hpi

Upload: farid-wajdi

Post on 19-Jul-2015

203 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Choice of Law dan Ketertiban Umum Ketertiban umum dan choice of law merupakan dua asas hukum sangat penting dalam conflict of law. Para ahli beranggapan bahwa ketertiban umum berfungsi sebagai lembaga yang membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan choice of law yaitu memilih hukum yang berlaku bagi mereka apabila terjadi sengketa. Hijman mengatakan dalam bidang perdata internasional masih didiskusikan tentang seberapa jauhkah arti dari hak para pihak dalam menentukan hukum bagi mereka. Apakah keinginan para pihak memiliki peranan dalam menentukan hukum yang harus diperlakukan. Berkaitan dengan partij-autonomie dikatakan bahwa Met dit vragstuk raak ik een hoofdproblemen, van het geheele privaatrecht: de betekenis van den menselijken wil voor het recht. (Dengan pertanyaan ini sampailah saya pada masalah yang utama dari keseluruhan hukum perdata: arti dari keinginan manusia terhadap hukumTerjemahan Redaksi) Choice of law sangat penting dihubungkan dengan ketertiban umum, yang bila dilihat dari sudut pandang falsafah peranan kemauan individu terhadap hukum yang berlaku (wildogma) dan ajaran Romawi. Persoalan pilihan hukum dalam bidang bisnis internasional menampilkan unsur-unsur falsafah hukum, mengandung pula segi-segi teori hukum, praktek hukum dan politik hukum, yang oleh Kosters disebut sebagai de hoek steen van het rechtstelsel (batu penjuru dari suatu sistem hukumTerjemahan Redaksi). Pendekatan semacam ini dapat mempengaruhi pandangan ke arah falsafah tentang sejauh manakah peranan kemauan individu terhadap hukum yang berlaku, atau dalam hukum romawi mengenai animus, voluntas, consentire, yang substansinya tidak diuraikan lebih jauh. Persoalannya adalah dalam menentukan haknya bila terjadi conflict of law. Para ahli dibidang bisnis internasional mengakui bahwa secara empiris prinsip pilihan hukum dibidang kontrak dipergunakan di dunia tanpa mempersoalkan pandangan secara dogmatis yang dikemukakan para ahli. Pelaksanaannya lebih didasarkan pada pertimbangan dari segi prinsipprinsip ekonomi, dan hukum, berkaitan dengan batas-batas kewenangan choice of law. Batas kewenangan choice of law dapat dilakukan secara tidak terbatas, atau dibatasi hanya dalam hal-hal tertentu, yaitu tentang hukum manakah yang berlaku bagi kontrak yang disepakati para pihak, dan sejauh manakah para pihak dapat menentukan sendiri hukum yang dipergunakan bagi hubungan hukum mereka, dan apabila para pihak tidak menggunakan haknya untuk memilih hukum yang berlaku bagi mereka maka hukum manakah yang menjadi dasar pelaksanaan kontrak mereka. Ketentuan apakah yang pantas diterapkan apabila para pihak tidak mempergunakan haknya dalam menentukan pilihan hukum, dan apabila menggunakannya hak tersebut ditinjau dari sifat kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi para pihak yang berkontrak sesuai dengan logika atau bertentangan dengan sifat memaksa (dwingend) dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Juga merupakan persoalan apakah para pihak bebas dalam pilihan mereka atau sangat terbatas dalam kemampuan mereka ini. Apakah para pihak dapat menentukan kaidah-kaidah tertentu tunduk atau berlaku hanya terhadap bagianbagian tertentu dalam kontrak, sehingga dalam satu kontrak terdapat beberapa kaidah yang menjadi dasar penundukan/ sebagian tunduk kepada hukum tertentu, sedangkan bagian lainnya dari kontrak tunduk kepada hukum lain perlu diamati secara tersendiri. Berkaitan dengan substansi ini, Rabel yang mendukung prinsip kebebasan memilih hukum mengatakan bahwa para pihak berhak menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak mereka. Secara empiris dapat dilihat pada hasil penelitian terhadap keputusan Mahkamah Agung Internasional, dan badan-badan arbitrase internasional tentang adanya pengakuan terhadap hak pilihan hukum bagi para pihak (the principle of the importance of the intention of the parties has been adopted by most courts and publicits). Sudargo Gautama mengemukakan pendapat Winter dalam suatu karangan khusus mengenai peranan yang memaksa pada perjanjian-perjanjian

