hubungan persepsi komunikasi berpusat pada …digilib.unila.ac.id/55552/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN PERSEPSI KOMUNIKASI BERPUSAT PADA PASIEN
DENGAN KEPUASAN PADA PASIEN KONTROL DIABETES MELITUS
TIPE 2 DI PUSKESMAS KEDATON BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
AGNES TRILANSIA PRATIWI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
HUBUNGAN PERSEPSI KOMUNIKASI BERPUSAT PADA PASIEN
DENGAN KEPUASAN PADA PASIEN KONTROL DIABETES MELITUS
TIPE 2 DI PUSKESMAS KEDATON BANDAR LAMPUNG
Oleh
AGNES TRILANSIA PRATIWI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ii
iii
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 29 Mei 1996, sebagai anak ketiga dari
tiga bersaudara. Penulis merupakan putri ketiga dari pasangan Bapak Hamdani
Wijonarko dan Ibu Endang Etty Setiawati. Kakak pertama penulis adalah (Alm)
Arry Handoko dan kakak kedua penulis bernama Andry Prayogo.
Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) ditempuh di TK Budhi Dharma selama 1
tahun dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) penulis
dijalani di SD Negeri Pejuang VII sampai tahun 2008. Pendidikan dilanjutkan di
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 256 Jakarta dan dapat diselesaikan tahun
2011. Selanjutnya Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 12
Jakarta sampai tahun 2014.
Pada tahun 2015, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Selama aktif menjadi mahasiswa, penulis juga aktif dalam
mengikuti organisasi dalam kampus dan luar kampus. Penulis tercatat sebagai
Executive apperentice BEM FK Universitas Lampung periode 2015-2016, sebagai
Sekretaris Biro KIK BEM FK Universitas Lampung periode 2016-2017, dan
diamanahkan menjadi Wakil Gubernur Mahasiswa BEM FK Universitas Lampung
periode 2017-2018.
Selain itu, penulis juga aktif menjadi anggota Lampung Universiy Medical
Research (LUNAR) periode 2015-2016 dan menjadi Wakil Sekretaris Umum
LUNAR FK Universitas Lampung periode 2016-2017. Penulis merupakan tim
Asisten Dosen Anatomi periode 2017-2018. Organisasi lain yang pernah diikuti
oleh penulis adalah Paguyuban KSE Universitas Lampung dari tahun 2016-2019
sebagai Wakil Ketua Divisi dimana penulis mendapatkan beasiswa KSE mulai
semester 3 hingga saat ini.
Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, penulis
meraih beberapa prestasi yaitu Juara III Poster Infografis di Dentistry Scientific
Competition and Exhebition 2018 di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Yarsi
dan menjadi Finalist Unila Medical Olympiad 2018. Penulis juga memiliki karya
ilmiah berupa jurnal tinjauan pustaka yang telah disebarluaskan dengan judul
pengaruh esktrak rosella (Hibiscus sabdariffa linn) dalam menurunkan kadar gula
darah untuk diabetes melitus.
Segala puji syukur kepada Allah Swt
Ku persembahkan karya kecilku untuk keluarga tercinta
Papa, Mama, Mas Arry, Mas Andry
dan orang-orang yang menyayangiku
Happiness is not something that you have to achieve
You can still feel happy during the process of achieving something
Love yourself
-RM
SANWACANA
Puji dan syukur penulis hanturksn kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya selama pelaksanaan penyusunan skripsi dengan judul
“Hubungan Persepsi Komunikasi Berpusat Pada Pasien dengan Kepuasan Pada
Pasien Kontrol Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung”
dapat diselesaikan.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan, saran,
bimbingan, masukan, serta kritikan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
dengan segenap kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih
yang mendalam kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku rektor Universitas Lampung.
2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
3. Dr. dr. TA Larasati, S.Ked., M.Kes., selaku Pembimbing Utama yang telah
meluangkan waktu, memberikan bimbingan, nasihat, saran, kritik membangun,
dan motivasi selama penyusunan skripsi ini.
4. dr. Agustyas Tjiptaningrum, S.Ked., Sp.PK., selaku Pembimbing Kedua yang
telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan, saran, nasihat, motivasi, dan
kritik yang membangun dalam penulisan skripsi ini.
ii
5. dr. Azelia Nusadewiarti, S.Ked., M.P.H., selaku Penguji Utama (Pembahas)
yang telah meluangkan waktu, memberikan ilmu dan nasihat yang membangun
kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
6. dr. Ety Apriliana, S.Ked., M.Biomed., selaku Pembimbing Akademik yang
telah memberikan bimbingan dan nasihat kepada penulis selama ini.
7. Seluruh staf dosen dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
atas ilmu, waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama proses
perkuliahan.
8. Kepada Papa (Hamdani Wijonarko) dan Mama (Endang Ety Setiawati), terima
kasih atas segala yang telah diberikan selama ini, kasih sayang, perhatian,
dukungan, nasihat serta doa yang telah dipanjatkan selama ini.
9. Kepada Kakak Pertama (Alm.) Arry Handoko dan Kakak Kedua (Andry
Prayogo) penulis yang tercinta, terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian,
nasihat serta doa yang selama ini diberikan kepada penulis.
10. Terima kasih kepada Keluarga Puskesmas Kedaton dan Labuhan Ratu atas
segala doa, ilmu, dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis selama
mengerjakan penelitian ini.
11. Terima kasih kepada sahabat sejak kecil, Markhamah Isnaini, Alifah Rianti, dan
Tri Septi Ningrum yang telah memberikan dukungan, doa dan motivasi selama
ini.
12. Terima kasih kepada sahabat “Sleeping Beauty”, Alinta Ayuningtyas, Mutia
Diah Pratiwi, Winda Puspita Sari, Fitria Putri Dewi, Chika Tania, dan Dinda
Afifa atas dukungan, motivasi, saran, dan doa yang telah diberikan kepada
penulis selama perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
iii
13. Keluarga besar Asisten Dosen Anatomi angkatan 2015, terima kasih atas
dukungan, motivasi, ilmu, dan kebersamaannya selama ini.
14. Terima kasih kepada keluarga besar BEM FK UNILA periode 2016/2017 dan
2017/2018 atas dukungan, doa dan kebersamaan selama ini.
15. Terima kasih kepada kak WBS telah membantu penulis dan memberikan
dukungan dalam penyusunan skripsi selama ini.
16. Terima kasih teman-teman ENDOM15IUM atas dukungan, doa, motivasi, dan
kebersamaannya selama ini.
17. Semua yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis
sebutkaan satu per satu, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan doa
selama ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan atau
informasi untuk pembaca. Akhir kata, penulis memohon maaf atas segala kesalahan
dan kekurangan. Terima kasih.
Bandar Lampung, 8 Januari 2019
Penulis
Agnes Trilansia Pratiwi
iv
ABSTRACT
THE ASSOCIATION OF PERCEIVED PATIENT CENTERED
COMMUNICATION WITH PATIENT SATISFACTION OF TYPE 2 DIABETES
MELLITUS PATIENT AT KEDATON HEALTH CENTER
IN BANDAR LAMPUNG
By
AGNES TRILANSIA PRATIWI
Background: Doctor-patient communication is one of the important interpersonal skills in
building a doctor patient relationship and must be applied in health care. Patient centered
communication that is well established will have a good impact on patient obedience and
satisfaction in chronic disease treatment. One of the chronic disease treatment that needs a
patient obedience is diabetes mellitus. The purpose of this study was to determine the
association of perceived patient centered communication with patient satisfaction of type
2 diabetes mellitus patient at Kedaton health center in Bandar Lampung.
Method: This study is a quantitive reasearch with cross sectional design method that was
conducted at Kedaton health center with total of 60 respondents. The independent variable
is perceived patient centered communication and the dependent variable is patient
satisfaction. The study was conducted by interview using a perceived patient centered
communication and patient satisfaction questionnaires to the respondents that consist of 20
question items with each item is measured on a 4 point Likert scale including: 1=strongly
disagree, up to 4=strongly agree with a total score 20-80.
Results: The result of Pearson correlation test were the correlation coefficient of 0,683 with
significance value 0,00 (sig.<0,05).
Conclusion: There is significant association of perceived patient centered communication
with patient satisfaction of type 2 diabetes mellitus patient at Kedaton health center in
Bandar Lampung.
Keywords: diabetes mellitus, patient satisfaction, perceived patient centered
communication.
v
ABSTRAK
HUBUNGAN PERSEPSI KOMUNIKASI BERPUSAT PADA PASIEN DENGAN
KEPUASAN PADA PASIEN KONTROL DIABETES MELITUS TIPE 2 DI
PUSKESMAS KEDATON BANDAR LAMPUNG
Oleh
AGNES TRILANSIA PRATIWI
Latar Belakang: Komunikasi antara dokter dan pasien adalah salah satu kemampuan
interpersonal yang sangat penting dan harus diterapkan di tempat pelayanan kesehatan.
