hubungan antara kondisi rumah dengan kejadian …eprints.ums.ac.id/40316/1/naskah publikasi.pdf ·...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA KONDISI RUMAH DENGAN KEJADIAN
TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KISMANTORO
KABUPATEN WONOGIRI
PUBLIKASI ILMIAH
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat
Disusun Oleh :
Dian Ambar Sari
J410110091
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadyah Surakarta 1
HUBUNGAN ANTARA KONDISI RUMAH DENGAN KEJADIAN
TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KISMANTORO KABUPATEN
WONOGIRI
Oleh
Dian Ambar Sari *Bejo Raharjo**Anisa Catur Wijayanti**
*Mahasiswa S1 Kesehatan Masyarakat. FIK UMS,**Dinas Kesehatan
Kabupaten Sukoharjo, ***Dosen Kesehatan Masyarakat FIK UMS
*Email: dianambarr.yahoo.co.id
ABSTRAK
Tuberkulosis Paru merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Kondisi
rumah memegang peran penting dalam penularan penyakit Tuberkulosis.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kondisi rumah
dengan kejadian Tuberkulosis paru di Puskesmas Kismantoro, Kabupaten
Wonogiri. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian
Case Control. Populasi dalam penelitian ini merupakan penderita Tuberkulosis
Paru BTA Positif di Puskesmas Kismantoro sebanyak 41 responden dan teknik
pengambilan sampel dengan cara menghitung jumlah sampel minimal dan
diperoleh sampel minimal sebanyak 40 responden. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa luas ventilasi kelompok kasus (82,9%) tidak memenuhi syarat dan
kelompok kontrol (57,3%) memenuhi syarat, pencahayaan rumah pada kelompok
kasus (75,6%) dan kelompok kontrol (53,7%) tidak memenuhi syarat, kelembaban
rumah kelompok kasus (78,0%) dan kelompok kontrol (53,7%) tidak memenuhi
syarat, jenis lantai kelompok kasus (56,1%) dan kelompok kontrol (65,9%) tidak
memenuhi syarat, dan jenis langit-langit kelompok kasus (85,4%) dan kelompok
kontrol (65,9%) tidak memenuhi syarat. Berdasarkan hasil uji Chi Square
menunjukkan ada hubungan antara luas ventilasi rumah (p=0,001), pencahayaan
rumah (p=0,038), kelembaban rumah (p=0,020), jenis langit-langit rumah
(p=0,040) dan tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian
Tuberkulosis Paru.
Kata Kunci : Luas Ventilasi, Pencahayaan, Kelembaban, Jenis Lantai, Jenis
Langit-langit, Tuberkulosis Paru
Kepustakaan :11 (1994-2014)
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadyah Surakarta 2
ABSTRACT
Tuberculosis is a public health problem in the world. Condition of the house plays
an important role in the transmission of tuberculosis. This study aimed to analyze
the relationship between the condition of the house with the incidence of
pulmonary tuberculosis in Puskesmas Kismantoro, Wonogiri. This research is a
quantitative research design Case Control. The population in this study are
patients with smear-positive pulmonary tuberculosis in Puskesmas Kismantoro as
many as 41 respondents and a sampling technique by calculating the minimum
sample size and obtained a minimum sample of 40 respondents. The results
showed that the area of home ventilation case group (82.9%) did not qualify and
the control group (57.3%) qualified, home lighting in the case group (75.6%) and
the control group (53.7%) did not qualify , moisture house case group (78.0%)
and the control group (53.7%) did not qualify, the type of flooring the case group
(56.1%) and the control group (65.9%) did not qualify, and type of ceilings case
group (85.4%) and the control group (65.9%) are not eligible. Based on the
results obtained by Chi Square test showed no relationship between ventilation (p
= 0.001), home lighting (p = 0.038), humidity (p = 0.020),type of ceiling (p =
0.040) and there was no relationship between type of floor with the incidence of
Pulmonary Tuberculosis.
Keywords : Ventilation, lighting, humidity, type of floor, type of ceilings,
pulmonary tuberculosis.