internasional tentang penerimaan pilihan hukum oleh para pihak berkenaan dengan dilakukannya kontrak-kontrak internasional. Ketertiban umum memiliki beberapa fungsi dihubungkan dengan choice of law, pertama; sebagai rem atau penghambat, yaitu membatasi diberlakukannya hukum asing dalam hal-hal tertentu. Kedua; untuk menghalangi kebebasan hak otonomi para pihak dalam menentukan berlakunya hukum dalam kontrak mereka. Ketiga; sebagai elemen yang membatasi berlakunya stelsel hukum asing yang tidak sesuai dengan stelsel hukum dari hakim yang mengadili sengketa para pihak; dan keempat; sebagai perlindungan terhadap pemakaian otonomi hak para pihak dalam choice of law yang terlampau luas. Fungsi ketertiban umum tersebut secara empiris terdapat di Cina. Ketentuan hukum Cina melarang Choice of Law Dalam Praktek Perbankan Secara empiris putusan hakim Indonesia yang berkaitan dengan choice of law dalam perkembangannya jarang ditemukan, disebabkan perkaraperkara yang diajukan ke pengadilan Indonesia pada umumnya kurang dipermasalahkan pilihan hukum oleh para pihak, demikian pula terdapat sebagaian besar hukum Indonesia yang mengatur pembatasan pilihan hukum, yang berdampak kepastian hukum. Kenyataan dapat disimak sejak dahulu, bahwa dalam praktik choice of law terdapat pembatasan pemberian hak terhadap para pihak. Sebelum kemerdekaan dapat dilihat dalam kasus Tijdschrift van het Recht, diputuskan hakim Indonesia berkaitan dengan sistem choice of law, atau rectskeuze yaitu Arrest dari Hoogerechtshof tahun 1935, tentang penggunaan wesel yang telah diendosir kepada order dari dan diserahkan kepada Barclays Bank Limited. Kasus Zecha v. Samuel Jones & Co (Export) Ltd, Pedagang Lois Zecha yang bertempat tinggal di Sukabumi dan pedagang dengan merek dagang Soekaboemische Snelpersdrukkerij telah digugat oleh perusahaan Inggris Samuel Jones & Co (Export) Ltd, berkedudukan di London, untuk membayar 12 wesel yang telah ditarik oleh perusahaan George Man & Co Limited di London pada ordernya sendiri atas tergugat Zecha, wesel-wesel tersebut telah diaksep oleh George Man & Co Limited, sebagian dari wesel-wesel ini telah diendosir kepada order dan diserahkan kepada Barclays Bank Limited, yang kemudian diedarkan kepada pihak lain, dan setelah jatuh tempo pihak Zecha tidak bersedia membayar. Menurut pertimbangan Hooggerechtshof para pihak saat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adalah agar hukum Indonesia yang diberlakukan. Para pihak telah memilih hukum Indonesia sebagai sistem hukum yang bersangkutan yang harus dipergunakan.21 Walaupun dari kasus ini ternyata bahwa cessie bersangkutan telah dilakukan di London, dihadapan Notaris Jhon Dalton Venn, yang berpraktik di kota itu. Hooggerechtshof beranggapan bahwa hukum Indonesia yang berlaku. Dalam hal ini terlihat bahwa Hooggerechtshof tidak mempertimbangkan lex loci contractus sebagai yang menentukan, dan kemampuan para pihak yang lebih diutamakan pada tempat dimana akta dibuat. Dengan mempergunakan hukum Indonesia, Hooggerchtshof berpendirian bahwa akta-akta cessie yang dibuat mempunyai titel yang sah karena ternyata cessie dan peralihan hak yang bersangkutan telah terjadi dengan pembayaran oleh pihak Jones kepada Barclays Bank dari jumlah yang ditagih oleh Jones dari Zecha, dan cessie semacam ini dianggap berlaku menurut ketentuan-ketentuan hukum Indonesia. Peranan ketertiban umum dalam penentuan choice of law diefektifkan dalam memutuskan kasus-kasus oleh pengadilan dan Mahkamah Agung di negara-negara di dunia, misalnya di Amerika Serikat. Dalam perkara First National Bank vs Banco Pere El Commercio Exiterior de Cuba, tahun 1983, Mahkamah Agung Amerika Serikat, telah menggunakan pilihan hukum dan ketertiban umum dalam menentukan kasus nasionalisasi property yang dilakukan Cuba bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu tidak sesuai dengan