Komunikasi berpusat pada pasien yang terjalin dengan baik akan berdampak baik terhadap
kepatuhan dan kepuasan pasien dalam menjalani pengobatan penyakitnya. Salah satu
penatalaksanaan penyakit kronik yang membutuhkan kepatuhan pasien adalah diabetes
melitus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi
komunikasi berpusat pada pasien dengan kepuasan pasien kontrol DM tipe 2 di puskesmas
Kedaton Bandar Lampung.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode rancangan cross
sectional (studi potong lintang) di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung dengan jumlah 60
responden. Variabel bebas dalam penelitian adalah persepsi komunikasi berpusat pada
pasien dan variabel terikat adalah kepuasan pasien. Penelitian dilakukan dengan cara
wawancara menggunakan kuesioner persepsi komunikasi berpusat pasien dan kuesioner
kepuasan pasien kepada responden. Kuesioner terdiri dari 20 item pertanyaan
menggunakan skala Likert dengan skor 1=sangat tidak setuju, sampai =sangat setuju
dengan total skor adalah 20-80.
Hasil: Hasil penelitian dari uji korelasi Pearson yaitu koefisien korelasi sebesar 0,683
dengan nilai signifikansi 0,00 (sig.<0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara persepsi komunikasi berpusat pada
pasien dengan kepuasan pasien kontrol DM tipe 2 di puskesmas Kedaton Bandar Lampung.
Kata kunci: diabetes melitus, kepuasan pasien, persepsi komunikasi berpusat pada
pasien.
vi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI..................................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 4
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................................. 4
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................................... 5
1.4.1 Bagi Peneliti..................................................................................................... 5
1.4.2 Bagi Institusi .................................................................................................... 5
1.4.3 Bagi Peneliti Lain ............................................................................................ 5
1.4.4 Bagi Instansi Kesehatan ................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Dokter Pasien........................................................................................ 6
2.1.1 Definisi komunikasi dokter pasien ......................................................................... 6
2.1.2 Pendekatan komunikasi dokter pasien ............................................................ 8
2.1.3 Patient-centered communication ..................................................................... 9
2.1.4 Manfaat komunikasi dokter pasien ............................................................... 12
2.1.5 Aspek komunikasi dokter pasien .................................................................. 13
2.2 Kepuasan Pasien ..................................................................................................... 20
2.2.1 Definisi, hak dan kewajiban pasien ............................................................... 20
2.2.2 Definisi kepuasan ................................................................................................. 23
2.2.3 Pelayanan kesehatan bermutu ........................................................................ 23
vii
2.2.4 Aspek-aspek kepuasan pasien ........................................................................ 27
2.3 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) ............................................................. 28
2.3.1 Pelayanan kesehatan tingkat primer ............................................................. 28
2.3.3 Pusat Kesehatan Masyarakat di Bandar Lampung......................................... 30
2.4 Diabetes Melitus ..................................................................................................... 31
2.4.1 Definisi diabetes melitus .............................................................................. 31
2.4.2 Etiologi dan klasifikasi diabetes melitus ...................................................... 31
2.4.3 Diagnosis diabetes melitus ........................................................................... 33
2.5 Kerangka Penelitian ................................................................................................ 35
2.5.1 Kerangka Teori .............................................................................................. 35
2.5.2 Kerangka Konsep........................................................................................... 35
2.6 Hipotesis ................................................................................................................. 36
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ................................................................................................... 37
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................. 37
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................................. 37
3.3.1 Populasi ......................................................................................................... 37
3.3.2 Sampel ........................................................................................................... 38
3.4 Kriteri Inklusi dan Eklusi ........................................................................................ 38
3.4.1 Kriteria Inklusi ............................................................................................... 38
3.4.2 Kriteria Eklusi ................................................................................................ 38
3.5 Identifikasi Variabel ............................................................................................... 39
3.6 Definisi Operasional ............................................................................................... 39
3.7 Metode Pengumpulan Data .................................................................................... 40
3.8 Instrumen Penelitian ............................................................................................... 40
3.9 Prosedur Penelitian ................................................................................................. 41
3.10 Pengolahan Data dan Analisis Data ..................................................................... 42
3.11 Etika Penelitian ..................................................................................................... 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian .................................................................................................... 44
4.1.1 Analisis Univariat ......................................................................................... 45
4.1.2 Analisis Bivariat ............................................................................................ 54
4.2 Pembahasan Penelitian ......................................................................................... 57
4.2.1 Analisis Univariat .......................................................................................... 57
viii
4.2.2 Analisis Bivariat ............................................................................................ 69
1.3 Keterbatasan Penelitian .......................................................................................... 72
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan ................................................................................................................. 74
5.2 Saran ...................................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 76
LAMPIRAN..................................................................................................................... 80
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl).....................................................................................34
2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes................................. 34
3. Definisi operasional........................................................................................41
4. Karakteristik subjek penelitian........................................................................45
5. Distribusi persepsi komunikasi berpusat pada pasien.....................................47
6. Distribusi kepuasan pada pasien.....................................................................52
7. Normalitas data persepsi komunikasi berpusat pasien dan kepuasan pasien
DM tipe 2........................................................................................................56
8. Normalitas data persepsi komunikasi berpusat pasien setelah
ditransformasi.................................................................................................57
9. Uji korelasi Pearson.......................................................................................58
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka teori...................................................................................................36
2. Kerangka konsep...............................................................................................36
3. Alur Penelitian...................................................................................................43
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komunikasi antara dokter, pasien dan keluarga pasien merupakan hal yang
sangat penting dalam kompetensi seorang dokter (Association of American
Medical Colleges, 2008). Komunikasi antara dokter dan pasien yang efektif
adalah salah satu kompetensi yang penting dikuasi oleh dokter dan harus
diterapkan di tempat pelayanan kesehatan. Standar Kompetensi Dokter
Indonesia (SKDI) menetapkan tujuh area kompetensi dokter dan area
komunikasi efektif sebagai kompetensi pertama. Kompetensi komunikasi
dokter dan pasien yang efektif dapat menentukan keberhasilan dalam
membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien (Konsil Kedokteran
Indonesia, 2006).
Berdasarkan pernyataan dari Institute of Medicine (US) Committee on Quality
of Health Care in America pada tahun 2001, pelayanan kesehatan seharusnya
lebih berpusat pada pasien (patient-centered) yaitu lebih responsif terhadap
kebutuhan dan perspektif pasien, dengan nilai-nilai pasien dalam pengambilan
keputusan (Institute of Medicine (US) Committee on Quality of Health Care in
America, 2001; King & Hoppe, 2013). Epstein & Street, menawarkan definisi
2
operasional tentang komunikasi yang berpusat pada pasien (patient-centered
communication) yaitu: (1) memunculkan dan memahami perspektif pasien
(kekhawatiran, gagasan, harapan, kebutuhan, dan perasaan), (2) memahami
pasien dari segi psikososial dan konteks budaya unik, (3) mencapai
pemahaman bersama tentang masalah pasien dan perawatan yang diinginkan
dan dibutuhkan pasien (Epstein RM, Street RL, 2007).
Patient-centred care atau pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien
adalah pendekatan inovatif untuk perencanaan, pengiriman dan evaluasi
pelayanan kesehatan yang didasarkan pada kemitraan yang saling
menguntungkan antara penyedia layanan kesehatan, pasien, dan keluarga
pasien. Salah satu keuntungan dari pendekatan patient-centred care adalah
fokus pada peningkatan kepuasan pasien (Australian Commission on Safety
and Quality in Health Care, 2010).
Manfaat Komunikasi antara dokter dan pasien yang baik adalah terwujudnya
kepuasaan pasien dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter,
kepatuhan pasien dalam pengobatan yang diberikan untuk kesembuhan pasien,
informasi yang diberikan oleh pasien akan memudahkan penegakan diagnosis,
dan mengurangi malpraktik dalam pelayanan kesehatan (Alfitri, 2013).
Kepuasan pasien adalah tingkat perasaan yang dirasakan oleh pasien setelah
merasakan kinerja atau hasil dari layanan kesehatan yang didapatkannya dan
dibandingkan dengan harapannya. Kepuasan pasien adalah hal yang sangat
penting dinilai oleh penyedia layanan kesehatan karena jika pasien merasa
puas, maka mereka akan menggunakan layanan kesehatan tersebut terus-
3
menerus, namun jika pasien merasa tidak puas maka mereka akan
menyebarkan pengalaman kurang baik yang mereka dapatkan kepada orang
lain (Wahyuni, Yanis, & Erly, 2013).
