hubungan infeksi soil-transmitted helminth
TRANSCRIPT
1
HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH
DENGAN HASIL UJI TUSUK KULIT PADA ANAK
TESIS
SCHENNY REGINA LUBIS
077103019 /IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED-HELMINTH DENGAN HASIL
UJI TUSUK KULIT PADA ANAK
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang
Ilmu Kesehatan Anak / M. Ked (Ped) pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
SCHENNY REGINA LUBIS
077103019/IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
Judul Penelitian : Hubungan Infeksi Soil-Transmitted Helminth
dengan Hasil Uji Tusuk Kulit Pada Anak
Nama Mahasiswa : Schenny Regina Lubis
NIM : 077103019 /IKA
Program Magister : Magister Klinis
Konsentrasi : Kesehatan Anak
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
dr. Lily Irsa, Sp.A(K)
Ketua
dr. Supriatmo, Sp.A(K)
Anggota
Ketua Program Magister Ketua TKP-PPDS
dr. Melda Deliana, Sp.A(K) dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K)
Tanggal lulus : 5 Juni 2012
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
Telah diuji pada
Tanggal : 5 Juni 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : dr. Lily Irsa, SpA (K) …………………
Anggota : dr. Supriatmo, SpA (K) …………………
dr. Endang H. Ganie, DTM&H, SpPar (K) …………………
Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, Sp.AK …………………
dr. Tina C L Tobing, Sp.AK …………………
Tanggal lulus : 5 Juni 2012
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
PERNYATAAN
HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH DENGAN HASIL
UJI TUSUK KULIT PADA ANAK
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka
Medan, Juni 2012
Schenny Regina Lubis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir
pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU
/ RSUP H. Adam Malik Medan.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di
masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Pembimbing utama dr. Lily Irsa, Sp.AK dan dr. Supriatmo, SpAK, yang telah
memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga
dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
2. Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter Spesialis Anak FK-USU, dan dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K), sebagai
Sekretaris Program Studi yang telah banyak membantu dalam
menyelesaikan tesis ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
3. dr. H. Ridwan M. Daulay, SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah
memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.
4. Dr. Endang Gani, DTM&H, SpPar(K), dr. Rita Evalina, Sp.A, yang sudah
membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.
5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP
H. Adam Malik Medan dan RS. dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan
sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
6. Kepala Puskesmas Secanggang, atas keramahtamahannya selama
penelitian di Secanggang
7. Para laboran dan analis, Fahrani Nst, Ssi yang juga membantu saya dalam
pelaksanaan penelitian ini.
8. Teman-teman rekan sesama PPDS yang tidak mungkin bisa saya lupakan
yang telah membantu saya dalam keseluruhan penelitian maupun
penyelesaian tesis ini. Terimakasih untuk kebersamaan kita dalam menjalani
pendidikan selama ini.
9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis
ini.
Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orangtua saya Bapak Syahrul
Lubis dan Ibu Elly Juliastuti dan mertua saya dr. Saad Sahlul Nst, Sp.OG dan Ibu Sri
Bahagia Lbs atas pengertian serta dukungan yang sangat besar, terima kasih
karena selalu mendo’akan saya dan memberikan bantuan moril dan materil. Begitu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
juga suami saya tercinta dr. Janwar Sahnanda Nst, anak saya Hakem Mufthi Nst,
yang selalu mendo’akan dan memberikan dorongan serta pengertian selama
mengikuti pendidikan ini.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Medan, Mei 2012
Schenny Regina Lubis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
DAFTAR ISI
Lembaran Persetujuan Pembimbing i Lembar Panitia Penguji Tesis ii Ucapan Terima Kasih iii Daftar Isi vi Daftar Tabel viii Daftar Gambar ix Daftar Singkatan x Daftar Lambang xi Abstrak xii BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1 1.2. Perumusan Masalah 3 1.3. Hipotesis 3 1.4. Tujuan Penelitian 3 1.5. Manfaat Penelitian 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Alergi dan atopi 4 2.2. Soil-Transmitted Helminth 6 2.3. Soil-Transmitted Helminth dan Alergi 7 2.3.1. Soil-Transmitted Helminth dan Asma 8
2.3.2. Soil-Transmitted Helminth dan Dermatitis Atopi 8 2.3.3. Soil-Transmitted Helminth dan Rinitis Alergi 9 2.4. Patofisiologi 9 2.4.1. Infeksi Akut 9 2.4.2. Infeksi Kronis 10
2.5 Uji Tusuk Kulit 10 2.6. Kerangka Konseptual 12 BAB 3. METODOLOGI
3.1. Desain 13 3.2. Tempat dan Waktu 13 3.3. Populasi dan Sampel 13 3.4. Besar Sampel 14 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1. Kriteria Inklusi 15 3.5.2. Kriteria Eksklusi 15
3.6. Persetujuan / Informed Consent 15 3.7. Etika Penelitian 16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 16 3.9. Identifikasi Variabel 19 3.10. Definisi Operasional 19 3.11. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 21
BAB 4. HASIL 22 BAB 5. PEMBAHASAN 28 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 33 6.2. Saran 33 BAB 7. RINGKASAN 34 DAFTAR PUSTAKA 38 Lampiran
1. Personil Penelitian 41 2. Biaya Penelitian 41 3. Jadwal Penelitian 41 4. Kuesioner Penelitian 42 5. Teknik Hapusan Tebal Kato Katz 44 6. Cara Kerja Uji Tusuk Kulit 45
7. Penjelasan Kepada Orangtua 47 8. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) 49
9. Riwayat Hidup 50 10. Komite Etik Penelitian 51
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian 24
Tabel 4.2. Hubungan antara infeksi Soil-transmitted helminth 26
dengan hasil uji tusuk kulit
Tabel 4.3. Hubungan antara jenis cacing dan intensitas infeksi 26
Soil-transmitted helminth dengan hasil uji tusuk kulit
Tabel 4.4. Hubungan gejala penyakit atopi terhadap infeksi
Soil-transmitted helminth 27
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Hubungan infeksi Soil-transmitted helminth dengan
terjadinya alergi 10
Gambar 2.6. Kerangka konsep penelitian 12
Gambar 3.8. Alur penelitian 18
Gambar 4.1. Profil penelitian 23
Gambar 4.2. Distribusi intensitas infeksi 25
Gambar 4.3. Distribusi jenis infeksi cacing 25
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
DAFTAR SINGKATAN
STH : Soil-transmitted helminth ISSAC : International Study of Asthma and Allergy in Childhood WHO : World Health Organization RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat dkk : dan kawan-kawan SPSS : Statistic Package for the Social Sciences Ig E : Imunoglobulin E rT cell : sel T regulator IL-10 : Interleukin 10 TGF β : Transforming Growth Factor β IL-4 : Interleukin 4 IL-5 : Interleukin 5 IL-13 : Interleukin 13 Th1 : T helper 1 Th2 : T helper 2 cm : centi meter mm : milli meter bb : berat badan kg : kilogram epg : egg per gram SPT : Skin Prick Test
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
DAFTAR LAMBANG
% : persentase ≥ : lebih besar atau sama dengan < : lebih kecil dari > : lebih besar dari = : sama dengan ± : tambah kurang n : jumlah sampel/subjek n1 : jumlah subjek yang masuk dalam kelompok I n2 : jumlah subjek yang masuk dalam kelompok II zα : deviat baku normal untuk α zβ : deviat baku normal untuk β α : kesalahan tipe I β : kesalahan tipe II
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
ABSTRAK
Latar belakang Penyakit alergi semakin meningkat dan meluas dinegara-
negara yang sedang berkembang. Prevalensi infeksi parasit khususnya soil
transmitted helminth (STH) juga meningkat pada anak-anak di negara
berkembang dan kedua hal ini saling berhubungan. Adanya infeksi parasit
cacing dikatakan akan memberikan reaktivitas uji tusuk kulit yang rendah,
tetapi hal ini masih bersifat kontroversi.
Tujuan Menilai hubungan antara infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit pada
anak
Metode Penelitian ini bersifat cross-sectional yang dilakukan pada anak
sekolah dasar usia 7-12 tahun di Rintis dan Karang Gading, Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatra Utara. Pengambilan
sampel dengan metode consecutive sampling. Infeksi STH ditentukan
dengan pemeriksaan feses metode Kato-Katz. Sampel dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok I adalah kelompok yang terinfeksi STH dan
kelompok II adalah kelompok yang tidak terinfeksi STH. Setiap kelompok
dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap tujuh alergen. Hasil uji tusuk
kulit dinilai positip jika diameter bentolan ≥ 3 mm dan negatip jika bentolan <3
mm. Penelitian ini dianalisa dengan uji kai-kuadrat.
