hubungan kepatuhan minum obat anti …eprints.ums.ac.id/69458/11/naskah publikasi .pdf ·...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS
(OAT) DENGAN STATUS GIZI PASIEN TBC PARU FASE INTENSIF DI
BBKPM SURAKARTA
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I
pada Jurusan Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh:
MARTHA TRI WAHYUNINGRUM
J 310 014 149
PROGRAM STUDI GIZI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
i
HALAMAN PERSETUJUAN
HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS
(OAT) DENGAN STATUS GIZI PASIEN TBC PARU FASE INTENSIF DI
BBKPM SURAKARTA
PUBLIKASI ILMIAH
Oleh:
MARTHA TRI WAHYUNINGRUM
J 310 140 149
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:
Dosen
Pembimbing
Zulia Setiyaningrum, S.Gz., M. Gizi
NIK/NIDN:
ii
HALAMAN PENGESAHAN
HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS
(OAT) DENGAN STATUS GIZI PASIEN TBC PARU FASE INTENSIF DI
BBKPM SURAKARTA
OLEH
MARTHA TRI WAHYUNINGRUM
J310140149
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Jum’at, 30 November 2018
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan Penguji:
1. Zulia Setiyaningrum, S.Gz., M.Gizi (………….................)
(Ketua Dewan Penguji)
2. dr. Listiana Dharmawati S, M.Si (…………………….)
(Anggota I Dewan Penguji)
3. Ir. Listyani Hidayati, M. Kes (…………………….)
(Anggota II Dewan Penguji)
Dekan,
Dr. Mutalazimah, SKM., M.Kes
NIK/NIDN : 786/06-1711-7301
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam publikasi ilmiah ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oranglain, kecuali secara tertulis
diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas,
maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.
Surakarta,1 Desember 2018
Penulis
MARTHA TRI WAHYUNINGRUM
J310140149
1
HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS
(OAT) DENGAN STATUS GIZI PASIEN TBC PARU FASE INTENSIF DI
BBKPM SURAKARTA
Abstrak
Tuberkulosis paru (TBC paru) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh Mycobacterium Tuberculosis.Pada tahun 2017, di Indonesia terdapat kasus
TBC sebanyak 1.020.000 jiwa. Faktor keberhasilan pengobatan TBC adalah
kepatuhan minum obat. Penurunan status gizi terjadi pada pasien TBC paru,
bahkan menjadi status gizi buruk pada awal diagnosis. Pemberian OAT dapat
meningkatkan status gizi pasien TBC paru. Kenaikan berat badan pada fase
intensif terjadi sebesar 1-5 kg. Tujuan penelitian ini Untuk mengetahui hubungan
antara kepatuhan minum Obat Anti TBC (OAT) dengan status gizi pasien TBC
Paru pada fase intensif di BBKPM Surakarta. Metode penelitian ini menggunakan
desainpenelitian bersifat observasional dengan pendekatan Cross Sectional.
Dengan jumlah sampel sebanyak 30 pasien, diambil secara consecutive sampling.
Data kepatuhan minum OAT diperoleh melalui wawancara menggunakan
kuesioner yang dibuat berdasarkan MMAS-8 (Morisky Medication Adherence
Scale). Data status gizi diperoleh berdasarkan IMT dengan pengukuran berat
badan dan tinggi badan. Data dianalisis menggunakan SPSS 20 dengan uji
korelasi rank spearman. Hasil penelitian ini sebanyak 20 sampel (66,7%) patuh
meminum OAT. Rata-rata subjek memiliki status gizi kurus yaitu 16 sampel
(53,3%). Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara kepatuhan minum
OAT dengan status gizi pasien TBC paru pada fase intensif dengan nilai
p=0,796.Kesimpulan Tidak ada hubungan antara kepatuhan minum OAT dengan
status gizi pasien TBC paru pada fase intensif.
Kata Kunci : Kepatuhan minum OAT, status gizi, TBC paru
Abstract
Pulmonary tuberculosis (pulmonary TBC) is a direct infectious disease caused by
Mycobacterium Tuberculosis. In 2017, there were a total of 1,020,000 TBC cases
in Indonesia. One of the successful factor for TBC treatment is drug’s compliance.
Decreased nutritional status usually occurs in patient with pulmonary TBC, which
can lead to severe malnutrition at the beginning of the onset of TBC diagnosis.