Komunikasi dokter pasien sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan
terutama di tingkat pelayanan kesehatan primer yang salah satunya yaitu
puskesmas. Puskesmas adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan primer
untuk masyarakat Indonesia yang bertugas sebagai unit pelaksana teknis dinas
kesehatan kabupaten atau kota yang mempunyai tanggungjawab untuk
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah dan merupakan
penanggung jawab penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat pertama (Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2014). Pendekatan pelayanan yang
berkualitas oleh Puskesmas mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan
(UKP) dan upaya kesehatan masyarakat (UKM) secara berkesinambungan
dengan target keluarga yang memerlukan komunikasi dokter pasien yang
berkualitas yaitu salah satunya patient-centered communication.
Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang ditandai dengan
kadar glukosa dalam darah yang tinggi. Diabetes melitus dapat menyerang
semua lapisan masyarakat dan termasuk penyakit yang tidak dapat
disembuhkan secara total, sehingga penderita diabetes melitus harus
mengontrol dan menjaga kadar glukosa darahnya agar tetap normal dan dapat
melakukan aktivitas harian dengan baik. Hal tersebut didasari oleh hubungan
komunikasi dokter dan pasien diabetes melitus saat pasien rutin melakukan
pengobatan dan kontrol glukosa darah (Utami, 2008). Hubungan komunikasi
4
dokter pasien yang terjalin dengan baik akan berdampak baik terhadap
kepatuhan dan kepuasan pasien dalam menjalani pengobatan penyakitnya,
dimana peniliti memilih puskesmas Kedaton Bandar Lampung sebagai sarana
kesehatan yang menggunakan prinsip patient centered communication sebagai
sarana pelayanan kesehatan tingkat primer yang meraih penilaian baik dan
terakreditasi dengan akreditasi utama juga memiliki jumlah pasien DM tipe 2
yang lebih banyak dibanding puskemas lainnya untuk diteliti.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai
hubungan antara komunikasi dokter pasien dengan kepuasan pasien diabetes
melitus tipe 2 di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan peneliti, maka
peneliti menyusun rumusan masalah yaitu apakah terdapat hubungan antara
persepsi komunikasi berpusat pada pasien dengan kepuasan pada pasien
kontrol diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara persepsi komunikasi berpusat pada pasien
dengan kepuasan pada pasien kontrol diabetes melitus tipe 2 di
Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui persepsi komunikasi berpusat pada pasien di Puskesmas
Kedaton Bandar Lampung.
5
b. Mengetahui kepuasan pada pasien kontrol diabetes melitus tipe 2 di
Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Untuk mengembangkan kemampuan penelitian dan mengetahui
hubungan antara persepsi komunikasi berpusat pada pasien dengan
kepuasan pada pasien diabetes melitus tipe 2.
1.4.2 Bagi Institusi
Sebagai bahan kepustakaan atau sumber bacaan di Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
1.4.3 Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai dasar atau referensi dari
penelitian selanjutnya.
1.4.4 Bagi Instansi Kesehatan
Sebagai masukan untuk pelayanan di instansi terkait dalam
meningkatkan persepsi komunikasi berpusat pada pasien terkait
kepuasan pasien diabetes melitus tipe 2 terhadap pelayanan kesehatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Dokter Pasien
2.1.1 Definisi komunikasi dokter pasien
Komunikasi adalah proses pengiriman informasi dari pengirim kepada
penerima dimana informasi tersebut harus dimengerti oleh penerima
(Koontz & Weihrich, 1988). Sedangkan menurut Terry & Franklin
(1982), komunikasi adalah suatu seni dari pengembangan dan
pencapaian kepahaman diantara 2 orang atau lebih, dimana hal tersebut
mencakup proses pertukaran informasi dan perasaan antara 2 orang atau
lebih dan hal tersebut sangat penting untuk manajemen efektif.
Komunikasi kesehatan adalah komunikasi yang yang melibatkan
komponen-komponen dalam pelayanan kesehatan seperti penyedia
layanan kesehatan, tenaga kesehatan, pasien, keluarga pasien, maupun
proses pelayanan itu sendiri. Komunikasi kesehatan mencakup
pemanfaatan jasa komunikasi untuk menyampaikan informasi dan
mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pelayanan kesehatan.
Komunikasi kesehatan juga dapat digunakan untuk menyebarluaskan
informasi kepada masyarakat tentang kesehatan agar tercapai perilaku
7
hidup sehat, perubahan sikap dan motivasi pada masyarakat
(Rahmadiana, 2012).
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006), komunikasi dokter pasien
adalah hubungan yang berlangsung antara dokter/dokter gigi dengan
pasiennya selama proses pemeriksaan/pengobatan/perawatan yang
terjadi di ruang praktik perorangan, poliklinik, rumah sakit, dan
puskesmas dalam rangka membantu menyelesaikan masalah kesehatan
pasien.
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang
ditimbulkan oleh kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang
menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien hanya
akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya
bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan
pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat
mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun
percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada
proses penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman
ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan
nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk
kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat
membantu menyelesaikan masalah kesehatannya (Konsil Kedokteran
Indonesia, 2006).
8
Menurut Kurtz (1998), komunikasi efektif justru tidak memerlukan
waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu
karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin
sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya komunikasi yang
efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan
sehingga dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah
kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien.
Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasien adalah untuk
mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk
dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih
efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).
Komunikasi efektif merupakan salah satu dari area kompetensi seorang
dokter yang juga sebagai rumah bangun kompetensi dokter Indonesia
selain aspek perilaku profesional, mawas diri dan pengembangan diri.
Kompetensi komunikasi efektif memiliki kompetensi inti yaitu dokter
harus mampu menggali dan bertukar informasi secara verbal dan
nonverbal dengan pasien pada semua usia, anggota keluarga, masyarakat,
kolega, dan profesi lain (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012).
2.1.2 Pendekatan komunikasi dokter pasien
Menurut Kurtz (dalam Konsil Kedokteran Indonesia, 2006), dalam dunia
kedokteran ada dua pendekatan komunikasi yang digunakan:
1. Disease-centered communication style atau doctor-centered
communication style. Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter
9
dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan
penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala.
2. Illness-centered communication style atau patient-centered
communication style. Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan
pasien tentang penyakitnya yang secara individu merupakan
pengalaman unik dan termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya,
harapannya, apa yang menjadi kepentingannya serta apa yang
dipikirkannya.
Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan,
kecemasan, serta kebutuhan pasien, patient centered communication
style sebenarnya tidak memerlukan waktu lebih lama dari pada doctor
centered communication style.
2.1.3 Patient-centered communication
Menurut Picker Institute (2013), pelayanan berpusat pada pasien atau
patient-centered care memiliki 8 prinsip yaitu sebagai berikut:
1. Menghargai pendapat pasien (respect for patients’ preferences)
2. Pelayanan berkoordinasi dan berintegrasi (coordination and
integration care)
3. Informasi dan edukasi (information and education)
4. Kenyamanan fisik (physical comfort)
5. Dukungan emosional (emotional support)
6. Keterlibatan keluarga dan kerabat (involvement of family and friends)
7. Keberlanjutan dan transisi (continuity and transition)
8. Akses ke pelayanan kesehatan (access to care)
10
Pelayanan kesehatan berpusat pada pasien (patient centered-care)
memberikan pelayanan yang menghormati dan merespon keinginan
pasien, kebutuhan pasien, nilai-nilai pasien dan memastikan nilai-nilai
tersebut dihormati dalam proses pelayanan kesehatan.
Komunikasi berpusat pada pasien adalah konstruksi kompleks, yang
memiliki hubungan diferensial dengan hasil seperti kepuasan pasien dan
pengendalian penyakit kronis. Kebanyakan dokter cenderung
menggunakan gaya komunikasi biomedis dan bukan berpusat pada
pasien, sedangkan kebanyakan pasien lebih menyukai pendekatan yang
berpusat pada pasien (Epstein et al., 2005).
Beberapa penelitian yang meneliti perawatan berpusat pada pasien di AS
(Goodrich, J. Cornwell, J 2008) telah mengidentifikasi elemen inti dalam
patient-centered communication seperti:
1. Pendidikan dan pengetahuan bersama
2. Keterlibatan keluarga dan teman
3. Kolaborasi dan manajemen tim
4. Kepekaan terhadap dimensi perawatan nonmedis dan spiritual
5. Menghormati kebutuhan dan preferensi pasien
6. Arus bebas dan aksesibilitas informasi.
Demikian pula, Robb dan Seddon dalam Australian Commission on
Safety and Quality in Health Care (2010) mengidentifikasi konsep umum
berikut ini dalam definisi patient-centered care:
11
1. Menginformasikan dan melibatkan pasien
2. Memunculkan dan menghormati preferensi pasien
3. Melibatkan pasien dalam proses perawatan
4. Merawat pasien dengan bermartabat
5. Merancang proses perawatan yang sesuai dengan kebutuhan
pasien, bukan penyedia
6. Akses terhadap informasi kesehatan
7. Kesinambungan perawatan
Menurut International Alliance of Patients’ Organizations, unsur yang
paling umum dalam definisi perawatan yang berpusat pada pasien adalah
menghormati kebutuhan, keinginan, preferensi dan nilai pasien
(International Alliance of Patients’ Organizations, 2007).