hukum yang berlaku dan situasi yang terjadi. Putusan Mahkamah Agung mengijinkan Citibanks set off, advancing both equitable principles and United States public policy. Pengadilan di Amerika Serikat menghormati pilihan hukum para pihak dalam kontrak internasional, namun mempergunakan konsep ketertiban umum (public policy) sebagai suatu alat yang mengizinkan forum pengadilan untuk mengabaikan penerapan hukum asing yang tidak sesuai. David Cliffort mengatakan bahwa pembenaran klasik penggunaan konsep public policy terhadap pilihan hukum, yaitu penerapan dalam tradisi kesejahteraan umum. Pembatasan terhadap pilihan hukum para pihak diatur dalam Pasal 187 (2) (b) The Restatement (second), yang menentukan pengadilan mengikuti hukum para pihak, kecuali bertentangan dengan kebijaksanaan mendasar dari Negara yang mempunyai hubungan lebih erat dengan pilihan hukum yang telah dilakukan. Klausula pilihan hukum memang secara esensi memberikan para pihak kecakapan untuk mengeluarkan suatu peraturan illegality atas kontrak dan mengesampingkan hukum, namun the restatement juga menentukan pembatasan-pembatasan. The Restatements fundamental policy dan materially greater interest test adalah suatu versi modifikasi dari pendekatan analisis kepentingan (interest analisis) Indonesia menganut kedua asas tersebut, baik asas kebebasan berkontrak maupun ketertiban umum, atas dasar Pasal 1337 KUHPerdata, bahwa suatu sebab terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, demikian pula Pasal 25 AB, bahwa perbuatan atau perjanjian tidak boleh menghilangkan kekuatan peraturan hukum, ketentuan umum atau kesusilaan. Pasal 17 AB mengatur tentang barang tidak bergerak berlaku hukum nasional di tempat barang itu terletak sesuai dengan asas lex rei sitae. Bagi tanah yang dijadikan jaminan harus didaftarkan pada kantor pertanahan, dalam perjanjian antara kreditur asing dan debitur Indonesia. Demikian pula ketentuan UU Kepailitan menentukan penyelesaian kepailitan berdasarkan hukum Indonesia, dan bukan pilihan hukum para pihak. Ketentuan UU Kepailitan mengabaikan pilihan hukum para pihak dalam kontrak bisnis internasional, dan menerapkan hukum Indonesia dalam penyelesaian sengketa insolvensi, dan penundaan pembayaran utang melalui kewenangan khusus, berupa yurisdiksi substantif yang efektif, berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan choice of law dalam conflict of law memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan hukum yang berlaku bagi bisnisnya. Hakim negara-negara di dunia menghormati pilihan hukum para pihak. Namun demikian ada pembatasannya, melalui penerapan asas ketertiban umum, misalnya berdasarkan UU nasional pelaksanaan kontrak, misalnya di Indonesia UU Kepailitan yang menentukan berlakunya hukum nasional dalam penyelesaian conflict of law. Apabila hukum yang dipilih tidak mempunyai hubungan yang substantif dengan transaksi dan tidak memiliki alasan yang cukup bagi pilihan hukum para pihak, maka hakim akan menentukan hukum manakah yang berlaku. Hukum negara hakim yang mengadili dapat menjadi dasar penyelesaiannya apabila hukum yang dipilih para pihak tidak dapat diterapkan dalam sengketa yang terjadi. PANDANGAN YURIDIS CONFLICT OF LAW DAN CHOICE OF LAW DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL Oleh: Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH di unggah dari www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A0050DCB-4CF8.../1pandangan.pdf Pilihan Hukum

Pilihan Hukum adalah hukum yang oleh para pihak dipilih dank arena itu dianggap berlaku bagi perbuatan yang dilaksanakanya.1 Dasar-dasar pilihan hokum (69) Pilihan hokum di dasarkan pada beberapa alasan, pertama yang bersifat falsafah, kedua yang bersifat praktis, ketiga bersifat kebutuhan, yaitu sebagai kebutuhan untuk melakukan transaksi internasional. Alasan pertama menunjuk pada pengakuan terhadap kehendak manusia sebagai suatu yang mendasar yang senantiasa harus diperhatikan dalam mengatur kehidupan mereka. Marcini memandang otonomi para pihak sebagai prinsip mendasar dalam hukum perdata internasional. Prinsip itu member kesempatan kepada para pihak untuk secara bebas menentukan kemauanya sendiri. Alasan kedua memberikan kesempatan kepada para pihak untuk secara praktis mempertimbangkan hukum yang dipilih serta akibat dari pilihan demikian itu. Alasan ketga merupakan ekspresi dari tujuan hukum pada umumnya. Penentuan pilihan hukum merupakan cara bagi para pihak untuk lebh menjamin kepastian bagi transaksi yang dilakukan serta menjamin kepastian pelaksanaan akibat-akibat transaksi, termasuk penanganan sengketa yang mungkin timbul dari transaksi demikian itu, sehingga resiko dan kerugian yang mungkin timbul dari akibat transaksi dapat ditekan ke tingkat minmum atau bila perlu dihindarkan sama sekali. Alasan keempat merupakan konsekuensi ril suatu hubungan transaksi yang bersifat lintas batas Negara, yang melibatkan pihak-pihak yang tunduk kepada system hukum yang sering kali tidak sama. Dalam hal demikian, pilihan hukum diperlukan untuk menghindari akibat-akibat yang mungkin timbul, seperti penangguhan, penghentian atau pembatalan pelaksanaan suatu perjanjian, sebagai akibat diadakan atau tidak diadakanya pilihan hukum. Prinsip-prinsip dan batas-batas pilihan hukum(70) 1.partijautonomie Menurut prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh sebagian besar Negara, seperti Eropa (Italia, Portugal, Yunani), Eropa Timur (Polandia, Cekoslowakia, Austria), Negara-negara Asia-Afrika, termasuk Indonesia, dan Negara-negara Amerika, khususnya Kanada. 2.bonafide1

Sunaryati Hartono, Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional (Binacipta:Bandung) 1976 hlm.88

Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik (bonafide), yaitu sematamata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi (isi perjanjian) 3. Real connection Beberpa system hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan pristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih. 4. larangan penyelundupan Hukum Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan sendiri. 5. ketertiban umum Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu bahwa hukum yang dipilih oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum (orde public) merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum (une primiere limitation de lexcercide de la volonte individualle) dan manifestly incompatible (bertentangan secara menyolok).2 Misalnya Hukum Asing, yaitu hukum RRT yang mengizinkan perceraian atas persetujuan bersama, oleh Pengadilan Negeri Jakarta dianggap sebagai bertentangan dengan ketertiban umum Indonesia sehingga dilarang untuk mempergunakan Hukum Asing dan tetap dipergunakan hukum Indonesia.3 6. Pilihan Hukum hanya mungkin di bidang hukum kontrak, seperti dalam hal jual beli, kerjasama di bidang perdagangan akan tetapi dilarang di bidang pernikahan atau harta benda pernikahan. 7. Pilihan Hukum tidak boleh sampai mengenyampingkan kaidah yang bersifat super memaksa (kaidah dengan isi perdata akan tetapi sifatnya public), yaitu ketentuan hukum yang dilihat dari fungsinya secara social-ekonomis begitu penting sehingga tidak boleh dikesampingkan dengan memilih hukum dari Negara lain.

