Hiv

18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau komponennya seperti:

assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD)

Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang. Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan.Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa.

Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu dalam

penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat

dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini dapat

disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan

autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat infeksi oportunistik.

Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8

menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons

proliferatif sel T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi

sel T ini dapat pula dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang

menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara

poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi

spesifik terhadap antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus,

atau hepatitis B menurun.

Page 11: Hiv

DIAGNOSISAnak yang berumur kurang dari 18 bulanDiagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup.Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya naik menjadi 98%.Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan laboratorium penguji.Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.

Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang mendapat ASIBila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui.

Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif infeksi HIV.

Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan.

Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA dapat mulai diperiksa pada usia 48 jam. Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya untuk PMTCT tidak akan mempengaruhi hasilnya. DNA HIV akan tetap terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi anak yang terinfeksi HIV dan sudah mendapat ARV meskipun hasil assay RNA HIVnya tidak terdeteksi.Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau assay antigen ICD p24 dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO menyatakan bahwa

Page 12: Hiv

pemeriksaan RNA tidak berbeda dengan DNA, dalam hal sensitivitas dan spesifisitas, pada bayi yang lahir mendapat ARV.

Diagnosis infeksi bila ibu minum ARVBelum diketahui apakah pemakaian ARV pada ibu yang menyusui bayinya dapat mempengaruhi deteksi RNA HIV atau p24 pada bayi, meskipun sudah dibuktikan uji DNA HIV tidak terpengaruh.

Anak yang berumur lebih dari 18 bulanDiagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan reagen uji antibodi yang berbeda.

Tidak ada algoritme diagnosis klinis tunggal yang terbukti sangat sensitif atau spesifik untuk mendiagnosis HIV. Akurasi diagnosis berdasarkan algoritme klinis jarang yang mencapai sensitifitas 70% dan bervariasi menurut umur; bahkan tidak dapat diandalkan unutk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang berumur kurang dari 12 bulan. Uji antibodi anti HIV (dapat berupa rapid test) dan peningkatan akses untuk uji virologik dini dapat membantu dokter membuat algoritme diagnostik yang lebih baik. Dalam situasi sulit diperbolehkan menggunakan dasar klinis untuk memulai pengobatan ARV pada anak kurang dari 18 bulan dan terpapar HIV yang berada dalam kondisi sakit berat. Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dikombinasikan dengan pemeriksaan CD4 atau parameter lain saat ini belum terbukti sebagai alat diagnosis infeksi HIV.Untuk bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan yang berada di tempat dimana uji virologik tidak mungkin dilakukan, terdapat gejala yang sugestif infeksi HIV, diagnosis presumtif ineksi HIV secara klinis dapat dibuat. Diagnosis infeksi ini dapat menjadi dasar untuk menilai apakah diperlukan pemberian ARV segera.

Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan dengan gejala dan tanda sugestif infeksi HIV, dapat digunakan pemeriksaan antibodi untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis presumtif pada kondisi ini tidak dianjurkan karena pemeriksaan antibodi saja dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Beberapa kondisi seperti pneumonia pneumositis, kandidiasis esofagus, meningitis kriptokokus jarang terjadi pada anak yang tidak terinfeksi HIV. Karenanya kondisi klinis seperti ini menjadi faktor penentu untuk pemeriksaan antibodi anti HIV.Metode yang direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak

Uji virologik( DNA, RNA, ICD)Untuk mendiagnosis infeksi pada bayi < 18 bulan ; uji inisial direkomendasi mulai umur 6-8 mingguA(I)

Uji antibodi anti HIVUntuk mendiagnosis infeksi HIV pada ibu atau identifikasi paparan pada bayiA(I)

Page 13: Hiv

A(IV) Untuk mendiagnosis infeksi pada anak > 18 bulan

Untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada umur < 18 bulan dengan kemungkinan besar HIV positif*

Anak kurang dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif termasuk di antaranya adalah anak yang benar-benar terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih membawa antibodi maternal.

http://childrenhivaids.wordpress.com/2009/01/14/88/

PENDAHULUAN   

A. LATAR BELAKANG 

Seiring dengan makin berkembangnya pemahaman mengenai respon imun tubuh dalam menghadapi infeksi maupun penyakit lain, makin berkembang pula penelitian mengenai komponen yang dapat mempengaruhi respon imun tersebut. Adanya pengetahuan mengenai bagaimana sel berkomunikasi (berinteraksi) memungkinkan kita untuk mengembangkan cara memanipulasi jalur komunikasi tersebut.1 

   Bahan-bahan yang dapat memodulasi sistim imun tubuh dikenal sebagai imunomodulator. Imunomodulator ini terdiri atas imunostimulator, imunorestorasi, dan imunosupresi. Secara klinis imunomodulator digunakan pada pasien dengan gangguan imunitas, antara lain pada kasus keganasan, HIV/AIDS, malnutrisi, alergi, dan lain-lain.  

   Saat ini kita mengenal berbagai bahan yang dinyatakan dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit yang disebut sebagai imunostimulator. Bahan-bahan herbal yang digunakan sebagai imunostimulator antara lain Morinda citrifolia, Centella asiatica, jamur Maitake, Echinacea dan Phyllanthus sp. Bahan-bahan tersebut dipercaya memiliki berbagai khasiat yang menguntungkan bagi kesehatan. Ekstrak Echinacea dinyatakan memiliki efek stimulasi sistim imun, antiinflamasi dan antiinfeksi, Phyllanthus sp. dipercaya memiliki efek antivirus, antiinflamasi, analgetik dan masih banyak lagi, sedangkan jamur Maitake sejak dahulu dipercaya sebagai bahan makanan yang bernilai gizi sangat tinggi dan dapat mencegah dan menyembuhkan berbagai penyakit. Selain bahan-bahan herbal di atas, terdapat pula bahan-bahan imunostimulator lain seperti interferon, lamivudin yang telah diakui kegunaannya dan digunakan secara luas dalam pengobatan hepatitis B dan C, infeksi HIV/AIDS. 

   Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan, produksi dan konsumsi berbagai bahan ini juga meningkat.  Saat ini di Indonesia beredar ratusan produk berbahan herbal baik dari dalam maupun luar negeri. Produk-produk tersebut terdaftar sebagai obat tradisional dan suplemen makanan.  

Page 14: Hiv

   WHO memperkirakan sekitar 80% penduduk bumi menggunakan obat-obatan herbal tradisional   

(dari bahan tumbuh-tumbuhan termasuk jamur) sebagai pengobatan primer sedangkan 20% sisanya, terutama di negara maju, menggunakan obat yang  berasal dari tumbuhan.2 Penggunaan obat-obatan berbahan herbal di Amerika Serikat meningkat sampai 385% pada periode 1990-1997, dengan nilai penjualan mencapai 3,4 milyar dolar.3 

   Di Indonesia penggunaan obat-obatan tradisional sudah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu dan makin populer dengan makin berkembangnya industri obat tradisional. Meskipun masyarakat sebagai konsumen mengakui adanya dampak positif dari konsumsi obat-obatan tersebut, namun bukti ilmiah dari manfaatnya tetap diperlukan dan tidak dapat dilupakan kemungkinan adanya efek samping dan efek simpang penggunaan obat-obatan tersebut.   

B. PERMASALAHAN 

Makin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan ditambah dengan gencarnya informasi mengenai berbagai obat herbal yang dinyatakan dapat meningkatkan kesehatan, menyebabkan masyarakat mengkonsumsinya tanpa benar-benar mengetahui efek dari obat-obatan tersebut.

Banyaknya bahan aktif yang terkandung pada masing-masing tanaman yang dinyatakan memiliki efek imunomodulator menyebabkan kesulitan untuk menentukan komponen mana yang benar-benar menimbulkan efek tersebut.

Masih sedikitnya uji klinis yang baik pada manusia mengenai efek farmakologis dari obat-obat imunomodulator ini.

Produk yang beredar di pasaran belum mampu menjawab pertanyaan dasar, yaitu apakah efek terapinya lebih baik dibandingkan dengan plasebo, apakah penggunaannya aman dan bagaimana efek terapi dan cost effectiveness-nya dibandingkan dengan terapi lain berdasarkan hasil penelitian dengan metodologi yang baik.

C. TUJUAN

 

Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar rekomendasi bagi para pembuat kebijakan mengenai pemberian terapi imunomodulator.

 

BAB II

METODOLOGI PENILAIAN   

Page 15: Hiv

A. Strategi Penelusuran Kepustakaan 

Penelusuran artikel dilakukan melalui Medline, Ingenta, Highwire, Cochrane Library dan jurnal yang berkaitan seperti: International Journal of Immunology, Journal of Clinical of Epidemiology, Alimentary Pharmacology and Therapeutics, Alternate Clinical Microbiology Reviews, Medicinal Mushrooms and Cancer, Journal American Botanical Council,  American Journal Medicine, Journal Altenative Complimentary Medicine, Annals of Internal Medicine dalam 15 tahun terakhir (1989-2003).

Informasi juga didapatkan dari buku-buku tentang terapi herbal dari beberapa negara.

Kata kunci immunomodulator, immunostimulant, herbal therapy, maitake, echinaceae, phyllanthus, RCT, common cold, hepatitis, cancer, HIV, AIDS. 

B. Hierarchy of evidence dan Derajat

    Rekomendasi

Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network yang berasal dari US Agency for Health Care Policy and Research.    

Hierarchy of evidence :

Ia.    Meta-analysis of randomized controlled

       trials.

Ib.    Minimal satu randomized controlled

       trials.

IIa.   Minimal penelitian non-randomized controlled trials.

IIb.   Cohort dan Case control studies

IIIa.  Cross-sectional studies

IIIb.  Case series dan case report

IV.   Konsensus dan pendapat ahli 

Derajat rekomendasi :

A. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia dan Ib.B.    Pembuktian yang termasuk dalam tingkat

Page 16: Hiv

      IIa dan II b.

C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb dan IV.

C. Ruang Lingkup Pembahasan

 

Imunomodulator yang akan dikaji pada topik ini dibatasi pada imunostimulator yang beredar di Indonesia, yaitu jamur Maitake, Echinaceae dan Phyllantus, meskipun masih terdapat jenis imunostimulator lain di Indonesia. 

 

BAB III

IMUNOMODULATOR   

Sistim imun dibagi atas dua jenis, yaitu sistim imun kongenital atau nonspesifik dan sistim imun didapat atau adaptive atau spesifik. Mekanisme pertahanan tubuh oleh sistim imun kongenital bersifat spontan, tidak spesifik, dan tidak berubah baik secara kualitas maupun kuantitas bahkan setelah paparan berulang dengan patogen yang sama. Sedangkan sistim imun didapat muncul setelah proses mengenal oleh limfosit (clonal selection), yang tergantung pada paparan terhadap patogen sebelumnya. Adanya sistim imun kongenital memungkinkan respon imun dini untuk melindungi tubuh selama 4-5 hari, yang merupakan waktu yang diperlukan untuk mengaktivasai limfosit (imunitas didapat). Mekanisme pertahanan tubuh ini dibagi atas 3 fase4:  

1. Immediate phase, ditandai oleh terdapatnya komponen sistim imun  kongenital (makrofag dan neutrofil), yang beraksi langsung terhadap patogen tanpa diinduksi. Jika mikroorganisme (m.o) memiliki molekul permukaan yang dikenali oleh fagosit (makrofag dan neutrofil) sebagai benda asing, akan diserang atau dihancurkan secara langsung. Bila m.o dikenali sebagai antibodi, maka protein komplemen yang sesuai yang berada diplasma akan berikatan dengan m.o, kompleks ini kemudian dikenal sebagai benda asing oleh fagosit dan kemudian diserang atau dihancurkan.

2. Acute-phase proteins atau early phase, muncul beberapa jam kemudian, diinduksi, tetapi masih bersifat nonspesifik, timbul bila fagosit gagal mengenal m.o melalui jalur diatas. M.o akan terpapar terhadap acute-phase proteins (APPs) yang diproduksi oleh hepatosit dan kemudian dikenali oleh protein komplemen. Kompleks m.o, APPs, dan protein komplemen kemudian dikenali oleh fagosit dan diserang serta dihancurkan.

3. Late phase, merupakan respon imun didapat timbul 4 hari setelah infeksi pertama, ditandai oleh clonal selection limfosit spesifik. Pada fase ini dibentuk molekul dan sel efektor pertama.

Imunomodulator

 

Page 17: Hiv

Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan.5   

   Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui5:

Imunorestorasi Imunostimulasi Imunosupresi

 

   Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation.5  

A. Imunorestorasi5

 

Ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti: immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati dan timus. 

1. ISG dan HSG

 

Diberikan untuk memperbaiki fungsi sistem imun pada penderita dengan defisiensi imun humoral, baik primer maupun sekunder. ISG dapat diberikan secara intravena dengan aman. Defisiensi imunoglobulin sekunder dapat terjadi bila tubuh kehilangan Ig dalam jumlah besar, misalnya pada sindrom nefrotik, limfangiektasi intestinal, dermatitis eksfoliatif dan luka bakar.  

2. Plasma

 

Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha memperbaiki sistem imun. Keuntungan pemberian plasma adalah semua jenis imunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa menimbulkan rasa sakit.  

3. Plasmapheresis

 

Page 18: Hiv

Plasmapheresis (pemisahan sel darah dari plasma) digunakan untuk memisahkan plasma yang mengandung banyak antibodi yang merusak jaringan atau sel, seperti pada penyakit: miastenia gravis, sindroma goodpasture dan anemia hemolitik autoimun. 

4. Leukopheresis

 

Pemisahan leukosit secara selektif  dari penderita telah dilakukan dalam usaha terapi artritis reumatoid yang tidak baik dengan cara-cara yang sudah ada.  

B. Imunostimulasi5

 

Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Biological Response Modifier (BRM) adalah bahan-bahan yang dapat merubah respons imun, biasanya meningkatkan.  

Bahan yang disebut imunostimulator itu dapat dibagi sebagai berikut: 

1. Biologik

 a. Hormon timus

 

Sel epitel timus memproduksi beberapa jenis homon yang berfungsi dalam pematangan sel T dan modulasi fungsi sel T yang sudah matang. Ada 4 jenis hormon timus, yaitu timosin alfa, timolin, timopoietin dan faktor humoral timus. Semuanya berfungsi untuk memperbaiki gangguan fungsi imun (imunostimulasi non-spesifik) pada usia lanjut, kanker, autoimunitas dan pada defek sistem imun (imunosupresi) akibat pengobatan. Pemberian bahan-bahan tersebut jelas menunjukkan peningkatan jumlah, fungsi dan reseptor sel T dan beberapa aspek imunitas seluler. Efek sampingnya berupa reaksi alergi lokal atau sistemik. 

b. Limfokin

 

Disebut juga interleukin atau sitokin yang diproduksi oleh limfosit yang diaktifkan. Contohnya ialah Macrophage Activating Factor (MAF), Macrophage Growth Factor (MGF), T-cell Growth Factor atau Interleukin-2 (IL-2), Colony Stimulating Factor (CSF) dan interferon gama (IFN-γ). Gangguan sintetis IL-2 ditemukan pada kanker, penderita AIDS, usia lanjut dan autoimunitas. 

Page 19: Hiv

c. Interferon

 

Ada tiga jenis interferon yaitu alfa, beta dan gama. INF-α dibentuk oleh leukosit, INF-β dibentuk oleh sel fibroblas yang bukan limfosit dan IFN-γ dibentuk oleh sel T yang diaktifkan. Semua interferon dapat menghambat replikasi virus DNA dan RNA, sel normal dan sel ganas serta memodulasi sistem imun.   

d. Antibodi monoklonal

 

Diperoleh dari fusi dua sel yaitu sel yang dapat membentuk antibodi dan sel yang dapat hidup terus menerus dalam biakan sehingga antibodi tersebut dapat dihasilkan dalam jumlah yang besar. Antibodi tersebut dapat mengikat komplemen, membunuh sel tumor manusia dan tikus in vivo. 

e. Transfer factor / ekstrak leukosit

 

Ekstrak leukosit seperti Dialysed Leucocyte Extract dan Transfer Factor (TF) telah digunakan dalam imunoterapi. Imunostimulasi yang diperlihatkan oleh TF yang spesifik asal leukosit terlihat pada penyakit seperti candidiasis mukokutan kronik, koksidiomikosis,  lepra lepromatosa, tuberkulosis, dan vaksinia gangrenosa. 

f. Lymphokin-Activated Killer (LAK) cells

 

Adalah sel T sitotoksik singeneik yang ditimbulkan in vitro dengan menambahkan sitokin seperti IL-2 ke sel-sel seseorang yag kemudian diinfuskan kembali. Prosedur ini merupakan imunoterapi terhadap keganasan. 

g. Bahan asal bakteri

  BCG (Bacillus Calmette Guerin), memperbaiki produksi limfokin dan

mengaktifkan sel NK dan telah dicoba pada penanggulangan keganasan (imuno-stimulan non-spesifik).

Corynebacterium parvum (C. parvum), digunakan sebagai imunostimulasi non-spesifik pada keganasan.

Klebsiella dan Brucella, diduga memiliki efek yang sama dengan BCG. Bordetella pertusis, memproduksi Lymphocytosis Promoting Factor (LPF) yang

merupakan mitogen untuk sel T dan imunostimulan. Endotoksin, dapat merangsang proliferasi sel B dan sel T serta mengaktifkan

makrofag.

Page 20: Hiv

 h. Bahan asal jamur

 

Berbagai bahan telah dihasilkan dari jamur seperti lentinan, krestin dan schizophyllan. Bahan-bahan tersebut merupakan polisakarida dalam bentuk beta-glukan yang dapat meningkatkan fungsi makrofag dan telah banyak digunakan dalam pengobatan kanker sebagai imunostimulan non-spesifik.5 Penelitian terbaru menemukan jamur Maitake (Grifola frondosa) yang mengandung beta-glukan yang lebih poten sebagai imunostimulan pada pasien dengan HIV-AIDS, keganasan, hipertensi dan kerusakan hati (liver ailments). 6 

2. Sintetik5

 a. Levamisol

 

Merupakan derivat tetramizol yang dapat meningkatkan proliferasi dan sitotoksisitas sel T serta mengembalikan anergi pada beberapa penderita dengan kanker (imunostimulasi non-spesifik). Telah digunakan dalam penanggulangan artritis reumatoid, penyakit virus dan lupus eritematosus sistemik. 

b. Isoprinosin

 

Disebut juga isosiplex (ISO), adalah bahan sintetis yang mempunyai sifat antivirus dan meningkatkan proliferasi dan toksisitas sel T. Diduga juga membantu produksi limfokin (IL-2) yang berperan pada diferensiasi limfosit, makrofag dan peningkatan fungsi sel NK. 

c. Muramil Dipeptida (MDP)

 

Merupakan komponen aktif terkecil dari dinding sel mycobacterium. Pada pemberian oral dapat meningkatkan sekresi enzim dan monokin. Bila diberikan bersama minyak dan antigen, MDP dapat meningkatkan baik respons seluler dan humoral.  

d. Bahan-bahan lain

 

Berbagai bahan yang telah digunakan secara eksperimental di klinik adalah:

Azimexon dan ciamexon: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan respons imun seluler.

Page 21: Hiv

Bestatin: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan respons imun seluler dan humoral.

Tuftsin: diberikan secara parenteral dan dapat meningkatkan fungsi makrofag, sel NK dan granulosit.

Maleic anhydride, divynil ether copolymer: diberikan secara parenteral dan dapat meningkatkan fungsi makrofag dan sel NK.

6-phenil-pyrimidol: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan fungsi makrofag dan sel NK.

 C. Imunosupresi5

 

Merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau auto-inflamasi.  

1. Steroid

 

Steroid seperti glukokortikoid atau kortikosteroid (KS) menunjukkan efek anti-inflamasi yang luas dan imunosupresi. Efek ini nampak dalam berbagai tingkat terhadap produksi, pengerahan, aktivasi dan fungsi sel efektor. Efek anti-inflamasi dan efek imunosupresi KS sulit dibedakan karena banyak sel, jalur dan mekanisme yang sama terlibat dalam kedua proses tersebut. KS efektif terhadap penyakit autoimun yang sel T dependen seperti tiroiditis Hashimoto, berbagai kelainan kulit, polymiositis, beberapa penyakit reumatik, hepatitis aktif dan inflammatory bowel disease.  

2. Cyclophosphamide atau cytoxan dan chlorambucil

 

Merupakan alkylating agent yang dewasa ini banyak digunakan dalam pengobatan imun, sebagai kemoterapi kanker dan pada transplantasi sumsum tulang. Oleh karena efek toksiknya, hanya digunakan pada penyakit berat. 