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan
melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak,
khususnya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati.
Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki
ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari
dan dilatih (Konsil Kedokteran Indonesia, 2006).
Carma L. Bylund & Gregory Makoul (dalam Konsil Kedokteran
Indonesia, 2017), menyatakan betapa pentingnya empati ini
dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan
definisi berikut:
12
1. Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan
pasien (a physician cognitive capacity to understand patient’s needs).
2. Menunjukkan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien
(an affective sensitivity to patient’s feelings).
3. Kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan
empatinya kepada pasien (a behavioral ability to convey empathy to
patient).
2.1.4 Manfaat komunikasi dokter pasien
Menurut Alfitri (2013), manfaat komunikasi antara dokter dan pasien
yang baik yaitu sebagai berikut:
1. Memperoleh data tentang masalah/ keluhan yang dirasakan oleh
pasien
2. Mempererat hubungan antara dokter dan pasien
3. Terwujudnya kepuasaan pasien dalam pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh dokter
4. Kepatuhan pasien dalam pengobatan yang diberikan untuk
kesembuhan pasien
5. Informasi yang diberikan oleh pasien akan memudahkan penegakan
diagnosis
6. Mengurangi malpraktik dalam pelayanan kesehatan
13
2.1.5 Aspek komunikasi dokter pasien
2.1.4.1 Sikap profesional dokter
Sikap profesional seorang dokter ditunjukkan ketika dokter
berhadapan dengan tugasnya (dealing with task), yang berarti
mampu menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai peran dan
fungsinya; mampu mengatur diri sendiri seperti ketepatan waktu,
pembagian tugas profesi dengan tugas-tugas pribadi yang lain
(dealing with one-self); dan mampu menghadapi berbagai macam
tipe pasien serta mampu bekerja sama dengan profesi kesehatan
yang lain (dealing with others).
Di dalam proses komunikasi dokter-pasien, sikap profesional ini
penting untuk membangun rasa nyaman, aman, dan percaya pada
dokter, yang merupakan landasan bagi berlangsungnya
komunikasi secara efektif (Silverman, 1998). Sikap profesional
ini hendaknya dijalin terus-menerus sejak awal konsultasi, selama
proses konsultasi berlangsung, dan di akhir konsultasi. Contoh
sikap dokter ketika menerima pasien:
1. Menyilakan masuk dan mengucapkan salam.
2. Memanggil/menyapa pasien dengan namanya.
3. Menciptakan suasana yang nyaman (isyarat bahwa punya
cukup waktu, menganggap penting informasi yang akan
diberikan, menghindari tampak lelah).
14
4. Memperkenalkan diri, menjelaskan tugas/perannya (apakah
dokter umum, spesialis, dokter keluarga, dokter paliatif,
konsultan gizi, konsultan tumbuh kembang, dan lainlain).
5. Menilai suasana hati lawan bicara
6. Memperhatikan sikap non-verbal (raut wajah/mimik,
gerak/bahasa tubuh) pasien.
7. Menatap mata pasien secara profesional yang lebih terkait
dengan makna menunjukkan perhatian dan kesungguhan
mendengarkan.
8. Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan
interupsi yang tidak perlu.
9. Menunjukkan raut wajah dan sikap yang tenang, apabila
pasien marah, menangis, takut, dan sebagainya maka dokter
tetap
10. Melibatkan pasien dalam rencana tindakan medis selanjutnya
atau pengambilan keputusan.
11. Memeriksa ulang segala sesuatu yang belum jelas bagi kedua
belah pihak.
12. Melakukan negosiasi atas segala sesuatu berdasarkan
kepentingan kedua belah pihak.
13. Membukakan pintu, atau berdiri ketika pasien hendak pulang.
2.1.4.2 Sesi pengumpulan informasi
Di dalam komunikasi dokter-pasien, ada dua sesi yang penting,
yaitu sesi pengumpulan informasi yang di dalamnya terdapat
15
proses anamnesis, dan sesi penyampaian informasi. Tanpa
penggalian informasi yang akurat, dokter dapat terjerumus ke
dalam sesi penyampaian informasi (termasuk nasihat, sugesti atau
motivasi dan konseling) secara prematur. Akibatnya pasien tidak
melakukan sesuai anjuran dokter (Konsil Kedokteran Indonesia,
2006).
Sesi penggalian informasi terdiri dari:
1. Mengenali alasan kedatangan pasien, dimana belum tentu
keluhan utama secara medis (Silverman, 1998)
Pasien menceritakan keluhan atau apa yang dirasakan sesuai
sudut pandangnya (illness perspective). Pasien berada pada
posisi sebagai orang yang paling tahu tentang dirinya karena
mengalaminya sendiri. Sesi ini akan berhasil apabila dokter
mampu menjadi pendengar yang aktif (active listerner).
Pendengar yang aktif adalah fasilitator yang baik sehingga
pasien dapat mengungkapkan kepentingan, harapan,
kecemasannya secara terbuka dan jujur. Hal ini akan
membantu dokter dalam menggali riwayat kesehatannya yang
merupakan data-data penting untuk menegakkan diagnosis.
2. Penggalian riwayat penyakit (Van Thiel, 2000)
Penggalian riwayat penyakit (anamnesis) dapat dilakukan
melalui pertanyaanpertanyaan terbuka dahulu, yang
kemudian diikuti pertanyaan tertutup yang membutuhkan
jawaban ”ya” atau ”tidak”. Dokter sebagai seorang yang ahli,
16
akan menggali riwayat kesehatan pasien sesuai kepentingan
medis (disease perspective).
Selama proses ini, fasilitasi terus dilakukan agar pasien
mengungkapkan keluhannya dengan terbuka, serta proses
negosiasi saat dokter hendak melakukan komunikasi satu arah
maupun rencana tindakan medis.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang dapat ditanyakan:
1. Bagaimana pusing tersebut Anda rasakan, dapat diceritakan
lebih jauh?
2. Menurut Anda pusing tersebut reda bila Anda melakukan
sesuatu, meminum obat tertentu, atau bagaimana menurut
Anda?
Sedangkan pertanyaan tertutup yang merupakan inti dari
anamnesis meliputi:
1. Eksplorasi terhadap riwayat penyakit dahulu
2. Eksplorasi terhadap riwayat penyakit keluarga
3. Eksplorasi terhadap riwayat penyakit sekarang
4. Eksplorasi terhadap gaya hidup
2.1.4.3 Sesi penyampaian informasi
Setelah sesi sebelumnya dilakukan dengan akurat, maka dokter
dapat sampai kepada sesi memberikan penjelasan. Tanpa
informasi yang akurat di sesi sebelumnya, dokter dapat terjebak
17
kedalam kecurigaan yang tidak beralasan (Konsil Kedokteran
Indonesia, 2006).
Secara ringkas ada 6 (enam) hal yang penting diperhatikan agar
efektif dalam berkomunikasi dengan pasien, yaitu:
1. Materi Informasi apa yang disampaikan
a. Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisik (kemungkinan
rasa tidak nyaman/sakit saat pemeriksaan).
b. Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnosis.
c. Berbagai tindakan medis yang akan dilakukan untuk
menentukan diagnosis, termasuk manfaat, risiko, serta
kemungkinan efek samping/komplikasi.
d. Hasil dan interpretasi dari tindakan medis yang telah
dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
e. Diagnosis
f. Pilihan tindakan medis untuk tujuan terapi (kekurangan
dan kelebihan masingmasing cara).
g. Prognosis.
h. Dukungan (support) yang tersedia.
2. Siapa yang diberi informasi
a. Pasien, apabila dia menghendaki dan kondisinya
memungkinkan.
b. Keluarganya atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien.
c. Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali/pengampu
dan bertanggung jawab atas pasien kalau kondisi pasien
18
tidak memungkinkan untuk berkomunikasi sendiri secara
langsung.
3. Berapa banyak atau sejauh mana
a. Untuk pasien: sebanyak yang pasien kehendaki, yang
dokter merasa perlu untuk disampaikan, dengan
memerhatikan kesiapan mental pasien.
b. Untuk keluarga: sebanyak yang pasien/keluarga
kehendaki dan sebanyak yang dokter perlukan agar dapat
menentukan tindakan selanjutnya.
4. Kapan menyampaikan informasi Segera, jika kondisi dan
situasinya memungkinkan.