Giving anti tuberculosis drug can improve the nutritional status of pulmonary
TBC. Therefore, these patient often gain weight ± 1-5 kgs in the intensive
phase.The purpose of this research is To determine the association of drug’s
adherence with nutritional status of pulmonary tuberculosis patients when
intensive phase in the BBKPM Surakarta. This research is an observational study
with cross-sectional approach. A total of 30 patients were recruited using
consecutive sampling method. The data of drug’s compliance were obtained
through interview using drug’s compliance questioner based on MMAS-8
2
(Morisky Medication Adherence Scale). The data of nutritional status were
obtained based on BMI by measuring the weight and height. The data were
analyzed using Chi Square test. The results of this researcha total of 20
respondents (66,7%) obey drug’s prescription. 53,3% of the respondents had
malnutrition. Statistic analysis showed that no association between drug’s
adherence with nutritional status of pulmonary tuberculosis patients when
intensive phase was found with p value of 0,796. there was no association
ofdrug’s adherence with nutritional status of pulmonary tuberculosis patients
during intensive phase.
Keyword :drug’s adherence, nutritional status, pulmonary TBC
1. PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru (TBC paru) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TBC(Mycobacterium Tuberculosis). Bakteri tersebut menyerang
parenkim (jaringan) paru. TBC menular melalui percikan dahak yang
mengandung kuman TBC kemudian bercampur dengan udara dan masuk ke
dalam saluran pernafasan dan menginfeksi paru-paru. TBC paru dibagi menjadi 2
berdasarkan pemeriksaan dahak, yaitu TBC paru BTA positif dan TBC paru BTA
negatif (Permenkes, 2016).
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) pada tahun 2015
tercatat terdapat 10,4 juta kasus terbaru TBC paru. Jumlah kematian akibat TBC
dari tahun 2000 hingga tahun 2015 mengalami penurunan sebanyak 22%, namun
TBC tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2015.
Pada tahun 2017 Indonesia tercatat sebagai negara kedua dengan penderita TBC
terbesar di dunia yaitu 1.020.000 jiwa. Resiko penularan TBC dapat ditunjukkan
setiap tahunnya dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu
proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TBC setiap tahunnya. ARTI sebesar
1% menunjukkan bahwa setiap 10 orang diantara 1000 penduduk, terinfeksi TBC
setiap tahunnya. Menurut WHO, Indonesia memiliki ARTI yang bervariasi yaitu
sekitar 1-3% (Kemenkes RI, 2011).
Kasus TBC pada tahun 2016 ditemukan sebanyak 351.893 kasus, jumlah
tersebut meningkat bila dibandingkan dengan dengan temuan semua kasus TBC
pada tahun 2015 yaitu sebesar 330.729 kasus. Jumlah tertinggi terdapat di
3
provinsi dengan jumlah penduduk yang besar salah satunya adalah provinsi Jawa
Tengah (Kemenkes, 2017). Namun dari seluruh penduduk yang terinfeksi TBC
paru, hanya 44,4% yang melaksanakan pengobatan. Salah satu wilayah yang
melaksanakan pengobatan adalah provinsi Jawa Tengah yaitu sebesar 50,4%.
Pada tahun 2016 di provinsi Jawa Tengah terdapat sebanyak 14.139 kasus TBC
paru BTA (+) (Kemenkes RI, 2017). Penderita TBC paru sekitar 75% adalah
penduduk dengan usia produktif secara ekonomis yaitu antara usia 15 tahun
sampai dengan 50 tahun (Kemenkes RI, 2011).
Data BBKPM Surakarta melaporkan bahwa pasien TBC paru di Surakarta
tercatat pada tahun 2014 sebanyak 894 kasus, pada tahun 2015 sebanyak 829
kasus, tahun 2016 sebanyak 675 kasus, kemudian pada tahun 2017 tercatat pasien
TBC paru sebanyak 530 kasus.
Tujuan pengobatan penderita TBC paru adalah menyembuhkan secara
individual dan mengurangi terjadinya penularan Mycobacterium Tuberculosis
pada orang lain, kemudian keberhasilan pengobatan ini bermanfaat untuk individu
secara pribadi dan masyarakat sekitar pada umumnya (Nizar, 2011).
