%hqdqj 0hudk .rqvhuydvl )orud gdq )dxqd ghqjdq … · kegiatan . deforestasi dan deg. ... khususnya...
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelian, Manado, 28 Mei 2015
Benang Merah Konservasi Flora dan Faunadengan
Perubahan Iklim
Kementerian Lingkungan Hidup dan KehutananBadan Penelitian, Pengembangan dan InovasiBalai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Editor:Ir. A. Thomas, MPLis Nurrani, S.Hut
i
BENANG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA
DENGAN PERUBAHAN IKLIM
PROSIDING SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN
28 MEI 2015
Editor:
Ir. A. Thomas, MP
Lis Nurrani, S.Hut
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
ii
ISBN 978-602-96800-9-6
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna
dengan Perubahan Iklim
Manado, 2015
Terbit Tahun 2016
Tata Letak dan Desain Sampul: Lulus Turbianti
Diterbitkan oleh: Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Manado
Telp. 085100666683
Email: [email protected]; [email protected]
Website: http://bpk-manado.litbang.dephut.go.id
Dicetak oleh: Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Percetakan: PT. Oltheten Pusgrafin Jakarta
iii
KATA PENGANTAR
Hutan memiliki peran vital sebagai penyerap maupun pengemisi karbon
dalam konteks perubahan iklim. Perambahan hutan sampai saat ini diketahui
menjadi masalah dan penyebab paling besar terhadap perubahan iklim.
Kegiatan deforestasi dan degradasi lahan akibat aktivitas manusia yang tak
ramah lingkungan akan membuat kadar gas-gas rumah kaca di udara akan
terus meningkat dan bertambah banyak. Hal tersebut terjadi karena fungsi
hutan sebagai penyerap gas-gas CO2 terus berkurang.
Fungsi hutan tidak hanya sebagai penyerap karbon, tapi juga sebagai
sebuah ekosistem bagi flora dan fauna. Keragaman flora dan fauna perlu
terus dijaga dan dilestarikan sebagai bagian dari kehidupan dan kekayaan
alam yang sangat penting bagi manusia. Konservasi flora dan fauna juga
dipandang sebagai hal mendasar yang mampu mencegah terjadinya
perubahan iklim. Konservasi flora dan fauna baik secara ek situ maupun in
situ berperan dalam menjaga ekosistem hutan dan proses penyerapan
karbon yang bermuara pada pengurangan dampak perubahan iklim yang
meningkat dari waktu ke waktu.
Dalam rangka memperingati hari Biodiversitas Dunia tanggal 22 Mei dan
menyambut hari Lingkungan Hidup Seluruh Dunia pada tanggal 5 Juni, Balai
Penelitian Kehutanan Manado (sekarang Balai Penelitian dan Pengembangan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado) menyelenggarakan seminar
dengan tema: Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan
Perubahan Iklim.
Balai Penelitian Kehutanan Manado telah melakukan kegiatan penelitian
bidang konservasi flora dan fauna dan juga tentang perubahan iklim. Oleh
karena itu untuk penyebarluasan hasil penelitian dan juga mendorong
pemanfaatan IPTEK, maka dilakukan seminar nasional hasil penelitian.
Seminar Nasional Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan
Perubahan Iklim ini diselenggarakan sebagai wadah komunikasi ilmiah
tentang Konservasi Flora dan Fauna dan juga Perubahan Iklim.
Prosiding ini memuat delapan judul materi yang dibahas dan tiga materi
penunjang serta rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi.
iv
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih Pimpinan GIZ
Forclime, penyaji materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta
semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan ekspose
hingga penyusunan prosiding.
Semoga prosiding ini bermanfaat.
Manado, Juli 2016
Kepala BP2LHK Manado
Ir. Muh. Abidin, M.Si NIP. 196006111988021001
v
TIM PENYUNTING
Penanggung Jawab : Ir. Muh. Abidin, M.Si
Redaktur : Rinto Hidayat, S.Hut
Editor : Ir. A. Thomas, MP
Lis Nurrani, S.Hut
Sekretariat : Nurhayati Samsudin, S.Hut, ME
Lulus Turbianti, S.Hut.
Rinna Mamonto
vi
vii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................. iii
Daftar Isi ....................................................................................... vii
Laporan Penyelenggaraan ............................................................... ix
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Inovasi ................................... xiii
Rumusan ....................................................................................... xvii
MAKALAH PRESENTASI
Teknologi Penanaman Rhizophora mucronata Lamk untuk
Mengatasi Abrasi Pulau Kecil dan Mitigasi Bencana
Ady Suryawan, Nur Asmadi dan Endro Subiandono ........................ 1-12
Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan
di Sulawesi Utara
Nurlita Indah Wahyuni, Ady Suryawan, dan Arif Irawan ................. 13-26
Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (Eos histrio)
di Kandang Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado Anita Mayasari, Diah I. D. Arini, Ady Suryawan,
Melkianus S. Diwi, dan Nur Asmadi ................................................ 27-38
Ragam dan Intensitas Serangan Ektoparasit di Sekitar
Kandang Anoa (Bubalus spp.)
Balai Penelitian Kehutanan Manado
Diah I.D Arini, M. S. Diwi, A. Mayasari, dan Nur Asmadi................ 39-50
Evaluasi Pertumbuhan Tiga Jenis Diospyros Umur 1,5 Tahun
di Hutan Penelitian Batuangus Julianus Kinho, Jafred Halawane, Yermias Kafiar, Moody Karundeng,dan Melkianus Diwi........................................... 51-64
MAKALAH PENUNJA NG
Evaluasi Awal Uji Coba Penanaman Jenis Tanaman Lokal
pada Hutan Terdegradasi Menggunakan Perlakuan Ukuran
Lubang Tanam di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara
Arif Irawan, Iwanuddin, Ady Suryawan, dan Nur Asmadi ................ 65-74
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo
“Implikasi Kerusakan DAS”
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro.. 75-96
Pengaruh Asal Benih dan Penggunaan Pupuk Kandang terhadap
Pertumbuhan Awal Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
dalam Uji Coba Penanaman pada Lahan Berpasir Hanif Nurul Hidayah, Arif Irawan, Jafred E. Halawane,
dan Supratman Tabba ................................................................... 97-105
viii
PRESENTASI TAMU
Pelestarian Biodiversitas dan Perubahan Iklim
Johny S. Tasirin ........................................................................... 107-118
“Stability of Tropical Rainforest Margins” in Central Sulawesi
Henry Barus ................................................................................ 119-164
Konservasi dan Perubahan Iklim
Pipin Permadi.............................................................................. 165-174
ix
LAPORAN PERTANGGUNGJAWABA N
KEPALA BALAI PENELITIA N KEHUTA NA N MANADO
PADA SEMINAR BENA NG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA
DENGA N PERUBAHA N IKLIM
MANADO, 28 Mei 2015
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang terhormat:
1. Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kehutanan, yang
diwakili oleh Sekretaris Badan
2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
3. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan
4. Para Akademisi
5. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan
6. Para Pejabat Struktural dan Fungsional
7. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Syallom,
Pertama-tama marilah kita memanjatkan segala puji dan syukur kehadirat
Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang baik ini
kita semua dapat menyelenggarakan seminar atas kerjasama Balai
Kehutanan Manado dengan GIZ (Gesellschaft fur Internationale
Zusammenarbeit).
Seminar tahun ini dengan tema Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna
dengan Perubahan Iklim sangat istimewa karena dilaksanakan dalam rangka
memperingati hari Biodiversitas Dunia tanggal 22 Mei dan sekaligus
menyambut hari Lingkungan Hidup Seluruh Dunia pada tanggal 5 Juni. Hal
yang menjadi latar belakang diselenggarakannya seminar ini adalah
terjadinya perubahan iklim yang semakin menghawatirkan kita bersama dan
vitalnya peran hutan dalam menyerap maupun mengemisi karbon dalam
konteks perubahan iklim. Perlu bagi kita untuk mengerti secara mendalam
bahwa konservasi flora dan fauna adalah hal mendasar yang mampu
mencegah terjadinya perubahan iklim. Konservasi flora dan fauna baik
secara ex-situ maupun in-situ berperan dalam menjaga ekosistem hutan dan
x
proses penyerapan karbon yang bermuara pada pengurangan dampak
perubahan iklim yang meningkat dari waktu ke waktu.
Tujuan pelaksanaan seminar adalah memfasilitasi pertukaran pendapat dan
informasi terkini dari para narasumber mengenai hasil-hasil penelitian
konservasi flora dan fauna beserta kaitannya dalam perubahan iklim di
Indonesia, serta mendiseminasikan hasil-hasil penelitian mengenai
konservasi dan perubahan iklim bagi pengguna, khususnya masyarakat
Sulawesi Utara. Seminar ini juga melibatkan para pembuat kebijakan,
ilmuwan, praktisi dan stakeholders lainnya dalam rangka menyusun strategi
pencegahan perubahan iklim melalui kegiatan konservasi flora dan fauna.
Hadirin dan peserta seminar yang saya hormati,
Perkenankanlah saya berterimakasih dan berbangga atas kerjasama yang
baik antara panitia, peserta dan semua pendukung acara sehingga seminar
ini dapat diselenggarakan dengan baik pada hari Kamis, 28 Mei 2015
bertempat di Swiss-Belhotel, Manado. Seminar ini dihadiri oleh 160 orang
peserta, termasuk 8 orang narasumber dari empat (4) instansi.
Tamu undangan yang berbahagia,
Pada kesempatan ini saya selaku penanggung jawab acara ini mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Litbang Kehutanan
yang berkenan membuka seminar ini, Kepada Kepala Dinas Kehutanan
Provinsi Sulawesi Utara dan Kepala UPT lingkup Kementerian Kehutanan
yang telah menghadiri seminar ini. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan
kepada GIZ (Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit), APIKI region
Sulawesi, dan Universitas Sam Ratulangi atas pertisipasi dan kerjasama
sehingga seminar ini dapat teraksana dengan lebih baik. Saya juga
menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada segenap
narasumber dan tamu undangan yang berkenan menyediakan waktunya
untuk berpartisipasi dalam acara seminar ini. Tidak lupa kepada semua
panitia penyelenggara semiar dari Balai Penelitian Kehutanan Manado yang
telah menyelenggarakan acara ini dengan baik dari awal persiapan hingga
pada berlangsungnya acara pada hari ini.
Peserta seminar yang terhormat,
Akhir kata, saya berharap semoga hasil seminar ini dapat membuka
wawasan kita untuk waspada akan dampak perubahan iklim dan semakin
giat mengupayakan tindakan konservasi flora dan fauna sebagai salah satu
xi
kegiatan yang mampu mengurangi dampak perubahan iklim yang
membahayakan bumi kita.
Demikian sambutan saya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan
bimbingan kepada kita semua.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kepala BPK Manado
Ir. Muh. Abidin, M.Si
NIP 19600611 198802 1 001
xii
xiii
SAMBUTA N
KEPALA BADAN PENELITIA N DAN PENGEMBA NGA N KEHUTA NA N
PADA PEMBUKAA N SEMINAR
BENA NG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA DENGA N
PERUBAHA N IKLIM
Manado, 28 Mei 2015
Yang saya hormati:
1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
2. Para Kepala Pusat Penelitian Pengembangan lingkup Kementerian
Kehutanan
3. Para narasumber
4. Perwakilan GIZ
5. Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan
6. Para Akademisi
7. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan, Praktisi, Penyuluh
8. Para Pejabat Struktural dan Fungsional, Tamu Undangan dan Peserta
Seminar yang berbahagia
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua
Syallom,
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah
SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang indah ini kita
dapat hadir di tempat ini untuk mengikuti seminar “Benang Merah
Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim”.
Pemilihan tema ini menurut saya sangatlah relevan mengingat bahwa akhir -
akhir ini persoalan deforestasi serta degradasi lahan dan hutan telah
menjadi perhatian masyarakat luas. Degradasi dan deforestasi ini
mengakibatkan fragmentasi lahan serta semakin tingginya laju kehilangan
flora dan fauna, sehingga solusinya perlu kita upayakan bersama.
Sementara itu, upaya pengendalian perubahan iklim juga merupakan
keniscayaan. Topik pembahasan tentang keterkaitan perubahan iklim dan
flora-fauna menjadi sangat penting, karena Balai Penelitian Kehutanan (BPK)
Manado memfokuskan penelitiannya untuk konservasi flora dan fauna.
xiv
Para hadirin sekalian,
Pada kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal
yang penting untuk kita perhatikan bersama:
Kementerian Kehutanan pada tahun 2010 telah menetapkan empat belas
spesies terancam punah sebagai spesies prioritas utama konservasi. Khusus
di Provinsi Sulawesi Utara telah ditetapkan empat satwa endemik Sulawesi
untuk ditingkatkan populasinya yaitu: anoa (Bubalus depressicornis dan
Bubalus quarlesi), babirusa (Babyrousa babyrussa), maleo (Macrocephalon
maleo) dan yaki (Macaca nigra). Penetapan 4 “Satwa Kunci” tersebut harus
menjadi acuan utama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.
Riset untuk peningkatan populasi spesies prioritas tersebut harus
komprehensif. Tidak hanya melalui breeding tetapi juga menyangkut semua
secara holistik, pembinaan habitat, pembinaan populasi dan habitat,
penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar, penertiban perburuan
dan perdagangan illegal, pelatihan dan peningkatan kapasitas serta
pengembangan sistem pangkalan data. Hal ini juga sesuai dengan Indikator
Kinerja Program (IKP) nya Ditjen Konservasi Sumberdaya Alam dan
Ekosistem (KSDAE). Apresiasi pada BPK Manado yang telah menginisiasi
kegiatan konservasi Anoa dan mengembangkan Anoa Breeding Centre.
Diwaktu mendatang tidak hanya Anoa tetapi juga 3 spesies lain yang perlu
dilindungi khusus di Sulawesi Utara.
Selain konservasi fauna, konservasi flora Indonesia juga mendesak untuk
dilakukan baik secara in-situ maupun ex-situ. Selain untuk keseimbangan
ekosistem, hutan dan terutama pohon adalah penyumbang karbon terbesar.
Hadirin yang saya hormati,
Salah satu landasan ilmiah yang penting dalam membahas isu perubahan
iklim saat ini adalah laporan penilaian keempat (Fourth Assessment
Report/AR4), yang diterbitkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on
Climate Change) pada tahun 2007. Dengan menggunakan berbagai data
observasi dan hasil keluaran model iklim global, laporan tersebut
menegaskan peran kontribusi kegiatan manusia (faktor antropogenik) yang
bisa mengakibatkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GHGs) di
atmosfer yang mempercepat laju peningkatan temperatur permukaan rata-
rata global hingga mencapai 0,74°C. Perubahan iklim juga akan mendampak
pada pertanian, perikanan, kesehatan, ekonomi, serta mengancam
xv
keberadaan pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir. Karena topik perubahan
iklim merupakan topik ilmiah yang perlu terus diupayakan
pengembangannya, maka forum seminar ini menjadi penting dalam konteks
pengendalian perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim terhadap peningkatan temperatur juga
mengakibatkan efek berganda (multiplier efect), seperti percepatan
perkembangbiakan nyamuk dan lalat. Sehingga mendorong terjangkitnya
penyakit demam berdarah dan disentri. Penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar penyakit manusia disebabkan oleh hewan, dan penyakit
pada hewan disebabkan oleh terganggunya keseimbangan ekosistem.
Dengan demikian penanggulangan perubahan iklim harus diletakkan pada
konteks konservasi dan menjaga keutuhan ekosistem, dan bukan semata-
mata untuk perdagangan karbon.
Hadirin yang saya hormati,
Topik perubahan iklim selain berbasis science dan merupakan isu
pembangunan juga berdimensi internasional dan nasional. Oleh karena itu
upaya pengendalian perubahan iklim tidak hanya ramai dibahas di tingkat
internasional, tetapi juga menjadi penting di lingkup Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan terbentuknya Direktorat Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim (Perpres 16/2015). Harus disadari pula
bahwa upaya pengendalian tersebut tidak cukup hanya dilaksanakan oleh
satu Direktorat Jenderal, tetapi harus merupakan upaya bersama yang
bersinergi dan terintegrasi. Dalam konteks inilah maka diskusi keterkaitan
antara pengendalian perubahan iklim dengan upaya menjaga keutuhan
ekosistem serta konservasi flora dan fauna yang kita laksanakan hari ini
harus mampu memberikan pemahaman yang sama dan rencana aksi
bersama yang lebih konkrit dan dapat dirasakan masyarakat.
Satu hal yang sangat menarik, bahwa seminar ini diselenggarakan
bertepatan diantara dua hari yang sepatutnya kita peringati bersama.
Tanggal 22 Mei yang baru saja berlalu merupakan hari Biodiversitas Dunia,
dan pada tanggal 5 Juni mendatang kita akan memperingati hari Lingkungan
Hidup Seluruh Dunia. Semangat perayaan peringatan penting tersebut
harus menjadi motor untuk mengawali dan terus berperan dalam kegiatan
nyata konservasi flora dan fauna demi mencegah semakin ekstrimnya
perubahan iklim.
xvi
Peserta yang saya hormati,
Akhirnya dengan mengucapkan Bismillahir-rohmanirrohim, seminar ini
secara resmi saya nyatakan dibuka. Selamat berdiskusi dan berkarya,
semoga seminar ini berlangsung dengan lancar sesuai harapan kita
bersama.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kepala Badan
Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, MSc
NIP.195704101989031002
xvii
RUMUSA N
Dengan memperhatikan arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan,
penyampaian materi dari “Keynote speech”, presentasi dan diskusi yang
berkembang dalam persidangan serta saran-saran dari peserta, maka
Seminar yang bertema “Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna
dengan Perubahan Iklim” yang diselenggarakan pada 28 Mei 2015 di
Manado, merumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Keanekaragaman hayati berperan mengurangi dampak negatif
perubahan iklim melalui layanan ekosistem, pengurangan karbon dari
udara, penyimpanan karbon, dan pelepasan oksigen.
2. Perubahan Iklim berdampak negatif pada keanekaragaman hayati
diantaranya adalah menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati,
hilangnya habitat, perubahan siklus hidup, dan menyebabkan terjadinya
mutasi genetik pada spesies.
3. Konservasi flora dan fauna sebagai bagian dari upaya konservasi
keanekaragaman hayati berperan dalam menjaga ekosistem hutan dan
proses penyerapan karbon yang bermuara pada pengurangan dampak
perubahan iklim yang dapat dilakukan baik melalui mitigasi maupun
upaya adaptasi.
4. Untuk meningkatkan upaya konservasi, diperlukan adanya Insentif bagi
masyarakat dan pihak-pihak yang ikut melestarikan hutan yang secara
tidak langsung dapat mengurangi dampak perubahan iklim.
5. Pentingnya penelitian yang dapat menghasilkan data dan informasi untuk
mendukung perencanaan jangka panjang, khususnya dalam mengurangi
dampak perubahan iklim.
6. Penelitian yang sudah dilaksanakan perlu dilanjutkan dengan
memperhatikan aspek manfaat yang dapat diterapkan.
7. Program penelitian memerlukan dukungan pendanaan yang perlu digali
dari berbagai sumber.
8. Penelitian terkait perubahan iklim adalah bersifat ilmiah perlu juga
memperhatikan aspek isu pembangunan berupa manfaat dan ekonomi
bagi masyarakat, aspek nasional sub nasional serta lingkup wilayah
penelitian.
xviii
Dirumuskan di: Manado
Pada tanggal: 28 Mei 2015
Tim Perumus:
Ir. Puspa Dewi Liman, M.Sc
Bambang Setiyono, S.Hut, MAP
Margaretha Christita, S.Hut
Teknologi Penanaman Rhizophora mucronata Lamk untuk ……..
Ady Suryawan., Nur Asmadi, dan Endro Subandiono
1
Teknologi Penanaman Rhizophora mucronata Lamk untuk
Mengatasi Abrasi Pulau Kecil dan Mitigasi Bencana1
Ady Suryawan2, Nur Asmadi2 dan Endro Subiandono3
ABSTRAK
Keberhasilan rehabilitasi mangrove menggunakan Rhizophora mucronata Lamk
pada areal rehabilitasi di pulau kecil masih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan teknologi penanaman R. mucronata pada areal mangrove pulau.
Penelitian dimulai 2012 s/d 2014 di Pulau Talise dan Pulau Karakelang.
Menggunakan berbagai rancangan, metode dan teknik uji coba. Parameter yang
diamati daya hidup dan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam. Hasil
penelitian menunjukan bahwa daya hidup R. mucronata dapat ditingkatkan
melalui: 1). Menggunakan propagul yang telah tua dan langsung ditanam di
lapangan, 2). Penanaman propagul sedalam 1/3 panjang batangnya, 3).
Memanfaatkan akar napas dari mangrove yang ada sebagai pancang, 4).
Menggunakan tambahan pelindung sebagai peredam ombak pada areal terbuka.
Keempat upaya tersebut terbukti nyata meningkatkan daya hidup R. mucronata.
Daya hidup tertinggi mencapai 79 % dan tinggi mencapai 148 cm setelah 16
bulan tanam.
Kata kunci: Abrasi, mitigasi, pulau kecil, penanaman, Rhizophora mucronata
I. PENDA HULUA N
Perubahan iklim memiliki dampak besar bagi suatu pulau sebagaimana
penjelasan Marschiavelli dan Niendyawati (2007) bahwa pulau akan
menerima dampak fisik antara lain : kenaikan muka air laut, cuaca ekstrim,
kekurangan air bersih, erosi/abrasi, pemutihan karang, rob dan bahaya
tsunami. Pada pulau yang tidak memiliki ekosistem mangrove akan mudah
disapu ombak dan arus musiman (Noor et al., 2006). Data 2011
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado; email : [email protected]
3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu No 5, Bogor Jawa Barat
2
menunjukkan bahwa kerusakan hutan mangrove di Sulawesi Utara telah
mencapai 10.689 ha dari 14.463 ha (BPDAS Tondano, 2011).
Hakim (2003) menyimpulkan bahwa kerusakan mangrove berpengaruh
nyata terhadap laju abrasi, laju abrasi pertahun berkisar 3,6-8,4 meter atau
rata-rata 6,03 meter pada laju kerusakan pertahun 0,32 %-1,6 % atau rata-
rata 0,79 % dari luas mangrove semula. Kathiresan dan Rajendran (2005)
menjelaskan bahwa hilangnya ekosistem mangrove terbukti menghilangkan
kekayaan keanekaragaman flora-fauna.
Naohiro et al. (2011) menjelaskan bahwa gelombang tinggi akan
menyebabkan pantai mengalami abrasi dan kondisi fisik tanah berubah.
Kondisi ini menjadi kendala dalam rehabilitasi mangrove, selain itu
keberhasilan rehabilitasi juga dipengarui oleh tinggi air laut dan kekuatan
ombak (Stanley dan Lewis, 2009; Halidah a, 2010). Disatu sisi teknik
rehabilitasi mangrove belum sepenuhnya dikuasi sebagaimana kesimpulan
Subiandono (2011) dan Anwar (2004) bahwa keberhasilan rehabilitasi
mangrove masih rendah. Hal ini nampak dari laporan Anwar (2004) yaitu
keberhasilan rehabilitasi di BRLKT Jenebereng hanya 24,3 % dan laporan
Suryawan et. al (2013) yaitu rehabilitasi mangrove di Pulau Talise hanya 56
%. Hal ini tergolong gagal menurut Nirawati et al. (2013) karena di bawah
64 %.
Menurut Pontoh (2011) kunci keberhasilan rehabilitasi mangrove adalah
partisipan dalam merehabilitasi dan mengelola ekosistem mangrove yang
dipengaruhi oleh pengetahuan dan peraturan yang ada. Menurut Halidah a
(2010) R. mucronata Lamk adalah jenis yang sering digunakan untuk
rehabilitasi dengan pertimbangan mudah disemai, benih melimpah,
sebarannya luas, selain itu menurut Anwar (2004) juga tahan terhadap arus
dan ombak. Penelitian akan mendiskusikan beberapa teknik penanaman R.
mucronata di Pulau Kecil yang telah diuji.
II. METODE PENELITIA N
A. Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan mulai tahun 2012 s/d 2014 di Pulau Talise
Kabupaten Minahasa Utara dan Pulau Talaud Kabupaten Kepulauan Talaud.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: linggis, pita meter,
parang dan gergaji. Bahan yang digunakan yaitu: propagul R. mucronata
asal Pulau Talise, bambu, dan tali.
Teknologi Penanaman Rhizophora mucronata Lamk untuk ……..
Ady Suryawan., Nur Asmadi, dan Endro Subandiono
3
C. Prosedur Kerja
Diawali dengan pengumpulan propagul yang telah tua dari sumber
benih mangrove tersertifikasi Desa Air Banua Pulau Talise. Pengukuran
dimensi propagul, penentuan batas penanaman. Pembuatan pancang dari
bambu, penanaman dan pengamatan keberhasilan berdasar jumlah yang
hidup.
Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa uji coba, studi pustaka,
dan dokumentasi. Ujicoba dilakukan sebanyak 5 kali eksperimen yaitu pada
bulan Mei, Juni, September 2012, Mei, Juni 2013. Ujicoba menggunakan
rancangan acak lengkap faktorial dan RAL menggunakan ulangan 3 kali.
Perlakuan yang diaplikasikan antara lain:
Uji coba 1. Faktor variasi kedalaman propagul (3 taraf yaitu ¼, 1/3, 1/2
panjang propagul yang ditanam) dan faktor lokasi (3 taraf yaitu
Pantai 45, Pantai Wawunian, Pantai Tambun semuanya ada di
Pulau Talise).
Uji coba 2. Faktor pola penanaman (4 taraf yaitu zigzag 0,5 x 0,5 meter,
jarak 1 x 0,5 meter, jarak penanaman 1 x 2 meter dan
penanaman berkelompok) dilakukan di Pantai 45
Uji coba 3. Faktor asal bibit (2 taraf yaitu bibit persemaian dan propagul),
faktor lokasi penanaman (4 taraf, yaitu: Pantai Wawunian,
Pantai Tambun, Pantai 45 dan Pantai Gangga) dan faktor jenis
bibit (5 taraf yaitu : R. mucronata, Bruguiera gymnorrhiza,
Rhizophora apiculata, Sonneratia alba dan Ceriops tagal)
Uji coba 4. Rancangan acak lengkap dengan perlakuan bentuk alat penguat
tanaman dengan perlakuan antara lain: menggunakan pagar
bambu lurus, pagar bambu segitiga, pagar batu lurus, pagar
batu segitia, pagar gedek, menggunakan pot dari bambu,
propagul diikat bersama dilakukan di Pantai 45.
Uji coba 5. Faktor bentuk alat penguat tanaman (menggunakan anyaman
bambu, pagar batu pendek, bambu jepit, sungkup bambu, pot
bambu, propagul diikat bersama akar napas) dan faktor lokasi
penanaman (Pantai Beo dan Pantai Alo, keduanya di Pulau
Karakelang).
D. Analisis Data
Pengolahan data dianalisa menggunakan sidik ragam uji F dengan
persamaan linear: Yij = μ + γ i + τj + ɛij (Siagian, 2011)
4
Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil uji coba dan sebagian
telah dipublikasikan. Data sekunder merupakan data hasil studi pustaka.
III. HASIL DAN PEMBAHASA N
A. Propagul atau Bibit dari Persemaian?
Hasil penelitian keberhasilan R. mucronata pada areal terabrasi
menggunakan propagul dan tanaman persemaian telah dipublikasikan dalam
Suryawan et al. (2013) sebagaimana Tabel 1 dan dijelaskan bahwa daya
adaptasi propagul lebih tinggi dibandingkan tanaman persemaian. Hal
berdasar hasil ujicoba rehabilitasi menggunakan cabutan mangrove
mengalami kegagalan hingga 100 % dan penjelasan Krauss et al. (2008)
yang mengatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki tingkat sensitifitas
yang tinggi terhadap kandungan nutrisi substrat yang ada. Ketika terjadi
perubahan lingkungan akan menciptakan stress. Hal ini terjadi bibit yang
berasal dari persemaian, dimana kondisi persemaian yang relatif mendukung
pertumbuhan (arus, salinitas, cahaya dan perawatan) dengan kondisi
lapangan yang cukup ektrem. Menurut Kusmana et al. (2003) pengangkutan
bibit juga mempengaruhi kondisi bibit, kaitannya dengan jumlah yang
diangkut, alat angkut, wadah bibit dan perlakuan bibit selama
pengangkutan.
Tabel 1. Keberhasilan R. mucronata menggunakan propagul dan persemaian
Rata – rata keberhasilan
tanaman
Bibit persemaian Bibit propagul
35 % a 56 % b
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf berbeda menunjukan berbeda nyata Sumber : Suryawan et al. (2013)
Kondisi substrat yang cocok untuk pertumbuhan R. mucronata yaitu
didominasi oleh pasir 62 % - 82,14 % (Kushartono, 2009 dan Halidah a,
2010), ketebalan lumpur rata- rata 29,73 cm (Halidah a, 2010), namun
dapat juga ditanam pada areal berlumpur dalam (Anwar, 2004), salinitas 7 -
15 ppt (Hutahean et al., 1999), tinggi genangan 0 – 30 cm dan jarak tanam
2 x 1,5 m (Halidah b, 2010). Lama penggenangan berpengaruh terhadap
akumulasi kadar garam pada substrat tersebut (Kusmana et al., 2003).
Teknologi Penanaman Rhizophora mucronata Lamk untuk ……..
Ady Suryawan., Nur Asmadi, dan Endro Subandiono
5
Sumber : suryawan
Gambar 1. Kondisi tanaman dari A) propagul langsung, B) bibit persemaian,
C) propagul siap tanam (memiliki ciri khas cincin warna kuning)
Propagul R. mucronata dapat digunakan sebagai benih yang baik
memiliki ciri – ciri panjang minimal 50 cm, telah mengalami perkecambahan
ditunjukan dengan warna kuning pada kotiledonnya (Noor et al., 2006).
Propagul yang telah tua dapat langsung digunakan sebagai tanaman (Lewis
dan Streever, 2007; Anwar, 2004; Kusmana et al., 2003) khususnya pada
areal berhumus/lumpur. Pemungutan propagul yang telah jatuh perlu
dihindari karena mudah terinfeksi hama, sedangkan umur pohon induk
minimal 8 tahun, selain itu propagul dapat diterapkan pada areal berombak
besar, propagul perlu disimpan 1 minggu untuk menghindari serangan hama
(Anwar, 2004).
B. Penanaman Propagul Sedalam 1/3 Panjang Batangnya
Keberhasilan hidup propagul dipengaruhi secara nyata oleh kedalaman
penanaman, sebagaimana Suryawan et al. (2013) menyimpulkan bahwa
kedalam optimal adalah 33 % atau 1/3 panjang propagul, hal ini sesuai
petunjuk Anwar (2004). Semakin dalam penanaman akan mengalami
tekanan respirasi karena mengalami penggenangan lebih banyak. Hal ini
telah dibahas oleh Halidah b (2010) tentang efek penggenangan terhadap
tanaman R. mucronata, semakin tinggi genangan akan menurunkan tingkat
A B C
6
hidup R mucronata. Pada penelitian ini, semakin dangkal penanaman akan
mudah tersapu oleh ombak.
Viabilitas propagul juga dipengaruhi oleh lama penyimpanan dan media
simpan yang digunakan. Menurut Liddyanisa et al. (2011) teknik
penyimpanan terbaik adalah menggunakan media simpan sabut kelapa dan
disimpan pada ruangan yang ada pengatur suhu dan kelembaban (AC)
dapat bertahan hingga 4 minggu. Kondisi penyimpanan ini perlu
diperhatikan dalam upaya rehabilitasi yang membutuhkan jumlah besar.
Masa panen R. mucronata sepanjang tahun (Noor et al., 2006), sedangkan
panen raya pada bulan September hingga Nopember (Brown et al., 2006).
Memanfaatkan akar pasak dari mangrove yang ada sebagai pancang,
Hasil ujicoba menunjukan bahwa pada bulan pertama, propagul
memiliki rata-rata hidup sebesar 99 % dengan kisaran 96 % - 100 %, dan
menjadi 68 % pada bulan ke 16 setelah tanam. Daya hidup ini tergolong
dalam keberhasilan sedang (Nirawati et al., 2013). Faktor ikatan diduga
menjadi faktor utama bagi perkembangan propagul menggunakan metode
ini. Metode ini memerlukan perawatan pada interval bulan tertentu untuk
melepaskan ikatan yang ada agar tidak menjadi penghambat dalam
pertumbuhan
Akar pasak merupakan akar yang muncul dari sistem akar horizontal
yang memanjang keluar ke arah udara berbentuk pensil/pasak (Noor et al.,
2006). Penampang akar pasak pada Gambar 2 menggambarkan fisiologi
akar dan pada Gambar 3 nampak keberhasilan tanaman R. mucronata
menggunakan akar pasak sebagai pancang tanaman.
Sumber : Faturohman 2011
Gambar 2. Penampang akar pasak
Teknologi Penanaman Rhizophora mucronata Lamk untuk ……..
Ady Suryawan., Nur Asmadi, dan Endro Subandiono
7
Pemanfaatan akar pasak sebagai pancang propagul didukung oleh
Lekatompessy dan Tutuhatunewa (2010) yang membuktikan bahwa akar
napas mangrove dapat merefleksikan gelombang, yaitu semakin besar
kerapatan dan ketebalan mangrove akan semakin mereduksi koefisien
refleksi gelombang. Jarak efektif untuk menjerap sedimentasi dan
perubahan garis pantai adalah 0,095 m (Endah, 2002 dalam Lekatompessy
dan Tutuhatunewa, 2010). Akar pasak memiliki tingkat kerapatan yang
mendekati jarak pohon efektif.
Sumber : suryawan dan halawane
Gambar 3. Penanaman pada akar napas A) umur 4 bulan tanam, B) umur 16
bulan
C. Menggunakan Tambahan Pelindung sebagai Peredam Ombak
Berdasarkan hasil uji sidik ragam semua bentuk peredam ombak yang
diterapkan, menunjukkan variasi nyata dari parameter keberhasilan.
Keberhasilan diukur dari jumlah propagul mengalami pertumbuhan tanaman.
Kegagalan yang terjadi karena propagul menjadi kering atau tercabut dari
substratnya.