5. Di mana menyampaikannya
a. Di ruang praktik dokter.
b. Di bangsal, ruangan tempat pasien dirawat.
c. Di ruang diskusi.
d. Di tempat lain yang pantas, atas persetujuan bersama,
pasien/keluarga dan dokter.
e. Di telepon jika jarak jauh
6. Bagaimana menyampaikannya
a. Informasi penting sebaiknya dikomunikasikan secara
langsung, tidak melalui telepon, juga tidak diberikan
dalam bentuk tulisan yang dikirim melalui pos, faksimile,
sms, internet.
19
b. Persiapan meliputi: materi yang akan disampaikan (bila
diagnosis, tindakan medis, prognosis sudah disepakati
oleh tim); ruangan yang nyaman, memperhatikan privasi,
tidak terganggu orang lalu lalang, suara gaduh dari
tv/radio, telepon; waktu yang cukup; mengetahui orang
yang akan hadir (sebaiknya pasien ditemani oleh
keluarga/orang yang ditunjuk; bila hanya keluarga yang
hadir sebaiknya lebih dari satu orang).
c. Jajaki sejauh mana pengertian pasien/keluarga tentang hal
yang akan dibicarakan.
d. Tanyakan kepada pasien/keluarga, sejauh mana informasi
yang diinginkan dan amati kesiapan pasien/keluarga
menerima informasi yang akan diberikan.
2.1.4.4 Langkah-langkah komunikasi dokter pasien
Ada empat langkah yang terangkum dalam satu kata untuk
melakukan komunikasi, yaitu SAJI (Poernomo, Ieda SS, 2004).
S = Salam
A = Ajak Bicara
J = Jelaskan
I = Ingatkan
Secara rinci penjelasan mengenai SAJI adalah sebagai berikut.
Salam: Beri salam, sapa dia, tunjukkan bahwa Anda bersedia
meluangkan waktu untuk berbicara dengannya.
20
Ajak Bicara: Usahakan berkomunikasi secara dua arah. Jangan
bicara sendiri. Dorong agar pasien mau dan dapat mengemukakan
pikiran dan perasaannya. Tunjukkan bahwa dokter menghargai
pendapatnya, dapat memahami kecemasannya, serta mengerti
perasaannya. Dokter dapat menggunakan pertanyaan terbuka
maupun tertutup dalam usaha menggali informasi.
Jelaskan: Beri penjelasan mengenai hal-hal yang menjadi
perhatiannya, yang ingin diketahuinya, dan yang akan
dijalani/dihadapinya agar ia tidak terjebak oleh pikirannya
sendiri. Luruskan persepsi yang keliru. Berikan penjelasan
mengenai penyakit, terapi, atau apapun secara jelas dan detil.
Ingatkan: Percakapan yang dokter lakukan bersama pasien
mungkin memasukkan berbagai materi secara luas, yang tidak
mudah diingatnya kembali. Di bagian akhir percakapan, ingatkan
dia untuk hal-hal yang penting dan koreksi untuk persepsi yang
keliru. Selalu melakukan klarifikasi apakah pasien telah mengerti
benar, maupun klarifikasi terhadap hal-hal yang masih belum
jelas bagi kedua belah pihak serta mengulang kembali akan
pesan-pesan kesehatan yang penting.
2.2 Kepuasan Pasien
2.2.1 Definisi, hak dan kewajiban pasien
Menurut peraturan Menkes RI No.269/Menkes/Per/III/2008 tentang
rekam medis bab 1, Pasal 1 “Pasien adalah setiap orang yang melakukan
konsultasi masalah kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan
21
yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
dokter atau dokter gigi” (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2008).
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang
rumah sakit, pasal 32, yaitu setiap pasien mempunyai hak:
1. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit.
2. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien.
3. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi.
4. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional.
5. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi
6. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan.
7. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit.
8. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun
di luar Rumah Sakit.
9. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya.
10. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan
22
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.
11. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.
12. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
13. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
14. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit.
15. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya.
16. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan
agama dan kepercayaan yang dianutnya.
17. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana; dan r. mengeluhkan pelayanan Rumah
Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media
cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Sedangkan, pasal 31 menyebutkan kewajiban pasien adalah sebagai
berikut:
1. Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas
pelayanan yang diterimanya.
23
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan
Peraturan Menteri.
2.2.2 Definisi kepuasan
Kepuasan adalah perasaan senang seseorang yang berasal dari
perbandingan antara kesenangan terhadap aktivitas dan suatu produk
dengan harapannya (Nursalam; 2011). Kotler (dalam Nursalam; 2011)
menyebutkan bahwa kepuasan adalah perasan senang atau kecewa
seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau
kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-
harapannya. Sedangkan Pohan (2007) menyebutkan bahwa kepuasan
pasien adalah tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari
kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya, setelah pasien
membandingkan dengan apa yang diharapkannya. Pendapat lain dari
Endang (dalam Mamik; 2010) bahwa kepuasan pasien merupakan
evaluasi atau penilaian setelah memakai suatu pelayanan, bahwa
pelayanan yang dipilh setidak-tidaknya memenuhi atau melebihi
harapan.
2.2.3 Pelayanan kesehatan bermutu
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat banyak hal
yang perlu diperhatikan. Salah satu diantaranya yang dianggap
mempunyai peranan yang cukup penting adalah penyelenggaraan
pelayanan kesehatan. Sesuai dengan peraturan Undang-Undang No. 23
Tahun 1999 tentang Pelayanan Kesehatan. Agar penyelenggaraan
24
pelayanan kesehatan dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka
pelayanan harus memenuhi berbagai syarat diantaranya; tersedia dan
berkesinambungan, dapat diterima dan wajar, mudah dicapai, mudah
dijangkau, dan bermutu (Azwar, 1996).
Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu tolak ukur
kepuasan yang berefek terhadap keinginan pasien untuk kembali kepada
institusi yang memberikan pelayanan kesehatan yang efektif. Untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien sehingga dapat memperoleh
kepuasan yang ada pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan pada
rumah sakit melalui pelayanan prima. Melalui pelayanan prima, rumah
sakit diharapkan akan menghasilkan keunggulan kompetitif (competitive
advantage) dengan pelayanan bermutu, efisien, inovatif dan
menghasilkan sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang perlindungan pasien.
Konsep mutu merupakan konsep multi dimensi. Konsep ini merupakan
pengembangan teori yang terpijak pada prinsip-prinsip efektivitas
pelayanan, yakni; costumer focus, process improvement, dan total
improvement. Mutu pelayanan lebih mengacu pada konsep costumer
focus, dimana mutu pelayanan merupakan penilaian terhadap kepuasan
pelanggan (pasien) yang harus dipenuhi setiap saat, baik pelanggan
internal maupun pelanggan eksternal (Azwar,1996).
Mutu pelayanan kesehatan menurut Wijono (2016) adalah “penampilan
yang pantas atau sesuai yang berhubungan dengan standar-standar dari
25
suatu intervensi yang diketahui aman, yang dapat memberikan hasil
kepada masyarakat yang bersangkutan yang telah mempunyai
kemampuan untuk menghasilkan dampak pada kematian, kesakitan,
ketidakmampuan, dan kekurangan gizi.
Pengertian lain dari mutu pelayanan kesehatan mengenai keefektifan
pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang adalah
sebagai berikut:
1. Untuk pasien dan masyarakat, mutu pelayanan berarti suatu empathy,
respect dan tanggapan akan kebutuhannya, pelayanan harus sesuai
dengan kebutuhan mereka, diberikan dengan cara ramah pada waktu
berkunjung ke rumah sakit.
2. Dari sudut pandang petugas kesehatan, “mutu pelayanan berarti
bebas melakukan segala sesuatu secara profesional untuk
meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai
dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang maju, mutu
peralatan yang baik dan memenuhi standar yang baik (state of the
art).
3. Dari sudut pandang manajer (administrator), mutu pelayanan tidak
berhubungan langsung dengan tugas mereka sehari-hari, namun tetap
sama pentingnya. Untuk para manajer focus pada mutu akan
mendorongnya untuk mengatur staf, pasien dan masyarakat dengan
baik.
4. Bagi yayasan atau pemilik rumah sakit, mutu dapat berarti memiliki
tenaga profesional yang bermutu dan cukup. Pada umumnya para
26
manajer dan pemilik institusi mengharapkan efesiensi dan kewajaran
penyelenggaraan pelayanan, minimal tidak merugikan dipandang
dari berbagai aspek seperti tiadanya pemborosan tenaga, peralatan,
biaya dan waktu.
Penelitian oleh Lem Berry dan Vielere Zeltham pada awal tahun 1990-
an mengajukan sepuluh mutu pelayanan sebagai dasar untuk memahami
mutu dan efektivitas pelayanan. Kategori adalah sebagai berikut:
1. Keterandalan (reliability), konsistensi kinerja dan kemampuan
terlihat, dimana kinerja yang baik diberikan pada saat pertama kali
memberikan janji yang menggiurkan dan tepat.
2. Ketanggapan (responsiveness), keinginan atau kesesuaian pemberi
pelayanan untuk memberikan pelayanan tepat waktu.