3. Anatagonis purin: Azathioprine dan Mycophenolate Mofetil

 

Azathioprine (AT) digunakan di klinik sebagai transplantasi, artritis reumatoid, LES, inflamatory bowel disease, penyakit saraf dan penyakit autoimun lainnya. Mycophenolate Mofetil (MM) adalah inhibitor  iosine monophosphate dehydrogenase, yang berperan pada sintetis guanosin. Digunakan pada transplantasi (ginjal, jantung, hati), artritis reumatoid dan kondisi lain seperti psoriasis. 

4. Cyclosporine-A, Tacrolimus (FK506) dan Rapamycin

Page 22: Hiv

 

Ketiga obat di atas digunakan  untuk mencegah reaksi penolakan pada transplantasi antara lain: sumsum tulang dan hati. 

5. Methotrexate (MTX)

 

Merupakan antagonis asam folat yang digunakan sebagai anti kanker dan dalam dosis yang lebih kecil digunakan pada pengobatan artritis reumatoid, juvenile artritis reumatoid, polymyositis yang steroid resisten dan dermomyositis, sindrom Felty, sindrom Reiter, asma yang steroid dependen dan penyakit autoimun lain. 

6. Imunosupresan lain

 

Radiasi, drainase duktus torasikus dan pemberian interferon dosis tinggi telah digunakan secara eksperimental dalam klinik sebagai imunosupresan. Di masa mendatang sudah dipikirkan penggunaan prostaglandin, prokarbazin, miridazol dan antibodi anti sel T.   

7. Antibodi monoklonal

 

Antibodi dapat merupakan suatu imunosupresan yang aktif baik untuk sel B maupun sel T. Berbagai antibodi monoklonal seperti terhadap Leucocyte Differentiation Antigen dapat menekan imunitas spesifik dan non-spesifik seperti CD3 dan CD8. Dengan diketahuinya peranan sitokin dan ditemukannya reseptor terhadap sitokin yang larut, telah dipikirkan pula untuk menggunakan mekanisme ini untuk mempengaruhi respons imun.  

 

BAB IV

HASIL DAN DISKUSI

A. JAMUR MAITAKE

 

Maitake (Grifola frondosa), berasal dari Jepang dan merupakan jamur yang dapat dimakan, dikenal juga dengan nama dancing mushroom dan hen of the woods mengingat bentuknya mirip kupu-kupu menari dan ekor ayam yang tumbuh pada

Page 23: Hiv

akar dan bagian bawah pohon oak, elm, persimmon dll. Di negeri asalnya, jamur ini sudah digunakan sejak ratusan tahun lalu sebagai makanan kelas satu dan diyakini memiliki khasiat dalam meningkatkan daya tahan tubuh. Di luar Jepang, jamur ini ditemukan di hutan-hutan timur Asia, Eropa dan bagian timur Amerika Utara.6,7,8,9 

   Pada tahun 1980-an, para peneliti Jepang telah mencoba melakukan berbagai penelitian tentang Maitake dan khasiatnya pada sistem imun, kanker, tekanan darah dan kadar kolesterol. Penelitian tersebut umumnya dilakukan pada mencit dan percobaan di laboratorium secara in vitro. Telah berhasil dibuktikan bahwa ekstrak Maitake dapat merangsang sistem imun tubuh dan mengaktifkan sel serta protein tertentu yang menyerang kanker, termasuk makrofag, sel Natural Killer (NK), interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-2 (IL-2). Penemuan tersebut memberi angin segar dalam dunia kedokteran sebagai alternatif dalam pengobatan berbagai penyakit. Di bagian dunia lain, informasi ini mendapat sambutan hangat dengan dilakukannya berbagai penelitian tentang efek Maitake tersebut pada manusia.6,8,9,10    

   Sampai saat ini, uji klinis efek antitumor Maitake pada kanker prostat dan payudara masih dalam pelaksanaan fase I/II yang dilakukan di Jepang dan Amerika Serikat.10 

1. Zat aktif Maitake

 

Dari penelitian terdahulu terhadap jamur lain seperti Karawatake, Shiitake dan Suehirotake, telah dibuktikan melalui uji klinis memiliki khasiat sebagai obat anti-kanker. Adapun komponen jamur yang memiliki efek biologik dan terapeutik tersebut merupakan suatu polisakarida yang juga dimiliki oleh Maitake. Hal inilah yang mendasari dilakukannya penelitian terhadap Maitake sebagai obat anti kanker.8

   Zat aktif tersebut bernama beta-glukan dengan komposisi polisakarida beta-glukan (beta-1,6 glukan  

dan beta-1,3 glukan) dan protein dengan berat molekul sekitar 1,000,000 yang selanjutnya dikenal dengan nama fraksi D. Fraksi ini merupakan ekstrak dari mycelium dan tubuh buah (fruiting body) Maitake.6,7

   Pemurnian fraksi D menghasilkan fraksi MD. Fraksi MD ini diekstraksi dan difraksikan dari mycelia dan tubuh buah Grifola frondosa atau G. albicans, G. umbellata dan G. gigantea. Para peneliti menemukan fraksi MD secara signifikan memiliki efek inhibisi terhadap pertumbuhan tumor dan aktivitas imunopotensiasi yang lebih kuat bila dibandingkan dengan fraksi D.6,7

2. Farmakologi

Fraksi D memiliki beberapa aktivitas biologis dan imunologis yang tergantung pada karakteristik glukan seperti berat molekul, kelarutan dalam air, jumlah rantai cabang, dan konformasi.11

   Dibandingkan dengan jamur lain, fraksi D memiliki kelebihan berupa berat molekul yang lebih besar dan adanya rantai cabang beta-1,6-glukan yang tidak dimiliki ketiga jamur di atas.6,7 Ratio rantai cabang dan berat molekul (1-->3)-beta-D-glukans adalah

Page 24: Hiv

faktor penting dalam produksi sitokin oleh makrofag.12 Dengan demikian semakin besar kemungkinan fraksi tersebut untuk mencapai dan mengaktifkan sel-sel imun dalam jumlah yang lebih besar.6,7

Kelarutan dalam air

Kelarutan 1,3-beta-D-glukan, terutama dengan berat molekul lebih besar daripada 100 kD, rendah. Hal ini memegang peranan dalam kemampuannya merangsang makrofag untuk menghasilkan TNF in vitro.11

   Polisakarida dengan berat molekul 1,000,000 tidak bisa diserap oleh usus. Beberapa peneliti mengemukakan teori bahwa bakteri usus memecah molekul tersebut menjadi molekul yang lebih kecil sehingga bisa melewati membran sel untuk seterusnya masuk ke sirkulasi dan mengaktifkan sistem imun. Teori lain menyatakan molekul yang lebih kecil tersebut terikat pada protein dimana kompleks gula-protein ini saat berada dalam sirkulasi dikenali oleh tubuh sebagai benda asing yang akhirnya mengaktifkan sistem imun. Peneliti lain mengemukakan bahwa polisakarida tersebut tidak diserap, pengaktifan sistem imun terjadi melalui interaksinya dengan sel-sel imun di usus (Peyer patches).9

3. Mekanisme Maitake sebagai imunostimulator

 

Maitake dapat berfungsi sebagai antitumor, ajuvan, aktivasi komplemen dan peningkatan permeabilitas vaskular dan lain-lain.11 

   Aktivasi respons imun non spesifik melalui aktivasi makrofag yang menghasilkan sitokin dan TNF. TNF merupakan sitokin kunci dalam jaringan sitokin dalam proses apoptosis langsung pada berbagai tumor.11 

Aktivasi respons imun seluler 

Fraksi D menurunkan aktivasi sel B dan mengaktivasi sel T helper, sehingga terjadi peningkatan respons imun seluler. Selain itu, fraksi D juga menginduksi produksi interferon (IFN)-γ, interleukin (IL)-12 p70 dan IL-18 oleh sel ginjal dan sel kelenjar getah bening, tetapi menekan IL-4. Maitake membuat dominasi Th-1 pada pasien kanker dengan dominasi Th-2 pada sistem imunnya. Diketahui bahwa pasien dengan kanker mengalami aktivasi Th-2 yang memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13 dan mengaktifkan reaksi imun humoral. Sedangkan Th-1 memproduksi IL-2, TNF-beta, IFN-gamma dan mengaktifkan reaksi imun selular. Keseimbangan antara kedua subset ini penting untuk phylaxis immunity, aktivitas anti tumor dll. Maitake dapat membuat dominasi Th-1 dengan meningkatkan jumlah konversi sel Th-0 menjadi Th-1 atau menghambat konversi Th-1 menjadi Th-2 yang akhirnya merangsang imunitas selular tubuh dan memperlihatkan efek anti tumor.12

   Studi in vitro hubungan antara struktur dan aktivitas imunofarmakologi melaporkan hanya beta-glukan Maitake yang memiliki kemampuan memproduksi sitokin dan Tumor Necrosis Factor (TNF) dari makrofag. Hal ini berhubungan dengan struktur beta glukan yang memiliki berat molekul besar dan rasio rantai cabang yang rendah.9

Page 25: Hiv

   Mekanisme pengenalan beta-glukan oleh tubuh sampai saat ini diperkirakan melalui banyak cara dan melibatkan berbagai fungsi sel imun.13 Reseptor GRN belum diketahui, tetapi sepertinya makrofag memiliki reseptor terhadap 7 molekul glukosa di permukaan selnya.13

4. Indikasi dan efektivitas penggunaan Maitake

 a. Obat antikanker

 

Banyak studi yang telah dilakukan menyatakan bahwa kompleks beta-glukan dan glikoprotein dari Maitake memiliki aktivitas sebagai antitumor yang potensial.  Percobaan tersebut umumnya dilakukan pada hewan dan memberikan hasil yang menjanjikan, namun laporan tentang pemakaiannya pada manusia belum terbukti dalam uji klinis.10

   Aktivitas antitumor tersebut dilakukan dengan meningkatkan aktivitas makrofag dan juga bekerja pada sel-sel pertahanan tubuh seperti natural killer (NK) cells dan sel T sitotoksik yang bisa menyerang sel tumor, meningkatkan interleukin-1, interleukin-2 dan limfokin.6,7,14,15

1. Melindungi sel sehat menjadi sel kanker

Sebuah pilot study di Cina yang dipublikasikan dalam bentuk abstrak, melibatkan 63 pasien kanker. Terdapat respon parsial dan komplit terhadap tumor padat sebanyak 95% dan terhadap leukemia sebanyak 90% (Jones 1998).6,7,14 Tidak disebutkan penggunaan kontrol dalam penelitian ini, jumlah sampel kecil, parameter penilaian tidak jelas serta bentuk publikasi berupa abstrak sehingga data ini tidak dapat ditelaah kritis lebih lanjut dan belum bisa dijadikan dasar pembuktian pernyataan di atas.

   Secara in vitro, fraksi ini memiliki efek sitotoksik pada sel kanker prostat (PC-3) yang diperkirakan terjadi melalui proses oksidasi yang berakhir dengan apoptosis. Selain itu, pemakaian anti kanker carmustine, juga dipotensiasi oleh fraksi D, sehingga obat  anti kanker dapat diberikan dalam dosis yang lebih rendah. (Fullerton 2000).16,17

2. Mencegah metastasis

Percobaan untuk membuktikan hal ini baru dilakukan pada hewan. Belum ada data penggunaannya pada manusia.

3. Memperlambat dan menghambat pertumbuhan tumor.

   Penelitian dalam hal ini masih terbatas pada penelitian terhadap hewan.

4. Sebagai kombinasi dengan kemoterapi untuk mengurangi efek samping seperti rambut rontok, nyeri, dan untuk meningkatkan efek positifnya.6,7

Page 26: Hiv

Fraksi D berperan dalam meningkatkan efek sitotoksik obat antikanker secara signifikan yang dibuktikan dalam studi in vitro. Diperkirakan hal ini didapatkan melalui inaktivasi glyoxalase I, enzim penghancur yang berfungsi dalam detoksifikasi metabolit sitotoksik.14

   Sebuah randomized clinical study tanpa kontrol yang belum dipublikasikan menggunakan fraksi D sebagai terapi tambahan pada kemoterapi untuk mengetahui efektifitas Maitake pada pasien kanker stadium lanjut. Total terdapat 165 penderita berbagai macam kanker stadium III-IV, berusia 25-65 tahun. Data dikumpulkan dengan kerjasama rumah sakit–rumah sakit umum dan klinik perawatan kanker di Jepang. Pasien diberikan tablet berisikan fraksi D dan tablet berisi crude Maitake atau fraksi D dan tablet plasebo selama kemoterapi. Hasilnya: terdapat regresi tumor atau perbaikan gejala yang signifikan pada 11 dari 15 orang pasien kanker payudara, 12 dari 18 penderita kanker paru-paru dan 7 dari 15 penderita kanker hati. Terdapat peningkatan efektivitas terapi sebanyak 12% sampai 27% bila dikombinasikan dengan kemoterapi. Sebagai catatan, bagaimanapun juga, hampir semua pasien merasakan perbaikan keseluruhan gejala walaupun regresi tumor tidak dapat diamati. Efek samping seperti hilang nafsu makan, mual, muntah, rambut rontok, dan leukopeni berkurang pada 90 % pasien. Sedangkan keluhan nyeri berkurang pada 83% pasien.6,7,9,10 Penelitian ini tidak menggunakan kontrol, parameter penilaian dari segi klinis dan keluhan subjektif dan hasilnya belum dipublikasikan.

   The US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui dilakukannya uji klinis beta-glukan sebagai terapi pada pasien dengan kanker stadium lanjut di bawah Investigational New Drug Application (IND) yang sedang berjalan.9,10 Di Jepang dan Amerika Serikat, sedang dilakukan sejumlah uji klinis fraksi D Maitake untuk kanker payudara, prostat, paru-paru, hati dan lambung yang kebanyakan masih dalam fase awal (I/II). 

b. Imunostimulator pada pasien dengan HIV-AIDS

Pada November 1991, fraksi Maitake sulfat dinyatakan berperan dalam uji saring obat anti-HIV yang diadakan oleh National Cancer Institute (NCI). Menurut NCI’s Delopmental Therapeutics Program In vitro Testing Results, Maitake memperlihatkan aktivitas antivirus yang bermakna dan sesuai dosis. Sehingga fraksi MD dijadikan subjek penelitian jangka panjang untuk mengetahui manfaatnya pada pasien yang terinfeksi HIV.6,9

   Studi dilakukan pada 35 pasien HIV positif. Sampel diberikan 6 g Maitake dalam bentuk tablet atau 20 mg fraksi MD yang dimurnikan dengan 4 g tablet Maitake setiap hari selama 360 hari. Yang dimonitor adalah hitung CD4+ (sel T helper), jumlah virus, gejala infeksi HIV, penyakit penyerta dan perasaan sehat pada diri pasien.6,7,10,14 Didapatkan hasil sel T helper meningkat pada 20 pasien, menurun pada 8 pasien dan tetap pada 4 pasien lain; jumlah virus menurun pada 8 pasien, meningkat pada 9 pasien dan statis pada 2 pasien; 85 % responden dilaporkan merasakan keadaan tubuh yang lebih sehat terutama bila berhubungan dengan gejala dan penyakit penyerta yang disebabkan oleh HIV. Dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa fraksi MD bekerja pada beberapa tingkat yaitu menghambat langsung HIV, stimulasi sistem pertahanan tubuh terhadap HIV dan membuat tubuh lebih tidak mudah terkena penyakit oportunistik.6,7,14,18

   Penelitian efek Maitake pada pasien terinfeksi HIV di atas memang memperlihatkan hasil positif yang dipantau dari hasil laboratoris dan klinis pasien.

Page 27: Hiv

Namun tidak adanya kontrol yang digunakan, jumlah sampel yang kecil serta tidak dijelaskannya metode analisa statistik yang digunakan, menjadikan data ini juga belum mampu mendukung pernyataan manfaat Maitake sebagai imunostimunolator pada pasien terinfeksi HIV.

   Laporan klinis terdahulu yang belum dipublikasikan menyatakan penggunaan ekstrak cair Maitake fraksi D dicampur dengan DMSO (dimethylsulfoxide) yang digunakan topikal, telah menjanjikan untuk dijadikan terapi pada sarkoma Kaposi, tumor kulit yang banyak menyebabkan kematian pasien dengan AIDS.6,9,14,18

c. Kegunaan lain.

 1. Menurunkan dosis antibakteri.

 

Penelitian untuk hal ini, baru dilakukan pada binatang dimana penambahan fraksi D Maitake menurunkan dosis efektif vancomycin untuk terapi mencit yang terinfeksi listeria.19 

2. Antidiabetik

 

Studi klinis pada 5 pasien diabetes tipe II yang menjalani terapi oral anti diabetes, didapatkan hasil terdapat perbaikan kadar gula darah pada pasien yang mengkonsumsi Maitake. Pada 1 pasien, terdapat kontrol total gula darah  dan sekarang sudah bebas obat. Sedangkan yang lainnya mengalami penurunan kadar gula darah sampai 30% dalam 2-4 minggu (New York).14,16 Publikasi untuk studi ini dalam bentuk abstrak. Sampel yang digunakan sangat kecil dan tidak ada kontrol. 

3. Penurun tekanan darah

Maitake dalam diet mencegah perubahan degeneratif secara histologis pada spontaneous hypertensive rats (SHR) yang diberi diet Maitake sehingga didapatkan manfaat berupa penurunan tekanan darah serta peningkatan metabolisme lipid.6,9,14,20

4. Metabolisme Kolesterol dan trigliserida

Berdasarkan studi yang dilakukan pada hewan, didapatkan hasil yang tidak konsisten dalam manfaatnya untuk menurunkan lipid serum termasuk kolesterol dan trigliserida.7,9,14

5. Penyakit hati

 

Maitake juga efektif dalam pecegahan dan pengobatan kelainan hati. Di tahun 1990, sebuah pilot study dilakukan pada 32 pasien dengan hepatitis B kronik dengan hasil

Page 28: Hiv

pasien yang mengkonsumsi polisakarida dari Maitake memperlihatkan tanda-tanda positif kesembuhan seperti tingkat alanin transferase yang lebih cepat menurun dibandingkan dengan kontrol yang menjalani pengobatan biasa.6,9,14 Publikasi didapatkan dalam bentuk abstrak, tidak ada kontrol dan jumlah sampel kecil. 

6. Pengontrol berat badan

 

Maitake kaya akan serat dan rendah kolesterol serta lemak sehingga berpotensi sebagai agen penurun berat badan.6,9,14

   Dalam sebuah studi klinis pada 30 pasien dengan kelebihan berat badan (overweight), diberikan Maitake dalam bentuk tablet yang ekivalen dengan 200 gram Maitake segar setiap hari selama dua bulan. Walaupun tidak ada perubahan dalam pola diet pasien-pasien tersebut, semuanya mengalami penurunan berat badan rata-rata sebanyak 7-13 pon dan seorang pasien kehilangan berat badan sebanyak 26,5 pon. Beberapa pasien melaporkan konsistensi feses yang lebih lunak sebagai efek samping.6,9 Studi ini juga tidak memiliki kontrol, jumlah sampel kecil dan publikasi didapatkan dalam bentuk abstrak.