Keberhasilan tertinggi didapat dari peredam ombak berbentuk kerucut
sebagaimana ditunjukan Gambar 4 yaitu tanaman umur 0 bulan dan 16
bulan, keberhasilan mencapai 79 % dengan pertumbuhan tinggi berkisar
antara 123-151 cm. Bambu yang digunakan adalah belahan bambu selebar
3 cm dan panjang 60 cm kemudian setiap 7 belah bambu ditanam
membentuk kerucut. Bambu yang telah membetuk kerucut diikat pada ujung
dan ditengah atau + 20 cm dari permukaan tanah tali menghubungkan
antara belahan bambu satu dengan lainnya. Setelah bambu ditanam,
A B
8
propagul ditancapkan sedalam 1/3 panjangnya, 7 propagul diantara belahan
bambu tersebut dan 1 propagul ditengah.
Bentuk bambu jepit menghasilkan keberhasilan yang tinggi namun
karena pengaruh jepitan yang kuat menyebabkan stres pertumbuhan
propagul. Penggunaan anyaman bambu menyebabkan hilangnya substrat
dan propagul yang tertanam. Penggunaan pot bambu menyebabkan
keberhasilan tanaman relatif tinggi, namun seiring waktu tanaman
mengalami kekeringan, diduga kekurangan unsur hara di dalam pot bambu
tersebut.
Sumber: Suryawan dan Asmadi
Gambar 4. Pertumbuhan R. mucronata, A) umur 0 bulan, B) umur 16 bulan.
Menurut Kurniawan et al. (2012) sepanjang tahun baik monsun Asia,
Australia maupun peralihannya, daerah kepulauan Sangihe – Talaud
termasuk dalam daerah rawan gelombang tinggi. Hal ini menjadi faktor
penghambat bagi regenerasi di ekosistem mangrove, sebagaimana
penjelasan Halidah a (2010); Stanley dan Lewis (2009) ; dan Rahman
(1991) bahwa bibit mangrove perlu dilindungi dari serangan gelombang
selama masa pertumbuhan. Selaian gelombang tinggi, kenaikan air laut juga
menjadi ancaman bagi ekositem pesisir, sehingga perlu adanya penghalang
di sekitar pantai dengan ketinggian 0-5 meter (Marschiavelli dan
Niendyawati, 2007).
Kraus (2012) mengatakan bahwa bambu pagar dan pemecah
gelombang menjadi inovasi pendekatan dalam rehabilitasi mangrove.
Yulistiyanto (2009) menyimpulkan bahwa bentuk pagar lurus dan
melengkung sebagai pelindung mangrove harus ditambah tiang miring
sebagai penyangga. Pembuatan pagar bambu telah dijelaskan secara detail
oleh Albers (2012) mulai dari persiapan, pemasangan, perakitan hingga
kontrol kekuatan menggunakan serangkaian test. Bentuk peredam ombak
menurut Rahman (2008) pagar berbentuk cengkung dengan perbandingan
A B
Teknologi Penanaman Rhizophora mucronata Lamk untuk ……..
Ady Suryawan., Nur Asmadi, dan Endro Subandiono
10
DAFTAR PUSTAKA
Albers, T. (2012). Instalation of Bamboo Fences. Belanda: Deutsche
Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH.
Anwar, C. (2004). Teknologi rehabilitasi lahan terdegrasi. Ekspos Penerapan Hasil Litbang Hutan dan Konservasi Alam (hal. 53-64). Palembang:
Badan Litbang Kehutanan.
BPDASTondano. (2011). Rtk-RHL Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai
(Rtk-RHL MSP) Propinsi Sulawesi Utara. Rapat Fasilitasi Kelompok
Kerja Mangrove Daerah Propinsi Sulawesi Utara. Manado.
Brown, B., Hakim, T. L., Ibnu et al. (2006). 5 Tahap Rehabilitasi : Petunjuk
Teknis Rehabilitasi Hidrologi Mangrove. Yogyakarta: Mangrove
Action Project dan Yayasan Rumput Laut Indonesis.
Chambers, R. (1996). PRA (Participatory Rursal Apprasial) Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
Faturohman, 2011. Resume ekologi laut tropis energi habitat relung dan
adaptasi. di unduh dari
https://faturohmanikhsan.wordpress.com/2011/04/04/resume-
ekologi-laut-tropis-energi-habitat-relung-dan-adaptasi/
Hakim, I. (2003). Hubungan kerusakan hutan mangrove dengan abrasi
(studi kasus : di Pantai Utara Pulau Bengkalis, Propinsi Riau). Thesis
tidak dipublikasi, Universitas Indonesia, DKI Jakarta, Ilmu
Lingkungan.
Halidah. (2010). Pengaruh tinggi genangan dan jarak tanam terhadap
pertumbuhan anakan Rhizophora mucronata Lam. di pantai barat.
Jurnal Penelitian Hutan dan Knnservasi Alam 7 (1), 25 -34.
Halidah. (2010). Pertumbuhan Rhizophora mucronata Lamk pada Berbagai
Kondisi Substrat di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Sinjai Timur
Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7(4) , 399-412.
Hutahaean E. E., C. Kusmana dan Dewi, H. R. (1999). Studi kemampuan
tumbuh anakan mangrove jenis Rhizophora mucronata, Bruguiera gimnorrhiza dan Avicennia marina pada berbagai tingkat salinitas.
Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 5 (1), 77-85.
Kathiresan, K dan Rajendran, N. (2005). Environmental drivers in mangrove.
Indian Journal of Marine Sciences, 34 (1), 104-113.
Krauss, K.W., Lovelock, C. E., McKee, K. L., Lopez-Hoffman, L., Ewe, S. M. L.
dan Sousa, W. P. (2008). Environmental Drivers In Mangrove
Stablishment And Early Development : A review. E journal Elsevier, Aquatic Botany, 89, 105-127.
Kurniasari, T. (t.thn.). Flyer I Mempersiapkan Bibit Mangrove (UNEP). Bogor:
Wetland International, Green coast, Unep dan Oxfam.
Teknologi Penanaman Rhizophora mucronata Lamk untuk ……..
Ady Suryawan., Nur Asmadi, dan Endro Subandiono
11
Kurniawan, R., Habibie, M. N. dan Permana, D. S. (2012). Kajian daerah
rawan gelombang tinggi di perairan Indonesia. Jurnal Meteorologi
dan Geofisika, 13(3) , 201-212.
Kushartono, E. (2009). Beberapa aspek bio fisik kimia tanah di daerah
Mangrove Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang. Jurnal Kelautan,
14(2), 76-83.
Kusmana, C., Wilarso, S., Hilwan, I. et al. (2003). Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Institute Pertanian Bogor.
Lekatompessy, STA dan Tutuhatunewa, A. (2010). Kajian konsrtuksi model
peredam gelombang dengan menggunakan mangrove di Pesisir
Lateri - Kota Ambon. Jurnal Arika, 4(1), 51-60.
Lewis R.R dan Streever, B. (2007). Restoration of Mangrove Berwawasan Lingkungan. Jakarta: MAP - Indonesia.
Manado, B. P. (2014). Mangrove : Kebijakan, Ekologi, Identifikasi, Persemaian, Rehabilitasi dan Pemanfaatan Hasil HUtan Bukan Kayu [materi diklat peningkatan kompetensi bidang mangrove]. Manado:
Balai Penelitian Kehutanan Manado [tidak dipublikasikan].
Marschiavelli, M. I. C. dan Niendyawati. (2007). Penilaian keterancaman
terhadap bencana bagi Pulau Makelehi, Sulawesi Utara, Indonesia.
Jurnal Malaysia Society and Space, 3, 106-114.
Murtiono, U. H., Tjakrawarsa, G. dan Pahlana, U. W. H. (2012) Kajian peran
dominasi jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut di
Segara Anakan Cilacap. Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPTKPDAS. Surakarta, 5 September 2012.
Naohiro M., Putth, S. dan Keiyo, M. (2011). Mangrove rehabilitation on
highly eroded coastal shorelines at Samut Sakhon, Thailand.
International Journal of Ecology,2012, Article ID 171876, 11 pages.
Nirawati, Nurkin, B. dan Putranto, B. (2013). Evaluasi keberhasilan
pertumbuhan tanaman pada kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan
(GRNHL) di Taman Nasional Bantiumurung Bulusaraung. Jurnal Sain
dan Teknologi, 13(2), 175-183.
Noor. Y. R., Khazali, M. dan Suryadiputra, I. N. N. (2006). Panduan
Pengenalan Jenis Mangrove di Indonesia. IPB: Wetland International
Indonesia Program.
Pontoh, O. (2011). Peranan nelayan terhadap rehabilitasi ekosistem hutan
bakau (mangrove). Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, 8(2),
73-79.
Rahman, S. (2008). Koefisien seret gaya gelombang pada APO dengan
tambahan gedhek. Media Teknik Sipil, 91-98.
Satriadi, A. (2004). Jenis dan karakteristik sedimentasi daerah mangrove di
Pantai Kabongan Lor Kabupaten Rembang. Laporan Penelitian (p-
12
11), Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro. Semarang.
Schmitt, K. (2012). Innovative approaches to mangrove rehabilitation and
management. Management of Natural Resources in the Coastal Zone of Trang Province, Vietnam 18 Juli 2012 (p. 11 slide). Seite:
GIZ CZM Project, Soc Trang, Vietnam dan German Federal Ministry
of Economic Cooperation and Development.
Siagian, P. (2011). Pengolahan dan Analisis Data . Dalam Modul Pendidikan
dan Pelatihan Fungsional Peneliti Tingkat Pertama (hal. 30 Slide).
Cibinong: Pusbindiklat - LIPI.
Stanley O. D. dan Lewis, R. R. (2009). Strategies for mangrove rehabilitation
in an Eroded Coastline Of Selangor, Peninsular Malaysia. Journal of
Coastal Development 12(3), 142-154.
Subiandono, E. (2011). Pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai.
Dalam B. L. Kehutanan, Rencana Penelitian Integratif. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan .
Suryawan A., Broto, B. W. dan Mayasari, A. (2013). Konservasi ekosistem
pulau kecil melalui rehabilitasi mangrove menggunakan propagul
Rhizophora mucronata Lamk. dalam Seminar Nasional Ekologi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati (hal. 129 - 134). Makasar:
UNHAS dan TN Bantimurung Bulusaraung.
Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan ……..
Nurlita Indah Wahyuni, Ady Suryawan, dan Arif Irawan
13
Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan
di Sulawesi Utara1
Nurlita Indah Wahyuni2, Ady Suryawan2 dan Arif Irawan2
Abstrak
Partisipasi Indonesia dalam upaya mitigasi dan adaptasi dampak perubahan
iklim telah diwujudkan dalam beberapa kebijakan antara lain rencana aksi
nasional penurunan emisi gas rumah kaca. Salah satu kegiatannya di sektor
penggunaan lahan adalah pengembangan data acuan perkiraan emisi dari
biomasa tumbuhan akibat perubahan penggunaan lahan. Kajian ini bertujuan
untuk mengetahui cadangan karbon pada beberapa tipe ekosistem hutan di
Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan di empat lokasi yaitu Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)
Poigar, Taman Nasional Bunaken (TNB) dan bekas pengusahaan hutan Wana
Saklar. Data biomasa diperoleh dengan cara pengukuran tiga carbon pool yaitu
biomasa atas permukaan, nekromasa, dan serasah. Hasil pengukuran
menunjukkan rata-rata cadangan karbon di hutan konservasi sebesar 588,35 ton
C/ha, hutan mangrove sebesar 268,76 ton C/ha dan hutan produksi sebesar
83,64 ton C/ha.
Kata kunci: cadangan karbon, hutan, Sulawesi Utara
I. PENDA HULUA N
Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental
Panel on Climate Change, IPCC) seperti dikutip oleh Bappenas (2013) dalam
laporannya pada tahun 2007 menegaskan peran kontribusi kegiatan
manusia dalam meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca. Kondisi inilah
yang mempercepat laju peningkatan temperatur global dan diyakini telah
mengakibatkan perubahan iklim. Perubahan iklim di Indonesia ditandai
dengan kenaikan suhu yang meningkat setelah tahun 1960, kenaikan muka
air laut 0,8 mm/tahun periode 1960 hingga 2008, penurunan curah hujan
yang signifikan di hampir seluruh wilayah Indonesia pada bulan Juni, Juli
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan
Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jln. Raya
Adipura, Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Manado; Email: [email protected]
14
dan Agustus, serta peningkatan peluang curah hujan ekstrim harian di
sebagian wilayah Indonesia dalam kurun waktu 1998-2008 (Bappenas,
2013).
Mitigasi dan adaptasi dilakukan untuk mengantisipasi dampak
perubahan iklim. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.46 Tahun 2008
menyebutkan mitigasi perubahan iklim adalah usaha pengendalian untuk
mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat
menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari
berbagai sumber emisi. Kemudian Perpres No. 61 Tahun 2011 menyebutkan
sektor berbasis lahan secara historis tercatat sebagai penyumbang emisi
nasional terbesar sehingga penurunan emisi terbesar (87 %) ditargetkan
berasal dari penggunaan dan pengelolaan hutan dan lahan gambut. Tingkat
ketergantungan terhadap sektor berbasis lahan termasuk lahan hutan di
Indonesia cukup tinggi, hal ini menyebabkan deforestasi dan degradasi
menjadi isu penting di Indonesia (Suryanto, 2012).
Deforestasi dan degradasi meningkatkan emisi, sedangkan aforestasi,
reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan serapan. Emisi
gas rumah kaca yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari
deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian,
perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi
(penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting,
perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan (Masripatin,
2007). Ketersediaan data perubahan penggunaan lahan dan faktor emisi dan
serapan lokal mempengaruhi tingkat akurasi dan kerincian hasil
inventarisasi. Sehingga penyediaan data cadangan karbon dan
perubahannya diperlukan agar pengurangan emisi dapat diukur, dilaporkan
dan diverifikasi.
Masripatin dkk (2010) merangkum hasil penelitian cadangan karbon
hutan pada berbagai kelas penutupan lahan di Indonesia. Cadangan karbon
di hutan alam berkisar antara 7,5 - 264,70 ton C/ha dan pada kawasan non
hutan pada berbagai jenis tanaman dan umur berkisar antara 0,7-932,96
ton C/ha. Kementerian Kehutanan (2013) mencatat luas kawasan hutan di
Sulawesi Utara mencapai 76 % wilayah provinsi, dengan penutupan lahan
berupa hutan sebesar 40,9 %. Hutan merupakan salah satu penampung
karbon terbesar yang dapat menjaga daur karbon dengan menyerap dan
menyimpan, namun di lain pihak hutan juga sumber emisi, salah satunya
dari deforestasi (Masripatin, 2007). Penanganan perubahan iklim di
Indonesia telah dilaksanakan sampai tingkat sub nasional, di Sulawesi Utara
Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan ……..
Nurlita Indah Wahyuni, Ady Suryawan, dan Arif Irawan
15
Rencana Aksi Daerah untuk penurunan emisi ditetapkan dalam Peraturan
Gubernur No.323 Tahun 2012. Penghitungan emisi pada bidang kehutanan
memerlukan informasi faktor emisi yang diperoleh dari nilai cadangan
karbon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cadangan karbon hutan
pada beberapa tipe vegetasi hutan di Sulawesi Utara.
II. METODE PENELITIA N
A. Waktu dan Lokasi
Pengambilan data dilaksanakan pada tahun 2012, 2013 dan 2014 di
empat lokasi yaitu Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW),
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Poigar, Taman Nasional
Bunaken (TNB) dan bekas pengusahaan hutan Wana Saklar, Bolaang
Mongondow Utara.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
16
Tabel 1. Deskripsi lokasi plot pengukuran
Tahun Lokasi Deskripsi Jumlah
plot
2012 TN Bogani Nani Wartabone
Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Doloduo dan SPTN III
Maelang 426 -1015 m dpl
60
2013 KPHP Poigar
(HL Tanjung Walintau)
Hutan mangrove Desa Blongko 15
TN Bunaken
(HL Tanjung Pisok)
Zona perlindungan bahari Seksi I
Meras Desa Tiwoho
15
2014 KPHP Poigar
(HP Inobonto)
Hutan produksi Inobonto Poigar I,
Blok pemberdayaan elevasi 159 m dpl – 437 m dpl
31
Eks HPH Wanasaklar
(Nunuka)
Hutan bekas tebangan dan hutan
yang telah dirambah masyarakat kemudian ditinggalkan
(HPH Wanasaklar, berhenti beroperasi tahun 1980-an)
elevasi 480 m dpl
30
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dan menjadi obyek dalam kegiatan penelitian ini
terdiri dari ekosistem hutan dataran rendah dan hutan mangrove. Peralatan
yang digunakan antara lain peta kerja, kamera, tali rafia, tali tambang
plastik spesimen, gunting tanaman, parang, wadah contoh, timbangan
digital, pita ukur, kaliper, GPS, tally sheet, alat tulis, komputer dan oven.
Prosedur penelitian
Pengumpulan data untuk mengetahui cadangan karbon dilakukan
melalui pengukuran langsung di lapangan dengan pengambilan sampel acak.
Metode yang digunakan mengacu pada Hairiah dan Rahayu (2007) serta SNI
7724:2011. Khusus untuk tingkat pohon, plot ukur pada tahun 2012
berukuran 5 x 40 m (pohon berdiameter 5 - 30 cm) dan 20 x 100 m (pohon
berdiameter >30 cm). Plot berukuran 20 m x 20 m dengan interval 50 m,
dan interval 25 m di hutan mangrove. Contoh serasah dan tumbuhan bawah
dikumpulkan pada sub plot berukuran 1 m x 1 m, dan semua nekromasa
yang ditemukan dalam plot diukur dimensi diameter dan panjang serta
diambil contoh kayunya.
Terdapat tiga carbon pools yang diukur yaitu biomasa di atas
permukaan tanah (above ground biomass) berupa pohon dan tumbuhan
Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan ……..
Nurlita Indah Wahyuni, Ady Suryawan, dan Arif Irawan
17
bawah, serasah (litter) dan pohon mati atau kayu mati (necromass).
Biomasa pohon dihitung menggunakan persamaan alometrik, sedangkan
biomasa serasah dan nekromasa dihitung menggunakan pendekatan berat
kering dan berat basah contoh. Vegetasi tingkat pohon, tiang dan pancang
diukur diameter setinggi dada (dbh). Komponen biomasa lainnya yaitu
tumbuhan bawah, serasah, semai dan nekromasa, diambil contohnya
kemudian dilakukan penimbangan berat basah, pengeringan dan
penimbangan berat kering. Proses pengeringan contoh dengan
menggunakan oven pada suhu 85°C selama 24 jam.
Persamaan alometrik untuk menghitung biomasa pohon:
TDW = 0,11ρ(D)2,62 (Kettering et al., 2001) .......................................... (1)
Pohon mangrove secara umum:
TDW = 0,251ρDBH2,46 Komiyama et al. (2005) ..................................... (2)
Mangrove jenis Avicennia marina:
TDW = 0,2901(DBH)2,2605 Dharmawan dan Siregar (2009) ..................... (3)
Mangrove jenis Rhizophora apiculata
TDW = 0,235(DBH)2,42 Imbert dan Rollet (1989) dalam Komiyama et al.
(2008) ................................................................................................ (4)
Keterangan:
TDW : total dry weight (kg)
D : diameter pohon setinggi dada (cm)
ρ : berat jenis kayu (gr/cm3)
H : tinggi total pohon (m)
Persamaan untuk menghitung biomasa tumbuhan bawah dan serasah:
............................................................................ (5)
Keterangan:
Bo : berat bahan organik (kg)
Bks : berat kering contoh (kg)
Bbt : berat basah total (kg)
Bbs : berat basah contoh (kg)
18
Persamaan untuk menghitung biomasa nekromasa:
.................................................................................... (6)
Keterangan:
Bn : bahan organik pohon mati atau kayu mati (kg)
Vn : volume pohon mati (m3)
BJn : berat jenis kayu pohon mati atau kayu mati (kg/m3)
Data berat jenis kayu diperoleh melalui penelusuran pustaka melalui
PROSEA (Plant Resources of South East Asia), wood density database ICRAF
(World Agroforestry Centre) dan Zanne et al. (2009). Nekromasa merupakan
bagian pohon mati atau kayu mati yang sulit diketahui jenis pohonnya.
Sehingga berat jenis nekromasa diperoleh dari pembagian volume dengan
berat kering contoh nekromasa. Hasil perhitungan tiap komponen biomasa
dikonversi dari satuan kg menjadi ton/ha. Kemudian cadangan karbon
dihitung dengan cara mengalikan biomasa dengan konsentrasi karbon
organik sebesar 0,47.
III. HASIL DAN PEMBAHASA N
A. Penghitungan Biomasa Hutan
Di dalam penelitian ini terdapat tiga carbon pool yang diukur, yaitu
biomasa atas permukaan (pohon dan tumbuhan bawah), nekromasa dan
serasah. Total cadangan karbon dalam plot pengukuran merupakan
penjumlahan tiap komponen, yaitu biomasa atas permukaan (pohon, semai,
tumbuhan bawah), biomasa serasah, biomasa nekromasa (kayu mati dan
pohon mati) serta kandungan karbon organik tanah. Biomasa didefinisikan
sebagai masa (berat) organisme hidup yang terdiri atas tumbuhan dan
hewan yang terdapat pada suatu areal (Agus et al., 2013). Hasil pengukuran
cadangan biomasa dan karbon tercantum dalam Tabel 2. Total biomasa
hutan dataran rendah tertinggi hingga terendah berturut-turut ditemukan di
TN BNW (Bogani) 1.251,81 ton/ha, bekas HPH Wana Saklar Bolaang
Mongondow Utara (Nunuka) 266,67 ton/ha dan KPHP Poigar (Inobonto)
89,25 ton/ha.
Biomasa pohon hutan dataran rendah tertinggi sejumlah 1.245,43
ton/ha berada di Bogani, sedangkan biomasa terendah berada di Inobonto
sebesar 83,57 ton/ha. Berdasarkan hasil pengukuran, pada ketiga lokasi
biomasa terbesar sekitar 94 % - 99 % merupakan biomasa pohon.
Begitu pula biomasa tumbuhan bawah terbesar 0,8 ton/ha terdapat di
Bogani, dan terendah di Inobonto sebesar 0,14 ton/ha.
Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan ……..
Nurlita Indah Wahyuni, Ady Suryawan, dan Arif Irawan
19
Sedangkan biomasa serasah di ketiga lokasi tidak jauh berbeda bernilai
antara 4,99 ton/ha sampai 5,57 ton/ha. Serasah ini akan menjadi sumber
hara bagi tegakan hutan setelah mengalami proses penguraian atau
dekomposisi. Proctor (1983) dalam Aprianis (2011) menyebutkan faktor
yang mempengaruhi jatuhan serasah baik dalam jumlah maupun
kualitasnya, adalah keadaan lingkungan (iklim, ketinggian, kesuburan
tanah), jenis tanaman (hutan alam dan hutan buatan) dan waktu (musim
dan umur tegakan).
Tabel 2. Rata-rata biomasa dan karbon di lokasi pengukuran
Komponen biomasa
Lokasi dan tipe hutan
TN
Bogani Nani
Warta-bone
(Bogani)
KPHP Poigar
(Inobonto)
Bolaang Mongondow
Utara (Nunuka)
KPHP Poigar
(Walin-tau)
TN Bunaken
(Tiwo-ho)
Hutan Dataran Rendah Hutan Mangrove
Pohon *(ton/ha) 1,245.43 83.57 261.21 949.11 183.09
Tumbuhan Bawah*
(ton/ha) 0.80 0.14 0.23 1.51 1.97
Serasah (ton/ha) 5.57 5.51 4.99 1.06 1.24
Nekromasa (ton/ha) 0.02 0.02 0.24 0.17 5.52
Total biomasa
(ton/ha) 1,251.81 89.25 266.67 951.84 191.81
Total karbon (ton C/ha)
588.35 41.95 125.34 447.37 90.15
Keterangan: * biomasa atas permukaan, Sumber: data primer
Biomasa nekromasa tertinggi ditemukan di Nunuka yang besarnya 10
kali lipat dibandingkan biomasa di Bogani dan Inobonto. Hal ini
dimungkinkan karena nekromasa yang ditemukan dalam plot pengukuran
berasal dari pohon yang mati alami dan bekas tebangan. Secara umum
hutan lahan kering primer mampu menyimpan karbon lebih besar
dibandingkan hutan sekunder (Masripatin dkk, 2010). Baik hutan di Bogani
maupun di Inobonto dan Nunuka termasuk hutan dataran rendah dengan
tipe penutupan lahan hutan lahan kering sekunder, namun rata-rata
cadangan biomasa dan karbon hutan pada hutan dataran rendah Bogani
lebih besar dibandingkan Inobonto dan Nunuka. Berdasarkan data penelitian
ini, perbedaan cadangan biomasa dan karbon dipengaruhi oleh kondisi
tegakan, jumlah pohon dalam plot pengukuran dan besar diameter pohon.
20
Gambar 2. a). Tumbuhan bawah, b). Nekromasa pohon mati, c). Serasah
Biomasa hutan mangrove di Walintau lebih besar dibandingkan di
Tiwoho. Pada hutan mangrove, beberapa komponen biomasa yaitu semai,
tumbuhan bawah, nekromasa dan serasah hanya ditemukan pada beberapa
plot. Berdasarkan hasil penghitungan diperoleh rata-rata biomasa mangrove
di Walintau lebih besar dibandingkan biomasa mangrove di Tiwoho. Nilai ini
didominasi oleh biomasa pohon yaitu 99,89 % terhadap total biomasa di
seluruh plot pengukuran. Penelitian biomasa mangrove lainnya di kawasan
TN Bunaken oleh Murdiyarso dkk (2009) di bagian pesisir Arakan -
Wawontulap menunjukkan rata-rata biomasa atas permukaan sebesar
132,33 ton/ha dan sebesar 86,95 ton/ha di Kelurahan Meras (Ahmad, 2011).
Bila dibandingkan dengan dua kajian di atas, hasil perhitungan biomasa atas
permukaan dalam kajian ini lebih besar.
Gambar 3. Pengumpulan data biomasa mangrove
Biomasa mangrove bervariasi pada tiap lokasi dan spesifik karena
terkait dengan kondisi lingkungan dan tegakan. Mangrove primer tentu akan
berbeda dengan mangrove sekunder, demikian pula mangrove tegakan
muda dengan tegakan tua. Kusmana (2002) dalam Dharmawan dan Siregar
(2008) menyebutkan mangrove memiliki potensi besar dalam menyerap
karbon, hal ini berdasarkan produksi bersih dengan biomasa total (62,9 -
a b c
Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan ……..
Nurlita Indah Wahyuni, Ady Suryawan, dan Arif Irawan
21
398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8 - 25,8 ton/ha/tahun), dan riap volume
(9 m3/ha/tahun) pada tegakan hutan mangrove umur 20 tahun.
Pada seluruh lokasi pengukuran, diketahui biomasa suatu tegakan
sebagian besar disusun oleh biomasa pohon yang nilainya berkisar antara
94-99 % dari total biomasa. Persentase komponen biomasa lainnya
bervariasi pada tiap lokasi. Bila dibandingkan dengan tumbuhan bawah,
serasah memiliki biomasa (mencapai 0,65 %) yang lebih besar karena selain
tersusun dari daun juga ranting-ranting. Sedangkan nekromasa berupa
batang kayu mati dapat menyusun hingga 2,9 % total biomasa. Berdasarkan
persentase tersebut, deforestasi sekecil apapun akan berdampak signifikan
terhadap cadangan karbon hutan karena sebagian besar berupa biomasa
pohon.
Cadangan karbon
Rochmayanto dkk (2014) merangkum hasil penelitian cadangan karbon
di Indonesia, khusus bioregion Sulawesi sudah dikaji biomasa dan karbon
pada hutan lahan kering, hutan mangrove dan hutan tanaman. Disebutkan
rata-rata cadangan karbon hutan lahan kering sekunder 145,08 ton C/ha,
dan cadangan karbon hutan mangrove sekunder 92,80 ton C/ha. Pada hutan
lahan kering sekunder di lokasi Bogani, cadangan karbonnya lebih besar
yaitu 588,35 ton C/ha, sebaliknya cadangan karbon di Inobonto dan Nunuka
lebih kecil. Cadangan karbon hutan mangrove sekunder di Walintau lebih
besar dibanding rata-rata tersebut, dan karbon mangrove Tiwoho tidak
berbeda jauh. Penurunan cadangan karbon antara lain disebabkan oleh
gangguan hutan berupa kebakaran, pemanenan kayu, konversi lahan dan
aktivitas lainnya.
Data cadangan karbon dapat dikonversi menjadi CO2eq dengan
menggunakan konstanta konversi sebesar 3,67. Jumlah CO2eq yang
tersimpan oleh vegetasi hutan di lokasi penelitian berkisar antara 153,95 –
2.159,25 ton CO2eq pada hutan lahan kering sekunder dan 330,86 –
1.641,84 ton CO2eq pada hutan mangrove sekunder. Nilai CO2eq ini bisa
menggambarkan serapan karbon apabila digunakan stok karbon tunggal
dengan asumsi seluruh stok karbon telah habis akibat deforestasi
(pembukaan lahan) dan diketahui dengan pasti waktu deforestasi tersebut.
Sedangkan untuk kegiatan REDD+ lainnya seperti degradasi hutan,
perubahan stok karbon harus diperoleh dari dua kali pengukuran stok
karbon atau satu kali pengukuran dan pemodelan dinamika hutan
(Kemenhut; UN-REDD; FAO; UNDP; UNEP, 2012).
22
Gambar 4. CO2eq tersimpan di tiap lokasi pengukuran
Lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan faktor emisi dari
kegiatan degradasi hutan maka diperlukan data net emission dari
setiap jenis degradasi hutan. Misalnya jenis degradasi dari kegiatan
penebangan, faktor emisi untuk kegiatan ini memerlukan data karbon
yang hilang pada waktu penebangan dan data pertambahan stok
karbon selama rotasi tebang sebagai hasil dari pertumbuhan. Selisih
pengurangan dan penambahan stok karbon selama rotasi tebang ini
merupakan net emission yang selanjutnya dianggap sebagai faktor emisi
dari kegiatan degradasi hutan berupa penebangan.
Ekosistem hutan memiliki kemampuan untuk hidup dan tumbuh dinamis
dalam proses suksesi, maka terdapat perbedaan pertumbuhan riap volume
tegakan serta struktur dan komposisi spesifik tiap lokasi. Suatu tipe vegetasi
hutan yang sama namun terletak di lokasi lain dapat memiliki cadangan
biomasa dan karbon yang berbeda. Pada hutan bekas tebangan semakin
lama proses suksesi sejak tebangan berlangsung, maka biomasanya juga
semakin besar. Dharmawan dan Samsoedin (2012) mengkaji proyeksi
biomasa dan karbon pada hutan bekas tebangan di Indonesia menyimpulkan
pada hutan bekas tebangan umur 40 tahun akan memiliki potensi tegakan
biomasa yang hampir sama dengan potensi di hutan alam primer.
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500 2,159.25
153.95
459.99
1,641.84
330.86
Jum
lah
CO
2e
q t
ers
imp
an (
ton
/ha)
Lokasi
CO2eq tersimpan
Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan ……..
Nurlita Indah Wahyuni, Ady Suryawan, dan Arif Irawan
23
KESIMPULA N DAN SARAN
A. KESIMPULA N
Rata-rata cadangan karbon dalam penelitian ini adalah hutan lahan
kering sekunder 588,35ton C/ha di TN Bogani Nani Wartabone, hutan
mangrove 447,37 ton C/ha di KPHP Poigar dan 90,15 ton C/ha di TN
Bunaken, serta hutan produksi 39,28 ton C/ha di KPHP Poigar dan 117,14
ton C/ha di bekas pengusahaan hutan Wana Saklar. Cadangan karbon pada
kawasan konservasi lebih tinggi, namun vegetasi pada hutan sekunder
bekas penebangan masih terus tumbuh dan berpotensi menyerap karbon
lebih banyak.
B. SARAN
Pencegahan deforestasi dapat meminimalkan penurunan cadangan
biomasa dan karbon karena sebagian besar biomasa terdiri dari biomasa
pohon. Penambahan cadangan biomasa melalui kegiatan rehabilitasi perlu
ditingkatkan terutama pada lahan produktif. Data cadangan karbon akan
lebih lengkap jika dilakukan pengukuran pada lima carbon pools yaitu
biomasa atas permukaan, biomasa bawah permukaan, serasah, nekromasa
dan bahan organik tanah. Perlu metode pengukuran dan pemantauan yang
lebih efisien misalnya dengan memanfaatkan data penginderaan jauh untuk
pemantauan pada skala yang luas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Penelitian Kehutanan
Manado yang telah mendanai penelitian ini melalui Rencana Penelitian
Integratif pada DIPA tahun 2012, 2013 dan 2014. Penghargaan juga kami
sampaikan kepada Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Balai
Taman Nasional Bunaken, Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Poigar,
masyarakat Desa Nunuka dan semua pihak yang telah membantu
pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. I. Santosa, S. Dewi, P. Setyanto, S. Thamrin, Y. C. Wulan, F.
Suryaningrum (eds.). 2013. Pedoman Teknis Penghitungan Baseline
Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Lahan: Buku I
Landasan Ilmiah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Republik Indonesia, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia 7724:2011
tentang pengukuran dan penghitungan cadangan karbon -
24
pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan
(ground based forest carbon accounting)
Bappenas. 2013. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-
API). Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia. Kementrian
PPN/Bappenas. Jakarta
Dharmawan, IWS dan Chairil A.Siregar. 2008. Karbon tanah dan pendugaan
karbon tegakan Avicennia marina (Forsk.) Vierh. di Ciasem
Purwakarta.Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol.V
No.4:317-328.
Dharmawan, IWS dan Ismayadi Samsoedin. 2012. Dinamika potensi
biomasa karbon pada lanskap hutan bekas tebangan di Hutan
Penelitian Malinau. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Vo;.9 No.1 Maret 2012, Hal.12-20. Bogor
Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran „Karbon Tersimpan‟ di Berbagai
Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre –
ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Indonesia. 77
p.
Kementerian Kehutanan, UN-REDD, FAO, UNDP dan UNEP. 2012.
Penyempurnaan National Forest Inventory untuk inventarisai stok
dan estimasi emisi karbon hutan tingkat provinsi. Jakarta.
Kementerian Kehutanan. 2013. Statistik Kementerian Kehutanan 2013.
Kementerian Kehutanan. Jakarta
Ketterings, Q.M., Coe, R., Van Noordwijk ,M., Ambagau,Y., and Palm, C.
2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass
equations dor predicting above-ground tree biomass in mixed
secondary forests. Forest Ecology and Management 146: 199-209
Komiyama, A., J.E. Ong dan S.Poungparn. 2008 Allometry, biomass and
productivity of mangrove fores: A review. Aquatic botanic 89: 128-
137.