Cara melakukan Pilihan hukum(71)2

Tineke Tuegeh Longdong, Keterkaitan Ketentuan-ketentuan Konvensi ICSID dengan Penanaman Modal Asing di Indonesia Suatu Tinjauan dari Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Karya Kita, 2004) hlm.83

Tineke Tuegeh Longdong, Keterkaitan Ketentuan-ketentuan Konvensi ICSID dengan Penanaman Modal Asing di Indonesia Suatu Tinjauan dari Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Karya Kita, 2004) hlm.8

Terdapat paling tidak empat cara untuk melakukan pilihan hukum, yaitu pertama, secara tegas (uitdrukkelijk, met zovele woorden), kedua secara diam-diam (stilzwijgend), ketiga, secara dianggap (vermoedelijk) dan keempat, secara hipotesis(hypothetiche partijwil). Cara pertama mengharuskan adanya pernyataan tegas, semacam klausula di dalam kontrak yang dibentuk, misalnya terhadap kontrak X diperlukan hukum Negara Y atau Negara Z. Cara kedua merupakan cara penundukan hukum tidak secara tegas sebagaimana cara yang pertama. Pada cara ini, penundukan hukum yang dilakukan oleh para pihak terhadap hukum Negara tertentu, harus disimpulkan dari sikap dan tingkah laku para pihak yang menunjuk pada adanya kondisi penundukan hukum itu (their behavior show..intentionally connected eith the private law of certain country). Misalnya para pihak menunjukan kecendrungan untuk mengarahkan penundukan kontraknya kepada hukum Negara X. Cara ketiga menyerupai cara kedua, yaitu bahwa para pihak tidak secara tegas menyatakan penundukan dirinya. Para pihak hanya menunjukan prilaku bahwa tunduk kepada system hukum Negara tertentu. Prilaku demikian dianggap sebagai bentuk penundukan dirinya (pilihan hukumnya). Cara keempat lebih merupakan hipotesis para hakim dalam menangani sengketa dari hubungan hukum pihak-pihak tertentu, dalam kondisi, dimana para pihak itu sendiri sesungguhnya tidak memiliki pikiran kea rah itu. Hakimlah yang mencari, hukum mana yang kiranya dikehendaki oleh para pihak.

Hukum yang berlaku dalam kontrak internasional Melakukan pilihan hukum dalam kontrak internasional berarti memperhitungkan dua kondisi yang dapat timbul dari akibat dilakukan atau tidak dilakukannya pilihan hukum. a.kondisi akibat dilakukannya pilihan hukum(72) pilihan hukum atau penetapan hukum yang hendak diberlakukan terhadap suatu kontrak internasional, tidak selalu menghasilkan manfaat posotif. Minimal, informasi tentang system hukum, terhadap system hukum mana penundukan diri dilakukan, dapat menjadi sebab lahirnya akibat-akibat negative yang tidak dikehendaki oleh para pihak. Dapat saja suatu kontrak menjadi batal demi hukum, atau mengalami cacat hukum akibat kurangnya pemahaman para pihak terhadap system yang diberlakukan terhadap kontrak yang mereka buat. Misalnya, suatu kontrak menetapkan subtansi kontrak atau syarat-syarat kontrak dilarang oleh hukum yang dipilih atau kesulitan lainya yang mungkin timbul akibat adanya system hukum yang berbeda. b. akibat tidak dilakukanya pilihan hukum

seorang Lawyer inggris pernah mengalami banyak kesulitan ketika klienya tidak memenuhi anjuranya untuk memilih hukum inggris bagi setiap kontrak yang dibentuknya. Pada suatu waktu ketika timbul sengketa dari klien yang ditanganinya, lawyer itu telah mengalami berbagai kesulitan akibat kekaburan hukum, dan kesulitan pilihan hukum yang harus dilakukany. Kesulitan itu berkaitan dengan waktu dan biaya yang harus dikorbankanya. Contoh kasus ini segera member ilustrasi bahwa masalah efisiensi adalah salah satu akibat negative yang dapat muncul dari keharusan untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu kontrak. Isu ini akan mempunyai nilai yang sangat penting, dalam kaitan dengan aktifitas bisnis. upaya yang disediakan oleh Hukum Perdata Internasional dalam kaitan dengan kondisi kedua adalah dikenalnya beberapa teori yang dapat digunakan untuk menemukan hukum yang seharusnya berlaku bagi suatu hubungan kontraktual, dalam hal tidak ditentukanya hukum yang berlaku bagi para pihak.1. Teori Lex Loci Contractus(73)

Menurut teori Lex Loci Contractus ini hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat dimana kontrak itu dibuat. Teori ini merupakan teori klasik yang tidak mudah diterapkan dalam praktek pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak-pihak yang berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka, membentuk kontrak di suatu tempat ( contract between absent person). Dapat saja mereka berkontrak melalui telepon atau sarana-sarana komunikasi lainya.

Alternative yang tersedia bagi kelemahan teori ini adalah pertama, teori post-box, dan kedua teori penerimaan. Menurut teori pst-box, hukum yang berlaku adalah hukum tempat post-box dimana pihak yang menerima penawaran (offer) itu memasukkan surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran itu. Sementara itu, teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana pihak penawar menerima surat pernyataan penerimaan penawaran dari pihak yang menerima tawaran. 2. Teori Lex Loci Solution Menurut teori ini hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana perjanjian dilaksanakan, bukan di mana tempat kontraknya di tanda tangani. Kesulitan utama kontrak ini adalah, jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak di suatu tempat, seperti kasus kontrak jual beli yang melibatkan pihak-pihak (penjual dan pembeli) yang berada di Negara yang berbeda, dan dengan system hukum yang berbeda pula. 3. Teori the proper law of the contract

Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum Negara yang paling wajar belaku bagi kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik berat (center of gravity) atau titik taut yang paling erat dengan kontrak itu 4. Teori the most characteristic connection Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik. Kelebihan teori terakhir ini adalah bahwa dengan teori ini dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan kualifikasi Lex Loci contractus atau Lex Loci solutions, di samping juga di janjikanya kepastian hukum secara lebih awal oleh teori ini. Dengan demikian, sebagaimana ditekankan oleh Profesor Gautama, teori the most characteristic connectin adala teori pilihan hukum yang paling representative untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku bagi suatu kontrak internasional.

Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional, Ida Bagus Wyasa Putra (Refika Aditama:Bandung) 2000

Pilihan Hukum / pilihan forum yang dicantumkan secara tegas dalam naskah kontrak akan menghasilkan beberapa keuntungan, antara lain : 1. Mengurangi beban biaya bila terjadi perselisihan, dengan dicantumkannya pilihan hukum / forum secara tegas maka bila terjadi perselisihan pemeriksaan untuk menentukan hukum mana atau Yurisdiksi mana yang akan dipergunakan tidak diperlukan lagi. Hakim akan menanyai pada Klausula pilihan hukum untuk mengatasi masalah tersebut. Tentunya hal ini akan menghemat biaya bila dibandingkan dengan adanya pemeriksaan pendahuluan untuk menentukan hukum / forum yang akan dipergunakan 2. Dengan adanya klausula pilihan hukum, maka pemeriksaan pendahuluan untuk memutuskan hukum / forum yang dipergunakan tidak diperlukan lagi. Dengan demikian hal ini dapat menghemat waktu pemerikaan perkara jika terjadi perselisihan. 3. Dengan pilihan hukum / pilihan forum akan diperoleh kepastian hukum mengenai hukum / forum yang akan dipergunakan menyelesaikan sengketa. Dengan demikian terjadinya forum shoping dapat dihindarkan. Disamping itu, dengan adanya kepastian mengenai apa yang menjadi hukum, maka para pihak dapat mempersiapkan diri lebih awal untuk memahami hukum / forum yang telah dipilih. Dalam hal hukum yag dipilih adalah hukum salah satu pihak, maka pihak tersebut akan diuntungkan karena lebih mengenal hukum yang mengatur hubungan yang mereka lakukan. II. Perbedaan Pilihan Hukum dan Pilihan Forum. Pilihan Hukum dan pilihan Forum adalah dua hal yang berbeda. Kedua terminology tersebut selalu dicampur adukkan atau disamakan. Pilihan hukum berkenaan dengan hukum mana yang berlaku

untuk suatu perjanjian yang melibatkan lebih dari satu hukum dari negara yang berbeda. Sedangkan pilihan Yurisdiksi (Forum) adalah mengenai badan mana yang berwenang memeriksa atau mengadili perselisihan yang terjadi. Pilihan Yurisdiksi (forum) disuatu negara tidak berarti bahwa hukum dari Yurisdiksi (forum) yang dipilih tersebut yang akan dipergunakan menyelesaikan sengketa, demikian juga sebaliknya. Pilihan hukum yang jatuh pada hukum suatu negara tidak selamanya berarti bahwa pengadilan negara tersebut yang berwenang memeriksa / mengadili perkara yang bersangkutan. Untuk mengindari kesulitan kesulitan, maka dalam naskah kontrak sebaiknya kedua macam pilihan tersebut dinyatakan secara tegas. (pilihan hukum dalam kontrak bisnis, ocw.usu.ac.id/...hukum.../kn_508_slide_pilihan_hukum_dalam_kont...)

Pembatasan Choice of Law Choice of law atau pilihan hukum harus dilakukan secara bonafide dan legal9, artinya memilih suatu sistim hukum tertentu tidak dimaksudkan untuk menyelundupi peraturan-peraturan tertentu dan sebaiknya hukum yang dipilih adalah hukum yang mempunyai hubungan tertentu dengan kontrak bersangkutan. Demikian pula, bila pilihan hukum yang telah dinegosiasikan secara seksama oleh para pihak akan tetapi jika hukum yang dipilih itu melanggar ketertiban umum (public policy) dari hukum nasional hakim, maka kontrak tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh hakim karena tidak sah. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ketertiban umum ialah sendi-sendi azasi dari seluruh sistim hukum dan masyarakat Indonesia. Konsep tentang ketertiban umum (public policy) berbeda dalam negara yang satu dengan negara lainnya dan konsep tersebut dapat berubah sesuai dengan keadaan sosial sebagaimana ide suatu negara tentang agama, moral, dan etika yang mengalami modifikasi10. Sekelompok peraturan yang dinamakan mandatory rule atau dwingendrecht yaitu peraturanperaturan yang sifatnya memaksa, misalnya peraturan tentang persaingan, peraturan tentang moneter, peraturan tentang kontrak kerja, peraturan tentang ekspor impor dan Iain-lain. Pada kelompok peraturan-peraturan seperti tersebut di atas tidak dapat disimpangi oleh para pihak dalam membuat kontrak bisnis internasional dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut berakibat kontrak itu dapat dibatalkan oleh hakim. Dengan demikian suatu kontrak dapat dikatakan melanggar hukum (ilegal) atau bertentangan dengan public policy suatu negara sehingga tidak dapat diberlakukan, adalah tergantung pada kasus demi kasus. (Leonora Bakarbessy, SH, MH, http://www.fh.unair.ac.id/opini.hukum.php?id=5&respon=0 di unggah tanggal 11/04/2012