3. Pengetahuan dan keahlian (competence), ilmu pengetahuan dan
keahlian yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan.
4. Keterjangkauan (access), keterjangkauan dapat dicapai dan mudah
dijangkau, waktu tunggu dan jam operasional.
5. Kesopan santunan (courtesy), meliputi sikap sopan santun, aspek
perhatian dan keramahan individu yang langsung berhubungan
dengan pelanggan.
6. Komunikasi (communication), petugas dapat memberikan informasi
dan bahasa yang mudah dipahami dan didengarkan oleh pelanggan,
sehingga dapat membedakan kebutuhan pelanggan yang berbeda-
beda.
27
7. Kepercayaan (credibility), kepercayaan, kejujuran, reputasi
perusahaan.
8. Keamanan (security), bebas dari bahaya resiko atau yang hilang,
keamanan fisik, keamanan keuangan, keamanan data dan arsip, dan
kepercayaan diri.
9. Memahami pelanggan (understanding the costumer), perusahaan
memahami kebutuhan pelanggan, mendengarkan keinginan spesifik
pelanggan memberikan perhatian pada setiap pelanggan.
10. Bukti fisik (tangible), pelayanan fisik, penampilan tenaga kerja alat
atau peralatan yang digunakan.
2.2.4 Aspek-aspek kepuasan pasien
Menurut Zeitham dan Berry (dalam Wahyuni, Yanis, & Erly, 2013),
aspek-aspek kepuasan pasien meliputi:
a. Keistimewaan, yaitu dimana pasien merasa diperlakukan secara
istimewa oleh tenaga medis selama proses pelayanan.
b. Kesesuaian, yaitu sejauhmana pelayanan yang diberikan tenaga
medis sesuai dengan keinginan pasien, selain itu ada ketepatan waktu
dan harga.
c. Keajegan dalam memberikan pelayanan, artinya pelayanan yang
diberikan selalu sama pada setiap kesempatan dengan kata lain
pelayanan yang diberikan selalu konsisten.
d. Estetika, estetika dalam pelayanan berhubungan dengan kesesuaian
tata letak barang maupun keindahan ruangan.
28
Selain itu menurut Krowinski (dalam Wahyuni, Yanis, & Erly, 2013),
terdapat dua aspek kepuasan pasien yaitu:
a. Kepuasan yang mengacu hanya pada penerapan standar dan kode etik
pofesi. Meliputi: hubungan perawat dengan pasien, kenyamanan
pelayanan, kebebasan menentukan pilihan, pengetahuan dan
kompetensi teknis, efektivitas pelayanan dan keamanan tindakan.
b. Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan
pelayanan kesehatan. Meliputi: ketersediaan, kewajaran,
kesinambungan, penerimaan, keterjangkauan, efisiensi, dan mutu
pelayanan kesehatan.
2.3 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
2.3.1 Pelayanan kesehatan tingkat primer
Pelayanan Kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri
atau secara bersama dalam suatu organisasi untuk memelihara,
meningkatkan, mencegah & menyembuhkan penyakit serta memulihkan
kesehatan perorangan, kelompok dan masyarakat (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Pelayanan kesehatan memiliki tujuan yaitu sebagai berikut:
1. Preventif primer, program pendidikan: imunisasi, penyediaan nutrisi
yang baik dan kesegaran jasmani.
2. Preventif sekunder, pengobatan penyakit tahap dini untuk membatasi
kecacatan, dengan cara menghindari akibat yang timbul dari
perkembangan penyakit.
29
3. Preventif tersier, pembuatan diagnosa ditujukan untuk melaksanakan
tindakan rehabilitasi: kuratif & rehabilitatif.
Lingkup pelayanan kesehatan di Indonesia dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu sebagai berikut:
1. Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan
kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling
depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka
mengalami ganggunan kesehatan atau kecelakaan. Contoh pelayanan
kesehatan primer adalah puskesmas.
2. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary
health care), adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan
perawatan lebih lanjut/rujukan. Di Indonesia terdapat berbagai
tingkat rumah sakit, mulai dari rumah sakit tipe D sampai dengan
rumah sakit kelas A (Wahyuni, Yanis, & Erly, 2013).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas
menyebutkan bahwa Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan
upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Puskesmas
mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai
tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya Kecamatan Sehat. Selain melaksanakan tugas
30
tersebut, Puskesmas memiliki fungsi sebagai penyelenggara Upaya
Kesehatan Masyarakat (UKM) tingkat pertama dan Upaya Kesehatan
Perseorangan (UKP) tingkat pertama serta sebagai wahana pendidikan
tenaga kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas juga
berperan menyelenggarakan sebagian tugas teknis operasional dari Dinas
Kesehatan Kab/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta
ujung tombak pembangunan kesehatan (Dinas Kesehatan Kota Bandar
Lampung, 2014)
2.3.3 Pusat Kesehatan Masyarakat di Bandar Lampung
Jumlah Puskesmas di Indonesia sampai dengan Desember 2016 adalah
9.767 unit, yang terdiri dari 3.411 unit Puskesmas rawat inap dan 6.356
unit Puskesmas non rawat inap. Jumlah ini meningkat dibandingkan
tahun 2015 yaitu sebanyak 9.754 unit, dengan jumlah Puskesmas rawat
inap sebanyak 3.396 unit dan Puskesmas non rawat inap sebanyak 6.358
unit (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Sedangkan jumlah Puskesmas induk di Kota Bandar Lampung tahun
2014 sebanyak 30 Puskesmas yang terdiri dari 12 Puskesmas Rawat Inap
dan 18 Puskesmas Non Rawat Inap, dengan jumlah Puskesmas Pembantu
sebanyak 50 Puskesmas, 126 Poskeskel. Kunjungan Rawat Jalan
Puskesmas 763.780 kunjungan lebih rendah dibandingkankan tahun
31
sebelumnya. Sedangkan kunjungan rawat inap sebanyak 4.817
kunjungan (Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2014).
2.4 Diabetes Melitus
2.4.1 Definisi diabetes melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit multifaktoral, yang ditandai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dan
sindroma hiperglikemia kronis akibat insufisiensi sekresi insulin atau
aktivitas endogen insulin atau keduanya (Price & Wilson, 2010).
Sedangkan menurut Perkeni (2015), DM merupakan salah satu penyakit
gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak dapat memproduksi
cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang
diproduksi secara efektif.
2.4.2 Etiologi dan klasifikasi diabetes melitus
Penyakit DM secara umum diakibatkan oleh konsumsi makanan yang
tidak terkontrol, sebagai efek samping dari pemakaian obat-obat tertentu,
dan tidak cukupnya hormon insulin yang dihasilkan pankreas untuk
menetralkan glukosa darah di dalam tubuh. Pada penderita DM terjadi
kerusakan pankreas sehingga hormon insulin yang diproduksi tidak
mampu mencukupi kebutuhan, dimana fungsi dari hormon insulin adalah
untuk memproses zat gula atau glukosa yang berasal dari minuman
maupun makanan yang dikonsumsi seseorang (Susilo dan Wulandari,
2011).
32
Klasifikasi DM menurut WHO 2006 adalah sebagai berikut:
a. Diabetes Melitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus
Terdapat 2 subtipe DM tipe 1 yaitu autoimun dan idiopatik. Tipe
autoimun terjadi akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel beta
pankreas. Tipe selanjutnya yaitu tipe idiopatik, terjadi tanpa adanya
bukti autoimun dan tidak diketahui sumber atau penyebabnya (Price
& Wilson, 2010).
b. Diabetes Melitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus
Diabetes Melitus tipe 2 biasanya terjadi karena penurunan produksi
insulin atau peningkatan resistensi insulin. Insulin akan terikat pada
reseptor dipermukaan sel yang menyebabkan terjadi suatu rangkaian
reaksi metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada DM
tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel mengakibatkan insulin
menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan (Ernawati, 2013).
c. Diabetes Melitus gestasional
DM ini berkembang selama masa kehamilan dan menjadi salah satu
faktor risiko berkembangnya diabetes pada ibu setelah melahirkan.
Bayi yang dilahirkan cenderung akan mengalami obesitas dan
berisiko terkena DM saat dewasa (Rumahorbo, 2014).
d. Diabetes Melitus tipe lain
Tipe khusus lain adalah kelainan dalam sel beta seperti yang dikenali
pada Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY). Pasien
seringkali obesitas dan resisten terhadap insulin. Diabetes Melitus tipe
33
lain juga mencakup kelainan genetik pada kerja insulin, penyakit
endokrin seperti cushing syndrome dan akromegali, obat-obat yang
bersifat toksik terhadap sel-sel beta, serta infeksi (Price & Wilson,
2010).