Masripatin, N. 2007. Apa itu REDD? Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Kementerian Kehutanan
Masripatin, N., K. Ginoga, G. Pari, W.S. Dharmawan, C.A. Siregar, dkk. 2010.
Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim
dan Kebijakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Kementerian Kehutanan
Murdiyarso, et al. 2009. Carbon storage in mangrove and peatland
ecosystems: A preliminary account from plots in Indonesia. Working
Paper. Center for International Forestry Research.
Rochmayanto, Y., A. Wibowo, M. Lugina, T. Butarbutar, R.M. Mulyadin dan
D. Wicaksono. 2014. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan
Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan ……..
Nurlita Indah Wahyuni, Ady Suryawan, dan Arif Irawan
25
dan jenis tanaman di Indonesia (Seri 2). Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Suryanto. 2012. Analisis kesiapan tiga kabupaten di Kalimantan dalam upaya
mendukung implementasi REDD+. Info Teknis Dipterokarka Vo;.5
No.1, September 2012: 77-88.
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan biomassa sebuah pengantar untuk studi
karbon dan perdagangan karbon. Wetlands International Indonesia
Programme. Bogor
Zanne, A.E., Lopez-Gonzalez, G.*, Coomes, D.A., Ilic, J., Jansen, S., et al.
2009. Global wood density database. Dryad.
Identifier:http://hdl.handle.net/10255/dryad.235 (diakses tanggal 13
Mei 2015).
26
Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (Eos histrio) ……..
Anita Mayasari, Diah I.D. Arini, Ady Suryawan, Melkianus S. Diwi, dan Nur Asmadi
27
Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (Eos histrio) di
Kandang Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado1
Anita Mayasari2, Diah I. D. Arini2, Ady Suryawan2, Melkianus S. Diwi2,
dan Nur Asmadi2
ABSTRAK
Perilaku harian burung nuri talaud dalam kelompok telah diketahui, namun
perbedaan perilaku antara burung betina dan jantan masih belum jelas
dikarenakan burung ini termasuk jenis monomorphik. Oleh karena itu dilakukan
DNA test untuk mengidentifikasi jenis kelaminnya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perilaku harian sepasang burung Nuri Talaud dikandang penelitian
Balai Penelitian Kehutanan Manado. Pengamatan dilakukan secara langsung
menggunakan metode scan sampling. Pengamatan dilakukan mulai pukul 06.00
hingga 18.00 WITA dengan interval waktu 10 menit dengan 6 kali pengulangan.
Parameter yang diamati aktivitas harian yang dianalisis menggunakan uji t. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa burung nuri talaud memiliki 14 macam aktivitas
harian yang digolongkan menjadi 4 perilaku utama yaitu perilaku bergerak
(terbang, menggelantung, berjalan, berkelahi dan melompat), perilaku diam
(bertengger, beristirahat dan berjemur), perilaku ingestive (makan, minum dan
membersihkan paruh) dan perilaku kawin (mendekati betina/jantan, menyelisik
dan bercumbu). Perilaku bergerak pada betina dan jantan didominasi oleh
aktivitas melompat 78 kali/hari dan 82 kali/hari, frekuensi relatif sama besar
yaitu 14 %. Perilaku diam didominasi aktivitas bertengger, namun berbeda
antara betina dan jantan yaitu 129 kali/hari dan 43 kali/hari, frekuensi relatif 23
% dan 7 %. Perilaku ingestive didominasi aktivitas makan dengan nilai yang
sama yaitu 54 kali/hari dan rekuensi relatif 10 % (betina) dan 9 % (jantan).
Perilaku kawin didominasi aktivitas bercumbu dan jantan nampak lebih agresif,
ditunjukan dengan aktivitas harian dan fekuensi relatif yang lebih besar (43
kali/hari dan frekuensi 8 % pada betina, sedangkan 55 kali/hari dan 10 % pada
jantan). Perbedaan jenis kelamin hanya berpengaruh nyata pada perilaku diam.
Kata kunci: perilaku, nuri talaud, eos histrio, penangkaran
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Jl. Raya
Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado; e-mail: [email protected]
28
I. PENDA HULUA N
Coates dan Bishop (2000) : Collar (2012) menyatakan bahwa Nuri
Talaud termasuk ke dalam jenis burung yang paling terancam di kawasan
Wallacea dan Asia. Populasi Nuri Talaud di alam menurun secara tajam
berdasarkan Lee et al. (2001) populasi Nuri Taluad diperkirakan mencapai
9.400 – 24.160 pada tahun 1995. Pada tahun 2003 diperkirakan 8.230 –
21.400 ekor (Riley, 2003), sedangkan data terakhir berdasarkan Arini (2014)
diperkirakan populasi di alam liarnya hanya tersisa 2.227 individu.
Perilaku merupakan pergerakan organisme yang terjadi akibat
stimulasi/dorongan dari dalam diri dan lingkungan baik makhluk hidup
maupun benda di sekitarnya (Alikodra, 2002). Teori perilaku seksual yang
diakui Zhao (1993) yaitu ones sex for acces to the other sex (kompetisi
diantara jantan) dan choice of one sex by the other (betina dalam memilih
jantan). Pengumpulan satwa dalam kandang komunal bertujuan untuk dapat
memunculkan perilaku seksual diantara betina dan jantan sehingga
diperoleh sepasang betina dan jantan secara alami (Setio dan Takandjandji,
2007). Menurut Mayasari dan Suryawan (2013) pengumpulan Nuri Talaud
dalam kandang komunal dapat meningkatkan aktivitas seksual sebesar
9 %, istirahat lebih tinggi 13 %, namun menurunkan aktivitas makan
dengan prosentase 21 % lebih rendah dibanding pada individu (27 %
individu dan 6 % komunal).
Catatan Mayasari dan Suryawan (2012) menunjukkan bahwa jenis
kelamin Nuri Talaud pada saat itu belum dapat dideteksi secara pasti
berdasarkan morfologi. Data morfologi yang diperoleh memiliki kisaran
ukuran lebih kecil dibanding data referensi menurut Coates dan Bishop
(2000) dan Sweeney (1998). Coates dan Bishop (2000) menjelaskan bahwa
nuri talaud digolongkan dalam kelompok burung monomorphik yaitu
penampilan burung jantan dan betina seragam, sehingga sulit dibedakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku harian sepasang burung
Nuri Talaud di kandang penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado.
II. METODE PENELITIA N
A. Waktu dan Lokasi
Pengamatan dilakukan pada bulan Desember 2014 selama enam hari
dimulai pukul 06.00 hingga pukul 18.00 WITA dengan interval waktu 10
menit. Penelitian dilakukan di kandang penelitian Balai Penelitian Kehutanan
Manado.
Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (Eos histrio) ……..
Anita Mayasari, Diah I.D. Arini, Ady Suryawan, Melkianus S. Diwi, dan Nur Asmadi
29
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sepasang burung
nuri talaud, kandang individu dan pakan. Peralatan yang dipakai antara lain
buku pengamatan, alat tulis, stopwatch, jam tangan dan senter.
C. Prosedur Pengambilan Data
Burung yang digunakan dalam penelitian telah melalui tes DNA untuk
memastikan jenis kelaminnya. Tes DNA dilakukan di Laboratorium Genetika,
Bidang Zoologi LIPI menggunakan sampel darah dengan metode uji PCR
dengan visualisasi menggunakan agarose gel elektrophoresi. Spesimen
disimpan dalam freezer bersuhu – 20 oC dan dikirim menggunakan icebox.
Setelah didapatkan individu target, pengamatan dilakukan secara
langsung menggunakan metode scan sampling. Pengamatan dilakukan mulai
pukul 06.00 hingga 18.00 WITA dengan interval waktu 10 menit dengan 6
kali pengulangan. Perilaku yang diamati dalam penelitian ini yaitu:
1. Perilaku bergerak terdiri dari aktivitas:
a. Terbang, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan
sayap sambil mengeluarkan suara
b. Menggelantung, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan memanjat
kawat, menggigit kawat/kayu untuk bergerak atau pindah tempat,
kadang dilakukan dengan posisi kepala di bawah
c. Berjalan, yaitu aktivitas berpindah tempat dengan menggunakan
kaki di lantai atau di tenggeran
d. Berkelahi, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan saling menggigit
satu sama lain (dengan pasangannya)
e. Melompat, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan cara melompat
diantara tenggeran, ke atas sarang, melompat menghampiri pakan,
turun, dan lain-lain.
2. Perilaku diam terdiri dari aktivitas:
a. Bertengger, yaitu aktivitas pasif yang dilakukan dengan posisi tubuh
bertengger pada kayu dengan kedua mata terbuka
b. Beristirahat, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan posisi diam
sedangkan kedua mata memperhatikan setiap gerakan benda diluar
kandang/tidur dengan mata terpejam.
c. Berjemur, yaitu aktivitas yang dilakukan pada pagi hari dengan cara
merentangkan sayap dan kaki menghadap matahari pagi.
30
3. Perilaku ingestif terdiri dari aktivitas:
a. Makan, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan cara mengambil dan
menghancurkan makanan menggunakan paruh dan lidah
b. Minum, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan cara mencelupkan
paruh kedalam air lalu menengadahkan paruh
c. Membersihkan paruh, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan cara
membersihkan diri atau pasangannya menggunakan paruh dan kaki
4. Perilaku kawin terdiri dari aktivitas:
a. Mendekati betina/jantan, yaitu aktivitas yang dilakukan oleh burung
jantan / betina dengan cara berdekatan pada saat bertengger untuk
mencari perhatian.
b. Menyelisik, yaitu aktivitas yang dilakukan terhadap individu lain atau
sejenis dengan menggunakan paruh dan mengelus, pura-pura
mengigit dan mengendus.
c. Bercumbu, yaitu aktivitas yang dilakukan terhadap pasangan
dengan cara mencium dan memasukkan paruh pada paruh
pasangannya.
D. Analisis Data
Data dianalisis dengan rumus yang digunakan oleh Takandjandji et al.
(2010) berdasarkan rumus dari Sudjana tahun 1992 sebagai berikut:
Keterangan:
F = Frekuensi
Fi 1, 2, 3, ..., n = Frekuensi suatu aktivitas
Aktivitas harian dianalisis menggunakan uji t untuk mengetahui
perbedaan perilaku antara betina dan jantan. Hipotesis yang dibangun
adalah jenis kelamin burung nuri talaud memiliki pengaruh nyata terhadap
perilaku harian.
Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (Eos histrio) ……..
Anita Mayasari, Diah I.D. Arini, Ady Suryawan, Melkianus S. Diwi, dan Nur Asmadi
31
III. HASIL DAN PEMBAHASA N
A. Perilaku
Aktivitas nuri taluad dikelompokan menjadi 4 perilaku yaitu bergerak,
diam, ingestiv dan kawin. Rekapitulasi perilaku harian burung betina–jantan
dan hasil analisa uji T disajikan pada Tabel 1. Pola perilaku harian burung
nuri talaud dari pagi hingga sore disajikan pada Gambar 1.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa burung nuri merupakan burung
yang aktif. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata aktivitas harian dan
frekuensi relatif perilaku bergerak memiliki nilai yang tertinggi. Berdasarkan
uji t disimpulkan bahwa perilaku bergerak tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin, meskipun rata-rata aktivitas bergerak pada jantan lebih tinggi
dibandingkan betina namun perbedaannya tidak nyata. Kelompok nuri-
nurian di alam merupakan burung yang aktif dan ramai, termasuk burung
nuri talaud yang terbang secara berkelompok sambil mengeluarkan
suaranya. Dari pengamatan di habitatnya ketika terbang burung ini berada
dalam posisi berpasangan 1 - 2 pasang. Ketika mereka bertengger di pohon
besar seperti Matoa (Pometia sp.) mereka suka berjalan, melompat dan
melakukan gerakan akrobatik di cabang-cabang pohonnya. Hal senada
diungkapkan oleh Abidin (2007) bahwa perilaku bergerak juga ditemukan
mendominasi aktivitas nuri kasturi merah (Eos bornea) mencapai 38,01 %,
aktivitas jantan lebih tinggi dan seluruh perilaku pada jantan dan betina
tidak terdapat perbedaan yang nyata.
Tabel 1. Rekapitulasi perilaku burung betina dan jantan
Perilaku Aktivitas
Betina Jantan Nilai T
Aktivitas harian
Freku-
ensi relatif
Akti-
vitas hari-
an
Freku-
ensi relatif
Hitung Tabel 5 %
Bergerak Terbang 49 9 % 82 14 % 2,206 Tidak
berbeda nyata
2,228
Mengge-lantung 78 14 % 75 13 %
Berjalan 40 7 % 54 9 %
Berkelahi 10 2 % 15 3 %
Melompat 87 15 % 151 26 %
Jumlah 263 47 % 377 65 %
Diam Bertengger 129 23 % 43 7 % 8,181
Berbeda nyata
2,228
Beristira-hat 10 2 % 9 1 %
32
Perilaku Aktivitas
Betina Jantan Nilai T
Aktivitas
harian
Freku-
ensi relatif
Akti-vitas
hari-an
Freku-
ensi relatif
Hitung Tabel
5 %
Berjemur 1 0 % 1 0 %
Jumlah 140 25 % 52 9 %
Ingestiv Makan 54 10 % 54 9 % 1,102 Tidak
berbeda nyata
2,228
Minum 5 1 % 2 0 %
Membersihkan paruh 35 6 % 26 4 %
Jumlah 95 17 % 82 14 %
Kawin Mendekati 9 2 % 6 1 % 0,701
Tidak berbeda
nyata
2,228
Menyelisik 11 2 % 7 1 %
Bercumbu 43 8 % 55 10 %
Jumlah 63 11 % 69 12 %
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa jenis kelamin hanya berpengaruh
nyata terhadap perilaku diam. Betina lebih sering diam dibandingkan jantan.
Perilaku diam didominasi oleh aktivitas bertengger pada keduanya. Perilaku
diam pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan Mayasari dan
Suryawan (2013) pada kandang komunal. Di alam burung nuri dan perkici
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk terbang mencari nektar,
putik bunga dan buah berdaging sebagai makanan tambahan (Rombang,
2007). Di kandang dengan luasan terbatas mereka tidak perlu terbang jauh
mencari makan, hanya dengan sedikit bergerak mereka sudah tiba di depan
makanan sehingga aktivitas bergerak sangat berkurang.
Penambahan tenggeran atau mainan di dalam kandang perlu dilakukan
untuk membuat burung nuri talaud tetap dapat bergerak aktif seperti di
alam. Jika dilihat dari perbandingan nilainya, kemungkinan burung nuri
talaud pada kandang komunal yang digunakan oleh Mayasari dan Suryawan
(2013) didominasi oleh jenis kelamin betina, frekuensi relatif istirahat
mencapai 35 %, sedangkan pada kandang individu sebesar 22 %.
Gambar 1 menunjukkan pola perilaku harian berdasarkan waktu,
diketahui bahwa puncak aktivitas terjadi pada pagi pukul 07.00 - 10.00 dan
sore pukul 15.00 - 16.00. Perilaku terendah terjadi pada sore hari pukul
17.00 - 18.00. Hal ini juga terjadi pada jenis Kasturi Merah yang aktif pada
pukul 07.00 - 09.00, tingkat aktivitas terendah pada sore hari 17.00 - 18.00
Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (Eos histrio) ……..
Anita Mayasari, Diah I.D. Arini, Ady Suryawan, Melkianus S. Diwi, dan Nur Asmadi
33
(Abidin, 2007). Pada pukul 11.00 - 14.00 perilaku bergerak dan diam
mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah dengan nilai 32,5/hari
dan 12,0/hari, namun perilaku ingestiv dan kawin mengalami puncak
aktivitas dengan jumlah rata –rata 21,0 /hari dan 16,3/hari.
Gambar 1. Grafik perilaku harian burung nuri dari pagi hingga sore
Bergerak
Gambar 2. Rata–rata aktivitas harian perilaku bergerak pada pengamatan
ke- 1-6
Perilaku bergerak terdiri dari 5 aktivitas, berdasarkan Gambar 2 tampak
terjadi penurunan aktivitas harian pada pengamatan pertama hingga ke
enam. Aktivitas terbang, menggelantung dan berjalan merupakan aktivitas
yang paling sering terjadi. Aktivitas menggelantung merupakan aktivitas
tertinggi, sedangkan berkelahi merupakan aktivitas terendah. Burung yang
diamati dipilih dari pasangan alami yang telah terbentuk di kandang
komunal karena menurut Setio dan Takandjandji (2007) burung yang
dipasangkan secara paksa biasanya memicu terjadinya perkelahian.
0.0
50.0
100.0
6-7 7-8 8-9 9-10 10-
11 11-
12 12-
13 13-
14 14-
15 15-
16 16-
17 17-
18
PER
SEN
TA
SE
JAM PENGAMATAN
bergerak
diam
ingestiv
Kawin
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
1 2 3 4 5 6
Pe
rse
nta
se
Ulangan
terbang
menggantung
berjalan
berkelahi
melompat
34
Diam
Gambar 3. Rata-rata aktivitas harian perilaku diam pada pengamatan
Ke- 1 – 6
Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa bertengger merupakan aktivitas
dominan pada perilaku diam. Aktivitas berjemur merupakan aktivitas
terendah, hal ini terjadi karena ada batasan waktu yaitu hanya dilakukan
pada pagi hari dengan cara merentangkan sayapnya dan menghadap ke
matahari.
Berdasarkan data perilaku bergerak dan diam, diketahui bahwa Nuri
Talaud sering melakukan aktivitas menggelantung dan bertengger. Sehingga
perlu dilakukan penambahan tenggeran di beberapa titik di dalam kandang
agar burung tersebut dapat leluasa beraktivitas. Sebaiknya tenggeran
terbuat dari kayu yang permukaannya tidak licin yang disesuaikan dengan
ukuran dan bentuk kakinya yang zygodactil, dua jari menghadap kedepan
dan dua jari lagi menghadap ke belakang. Abidin (2007) merekomendasikan
tenggeran untuk jenis Kasturi Merah harus terbuat dari kayu keras, tua dan
kering dengan ukuran diameter sebesar 3 -5 cm, karena bila tenggeran
terlalu besar akan menyebabkan telapak kaki mengapal, sedangkan pada
tenggeran terlalu kecil akan mengurangi keseimbangan.
Ingestive
Aktivitas makan merupakan aktivitas tertinggi seperti ditunjukkan pada
Gambar 4. Pemberian pakan pada penelitian dilakukan pada pagi dan sore
hari. Pakan diletakkan di beberapa titik untuk mengurangi dominansi jantan
merebut pakan dari betina. Dari Gambar 1 diketahui bahwa pola perilaku
ingestiv puncak aktivitasnya terjadi pada pukul 12.00 – 13.00. Waktu
pemberian pakan perlu dikaji kembali, karena menurut Takandjandji et al.
(2010) pakan merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan
penangkaran. Pada burung kasturi merah dan bayan sumba diketahui
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
1 2 3 4 5 6
Pe
rse
nta
se
Ulangan
bertengger
beristirahat
berjemur
Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (Eos histrio) ……..
Anita Mayasari, Diah I.D. Arini, Ady Suryawan, Melkianus S. Diwi, dan Nur Asmadi
35
bahwa aktivitas makan juga merupakan aktivitas tertinggi dalam perilaku
ingestiv (Abidin, 2007 dan Takandjandji et al., 2010).
Gambar 4. Rata – rata aktivitas harian perilaku ingestiv pada pengamatan ke- 1 – 6
Menurut Mayasari dan Suryawan (2012) kebutuhan pakan harian
burung nuri talaud mencapai 82,139 gram dan preferensi pakan tertinggi
adalah pepaya karena memiliki tekstur yang lunak, rasa yang manis dan
berair. Struktur lidah burung nuri talaud yang berbentuk seperti sikat gigi
pada bagian ujungnya berfungsi untuk menjilat nektar dan air dari buah-
buahan yang dimakannya. Gunawan et al. (2004) juga menyatakan bahwa
nuri jenis perkici dora memiliki preferensi yang tinggi terhadap buah pepaya,
kemungkinan karena sudah dikenal di habiat alaminya, biasa ditanam
masyarakat di ladang atau kebun dekat hutan.
Aktivitas membersihkan paruh biasanya dilakukan dengan cara
menggosokkan paruh pada tenggeran untuk menghilangkan sisa makanan
yang menempel. Oleh karena itu tenggeran sebaiknya terbuat dari kayu
agar tidak melukai paruh burung dan untuk mempertahankan sifat alaminya.
Kawin
Gambar 5. Rata – rata aktivitas harian perilaku kawin pada pengamatan ke- 1 – 6
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
1 2 3 4 5 6
Pe
rse
nta
se
Ulangan
makan
minum
membersihkan paruh
0%
10%
20%
30%
1 2 3 4 5 6
Pe
rse
nta
se
Ulangan
mendekati betina
menyelisik
bercumbu
36
Aktivitas mendekati, menyelisik dan bercumbu merupakan proses dalam
perkawinan pada satwa. Pada nuri talaud perilaku kawin didominasi oleh
aktivitas bercumbu. Proses ini mengindikasikan adanya kecocokan antara
jantan dan betina yang dijodohkan. Menurut Setio dan Takandjandji (2007)
penjodohan dengan cara alami lebih menguntungkan dibandingkan cara
paksa. Cara alami dilakukan dengan memasukan beberapa burung yang
berbeda jenis kelamin dalam satu kandang dan membiarkan mereka
berpasangan sendiri. Pasangan alami ditandai dengan aktivitas yang selalu
bercumbu dan saling menyelisik.
Perilaku kawin merupakan aktivitas paling jarang terjadi diantara
perilaku lainnya. Selama pengamatan perilaku kawin hanya ditemukan
aktivitas mendekati betina/jantan, menyelisik dan bercumbu. Padahal
pasangan burung nuri talaud yang diamati merupakan pasangan yang
terjadi secara alami menurut pengamatan. Ternyata perilaku kawin juga
jarang terjadi dibeberapa jenis burung yang ditangkarkan lainnya seperti
kasturi merah (Abidin, 2007) dan bayan sumba (Takandjandji et al., 2010).
Perlu dilakukan kajian ulang mengenai ciri-ciri burung yang berjodoh secara
alami sehingga persentase keberhasilan perkawinan meningkat.
IV. KESIMPULA N DAN SARAN
A. KESIMPULA N
Perbedaan jenis kelamin hanya berpengaruh nyata terhadap perilaku
diam. Perilaku burung betina didominasi oleh perilaku ingestive (makan,
minum, membersihkan paruh), sedangkan jantan didominasi oleh
pergerakan bergerak (terbang, menggelantung, berjalan, berkelahi dan
melompat). Pada perilaku kawin, aktivitas yang terjadi didominasi oleh
bercumbu.
B. SARAN
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mempertahankan sifat alami
burung nuri talaud yaitu menambah tenggeran dan mainan di beberapa titik
di dalam kandang untuk membuat burung tetap aktif bergerak, mengkaji
ulang waktu pemberian pakan dan mengkaji ulang ciri-ciri burung yang
berjodoh secara alami agar terjadi keberhasilan perkawinan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya
kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan tenaga maupun pikiran
selama pengumpulan data dan pembuatan tulisan ini, Ady Suryawan, Joni
Sumule selaku keeper dan seluruh tim penelitian.
Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (Eos histrio) ……..
Anita Mayasari, Diah I.D. Arini, Ady Suryawan, Melkianus S. Diwi, dan Nur Asmadi
37
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, J. (2007). Studi Perilaku Harian Burung Kasturi Merah (Eos bornea)
di Penangkaran Bidang Zoologi Pusat penelitian Biologi LIPI
Cibinong, Bogor. Skripsi tidak dipublikasikan, Program Studi Produksi
Ternak, Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Alikodra, H. (2002). Pengelolaan Satwa Liar JIlid I. Bogor: Fakultas
Kehutanan, IPB.
Arini, D. (2014). Karakteristik Dan Pemilihan Pohon Tidur Burung Nuri
Talaud (Eos histrio Muller, 1776) di Pulau Karakelang - Kepuluan
Talaud Sulawesi Utara. Thesis tidak dipublikasikan, Program
Pascasarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Coates, B. J. dan Bishop, K. D. (2000). Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallacea. Bogor: Birdlife International - Indonesiaa
Program dan Dove Publication .
Collar, N. L. (2012). Conservation Breeding And The Most Threatened Birds
In Asia. Birding Asia, 18, 50-57.
Gunawan, H., Indra Ardi S. L. P. P. dan Rahman, M. A. (2004). Komposisi
dan Preferensi Pakan Burung Perkici Dora (Trichoglossus ornatus Linne.1758) dalam Penangkaran. Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam, 1(1), 67-7.
Lee, R.J., Riley, J., Merril, R. dan Manoppo, R. P. (2001). Keanekaragaman Hayati dan Konservasi di Sulawesi Utara. Jakarta: WCS - IP dan
NRM.
Mayasari, A dan Suryawan, A. (2013). The daily behaviour of nuri talaud
(Eos histrio) in captivity of Manado Forestry Research Center. dalam
Prosiding Seminar International Conference on Forest and Biodiversity (hal. 189). Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Mayasari, A dan Suryawan, A.. (2012). Morfologi dan preferensi pakan
sampiri (Eos histrio) di penangkaran. dalam Prosiding Seminar Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan 24 Oktober 2012 (hal. 179-188). Manado: Balai
Penelitian Kehutanan Manado.
Rombang, W. M. (2007). Anugerah paruh bengkok untuk Maluku. Burung
No.6 edisi Juli 2007, 3-7. Bogor:Burung Indonesia
Setio, P dan Takandjandj, M. (2007). Konservasi ex situ burung endemik
langka melalui penangkaran. dalam Prosiding Seminar Ekspose Hasil Hasil Penelitian : Koservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan 20 September 2006, (hal. 47-61). Padang.
Riley, J. (2003). Population sizes and the conservation status of endemic and
restricted-range bird species on Karakelang, Talaud Islands,
Indonesia. Bird Conservation International, 13: 59 - 74.
38
Sweeney, R. (1998). Breeding the Red and Blue Lory (Eos histrio) at Loro
Parque de la Cruz. . Int. Zoo Yb. 36, 194-198.
Takandjandji, M., Kayat dan G.N.D. Njurumana, G. N. D. (2010). Perilaku
burung bayan sumba (Eclectus roratus cornelia Bonaparte) di
Penangkaran Hambala, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi, 7(4), 357-369.
Zhao, Q. (1993). Sexual behavior of tibetan macaques at Mt. Emei, Cina.
Primates, 34(4), 431-444.
Ragam dan Intensitas Serangan Ekstoparasit di Sekitar Kandang Anoa ……..
Diah I.D. Arini, M.S. Diwi, A. Mayasari dan Nur Asmadi
39
Ragam dan Intensitas Serangan Ektoparasit
di Sekitar Kandang Anoa (Bubalus spp.)
Balai Penelitian Kehutanan Manado1
Diah I.D Arini2, M. S. Diwi2, A. Mayasari2 dan Nurasmadi2
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui ragam dan intensitas serangan
ektoparasit yang ada di sekitar kandang anoa di Balai Penelitian Kehutanan
Manado. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu Oktober –
November 2014. Pengumpulan ektoparasit di penangkaran anoa dilakukan
pada pagi hari mulai pukul 07.00 – 10.00. Ektoparasit yang terjaring
dimasukkan dalam tabung sampel yang berisi alkohol 70 %. Ektoparasit
yang telah mati kemudian diangin-anginkan dan di pinning kemudian
disimpan dalam kotak serangga. Identifikasi jenis ektoparasit dilakukan di
Laboratorium Entomologi dan Parasit Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jenis ektoparasit yang banyak dijumpai di
kandang anoa adalah jenis dari ordo Diptera (lalat) sebanyak 7 jenis dan
jenis Stomoxys calsitrans atau lalat kandang memiliki persentase jumlah
individu 71,1 %. Besarnya jumlah individu yang dijumpai sebanding dengan
infestasi ektoparasit. Intensitas serangan tinggi adalah jenis S. calsitrans.
Tingginya infestasi serangan dari jenis S. calsitrans membawa dampak
terhadap munculnya berbagai penyakit pada anoa salah satunya adalah
penyakit kulit (kaskado) yang ditandai dengan munculnya luka dan kerak-
kerak pada lapisan kulit. Penanganan terhadap serangan dari jenis S.
calsitrans dapat diminimalisir dengan pemberian obat parasit. Kebersihan
kandang harus tetap terjaga, tumpukan kotoran maupun tumpukan
rumput/jerami bekas pakan harus dikelola dengan sebaik mungkin untuk
mengurangi serangan ektoparasit yang dapat merugikan.
Kata kunci: anoa, ektoparasit, penangkaran, penyakit
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan
Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Jl. Raya
Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado; e-mail: [email protected]
40
I. PENDAHULUA N
Anoa (Bubalus spp.) atau lebih dikenal dengan “sapi cebol” Sulawesi
merupakan salah satu dari satwa liar endemik Sulawesi yang terancam
punah. Menurunnya populasi Anoa disebabkan oleh perburuan liar untuk
dimanfaatkan dagingnya maupun oleh perubahan tutupan hutan yang
menjadi habitat utama Anoa. Berbagai upaya telah dilakukan guna
mempertahankan populasi Anoa melalui konservasi in-situ maupun ex-situ.
Konservasi in-situ dilakukan dengan menetapkan suatu wilayah sebagai
kawasan konservasi seperti taman nasional, cagar alam atau suaka
margasatwa, sedangkan konservasi ex-situ dilakukan dengan membangun
pusat penyelamatan satwa, kebun binatang, balai karantina maupun pusat
penangkaran.
Satwa-satwa liar yang berada di penangkaran sangat bergantung pada
manusia baik dari sisi makanan maupun kesehatan satwa termasuk
gangguan terhadap serangan ektoparasit. Ektoparasit adalah berbagai jenis
hewan parasit yang memerlukan habitat pada permukaan tubuh inang untuk
kelangsungan hidupnya. Ektoparasit dapat menganggu dan berperan
sebagai inang perantara dari endoparasit yaitu protozoa dan cacing. Bahkan,
beberapa ektoparasit diketahui sebagai vektor zoonosis yang dapat
berakibat fatal pada manusia (Andini, 2008).
Ramadhan (2011) menjelaskan penyakit yang disebabkan oleh parasit
baik endoparasit maupun ektoparasit sangat perlu diperhatikan oleh pihak
manajemen termasuk ditemukannya ektoparasit di sekitar kandang
penangkaran yang menjadi salah satu indikator adanya infestasi ektoparasit.
Selain akibat traumatis (perkelahian), infestasi ektoparasit dapat menjadi
salah satu penyebab dalam penurunan bobot badan satwa maupun ternak,
penurunan tingkat reproduksi, berkurangnya aktiifitas satwa, stres, luka,
iritasi, bahkan satwa ditemukan telah terinfeksi menjadi lebih agresif.
Sedangkan pada hewan yang diternak, infestasi parasit bahkan mampu
menurunkan kualitas daging (Byford et al., 1991). Tidak hanya pada hewan,
serangan ektoparasit juga dapat mengakibatkan dampak buruk terhadap
manusia dalam penularan penyakit.
Penelitian ektoparasit yang menginfestasi satwa liar yang berada di
penangkaran telah dilakukan seperti pada rusa (Satria, 2001), orang utan
(Andini, 2008), burung elang (Wijaya, 2008), tekukur dan biawak. Namun
pada anoa yang dipelihara di penangkaran informasi ini belum tersedia.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui ragam dan intensitas serangan
Ragam dan Intensitas Serangan Ekstoparasit di Sekitar Kandang Anoa ……..
Diah I.D. Arini, M.S. Diwi, A. Mayasari dan Nur Asmadi
41
ektoparasit terhadap anoa yang berada di kandang Balai Penelitian
Kehutanan Manado. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi data
dasar dalam pengelolaan penangkaran agar kesehatan lingkungan maupun
satwanya dapat terjaga dengan baik.
II. METODE PENELITIA N
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu Bulan Oktober –
Desember 2014. Penelitian dilaksanakan ketika musim hujan, sedangkan
waktu pengamatan dilakukan pada pagi hari. Lokasi penelitian adalah di
kandang penangkaran anoa yang berlokasi di Balai Penelitian Kehutanan
Manado.
B. Bahan dan Alat
Obyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang anoa,
sedangkan peralatan yang dibutuhkan terdiri atas tabung film, alkohol 70 %,
kamera, kertas label, sweep net, lembar isian data serta alat tulis menulis.
C. Metode Penelitian
Metode koleksi ektoparasit dilakukan dengan menggunakan swept net
di sekitar kandang dimana kegiatan dilakukan pada waktu pengamatan jam
07.00 - 10.00 WITA. Serangga yang telah tertangkap selanjutnya
dimasukkan ke dalam tabung spesimen yang telah diisi dengan alkohol 70 %
dan diangin-anginkan kemudian di pinning dan disimpan dalam kotak
serangga.
D. Analisa Data
1. Ragam/Jenis Ektoprasit
Serangga/ektoparasit yang telah tersimpan dalam kotak serangga
selanjutnya diberikan label untuk kemudian dikirim ke Laboratorium
Entomology dan Parasit Fakultas Kedokteran Institut Pertanian Bogor untuk
diidentifikasi nama famili dan spesiesnya.
2. Rata-rata Jumlah Ektoparasit
Rata-rata jumlah ektoparasit yang ditemukan di sekitar kandang anoa
menggunakan rumus sebagai berikut:
3. Intensitas Serangan
42
Intensitas serangan diperoleh dengan mendeskripsikan dengan derajat
infestasi ektoparasit (Hadi & Rusli yang diacu dalam Wijaya, 2008). Secara
deskriptif dihitung dengan metode sebagai berikut: negatif (-) menunjukkan
tidak ada ektoparasit yang menginfeksi, positif satu (+) satu hingga lima
ektoparasit (infestasi ringan), positif dua (++) enam sampai sepuluh
ektoparasit (infestasi sedang), positif tiga (+++) sebelas sampai dua puluh
ektoparasit (infestasi tinggi), positif empat (++++) lebih dari dua puluh
ektoparasit (infestasi sangat tinggi).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ragam Jenis Ektoparasit Sekitar Kandang Anoa
Anoa adalah jenis satwa liar hanya terdapat di Sulawesi dan termasuk
ke dalam kelompok herbivora ruminansia. Pelestarian anoa di luar habitat
alaminya (ex-situ) telah dilakukan di beberapa lembaga konservasi di
Indonesia termasuk kebun binatang dan taman safari. Tujuan dari
konservasi ex-situ adalah untuk melindungi satwa yang hampir punah di
alam, breeding, dan pendidikan. Balai Penelitian Kehutanan Manado
memulai penangkaran anoa sejak tahun 2012 yang merupakan kerjasama
dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara
dimana terdapat lima ekor anoa yang dipelihara hingga saat ini. Pemantauan
terhadap kesehatan dan reproduksi anoa terus dilakukan termasuk salah
satunya adalah penelitian terhadap jenis-jenis penyakit yang menyerang
baik ektoparasit maupun endoparasit.