5. Dosis

 

Penelitian lebih lanjut bisa menjelaskan hal-hal lebih lanjut mengenai dosis. Data tentang dosis sebanyak 5-20% diet seperti yang diterapkan pada hewan akan sulit diaplikasikan pada manusia. Sebuah studi terbaru pada hewan menyelidiki bersihan dua jenis glukan (GRN dari Grifola frondosa dan SSG dari Sclerotina sclerotiorum) di darah setelah penyuntikan dosis multipel Maitake pada tikus dengan penyakit autoimun. Maitake diberikan secara intraperitoneal sekali seminggu sebanyak 250mcg selama 35 minggu. Konsentrasi glukan dalam darah terukur cukup tinggi (sekitar 20 mcg/mL untuk GRN dan 200mcg/mL untuk SSG). Disimpulkan bahwa pemberian glukan dalam  jumlah besar yang membuat sistem retikuloendotelial jenuh akan menghasilkan glukan yang beredar dalam darah.6  

   Dalam Medicinal Mushrooms, Hobbs menyatakan bahwa dosis per oral fraksi D yang terbukti efektif sebagai antitumor dan agen imunopotensiasi pada tikus adalah 0,75 mg/kg berat badan tikus. Walaupun sulit untuk membandingkan aktivitas tikus dengan manusia, dengan asumsi rasio aktivitas 1:1 dan fraksi D sebanyak 4 mg didapatkan dari 1 g tubuh jamur, maka dosis fraksi D yang setara untuk manusia dengan berat badan 140 pon adalah 47,25 mg. Dan jumlah tubuh jamur yang dibutuhkan adalah 11,81 gram.6,14 

   Sebuah perusahaan produk Maitake menyatakan jumlah fraksi D untuk memberikan efek terapeutik berkisar antara 0,5-1,0 mg/kg berat badan per hari. Setara dengan dosis 35-70 mg fraksi D setiap hari.6 

   Sediaan fraksi D dan MD komersial, biasanya berisikan 3-25 mg ekstrak yang sudah distandarisasi bersama dengan kapsul whole powder 75-250 mg. Kapsul whole powder ini biasanya berukuran 100-500 mg. Ekstrak dalam bentuk cair juga tersedia

Page 29: Hiv

dengan 1 mg fraksi D per tetes. Beberapa produk dalam bentuk kapsul telah distandarisasi dan dipadatkan untuk kadar minimum polisakarida (seperti 30%), termasuk fraksi beta-D-glukan. Kisaran dosis yang biasa direkomendasikan pada label produk untuk pencegahan penyakit adalah 2-25 mg ekstrak/200-250 mg whole powder dan 500-2,500 mg whole powder per hari.6

6. Efek samping

 

Selama berabad-abad, Maitake telah digunakan dalam masakan dan terapi herbal. Sejauh ini, studi yang dilakukan belum melaporkan adanya efek simpang fraksi D Maitake dan masih dalam proses uji klinis.10

   Berdasarkan eksperimen preklinis untuk jamur yang mengandung polisakarida, tidak ditemukan adanya reaksi simpang dalam penggunaannya pada wanita hamil dan menyusui. Tidak ada reaksi anafilaksis, efek mutagen pada tes hemolisis, koagulasi darah dan pemeriksaan lain yang diperlukan. Tidak ada bukti ilmiah untuk genotoksisitas. Hasil yang sama juga ditemukan pada beta-glukan yang lain yang ketika diaplikasikan pada manusia dalam uji klinis fase I, didapatkan beberapa reaksi simpang.20

B. ECHINACEA

 

Echinacea merupakan salah satu dari coneflowers, yaitu sekelompok bunga liar yang berasal dari Amerika Utara, termasuk kedalam Daisy family (Asteraceae). Bentuk tanaman ini ditandai oleh spiny flowering heads, with an elevated receptacle which froms the “cone”.21 Dari 9 spesies yang ada, 3 telah dikembangkan menjadi tanaman obat dan telah dikomersialkan, yaitu: Echinacea purpurea (L.) Moench., atau purple coneflower, E. pallida (Nutt.) Nutt., atau pale coneflower dan E. angustifolia DC., atau narrow-leaved Echinacea.22,23 

   Sejarah penggunaan Echinacea dapat dilihat pada suku Indian Amerika, yang telah menggunakannya untuk menyembuhkan luka, gigitan ular, sakit kepala, dan common cold.24 Dalam pengobatan herbal, Echinacea telah digunakan untuk sinusitis, otitis media, infeksi saluran kemih bawah, pengobatan tambahan untuk infeksi berulang vagina oleh candida albican, infeksi kulit dan karbunkel, penyembuhan luka, antiinflamasi, di Eropa dan Amerika Serikat dilaporkan efektif untuk pencegahan dan pengobatan common cold walaupun pada beberapa studi produk yang digunakan tidak hanya terdiri dari Echinacea, tetapi juga tanaman lain.22

Penggunaan terbanyak adalah untuk pencegahan dan pengobatan common cold, melalui kemampuannya menstimulasi sistim imun.25 

1. Farmakologi

 

Page 30: Hiv

Komponen kimia yang terdapat pada Echinacea meliputi karbohidrat: polisakarida (arabinogalaktan, xyloglycan, echinacin), inulin; glikosida: asam kafeat dan derivatnya (chichoric acid, echinacoside, chlorogenic acid), cynarin; alkaloids: isotussilagine, tussilagine; alkylamides (alkamides) seperti echinacein; polyacetylenes; germacrene sesquiterpene alcohol; komponen lain: glikoprotein, flavonoids, resin, asam lemak, minyak esensial, phytosterol dan mineral.23,26 Derivat asam kafeat, cynarin, polisakarida, dan glikoprotein bersifat polar sedangkan alkylamides dan polyacetylenes bersifat lipofilik.27,28 

   Penelitian untuk mencari komponen aktif Echinacea telah dilakukan sejak lama, tetapi hasilnya masih belum pasti.28 Belum ada komponen fraksi polar maupun lipofilik dapat melakukan aktivitas imunomodulasi secara sendiri. Beberapa komponen seperti alkilamid, polisakarida dan glikoprotein memegang peranan sebagai “active principle”.24  Saat ini perhatian ditujukan pada 4 komponen sebagai bahan aktif, yaitu derivat asam kafeat, alkilamid, polisakarida dan glikoprotein.28 

   Monograf dari German expert-commission BANZ No.43,1989, menyatakan press juice dari tanaman segar yang sedang berbunga  telah dikenal sebagai komponen aktif E. purpurea, artinya tidak ada sediaan lain dari Echinacea dikenal mempunyai nilai terapeutik, termasuk akar E, purpurea, E. pallida, dan E. angustifolia. Sampai saat ini penelitian untuk menerangkan komponen yang -biological active principle- pada press juice ini belum berhasil. Hubungan antara sejumlah bahan yang telah dapat diisolasi seperti chicoric acid, polisakarida, dan arabinogalaktan diperlukan untuk menginduksi efek biologik.29  

   Karena komponen kimia yang begitu banyak terdapat pada Echinacea dan komposisinya berbeda-beda ditiap bagian tanaman dan tiap spesies, maka bahan aktif yang sebenarnya memiliki efek imunomodulasi belum diketahui. Banyak herbalist yang menyimpulkan bahwa efek yang muncul karena adanya interaksi diantara komponen-komponen tersebut, tetapi hal ini belum dievaluasi secara formal.27 

   Tidak ada studi tentang metabolisme Echinacea ditemukan dari literatur yang ada.26 

2. Mekanisme Echinacea sebagai imunostimulator

 

Echinacea mempengaruhi sistim imun terutama sistim imun non spesifik. Pemberian Echinacea meningkatkan respon imun fase awal dan mempercepat terjadinya respon imun adaptif.30 Burger A. Roger dkk.31 melakukan percobaan secara in vitro menggunakan fresh pressed juice dan dried juice Echinacea dengan konsentrasi 10μg/ml-0,012 μg/ml  yang dicampur dengan makrofag darah tepi manusia yang telah diisolasi dan dibandingkan dengan kelompok kontrol (endotoksin yang distimulasi dan tidak distimulasi). Dilakukan penghitungan produksi sitokin rata-rata. Dari hasilnya didapatkan bahwa kultur makrofag yang telah dicampur dengan Echinacea bermakna meningkatkan produksi IL-1, IL-6, IL-10 dan TNF-α (P<0,05), pada semua konsentrasi yang digunakan. Bagaimana mekanisme aktivasi sistim imun melalui jalur sitokin ini oleh Echinacea belum diketahui. Disamping itu Echinacea juga diketahui dapat mengaktivasi Natural Killer (NK) sel dan antibody-dependendent cellular cytotoxicity oleh sel mononuklear.23,26,30,31  

Page 31: Hiv

3. Indikasi dan efektivitas penggunaan Echinacea

 

Croom dan Walker26 (1995) menyatakan bahwa permasalahan dalam menginterpretasi literatur klinik Echinacea adalah bahan aktifnya belum dapat diidentifikasi dengan jelas dan kebanyakan studi menggunakan sediaan yang tidak distandar. 

a. Antijamur

 

Coeugniet dan Kühnast25 melaporkan penelitian penggunaan jus E. purpurea (Echinacin®) untuk infeksi jamur di vagina yang rekuren. Wanita dengan hasil laboratorium infeksi Candida diterapi dengan Econazole topikal dan Echinacin®  oral (N=60) atau injeksi (subkutan N=20; IM N=60; IV N=20), kelompok kontrol 43 orang. Pengobatan diteruskan selama 10 minggu. Kelompok yang mendapat Echinacin®

memperlihatkan peningkatan reaktivitas kulit dan penurunan kekambuhan candidiasis vaginal selama 6 bulan periode pengamatan. Pada kelompok kontrol 60% mendapat infeksi baru, sedang pada kelompok yang mendapat Echinacin®, hanya 5-17% yang menderita kekambuhan infeksi vagina (P<0,05). Artikel ini didapatkan dari sebuah review.  Randomisasi dan blinding yang digunakan tidak dijelaskan, sehingga diasumsikan bahwa alokasi tidak random dan blinding tidak dilakukan.  

b. Antikanker

 

Lersch dkk.25 mengobati pasien dengan kanker hati lanjut (N=5) dan kanker kolorektal lanjut (N=15) dengan jus E. purpurea, cyclophosphamide, dan thymostimulin IM. Meskipun diklaim terdapat peningkatan aktivitas sel Natural killer (NK), limfokin yang diaktivasi sel T dan PMN, tidak dicatat adanya keuntungan besar bagi kesehatan. Survival rate sama antara kelompok yang mendapat Echinacea dengan yang tidak. Pada percobaan terbuka lain, 28 pasien dengan kanker (payudara (N=8), kolorektal (N=8), ginjal (N=1), paru (N=1), prostat (N=2), uterus (N=1), melanoma (N=1)) diterapi dengan 3 ml/hari “Echinacea complex”. Tidak ada perubahan pada jumlah sitokin yang dicatat, progresi penyakit dan survival rate belum dilaporkan. Efek anti kanker diawali karena ditemukannya diene olefin yang diisolasi dan disintesis dari minyak akar Echinacea yang diduga memiliki efek antitumor (1972). Artikel ini didapatkan dari sebuah review, desain penelitiannya tidak disebutkan dan jumlah sampel sangat kecil.  

c. Bronkitis dan Pertusis

 

Baetgen25 (1988) melaporkan analisa restrospektif pada 1280 anak dengan bronkitis, yang mendapat jus E. purpurea (Echinacin) injeksi IM (N= 468), antibiotik (N=482) atau kombinasi keduanya (N=330). Lamanya sakit pada kelompok yang mendapat Echinacea saja lebih pendek dibandingkan kelompok Echinacea+antibiotik, lebih pendek dibandingkan antibiotik saja. Artikel ini

Page 32: Hiv

didapatkan dari sebuah review. Karena randomisasi dan blinding tidak dilakukan dan data dikumpulkan serta dianalisa secara retrospektif, maka efektivitas yang dicatat hanya suatu kemungkinan (highly suspected). 

   Pada penelitian retrospektif lain oleh Baetgen25 (1984) pada 170 penderita pertusis yang mendapat jus E. purpurea (Echinacin®) injeksi IM (N=77), antibiotik (N=30) atau kombinasi keduanya (N=63), juga diklaim adanya keuntungan dalam hal lamanya sakit pada  kelompok Echinacin®. Artikel ini juga dari sebuah review. Metode penelitian yang open-labelled, non randomized, dan retrospektif membatasi interpretasi dari klaim tersebut. 

d. Antiviral

Turner dkk.25,32 (2000) melaporkan penelitian untuk menilai efektivitas Echinacea dalam pencegahan experimental rhinovirus colds. Penelitian ini dilakukan pada 117 partisipan yang berumur ≥18 tahun. Partisipan dengan titer serum neutralizing antibody terhadap rhinovirus tipe 23 ≤ 1:4 mendapatkan Echinacea (N=63) 300mg atau plasebo (N=54) dan diberikan 3 kali/hari selama 2 minggu. Sejumlah 92 partisipan dipaparkan dengan rhinovirus tipe 23 dan kemudian pengobatan diteruskan sampai 5 hari setelah paparan, dipantau munculnya infeksi (melalui kultur virus dan respon antibodi) dan keparahan penyakit atau clinical colds (melalui gejala). Infeksi rhinovirus muncul pada 22 (44%) dari 50 pada kelompok Echinacea, dan 24 (57%) dari 42 pada kelompok placebo (P=0.3, Fischer exact test). Dari yang terinfeksi 11 (50%) kelompok Echinacea dan 14 (59%) dari kelompok placebo berkembang menjadi clinical colds (P=0,77, Fischer exact test). Echinacea juga tidak memiliki efek yang bermakna terhadap total daily symptom score pada kelompok yang terinfeksi virus. Absolute Risk Reduction 13% dan 9%, tidak bermakna secara statistik. Turner dkk. mengklaim Echinacea inefektif untuk pencegahan experimental colds. Pada penelitian ini randomisasi dan blinding tidak dijelaskan, jumlah sampel kecil dan profil fitokimia Echinacea yang digunakan tidak dijelaskan.  

e. Pencegahan Infeksi Saluran Nafas Atas

 

Schöneberger24,25 (1992) melaporkan randomized, double-blind, placebo-controlled trial untuk menilai efikasi pencegahan ISPA oleh jus E. purpurea (Echinacin®) pada 108 pasien. Partisipan diacak untuk mendapatkan Echinacin® atau plasebo dalam bentuk cairan. Dosis yang diberikan 2x4 ml/hari peroral, selama 8 minggu. Dilaporkan bahwa efikasi pencegahan bermakna secara statistik, 32,5% pada kelompok Echinacea dan 25,9% pada kelompok kontrol. Partisipan dengan rasio T4/T8 < 1,5 sebelum penelitian memberikan hasil yang terbaik. Menariknya, 7 tahun kemudian, Grimm dan Muller24,25,33 mempublikasikan artikel penelitian diatas dalam bahasa Inggris, dengan interpretasi yang berbeda. Menurut Grimm dan Muller pengobatan dengan ekstrak cairan E. purpurea tidak bermakna dalam menurunkan insiden, lamanya, serta keparahan common cold dan infeksi saluran nafas dibandingkan dengan plasebo. Mereka mencatat selama 8 minggu pengobatan, 35 (65%) dari 54 kelompok Echinacea dan 40 (74%) dari 54 kelompok plasebo menderita satu infeksi saluran nafas atau commom cold (RR 0,88, 95% CI 0,60-1,22), relative risk reduction 12%. Desain penelitian ini RCT, tetapi jumlah sampel yang digunakan sedikit dan hasilnya ternyata diinterpretasikan secara berbeda, sayangnya artikel hanya didapatkan dalam bentuk review dan abstrak.  

Page 33: Hiv

   Melchart, Linde dkk.24,25,34 (1998) melaporkan three-armed preventive, double-blind, randomized, controlled trial untuk menilai keamanan dan efikasi ekstrak etanol dari akar E. purpurea, akar E. angustifolia dan plasebo dalam mencegah ISPA. Penelitian melibatkan 302 orang sukarelawan sehat, 289 orang diacak kedalam salah satu dari 3 kelompok (E. angustifolia 100, E. purpurea 99, plasebo 90). Dosis yang diberikan 2x50 tetes (1ml)/hari, senin-jumat selama 12 minggu. Total 244 partisipan menyelesaikan penelitian. Didapatkan hasil waktu munculnya gejala pertama ISPA pada kelompok E. angustifolia 66 hari (95% CI 61-72 hari), kelompok E. purpurea 69 hari (95% CI 64-74 hari), dan kelompok plasebo 65 hari (95% CI 69-70 hari), P=0,49.  Pada kelompok plasebo 37% mendapatkan sekurangnya satu ISPA, E. purpurea 29% (RR dibanding plasebo 0,80; 95%CI 0,53-1,31) dan E. angustifolia 32% (RR dibanding plasebo 0,87; 95%CI 0,59-1,30), P=0,55. Relative risk reduction pada kelompok E. purpurea 20% dan E. angustifolia 13% tidak bermakna secara statistik. Tidak ada efek samping merugikan yang dicatat. Dari hasil penelitian ini didapatkan Echinacea tidak menunjukkan efek pencegahan ISPA yang lebih besar dibanding plasebo.

Blinding dijelaskan dengan menanyakan partisipan apakah mereka percaya telah mendapatkan Echinacea atau plasebo, 53% menebak benar, 22% salah dan 25% menolak menebak (p<0,01). Meskipun penelitian ini merupakan salah satu penelitian terbaik, tetapi dikatakan “massively undersized”, sehingga hasilnya menjadi problematik. 

f. Pengobatan Infeksi Saluran Nafas Atas

 

Bräunig dkk.25 (1992) melaporkan randomized controlled trial untuk membandingkan 2 dosis ekstrak etanol-air dari akar E. purpurea (dosis tinggi 180 tetes (900 mg) perhari; dosis rendah 90 tetes (450 mg) perhari) pada 180 pasien yang menderita infeksi saluran nafas atas. Dibandingkan dengan kelompok plasebo, kelompok yang mendapat dosis tinggi keparahan gejala turun bermakna secara statistik, 10-50%. Artikel ini didapatkan dari sebuah review. Meskipun diklaim bahwa dilakukan randomisasi dan blinding, semua kelompok plasebo mendapatkan dosis 90 tetes perhari, sehingga penelitian ini sebenarnya tidak blinding dan keluaran primer (lamanya sakit) hasilnya tidak dilaporkan.   

   Scaglione dan Lund24,25 (1995) melaporkan single-blind randomized controlled trial untuk menilai efikasi sediaan yang mengandung ekstrak E.purpurea, rosemary, eucalyptus, fennel dan vitamin C untuk mengatasi common cold. Partisipan terdiri dari 32 dewasa yang diacak kedalam kelompok Echinacea dan plasebo (glukosa). Lamanya common cold rata-rata 3,37 hari pada kelompok Echinacea dan 4,37 hari pada kelompok placebo (p<0,01). Jumlah tissu yang digunakan juga berbeda bermakna (882 kelompok Echinacea, 1168 plasebo). Dari hasil penelitian ini didapatkan sedian tersebut diatas efektif dan aman digunakan untuk common cold.

Kelemahan dari studi ini adalah kurangnya evaluator blinding, tes blinding pada partisipan dan pengukuran keparahan gejala; sedikitnya penjelasan pengukuran lamanya sakit dan jumlah sampel yang kecil.  

   Hoheisel dkk.24,25 (1997) melaporkan single centre clinical trial untuk menilai efikasi pressed juice E. purpurea pada 120 pasien dengan gejala akut ISPA tanpa komplikasi. Partisipan diacak kedalam ke-2 kelompok, kelompok pengobatan mendapatkan cold pressed juice E. purpurea yang distabilkan dengan alkohol 20% (N=60) dan kelompok plasebo mendapatkan coloured diluted etanol (N=60). Pengobatan dimulai saat awal gejala, dosis yang diberikan 20 tetes/2 jam pada hari

Page 34: Hiv

pertama dan kemudian 3x20 tetes /hari selama 10 hari. Didapatlan hasil 24 dari 60 (40%) kelompok Echinacea dan 36 dari 60 (60%) kelompok plasebo berkembang menjadi ‘real common cold’ (p=0.044). Pada kelompok ‘real common cold’ tersebut, waktu rata-rata perbaikan gejala 4 hari pada kelompok Echinacea (N=24) dan 8 hari pada kelompok plasebo (N=36). Permasalahan pada penelitian ini adalah definisi ‘real common cold’ tidak dijelaskan, peneliti menyimpulkan penurunan besar kejadian ‘real common cold’ (absolut risk reduction 20% dan relative risk reduction 50%) pada kelompok Echinacea tapi juga melaporkan self-reported symptom severities tidak berbeda pada kedua kelompok. Tes blinding pada partisipan juga tidak dilaporkan.  

   Brinkeborn dkk.24,25,35 (1999) melaporkan randomized, placebo controlled, double-blind clinical trial untuk membandingkan efikasi dan keamanan 3 formulasi E.purpurea tablet dengan plasebo pada pengobatan common cold. Partisipan terdiri dari 246 dewasa yang baru menderita common cold, dan diacak untuk mendapatkan plasebo atau 1 dari 3 sediaan Echinacea : Echinaforce (E. purpurea 95% daun, 5% akar), konsentrat E. purpurea (sediaan sama dengan pertama tapi konsentrasi 7 kali lebih tinggi) dan akar E. purpurea spesial. Dosis yang digunakan 3x2 tablet/hari, maksimal 7 hari. Berdasarkan penilaian oleh dokter relative reduction (RR) complaint index berbeda bermakna diantara ke-4 kelompok (p=0,015). Kelompok Echinaforce dan konsentrat Echinacea RR lebih tinggi dan bermakna dibanding plasebo (p=0.002 dan p=0.003). Penilaian oleh pasien juga berbeda bermakna (p=0,036), Echinacea konsentrat dan Echinaforce juga lebih baik dibanding plasebo (p=0.010 dan p=0.032). Sedangkan ekstrak Echinacea spesial tidak lebih efektif dibanding placebo. Efek samping pada semua kelompok Echinacea tidak lebih tinggi bermakna dibanding plasebo. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Echinaforce dan Echinaforce konsentrat efektif bermakna dalam pengobatan common cold dibanding ekstrak Echinacea special dan plasebo. Pada penelitian ini randomisasi dan concealment methods dideskripsikan dengan adekuat, tetapi tidak ada laporan tentang apakah partisipan berpikir mereka mendapatkan plasebo atau bahan aktif. Meskipun hasilnya bermakna secara statistik, tetapi secara klinis masih meragukan, karena symptom scores dari hari ke hari tidak dilaporkan dan juga tidak ada keuntungan dalam hal lamanya sakit dicatat.  