2.4.3 Diagnosis diabetes melitus
Menurut Perkeni (2015), kriteria diagnosis diabetes melitus (DM)
ditegakkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, antara lain:
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah
kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. Atau
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan
klasik. Atau
4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakna metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria
DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes dengan hasil antara
lain:
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa anatara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl
34
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa <100 mg/dl
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c sebesar 5,7-6,4%.
Sedangkan kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes
melitus dan prediabetes sesuai Perkeni (2015) dan perbedaan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah plasma vena dan glukosa darah
kapiler seperti pada tabel 1 dan 2 dibawah ini.
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl) (Perkeni, 2015).
Bukan DM Belum pasti
DM
DM
Kadar
glukosa
darah
sewaktu
(mg/dl)
Kadar
glukosa
darah puasa
(mg/dl)
Plasma vena
Darah
kapiler
Plasma vena
Darah
kapiler
<100
<90
<100
<90
100-199
90-199
100-125
90-99
≥ 200
≥ 200
≥ 126
≥ 100
Tabel 2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes (Perkeni, 2015).
HbA1c
(%)
Glukosa darah
puasa (mg/dl)
Glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO (mg/dl)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 <100 <140
35
2.5 Kerangka Penelitian
2.5.1 Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka teori hubungan persepsi komunikasi berpusat pada
pasien dengan kepuasan pada pasien kontrol DM tipe 2 di Puskesmas
Kedaton Bandar Lampung.
2.5.2 Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka konsep hubungan persepsi komunikasi berpusat pada
pasien dengan kepuasan pada pasien kontrol DM tipe 2 di Puskesmas
Kedaton Bandar Lampung.
Dokter
Pelayanan
kesehatan
bermutu
-
Persepsi komunikasi
berpusat pada pasien
Kepuasan pada
pasien kontrol
diabetes melitus
tipe 2
Variabel Bebas Variabel Terikat
Kepuasan pasien
Pasien
Komunikasi
1. Respect for patient’s
preferences
2. Coordination and
integration care
3. Information and
education
4. Physical comfort
5. Emotional support
6. Involvement of family
and friends
7. Continuity and
transition
8. Access to care
Variabel Perancu
Pelayanan
kesehatan bermutu
Persepsi komunikasi
berpusat pada pasien
36
2.6 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
H0 : Tidak ada hubungan antara persepsi komunikasi berpusat pada pasien
dengan kepuasan pada pasien kontrol diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas
Kedaton Bandar Lampung
H1 : Ada hubungan antara persepsi komunikasi berpusat pada pasien dengan
kepuasan pada pasien kontrol diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas
Kedaton Bandar Lampung.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode rancangan cross
sectional (studi potong lintang). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara persepsi komunikasi berpusat pada pasien dengan kepuasan
pada pasien kontrol diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Kedaton Bandar
Lampung.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung yang dilakukan
pada bulan September sampai Oktober 2018.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti dan
memiliki karakteristik yang sama (Notoatmodjo, 2010). Populasi pada
penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 yang berobat ke
Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.
38
3.3.2 Sampel
Sampel adalah objek yang dipilih mewakili semua populasi. Sampel
diambil menggunakan teknik total sampling yaitu seluruh populasi
manjadi sampel penelitian. Jumlah populasi yang diketahui sebanyak 60
orang (n=60) (Notoatmodjo, 2010).
3.4 Kriteri Inklusi dan Eklusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
Sampel penelitian sebanyak 60 responden adalah populasi yang
ditentukan dengan kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Pasien kontrol diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Kedaton Bandar
Lampung
2. Bersedia mengisi kuesioner
3. Pasien dengan kondisi fisik yang masih memungkinkan untuk
mengisi kuesioner
3.4.2 Kriteria Eklusi
Sampel penelitian sebanyak 60 responden disesuaikan dengan kriteria
eklusi dalam penelitian ini. Kriteria eklusi yang diajukan adalah:
1. Pasien yang hanya berobat satu kali ke Puskesmas Kedaton Bandar
Lampung
2. Pasien yang tidak mampu kondisi fisiknya untuk mengisi kuesioner
39
3.5 Identifikasi Variabel
Variabel pada penelitian ini ada dua jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Variabel Bebas
Variabel bebas yang diteliti adalah persepsi komunikasi berpusat pada
pasien di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepuasan pada pasien kontrol
diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.
3.6 Definisi Operasional
Tabel 3. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Skala
Persepsi
Komunikasi
Berpusat
Pasien
Persepsi
komunikasi
berpusat pada
pasien
berdasarkan 8
prinsip
patient-
centered
communicati
on yang
disusun oleh
Dr. dr. TA
Larasati,
M.Kes
Kuesioner
persepsi
komunikasi
berpusat
pasien terdiri
dari 20 item
pertanyaan
Wawancara Setiap
item
diukur
dengan
skor 1-4
dan total
skor
adalah 20-
80
Numerik
Kepuasan
Pasien
Kepuasan
pada pasien
berdasarkan 8
prinsip
patient-
centered
communicati
on yang
disusun oleh
Dr. dr. TA
Larasati,
M.Kes
Kuesioner
kepuasan
pasien terdiri
dari 20 item
pertanyaan
Wawancara Setiap
item
diukur
dengan
skor 1-4
dan total
skor
adalah 20-
80
Numerik
40
3.7 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data diawali dengan informed consent (persetujuan dari
responden) terlebih dahulu kepada subyek penelitian yang dijadikan sampel
dalam penelitian sebagai persetujuan menjadi responden penelitian. Setelah itu,
penelitian melakukan pengambilan data primer berupa pemberian kuesioner
persepsi komunikasi berpusat pada pasien dan kepuasan pasien kepada pasien
DM tipe 2 di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.
3.8 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini menggunakan 2 kuesioner yaitu kuesioner untuk
mengukur persepsi komunikasi berpusat pasien dan kepuasan pasien.
Kuesioner untuk mengukur persepsi komunikasi berpusat pasien dan kepuasan
pasien menggunakan kuesioner persepsi komunikasi berpusat pada pasien dan
kuesioner kepuasan pasien berdasarkan pada 8 prinsip patient-centered
communication yaitu respect for patient’s preferences, coordination and
integration care, information and education, physical comfort, emotional
support, involvement of family and friends, continuity and transition, dan
access to care yang disusun oleh Dr. dr. TA Larasati, M.Kes.
Kuesioner persepsi komunikasi berpusat pada pasien ini terdiri dari 20 item
pertanyaan dengan setiap item diukur menggunakan skala Likert dengan skor
1-4 dengan skor total 20-80. Kuesioner kepuasan pada pasien juga terdiri dari
20 item pertanyaan dengan setiap item diukur menggunakan skala Likert
dengan skor 1-4 dengan skor total 20-80. Kuesioner persepsi komunikasi
berpusat pasien dan kepuasan pasien diuji validitas dan reliabilitasnya kepada
41
14 responden dari pasien DM tipe 2 di puskesmas Labuhan Ratu Bandar
Lampung.
Hasil perhitungan validitas kuesioner persepsi komunikasi berpusat pasien
memiliki koefisien korelasi validitas 0,22 sampai dengan 0,62. Nilai reliabilitas
alpha (α)=0,783. Sedangkan hasil perhitungan validitas kuesioner kepuasan
pasien memiliki koefisien korelasi validitas 0,24 sampai dengan 0,59. Nilai
reliabilitas alpha (α)=0,734.
3.9 Prosedur Penelitian
Gambar 3. Alur Penelitian
Pengumpulan, pemasukan,
dan pengolahan data
Penyusunan proposal penelitian,
pembuatan kuesioner komunikasi
dokter pasien, perizinan dan
ethical clearence
Pengisian lembar
informed consent
Pengisian kuesioner skala
komunikasi dokter pasien
dan skala kepuasan pasien
Analisis data dengan
program statistik
1. Tahap Persiapan
2. Tahap Pelaksanaan
3. Tahap Pengolahan
data
42
3.10 Pengolahan Data dan Analisis Data
3.10.1 Pengolahan Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian diubah ke dalam bentuk
tabel. Langkah-langkah proses pengolahan data dengan menggunakan
program komputer terdiri dari:
1. Editing, proses editing berupa pengecekan dan perbaikan data
yang telah diperoleh dan yang menunjang penelitian.
2. Coding, kegiatan coding yaitu mengkonversikan
(menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian ke
dalam simbol sesuai dengan kepentingan analisis data.
3. Data entry, proses ini berupa memasukkan data penelitian ke
dalam program komputer yang telah tersedia.
4. Cleaning, kegiatan ini berupa pengecekan kembali data dari setiap
sumber atau responden untuk melihat kemungkinan adanya
kesalahan dalam mengkoding atau memasukkan data ke dalam
program komputer.
3.10.2 Analisis Data
3.10.2.1 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel dalam penelitian meliputi
karakteristik variabel bebas dan variabel terikat.
