htr pola kemittraan prop kalbar
TRANSCRIPT
Uni Eropa
EC-Indonesia Forest Law Enforcement, Governance and Trade Support Project
This project is funded by the European Union
Departemen Kehutanan
Analisis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Pola Kemitraan Propinsi Kalimantan Barat
STUDI KASUS
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS KAPUAS ‐ SINTANG
Agustus 2007
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan
Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007 1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru, kebijakan dan peraturan
di bidang kehutanan oleh perencana dan pengambil keputusan tetap saja
berorientasi pada sifat konvensional. Karakter konvensional dimaksud adalah
berorientasi pada ”Timber Management”, kapitalistik (menggunakan teknologi
modern dan atau alat-alat berat mekanis) dan sentralistik (kendali
pengaturan ditangan pemerintah pusat) dan oleh karenanya bersifat ”Top
Down”. Kondisi ini membuat kegiatan tersebut praktis tidak selaras dengan
karakter akar rumput (masyarakat lokal di desa-desa sekitarnya) ataupun
menjawab kepentingan mereka terhadap sumberdaya hutan.
Era reformasi dan diikuti perubahan Undang-Undang Pokok Kehutanan
dari UUPK No. 5 Tahun 1967 menjadi UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dan
peraturan serta kebijakan kehutanan Indonesia lainnya, awalnya memberikan
harapan yang besar bagi masyarakat lokal yang selama ini terpinggirkan
untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan dan penjagaan kelestaran
fungsi hutan. Namun kenyataannya deforestasi semakin bertambah
(diperkirakan deforestasi mencapai 2,8 juta hektar per tahun bahkan lebih)
dan trickle down effect pengelolaan hutan hampir tidak pernah dinikmati oleh
masyarakat lokal sehingga mereka tetap berada pada garis kemiskinan.
Kondisi seperti ini sungguh sangat bertolak belakang dengan setiap kebijakan
pembangunan nasional yaitu pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
alam dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan
masyarakat. Hal yang terjadi sesungguhnya adalah informasi yang luas
beredar hanya mengenai keberhasilan kehutanan sebagai sektor
perekonomian andalan (leading sector) selain migas dan tekstil, dalam
rangka untuk menigkatkan devisa negara dan pendapatan asli daerah (PAD).
Sementara itu, keterpinggiran masyarakat lokal yang menjadikan hutan
sebagai multidimensi kehidupannya tidak terekspos. Dampaknya, keberadaan
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan
Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007 2
masyarakat lokal dan kepentingannya terhadap sumberdaya hutan belum
dapat diterjemahkan secara utuh dalam pengelolaan sumberdaya.
B. Permasalahan
Kebijakan dan peraturan di bidang kehutanan yang berorientasi
konvensional pada ”Timber Management” (walaupun telah mengalami
perubahan dari sistem pemerintahan sentralistik ke desentralistik), diyakini
menjadi salah satu pemicu lajunya deforestasi dan munculnya konflik
terhadap pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Sebenarnya dalam setiap
perjanjian kehutanan yang ditanda tangani sebelum ijin konsesi hutan
diberikan, tercantum ketentuan bahwa setiap pemegang konsesi hutan
dibebani misi sosial untuk memperhatikan kepentingan dan kehidupan
masyarakat lokal/tradisional di sekitar areal kerja. Kewajiban sosial ini telah
didesain bagi pemegang HPH dan HPHTI berupa Bina Desa Hutan dan
Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Sebagian besar pemegang
konsesi hutan terlihat tidak sungguh-sungguh melaksanakan kewajiban
sosialnya. Kewajiban sosial tersebut lebih banyak dimanfaatkan untuk ”Show
Window”, karena lebih menekankan pada bantuan-bantuan perangkat keras
bukan dalam arti pemberdayaan masyarakat. Oleh karenanya, harapan
dampak dari kegiatan pengusahaan hutan bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat tidak terlihat secara berkelanjutan.
Guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang tinggal di
dalam maupun di sekitar kawasan hutan, pemerintah cq Departemen
Kehutanan telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan akses kepada
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, seperti program hutan
kemasyarakatan, program hutan rakyat, program social forestry, dan
sebagainya. Bahkan pada awal tahun 2007 ini, terdapat suatu program baru
yang dinamakan Hutan Tanaman Rakyat atau disebut HTR. Di samping
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, program ini juga mempunyai
tujuan untuk mengatasi kekurangan pasokan bahan baku kayu serta
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan
Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007 3
merehabilitasi kawasan hutan produksi yang rusak. Salah satu model yang
akan dikembangkan dalam program HTR adalah pola kemitraan.
Hingga kini, pola kemitraan dalam pengusahaan atau pemanfaatan hutan
belum banyak dilakukan oleh pemerintah maupun pengusaha. Walaupun
terdapat sebagian perusahaan yang telah melakukan pola kemitraan dalam
pembangunan hutan tanaman industri dan perhutani, namun upaya tersebut
belum menempatkan masyarakat sebagai mitra yang sejajar. Mereka sering
berada pada posisi yang lemah, khususnya akses untuk mengetahui
kebutuhan bahan baku (input) produksi, jumlah hasil produksi, maupun
penentuan harga jual. Akibatnya, sistem bagi hasil yang mereka peroleh dari
kerjasama tersebut sering kurang menguntungkan bagi masyarakat. Sebagai
salah satu fungsi perguruan tinggi dalam bidang penelitian, maka Universitas
Kapuas ingin berkontribusi dalam Pola Kemitraan untuk Pembangunan Hutan
Tanaman Rakyat, sehingga program tersebut mampu memberikan manfaat
yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat desa
serta kondisi iklim dan geografisnya.