   Henneicke-von Zepelin dkk.25,36 (1999) melaporkan randomized, double-blind, placebo-controlled, multi center study, untuk membandingkan efikasi tablet Esberitox-N® (terdiri atas radix E. purpurea+pallida, radix baptisiae tinctoriae, herba thujae occidentalis, ditambah bahan lain) dengan plasebo pada pengobatan awal infeksi saluran nafas atas pada 263 partisipan dengan gejala common cold akut. Dosis yang diberikan 3 tablet inisial, kemudian 3x3 tablet/hari selama 7-9 hari. Penggunaan Echinacea bermakna lebih baik dibanding plasebo (p<0,05), baik pada analisa intention to treat (ITT) p=0,0497 maupun analisa valid cases (VCs) p=0,0381. Dari analisa intention-to-treat, keuntungan yang bermakna secara statistik dari Esberitox-N® untuk seluruh gejala  berdasarkan variabel outcome (skor rhinitis, skor brinkitis, keparahan menyeluruh, perasaan sehat) efeknya bervariasi dari 20-33%. Jika digunakan pada saat awal munculnya gejala, keuntungan akan semakin meningkat (p=0,014). Keuntungan penggunaan Echinacea ini mulai muncul pada hari ke-2 dan pada hari ke-4 bermakna secara statistik (p<0,05) dan berlanjut terus sampai akhir pengobatan. Efek samping muncul pada 26 orang kelompok Echinacea dan 23 orang kelompok plasebo. Penelitian ini menunjukkan bahwa Echinacea aman, efektif, dan mempercepat perbaikan gejala common cold. Desain penelitian ini RCT, jumlah sampel cukup banyak, dan randomisasi dijelaskan. Kelemahannya tidak dilaporkan apakah partisipan berpikir mereka mendapat plasebo atau Echinacea, 

Page 35: Hiv

evidence concealment yang adekuat hanya moderate, analisa CGI tidak dilaporkan dengan detail.   

   Lindenmuth dan Lindenmuth25,37 melaporkan randomized, double-blind, placebo-controlled study untuk menilai efikasi Echinacea dalam bentuk teh yang diberikan pada saat awal munculnya gejala common cold atau flu pada 95 partisipan. Partisipan diacak untuk mendapatkan Echinacea plus tea 5-6 cangkir/hari, selama 5 hari atau plasebo. Dari hasilnya didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok Echinacea plus tea dengan kelompok plasebo (P<0,001). Tidak ada efek negatif yang dilaporkan. Dinyatakan bahwa penggunaan Echinacea plus tea pada awal gejala common cold atau flu efektif memperbaiki dan memperpendek gejala dibanding plasebo. Desain penelitian ini RCT tetapi jumlah sampel sedikit, blinding tidak dilaporkan dan sediaan yang digunakan dalam bentuk teh sehingga mempengaruhi penyembunyian. Artikel ini didapatkan dari review dan abstrak.  

   Schulten dkk.25 (2001) melaporkan randomized, double-blind trial untuk menilai efikasi pressed juice E. purpurea (Echinacin) pada pasien dengan common cold. Partisipan terdiri dari 80 dewasa yang memiliki gejala awal common cold dan diacak untuk mendapatkan Echinacea atau plasebo. Diberikan dosis 2x5ml/hari, selama 10 hari. Didapatkan rata-rata sakit pada kelompok yang mendapat Echinacea 6 hari sedangkan kelompok plasebo 9 hari. Tetapi data tentang lamanya sakit tidak dilaporkan secara adekuat (tidak ada pengukuran variabilitas). Blinding juga tidak dijelaskan. Artikel ini didapatkan dari sebuah review.  

   Barret dkk.25,40 (2002) melaporkan randomized, double-blind, placebo-controlled trial untuk menilai efikasi sediaan kering dari seluruh bagian tanaman Echinacea dalam kapsul untuk pengobatan common cold. Partisipan terdiri dari 148 mahasiswa dengan gejala awal common cold yang diacak untuk mendapatkan kapsul yang terdiri dari campuran kering daun E. purpurea, akar E. purpurea (masing-masing 25%) dan akar E. angustifolia (50%) atau plasebo. Pada hari pertama diberikan dosis 6x1g dan hari berikutnya 3x1g/hari, maksimal 10 hari. Tidak ditemukan adanya perbedaan lamanya common cold diantara kedua kelompok. Lamanya gejala bervariasi 2-10 hari, rata-rata 6 hari (rata-rata SD 6,01±2,34 hari). Lamanya gejala pada kelompok plasebo rata-rata 5,75 hari dan kelompok Echinacea 6,27 hari (perbedaan antara kedua kelompok -0,52 hari [95% CI -1,09-0,22 hari]). Adjusted hazard ratio untuk lamanya sakit tidak bermakna secara statistik (1,24 [CI 0,86-1,78]). Juga tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam keparahan gejala diantara kedua kelompok. Dari hasil penelitian ini dilaporkan tidak ada keuntungan lebih pemberian Echinacea pada common cold dibanding plasebo. Kelemahan penelitian ini: sediaan Echinacea yang digunakan belum pernah diuji sebelumnya dan dapat inefektif karena bioavailabilitas atau fitokimianya; tipe partisipan, mahasiswa perguruan tinggi (undergraduate), mungkin tidak mendapat keuntungan banyak dari Echinacea (partisipan pada studi-studi lain dewasa yang lebih tua dan kadang mereka dengan riwayat sering common cold); outcome utama dinilai berdasarkan self-reported symptoms, yang dapat bersifat subyektif sehinggat potensial terjadi bias. 

4. Dosis  

Echinacea tersedia dalam berbagai bentuk sediaan yang terbuat dari berbagai bagian tanaman dan tiap sediaan mengandung lebih dari satu macam komponen kimia, sehingga rekomendasi dosis yang tepat sulit untuk dibuat. Tidak ada dosis yang telah distandar secara umum. Dosis yang direkomendasikan sangat

Page 36: Hiv

bervarasi.27,39 Sediaan yang terdapat dipasaran ada dalam bentuk ekstrak cair, tinktura, tablet, kapsul, teh, krim, gel dan sediaan injeksi yang populer di Jerman.26 Komisi E Jerman tidak merekomendasikan sediaan dalam bentuk teh karena bahan aktif tidak dapat diekstrak dengan air panas. 27 

   Echinacea digunakan saat onset gejala infeksi virus dan diteruskan 24-48 jam setelah gejala membaik. Pada penggunaan yang lama efektifitas Echinacea menurun dan efek imunostimulasi berkurang. Direkomendasikan penggunaan paling lama 6-8 minggu. Pada pasien dengan penurunan sistim imun dapat digunakan jangka lama, tetapi tiap selesai pengobatan selama 8 minggu diselingi bebas obat 1 minggu, kemudian dilanjutkan lagi.23,26 Panduan Jerman merekomendasikan Echinacea tidak digunakan untuk jangka waktu lebih dari 8 minggu karena kemungkinan efek hepatotoksik dan immunosupresi, tetapi ini hanya berdasarkan hasil percobaan pada sejumlah kecil orang dewasa yang diberikan injeksi Echinacea.27 

5. Efek Samping dan Toksikologi  

Echinacea relatif aman digunakan, dapat menyebabkan reaksi alergi tetapi tidak menimbulkan kematian.23,25 Pada pasien dengan riwayat asma, atopi, rinitis alergi dan pasien alergi terhadap daisy family (Asteraceae) dapat muncul reaksi alergi berat, meliputi dyspnea dan reaksi anafilaksis.23 Perharm melaporkan di Jerman (1989-1995) dari total 13 orang yang mendapat alergi kulit saat menggunakan Echinacin®, hanya 4 yang disebabkan Echinacea. De Smet dan rekan pada th 1997 melakukan studi pada 1032 orang menggunakan patch-test untuk menilai sensitivitas terhadap Echinacea, reaksi inflamasi muncul hanya pada 2 orang. Tidak ada laporan tentang efek samping yang berhubungan dengan peningkatan dosis dan overdosis.25,40 Pada penggunaan oral dapat muncul rasa tidak enak dan kehilangan rasa di lidah, dan pada penggunaan parenteral dapat muncul reaksi demam, kelemahan otot dan menggigil.27 Pernah dilaporkan muncul efek samping seperti rasa terbakar dimulut dan tenggorokan, urtikaria, diare, eritema nodosum, mual, muntah dan nyeri perut.25  

   Masih belum jelas apakah Echinacea bersifat hepatotoksik karena tussilagine dan isotussilagine, 2 pyrrolizidine alkaloid yang terdapat pada Echinacea tidak memiliki struktur cincin 1,2-unsaturated necrine yang memiliki efek hepatotoksik.27,28 Toksisitas akut pada penggunaan ekstrak akar Echinacea muncul pada dosis > 3.000mg/kg berat badan, sedang untuk pressed juice E purpurea , LD50 pada rat > 15.000mg/kgBB peroral atau > 5000mg/kgBB iv, pada mouse LD50> 30.000 mg/kgBB peroral atau > 10.000 mg/kgbb iv.28 Percobaan oleh Mengs dan rekan (1991) serta Wagner dan rekan (1997) untuk menunjukkan mutagenisitas dan karsinogenisitas dari Echinacea memberikan hasil negatif.28,40

Toksisitas Terhadap Kehamilan

 

Keamanan penggunaan Echinacea selama kehamilan belum dapat dijelaskan, hanya sedikit data relevan yang menunjang. Michael Gallo dkk.3,25 melaporkan prospective controlled study untuk menilai keamanan fetus pada penggunaan Echinacea selama kehamilan. Penelitian melibatkan wanita yang mengikuti Motherisk Program di Toronto, yang menggunakan Echinacea dalam kurun waktu 1996-1998. Wanita yang menggunakan Echinacea selama kehamilan (206 orang, 112 orang, (54%) menggunakan pada trimester pertama dan 17 (8%) meggunakan selama 3

Page 37: Hiv

trimester), dipantau secara prospektif dan dibandingkan dengan kelompok kontrol (wanita hamil yang mengikuti Motherisk Program yang tidak menggunakan Echinacea atau menggunakan antibiotik nonteratogenik), 206 orang. Dilakukan pembandingan terhadap kejadian malformasi mayor, minor, keguguran dan komplikasi neonatal pada kedua kelompok.  

      Pada pembandingan antara kelompok Echinacea dengan kelompok kontrol didapatkan jumlah kelahiran hidup (195:198), aborsi spontan (13:7), aborsi terapeutik (1:1) dan malformasi mayor dan minor (6:7). Tidak ada perbedaan secara statistik terlihat pada kedua kelompok baik dalam keluaran kehamilan, metode persalinan, penambahan berat badan ibu, usia kehamilan, berat lahir ataupun distrea fetus. Angka kejadian malformasi antara kedua kelompok juga tidak berbeda bermakna secara statistik. Disimpulkan bahwa penggunaan Echinacea dalam kehamilan, selama organogenesis, tidak berhubungan dengan peningkatan risiko malformasi mayor.    

6. Kontraindikasi 

Echinacea  dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit kronik progresif yang diperantarai sistim imun seperti tuberkulosis, reumatoid artritis, penyakit kolagen vaskuler dan multipel sklerosis. Secara teori hal ini disebabkan karena kemampuan stimulasi sistim imun dari Echinacea dapat mengeksaserbasi komponen inflamasi yang diperantarai sistim imun pada penyakit ini.25,27,28,40 Masih terdapat perbedaan pendapat tentang kontraindikasi pada pasien dengan AIDS. Beberapa peneliti mengemukakan HIV memicu respon imun yang menyebabkan munculnya gejala AIDS karena permukaan sel dari HIV menyamai reseptor CD4 yang ditemukan di sel normal, alasan lain kemungkinan karena polimer arabinogalaktan Echinacea dapat menginduksi tumor necrosis factor oleh makrofag.23,25,39 Masih diperlukan bukti ilmiah yang lebih baik yang mendukung kontraindikasi ini.25  

      Pada tahun 1998 See D dkk.41 melaporkan studi fase 1 Echinacea angustifolia pada 14 pasien dengan HIV (+) yang memiliki nilai CD4 bervariasi dari 6-600/mm3

(rata-rata 269) dan jumlah virus (log 10) bervariasi dari 2,3-5,4 (rata-rata 4,68). Dari 14 partisipan ini, ada yang telah mendapatkan rejimen antiretroviral dan ada yang belum mendapatkan dalam 12 minggu terakhir. Masing-masing kemudian mendapatkan Echinaea angustifolia 1000 mg 3kali/hari selama 12 minggu. Setiap 2 minggu dilakukan penilaian terhadap  jumlah virus, CD4, aktivitas sel Natural Killer (NK) terhadap sel target, penilaian klinis, dan laboratorium. Tidak ada toksisitas klinis maupun laboratorium yang diamati selama penelitian. Pada minggu ke 12 tidak terdapat perbedaan bermakna jumlah CD4 dibandingkan nilai awal, akan tetapi terdapat penurunan jumlah virus 0,32 log 10 (rata-rata 4,36, P<0,05). Tidak ada perubahan aktivitas sel NK . Dari pilot study ini disimpulkan bahwa Echinacea angustifolia aman digunakan dan bermakna dalam menurunkan jumlah virus pada pasien dengan HIV (+).

C. PHYLLANTHUS  NIRURI

Phyllanthus, di Indonesia dikenal sebagai “meniran”, adalah tumbuhan liar dengan tinggi 30-40 cm yang tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia, India, Brazil, hutan

Page 38: Hiv

Amazon dan Texas. Phyllanthus berarti daun dan bunga, sebab jika dilihat sepintas daun, bunga bahkan buahnya tampak serupa. Tumbuhan ini memiliki lebih dari 600 spesies. Spesies Phyllanthus yang dikenal sebagai bahan obat tradisional antara lain P. amarus, P. urinaris, P. acidus, P. fraternus, P. reticulatus dan P. pinnatus.42,43,44 Beberapa literatur menyatakan bahwa P. amarus di India dikenal sebagai P. niruri, namun ada juga yang menyatakan dalam klasifikasi terakhir disebutkan bahwa P. amarus merupakan salah satu tipe P. niruri.45,46

   Ekstrak tumbuhan ini sejak dahulu sering digunakan dalam pengobatan batu empedu, batu saluran kemih dan pelbagai penyakit ginjal lainnya. Di India Phyllanthus (terutama P. niruri) juga digunakan untuk mengatasi ikterus. P. niruri juga banyak digunakan untuk mengatasi pelbagai kelainan kulit. 42,43 

1. Farmakologi

 

Dilaporkan akar dan daun Phyllanthus niruri kaya senyawa flavonoid, antara lain filantin, hipofilantin, qeurcetrin, isoquercetrin, astragalin dan rutin. Di samping itu, dilaporkan pula beberapa glikosida flavonoid dan senyawa flavonon baru. Dari minyak bijinya telah diidentifikasi beberapa asam lemak yaitu, asam ricinoleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Beberapa senyawa lignan baru juga telah diisolasi dari Phyllanthus niruri yaitu, seco-4-hidroksilintetralin, seco-isoarisiresinol trimetil eter, hidroksinirantin, dibenzilbutirolakton, nirfilin, neolignan (filnirurin).42,43 Dari sekian banyak zat yang terkandung dalam P. niruri, belum diketahui mana yang memiliki efek antivirus. Hanya diketahui bahwa zat aktif P. niruri bekerja terutama di hepar. Belum ditemukan kepustakaan yang membahas farmakokinetik P. niruri. 

2. Mekanisme Phyllanthus sebagai imunostimulator

 

Sebuah penelitian eksperimental laboratorik pada mencit oleh Maat46 (1996) menunjukan bahwa Phyllanthus mempunyai efek terhadap  respon imun nonspesifik maupun spesifik. Efeknya terhadap respon imun nonspesifik yaitu meningkatkan fagositosis dan kemotaksis makrofag, kemotaksis neutrofil, sitotoksisitas sel NK dan aktifitas hemolisis komplemen, sedangkan  terhadap respon imun spesifik, pemberian ekstrak Phyllanthus niruri meningkatkan proliferasi sel limfosit T, meningkatkan sekresi TNFα dan IL-4 serta menurunkan aktifitas sekresi IL-2 dan IL-10.

Dari uji klinis ekstrak P. niruri pada manusia dinyatakan bahwa ekstrak Phyllanthus meningkatkan kadar IFNg, kadar CD4 dan rasio CD4/CD8. 

3. Indikasi dan Efektivitas Ekstrak Phyllanthus niruria. Anti virus hepatitis

Ekstrak Phyllanthus dalam pengobatan tradisional luar negeri digunakan untuk mengobati ikterus. Penggunaan secara tradisional ini dicoba untuk dibuktikan secara ilmiah melalui beberapa penelitian. Pada penelitian eksperimental, dinyatakan bahwa ekstrak Phyllanthus dapat menghambat DNA polimerase virus.45 Hasil tersebut

Page 39: Hiv

mendasari dilakukannya penelitian klinis untuk membuktikan hal tersebut. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil yang beragam.  

   Thyagarajan dkk.45 (1988), melakukan sebuah RCT dengan kontrol plasebo untuk membuktikan efek Phyllanthus niruri pada penderita hepatitis B asimtomatik kronik. Penelitian dilakukan terhadap 78 pasien dengan HBsAg dan anti-HBcIgM positif selama 6 bulan berturut-turut. Kelompok uji mendapatkan kapsul yang berisi 200 mg bubuk P.niruri kering, sedangkan kelompok plasebo mendapatkan kapsul serupa berisi laktosa, diberikan 3 kali sehari selama 30 hari. Hasil pemeriksaan serologi pada kunjungan kontrol pertama menunjukkan bahwa HBsAg 22 dari 37 pasien uji (59%) ternyata negatif, hal ini hanya terjadi pada 1 dari 23 pasien plasebo (4%). Secara statistik perbedaan ini bermakna, dengan P<0.0001. Karier dengan HBsAg dan HBeAg positif kurang memberikan respon dibandingkan dengan karier yang tidak memiliki HBeAg (5 dari 17[29%] vs 17 dari 20[85%]; p<0.001). Meskipun penelitian ini merupakan suatu RCT, namun jumlah sampel yang digunakan kecil. Sebuah review akademik menilai penelitian ini bermutu rendah. 

   Penelitian lain yang membuktikan mengenai manfaat phyllanthus terhadap hepatitis B kronik dilakukan oleh Xin-Hua dkk.47 (2001) berupa sebuah RCT dengan tujuan membandingkan manfaat P. amarus dengan interferon (IFN-alpha 1b) pada pasien hepatitis B kronik. Penelitian ini melibatkan 55 pasien hepatitis B kronik yang dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok phyllanthus (n=30) dan interferon (n=25) sebagai kontrol. Mereka mendapatkan terapi selama 3 bulan. Pada akhir penelitian tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada konversi HBeAg dan HBV-DNA antara kelompok phyllanthus dan kontrol.  Namun pada kelompok phyllanthus terjadi normalisasi fungsi hati (ALT, albumin, globulin dan bilirubin) yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa P. amarus memiliki efek yang baik dalam memperbaiki fungsi hati pada pasien hepatitis B kronis dibandingkan dengan IFN-alpha 1b.  Penelitian ini hanya berhasil didapatkan dalam bentuk abstrak, selain kecilnya jumlah sampel kelemahan lain dari penelitian ini adalah waktu pengamatan yang singkat. 

   Di samping hasil penelitian yang membuktikan manfaat phyllanthus terhadap hepatitis B kronik, terdapat pula beberapa penelitian yang membuktikan bahwa phyllanthus tidak bermanfaat dalam pengobatan hepatitis B kronik. Thamlikitkul dkk.48 (1991) melakukan sebuah RCT untuk mengetahui efikasi P. amarus dalam eradikasi virus hepatitis B pada karier kronik. Penelitian ini melibatkan 65 karier hepatitis B. Kelompok uji (n=34) menerima ekstrak P. amarus 600mg perhari selama 30 hari, sedangkan kelompok kontrol (n=31) menerima plasebo dalam kapsul yang serupa. Setelah 30 hari, 20 orang dari masing-masing kelompok melanjutkan penelitian. Kelompok uji tetap mendapatkan 600mg P. amarus, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan P. amarus 1200mg selama 30 hari. Pada 30 hari pertama, terjadi konversi pada 2orang (6%) kelompok uji, sedangkan pada 30 hari kedua konversi terjadi pada 1 orang (5%) pada kelompok dosis tinggi. Tidak tercatat efek samping pada pasien yang menerima phyllanthus. Dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa P. amarus hanya memiliki efek yang minimal dalam eradikasi virus hepatitis. Kelemahan lain penelitian ini adalah meskipun merupakan suatu RCT, namun tidak menyebutkan adanya blinding, jumlah sampel yang minim dan tidak adanya hasil analisa statistik.  