43
3.10.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat yang digunakan untuk melihat hubungan
tiap variabel dalam penelitian yaitu antara komunikasi dokter
pasien dan kepuasan pasien. Analisis bivariat yang
digunakan adalah uji korelasi Pearson karena dalam
penelitian memiliki skala numerik dan digunakan untuk
mengetahui nilai dan sifat hubungan antara kedua variabel.
3.11 Etika Penelitian
Pada penelitian ini telah lolos uji kaji Komite Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor persetujuan etik
penelitian yaitu No. 3650/UN26.18/PP.05.02.00/2018.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka simpulan yang didapatkan adalah
sebagai berikut:
a. Terdapat hubungan antara persepsi komunikasi berpusat pasien dengan
kepuasan pada pasien kontrol DM tipe 2 di puskesmas Kedaton Bandar
Lampung.
b. Persepsi komunikasi berpusat pada pasien kontrol DM tipe 2 di puskesmas
Kedaton Bandar Lampung dilihat dari median data sebesar 63,5 atau 79%
dari total skor.
c. Kepuasan pada pasien kontrol DM tipe 2 di puskesmas Kedaton Bandar
Lampung dilihat dari rata-rata data sebesar 63,15 atau 79% dari total skor.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan persepsi
komunikasi berpusat pada pasien dan kepuasan pasien kontrol diabetes melitus
tipe 2 di puskesmas Kedaton Bandar Lampung, diperoleh saran sebagai
berikut:
1. Bagi dokter di puskesmas Kedaton Bandar Lampung diharapkan selalu
menjaga komunikasi berpusat pada pasien yang efektif sehingga kepuasan
75
pasien terhadap komunikasi dokter tetap terjaga sesuai dengan penelitian
ini bahwa terdapat hubungan antara persepsi komunikasi berpusat pasien
dengan kepuasan pada pasien.
2. Pada penelitian selanjutnya disarankan agar populasi penelitian diperluas
dengan tempat penelitian >1 puskesmas agar didapatkan variasi data yang
lebih baik.
76
DAFTAR PUSTAKA
Alfitri. 2013. Komunikasi dokter-pasien. Jurnal Mediator. 7(1): 15-26.
Allorerong D, Sekeon S, Joseph W. 2016. Hubungan antara umur, jenis kelamin
dan tingkat pendidikan dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di puskesmas
ranotana weru kota manado tahun 2016. Seluruh Jurnal. 8(3): 1-8.
Association of American Medical Colleges. 2008. Functions and structure of a
medical school: standards for accreditation of medical education programs
leading to the M.D. degree. Washington DC: Association of American
Medical Colleges.
Australian Commission on Safety and Quality in Health Care. 2010. Patient-centred
care: improving quality and safety by focusing care on patients and consumers.
Discussion Paper. Canberra: ACSQHC.
Azwar, Asrul. 1996. Pelayanan kesehatan yang bermutu dalam program menjaga
mutu pelayanan kesehatan.. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia.
Bustan, M N. 2007. Epidemiologi penyakit tidak menular. Jakarta: Rineka Cipta.
Carma, L. Bylund & Gregory Makoul. 2017. Taking the training out of
communication skills training. Patient Education & Counseling Journal. 1(1):
207- 16
Dewi, Arlina. 2009. Kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter pasien di
puskesmas. Mutiara Medika Jurnal. 9(2): 37-45.
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. 2014. Profil dinas kesehatan Provinsi
Lampung Kota Bandar Lampung tahun 2014. Bandar Lampung: Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung.
Dubey dan Gupta. 2015. Characteristics of communication of doctors during
consultation. Asian Journal of Social Sciences, Arts and Humanities. 3(2): 35-
43.
Epstein, R. M., Franks, P., Shields, C. G., Meldrum, S. C., Miller, K. N., Campbell,
77
T. L., & Fiscella, K. 2005. Patient centered communication and diagnostic
testing. Annals of Family Medicine. 3(5): 415–21.
Epstein RM, Street RL. 2007. Patient-Centered Communication in Cancer Care:
Promoting Healing and Reducing Suffering. US: National Institutes of Health
Publication
Ernawati. 2013. Penatalaksanaan keperawatan diabetes melitus terpadu dengan
penerapan teori keperawatan self care orem. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Fennel, P. 2003. Managing chronic illness using the four phase treatment approach.
New Jersey: Wiley.
Goodrich, J Cornwell, J. 2008. Seeing the person in patient: the point of care.
Review Paper. London: The King’s Fund.
Institute of Medicine (US) Committee on Quality of Health Care in America. 2001.
Crossing the quality chasm: a new health system for the 21st century.
Washington DC: National Academies Press.
International Alliance of Patients’ Organizations. 2007. What is patient-centred
health care? a review of definitions and principles. Second Edition. London:
IAPO.
Ismawati, W. 2009. Kepuasan pasien ditinjau dari orientasi komunikasi dokter.
Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Peraturan menteri kesehatan
Republik Indonesia No. 269 tahun 2008 tentang rekam medis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Profil kesehatan Indonesia
tahun 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kinnersley, P., Stott, N., Peters, T., Harvey., I & Hackett, P. 1996. A comparison
of methods for measuring patient satisfaction with consultations in primary
care. London : Oxford University Press.
King, A., & Hoppe, R. B. 2013. “Best practice” for patient-centered
communication: a narrative review. Journal of Graduate Medical Education.
5(3): 385–93.
Koontz, Harold dan Heinz Weihrich. 1988. Management. Ninth Edition. Singapore:
McGraw-Hill.
Kurtz, S., Silverman, J., Drapper, J. 1998. Teaching and learning communication
skills in medicine. Oxon: Radcliffe Medical Press.
78
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Komunikasi efektif dokter-pasien. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar pendidikan profesi dokter Indonesia.
Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
Mamik. 2010. Organisasi dan manajemen pelayanan kesehatan dan kebidanan.
Edisi 1. Surabaya: Prins Media Publishing.
Napirah M R, Herawanto H, Windasari Y A. 2016. Hubungan komunikasi dokter
dengan kepuasan pasien di ruang rawat inap rumah sakit umum (RSU)
Anutapura Palu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Preventif. 7(2): 1-7.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nursalam. 2011. Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
PERKENI. 2015. Pengelolaan dan pencegahan diabetes melit us tipe 2 di Indonesia
2015. Jakarta: PB PERKENI.
Picker Institute. 2013. Patient-centered care: the road ahead. U.S: Picker Institute.
Poernomo, Ieda SS. 2004. Pengertian KIE dan konseling. Jakarta: Makalah
Perinasia.
Pohan, Imbolo. 2007. Jaminan mutu layanan kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Price, Wilson. 2010. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC.
Purwanti dan Furiandini. 2012. Tinjauan kepuasan pelayanan rawat jalan di balai
besar kesehatan paru masyarakat surakarta. Infokes. 2(1): 28-39.
Rahmadiana, M. 2012. Komunikasi kesehatan: sebuah tinjauan. Jurnal
Psikogenesis. 1(1): 88-94.
Ramadhan N, Nelly M. 2015. Karakteristik penderita diabetes melitus tipe 2
berdasarkan kadar hba1c di puskesmas jayabaru kota banda aceh. Jurnal SEL.
2(2): 49-56.
Rumahorbo H. 2014. Mencegah diabetes mellitus dengan perubahan gaya hidup.
Bogor: In Media.
Shaller Dale, 2007. Patient-centered care: What does it take?. Minnesota:
Commonwealth Fund pub.
79
Silverman, J., Kurtz, S. & Drapper, J. 1998. Skills for communicating with patients.
Oxon: Radcliffe Medical Press.
Susilo Y, Wulandari A. 2011. Cara jitu mengatasi kencing manis. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Sudoyo W, Setiohandi B, Alwi I, K M.. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing.
Tandra, H. 2013. Life healthy with diabetes. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Terry, G dan Stephen Franklin. 1982. Principle of management. USA: Richard D.
Irwin Inc. Homewood.
Undang 44 Nomor 8 Tahun 1999. Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009. Tentang Rumah Sakit.
Utami, E. 2008. Hubungan antara kepuasan konsultasi medis dan ketaatan medis
pada penderita diabetes melitus (usia dewasa madya). Skripsi. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Sanata DHarma.
Van Thiel, J., Van Dalen, J. & Ram, P. 2000. MAAS-Global manual. Maastricht:
Maastricht University.
Wahyuni, T., Yanis, A., & Erly, E. 2013. Hubungan komunikasi dokter–pasien
terhadap kepuasan pasien berobat di poliklinik RSUP DR. M. Djamil Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2(3): 175–77.
Wijono, D. 2016. Manajemen mutu pelayanan kesehatan: teori, strategi dan
aplikasi. Surabaya: Airlangga University Press.
Wulandari, F. 2016. Hubungan antara komunikasi dokter-pasien dengan kepuasan
pasien rawat inap di RSUD Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta.