hubungan antara konflik peran ganda dengan stres kerja...
TRANSCRIPT
i
HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES
KERJA PADA WANITA BEKERJA
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
sebagai persyaratan memperoleh Derajat Sarjana S-1 Psikologi
Diajukan oleh:
RUSLINA
F 100 090 133
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
ii
HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES
KERJA PADA WANITA BEKERJA
NASKAH PUBLIKASI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Dalam mencapai derajat Sarjana (S-1) Psikologi
Diajukan oleh:
RUSLINA
F 100 090 133
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
iii
iv
i
HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES
KERJA PADA WANITA BEKERJA
RUSLINA
Yudhi Satria.R, SE., S.Psi., M.Si Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Stres kerja dipengaruhi oleh konflik peran ganda. Hal tersebut terjadi
karena adanya ketidak seimbangan antara kedua peran tersebut, pada saat yang
bersamaan ibu dituntut untuk bekerja semaksimal mungkin dan disisi lain ibu
dituntut selalu memperhatikan keluarga, sehingga wanita berperan ganda
diharapkan dapat membagi waktu dalam bekerja maupun dalam mengurus rumah
tangga.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
konflik peran ganda dengan stres kerja pada wanita bekerja. Hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara konflik peran
ganda dengan stres kerja pada wanita bekerja.
Populasi dalam penelitian ini adalah buruh pabrik wanita yang bekerja di
PT. Jamu Air Mancur, karanganyar. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah purposive non random sampling. dengan jumlah subjek sebanyak 60
orang. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel-variabel ada 2 macam
alat ukur, yaitu: (1) skala stress kerja, dan (2) skala konflik peran ganda. Analisis
data dalam penelitian ini menggunakan korelasi product moment. Hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara konflik peran
ganda dengan stres kerja pada wanita bekerja.
Berdasarkan hasil analisis Product moment diperoleh nilai koefisien
kolerasi rxy sebesar = 0,622 dengan p = 0,000; p ≤ 0,01, yang menunjukkan ada
kolerasi positif yang sangat signifikan antara konflik peran ganda dengan stres
kerja. Sumbangan efektif dari kedua variabel ditunjukkan oleh koefisien
determinan (r2) sebesar = 0,387 yang menunjukkan bahwa konflik peran ganda
mempengaruhi variabel stres kerja sebesar = 38,7% dan 61,3% sisanya
dipengaruhi variabel lainnya. Subjek dalam penelitian ini mempunyai tingkat
konflik peran ganda yang sedang dengan rerata empirik sebesar = 87,35 dan rerata
hipotetik sebesar = 97,5. Subjek juga mempunyai stres kerja yang sedang dengan
rerata empirik sebesar = 101,52 dan rerata hipotetik sebesar = 105.
Kata kunci:konflik peran ganda, stres kerja
1
PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi di
Indonesia yang semakin pesat
membuat kebutuhan rumah tangga
semakin meningkat. Kurangnya
pendapatan yang dihasilkan suami
sebagai kepala rumah tangga dan
pencari nafkah membuat sebagian
besar wanita ikut serta bekerja guna
memenuhi kebutuhan keluarga. dengan
latar pendidikan yang minim,
membuat sejumlah wanita mencari
pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya. dalam
sektor industri domestik banyak
dijumpai wanita bekerja baik sebagai
buruh pabrik, pembantu rumah tangga,
buruh cuci, dll.
Keputusan untuk mengambil dua
peran berbeda yaitu di rumah tangga
dan di tempat kerja tentu diikuti
dengan tuntutan dari dalam diri sendiri
dan pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Tuntutan dari diri sendiri dan
kebutuhan hidup ini menyerukan hal
yang sama yaitu keberhasilan dalam
dua peranan tersebut. Idealnya
memang setiap wanita bisa menjalani
semua peran dengan baik dan
sempurna, namun ini bukanlah hal
mudah. Banyak wanita berperan ganda
mengakui bahwa secara operasional
sulit untuk membagi waktu bagi
urusan rumah tangga dan urusan
pekerjaan. Akibat yang sering dihadapi
oleh wanita berperan ganda adalah
keberhasilan setengah-setengah pada
masing-masing peran atau hanya
berhasil di salah satu peran saja dan
peran yang lain dinomor duakan
kemudian terbengkalai.
Peran ganda menjadi fenomena
dalam dunia kerja yang sering kita
jumpai, tidak sedikit kaum wanita
yang berpartisipasi dalam dunia
industri. Sumbangan wanita dalam
pembangunan ekonomi terlihat dari
kecenderungan partisipasi wanita
dalam angkatan kerja. Sebagai salah
satu indikator, partisipasi dalam
bidang ekonomi ditunjukkan dari laju
peningkatan partisipasi wanita dalam
angkatan kerja antara tahun 1990-2000
lebih cepat dari peningkatan laju
partisipasi pria. di Indonesia jumlah
angkatan kerja wanita yang aktif
meningkat dari 6.869.357 pada tahun
1990 menjadi 36.871.239 pada tahun
2
2000 (BPS, Data komposisi angkatan
kerja,1990 & 2000).
Partisipasi wanita saat ini bukan
sekedar menuntut persamaan hak
tetapi juga menyatakan fungsinya
mempunyai arti bagi pembangunan
dalam masyarakat Indonesia.