Hasil Enam puluh delapan anak diikutkan dalam penelitian ini (kelompok I
n=34, kelompok II n=34). Terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi
STH dengan hasil uji tusuk kulit pada anak (P=0.002) untuk masing-masing
jenis cacing A.lumbricoides, T.trichiura dan gabungan keduanya dengan
P=0.001, P=0.01 dan P=0.006. Intensitas infeksi STH berat dengan P=0.031
Kesimpulan Adanya hubungan antara infeksi STH dengan hasil uji tusuk
kulit pada anak
Kata kunci: soil-transmitted helminth, atopi, alergi, uji tusuk kulit, anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
ABSTRACT
Background Allergic disease caused a large and increasing burden in
developed countries and in urban in middle-income countries. Parasite
infections especially soil transmitted helminth (STH) are prevalent in
childhood in developing countries and are associated with lower prevalence
of allergen skin test reactivity, but the outcomes still remains controversial.
Objective To investigate the association between STH infection and skin
prick test result in children
Methods Cross-sectional study was conducted among primary school
student aged 7-12 years at Secanggang District, Langkat Regency, North
Sumatera Province. Participant were recruited with consecutive sampling.
STH infections were determined by stool examination with Kato-Katz method.
Subject divided into two groups, STH infection and non STH infection. Each
groups underwent skin prick test to seven allergens and determined as
positive if the wheal diameter was ≥3 mm or negative if the wheal diameter
was <3mm. Study was analysed by Chi-square test.
Results Sixty eight subjects enrolled to study (group I n=34, group II 34).
There was significant association between helminth infections with skin prick
test reactivity (P=0.002) include type of helminth for A.lumbricoides
(P=0.001), T.trichiura (P=0.01) and mixed infection (P=0.006). Intensity of
helminth infection was significant in heavy infection (P=0.031).
Conclusions There was association between soil transmitted helminth
infections and skin prick test result in children.
KEYWORDS soil-transmitted helminth, atopy, allergy, skin prick test, children
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Infeksi cacing usus merupakan infeksi kronik yang paling banyak menyerang
anak balita dan anak usia sekolah dasar. Diantara cacing usus yang menjadi
masalah kesehatan adalah kelompok soil-transmitted helminth (STH) atau
cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura dan cacing tambang yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus.1 World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari
satu juta populasi dunia terinfeksi STH kronis.2 Data di Cina tahun 2002
menyatakan prevalensi infeksi A.lumbricoides sebesar 24.6% terjadi pada
anak usia 8 sampai 18 tahun.3 Sedangkan penelitian di Indonesia khususnya
Sumatera Utara tahun 2004, prevalensi anak terinfeksi STH sebesar 93%.4
Penyakit alergi termasuk asma, dermatitis atopi, dan rinitis alergi
merupakan suatu reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sensitisasi
terhadap alergen lingkungan.5 Berdasarkan The International Study of
Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) tahun 1998, prevalensi gejala
asma paling tinggi dijumpai pada negara Amerika Serikat, Australia, New
Zealand dan Irlandia. Sedangkan prevalensi gejala asma paling rendah
dijumpai pada negara Afrika Selatan, Indonesia, Etiopia dan India.6 Hal ini
jelas terlihat bahwa peningkatan prevalensi gejala alergi dijumpai pada
negara industri atau negara maju, sedangkan di negara berkembang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
prevalensi gejala alergi rendah.7 Penelitian epidemiologi asma dan alergi di
Jakarta pada tahun 2006 mendapatkan prevalensi asma sebesar 13.9%,
rinitis alergi 12.3% dan dermatitis atopi 24.6%.8
Infeksi STH dapat menginduksi reaksi alergi pada manusia karena
dijumpai kesamaan antara reaksi inflamasi alergi yang disebabkan oleh
alergen lingkungan maupun antigen parasit.5 Namun hal ini masih
kontroversial. Penelitian di Costa Rica tahun 2007 menyatakan hubungan
sensitisasi alergen A.lumbricoides dengan keparahan terjadinya asma yaitu
pada anak remaja dengan infeksi askaris yang rendah (2%) dijumpai kejadian
asma yang meningkat (23.7%).9 Penelitian sebelumnya juga menyebutkan
prevalensi penyakit atopi yang dinilai melalui hasil uji tusuk kulit, akan
berkurang di daerah endemis infeksi cacing, hal ini tergantung kepada
keparahan infeksi dan jenis parasitnya.10 Penelitian alergi di Salvador Brazil
menyebutkan infeksi awal pada T.trichiura berhubungan dengan penurunan
risiko reaktivitas uji tusuk kulit dikemudian hari.11
Ada beberapa jenis pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit alergi.
Uji tusuk kulit merupakan suatu pemeriksaan yang sudah sering dilakukan
untuk mendiagnosis penyakit alergi seperti hay fever, asma, rinitis alergi dan
dermatitis atopi.12 Pemeriksaan ini menggunakan konsentrat antigen yang
sudah distandarisasi dan diujikan pada kulit untuk membuktikan adanya
immunoglobulin E (IgE) spesifik yang terikat pada mastosit kulit.13 Dengan
teknik dan interpretasi yang benar dan kualitas alergen yang baik maka uji ini
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
mempunyai spesivisitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat,
murah dan tidak menyakitkan. Oleh karena itu, uji tusuk kulit ini sering
digunakan sebagai alat penunjang diagnosis pada penyakit alergi.14
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah
apakah terdapat hubungan infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit pada
anak?
1.3. Hipotesis
Terdapat hubungan infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit pada anak.
1.4. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan infeksi STH pada anak usia
sekolah dasar dengan hasil uji tusuk kulit.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi ilmiah tentang
peranan infeksi cacing terhadap imunitas pejamu serta terhadap kejadian
penyakit atopi (hasil uji tusuk kulit)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Alergi dan atopi
Prevalensi penyakit alergi meningkat secara signifikan dalam 2 sampai 3
dekade terakhir. Data terbaru dijumpai lebih dari 130 juta orang penderita
asma dan jumlahnya terus meningkat.15 Satu dari lima anak di negara industri
menderita asma, rinitis alergi, atau dermatitis atopi dan khususnya asma,
prevalensi ini meningkat 5% setiap tahunnya.16 Namun prevalensi alergi ini
cenderung lebih rendah di negara berkembang.10
Alergi pertama kali dikemukakan oleh Clemens von Pirquet pada tahun
1960, yaitu perubahan reaktivitas sistem imun yang disebabkan oleh protein
asing.17 Namun saat ini banyak klinisi menyebutkan bahwa alergi merupakan
reaksi hipersensitivitas atau respons imun teragregasi yang menyebabkan
tingginya atau terjadi reaktivitas terhadap substansi yang berasal dari
lingkungan.13,17 Substansi asing yang meyebabkan alergi ini disebut dengan
alergen, masuk ke dalam tubuh melalui hisapan udara, menelan, suntikan,
kontak dengan kulit, mata dan jalan napas.17
Alergi bukan suatu penyakit, melainkan sebuah mekanisme yang
mempunyai peranan penting dalam sejumlah penyakit. Mekanisme dari alergi
dibagi menjadi dua bagian yaitu alergi yang diperantarai oleh IgE disebut
atopi dan yang bukan diperantarai oleh IgE.17 Di negara industri penyakit
alergi biasanya bermanifestasi dengan asma, rinitis alergi dan dermatitis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
atopi yang sangat berkaitan erat dengan adanya atopi.18 Atopi adalah
kecendrungan individu untuk menyebabkan sensitisasi dan peningkatan
kadar antibodi IgE total maupun spesifik terhadap alergen lingkungan berupa
reaksi inflamasi yang memberikan efek pada berbagai organ.14,18
Penelitian epidemiologi menfokuskan terhadap kemungkinan
keterlibatan faktor lingkungan dengan peningkatan risiko penyakit atopi
seperti paparan hewan pertanian, status ekonomi, status nutrisi, penggunaan
antibiotik, perbedaan gaya hidup seperti diet dan merokok.7,18 Salah satu
teori yang mendasari penyakit atopi ini adalah hipotesis higiene.18 Hipotesis
ini menyatakan anak yang terpapar dengan lingkungan sanitasi yang rendah
dan penyakit infeksi yang tinggi akan memiliki kadar sensitisasi terhadap IgE
dan penyakit alergi yang rendah.17,19 Pada hipotesis ini juga disebutkan
bahwa adanya keseimbangan antara sel T-helper 1 (Th1) yang berkaitan
dengan infeksi bakteri dan virus dan sel Th2 yang berkaitan dengan alergi
dan infeksi cacing.19,20
Penelitian cross sectional di Cuba menyatakan infeksi ascariasis
memberikan efek proteksi terhadap kejadian dermatitis atopi.21 Penelitian
observasional di Jerman juga disebutkan besarnya jumlah saudara kandung
dapat menurunkan kemungkinan anak menjadi atopi baik secara langsung
maupun tidak langsung.22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
2.2. Soil-transmitted helminth
Soil-transmitted helminth (STH) adalah cacing nematoda yang memerlukan
tanah untuk perkembangan bentuk infektifnya. Di Indonesia golongan cacing
ini yang paling menyebabkan masalah kesehatan masyarakat adalah Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang yaitu Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus.23 Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar
penduduk terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi ditemukan di negara-
negara non industri atau negara sedang berkembang.5,24
Menurut WHO diperkirakan 800 juta sampai 1 milyar penduduk
terinfeksi ascariasis, 700-900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta
terinfeksi trichuriasis. Di Indonesia penyakit cacing merupakan masalah
kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan
intensitas tertinggi dijumpai pada anak usia sekolah dasar.2,24 Di Sumatera
Utara khususnya di Kabupaten Karo, angka kejadian cacingan masih tinggi
yaitu 70%, dan prevalensi infeksi cacing yang tersering adalah infeksi
campuran antara Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing
tambang sebanyak 55.8%.24
Prevalensi infeksi cacing semakin meningkat disebabkan oleh banyak
faktor. Diantaranya status ekonomi, pendidikan, sanitasi lingkungan yang
buruk, kuantitas dan kualitas makanan yang rendah, sumber air bersih yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
kurang, pelayanan kesehatan yang terbatas dan jumlah anggota keluarga
yang besar.24,25 Cacingan umumnya tidak fatal dan tidak akut, tetapi dapat
menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan berperan terhadap
terjadinya malnutrisi, defisiensi vitamin A, anemia dan perkembangan fungsi
kognitif anak.23,25
Pemberantasan infeksi cacing tidak dapat dilakukan hanya
menggunakan pendekatan medis tetapi dibutuhkan juga dukungan
pendekatan kesehatan masyarakat seperti penataan kesehatan lingkungan,
status gizi, higiene, perilaku, sanitasi dan sosial ekonomi keluarga.24 Di
Indonesia kegiatan pemberantasan cacing dilakukan dengan pengobatan
terpadu, perbaikan kebersihan lingkungan dan penyuluhan kesehatan.23
2.3. Soil-transmitted helminth dan alergi
Beberapa penelitian mengatakan terdapat hubungan antara infeksi cacing
dengan alergi. Terdapat penelitian yang menyatakan infeksi parasit termasuk
infeksi STH dapat menginduksi reaksi alergi pada manusia karena dijumpai
kesamaan reaksi inflamasi yang disebabkan oleh alergi dengan antigen
parasit.2 Dibawah ini ada beberapa penelitian epidemiologi yang
menunjukkan hubungan infeksi cacing dengan alergi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