Salah satu faktor keberhasilan pengobatan TBC adalah kepatuhan minum
obat. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai
efektifitas suatu sistem masalah. Kepatuhan yang rendah terhadap obat yang
diberikan dokter dapat meningkatkan mordibilitas, mortalitas dan resistensi
terhadap obat (BPOM RI, 2006).
Infeksi TBC merupakan salah satu faktor penyebab penurunan asupan zat
gizi serta perubahan metabolisme tubuh (Depkes RI, 2005). Penurunan status gizi
sering terjadi pada pasien TBC paru, bahkan dapat menjadi status gizi buruk pada
awal diagnosis (Dodor, E.A, 2008). Pengobatan TBC atau pemberian Obat Anti
TBC dapat meningkatkan status gizi pasien TBC paru
(Pratono, Erlina, Victor. 2012).
Pengobatan TBC paru terdapat 2 tahap yaitu tahap intensif dan tahap
lanjutan. Pengobatan pada fase intensif diberikan setiap hari, bersifat bakterisid
yang dapat menghambat dan menurunkan pertumbuhan bakteri TBC, sehingga
dapat menyembuhkan pasien TBC dari infeksi Mycobacterium Tuberculocis dan
4
meningkatkan mekanisme imun tubuh(Dirjen Binfar dan Alkes, 2005).
Mekanisme imun tubuh yang meningkat dapat menekan zat gizi yang digunakan
untuk melawan infeksi, sehingga status gizi penderita dapat meningkat
(Oktiani, 2011)
Pada pasien TBC sering mengalami penurunan berat badan berkaitan
dengan status gizi yang disebabkan oleh penurunan sistem imun sering terjadi
pada awal diagnosis penyakit TBC. Pada penelitian Vasantha, dkk (2009)
menyebutkan pada terapi DOTS ( Direct Observation Treatment Shortcourse)
terdapat perubahan berat badan pada penderita TBC, penurunan berat badan
terjadi sekitar 4 kg kemudian kenaikan berat badan terjadi hingga 20 kg, 3,22 kg
merupakan rata-rata berat badan yang naik selama pengobatan. Pada penelitian
tersebut juga menyatakan bahwa kenaikan berat badan pada awal sampai bulan
ke-2 pengobatan terjadi sebesar 1-5 kg, kemudian bulan ke-4 hingga bulan ke-6
pengobatan sebagian pasien hanya mengalami kenaikan berat badan<1 kg.
Oktiani (2011) meneliti tentang kepatuhan minum OAT dengan status gizi
anak penderita TBC paru dengan jumlah subyek sebanyak 33 anak. Sebesar
73,7% subyek yang patuh terhadap pengobatan memiliki status gizi baik,
kemudian subyek dengan status gizi kurang sebanyak 26,3% dan tidak ditemukan
subyek dengan status gizi buruk pada kategori patuh terhadap pengobatan.
Sedangkan pada kategori tidak patuh terhadap pengobatan terdapat 64,3% subyek
dengan status gizi baik, subyek yang memiliki status gizi kurang sebesar 14,3%
dan 21,4% subyek yang memiliki status gizi buruk.
Penelitian tentang kepatuhan minum Obat Anti TBC paru terhadap status
gizi pasien penderita TBC paru fase intensif belum banyak dilakukan, terutama
pada pasien yang menjalani pengobatan fase intensif. Penelitian Oktiani (2011)
dengan judul hubungan kepatuhan minum OAT dengan status gizi pasien TBC
paru anak berdasarkan WAS (Weight for Age Z Score)menyimpulkan bahwa status
gizi pasien TBC paru anak selama pengobatan mengalami peningkatan
dibandingkan pada awal terdiagnosis,oleh sebab itu peneliti tertarik ingin meneliti
hubungan kepatuhan minum obat anti TBC paru pada fase intensif terhadap status
gizi pasien TBC paru di BBKPM Surakarta.
5
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan menggunakan desain
Cross Sectional, sebanyak 30 responden yang dipilih dengan cara consecutive
sampling yangtelah memenuhi kriteria inklusi pasien yang bersedia menjadi
responden,laki-laki/perempuan berusia 19-55 tahun, pasien termasuk kategori
TBC paru kasus baru, pasien TBC paru fase intensif minimal 1 bulan pengobatan,
sedangkan kriteria ekslusi adalah pasien dengan komplikasi atau terdapat penyakit
komplikasi (HIV/AIDS, gagal ginjal, DM, gagal jantung, dan penyakit hati
kronik). Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2018. Variabel
bebas dalam penelitian ini adalahstatus gizidan variabel terikatnya adalah
kepatuhan minum OAT. Data kepatuhan minum OAT diperoleh dengan kuesioner
kepatuhan minum OAT dengan metode MMAS-8, sedangkan status gizi
didapatkan dari pengukuran tinggi badan dan berat badan dengan menggunakan
indeks IMT. Data dianalisis menggunakan uji analisis statistik Chi Square.