Partisipasi wanita menyangkut peran
tradisi dan transisi. Peran tradisi atau
domestik mencakup peran wanita
sebagai istri, ibu dan pengelola rumah
tangga. Sementara peran transisi
meliputi pengertian wanita sebagai
tenaga kerja, anggota masyarakat dan
manusia pembangunan. Peran transisi
wanita sebagai tenaga kerja turut aktif
dalam kegiatan ekonomis (mencari
nafkah) di berbagai kegiatan sesuai
dengan keterampilan dan pendidikan
yang dimiliki serta lapangan pekerjaan
yang tersedia. Kecenderungan wanita
untuk bekerja menimbulkan banyak
implikasi, antara lain tidak dapat
menyeimbangkan kedua peran tersebut
sehingga menimbulkan konflik.
Ihromi (dalam Vitarini, 2009)
menyatakan bahwa jumlah wanita
pencari kerja akan semakin meningkat
di wilayah dunia. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik 2012, partisipasi
perempuan dalam lapangan kerja
meningkat signifikan. saat ini ada 43
juta pekerja perempuan yang
membantu pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Itu artinya, jumlah pekerja
perempuan hampir sama besarnya
dengan pekerja laki-laki. Pada saat
yang sama perempuan juga
menemukan kebebasan untuk tetap
menjalankan perannya sebagai ibu.,
Ihromi menambahkan kemungkinan
penyebab terjadinya peningkatan
jumlah pekerja perempuan adalah
adanya unsur keterpaksaan yang harus
dijalani kaum perempuan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarganya.
Namun menjalani dua peran
sekaligus, sebagai seorang pekerja
sekaligus sebagai ibu rumah tangga
tidaklah mudah. Karyawan wanita
yang telah menikah dan mempunyai
anak memiliki peran dan tanggung
jawab yang lebih berat daripada wanita
single. Peran ganda pun dialami oleh
buruh pabrik wanita, karena selain
berperan di dalam keluarga, wanita
tersebut juga berperan di dalam
3
pekerjaannya. Konflik peran inilah
yang menjadi pemicu stres kerja, salah
satu profesi yang rentan mengalami
stres kerja yaitu profesi sebagai buruh
pabrik. Pekerjaan sebagai buruh selain
dituntut mencapai target dalam
pekerjaannya, buruh juga bekerja
selalu dalam pengawasan. Profesi ini
pun menuntut adanya ketelitian dan
kecermatan serta tanggung jawab yang
tinggi, sehingga sering menyebabkan
stres atau tekanan mental pada buruh
pabrik wanita.
Setiap pekerjaan bisa dikatakan
sebagai penyebab munculnya stres,
karena didasari adanya beban kerja
yang terlalu banyak, konflik peran dan
adanya proses penyesuaian hubungan
dengan orang lain (Smet,1994). Stres
yang terjadi ditempat kerja merupakan
hasil reaksi emosi dan fisik akibat
kegagalan individu beradaptasi di
lingkungan kerja dimana terjadi
ketidak sesuaian antara harapan dan
kenyataan. Tarupolo (2002)
mendefinisikan stres kerja adalah suatu
proses yang menyebabkan seseorang
merasa sakit, tidak nyaman atau tegang
karena pekerjaan, tempat kerja atau
situasi kerja tertentu. Keenan dan
Newton (1984) berpendapat bahwa
stres kerja perwujudan dari kekaburan
peran, konflik peran dan beban kerja
yang berlebihan, sehingga kondisi
tersebut dapat mengganggu prestasi
dan kemampuan individu untuk
bekerja.
Dari berbagai pendapat diatas,
dapat disimpulkan bahwa pengertian
stres kerja adalah suatu reaksi perasaan
tertekan atau keadaan terganggu baik
fisik, psikologis, maupun perilaku
yang dialami oleh karyawan dalam
menghadapi pekerjaan.
Menurut Cooper (dalam Rice,
1992) mengidentifikasikan sumber-
sumber stres kerja sebagai berikut :
a. Kondisi pekerjaan
Kondisi pekerjaan
meliputi:
1) Lingkungan kerja. Kondisi
kerja yang buruk
berpotensi menjadi
penyebab karyawan mudah
jatuh sakit, mudah stres,
sulit berkonsentrasi dan
menurutnya produktivitas
kerja.
4
2) Overload. Dapat dibedakan
secara kuantitatif dan
kualititatif. Dikatakan
overload secara kuantitatif
jika banyaknya pekerjaan
yang ditargetkan melebihi
kapasitas karyawan tersebut.
Akibatnya karyawan tersebut
mudah lelah dan berada
dalam “tegangan tinggi”.
Overload secara kualitatif bila
pekerjaan tersebut sangat
kompleks dan sulit, sehingga
menyita kemampuan teknis
dan kognitif karyawan.
3) Deprivational stress, yaitu
kondisi pekerjaan yang tidak
lagi menantang, atau tidak
lagi menarik bagi karyawan.
Biasanya keluhan yang
muncul adalah kebosanan,
ketidakpuasan, atau pekerjaan
tersebut kurang mengandung
unsur sosial (kurangnya
komunikasi sosial).
4) Pekerjaan beresiko tinggi.
Jenis pekerjaan yang beresiko
tinggi, atau berbahaya bagi
keselamatan, misalnya
pekerjaan di pertambangan
minyak lepas pantai, tentara,
dan pemadam kebakaran,
berpotensi menimbulkan stres
kerja karena mereka setiap
saat dihadapkan pada
kemungkinan terjadinya
kecelakaan.
b. Stres karena peran
Sebagian besar karyawan
yang bekerja di perusahaan
yang sangat besar, khususnya
para wanita yang bekerja
dikabarkan sebagai pihak yang
mengalami stres lebih tinggi
dibandingkan dengan pria.
Masalahnya, wanita bekerja ini
menghadapi konflik peran
sebagai wanita karir sekaligus
ibu rumah tangga. Terutama
dalam kebudayaan Indonesia,
wanita sangat dituntut perannya
sebagai ibu rumah tangga yang
baik dan benar sehingga
banyak wanita karir yang
merasa bersalah ketika harus
bekerja. Perasaan bersalah
ditambah dengan tuntutan dari
dua sisi, yaitu pekerjaan dan
5
ekonomi rumah tangga, sangat
berpotensi menyebabkan
wanita bekerja mengalami
stres.
c. Faktor interpersonal
Hubungan interpersonal di
tempat kerja merupakan hal
yang sangat penting di tempat
kerja. Dukungan dari sesama
pekerja, manajemen, keluarga,
dan teman-teman diyakini
dapat menghambat timbulnya
stres. Dengan demikian perlu
ada kepedulian pihak
manajemen pada karyawannya
agar selalu tercipta hubungan
yang harmonis.
d. Pengembangan karir
Karyawan biasanya
mempunyai berbagai harapan
dalam kehidupan karir
kerjanya, yang ditujukkan pada
pencapaian prestasi dan
pemenuhan kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri.
Apabila perusahaan tidak dapat
memenuhi kebutuhan karyawan
untuk berkarir, misalnya
promosi yang tidak jelas,
kesempatan untuk
meningkatkan penghasilan
tidak ada, karyawan akan
merasa kehilangan harapan,
tumbuh perasaan
ketidakpastian yang dapat
menimbulkan perilaku stres.
e. Struktur Organisasi
Struktur organisasi
berpotensi menimbulkan stres
apabila diberlakukan secara
kaku, pihak manajemen kurang
mempedulikan inisiatif
karyawan, tidak melibatkan
karyawan dalam proses
pengambilan keputusan, dan
tidak adanya dukungan bagi
kreativitas karyawan.
f. Tampilan rumah-pekerjaan
Ketika pekerjaan berjalan
dengan lancar, tekanan yang
ada di rumah cenderung bisa
dihilangkan. bagi kebanyakan
orang, rumah sebagai tempat
untuk bersantai,
mengumpulkan dan
membangun kembali kekuatan
yang hilang. Tetapi, ketika
keheningan terganggu, bisa
6
karena pekerjaan atau konflik
di rumah, efek dari stres
cenderung meningkat.
Aspek- aspek stres kerja
Beehr dan Newman (1978)
mengemukakan bahwa aspek-aspek
stres kerja adalah :
a. Fisiologis
Merupakan perubahan-
perubahan yang terjadi pada
metabolisme organ tubuh yang
termasuk dalam aspek fisik
adalah detak jantung dan tekanan
darah meningkat, sekresi
adrenalin meningkat, timbulnya
gangguan perut, kelelahan fisik,
timbulnya penyakit
kardiovaskuler, timbulnya
masalah espirasi, keringat
berlebihan, gangguan kulit dan
susah tidur. Stres kerja banyak
berpengaruh pada sistem
pembuluh jantung dan perut
serta berperan dalam gangguan
tidur dan menimbulkan
kelelahan fisik yang berlebihan.
b. Psikologis
Aspek ini sering dijumpai
dan diprediksi dari terjadinya
ketidakpuasan kerja. Karyawan
tidak mempunyai motivasi kuat
untuk bekerja dan malas dalam
melakukan tugasnya. Termasuk
dalam aspek psikologis yaitu
kecemasan, ketegangan,
kebingungan, mudah
tersinggung, perasaan frustasi,
marah, mudah kesal, emosi
menjadi sensitif, perasaan
tertekan, kemampuan
berkomunikasi menjadi
berkurang, menarik diri dan
depresi, kebosanan dan
kelelahan mental dan
menurunnya fungsi intelektual,
kurang konsentrasi serta
kehilangan spontanitas dan
kreativitas.
c. Perilaku
Aspek perilaku yaitu
perubahan-perubahan atau
situasi dimana produktivitas
seseorang menurun. Gangguan
perilaku misalnya bermalas-
malasan dan menghindari
pekerjaan, kinerja dan
produktivitas menurun,
meningkatnya ketergantungan
7
pada alkhohol, melakukan
sabotase pada pekerjaan, makan
berlebihan sebagai pelarian,
mengurangi makan sebagai
perilaku menarik diri dan
mungkin berkombinasi dengan
depresi, kehilangan selera makan
dan menurunnya berat badan,
meningkatnya perilaku beresiko
tinggi, agresif serta adanya
kecenderungan untuk bunuh diri.
Menurut Robbin (1996) konflik
adalah suatu proses dimana terjadi
pertentangan dari suatu pemikiran
yang dirasa akan membawa suatu
pengaruh yang negatif. Sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwa
konflik secara umum adalah
bertemunya dua kepentingan yang
berbeda dalam waktu yang
bersamaan dan dapat menimbulkan
efek yang negatif.