   Doshi dkk.49 (1994) melakukan sebuah uji klinik fase 2 untuk membuktikan kemampuan P. amarus dalam eradikasi antigen permukaan virus (HBsAg) pada karier hepatitis B. Uji ini melibatkan 30 karier HBsAg asimptomatik, yang mendapatkan

Page 40: Hiv

250-500mg P. amarus 3 kali sehari selama 4-8 minggu. Pada akhir pengujian tidak satu pun subyek mengalami serokonversi, sehingga diambil kesimpulan bahwa P. amarus tidak efektif membersihkan HBsAg pada karier HBsAg asimptomatik. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Thiamlikitkul dkk. (1991). Kelemahan uji klinis ini adalah jumlah sampel yang kecil dan durasi terapi yang singkat. Sayangnya kedua penelitian di atas hanya berhasil diperoleh dalam bentuk abstrak saja. 

   Wang dkk.50 (1995) melakukan sebuah RCT yang cukup besar, melibatkan 123 pasien hepatitis B kronik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat genus Phyllanthus terhadap hepatitis B kronik. Pada penelitian ini digunakan 3 spesies phyllanthus yang berasal dari lokasi geografik yang berbeda.  Hingga akhir penelitian tidak didapatkan serokonversi HbsAg pada semua subyek penelitian. Penelitian ini hanya berhasil didapat dalam bentuk abstrak. Meskipun jumlah sampel cukup besar, namun karena sampel dibagi dalam 4 kelompok, maka jumlah sampel tiap kelompok tetap kecil, hal ini menjadi kelemahan dari penelitian ini.  

   Narendranathan dkk.51 (1999) melakukan sebuah RCT dengan kontrol plasebo terhadap 56 pasien hepatitis B akut untuk mengetahui manfaat pemberian ekstrak P. amarus dalam memperpendek masa sakit. Kelompok uji (n=28) mendapatkan 300mg ekstrak P. amarus 3 kali sehari, sedangkan kelompok plasebo mendapatkan antasida dalam kemasan kapsul yang serupa. Masa sakit dihitung sejak pasien mengikuti penelitian hingga kadar bilirubin darah <2mg%. Pada penelitian ini ekstrak P. amarus tidak memperpendek masa sakit dibandingkan dengan plasebo. Penelitian ini hanya berhasil didapatkan dalam bentuk abstrak, tidak dijelaskan lama pemberian terapi, jumlah sampel yang digunakan kecil dan tidak mencantumkan hasil analisa statistik. Hasil penelitian ini tidak memberikan bukti yang mendukung pemberian ekstrak Phyllanthus pada pasien hepatitis akut.  

   Penelitian mengenai manfaat phyllanthus juga telah direview oleh beberapa penulis. Liu dkk.52 melakukan review penelitian mengenai penggunaan obat-obatan herbal Cina termasuk phyllanthus pada pengobatan hepatitis B kronik maupun karier asimptomatik. Dinyatakan bahwa pada pasien hepatitis B kronik Phyllanthus tidak memberikan efek yang berarti dalam penurunan HBeAg serum, HBV DNA dan ALT serum dibandingkan dengan terapi interferon. Terhadap karier asimptomatik, phyllanthus tidak memberikan efek antivirus yang berbeda dengan plasebo.55  

   Unander dkk.54 dalam reviewnya menyatakan bahwa meskipun telah digunakan secara luas dalam mengatasi ikterus, namun manfaat phyllanthus pada pasien hepatitis B kronik atau virus yang sejenis tidak ada.  

Sebagian besar artikel mengenai phyllanthus yang direview oleh kedua penulis ini tidak ditulis dalam bahasa Inggris. 

b. Antituberkulosis

 

Amin dkk.55 (2003) melakukan sebuah RCT dengan kontrol plasebo untuk mengetahu manfaat penggunaan ekstrak Phyllanthus niruri sebagai terapi tambahan pada pasien tuberkulosis (TB). Penelitian ini melibatkan 67 pasien TB dengan sputum

Page 41: Hiv

basil tahan asam (BTA) (+) dan lesi radiologis minimal hingga sedang yang dibagi menjadi kelompok uji (n=34) yang mendapatkan 50mg esktrak P. niruri 3 kali sehari selama pengobatan TB dan kontrol (n=31) yang mendapatkan plasebo. Hasil yang diperoleh setelah 2 bulan terapi adalah proporsi pasien yang mengalami konversi sputum BTA pada minggu I pengobatan lebih banyak pada kelompok uji (52%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (39%). Perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (P=0.172), namun penulis menyatakan bahwa hal ini memiliki implikasi klinis yang cukup besar. Kelemahan dari penelitian ini adalah jumlah sampel yang kecil, yang mungkin mempengaruhi penilaian statistik. Penelitian ini tidak dimuat dalam jurnal ilmiah baik dalam maupun luar negeri. 

   Munawar dkk.56 (2003) melakukan sebuah uji klinis tersamar ganda mengenai manfaat klinis pemberian ekstrak Phyllanthus niruri sebagai imunostimulator pada pengobatan TB paru. Uji ini melibatkan 40 pasien TB yang dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA, yaitu kelompok (+) dan (-). Masing-masing kelompok kemudian dibagi lagi menjadi grup kasus dan kontrol.  Kelompok kasus mendapatkan ekstrak P. niruri 50mg 3 kali sehari selama 2 bulan sebagai tambahan terapi standar TB (OAT), sedangkan kelompok kontrol mendapatkan plasebo dalam kemasan kapsul yang serupa. Dari hasil penelitian dinyatakan bahwa pemberian ekstrak P. niruri tidak memberikan perbaikan klinis yang bermakna secara statistik pada pasien TB yang mendapatkan OAT. Kelemahan dari uji klinis ini adalah jumlah sampel yang sangat kecil dan kriteria perbaikan klinis menggunakan hasil pemeriksaan laboratorium. 

   Radityawan57 (2003) melakukan sebuah uji klinis untuk mengetahui peranan P. niruri terhadap kadar IFNg. Penelitian ini melibatkan 40 pasien TB yang dibagi dalam 2 kelompok uji dan kontrol. Kelompok uji mendapat ekstrak P. niruri 50mg 3 kali sehari selain terapi OAT, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan plasebo. Didapatkan hasil bahwa kelompok uji mengalami peningkatan kadar IFNg yang bermakna dibandingkan kelompok kontrol.  

   Raveinal58 (2003) melakukan sebuah uji klinis untuk menilai pengaruh pemberian ekstrak P. niruri terhadap respon imun seluler penderita TB paru. Hasil yang didapat setelah 4 minggu pengobatan adalah, terjadi peningkatan kadar CD4 limfosit T, (10.7 sel/mm3) yang bermakna (p=0.001) pada kelompok uji jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (4.45 sel/mm3). Demikian pula dengan rasio CD4/CD8 limfosit T, terdapat peningkatan bermakna pada kelompok uji dibandingkan dengan kelompok plasebo (phyllanthus 0.32 vs kontrol 0.05, P=0.01). Setelah 2 bulan terapi, peningkatan IFNg pada kelompok uji lebih bermakna dibandingkan dengan peningkatan yang terjadi pada kelompok kontrol (7.24 pg/ml, p=0.01 vs 0.41 pg/ml, p=0.261). Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Radityawan. Sayangnya kedua penelitian di atas menggunakan parameter laboratorik dalam penilaiannya. 

c. Mengatasi kelainan kulit

 

Di India Phyllanthus telah digunakan sejak dahulu sebagai obat tradisional bagi pelbagai kelainan kulit seperti ulkus, kulit pecah-pecah dan gatal.44 Warouw59 (2001) melaporkan sebuah studi deskriptif tanpa kontrol mengenai manfaat pemberian terapi adjuvant P. niruri pada HZ dan reaksi lepra. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa ekstrak P. niruri dapat mempercepat penyembuhan gejala klinis

Page 42: Hiv

pada kedua keadaan tersebut. Menaldi dkk.60 (2002) melaporkan penggunaan ekstrak P. niruri sebagai terapi adjuvant pada 3 penderita lepra. Dalam laporan kasus tersebut disebutkan bahwa ekstrak P. niruri meningkatkan imunitas seluler penderita.

   Kurniati61 (2002) melakukan sebuah RCT terhadap 60 kasus Herpes Zoster (HZ) non-komplikata untuk menilai efektifitas dan keamanan pemberian kombinasi ekstrak P. niruri dibandingkan plasebo pada terapi standar HZ. Ekstrak P. niruri diberikan 50mg 3 kali sehari selama 7 hari. Penilaian dilakukan berdasarkan skor kemajuan klinis untuk status dermatologikus yang meliputi eritema, edema, vesikel berkelompok dan ukuran lesi. Didapatkan perbedaan skor kemajuan klinis yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok uji (1,86 vs 2,38 [P<0.01]).

Kelemahan dari penelitian ini adalah jumlah sampel yang sangat kecil. 

d. ISPA pada anak

 

Munasir62 (2003) melakukan sebuah uji klinis sederhana untuk menilai peranan ekstrak P. niruri dalam pengobatan ISPA pada pasien anak. Penelitian ini dilakukan pada 40 pasien ISPA usia 2-15 tahun dengan kriteria mengalami demam tidak lebih dari 2 hari sebelumnya. Terapi diberikan selama 7 hari. Data positif yang diperoleh adalah proporsi pasien yang turun demam <3 hari tanpa antipiretik lebih banyak terdapat pada kelompok uji (36%) dibandingkan dengan kelompok plasebo (27.5%)59

Namun, uji klinis ini memiliki banyak keterbatasan, yaitu jumlah sampel yang kecil, metodologi  yang kurang jelas dan tidak adanya analisa statistik. 

4. Dosis 

Banyaknya zat aktif yang terkandung dalam P. niruri dan belum diketahuinya farmakokinetik dari P. niruri menyebabkan sulit untuk menentukan dosis. Dari pelbagai penelitian didapatkan dosis yang berbeda-beda pada pelbagai keadaan sehingga belum dapat ditentukan besarnya dosis.  

5. Efek Samping 

Dari pelbagai uji yang dilakukan pada manusia, efek samping penggunaan P. niruri yang dilaporkan adalah gatal, mual dan timbulnya ruam kulit namun tidak ada yang melaporkan efek samping yang membahayakan dari pemberian ekstrak Phyllanthus pada manusia. Hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efek toksik ekstrak Phyllanthus terhadap manusia. 

6. Toksisitas 

Maat 46 melakukan percobaan terhadap mencit untuk mengetahui toksisitas akut dan kronik ekstrak P. niruri. Dari pengukuran LD50 pada mencit yang dihitung baik dengan formula Well maupun Spiermann-Kareber didapatkan hasil 22,50 mg/10gBB/i.p. Jika angka tersebut dikalkulasikan ke dosis oral (formula Boyd) didapatkan angka 13.837 mg/BB/oral atau 14 g/BB/oral. Kesimpulan dari hasil pengukuran tersebut adalah ekstrak P. niruri dikelompokkan ke dalam PNT (practically non toxic).  

Page 43: Hiv

   Pada percobaan toksisitas kronik terhadap tikus, didapatkan hasil bahwa pemberian ekstrak P. niruri sebesar 5 g/kgBB/hari peroral selama 3 bulan tidak menimbulkan efek patologis.   

D.  KESIMPULAN  

1. JAMUR MAITAKE

 

Ekstrak beta-glukan dari Maitake berupa fraksi D dan MD dinyatakan memperlihatkan efek sebagai imunostimulator lewat aktivasi sistem imun non spesifik dengan cara menginduksi apoptosis, bersifat sitotoksik dan kemosensitisator, yang berpotensi besar dalam pencegahan dan terapi keganasan.22 Selain itu, memiliki kelebihan dalam cara pemberian dibandingkan beta-glukan yang lain karena dapat diberikan secara oral.  

   Studi yang telah dipublikasikan umumnya dilakukan pada binatang dan in vitro. Studi pada manusia sejauh ini hanya berupa studi klinis, case series dan case reports yang menyatakan bahwa ekstrak, whole powder, atau kombinasi keduanya efektif pada keganasan dan penyakit HIV sebagai terapi tambahan serta pada diabetes, hipertensi, penyakit hati dan pengendalian berat badan. Namun, metode penelitian yang digunakan belum memenuhi syarat untuk mendukung dan menggunakan hasil penelitian tersebut sebagai dasar indikasi pemakaian Maitake sebagai obat. Sementara uji klinis Maitake masih berada pada fase I/II. 

   Selain itu, dibutuhkan studi lebih lanjut untuk mengidentifikasi contributory effects dan mekanisme kerja dari fraksi dan komponen lain penyusun Maitake. Walaupun mungkin sulit untuk menyelidiki hubungan struktur dengan aktivitas yang dihasilkan karena kompleksitas struktur polisakarida dan variasi dalam protein serta komposisi asam amino.  

2. ECHINACEA

 

Bahan aktif yang sebenarnya memiliki efek imunomodulasi pada echinacea belum diketahui karena komponen kimia yang terkandung dalam echinacea begitu banyak dengan komposisi yang berbeda-beda ditiap bagian tanaman dan tiap spesies. Diperkirakan asam kafeat, alkylamides, polisakarida dan glikoprotein berperan sebagai bahan aktif yang dapat mempengaruhi sistim imun nonspesifik dengan cara meningkatkan produksi IL-1, IL-6, IL-10 dan TNFα sehingga terjadi aktivasi sistim imun.31  

   

Belum ada kesepakatan yang jelas tentang manfaat Echinacea untuk kesehatan manusia. Jumlah studi yang telah dipublikasikan, yang menilai efektivitas penggunaannya pada manusia cukup banyak. Umumnya randomized controlled trial yang ada difokuskan untuk pencegahan dan pengobatan common cold. Akan tetapi

Page 44: Hiv

hasil dari berbagai studi tersebut tidak seragam. Penelitian pencegahan umumnya memperlihatkan Echinacea hanya mempunyai efek yang kecil dalam menurunkan insiden common cold. Sedang penelitian pengobatan memberikan hasil yang lebih positif tetapi keuntungan dalam menurunkan keparahan dan lamanya gejala  dilaporkan bervariasi diantara berbagai studi yang ada yang umumnya dipengaruhi oleh metodologi penelitian dan sediaan Echinacea yang digunakan.36 Studi RCT terbaru oleh Barret dkk.25,40 (2002) tidak menemukan adanya keuntungan lebih pemberian Echinacea pada common cold dibanding plasebo. 

   Penelitian lain juga telah dilakukan untuk menilai kegunaan Echinacea sebagai antijamur, antikanker dan untuk pengobatan bronkitis dan pertusis, akan tetapi penelitian tersebut tidak memberikan hasil yang bermakna dan umumnya memiliki keterbatasan dalam hal metodologi penelitian. 

3. PHYLLANTUS NIRURI

 

Kesulitan dalam meneliti manfaat ekstrak Phyllanthus adalah banyaknya kandungan zat aktif sehingga sulit menentukan zat aktif yang memiliki efek spesifik. Dari beberapa penelitian mengenai

khasiat ekstrak Phyllanthus sebagai antivirus dan imunostimulan, didapatkan hasil yang berbeda.  

Beberapa penelitian yang dilakukan pada hewan memberikan hasil yang menunjukkan bahwa P. niruri memiliki efek anti virus, anti malaria, anti kanker, antioksidan, imunostimulan  dan masih banyak lagi. Namun hasil penelitian pada hewan ini tidak dapat begitu saja diaplikasikan pada manusia, sehingga perlu dilakukan uji klinis pada manusia.  

   Telah dilakukan beberapa uji klinis mengenai manfaat ekstrak Phyllanthus pada pelbagai keadaan klinis seperti hepatitis, tuberkulosis paru, infeksi herpes kulit dan ISPA pada anak. Namun, uji klinis yang telah dilakukan pada manusia umumnya memiliki banyak kekurangan seperti metode yang kurang baik, jumlah sampel yang kecil dan tidak adanya kontrol, sehingga hasil penelitian yang diperoleh kurang sahih.

   Meskipun bukti ilmiah yang didapatkan belum memuaskan, namun ekstrak P. niruri telah banyak digunakan oleh kalangan medis untuk mengatasi pelbagai keadaan klinis sebagai tambahan terapi standar. Untuk merekomendasikan P. niruri sebagai pilihan terapi pada pelbagai keadaan klinis masih membutuhkan lebih banyak penelitian dan uji klinis yang baik.

Page 45: Hiv

Dalam anti-HIV-1 virucidal aktivitas in vitro pada tirosin-terkonjugasi tri-dan garam empedu derivatif dihidroksi

AA Al-Jabri a AA Al-Jabri sebuah , * , MD Wigg b , E. , * , MD Wigg b, E. Elias c , R. Elias c, R. Lambkin a , CO Mills c and JS Oxford a Seorang anak biri-biri, CO Mills c dan JS Oxford sebuah

a Department of Medical Microbiology and Retroscreen Virology, St Bartholomew's and The Royal London School of Medicine and Dentistry, 64 Turner Street, London, UK; b Departmento de Virologia, Universidade Federal do Rio de Janeiro, 21 941-590 Rio de Janeiro, Brasil; c The Queen Elizabeth Hospital, Department of Medicine, Liver Research Laboratories, Edgbaston, Birmingham, UK Departemen Mikrobiologi Medis dan Virologi Retroscreen, St Bartholomew's dan The Royal London School Kedokteran dan Kedokteran Gigi, 64 Street Turner, London, Inggris; b Departmento de Virologia, Universidade melakukan Federal Rio de Janeiro, 21 941-590 Rio de Janeiro, Brasil ; c Ratu Elizabeth Rumah Sakit, Departemen Kedokteran, Hati Laboratorium Penelitian, Birmingham, Inggris

Abstract Abstrak

The cellular toxicity and anti-human immunodeficiency virus Toksisitas selular dan immunodeficiency virus anti-manusia type 1 (HIV-1) virucidal activity of four synthesized tyrosine-conjugated tipe 1 (HIV-1) Aktivitas virucidal empat disintesis tirosin-terkonjugasi bile salt derivatives with high surfactant activities, namely garam empedu derivatif dengan kegiatan surfaktan yang tinggi, yaitu di-iodo-deoxycholyltyrosine (DIDCT), di-iodo-chenodeoxycholyltyrosine di-iodo-deoxycholyltyrosine (DIDCT), di-iodo-chenodeoxycholyltyrosine (DICDCT), di-iodo-cholylglycyltyrosine (DICGT) and deoxycholyltyrosine (DICDCT), di-iodo-cholylglycyltyrosine (DICGT), dan deoxycholyltyrosine (DCT), were evaluated and compared with either sodium deoxycholate (DCT), dievaluasi dan dibandingkan dengan baik deoxycholate natrium or nonoxynol-9. atau nonoxynol-9. DIDCT, DICDCT and DCT but not DICGT showed virucidal DIDCT, DICDCT dan DCT tetapi tidak DICGT menunjukkan virucidal activity against three different laboratory-adapted strains aktivitas terhadap tiga laboratorium berbeda-disesuaikan strain of HIV-1 (RF, IIIB and MN). HIV-1 (RF, IIIB dan MN). All the bile salt derivatives tested Semua turunan garam empedu diuji excluding DICGT were virucidal at a concentration as low as termasuk DICGT adalah virucidal pada konsentrasi serendah 10 ng/mL. 10 ng / mL. DCT had the highest anti-HIV-1 virucidal potency, DCT memiliki potensi tertinggi anti-HIV-1 virucidal, suggesting that monopeptide 7 menunjukkan bahwa monopeptide 7 ,12 , 12 dihydroxy bile salt derivatives dihidroksi turunan garam empedu have the most potent antiviral activity. mempunyai kegiatan antiviral yang paling kuat. Complexing of iodine

Page 46: Hiv

Kompleks yodium to the bile salt derivative (as in DICGT) decreases virucidal ke derivatif garam empedu (seperti dalam DICGT) menurun virucidal potency. potensi.

Introduction Pengenalan

Virucides destroy virus particles on contact. Virucides menghancurkan partikel virus ada kontak. They differ from Mereka berbeda dari virustatic drugs in that they act directly and rapidly by lysing virustatic obat dalam bahwa mereka bertindak secara langsung dan cepat oleh Gambaran viral membranes on contact 1 , 2 or by binding to virus coat proteins. membran virus pada kontak 1 , 2 atau dengan mengikat protein mantel virus. Attention has been directed towards the possible use of these Perhatian telah ditujukan kepada penggunaan yang mungkin timbul dari agents for preventing the sexual transmission of human immunodeficiency agen untuk mencegah penularan human immunodeficiency virus (HIV) infection. 3 – 7 The spermicide nonoxynol-9, virus (HIV) infeksi. 3 - 7 The spermisida nonoxynol-9, a non-ionic surfactant, also possesses anti-HIV-1 activity 3 , 8

– 9 suatu surfaktan non-ionik, juga memiliki anti-HIV-1 Aktivitas 3 , 8 - 9 and has been used experimentally to reduce the risk of viral dan telah digunakan secara eksperimental untuk mengurangi resiko virus transmission. 10 However, it damages the epithelial lining of transmisi. 10 Namun, kerusakan lapisan epitel the female genital tract, and may even enhance susceptibility saluran kelamin betina, dan bahkan mungkin bisa meningkatkan kerentanan to, rather than prevent, HIV infection. 11 Therefore, new agents ke, bukan mencegah, infeksi HIV. 11 Oleh karena itu, agen-agen baru that are virucidal without being cytotoxic to human cells are yang virucidal tanpa sitotoksik terhadap sel manusia required. diperlukan.

Certain bile salt derivatives have surfactant activity with Derivatif tertentu garam empedu memiliki aktivitas surfaktan dengan low cellular toxicity. selular toksisitas rendah. Within the human intestinal lumen, bile Dalam lumen usus manusia, empedu salts can reach a concentration of 350 mg/L without any harmful garam bisa mencapai konsentrasi 350 mg / L tanpa merugikan effect on the individual 12 and, in patients suffering from biliary efek pada individu 12 dan, pada pasien menderita empedu obstruction, blood bile salt concentration can increase 100-fold obstruksi, darah konsentrasi garam empedu dapat meningkatkan 100 kali lipat without serious toxic effects. 13 Furthermore, the steroidal tanpa efek beracun yang serius. 13 Selanjutnya, steroid ring of bile salts can be modified chemically to yield derivatives cincin garam empedu dapat dimodifikasi secara kimia untuk menghasilkan turunan with low, moderate or high surfactant activity. dengan rendah, sedang atau tinggi aktivitas surfaktan.

In the present study, four bile salt derivatives with high surfactant Dalam penelitian ini, empat turunan garam empedu dengan tinggi surfaktan activities were examined for their cellular toxicity and then kegiatan dilakukan pemeriksaan toksisitas selular mereka dan kemudian compared with sodium deoxycholate and nonoxynol-9 for anti-HIV-1

Page 47: Hiv

dibandingkan dengan deoxycholate natrium dan nonoxynol-9 untuk anti-HIV-1 virucidal potency. virucidal potensi.

Materials and methods Bahan dan metode

Synthesis of compounds Sintesis senyawa

Materials. . L -Tyrosine methyl ester hydrochloride (crystalline), chenodeoxycholic Bahan. Metil. L-Tirosin hidroklorida ester (kristal), chenodeoxycholic acid (99% pure as judged by TLC and GLC), cholylglycine (99% asam (99% murni sebagai dihakimi oleh TLC dan GLC), cholylglycine (99% pure as judged by TLC), N , N -dicyclohexylcarbodiimide, N , N ' dimethylformamide, murni dinilai oleh KLT), N, N-dicyclohexylcarbodiimide, N, 'dimetilformamida N, triethylamine, 1-hydroxybenzotriazole and Lipidex 5000 were triethylamine, 1-Hidroksibenzotriazola dan Lipidex 5000 adalah purchased from Sigma Chemical Co., Poole, UK. dibeli dari Sigma Chemical Co, Poole, Inggris. Chloramine-T was Chloramine-T supplied by Hopkin and Williams, Chadwell Heath, UK. dipasok oleh Hopkin dan Williams, Chadwell Heath, Inggris. Amberlite Resin XAD-2, silica gel 60 F254 TLC plates ('Merck' 5554) XAD-2, silika gel 60 F254 KLT pelat ("Merck 5.554) 20 x 20 cm, ethyl acetate (Analar), chloroform (Analar), glacial 20 x 20 cm, etil asetat (Analar), kloroform (Analar), glasial acetic acid (99% pure) and potassium iodide were obtained from asam asetat (99% murni) dan kalium iodida diperoleh dari BDH Chemicals Ltd, Poole, UK. BDH Chemicals Ltd, Poole, Inggris. Methanol (99% pure) and ethanol Metanol (99% murni) dan etanol (99% pure) were purchased from Fisons Scientific Apparatus, (99% murni) yang dibeli dari Fisons Ilmiah Aparatur Loughborough, UK. Loughborough, Inggris. Sep-Pak C18 cartridges were purchased from Sep-Pak C18 cartridge dibeli dari Waters Associates Ltd, Hertford, UK. Waters Associates Ltd, Hertford, Inggris.

Synthetic methods. . Deoxycholyltyrosine (DCT), chenodeoxycholyltyrosine and cholylglycyltyrosine Metode sintetis.). Deoxycholyltyrosine (DCT, chenodeoxycholyltyrosine dan cholylglycyltyrosine were synthesized following procedures of Spenney et al. 14 (with disintesis mengikuti prosedur Spenney et al. 14 (dengan a slight modification), Tserng et al. 15 and Mills et al. 16 The sedikit perubahan), Tserng et al. 15 dan Mills et al. 16 The di-iodinated derivatives of these compounds were then synthesized. derivatif di-iodinasi komponen ini kemudian disintesis. Tyrosine-conjugated bile salt (0.5 mmol) in 5 mL phosphate buffer Tirosin-garam empedu terkonjugasi (0,5 mmol) di 5 mL buffer fosfat was added to 1.0 mmol potassium iodide followed by the addition telah ditambahkan ke dalam 1,0 mmol kalium iodida diikuti oleh penambahan of 0.5 mL of chloramine-T solution (10 mg/mL in 10 mM phosphate 0,5 mL larutan chloramine-T (10 mg / mL dalam 10 mM fosfat buffer pH 7.4) with incubation for 30 min. buffer pH dengan inkubasi selama 30 menit) 7.4. The rest of the non-radioactive Sisa dari non-radioaktif iodination procedure including Amberlite XAD-2

Page 48: Hiv

purification iodinasi prosedur termasuk Resin-XAD 2 pemurnian of the di-iodinated compound was as described elsewhere. 17 Further dari senyawa-iodinasi Di adalah seperti yang dijelaskan di tempat lain. 17 Selanjutnya purification was by silica gel PLC employing ethyl acetate/methanol/acetic pemurnian silika gel PLC menggunakan etil asetat / metanol / asetat acid (70:20:10 by volume). asam (70:20:10 oleh volume). The di-iodo derivatives of deoxycholyltyrosine, Yang di-iodo turunan deoxycholyltyrosine, chenodeoxycholyltyrosine or cholylglycyltyrosine were isolated chenodeoxycholyltyrosine atau cholylglycyltyrosine diisolasi from the PLC plates by extraction with methanol and then dried dari PLC piring oleh ekstraksi dengan metanol dan kemudian dikeringkan by evaporation in a rotary evaporator at 40°C. oleh penguapan dalam evaporator rotary pada 40 ° C.

The synthesized compounds, di-iodo-deoxycholyltyrosine (DIDCT), The disintesis senyawa, di-iodo-deoxycholyltyrosine (DIDCT), di-iodo-chenodeoxycholyltyrosine (DICDCT), di-iodo-cholylglycyltyrosine di-iodo-chenodeoxycholyltyrosine (DICDCT), di-iodo-cholylglycyltyrosine (DICGT) and DCT (Figure 1 (DICGT) dan DCT (Gambar 1 ), and sodium deoxycholate as a positive ), Dan natrium deoxycholate sebagai hal yang

positif control, were dissolved separately in RPMI 1640 (Sigma), filter kontrol, dibubarkan secara terpisah dalam RPMI 1.640 (Sigma), filter sterilized using Millipore 0.22 µm filters, divided into disterilkan dengan filter Millipore 0,22 μm, dibagi menjadi aliquots and stored at –20°C. aliquots dan disimpan pada -20 ° C. Nonoxynol-9 was diluted Nonoxynol-9 terdilusi to 1% (v/v) in RPMI 1640 and filter sterilized using a 0.22 1% (v / v) dalam RPMI 1640 dan disterilkan menggunakan filter 0,22 µm filter. μm filter.

View larger version (15K): Lihat versi yang lebih besar

(15K): [in this window] [Di jendela ini] [in a new window] [Di jendela

baru]

Figure 1. . Gambar 1.. Chemical structure of tyrosine-conjugated bile acids. Struktur kimia asam empedu terkonjugasi-tirosin. Tyrosine (1.4 equiv.) and either free bile acid or glycine-conjugated bile acid (1 equiv.) were reacted via dicylclohexylcarbodiimide (1.4 equiv.) to give tyrosine-conjugated bile acid analogues. Tirosin (1,4 equiv) dan. Baik asam empedu bebas atau asam empedu terkonjugasi glisin-(1 equiv.) Telah bereaksi melalui dicylclohexylcarbodiimide (1,4 equiv) untuk memberikan tirosin-analog asam empedu terkonjugasi.. Iodination using KI with chloramine-T oxidation yielded the di-iodo derivative of tyrosine-conjugated bile acid analogues. Iodinasi menggunakan KI dengan oksidasi chloramine-T menghasilkan di-derivatif iodo dari tirosin-analog asam empedu terkonjugasi. Elemental analysis determined the chemical formulae of the tyrosine-conjugated bile

Page 49: Hiv

acids. Hasil analisis unsur menentukan rumus kimia dari asam empedu terkonjugasi-tirosin. These bile acids were judged to be pure by TLC. Asam empedu yang dinilai murni oleh TLC. (a) Deoxycholyltyrosine (DCT): R = R 2 = (A) Deoxycholyltyrosine (DCT): R = R 2 = -OH; R 1 = R 3 = R 4 = H; di-iodo-deoxycholyltyrosine (DIDCT): R = R 2 = -OH; R 1 = R 3 = R 4 = H; di-iodo-deoxycholyltyrosine (DIDCT): R = R 2 = -OH; R 1 =H; R 3 = R 4 = I; di-iodochenodeoxycholyltyrosine (DICDCT): R = R 1 = -OH; R 1 = H, R 3 = R 4 = I; di-iodochenodeoxycholyltyrosine (DICDCT): R = R 1 = -OH; R 2 = H, R 3 = R 4 = I. (b) Di-iodocholylglycyltyrosine (DICGT): R= -OH, R 2 = H, R 3 = R 4 = I. (b) Di-iodocholylglycyltyrosine (DICGT): R = -OH; R 1 = -OH; R 1 = -OH; R 2 = -OH, R 2 = -OH, R 3 = R 4 = I. -OH, R 3 = R 4 = I.

Cell lines and viral strains Sel baris dan strain virus

H9 and C8166 cell lines were kindly provided by Dr Harvey Holmes H9 dan C8166 baris sel ramah yang diberikan oleh Dr Harvey Holmes through the Medical Research Council's AIDS Directed Programme, melalui Medical Research Council's AIDS Directed Program, UK. Inggris. Three different laboratory-adapted strains of HIV-1 were Tiga jenis yang berbeda-disesuaikan laboratorium HIV-1 adalah used to evaluate the virucidal activity of the compounds: RF, yang digunakan untuk mengevaluasi kegiatan virucidal senyawa: RF, with an infectivity titre of 10 6 TCID 50 /mL for H9 cells; IIIB, dengan titer infektifitas 10 6 TCID 50 / mL untuk sel H9; IIIB, with an infectivity titre of 10 5.4 TCID 50 /mL for H9 cells; and dengan titer infektifitas 10 5,4 TCID 50 / mL untuk sel H9; dan MN, with an infectivity titre of 10 7 TCID 50 /mL for C8166 cells. MN, dengan titer infektifitas 10 7 TCID 50 / mL untuk C8166 sel.

Evaluation of cellular toxicity Evaluasi toksisitas selular

H9 and C8166 cells were prepared at a density of 2 x 10 5 /mL H9 dan C8166 sel disusun pada kepadatan 2 x 10 5 / mL in growth medium [RPMI 1640 medium with 2 mM l-glutamine, 50 pertumbuhan media [RPMI 1640 medium dengan 2 mM glutamin l-, 50 IU/mL penicillin, 50 mg/L streptomycin, 25 mM HEPES buffer and Penisilin IU / mL, 50 mg / L streptomisin, 25 mM buffer HEPES dan 10% fetal calf serum (Sigma, Poole, UK)]. 10% serum janin anak sapi (Sigma, Poole, Inggris)]. A volume of 180 µL A volume 180 μL of cell suspension was dispensed into wells of a flat-bottomed suspensi sel ditiadakan dalam sumur sebuah flat-rangkap 96-well plate. 96-piring dengan baik. Two-fold dilutions of each virucidal compound pengenceran Dua kali lipat dari setiap virucidal senyawa were made in growth medium and then 20 µL of each dilution dibuat

Page 50: Hiv

dalam medium pertumbuhan dan kemudian 20 μL dari setiap pengenceran was added to the first six wells and ten-fold dilutions were ditambahkan ke enam sumur pertama dan sepuluh kali lipat pengenceran yang made along the plate. dibuat sepanjang piring. The last row of the plate was left as Baris terakhir dari piring tersisa sebagai a drug-free control for cell viability. 18 a-bebas kontrol obat untuk kelangsungan hidup sel. 18

Plates were incubated at 37°C in 5% CO 2 and cell viability Pelat diinkubasi pada suhu 37 ° C pada 5% CO 2 dan viabilitas sel was checked using the Trypan Blue exclusion method after 24 diperiksa dengan menggunakan metode Trypan pengecualian Biru setelah 24 h and 3, 5 and 7 days (using two columns of the plate at each h dan 3, 5 dan 7 hari (menggunakan dua kolom pada setiap piring time point). titik waktu). The percentage of viable cells in each well was Persentase sel-sel sehat di setiap sumur calculated and the mean for each concentration at each time dihitung dan mean untuk setiap konsentrasi pada setiap kali point was calculated and compared with cell-free drug controls. titik dihitung dan dibandingkan dengan kontrol sel-bebas narkoba.

Virucidal test Virucidal uji

'Virus/virucidal mix' (200 µL of high-titre 'Virus / campuran virucidal' (200 μL tinggi-titer virus and 200 µL of each test compound) and 'virus/growth virus dan 200 μL masing-masing senyawa uji) dan 'virus / pertumbuhan medium mix' (200 µL of high-titre virus and 200 medium campuran '(200 μL virus titer tinggi dan 200 µL of growth medium) were prepared and incubated for 15 μL medium pertumbuhan) telah disusun dan diinkubasi selama 15 min at 37°C in 5% CO 2 . menit pada suhu 37 ° C di 5% CO 2. For 96-well tissue culture plates, Untuk 96-piring baik kultur jaringan, 180 µL of H9 (when using RF and IIIB strains) or C8166 180 μL dari H9 (ketika menggunakan RF dan strain IIIB) atau C8166 (when using the MN strain) cells at a density of 2 x 10 5 cells/mL (Bila menggunakan strain MN) sel pada kepadatan 2 x 10 5 sel / mL were added to each well. ditambahkan untuk masing-masing dengan baik. Twenty microlitres of 'virus/virucidal Dua puluh microlitres dari 'virus / virucidal mix' was added to the first six wells of the first row campuran 'telah ditambahkan ke enam sumur pertama dari baris pertama and 'virus/growth medium mix' (used as positive virus dan '/ pertumbuhan menengah campuran' (digunakan sebagai positif control for virus-induced syncytium formation) added to the kontrol untuk virus-induced syncytium pembentukan) ditambahkan ke next six wells of the first row. selanjutnya enam sumur dari baris pertama. Ten-fold dilutions were made Sepuluh kali lipat pengenceran dibuat starting from the first row downwards and keeping the last row mulai dari bawah baris pertama dan mempertahankan baris terakhir as cell control. sebagai kontrol sel. On days 3–7 after infection, all wells Pada 3-7 hari setelah terinfeksi, semua sumur were examined under the microscope and scored for the presence telah diperiksa di bawah mikroskop dan mencetak untuk kehadiran of virus-induced syncytia 18 according to the following scoring virus-induced syncytia 18 menurut penilaian berikut system: 3, >60 syncytia; 2, between ten and 60 syncytia; sistem: 3,> 60 syncytia, 2, antara sepuluh dan 60 syncytia; 1, between two and ten syncytia, 0.5, one or two syncytia; 0, 1, antara dua dan sepuluh, syncytia, 0,5 satu atau dua syncytia; 0, no syncytia observed in the entire field. syncytia tidak diamati di seluruh bidang. The wells containing Sumur yang mengandung virus and

Page 51: Hiv

drug were scored and compared with the wells containing virus dan obat diberi skor dan dibandingkan dengan sumur yang mengandung virus but no drug. virus tetapi tidak ada obat.

Results Hasil

Relatively low cellular toxicity was observed for the four bile toksisitas selular relatif rendah diamati untuk empat empedu salts tested (Figure 2 garam diuji (Gambar 2 ). ). Three of them showed minimal cellular Tiga dari mereka menunjukkan minimal selular toxicity (>80% cell viability) at concentrations up to 500 toksisitas (> 80% viabilitas sel) pada konsentrasi sampai 500 mg/L when assayed using the cell line H9, while with DCT at mg / L saat diuji menggunakan sel line H9, sedangkan DCT dengan di 500 mg/L there was >50% cell viability. 500 mg / L ada> 50% viabilitas sel. Similar results were Hasil yang sama obtained with C8166 cells (data not shown), which are more sensitive diperoleh dengan C8166 sel (data tidak ditampilkan), yang lebih sensitif indicators of HIV replication. indikator replikasi HIV. Sodium deoxycholate, used as Natrium deoxycholate, digunakan sebagai a positive virucidal control, showed detectable cellular toxicity kontrol virucidal positif, menunjukkan toksisitas selular terdeteksi at a concentration of 500 mg/L (Figure 2 pada konsentrasi 500 mg / L (Gambar 2 ) and nonoxynol-9 was ) Dan nonoxynol-9 adalah toxic to cells at a concentration of 0.1% (v/v) with H9 cells racun pada sel-sel pada konsentrasi 0,1% (v / v) dengan sel H9 (data not presented). (Data tidak disajikan).

View larger version (16K): Lihat versi yang lebih besar (16K):

[in this window] [Di jendela ini] [in a new window] [Di jendela

baru]

Figure 2. . Gambar 2.. Evaluation of the cellular toxicity of the bile salt derivatives. Evaluasi toksisitas selular dari turunan garam empedu. , DIDCT; , DIDCT; , DICDCT; , DICDCT; , DICGT; , DICGT; , DCT; *, sodium deoxycholate. , DCT; *, natrium deoxycholate.

Nonoxynol-9 was virucidal for three different isolates of HIV-1 Nonoxynol-9 adalah virucidal untuk tiga berbeda isolat HIV-1 (RF, IIIB and MN) at a concentration of (RF,

Page 52: Hiv

IIIB dan MN) pada konsentrasi 0.1% (v/v) with the 0,1% (v / v) dengan cell lines H9 and C8166, in agreement with data reported by sel baris H9 dan C8166, sesuai dengan data yang dilaporkan oleh others. 3 , 8 , 9 Sodium deoxycholate was virucidal at a concentration lain. 3 , 8 , 9 deoxycholate Sodium adalah virucidal pada konsentrasi of 10 mg/L (Figure 3 10 mg / L (Gambar 3 ), confirming the results of Oxford et al. 2 ), Membenarkan hasil et al Oxford. 2

View larger version (94K): Lihat versi yang lebih besar (94K):

[in this window] [Di jendela ini] [in a new window] [Di jendela

baru]

Figure 3. . Gambar 3.. Virucidal effects of the bile salts DIDCT, DICDCT, DICGT and DCT and of sodium deoxycholate (SDC) against HIV-1 isolate IIIB, with a high titre (approximately 10 5.4 TCID 50 /mL) and cell line H9, presented as the syncytia score during the culture period. efek Virucidal dari garam empedu DIDCT, DICDCT, DICGT dan DCT dan deoxycholate natrium (SDC) terhadap HIV-1 isolat IIIB, dengan titer tinggi (sekitar 10 5,4 TCID 50 / mL) dan garis H9 sel, disajikan sebagai nilai syncytia selama periode kultur. A DICGT concentration of Sebuah DICGT konsentrasi 100 mg/L failed to inhibit formation of syncytia during the culture period. 100 mg / L gagal untuk menghambat pembentukan syncytia selama periode kultur. Syncytia were scored as indicated in Materials and methods. Syncytia diberi skor seperti yang ditunjukkan dalam Bahan dan metode.

Three of the bile salt compounds, DIDCT, DICDCT and DCT, were Tiga dari senyawa garam empedu, DIDCT, DICDCT dan DCT, adalah virucidal at concentrations of 0.1 mg/L, producing a >4 log 10 virucidal pada konsentrasi 0,1 mg / L, menghasilkan log 4> 10

reduction in HIV-1. pengurangan HIV-1. In contrast, DICGT, a dipeptide bile salt Sebaliknya, DICGT, garam empedu dipeptida derivative, was not virucidal at concentrations up to 100 mg/L derivatif, tidak virucidal pada konsentrasi sampai 100 mg / L (Figure 3 (Gambar 3 ). ). DIDCT and DICDCT had virucidal effects at concentrations DIDCT dan DICDCT memiliki efek virucidal pada konsentrasi as low as 0.01 mg/L with the HIV-1 IIIB isolate and the H9 cell serendah 0,01 mg / L dengan HIV-1 IIIB isolat dan H9 sel line (Figure 3 line (Gambar 3 ). ). However, with the C8166 cell line and the MN Namun, dengan garis sel C8166 dan MN strain, DICDCT inhibited the formation of syncytia only at a strain, DICDCT menghambat pembentukan syncytia hanya pada concentration of 0.1 mg/L (data not shown). konsentrasi 0,1 mg / L (data tidak ditampilkan).