Hadi dan Soviana (2000) menjelaskan beberapa kelas ektoprasit yang
sangat dikenal adalah kelas Insecta dan Arachnida. Kelas Insecta terdiri atas
empat ordo yaitu Siphonoptera (pinjal), Hemiptera (kutu busuk), Diptera
(nyamuk dan lalat), dan kelas Arachnida itu sendiri terdiri dari ordo
Acariformes (tungau) dan Parasitiformes (caplak). Hasil pengamatan
terhadap jenis ektoparasit di lingkungan kandang penangkaran anoa di BPK
Manado menemukan sejumlah ektoparasit yang dikelompokkan ke dalam
dua ordo yaitu Diptera dan Blatodea. Jenis spesies yang paling banyak
ditemukan berasal dari famili Muscidae yang masuk dalam Ordo Diptera
yaitu sebanyak tujuh jenis dan famili Calliphoridae sebanyak dua jenis.
Perbandingan jumlah jenis dari masing-masing famili ditampilkan dalam
Gambar 1.
Sebanyak 13 spesies yang teridentifikasi menunjukkan bahwa jumlah
rata-rata spesies yang paling dominan ditemukan adalah spesies Stomoxys
calsitrans atau lebih dikenal sebagai lalat kandang sebanyak 19,92 ind/hari,
Ragam dan Intensitas Serangan Ekstoparasit di Sekitar Kandang Anoa ……..
Diah I.D. Arini, M.S. Diwi, A. Mayasari dan Nur Asmadi
43
kemudian lalat rumah (Musca domestica) sebanyak 3,6 ind/hari dan
beberapa genus Musca sp. sebesar 2,0 ind/hari. S. calsitrans secara
keseluruhan menunjukkan kehadiran yang dominan di dalam kandang anoa
sebesar 71,14 %, diikuti spesies M. Domesticum sebesar 12,86 %.
Gambar 1. Perbandingan jumlah jenis ektoparasit berdasarkan famili
Ragam ektoprasit yang dijumpai di sekitar kandang anoa dan jumlah
rata-rata ditemukannya spesies tersebut per harinya dijelaskan dalam Tabel
1.
Tabel 1. Ragam jumlah rata-rata per hari ditemukannya ektoparasit
Ordo Famili Spesies
Jumlah rata-
rata per hari
ditemukan-nya
(ind/hari)
Persentase
kehadiran ektoparasit
(%)
Diptera
Calliphoridae Chrysomia sp. 0,36 1,29
Lucillia kuprina 0,84 3,00
Muscidae
Musca sp. 2,04 7,29
Musca domestica 3,6 12,86
Musca conducens 0,04 0,14
Musca crasstirostris 0,04 0,14
Stomoxys calsitrans 19,92 71,14
Mitroplatia sp. 0,08 0,29
Drossophila sp. 0,04 0,14
Culicidae Aedes albopictus 0,04 0,14
Calliphoridae
15 %
Culicidae
7 %
Sarcophagidae
8 %
Tabanidae
8 %
Blattidae
8 %
Muscidae
54 %
44
Ordo Famili Spesies
Jumlah rata-
rata per hari
ditemukan-nya
(ind/hari)
Persentase
kehadiran ektoparasit
(%)
Sarcophagidae Sarcophaga sp. 0,92 3,29
Tabanidae Tabanus striatus 0,04 0,14
Blatodea Blattidae Periplaneta americana
0,04 0,14
S. calsitrans diketahui sebagai spesies ektoprasit yang tersebar luas di
dunia dan hidup dengan menghisap darah hewan berdarah panas. Hewan
yang sering diserang adalah sapi, kerbau dan kuda. Sutikno (1986) yang
mengacu pada Ferrar (1979) menjelaskan bahwa S. calsitrans bertelur di
atas kotoran yang banyak terdapat di kandang-kandang dan di tempat
lainnya yang kelembaban dan zat organiknya banyak. Tempat lainnya
adalah tumpukan jerami maupun rumput kering yang telah terkontaminasi
dengan urine. Selain S. calsitrans juga dijumpai beberapa jenis lainnya yaitu
Musca domestica dan Chrysomyia megacephala. Lalat-lalat ini umumnya
berkembang biak pada habitat di tumpukan kotoran, sampah yang telah
membusuk dan penuh dengan bakteri dan organisme patogen lainnya.
Populasi lalat yang tinggi atau melimpah akan mengganggu ketentraman
hewan dan manusia karena ketidaknyamanan yang ditimbulkan serta dapat
menularkan berbagai jenis penyakit berupa gangguan pencernaan dan
sebagainya.
M. domestica bukan bertindak sebagai ektoparasit namun lebih pada
perantara. Jenis ini tersebar hampir di seluruh dunia. Sebagian besar aktif
pada siang hari dan menyukai cahaya matahari. Karena seringnya berada di
tempat tinggal manusia, lalat ini lebih umum disebut sebagai lalat rumah.
Kemungkinan keberadaan lalat ini dijumpai karena letaknya yang
berdekatan antara kandang anoa dan tempat tinggal manusia. Lalat betina
dewasa bertelur pada bahan organik busuk, sampah terkontaminasi oleh
feses dan urine. Kotoran anoa yang masih segar merupakan media yang
sangat disenangi. Larva menjadi dewasa antara empat-tujuh hari.
Perkembangannya akan mengalami hambatan jika cuaca dingin, lingkungan
kering atau persediaan makanan tidak cukup. Bahan makanan dan sayuran,
hewan yang membusuk, sekresi tubuh dan luka adalah makanan spesies ini.
Menyukai sinar matahari dan segera masuk ke dalam tempat tinggal
manusia namun pada musim dingin jumlahnya mulai berkurang (Ferrar, et
Ragam dan Intensitas Serangan Ekstoparasit di Sekitar Kandang Anoa ……..
Diah I.D. Arini, M.S. Diwi, A. Mayasari dan Nur Asmadi
45
al., 1979 dalam Sutikno, 1986). Perbandingan Lalat hijau (C. megacephala)
memiliki ukuran 1,5 kali dari lalat rumah. Umumnya berwarna hijau metalik
dengn banyak bulu-bulu pendek yang menutupi tubuh diselingi bulu kasar.
Struktur mulut termasuk tipe penjilat. Sama halnya dengan lalat rumah, lalat
hijau juga dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat (Hadi dan
Soviana, 2000). Kebanyakan lalat hijau adalah pemakan zat organik
membusuk dan berkembangbiak pada bangkai, bersifat kosmopolit, lalat ini
meletakkan telurnya pada bangkai kemudian larva akan memakan jaringan
yang telah membusuk. Lalat ini dapat menyebabkan disentri apabila sangat
banyak (Borror et al., 1996). Spesies dari ordo Diptera lainnya yang
ditemukan adalah Tabanus stritatus atau lebih dikenal sebagai lalat kuda,
spesies ini aktif di siang hari dan merupakan jenis lalat penghisap darah
khususnya lalat betina yang telah melakukan kopulasi untuk perkembangan
ovariumnya.
Stomoxys calsitrans Tabanus sp. Lucillia kuprina
aedes albopictus musca domestica chrysomia sp.
Sarcophaga sp. Drossophila sp. Periplaneta americana
Sumber gambar: www.google.com
Gambar 2. Jenis ektoparsit yang dijumpai di lingkungan kandang anoa
Jenis ektoparasit lain yang ditemukan adalah Periplaneta americana
atau lipas. P. Americana umumnya merupakan penghuni dinding bak septik
46
dan saluran limbah peternakan dan akan berkelana mencari makan pada
malam hari. Lipas berpotensi sebagai pengganggu kesehatan karena
keberadaannya yang dekat dengan hewan maupun manusia serta
berkembang biak dan mencari makan pada daerah-daerah kotor seperti
tempat sampah, saluran pembuangan. Makanan serangga ini adalah
makanan yang masih dimakan manusia sampai kotoran manusia. Lipas
memilliki perilaku mengeluarkan makanan yang baru dikunyah atau
memuntahkan makanan dari lambungnya. Karena sifat inilah, lipas dengan
mudah menularkan penyakit pada manusia. Agen penyakit yang dapat
ditularkan oleh lipas adalah berbagai jenis virus, bakteri, protozoa, cacing
dan fungi (cendawan). Berbagai jenis ektoprasit yang dijumpai di sekitar
kandang anoa BPK Manado dijelaskan dalam Gambar 2.
B. Intensitas Serangan Ektoparasit
Intensitas serangan terhadap ektoparasit yang dijumpai di kandang
anoa dijelaskan dalam Tabel 2 yang menunjukkan intensitas serangan tinggi
yaitu dari jenis S. calsitrans, dan spesies lainnya menunjukkan intensitas
serangan ringan.
Tabel 2. Intensitas serangan ektoprasit di lingkungan kandang anoa
Ordo Famili Spesies Intensitas serangan
Indikator
Diptera
Calliphoridae Chrysomia sp. + Ringan
Lucillia kuprina + Ringan
Muscidae
Musca sp. + Ringan
Musca domestica + Ringan
Musca conducens + Ringan
Musca crasstirostris + Ringan
Stomoxys calsitrans ++++ Tinggi
Mitroplatia sp. + Ringan
Drossophila sp. + Ringan
Culicidae Aedes albopictus + Ringan
Sarcophagidae Sarcophaga sp. + Ringan
Tabanidae Tabanus striatus + Ringan
Blatodea Blattidae Periplaneta americana + Ringan
Jumlah
Keberadaan ektoparasit menimbulkan dampak pada satwa dan
manusia. Jannah et al. (2011) menjelaskan bahwa S. calsitrans dapat
Ragam dan Intensitas Serangan Ekstoparasit di Sekitar Kandang Anoa ……..
Diah I.D. Arini, M.S. Diwi, A. Mayasari dan Nur Asmadi
47
bertindak sebagai vektor dari penyakit kaskado yaitu penyakit kulit/dermatits
akibat cacing Stephanofilaria sp. Penyakit kaskado dapat menular dari satu
hewan ke hewan lain melalui perantara lalat rumah, lalat kandang dan jenis
lalat lainnya. Anoa yang dipelihara di penangkaran BPK Manado
menunjukkan gejala penyakit kaskado yang menyerang di beberapa bagian
tubuh Anoa, memunculkan beberapa luka hingga menimbulkan nodul
(dermatitits) di sekitar leher seperti yang terlihat dalam Gambar 3.
Estuningsih, (2007) menjelasakan infeksi ringan pada penyakit kaskado
menunjukkan luka yang tertutup oleh kerak atau keropeng kering yang
umumnya terdapat di sudut mata, pundak, bahu, leher, dada, punggung
dan gelambir. Infeksi penyakit kaskado berkorelasi dengan jumlah populasi
lalat yang ditemukan dalam kandang. Cheng (1986) menyebutkan gigitan
S. calsitrans dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan kehilangan
darah yang signifikan serta menyebabkan kehilangan berat badan. Infestasi
lalat kandang di kandang anoa BPK Manado dapat dikategorikan dalam
intensitas serangan sangat tinggi, karena jumlahnya yang ditemukan sangat
banyak.
Gambar 3. Penyakit kaskado yang menyerang pada anoa di penangkaran
M. domestica dan C. megacephala. umumnya berkembang biak pada
habitat di tumpukan kotoran, sampah yang telah membusuk dan penuh
dengan bakteri dan organisme patogen lainnya. Populasi lalat yang tinggi
atau melimpah akan mengganggu ketentraman hewan dan manusia karena
ketidaknyamanan yang ditimbulkan serta dapat menularkan berbagai jenis
penyakit berupa gangguan pencernaan dan sebagainya. Gangguan
M. domesticum tidak hanya dijumpai di kandang penangkaran anoa namun
juga di beberapa lembaga konservasi orang utan. Perbandingan jenis
ektoparasit dan intensitas serangan antara penangkaran anoa di Manado
dan orang utan disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan jenis dan intensitas serangan ektoparasit di
kandang anoa dan orang utan
48
Spesies
Kandang
Anoa
Orang utan
(Andini, 2011)
TMR PPSC KBD TSI
Chrysomia sp. + - + + -
Lucillia kuprina + - - - -
Musca sp. + - - + -
Musca domestica + +++ +++ +++ -
Musca conducens + - - - -
Musca crasstirostris + - - - -
Stomoxys calsitrans ++++ - - - -
Mitroplatia sp. + - - - -
Drossophila sp. + ++ ++ ++ ++
Aedes albopictus + - - - -
Sarcophaga sp. + - - - -
Culicoides sp. - - + ++ -
Keterangan: TMR : Taman Margasatwa Ragunan
PPSC : Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga
KBD : Kebun Binatang Bandung TSI : Taman Safari Indonesia
Kotoran anoa yang masih segar merupakan media yang sangat
disenangi. Larva menjadi dewasa antara empat hingga tujuh hari.
Perkembangannya akan mengalami hambatan jika cuaca dingin, lingkungan
kering atau persediaan makanan tidak cukup. lalat hijau juga dapat
menimbulkan masalah kesehatan masyarakat (Hadi dan Soviana, 2000).
Kebanyakan lalat hijau adalah pemakan zat organik membusuk dan
berkembangbiak pada bangkai, bersifat kosmopolit, lalat ini meletakkan
telurnya pada bangkai kemudian larva akan memakan jaringan yang telah
membusuk. Lalat ini dapat menyebabkan disentri apabila sangat banyak
(Borror et al., 1996).
Pengendalian terhadap ektoparasit tidaklah mungkin dapat dilakukan
dengan menghilangkan semua ektoparasit. Pengendalian hanya bertujuan
untuk mengurangi ektoparasit sampai pada tingkat yang tidak menganggu.
Karena pada kenyataannya, ektoparasit yang ditemukan saat ini cukup
menganggu anoa di kandang penangkaran.
Penanganan untuk ektoparasit pada anoa dapat dilakukan melalui dua
cara. Yang pertama melalui pengobatan secara kimiawi. Di Indonesia telah
tersedia obat-obatan ternak yang dapat mengurangi maupun mengobati
ternak atau hewan yang telah terserang ektoparasit, misalnya doramectin
Ragam dan Intensitas Serangan Ekstoparasit di Sekitar Kandang Anoa ……..
Diah I.D. Arini, M.S. Diwi, A. Mayasari dan Nur Asmadi
49
yang merupakan analog dari Avermectin yang merupakan kelompok
senyawa lakton makrosiklik yang telah diteliti lama. Doramectin dikenal
memiliki spektrum luas dalam memberantas ektoparasit dan endoparasit
(Tjahjati, 2002). Selain secara kimiawi, pengendalian ektoprasit pada ternak
juga dapat dilakukan dengan menggunakan agen-agen pengendali hayati
seperti hasil penelitian Ahmad (2004) yaitu dengan cendawan M. Anisopliae
untuk ternak ruminansia yang tidak menimbulkan efek residu pada produk
maupun efek resistensi pada ektoparasit. Meminimalkan parasit juga dapat
dilakukan dengan menjaga dengan benar dan tepat sanitasi kandang.
Pembersihan kandang secara periodik dan menyeluruh terutama pada
pembuangan kotoran yang terlihat hanya menumpuk di salah satu sisi
kandang adalah salah satu cara yang dapat ditempuh. Selain itu, dibutuhkan
juga pengawasan supaya ternak di luar yang dipelihara di sekitar kandang
penangkaran tidak menularkan ektoparasitnya pada anoa.
IV. KESIMPULA N DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil pengamatan terhadap keberadaan ektoprasit di lingkungan
kandang anoa menunjukkan terdapat tiga belas spesies yang dapat
digolongkan ke dalam enam famili. Jenis S. calsitrans diketahui memiliki
jumlah kehadiran yang paling tinggi rata-rata 19,2 ind/hari, jenis ini juga
mendominasi kehadiran sebesar 71,14 %. Terdapat dua intensitas serangan
ektoparasit yaitu intensitas tinggi untuk S. calsitrans dan intensitas ringan
untuk dua belas jenis lainnya.
B. Saran
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui keberadaan
ektoparasit di kandang anoa pada musim yang berbeda yaitu musim kering.
Selain itu, penanganan dan pengendalian ektoparasit dapat dilakukan
dengan menjaga kebersihan kandang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih diucapkan kepada Balai Penelitian Kehutanan Manado atas
kesempatan penelitian yang telah diberikan. Kepada rekan-rekan teknisi dan
peneliti yang telah membantu selama proses penelitian dan Ibu Upik
Kesumawati dan kawan-kawan dari Laboratorium Entomologi dan Parasit
FKH-IPB dalam membantu mengidentifikasi jenis ektoparasit.
50
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R. Z. (2004). Cendawan Metarhizium anisopliae sebagai pengendali
hayati ektoparasit caplak dan tungau pada ternak. Jurnal Wartazoa,
14(2), 73-78.
Andini, W. R. (2011). Ektoparasit Penganggu pada Orangutan (Pongo
pygmaeus) di Habitat Ex-Situ. Skripsi tidak dipublikasikan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Borror, D. J., Trihelorn, C. A. dan Jhonson, N. F. (1996). Pengenalan
Pelajaran Serangga Edisi 6. Terjemahan: Soetiono Partosoedjono.
Yogyakarta: UGM.
Byford, R.L., Craig, M. E. and Crosby, B. L. (1992). A Review of on
ectoparasites and their cattle production. Journal Animal Science 70,
597-602.
Cheng, T. C. 1986. General Parasitology Second Edition. Orlando Florida:
Academic Perss College Division.
Estuaningsih, S. E. (2007). Stephanofiliarisis: Kaskado pada sapi. Jurnal
Wartazoa, 17(4), 172-177.
Hadi, U. K. dan Soviana, S. (2000). Entomologi: Pengenalan, Diagnosis dan
Pengendaliannya. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Jannah, N., Hadi, S., Hadi, U. K, D.W. Gunandini, D. W., Soviana, S.,
Anggana, R. D., dan Suwandi. (2011). Hasil surevilans penyakit
parasit di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Jurnal Dilavet
21(2), 1-6.
Ramadan, R. R. (2011). Ragam Jenis Ektoparasit dan Manajemen
Penangkaran Biawak. Skripsi tidak dipublikasikan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Satria, I. (2001). Beberapa Penyakit Utama dalam Budidaya Rusa (Cervus
spp.). Skripsi tidak dipublikasikan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutikno. (1986). Ektoparasit pada Kuda dan Masalah yang Ditimbulkannya.
Skripsi tidak dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tjahjati, I. (2002). Efektivitas doramectin untuk pengobatan skabies pada
kucing. Jurnal Sain Veteriner, 20(1), 38-42.
Wijaya, S. K. (2008). Masalah Infestasi Ektoparasit pada Beberapa Jenis
Burung Elang di Habitat Ex-Situ. Skripsi tidak dipublikasikan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Evaluasi Pertumbuhan Tiga Jenis Diospyros Umur 1,5 Tahun ……..
Julianus Kinho, Jafred Halawane, Yermias Kafiar, Moody C. Karundeng, dan Melkianus Diwi
51
Evaluasi Pertumbuhan Tiga Jenis Diospyros Umur 1,5 Tahun
di Hutan Penelitian Batuangus1
Julianus Kinho2, Jafred Halawane2, Yermias Kafiar2, Moody Karundeng2
dan Melkianus Diwi2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan tiga jenis
Diospyros (D. pilosanthera, D. rumphii dan D. minahassae) umur 1,5 tahun
di Hutan Penelitian Batuangus berdasarkan perlakuan pengaturan naungan
dan aplikasi mulsa organik. Lokasi penanaman merupakan areal bekas
erupsi gunung berapi tahun 1839. Tekstur tanah di lokasi penanaman yaitu
pasir berbatu sehingga diberikan input tambahan sebagai media dasar yang
sama berupa : tanah top soil, sekam padi, pupuk kandang kotoran ayam
dan pupuk kandang kotoran sapi dengan perbandingan 1:1:1:1. Penelitian
ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Complete
Block Design) dengan pola faktorial. Faktor 1 adalah aplikasi mulsa dengan 2
level yaitu radius 50 cm dan radius 100 cm dengan ketebalan mulsa masing-
masing 30 cm. Faktor 2 adalah intensitas naungan dengan 3 level yaitu
naungan 25 %, 50 % dan 75 %. Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 50
anakan dengan 4 ulangan sehingga jumlah tanaman yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 1.200 tanaman per jenis. Jarak tanam yang
digunakan 3 m x 3 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan dalam pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman tiga jenis
Diospyros (D. pilosanthera, D. rumphii dan D. minahassae) terhadap
kombinasi perlakuan antara naungan dan aplikasi mulsa organik. Kombinasi
perlakuan mulsa dengan radius 100 cm dan naungan 75 % (A2B3)
memberikan respon pertumbuhan yang terbaik pada ketiga jenis Diospyros
dengan rata-rata tinggi dan diameter secara berturut-turut yaitu D.
pilosanthera (1,40 m; 1,67 cm), D. rumphii (1,26 m; 1,30 cm) dan D.
minahassae (1,10 m; 1,36 cm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado; email : [email protected]
52
semakin besar radius penggunaan mulsa organik (Ф 100 cm) dan semakin
tinggi intensitas naungan yang diberikan (75 %), semakin baik untuk
pertumbuhan tanaman muda tiga jenis Diospyros pada fase awal
pertumbuhan di lapangan, karena dapat meningkatkan kesuburan tanah dan
menghasilkan kondisi lingkungan mikro yang mendukung pertumbuhannya.
Kata kunci: Diospyros, konservasi eksitu, pertumbuhan, mulsa, naungan
I. PENDA HULUA N
Salah satu upaya pelestarian jenis tanaman kehutanan yaitu melalui
kegiatan konservasi eksitu. Keberhasilan pembangunan tegakan konservasi
eksitu suatu jenis, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya yaitu
karakteristik sifat tumbuh dari jenis yang akan dikonservasi dan kondisi
biofisik lingkungan tempat tumbuh untuk konservasi eksitu tersebut. Tiga
jenis Diospyros yang merupakan spesies target dalam rangka konservasi
eksitu di Hutan Penelitian Batuangus yaitu D. pilosanthera, D. Rumphii, dan
D. minahassae. Ketiga jenis Diospyros tersebut dipilih sebagai spesies target
dalam upaya konservasi eksitu karena bernilai ekonomis dan potensinya di
alam saat ini belum diketahui dengan pasti, sehingga diperlukan langkah-
langkah atau upaya untuk menyelamatkan potensi sumberdaya genetik dari
ketiga jenis Diospyros tersebut.
Sumberdaya genetik tanaman kehutanan merupakan aset negara yang
harus diselamatkan. Populasi tiga jenis Diospyros (D. pilosanthera, D.
Rumphii, dan D. minahassae) di alam saat ini belum diketahui secara pasti,
hal ini ditandai dengan semakin sulitnya ketiga jenis tersebut dijumpai pada
hutan alam di Sulawesi Utara kecuali pada beberapa hutan konservasi
seperti Cagar Alam Tangkoko dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Populasi ketiga jenis tersebut diduga terus menyusut sehingga
menyebabkan kekhawatiran akan terjadi kelangkaan bahkan kehilangan
sumber keragaman genetiknya. Data mengenai pertumbuhan tiga jenis
Diospyros tersebut pada berbagai jenis tapak belum banyak tersedia
sehingga untuk menentukan kondisi lingkungan pertumbuhan eboni (D.
pilosanthera) yang optimal di luar habitat aslinya masih sangat dibutuhkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan tiga
jenis Diospyros (D. pilosanthera, D. rumphii dan D. minahassae) umur 1,5
tahun di Hutan Penelitian Batuangus berdasarkan perlakuan pengaturan
naungan dan aplikasi mulsa organik.
Evaluasi Pertumbuhan Tiga Jenis Diospyros Umur 1,5 Tahun ……..
Julianus Kinho, Jafred Halawane, Yermias Kafiar, Moody C. Karundeng, dan Melkianus Diwi
53
II. METODE PENELITIA N
A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bibit anakan tiga jenis
Diospyros (D. pilosanthera, D. Rumphii, dan D. minahassae) yang berasal
dari cabutan anakan alam di CA. Tangkoko dan TN. Bogani Nani Wartabone
(Kab. Bone Bolango, Gorontalo). Bahan lainnya berupa : tanah top soil,
sekam padi, dan pupuk kandang (kotoran ayam dan kotoran sapi). Alat yang
digunakan yaitu meteran pita, kaliper mini, gunting stek, thermohygrometer,
lux meter, flaging tape, cangkul, sekop, parang, dan alat tulis.
B. Metode
Penelitian dilakukan di Hutan Penelitian Batuangus, Bitung, Sulawesi
Utara. Penanaman dilakukan pada bulan Nopember 2012. Pengamatan
pertumbuhan dilakukan pada saat tanaman berumur 1,5 tahun di lapangan.
Areal penanaman merupakan bekas aliran lava hasil erupsi Gunung
Batuangus yang dilaporkan mengalami erupsi terakhir pada tahun 1839
(Whitten et al., 1987), yang sampai saat ini membentuk padang alang-alang
yang gersang. Tekstur tanah di lokasi penanaman yaitu pasir berbatu,
sehingga diberikan input tambahan sebagai media dasar, berupa : tanah top
soil + sekam padi + pupuk kandang (kotoran ayam) + pupuk kandang
(kotoran sapi) dengan perbandingan 1:1:1:1. Penanaman menggunakan
Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Complete Block Design)
dengan pola faktorial. Faktor 1 adalah aplikasi mulsa dengan 2 level yaitu
radius 50 cm dan radius 100 cm dengan ketebalan mulsa masing-masing 30
cm. Faktor 2 adalah intensitas naungan dengan 3 level yaitu naungan 25 %,
50 %, dan 75 %. Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 50 anakan dengan
4 ulangan sehingga jumlah tanaman yang diteliti sebanyak 1.200 anakan.
Rancangan penelitian ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rancangan Penelitian
Intensitas Naungan
(%)
Aplikasi Radius Mulsa
50 cm (A1) 100 cm (A2)
25 (B1) A1B1 A2B1
50 (B2) A1B2 A2B2
75 (B3) A1B3 A2B3
54
C. Analisa Data
Data hasil pengukuran pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman
dianalisis menggunakan sidik ragam dan apabila terdapat perlakuan yang
berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan.
III. HASIL DAN PEMBAHASA N
A. Respon Pertumbuhan Tanaman terhadap Perlakuan yang
Diberikan
Hasil sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan tinggi dan diameter pada tiga jenis tanaman Diospyros yang di
uji coba dalam penelitian ini. Interaksi antara perlakuan radius mulsa
organik dan naungan memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tinggi dan diameter. Rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter ditampilkan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman umur 1,5
tahun di Hutan Penelitian Batuangus.
Perlakuan
D. pilosanthera D. rumphii D. minahassae
Tinggi
(m)
Diameter
(cm)
Tinggi
(m)
Diameter
(cm)
Tinggi
(m)
Diameter
(cm)
A1 B1 1.08 1,42 1,06 1,10 0,87 1,16
A1 B2 1,22 1,54 1,17 1,26 0,94 1,19
A1 B3 1,23 1,42 1,18 1,19 0,99 1,35
A2 B1 1,34 1,64 1,15 1,23 1,02 1,39
A2 B2 1,50 1,75 1,20 1,30 1,27 1,45
A2 B3 2,02 2,26 1,78 1,75 1,52 1,64
Rata-rata 1,40 1,67 1,26 1,30 1,10 1,36
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga jenis Diospyros (D.
pilosanthera, D. Rumphii, dan D. minahassae) yang ditanam di Hutan
Penelitian Batuangus menunjukan pengaruh yang cukup baik dengan
adanya perlakuan mulsa radius 100 cm dan naungan 75 % bagi
pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman. Hal ini diduga terjadi karena
perlakuan mulsa yang diberikan dapat mempertahankan kelembaban suhu
tanah yang memungkinkan untuk hidup dan berkembangnya
mikroorganisme yang ikut berperan untuk menyuburkan tanah, sehingga
akar tanaman eboni dapat berkembang dengan baik. Tanaman yang
diberikan naungan buatan dengan intensitas 75 % memberikan respon
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan yang diberikan naungan
yang lebih ringan (25 % dan 50 %). Penerimaan cahaya (sinar matahari)
Evaluasi Pertumbuhan Tiga Jenis Diospyros Umur 1,5 Tahun ……..
Julianus Kinho, Jafred Halawane, Yermias Kafiar, Moody C. Karundeng, dan Melkianus Diwi
55
yang berlebihan, atau melebihi kemampuan tanaman Diospyros dalam
menyerap sinar matahari yang diperlukan dalam proses fotosintesis dan
proses-proses fisiologis diduga berpengaruh menghambat pertumbuhan
tanaman muda Diospyros yang ditanam di Hutan Penelitian Batuangus. Hal
ini dapat terlihat dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan, bahwa
tanaman yang diberikan naungan lebih rapat (75 %) memberikan respon
pertumbuhan tinggi dan diameter yang terbaik dibandingkan perlakuan
pemberian naungan lainnya (naungan 25 % dan 50 %) pada ketiga jenis
tanaman seperti ditampilkan pada gambar 2, 3, dan 4.
Gambar 2. Rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter D. pilosanthera umur
1,5 tahun di HP. Batuangus berdasarkan perlakuan mulsa dan
naungan.
Gambar 3. Rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter D. rumphii umur 1,5
tahun di HP. Batuangus berdasarkan perlakuan mulsa dan
naungan.
56
Gambar 4. Rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter D. minahassae umur
1,5 tahun di HP. Batuangus berdasarkan perlakuan mulsa dan
naungan
Tabel 3. ANOVA pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman D. pilosanthera
umur 1,5 tahun di Hutan Penelitian Batuangus
Sumber Keragaman Jumlah
Kuadrat
Derajat
bebas
Rata-rata
kuadrat F Sig.
Tinggi Antar perlakuan 3,48 5 0,69 5,04 0,00
Dalam perlakuan 4,14 30 0,13
Total 7,62 35
Diameter Antar perlakuan 15,54 5 3,10 28,59 0,00
Dalam perlakuan 3,26 30 0,10
Total 18,80 35
Hasil ANOVA (Tabel 3) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon
pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman D. pilosanthera umur 1,5 tahun
di Hutan Penelitian Batuangus terhadap perlakuan radius mulsa, perlakuan
intensitas naungan dan interaksi antara perlakuan radius mulsa dan
intensitas naungan. Hasil uji lanjut dengan uji Duncan (Tabel 4)
menunjukkan bahwa pengaruh dari perlakuan aplikasi mulsa radius 100 cm
dengan naungan 75 % memberikan respon pertumbuhan tinggi dan
diameter tanaman D. pilosanthera yang terbaik.
Hasil analisis sidik ragam menggunakan Analisis of Variance (ANOVA)
pertumbuhan tinggi untuk tanaman D. rumphii di Hutan Penelitian
Batuangus umur 1,5 tahun menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi mulsa
organik (A) dan intensitas naungan (B), berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tinggi dan diameter anakan D. rumphii dan interaksi keduanya
juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi anakan eboni di
lapangan, yang ditunjukkan dengan nilai F hitung yang lebih besar dari F
tabel (Tabel 5).
Evaluasi Pertumbuhan Tiga Jenis Diospyros Umur 1,5 Tahun ……..
Julianus Kinho, Jafred Halawane, Yermias Kafiar, Moody C. Karundeng, dan Melkianus Diwi
57
Tabel 4. Hasil uji lanjut respon pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman
D. pilosanthera umur 1,5 tahun di Hutan Penelitian Batuangus
dengan perlakuan mulsa dan naungan.
Parameter Perlakuan N α= 0.05
1 2
Tinggi A1 B1 6 1,15
A1 B2 6 1,21
A1 B3 6 1,26
A2 B1 6 1,28
A2 B2 6 1,85
A2 B3 6 1,90
Diameter A1 B1 6 1,10
A1 B2 6 1,14
A1 B3 6 1,15
A2 B1 6 1,20
A2 B2 6 2,53
A2 B3 6 2,55
Tabel 5. ANOVA pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman D. rumphii umur
1,5 tahun di Hutan Penelitian Batuangus
Sumber Keragaman Jumlah
Kuadrat
Derajat
bebas
Rata-rata
kuadrat F Sig.
Tinggi Antar perlakuan 4,80 5 0,96 13,48 0,00
Dalam perlakuan 2,13 30 0,07
Total 6,94 35
Diameter Antar perlakuan 17,08 5 3,41 51,90 0,00
Dalam perlakuan 1,97 30 0,06
Total 19,06 35
Hasil ANOVA (Tabel 5) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon
pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman D. rumphii umur 1,5 tahun di
Hutan Penelitian Batuangus terhadap perlakuan radius mulsa, perlakuan
intensitas naungan dan interaksi antara perlakuan radius mulsa dan
intensitas naungan. Hasil uji lanjut dengan uji Duncan (Tabel 5)
menunjukkan bahwa pengaruh dari perlakuan aplikasi mulsa radius 100 cm
dengan naungan 75 % memberikan respon pertumbuhan tinggi dan
diameter tanaman D. rumphii yang terbaik.
58
Tabel 5. Hasil uji lanjut respon pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman
D. rumphii umur 1,5 tahun di Hutan Penelitian Batuangus dengan
perlakuan mulsa dan naungan.
Parameter Perlakuan N α= 0.05
1 2
Tinggi A1 B1 6 0,98
A1 B2 6 1,00
A2 B1 6 1,00
A1 B3 6 1,00
A2 B2 6 1,75
A2 B3 6 1,78
Diameter A1 B1 6 0,78
A1 B2 6 0,81
A2 B1 6 0,83
A1 B3 6 0,83
A2 B2 6 2,26
A2 B3 6 2,28
Hasil analisis sidik ragam pertumbuhan tinggi tanaman D. minahassae
di Hutan Penelitian Batuangus umur 1,5 tahun menunjukkan bahwa
perlakuan aplikasi mulsa organik (A) dan intensitas naungan (B),
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter anakan D.
minahassae dan interaksi keduanya juga berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tinggi anakan di lapangan, yang ditunjukkan dengan nilai F
hitung yang lebih besar dari F tabel. (Tabel 6).
Tabel 6. ANOVA pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman D. minahassae
umur 1,5 tahun di Hutan Penelitian Batuangus
Sumber Keragaman Jumlah
Kuadrat
Derajat
bebas
Rata-rata
kuadrat F Sig.