Pengertian peran ganda
menurut Kartini (1994) adalah
peranan perempuan dalam dua
bentuk, yaitu perempuan yang
berperan dibidang domestik dan
perempuan karir, yang dimaksud
dengan tugas domestik adalah
perempuan yang hanya bekerja di
rumah saja sebagai istri yang setia.
Sedangkan yang dimaksud dengan
perempuan karir adalah apabila ia
bekerja di luar, maupun bekerja
secara profesional karena ilmu yang
didapat atau karena
keterampilannya.
Definisi konflik peran ganda
menurut Kahn dkk (dalam
Greenhaus & Beutell, 1985) konflik
peran ganda adalah bentuk dari
konflik antar peran yang mana
tekanan peran dari pekerjaan dan
keluarga bertentangan.
Berdasarkan dari pendapat
diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa konflik peran ganda
merupakan pertentangan peran yang
dijalani oleh ibu rumah tangga yang
bertanggung jawab sebagai istri
maupun ibu, dan sebagai pekerja
diluar rumah yang bertanggung
jawab atas pekerjaannya, Sehingga
peran keduanya menimbulkan suatu
konflik.
8
Faktor-faktor yang mempengaruhi
konflik peran ganda :
Stoner et al. (1990)
menyatakan mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi konflik peran
ganda, yaitu:
a. time pressure, semakin banyak
waktu yang digunakan untuk
bekerja maka semakin sedikit
waktu untuk keluarga.
b. family size dan support, semakin
banyak anggota keluarga maka
semakin banyak konflik, dan
semakin banyak dukungan
keluarga maka semakin sedikit
konflik.
c. kepuasan kerja, semakin tinggi
kepuasan kerja maka konflik
yang dirasakan semakin sedikit.
d. marital and life satisfaction, ada
asumsi bahwa wanita bekerja
memiliki konsekuensi yang
negatif terhadap pernikahannya.
Size of firm, yaitu banyaknya
pekerja dalam perusahaan mungkin
saja mempengaruhi konflik peran
ganda seseorang.
Aspek-aspek Konflik Peran Ganda:
Menurut Sekaran (1986)
aspek yang perlu diperhatikan
tersebut meliputi :
a. Pengasuhan anak
Tugas utama seorang istri
adalah mengurus suami, anak
dan memberikan pendidikan
terbaik baginya. Aspek
pengasuhan anak ini sangat
berkaitan dengan konflik
keluarga dan kerja, misalnya
ketika ibu harus bersiap-siap
untuk bekerja dan anak akan
berangkat sekolah, sang ibu tidak
bisa menyiapkan kebutuhan anak
sedangkan anak sangat butuh
perhatian dan kasih sayang dari
ibunya.
b. Bantuan pekerjaan rumah tangga
Bantuan pekerjaan rumah
tangga yang dimaksud adalah
istri yang tetap bekerja untuk
melayani suami dan anaknya,
walaupun pekerjaan rumah
tangga telah diserahkan kepada
pembantu rumah tangga, sang
istri tetap berkewajiban untuk
mengetahui segala urusan yang
9
berhubungan dengan rumah
tangga. misalnya ketika
menyiapkan makan meskipun
ada pembantu, sang ibu harus
terlibat dalam menyiapkan
makan tersebut padahal ibu
tersebut sudah lelah bekerja
c. Komunikasi dan interaksi
dengan suami dan anak
Komunikasi dan interaksi
dengan suami dan anak
merupakan suatu siklus
kehidupan yang harus dijalani
seorang istri. Misalnya ketika
sang ibu sedang sibuk dengan
pekerjaanya, sehingga jarang
berkomunikasi dengan suami
dan anak. bila hal tersebut tidak
mampu dijalani maka akan
menyebabkan konflik dalam
rumah tangga begitupun
sebaliknya.
d. Waktu untuk keluarga
Seorang istri harus dapat
membagi waktu untuk keluarga
(suami dan anak). walaupun
memiliki jadwal yang padat, istri
semaksimal mungkin harus
mampu memberikan waktu
untuk suami dan anak. bila hal
itu tidak mampu diberikan
seorang istri karena
kesibukannya di tempat kerja
maka terjadi hal-hal yang negatif
seperti anak kurang mendapat
perhatian. misalnya ketika sang
ibu sedang sibuk atau
mempunyai tugas dari kantor
sehingga tidak mempunyai
waktu untuk bersantai dengan
suami dan anak.
e. Menentukan prioritas
Seorang istri harus mampu
menentukan prioritas kerja dan
keluarga. disini istri dituntut
untuk dapat menentukan sikap
terhadap dua peran yang harus
dijalaninya. upaya yang dapat
ditempuh oleh istri untuk
mengatasi konflik tersebut
adalah memilih kedua peran
tersebut dengan tetap
mempertimbangkan resiko yang
akan dihadapi. misalnya ketika
anak sakit, sedangkan ibu harus
menghadiri acara penting dari
kantor untuk menunjang
karirnya.