2. Untuk mencari dan menetapkan pola kemitraan yang tepat, guna
pembangunan hutan tanaman rakyat.
3. Untuk mencari sistem pola kerjasama, permodalan dan sistem bagi hasil
yang adil antara masyarakat dengan perusahaan dalam pembangunan hutan
tanaman rakyat.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menumbuhkan rasa memiliki dan kesetaraan serta keadilan dalam
pengelolaan hutan melalui pola kemitraan.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan
Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007 4
2. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin kelestarian
pengusahaan serta fungsi sumberdaya hutan.
3. Untuk memberikan masukan kepada Departemen Kehutanan mengenai pola
kemitraan yang sesuai didalam pengelolaan hutan tanaman rakyat.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 5 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
II. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Sesuai dengan kondisi di lapangan dan berdasarkan Peta Wilayah
Kabupaten Sintang serta guna memenuhi kriteria representatif, maka
penelitian dilakukan di 3 (tiga) desa yaitu desa Tembawang Alak dan desa
Tumbuk yang berada di dalam areal pengusahaan hutan serta desa Tanjung
Sari yang berada di luar areal pengusahaan hutan. Penelitian ini dilakukan
selama 2 (dua) bulan efektif sampai dengan penyusunan laporan.
Pelaksanaan penelitian dimulai 4 Juni 2007 sampai dengan 31 Juli 2007.
B. Rancangan Penelitian
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer
dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan yaitu data yang diperoleh
langsung dari objek yang diteliti, antara lain:
a) Persepsi masyarakat terhadap usaha bidang perkayuan,
b) Persepsi masyarakat terhadap hutan dan kelestariannya,
c) Persepsi masyarakat terhadap pola kemitraan dalam pengelolaan hutan
tanaman khususnya pola kerjasama yang telah dibangun antara perusahaan
dengan masyarakat, pola bagi hasil, sistem permodalan, dan sebagainya.
Kendala dan hambatan yang terjadi selama berlangsungnya kerjasama akan
digali baik dari sudut pandang perusahaan maupun masyarakat.
Sedangkan untuk data sekunder berupa data monografi dan peta lokasi
penelitian.
Dalam pengambilan sampel (responden) untuk masyarakat di sekitar
kawasan hutan dilakukan secara acak dan terstruktur. Jumlah renponden
yang diambil adalah sebanyak 10 % dari jumlah kepala keluarga (KK) yang
ada.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 6 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
Wawancara bebas dilakukan dengan menggunakan daftar
isian/pertanyaan dengan tokoh-tokoh masyarakat, pejabat instansi terkait,
pejabat desa/kelurahan. Wawancara terstruktur dilakukan dengan
menggunakan daftar isian/pertanyaan (kuisioner) terhadap semua informasi
dari responden. Observasi dilakukan guna melihat kondisi sebenarnya dari
masyarakat dan kawasan yang dimilikinya sesuai dengan tujuan penelitian.
C. Objek dan Subjek Penelitian
Objek dan subjek penelitian ini adalah :
1. Keadaan umum lokasi penelitian yang meliputi letak, luas dan status
kawasan, iklim, topografi, geologi, serta keadaan sosial ekonomi budaya
masyarakat.
2. Masyarakat yang terdapat pada lokasi penelitian, lembaga lokal, dan kepala
instansi terkait sebagai informan kunci.
D. Alat Pengumpulan Data
Alat-alat yang digunakan guna pengumpulan data lapangan adalah
sebagai berikut:
1. Pedoman wawancara; berupa catatan pertanyaan tertulis mengenai pokok
masalah penelitian yang digunakan untuk pedoman wawancara kepada
informan kunci.
2. Kuesioner; daftar pertanyaan tertulis yang disusun secara sistematis sesuai
dengan variabel permasalahan.
3. Catatan Lapangan; catatan observasi yang disusun secara sistematis sesuai
dengan permasalahan yang diteliti berdasarkan kondisi di lapangan.
4. Dokumen Tertulis; Undang-Undang, Peraturan dan kebijakan, petunjuk
pelaksana, petunjuk teknis dan lain sebagainya yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 7 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
E. Prosedur Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan :
a. Wawancara/interview; dilakukan dengan informan kunci dan dipandu
dengan pedoman wawancara.
b. Kuesioner; mengedarkan pertanyaan tertulis kepada responden yang
telah disediakan alternatif jawaban untuk diisi sendiri oleh responden
sesuai dengan pengetahuan responden.
c. Observasi; pengamatan langsung terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi di lapangan sesuai dengan ruang lingkup penelitian.
d. Studi Dokumentasi; penelaahan terhadap Undang-Undang, Peraturan dan
Kebijakan serta petunjuk pelaksanaan dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
2. Teknik Pengolahan Data
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif, yaitu disajikan dalam bentuk bahasa tulisan dengan
mengembangkan berbagai pemikiran dan gagasan serta berpedoman pada
teori dan literatur yang tersedia, untuk memberikan gambaran yang cermat
dan lengkap tentang objek penelitian, terutama untuk mengambarkan dan
mendekripsikan permasalahan tentang pola kemitraan guna pembangunan
hutan tanaman rakyat.
Seluruh data primer dan sekunder yang terkumpul dianalisis dengan
menggunakan metode kualitatif, yaitu melalui analisis SWOT, yang terdiri dari
analisis kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunity)
dan ancaman (Threat).