Page 53: Hiv

Discussion Diskusi

There is a need for effective, safe, anti-HIV virucidal agents Ada kebutuhan yang efektif, aman, anti-HIV agen virucidal that can be used as topical applications before sexual contact. yang dapat digunakan sebagai aplikasi topikal sebelum kontak seksual. Such agents would need to have low toxicity to human cells. 7 , 19 agen seperti itu akan perlu memiliki toksisitas rendah pada sel manusia. 7 , 19 Bile salt derivatives with high surfactant activities have low turunan garam empedu dengan kegiatan surfaktan tinggi memiliki rendah cellular toxicity to human tissues 12 , 13 and we show in the present toksisitas seluler ke jaringan manusia 12 , 13 dan kami menunjukkan di masa sekarang study that certain bile salt derivatives possess anti-HIV-1 studi yang tertentu turunan garam empedu memiliki anti-HIV-1 virucidal activity at concentrations that have no detectable virucidal aktivitas pada konsentrasi yang tidak terdeteksi destructive effects on H9 and C8166 cells. efek merusak pada sel H9 dan C8166. However, we have Namun, kami memiliki not tested the drugs for potential toxicity on vaginal cells tidak diuji obat untuk potensi toksisitas pada sel vagina or peripheral blood mononuclear cells. atau sel darah mononuklear perifer.

In contrast to the bile salt derivatives, nonoxynol-9 did damage Berbeda dengan turunan garam empedu, nonoxynol-9 tidak merusak cells, and so it might increase the risk of HIV infection rather sel, dan sehingga dapat meningkatkan risiko infeksi HIV lebih than preventing it. daripada mencegahnya. Its use against the sexual transmission Its menggunakan transmisi seksual terhadap of HIV is thus unacceptable. HIV dengan demikian tidak dapat diterima.

Bile salts in the unconjugated form are relatively potent physiological garam empedu dalam bentuk unconjugated relatif kuat fisiologis detergents. 20 Side-chain conjugation with amino acid residues, deterjen. 20 -konjugasi rantai samping dengan residu asam amino, which increases the hydrophilicity of a bile acid molecule, yang meningkatkan hidrofilisitas molekul asam empedu, is associated with a predictable decrease in detergent potency. 21 dikaitkan dengan penurunan diprediksi dalam potensi deterjen. 21 Iodine, which tends to increase the electron density of the Yodium, yang cenderung meningkatkan kerapatan elektron dari side chain, also decreases detergent properties. rantai samping, juga menurunkan sifat deterjen. In the present Di masa sekarang study we found that, of the tyrosine-conjugated bile salt analogues, Studi kami menemukan bahwa, dari analog tirosin-garam empedu terkonjugasi, DCT, which has the lowest critical micellar concentration, 22 DCT, yang memiliki micellar konsentrasi kritis terendah, 22 was the most effective compound against HIV-1, suggesting that adalah senyawa yang paling efektif terhadap HIV-1, menunjukkan bahwa it was the most surface active of the tyrosine bile acid conjugates itu adalah permukaan yang paling aktif tirosin asam empedu konjugasi tested (Figure 1 diuji (Gambar 1 ). ). This anti-HIV-1 effect of DCT could be explained, Ini anti-HIV-1 pengaruh DCT dapat dijelaskan, in part, by a preferential

Page 54: Hiv

uptake of DCT by surface receptors sebagian, dengan serapan preferensial DCT oleh reseptor permukaan of the HIV-1 envelope but not by viable cells. dari amplop HIV-1 tetapi tidak oleh sel-sel sehat. This selective Ini selektif uptake would then concentrate DCT (a 7 serapan kemudian akan berkonsentrasi DCT (a 7 ,12 , 12 -dihydroxy bile salt Dihidroksi-garam empedu analogue) in the phospholipid-enriched bilayer of HIV lipid analog) dalam lapisan ganda fosfolipid diperkaya HIV lipid membranes. membran. The reasoning is consistent with the relatively low alasan tersebut sesuai dengan yang relatif rendah hydrophilicity of DCT in comparison with the 3 hidrofilisitas dari DCT dibandingkan dengan 3 ,7 , 7 ,12 12 trihydroxy trihidroksi or the 3 atau 3 ,7 , 7 -dihdroxy tyrosine bile acid analogues (unpublished -Dihdroxy tirosin analog asam empedu (unpublished data). data).

During viral budding, HIV incorporates host-derived cellular Selama pemula virus, HIV mencakup host-berasal selular components such as the HLA class I and II molecules that are komponen seperti HLA kelas I dan II molekul yang important for in vitro HIV infectivity. 23 , 24 The difference penting untuk HIV infektivitas in vitro. 23 , 24 Perbedaan between the effect of bile salt derivatives on the viral envelope antara efek derivatif garam empedu di amplop virus and on the cellular plasma membrane might result from the different dan pada membran plasma selular mungkin timbul dari perbedaan proportions of such host-derived molecules in the viral envelope proporsi molekul host-turunan itu di dalam amplop virus and the cellular plasma membrane. dan membran plasma selular. This needs to be investigated Ini harus diselidiki further. lebih lanjut.

Bile salts with high surfactant activity may be useful clinically garam empedu dengan aktivitas surfaktan tinggi mungkin berguna klinis as virucides against HIV-1. sebagai virucides melawan HIV-1. Their ability to inactivate relatively Mereka kemampuan untuk menonaktifkan relatif high titres of HIV-1 might enable them to be used as biological titres tinggi HIV-1 bisa memungkinkan mereka untuk digunakan secara biologis disinfectants as well as virucidal compounds. desinfektan serta senyawa virucidal.

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://jac.oxfordjournals.org/cgi/content/full/45/5/617

Page 55: Hiv

AIDS Therapies (Monoclonal Antibodies): Anti-HIV Immunoglobulin Recombinants Shine in Ex Vivo Studies Terapi AIDS (Antibodi monoklonal): Anti-HIV Immunoglobulin rekombinan dalam Studi Shine Ex Vivo

AIDSWEEKLY Plus , 13 May 1996 issue; Published by Charles Henderson, Publisher. AIDSWEEKLY Plus , 13 Mei 1996 isu; Diterbitkan oleh Charles Henderson, Penerbit. Editorial & Publishing Office: PO Box 5528, Atlanta, GA 30307-0528 / Telephone: (800) 633-4931; Subscription Office: PO Box 830409, Birmingham, AL 35283-0409 / FAX: (205) 995-1588 Editorial & Kantor Penerbitan: PO Box 5528, Atlanta, GA 30307-0528 / Telepon: (800) 633-4931; Kantor Berlangganan: PO Box 830409, Birmingham, AL 35283-0409 / FAX: (205) 995-1588 Daniel J. DeNoon, Senior Editor Daniel J. DeNoon, Senior Editor

A human monoclonal antibody and a CD4/IgG chimera potently neutralize HIV in plasma from late-stage AIDS patients. Sebuah antibodi monoklonal manusia dan menetralisir potently chimera CD4/IgG HIV dalam plasma dari tahap akhir pasien AIDS.

The findings show that both molecules may potentially be used to treat and even to prevent HIV disease. Temuan menunjukkan bahwa kedua molekul potensial dapat digunakan untuk merawat dan bahkan untuk mencegah penyakit HIV.

"These studies suggest that IgG1b12 and CD4-IgG2 have broad and potent neutralizing activity in both in vitro and ex vivo neutralization assays and should be considered for use as potential immunoprophylactic or therapeutic agents," wrote Aaron Diamond AIDS Research Center researcher Marie-Claire Gauduin and colleagues. "Hasil studi ini menunjukkan bahwa IgG1b12 dan CD4-IgG2 memiliki aktivitas menetralkan luas dan kuat baik in vitro dan ex vivo tes netralisasi dan harus dipertimbangkan untuk digunakan sebagai immunoprophylactic potensial atau agen terapeutik," tulis Aaron Diamond AIDS Research Center peneliti Marie-Claire Gauduin dan rekan.

Gauduin et al. Gauduin et al. reported their findings in the Journal of Virology ("Effective Ex Vivo Neutralization of Human Immunodeficiency Virus Type 1 in Plasma by Recombinant Immunoglobulin Molecules," J Virol, 1996;70(4):2586-92). melaporkan temuan mereka dalam Journal of Virology ("Efektif Ex Vivo Netralisasi dari Human

Page 56: Hiv

Immunodeficiency Virus Type 1 di Plasma oleh rekombinan Immunoglobulin Molekul," J Virol, 1996; 70 (4) :2586-92).

The monoclonal antibody is IgG1b12 (also known as G1b12). Antibodi monoklonal adalah IgG1b12 (juga dikenal sebagai G1b12). It was produced from a combinatorial phage display library and recognizes the HIV-1 gp120 envelope glycoprotein. Itu dihasilkan dari sebuah perpustakaan fag menampilkan kombinasi dan mengakui glikoprotein amplop HIV-1 gp120.

The CD4/IgG chimeric molecule, CD4-IgG2, is a tetrameric human antibody created by replacing each of the IgG heavy- and light-chain variable regions with the first two domains of the human CD4 molecule (the T-cell receptor to which HIV binds). Molekul CD4/IgG chimeric, CD4-IgG2, adalah antibodi manusia tetrameric diciptakan dengan mengganti masing-masing IgG dan berat-daerah cahaya-variabel rantai dengan dua domain pertama dari molekul CD4 manusia (T-sel reseptor yang HIV mengikat). The tetramer therefore contains two chains of a CD4/human IgG2 heavy chain fusion protein and two chains of a CD4/human k light chain fusion protein, giving it four gp120 binding sites to enhance its avidity for HIV virions or HIV infected cells. tetramer Karena itu, berisi dua rantai dari rantai protein fusi IgG2 CD4/human berat dan dua rantai dari rantai protein k cahaya CD4/human fusi, memberikan empat gp120 situs mengikat untuk meningkatkan kegemaran besar untuk virion HIV atau sel yang terinfeksi HIV.

In the last decade, in vitro studies showed that recombinant soluble CD4 (rsCD4) potently neutralized HIV. Dalam dekade terakhir, studi in vitro menunjukkan bahwa rekombinan larut CD4 (rsCD4) HIV potently dinetralisir. But clinical trials failed to show any effect for the molecule. Namun uji klinis gagal menunjukkan efek untuk molekul. Subsequent studies revealed that standard neutralization studies failed to predict how rsCD4 would act against primary HIV isolates in vivo. studi selanjutnya menunjukkan bahwa studi netralisasi standar gagal untuk memprediksi bagaimana rsCD4 akan bertindak melawan HIV primer isolat in vivo.

Because a number of monoclonal antibodies (mAbs) and have been developed that potently neutralize HIV in vitro, Gauduin et al. Karena sejumlah antibodi monoklonal (MABs) dan telah dikembangkan yang potently menetralkan HIV secara in vitro, Gauduin et al. decided to test two representative anti-HIV mAbs (IgG1b12 and 19b, a V3-specific antibody that recognizes a segment of gp120) and CD4-IgG2 against sCD4 in both in vitro and ex vivo studies. memutuskan untuk menguji dua wakil MABs anti-HIV (IgG1b12 dan 19b, V3-antibodi spesifik yang mengakui segmen gp120) dan CD4-IgG2 terhadap sCD4 di kedua in vitro dan studi ex vivo.

In their first study the researchers performed standard in vitro neutralization studies of IgG1b12, CD4-IgG2, and sCD4 against four different HIV-1 isolates: Dalam studi pertama mereka para peneliti melakukan studi standar netralisasi in vitro dari IgG1b12, CD4-IgG2, dan sCD4 terhadap empat berbeda HIV-1 isolat:

Page 57: Hiv

* LAI, an HIV-1 laboratory isolate adapted to grow in transformed T-cell lines; * LAI, sebuah laboratorium HIV-1 isolat diadaptasi untuk tumbuh dalam garis T-sel berubah;

* JR-CSF, a molecularly cloned isolate similar to primary HIV-1 isolates that does not grow in transformed T-cell lines; * JR-CSF, sebuah molecularly kloning isolat mirip dengan primer HIV-1 isolat yang tidak tumbuh di garis T-sel berubah;

* AD6 and WH91-330, two primary HIV-1 isolates passaged twice in peripheral blood mononuclear cells (PBMC), neither of which grows in transformed T-cell lines. * AD6 dan WH91-330, dua primer HIV-1 isolat passaged dua kali dalam sel mononuklear darah perifer (PBMC), baik yang tumbuh di jalur T-sel berubah.

As expected, sCD4 neutralized LAI and JR-CSF. Seperti yang diharapkan, LAI sCD4 dinetralkan dan JR-CSF. It was moderately effective against AD6 but did not neutralize WH91- 330. Itu cukup efektif terhadap AD6 tapi tidak menetralisir WH91-330.

While all three molecules tested were equally effective against LAI and JR-CSF, the primary isolates were far more sensitive to IgG1b12 and CD4-IgG2 (although still not as sensitive as LAI and JR-CSF). Sementara semua tiga molekul diuji sama-sama efektif terhadap LAI dan JR-CSF, utama isolat jauh lebih sensitif terhadap IgG1b12 dan CD4-IgG2 (meskipun masih tidak sensitif seperti LAI dan JR-CSF).

The researchers then tested sCD4, 19b, IgG1b12, and CD4- IgG2 against plasma samples drawn from six patients with late- stage HIV disease. Para peneliti kemudian diuji sCD4, 19b, IgG1b12, dan CD4-IgG2 terhadap sampel plasma diambil dari enam pasien dengan penyakit HIV stadium. All plasma samples contained HIV-1 titers of at least 250 TCID[50]/ml. Semua sampel plasma mengandung HIV-1 titer minimal 250 TCID [50] / ml.

Based on the detection limit of their assay, neutralization was defined as a >5-fold decrease in virus titer (as measured by p24) in the plasma sample. Berdasarkan batas deteksi uji mereka, netralisasi didefinisikan sebagai penurunan 5-kali lipat> dalam titer virus (diukur dengan p24) dalam sampel plasma.

"Both IgG1b12 and CD4-IgG2 neutralized HIV-1 in five of six plasma samples," Gauduin et al. "Kedua IgG1b12 dan CD4-IgG2 dinetralkan HIV-1 di lima dari enam sampel plasma," Gauduin et al. reported. dilaporkan. "The degree of neutralization ranged from a 25- to a 625-fold reduction in the original infectious titer." "Tingkat netralisasi berkisar dari 25 - untuk pengurangan 625 kali lipat dalam titer menular yang asli."

sCD4 was unable to neutralize any measurable HIV-1 in any of the plasma samples, and 19B neutralized virus in only two of the six samples. sCD4 tidak mampu menetralisir setiap terukur HIV-1 di salah satu sampel plasma, dan 19b virus dinetralkan hanya dua dari enam sampel.

Page 58: Hiv

"IgG1b12 and CD4-IgG2 appear to be more effective in neutralizing plasma HIV-1 isolates in ex vivo neutralization assays than are sCD4 and 19b," Gauduin et al. "IgG1b12 dan CD4-IgG2 tampak lebih efektif dalam menetralkan plasma HIV-1 isolat dalam tes netralisasi ex vivo daripada sCD4 dan 19b," Gauduin et al. concluded. menyimpulkan. "It is also important to note that viruses within one of the six plasma samples were resistant to neutralization by IgG1b12 but sensitive to CD4-IgG2, while viruses within another plasma sample were resistant to CD4-IgG2 but sensitive to IgG1b12." "Hal ini juga penting untuk dicatat bahwa virus dalam satu dari enam sampel plasma resisten terhadap netralisasi oleh IgG1b12 tapi sensitif terhadap IgG2 CD4-, sementara virus dalam sampel plasma lain resisten terhadap CD4-IgG2 tapi sensitif terhadap IgG1b12."

Further study of IgG1b12 and CD4-IgG2 against seven different plasma samples containing HIV-1 showed that the two molecules are effective at concentrations between 1 and 25 (micro)g/ml. Studi lebih lanjut dari IgG1b12 dan CD4-IgG2 terhadap tujuh sampel plasma yang berbeda yang mengandung HIV-1 menunjukkan bahwa dua molekul yang efektif pada konsentrasi antara 1 dan 25 (mikro) g / ml.

"No correlation between the neutralization sensitivities of IgG1b12 and CD4-IgG2 in ex-vivo assays and those in in- vitro neutralization assays performed on P1 isolates from those plasma samples was observed," the researchers found. "Tidak ada korelasi antara sensitivitas netralisasi IgG1b12 dan CD4-IgG2 dalam tes ex-vivo dan orang-orang di tes netralisasi in-vitro dilakukan pada isolat P1 plasma dari sampel yang diamati," ditemukan para peneliti.

Gauduin et al. Gauduin et al. offered several explanations why the in vitro and ex vivo neutralization results differed: menawarkan beberapa penjelasan mengapa in vitro dan hasil netralisasi ex vivo berbeda:

* The process of expanding a primary isolate from plasma may select for minor variants within the original sample. * Proses memperluas isolat utama dari plasma dapat memilih untuk perbedaan kecil dalam sampel asli.

* Ex vivo assays are performed in the presence of plasma, and hence in the presence of prebound antibodies that may compete for viral epitopes. tes Ex * vivo dilakukan di depan plasma, dan karenanya di hadapan prebound antibodi yang dapat bersaing untuk epitop virus.

* As plasma samples are not heated, they contain active complement. * Sebagai contoh plasma tidak dipanaskan, mereka mengandung melengkapi aktif. The ex vivo assays may then measure antibody- dependent complement-mediated neutralization in addition to direct neutralization. The ex vivo tes kemudian dapat mengukur melengkapi-dimediasi netralisasi antibodi-tergantung di samping netralisasi langsung.

* As the primary isolates are expanded in PHA-activated PBMC for the in vitro assay, high-level expression of adhesion and class II molecules probably are induced. * Sebagai

Page 59: Hiv

utama isolat diperluas pada PBMC PHA-diaktifkan untuk uji in vitro, ekspresi tingkat tinggi dan kelas II adhesi molekul yang diinduksi mungkin.

"The heterogeneity of gp120 among HIV-1 isolates and the lack of sensitivity of primary isolates of HIV-1 to neutralization have been major obstacles to vaccine development and the use of antibody-based therapeutic or prophylactic strategies," Gauduin et al. "The heterogenitas gp120 antara HIV-1 isolat dan kurangnya sensitivitas isolat primer HIV-1 untuk netralisasi telah hambatan utama untuk pengembangan vaksin dan penggunaan strategi terapeutik atau profilaksis berbasis antibodi," Gauduin et al. wrote. menulis.

"The breadth and potency of CD4-IgG2 and IgG1b12 in neutralizing HIV-1 directly from plasma make them good candidates for future studies of HIV-1 prophylaxis in animal studies and in human trials." "Luasnya dan potensi CD4-IgG2 dan IgG1b12 untuk menetralisir HIV-1 secara langsung dari plasma membuat mereka kandidat yang tepat untuk studi masa depan HIV-1 profilaksis dalam studi hewan dan pada percobaan manusia."

Such advanced studies are already in the works. studi lanjutan tersebut sudah dalam bekerja.

At the December 1995 Twentieth ACTG meeting, Diane Wara of the University of California, San Francisco, and George McSherry of the University of Medicine and Dentistry, New Jersey, discussed plans to conduct clinical trials to determine whether mAbs can be part of a strategy to prevent HIV disease - or even infection - in the children of HIV(+) women. Pada pertemuan Twentieth Desember 1995 ACTG, Diane Wara dari University of California, San Francisco, dan George McSherry dari Universitas Kedokteran dan Kedokteran Gigi, New Jersey, mendiskusikan rencana untuk melakukan uji klinis untuk menentukan apakah MABs dapat menjadi bagian dari strategi untuk mencegah penyakit HIV - atau bahkan infeksi - pada anak-anak HIV (+) perempuan.

"Clearly we are going to have to combine passive antibodies plus vaccine if we are going to prevent [mother-to- infant] transmission," Wara said. "Jelas kita harus menggabungkan antibodi pasif ditambah vaksin jika kita akan mencegah [penularan] ibu-ke-bayi," kata Wara. "This is where the future lies: to give vaccines within two weeks of birth combined with appropriate HIVIG [the anti-HIV hyperimmune serum manufactured by North American Biologicals] spiked with monoclonal antibodies." "Di sinilah masa depan terletak: untuk memberikan vaksin dalam waktu dua minggu lahir dikombinasikan dengan [HIVIG sesuai anti-HIV serum hyperimmune diproduksi oleh Amerika Utara biologi] berduri dengan antibodi monoklonal."