Bibliography : 11 (1994-2014)
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadyah Surakarta 3
PENDAHULUAN
Tuberkulosis Paru (TB
Paru) masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di dunia
walaupun upaya pengendalian
dengan strategi Directly
Observed Treatment Short-
course (DOTS) telah diterapkan
di banyak negara sejak tahun
1995. Dalam laporan World
Health Organization (WHO)
tahun 2013 diperkirakan terdapat
8,6 juta kasus TB pada tahun
2012 dimana 1,1 juta orang
(13%) diantaranya yaitu pasien
TB dengan HIV positif. Sekitar
75% dari pasien tersebut berada
di wilayah Afrika (Kemenkes RI,
2014).
Menurut World Health
Organization (WHO), Indonesia
sekarang berada pada ranking
kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. Estimasi
prevalensi TB semua kasus
sebesar 660.000 dan estimasi
insiden berjumlah 430.000 kasus
baru per tahun. Jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 61.000
kematian per tahunnya (P2PL
Kemenkes, 2013).
Jumlah kasus TB paru di
sebagian besar negara maju
hanya 10 sampai 20 kasus TB
paru per 100.000 penduduk per
tahun. Di negara berkembang
angkanya masih cukup tinggi,
termasuk Indonesia. Berdasarkan
Global Report Tuberculosis
WHO tahun 2012, angka
prevalensi TB Paru di Indonesia
diperkirakan 289 per 100.000
penduduk. Perkiraan insiden dan
kematian masing-masing 189 dan
27 per 100.000 penduduk. Situasi
terbaru menunjukkan terjadi
peningkatan suspek dari 57
(2010) menjadi 63 (2011) per
100.000 penduduk. Terjadinya
peningkatan penjaringan suspek
karena meningkatnya jumlah
rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lain yang
terlibat DOTS (Directly
Observed Treatment, Short-
course) yakni pengawasan
langsung pengobatan jangka
pendek (Kemenkes RI, 2013).
Meskipun memiliki beban
penyakit TB yang tinggi,
Indonesia merupakan negara
pertama diantara High Burden
Country (HBC) di wilayah WHO
South-East Asian yang mampu
mencapai target global TB untuk
deteksi kasus dan keberhasilan
pengobatan pada tahun 2009.
Pada tahun 2010, tercatat
sejumlah sejumlah 294.732 kasus
TB telah ditemukan dan diobati
(data awal Mei 2011) dan lebih
dari 169.213 diantaranya
terdeteksi BTA+. Dengan
demikian, Case Detection Rate
untuk TB BTA+ sebesar 73 per
100.000 (Case Detection Rate
73%). Rerata pencapaian angka
keberhasilan pengobatan selama
4 tahun terakhir sekitar 90% dan
pada kohort tahun 2010 mencapai
91%. Pencapaian target global
tersebut merupakan tonggak
pencapaian program
pengendalian TB nasional yang
utama (Kemenkes RI, 2013).
Pada tahun 2013 ditemukan
jumlah kasus baru BTA positif
(BTA+) sebanyak 196.310 kasus,
menurun bila dibandingkan kasus
baru BTA+ yang ditemukan
tahun 2012 yang sebesar 202.301
kasus. Jumlah kasus tertinggi
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadyah Surakarta 4
yang dilaporkan terdapat di
provinsi dengan jumlah
penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Jawa
Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga
provinsi tersebut hampir sebesar
40% dari jumlah seluruh kasus
baru di Indonesia (Depkes,
2014).
Pencapaian Case Detection
Rate (CDR) di Jawa Tengah
tahun 2013 masih dibawah target
yang ditetapkan sebesar ≥ 60%.
Meskipun masih dibawah target
yang ditentukan, capaian CDR
tahun 2013 sebesar 58,46%
dengan kasus BTA+ sebanyak
20.255 kasus lebih rendah
dibanding tahun 2012 yaitu
59,52%. CDR tertinggi berada di
Kota Magelang sebesar 292,91%
dengan kasus BTA+ sebanyak
372 kasus dan terendah di
Kabupaten Boyolali sebesar
21,80% dengan kasus BTA+
sebanyak 281 kasus, sedangkan
di Kabupaten Wonogiri juga
masih berada di bawah target
dengan CDR sebesar 47,37%
dengan kasus BTA+ sebanyak
454 kasus (Dinkes Jawa Tengah,
2014).