Langkah pertama dalam analisis ini adalah mengidentifikasi beberapa isu
strategis (strategic issue), baik internal maupun eksternal. Isu strategis
internal meliputi: faktor kekuatan (S) dan kelemahan (W). Sementara itu, isu
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 8 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
strategis eksternal meliputi faktor peluang (O) dan ancaman (T). Hasil
identifikasi diskoring, variable yang bersifat positif (kekuatan dan peluang)
diberi nilai +1 sampai dengan +3 (sangat baik). Sedangkan untuk variable
yang bersifat negative (kelemahan dan ancaman) adalah nilai kebalikannya.
Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
- Nilai 1: jelek, rendah, kurang berpengaruh, kurang baik;
- Nilai 2: sedang, cukup, berpengaruh, baik;
- Nilai 3: sangat baik, tinggi, baik sangat berpengaruh.
Hasil identifikasi disusun dalam format matrik SWOT pada Tabel 1
berikut:
Tabel 1. Format Matrik SWOT
Strategi Pengembangan
Isu Internal
Kekuatan Kelemahan
Isu Eksternal Peluang S - O W - O
Ancaman S – T W - T
Sumber: Rangkuti (1999).
Penentuan strategi pengembangan berdasarkan faktor internal dan faktor
eksternal dengan model sebagai berikut:
1. Strategi S – O, dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk
merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya;
2. Strategi S – T, dibuat dengan menggunakan kekuatan yang ada untuk
mengatasi segala ancaman yang ada;
3. Strategi W – O, dibuat dengan memanfaatkan peluang dan
meminimalkan kelemahan yang ada;
4. Strategi W – T, dibuat untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari
ancaman.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 9 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan diskusi serta pengembangan
pemikiran dan gagasan yang dilakukan nantinya dalam penelitian ini,
mencoba menyusun pengelolaan hutan tanaman rakyat yang berbasiskan
masyarakat dengan pola kemitraan sehingga terwujudnya suatu pengelolaan
hutan yang lestari dan bernilai ekonomis.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 10 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kadaan Umum Lokasi
1. Letak dan Topografi
Lokasi penelitian terletak pada 3 (tiga) desa yaitu desa Tembawang
Alak Kecamatan Ketungau Hilir, desa Tumbuk dan desa Tanjung Sari
Kecamatan Ketungau Tengah. Hasil pengamatan dan interpretasi peta
topografi 1:5.000, menunjukkan bahwa lokasi penelitian memiliki topografi
datar samapai bergelombang dengan kelerengan berkisar antara 0-15%.
2. Iklim
Kondisi iklim pada lokasi penelitian menurut klasifikasi Schmidt dan
Ferguson (1951), termasuk iklim tipe A dengan nilai Q = 0,081. Memiliki
rerata suhu udara bulan terdingin ≥ 19 °C, rerata suhu udara bulan
terpanas > 22 °C dengan curah hujan rerata bulan terkering > 60 mm dan
tetap basah sepanjang tahun. Temperatur udara rerata bulanan 29 °C, suhu
bulanan maksimum 33 °C dan minimum 27 °C , sedangkan rerata
kelembaban udara maksimum perbulan 89 % dan minimum 82 %.
3. Sosial Ekonomi Masyarakat
Keadaan social ekonomi masyarakat pada tiga lokasi penelitian relatif
sama, baik terhadap tingkat pendidikan maupun mata pencaharian serta adat
istiadatnya. Sebagai gambaran berikut disajikan tingkat pendidikan dan mata
pencaharian masyarakat di desa Tembawang Alak Kecamatan Ketungau Hilir.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 11 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
Tabel. 2. Keadaan Masyarakat Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Tembawang Alak
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase
1 Tamatan SD 25 43,10
2 Tamatan SMP 18 31,03
3 Tamatan SLTA 15 25,87
Jumlah 58 100,00 Sumber: Data Hasil Penelitian, 2007
Tabel. 3. Keadaan Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Tembawang Alak
No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase
1 Petanai 47 81,03
2 Pedagang 4 6,90
3 Pegawai Negeri 4 6,90
4 Tukang 3 5,17
Jumlah 56 100,00 Sumber: Data Hasil Penelitian, 2007
Masyarakat pada tiga lokasi penelitian dalam menjaga dan melindungi
kehidupan social, budaya dan ekonomi masyarakat masih menggunakan
hukum adat, sehingga hampir seluruh kehidupan bermasyarakat ditentukan
dan sangat dipengaruhi oleh hukum adat tersebut. Hal ini telah dilakukan
secara turun temurun dan diperkuat oleh tersedianya lembaga-lembaga adat
lokal yang ada. Dengan demikian terdapat potensi yang besar untuk dapat
dijadikan sebagai motivator guna pengembangan wilayah tersebut di masa
yang akan.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 12 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
B. Kajian Terhadap Potensi dan Permasalahan Tentang Hutan Tanaman Rakyat
Dalam upaya pengembangan hutan tanaman rakyat, perlu diketahui
kekuatan/potensi dan kelemahan/kendala yang dimiliki berdasarkan analisis
terhadap berbagai kondisi yang ada di masyarakat. Disamping itu, perlu juga
diketahui peluang dan tantangan/ancaman yang mungkin dihadapi dalam
pengembangan hutan tanaman rakyat. Untuk prospek pengembangnnya,
kajian terhadap sumberdaya alam dititik beratkan pada luas lahan yang
cukup serta potensi hutan yang masih cukup tersedia.