Penelitian ini telah memenuhi kode etik dari Komite Etik Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan nomor, No: 1246/B.1/KEPK-
FKUMS/VI/2018.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum Responden
Hasil penelitian yang telah dilaksanakan di BBKPM Surakarta pada bulan
Agustus – September 2018 subjek yang terkumpul dalam 2 bulan penelitian yaitu
sebanyak 30 sampel. Variabel yang diteliti adalah kepatuhan minum Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) dan status gizi. Hasil pengumpulan data karakteristik subyek
dapat dilihat pada tabel berikut.
6
Tabel 1.
Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik Responden Jumlah Persen (%)
Umur
19 – 24 Tahun
11
36,7
25 – 34 Tahun 6 20,0
35 – 44 Tahun 5 16,7
45 – 55 Tahun 8 26,7
Total 30 100
Jenis Kelamin
Laki- laki
13
43,3
Perempuan 17 56,7
Total 30 100
Pekerjaan
IRT
5
19,2
Wiraswasta 9 34,6
Swasta 7 19,2
Petani 2 3,8
Mahasiswa 2 7,7
Tidak Bekerja 5 15,4
Total 30 100
Pendapatan
Diatas UMR
11
36,7
Dibawah UMR 19 63,3
Total 30 100
Pendidikan
SD
7
26,9
SMP/Sederajat 4 15,4
SMA/Sederajat 11 42,3
D3/S1 4 15,4
Total 30 100
Hasil penelitian ini menunjukkan karakteristik subjek yang dikumpulkan
selama penelitian meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan. Umur
subjek dalam penelitian adalah rentang 19 hingga 55 tahun. Persentase terbanyak
terdapat pada rentang usia 19 hingga 24 tahun yaitu 36,7%, sedangkan persentase
paling sedikit adalah rentang usia 35 hingga 44 tahun yaitu sebanyak 16,7%.
Jenis kelamin subjek dalam penelitian ini rata-rata adalah perempuan yaitu
56,7%, sedangkan laki-laki sebanyak 43,3%. Hasil tersebut sesuai dengan
penelitian Supriyono dkk (2013) mengenai pengaruh perilaku dan status gizi
7
terhadap kejadian TBC paru di Kota Pekalongan didapatkan hasil bahwa
responden tuberkulosis dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada
laki-laki. Dalam penelitian Rao (2009) menyatakan bahwa perkembangan infeksi
menjadi penyakit TBC pada perempuan lebih cepat dibandingkan pada laki-laki,
namun laki-laki memiliki resiko terkena penyakit TBC paru lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan laki-laki memiliki mobilitas
di luar rumah yang tinggi dan gaya hidup yang salah seperti merokok
mengakibatkan penurunan sistem imun yang sehingga mudah terserang penyakit
TBC (Mahfuzhah, 2014).
Pekerjaan subjek rata-rata adalah wiraswasta yaitu sebanyak 30%.
Sedangkan paling sedikit adalah petani yaitu sebanyak 6,7%. Pada penelitian
Imamala (2016) menyatakan bahwa faktor resiko TBC disebabkan oleh pekerja
yang bekerja di lingkungan yang terpapar banyak debu.Pendapatan subjek paling
banyak memiliki pendapatan dibawah rata-rata UMR Jawa Tengah yaitu sebanyak
63,3%. Rata-rata upah minimum Jawa Tengah adalah Rp 1.592.000,00.
Pendidikan subjek dalam penelitian rata-rata memiliki pendidikan terakhir
SMA/Sederajat yaitu 43,3%. Sedangkan paling sedikit adalah pendidikan
SMP/Sederajat dan D3/S1 yaitu 16,7%. Hal ini sesuai dengan penelitian Henny
dalam Kumalasari(2009) responden paling banyak adalah berpendidikan
SMA/Sederajat. Pada penelitiaannya tersebut menyatakan bahwa individu dengan
pendidikan tinggi belum tentu mempunyai kesadaran mengenai penyakit TBC
dibanding dengan individu berpendidikan rendah.