Menurut Teori John
Gordon (1950) dalam Soemirat
(2010), faktor risiko yang
mempengaruhi penyakit
Tuberkulosis paru yaitu faktor
agent, faktor host (manusia) dan
environment (kondisi rumah).
Agent dalam penyakit
Tuberkulosis yakni
Mycobacterium tuberculosis,
faktor host diantaranya jenis
kelamin, umur, kekebalan, dan
status gizi. Sedangkan faktor
environtment (kondisi rumah)
yaitu bahan bangunan, komponen
dan penataan ruang rumah,
pencahayaan alami, kualitas
udara, ventilasi, kepadatan
penghuni rumah, jenis lantai
rumah, kelembaban, langit-langit
rumah dan dinding rumah.
Faktor environtment
memegang peran penting dalam
penularan penyakit Tuberkulosis,
terutama lingkungan rumah yang
tidak memenuhi syarat.
Lingkungan rumah merupakan
salah satu faktor yang
memberikan pengaruh besar
terhadap status kesehatan
penghuninya. Kondisi fisik
lingkungan rumah yang tidak
sehat memegang peranan penting
dalam penularan dan
perkembangbiakan
Mycobacterium Tuberculosis.
Kurangnya sinar matahari yang
masuk ke dalam rumah dan
ventilasi yang buruk cenderung
menciptakan suasana yang
lembab. Kondisi ini
menyebabkan kuman dapat
bertahan berhari-hari sampai
berbulan-bulan di dalam rumah
(Aditama, 2000).
Sejalan dengan masih
banyaknya jumlah kasus TB,
maka dapat dilaksanakan
pencegahan terjadinya penyakit
yaitu dengan mencegah
penularan dari penderita.
Penderita BTA yang positif pada
dahaknya biasanya menunjukkan
gejala tertentu, khususnya batuk
berdahak. Karena itu, mereka
yang punya keluhan batuk-batuk
berdahak perlu dianjurkan agar
datang ke fasilitas kesehatan
terdekat untuk didiagnosis secara
benar. Untuk itu perlu dilakukan
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadyah Surakarta 5
penyuluhan kesehatan yang luas
dan melibatkan berbagai lapisan
masyarakat (Aditama, 1994).
Berdasarkan laporan data
dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Wonogiri tahun 2015, bahwa
pada Januari 2014 sampai
Triwulan II 2015, jumlah pasien
TB paru sebanyak 375 kasus
dengan CDR sebesar 34,59%. Di
Kabupaten Wonogiri terdapat 34
puskesmas yang tersebar di 25
kecamatan. Dari 34 puskesmas
tersebut, Puskesmas Eromoko II
merupakan puskesmas yang
mempunyai jumlah kasus
penemuan TB terendah sebanyak
4 kasus TB BTA+ sedangkan
Puskesmas Kismantoro
merupakan puskesmas yang
mempunyai jumlah kasus
penemuan TB yang tertinggi
yakni sebanyak 41 kasus BTA+
pada rentang waktu Januari 2014
sampai Juni 2015 dengan CDR
sebesar 60,09% yang masih
dibawah pencapaian target CDR
minimal di Kabupaten Wonogiri
yaitu sebesar ≥70%.
Menurut Seksi PL Dinas
Kesehatan Kabupaten Wonogiri
Tahun 2014, jumlah rumah yang
ada sebanyak 269.672 unit,
sedangkan kategori rumah yang
memenuhi syarat kesehatan
sebanyak 146.301 (54,25%) unit
rumah dan sisanya 123.357
(45,75%) unit rumah belum
memenuhi syarat kesehatan. Hal
ini belum memenuhi target rata-
rata cakupan rumah sehat
kabupaten sebesar 80%.
Berdasarkan hasil survei
pendahuluan peneliti menemukan
data dari rekam medis Puskesmas
Kismantoro Kabupaten Wonogiri
jumlah pasien penderita TB Paru
pada awal Januari 2014 sampai
dengan Juni 2015 memiliki 41
kasus TB paru. Persentase rumah
sehat di Puskesmas Kismantoro
memiliki persentase yang masih
rendah yaitu sebesar 30,56%.
Sedangkan target rumah sehat di
Kabupaten Wonogiri pada tahun
2014 sebesar 80%.