To test the feasibility of this concept, Wara and co- workers propose to infuse newborns with escalating concentrations of anti-HIV mAbs. Untuk menguji kelayakan konsep ini, Wara dan rekan kerja mengusulkan untuk memasukkan bayi yang baru lahir dengan meningkatnya konsentrasi MABs anti-HIV.

Page 60: Hiv

"There are three requirements for the use of monoclonal antibodies: that they exquisitely neutralize HIV, that they are available, and that they have a long enough half-life," Wara said. "Ada tiga persyaratan untuk penggunaan antibodi monoklonal: bahwa mereka indah menetralisir HIV, bahwa mereka yang tersedia, dan bahwa mereka memiliki hidup yang panjang setengah-cukup," kata Wara.

The corresponding author for Gauduin et al. Penulis yang sesuai untuk Gauduin et al. study is Richard A. Koup, The Aaron Diamond AIDS Research Center, 455 First Ave., 7th Floor, New York, New York 10016. penelitian Richard A. Koup, The Aaron Diamond AIDS Research Center, 455 First Ave., Lantai 7, New York, New York 10016. Phone: (212) 725- 0018. Telepon: (212) 725-0018. Fax: (212) 725-1126. Fax: (212) 725-1126. Email: [email protected]. Email: [email protected].

Salah satu langkah tes HIV Serum Home Home Rumah

Bookmark this page Bookmark halaman ini

Specifications of  One step anti HIV serum test kit supplied by World of  Health

Biotech, Beijing, China, July 2007 . Spesifikasi dari Satu langkah serum anti HIV

test kit yang diberikan oleh Dunia Kesehatan Biotech, Beijing, Cina, Juli 2007.

TEST KIT IDENTIFICATION TEST KIT IDENTIFIKASI   1.0 Name of kit: WOHBC One-Step Anti-HIV(1+2) Serum Test 1,0 kit Nama:

WOHBC Satu-Langkah Anti-HIV (1 2) Uji Serum

  2.0 Indication: For In Vitro Diagnosis of HIV(1+2) infection 2,0 Indikasi: Untuk

Dalam Vitro Diagnosis HIV (1 2) infeksi

  3.0 Package Size: One test per kit Paket 3,0 Ukuran: Satu tes per kit

4.0 Active Ingredients: 4,0 Bahan Aktif:

4.1 4,1     Coated Antibodies and Antigen: Dilapisi Antibodi dan Antigen:

4.1.1 4.1.1           Control region:  Goat anti-HIV polyclonal antibody

Kontrol wilayah: Kambing anti-HIV antibodi poliklonal

4.1.2 4.1.2           Test region: Recombinant HIV antigens wilayah Test:

rekombinan antigen HIV

4.2 4,2     Labeled Antigen: Berlabel Antigen:

Colloidal gold conjugate of anti-human IgG monoclonal antibody Koloid

emas konjugat antibodi monoklonal IgG-manusia anti

5.0 5,0     Assay Protocol: Assay Protokol:

5.1 5,1     Assay Procedure: Prosedur uji:

Page 61: Hiv

Read the test instructions for WOHBC One-Step Anti-HIV test carefully before

starting the assay. Baca instruksi tes untuk Anti-HIV Uji satu-Langkah WOHBC

hati-hati sebelum memulai tes tersebut. Allow serum samples to warm up to room

temperature before testing. sampel serum Biarkan hangat sampai suhu kamar

sebelum pengujian.

5.1.1 5.1.1           Remove the test device from its foil pouch, place it

on a flat surface and label it with patient ID. Hapus perangkat

uji dari kantong foil, tempat di permukaan datar dan label

dengan ID pasien. Use the device as soon as possible.

Gunakan perangkat secepat mungkin.

5.1.2 5.1.2           Using the plastic pipettor provided, draw the

sample (3 uL) into the pipette until the level is at the bottom

of the first bulb (do not draw sample past the Fill Line).

Menggunakan pipettor plastik yang disediakan, menarik

sampel (3 UL) ke dalam pipet sampai tingkat berada di

bagian bawah bola pertama (jangan menarik sampel masa

lalu Jalur Isi). Dispense this amount of sample into the

sample well of the cassette. Membuang ini jumlah sampel ke

sampel sumur kaset. Add about 3-4 free falling drops of

diluent (100 μL) into the sample well of the cassette.

Tambahkan sekitar 3-4 tetes jatuh bebas dari pengencer (100

μL) ke dalam sampel sumur kaset.

5.1.3 5.1.3           Wait 10-15 minutes and read results. It is important

that the background is clear before the result is read. Results

obtained after 15 minutes should be considered invalid.

Tunggu 10-15 menit dan membaca hasil.. Hal ini penting

bahwa latar belakang jelas sebelum hasil dibaca Hasil yang

diperoleh setelah 15 menit harus dianggap tidak valid.

5.2 5,2     Interpretation of Results: Interpretasi Hasil:

5.2.1 5.2.1           Negative : Only one color band appears on the

control region. Negatif: Hanya satu pita warna muncul di

Page 62: Hiv

daerah kontrol. No apparent band on the test region. Tidak

ada band yang jelas pada daerah uji.

5.2.2 5.2.2           Positive: In addition to a pink colored control band,

a distinct pink colored band will also appear in the test

region. Positif: Selain kontrol band berwarna pink, warna

pink band yang berbeda juga akan muncul di wilayah

pengujian.

5.2.3 5.2.3           Invalid: No visible band at all or no colored line

appears on the control region. Valid: Tidak ada band terlihat

sama sekali atau tidak ada garis berwarna muncul pada

daerah kontrol. Repeat test with a new test kit. Ulangi test

dengan test kit baru.

 

6.0 6,0     Specificity: Kekhususan:

Cross reactivity has been tested with Anti-HCV, Anti-TP (Syphilis), Anti-HBc

positive serums, no cross reactivity with above serums. Cross reaktivitas telah

diuji dengan Anti-HCV, Anti-TP (Sifilis), serum-HBc Anti, tidak ada

reaktivitas silang dengan serum di atas.

 

7.0 7,0     Storage: 2 to 30 o C Penyimpanan: 2 sampai 30 o C

                                    

8.0 8,0     Expiration Dating: 24 months from date of manufacture Kencan

Kadaluarsa: 24 bulan dari tanggal pembuatan

 

9.0 9,0     Method of Manufacture: Metode Industri:

9.1 9,1     Nitrocellulose Membrane Manufacture: Membran nitroselulosa

Industri:

9.1.1 9.1.1           The purified recombinant antigen, diluted in

phosphate buffer saline, is coated on the test region. Antigen

rekombinan dimurnikan, dilarutkan dalam garam buffer

fosfat, dilapisi pada daerah uji. Simultaneously, goat anti-

Page 63: Hiv

HIV antigen, diluted in phosphate buffer saline, is coated on

the control region. Bersamaan, kambing anti-HIV antigen,

dilarutkan dalam garam buffer fosfat, dilapisi pada daerah

kontrol.

9.1.2 9.1.2           The coated membrane is dried for a minimum of 24

hours then sealed in an aluminum bag which contains silica

gel desiccant. Membran dilapisi adalah kering selama

minimal 24 jam lalu disegel dalam kantong aluminium yang

berisi silika gel pengering.

9.2 9,2     Anti-human IgG monoclonal antibody colloidal gold conjugate

pad manufacture: Anti-manusia IgG monoklonal antibodi conjugate pad

koloid emas manufaktur:

9.2.1 9.2.1           A buffer solution containing anti-human IgG

monoclonal antibody/ colloidal gold conjugate is coated onto

non-woven cloth sheets. Suatu larutan buffer-manusia

mengandung IgG monoklonal antibodi anti / konjugasi koloid

dilapisi emas ke lembaran kain-non.

9.2.2 9.2.2           The coated non-woven cloth is dried for minimum

24 hours then sealed in an aluminum bag which contains

desiccant. Kain non-tenun dilapisi dikeringkan minimal 24

jam lalu disegel dalam kantong aluminium yang berisi

pengering.

9.3 9,3     Test Device Assembly: Uji Perangkat Majelis:

9.3.1 9.3.1           The coated membrane S1, the conjugate pad S4,

and an absorbent pad is applied to an adhesive-coated

backing. Membran dilapisi S1, yang S4 pad konjugat, dan

pad penyerap diterapkan ke-dilapisi perekat dukungan.

9.3.2 9.3.2           A 2-part waterproof label is applied over the

conjugate pad and the absorbent pad, the assembled sheet of

material is cut into strips. Sebagian tahan air label-2

diaplikasikan di atas tombol konjugat dan tombol penyerap,

Page 64: Hiv

berkumpul lembar bahan adalah potong. The test strips are

then vacuum-dried for a minimum of 4 hours. Strip uji

kemudian vakum-kering selama minimal 4 jam.

9.3.3 9.3.3           The assembled test strip is sealed in a plastic

cassette casing. Strip uji berkumpul adalah disegel dalam

casing kaset plastik. The cassette device is sealed in an

aluminum pouch along with a desiccant packet. Perangkat

kaset yang disegel dalam kantong aluminium bersama dengan

paket pengering.

 

10.0   Clinical Trials: 10,0 Clinical Trials:

To establish the sensitivity and specificity of WOHBC One-Step Anti-HIV

test kit relative to other rates of qualitative serum Anti-HIV tests, 559 clinic

samples were studied.  Another commercially available qualitative test kit

(Organon Anti-HIV) was used to compare with WOHBC One-Step Anti-HIV

test kit for relative sensitivity and specificity in 559 serum samples. Untuk

menentukan sensitivitas dan spesifisitas WOHBC-Langkah Anti-HIV test kit

Satu relatif terhadap suku lainnya serum Anti-HIV tes kualitatif, 559 sampel

klinik diteliti. Kualitatif test kit lain yang tersedia secara komersial (Organon

Anti-HIV) digunakan untuk membandingkan dengan WOHBC-Langkah Anti-

HIV test kit relatif Satu untuk sensitivitas dan spesifisitas di 559 sampel

serum. Only 4 samples were discordant. Hanya 4 sampel sumbang. In turn, the

agreement is 99.28%. Pada gilirannya, perjanjian tersebut adalah 99,28%. The

results are shown in Table 1. Hasilnya ditunjukkan dalam Tabel 1.

Table 1 - Comparison of One-step Anti-HIV with Organon product for 559

cases Tabel 1 - Perbandingan Satu-langkah Anti-HIV dengan produk

Organon untuk 559 kasus

  Results of IND

kits Hasil kit

IND

Subtotal

Subtotal

Page 65: Hiv

+ + - -

Results of

Organon kits

Hasil kit

Organon

+ + 74 74 1 1 75 75

- - 3 3 481 481 484 484

Subtotal Subtotal 77 77 482 482 559 559

           

11.0   Stability Studies: Stabilitas 11,0 Studi:

It is well known that immunochemicals are quite stable at room temperature if

the materials are kept in dry condition. Hal ini juga diketahui bahwa

immunochemicals cukup stabil pada suhu ruangan jika bahan disimpan dalam

kondisi kering. The chemicals used in the One-Step Anti-HIV device are

either dried on the membrane or chemical pad. Bahan kimia yang digunakan

dalam perangkat-HIV-Langkah Anti Satu yang baik kering pada membran

atau pad kimia. The final test device is then sealed in an aluminum pouch with

a desiccant. Perangkat tes akhir kemudian disegel dalam kantong aluminium

dengan sebuah pengering. Accelerated stability testing has been carried out in

this study to establish the shelf life and predict the expiration date of the tests.

Dipercepat pengujian stabilitas telah dilakukan dalam penelitian ini untuk

membangun kehidupan rak dan memprediksi tanggal berakhirnya tes.

 

Three lots of One-Step Anti-HIV test kit have been used for this study. Tiga

banyak Satu-Langkah Anti-HIV test kit telah digunakan untuk penelitian ini.

The test devices in aluminum pouches were kept in the incubator at 42°C or

room temperature. The test kits were removed from their storage and tested

with positive and negative control panels. Pengujian perangkat dalam kantong

aluminium disimpan dalam inkubator di 42 ° C atau suhu kamar. itu alat tes

telah dihapus dari penyimpanan dan diuji dengan panel kontrol negatif dan

positif. The results are shown in Table 2 and 3. Hasilnya ditunjukkan pada

Tabel 2 dan 3.

Table 2 - Results of Stability study on One-Step Anti-HIV test kits at

Page 66: Hiv

42°C Tabel 2 - Hasil studi stabilitas pada Satu-Langkah Anti-alat tes

HIV di 42 ° C

Sample

Contoh

Lot # Lot

#

1

mo.

1

mo.

2

mo.

2

mo.

3

mo.

3

mo.

4

mo.

4

mo.

6

mo.

6

mo.

8

mo.

8

mo.

10

mo.

10

mo.

12

mo.

12

mo.

Anti-

HIV

Anti-

HIV

Negative

Negatif

V02181C5

V02181C5 - - - - - - - - - - - - - - - -

V01031C5

V01031C5 - - - - - - - - - - - - - - - -

V10110C5

V10110C5 - - - - - - - - - - - - - - - -

Anti-

HIV

Positive

Anti

HIV-

Positif

V02181C5

V02181C5 + + + + + + + + + + + + + + + +

V01031C5

V01031C5 + + + + + + + + + + + + + + + +

V10110C5

V10110C5 + + + + + + + + + + + + + + + +

 

Table 3 - Results of Stability study on One-Step Anti-HIV test kits at

room temperature Tabel 3 - Hasil studi stabilitas pada Satu-Langkah

Anti-HIV alat tes pada suhu kamar

Sample

Contoh

Lot # Lot

#

1

mo.

1

mo.

2

mo.

2

mo.

4

mo.

4

mo.

6

mo.

6

mo.

8

mo.

8

mo.

10

mo.

10

mo.

12

mo.

12

mo.

Anti-

HIV

V02181C5

V02181C5

- - - - - - - - - - - - - -

Page 67: Hiv

Negative

Anti-

HIV

Negatif

V01031C5

V01031C5 - - - - - - - - - - - - - -

V10110C5

V10110C5 - - - - - - - - - - - - - -

Anti-

HIV

Positive

Anti

HIV-

Positif

V02181C5

V02181C5 + + + + + + + + + + + + + +

V01031C5

V01031C5 + + + + + + + + + + + + + +

V10110C5

V10110C5 + + + + + + + + + + + + + +

The data collected to date indicate that One-step Anti-HIV test kits are stable

for at least 12 months at 2-30°C. Data yang dikumpulkan untuk tanggal

menunjukkan bahwa Satu-langkah Anti-alat tes HIV yang stabil untuk

minimal 12 bulan pada 2-30 ° C.

  12.0 12,0       Quality Control: Quality Control:

12.1 12,1       Appearance : All materials are visually inspected before their

use in manufacture. Penampilan: Semua bahan secara visual diperiksa

sebelum digunakan dalam manufaktur.

12.2 12,2       Specificity : 10 test kits are randomly selected and tested with

Anti-HIV negative control panel. Spesifisitas: 10 alat tes dipilih secara

acak dan diuji dengan HIV negatif Anti-panel kontrol. All test results

must be negative. Semua hasil tes harus negatif.

12.3 12,3       Cut Off : 10 test kits are randomly selected and tested with

Anti-HIV positive control panel. Cut Off: 10 alat tes dipilih secara

acak dan diuji dengan HIV positif Anti-panel kontrol. All test results

must be positive. Semua hasil tes harus positif.

12.4 12,4       Internal Control : A colored band must appear in the control

region of the membrane with each tested kit, which indicating proper

performance and reagent reactivity. Pengendalian Internal: Sebuah

band berwarna harus muncul di wilayah kontrol membran dengan

setiap kit diuji, yang menunjukkan kinerja yang tepat dan reaktivitas

Page 68: Hiv

reagen.

12.5 12,5       Reproducibility : Randomly selected test kits from different

lots must give the same results when assaying the same sample.

Reproducibility: test kit yang dipilih secara acak dari banyak berbeda

harus memberikan hasil yang sama ketika pengujian sampel yang

sama.

 

13.0 13,0       References: Referensi:

13.1 13,1       Popovic M, Samgadharan, MG, Read, E., and Gallo,

RCDetection, isolation, and continuous production of cytopathic

retroviruses (HTLV-III) from patients with AIDS and pre AIDS.

Popovic M, Samgadharan, MG, Read, E., dan Gallo, RCDetection,

isolasi, dan produksi berkelanjutan retrovirus cytopathic (HTLV-III)

dari pasien dengan AIDS dan AIDS pra. Science 224; 497-500, 1984.

Science 224, 497-500, 1984.

13.2 13,2       Gallo, RC, et al., Detection and isolation of cytopathic

retroviruses (HTLV-III) from patients with AIDS and at risk for AIDS.

Gallo, RC, et al., Deteksi dan isolasi retrovirus cytopathic (HTLV-III)

dari pasien dengan AIDS dan beresiko untuk AIDS. Science 1984;

224: 500-503. Science 1984; 224: 500-503.

13.3 13,3       Curran JW et al., The epidemiology of AIDS: Current status

and future prospects. Curran JW et al., The epidemiologi AIDS: Status

saat ini dan prospek masa depan. Science 1985; 229: 1352-1357.

Science 1985; 229: 1352-1357.

13.4 13,4       Plot. Plot. P., Plummer, FA, Mhalu, Fs, Lmboray, JL, Chin, J.,

and Mann, JM, AIDS, An international perspective, Science 239: 573-

579,1988 . P., Plummer, FA, Mhalu, Fs, Lmboray, JL, Chin, J., dan

Mann, JM, AIDS, Sebuah perspektif internasional, Science 239: 573-

579,1988.

© Copyright  fphealth.com © Copyright fphealth.com

Page 69: Hiv

HIV ELISA Test Kits-untuk Donor Darah Aids Penyaringan

Anti-HIV EIA test kits For Blood Bank Professional Screening Tests Anti-HIV test kit EIA Untuk Profesional Bank Darah Tes Skrining HIV ELISA Kits, also known as HIV EIA kits, are Enzyme-Linked Immunosorbent Assays for qualitative detection of antibodies to Human Immunodeficiency Virus (HIV) type 1 and/or type 2 (HIV 1, HIV 2) viruses in human serum or plasma. HIV ELISA Kit, juga dikenal sebagai HIV kit EIA, adalah enzim-linked immunosorbent kualitatif tes untuk deteksi antibodi terhadap Human Immunodeficiency Virus (HIV) tipe 1 dan / atau tipe 2 (HIV 1, HIV 2) virus dalam serum atau plasma manusia. HIV antibody ELISA testing kits are widely used to screen blood donors and as an medical diagnositic aid of the diagnosis of clinical conditions related to infection with HIV-1and/or HIV-2, eg acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Antibodi HIV ELISA kit pengujian banyak digunakan untuk layar donor darah dan sebagai bantuan diagnositic medis atas diagnosa kondisi klinis terkait dengan infeksi HIV HIV-1and/or-2, misalnya diperoleh immunodeficiency syndrome (AIDS). Atlas Link Biotech would like to offer quality Anti-HIV ELISA testing kits at competitive prices. Atlas Link Biotech ingin menawarkan kualitas Anti-HIV ELISA kit pengujian dengan harga yang kompetitif.

Anti-HIV 1/2 Two Step ELISA Screening kits use polystyrene microwell strips pre-coated with recombinant HIV antigens expressed in E.coli (recombinant HIV-1gp41, gp120 and recombinant HIV-2 gp-36). Anti-HIV 1 / 2 Dua Langkah ELISA menggunakan kit Pemutaran microwell pra-polistiren strip dilapisi dengan antigen HIV disajikan dalam E.coli rekombinan (recombinant HIV-1gp41, gp120 dan rekombinan HIV-2 gp-36). During the first incubation, the specific HIV1/2 antibodies, if any, will be captured. Selama inkubasi pertama, HIV1 / 2 antibodi spesifik, jika ada, akan ditangkap. The microwells are washed to remove unbound serum proteins. Para microwells dicuci untuk menghilangkan protein serum terikat. A second recombinant antigen conjugated with Horseradish Peroxidase (HRP) is added. Sebuah antigen rekombinan kedua terkonjugasi dengan horseradish peroksidase (HRP) ditambahkan. During the second incubation, this antigen will be bound to the captured antibody. Selama inkubasi kedua, antigen ini akan terikat pada antibodi yang diambil. antigen-antibody-antigen (HRP) "sandwich" immunocomplex will turn into yellow with certain treatment with the reagents enclosed in the anti-HIV ELISA screening kits. Antigen-antibodi-antigen (HRP) "sandwich" immunocomplex akan berubah menjadi kuning dengan perlakuan tertentu dengan reagen yang ditutupi dalam pemeriksaan ELISA kit anti-HIV. The amount of color can be measured and is proportional to the amount of antibody in the sample. Jumlah warna yang dapat diukur dan sebanding dengan jumlah antibodi dalam sampel. Wells containing samples negative for anti-HIV 1/2 remain colorless, which indicates a negative result.sampel yang mengandung negatif untuk anti-HIV 1 / 2 tetap tidak berwarna, yang menunjukkan hasil negatif.