2.3.1. Soil tranmitted helminth dan Asma.
Infeksi cacing dikaitkan dengan atopic asthma karena adanya persamaan
fenomena imunologi, eosinofilia dan peningkatan kadar antibodi serum IgE.
Hubungan ini menimbulkan dua hipotesis yang bertentangan bahwa infeksi
parasit memberikan efek proteksi terhadap asma dan infeksi parasit
merupakan predisposisi untuk asma.26
Beberapa penelitian menunjukkan adanya infeksi parasit yang berat
dan paparan terhadap hewan ternak dapat memberikan efek protektif untuk
mencegah terjadinya asma pada individu yang atopi.27,28 Sedangkan
penelitian di Kenya tahun 2002 menyatakan tidak terdapat hubungan gejala
asma pada anak yang tinggal didaerah pinggiran kota dengan perkotaan.29
Artikel alergi dan imunologi klinis tahun 2000 menyatakan belum ada bukti
infeksi parasit dapat memberikan efek proteksi terhadap asma.16
2.3.2. Soil tranmitted helminth dan Dermatitis Atopi.
Suatu penelitian cross-sectional pada anak usia sekolah di Ekuador
menunjukkan tidak ada bukti adanya hubungan dermatitis atopi dan infeksi
STH.30 Penelitian intervensi di Uganda menunjukkan bahwa bayi dari ibu
dengan infeksi STH pada saat melahirkan mempunyai risiko yang lebih
rendah untuk menderita eksim jika dibandingkan dengan bayi dari ibu tanpa
infeksi STH (masing-masing 9% dan 39%).5 Sedangkan penelitian di Cuba
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
tahun 2008 menyatakan infeksi askaris pada masa lampau memberikan efek
proteksi terhadap terjadinya dermatitis atopi.21
2.3.3. Soil tranmitted helminth dan Rinitis Alergi
Penelitian di Ekuador menunjukkan tidak ada hubungan antara gejala rinitis
alergi dan parasit STH.30 Sedangkan penelitian di Cuba membuktikan bahwa
infeksi cacing yang telah berlangsung lama dapat memberikan efek proteksi
untuk terjadi rinitis. Hal ini tergantung kepada jenis cacing dan waktu
investasi cacing tersebut.21
2.4. Patofisiologi
Parasit cacing memodulasi reaksi alergi melalui dua cara yaitu secara
langsung, yaitu parasit sendiri yang menginduksi reaksi alergi dan secara
tidak langsung yaitu parasit akan memodulasi respons imun melalui alergen
lingkungan. Terdapat dua mekanisme yang dapat memodulasi reaksi
inflamasi alergi baik pada infeksi akut maupun infeksi kronis.18
2.4.1. Infeksi Akut
Parasit cacing yang masuk ke dalam tubuh akan mensekresikan substansi
yang bersifat alergenik akan menstimulasi produksi IgE, menginduksi respons
sel Th2 yang ditandai dengan peningkatan IgE terhadap alergen,
mastositosis, dan eosinofilia. Degranulasi sel mast dan pelepasan mediator-
mediator yaitu interleukin-4 (IL-4), IL-5, IL-13 yang memproduksi mukus dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
kontraksi sel otot polos sehingga menyebabkan terjadinya gejala alergi di
jalan nafas.18
2.4.2. Infeksi Kronis
Paparan infeksi parasit cacing yang terus menerus akan menekan reaksi
alergi. Prinsip mekanisme yang terjadi bahwa sistem imun akan memproduksi
suatu sitokin anti inflamasi yaitu regulator T cell (r T cell), IL-10 dan
transforming growth factor-B (TGF- β) yang bersifat down regulator untuk
menekan reaksi alergi terhadap alergen lingkungan (Gambar 2.1).5,18
Gambar 2.1. Hubungan infeksi STH dengan terjadinya alergi.11
2.5. Uji Tusuk Kulit
Lebih dari 1 abad uji kulit sudah sering dilakukan untuk mendiagnosis alergi.
Uji tusuk kulit merupakan salah satu jenis uji kulit sebagai alat diagnosis yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik
yang terikat pada sel mastosit kulit dan memiliki sensitivitas yang tinggi.31
Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan
mediator lainnya yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, akibatnya timbul flare/kemerahan dan
wheal/bentol pada kulit tersebut.14,31
Tujuan uji tusuk kulit pada alergi adalah untuk menentukan jenis
alergen sehingga di kemudian hari bisa dihindari dan menentukan dasar
pemberian imunoterapi. Uji tusuk kulit dapat dilakukan dalam waktu singkat
dan lebih sesuai untuk anak. Hasil pemeriksaan bisa didapatkan hanya
dalam waktu 20 menit. Efek samping dan risiko uji tusuk kulit sangat jarang
dan relatif mudah serta nyaman untuk pasien dengan biaya yang tidak begitu
mahal.14
Pada mekanisme reaksi uji tusuk kulit disebutkan bahwa di bawah
permukaan kulit terdapat sel mast. Pada sel mast ini dijumpai granula-granula
yang berisi histamin. Sel mast ini juga memiliki reseptor yang berikatan
dengan IgE. Ketika lengan IgE ini mengenali alergen (misalnya house dust
mite) maka sel mast terpicu untuk melepaskan granul-granulnya ke jaringan
setempat, sehingga muncul reaksi alergi karena histamin berupa bentol
(wheal) dan kemerahan (flare).31 Nilai prediktif uji tusuk kulit telah
dipublikasikan dan dinyatakan dapat digunakan untuk memeriksa sensitisasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
Uji tusuk kulit dinyatakan positif apabila terdapat rasa gatal dan eritema yang
dikonfirmasi dengan adanya urtikaria yang khas. Urtikaria yang khas tersebut
dapat dilihat dan diraba dengan diameter ≥ 3 mm yang muncul 15-20 menit
setelah aplikasi uji tusuk kulit.12-14
2.6. Kerangka Konseptual
Yang diamati dalam penelitian
Paparan infeksi STH ↑
Respon imun tubuh
Paparan infeksi STH ↓
rT cells, IL-10 TGF-β
Th2, IL-4, IL-5, IL-13
Alergi ↓
Uji tusuk kulit
Alergi ↑
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional untuk menilai hubungan
infeksi Soil transmitted helminth (STH) dengan hasil uji tusuk kulit pada anak.
3.2. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di sekolah dasar negeri 050706 Karang Gading dan
sekolah dasar negeri 056007 Rintis, Kecamatan Secanggang, Kabupaten
Langkat Propinsi Sumatera Utara pada bulan Juli-Agustus 2009.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi target adalah anak sekolah dasar yang menderita infeksi STH.
Populasi terjangkau adalah anak sekolah dasar yang menderita infeksi STH
yang bertempat tinggal di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat,
Propinsi Sumatera Utara. Sampel adalah populasi terjangkau yang
memenuhi kriteria inklusi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
3.4. Besar sample
Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus uji hipotesis dua
proporsi :32
n1 = n2 = (Z √2PQ + Z √P1Q1 + P2Q2 )2
(P1 – P2)2
n1 = jumlah subjek yang terinfeksi telur STH
n2 = jumlah subjek yang tidak terinfeksi telur STH
= kesalahan tipe I = 0,05 → Tingkat kepercayaan 95%
Z = nilai baku normal = 1,96
= kesalahan tipe II = 0,2 → Power (kekuatan penelitian) 80%
Z = 0,842
P1 = proporsi anak yang terinfeksi telur STH dengan uji tusuk kulit positif
= 0,1711
Q1 = 1 – P1 = 0,83
P2 = proporsi anak yang terinfeksi telur STH dengan uji tusuk kulit positif
= 0,411
Q2 = 1 – P2 = 0,6
P = P1+P2 = 0,28
2
Q = 1 – P = 0,71
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
Dengan menggunakan rumus di atas didapat jumlah sampel untuk masing-
masing kelompok sebanyak 34 orang.
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1. Kriteria Inklusi :
1. Anak usia 7 sampai 12 tahun
2. Orangtua bersedia mengisi kuesioner
3. Orang tua bersedia mengisi informed consent
3.5.2. Kriteria Eksklusi :
1. Anak yang sedang menggunakan obat-obatan yang mengandung
antihistamin dalam 3 hari terakhir.
2. Anak yang pernah menggunakan antihelmintik dalam 2 bulan terakhir
3. Anak yang sedang menggunakan obat-obatan yang mengandung
kortikosteroid dalam 1 hari terakhir.
4. Anak yang mempunyai kelainan dermatografisme.
3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan / Informed Consent
Semua subjek penelitia diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan
penjelasan terlebih dahulu tentang tujuan dan risiko pemeriksaan uji tusuk
kulit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
3.7. Etika Penelitian
- Persetujuan setelah penjelasan (informed consent) dari orang tua
- Izin komite etik kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian.
- Peneliti memberikan penjelasan mengenai penelitian dan pemeriksaan
yang dilakukan.
- Kepada subjek penelitian diberikan kuesioner dan lembar persetujuan
penelitian yang diserahkan kepada orang tua untuk dikembalikan
kepada peneliti.
- Orang tua subjek menandatangani informed consent sebagai bukti
kesediaan anaknya diikutkan dalam penelitian ini setelah mendapat
penjelasan peneliti.
- Dilakukan pengukuran berat badan dengan timbangan Camry dan
tinggi badan dengan Microtise 2M
- Dilakukan pemeriksaan tinja dengan menggunakan metode Kato Katz
kemudian dilihat telur dari STH.
- Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yang dipilih secara consecutive
sampling. Kelompok I yaitu jika ditemukan telur dari STH sedangkan
kelompok II yaitu jika tidak ditemukan telur dari STH.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
- Kedua kelompok dilakukan tes uji tusuk kulit dengan prosedur sebagai
berikut :
1. Daerah volar lengan bawah tiap sampel dibersihkan dengan
larutan alkohol 70%
2. Setiap alergen diteteskan sebanyak 1 tetes dengan jarak 2 cm
pada bagian volar lengan bawah subjek, kemudian blood lancet
dimasukan pada tetesan alergen dengan posisi 450
3. Alergen yang pertama ditusukkan adalah kontrol negatif (NaCl
0,9%) dan yang terakhir adalah kontrol positif (Histamin 1%)
4. Sisa alergen pada kulit dikeringkan dengan kertas hisap.
5. Sensitisasi dinilai 15-20 menit setelah aplikasi tusuk kulit.
- Alergen yang diujikan kepada masing-masing subjek adalah kutu debu
rumah, debu rumah, kapuk, bulu ayam, bulu kucing, kecoa, jamur.
Alergen yang digunakan diproduksi oleh Instalasi Farmasi RSUP Dr.
Soetomo, Surabaya.
- Jarum yang digunakan adalah Blood lancet. Setiap alergen pada
setiap subjek ditusukkan dengan satu jarum. Setiap jarum hanya
digunakan satu kali.
- Antisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis dilakukan dengan
menyediakan epinefrin 1:1.000 yang telah dimasukkan kedalam jarum
suntik. Epinefrin tersebut disiapkan terlebih dahulu sebelum uji tusuk
kulit dilakukan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
- Anak yang terbukti dijumpai adanya telur STH diberikan pengobatan
dengan albendazole dosis tunggal selama 3 hari
- Pelaksanaan dan penilaian terhadap reaksi yang timbul dilakukan oleh
dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis dan Spesialis
Anak yang telah mengikuti pelatihan uji tusuk kulit
Alur Penelitian
Uji tusuk kulit
Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi
Uji tusuk kulit (+)
Uji tusuk kulit (-)
Anak yang terinfeksi telur
STH
Anak yang tidak terinfeksi
telur STH
Uji tusuk kulit
Uji tusuk kulit (+)
Uji tusuk kulit (-)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
3.9. Identifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Infeksi telur STH Nominal dikotom
Variabel tergantung Skala
Uji tusuk kulit Nominal dikotom
3.10. Definisi Operasional
1. Kelainan atopi adalah kelainan imunologi herediter terhadap alergen
sehari-hari yang umumnya terhirup atau dimakan disertai adanya
riwayat kelainan alergi seperti dermatitis, asma, dan / atau rinitis alergi
pada keluarga.
2. Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari
(nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat
asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri.
3. Dermatitis atopi adalah reaksi inflamasi pada kulit yang didasari oleh
faktor herediter dan lingkungan yang bersifat kronik residif dengan
gejala eritema, papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus yang
hebat.
4. Rinitis Alergi adalah reaksi alergi mukosa hidung yang dapat
menimbulkan gejala obstruksi aliran udara, sekresi, bersin dan rasa
gatal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
5. Urtikaria adalah erupsi kulit yang menimbul (wheal), berbatas tegas,
berwarna merah, lebih pucat pada bagian tengah, dan memucat bila
ditekan, disertai rasa gatal.
6. Infeksi STH disebutkan bila dijumpai telur Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, cacing tambang yaitu Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale pada feses dengan pemeriksaan mikroskopis
melalui teknik hapusan tebal kuantitatif Kato Katz.
7. Intensitas infeksi A. lumbricoides dan T.trichiura yang diusulkan oleh
WHO Expert Comitte pada tahun 1987 sebagai berikut :
8. Jumlah telur per gram feces (epg/egg per gram) adalah jumlah telur
yang ditemukan pada sediaan slide hapusan tebal metode Kato-Katz
dikalikan 24
9. Uji tusuk kulit adalah uji in vivo untuk membuktikan adanya IgE spesifik
yang terikat pada sel mastosit kulit.
10. Sensitisasi positif adalah ruam kemerahan berdiameter ≥ 3 mm yang
muncul 15-20 menit sesudah aplikasi tusuk kulit.
11. Sensitisasi negatif adalah ruam kemerahan berdiameter < 3 mm yang
muncul 15-20 menit sesudah aplikasi tusuk kulit.
Cacing Ringan Sedang Berat
A. lumbricoides T. trichiura
1 - 4.999 epg 1 - 999 epg
5.000 - 49.999 epg 1000 – 9999 epg
≥ 50.000 epg ≥ 10.000 epg
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
12. Pada sampel / subjek penelitian jika dijumpai hasil uji tusuk kulit positip
pada salah satu alergen maka dapat dikatakan bahwa subjek memiliki
hasil uji tusuk kulit positip.
13. Dermatografisme adalah adanya eritema yang diikuti munculnya urtika
akibat goresan pada kulit.
3.11. Analisa Data
Data diolah dengan uji kai-kuadrat untuk melihat hubungan infeksi STH
dengan hasil uji tusuk kulit pada anak dengan tingkat kemaknaan P<0.05.
Pengolahan data dilakukan dengan perangkat SPSS versi 15.0.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
BAB 4. HASIL
Penelitian ini dilaksanakan di sekolah dasar negeri 050706 Karang Gading
dan sekolah dasar negeri 056007 Rintis, Kecamatan Secanggang,
Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Anak sekolah dasar yang
dilakukan skrining untuk pemeriksaan feses sebanyak 94 anak, dimana 20
anak diantaranya tidak mengembalikan pot feses untuk diperiksa sehingga
terdapat 74 anak yang dilakukan pemeriksaan feses untuk melihat apakah
dijumpai telur cacing STH atau tidak. Dari pemeriksaan ini didapati sebanyak
34 anak yang terinfeksi STH sedangkan sebanyak 40 anak yang tidak
terinfeksi. Dari 40 anak ini, yang tidak bersedia untuk dilakukan pemeriksaan
uji tusuk kulit sebanyak 6 orang anak. Sehingga jumlah anak yang ikut
penelitian sebanyak 68 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok I terdiri dari 34 anak yang terinfeksi STH dan kelompok II terdiri dari
34 anak yang tidak terinfeksi STH (Gambar 4.1).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
Gambar 4.1 Profil penelitian
94 anak yang masuk
kedalam pemeriksaan feses
74 anak yang dilakukan
pemeriksaan feses
STH (-) n=34
Anak tidak terinfeksi STH n=40
6 anak tidak bersedia
dilakukan uji tusuk kulit
anak terinfeksi STH n=34
STH (+) n=34
20 anak tidak
mengembalikan pot feses
Skin prick test
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
Distribusi dan karakteristik sampel pada kedua kelompok perlakuan terlihat
pada tabel.