Secara lebih jelas kajian potensi tersebut dilakukan dengan
menggunakan analisi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT).
Berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan, hasil wawancara dan
pengisian kueisioner oleh masyarakat dapat dirumuskan beberapaisu-isu
strategis baik internal maupun eksternal. Isu strategis internal meliputi
kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), sedangkan isu strategis
eksternal meliputi peluang (Opportunity) dan ancaman (Threath).
1. Kekuatan (strength)
Masyarakat baik yang ada di sekitar perusahaan maupun yang berada
diluar perusahaan memberikan apresiasi yang baik untuk dapat dilakukannya
pengembangan hutan tanaman rakyat dengan potensi yang dimilikinya
antara lain: Lahan masyarakat yang cukup luas, berbatasan dengan kawasan
hutan, masyarakat yang ingin maju serta potensi tenaga kerja yang
dimilikinya.
2. Kelemahan (weakness)
Kelemahan yang cukup menonjol adalah kurangnya tenaga penyuluh
pertanian dan kehutanan dalam menunjang kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat khususnya dalam pengembangan komoditi karet dsb.,
permodalan yang relative kurang, peralatan yang masih sangat terbatas,
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 13 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
serta belum adanya mitra bagi masyarakat dalam pengembangn hutan
tanaman rakyat.
3. Peluang (Opportunity)
Pada kawasan-kawasan yang dimiliki oleh masyarakat potensial untuk
dikembangkan hutan tanaman rakyat terutama untuk komoditi karet, meranti
dan tanaman buah-buahan. Selain itu, masih terdapat tanaman hutan yang
cukup potensial untuk dikembangkan (dikelola).
Melalui pengembangan hutan tanaman rakyat diharapkan ke depannya
(jangka panjang) dapat mendorong dan meningkatkan kehidupan ekonomi
dan social budaya masyarakat serta membuka peluang kegiatan usaha baru
bagi masyarakat setempat yang dapat menyerap tenaga kerja yang lebih
banyak.
4. Ancaman (threath)
Ancaman yang mungkin terjadi adalah faktor keamanan baik bagi
masyarakat maupun investor dalam menanamkan modalnya, tingkat
pencapaian ke lokasi pengembangan hutan tanaman rakyat, serta kebakaran
lahan dan hutan.
Berdasarkan analisis SWOT, dilakukan scoring untuk masing-masing
elemen guna mengetahui faktor-faktor yang mendominasi pada rencana
pengembangan hutan tanaman rakyat. Hasil scoring diperoleh nilai untuk
faktor kekuatan (+25), kelemahan (- 12), Peluang (+18) dan ancaman (-10)
Dari hasil scoring dilakukan analisis lanjutan untuk menentukan strategi
pengembangan yang akan dilakukan pada kawasan pembangunan hutan
tanaman rakyat khususnya pada Kecamatan Ketungau Tengah Desa
Tanjungsari dengan memasukkan faktor-faktor tersebut ke dalam matriks
SWOT seperti yang disajikan pada Tabel 4 berikut:
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 14 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
Tabel 4. Matriks SWOT Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat
Strategi Pengembangan
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
• Keinginan yang besar dari masyarakat
• Lahan yang masih tersedia
• Masih ada hutan di sekitar kawasan
• Potensi tenaga kerja
• Kurangnya tenaga penyuluh perkebunan kehutanan
• Permodalan • Peralatan • Belum adanya mitra
usaha bagi masyarakat.
Peluang (O)
Strategi S-O
Strategi W-O
• Luas lahan yang ada • Pengembangan
komoditi karet, meranti, dan tanaman buah-buahan
• Peluang bagi investor dalam membangun kemitraan dengan masyarakat
• Penyerapan tenaga kerja lokal
• Sosialisasi tentang HTR kepada seluruh stakeholder
• Pengembangan HTR dengan pola kemitraan yang sejajar
• Komoditi yang aspiratif
• Prioritas tenaga kerja local
• Pembinaan pada masyarakat yang berkelanjutan
• Penempatan tenaga penyuluh perkebunan kehutanan
• Pembentukan lembaga kerjasama
• Penanaman untuk lahan-lahan kritis
• Sistem kemitraan yang jelas
Ancaman (T) Strategi S-T Strategi W-T
• Faktor keamanan • Aksesibilitas menuju
lokasi HTR • Kebakaran hutan dan
lahan
• Sosialisasi HTR • Perlunya pengawasan
lahan dan hutan dari kebakaran
• Penyediaan sarana pendukung
• Pelibatan masyarakat dalam pengembangan HTR
• Manajemen pola kemitraan yang tepat
• Meningkatkan kerjasama lintas sektoral
• Kesungguhan dalam mewujudkan HTR
Sumber: Hasil analisis (2007)
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 15 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
Pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa rumusan strategi yang dapat
dilaksanakan untuk mengembangkan hutan tanaman rakyat dengan
penjabaran sebagai berikut:
1. Strategi S-O
a). Sosialisasi HTR kepada seluruh stakeholder
Sosialisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan
pengembangan hutan tanaman rakyat, yang bermanfaat memberikan
pemahaman yang baik kepada masyarakat tentang kegiatan yang dilakukan,
baik dilihat dari segi social maupun nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Strategi ini dapat diterapkan melalui publikasi secara langsung di lapangan
dengan masyarakat, media massa maupun media elektronik, serta
melibatkan seluruh stakeholder yang ada untuk mendukung pengembangan
dan pelaksanaan kegiatan hutan tanaman rakyat.