10
f. Tekanan karir dan tekanan
kelurga
Setiap peran memiliki
konsekuensi masing-masing.
disatu sisi karir menuntut agar
mampu mencurahakan tenaga,
waktu dan pikiran terhadap
pekerjaan. disisi lain keluarga
terutama anak sangat
membutuhkan perhatian dan
kasih sayang dari seorang ibu.
Konflik pekerjaan-keluarga
menjelaskan terjadinya benturan antara
tanggung jawab pekerjaan dirumah
atau kehidupan rumah tangga (Frone
&Cooper, 1994). Wanita dihadapkan
pada banyak pilihan yang ditimbulkan
oleh perubahan peran baik didalam
lingkungan pekerjaan maupun didalam
keluarga. Konflik yang
berkepanjangan karena tekanan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan
kemampuan jika tidak dapat dihadapi
secara tepat dan baik maka akan
mengakibatkan stres kerja.
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Rice (1999), wanita
yang bekerja mengalami stres kerja
lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Perbandingan stres kerja antara wanita
dan laki-laki didapatkan hasil rata-rata
sebesar 28% wanita mengalami stres
ditempat kerja, sedangkan pada laki-
laki didapatkan rata-rata sebesar 20%.
Hal ini disebabkan karena wanita
dihadapkan dengan permasalahan
praktik-praktik diskriminatif mengenai
kondisi kerja seperti peraturan kerja
yang kaku, atasan yang kurang
bijaksana, beban kerja yang berat,
upah pendapatan rendah, rekan-rekan
yang sulit bekerja sama, waktu kerja
yang sangat panjang, atau pun ketidak
nyamanan psikologis yang dialami
akibat dari problem sosial-politis di
tempat kerja. Situasi demikian akan
membuat wanita mudah merasa
kelelelahan sehingga wanita berpotensi
mengalami stres kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh
Triaryati (2003) dengan judul
“Pengaruh Adaptasi Kebijakan
Mengenai Work – Family Conflict
terhadap Absen dan TurnOver”,
ditemukan bahwa karyawan wanita
telah terbukti menderita depresi dan
mengalami stres lebih cepat
dibandingkan pria, merupakan korban
11
terbesar dalam work-family conflict.
Ketika karyawan wanita tersebut
menghadapi situasi kerja yang kurang
menyenangkan karena tidak adanya
adaptasi yang dibutuhkan oleh mereka,
maka dengan mudah akan timbul stres.
Tuntutan pekerjaan
berhubungan dengan tekanan yang
berasal dari beban kerja yang
berlebihan dan waktu, seperti;
pekerjaan yang harus diselesaikan
terburu-buru dan deadline. Tuntutan
keluarga berhubungan dengan waktu
yang dibutuhkan untuk menangani
tugas-tugas rumah tangga dan menjaga
anak ditentukan oleh besarnya
keluarga, komposisi keluarga dan
jumlah anggota keluarga yang
memiliki ketergantungan terhadap
anggota lain. Konflik pekerjaan-
keluarga mempunyai pengaruh
menurunnya kehidupan rumah
tangga/keluarga dan mengganggu
aktifitas bekerja. Penurunan kualitas
hubungan dalam keluarga inilah yang
menyebabkan kondisi keluarga yang
kurang harmonis.
Selain itu, keadaan yang kurang
harmonis di keluarga ini juga berasal
dari ketidak mampuan dalam
pemenuhan peran sebagai pasangan
suami istri dan peran sebagai orang tua
akibat terlalu sibuk dan lelah dalam
pekerjaannya. Jika ibu yang bekerja
tersebut tidak dapat menyeimbangkan
antara pekerjaan dan keluarga maka
akan menimbulkan suatu tekanan
sehingga mengakibatkan ibu tersebut
sering marah-marah kepada anak dan
suami, kurang memperhatikan anak-
anak dan suami, cepat lelah, dan lain-
lain.
Penelitian Stewartz (1997) yang
dilakukan pada istri bekerja diketahui
bahwa istri yang bekerja full time
menginginkan mempersingkat jam
kerjanya untuk mengurangi
ketegangan akibat konflik peran antara
peran pekerjaan dan keluarga
dibandingkan wanita yang bekerja part
time. Sering juga terjadi keletihan pada
wanita bekerja karena selain bekerja,
wanita juga harus bertanggung jawab
pada pengasuhan anak, sehingga ibu
kurang waktu untuk beristirahat.
Berdasarkan uraian diatas, pada
kenyataannya peran ganda
memberikan konsekuensi yang berat
12
pada wanita yang bekerja. disatu sisi
wanita mencari nafkah untuk
membantu suami dan kebutuhan
ekonomi keluarga, serta disisi lain,
wanita harus bisa melaksanakan
tanggung jawabnya sebagai istri dan
seorang ibu.
Adapun stres kerja yang dialami
melibatkan juga pihak organisasi atau
perusahaan tempat individu bekerja.
Namun penyebabnya tidak hanya
didalam perusahaan, karena masalah
rumah tangga yang terbawa ke
pekerjaan dan masalah pekerjaan yang
terbawa ke rumah dapat juga menjadi
penyebab stres kerja mengakibatkan
dampak negatif bagi perusahaan dan
juga individu. Oleh karenanya
diperlukan kerja sama antara kedua
belah pihak untuk menyelesaikan
persoalan stres kerja tersebut. Maka
diperlukan suatu kajian yang
membahas tentang timbulnya stres
kerja pada wanita yang berperan
ganda.
Hipotesis penelitian ini
menyatakan ada hubungan positif
antara konflik peran ganda dengan
stress kerja pada wanita bekerja.
Semakin tinggi konflik peran ganda
terhadap buruh pabrik, semakin tinggi
pula stress kerja. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah konflik
peran ganda maka rendah pula stres
kerja pada buruh pabrik wanita.
METODE
Subjek yang diambil dalam
penelitian adalah buruh pabrik wanita
yang telah mempunyai anak, dan
tinggal bersama suami dengan usia ±
20-55 tahun dengan masa kerja
minimal 6 bulan sebanyak 60 orang.
Dengan menggunakan teknik
pengambilan sampel purposive non
random sampling. Metode
pengumpulan data menggunakan skala
konflik peran ganda dan skala stres
kerja. Teknik analisis data
menggunakan korelasi product
moment.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil perhitungan
analisis product moment diperoleh
nilai koefisien korelasi r = 0,622; p =
0,000 (p < 0,01). Hasil ini
menunjukkan ada hubungan positif
yang sangat signifikan antara konflik
peran ganda dengan stres kerja.
13
Artinya semakin tinggi konflik peran
ganda maka semakin tinggi pula stres
kerja.
Konflik peran ganda
merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi stres kerja,
menurut Kahn dkk (dalam Greenhaus
& Beutell, 1985) konflik peran ganda
adalah bentuk dari konflik antar peran
yang mana tekanan peran dari
pekerjaan dan keluarga bertentangan.
Selain itu Khan (dalam Behr, 1995)
menyatakan bahwa konflik peran
ganda merupakan adanya
ketidakcocokan antara harapan -
harapan yang berkaitan dengan suatu
peran dimana dalam kondisi yang
cukup ekstrim, kehadiran dua atau
lebih harapan atau tekanan akan
sangat bertolak belakang sehingga
peran yang lain tidak dapat
dijalankan. Penelitian yang dilakukan
oleh Duxburry dan Higgins (2003)
sejalan dengan pernyataan
sebelumnya, namun ia menambahkan
dampak yang ditimbulkan dari
konflik peran ganda yaitu partisipasi
seseorang pada satu peran
menyulitkan partisipasi pada peran
yang lainnya.
Penelitian Amalia (2001)
menyebutkan bahwa wanita yang
menjalankan peran ganda, sebagai
karyawan sekaligus sebagai ibu
rumah tangga lebih sering dihinggapi
stres daripada pekerja wanita yang
lajang. Selain itu disebutkan pula
bahwa banyak wanita yang
menjalankan peran gandanya tidak
mampu mengatasi stres yang dialami
terutama tuntutan untuk berprestasi
dari perusahaan tempat individu
tersebut bekerja atau tuntutan untuk
mendapatkan penghasilan yang lebih
banyak.
Pada kenyataannya peran
ganda memberikan konsekuensi yang
berat. Disatu sisi wanita mencari
nafkah untuk membantu suami
bahkan pada kasus tertentu wanita
lebih bisa diandalkan dalam
menafkahi dan disisi lain wanita
harus bisa melaksanakan tanggung
jawabnya sebagai istri dan ibu.
Walaupun demikian peran ganda
wanita bukan pilihan yang tidak
mungkin diambil dan hal tersebut
14
sering berdampak kepada kondisi
psikologis. Seperti dikemukakan oleh
Nurani (1994) bahwa, karena
keterbatasan waktunya, tidak
mungkin bagi wanita bekerja untuk
sekaligus menjadi ibu rumah tangga
secara maksimum. Wanita yang aktif
bekerja sulit menjalankan tugas
sebagai istri dan berfungsi sebagai ibu
dalam hal mengasuh, merawat,
mendidik dan mencurahkan kasih
sayang kepada anak sepanjang waktu.
Stres mudah untuk muncul karena
adanya konflik peran tersebut.
Misalnya saja harus tetap masuk kerja
walaupun anak sedang sakit, atau
terpaksa mengerjakan pekerjaan
kantor ketika sedang bersantai
bersama keluarga.
Penelitian di Amerika juga
menyebutkan bahwa 65% wanita
pekerja mempunyai masa depan lebih
suram. Mereka banyak mengalami
konflik dalam pekerjaannya akibat
stress yang dirasakan. Kebanyakan di
antara mereka tidak bisa
menyesuaikan diri dalam bekerja,
kurang dapat mengambil keputusan
dengan tepat, mudah dihasut dan lain
sebagainya. Hanya 35 % lainnya
akan memperoleh karir yang
gemilang karena para wanita itu
bekerja atas dasar ingin
mengaktualisasikan dirinya, sehingga
secara kreatif mereka bisa
memberdayakan diri (Dhammanandi,
2014)
Berdasarkan hasil analisis
diketahui konflik peran ganda dan
Stres kerja pada subjek penelitian
tergolong sedang, ditunjukkan oleh
rerata empirik (RE) konflik peran
ganda sebesar = 87,35 dan rerata
hipotetik (RH) = 97,5. Secara rinci
diketahui dari 60 subjek yang diteliti,
diketahui ada 8 subjek (13,3%)
mengalami konflik peran ganda
tinggi, 18 subjek (30%) mengalami
peran ganda sedang; 33 subjek (35%)
mengalami peran ganda rendah; dan 1
subjek (1,6%) mengalami peran
ganda sangat rendah. Hasil
kategorisasi tersebut menujukkan
bahwa konflik peran ganda yang
dialami oleh subjek penelitian cukup
variatif, namun secara umum subjek
yang diteliti mengalami konflik peran
ganda dalam kategori rendah.