Table 4.1 Karakteristik sampel penelitian
Karakteristik Kelompok I Kelompok II STH positip
n (%) STH negatip
n(%)
Jenis kelamin n (%) laki-laki perempuan Umur (tahun), SD Berat badan (kg), SD Tinggi badan (cm), SD Riwayat atopi positip negatip
19 (27.9) 15 (22.1)
10.7 (1.05) 20.1 (5.79)
128.5 (6.42)
12 (17.6) 22 (32.3)
18 (26.5) 16 (23.5)
10.2 (1.01) 18.4 (2.05) 123.9 (5.95)
10 (14.7) 24 (35.2)
Pada tabel 4.1 dijumpai karakteristik sampel yang tidak berbeda bermakna
antara kelompok terinfeksi STH (kelompok I) dan kelompok yang tidak
terinfeksi STH (kelompok II). Pada kelompok I didapati bahwa jumlah anak
laki-laki sebanyak 19 orang dan perempuan 18 orang sedangkan pada
kelompok II jumlah anak laki-laki 15 orang dan perempuan sebanyak 16
orang. Karakteristik umur yang rata-rata berusia 10 tahun pada kedua
kelompok. Berat badan anak rata-rata pada kelompok I yaitu 20 kg dengan
tinggi badan rata-rata 128 cm sedangkan pada kelompok II 18 kg dengan
tinggi badan rata-rata 124 cm. Riwayat atopi pada kelompok I sebanyak 12
orang dan pada kelompok II sebanyak 10 anak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
Gambar 4.2 Distribusi intensitas infeksi* (* : intensitas infeksi berdasarkan WHO
Expert Committee 1987 , jika terdapat infeksi lebih dari 1 jenis helminth maka intensitas infeksi ditentukan oleh intensitas terberat)
Gambar 4.3 Distribusi jenis infeksi cacing
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
Tabel 4.2 Hubungan antara infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit
Variabel Kelompok I STH positip
n (%)
Kelompok II STH negatip
n (%)
P
SPT positip SPT negatip
3 (4.4) 31 (45.5)
14 (20.5) 20 (29.4)
0.002
P<0.05 Pada kedua kelompok terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi STH
dengan hasil uji tusuk kulit (P=0.002). Hasil uji tusuk kulit negatip pada
kelompok I sebanyak 45.5%. Sedangkan pada kelompok II sebesar 29.4%.
Begitu juga pada kelompok I dijumpai hasil uji tusuk kulit positip sebanyak
4.4%. Sedangkan pada kelompok II sebesar 20.5% (Tabel 4.2).
Tabel 4.3 Hubungan uji tusuk kulit dengan jenis dan intensitas infeksi STH
Variabel Uji tusuk kulit positip n (%)
Uji tusuk kulit negatip n (%)
P
Jenis cacing A.lumbricoides T.trichiura A.lumbricoides + T.trichiura Intensitas infeksi Ringan Sedang Berat
2 (66.7) 1 (33.3)
0 (0)
3 (38.2) 0 (29.4)
0 (0)
2 (6.5) 17 (54.8) 12 (38.7)
15 (2.9) 8 (29.4) 11 (8.5)
0.001 0.01 0.006
0.44 0.186 0.031
P<0.05
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
Pada tabel hubungan uji tusuk kulit dengan jenis cacing dijumpai perbedaan
bermakna terhadap kedua kelompok, sedangkan hanya intensitas infeksi
berat yang memiliki hubungan yang bermakna. (Tabel 4.3).
Tabel 4.4. Hubungan infeksi STH dengan penyakit atopi
Penyakit atopi
Kelompok I (STH positip)
n (%)
Kelompok II (STH negatip)
n (%)
P
Asma 4 (11.8) 18 (52.9) 0.001
Rinitis alergi 4 (5.8) 13 (19.1) 0.006
Dermatitis atopi 7 (10.2) 18 (26.4) 0.012
Riwayat atopi 12 (17.6) 10 (14.7) 0.604
P< 0.05 Pada kedua kelompok terdapat perbedaan yang bermakna antara adanya
infeksi STH dengan gejala penyakit atopi pada sampel didalam penelitian ini
kecuali adanya riwayat atopi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
BAB.5 PEMBAHASAN
Penelitian ini menilai hubungan antara anak yang terinfeksi STH dan anak
yang tidak terinfeksi STH terhadap hasil uji tusuk kulit termasuk didalamnya
penilaian jenis dan intensitas infeksi cacing. Didapati jumlah masing-masing
sampel pada setiap kelompok sebanyak 34 anak. Penelitian ini juga
melakukan penilaian hubungan gejala atopi pada kedua kelompok.
Pada penelitian ini, jenis cacing yang ditemukan dari pemeriksaan tinja
adalah A.lumbricoides, T.trichiura dan campuran keduanya. Persentase
masing-masing 11.6%, 52.9% dan 35.2%. Prevalensi tertinggi dijumpai pada
infeksi T.trichiura. Berdasarkan data WHO tahun 1998, sebanyak 250 juta
individu terinfeksi A.lumbricoides dan 46 juta terinfeksi T.trichiura.2 Data di
Amerika Serikat tahun 2008 menyatakan infeksi STH merupakan infeksi
cacing tertinggi terutama A.lumbricoides (807 juta) dan T.trichiura (604
juta).33 Sedangkan di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara tahun 2004,
pada penelitian uji klinis acak tersamar ganda didapatkan prevalensi
T.trichiura tertinggi (90.5%) dibandingkan A.lumbricoides (8.4%) dan cacing
tambang (1.1%).34
Rata-rata usia anak pada penelitian ini berkisar antara 10-11 tahun.
Hal ini sesuai dengan data di Amerika Serikat bahwa frekuensi infeksi
tertinggi untuk A.lumbricoides dan T.trichiura pada anak berkisar antara usia
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
5-15 tahun.33 Begitu juga studi di Ekuador tahun 2002 menyatakan hal yang
sama.18
Banyak dikatakan pada penelitian sebelumnya bahwa terdapat
hubungan antara infeksi parasit cacing dan penyakit alergi.35 Beberapa
penelitian epidemiologi memberikan bukti dengan adanya infeksi cacing akan
memberikan efek proteksi terhadap alergi yang dinilai melalui penurunan
reaktivitas uji tusuk kulit.11,36-38 Infeksi T.trichiura pada tahun pertama
kehidupan berkaitan dengan penurunan prevalensi reaktivitas alergen uji
tusuk kulit pada anak dikemudian hari.11 Studi di daerah pinggiran tropis
Ekuador menyatakan infeksi A.lumbricoides dan T.trichiura secara signifikan
memberikan efek penurunan terhadap reaktivitas uji tusuk kulit (OR = 0.66;
95% CI, 0.509-0.86; P = 0.002).37 Sebuah penelitian cross-sectional di
Vietnam juga ditemukan pernyataan yang sama bahwa sanitasi yang rendah
dan infeksi A.lumbricoides memberikan proteksi terhadap sensitisasi alergi.38
Pada penelitian ini didapati hubungan yang bermakna antara infeksi STH
dengan hasil uji tusuk kulit (P=0.002). Pada kelompok infeksi STH positip
memiliki hasil uji tusuk kulit negatip (45.5%) lebih tinggi dibandingkan
kelompok yang tidak terinfeksi (29.4%).
Parasit cacing memodulasi reaksi alergi melalui dua mekanisme.
Secara langsung yaitu parasit sendiri yang menginduksi reaksi alergi
(Loeffler’s syndrome) dan secara tidak langsung yaitu parasit akan
memodulasi respons imun terhadap alergen lingkungan. Terdapat dua
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
mekanisme yang dapat menjelaskan kapan infeksi cacing dapat menginduksi
atau menekan reaksi alergi.18
Pertama adalah infeksi akut. Pada fase akut terjadi invasi larva parasit
cacing melalui paru-paru yang merupakan target utama untuk respons imun
spesifik parasit. Selama fase awal ini, adanya infeksi akan menginduksi
inflamasi dengan peningkatan eosinofil pada paru-paru. Larva askaris akan
mensekresikan sejumlah substansi yang bersifat alergenik untuk merangsang
produksi IgE pada individu yang terinfeksi. Antigen larva ini akan
menginduksi respons sel Th2 dan pelepasan mediator-medaitor seperti IL-4,
IL-5, dan IL-13 yang akan meningkatkan sintesis IgE spesifik dan sensitisasi
sel mast pada sejumlah jaringan.11,18,39
Kedua adalah infeksi kronis. Pada fase ini parasit cacing akan
menekan respons imun spesifik terhadap parasit dan allergen inhalan melalui
beberapa mekanisme. Diantaranya terjadi saturasi sel mast. Hal ini
dikarenakan infeksi cacing kronis akan mensekresi IgE poliklonal dengan
kadar yang sangat tinggi. Biasanya pada anak yang tinggal di daerah
endemis parasit memiliki kadar IgE total lebih dari 10 000 IU/ml. Sehingga
produksi IgE total dalam jumlah besar ini akan memodulasi reaksi
hipersensitivitas dengan menghambat aktivitas sel mast dan basofil,
meyebabkan penurunan sensitivitas terhadap alergen inhalan dan inflamasi
saluran napas.18,36,39 Mekanisme lain yaitu pada infeksi cacing, berkaitan
dengan peningkatan kadar IgG4 (isotipe dari sel Th2 dependent) dan antibodi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
spesifik untuk parasit yang dapat menghambat degranulasi sel efektor.
Aktivasi poliklonal IgG4 akan menghasilkan sejumlah besar spesifik antibodi
IgG4 terhadap epitop reaktif IgE pada alegen lingkungan, memungkinkan
terjadinya blokade inflamasi yang disebabkan oleh IgE.18,39
Paparan infeksi persisten dan bersifat kronis memungkinkan terjadinya
penekanan reaksi inflamasi alergi. Prinsip dari mekanisme ini akibat
peningkatan produksi sitokin anti-inflamasi yang bersifat down-regulator yaitu
IL-10 dan TGF β. Produksi dari sitokin anti-inflamasi dalam jumlah besar
yang distimulasi sel T dapat menyebabkan penekanan respons imun
terhadap alergen lingkungan.18,35-36
Pada penelitian ini didapati hubungan yang bermakna antara jenis
cacing A.lumbricoides, T.trichiura dan gabungan infeksi keduanya terhadap
hasil uji tusuk kulit. Hal ini didukung oleh penelitian di Ekuador 2004
menyatakan dari 132 anak (75%) terinfeksi A.lumbricoides, hanya 25 anak
(18.9%) membuktikan reaktivitas hasil uji tusuk kulit lebih dari satu.40
Intensitas infeksi cacing juga mempengaruhi respons imun. Infeksi
cacing yang berat akan menekan regulasi sistem imun.35 Pada penelitian
epidemiologi di Cameron tahun 2008, reaktivitas sistem imun berkurang
secara signifikan pada kelompok dengan intensitas infeksi sedang dan berat
(P = 0.017).41 Penelitian lain juga menyatakan infeksi T.trichiura berat juga
menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan kejadian alergi.11
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
Pada penelitian ini dijumpai adanya hubungan bermakna antara intensitas
infeksi berat dengan hasil uji tusuk kulit pada anak (P = 0.031).
Penelitian ini mengeksklusikan penggunaan obat cacing dalam jangka
waktu 2 bulan karena terdapat efek dari pemberian obat cacing terhadap
hasil uji tusuk kulit. Penelitian randomized control trial di Gabonese tahun
2004 menyebutkan pemberian terapi anti helmintik mebendazole dan
praziquantel setiap 3 bulan selama 30 bulan pada anak yang terinfeksi cacing
secara kronis akan terjadi peningkatan reaktivitas atopi.42 Begitu juga
penelitian lain dijumpai pemberian terapi oxantel-pyrantel selama 22 bulan
secara teratur akan meningkatkan kadar total serum IgE dengan P<0,001.43
Sedangkan beberapa penelitian cluster-randomised trial di Amerika Serikat
dan Ekuador tentang efek pemberian terapi anti helmintik seperti albendazole
setiap 2 bulan selama 12 bulan tidak terjadi peningkatan prevalensi atopi
ataupun gejala alergi yang berhubungan dengan pengobatan albendazole.44
Perbedaan hasil yang didapat dari beberapa penelitian diatas, kemungkinan
disebabkan perbedaan dalam periode pengobatan anti helmintik, jenis
parasit, kemungkinan bias dan faktor perancu didalam penelitian.35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
Teori menyebutkan bahwa infeksi STH memberikan efek proteksi terhadap
terjadinya alergi pada anak. Pada penelitian ini didapati hubungan yang
bermakna antara infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit pada anak usia
sekolah dasar dengan dijumpai hasil uji tusuk kulit yang positip lebih sedikit
pada anak yang terinfeksi STH dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi.
6.2. SARAN
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang
lebih besar untuk melihat hubungan infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit
pada anak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
RINGKASAN
Prevalensi penyakit atopi meningkat secara signifikan dalam 2 sampai 3
dekade. Begitu juga dengan infeksi soil-transmitted helminth yang masih
merupakan masalah kesehatan di dunia. Khususnya di Indonesia prevalensi
dan intensitas tertinggi didapatkan dikalangan anak usia sekolah dasar.
Namun kedua hal ini memiliki kesaman reaksi imunologis. Beberapa
penelitian menyatakan infeksi STH ini dapat menginduksi reaksi alergi pada
manusia karena dijumpai kesamaan reaksi inflamasi yang disebabkan oleh
alergen lingkungan dengan antigen parasit. Beberapa penelitian epidemiologi
menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara
infeksi STH dengan alergi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan
antara infeksi STH pada anak usia sekolah dasar dengan hasil uji tusuk kulit
dimana dikatakan anak yang terinfeksi cacing secara kronis akan
menunjukkan hasil uji tusuk kulit yang negatip. Penelitian cross-sectional ini
dilaksanakan di sekolah dasar di Kecamatan Secanggang, Kabupaten
Langkat, Propinsi Sumatera Utara pada bulan Juli-Agustus 2009.
Populasi penelitian ini adalah anak usia sekolah dasar yang menderita
infeksi STH. Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan metode Kato-Katz.
Sedangkan untuk melihat kejadian penyakit alergi dinilai melalui hasil uji
tusuk kulit. Masing-masing sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
kelompok terinfeksi cacing dengan yang tidak terinfeksi sebanyak 34 anak
pada tiap kelompok. Kemudian kedua kelompok dilakukan pemeriksaan uji
tusuk kulit. Hasil pada penelitian didapati bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit dengan nilai
P=0,002.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit pada anak sekolah dasar dengan
dijumpai hasil uji tusuk kulit positip lebih sedikit pada anak yang terinfeksi
STH dibandingkan yang tidak terinfeksi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
SUMMARY
Prevalence atopy significantly increased in 2 until 3 decades. Helminth
infection is also the most common health problem in worldwide. Especially in
Indonesia, prevalence and intensity is higher in primary school student.
Helminth parasite can induce strong allergic respons in humans. There are
close similarities between the allergic inflammation caused by the host
immune responses to environmental allergens and to parasite antigens.
Epidemiological studies that have examined the inverse relationship between
helminth infections and allergy, but still controversial.
The aimed of this study to investigate the association between
helminth infections and skin prick test in primary school student. We
hypothesis that helminth infections could suppressed allergy reactivity in
children. This cross-sectional study is carried out in Secanggang, Langkat
North Sumatera Province from July until August 2009.
The subject were primary school children who were infected helminth,
that diagnose by stool examination with Kato-Katz method. Allergy is
diagnose by skin prick test. Subject is devided into 2 groups, first group is
infected helminth and other is not infected. Each groups have examined the
skin prick test. Result of study, there were significant differences between
helminth infections with skin prick test (P=0.002).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
We conclude that there was significantly association between helminth
infections and skin prick test in children which the result skin prick test
positive was lower than uninfected children.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar
wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008; 7(2):769-74
2. Montresor A, Crompton DWT, Hall A, Bundy DAP, Savioli L. Dalam: Guidelines for the evaluation of soil-transmitted helminthiasis and schistosomiasis of community level. Geneve: World Health Organization; 1998. h.3-49
3. Palmer LJ, Celedon JC, Weiss ST, Wang B, Fang Z, Xu X. Ascaris lumbricoides infection is associated with increased risk of childhood asthma and atopy in rural China. Am J Resp Crit Care Med. 2002; 165:1489-93.
4. Firmansyah I, Ginting SA, Lubis M, Lubis IZ, Pasaribu S, Lubis CP. Factors associated with the transmission of soil-transmitted helminthiasis among schoolchildren. Pediatr Indones. 2004; 43:127-32
5. Cooper PJ, Barreto ML, Rodrigues LC. Human allergy and goehelminth infections: a review of the literature and proposed conceptual model to guide the investigation of possible causal associations. British Med Bulletin. 2006; 79:203-8.
6. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Steering Comitte. Worldwide variation in prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. Lancet. 1998; 351:1225-32
7. Cooper PJ. Intestinal worms and human allergy. Parasitic Immunol. 2004; 26:455-67.
8. Helmy M, Munasir Z. Pemakaian Cetrizine dan kortikosteroid pada penyakit alergi anak. Dexa Media 2007; 2(20):68-73
9. Hunninghake GM, Quiros ME, Avila L, Sylvia JS, Liang C, Klanderman BJ, dkk. Sensitization to Ascaris lumbricoides and severity of childhood asthma in Costa Rica. J Allergy Clin Immunol. 2007; 119(3):654-61
10. Flohr C, Quinnell RJ, Britton J. Do helminth parasites protect against atopy and allergic disease?. Clin and Exp Allergy. 2009; 39:20-32
11. Rodrigues LC, Newcombe PJ, Cunha SS, Genser B, Cruzz AA, Simoes SM. Early infection with Trichuris trichiura and allergen skin test reactivity in later childhood. Clin and Exp Allergy. 2008; 38:1769-77
12. Morris A. Atopy, anamnesis and allergy testing. InnovAiT. 2009; 2(3):158-65 13. Oppenheimer J, Nelson HS. Skin testing in allergy diagnosis. Division of
Allergy, NewJersey Medical School, USA. June 2006. 14. Munasir Z. Pemeriksaan penunjang klinis : uji kulit terhadap alergen. Dalam :
Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:IDAI 2007.h.445-7
15. Yazdanbakhsh M, Kremsner PG, Ree RV. Allergy, parasites and the hygiene hypothesis. Review : Immunology. 2002; 296:490-94
16. Weiss ST. Parasit and asthma/allergy: What is the relationship?. J Allergy Clin Immunol. 2000;105:205-10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
17. House of Lord. Allergy. Science and Technology Committee, 6th Report of Session 2006-07; 1:1-12
18. Cooper PJ. Can intestinal helminth infections (geohelminths) affect the development and expression of asthma and allergic disease?. Clin Exp Immunol. 2002; 128:398-404
19. Van den Biggelaar AHJ, Van Ree R, Rodrigues LC, Lell B, Deelder AM, Kremsner PG, dkk. Decrease atopy in children infected with Schistosoma haematobium: a role for parasite-induced interleukin-10. Lancet. 2000; 356:1723-27
20. Wills-Karp M, Santeliz J, Karp CL. The germless theory of allergic disease: revisiting the hygiene hypothesis. Nature reviews immunology. 2001; 1:69-75.
21. Wordemann M, Diaz RJ, Heredia LM, Madurga MC, Espinosa AR, Prado RC, dkk. Association of atopy, asthma, allergic rhinoconjunctivitis, atopic dermatitis and intestinal helminth infections in Cuban children. Trop Med and Inter Health. 2008; 13:180-86
22. Mutius EV. Skin test reactivity and number of siblings. BMJ. 1994; 308:692-95
23. Tjitra E. Penelitian-penelitian "Soil-Transmitted Helminth" di Indonesia. Pusat Penelitian Penyakit Menular. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 1991; 72:13-7
24. Ginting SA. Hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan pada anak sekolah dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2003:h.1-19
25. Dalimunthe W, Siregar C, Lubis M, Pasaribu S, Lubis CP. Treatment of intestinal helminthiasis: mebendazole-pyrantel pamoate?. Paediatr Indones. 2007; 47:216-20
26. Masters S, Connor EB. Parasites and asthma-predictive or protective?. Epidemiology reviews. 1985; 7:49-58
27. Scrivener S, Yemaneberhan H, Zebenigus M, Tilahun D, Girma S, Ali S, dkk. Independent effects of intestinal parasite infection and domestic allergen exposure on risk of wheeze in Ethiopia: a nested case control study. Lancet. 2001; 358:1493–99
28. Riedler J, Braun-Fahrländer C, Eder W, Schreuer M, Waser M, Maisch S, dkk. Exposure to farming in early life and development of asthma and allergy: a cross-sectional survey. Lancet. 2001; 358:1129–33
29. Perzanowski MS, Ng’ang’a LW, Carter MC, Odhiambo J, Ngari P, Vaughan JW, Chapman MD, dkk. Atopy, asthma, and antibodies to Ascaris among rural and urban children in Kenya. J Pediatr. 2002; 140:582-8
30. Cooper JP, Chico ME, Bland M, Griffin GE, Nutman TB. Allergic symptoms, atopy, and geohelminth infections in rural area of Ecuador. Am J Resp Crit Care Med. 2003; 168:313-17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
31. Kartikawati H. Test cungkit (skin prick test) pada diagnosis penyakit alergi. Tinjauan pustaka bagian SMF THT-KL RS Dr.Kariadi Semarang. Januari 2007.h.1-10
32. Madiyono B, Moechlisan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismail S, penyunting. Dasar-dasar metodologi pene;itian klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung seto;2008.h.302-30
33. Hotez PJ, Brindley PJ, Bethony JM, King CH, Pearce EJ, Jacobson J. Helminth infections: the great neglected tropical disease. J Clin Invest. 2008; 118:1311-21
34. Lubis CP. Uji klinis acar tersamar ganda mebendazole 500 dengan oxantel pirantel pamoate pada infestasi tunggal trichuris trichiura. Medan: USU Press, 2004. h.1-6
35. Cooper PJ. Interactions between helminth parasites and allergy. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2009; 9(1):29-37
36. Ponte EV, Rizzo JA, Cruz AA. Interrelationship among asthma, atopy, and helminth infections. J Bras Pneumol. 2007; 33(3):335-42
37. Cooper JP, Chico ME, Rodrigues LC, Ordonez M, Strachan D, Griffin GE, dkk. Reduced risk of atopy among school-age children infected with geohelminth parasites in a rural area of the tropics. J Allergy Clin Immunol. 2003; 111:995-1000
38. Flohr C, Tuyen LN, Lewis S, Quinnell R, Minh TT, Liem TH, dkk. Poor sanitation and helminth infection protect against skin sensitization in Vietnamese children: a cross-sectional study. J Allergy Clin Immunol. 2006; 118:1305-11
39. Yazdanbakhsh M. IgE, eosinophils and mast cells in helminth infections. Ned Tijdschr Klin Chem 1996; 21(4):213-16
40. Cooper PJ, Chico ME, Sandoval C, Nutman TB. Atopic phenotype is an important determinant of immunoglobulin E-mediated inflammation and expression of T Helper cell type 2 cytokines to ascaris antigen in children exposed to ascariasis. J Infect Disease. 2004; 190:1338-46.
41. Turner JD, Jackson JA, Faulkner H, Behnke J, Else KJ, Kamngo J, dkk. Intensity of intestinal infection with multiple worm spesies is related to regulatory cytokine output ang immune hyporesponsiveness. J Infect Disease. 2008; 197:1204-12.
42. Van den Biggelaar A, Rodrigues LC, Ree R, Van der Zee JS, Hoeksma-Kruize CM, Souverijn JHM, dkk. Long-term treatment of intestinal helminths increases mite skin-test reactivity in Gabonese. J Infect Disease. 2004; 189:892-900
43. Lynch NR, Hagel I, Perez M, Prisco MC, Lopez R, Alvarez N. Effect of anthelminthic treatment on the allergic reactivity of children in a tropical slum. J Allergy Clin Immunol. 1993; 92:404-11
44. Cooper JP, Chico ME, Vaca MG, Moncayo AL, Bland JM, Mafl E, dkk. Effect of albendazole treatments on the prevalence of atopy in children living in communities endemic for geohelminth parasites: a cluster-randomised trial. Lancet. 2006; 367:1598–603
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
Lampiran 1
Personil Penelitian
Ketua penelitian
Nama : dr. Schenny Regina Lubis
Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSHAM
Anggota penelitian
1. dr. Lily Irsa, SpAK
2. dr. Supriatmo, SpAK
3. Prof. dr. H. M. Sjabaroeddin Loebis, SpAK
4. dr. Rita Evalina, SpA
5. dr. Hendri Wijaya
6. dr. Windya Sari
Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp 5.000.000,- 2. Transportasi Rp 1.000.000,-
3. Fotokopi dll Rp 1.000.000,-
Total Biaya...................................... Rp 8.000.000,-
Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Jadwal Pelaksanaan Penelitian
WAKTU
KEGIATAN
JULI
2009
AGUSTUS
2009
SEPTEMBER
2009
OKTOBER
2009
Persiapan
Pelaksanaan
Penyusunan laporan
Pengiriman laporan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
No urut : Tanggal :
1. Nama : ................................……………….........……… 2. Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan 3. Tempat / Tanggal Lahir: ……………..………........…….......................... 4. Berat / Tinggi badan :...............................cm / ..................................kg 5. Anak ke : …………..............dari …………......bersaudara 6. Jenis Persalinan : Spontan / SC 7. Usia Kehamilan : Cukup bulan / Kurang bulan 8. Jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah : ............ orang
Hasil Uji Tusuk Kulit
Kuesioner Riwayat klinis atopi
1. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami ruam kemerahan yang terasa gatal pada pipi, leher atau lipatan kulit siku atau antara paha dan betis? a. Tidak pernah b. Kadan-kadang c. Sering
2. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami pilek, hidung berair, tersumbat atau
perasaan gatal di hidung atau mata yang terjadi terutama pada saat malam atau pagi hari ? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Sering
No Alergen Hasil Positif Hasil Negatif
1 Kutu debu rumah
2 Kecoak
3 Debu rumah
4 Kapuk
5 Bulu ayam
6 Bulu kucing
7 Jamur
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
3. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami batuk, sesak dengan adanya suara nafas yang berbunyi (mengi) yang muncul jika berhubungan dengan perubahan suhu udara (hujan) atau terhirup debu dan lain-lain? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Sering
4. Apakah Bapak atau ibu atau anak Bapak/Ibu yang lain pernah mengalami
keluhan seperti pertanyaan no.1 sampai no.4 ? a. Pernah b. Tidak pernah
5. Jika jawaban pertanyaan no.4 adalah ”pernah” orang tersebut adalah :
a. Suami/istri b. Anak
Kecacingan
1. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami cacingan / BAB keluar cacing / muntah keluar cacing ? a. Ya b. Tidak