b). Pengembangan HTR dengan pola kemitraan yang sejajar
Pengembangan HTR tidak dapat lepas dari faktor dukungan pendanaan
yang memadai sehingga apabila dikembangkan dengan melibatkan pihak
investor perlu dilakukan kesepahaman dalam melaksanakan pola kemitraan
tersebut. Sehingga nantinya diharapkan mampu bersinergi dengan baik
terhadap kelangsungan usaha pengembangan hutan tanaman rakyat yang
saling menguntungkan.
c). Komoditi yang aspiratif
Komoditi yang tidak hanya aspitaif tetapi juga memiliki prosfek pasar
yang menjanjikan sehingga nantinya merupakan asset baik bagi masyarakat
maupun mitra kerjanya. Salah satu komoditi yang sangat diminati oleh
masyarakat adalah tanaman karet, meranti dan tanaman buah-buahan.
Komoditi ini menjadi sangat penting mengingat potensi yang dimiliki tanaman
ini akan turut menjadi salah satu bentuk perhatian masyarakat dalam
mengelola lahannya.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 16 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
d). Prioritas tenaga kerja lokal
Pengembangan hutan tanaman rakyat diharapkan mampu menyerap
tenaga kerja yang sesuai dengan keahlian yangdimilikinya, hal ini sangat
penting bagi kelangsungan pelaksanaan kegiatan di lapangan. Untuk
tenagakerja local perlu dibekali dengan keahlian yang berhubungan
pelaksanaan hutan tanaman rakyat.
e). Pembinaan masyarakat yang berkelanjutan
Pembinaan masyarakat menjadi hal yang penting, hal ini perlu
mendapat perhatian yang cukup serius. Pembinaan masyarakat dapat
dilakukan dalam bentuk pembinaan umat beragama, olah raga, pendidikan,
seni, budaya dan lain sebagainya.
2. Strategi W-O
a). Penempatan tenaga penyuluh perkebunan kehutanan
Hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam
pengembangan hutan rakyat yang selama ini utnuk pengembangan
perkebunan masyarakat khususnya untuk komoditi karet masyarakat
mengalami berbagai kendala dan permasalahan yang sulit dipecahkan karena
ketiadaan penyuluh tersebut. Penempatan tenaga penyuluh nantinya
diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan pengetahuan masyarakat
dalam mengelola hutan dan lahan perkebunannya.
b). Pembentukan lembaga kerjasama
Lembaga kerjasama diperlukan untuk memudahkan koordinasi yang
berkaitan dengan pengembangan hutan tanaman rakyat. Lembaga ini
nantinya dibentuk dan dipilih oleh masyarakat sehingga nantinya hubungan
kemitraan yang akan dilakukan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 17 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
c). Penanaman lahan-lahan kritis
Pengembangan hutan tanaman rakyat nantinya diharapkan tidak hanya
kondisi hutan yang masih ada tetapi juga lahan-lahan kritis yang ada.
Penanaman dilahan-lahan kritis tentunya memerlukan perlakuan tersendiri
sehingga dapat menjaga kelangsungan penyerapan air dan menahan laju
erosi. Dengan demikian kesinambungan baik hasil maupun manfaat
lingkungannya dapat terjaga.
d). Sistem kemitraan yang jelas
Sistem kemitraan yang akan dilakukan sebaiknya dibicarakan terlebih
dahulu sehingga nantinya diharapkan tidak terjadi benturan-bentura di
masyarakat. Kejelasan ini dapat berupa system bagi hasil yang ditawarkan
dan pembagian tugas dan tanggungjawab dalam pengembangan hutan
tanaman rakyat.
3. Strategi S-T
a). Sosialisasi hutan tanaman rakyat
Sosialisasi ini menjadi sangat penting agar masyarakat mengetahui
manfaat hutan tanaman rakyat baik manfaat lingkungan maupun manfaat
ekonomi yang diperoleh oleh masyarakat. Persepsi ini penting guna menjaga
kelangsungan usaha yang dilakukan dalam pengembangan hutan tanaman
rakyat.
b). Pengawasan hutan dan lahan dari kebakaran
Degradasi hutan yang terjadi saat ini yang paling besar disebabkan oleh
kebakaran hutan, untuk itu semua perlu dilakukan upaya-upaya yang
melibatkan semua stakeholder guna penanggulangannya. Upaya-upaya yang
perlu dilakukan antara lain: penyuluhan kepada masyarakat, pembukaan
lahan dengan tanpa membakar, pembuatan sekat bakar, penanaman
komoditi yang disenangi masyarakat, pembuatan jalan di sekitar areal
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 18 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
pengembangan hutan tanaman rakyat untuk memudahkan inspeksi lahan
hutan yang ada.
c). Penyediaan sarana pendukung
Penyediaan sarana pendukung ini untuk memudahkan upaya
pengembangan hutan tanaman rakyat seperti jalan, kendaraan baik roda dua
maupun roda empat, mobil pemadam kebakaran, menara api, pondok-
pondok pertemuan, pemasangan petunjuk jalan, pemasangan baliho
himbauan tentang bahaya kebakaran, pos-pos penjagaan dan lain
sebagainya. Sarana pendukung ini diharapkan dapat memudahkan dalam
pengembangan hutan tanaman rakyat.
4. Strategi W-T
a). Pelibatan masyarakat
Untuk menjaga kesinambungan kegiatan pengembangan hutan
tanaman rakyat keterlibatan masyarakat sekitar menjadi sangat penting.
Pelibatan masyarakat ini dapat secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung misalnya masyarakat local diikut sertakan sebagai tenaga
kerja kegiatan dimaksud sesuai dengan tingkat pendidikan dan keahlian yang
dimilikinya. Secara tidak langsung dengan cara merangsang masyarakat
untuk terlibat dalam penyediaaan bahan makanan pokok, sayuran, warung
dan usaha lainnya untuk menunjang kegiatan pengembangan hutan tanaman
rakyat.
b). Manajemen pola kemitraan
Manajemen diperlukan untuk memudahkan kita dalam mencapai tujuan
yang diinginkan dalam pengembangan hutan tanaman rakyat. Pola
kemitraan yang ditawarkan harus mampu memberikan prinsip saling
menguntungkan dan tranparan demi kelangsungan kegiatan pengembangan
hutan tanaman rakyat.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 19 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
c). Meningkatkan kerjasama lintas sektoral
Keberhasilan kegiatan pengembangan hutan tanaman rakyat perlu
ditopang berbagai pihak ,sehingga pengembangan yang dilakukan mejadi
tugas bersama untuk mencapai kesejahteraan sebagaimana yang diinginkan
dalam pengembangan hutan tanaman rakyat. Lintas sektoral ini bias dengan
melibatkan instansi terkait seperti: pertanian, kehutanan, perkebunan,
pemkab, LSM, desa, dusun, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan
lain sebagainya.
d). Kesungguhan dalam mewujudkan HTR
Mewujudkan HTR bukan pekerjaan mudah, diperlukan suatu
kebersamaan untuk mewujudkannya, baik pihak masyarakat sebagai
pelaksana di lapangan, maupun mitra masyarakat diharapkan mampu
melaksanakannya sesuai dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
sehingga diharapakan pengelolaan hutan bersama masyarakat ini mampu
menjadi titik tolak keberhasilan pelaksanaan kemitraan pengembangan hutan
tanaman rakyat.
C. Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan dan Kelestariannya
Masyarakat pada areal penelitian secara umum adalah petani (95,83%)
dan mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi terhadap hutan. Hasil
hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat umumnya adalah kayu (70,85%)
dan lainnya berupa non kayu (19,15%). Ketergantungan masyarakat yang
cukup tinggi terhadap hutan, berdampak terhadap kultur dan budayanya
didalam pemanfaatan hasil hutan. Masyarakat dalam menjaga kelestarian
hutan menjadikan hukum adat sebagai aturan/kebijakan yang harus dipatuhi
setiap warganya.
Upaya pengelolaan hutan oleh perusahaan terutama pemegang ijin
konsesi HPH, telah memberikan dampak yang besar terhadap perubahan
sosial masyarakat dan kelestarian kawasan hutan. Hasil analisis data
penelitian menggambarkan bahwa, sampai saat ini masyarakat masih
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 20 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
mengalami ketidakpercayaan (trauma) akan setiap upaya pengelolaan hutan
(menimbulkan sikap apatis). Hal ini terjadi karena selama ini masyarakat
merasakan keberadaannya yang dipinggirkan dan tidak dapat menikmati hasil
hutan guna peningkatan kesejahteraannya, bahkan yang dirasakan saat ini
adalah dampak dari kerusakan hutan. Kondisi ini jelaskan akan
menempatkan masyarakat tetap berada di bawah garis kemiskinan dan
keterbelakangan. Masyarakat menggangap keberadaan perusahaan hanya
akan mengakibatkan kesengsaraan dangan upaya yang tidak maksimal bagi
upaya peningkatan kesejahteraan (62,50%). Walaupun demikian, terdapat
keinginan yang sangat kuat (91,67%) dari masyarakat agar adanya upaya
pengelolaan peningkatan produktivitas dari lahan eks HPH, sehingga
harapannya akan terjadi pula peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
bagi masyarakat.
D. Persepsi Masyarakat Terhadap Pola Kemitraan Dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat.
Upaya pemanfataan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat selama ini
dilakukan secara berkelompok (57,94%) dan sendiri-sendiri (47,06%).
Akibatnya muncul berbagai permasalahan antara lain sulitnya pemasaran
yang berdampak terhadap fluktuasi harga jual (adanya praktek monopoli
pasar), kurangnya modal serta sarana dan prasarana yang tidak memadai.
Adanya keinginan yang kuat oleh pemerintah untuk mengembangkan
pola Hutan Tanaman Rakyat (HTR) disikapi masyarakat dengan sangat baik.
Untuk merealisasikan rencana tersebut, masyarakat secara umum bersedia
menyerahkan lahan-lahan kritis/tembawang miliknya (91,67%). Walaupun
demikian, ternyata masyarakat belum mengetahui pola ini (87,50%),
sehingga diperlukan upaya-upaya yang lebih intensif baik oleh pemerintah
melalui Dephut dan instansi terkait maupun kerjasama dengan lembaga
independen lokal.
Pengelolaan HTR dengan pola kemitraan sangat memungkinkan untuk
dikembangkan, jika adanya jaminan terhadap usaha yang berkelanjutan dan
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 21 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
hubungan yang saling menguntungkan dengan masyarakat setempat.
Umumnya masyarakat menghendaki gara pola ini dilaksanakan secara
berkelanjutan dan melibatkan masyarakat (58,33%) serta dilakukan melalui
kelompok tani (79,17%). Namun demikian, masyarakat juga menginginkan
adanya kepastian/konsistensi aturan maupun kesepakatan yang akan dibuat,
mengingat keterbatasan masyarakat dalam hal sarana dan prasarana yang
mendukung, pemasaran dan permodalan.
E. Persepsi Masyarakat Terhadap Sistem Permodalan
Masyarakat yang penduduknya mayoritas sebagai petani pada lokasi
penelitian, sudah dapat dipastikan akan kesulitan dalam hal modal untuk
pembangunan HTR. Oleh karena itu, masyarakat (100%) menginginkan agar
modal untuk pembangunan HTR sepenuhnya oleh pemerintah, swasta
maupun bantuan luar negeri.
Keinginan masyarakat yang cukup besar untuk pembangunan HTR,
adalah modal utama dan sangat penting didalam implementasi rencana ini.
Komitmen yang kuat dari masyarakat ditunjukkan oleh keinginan yang tinggi
dan bersedia untuk membangun HTR, jika disiapkan modalnya (90%).
F. Persepsi Masyarakat Terhadap Jenis Pohon Pada HTR
Upaya reboisasi/penanaman kembali lahan-lahan kritis dan tidak
produktif umumnya dilakukan oleh perusahaan HTI (83,25 %) dan oleh
pemerintah (16,75%). Selama pelaksanaan kegiatan ini, masyarakat yang
berada didalam dan sekitar kawasan hutan hampir tidak pernah dilibatkan di
dalam menentukan jenisnya (90%). Dampaknya adalah masyarakat tetap
merasa tetap dipinggirkan keberadaannya, sehingga muncul berabagai reaksi
negatif masyarakat dan tidak ada jaminan keamanan terhadap kawasan
tersebut.
Masyarakat sangat berharap, agar didalam pelaksanaan pembangunan
HTR dengan pola kemitraan nantinya diberikan kesempatan yang
proporsional untuk memilih jenis yang akan ditanam. Masyarakat juga
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 22 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
memberikan jaminan kebersediaan untuk memelihara HTR tersebut sampai
panen (97, 85%). Dengan demikian berarti ada jaminan sosial dan
keamanan serta kelestarian usaha pembangunan HTR. Jenis-jenis yang
diinginkan oleh masyarakat untuk ditanam, secara umum adalah dari jenis
niagawi serta jenis yang telah dikenal dan merupakan bagian dari kultur
masyarakat setempat. Jenis-jenis tersebut antara lain adalah karet,
tengkawang, durian, rambutan, gaharu, tembesu, kawi dan belian (ulin).
G. Persepsi Masyarakat Terhadap Sistem Bagi Hasil Pada Pola HTR
Pengusahaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat selama ini baik
secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, ternyata mempunyai berbagai
permasalahan mulai dari modal sampai dengan pemasaran produk.
Masyarakat menyadari bagaimana sulitnya pemasaran produk dengan harga
jual yang fluktuatif dan relatif tidak menguntungkan.
Realisasi rencana pemerintah untuk mengembangkan HTR dengan pola
kemitraan telah dinanti dan memberikan harapan yang tinggi bagi
masyarakat, terutama mengenai kepastian pemasaran produk. Masyarakat
juga berharap, apabila pola kemitraan dalam pembangunan HTR
dikembangkan maka harus ada sistem bagi hasil yang transparan. Walapun
mayoritas mayarakat menghendaki bagi hasil 80:20, tetapi secara gamblang
masyarakat tidak terlalu memikirkan berapa jumlah yang harus diterimanya
dari hasil penjualan produk, yang terpenting bagi masyarakat adalah aspek
hukum dan kepastian secara tertulis, sehingga dapat dijadikan sebagai
pegangan bersama yang mengikat dan komitmen bersama yang tinggi
terhadap perjanjian tersebut.
G. Rekomendasi Pembangunan HTR Pola Kemitraan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis pada bagian sebelumnya,
dengan melihat segala potensi, minat masyarakat, kendala, permasalahan
dan kebijakan yang mendukung, maka ada beberapa rekomendasi yang
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 23 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
diberikan sehubungan dengan rencana pembangunan hutan tanaman rakyat
dengan pola kemitraan, yaitu ;
1). Inventarisasi dan sosialisasi stakeholder
Inventarisasi dan sosialisasi harus dilakukan kepada berbagai pihak, antara
lain: Unsur pemerintah, DPRD, Tokoh masyarakat, lembaga adat, akademisi,
perguruan tinggi, organisasi kepemudaan, pengusaha/perusahaan, LSM
(lembaga swadaya masyarakat) dan unsur-unsur lainnya yang secara
partisipatif diharapkan mendukung pengembangan HTR yang akan dilakukan.
2). Kebijakan dan jaminan hukum
Selain PP No. 06 Tahun 2007, didalam pelaksanaannya harus ada kebijakan
teknis oleh pemerintah daerah yang mengatur mulai dari perencanaan
sampai dengan pasca panen, agar setiap komponen yang terlibat mempunyai
tanggungjawab,wewenang, hak dan kewajiban secara proporsional.
Selanjutnya harus ada jaminan hukum menyangkut kepastian areal yang
akan dikelola oleh masyarakat/kelompok peserta. Hal ini penting karena
permasalahan tata batas wilayah merupakan salah satu penyebab utama
konflik yang sering terjadi.
3). Penyusunan kesepakatan bersama
Menentukan visi, misi dan strategi serta program perencanaan, pengelolaan
dan penetapan kebijakan yang berkaitan dengan pola kerjasama (kemitraan)
antara masyarakat dan mitra kerja dalam pengembangan hutan tanaman
rakyat.
4). Penyusunan struktur kelembagaan/organisasi
Dalam pengembangan hutan tanaman rakyat diperlukan suatu
lembaga/organisasi untuk memudahkan dalam koordinasi di antara para
partisipan dalam masyarakat dan mitra kerjanya
5). Pemberian mandat
Pemberian mandat diberikan kepada personil partisipan dalam masyarakat
yang dianggap mampu mengimplementasikan rencana kegiatan yang akan
dilakukan dalam jangka waktu tertentu, dengan dibantu perangkat
pendukung lainnya disesuaikan dengan kebutuhan kerja yang akan
dilakukan.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 24 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
6). Komoditi yang aspiratif
Masyarakat sebagai mitra kerja dalam menentukan komoditi yang akan
ditanam harus dilibatkan, sehingga komoditi yang dikembangkan merupakan
hasil kesepakatan bersama yang didasarkan pada aspek ekonomis maupun
aspek-aspek lainnya.
7). Pembagian kerja
Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencapaian target yang diinginkan
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan hutan
tanaman rakyat.
8). Jaminan akses pasar dan ketersediaan teknologi.
Harus ada jaminan bahwa komoditi yang dikembangkan tersedia pasarnya,
sehingga setiap produk yang dihasilkan tidak akan mengalami kesulitan
didalam pemasarannya. Selain itu, diperlukan juga adanya ketersedian
teknologi berupa benih unggul, penanganan pasca panen dan pengendalian
hama dan penyakit.
9). Pembinaan dan pendampingan
Dalam pelaksanaan pembangunan hutan tanaman rakyat, harus ada tenaga
yang membina dan melakukan pendampingan secara berkelanjutan sampai
pada terciptanya masyarakat yang mandiri untuk pengelolaan selanjutnya.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 25 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan terhadap
rencana pembangunan hutan tanaman rakyat, maka ada beberapa hal yang
dapat disimpulkan, yaitu ;
1. Masyarakat mempunyai minat yang cukup tinggi terhadap rencana
pembangunan HTR, bahkan menginginkan agar rencana ini segera
terealisasi, walaupun demikian terdapat kenyataan bahwa sosialisasi yang
telah dilakukan belum sampai pada seluruh stakeholder (masyarakat yang
belum mengetahui rencana ini sebanyak ± 87,5%).
2. Masyarakat menginginkan jika rencana pembangunan hutan tanaman
rakyat ini terealisasi, maka harus ada kesepakatan tertulis yang bersifat
mengikat dan dapat dijadikan sebagai dasar hukum baik terhadap
permodalan, jenis komiditi maupun sistem bagi hasilnya.
3. Terdapat 16 strategi untuk pembangunan hutan tanaman rakyat dengan
pola kemitraan khususnya pada 3 (desa) lokasi penelitian, antara lain
berdasarkan (a) strategi optimalisasi kekuatan untuk memanfaatkan
peluang (S-O) yaitu: komoditi yang aspiratif dan pembinaan masyarakat
yang berkelanjutan, (b) strategi mengurangi kelemahan untuk
memanfaatkan peluang (W-O) yaitu: sistem kemitraan yang jelas, (c)
strategi penggunaan kekuatan untuk mengurangi ancaman (S-T) yaitu;
sosialisasi HTR dan pengadaan sarana pendukung dan (d) strategi
memperkecil faktor penghambat untuk mengurangi ancaman (W-T) yaitu:
kesungguhan dalam mewujudkan HTR.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 26 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
B. Saran
1. Pembangunan HTR dengan pola kemitraan harus mengedepankan
partisipasi aktif masyarakat sebagai ”aktor utama” dalam seluruh tahapan
pengelolaan (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pemantauan).
2. Perlu adanya kepastian tata batas wilayah dan kebijakan teknis yang
mengatur tata cara dan sistem pembangunan maupun pengelolaan HTR,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
3. Pendampingan dan pembinaan dilakukan secara berkelanjutan serta
komunikasi lainnya yang dimuat dalam rancangan teknis harus sering
dilakukan agar setiap masalah yang dihadapi dapat segera diketahui dan
solusi yang diambil mengenai sasarannya.
EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT PROJECT
AIDCO/2004/16830
Laporan Hasil Penelitian Pembangunan HTR Dengan Pola Kemitraan 27 Kerjasama Faperta UNKA Sintang - EC-Indonesia FLEGT, 2007
DAFTAR PUSTAKA
Justianto, A. 2005. Dampak Kebijakan Pembangunan Kehutanan Terhadap Pendekatan Masyarakat Miskin di Kalimantan Timur : Suatu Pendekatan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi-IPB. Bogor.
Rangkuti, F. 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis Reorientasi
Konsep Perencanaan Strategi Untuk Menghadapi Abad 21. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sardjono, M. A. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Menuju Pengelolaan Sumber
Daya Hutan Secara Lestari. Makalah pada Seminar Regional Amdal “Sistem Serifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Yang Lestari”. Kerjasama Silva Mulawarman - PT. Petebe Mas Bahagia - Envirosystem Indonesia. Samarinda 7 h.
Shopiah, 2004. Indeks Kinerja Petani Dalam Membangun Hutan Rakyat di
Kecamatan Samarinda Utara. Supriadi, R. 1994. Mengikutsertakan Masyarakat Pedesaan Dalam Proyek
Pengembangan Hutan Berskala Kecil. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Volume IX (2). Jakarta.
Sutisna, M. 2002. Pembangunan Hutan Rakyat Pola Murni dan Pola Kebun di
Kabupaten Berau. DAK-DR Tahun Anggaran 2001.