15
Kondisi sedang ini dapat diartikan
aspek-aspek yang terdapat dalam
konflik peran ganda yaitu
pengasuhan anak, bantuan pekerjaan
rumah tangga, komunikasi dan
interaksi dengan anak & suami, waktu
untuk keluarga, menentukan prioritas,
tekanan karir dan tekanan keluarga,
pandangan suami terhadap peran
ganda wanita. Merupakan aspek atau
komponen yang perlu dimiliki atau
diselaraskan terlebih dahulu oleh
wanita yang berperan ganda. Waktu
untuk keluarga (anak dan suami)
misalnya untuk bercengkrama atau
menghabiskan waktu dengan anak
dan suami harus diprioritaskan untuk
mengurangi terjadinya konflik. Selain
itu tuntutan-tuntutan tertentu dalam
pekerjaan dan urusan rumah tangga
juga harus mampu di atasi oleh
wanita yang berperan ganda. Apabila
kedua aspek tersebut sudah mampu
dimiliki diharapkan aspek-aspek lain
yaitu pengasuhan anak, bantuan
pekerjaan rumah tangga, komunikasi
dan interaksi dengan anak dan suami,
pandangan suami tentang peran ganda
wanita akan lebih mudah dimiliki
oleh wanita yang berperan ganda.
Stres kerja pada subjek
penelitian ditunjukkan oleh rerata
empirik (RE) sebesar = 101,52 dan
rerata hipotetik (RH) = 105. Secara
rinci diketahui dari 60 subjek yang
diteliti, diketahui ada 1 subjek (1,6%)
yang mengalami stres kerja sangat
tinggi, 20 subjek (33,3%) mengalami
stres kerja tinggi; 21 subjek (35%0
mengalami stres kerja sedang; 18
subjek (30%) mengalami stres kerja
rendah. Secara umum subjek
penelitian mengalami stres kerja
tergolong sedang, artinya pada
sebagian subjek yang diteliti
mengalami gejala-gejala seperti yang
terdapat aspek dalam stres kerja yaitu
fisiologis, psikologis, dan perilaku.
Beberapa indikator seseorang
mengalami stres kerja menurut
Greenberg dan Baron (1993) antara
lain, kebosanan, tidak mengalami
kepuasan kerja, hilangnya konsetrasi,
gangguan tidur, sakit kepala, sakit
pada punggung bagian bawah,
ketegangan otot,gangguan pernapasan
dan gangguan pada kulit,
16
meningkatnya agresivitas, dan
menurunnya produktifitas.
Sumbangan efektif konflik
peran ganda terhadap stres kerja
sebesar = 38,7%, maka masih
terdapat 61,3% faktor-faktor lain
yang mempengaruhi stres kerja selain
variabel konflik peran ganda.
(Greenberg, 2002) menyatakan bahwa
ada beberapa faktor yang
mempengaruhi stres kerja antara lain
adalah: Faktor stres yang bersumber
pada pekerjaan yaitu meliputi kondisi
kerja yang sangat sedikit
menggunakan aktifitas fisik, Peran
didalam organisasi, Faktor stres kerja
yang bersumber pada karakteristik
individu, serta Faktor stres kerja yang
bersumber di luar organisasi.
Sebagaimana yang telah
dikemukakan pera ahli, bahwa stres
kerja dapat diartikan sebagai sumber
atau stressor kerja yang menyebabkan
reaksi individu berupa reaksi
fisiologis, psikologis, dan perilaku.
banyak faktor yang mempengaruhi
stres kerja diantaranya konflik peran
ganda. Cooper (dalam Rice, 1992)
mengemukakan bahwa sebagian besar
karyawan yang bekerja di perusahaan
yang sangat besar, khususnya para
wanita yang bekerja dikabarkan
sebagai pihak yang mengalami stres
lebih tinggi dibandingkan dengan
pria. dikarenakan, wanita bekerja ini
menghadapi konflik peran sebagai
wanita karir sekaligus ibu rumah
tangga. Terutama dalam kebudayaan
Indonesia, wanita sangat dituntut
perannya sebagai ibu rumah tangga
yang baik dan benar sehingga banyak
wanita bekerja yang merasa bersalah
ketika harus bekerja. Perasaan
bersalah ditambah dengan tuntutan
dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan
ekonomi rumah tangga, sangat
berpotensi menyebabkan wanita
bekerja mengalami stres.
Berdasar analisis data
menunjukkan ada hubungan positif
yang sangat signifikan antara konflik
peran ganda dengan stres kerja, sesuai
dengan hipotesis yaitu semakin tinggi
konflik peran ganda pada wanita
bekerja maka akan semakin tinggi
stres kerja, begitu pula sebaliknya
semakin rendah konflik peran ganda
pada wanita bekerja maka akan
17
semakin rendah pula stres kerja. Hal
ini terbukti bahwa konflik peran
ganda dapat menjadi prediktor
variabel stres kerja.
Hasil penelitian menunjukkan
terdapat keterbatasan penelitian yang
perlu diperhatikan, antara lain:
1. Generalisasi dari hasil-hasil
penelitian ini terbatas pada
populasi dimana penelitian
dilakukan yaitu di PT. Jamu Air
Mancur, sehingga penerapan pada
ruang lingkup yang lebih luas
dengan karakteristik yang berbeda
kiranya perlu dilakukan penelitian
ulang dengan menggunakan atau
menambah variabel-variabel lain
yang belum disertakan dalam
penelitian ini atau pun dengan
menambah dan memperluas ruang
lingkup penelitian.
2. Subjek uji coba dan penelitian
memiliki jumlah dan karakteristik
penelitian yang relatif sama
sehingga akan lebih tepat jika
digunakan penelitian dengan
tryout terpakai, karena akan lebih
praktis, efisien dan hasil penelitian
lebih mewakili populasi yang ada
dikarenakan jumlah subjek lebih
besar.
KESIMPULAN DAN SARAN
a) Kesimpulan
1. Ada hubungan yang positif yang
sangat signifikan antara konflik
peran ganda dengan stres kerja pada
wanita berperan ganda. Artinya
semakin tinggi konflik peran ganda
yang diperoleh maka semakin
tinggi stres kerja yang dialami oleh
wanita berperan ganda dan
sebaliknya semakin rendah konflik
peran ganda yang diperoleh maka
semakin rendah stres kerja yang
dialami oleh wanita berperan ganda.
2. Peranan atau sumbangan efektif
konflik peran ganda dengan stres
kerja sebesar menunjukan bahwa
koefisien determinan (r2) sebesar
= 0,387. Hal ini menunjukan
bahwa variabel konflik peran
ganda memberi sumbangan efektif
sebesar = 38,7% dalam
mempengaruhi stres kerja pada
wanita berperan ganda, sedangkan
sisanya 61,3% dipengaruhi oleh
variabel lain.
18
3. Tingkat konflik peran ganda
termasuk ke dalam kategori
sedang. Hal ini ditunjukan oleh
hasil rerata empirik sebesar =
87,35 dengan rerata hipotetik
skala konflik peran ganda sebesar
= 97,5.
4. Tingkat stres kerja termasuk ke
dalam kategori sedang. Hal ini
dapat dilihat dari hasil rerata
empirik sebesar = 101,52 dengan
Rerata hipotetik skala stres kerja
sebesar 105.
b) Saran
Diharapkan hasil dari penelitian ini
sebagai referensi, untuk bahan
masukan, pertimbangan, informasi
tambahan bagi peneilti lain yang
akan melakukan penelitian sejenis,
sehingga dapat menjadi acuan
dalam penyempurnaan penelitian
yang sejenis.
19
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, M.2005. Konflik Peran Ganda
Ibu Bekerja ditinjau dari
Dukungan Sosial Skripsi
(tidak diterbitkan).
Semarang: Fakultas Psikologi
Universitas Katolik
Soegijapratana..
Beehr,T.a. & Newman,J.E.1978.Job
stress. EmployeeHealth and
Organization Effectiveness :
A Facet Analisis Model and
Literature Review. Personel
Psichology.
Cooper, C. L., & Palmer, S. 2007.
How to deal with
stress.Unites States: Kogan
Page Limited.
Dhammanandi. 2014. Quo Vadis
Perempuan Dalam Politik.
www.google /search/php/ id
Duxbury, L. E., & Higgins, C. A.
(1991). Gender differences in
work family conflict. Journal
of Applied Psychology, 76, 60-
74.
Greenberg, J.,&Baron,R.A. 1993.
Behavior In
Organizations:Understanding
And Managing The Human
Side Of Work.USA:Allyn &
Bacon
Nurani. 1994. Kesadaran Beragama
Islam Terhadap Wanita Karir.
Skripsi Sarjana (Tidak
diterbitkan). Surakarta :
Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Tarupolo, B 2002.Warta Kesehatan
Kerja Media Komunikasi
Kesehatan Kerja.Edisi 1.
Jakarta.
Triaryati, Nyoman. 2002. Pengaruh
Adaptasi Kebijakan Work-
Family Issue
TerhadapAbsence dan
Turnover. Jurnal Widya
Manajemen & Akuntansi,
Vol.2, No.3Desember 2002
Badan Pusat Statistik. 2010.
Perkembangan Beberapa
Indikator Utama Sosial-
Ekonomi Indonesia. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
Sekaran, U. 1986. Dual career
families. San Fransisco: Josey
Bass Publishers
Smet. 1994. Psikologi Kesehatan.
Jakarta : Grasindo
Widiasarana Indonesia.
Rice, P. L. (1992). Stress and health
(2nd Edition) . Pacific Grove,
CA: Brooks/Cole.
Rice,P.L.1999. Stress and Health (2nd
ed). Pasific Grove. California:
Brooks/ Cole Publishing
Company.
Stonner, Charles R. (1990). Work-
home role conflict infemale
owners of small bussiness: an
eploratory study. Journal of
20
small business management ,
28 (1), page 30-38.
Frone, M R; Russell, M; Cooper, M L.
(1992). Antecedents and
Outcomes of Work-Family
Conflict: Testing a Model of
The Work-Family Interface .
Journal of Applied
Psychology, Vol.77, No.1,
p:65-78.