3.2 Kepatuhan Minum OAT
Kepatuhan minum OAT diambil dari hasil kuesioner MMAS-8 dengan
wawancara terhadap responden di poli TBC rawat jalan BBKPM Surakarta.
Penelitian ini menunjukan hasil sebagai berikut.
8
Tabel 2.
Kepatuhan Minum OAT
Karakteristik Jumlah Persen(%)
Tidak Patuh 10 33,3
Patuh 20 66,7
Total 30 100
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden patuh dalam meminum OAT. Dengan distribusi frekuensi patuh minum
OAT sebesar 66,7% dan 33,3% tidak patuh minum OAT.Berdasarkan hasil
wawancara, responden memiliki motivasi yang tinggi untuk sembuh dan takut
mengulang pengobatan atau menjalani pengobatan lebih lama jika tidak patuh
minum OAT. Walaupun beberapa responden mengalami efek samping (gatal-
gatal dan kulit kering), mereka tetap meminum OAT dengan teratur. Hasil ini
sesuai dengan penelitian Novia (2019) di RS “X” bahwa responden lebih patuh
minum OAT pada fase intensif dibandingkan dengan pada saat fase lanjutan. Pada
penelitian lain yang dilakukan olehPrayogo (2013) menyatakan bahwa subjek
yang patuh minum OAT lebih banyak yaitu 79,3% dan tidak patuh sebanyak
20,7%.
Kepatuhan subjek dalam meminum OAT dapat berkaitan dengan tingkat
pendidikan subjek yaitu yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan terakhir
adalah SMA/Sederajat. Hal tersebut berkaitan teori perilaku kesehatan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pengetahuan
yang dimiliki subjek, dan pengetahuan seseorang dapat mendasari seseorang
untuk menentukan perilakunya (Notoadmodjo, 2005). Selain itu pengetahuan
masyarakat yang baik mengenai TBC paru bisa dilihat dari penyuluhan-
penyuluhan yang dilakukan dengan baik oleh tenaga kesehatan dan iklan-iklan
yang tersedia dalam bentuk media cetak atau media elektronik
(Firdaus, Rahardjo dan Roselinda, 2005).
3.3 Status Gizi
Pada penelitian ini status gizi responden di tentukan melalui pengukuran
antropometri berat badan dan tinggi badan, kemudian dikategorikan menjadi 3
9
kategori yaitu kurus, normal, dan gemuk. Gambaran status gizi responden dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.
Status Gizi Responden Fase Intensif
Karakteristik Sebelum
Pengobatan
Setelah Pengobatan
Intensif
N % N %
Kurus 17 56,7 16 53,3
Normal 13 43,3 14 46,7
Total 30 100 30 100
Hasil penelitian yang dilakukan pada 30 responden setelah pengobatan
intensif menunjukkan subjek dengan status gizi kurus berkurang menjadi 53,3%,
sedangkan subjek dengan status gizi normal mengalani kenaikan menjadi 46,7%.
Rata-rata IMT responden sebelum menjalani pengobatan adalah 17,79 kg/m2
termasuk dalam kategori status gizi kurus, sedangkan rata-rata IMT responden
sesudah menjalani pengobatan intensif adalah 18,59 kg/m2 termasuk dalam
kategori status gizi normal..Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sarwono
dan Lestari (2017) menyatakan bahwa responden TBC lebih banyak memiliki
status gizi kurang dibandingkan dengan status gizi cukup. Dalam penelitian
tersebut juga menyatakan bahwa individu dengan status gizi kurang memiliki
resiko 3,4 kali lebih besar menderita tuberkulosis dibandingan individu dengan
status gizi cukup.
Walaupun selama masa pengobatan intensif status gizi subjek rata-rata
kurus, namun jika dibandingkan dengan awal penegakan diagnosis TBC paru,
berat badan subjek mengalami peningkatan. Data peningkatan berat badan dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.
Persentase Kenaikan Berat Badan Subjek selama≥ 4 Minggu Pengobatan
Berat Badan ≥ 4 minggu
pengobatan
Jumlah Persen
Naik 27 90,0%
Tetap 1 3,3%
Turun 2 6,7%
Total 30 100%
10
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata subjek yang mengalami
kenaikan berat badan setelah lebih dari 4 minggu pengobatan sebanyak 90%.
Rata-rata kenaikan berat badan semua subjek sebesar
2,3 kg dan 0,75 kg adalah rata-rata penurunan berat badan subjek. Hasil ini sesuai
dengan Triawanti, Fakhrurrozi dan Waspada (2005) menyatakan bahwa terdapat
perubahan berat badan dan IMT responden TBC Paru setelah pengobatan dengan
OAT. Dengan pengobatan OAT dapat memperbaiki keadaan klinis subjek dalam
waktu yang relatif singkat. Walaupun terjadi peningkatan berat badan dan IMT
namun belum banyak mengubah status gizi subjek dari kurang menjadi normal.
Tuberkulosis dapat menyebabkan malnutrisi dengan cara menurunkan nafsu
makan dan katabolisme tubuh meningkat (Bhargava et al, 2013). Keadaan
tersebut dapat memperparah penyakit TBC paru dan menjadi salah satu faktor
kematian bagi penderita TBC paru. Resiko kegagalan dan relaps pada penderita
TBC paru disebabkan oleh kenaikan berat badan rendah selama masa terapi
(Kawai et al, 2011).
3.4 Hubungan Kepatuhan Minum OAT dengan Status Gizi
Tabel 5.
Analisis Hubungan Kepatuhan Minum OAT dengan Status Gizi
Kepatuhan
Minum OAT
Status Gizi
Kurus Normal Jumlah
N % N % N %
Patuh 11 55,0 9 45,0 20 100
Tidak Patuh 5 50 5 50 10 100
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa kebanyakan subjek yang patuh minum
OAT cenderung memiliki status gizi yang kurus yaitu sebanyak 55% sedangkan
subjek yang tidak patuh minum OAT memiliki persentase status gizi yang sama
yaitu sebesar 50% memiliki status gizi kurus dan 50% memiliki status gizi
normal. Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Wijayanti (2018) yang
menyebutkan bahwa status gizi responden pada fase intensif lebih banyak
memiliki status gizi kurang yaitu 55,6% dan 44,4% dengan status gizi normal.
11
Tabel 6.
Distribusi Status Gizi berdasarkan Kepatuhan Minum OAT
Variabel Rata-
rata
Minimal Maksimal Deviasi
Standar
Sig.
(p)
RR
Kepatuhan
Minum OAT
7,26 0 8 1,64 0.796 1,100
Nilai Status
Gizi (kg/m2)
18,59 13,64 23,59 2,45
*Uji Chi Square
Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kepatuhan minum OAT
dalam penelitian ini adalah 7,26 termasuk dalam kategori patuh, sedangkan nilai
rata-rata status gizi dalam penelitian ini adalah 18,59 kg/m2 termasuk dalam
kategori status gizi normal.
Hasil uji statistik menggunakan uji Chi Square antara variabel kepatuhan
minum OAT dengan status gizi menunjukkan nilai p>0.05, dimana nilai p = 0.796
yang artinya tidak ada hubungan antara kepatuhan minum OAT dengan status gizi
pada fase intensif dan nilai RR = 1,100 menunjukkan bahwa patuh minum OAT
bukan merupakan faktor resiko status gizi.kurus.
Hasil pada subjek penelitian menunjukkan responden yang patuh minum
OAT lebih banyak memiliki status gizi kurus. Hasil ini sama dengan penelitian
Oktaviani (2011) tentang hubungan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis
dengan status gizi anak penderita tuberkulosis paru menjelaskan bahwa tidak
adanya hubungan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis dengan status gizi anak
penderita tuberkulosis paru. Pada penelitian tersebut menjelaskan bahwa setelah
dikontrol oleh asupan energi dan protein pun tidak menunjukkan hubungan yang
bermakna.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Sidabutar, Soedibyo dan
Tumbelaka (2004) yang menyatakan bahwa pengobatan TBC paru adalah salah
satu faktor penting untuk membantu memperbaiki kondisi infeksi dan menaikkan
status gizi, sehingga penyerapan nutrisi dapat berjalan dengan normal. Kecukupan
asupan energi dan protein juga dapat membantu penyembuhan dan membantu
meningkatkan status gizi pasien TBC paru.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang patuh dalam
meminum OAT, rata-rata memiliki status gizi yang kurus. Hal ini disebabkan
12
karena status gizi responden tidak hanya dipengaruhi oleh kepatuhan minum
OAT. Faktor lain yang mempengaruhi status gizi responden TBC paru adalah
kondisi ekonomi.
Kondisi ekonomi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi.
Hasil penelitian ini menunjukkan pendapatan responden mayoritas (63,3%)
dibawah rata-rata pendapatan (upah minimal) di Jawa Tengah yaitu sebesar Rp
1.592.000,00. Crofton dalam Muaz (2014) menjelaskan bahwa kondisi ekonomi
ini berpengaruh terhadap perilaku menjaga kesehatan. Hal ini juga mempengaruhi
lingkungan seperti kondisi rumah dan lingkungan rumah. Kondisi ekomoni juga
berpengaruh terhadap kemampuan membeli makanan yang bergizi untuk
memenuhi nutrisi pada saat sakit dan kemampuan memilih variasi makanan yang
bergizi, hal tersebut sangat mempengaruhi status gizi responden. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian Indarwati (2014) yang menyatakan bahwa aspek
sosial ekomoni sangat kental dengan permasalahan TBC, karena dapat
meningkatkan kemiskinan, kepadatan hunian yag tinggi, kurang gizi dan
buruknya kualitas lingkungan sehingga meningkatkan resiko penularan infeksi.
Kemiskinan menyebabkan lemahnya kemampuan keluarga dalam memenuhi
kebutuhan makanan bergizi. Penurunan pendapatan menyebabkan kurangnya
kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan sehingga berpengaruh terhadap
status gizi (Selleca, 2012).
Rata-rata subjek dalam penelitian ini mempunyai status gizi kurus pada fase
intensif, namun IMT subjek dengan status gizi setelah menjalani pengobatan
intensif menunjukkan penurunan menjadi 53,3%, dan mengalami kenaikan berat
badan selama >1 bulan diperoleh hasil sebanyak 88,3% subjek memiliki kenaikan
berat badan rata-rata sebesar 2,3 kg.
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Subjek TBC parulebih banyak terjadi pada rentang usia 19-24 tahun, rata-rata
subjek adalah perempuan dengan mayoritas, penghasilan mayoritas dibawah rata-
rata UMR Jawa Tengah dan pendidikan terakhir subjek paling banyak adalah
13
SMA/sederajat.Status gizi pasien TBC paru paling banyak memiliki status gizi
kurus yaitu sebesar 53,3%. Kepatuhan minum OAT pada subjek TBC paru rata-
rata patuh untuk minum OAT yaitu sebesar 66,7%. Hasil uji Rank Spearman tidak
terdapat hubungan antara kepatuhan minum OAT dengan status gizi pasien TBC
paru fase intensif (p=0,796).
4.2 Saran
Disarankan pada pihak instalsi gizi BBKPM Surakarta untuk menindaklanjuti
hasil penenlitian ini dengan PMT untuk pasien yang memiliki status gizi kurus.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Kepatuhan
Pasien: Faktor Penting Dalam Keberhasilan Terapi. Vol. 7. No. 5
Bhargava, A., et al. 2013. Nutritional Status of Adult Patients with Pulmonary
Tuberculosis in the Rural Central India and Its Association with Mortality.
Plus One. 8(10) :10-11
Dinkes Provinsi Jawa Tengah. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2015. Semarang
Dirjen Binfar dan Alkes. 2005. Pharmaceutical Care Penyakit Tuberkulosis.
Jakarta
Dodor, EA. 2008. Evaluatin of Nutrition Status of New Tuberculosis Patient at
The Effia-Nkwanta Region Hospital. Ghana: Ghana Medical Journal: 23-25
Firdaus U., Rahardjo E., Roselinda. 2006. Faktor-faktor Penderita Tuberkulosis
Paru Putus Berobat. Media LiTBCang Kesehatan XVI : No: 4
Imamala, B. 2016. Hubungan Kepatuhan dan Keberhasilan Terapi Pada Pasien
Tuberkulosis Paru Fase Intensif Di Instalasi Rawat Jalan Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
Indarwari, RD. 2014. Hubungan Antara Kondisi Sosial Ekonomi dan Perilaku
Hidup Sehat Dengan Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru Di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta
14
Kawai. et al. 2011. Predictors of Change in Nutritional and Hemoglobin Status
among Adults Treated for Tuberculosis in Tanzania. Int J Tuberc Lung Dis:
Vol: 15 No:10 : 1380-1389
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Pusat Data dan Informasi profil Kesehatan
Indonesia 2016. Jakarta
Mahfuzhah, I. 2014. Gambaran Faktor Risiko Penderita TBC Paru Berdasarkan
Status Gizi dan Pendidikan Di RSUD Dokter Soedarso. Skripsi. Universitas
Tanjungpura Pontianak
Morisky, DE., Ang, A., Krousel-Wood, M., Ward, HJ. 2008. Predictive Validaty
Of Medication Adherence Measure In An Outpatient Setting, J Clin
Hypertens. The Journal Clinical Hypertention. Vol.10 No. 5
Muaz, F. 2014. Faktor-Faktor yangMempengaruhi KejadianTuberkulosis Paru
Basil Tahan AsamPositif Di Puskesmas WilayahKecamatan Serang Kota
SerangTahun 2014. Skripsi. Jakarta: UIN
Mulyadi, SR dan Dermawan, I. 2011. Profil Penderita Tuberkulosis paru di
Pesisir pantai Aceh Barat Daya (Kajian di Puskesmas Blangpidie). J Respir
Indo Vol. 31, No. 2 : 105-108
Nizar, M. 2010. Pemberantasan dan Penanggulangan Tuberkulosis.Gosyan
Publishing. Yogyakarta
Notoatmodjo, S. 2005. KesehatanMasyarakat Ilmu & Seni. Rineka Cipta. Jakarta
Novia, HM. 2012. Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis dan Kepatuhan
Pada Pasien Tuberkulosis paru Di RS “X”. Skripsi. Fakultas Farmasi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
Oktiani, D. 2011. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis dengan
Status Gizi Anak Penderita TuberkulosisParu. Skripsi. Program Studi Ilmu
Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 10-12
Patiung, F., Wongkar MCP., Mandang V. 2014. Hubungan Status Gizi Dengan
CD4 Pada Pasien TBC Paru. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 2, Nomor 2
Pratono, IP., Erlina, B., Victor, T. 2012. Malnutrisi dan Tuberkulosis. J Indon
Med Assoc, Vol:62, No: 6: 231-234
15
Prayogo, AHE. 2013. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat
Anti Tuberkulosis Pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Pamulang
Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten Periode Januari 2012-Januari
2013. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Rao, S. 2009. Tuberculosis and patient gender: An analysis and its implications in
tuberculosis control. Lung India, Vol: 26 No: 2: 46-47.
Sarwono, IY dan Lestari, SD. 2017. Hubungan Status Gizi dan Pendapatan
Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal Perawat Indonesia : Vol: 1
No:1 :18-25
Sastroasmoro, S., dan Ismael, S. 2008. Dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Sagung Seto. Jakarta
Selleca, CS. 2012. Hubungan Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB
Dengan Keterlambatan Pasien Dalam Diagnosis Kasus TB Paru. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret
Sidabutar, B., Soepardi S., Alan T. 2004. Nutritional Status of Under-Five
Pulmonary Tuberculosis Patients Before and After Six-Month Therapy.
Pediatrica Indonesia, Vol: 44, No: 1-2: 23-24
Supariasa, IDN., Bakri, B., Fajar, I. 2014. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta.
Supriyo, dkk. 2013. Pengaruh Perilakudan Status Gizi terhadap KejadianTBC
Paru di Kota Pekalongan. Semarang: Poltekes Semarang.
Triawanti, Fakkhurrozi M., Waspada C,. 2005. Perubahan Indeks Massa Tubuh
Penderita Tuberkulosis Paru Setelah Mendapat Obat Antituberkulosis Fase
Intensif. BKM/XXI/03/September/2005.
Vasantha M, PG Gopi, R Subramani. 2009. Weight Gain in Patients With
Tuberculosis Treated Under Directly Observed Treatment Short-Course
(DOTS). Indian Journal of Tuberculosis. 56: 5-9.
WHO. 2016. Tuberculosis Report 2016. Diakses 30 Mei 2017.
Wijayanti, H. 2018. Perbedaan Kecukupan Energi, Protein dan Status Gizi
Pasien TBC Paru Pada Fase Intensif dan Fase Lanjutan Di BBKPM
Surakarta. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.