Tinggi Antar perlakuan 5,81 5 1,16 12,36 0,00
Dalam perlakuan 2,82 30 0,09
Total 8,64 35
Diameter Antar perlakuan 10,66 5 2,13 34,59 0,00
Dalam perlakuan 1,85 30 0,06
Total 12,52 35
Hasil ANOVA (Tabel 6) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon
pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman D. minahassae umur 1,5 tahun
Evaluasi Pertumbuhan Tiga Jenis Diospyros Umur 1,5 Tahun ……..
Julianus Kinho, Jafred Halawane, Yermias Kafiar, Moody C. Karundeng, dan Melkianus Diwi
59
di Hutan Penelitian Batuangus terhadap perlakuan radius mulsa, perlakuan
intensitas naungan dan interaksi antara perlakuan radius mulsa dan
intensitas naungan. Hasil uji lanjut dengan uji Duncan (Tabel 7)
menunjukkan bahwa pengaruh dari perlakuan aplikasi mulsa radius 100 cm
dengan naungan 75 % memberikan respon pertumbuhan tinggi dan
diameter tanaman D. minahassae yang terbaik.
Tabel 7. Hasil uji lanjut respon pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman
D. minahassae umur 1,5 tahun di Hutan Penelitian Batuangus
dengan perlakuan mulsa dan naungan.
Parameter Perlakuan N α = 0.05
1 2
Tinggi A1 B1 6 0,74
A1 B2 6 0,75
A1 B3 6 0,81
A2 B1 6 0,97
A2 B2 6 1,65
A2 B3 6 1,66
Diameter A1 B1 6 0,91
A1 B2 6 0,94
A2 B1 6 1,02
A1 B3 6 1,03
A2 B2 6 2,11
A2 B3 6 2,14
Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tiga jenis
Diospyros (D. pilosanthera, D. Rumphii, dan D. minahassae) dapat tumbuh
dengan baik di Hutan Penelitian Batuangus yang memiliki tekstur tanah pasir
berbatu, dengan memberikan input tambahan pada media tanam dan
pengaturan naungan secara buatan mengingat ketiga jenis tanaman
tersebut (D. pilosanthera, D. rumphii dan D. minahassae) merupakan jenis
semitoleran yang membutuhkan naungan pada fase awal pertumbuhan
(semai). Penggunaan mulsa organik dan perlakuan naungan buatan dapat
memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter
anakan tanaman konservasi eksitu Diospyros di Hutan Penelitian Batuangus.
Semakin besar radius penggunaan mulsa organik (100 cm) dan semakin
tinggi intensitas naungan yang diberikan (75 %), semakin baik pertumbuhan
tinggi dan diameter tanaman di Hutan Penelitian Batuangus.
60
Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang dilaporkan
oleh Seran dan Yusri (1996) bahwa anakan D. celebica cenderung tumbuh
baik pada intensitas naungan 100 % dan 75 %. Hal ini diduga bahwa pada
intensitas naungan tersebut kelembaban dan temperatur udara maupun
kelembaban dan temperatur tanah lebih cocok bagi pertumbuhan anakan D.
celebica karena memiliki sifat semitoleran. Naungan yang lebih rapat atau
intensitas cahaya yang rendah menyebabkan temperatur relatif cukup
rendah dan kelembaban relatif cukup tinggi sehingga tersedia air yang
cukup untuk perkembangan tanaman muda (Doubenmire, 1967).
Pengaruh naungan pada penelitian ini, secara nyata meningkatkan
pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman D. pilosanthera di Hutan
Penelitian Batuangus terutama pada naungan 75 % dan 50 % dibandingkan
naungan 25 %. Pertumbuhan merupakan salah satu indikator penyerapan
hara mineral dan fotosintesis. Menurut Kramer dan Koozlowski (1979),
intensitas cahaya yang terlalu tinggi melemahkan kegiatan proses
fotosintesis, sementara laju respirasi meningkat. Semakin meningkat
pertumbuhan anakan karena pengaruh naungan, menunjukkan semakin
aktifnya proses fotosintesis. Rendahnya pertumbuhan tinggi dan diameter
pada perlakuan naungan 25 % diduga karena adanya kenaikan intensitas
cahaya sehingga kurang mendukung proses fotosintesis, karena menerima
cahaya yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya proses foto-
oksidasi klorofil dan menyebabkan kerusakan pada klorofil, sementara itu
klorofil yang tersisa tidak mampu menyerap semua energi yang tersedia
sehingga kegiatan fotosintesis menjadi semakin lemah. Sebaliknya, naungan
akan mempengaruhi kondisi lingkungan fisik mikro anakan tiga jenis
Diospyros (D. pilosanthera, D. rumphii dan D. minahassae) sehingga
mendukung pertumbuhan tinggi dan diameter batang. Menurut Nurkin dkk.,
(2002) menyebutkan bahwa permudaan alam D. celebica pada tahap awal
harus dibawah bayangan (naungan), sehingga pohon-pohon tua disamping
berfungsi sebagai sumber biji juga dapat memberikan naungan. Setelah
anakan D. celebica melampaui fase semai, pohon penaung harus segera
dikurangi agar anakan pohon yang baru tumbuh mendapat sinar matahari
yang cukup. Selanjutnya dikatakan bahwa anakan alam D. celebica di Hutan
Amaro, Sulawesi Selatan yang banyak tertutup oleh semak atau belukar
serta tajuk pohon lain, rata-rata tingginya lebih rendah bila dibandingkan
dengan anakan yang tumbuh di sepanjang jalan setapak dan bagian
pinggiran sungai yang bebas dari pohon-pohon penaung (Nurkin dkk.,
2002).
Evaluasi Pertumbuhan Tiga Jenis Diospyros Umur 1,5 Tahun ……..
Julianus Kinho, Jafred Halawane, Yermias Kafiar, Moody C. Karundeng, dan Melkianus Diwi
61
Pemberian mulsa yang berasal dari sisa pembersihan jalur tanam
merupakan pupuk organik yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman.
Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, kemantapan agregat,
daya pegang air, permeabilitas tanah, meningkatkan nilai tukar kation,
menyediakan hara baik mikro maupun makro dan meningkatkan aktivitas
mikroorganisme tanah (Yufdi, 1996). Pupuk kandang yang digunakan dalam
media dasar tanam ikut membantu sebagai pasokan nutrisi pada awal
pertumbuhan tanaman tiga jenis Diospyros (D. pilosanthera, D. rumphii dan
D. minahassae) di lapangan. Menurut Suriatna (1988), pupuk kandang
tersusun atas unsur nitrogen, fosfor dan kalium. Pupuk kandang ayam baik
dalam bentuk padat maupun cair tersusun atas nitrogen (1,00 %), fosfor
(0,80 %) dan kalium (0,40 %). Pemupukan dengan pupuk kandang (unsur
fosfor) dapat mempercepat pertambahan tinggi dan jumlah daun anakan.
Hal ini diduga karena unsur „P‟ dalam tanaman berfungsi sebagai zat
pembangun, sehingga pemberian pupuk kandang yang sesuai akan
menghasilkan karbohidrat yang lebih banyak dan merangsang pembelahan
sel-sel yang lebih cepat serta meningkatkan pembentukan daun, juga dapat
terkonsentrasi pada titik tumbuh anakan sehingga lebih merangsang
pertumbuhan sel secara vertikal (Rukmini, 1985). Produksi daun oleh
tanaman dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk nitrogen (N).
Pengaruh yang nyata dari unsur kalium (K) terhadap pertumbuhan adalah
menguatkan batang tanaman sehingga tidak mudah rebah dan juga dapat
berpengaruh terhadap pertambahan tinggi tanaman (Susilo, 1991). Fungsi
yang penting dari penggunaan pupuk kandang adalah menggemburkan
lapisan olah tanah, mengaktifkan aktivitas populasi jasad renik dan
meningkatkan daya serap akar terhadap unsur hara (Rismunandar, 1984).
Penambahan setiap jenis bahan organik yang dapat dirombak ke dalam
tanah terutama pupuk kandang, menyebabkan pengaruh yang luar biasa
terhadap perkembangan miselia. Pupuk kandang yang diberikan ke dalam
tanah disamping dapat menyuburkan tanah secara langsung, juga
merupakan bahan makanan mikroorganisme tanah, sehingga dapat bekerja
secara lebih aktif (Buckman dan Brady, 1982).
IV. KESIMPULA N DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pertumbuhan tiga jenis Diospyros (D. pilosanthera, D. rumphii dan D.
minahassae) yang ditanam di Hutan Penelitian Batuangus memberikan
respon pertumbuhan yang berbeda. Perlakuan yang memberikan respon
62
pertumbuhan terbaik pada ketiga jenis tanaman tersebut adalah perlakuan
naungan 75 % dengan radius penggunaan mulsa organik 100 cm.
B. Saran
Untuk mengoptimalkan pertumbuhan tiga jenis Diospyros di Hutan
Penelitian Batuangus dalam rangka konservasi eksitu, maka perlu dilakukan
pengamatan lanjutan untuk mengetahui umur optimal pemberian naungan
bagi tanaman muda Diospyros di lapangan, mengingat Diospyros merupakan
jenis yang semitoleran, namun belum tersedia data dan informasi mengenai
hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buckman, H.O., dan Brady, N. C. 1982. Ilmu Tanah. Penerbit. Jakarta: PT
Bhratara Karya Aksara.
Burley, J. 1998. Forest Genetic and Tree Improvement Research in IUFRO.
Netherland: Kluwer Academic Publisher.
Doubenmire, R. T. 1967. Plants and Enviromental. London: Jhon Wiley and
Sons. Inc.
Evans, J. 1986. Plantation Forestry in The Tropics. UK: Clarendon Press
Oxford.
Kramer, P. J. and Kozlowski, T. T. 1979. The Role of Plant Physiology of Woody Plants. New York: Academic Press.
Nurkin, B., Achmad, A., Oka, N. P., Rachman, W., dan Paembonan, S. A.
2002. Karakteristik ekologi dan aspek silvikultur eboni (Diospyros celebica Bakh.). Berita Biologi 6(2). Edisi Khusus Manajemen Eboni.
Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Rismunandar, 1984. Tanah dan Seluk Beluknya Bagi Pertanian. Bandung:
Penerbit Sinar Baru.
Rukmini. 1985. Pengaruh Naungan, Pupuk TSP dan Pupuk Urea terhadap
Pertumbuhan Bibit Tanjung (Mimusop elengi) di Pembibitan. Thesis
tidak diterbitkan. Jurusan Kehutanan. Fakultas Pertanian dan
Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Seran, D. dan M. Yusri. 1996. Stimulasi pertumbuhan eboni (Diospyros celebica Bakh.) melalui pengaturan intensitas naungan dan
pemupukan NPK di Persemaian. Buletin Penelitian Kehutanan 2, 32-
34. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.
Suriatna, S. 1988. Pupuk dan Pemupukan. Jakarta: Melton Putra.
Susilo. 1991. Fisiologi Tanaman. Jakarta: Universitas Indonesia.
Whitten, A. J., M. Mustafa and Henderson, G. S. 1987. The Ecology of Sulawesi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Evaluasi Pertumbuhan Tiga Jenis Diospyros Umur 1,5 Tahun ……..
Julianus Kinho, Jafred Halawane, Yermias Kafiar, Moody C. Karundeng, dan Melkianus Diwi
63
Yufdi, P. 1996. Pengaruh Berbagai Jenis Bahan Organik terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Jahe (Zingiber officinale Rosc.). dalam
Prosiding Simposium Nasional I Tumbuhan Obat dan Aromatik.
APINMAP. P 366-372.
64
Evaluasi Awal Uji Coba Penanaman Jenis Tanaman Lokal pada Hutan ……..
Arif Irawan, Iwanuddin, Ady Suryawan, dan Nur Asmadi
65
Evaluasi Awal Uji Coba Penanaman Jenis Tanaman Lokal pada
Hutan Terdegradasi Menggunakan Perlakuan Ukuran Lubang
Tanam di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara1
Arif Irawan2 , Iwanuddin2 , Ady Suryawan2 , dan Nur Asmadi2
ABSTRAK
Degradasi hutan produksi telah menurunkan produksi kayu nasional, dalam
jangka panjang hal ini akan menurunkan produktivitas lahan dan daya dukung
lingkungan. Kawasan hutan Bolang Mongondow Utara merupakan salah satu
wilayah yang berperan dalam meningkatkan dan menurunkan luas hutan
terdegradasi di provinsi Sulawesi Utara. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh jenis tanaman dan perlakuan ukuran lubang tanam dalam
kegiatan penanaman pada hutan terdegradasi di Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara. Rancangan percobaan yang digunakan dalam peneitian ini
adalah rancangan split plot pola acak kelompok dengan plot utama adalah
ukuran lubang tanam yang terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu 30 cm x 30 cm x
30 cm; 40 cm x 40 cm x 40 cm dan 50 cm x 50 cm x 50 cm, sedangkan sebagai
sub plotnya adalah jenis tanaman yang terdiri dari 4 (empat) jenis tanaman
yaitu Magnolia elegans; Palaquium obtusifolium; Pterocarpus indicus, dan
Calophyllum soulattri. Peubah yang diamati adalah persen hidup serta tinggi dan
diameter tanaman umur 6 (enam) bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan jenis tanaman dan ukuran lubang tanam memberikan pengaruh nyata
terhadap persen hidup. Jenis P. obtusifolium dan P. indicus memiliki persen
hidup yang tinggi. Perlakuan penggunaan ukuran lubang tanam yang ideal
adalah 40 cm x 40 cm x 40 cm. Jenis C. soulattri dan M. elegans sebagai
tanaman rehabilitasi dapat ditingkatkan persen hidupnya dengan penambahan
naungan.
Kata kunci: penanaman, terdegradasi, jenis, dan lubang tanam
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan
Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Jl. Raya
Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado Email : [email protected]
66
I. PENDAHULUA N
Pasokan kayu Nasional terus mengalami penurunan yang diakibatkan
oleh degradasi hutan. Berdasarkan penjelasan Soekotjo (2009), produksi
kayu pada tahun 1990-an mencapai 28 juta m3 sedangkan pada 2009 hanya
sebesar 9,1 juta m3. Luas hutan sebagai areal kerja untuk pengusahaan
hutan pun terus mengalami penurunan dan telah terfragmentasi membentuk
mozaik dengan produktivitas yang rendah (Sumargo et al., 2011).
Pamoengkas (2000) menjelaskan bahwa dalam jangka panjang degradasi
hutan akan berdampak terhadap degradasi lahan, menurunnya suplai air,
erosi, pemadatan tanah dan pencucian hara, kerusakan vegetasi dan emisi
gas rumah kaca.
Dishut Sulut dalam laporannya tahun 2007 menyatakan bahwa dari
keseluruhan hutan alam produksi yang terdapat di Sulawesi Utara
diperkirakan hanya 10 % yang masih berupa virgin forest atau hutan primer,
sedangkan 30 % berupa areal bekas tebangan dengan kondisi baik dan
sedang, serta 60 % berupa areal yang dirambah dan bekas tebangan
dengan kondisi jelek (Anonim, 2013). Kawasan hutan Bolang Mongondow
Utara merupakan salah satu wilayah yang berperan dalam meningkatkan
dan menurunkan luas hutan terdegradasi di provinsi Sulawesi Utara. Data
pada tahun 2008 menyatakan bahwa luas kawasan hutan di Kabupaten
Bolaang Mongondow Utara merupakan yang terluas kedua setelah luas
kawasan hutan di Kabupaten Bolaang Mongondow (Dishut Sulut, 2008).
Secara umum kondisi hutan Bekas HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang
beroperasi Tahun 80-an di kabupaten ini sebagian besar telah dirambah oleh
masyarakat dan telah terdegradasi menjadi semak belukar dengan kondisi
tanah miskin hara, liat dan padat dengan bentangan alam yang
bergelombang hingga curam (Irawan et al., 2014).
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
degradasi dan mempercepat pemulihan ekosistem adalah melalui kegiatan
rehabilitasi/penanaman. Nawir et al. (2008) mendefinisikan rehabilitasi
hutan adalah kegiatan yang secara sengaja ditujukan untuk regenerasi
pohon, baik secara alami dan/atau buatan, pada padang rumput, semak
belukar, atau wilayah tandus yang dulunya merupakan hutan, dengan
tujuan untuk meningkatkan produktivitas, penghidupan masyarakat,
dan/atau manfaat jasa lingkungan.
Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi pada kawasan hutan terdegradasi
dihadapkan pada jenis yang dapat tumbuh dan permasalahan pemadatan
tanah. Soekotjo (2009) menyebutkan jenis tanaman yang tepat dibutuhkan
Evaluasi Awal Uji Coba Penanaman Jenis Tanaman Lokal pada Hutan ……..
Arif Irawan, Iwanuddin, Ady Suryawan, dan Nur Asmadi
67
dalam rehabilitasi dan memperhatikan riap tumbuh tanaman, kemudahan
ditanam dan dalam jangka panjang harus bisa dimuliakan. Beberapa jenis
pohon asli yang berpotensi sebagai tanaman rehabilitasi di hutan alam
produksi Kabupaten Bolaang Mongondow Utara yaitu: cempaka (Magnolia
elegans (Blume.); nantu (Palaquium obtusifolium Burck.); linggua
(Pterocarpus indicus Willd.) dan bintangur (Calophyllum soulattri
Bruu.f.var.), H.Keng).
Salah satu teknik silvikultur yang dapat digunakan adalah dengan
melakukan perbaikan media tanam dengan membuat ukuran lubang tanam.
Menurut Evans (1996), pembuatan lubang tanam ditujukan untuk
mempermudah akar tanaman menembus tanah, akar tumbuh dengan baik,
dan terus tumbuh memanjang ke tempat yang lebih jauh di dalam tanah
untuk memudahkan akar mengambil unsur hara dan air sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan dan persen hidup tanaman. Tujuan penelitian
ini adalah mengetahui pengaruh jenis tanaman dan perlakuan ukuran
lubang tanam dalam kegiatan penanaman pada hutan terdegradasi di
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
II. METODE PENELITIA N
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 s/d Mei 2014 di
kawasan hutan terdegradasi di Desa Nunuka, Kecamatan Bolangitang Timur,
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Secara
geografis lokasi tersebut berada pada titik koordinat 00o49‟65” LS dan
123o24‟001” BT dengan ketinggian ± 412 m dpl, bertopografi gelombang
dengan tingkat kemiringan 10 – 20 %.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan penelitian digunakan dalam penelitian ini antara lain tanaman
cempaka (M. elegans), nantu (P. obtusifolium), linggua (P. indicus) dan
bintangur (C. soulattri), pupuk kandang (kotoran ayam), dan herbisida.
Tinggi bibit yang digunakan ukuran yang seragam dengan tinggi ± 25 cm.
Peralatan yang dibutuhkan pada penelitian ini antara lain GPS,
termohygrometer, cangkul, linggis, sekop, parang, alat tulis, tally sheet, dan
perlengkapan lapangan lainnya.
C. Prosedur Penelitian
1. Pelaksanaan Teknis Penelitian
Penelitian dilakukan dengan membangun plot uji coba penanaman
seluas ± 0,7 ha. Jumlah tanaman yang digunakan pada setiap unit
68
percobaan adalah sebanyak 16 tanaman dengan jarak tanam yang
digunakan adalah 5 m x 2,5 m. Sebelum kegiatan penanaman pada setiap
lubang tanam diberikan pupuk kandang sebanyak 0,5 kg. Kegiatan
pemeliharaan dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan sistem tebas total
plus penyemprotan herbisida. Pengukuran tanaman dilakukan pada saat
tanaman berumur 6 (enam) bulan. Parameter yang diukur adalah persen
hidup tanaman, serta pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman.
Pertumbuhan tinggi dan diamter tanaman diperoleh dari selisih tinggi dan
diameter tanaman umur 6 (enam) bulan dengan tinggi dan diameter awal.
2. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan split plot dengan plot utama adalah ukuran lubang tanam (A),
yang terdiri dari tiga tingkatan (30 cm x 30 cm x 30 cm, 40 cm x 40 cm x 40
cm dan 50 cm x 50 cm x 50 cm), sebagai sub plotnya adalah jenis tanaman
(B) yang terdiri dari 4 (empat) jenis tanaman yaitu M. elegans,
P. obtusifolium, P. indicus, dan C. soulattri. Penelitian disusun dalam pola
acak kelompok, dengan tiga buah kelompok sebagai ulangan.
D. Analisis Data
Uji F dilakukan untuk mengetahui perbedaan pemberian perlakuan
terhadap persen hidup tanaman. Apabila diperoleh perbedaan nyata, maka
dilakukan uji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan atau uji DMRT
(Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui jenis terbaik berdasarkan
rankingnya (Siagian, 2011).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 1) dapat diketahui bahwa
terdapat pengaruh yang nyata (selang kepercayaan 5 %) akibat perlakuan
ukuran lubang tanam dan jenis tanaman terhadap persen hidup tanaman
umur 6 (enam) bulan, sedangkan perlakuan interaksi keduanya tidak
memberikan pengaruh yang nyata.
Tabel 1. Hasil analisis ragam perlakuan ukuran lubang tanam dan jenis
tanaman
Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah
Petak utama
Kelompok 2
288,63
144,31 tn
Ukuran lubang 2 913,63 456,81 *
Galat 4 251,74
Evaluasi Awal Uji Coba Penanaman Jenis Tanaman Lokal pada Hutan ……..
Arif Irawan, Iwanuddin, Ady Suryawan, dan Nur Asmadi
69
Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah
Anak Petak
Jenis tanaman 3 4248,05 1416,02*
Ukuran lubang*Jenis 6
1438,80
239,80 tn
Galat 18 2037,76 113,21
Total 35 9178,60
Keterangan: * = berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5 % tn = tidak berpengaruh nyata
Jenis tanaman merupakan salah satu faktor yang mepengaruhi variasi
pertumbuhan (Kramer and Kozlowski, 1960). Pemilihan jenis tanaman
merupakan hal yang sangat penting dalam usaha rehabilitasi hutan alam
produksi di Indonesia. Jenis tanaman yang tepat diperlukan untuk
menunjang keberhasilan kegiatan penanaman pada tipe dan kondisi tapak
yang berbeda-beda. Uji lanjut untuk persen hidup tanaman serta rata-rata
pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman akibat pengaruh perlakuan jenis
tanaman ini ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata persen hidup serta pertumbuhan tinggi dan diameter
tanaman
No Jenis Persen Hidup
(%)
Tinggi
(cm)
Diameter
(cm)
1. P. obtusifolium 95,14 a 61,28 0,64
2. P. indicus 93,06 a 47,43 0,59
3. C. soulattri 80,56 b 31,33 0,33
4. M. elegans 68,06 c 49,57 0,81
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbedanyata pada taraf 95 %
Berdasarkan hasil uji coba dapat diketahui bahwa jenis tanaman
memiliki pengaruh yang nyata terhadap persen hidup tanaman umur 6
(enam) bulan. Nilai persen hidup sangat erat kaitannya dengan kemampuan
setiap jenis tanaman untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan kondisi
tempat tumbuh. Soerianegara dan Indrawan (2002) menyatakan bahwa
faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman. Pengetahuan mengenai persyaratan tempat tumbuh bagi suatu
jenis tanaman sangat diperlukan untuk menjamin keberhasilan pengusahaan
hutan.
Lingkungan uji coba dalam penelitian ini didominasi oleh kondisi
intensitas cahaya yang cukup tinggi. Cahaya memiliki pengaruh secara
langsung terhadap pertumbuhan tanaman melalui intensitas, kualitas dan
70
lama penyinaran (Baker et al., 1987). Cahaya merupakan faktor penting
terhadap berlangsungnya fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan
proses yang menjadi kunci dapat berlangsungnya proses metabolisme yang
lain di dalam tanaman (Kramer dan Kozlowski, 1960).
Jenis tanaman yang dipilih dalam uji coba memberikan respon persen
hidup yang berbeda akibat intensitas cahaya yang tinggi (kondisi terbuka).
Pada dasarnya lokasi penanaman merupakan tempat habitat dari keempat
jenis tanaman yang diuji. Perbedaan persen hidup yang dihasilkan lebih
disebabkan oleh karakteristik tiap jenis tanaman untuk merespon kondisi
hutan terdegradasi dengan intensitas pencahayaan yang tinggi. Dalam uji
coba yang dilakukan, terdapat 2 (dua) jenis tanaman yang memiliki nilai
persen hidup tinggi, yaitu jenis P. obtusifolium (95,14 %) dan P. indicus
(93,06 %), sedangkan jenis semai C. soulattri (80,5 6%) dan M. elegans
(68,06 %) memiliki nilai persen hidup yang lebih rendah dan secara statistik
memiliki nilai yang berbeda dengan jenis semai P. obtusifolium dan P.
indicus. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa jenis tanaman P.
obtusifolium dan P. indicus dapat dikategorikan dalam kelompok tanaman
yang dapat beradaptasi dengan baik terhadap perubahan lingkungan
(khususnya intensitas cahaya tinggi), sedangkan C. soulattri dan M. elegans
merupakan jenis semai yang memiliki sifat lebih peka terhadap lingkungan
baru. Berdasarkan hasil ini direkomendasikan untuk pelaksanaan kegiatan
penanaman menggunakan jenis C. soulattri dan M. elegans pada lokasi yang
terbuka dapat disiasati dengan menambah jenis pohon naungan. Adinugraha
(2013) menyatakan beberapa jenis pohon naungan yang dapat digunakan
antara lain Gliricidia sepium, Sesbania grandiflor, dan Sesbania sesba.
Pada dasarnya, setiap tanaman memiliki kemampuan toleransi yang
berlainan terhadap keberadaan cahaya. Cahaya sebagai sumber energi
mempunyai tiga faktor penting, yaitu: intensitasnya, kualitasnya dan foto
periodesitasnya. Hani dan Rachman (2007) menyatakan bahwa jenis
permudaan Dipterocarpaceae khususnya pada tingkat semai, sangat peka
terhadap perubahan lingkungan. Semai Dipterocarpaceae dapat tumbuh
dengan baik apabila semai tersebut tidak menerima sinar matahari secara
langsung dalam intensitas yang tinggi.
Selanjutnya berdasarkan nilai rata-rata pertumbuhan tinggi dan
diameter tanaman (Tabel 2) dapat diketahui bahwa jenis P. obtusifolium
merupakan jenis yang memiliki nilai pertumbuhan tinggi terbaik
dibandingkan jenis lainnya. Sedangkan jenis M. elegans memiliki nilai
berbanding terbalik dengan nilai persen hidupnya, dimana pertumbuhan
Evaluasi Awal Uji Coba Penanaman Jenis Tanaman Lokal pada Hutan ……..
Arif Irawan, Iwanuddin, Ady Suryawan, dan Nur Asmadi
71
diameter untuk jenis ini memberikan nilai pertumbuhan dimater tertinggi
yaitu sebesar 0,81 cm. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa pada
dasarnya jenis M. elegans memiliki respon yang baik terhadap kondisi
terbuka, namun yang perlu diperhatikan adalah sifat kesensitifan jenis ini
terhadap adaptasi awal bibit setelah ditanam di lapangan. Jenis M. elegans
merupakan jenis yang sangat sensitif bahkan terhadap sedikit pergerakan
media tanam dalam polybag saat proses distribusi bibit dalam kegiatan
penanaman. Kesensitifan jenis M. elegans sebenarnya sudah dapat diketahui
saat bibit berada di persemaian. Jika dibandingkan dengan jenis lainnya,
saat kegiatan pemindahan bibit antar bedeng, jenis M. elegans adalah jenis
bibit yang memiliki tingkat stres paling tinggi dengan ditandai dengan
keringnya daun pada bibit.
Sedangkan uji lanjut untuk persen hidup tanaman akibat pengaruh
perlakuan lubang tanam serta rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter
tanaman ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata persen hidup serta pertumbuhan tinggi dan diameter
tanaman
No Ukuran Lubang Tanam Persen Hidup
(%)
Tinggi
(cm)
Diameter
(cm)
1. 40cmx40cmx40cm 88,02 a 50,75 0,63
2. 50cmx50cmx50cm 87,50 a 47,45 0,60
3. 30cmx30cmx30cm 77,08 b 44,31 0,54
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
95%
Kesesuaian tapak jenis tanaman pada suatu lahan dipengaruhi oleh
banyak faktor, salah satunya adalah tingkat kepadatan tanah. Jenis tanah
padat akan membatasi pertumbuhan akar dengan menghalangi penetrasi
akar yang dapat mengakibatkan akar berkembang di atas rintangan (Baker
et al., 1987). Selanjutnya perintangan pertumbuhan akar akan
menyebabkan sistem perakaran dangkal dengan konsekuensi pohon sangat
berpotensi untuk ditumbangkan oleh angin.
Struktur tanah tapak lokasi penanaman uji coba adalah tanah
berstruktur padat dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah.
Berdasarkan hasil percobaan dapat diketahui bahwa perlakuan lubang
tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap persen hidup tanaman
umur 6 (enam) bulan. Hal ini juga didukung oleh nilai pertumbuhan tinggi
dan diameter tanaman yang diuji. Kemampuan pertumbuhan panjang dan
diameter akar tanaman umumnya berkorelasi dengan pertumbuhan panjang
72
dan diameter bagian pucuk tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan
terhadap tanaman yang diujikan diketahui bahwa pertumbuhan bagian
pucuk tanaman sudah mulai terlihat secara signifikan, sehingga diduga
pertumbuhan akarnya pun mengalami perubahan yang berarti. Ukuran
lubang tanam yang lebih besar dapat memberikan ruang yang lebih bagi
pergerakan akar dalam memperoleh nutrisi makanan dan menyesuaikan
dengan lingkungan barunya. Russel (1977) dalam Rusdiana et al. (2000)
berpendapat bahwa jika kepadatan tanah meningkat akan menyebabkan
ruang pori makro menurun dan penetrasi akar dihambat. Perlakuan ukuran
lubang tanam 40 cm x 40 cm x 40 cm memberikan hasil terbaik (88,02 %)
dari uji coba yang diberikan, namun memiliki nilai tidak berbeda dengan
ukuran lubang tanam 50 cm x 50 cm x 50 cm (87,50 %). Tinggi dan
diameter tanaman untuk perlakuan ukuran lubang tanam 40 cm x 40 cm x
40 cm adalah 50,75 cm dan 0,63 cm. Prameswari et al. (2010) dalam hasil
penelitiannya mengenai uji coba teknik pengayaan intensif di Kalimantan
Timur, menyatakan bahwa perlakuan ukuran lubang tanam (40 cm x 40 cm
x 30 cm, 50 cm x 50 cm x 30 cm dan 60 cm x 60 cm x 30 cm) memberikan
pengaruh yang nyata terhadap persen tumbuh tanaman jenis Shorea
parvifolia dan Shorea johorensis. Selanjutnya Pinard et al. (1998) juga
menyatakan bahwa terjadi pengaruh nyata dari bibit yang ditanam pada
lubang tanam yang digali dalam bentuk parit dibandingkan dengan kontrol,
hal ini dijelaskan karena lubang tanam yang digali dalam bentuk parit
ukurannya lebih besar dan luas sehingga menguntungkan pertumbuhan bibit
terutama untuk mengurangi kompetisi akar tanaman liar (bukan akar
tanaman pokok) pada awal penanaman.
Secara umum keberhasilan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi perlu
didukung oleh faktor teknis dan non teknis. Hidayatullah (2008) menyatakan
bahwa untuk mendukung kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan diperlukan
informasi teknis yang komprehensif mengenai aspek karakteristik faktor
lingkungan dan permasalahannya serta pemilihan jenis yang tepat sesuai
kondisi tapak setempat. Sedangkan faktor non teknis adalah faktor
partisipasi masyarakat melalui pembentukan lembaga formal maupun non
formal.
Berdasarkan hasil uji coba yang telah dilakukan maka aspek teknis yang
bisa dirujuk pada kegiatan penanaman pada hutan terdegradasi di
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara adalah penggunaan ukuran lubang
tanam dan pemilihan jenis yang tepat akan mempengaruhi tingkat
keberhasilan kegiatan penanaman di lokasi ini. Lubang tanam 40 cm x 40
Evaluasi Awal Uji Coba Penanaman Jenis Tanaman Lokal pada Hutan ……..
Arif Irawan, Iwanuddin, Ady Suryawan, dan Nur Asmadi
73
cm x 40 cm adalah ukuran yang paling ideal dapat digunakan, karena akan
memudahkan dalam pekerjaan dan menghasilkan persen hidup yang tidak
berbeda jika dibandingkan dengan penggunaan ukuran lubang tanam
dengan ukuran lebih besar. Sedangkan jenis tanaman yang tepat digunakan
pada kondisi intensitas cahaya yang tinggi (terbuka) adalah jenis P.
obtusifolium dan P. indicus.
IV. KESIMPULA N DAN SARAN
A. KESIMPULA N
Perlakuan jenis tanaman dan ukuran lubang tanam memberikan
pengaruh nyata terhadap persen hidup tanaman. Jenis P. obtusifolium dan
P. indicus merupakan jenis tanaman lokal yang sesuai digunakan dalam
kegiatan rehabilitasi pada hutan terdegradasi (semak belukar) di Kabupaten
Bolaang Mongondow Utara dengan ukuran lubang tanam yang ideal adalah
menggunakan ukuran lubang tanam 40 cm x 40 cm x 40 cm.
B. SARAN
Perlu dilakukan uji coba terhadap jenis-jenis tanaman lokal lainnya
untuk menghasilkan jenis tanaman yang tepat dalam kegiatan rehabilitasi
pada hutan terdegradasi (semak belukar) di Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dr. Darwo selaku Koordinator
Kegiatan Penelitian untuk RPI Hutan Alam Produksi Lestari, Bapak Suparno
selaku perwakilan pihak perusahaan PT. Huma Sulut Lestari, serta Opa Madi
dan Bapak Muspida yang membantu dalam memberikan bantuan dan
masukan selama pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugraha, H. A. (2013). Sifat-sifat tanah dan problematika lahan
terdegradasi serta cara mengatasinya. Diakses 2 April 2015 dari
http://forestryinformation.wordpress.com/
Anonim (2013). Profil Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara. Kementrian
Kehutanan. Jakarta.
Baker, S., Daniel, T., John, W., Helms, A., (1978). Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono, D. (Penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Dishut Sulut. (2008). Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2008
Evans, J. (1996). Plantation Forestry in the Tropic (2nd Ed.). New York:
Oxford University Press.
74
Hani, A. dan Rachman, E. (2007). Evaluasi ketahanan hidup tanaman uji
spesies dan konservasi ek-situ Dipterocarpaceae di RPH Carita Banten.
Info Teknis, 5(1).
Hidayatullah, M. (2008). Rehabilitasi lahan dan hutan di Nusa Tenggara
Timur. Info Hutan, 5(1), 17-24.
Irawan, A. Iwanuddin, Suryawan, A., Karundeng, M. C., dan Asmadi, N.
(2014). Uji Coba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Produksi yang Telah
Terdegradasi. Laporan Hasil Penelitian. (Tidak diterbitkan). Balai
Penelitian Kehutanan Manado.
Kramer, P.J. dan T.T. Kozlowski, (1960). Physiology of trees. New York:
McGraw-Hill Book Company.
Nawir, A. A., Murniati, dan Rumboko, L. (2008). Rehabilitasi Hutan di
Indonesia. Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga
dasawarsa?. CIFOR. Bogor.
Pamoengkas, P. (2000). Degradasi dan Rehabilitasi Hutan Tropika Basah
(Kajian Falsafah Sains). Paper Individu Mata Ajaran Pengantar
Falsafah Sains. IPB. Bogor.
Pinard, M. A., Davidson, D. W., Ganing, A. (1998). Effect of trenching on
growth and survival of planted shorea pavirfolia seedling under
pioneer stands in logger-over forest. Journal of Tropical Forest
Science, 10, 505-514.
Prameswari, D., Wahyono, Mawazin, D., (2010). Uji coba pengayaan intensif
pada TPn di Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan. Dalam Prosiding Seminar Nasional (Hal 205-209). Bogor.
Rusdiana O., Fakuara Y., Kusmana C., Hidayat Y. (2000). Respon
pertumbuhan akar tanaman sengon (Paraserianthes falcataria)
terhadap kepadatan dan kandungan air tanah podsolik merah
kuning. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 6(2), 43-53.
Siagian, P.L. (2011). Rancangan Acak Kelompok. In p. P. LIPI, Bahan Diklat Fungsional Peneliti Pertama (p. 7). Cibinong: LIPI.
Soekotjo. (2009). Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press.
Soerianegara, I. dan Indrawan, A. (2002). Ekologi Hutan Indonesia.
Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.Bogor.
Sumargo, W., Nanggara, S. G., Nainggolan, F. A. dan Apriani, I. (2011).
Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia.
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
75
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo
“Implikasi Kerusakan DAS”1
Supratman Tabba2 , Lis Nurrani4 , Endrawati3 dan Isdomo
Yuliantoro4
ABSTRAK
Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo merupakan hulu DAS Limboto dan memiliki
fungsi strategis dalam konservasi Danau Limboto, namun dalam dua dekade
terakhir wilayah ini banyak mengalami degradasi lahan terutama berkurangnya
tutupan lahan berhutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga besaran
debit dan sedimentasi pada Sub DAS Alo. Penelitian ini menggunakan model
hidrologi SWAT dan Software GIS, model ini dapat mensimulasi pengaruh
penggunaan lahan terhadap sedimentasi dan debit. Hasil Penelitian
menunjukkan bahwa debit bulanan pada Sub DAS Alo berkisar antara 0,173-
5,000 (m3/s), debit tertinggi (2,500-3,500 m3/ha) berada pada bagian hilir dan
tengah Sub DAS. Umumnya debit tertinggi berada disepanjang aliran sungai
utama dan pada outlet yang merupakan akumulasi dari debit yang ada pada
setiap unit lahan diatasnya. Implikasinya terlihat dari badan sungai diwilayah
outlet lebih lebar karena erosi tebing sungai (meandering). Tingginya debit juga
diakibatkan faktor penggunaan lahan pada wilayah hulu, dimana debit tinggi
didomininasi tanaman perkebunan dan pertanian lahan kering campur.
Sedimentasi antara 2,085 - 20,000 (ton/ha) dimana kategori tinggi terjadi di
wilayah hulu pada unit lahan dengan penggunaan lahan pertanian lahan kering
campur dan semak belukar. Wilayah dengan sedimentasi tinggi juga didukung
kondisi tofografi sangat curam (> 40%) serta jenis tanah Ultisol dan Latosol
yang sangat rentan erosi.
Kata Kunci: penggunaan lahan, debit, sedimentasi, Sub DAS Alo, Gorontalo
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan
Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Jl. Raya
Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado; [email protected] 3 Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan; Jl. Gatot Subroto Gedung
Mangggala Wana Bhakti Blok I Lantai VII
76
I. PENDA HULUA N
Sub Daerah Airan Sungai (Sub DAS) Alo adalah wilayah penting dalam
sistem tatanan ekosistem DAS Limboto, dimana daerah ini menjadi
penyangga utama keberlangsungan Danau Limboto di Provinsi Gorontalo.
DAS Limboto merupakan kategori prioritas berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor : SK.328/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009
tentang Penetapan DAS Prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014. Konsekuensi logis dari status prioritas
tersebut yaitu menurunnya kapasitas tampung Danau Limboto dalam
meminimalkan terjadinya banjir akibat tingginya laju sedimentasi ke dalam
danau. Akibat dari degradasi lahan yang terus meningkat menyebabkan
banjir menjadi permasalahan penting yang saat ini terus berulang dan
cenderung telah menjadi budaya dalam satu dekade terakhir di Provinsi
Gorontalo. Analisis spasial menunjukkan bahwa sekitar 8,54 juta ton/tahun
sedimentasi masuk ke Danau Limboto dan 2,27 juta ton/tahun berasal dari
Sub DAS Biyonga (Asir, 2011).
Fenomena banjir terjadi akibat ketidakmampuan sungai untuk
menampung debit air yang berlebih dari daya tampung pada kondisi
alamiahnya ketika hujan. Banjir umumnya didahului dengan pendangkalan
sungai yang disebabkan oleh tingginya laju sedimentasi akibat buruknya
pengelolaan pada wilayah hulu. Penggunaan lahan atau tutupan lahan
adalah parameter utama yang menjadi indikator dalam menentukan dan
mencegah bencana banjir. Musibah banjir yang terjadi dewasa ini
merupakan akumulasi dari akibat kerusakan penggunaan lahan pada bagian
hulu, sebab fungsi paling penting dari penutupan lahan hutan terhadap
banjir adalah pengaruhnya terhadap pengendalian erosi dan sedimentasi.
Sedimentasi yang masuk ke sungai dan waduk akan menurunkan kapasitas
daya tampungnya sehingga akan mempercepat terjadinya banjir pada saat
musim hujan (Anderson, Hoover, dan Reinhart, 1976 dalam Lee 1990).
Faktor penutupan lahan menjadi parameter yang sangat mudah diamati
dan berpengaruh sangat besar terhadap jumlah debit dan sedimentasi ketika
musim penghujan. Pengaruh pengelolaan vegetasi terhadap hasil air
menyatakan bahwa aliran tahunan akan meningkat apabila tidak ada
vegetasi atau jumlah vegetasi berkurang cukup besar (Bosch dan Hewlet,
1982). Sehingga pendugaan besarnya debit dan sedimen menjadi penting
untuk mengevaluasi dan merumuskan pola penggunaan lahan yang sesuai
dengan aspek-aspek pengelolaan lahan dengan mengikuti kaidah sistem
konservasi tanah dan air yang baik. Salah satu metode yang digunakan
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
77
untuk menduga besarnya nilai debit dan sedimen yaitu melalui pendekatan
model hidrologi Soil and Water Assessment Tool (SWAT).
Menurut Arnold et al. (1998) bahwa SWAT merupakan model hidrologi
berskala DAS yang digunakan dalam menentukan pola penggunaan lahan
yang dapat memberikan tata air optimal. Model ini dapat dikembangkan
untuk memprediksi dampak berbagai praktek pengelolaan lahan terhadap
air, sedimen, dan senyawa kimia pertanian dalam berbagai DAS yang
kompleks dan luas (point sources dan non point sources) dengan variabilitas
tanah, penggunaan lahan, dan kondisi pengelolaan dalam jangka waktu
yang panjang (Neitsch et al., 2005). Model ini banyak diterapkan di wilayah
Eropa dan Asia, telah banyak publikasi mengenai aplikasi model SWAT
dengan hasil yang memuaskan. Sampai saat ini terdapat lebih dari 250
karya tulis khusus aplikasi SWAT untuk pemodelan DAS di seluruh dunia
(Gassman et al., 2007). Sub DAS Alo merupakan salah satu hulu yang
berkontribusi terhadap banjir Gorontalo, sehingga untuk mengetahui
pengaruh perubahan penggunaan lahan pada Sub DAS Alo maka digunakan
model SWAT. Tujuan penelitian ini adalah menduga debit dan sedimentasi,
dengan menggunakan model SWAT di dalam menentukan tata pola
penggunaan lahan yang dapat memberikan tata air optimal.
II. METODE PENELITIA N
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Sub DAS Alo di Kabupaten Gorontalo
Provinsi Gorontalo. Secara geografis Sub DAS Alo terletak pada
00o44‟52,715” dan 122o49‟33,206‟ LU s/d 00o39‟59,192” dan 122o49‟12,778‟
LS. Pengumpulan data dan pengamatan lapangan dilakukan pada bulan Juni
untuk survei, sedangkan pelaksanaan di bulan Oktober dan Desember 2014.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder (kondisi karakteristik lahan, penggunaan lahan, iklim dan hidrologi
DAS), peta rupa bumi, peta DEM (Digital Elevasion Model), peta penggunaan
lahan (land use), peta kemiringan lerang dan peta jenis tanah. Sedangkan
alat yang digunakan adalah GPS, komputer dengan software Arcview, Arc
GIS, softwear SWAT, dan alat tulis menulis.
C. Metode Penelitian
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif dengan metode
pengumpulan data yang sesuai yaitu:
78
1. Data primer diperoleh secara langsung dari lapangan melalui teknik
survei lapangan (ground check) untuk melihat kondisi biofisik dan
penggunaan lahan Sub DAS.
2. Data sekunder menggunakan studi pustaka berupa laporan-laporan yang
berasal dari instansi terkait yang disesuaikan dengan data yang
diperlukan model SWAT. Data tersebut antara lain: curah hujan, debit
aliran sungai bulanan dan harian, serta karakteristik tanah. Data ini
diperoleh dari Balai Wilayah Sungai Sulawesi II Gorontalo, Balai
Pengelolaan DAS Bone Bolango Limboto Provinsi Gorontalo, BMKG
Gorontalo.
D. Prosedur Kerja
Tahapan penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu survei dan
penggunaan model hidrologi SWAT.
1. Kegiatan survei terdiri dari:
a. Persiapan meliputi pengumpulan data utama yaitu peta dasar antara
lain:
1) Peta DEM yang berasal dari DEM (Digital Elevation Model) dengan
resolusi 90 m berasal dari Raster.
2) Peta penggunaan lahan (land use) dan kemiringan lereng tahun
2012 dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian
Kehutanan.
3) Peta jenis tanah dari BPDAS Bone Bolango.
b. Melakukan groundcheck terhadap perubahan tutupan lahan.
c. Data yang diperlukan sebagai input model SWAT yaitu :
1) Iklim berupa data harian yang berbentuk time series yang meliputi
curah hujan (mm), temperatur maksimum dan minimum (ºC),
radiasi matahari (MJ/m2/hari), kecepatan angin (m/dt) serta
koordinat dan elevasi stasiun pengamat curah hujan. Data iklim
yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tiga stasiun
penakar hujan tahun (2009-2012) yaitu Stasiun Curah Hujan Alo,
Stasiun Bandar Udara Djalaluddin dan Stasiun Molingkaputo
2) Karakteristik tanah (sifat fisika dan kimia tanah). Sifat fisika tanah
terdiri dari kedalaman efektif (mm), infiltrasi tanah, ketebalan
horizon (mm), tekstur tanah, bulk density (g/cm3), kapasitas
menahan air (mm H2O/mm tanah), Saturated hydraulic
conductivity (mm/jam), nilai erodibilitas tanah. Sedangkan sifat
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
79
kimia tanah terdiri dari kandungan fraksi batuan (%) dan
kandungan bahan organik (%).
3) Pengamatan pada penggunaan lahan yang dilakukan meliputi
faktor pengelolaan tanaman dan tanah.
2. Tahapan kegiatan penggunaan model hidrologi SWAT
a. Data yang telah dikumpulkan (peta-peta, data grouncheck dan data
dari instansi terkait) di input ke dalam model SWAT hingga nantinya
didapatkan suatu model.
b. Deliniasi daerah penelitian
c. Pembentukan Unit lahan (HRU) dan penggabungan HRU dengan data
iklim
E. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan software model SWAT
dan GIS yaitu berupa Identifikasi dan evaluasi unit lahan yang berpotensi
menyebabkan permasalahan pada Sub DAS. Informasi output yang
diperlukan dalam penelitian debit (m3/s) dan sedimen (ton/ha).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Sub DAS Alo
1. Kondisi Umum Sub DAS
Sub DAS Alo merupakan salah satu Sub DAS yang membentuk DAS
Limboto dan secara ekologis sangat berperan penting dalam menyangga
keberlangsungan Danau Limboto. Sub DAS Alo dipandang penting sebab
aliran air sungainya melalui beberapa tempat strategis yaitu ibukota
Kecamatan Tibawa dan Bandar Udara Djalaludin. Sub DAS Alo berbatasan
langsung dengan Kebupaten Gorontalo Utara dan memiliki Daerah
Tangkapan Air seluas 12.000 ha. Sebelah Utara Sub DAS Alo berbatasan
dengan Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara, Sebelah timur
berbatasan dengan Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo, Sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatan Boliohuto Kabupaten Gorontalo dan sebelah
selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulubala Kabupaten Gorontalo.
2. Penggunaan lahan dan Jenis Tanah
Berdasarkan analisis peta Sub DAS Alo dibentuk oleh tiga jenis tanah
yaitu latosol, podsolik dan inseptisol. Inseptisol merupakan jenis tanah
paling dominan sebesar 49,47 % dan yang paling sedikit sebesar 12,02 %
yaitu latosol. Secara rinci jenis-jenis tanah pada Sub DAS Alo disajikan pada
Tabel 1.
80
Tabel 1. Jenis tanah pada Sub DAS Alo
No Jenis Tanah Luas
Ha %
1 Latosol 1.339,50 12,02
2 Podsolik 4.291,52 38,51
3 Inseptisol 5.512,89 49,47
Total 11.143,91 100
Padanan nama aluvial berdasarkan klasifikasi USDA Soil Taxonomy
(1998) adalah inseptisol sedangkan podsolik (podsolik merah kuning yang
umum ditemukan di Indonesia) yaitu ultisol. Penyebaran aluvial cukup luas,
jenis tanah ini tidak saja ditemukan pada wilayah hilir namun juga berada
pada wilayah hulu. Jenis tanah podsolik berada pada wilayah hulu dan
bagian tengah, sedangkan tanah latosol hanya dapat ditemukan pada
daerah punggung bukit atau dataran tinggi yang merupakan wilayah batas
Sub DAS. Sebaran jenis tanah pada Sub DAS Alo secara rinci dapat dilihat
pada Gambar 2
Gambar 2. Peta jenis tanah Sub DAS Alo
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
81
3. Kelas Kemiringan Lerang
Kelas lereng di Sub DAS Alo sangat bervariasi, secara umum
kemiringan lereng didominasi kelas sangat curam (> 40%) dan landai (8 %-
15 %). Hanya sebagian kecil saja wilayah dengan tofografi datar, sehingga
dapat dikemukakan bahwa Sub DAS Alo memiliki kelas lereng DAS relatif
besar.
Gambar 3. Peta tofografi Sub DAS Alo
Gambar 4. Peta ketinggian tempat
82
Kemiringan lereng Sub DAS Alo terdiri dari lima kelas, yaitu datar,
landai, curam, agak curam dan sangat curam (Asdak, 2010). Ketinggian
tempat berkisar pada 100 - 546 m dpl dengan lahan berbukit-bukit yang
cukup ekstrim.
4. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan terdiri dari enam tipe, yaitu hutan lahan kering
sekunder, pemukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering
campur, sawah dan semak belukar. Pertanian lahan kering merupakan
penggunaan lahan dominan. Secara rinci tipe penggunaan lahan pada Sub
DAS Alo dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Tipe Penggunaan lahan Pada Sub DAS Alo
No
Penggunaan Lahan
Luas
Ha %
1 Hutan lahan kering sekunder 85,81 0,77
2 Semak belukar 1.615,87 14,5
3 Pemukiman 420 3,77
4 Pertanian lahan kering campur 7.191,17 64,53
5 Pertanian lahan kering 986,24 8,85
6 Sawah 844,71 7,58
Total 11.143,91 100
Tipe penggunaan lahan cukup bervariasi, pertanian lahan kering
campur sangat dominan dengan luas 64,53 %. Wilayah dengan areal tidak
produktif dalam bentuk semak belukar seluas 14,5 % dan pertanian lahan
kering adalah penggunaan lahan dengan wilayah terluas ketiga sebesar 8,85
%.
Luasan hutan pada Sub DAS Alo sangat minim hanya sebesar 0,77 %,
hutan tersebut kategori hutan lahan kering sekunder. Selain hutan
penggunaan lahan dengan luasan terkecil yaitu pemukiman hanya sebesar
3,77 % dan terpusat di bagian hilir. Sub DAS Alo sangat strategis karena
merupakan wilayah yang dilalui jalan trans Sulawesi, sehingga banyak
dijumpai pemukiman dalam catchment area, bahkan hingga ke daerah hulu
yang berbatasan dengan hutan.
Satu-satunya areal berhutan yang merupakan hutan lahan kering
sekunder adalah kawasan Cagar Alam Tangale dengan luas areal ± 112,50
ha. Cagar Alam Tangale terletak di antara dua pemukiman yaitu Desa
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
83
Labanu dan Desa Buhu di Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo.
Berdasarkan hasil groundchek terdapat beberapa lokasi pengembangan
hutan rakyat Jati (Tectona grandis) yang dikembangkan oleh masyarakat
dalam spot-spot kecil dengan luasan antara 0,5-1 ha.
Gambar 5. Peta tutupan lahan Sub DAS Alo
Jenis komoditi yang dibudidayakan oleh masyarakat pada pertanian
lahan kering adalah jagung (Zea Mays) dan cabe (Capsicum annuum).
Kedua jenis ini merupakan produk unggulan dan primadona masyarakat
Gorontalo, dan lebih dikenal dengan sebutan milu (Bahasa gorontalo).
Pengembangan jagung ini juga merupakan kebijakan dan program unggulan
oleh pemerintah daerah periode sebelumnya yang hingga kini masih banyak
diterapkan oleh masyarakat.
5. Curah Hujan
Air hujan di suatu DAS ditransformasikan menjadi aliran air melalui
hujan yang langsung jatuh di sungai (channel precipitation), limpasan
permukaan (surface runoff), aliran antara (interflow/sub surface flow) dan
aliran dasar (baseflow/groundwater flow). Data curah hujan harian yang
digunakan dalam model dengan pertimbangan ketersediaan data terdapat 3
titik stasiun pengukur curah hujan, dimana salah satu stasiun pengukur
84
curah hujan juga digunakan sebagai pengukur data cuaca yaitu stasiun
Bandar Udara Djalaludin.
Gambar 6. Kondisi curah hujan Sub DAS Alo berdasarkan stasiun curah
hujan
Tabel 3. Nama dan informasi stasiun pengukur curah hujan dan iklim
No Nama Stasiun Kode X Y Elevasi
1 Alo Datahu 422001 484186 72234 34
2 Molingkapoto Kwandang 422003 484919 86586 19
3 Stasiun Bandara Djalaludin 422002 483586 70657 31
Berdasarkan Data curah hujan selama empat tahun (2009 - 2012)
curah hujan tertinggi terjadi pada stasiun pengukur curah hujan
Molingkapoto. Hal menarik yang terjadi pada Sub DAS Alo adalah bahwa
terdapat bulan dengan curah hujan tinggi namun debit yang dihasilkan
rendah. Sedangkan pada bulan dimana debit yang tinggi justru kejadian
hujan tidak tinggi.
B. Pembentukan Unit Lahan (HRU) Hasil Deliniasi
Penggunaan model SWAT untuk deliniasi Sub DAS Alo secara otomatis
diperoleh perhitungan topografi secara lengkap, peta jaringan sungai, peta
sub DAS dan outlet. Selain dibutuhkan peta, DEM, juga diperlukan lokasi
Sub DAS, peta jaringan sungai dan penentuan titik outlet pada proses
deliniasi.
Luas total Sub DAS Alo yang terbentuk oleh deliniasi model
adalah 8.293,82 ha. Berdasarkan hasil deliniasi tidak semua areal yang
0.000100.000200.000300.000400.000500.000600.0000.0
100.0
200.0
300.0
400.0
1
10
6
21
1
31
6
42
1
52
6
63
1
73
6
84
1
94
6
1051
1156
1261
1366
Deb
it (
m3
/s)
Hari ke-
Hyetograph dan Hidrograph Debit Total tahun 2009-2012
pcpAlo_Datahu
pcpMolingkapoto
stasiun iklim
debit
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
85
tercover sesuai dengan bentuk Sub DAS menurut peta dari BPDAS Bone
Bolango khusunya bagian hulu dan hilir. Kondisi ini disebabkan kurang
sempurnanya model memproses area topografi yang datar, hal ini dapat
diatasi jika menggunakan peta DEM dengan resolusi yang lebih tinggi. Unit
lahan model SWAT merupakan hasil tumpang susun dari peta jenis tanah,
penggunaan lahan dan kemiringan lereng, adapun unit lahan yang terbentuk
sebanyak 33.
Gambar 7. Peta unit lahan Sub DAS Alo
C. Identifikasi Unit Lahan (HRU) Berpotensi menyebabkan
Permasalahan
1. Debit
Secara umum kondisi debit Sub DAS dapat dilihat dari Hyetograph dan
hidrograf debit total dugaan model dimana respon transformasi hujan
menjadi debit sudah memiliki pola yang baik. Hal ini dapat dilihat ketika
curah hujan meningkat maka debit meningkat pula meski ada kejadian
hujan tinggi namun debit tidak mengalami peningkatan. Gambar 6
menunjukkan bahwa terjadinya debit total tidak hanya dipengaruhi oleh
jumlah dan intensitas curah hujan pada saat debit maksimum. Namun
terdapat faktor lain yang mempengaruhinya antara lain kejadian hujan
sebelumnya, sebaran kejadian hujan di dalam DAS dan penggunaan lahan.
86
Gambar 10. Hyetograph dan hidrograf debit total
Debit bulanan pada Sub DAS Alo berkisar antara 0,173-5,000 (m3/s),
debit tertinggi berada pada bagian hilir dan bagian tengah Sub DAS. Debit
tertinggi dihasilkan oleh unit lahan 19, 13, 8, 9, 10 dan 11. Debit tertinggi
berada disepanjang aliran sungai utama dan outlet Sub DAS, hal ini
merupakan hasil akumulasi dari masing-masing debit yang ada pada setiap
unit lahan yang ada diatasnya. Dampak dari tingginya debit pada wilayah
outlet terlihat dari badan sungai yang menjadi lebih lebar karena adanya
erosi pada tebing sungai (meandering).
Dampak tingginya debit juga teridentifikasi dari pengamatan
disepanjang Sungai Alo dimana telah terjadi erosi tebing sungai, indikator
yang nampak yaitu ditemukannya meandering disebagian besar kelokan
sungai. Meandering terjadi akibat tingginya debit sehingga menimbulkan
tingginya laju aliran permukaan pada sungai yang kemudian berimplikasi
terhadap pengikisan tanah pada kelokan sungai. Sehingga akumulasi dari
dampak tersebut dalam jangka panjang akan terlihat dari semakin lebarnya
badan sungai terutama pada wilayah kelokan dan hilir sungai.
Tingginya debit juga diakibatkan oleh penggunaan lahan yang ada,
dimana pertanian lahan kering campur sangat dominan dengan luas 64,53
% dan juga 14,5 % adalah semak belukar serta 8,85 % pertanian lahan
kering. Dimana umumnya penggunaan lahan tersebut berada pada bagian
hulu dengan tofografi curam (25 - 45 %) hingga sangat curam (> 45 %).
Secara substansial semak belukar baik digunakan untuk meminimalisasi
0
100
200
300
400
500
6000
5
10
15
20
Ch
(m
m/b
ula
n)
Deb
it (
m3
/s)
Waktu
Curah Hujan (mm/bulan) Debit (m3/s)
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
87
erosi namun penggunaan lahan ini juga menyebabkan tingginya laju aliran
permukaan. Penutupan vegetasi melindungi permukaan tanah dari pengaruh
langsung hujan dan angin, meningkatkan infiltrasi, memperlambat laju
limpasan, serta meningkatkan kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah (Asdak,
2010). Penggunaan lahan yang berbeda akan menghasilkan respon
transformasi hujan menjadi aliran air yang berbeda pula. Semakin
bertambahnya luasan pengembangan dan semakin berkurangnya luas hutan
maka nilai koefisien limpasannya akan semakin bertambah besar begitu pula
aliran permukaannya dan pada akhirnya akan meningkatkan debit sungai
pada musim hujan dan sebaliknya akan menurunkan debit sungai pada
musim kemarau (Wibowo 2005).
Gambar 11. Peta sebaran debit pada Sub DAS Alo
2. Sedimentasi
Sedimentasi bulanan pada Sub DAS Alo berkisar antara 2,085 - 20,000
ton/ha, daerah dengan sedimentasi berat berada pada wilayah hulu.
Sedimentasi ringan berada pada wilayah hilir disepanjang sungai utama, dan
hanya unit lahan 26 kategori ringan yang berada pada bagian hulu. Wilayah
hilir umumnya adalah pemukiman dan persawahan dengan jenis tanah
inseptisol. Sebagian besar sawah pada daerah hilir merupakan areal
genangan danau yang mengalami pendangkalan hasil sedimentasi dari
88
wilayah hulu. Karena lereng yang relatif datar sehingga aliran permukaan
sebagai cikal bakal terjadinya erosi juga sangat minim. Inseptisol adalah
endapan tanah-tanah debu vulkanik yang merupakan tingkat perkembangan
terakhir ultisol dan oksisol, memiliki epipedon okerik dan tanah liat amorf
yang biasanya sangat asam serta baik untuk lahan pertanian khususnya
jenis tebu dan kopi (Foth, 1994). Tanah ini memiliki campuran kandungan
cukup banyak hara yang dibutuhkan untuk tanaman sehingga umumnya
dianggap tanah subur. Pemukiman terpadat berada di daerah hilir yang
merupakan ibukota Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo.
Gambar 12. Grafik sedimentasi total dugaan model
Sedimentasi ketegori tinggi terjadi pada unit lahan 14, 17 dan 33,
sedangkan kategori paling tinggi dihasilkan unit lahan 6, 16, 18 dan 30.
Penggunaan lahan pada unit lahan 23 dan 33 didominasi oleh pertanian
lahan kering campur dan semak belukar dengan jenis tanah ultisol dan
sebagian latosol. Tiga unit lahan dengan sedimentasi paling tinggi
didominasi oleh penggunaan lahan pertanian lahan kering dengan pertanian
lahan kering campur dengan kandungan jenis tanah ultisol.
Kelapa (Cocos nucifera) merupakan jenis komoditi utama yang
dikembangkan oleh masyarakat pada pertanian lahan kering campur.
Sedangkan Jenis komoditi yang dibudidayakan oleh masyarakat pada
pertanian lahan kering adalah jagung (Zea mays) dan cabe (Capsicum
annuum). Kedua jenis ini merupakan produk unggulan dan primadona
masyarakat Gorontalo, pengembangan jagung ini merupakan kebijakan dan
program unggulan pemerintah daerah periode sebelumnya yang hingga kini
masih banyak diterapkan oleh masyarakat. Meski memiliki tajuk yang lebar
0
20
40
60
80
100
120
140
2009
\1
2009
\3
2009
\5
2009
\7
2009
\9
20
09
\11
2010
\1
2010
\3
2010
\5
2010
\7
2010
\9
20
10
\11
2011
\1
2011
\3
2011
\5
2011
\7
2011
\9
20
11
\11
2012
\1
2012
\3
2012
\5
2012
\7
2012
\9
20
12
\11
Sed
imen
tasi
(to
n/h
a)
Waktu
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
89
namun kondisi tanaman kelapa umumnya homogen dengan jarak tanam
yang cukup lebar yaitu 7 m x 7 m atau 8 m x 8 m. Selain itu tidak adanya
stratum yang jelas pada areal budidaya kelapa sehingga air hujan yang
jatuh pada areal tersebut masih cukup besar.
Kondisi yang sama juga terjadi pada areal budidaya jagung dan cabe,
dimana budidaya jenis ini cenderung homogen dan tanpa tumbuhan bawah.
Keadaan inilah yang menyebabkan ketika hujan terjadi pengangkutan tanah
permukaan oleh air. Vegetasi memiliki pengaruh signifikan terhadap
konservasi tanah dimana jumlah aliran air akan meningkat apabila vegetasi
ditebang atau dikurangi dalam jumlah besar atau mengubah jenis tanaman
berakar dalam yang memiliki kapasitas intersepsi tinggi menjadi tanaman
berakar dangkal dengan kapasitas intersepsi lebih rendah. Sehingga faktor
penutupan lahan, sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis dalam
DAS. Suatu lahan dengan penutupan lahan yang baik memiliki kemampuan
meredam energi kinetis hujan sehingga memperkecil terjadinya erosi dan
sedimentasi. Kondisi penutupan lahan yang baik juga memberikan seresah
yang cukup banyak, sehingga bisa mempertahankan kesuburan tanah
(Bosch dan Hewlet, 1982).
Ultisol merupakan tanah dengan kategori agak tinggi terhadap
kerentanan erosi dan latosol dengan kategori agak rendah (Paimin et al.,
2006). Ultisol adalah tanah yang paling terkikis dan memperlihatkan
pengaruh pencucian, kejenuhan basah rendah kurang dari 35 %. Ultisol
memiliki tingkat kesuburan sangat rendah untuk tanaman pangan, pada
jenis tanah ini pertanian hanya dapat dipertahankan dengan perladangan
berpindah dan input pupuk. Jenis tanah ini akan sangat menyulitkan untuk
pengembangan kawasan pertanian dan kehutanan ditahap-tahap awal
pengembangan sehingga pemulihan kondisi lahan akan berjalan sangat
lambat (Foth, 1992). Sedangkan Latosol adalah tanah dengan kadar liat
lebih dari 60 %, remah sampai gumpal, gembur, warna tanah seragam
dengan batas-batas horison yang kabur, solum dalam (lebih dari 150 cm),
kejenuhan basa kurang dari 50 % umumnya mempunyai epipedon umbrik
dan horison kambik (Hardjowigeno, 2007).
Wilayah dengan sedimentasi tinggi juga didukung oleh kondisi tofografi
yang sangat curam (> 40 %), sehingga mengakibatkan tingginya aliran
permukaan yang mengakibatkan erosi. Hubungan antara kemiringan lereng
dengan fungsi hidro-orologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan lereng
akan semakin memperbesar kemungkinan air hujan untuk meresap ke
dalam tanah. Hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi
90
air permukaan. Disamping itu aliran air pada daerah datar cenderung lebih
lambat dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan
terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh lereng datar terhadap
kemungkinan timbulnya lahan kritis semakin kecil.
Selain memperbesar jumlah aliran permukaan semakin besar lereng
juga memperbesar kecepatan aliran permukaan, dengan demikian
memperbesar energi angkut air, selain itu dengan makin miringnya lereng,
maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik kebawah oleh tumbukan butir
hujan semakin banyak. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih
curam maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2 - 2,5 kali lebih
banyak (Arsyad, 1989). Laju Erosi dan sedimentasi sebanyak 30 - 40 % dari
seluruh erosi tahunan terjadi pada dua bulan pertama musim penghujan,
pada saat tanah belum sepenuhnya tertutup tanaman (Notohadiprawira et
al., 1999).
Gambar 13. Peta sebaran sedimentasi pada Sub DAS Alo
Satu-satunya areal berhutan pada Sub DAS Alo terdapat di unit lahan
29, pada unit lahan ini sedimen rata-rata bulanan 2.085 - 5.568 ton/ha.
Areal berhutan ini merupakan kawasan Cagar Alam (CA) Tangale, letaknya
berada disepanjang aliran Sungai Alo. Selain itu CA Tangale dibelah oleh
jalan Trans Sulawesi, dengan ketinggian tempat berkisar pada 100 - 350 m
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
91
dpl. Meski berhutan namun nilai sedimentasi berasal dari tofografi sebab
secara keseluruhan CA. Tangale masuk kategori sangat curam (> 40 %).
Meski kandungan jenis tanah (inseptisol) tidak rentan terhadap erosi namun
sebagian wilayah dari cagar alam memiliki kandungan tanah ultisol. Selain
masuk kategori tinggi terhadap kerentanan erosi, tanah ultisol juga sangat
sulit untuk pengembangan kehutanan. Dengan kata lain jika areal hutan
pada wilayah ini dibuka maka akan sangat sulit merestorasinya kembali.
Berdasarkan interpretasi citra luas CA. Tangale hanya 85,81 ha, terjadi
penyusutan sebesar 26,69 ha dari luas total ketika kawasan konservasi ini
ditetapkan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 431/Kpts/VII-
4/1992 tanggal 5 Mei tahun 1992 Kawasan Tangale ditetapkan sebagai
cagar alam dengan luas areal 112,50 ha. Telah terdapat tanah-tanah kritis
bekas perladangan berpindah dan pada bagian batas kawasan dan didalam
kawasan. Lahan yang dibuka kemudian ditanami tanaman semusim berupa
jagung dan cabe. Hasil pangamatan dilapangan ditemukan fakta bahwa
masyarakat membuka lahan pada akhir musim kemarau atau sekitar bulan
Oktober dengan cara membakar. Dalam skala kecil membakar mungkin
dapat membantu mempercepat proses dekomposisi tanah, namun untuk
skala yang lebih luas dan intensif akan menimbulkan dampak berupa
menurunnya produktifitas tanah. Kondisi tersebut akan diikuti dengan
penurunan produksi hasil panen dan muara dari kesemuanya itu adalah
muncul lahan-lahan terdegradasi.
Berdasarkan hasil groundchek terdapat beberapa lokasi pengembangan
hutan rakyat jati (Tectona grandis) yang dikembangkan oleh masyarakat
dalam spot-spot kecil dengan luasan antara 0,5 - 1 ha. Hutan rakyat ini
banyak dikembang oleh masyarakat disekitar pekarangan rumah mereka
dan ada juga yang ditanam pada lahan perkebunan. Meski demikian namun
kondisi ini tidak dapat berkontribusi secara signifikan terhadap penurunan
laju sedimentasi, sebab penggunaan lahan ini hanya bagian kecil dari
dominansi pertanian lahan kering dan semak belukar.
Secara visual di lapangan lahan kritis nampak gundul, gersang, pada
permukaan lahan nampak dominasi pasir, terkadang muncul batu-batuan di
permukaan tanah akibat adanya erosi dan umumnya terdapat pada lahan
berbukit dan berlereng curam. Pada daerah tangkapan Sub DAS Alo banyak
dijumpai lahan berupa alang-alang dan semak dimana tanaman pokok pada
lahan tersebut tidak lagi dapat tumbuh dengan baik, hal itu merupakan
indikator bahwa lahan tersebut telah mengalami degradasi. Keadaan
tersebut disebabkan karena lapisan subur tanah relatif tidak dalam lagi,
92
sehingga hanya jenis tanaman yang memiliki perakaran dangkal dapat
dengan cepat mengkonsumsi unsur hara. Berbeda ketika jenis tanaman
perakaran dalam yang tumbuh pada daerah tersebut, tanaman terlihat kerdil
karena ketika akar tanaman telah tumbuh semakin dalam maka akan
kesulitan untuk mendapatkan unsur hara.
Lahan kritis di DAS Limboto pada umumnya merupakan lahan bekas
perladangan berpindah yang ditinggalkan karena dianggap tidak produktif
lagi. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa masyarakat
meninggalkan ladang yang dibuka setelah 3 - 5 kali penanaman. Daerah
dengan lereng lebih terjal biasanya sudah ditinggalkan setelah tiga kali
tanam. Hal ini menunjukkan cepatnya laju degradasi lahan pada areal bekas
perladangan berpindah. Kondisi ini dapat dipahami karena sistem pertanian
yang dilakukan merupakan pertanian subsisten yang memanfaatkan lahan
tanpa adanya input pupuk dan teknik konservasi secara tradisional (Tabba,
2013). Areal ladang yang ditinggal pun saat ini berubah menjadi alang-alang
dan semak.
Lahan-lahan pertanian tidak nampak adanya perlakuan konservasi
tanah berupa teras yang diterapkan oleh masyarakat yang bermukim di
sekitar hulu Sub DAS Alo. Padahal lahan pertanian yang mereka garap
sebagian besar berada pada daerah dengan kemiringan lereng curam (25 -
45 %) sampai sangat curam (> 45%). Wilayah hilir umumnya ditemukan
sawah, baik dengan menggunakan pengairan dari irigasi teknis ataupun
tadah hujan. Sebagian besar wilayah persawahan merupakan areal bekas
danau yang telah mengalami pendangkalan akibat sedimentasi kiriman dari
bagian hulu Sub DAS yang terakumulasi dari tahun ke tahun.
Beberapa permasalahan pokok yang teridentifikasi yaitu tingginya aliran
permukaan/erosi, frekuensi banjir yang cenderung meningkat. Keadaan ini
disebabkan oleh tingginya konversi hutan menjadi lahan budidaya pertanian
serta praktek perladangan berpindah (shifting cultivation) yang dilakukan
oleh petani tradisional. Sebagian besar masyarakat mengusahakan lahan
secara sub sistem tanpa adanya input pupuk dan penerapan teknik-teknik
konservasi tanah dan air. Masyarakat membuka lahan untuk dijadikan areal
budidaya pertanian lahan kering (jagung, cabe, kacang tanah, dan tomat).
Lahan dibuka dengan cara dibakar terlebih dahulu, kegiatan ini mereka
lakukan dengan alasan cepat dan tidak membutuhkan biaya besar.
Umumnya mereka tidak menggunakan pupuk dengan alasan mahal. Ketika
lahan garapan tidak lagi menghasilkan produksi maksimal karena kesuburan
tanah menurun maka alternatif yang ditempuh oleh masyarakat adalah
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
93
dengan membuka lahan baru. Permasalahan tersebut timbul karena
rendahya produktifitas lahan serta kurangnya transfer ilmu dan adopsi
teknologi masyarakat, disisi lain kebutuhan hidup meningkat dan tingginya
ketergantungan terhadap lahan.
D. Alternatif Arahan Penanggulangan
Mengingat sedimentasi pada wilayah Sub DAS Alo cukup tinggi
sehingga perlu penanganan secara komprehensif untuk mengendalikannya.
Jika tidak tertangani dengan baik maka dikhawatirkan bahwa bahaya
sedimentasi ini akan terakumulasi menjadi bencana. Bencana sedimen
merupakan fenomena yang menyebabkan kerusakan baik secara langsung
ataupun tidak langsung pada kehidupan manusia dan harta benda,
ketidaknyamanan bagi kehidupan masyarakat dan atau kerusakan
lingkungan, melalui suatu skala besar pergerakan tanah dan batuan
(Hasnawir, 2012).
Sehingga upaya untuk mencegah menjamurnya lahan kritis pada Sub
DAS Alo dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu
hukum dan fisik. Pendekatan hukum berupa pemberian sangsi pada pelaku
perambahan hutan dan perladangan berpindah. Sedangkan pendekatan fisik
dapat dilakukan dengan melakukan prioritas penanganan untuk
mengembalikan produktifitas lahan, melalui program percepatan rehabilitasi.
termasuk menghutankan kembali lahan-lahan gundul dan gersang yang
dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya kerusakan DAS (Tabba, 2013).
Hutan pada Sub DAS Alo sangat rentan terdegradasi, beberapa faktor
yang teridentifikasi yaitu jenis tanah termasuk ketegori mudah tererosi dan
terdapat pada kemiringan lereng curam hingga sangat curam. Ketika hutan
dibuka akan terjadi erosi dan pada akhirnya akan berimplikasi pada
cepatnya laju degradasi lahan. Sehingga direkomendasikan agar hutan tidak
dibuka dan senantiasa dalam pengawasan. Sedangkan pertanian lahan
kering pada hulu Sub DAS sebaiknya menerapkan kaidah-kaidah konservasi
tanah dan air berupa teras untuk meminimalkan aliran permukaan/erosi
khusunya diwilayah Sub DAS. Menurut Kartasapoetra et al. (2000) tindakan
KTA diarahkan pada empat perlakuan pokok yaitu (1) Memperbesar
resistensi permukaan tanah sehingga lapisan permukaan tanah tahan
terhadap pengaruh tumbukan butiran air hujan (2) Memperbesar kapasitas
infiltrasi tanah, sehingga laju limpasan dapat dikurangi (3) Mengurangi laju
permukaan agar daya kikisnya terhadap tanah dapat diperkecil (4)
94
Memperbesar resistensi tanah sehingga daya rusak dan daya hanyut
limpasan terhadap partikel-partikel tanah dapat diperkecil.
Lahan pertanian masyarakat perlu mengembangkan konsep budidaya
ramah lingkungan dengan pendekatan teknik-teknik agroforestri baik
metode vegetatif maupun teknik sipil. Agroforestri memberikan hasil yang
lebih efektif dalam mengendalikan laju erosi yang pada akhirnya berujung
pada sedimentasi dalam hal penyediaan serasah diatas permukaan tanah
jika dibandingkan dengan pengaruh tajuk tanaman saja (Pramono dan
Wahyuningrum, 2010). Perkebunan dan sawah pada bagian hilir disarankan
tetap karena kemiringan lereng relatif datar sehingga tidak berpotensi
mengakibatkan sedimentasi yang berimplikasi pada kekritisan lahan.
Selain penerapan sistem agroforestri pada lahan-lahan pertanian
masyarakat, penting juga memberikan sosialisasi mengenai pengembangan
hutan rakyat. Sebab pola ini mampu memberikan manfaat jangka panjang,
menengah dan jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Hutan rakyat merupakan pola penggunaan lahan yang mengembangkan
jenis-jenis tanaman kehutanan dan tidak saja untuk menghasilkan produk
tunggal namun dikembangkan untuk tujuan-tujuan yang multi produk,
bukan hanya menghasilkan kayu melainkan juga produk non kayu (Suharjito
et al., 2000).
IV. KESIMPULA N DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penggunaan lahan pada Sub DAS Alo terdiri dari enam tipe yaitu hutan
lahan kering skunder, pemukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan
kering campur, sawah dan semak belukar. Pertanian lahan kering
merupakan penggunaan lahan dominan. Jumlah debit rata-rata perbulan
Sub DAS Alo antara 0,173-5,000 m3/ha yang terjadi di outlet. Jumlah debit
tertinggi terjadi di wilayah outlet Sub DAS. Sedimentasi rata-rata bulanan
tertinggi pada pada Sub DAS Alo sebesar 2,085-20,000 ton/ha, yang terjadi
pada wilayah punggung bukit. Sedangkan sedimentasi rata-rata bulanan
tertinggi pada Sub DAS Sawangan sebesar 17,70-22,13 m3/s, pada wilayah
hulu sedimentasi rata-rata bulanan antara 4,42-8,85 m3/s.
B. Saran
Melakukan prioritas rehabilitasi pada lahan-lahan kritis untuk
mengembalikan produktifitas lahan melalui pendekatan teknik-teknik
Agroforestri. Termasuk menghutankan kembali lahan-lahan gundul dan
gersang yang dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya kerusakan DAS.
Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo ……..
Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro
95
Hutan pada Sub DAS Alo sangat rentan terdegradasi, dengan jenis tanah
termasuk ketegori mudah tererosi. Sehingga hutan harus dipertahankan dan
senantiasa dalam pengawasan. Sedangkan pertanian lahan kering pada hulu
Sub DAS sebaiknya menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air
berupa teras untuk meminimalkan aliran permukaan/erosi khususnya di
wilayah Sub DAS Alo. Sosialisasi mengenai pengembangan hutan rakyat,
sebab pola ini mampu memberikan manfaat jangka panjang, menengah dan
jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, J. G., Srinivasan, Mutiah, R. S., and William, J. R. (1998). Large-area
Hidrologic Modeling and assesment. Part I, model development.
Journal American Water Resources Assoc, 35(5), 1037-1052.
Arsyad. (1989). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Press.
Asdak, C. (2010). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan
Kelima Edisi Revisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Asir, L. (2011). Strategi rehabilitasi lahan dan sistem kelembagaan dalam
pengendalian banjir dan longsor di daerah tangkapan air Limboto.
dalam Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Manado: Balai
Penelitian Kehutanan Manado.
Bosch J. M. and Hewlet, J. D. (1982). Review of catchment experiments to
determine the effects of vegetation changes on water yield and
evapotranspiration. Journal of Hidrology, 55, 3-23.
Departemen Kehutanan. (1992). Keputusan Menteri Kehutanan No.
431/Kpts/VII-4/1992 tanggal 5 Mei. Penetapan Kawasan Cagar Alam.
Jakarta.
Departemen Kehutanan. (2009). Keputusan Menteri Kehutanan No SK.
328/Menhut-II/2009. Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas
Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Tahun 2010-2014. Jakarta.
Foth, H. D. (1994). Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Edisi Keenam. Alih Bahasa oleh
Soenartono Adisoemarto, Ph.D. Anggota IKAPI. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Gassman, P. W., Reyes, M. R., Green C. H., and Arnold J. G. (2007). The soil
and water assesment tool: Historical development, application, and
future research directions american society of agricultural and
biological engineers. ISSN 0001-2351, 50(4), 1211-1250.
Hardjowigeno, S. (2007). Ilmu Tanah. Edisi Baru Cetakan Keenam. Anggota
IKAPI. Jakarta: Akademika Pressindo
96
Hasnawir. (2012). Mitigasi bencana sedimen. dalam Prosiding Seminar dan Pemeran Hasil-Hasil Penelitian Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat) Konservasi dan Rehabilitasi Hutan, (hlm. 107-134).
Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Kartasapoetra, G., Kartasapoetra, A. G., Sutedjo, M. M. (2010). Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Cetakan Keenam. Jakarta:
Rineka Cipta
Lee, R. (1990). Hidrologi Hutan (terjemahan: Forest Hidrology). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Neitsch, S. R., Arnold, J. G., Kiniry, J. R., Srinivasan, R. and Williems, J. R.,
(2005). Soil and water assessment input/output file documentation
version 2005. Agriculture Research Servic US. Texas. [terhubung
berkala]. Diunduh tanggal 31 Oktober 2008, dari http://www.
http.brc.tamus.edu/swat/document. Html [].
Notohadiprawira, Tejoyuwono, Sutanto, R., Maas, A. dan Yasni, S. (1999).
Kebutuhan Riset, Inventarisasi dan Koordinasi Pengelolaan Sumber
Daya Tanah di Indonesia. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi.
Dewan Riset Nasional. Jakarta.
Paimin, Sukresno dan Purwanto. (2006). Selidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Puslitbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Pramono, I. B. dan Wahyuningrum, N. (2010). Model pengendalian run off
dan erosi dengan metode vegetatif. dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Dalam Upaya Pengendalian Banjir dan Erosi-Sedimentasi (hlm. 23-31).
Surakarta: Pusat Litbang Konervasi dan Rehabilitasi.
Suharjito, D., Khan, A., Djatmiko, W. A., Sirait, M. T., dan Evelyna, S.
(2000). Karakteristik pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat.
Kerjasama antara FKM-Ford Foundation. Yogyakarta: Aditya Media.
Tabba, S. (2013). Kontribusi faktor dan penyebab kekritisan Sub DAS
Biyonga sebagai hulu Danau Limboto. Info Balai Penelitian Kehutanan
Manado, 3(1), 37-64.
Wibowo, M. (2005). Analisis pengaruh perubahan penggunaan lahan
terhadap debit sungai (studi kasus Sub-DAS Cikapundung Gandok,
Bandung). Jurnal Teknik Lingkungan, 6(1), 283-290.
Pengaruh Asal Benih dan Penggunaan Pupuk Kandang terhadap ……..
Hanif Nurul Hidayah, Arif Irawan, Jafred E. Halawane, dan S. Tabba
97
Pengaruh Asal Benih dan Penggunaan Pupuk Kandang terhadap
Pertumbuhan Awal Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
dalam Uji Coba Penanaman pada Lahan Berpasir1
Hanif Nurul Hidayah2 , Arif Irawan2 , Jafred E. Halawane2 , dan
Supratman Tabba2
ABSTRAK
Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) merupakan jenis tanaman yang
mampu beradaptasi pada hampir semua jenis tanah. Terdapat banyak jenis
sengon yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui perbandingan pertumbuhan sengon asal Talise dengan
sengon asal Jawa berdasarkan perlakuan dosis pupuk kandang yang ditanam
pada lahan berpasir. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan
petak terbagi dengan 2 (dua) faktor yaitu asal benih dan perlakuan pemupukan.
Dalam rancangan ini, asal benih sebagai petak utama (asal Talise dan Jawa) dan
perlakuan dosis pupuk sebagai anak petak (kontrol, pupuk kandang 0,5 kg,
pupuk kandang 1 kg, dan pupuk kandang 1,5 kg). Parameter pertumbuhan yang
diukur adalah pertambahan tinggi dan diameter serta persen hidup tanaman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa asal benih yang digunakan tidak
memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan
persen hidup tanaman. Sedangkan pemberian pupuk kandang menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap ketiga parameter pertumbuhan tersebut.
Dosis pupuk kandang optimal yang dapat digunakan untuk tanaman sengon di
lahan berpasir adalah sebanyak 1kg/lubang tanam.
Kata kunci : asal benih, lahan berpasir, pupuk kandang, sengon (Paraserianthes
falcataria (L) Nielsen)
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Jl. Raya
Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado; Email: [email protected]
98
I. PENDA HULUA N
Sengon (Paraserianthes falcataria) termasuk famili Mimosaceae atau
keluarga petai–petaian dan merupakan salah satu tanaman pioner yang
mampu hidup di daerah kritis atau miskin hara. Sengon merupakan jenis
pohon daerah tropik dengan suhu pertumbuhan optimum berkisar 22 oC - 29 oC. Tempat tumbuh terbaik ditemukan pada ketinggian tempat 10 - 800 m
dpl. Sengon tumbuh baik di daerah yang terletak antara 10o LS – 3o LU yang
memiliki 15 hari hujan dalam 4 bulan kering. Curah hujan tahunan yang
diinginkan pohon ini adalah 2000 mm - 2700 mm, kelembaban udara yang
dibutuhkan untuk tumbuh berkisar 50 % - 75 % (Prihmantoro, 1991).
Sengon mampu hidup dengan baik pada jenis tanah ragosol, aluvial, dan
latosol dengan bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan
kemasaman tanah sekitar pH 6-7. Sebaran alami di Maluku, Papua Nugini,
Kepulauan Solomon dan Bismark. Banyak ditanam di daerah tropis,
terutama terdapat di hutan hujan dataran rendah sekunder atau hutan
pegunungan rendah. Dapat beradaptasi dengan iklim monsoon dan lembab
dengan curah hujan 200-2700 mm/th dimana bulan kering sampai 4 bulan.
Dapat ditanam pada tapak yang tidak subur tanpa dipupuk. Tidak tumbuh
subur pada lahan berdrainase jelek. Termasuk species yang memerlukan
cahaya. Merupakan salah satu spesies paling cepat tumbuh di dunia, mampu
tumbuh 8 m/tahun dalam tahun pertama penanaman (Hidayat, 2002).
Sengon merupakan jenis-jenis kayu yang potensial dikembangkan
untuk hutan tanaman industri. Sengon merupakan jenis tanaman lokal
Indonesia yang sudah dimanfaatkan sejak tahun 1700-an, bahkan
direkomendasikan untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan
tanaman. Sengon tergolong pohon cepat tumbuh, mudah beradaptasi di
segala tipe tanah dengan teknik budidaya mudah dan telah diketahui. Sejak
2007 - 2008 popularitas sengon melambung. Padahal sebagai kayu kelas 3
sejak lama sengon hanya menjadi bahan peti. Kayu sengon memang tak
sekeras jati. Namun, dengan perendaman dengan garam wolman yang
terdiri atas campuran natrium fluorida, dinatrium hidrogen arsenat, natrium
kromat, dan dinitro fenol, kayu sengon mampu bertahan 30 - 45 tahun,
tidak kalah awet dibandingkan jati. Saat ini banyak masyarakat tertarik
untuk mengembangkan hutan tanaman jenis kayu cempaka wasian, jabon
merah ataupun sengon karena memilki daur yang lebih pendek (5 - 8
tahun).
Terdapat banyak jenis sengon yang tersebar di seluruh Indonesia.
Masing-masing jenis memiliki karakteristik pertumbuhan yang berbeda. Jenis
Pengaruh Asal Benih dan Penggunaan Pupuk Kandang terhadap ……..
Hanif Nurul Hidayah, Arif Irawan, Jafred E. Halawane, dan S. Tabba
99
yang paling banyak ditemui antara lain sengon jawa, sengon solomon,
sengon buto dll. Di Sulawesi Utara sendiri ada beberapa jenis sengon yang
tersebar baik tumbuh alami maupun ditanam oleh masyarakat. Di Pulau
Talise, ada banyak ditemui tanaman sengon yang secara umum memiliki
karakteristik hampir sama dengan sengon jawa. Penelitian ini
membandingkan pertumbuhan sengon lokal asal Talise dengan sengon asal
Jawa melalui perlakuan pemupukan dan ditanam di habitat baru dengan
jenis tanah berpasir bekas letusan gunung berapi.
II. METODE PENELITIA N
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilakukan di Hutan Penelitian Balai Penelitian Kehutanan
Manado di Batu Angus Kota Bitung. Waktu pelaksanaan dimulai bulan
November 2013 sampai dengan Agustus 2014.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kaliper, meteran,
dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan antara lain bibit sengon
asal Talise dan Jawa, pupuk kandang, dan top soil.
C. Prosedur Penelitian
1. Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan adalah:
a. Pembibitan sengon asal Talise dan Jawa dilakukan di persemaian
BPK Manado.
b. Bibit yang ditanam di lokasi Hutan Penelitian Batu Angus dipilih
yang sudah berkayu dan memiliki tinggi seragam.
c. Perlakuan penanaman dibedakan berdasarkan asal benih dan
besaran jumlah pupuk yang digunakan.
d. Penyiapan lubang tanam dilakukan dengan ukuran 30 cm x 30 cm x
30 cm. Sebelum bibit ditanam, setiap lubang tanam diberikan pupuk
sesuai taraf perlakuan yang dicobakan.
e. Pemeliharaan tanaman tetap dilakukan untuk meminimalkan resiko
kematian bibit, yaitu meliputi pendangiran, pembersihan plot, dan
penambahan hidrogel.
f. Pengukuran dilakukan pada umur 9 bulan setelah penanaman. Data
yang diambil yaitu persen hidup, tinggi tanaman dan diameter
tanaman.
100
2. Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan di plot hutan penelitian TWA Batu Angus
adalah rancangan petak terbagi. Pada rancangan ini digunakan 2 faktor,
yaitu asal sumber benih yang terdiri dari 2 taraf percobaan (S1, Sengon
jawa dan S2, Sengon talise) dan faktor pemupukan yang terdiri dari 4 taraf
percobaan (P1: kontrol, P2: pupuk kandang 0,5 kg, P3: pupuk kandang 1kg,
P4: pupuk kandang 1,5 kg). Masing–masing perlakuan dilakukan ulangan
sebanyak 3 kali. Berdasarkan factor perlakuan yang diberikan, terbentuk 24
plot uji dimana setiap plot uji ada 25 bibit yang ditanam dan jumlah bibit
yang telah digunakan adalah sebanyak 300 bibit sengon jawa dan 300 bibit
sengon talise.
D. Analisis Data
Uji F dilakukan untuk mengetahui perbedaan pemberian perlakuan.
Apabila diperoleh perbedaan nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan Uji
Jarak Berganda Duncan atau uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk
mengetahui jenis terbaik berdasarkan rankingnya.
III. HASIL DAN PEMBAHASA N
Pengukuran parameter pertumbuhan sengon dilakukan pada umur 9
bulan setelah penanaman. Data yang diambil meliputi pertambahan tinggi
dan diameter serta persen hidup tanaman. Dari data yang diperoleh
dilakukan analisis sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil analisis ragam pengaruh asal benih dan pemupukan
Sumber Keragaman Kuadrat Tengah
Tinggi Diameter Persen Hidup
Petak utama Pupuk
Anak Petak Asal
Pupuk*Asal
34465,91 *
7740,34 tn
10009,52 tn
6,39 *
1,38 tn
1,40 tn
1646,89 *
150,00 tn
141,11 tn
Keterangan: * = berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5% tn = tidak berpengaruh nyata
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa perlakuan pupuk kandang
memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan
persen hidup tanaman. Sedangkan perlakuan asal benih dan interaksi antara
perlakuan pemupukan dan asal benih tidak memberikan pengaruh nyata. Uji
lanjut untuk mengetahui pengaruh pemupukan terbaik ditampilkan pada
Tabel 2.
Pengaruh Asal Benih dan Penggunaan Pupuk Kandang terhadap ……..
Hanif Nurul Hidayah, Arif Irawan, Jafred E. Halawane, dan S. Tabba
101
Tabel 2. Uji lanjut pengaruh pemupukan
No Pupuk Tinggi
(cm)
Diameter
(mm)
Persen Hidup
(%)
1. Pupuk kandang 1 kg 89,15 a 1,27 a 36,67 a 2. Pupuk kandang 1,5 kg 83,52 a 1,09 ab 35,33 a
3. Pupuk kandang 0,5 kg 63,56 a 0,85 b 35,33 a 4. Kontrol 7,93 b 0,14 c 2,67 b
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 95%
1. Asal Sumber Benih
Perbedaan asal benih merupakan faktor penentu dalam pertumbuhan
suatu jenis tanaman. Kombinasi dari kondisi lingkungan dan faktor genetik
dapat menghasilkan benih dengan tingkat pertumbuhan tanaman yang
berbeda-beda antar asal benih. Perbedaan geografi diantara sumber benih
sangat mempengaruhi sifat genetiknya (Zobel dan Talbert, 1984) dan
diferensiasi genetik antar populasi (asal sumber benih) dipengaruhi oleh
adanya aliran gen melalui penyebaran serbuk sari dan biji (Loveless dan
Hamrick, 1984).
Dari analisis data yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa faktor
asal benih yang dicobakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap parameter pertumbuhan yang diukur. Variasi pertumbuhan yang
tidak nyata antar asal sumber benih mengindikasikan bahwa faktor genetik
belum memberikan pengaruh yang signifikan pada tanaman sengon yang
diuji. Hal ini diduga disebabkan karena terdapat faktor lain yang lebih
dominan dalam memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan sengon,
sehingga performa diferensiasi genetik antar populasi (asal sumber benih)
tidak dapat berpengaruh secara maksimal. Pengaruh faktor genetik akibat
perbedaan penggunaan asal benih yang memberikan pengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan sengon sebelumnya telah disampaikan oleh Rohandi
et al., 2014; Hadiyan, 2010; dan Ismail dan Hadiyan, 2008.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa faktor dominan
yang menyebabkan tidak munculnya perngaruh asal benih dalam penelitian
ini adalah disebabkan oleh kondisi lingkungan yang terlalu ekstrim. Handian
(2010) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa 80 famili sengon dari Jawa,
Lombok, dan Papua yang ditanam pada kebun benih di Cikampek Jawa
Barat dengan kondisi tapak yang subur menunjukkan nilai rata-rata persen
hidup yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 82,47 % - 93,38 %. Data
tentang kandungan unsur hara tanah dan kondisi lingkungan ditampilkan
pada Tabel 3 dan 4 berikut:
102
Tabel 3. Hasil analisis tanah TWA Batu Angus
Nomor
Sampel
% KA pH
(H2O)
pH
(KCl)
% C-organik N
(%)
P
(ppm)
K
(%)
1 2,44 6,55 5,33 4,63 0,27 3,4 0,01
2 2,03 6,57 5,70 1,46 0,14 3,6 0,01
3 2,96 6,33 5,39 4,94 0,14 3,8 0,01
Sumber: Laboratorium Balai Penelitian Palma Sulawesi Utara
Tabel 4. Data curah hujan di Hutan Penelitian Batu Angus
No Bulan Curah Hujan
Rata-Rata (mm3)
Rata-Rata
1 MARET 3,70
4,23 mm3
2 APRIL 2,94
3 MEI 3,95
4 JUNI 12,33
5 JULI 5,15
6 AGUSTUS 3,45
7 SEPTEMBER 0,37
8 OKTOBER 1,94
Sumber: Data BPK Manado 2014
Selain kondisi tapak penanaman yang miskin akan kandungan unsur
hara, suhu dan cuaca yang sangat panas pada lokasi penanaman
mengakibatkan performa genetik dari kedua sumber benih terhalang oleh
kedua faktor ini.
2. Pemupukan
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara di
dalam tanah. Pertumbuhan tanaman akan meningkat apabila nutrisi
tanaman terpenuhi. Salah satu nutrisi yang penting bagi tanaman adalah
unsur hara. Menurut Sutedjo (1987), tanaman terdiri dari 50 elemen unsur
hara, sedangkan yang dibutuhkan tanaman selama masa pertumbuhan dan
perkembangannya ada 16 unsur yang merupakan unsur hara esensial terdiri
dari unsur hara makro dan mikro. Unsur hara makro merupakan unsur hara
yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, yang termasuk dalam
unsur hara makro antara lain: C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, S. Unsur hara mikro
merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit,
yang tergolong dalam unsur hara mikro antara lain: Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, B,
Cl, Ni (Mengel dan Kirkby 2001). Unsur hara makro dan mikro yang tidak
Pengaruh Asal Benih dan Penggunaan Pupuk Kandang terhadap ……..
Hanif Nurul Hidayah, Arif Irawan, Jafred E. Halawane, dan S. Tabba
103
lengkap dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman
serta produktivitasnya. Unsur hara dapat diperoleh salah satunya dari pupuk
yang diberikan pada tanaman.
Pupuk kandang merupakan salah satu pupuk organik yang dikenal oleh
banyak kalangan. Menurut Suriadikarta et al. (2004) pupuk organik adalah
pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang
berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan atau manusia antara lain pupuk
kandang, pupuk hijau dan kompos (humus) berbentuk padat atau cair yang
telah mengalami dekomposisi.
Perlakuan pemupukan dalam penelitian ini menunjukkan hasil
perbedaan yang nyata terhadap pertambahan tinggi dan diameter serta
persen hidup tanaman sengon. Selain memberikan unsur hara yang
dibutuhkan tanaman, penggunaan pupuk organik pada lahan berpasir dapat
membantu meningkatkan kelembaban tanah sebab media pasir pada
dasarnya memiliki tingkat porositas yang cukup tinggi. Poincelot (1980)
menyatakan bahwa pasir merupakan media yang memiliki ukuran partikel
0,05 - 2,0 mm, sehingga kapasitas memegang air yang dimiliki rendah dan
mengakibatkan media pasir menjadi mudah basah dan cepat kering oleh
proses penguapan. Susanti (2012) menyatakan bahwa kelebihan dari pupuk
organik ialah dapat memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap
tanah terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan di dalam tanah, dan
sebagai sumber zat makanan bagi tanaman.
Berdasarkan analisis ragam yang telah dilakukan,dapat diketahui bahwa
penggunaan pupuk memberikan pengaruh sangat nyata dalam penelitian ini.
Hal ini dapat dilihat dari perbedaan hasil pertumbuhan tinggi, diameter dan
persen hidupnya. Perlakuan kontrol (tanpa pemupukan) memiliki nilai
pertumbuhan paling kecil dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu
sebesar 7,93 cm (tinggi), 0,14 cm (diameter) dan 2,67 % (persen hidup).
Perlakuan pemupukan dengan 3 (tiga) dosis level yang digunakan secara
umum tidak menunjukkan adanya perbedaan tinggi dan persen hidup,
namun memberikan pengaruh yang berbeda pada pertambahan diameter
(Tabel 2). Kecenderungan dosis pupuk yang paling optimal adalah pupuk
kandang dengan dosis 1 kg. Perlakuan ini menghasilkan pertumbuhan
tanaman sengon sebesar 89,15 cm (tinggi), 1,27 cm (diameter) dan
36,67 % (persen hidup).
104
IV. KESIMPULA N DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penanaman sengon pada lahan kritis membutuhkan perlakuan ekstra
untuk mendukung pertumbuhannya. Perlakuan pemupukan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan sengon pada lahan kritis
berpasir. Dosis pupuk kandang optimal yang dapat digunakan pada lahan
berpasir adalah 1 kg setiap lubang tanam.
B. Saran
Pemberian perlakuan pemupukan perlu dilakukan secara kontinyu dan
konsisten, terutama untuk penanaman di lahan miskin hara. Selain itu
pemeliharaan dan pengukuran juga diperlukan untuk memperoleh data
pertumbuhan yang terbaik pada setiap jenis tanaman.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan untuk Tim Penelitian Hutan Tanaman
Jenis Unggulan Sulawesi Utara yang telah semaksimal mungkin membantu
kegiatan di lapangan hingga selesainya tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiyan, Y. (2010). Evaluasi pertumbuhan awal kebun benih semai uji
keturunan sengon (Falcataria moluccana sinonim: Paraserianthes
falcataria umur 4 bulan di Cikampek Jawa Barat. Jurnal Pemuliaan
Tanaman Hutan, 7(2), 85-91.
Hidayat, J. (2002). Informasi singkat benih. Indonesian Forest Seed Project.
Bandung.
Ismail, B. dan Hadiyan, H. (2008). Evaluasi awal uji keturunan sengon
(Falcataria moluccana) umur 8 bulan di Kabupaten Kediri Jawa Timur.
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 2(3), 1-7.
Loveless, M. D. and Hamrick.J. L. (1984). Ecological determinant genetic
structure in plant population. Ann.Rev.Ecol.Syst, 15, 65-95
Mengel K., and Kirkby E. A. (2001). Principles of Plant Nutritions.
Netherlands: Kluwer Academic.
Poincelot, R. P. (1980). Horticulture; Principle and Practical Application.
Englewood Clifts, Prentice-Hall, Inc. 652 pp.
Prihmantoro, H. (1991). Budidaya Albizia. Jakarta Info Agribisnis. Majalah
Trubus, Edisi Juni, 34-36.
Pengaruh Asal Benih dan Penggunaan Pupuk Kandang terhadap ……..
Hanif Nurul Hidayah, Arif Irawan, Jafred E. Halawane, dan S. Tabba
105
Rohandi, A., Gunawan, dan Pieter, L. A. G. (2014). Variasi mutu fisiologis
benih dan pertumbuhan bibit sengon dari beberapa provenan asal
Papua. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 11(1), 11-20.
Suriadikarta, D. A., Setyorini, D. dan Hartatik, W. (2004). Uji Mutu dan
Efektivitas Pupuk Alternatif Anorganik Balai Penelitian Tanah. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah danAgroklimat. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
Susanti, S. (2012). Aplikasi pupuk daun organik untuk meningkatkan
pertumbuhan bibit jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq.).
Skripsi (Tidak dipublikasikan). Bogor: IPB.
Sutedjo M. M. (1987). Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta(ID): Rineka
Cipta.
Zobel, B. J. dan Talbert, J. (1984). Applied Forest Tree Improvement. New
York: John Wiley and Sons, Inc.
105
PRESENTASI
NARASUMBER TAMU
106 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
107
Pelestarian Biodiversitas dan Perubahan Iklim
Johny S. Tasirin Ilmu Kehutanan, Universitas Sam Ratulangi
108 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
109
110 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
111
112 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
113
114 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
115
116 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
117
118 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
119
“Stability of Tropical Rainforest Margins” in Central Sulawesi
Henri Barus Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia
120 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
121
122 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
123
124 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
125
126 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
127
128 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
129
130 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
131
132 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
133
134 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
135
136 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
137
138 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
139
140 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
141
142 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
143
144 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
145
146 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
147
148 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
149
150 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
151
152 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
153
154 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
155
156 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
157
158 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
159
160 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
161
162 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
163
164 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
165
Konservasi dan Perubahan Iklim
Pipin Permadi GIZ FORCLIME
166 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
167
168 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
169
170 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
171
172 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
173
174 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
175
DISKUSI
SEMINAR BENA NG MERAH KONSERVASI DAN REHABILITASI
DENGA N PERUBAHA N IKLIM
Pembukaan dan keynote speech
Tema seminar ini relevan dengan Rapat Kerja Komisi 4 dengan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Ir. Siti Nurbaya, M.Sc pada tanggal
25 Mei 2015. Rapat Kerja membahas tentang perburuan dan perdagangan
ilegal satwa langka yang dilindungi. Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan menyatakan terdapat 50.000 jenis spesies yang ada di Indonesia.
236 jenis diantaranya dilindungi dan 86 spesies lainnya hampir punah.
Spesies yang paling terancam punah, diantaranya badak jawa, badak
sumatera, orang utan, dan orang utan sumatera.
Tahun 2010 kementerian kehutanan telah menetapkan 14 spesies terancam
punah sebagai spesies prioritas konservasi. Keempat belas spesies tersebut
antara lain harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera
(Elephas maximus sumatranus), badak jawa (Rhinoceros sondaicus),
Banteng (Bos javanicus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), orang utan
kalimantan (Pongo Pygmaeus), jalak bali (Leucopsar rothschildi), kakatua
kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea), anoa (Bubalus quarlessi), babi rusa
(Babyrousa babirussa), komodo (Varanus komodoensis), maleo
(Macrocephalon maleo), owa jawa (Hylobates moloch), dan bekantan
(Nasalis larvatus).
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDAE) merupakan
tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Salah satu
kegiatan KSDAE adalah melalui pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Pengawetan jenis tumbuhan
dan satwa dilaksanakan di dalam (in situ) dan di luar kawasan suaka alam
(ex situ). Setiap unit pelaksana teknis (UPT) sebenarnya dapat mendukung
program ini setidaknya dengan mengembangkan kawasan hutan (KHDTK)
dengan tujuan khusus sekitar 3 ha dengan menanam jenis-jenis endemik
dan langka agar materi genetik tetap terjaga.
Penelitian harus bisa menjawab kebutuhan indikator kinerja program dan
indikator kinerja kegiatan, sehingga tidak muncul pertanyaan untuk apa hasil
penelitian dan pengembangan. Kegitan seminar seperti ini merupakan
176 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
sarana menukar pengetahuan yang dimiliki, diseminasi dengan pengguna
dan penguatan dari para narasumber eksternal/internal. Seringkali semangat
untuk menyelenggarakan jauh lebih kuat dibanding semangat untuk
menindaklanjuti hasil pertemuan. Maka output yang harus dihasilkan adalah
roadmap pengembangan penelitian berdasarkan kebutuhan.
Satu hal yang belum terjawab oleh Badan penelitian, Pengembangan dan
Inovasi. Sebagai pembanding, ketika pertanian menghasilkan bibit unggul
padi, langsung diperbanyak dan dilepaskan ke petani. Langsung dihitung
peningkatan produktivitas dari bibit unggul ini. Data sawah juga dimiliki.
Misal 40 % sawah diganti bibit unggul, akan terjadi kenaikan produksi
sekian ton, setara keuntungan sekian rupiah. Dan dapat dibandingkan
berapa anggaran yang disediakan, dengan hasil yang diperoleh.
Dampak perubahan iklim sudah nyata dan kita harus mampu menyikapinya.
Konservasi dan rehabilitasi lahan merupakan sebuah upaya nyata untuk
mengurangi dampak perubahan iklim tersebut.
Testimoni Budidaya Jamur Tiram Putih
Sudah mencoba budidaya jamur tiram putih menggunakan media serbuk
gergaji pada tahun 2007 namun tidak berhasil. Awal tahun 2015, ada
saudara buka informasi dari internet, dapat info budidaya jamur tiram
menggunakan sabut kelapa oleh BPK Manado. Langsung datang berkunjung
ke kantor. Diperlihatkan jamur tiram yang sudah tumbuh. Kemudian praktek
langsung mulai dari penyiapan media hingga penanaman. Dengan
membawa beberapa baglog (pertengahan April) ternyata bisa tumbuh
dengan baik. Tahap 2 diberikan bantuan bibit, ditanam tanggal 15 Mei 2015.
Kemungkinan tumbuh pertengahan atau akhir bulan juni. Proses sekitar 3
minggu diperoleh 50 baglog. Menurut kami, pengembangan budidaya jamur
tiram putih sangat mudah, hanya memanfaatkan limbah yang mudah
didapat dan ada di sekitar kita.
SESI 1
Pengantar dari moderator (Ir. Martina Langi, M.Sc, Ph.D)
kayu eboni memiliki nilai ekonomis tinggi, namun belum diketahui potensi
di alam.
Anoa merupakan satwa liar endemik yang terancam punah baik karena
diburu maupun perubahan tutupan lahan pada habitatnya, ada upaya
konservasi insitu dan eksitu. Ada masalah kesehatan yang diduga
disebabkan oleh ekto parasite.
Pemikiran ilmiah pelestarian biodiversitas dan perubahan iklim.
177
Burung nuri talaud termasuk jenis paling terancam keberadaannya,
populasinya terus menurun, upaya konservasi untuk mendorong perilaku
reproduksi.
Materi 1
Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Konservasi Eksitu Diospyros Umur 1,5 Tahun di Hutan Penelitian Batuangus
Julianus Kinho
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam
pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman tiga jenis Diospyros (D.
pilosanthera, D. rumphii dan D. minahassae) terhadap kombinasi perlakuan
antara naungan dan aplikasi mulsa organik. Kombinasi perlakuan mulsa
dengan radius 100 cm dan naungan 75 % (A2B3) memberikan respon
pertumbuhan yang terbaik pada ketiga jenis Diospyros dengan rata-rata
tinggi dan diameter secara berturut-turut yaitu D. pilosanthera (1,40 m;
1,67 cm), D. rumphii (1,26 m; 1,30 cm) dan D. minahassae (1,10 m; 1,36
cm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar radius penggunaan
mulsa organik (Ф 100 cm) dan semakin tinggi intensitas naungan yang
diberikan (75 %), semakin baik untuk pertumbuhan tanaman muda tiga
jenis Diospyros pada fase awal pertumbuhan di lapangan, karena dapat
meningkatkan kesuburan tanah dan menghasilkan kondisi lingkungan mikro
yang mendukung pertumbuhannya.
Materi 2
Ragam dan Intensitas Serangan Ektoparasit di Sekitar Kandang
Anoa (Bubalus spp.) Balai Penelitian Kehutanan Manado
Diah I.D Arini, M. S. Diwi, A. Mayasari dan Nur Asmadi
Pengumpulan ektoparasit di penangkaran anoa dilakukan pada pagi hari
mulai pukul 07.00 – 10.00. Ektoparasit yang terjaring dimasukkan dalam
tabung sampel yang berisi alkohol 70 %. Ektoparasit yang telah mati
kemudian diangin-anginkan dan di pinning kemudian di simpan dalam kotak
serangga. Identifikasi jenis ektoparasit dilakukan di Laboratorium Entomologi
dan Parasit Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa jenis ektoparasit yang banyak dijumpai di kandang anoa adalah jenis
dari ordo Diptera (lalat) sebanyak 7 jenis dan jenis Stomoxys calsitrans atau
lalat kandang memiliki persentase jumlah individu 71,1 %. Besarnya jumlah
individu yang dijumpai sebanding dengan infestasi ektoparasit. Intensitas
serangan tinggi adalah jenis S. calsitrans. Tingginya infestasi serangan dari
jenis S. calsitrans membawa dampak terhadap munculnya berbagai penyakit
pada anoa salah satunya adalah penyakit kulit (kaskado) yang ditandai
178 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
dengan munculnya luka dan kerak-kerak pada lapisan kulit. Penanganan
terhadap serangan dari jenis S. calsitrans dapat diminimalisir dengan
pemberian obat parasit. Kebersihan kandang harus tetap terjaga, tumpukan
kotoran maupun tumpukan rumput/jerami bekas pakan harus dikelola
dengan sebaik mungkin untuk mengurangi serangan ektoparasit yang dapat
merugikan.
Materi 3
Pelestarian Biodiversitas dan Perubahan Iklim
Johny S. Tasirin
Sinar ultra violet menembus molekul gas rumah kaca, menjadi infra merah
dan memanaskan molekul-molekul yang terkena. Menjadi albedo yang
dipancarkan kembali dari permukaan bumi menuju atmosfer. Gelombang
matahari yang diserap dan menjadi penyebab pemanasan berbeda
lokasinya. Isu yang dibahas pada konferensi internasional dengan APIKI
adalah kekhawatiran adanya metana (GWP). Dua hal yang bisa menjadi
obyek penelitian, menjaga dan mencegah serta menyesuaikan. Semakin
tinggi biodiversitas dan semakin kompleks jaringan makanan, tapi
peningkatan itu tidak akan melebihi daya dukung ekosistem, dan korelai
dengan kapasitas per unit luasan.
Penghijauan dan penanaman pohon akan sampai pada batas maksimum,
yang menentukan adalah energi matahari yang sampai di bumi. Serapan
karbon bukan tidak terbatas (ada batasnya).
Adaptasi berbasis ekosistem, otomatis memberikan kontribusi pada
konservasi keanekaragaman hayati.
Materi 4
Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (Eos histrio) di
Kandang Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado
Anita Mayasari, Diah I. D. Arini, Ady Suryawan, Melkianus S. Diwi,
dan Nur Asmadi
Burung nuri talaud memiliki 14 macam aktivitas harian yang digolongkan
menjadi 4 perilaku utama yaitu perilaku bergerak (terbang, menggelantung,
berjalan, berkelahi dan melompat), perilaku diam (bertengger, beristirahat
dan berjemur), perilaku ingestive (makan, minum dan membersihkan paruh)
dan perilaku kawin (mendekati betina/jantan, menyelisik dan bercumbu).
Perilaku bergerak pada betina dan jantan didominasi oleh aktivitas
melompat 78 kali/hari dan 82 kali/hari, frekuensi relatif sama besar yaitu 14
%. Perilaku diam didominasi aktivitas bertengger, namun berbeda antara
179
betina dan jantan yaitu 129 kali/hari dan 43 kali/hari, frekuensi relatif 23 %
dan 7 %. Perilaku ingestive didominasi aktivitas makan dengan nilai yang
sama yaitu 54 kali/hari dan rekuensi relatif 10 % (betina) dan 9 % (jantan).
Perilaku kawin didominasi aktivitas bercumbu dan jantan nampak lebih
agresif, ditunjukan dengan aktivitas harian dan fekuensi relatif yang lebih
besar (43 kali/hari dan frekuensi 8 % pada betina, sedangkan 55 kali/hari
dan 10 % pada jantan). Perbedaan jenis kelamin hanya berpengaruh nyata
pada perilaku diam.
DISKUSI SESI 1
1. Pak Sudiyono, BKSDA Sulawesi Utara (saran):
Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh faktor makanan terhadap
perilaku kawin. Dapat ditambahkan Kajian mengenai privasi, luasan,
lokasi terpisah. Di PPS burung-burung sampiri cukup sehat padahal
awalnya stres akibat sitaan.
Anita Mayasari, BP2LHK Manado (jawaban):
Sampiri banyak diselundupkan/diperdagangkan. Burung dalam
penangkaran adalah hasil sitaan, dalam kondisi stres, kendala belum
diketahui asalnya dari alam atau peliharaan. Sangat rentan terhadap
perubahan musim, dan lingkungan.
Pemberian pakan di BPK Manado justru lebih bervariasi dibandingkan
dengan di PPS Tasikoki.
Kekurangan SDM di bidang kesehatan satwa.
Yang dibutuhkan: akses terhadap air, pohon pakan, pohon sarang.
Kondisi di lapangan sebagian pohon tidur berubah menjadi kebun
(perubahan penutupan dan penggunaan lahan), perburuan liar dan
perubahan habitat.
2. Pak Nugroho, Litbang Kehutanan (pertanyaan):
Apa prinsip dasar konservasi flora fauna yang terkait perubahan iklim?
Apa habitat yang diperlukan oleh sampiri untuk mendorong
reproduksi, untuk rehabilitasi ekosistem. Untuk burung berkicau,
pasangan yang setia berasal anakan dari satu sarang
fasilitas riset eboni di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK)
cikampek, boleh mengacu di sana (ditanam tahun 2007-2008)
Diah Irawati Dwi Arini, BP2LHK (jawaban):
Menambahkan tentang sampiri, jenis ini endemik di Pulau Karakelang.
Sifat dasar adalah burung berkoloni, 400-500 ekor. Perilaku unik setiap
sore berkumpul di pohon tidur. Pagi hari terbang ke seluruh pesisir pulau
untuk mencari makan. Sampiri burung yang setia, mencari makan
180 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
terbang berpasangan, tidur 2 ekor dalam satu tenggeran. Saat kawin,
ada pohon sarang. Sedang dipelajari habitat di alam, sarang, kandang
dan perilakunya.
Julianus Kinho, BP2LHK (jawaban):
Sudah monitor KHDTK Cikampek, tapi spesies yang dipake khusus D.
celebica. Sedangkan di Batuangus menggunakan jenis yang lain. Namun
data cikampek akan dipakai sebagai referensi.
3. Ibu Puspa, Kehati (pertanyaan):
Menurut konferensi CBD, setiap negara didorong untuk memasukkan isu
perubahan iklim untuk mendorong keberlanjutan pendanaannya. Semua
spesies di dunia mengalami ancaman populasi dan habitat.
Bagaimana mengkaitkan isu konservasi dengan perubahan iklim?
Penelitian apa yang bisa diimplementasikan?
Mungkinkah ada penelitian jenis apa yang bisa ditanam bersandingan
dengan eboni secara agroforestry?
Johny S. Tasirin, UNSRAT (jawaban):
Prinsip dasarnya, biodiversitas adalah buffer, dengan melakukan
konservasi berarti kita melakukan mitigasi perubahan iklim. Adaptasi
berbasis ekosistem, otomatis terjadi konservasi kehati (mitigasi
perubahan iklim). Ada keuntungan ekonomi juga di dalamnya. Nilai
keanekaragaman hayati memiliki nilai lebih dalam perdagangan
karbon.
REDD+ kelihatan sangat ideal, namun sampai saat ini belum bisa
merumuskan channel perdagangan karbon, bagaimana skema
pembayaran.
Ozon punya fungsi positif menyerap radiasi yang berbahaya dari
matahari, lapisan ozon rusak akibat radiasi ultra violet, yang
mempercepat kejadian ini adalah produksi chloro Flouro carbon (CFC)
berlebihan.
Julianus Kinho, BP2LHK (jawaban):
Jenis apa yang cocok untuk ditanam bersamaan dengan eboni dalam
waktu lama, akan dikembangkan sesuai dengan kondisi lingkungan dan
masyarakat.
4. Ibu Rini, Fakultas Peternakan UNSRAT (pertanyaan):
Mungkin salah menjodohkan, burung sangat setia, hanya 1 pasangan
seumur hidup. Butuh waktu panjang untuk meneliti hewan. Bagaimana
dengan inseminasi buatan?
181
Rencana akan meneliti bidang tingkah laku reproduksi (estrus) anoa,
hanya waktu tertentu
Diah Irawati Dwi Arini, BP2LHK Manado (jawaban):
Sudah dilakukan penelitian siklus estrus 3 ekor anoa betina.
5. Moh. Rizki, Arboretum Unima (pertanyaan):
Apakah ada pengaruh elevasi terhadap pertumbuhan eboni di
Batuangus?
Julianus Kinho, BP2LHK Manado (jawaban):
Apa yang ditanam di batuangus juga ditanam di Kima Atas, pada umur
yang sama hasilnya sangat berbeda jauh. Kondisi lingkungan ekstrim,
dekat pantai, lahan tidak subur, dan perlu input tambahan.
6. Pak Agung, TN Bogani Nani Wartabone (pertanyaan):
Apakah ada yang bisa dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan
(kawasan konservasi), kajian biodiversity versus poverty? Insentif bagi
masyarakat untuk menjaga keberadaan hutan
Di Bogani ada 3 spesies terancam punah. Kendalanya adalah sulit
intervensi peningkatan populasi untuk anoa dan babirusa (bagaimana
perlakuannya).
Apakah curah hujan mempengaruhi pertumbuhan eboni
Diah Irawati Dwi Arini, BP2LHK Manado (jawaban):
Mulai tahun 2015 akan dilakukan penelitian konservasi ek situ di Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone, outputnya adalah rekomendasi
pembinaan habitat.
Curah hujan berpengaruh, belum dimasukkan dalam paper
7. Pak Suhardi, Dinas Kehutanan Kota Bitung (Pertanyaan):
Beberapa tahun lalu ada pembibitan eboni (KBR), ketika selesai
kegiatan, hidup hanya 10 % yang hidup. Berarti eboni lebih cocok di
hutan alam (hutan rakyat vegetasi terbuka kurang cocok).
Rekomendasi apa yang bisa diberikan, bagaimana membudidayakan
eboni di luar kawasan hutan, naungan lebih rendah.
Metode naungan 75 % itu seperti apa?
Apakah lubang ozon bisa tertutup jika kita terus menanam pohon?
Julianus Kinho, BP2LHK (jawaban):
Ada D. malabarica dan D. ebenum belum diangkat potensinya, potensi
besar di Indonesia, Khusus D.rumphii endemik Sulawesi Utara
Semi toleran, saat kecil butuh naungan, saat besar jika dinaungi
malah mati. Rekomendasi perlu naungan saat awal penanaman.
Menggunakan sarnet, 1, 2, 3 lapis (25 %, 50 % dan 75 %).
182 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
B. SESI 2
Moderator: Ir. C. Nugroho, M.Sc.
Materi 1.
Stability of Tropical Rainforest Margins in Central Sulawesi
Henry Barus, Abdul Rauf, Aiyen, dan Adam Malik
Memperkenalkan APIK-Indonesia (Asosiasi perubahan iklim kehutanan),
tujuan APIK, Sejarah, Kelembagaan, strukutur pengurus. Gradien suhu
meningkat seiring waktu. Populasi manusia meningkat mengakibatkan suhu
naik. Titik tolak ekstrim adalah terjadinya revolusi industri. Pemanasan
global menaikkan suhu dan volume air laut. Di hutan terasa dingin /sejuk
karena banyak uap air dilepaskan. Hutan primer mampu mereduksi 70 %
biomass dan 50 % biodiveristy. Tiap tanaman punya respon yang berbeda
terhadap kekeringan, pohon yang lebih tinggi rentan kekeringan.
Perencanaan untuk penanggulangan perubahan iklim bersifat longterm.
Data sangat penting dalam pembuatan analisa untuk kegiatan.
Materi 2
Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan
di Sulawesi Utara
Nurlita Indah Wahyuni, Ady Suryawan dan Arif Irawan
Partisipasi Indonesia dalam upaya mitigasi dan adaptasi dampak perubahan
iklim telah diwujudkan dalam beberapa kebijakan antara lain rencana aksi
nasional penurunan emisi gas rumah kaca. Salah satu kegiatannya di sektor
penggunaan lahan adalah pengembangan data acuan perkiraan emisi dari
biomasa tumbuhan akibat perubahan penggunaan lahan. Kajian ini
bertujuan untuk mengetahui cadangan karbon pada beberapa tipe
ekosistem hutan di Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan di empat lokasi yaitu
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP) Poigar, Taman Nasional Bunaken (TNB) dan bekas
pengusahaan hutan Wana Saklar. Data biomasa diperoleh dengan cara
pengukuran tiga carbon pool yaitu biomasa atas permukaan, nekromasa,
dan serasah. Hasil pengukuran menunjukkan rata-rata cadangan karbon di
hutan konservasi sebesar 588,35 ton C/ha, hutan mangrove sebesar 268,76
ton C/ha dan hutan produksi sebesar 83,64 ton C/ha.
183
Materi 3
Konservasi dan Perubahan Iklim
Pipin Permadi
Bali action plan, mengurangi gas rumah kaca dengan mekanisme REDD+
(Reducing Emission from Deforestation and Degradation) dengan
memperhatikan peran konservasi. Memperkenalkan Program GIZ forcl ime
yaitu kerjasama pembangunan Indonesia jerman.
Tujuan FORCLIME sampai 2020 menurunkan emisi gas rumah kaca sektor
kehutanan dan meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat pedesaan
melalui penerapan strategi-strategi perlindungan hutan dan pengelolaan
hutan berkelanjutan.
Materi 4
Ady Suryawan
Kenaikan air laut sebagai akibat perubahan iklim sangat berpengaruh
terhadap keragaman flora fauna dan ekosistem mangrove terutama pada
pulau-pulau kecil. Kendala dalam rehabilitasi pesisir (genangan dan
kerawanan gelombang tinggi). Mangrove sensitifitasnya tinggi, kegiatan
rehabilitasi sangat sulit sehingga tingkat keberhasilan kecil.
Makalah ini menyampaikan keberhasilan penanaman Rhizophora mucronata
Lamk pada areal rehabilitasi di pulau kecil. Daya hidup R. mucronata dapat
ditingkatkan melalui: 1). Menggunakan propagul yang telah tua dan
langsung ditanam di lapangan, 2). Penanaman propagul sedalam 1/3
panjang batangnya, 3). Memanfaatkan akar napas dari mangrove yang ada
sebagai pancang, 4). Menggunakan tambahan pelindung sebagai peredam
ombak pada areal terbuka. Keempat upaya tersebut terbukti nyata
meningkatkan daya hidup R. mucronata. Daya hidup tertinggi mencapai 79
% dan tinggi mencapai 148 cm setelah 16 bulan tanam.
Diskusi Sesi 2
1. Arkolo, kehutanan UNSRA T (pertanyaan):
Tanaman tercekam lebih dulu apakah karena kanopi ada lebih dulu atau
sudah lebih tinggi?
Henry Barus (jawaban):
Pohon yang besar secara fisiologis membutuhkan uptake air yang
banyak. Jika kekeringan tidak akan seimbang dengan pohon pendek,
secara struktur pohon tinggi kena panas lebih dulu, jadi penguapan lebih
tinggi. Fisiologi pohon perlu dipelajari arsitektur dan anatomi sel.
2. Puspa, kehati (pertanyaan):
Apakah hasil penelitian sudah di adopsi oleh stake holder?
184 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
Mangrove di hutan lindung lebih tinggi serapan karbonnya, hutan lindung
tidak dikelola, apa yg menyebabkan terjadinya perbedaan?
Nurlita indah (jawaban):
Penelitian ini dilaksanakan pada beberapa lokasi dengan status
konservasi, lindung dan produksi. Perbedaan cadangan karbon
dipengaruhi oleh jumlah pohon dalam plot, begitu pula dengan
perbedaan cadangan karbon mangrove di Hutan Lindung Walintau
dengan di Tiwoho. Kondisi pohon di tegakan mangrove Walintau
berdiameter lebih besar. Masyarakat sekitar hutan aktif dalam menjaga
hutan mangrove, salah satunya dengan mengeluarkan peraturan desa
yang melarang penebangan pohon mangrove dan hanya boleh
memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, seperti kepiting dan ikan.
3. Ari Subiyantoro, TN. Bunaken (pertanyaan):
Di bunaken ada 5 pulau dengan pantai yang terabrasi, apakah teknik
penanamanan mangrove ini dapat diterapkan di bunaken?
Adi Suryawan (jawaban):
Teknik penanaman ini khusus untuk jenis Rhizophora, sehingga hanya
bisa diterapkan di luar Taman Nasional, karena harus
mempertimbangkan keanekaragaman hayati. Dari persyaratan
administrasi dalam peraturan rehabilitasi terdapat syarat bibit yang
digunakan untuk rehabilitasi. Dalam penelitian ini, langsung digunakan
propagul sedangkan dalam peraturan, bibit berasal dari pembibitan.
4. Nina, BPKH Wil Vi Manado (pertanyaan):
Riset tentang hutan dengan kakao, dalam makalah dikatakan seolah
hutan boleh diganti dengan tanaman pertanian, benarkah? Jika bisa
dilakukan nilai moralnya dimana? Solusi apa yg dapat dilakukan untuk
menghutankan kembali terkait dengan posisi LSm untuk mendukung
kemenhut dengan konsep hutan.
Henry Barus (jawaban):
Hasil penelitian sebaiknya langsung diaplikasikan pada kebijakan
pemerintah. Pemerintah sealu terbatas dana dan terbentur politik
anggaran. Riset tidak mengganti tanaman hutan dengan kakao. Mitigasi
dan mediasi, strategi mediasi. Memberikan informasi ilmiah kepada
petani untuk tidak menjadikan lahan sebagai lahan monokultur.
Kesimpulan moderator
1. Kegiatan konservasi untuk mencegah perubahan iklim perlu dilakukan
hingga ke titik terpencil dan terjauh.
2. Pembicaraan perubahan iklim selalu berdasarkan ilmiah.
185
3. Pengendalian perubahan iklim adalah isu pembangunan yang harus
memberikan manfaat pada masyarakat.
4. Upaya pengendalian perubahan iklim dilaksanakan pada tingkat nasional
dan sub nasional.
186 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
TOPIK PRESENTASI DAN JADWAL ACARA SEMINAR
WAKTU ACARA
07.30-08.00 Registrasi
08.00-08.20 Tarian sambutan selamat datang
08.20-08.25 Menyanyikan lagu Indonesia Raya
08.25-08.30 Pembacaan Doa
08.30-08.45 Laporan Penyelenggaraan
08.45-09.00 Ucapan Selamat datang dan Sambutan Kepala Dinas
Kehutanan Sulawesi Utara
09.00-09.45
Pembukaan dan Keynote Speech oleh Kepala Badan
Litbang Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
09.45-10.15 Keynote Speech: Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc
10.15-10.30 Coffee Break
10.30-10.40 Narasumber 1:
Julianus Kinho, S.Hut, M.Sc
Moderator 1
10.40-10.50 Narasumber 2:
Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut, M.Sc
10.50-11.00 Narasumber 3 Dr. Ir. J.S Tasirin, M.Sc.F
(Univ. Samratulangi Manado)
11.00-11.10 Narasumber 4:
Anita Mayasari, S.Hut
11.10-12.00 Diskusi
12.00-13.00 ISHOMA
13.00-13.10
Narasumber 5: Prof. Dr. A. Rauf
(Koordinator APIK Indonesia Region
Sulawesi/Univ. Tadulako Palu)
Moderator
2
13.10-13.20 Narasumber 6:
Nurlita Indah Wahyuni, S.Hut
13.20-13.30 Narasumber 7: GIZ (Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit)
13.30-13.40 Narasumber 8:
Ady Suryawan, S.Hut
13.40-14.40 Diskusi
14.40-15.00 Coffee Break Panitia
15.00-15.45 Penyusunan dan Pembacaan Rumusan Tim
Perumus
15.45-16.00 Penutupan Panitia
187
DAFTAR PESERTA SEMINAR
No Nama Instansi
1 Kamaluddin Arboretum UNIMA
2 Muhammad Rizki Arboretum UNIMA
3 John Tasirin Kehutanan UNSRAT
4 Henry Barus UNTAD/APIK
5 L.R. Ngangi Fapet UNSRAT
6 Ch. L. Kaunang Fapet UNSRAT
7 Endang Pudjihastuti Fapet UNSRAT
8 Conny D. Bedah Dinas Pertanian Kab. Kepulauan Sitaro
9 Mukhlis Mokoginta Dinas Pertanian Kehutanan dan
Ketahanan Pangan Kota Bitung
10 M. Kalalo Masyarakat
11 Jhonson Masyarakat
12 Muh. Ahiri Bakorluh
13 Maldi Djela Mahasiswa
14 Herba Heryandoa BPKH XV Gorontalo
15 Anita Mayasari BPK Manado
16 Ady Suryawan BPK Manado
17 Pasmanto Masyarakat
18 Ishak Ismail BPK Manado
19 Reynold P. Kainde PS. Kehutanan UNSRAT
20 Misloani Tindoo, S.Hut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.
Bolaang Mongondow Selatan
21 Adman Hakur BPDAS Ake Malamo
22 Rudy Suryadi BPK Manado
23 Yuli Karauwan BLH Kota Manado
24 Supratman Tabba BPK Manado
25 Harwiyaddin Kama BPK Manado
26 Andreas A.T. Suli Prodi Kehutanan UNSRAT
27 Kendy H. Kolinug Prodi Kehutanan UNSRAT
28 Ari Subiantoro TN. Bunaken
29 Heri Juanda TN. Bunaken
188 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
No Nama Instansi
30 Hanany Perkamil
31 Obed Edom BPK Manado
32 As Ari TN. Aketajawe Lolobata
33 Rahmad Kuramposi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.
Bolaang Mongondow Selatan
34 Hanif Nurul Hidayah BPK Manado
35 J. Surauden Tahura Gunung Tumpa
36 Micron R. Binambuni Dinas Kehutanan Kab. Sitaro
37 T. Mudi BPK Makassar
38 Iwanuddin BPK Manado
39 Ichraeni Iskandar BPK Manado
40 I.D.K. Budi Rata Dinas Pertanian
41 Miranty Mokodompit Dinas Kehutanan Kota Kotamobagu
42 DJ. Rumouru DP3K Sangihe
43 Anton Nogroho BPKH Wil VI Manado
44 Budiman BPKH Wil VI Manado
45 Meike Tjiabrata Kompas TV
46 Novlin Swentu Manado Post
47 Pipin Permadi GIZ FORCLIME
48 Samsir Domobolin Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.
Bolaang Mongondow Selatan
49 Puspa Dwi Limas Yayasan Kehati
50 Novita Elsrita Losu BPK Manado
51 Muh. Hidayatullah BPK Kupang
52 Tri Zoko Sekretaris Badan Litbang Kehutanan
53 C. Nugroho Stbadan Litbang Kehutanan
54 Lis Nurrani BPK Manado
55 Rinna Mamonto BPK manado
56 Meylan Karundeng BTN. Bunaken
57 Jimlan KPHP V Boalemo
58 Hadrna Kasim KPHP V Boalemo
59 Salma Ibrahim Dinas Kehutanan Boalemo
60 Zen Setiawan K, S.Hut BPKH Wil VI Manado
61 Yopi Golioth LP2S
189
No Nama Instansi
62 Maxi Sampelar Dinas Kehutanan Minahasa
63 Bernard S. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.
Minahasa Tenggara
64 M.Y.M.A. Sumakud Fakultas Pertanian UNSRAT
65 Wawan Nurmawan Prodi Kehutanan UNSRAT
66 A.G. Tulungen UNSRAT
67 Askhari M. BKSDA Sulut
68 Pamela Runtu PT. Cargill Indonesia
69 Kristian K. PT. Cargill Indonesia
70 T.H. Kumesan Dinas Kehutanna Provinsi Sulawesi
Utara
71 Martina Langi Prodi Kehutanan UNSRAT
72 Yan Masim KPH Model Poigar
73 Sesilia A. Wanget Fakultas Pertanian UNSRAT
74 Hendra S. Mokodompit BPK Manado
75 Syamsir Shabri BPK Manado
76 Fabiola B. Saroinsong Prodi Kehutanan UNSRAT
77 Hard N. Polo Prodi Kehutanan UNSRAT
78 Freddy Mandagi BLH Kota Manado
79 Jafaruddin BPK Manado
80 M.G.M. Polii Fak Pertanian UNSRAT
81 Pieter V.D. Star Dinas Kehutanan dan ESDM Provinsi
Gorontalo
82 Ridwan Amuntu Dinas Kehutanan dan ESDM Provinsi
Gorontalo
83 Diah Irawati Dwi Arini BPK Manado
84 Desly Rolando Matitaputy BPK Manado
85 Julianus Kinho BPK Manado
86 Yermias Kafiar BPK Manado
87 Christny F.E. Rompas FMIPA UNIMA
88 Isdomo Yuliantoro BPK Manado
89 Lisa Surenti BLH Kota Manado
90 Hari Shabirin BKSDA Provinsi Sulawesi Utara
91 Stery Lombogia UPTD Tahura Gunung Tumpa
92 Esther Randa Bunga BPK Manado
190 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
No Nama Instansi
93 Andi Baso Ikbal BPK Manado
94 Dian K. Dewi Hunawa Kompas TV
95 Agnes Indawardhani BPDAS Tondano
96 F. Reni Nursanti BPDAS Tondano
97 Nnani Nurcahyawati BPDAS Tondano
98 Petrus Paijan BPDAS Tondano
99 Sudiyono BKSDA Sulawesi Utara
100 Euis Pangemanan RSIK
101 Kusmayanti BTN. Bunaken
102 Amsurya Warman Burung Indonesia
103 Dr. Fery F. Walk Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.
Bolaang Mongondow Timur
104 Jettie Sumual Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.
Bolaang Mongondow Timur
105 Eva Betty Sinaga BBPBPTH Yogyakarta
106 Badrun Z. BPKH Wil VI Manado
107 Rinto Hidayat BPK Manado
108 ST. Agung T.H. TN. Bogani Nani Wartabone
109 Taufik Hamzah TN. Bogani Nani Wartabone
110 Tinus Sanda Liling BPK Manado
111 Johanes Wiharisno BKSDA Sulawesi Utara
112 Joky BPK Manado
113 Dwi Yandhi F. Macaca Nigra Project
114 Stephan Lentey Macaca Nigra Project
115 Arif Irawan BPK Manado
116 Alkes T. BTN. Bunaken
117 Febriyana R. Srinindita BTN. Bunaken
118 Margaretta Christita BPK Manado
119 Aswady Wumu Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan
Ketahanan Pangan Kota Bitung
120 Billy G. Lolowang PPS Tasikoki
121 Maryati Abiduna PPS Tasikoki
122 Gatot S. BTN. Bunaken
123 Eko W. Handoyo BTN. Bunaken
191
No Nama Instansi
124 Jafred Halawane BPK Manado
125 Sumarno BPK Manado
126 Nur Asmadi BPK Manado
127 Melkianus S. Diwi BPK Manado
128 Noel L.A. BTN. Bogani Nani Wartabone
129 Prayitno BPDAS Tondano
130 Ramli G. BTN. Bogani Nani Wartabone
131 Melchi BTN. Bunaken
132 Moody C.K. BPK Manado
133 Rudy Bedjo BKSDA Sulawesi Utara
134 Dessy Lengkong Masyarakat
135 Dra. Hj. Tenny S. Dinas Kehutanan Kabupaten Boalemo
136 Henry Supriyanto BPK Manado
137 Anri Pabalik BPK Manado
138 Lastri V. Situmorang BPK Manado
139 Wahyu Kurniawan BTN. Bogani Nani Wartabone
140 Reto Mamonto Masyarakat
141 Rahmat Herder Masyarakat
142 Bambang Setiyono BPK Manado
143 Irwanto Masyarakat
144 Albert Kalalo BPK Manado
145 Lestari M. Masyarakat
146 Ani Mariani BPK Manado
147 Reza Masyarakat
148 Nurlita indah Wahyuni BPK Manado
149 Mus Mulyadi Usman Masyarakat
150 Yusran BPK Manado
151 Karlie Wurangian BPDAS Tondano
152 Jerny R. Bujung Fakultas Peternakan UNSRAT
153 Bambang Subatin BPK Manado
154 Aryo Sudiyatmoko BPKH Wil VI Manado
155 Yohanis Muru BPK Manado
156 Steven K. BPK Manado
157 Erwin Hardika Putra BPDAS Tondano
192 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2015
No Nama Instansi
158 Ferry F. BPK Manado
159 Tajudin Mokoginta BPK Manado
160 Arlenos BKSDA Sulawesi Utara
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan ManadoJl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget Kota Manado
Email : [email protected]; [email protected] : http://bpk-manado.litbang.dephut.go.id