Berdasarkan uraian data
diatas, maka peneliti tertarik
untuk menyusun penelitian:
“Hubungan Antara Kondisi
Rumah dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Kismantoro, Kabupaten
Wonogiri”.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini
merupakan penelitian kasus
kontrol (case control) yaitu
penelitian survei analitik yang
mempelajari hubungan antara
paparan (faktor penelitian) dan
penyakit, dengan cara
membandingkan kelompok
kasus dan kelompok kontrol
berdasarkan status paparannya.
Pengambilan sampel dilakukan
dengan menghitung sampel
minimal menggunakan rumus
Lemeshow dkk (1997). Analisis
data bivariat menggunakan uji
Chi-Squre.
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadyah Surakarta 6
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
1. Karakteristik Responden
a. Umur
Responden pada
kelompok kasus terbanyak
pada usia 19-40 tahun
(46,3%) dan paling sedikit
berusia 81-100 tahun
(1,0%) demikian juga pada
kelompok kontrol
terbanyak pada usia 41-60
tahun (39%) dan paling
sedikit usia 81-100 tahun
(1,7%).
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin untuk
kelompok kasus terbanyak
adalah laki-laki sebanyak
22 responden (53,7%),
sedangkan perempuan
sebanyak 19 responden
(46,3%).
2. Analisis Univariat
Pada kelompok kontrol jumlah
responden terbanyak adalah laki-
laki sebanyak 23 responden
(56,1%), sedangkan perempuan
sebanyak 18 responden (43,9%).
c. Pendidikan
Tingkat pendidikan
kelompok kasus terbanyak
mempunyai pendidikan tamat
SLTA sebanyak 20 responden
(48,8%) dan paling sedikit
mempunyai pendidikan tidak
sekolah sebanyak 2 responden
(4,9%). Pada kelompok kontrol
terbanyak mempunyai
pendidikan tamat SLTA
sebanyak 22 responden (53,7%),
paling sedikit pendidikan tidak
sekolah sebanyak 2 responden
(4,9%).
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kondisi Rumah dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru
Variabel Kategori Kasus Kontrol
n % n %
Luas Ventilasi Memenuhi Syarat 7 17,1 19 46,3
Tidak memenuhi
syarat
34 82,9 22 57,3
Pencahayaan Memenuhi Syarat 10 24,4 19 46,3
Tidak memenuhi
syarat
31 75,6 22 53,7
Kelembaban Memenuhi Syarat 9 22,0 19 46,3
Tidak memenuhi
syarat
32 78,0 22 53,7
Jenis Lantai Memenuhi Syarat 18 43,9 14 34,1
Tidak memenuhi
syarat
23 56,1 27 65,9
Jenis Langit-langit Memenuhi Syarat 6 14,6 14 34,1
Tidak memenuhi
syarat
35 85,4 27 65,9
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadyah Surakarta 7
Berdasarkan Tabel 1
diketahui bahwa pada kelompok
kasus luas ventilasi responden
lebih banyak yang tidak
memenuhi syarat yakni 34
responden (82,9%) daripada
kelompok kontrol yakni 22
responden (57,3%).
Responden pada kelompok
kasus yang pencahayaan
rumahnya memenuhi syarat
kesehatan terbanyak adalah pada
kelompok kasus yakni 31
responden (75,6%), daripada
kelompok kontrol yakni 22
responden (53,75).
Responden yang kelembaban
tidak memenuhi syarat kesehatan
terbanyak pada kelompok kasus
yakni 32 responden (78,0%),
daripada kelompok kontrol yakni
22 responden (53,7%).
Responden yang jenis lantai
rumahnya tidak memenuhi syarat
lebih banyak pada kelompok
kontrol yaitu 27 responden
(65,9%) daripada kelompok
kasus 23 (56,1%).
Responden yang langit-langit
rumahnya tidak memenuhi syarat
terbanyak pada kelompok kasus
yaitu 35 rumah (85,4%) daripada
kelompok kontrol yaitu 27 rumah
(65,9%).
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadyah Surakarta 6
3. Analisis Bivariat
Tabel 2. Analisis Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian TB
Paru di Puskesmas Kismantoro
Variabel Kategori Kasus Kontrol P value OR
95%CI n % n %
Luas
Ventilasi
Tidak
memenuhi
syarat
34
82,9
19
46,3
0,001
5,624
2,030-
15,583 Memenuhi
syarat
7 17,1 22 53,7
Pencahayaan Tidak
memenuhi
syarat
31
75,6
22
53,7
0,038
2,677
1,045-
6,858
Memenuhi
Syarat
10
24,4
19
46,3
Kelembaban Tidak
memenuhi
syarat 32 78,0 22 53,7
0,020
3,071
1,174-
8,028
Memenuhi
Syarat 9 22,0 19 46,3
Jenis Lantai Tidak
memenuhi
syarat
23 56,1 27 65,9
0,365
Memenuhi
Syarat 18 43,9 14 34,1
Jenis Langit-
langit
Tidak
memenuhi
syarat 35 85,4 27 65,9
0,040
3,025
1,027-
8,908
Memenuhi
Syarat 6 14,6 14 34,1
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kismantoro
Kabupaten Wonogiri 6
Berdasarkan Tabel 2, pada hasil
uji Chi square didapatkan nilai
p=0,001<α=0,05 maka Ho ditolak,
dengan demikian ada hubungan antara
luas ventilasi rumah dengan kejadian
tuberkulosis paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten Wonogiri.
Diperoleh juga nilai odds ratio sebesar
5,624 dengan 95%CI=2,030-15,583
yang berarti bahwa penderita TB Paru
BTA+ yang tinggal dalam rumah
dengan luas ventilasi tidak memenuhi
syarat kesehatan berisiko 5,624 kali
lebih besar menderita TB Paru.
Pada variabel pencahayaan, hasil
chi square didapatkan nilai
p=0,038<α=0,05 maka Ho ditolak,
dengan demikian ada hubungan antara
pencahayaan rumah dengan kejadian
tuberkulosis paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten Wonogiri.
Diperoleh juga nilai odds ratio sebesar
2,677 dengan 95%CI=1,045-6,858
yang berarti bahwa penderita TB Paru
BTA+ yang tinggal dalam rumah
dengan pencahayaan tidak memenuhi
syarat kesehatan berisiko 2,677 kali
lebih besar menderita TB Paru.
Pada variabel kelembaban, hasil
uji chi square didapatkan nilai
p=0,020<α=0,05 maka Ho ditolak,
dengan demikian ada hubungan antara
kelembaban rumah dengan kejadian
tuberkulosis paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten Wonogiri.
Diperoleh juga nilai odds ratio sebesar
3,071 dengan 95%CI 1,174-8,028
maka dapat diartikan bahwa penderita
TB Paru BTA+ yang tinggal dalam
rumah dengan kelembaban tidak
memenuhi syarat kesehatan berisiko
3,071 kali lebih besar menderita TB
Paru.
Pada variabel jenis lantai, hasil
uji chi square didapatkan nilai
p=0,365<α=0,05 maka Ho diterima,
dengan demikian tidak ada hubungan
antara jenis lantai rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di
Puskesmas Kismantoro Kabupaten
Wonogiri.
Pada variabel jenis langit-langit,
hasil uji chi square didapatkan nilai
p=0,040<α=0,05 maka Ho ditolak,
dengan demikian ada hubungan antara
langit-langit rumah dengan kejadian
tuberkulosis paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten Wonogiri.
Diperoleh juga nilai odds ratio sebesar
3,025 dengan 95%CI 1,027-8,908
maka dapat diartikan bahwa penderita
TB Paru BTA+ yang tinggal dalam
rumah dengan jenis langit-langit tidak
memenuhi syarat kesehatan berisiko
3,025 kali menderita TB Paru.
B. PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
a. Umur
Pada kelompok kasus,
responden pada umur 19-40
tahun lebih banyak menderita TB
BTA+. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB
Paru adalah kelompok usia
produktif yaitu 15-50 tahun
(Aditama, 2000). Karena Pada
usia produktif selalu dibarengi
dengan aktivitas yang meningkat
sehingga banyak berinteraksi
dengan kegiatan yang banyak
pengaruh terhadap resiko tertular
penyakit Tuberkulosis.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin kelompok
kasus terbanyak adalah laki-laki
sebanyak 22 responden (53,7%).
Pada kelompok kontrol jumlah
responden terbanyak adalah laki-
laki sebanyak 23 responden
(56,1%). Beberapa penelitian
menunjukan bahwa laki-laki
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kismantoro
Kabupaten Wonogiri 7
sering terkena TB paru
dibandingkan perempuan. Hal ini
terjadi karena laki-laki memiliki
aktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan perempuan
sehingga kemungkinan terpapar
lebih besar pada laki-laki
(Aditama, 2000).
c. Pendidikan
Berdasarkan hasil analisis
univariat diketahui bahwa
responden baik kelompok kasus
dan kelompok kontrol adalah
tamatan SLTA. Menurut
Notoadmodjo (2010), pendidikan
merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pengetahuan.
Semakin tinggi pendidikan
sesorang maka akan berpengaruh
terhadap pengetahuan yang baik
pula. Menurut Timmreck (2003),
sesorang yang memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi akan
berorientasi pada tindakan
preventif atau dapat dikatakan
lebih banyak mengetahui tentang
masalah kesehatan dan memiliki
status kesehatan yang baik.
2. Hasil Penelitian
a. Hubungan antara Luas Ventilasi
Rumah dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten
Wonogiri
Berdasarkan analisis Chi
Square didapatkan nilai
p=0,001<α=0,05. Hal ini
menunjukkan ada hubungan antara
luas ventilasi rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di
Puskesmas Kismantoro Kabupaten
Wonogiri.
Berdasarkan hasil analisis
diperoleh nilai odds ratio sebesar
5,624 dengan 95%CI=2,030-
15,583 yang berarti bahwa
penderita TB Paru BTA+ yang
tinggal dalam rumah dengan luas
ventilasi tidak memenuhi syarat
kesehatan sebelumnya berisiko
5,624 kali lebih besar menderita
TB Paru.
b. Hubungan antara Pencahayaan
Rumah dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten
Wonogiri
Berdasarkan analisis Chi
Square didapatkan nilai
p=0,038<α=0,05. Hal ini
menunjukkan ada hubungan antara
pencahayaan rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di
Puskesmas Kismantoro Kabupaten
Wonogiri.
Berdasarkan hasil analisis
diperoleh nilai odds ratio sebesar
2,677 dengan 95%CI=1,045-6,858
yang berarti bahwa penderita TB
Paru BTA+ yang tinggal dalam
rumah dengan pencahayaan tidak
memenuhi syarat kesehatan
berisiko 2,677 kali lebih besar
menderita TB Paru.
c. Hubungan antara Kelembaban
Rumah dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten
Wonogiri Berdasarkan analisis Chi
Square didapatkan nilai
p=0,020<α=0,05. Hal ini
menunjukkan ada hubungan antara
kelembaban rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kismantoro
Kabupaten Wonogiri 8
Puskesmas Kismantoro Kabupaten
Wonogiri.
Berdasarkan hasil analisis
diperoleh nilai odds ratio sebesar
3,071 dengan 95%CI 1,174-8,028,
maka dapat diartikan bahwa
penderita TB Paru BTA+ yang
tinggal dalam rumah dengan
kelembaban tidak memenuhi
syarat kesehatan berisiko 3,071
kali lebih besar menderita TB
Paru.
d. Hubungan antara Jenis Lantai
Rumah dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten
Wonogiri
Berdasarkan analisis Chi
Square didapatkan nilai
p=0,365>α=0,05. Hal ini
menunjukkan tidak ada hubungan
antara jenis rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di
Puskesmas Kismantoro Kabupaten
Wonogiri.
e. Hubungan antara Jenis Langit-
Langit Rumah dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten
Wonogiri Berdasarkan analisis Chi
Square didapatkan nilai
p=0,040<α=0,05. Hal ini
menunjukkan ada hubungan antara
langit-langit rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di
Puskesmas Kismantoro Kabupaten
Wonogiri.
Berdasarkan analisis
diperoleh nilai odds ratio sebesar
3,025 dengan 95%CI 1,027-8,908
maka dapat diartikan bahwa
penderita TB Paru BTA+ yang
tinggal dalam rumah dengan
langit-langit tidak memenuhi
syarat kesehatan berisiko 3,025
kali menderita TB Paru.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Ada hubungan antara luas ventilasi
dengan kejadian tuberkulosis paru
di Puskesmas Kismantoro
Kabupaten Wonogiri (nilai
p=0,001)
2. Ada hubungan antara tingkat
pencahayaan dengan kejadian
tuberkulosis paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten Wonogiri
(nilai p=0,038)
3. Ada hubungan antara tingkat
kelembaban dengan kejadian
tuberkulosis paru di Puskesmas
Kismantoro Kabupaten Wonogiri
(nilai p=0,020)
4. Tidak ada hubungan antara jenis
lantai dengan kejadian tuberkulosis
paru di Puskesmas Kismantoro
Kabupaten Wonogiri pada (nilai
p=0,365)
5. Ada hubungan antara langit-langit
dengan kejadian tuberkulosis paru
di Puskesmas Kismantoro
Kabupaten Wonogiri (nilai
p=0,040)
B. Saran
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten
Wonogiri dan Puskesmas
Kismantoro
a. Untuk lebih ditekankan pada
pemberian materi mengenai
syarat-syarat rumah sehat, dan
mengingatkan kepada
masyarakat bahwa semua jendela
rumah harus dibuka setiap hari
agar cahaya matahari rumah bisa
masuk kedalam ruangan rumah
karena sinar matahari
mengandung radiasi ultraviolet
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kismantoro
Kabupaten Wonogiri 9
yang bisa membunuh kuman
mycobacterium tuberculosis.
Sebab dari hasil penelitian
sebagian besar dari responden
rumahnya tidak memenuhi syarat
kesehatan. Bagi masyarakat yang
tidak mampu, dinas kesehatan
dapat mengupayakan kerjasama
lintas sektoral dengan Dinas
Pekerjaan Umum (DPU), Badan
Pemberdayaan Masyarakat
(Bapermas) maupun dari
kelompok swasta yaitu
pengusaha, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan
swadaya/gotong royong
masyarakat, dll dalam pembelian
bantuan rehab rumah sehat
sederhana.
b. Dalam kegiatan penjaringan
suspek rumah BTA+, hendaknya
dilakukan bukan hanya yang
tinggal serumah saja. Hendaknya
dilakukan terhadap teman dekat
penderita, tetangga dekat, rekan
kerja yang masih terlihat sehat
namun memiliki kontak yang
cukup sering dengan penderita.
c. Penyuluhan pencegahan penyakit
ditingkat RT/RW akan lebih
efektif karena akan lebih bisa
menjangkau seluruh warga yang
berada di Desa. Selain itu,
petugas kesehatan perlu
memberikan motivasi kepada
pasien agar tetap melakukan
pengobatan rutin untuk
menyembuhkan penyakit TB.
2. Institusi Pendidikan
Sebagai bahan pembelajaran di
Lembaga Pendidikan yang
berhubungan dengan faktor kondisi
rumah dengan Tuberkulosis Paru.
3. Bagi Peneliti lain
a. Dapat menjadi sumber referensi
bagi peneliti lain yang
berhubungan dengan kondisi
rumah dengan kejadian
tuberkulosis paru.
b. Meningkatkan kualitas penelitian
dengan menggunakan metode
lain (misalnya kohort) yang lebih
baik dengan memperhatikan
variabel pengganggu (jenis
kelamin, umur, kondisi sosial
ekonomi, status gizi) dan analisis
yang lebih spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, CY. 1994. Tuberkulosis Paru
Masalah dan Penanggulangannya.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Aditama. 2000. Penyebab Kematian
Penderita Tuberkulosis Paru.
Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2014. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2013. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Dinas Kesehatan Jateng. 2014. Profil
Kesehatan Provinsi Jateng Tahun
2013. Semarang: Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah
Kemenkes RI. 2010. Program
Pengendalian Penyakit
Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes
RI.
Kemenkes RI. 2013. Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta: Kemenkes RI.
ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri
Hubungan antara Kondisi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kismantoro
Kabupaten Wonogiri 10
Kemenkes RI. 2014. Pedoman
Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kemenkes RI.
Lemeshow, S, Hosmer DW, Klar J,
Lwange SK. 1997. Besar Sampel
Dalam Penelitian Kesehatan.
Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Soemirat, J.S. 2010. Epidemiologi
Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Timmreck TC. 2003. Epidemiologi Suatu
Pengantar Edisi 2. Jakarta: EGC.