2. Apakah Bapak / Ibu pernah memberikan obat cacing kepada anak Bapak /
Ibu ? a. Ya b. Tidak
3. Jika ya, apakah diberikan secara teratur ?
a. Ya b. Tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
Lampiran 3
TEKNIK HAPUSAN TEBAL KATO KATZ
Bahan : 1. Kertas absorben/kertas koran 2. Kertas cellophane (dalam cairan glycerine- malachyte green selama 24 jam)
3. Template 4. Kawat saring (40 mesh) 5. Objek glas 6. Spatula Cara :
1. Letakkan sedikit tinja diatas kertas untuk diabsorbsi
2. Letakkan kawat saring diatas tinja, lalu tekan agar tinja tersaring dan
bertumpuk diatas kawat saring
3. Letakkan template diatas objek glas
4. Isi lubang di template dengan tinja yang telah disaring
5. Ratakan tinja yang berlebih dengan spatula
6. Angkat template tersebut
7. Lapisi tinja yang tertinggal dengan kertas cellophane
8. Tekan slide ke permukaan yang rata agar tinja rata dan menyebar
9. Perataan yang baik jika dapat membaca kertas koran dibalik hapusan
tinja
10. Bacalah slide dengan mikroskop (10 x 10 dan 10 x 40)
11. Hitung jumlah telur di seluruh slide
12. Catat jumlah telur untuk setiap spesies
13. Kalikan jumlah tersebut dengan 24 untuk mendapat jumlah telur per
gram feses (eggs per gram)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
Lampiran 4
CARA KERJA UJI TUSUK KULIT
Bahan :
Ekstrak alergen Histamin (Kontrol positif ) larutan kontrol/Buffer (Kontrol negatip) jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet. Cara :
1. Daerah volar lengan bawah tiap sampel dibersihkan dengan larutan alkohol 70%
2. Setiap alergen diteteskan sebanyak 1 tetes dengan jarak 2 cm pada bagian volar lengan bawah subjek, kemudian blood lancet dimasukan pada tetesan alergen dengan posisi 450
3. Alergen yang pertama ditusukkan adalah kontrol negatif (NaCl 0,9%) dan yang terakhir adalah kontrol positif (Histamin 1%)
4. Sisa alergen pada kulit dikeringkan dengan kertas hisap. 5. Sensitisasi dinilai 15-20 menit setelah aplikasi tusuk kulit. 6. Sensitisasi positif adalah ruam kemerahan berdiameter ≥ 3 mm yang
muncul 15-20 menit sesudah aplikasi tusuk kulit.
7. Sensitisasi negatif adalah ruam kemerahan berdiameter < 3 mm yang muncul 15-20 menit sesudah aplikasi tusuk kulit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
8. Pada sampel / subjek penelitian jika dijumpai hasil uji tusuk kulit positip pada salah satu alergen maka dapat dikatakan bahwa subjek memiliki hasil uji tusuk kulit positip.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
Lampiran 6
LEMBAR PENJELASAN KEPADA ORANGTUA
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Yth. Bapak / Ibu....................................
Bersama surat ini saya dokter Schenny Regina Lubis yang bertugas di divisi
Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H.Adam
Malik Medan akan memberi sedikit keterangan kepada ibu/bapak.
Infeksi cacing merupakan infeksi kronis di daerah endemik parasit yang dapat
memberikan efek pertumbuhan, nutrisi dan perkembangan mental anak
Alergi adalah kelainan keturunan yang mempunyai gejala klinis seperti rinitis
alergi (pilek), asma (bengek) dan eksema. Namun alergi dapat juga bersifat
tanpa gejala. Anak yang lahir dari keluarga dengan riwayat alergi pada kedua
orang tua mempunyai resiko hingga 50-80% untuk terkena penyakit alergi
dibanding dengan anak tanpa riwayat keluarga (resiko hanya sebesar 20%).
Resiko akan jadi lebih tinggi jika penyakit alergi diderita oleh ibu dibanding
ayah.
Untuk mengurangi keparahan penyakit alergi pada anak, zat-zat/bahan yang
disangkakan dapat menimbulkan penyakit tersebut harus dihindari.
Kelainan atopi atau kecenderungan untuk menderita alergi pada anak dapat
diperiksa dengan pemeriksaan uji tusuk (cungkit) kulit yang merupakan
bentuk pemeriksaan yang mudah dilaksanakan, memiliki akurasi yang baik,
murah dan tak menimbulkan rasa sakit dan mempunyai hasil yang cepat
diperoleh.
Awalnya saya akan melakukan pemeriksaan fisik berupa berat badan (BB),
tinggi badan (TB) yang kemudian anak Bapak / Ibu yang mengalami
kecacingan, dilanjutkan dengan meneteskan sejumlah kecil bahan/zat yang
dicurigai sebagai penyebab alergi tersebut lalu di tekankan dengan alat
khusus pada kulit lengan bawah.
Jika bahan/zat tersebut adalah zat yang berpotensi menyebabkan alergi pada
putra/putri Bapak/Ibu maka pada tempat yang diberi bahan tersebut akan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
muncul bengkak ringan yang berwarna kemerahan seperti digigit nyamuk
dalam waktu hanya 15 menit, yang akan segera menghilang dalam waktu 1
hari. Selanjutnya bahan/zat tersebut harus dihindari untuk mencegah
terjadinya penyakit-penyakit alergi .
Agar hasil pemeriksaan ini tidak terganggu oleh obat-obatan maka tiga
hari sebelum pemeriksaan sampai hari pelaksanaan diharapkan
putra/putri Bapak/Ibu tidak mengkonsumsi obat/jamu-jamuan apapun
juga.
Jika dari pemeriksaan tersebut terdapat keluhan berkelanjutan pada
putra/putri Bapak/Ibu, silahkan menghubungi :
dr. Schenny Regina Lbs (HP: 061-77853536 / 0819851162)
dr. Lily Irsa, SpAK (HP : 0811 636 456)
Demikian informasi ini kami sampaikan. Atas bantuan dan partisipasinya kami
ucapkan terima kasih.
Wassalam,
dr. Schenny Regina Lbs
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
Lampiran 5
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ........................................ Umur : .............. tahun (L / P)
Alamat : ................................................................................................
dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan
PERSETUJUAN
untuk dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap anak saya :
Nama : ......................................... Umur : .............. tahun (L / P)
Alamat rumah : .......................................................................................
Alamat sekolah : .....................................................................................
yang tujuan, sifat, dan perlunya pemeriksaan tersebut di atas, serta risiko
yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya
mengerti sepenuhnya.
Demikianlah pernyataan persetujuan ini saya perbuat dengan penuh
kesadaran dan tanpa paksaan.
Medan, ................................. 2009
Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan dr. .......................................... .......................................... Saksi-saksi : Tanda tangan 1. ............................................. .............................................. 2. ............................................. ..............................................
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
Lampiran 7
RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : dr. Schenny Regina Lubis, M.Ked (Ped)
Tempat dan Tanggal Lahir : Pekanbaru, 4 Mei 1983
Alamat : Jln. Gaperta kompleks Piazza blok G 2A
Medan 20154, Indonesia
PENDIDIKAN
Sekolah Dasar : SD Negeri 001 Pekanbaru, tamat tahun 1995
Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 4 Pekanbaru, tamat tahun 1998
Sekolah Menengah Umum : SMU Negeri 1 Pekanbaru, tamat tahun 2001
Dokter Umum : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat
tahun 2006
Magister Kedokteran Klinik : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat
tahun 2010
RIWAYAT PEKERJAAN : -
PERTEMUAN ILMIAH / PELATIHAN
1. Deteksi Dini dan Pemantauan Tumbuh Kembang di Medan, 17 Februari
2007, sebagai peserta.
PENELITIAN
1. Hubungan Infeksi Soil-Transmitted Helminth Dengan Hasil Uji Tusuk Kulit
Pada Anak
ORGANISASI
1. 2006 – sekarang : IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA