hubungan pusat dan daerah.pdf
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR PEMAHAMAN & SOSIALISASI PENYUSUNAN RUU TATA HUBUNGAN
KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT & DAERAH
Penyusun:
Safri Nugraha, SH, LLM, Ph.D, Prof. Eko Prasojo, Mag.rer.publ, Dr.rer.publ, Prof.
Irfan Ridwan Maksum, Drs, M.Si Harsanto, SH, M.Si
Teguh Kurniawan, S.Sos, M.Sc Bani Pamungkas, SH
KERJASAMA ANTARA
KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN
PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAERAH DAN KOTA FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif
iii
Bab I
Pendahuluan
1
Bab II
Hubungan Wewenang Antara Pemerintah dan Daerah serta Antar Daerah
8
Bab III
Tata Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
25
Bab IV
Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia
32
Bab V
Kesimpulan dan Saran
56
Daftar Pustaka
58
Lampiran : Draft 3 RUU – 1 Desember 2006
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
1
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat. Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen secara eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat Undang-undang (UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: ”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.” Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU. Sandaran legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun sebuah UU. Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari terjadinya tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selanjutnya pada frasa “tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak hanya melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan. Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam UU yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas, kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari. Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi. Fokus penyusunan RUU tersebut diarahkan pada penentuan materi dan susunan yang akan termuat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
2
Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan Naskah Akademik yang sudah ada. Untuk itu, kajian dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara metode desk riset, focus group dicussion, konsinyasi, seminar/lokakarya, serta sosialisasi. Berdasarkan telaah filosofi yang ada dari hasil desk riset, materi yang akan diatur dalam RUU berlandaskan kepada sejumlah analisis berikut ini. HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA ANTAR DAERAH
Kedudukan Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah bersifat subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus oleh Pemerintah (local government is creature of central government). Namun dilihat dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi maupun antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang bersifat resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward) dan sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan antara Provinsi dan Kabuapten/Kota. Dilihat dari aspek penyelenggaraan desentralisasi, tampak tiga kelompok besar hubungan yang terjalin, yaitu: pertama, hubungan vertikal yang terpecah menjadi hubungan antara Pemerintah dan Provinsi dan hubungan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, hubungan diagonal yakni hubungan antara Provinsi tertentu dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi lainnya. Ketiga adalah hubungan horizontal yang dapat terjadi pada hubungan antara Provinsi dan hubungan antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi, serta hubungan antar Kabupaten/kota pada Provinsi yang bertetangga. Hubungan-hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari bekerjanya sisitem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakekat desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi. Banyaknya Daerah otonom baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada menambah kompleksitas bekerjanya hubungan-hubungan tersebut. Seringkali hubungan yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya beberapa motif sosial-ekonomi dengan lingkup yang beragam. Penyelenggaraan dekonsentrasi menambah hubungan yang sudah kompleks terjadi. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur memiliki hubungan wewenang yang dapat dirinci atas : (1) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya. Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun dalam kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
3
32 Tahun 2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan yang bersifat searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu, hubungan yang bersifat diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU tersebut. Yang dimaksud Pemerintah dalam UU 32 tahun 2004 adalah semata-mata Presiden. Oleh karena itu perlu dirinci kemungkinan hubungan wewenang antar Para Menteri/kepala LPND dengan Daerah, dengan mencermati perlunya pengaturan hubungan wewenang antar Para Menteri/Kepala LPND sendiri di tingkat pusat.
Hubungan wewenang antara Pemerintah dan Daerah, dan antar Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada pasal 14 ayat (3) akan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas bertentangan dengan UUD Pasal 18 amandemen terakhir yang secara tegas menyatakan bahwa hubungan wewenang tersebut diatur dengan UU. Dalam konteks desentralisasi, pembagian kewenangan Pemerintahan merupakan pesebaran kewenangan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah-Daerah otonom. Kewenangan Pemerintah yang didistribusikan kepada Daerah hanyalah kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), tidak termasuk kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan kewenangan yudikatif (peradilan). Pembagian kewenangan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak mungkin kewenangan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100% desentralisasi dalam suatu Negara Bangsa. Terdapat kewenangan pemerintah yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Hal ini terkait dengan sifat kontinumnya antara sentralisasi dengan desentralisasi. Penyelenggara desentralisasi sendiri adalah unsur sentralisasi. Oleh karena itu, penyelenggaraan desentralisasi dalam sebuah sistem pemerintahan, membawa pemilihan adanya : (1) wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan; dan (2) wewenang yang dapat didesentralisasikan. Wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah wewenang pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal urusan luar negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter), yustisisi dan agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni sentralisasi, (2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu wewenang yang dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang concurrent dapat dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena adanya urusan-urusan yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2) dekonsentrasi juga dapat dilakukan apabila diperlukan pelembagaan apparatus pusat di daerah, (3) desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan. Terjadinya hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terutama disebabkan oleh adanya kewenangan yang bersifat concurrent. Wewenang konkuren terdapat pada kelompok wewenang yang dapat didesentralisasikan.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
4
Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas; dan (3) efisiensi. Namun masih dapat dikembangkan pula melalui kriteria “catchment area” yang tidak diatur dalam UU tersebut. Kerapkali wewenang concurrent ini dapat menimbulkan konflik dan atau terjadi kefakuman dalam proses pemerintahan. Namun, jika ditata secara optimal dapat membawa sinergi dan menjaga kualitas pemerintahan lebih terarah. Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan. Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah. Undang-undang tersebut harus menata proses hubungan yang dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut. Kedudukan Badan Khusus Pelaksana Kewenangan Perlu menjadi catatan bahwa seringkali hubungan horizontal antar kabupaten/ Kota baik dalam Provinsi maupun antar Provinsi yang terlembaga dengan fungsi tunggal, membawa proses diciptakannya lembaga khusus semacam otorita seperti lazim terjadi di negara maju. Dengan demikian RUU Tata hubungan ini pun harus diarahkan kepada kemungkinan penataan badan semacam ini bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi. Badan semacam ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini di negara lain diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional. TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh Frank P. Sherwood pun diungkap hal yang senada. Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat. Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in unity”.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
5
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya dengan aspek kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai batas yurisdiksi fungsi tersebut. Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut baru menserap desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi habis antara Pemerintah Pusat dan elemen-elemenya serta pemerintah daerah dan elemen-elemennya. Desentralisasi fungsional menciptakan kelembagaan khusus pada bidang tertentu dan otonom. Pada masa Hindia Belanda, pada 1920, pernah diciptakan lembaga otonom khusus bidang tertentu yakni pengairan (irigasi) berupa ‘waterschappen’ yang di negeri Belanda sendiri hidup dan berkembang pesat. Sejak kemerdekaan UUD 1945 tidak menganut kembali desentralisasi fungsional yang telah diterapkan pada masa Hindia Belanda. Adanya otonomi khusus dan istimewa bagi daerah-daerah tertentu bukan berarti adanya desentralisasi fungsional. Keberadaan otonomi khusus dan istimewa berada dalam desentralisasi teritorial. Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial) Dalam berbagai pendapat pakar, diketahui bahwa penyelenggaraan desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah. Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah, persoalan-persoalan persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah dari setiap
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
6
jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang yang diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya posisi gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur itu adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah otonom itu adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus mengintegrasikan kembali (how to reintegrated). Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai daerah otonom dan sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah. Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru merebak “dispute” yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah. Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci. Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas (Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis? Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan. Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk menghindari polemik. Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan sub-sistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c) tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal, pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
7
Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan Wilayah. Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang baik. Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal, horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam antar ketiga area tersebut. HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
Ada dua alasan utama mengapa “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia” merupakan hal yang penting untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah, adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar (sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik, gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
8
semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru. Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2). Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95). Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan kepada unit-unit sub nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan tugas-tugas negara dan pemerintahan akan senantiasa berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun negara yang berstruktur unitaris (kesatuan). Dinamika Hubungan Pusat - Daerah Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negara-negara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan Swiss. Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal, tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang berkembang. Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya (Laufer dan Ursula, 1998: 14). Dalam problem setiap negara bangsa, tugas terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
9
sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut. Problematika Hubungan Pusat – Daerah di Indonesia Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia, marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek hubungan tersebut pada masa kekinian dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja memiliki keterkaitan dengan aspek horizontal distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18 UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Efek domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54). Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina, Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik, faktor ekonomi dan faktor demografi. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan Soeharto. UU No. 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
10
pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi. Konstruksi hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun 1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini menjadi sangat lemah, karena para elite lokal yang menghendaki kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih tertarik untuk menjadi “raja kecil” di wilayahnya, daripada menjadi “hulu balang” di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259). Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah. Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah. Konstruksi Hubungan Pusat – Daerah Pasca Orde Baru Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Bahkan hasil penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk konsep ini Smith, 1985:24). Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia. Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang, karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga politik afiliasi dan politik akomodasi. Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
11
keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran. Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya. Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Pada sisi lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon dan ditindaklanjuti. Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Pemilihan langsung kepala daerah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain eklusif partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif. Meskipun demikian, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun sangat bangga dengan program-program yang telah memberikan kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
12
dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi keberlanjutan program-program inovasi tersebut. Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22 No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta berbagai problem lainnya sebagaimana telah disinggung dimuka. Kedua pokok permasalahan di atas menghendaki satu perubahan mendasar hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah. Konstruksi Ulang Hubungan Pusat – Daerah untuk Indonesia Dalam hal konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan tersebut. Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
13
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini, penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945 perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan praktek di negara federal. Perjalanan panjang penelitian di beberapa daerah mengarahkan pada kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi (fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah. Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur. Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan, pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal, seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batas-batas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan. UU No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah-masalah yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah terbentuk. Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga konstruksi teoritis yang ada, maka konsensus untuk menghilangkan status daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini, karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai WPP. Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi, pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya. Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah. Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
14
Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004 dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat. Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999 disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya, ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein, 2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12). Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi, sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999 menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal pembagian wewenang. Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya, untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
15
propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan. Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang sudah diberikan Undang-Undang. Bagi daerah, inkonsistensi ini membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pembagian kewenangan, dapat dirasakan ketegangan antara sektor dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan kewenangan. Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat dan daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama, dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang bersifat nasional dilakukan oleh pusat. Sedangkan Propinsi dan Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki. Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1) kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi, (3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan, dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan tersebut dapat dikurangi. Diusulkan agar pembagian kewenangan berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan secara tuntas di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah sebagaimana yang dianut pada saat ini, cenderung menguntungkan pusat dan melemahkan daerah. Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD 1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
16
dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dan ketiga, kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien. Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane, 1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumber-sumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara, meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga terjadi. Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bersumber dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam UUD 1945. Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, ditawarkan pengungkit yang dapat dijadikan sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan antara pusat dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan pajak dan bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar daerah, dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua, keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil pajak. Kelima, perlunya mempertegas dan memperjelas ketentuan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin kedudukan hukum pemerintah daerah. Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan Daerah berkedudukan sebagai “parlemen kedua” bersama-sama dengan DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
17
Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi juga Undang-undang yang lainnya.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
1
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem
kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat.
Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan
sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan
kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen secara
eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat Undang-undang
(UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan sebagai berikut:
”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”
Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata
hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk
hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU. Sandaran
legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun sebuah UU.
Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan
tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan
daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari terjadinya
tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi tata hubungan
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selanjutnya pada frasa “tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah”, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak hanya
melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
2
hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah
sistem pemerintahan.
Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini
mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam UU
yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas,
kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari.
Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun
rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu
untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan
pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi.
Pokok Permasalahan
Dari uraian di atas, kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang ini
berfokus pada pokok masalah berikut:
1. Berdasarkan naskah akademik yang ada, materi apa saja yang termuat
dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah?
2. Bagaimana susunan Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut?
3. Bagaimana melakukan sosialisasi RUU Tata Hubungan wewenang hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka
umpan balik bagi perbaikan RUU tersebut?
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
3
Tujuan
Dari fokus tersebut di atas, maka kegiatan ini bertujuan:
1. Mengidentifikasi materi-materi yang termuat dalam Rancangan Undang-
undang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan
Daerah serta antar Daerah berdasarkan naskah akademik yang sudah
disusun sebelumnya.
2. Menyusun RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan
Daerah serta antar Daerah.
3. Mengembangkan kegiatan sosialisasi dalam rangka feed-back bagi perbaikan
susunan RUU tersebut.
Manfaat Sebuah RUU memberikan kepastian dalam menyusun UU yang sesungguhnya,
sehingga materi yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara semakin tinggi kualitasnya karena terjamin kepastian hukum sesuai
dengan cakupannya. Oleh karena itu, RUU Tata Hubungan Wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah ini memberikan landasan yang
kuat bagi Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menjalankan berbagai
kewenangan dalam rangka penyempurnaan kerangka hukum desentralisasi.
Metodologi Penyusunan
Berdasarkan naskah akademik Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah
Pusat dan Daerah serta antar Daerah, maka penyusunan RUU Tata Hubungan
Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dilakukan
melalui serangkaian metoda:
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
4
1. Desk Riset dengan menelaah informasi-informasi yang telah ada sebelumnya
yang berkaitan dengan topik kegiatan.
2. Focus Group Discussion, merupakan Diskusi Kelompok Terarah yang
dilaksanakan dengan mengumpulkan nara sumber yang bisa dikatakan
homogen dalam suatu ruangan. FGD ini diharapkan bisa dilaksanakan di
semua daerah di Indonesia yang dianggap representatif
3. Konsinyasi untuk menyusun naskah Rancangan Undang-Undang Tata
Hubungan.
4. Seminar/Lokakarya hasil penelitian berupa naskah akademik untuk
mendapatkan masukan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang
5. Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Kewenangan
Pemerintah, Provinsi Dan Kabupaten/Kota
Ruang Lingkup
Kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Dan
Pembagian Kewenangan ini mencakup tata hubungan dan pembagian
kewenangan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota atau antara
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan jadwal pelaksanaan berikut:
Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Aktivitas 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Desk Riset Focus Group Discussion Konsinyasi Seminar/Lokakarya Sosialisasi
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
5
Rincian Langkah Kegiatan
Adapun rincian langkah pelaksanaan kegiatan berdasarkan metode
pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
Kegiatan yang dilakukan
Durasi Pelaksanaan
Bentuk Keluaran
Desk Riset Penelaahan informasi dari naskah akademik dan informasi lainnya dari berbagai sumber yang relevan dengan topik kegiatan
Dalam kurun waktu 2 (dua) bulan selama
kegiatan dilaksanakan
Informasi mengenai urgensi penyusunan RUU berdasarkan peraturan yang ada serta kebutuhan materi yang harus diatur dalam RUU
Focus Group Discussion
Pelaksanaan Diskusi Kelompok Terarah dengan mengumpulkan nara sumber yang homogen dalam suatu ruangan.
4 (empat) kali pelaksanaan @ 2
jam
Masukan nara sumber mengenai materi pengaturan RUU
Konsinyasi Penyusunan naskah RUU Tata Hubungan
2 (dua) kali @ 2 hari pelaksanaan
Draft RUU
Seminar / Lokakarya
Pemaparan hasil penelitian berupa naskah akademik dan draft sementara RUU untuk mendapatkan masukan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang
4 (empat) kali @ 2 jam pelaksanaan
Masukan penyempurnaan Naskah Akademik dan Draft Sementara
Sosialisasi Mensosialisasikan Daraft RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah, Provinsi Dan Kabupaten/Kota
3 (dua) kali @ 2 jam pelaksanaan
Masukan terhadap Draft Akhir RUU
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
6
Sistematika Laporan
Laporan ini terdiri dari 5 (lima) Bab sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang, pokok masalah, tujuan
dan manfaat dari dilaksanakannya pemahaman dan sosialisasi penyusunan
RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta metode
yang digunakan dan ruang lingkup pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan
pemahaman dan sosialisasi penyusunan RUU tersebut. Selain itu, bab ini juga
berisikan jadwal pelaksanaan kegiatan, rincian langkah kegiatan dan sistematika
penyusunan laporan.
Bab II: Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah.
Bab ini berisikan urgensi penyusunan hubungan wewenang antara Pemerintah
dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen dan
UU 32/2004, pembagian urusan-urusan kepemerintahan yang dapat dilakukan
serta kedudukan dari badan khusus yang mungkin saja dibentuk akibat
pembagian urusan-urusan kepemerintahan tersebut.
Desk Riset
Focus Group Discussion
Konsinyasi Seminar/Lokakarya
Sosialisasi
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
7
Bab III: Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bab ini berisikan
esensi dari penyelenggaraan desentralisasi dan kebutuhan akan pengaturan
hubungan kewenangan dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut, serta
kemungkinan pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Daerah
yang dapat dilakukan.
Bab IV: Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia. Bab
ini berisikan dinamika hubungan antara Pusat dan Daerah selama ini serta
problematika yang dihadapinya, konstruksi hubungan di masa orde baru, serta
bagaimana mengkontruksi ulang hubungan tersebut guna mencapai titik
keseimbangan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Bab V: Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan
yang dilakukan terhadap hubungan antara Pemerintah dan Daerah serta saran
yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti kegiatan pemahaman dan
sosialisasi penyusunan RUU ini di masa datang.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
8
BAB II HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA
ANTAR DAERAH
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 telah diubah beberapa kali. Dalam beberapa kali
perubahan selain tetap mempertahankan beberapa pasal-pasal asli, terdapat
juga beberapa pasal-pasal yang diubah. Salah satu Pasal yang diubah adalah
Pasal 18.
Perubahan Pasal 18 ini tergolong rumit. Judul bab yang membawahi Pasal 18,
baik pada Pasal yang asli maupun Pasal-Pasal hasil amandemen tetap sama
yaitu dengan judul Pemerintah Daerah. Pasal 18 baru hasil amandemen terakhir
terdiri dari 7 (tujuh) ayat. Ayat (1) Pasal 18 hasil amandemen ini mendapat
inspirasi dari Penjelasan Pasal 18 asli dan Tap MPR No. IV/MPR/2000 yang
merekomendasikan agar otonomi disusun secara bertingkat.
Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen yang lain yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B,
masing-masing dijabarkan dalam 2 (dua) ayat. Sekalipun Pasal-pasal tersebut,
khususnya pasal 18A (1) secara eksplisit hanya mengatur desentralisasi dan
tugas pembantuan, namun pengaturan oleh produk hukum yang lebih rendah
dan penyelenggaraan dekonsentrasi tidak dapat dicegah. Pengaturan dan
penyelenggaraan dekonsentrasi sebenarnya merupakan bagian dari pengaturan
dan penyelenggaraan sentralisasi. Oleh karena itu tidak perlu diatur dalam UUD.
Kedudukan Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah bersifat
subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus oleh
Pemerintah (local government is creature of central government). Namun dilihat
dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi maupun
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
9
antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang bersifat
resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward) dan
sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan antara
Provinsi dan Kabuapten/Kota. Hubungan demikian merupaka hubungan yang
dirumuskan dalam butir kedua dan keempat seperti yang tercantum dalam
sasaran kebijaka otonomi daerah dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 sebagai
berikut :
1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah.
2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar-pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan.
3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah
Dilihat dari aspek penyelenggaraan desentralisasi, tampak tiga kelompok besar
hubungan yang terjalin, yaitu: pertama, hubungan vertikal yang terpecah
menjadi hubungan antara Pemerintah dan Provinsi dan hubungan antara
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, hubungan diagonal yakni hubungan
antara Provinsi tertentu dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi lainnya. Ketiga
adalah hubungan horizontal yang dapat terjadi pada hubungan antara Provinsi
dan hubungan antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi, serta hubungan antar
Kabupaten/kota pada Provinsi yang bertetangga. Jika disederhanakan dalam
bagan, terdapat pola-pola hubungan yang dapat terjadi sebagai berikut :
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
10
Hubungan-hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari
bekerjanya sisitem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakekat
desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi. Banyaknya
Daerah otonom baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada menambah
kompleksitas bekerjanya hubungan-hubungan tersebut. Seringkali hubungan
yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya beberapa motif
sosial-ekonomi dengan lingkup yang beragam.
Penyelenggaraan dekonsentrasi menambah hubungan yang sudah kompleks
terjadi seperti tergambar dalam bagan. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur
memiliki hubungan wewenang yang dapat dirinci atas : (1) hubungan antara
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga
Pemerintah Non Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil
Pemerintah dan Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya.
Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun dalam
kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No. 32 Tahun
2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan yang bersifat
Pemerintah
Provinsi
Kabupaten Kota
Provinsi
Kabupaten Kota
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
11
searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu, hubungan yang bersifat
diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU tersebut.
Yang dimaksud Pemerintah dalam UU 32 tahun 2004 adalah semata-mata
Presiden. Oleh karena itu perlu dirinci kemungkinan hubungan wewenang antar
Para Menteri/kepala LPND dengan Daerah, dengan mencermati perlunya
pengaturan hubungan wewenang antar Para Menteri/Kepala LPND sendiri di
tingkat pusat. Berbagai Pasal dalam UU No. 32 tahun 2004 yang memuat secara
langsung materi hubungan wewenang antara pemerintah dan Daerah dan antar
Daerah dipaparkan dalam tabel berikut :
No Pasal Pernyataan interpretasi 1 Pasal 2 ayat (4) Pemerintahan Daerah
dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan Pemerintahan Daerah
Frasa ’Pemerintahan Daerah’ tidak lazim secara normatif digunakan sebagai frasa yang menunjukkan organ. Lazimnya adalah ’Pemerintah Daerah’ atau ’Daerah otonom’.
2 Pasal 2 ayat (5) Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya
Hubungan yang terselenggara antar Pemerintah dan Daerah dan antar Daerah meliputi empat aspek
3 Pasal 2 ayat (6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras
Terdapat prinsip keadilan dan keselarasan
4 Pasal 2 ayat (7) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan
Ayat 7 ini cukup membingungkan karena di dalam ayat sebelumnya telah disinggung hubungan antar susunan Pemerintahan dalam empat aspek, tetapi kemudian
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
12
kewilayahan antar susunan Pemerintahan
dinyatakan lebih spesifik dalam hal administrasi dan kewilayahan.
5 Pasal 10, 11, 12, 13, dan 14
(Lih. dalam UU) Dasar material bagi pembagian urusan yang merupakan koridor bagi hubungan wewenang. Pada pasal 14 ayat (3) dinyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut bagi pasal 10, 11, 12, 13, dan 14 dengan Peraturan Pemerintah
6 Pasal 15, 16, 17, 18
(Lih. dalam UU) Dasar aturan bagi hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Masing-masing pasal memuat pernyataan bahwa aturan pelaksanaan hubungan di tiap aspek tersebut dengan peraturan perundang-undangan.
Seperti tergambar pada tabel di atas, hubungan wewenang antara Pemerintah
dan Daerah, dan antar Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada pasal 14
ayat (3) akan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas
bertentangan dengan UUD Pasal 18 amandemen terakhir yang secara tegas
menyatakan bahwa hubungan wewenang tersebut diatur dengan UU.
Disamping materi yang secara langsung terkait dengan perihal hubungan antar
Pemerintah dan Daerah serta hubungan antar Daerah, UU No.32 tahun 2004
juga memuat berbagai pasal yang tidak secara langsung berkaitan. Berikut ini
adalah tabel yang memuat pasal-pasal yang dimaksud :
No Pasal Pernyataan interpretasi 1 Pasal 5 ayat (3) Syarat administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Hubungan wewenang ini dalam rangka asas desentralisasi.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
13
Kabupaten/ Kota meliputi adanya persetujuan DPRD Kabupaten/ Kota dan Bupati/ WaliKota yang bersangkutan, persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri dalam negeri
Menandakan adanya hubungan hirarkis dan dari bawah. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
2 Pasal 6 ayat (2) Penghapusan dan penggabungan Daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Hubungan wewenang yang dilakukan dalam rangka asas desentralisasi bersifat vertikal dari Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
3 Pasal 7 ayat (3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas usul dan persetujuan Daerah yang bersangkutan
Hubungan wewenang dalam rangka asas desentralisasi bersifat vertikal kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
4 Pasal 9 ayat (4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah mengikutsertakan Daerah yang bersangkutan
Hubungan wewenang dalam ayat ini tidak jelas dalam rangka asas apa? Secara vertikal dari Pemerintah. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
5 Pasal 9 ayat (5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepeada Pemerintah
Dalam rangka asas desentralisasi secara vertikal dari bawah (Daerah) kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
6 Pasal 27 ayat (2)
Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala Daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan
Hubungan wewenang dalam rangka asas desentralisasi secara Vertikal kepada Pemerintah dan internal kepada DPRD dan masyarakat. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
14
keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat.
7 Pasal 27 ayat (3)
Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri dalam negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati WaliKota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Hubungan wewenang Hirarkis, vertikal, dari atas dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi kepada Gubernur. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
8 Pasal 29 ayat (4) huruf a.
Pemberhentian kepala Daerah dan wakil kepala Daerah diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala Daerah dan/ atau wakil kepala Daerah tidak lagi memenuhi syarat, melanggar sumpah/ janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban dan/ atau melanggar larangan.
Hubungan wewenang dalam rangka asas Desentralisasi vertikal kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
9 Pasal 29 ayat (4) huruf e.
Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala Daerah dan/ atau wakil kepala Daerah tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.
Hubungan wewenang dalam rangka asas sentralisasi dan desentralisasi vertikal dari atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
10 Pasal 30 dan 31 (Lihat dalam UU) s.d.a perihal penghentian langsung oleh Presiden
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
15
terhadap jabatan Kepala Daerah dan wakilnya. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
11 Pasal 37 ayat (2)
Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden
Dalam rangka Dekonsentrasi, dan sifat hubungannya vertikal kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
12 Pasal 42 ayat 1 huruf d.
Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala Daerah/ wakil kepala Daerah kepada presiden melalui Menteri dalam negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada menteri dalam negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/ Kota
Dalam rangka Desentralisasi dan dekonsentrasi kepada Gubernur, hubungannya bersifat vertikal ke atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
13 Pasal 53 ayat (1)
Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRD Provinsi dan dari Gubernur atas nama menteri dalam negeri bagi anggota DPRD Kabupaten/ Kota
Dalam rangka Desentralisasi, hubungan bersifat vertikal ke atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
14 Pasal 66 ayat 2 Dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur KPUD Kabupaten/ Kota adalah bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan yang ditetapkan oleh KPUD Provinsi
Vertikal dalam kerangka asas desentralisasi (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
15 Pasal 111 ayat (1)
Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh Menteri dalam negeri atas nama Presiden
Sentralisasi, dekonsentrasi, dan desnetralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari atas (HUBUNGAN
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
16
ADMINISTRATIF) 16 Pasal 111 ayat
(2) Bupati dan wakil bupati atau waliKota dan wakil waliKota dilantik oleh gubernur atas nama presiden
Dekonsentrasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
17 Pasal 130 ayat (1)
Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada Pemerintah Daerah Provinsi ditetapkan oleh gubernur
Dekonsentrasi dan desentralisasi vertikal dari bawah ke atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
18 Pasal 130 ayat (2)
Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota ditetapkan oleh Bupati/ waliKota setelah berkonsultasi kepada gubernur
Dekonsentrasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari bawah ke atas (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
19 Pasal 131 ayat (1)
Perpindahan pegawai negeri sipil antar Kabupaten/ Kota dalam satu Provinsi ditetapkan oleh Gubernur setelah memperoleh pertimbangan Kepala badan Kepegawaian Negara
Sentralisasi, Dekonsentrasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari bawah ke atas (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
20 Pasal 131 ayat (2)
Perpindahan pegawai negeri sipil antar Kabupaten/ Kota antar Provinsi dan antar Provinsi ditetapkan oleh menteri dalam negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala badan Kepegawaian Negara
• Sentralisasi dan sifat hubunagnnya vertikal dan diagonal dari bawah
• Hubungan SDM (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
21 Pasal 131 ayat (3)
Perpindahan pegawai negeri sipil Provinsi/ Kabupaten/ Kota ke
• Sentralisasi • Hubungan SDM (HUBUNGAN
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
17
departemen/ lembaga Pemerintah non departemen atau sebaliknya, ditetapkan oleh menteri dalam negerisetelah memperoleh pertimbangan Kepala badan Kepegawaian Negara
ADMINISTRATIF)
22 Pasal 132 Penetapan formasi pegawai negeri sipil Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota setiap tahun anggaran dilaksanakan oleh menteri pendayagunaan aparatur negara
• Sentralisasi • Hubungan SDM (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
23 Pasal 135 ayat 1
Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil Daerah dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri dan pada tingkat Daerah oleh Gubernur
• Sentralisasi dan dekonsentrasi
• Hubungan SDM (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
24 Pasal 160 ayat (4)
Daerah penghasil sumberdaya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh menteri dalam negeri berdasarkan pertimbangan dari menteri teknis terkait
• Sentralisasi • Hubungan SDA (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
25 Pasal 160 ayat (5)
Dasar penghitungan bagian daerah dari Daerah penghasil sumberdaya alam ditetapkan oleh menteri teknis terkait setelah memperoleh pertimbangan menteri dalam negeri
• Sentralisasi • Hubungan Keuangan
dan SDA (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
26 Pasal 165 ayat (2)
Besarnya alokasi dana darurat ditetapkan oleh menteri keuangan dengan memperhatikan pertimbangan Menteri
• Sentralisasi • Hubungan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
18
dalam negeri dan menteri teknis terkait
27 Pasal 170 ayat (1)
Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari menteri keuangan atas nama Pemerintah setelah memperoleh pertimbangan dari menteri dalam negeri
• Desentralisasi dan sentralisasi. Sifat hubungannya vertikal ke atas
• Hubungan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
28 Pasal 175 ayat (1)
Menteri dalam negeri melakukan pengendalian defisit anggaran setiap Daerah
• Sentralisasi • Hubungan wewenang
dan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
29 Pasal 175 ayat (2)
Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi surplus/ defisit APBD kepada menteri dalam negeri dan menteri keuangan setiap semester dalam tahun anggaran berjalan
• Dalam rangka asas Desentralisasi dan hubungan yang tercipta bersifat vertikal ke atas
• Hubungan wewenang dan keuangan
(HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
30 Pasal 185 ayat (1)
Rancangan perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri dalam negeri untuk dievaluasi
Desentralisasi, dan sentralisasi. Sifat hubungannya vertikal ke atas Hubungan wewenang dan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
31 Pasal 186 ayat (1)
Rancangan perda Kabupaten/ Kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan Bupati/ waliKota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan Bupati/ WaliKota paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada
• Desentralisasi, dekonsentrasi dan sentralisasi. Sifat hubungannya vertikal ke atas
• Hubungan wewenang dan keuangan
(HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
19
gubernur untuk dievaluasi 32 Pasal 195 ayat
(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerjasama dengan Daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan
• Desentralisasi, dan sifat hubungannya horizontal
• Hubungan pelayanan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN)
33 Pasal 196 ayat (1)
Pelaksanaan urusan Pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas Daerah dikelola bersama oleh Daerah terkait
• Desentralisasi dan hubungannya bersifat horizontal
• Hubungan pelayanan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN)
34 Pasal 198 ayat (1)
Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan funsgi Pemerintahan antar Kabupaten/ Kota dalam satu Provinsi, gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud
• Desentralisasi, dan dekonsentrasi. Sifat hubungannya vertikal
• Hubungan wewenang (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN)
35 Pasal 198 ayat (2)
Apabila terjadi perselisihan antar Provinsi, antara Provinsi dan Kabupaten/ Kota di wilayahnya, serta antara Provinsi dan Kabupaten/ Kota di luar wilayahnya, menteri dalam negeri menyelesaikan perselisihan yang dimaskud
• Sentralisasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal, horizontal dan diagonal
• Hubungan wewenang (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN)
36 Pasal 222 ayat (1), (2), (3) dan (4)
(Lih. dalam UU) • Adanya hirarki vertikal dalam sistem pembinaan dan pengawasan bahkan sampai camat.
• Hubungan wewenang (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
20
Dari tabel tersebut tampak jelas sekali hubungan yang bersifat diagonal dan
horizontal masih sedikit diatur. Hubungan vertikal pun lebih banyak memuat
kewajiban-kewajiban yang diemban oleh Daerah, sedangkan hak-hak Daerah
dan apa yang harus dilakukan Pemerintah dan para menterinya memiliki porsi
yang lebih sedikit.
Pembagian Urusan-Urusan Kepemerintahan
Pembagian kewenangan Pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan
pesebaran kewenangan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah-
Daerah otonom. Kewenangan Pemerintah yang didistribusikan kepada Daerah
hanyalah kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), tidak termasuk
kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan kewenangan yudikatif
(peradilan).
Pembagian kewenangan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak
mungkin kewenangan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100%
desentralisasi dalam suatu Negara Bangsa. Terdapat kewenangan pemerintah
yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.
Hal ini terkait dengan sifat kontinumnya antara sentralisasi dengan desentralisasi.
Penyelenggara desentralisasi sendiri adalah unsur sentralisasi. Oleh karena itu,
penyelenggaraan desentralisasi dalam sebuah sistem pemerintahan, membawa
pemilihan adanya : (1) wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan; dan (2)
wewenang yang dapat didesentralisasikan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
21
BAGAN PEMBAGIAN URUSAN-URUSAN KEPEMERINTAHAN
Dinamis denganlandasan; Skala Ekonomi,Esternalitas,Catchment Area danLokalitas
Urusan SektoralPemerintah Nasional
DapatDidesentralisasikan
Tidak DapatDidesentralisasikan
Desentralisasi Medebewind SentralisasiMurni Dekonsentrasi
Diwajibkan PrakarsaSendiri
PROVINSI
Kabupaten/Kota
Medebewind SentralisasiMurni Dekonsentrasi
Local Needs
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
22
Dari bagan, wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah
wewenang pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal
urusan luar negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter),
yustisisi dan agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni
sentralisasi, (2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu
wewenang yang dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang
concurrent dapat dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena
adanya urusan-urusan yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2)
dekonsentrasi juga dapat dilakukan apabila diperlukan pelembagaan
apparatus pusat di daerah, (3) desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan.
Terjadinya hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terutama
disebabkan oleh adanya kewenangan yang bersifat concurrent. Wewenang
konkuren terdapat pada kelompok wewenang yang dapat didesentralisasikan.
Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui
kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas; dan (3) efisiensi. Namun masih
dapat dikembangkan pula melalui kriteria “catchment area” yang tidak diatur
dalam UU tersebut.
Kerapkali wewenang concurrent ini dapat menimbulkan konflik dan atau
terjadi kefakuman dalam proses pemerintahan. Namun, jika ditata secara
optimal dapat membawa sinergi dan menjaga kualitas pemerintahan lebih
terarah.
Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak
sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi
terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh
karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan
hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan
atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
23
Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan
Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan
yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah.
Undang-undang tersebut harus menata proses hubungan yang
dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut.
Kedudukan Badan Khusus Pelaksana Kewenangan
Perlu menjadi catatan bahwa seringkali hubungan horizontal antar kabupaten/
Kota baik dalam Provinsi maupun antar Provinsi yang terlembaga dengan
fungsi tunggal, membawa proses diciptakannya lembaga khusus semacam
otorita seperti lazim terjadi di negara maju. Sekarang ini kita dihadapi oleh
diskursus yang menyita perhatian banyak kalangan pasca Tsunami Aceh-
Sumut, yakni adanya keinginan Pemerintah membentuk Badan Otorita
Khusus Aceh (BOKA). Dengan demikian RUU Tata hubungan ini pun harus
diarahkan kepada kemungkinan penataan badan semacam ini bersama
Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi. Badan semacam
BOKA ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang bersifat
vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini di negara lain
diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional.
UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengakomodasi konsep Badan Otorita secara
eksplisit, walaupun terdapat pengaturan tentang kawasan khusus yang dapat
berdimensi milik Pusat atau milik Daerah. Nampaknya, pengaturan kawasan
khusus ini tidak mengacu pada konsep desntralisasi fungsional melainkan
mengacu kepada “penciptaan organisasi parastatal/semi otonom”. Oleh
karena itu, paradigma yang ada di belakang UU No. 32 tahun 2004 dalam
mengatur kawasan khusus ataupun badan-badan seperti BOKA masih
bersifat diametral antara menjadi milik Pusat dan menjadi milik Daerah.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
24
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa: (1) sentralisasi merupakan sumber dari bangun
distribusi wewenang; (2) antara sentralisasi dan desentralisasi bersifat
kontinum; (3) hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terjadi
pada wewenang yang bersifat concurrent.
Beberapa hal dapat direkomendasikan : (1) Tata hubungan wewenang antara
Pemerintah dan Daerah dan antar daerah perlu diatur dengan undang-
undang; (2) Perlu mencermati UUD hasil amandemen dan UU lain yang
bersinggungan; (3) hubungan yang diatur adalah hubungan resiprokal dan
dalam cakupan baik penempatan Gubernur sebagai wakil pemerintah
maupun sebagai gubernur, dan (4) hubungan wewenang yang terkait dengan
lembaga khusus pun perlu diakomodasi pula mencermati perkembangan ke
depan.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
25
BAB III TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Pendahuluan
Beranjak dari pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia
lazim disebut sebagai negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized
unitary state; gedecentraliseerde eenheidsstaat). 1 Menurut Profesor
Bhenyamin Hoessein, Guru Besar FISIP-UI bidang Pemerintahan daerah,
menyatakan bahwa secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui
keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi,
melainkan sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh
Frank P. Sherwood pun diungkap hal yang senada:2
“Such Theory has led to the idea of centralization-decentralization continuum, which is really an attempt to describe the power relationships among the various participants in the systems. First, however, it is important to examine some of the assumptions of the continuum and to consider the extent to which they limit its usefulness and applicability. The continuum assumes that there is a certain quantum of power within an organization that can be distributed in differing ways; and it does not account for the fact, now rather well documented, that power is highly variable. The addition of power at one level of hierarchy does not at all mean the automatic withdrawal of power at another.”
Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk
menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan
penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk
mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.
Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut
secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in
unity”.
1Bhenyamin Hoessein (2004). Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah. Seminar
MENPAN-FISIP-UI. 2Frank P. Sherwood, “Devolution as A Problem of Organization Strategy,” dalam
Robert T Daland, Comparative Urban Researc, Sage Publication, California: 1969, hal. 65
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
26
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya
dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara
teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti
pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk
mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya dengan aspek
kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas
jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan
wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait
dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai
batas yurisdiksi fungsi tersebut.
Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut baru menserap
desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi habis antara
Pemerintah Pusat dan elemen-elemenya serta pemerintah daerah dan
elemen-elemennya. Desentralisasi fungsional menciptakan kelembagaan
khusus pada bidang tertentu dan otonom. Pada masa Hindia Belanda, pada
1920, pernah diciptakan lembaga otonom khusus bidang tertentu yakni
pengairan (irigasi) berupa ‘waterschappen’ yang di negeri Belanda sendiri
hidup dan berkembang pesat.
Sejak kemerdekaan UUD 1945 tidak menganut kembali desentralisasi
fungsional yang telah diterapkan pada masa Hindia Belanda. Adanya otonomi
khusus dan istimewa bagi daerah-daerah tertentu bukan berarti adanya
desentralisasi fungsional. Keberadaan otonomi khusus dan istimewa berada
dalam desentralisasi teritorial.
Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial)
Dalam berbagai pendapat pakar, termasuk pendapat Profesor Bhenyamin
Hoessein, diketahui bahwa penyelenggaraan desentralisasi senantiasa
terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan
penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
27
pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi
dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan
mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan
daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi
juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur
melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah
yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak
pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang
ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan
pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah.
Dalam hal ini, Profesor Bhenyamin Hoessein sebagai tim Perumus UU No. 22
Tahun 1999 juga mengatakan bahwa sekalipun setiap perubahan UU
Pemerintah Daerah pada dasarnya merupakan reformasi pemerintahan
daerah, namun terdapat perbedaan mengenai gradasi, skala dan besaran
substansi perubahan yang dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU
No. 25 tahun 1999.
Perubahan yang didorong oleh kedua UU tersebut tergolong perubahan yang
radikal (radical change) atau drastis (drastic change) dan bukan perubahan
yang gradual (gradual change). Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan
yang menyertai reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian
reformasi yang pernah terjadi sebelumnya. Undang-undang No. 32 Tahun
2004 sebagai penggantinya telah berusaha membenahi kekurangan-
kekurangan pada UU sebelumnya meskipun masih terdapat berbagai
kekurangan. Sebagai sebuah kebijakan pun tidak terlepas dari kritikan.
Pada dasarnya, terlepas dari polemik mengenai UU tersebut, desentralisasi
dalam konsep negara kesatuan merupakan instrumen atau alat dalam
mencapai tujuan negara sehingga keseimbangan antara kebutuhan
penyelenggaraan desentralisasi dengan kebutuhan kesatuan bangsa
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
28
merupakan variabel yang harus tetap menjadi prioritas. Pembagian
kewenangan pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan
persebaran kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada
daerah-daerah otonom. Kewenangan pemerintah yang didistribusikan kepada
Daerah hanyalah merupakan kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), jadi
tidak termasuk kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan
kewenangan yudikatif (peradilan).
Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, persoalan-persoalan
persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah
dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang
yang diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya
posisi gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur
itu adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah
otonom itu adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus
mengintegrasikan kembali (how to reintegrated). Pengintegrasiannnya
dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai daerah otonom dan
sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur juga memilki dual role
sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah.
Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi
kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru
merebak “dispute” yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan
antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah.
Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah
Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan
kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur
merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan
hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci.
Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
29
Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara
gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala
Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas
(Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis?
Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di
wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan.
Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara
lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk
menghindari polemik.
Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah
dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan sub-
sistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik
menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen
Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c)
tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai
jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa
Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk
memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal,
pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang
bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.
Disamping itu, yang tidak dapat dielakkan adalah amanat UUD. Pasal 1, 18,
18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; khususnya ayat (1) pasal
18 A menyatakan:
”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
30
Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata
hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah
produk hukum lain tetapi justru secara khusus harus disusun sebuah UU akan
hal itu. Sandaran legalitas dari pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita
menyusun sebuah UU.
Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah
Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah
mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan
berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan
yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat
kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar
berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang
membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan
Wilayah.
Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam
hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip
kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip
kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik.
Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat
dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik.
Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi
dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang
baik.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
31
Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,
horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik
dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam
antar ketiga area tersebut.
Penutup
Penataan hubungan antar Pemerintahan ini dimaksudkan memenuhi
kebutuhan empirik yang seringkali terjadi dispute yang tidak diinginkan yang
menyangkut mekanisme dan proses timbal balik antara berbagai unsur
pemerintahan disamping amanat UUD. Tidak dapat dipungkiri komitmen
semua pihak dalam rangka mendukung terciptanya kepemerintahan yang
baik sehingga mendorong kamajuan bangsa sangat menentukan bagaimana
penataan hubungan ini dapat berjalan. Oleh karena itu, perlu juga diantisipasi
’remedy’ dalam penataan tersebut. Perselisihan dan Sanksi dalam penataan
tersebut juga dibutuhkan.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
32
BAB IV HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
Pendahuluan
Ada dua alasan utama mengapa “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia” merupakan hal yang penting
untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah,
adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu
pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar
(sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat
menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan
hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik,
gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud
gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk
dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan
negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami
semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan
keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru.
Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-
masalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan
mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2).
Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai
pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat
tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik
pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95).
Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan
kepada unit-unit sub nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan
penyelenggaraan tugas-tugas negara dan pemerintahan akan senantiasa
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
33
berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun
negara yang berstruktur unitaris (kesatuan).
Dinamika Hubungan Pusat - Daerah
Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja
terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negara-
negara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan
Swiss. Di Jerman misalnya, perubahan hubungan antara pusat (Bund/federal)
dengan negara bagian (Laender/state) berkaitan langsung dengan proses
penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur, juga dengan proses integrasi
Eropa. Defisit subtansi federalisme terjadi pada hampir semua kewenangan
yang ditunjukkan dengan meningkatnya konsentrasi kewenangan mengatur
dan mengurus pada pusat (Bund). Peningkatan konsentrasi kewenangan
pada pusat telah menyebabkan hilangnya substansi kemandirian politik dan
kualitas “negara” pada negara bagian. Pada sisi lainnya juga terjadi
ketergantungan negara bagian miskin pada bantuan keuangan pusat dan
negara bagian (Prasojo, 2003:32). Tendensi ini yang disebut di Jerman
sebagai cooperative federalism sampai kepada coercive federalism (Gunlick,
Berlin, 2000: 46). Hal yang sama terjadi juga pada sistem federalisme Swiss
yang dicerminkan dengan pengambilalihan kompetensi dasar negara bagian
(Kantone) oleh pusat (Bund). Demikian juga sentralisasi kewenangan yang
terjadi di federal USA melalui proper and necessary clause. Ketentuan ini
memberikan hak kepada pusat untuk mengatur dan menyelenggarakan
kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi tetapi melekat secara inheren
untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki.
Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan
bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan
refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat
dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan
ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong
keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara
vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal,
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
34
tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang
berkembang.
Gambar 1: Kontinum Hubungan antara Pusat dan Daerah
Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi
pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak
mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya
sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak
bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke
kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya
(Laufer dan Ursula, 1998: 14). Titik temu keseimbangan antara gerakan
sentripetal dan sentrifugal dalam hubungan pusat dan daerah dapat dikaji
dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek tingkatan dan kedudukan
pemerintah daerah, pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap
daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, aspek pembagian
(perimbangan) sumberdaya keuangan, dan aspek penyelesaian konflik yang
terjadi antar level pemerintahan. Dalam problem setiap negara bangsa, tugas
terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah
menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan
gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar
akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada
Unitaris Federalis Federalis-Unitaris
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
35
disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan
menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan
partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari
satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk
federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi
sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari
pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut.
Gambar 2: Gerakan Sentrifugal dan Sentripetal dalam hubungan Pusat dan
Daerah
Problematika Hubungan Pusat – Daerah di Indonesia
Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia,
marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek
hubungan tersebut pada masa kekinian dalam kontek penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah
sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
(lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan
separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat
terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja
memiliki keterkaitan dengan aspek horizontal distribution of power.
Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang
berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang
surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan
yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
36
UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Dalam tulisan ini
tidak akan dibahas bagaimana pasang surut hubungan pusat dan daerah di
Indonesia sejak kita merdeka, sebagaimana terlihat dalam UU No. 1 tahun
1945, UU No. 22 tahun 1948, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun
1949, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965, dan UU No. 5 tahun
1974. Berbagai konstruksi hubungan Pusat dan Pemerintah dalam
perundang-undangan tersebut telah banyak ditulis dan disampaikan oleh
Bhenyamin Hoessein (Hoessein, 1997, 1999, 2001, 2001). Hoessein di tahun
1995 menyebutkan bahwa roda desentralisasi di Indonesia telah mengalami
lima kali perputaran (Hoessein, 1995: 15). Seiring dengan perkembangan
yang terjadi di Indonesia, telah terjadi lagi satu kali perputaran roda
desentralisasi ke arah demokrasi pada tahun 1999.
Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki
ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai
tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula
dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus
1999 melalui referendum, berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga
terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan.
Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan
Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan
bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek
domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MOU
Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek
domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut
sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan
ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari
kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di
negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54).
Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada
kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan
Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang
direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
37
dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem
pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak
telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia.
Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU
No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang
serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina,
Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini
menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik,
faktor ekonomi dan faktor demografi.
Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil
meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan
Soeharto. UU No. 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas
dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya
dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan
pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan
kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas
pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam
pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah
daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan
mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan
kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara
pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi. Konstruksi
hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun
1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini
menjadi sangat lemah, karena para elite lokal yang menghendaki
kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih
tertarik untuk menjadi “raja kecil” di wilayahnya, daripada menjadi “hulu
balang” di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan
meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
38
antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia
secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).
Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa
Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah.
Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah
menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah. Kekayaan alam di Aceh
yang diekspor menghasilkan keuntungan US$ 2 Milyar pada tahun 1997
hanya memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh sebesar 0,05% melalui
APBN. Meskipun produksi minyak Caltex di Riau tahun 1999 mencapai 23
Trilyun, tetapi masyarakat Riau termasuk yang paling miskin di Indonesia.
Sedangkan PT Freeport yang mengeruk keuntungan tahun 1997 US$ 1,1
Milyar, tetapi masyarakat Papua tetap hidup seperti pada zaman batu.
Konstruksi Hubungan Pusat – Daerah Pasca Orde Baru Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto
boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan
daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan
Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi
yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,
yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan
sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Bahkan hasil
penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya
otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local
responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk
konsep ini Smith, 1985:24). Otonomi daerah yang sangat luas telah
menyebabkan tensi politik yang lebih tinggi daripada upaya-upaya
peningkatan pelayanan publik. Penyusunan organisasi perangkat daerah
kabupaten/kota –tidak terkecuali propinsi- lebih banyak ditentukan oleh
akomodasi kepentingan-kepentingan tertentu. Setelah Pilkada langsung,
afiliasi ini menjadi lebih besar, karena politik akomodasi mewarnai proses
pemilihan langsung kepala daerah. Bahkan pengisian jabatan-jabatan dalam
struktur organisasi perangkat daerah sangat ditentukan oleh afilisasi
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
39
seseorang dengan bupati/walikota. Disamping itu, alasan Dana Alokasi
Umum dari pusat juga menjadi justifikasi perlunya pembengkakkan organisasi
perangkat (budget maximizing). Di beberapa daerah nepotisme berdasarkan
kebangsawanan, sukuisme dan afiliasi politik masih mewarnai proses
rekrutmen, penempatan, promosi dan mutasi jabatan tertentu. Bahkan “gelar
kebangsawanan” secara sengaja diciptakan oleh bupati/walikota untuk
memperkuat posisi jabatan, sekaligus membedakan masyarakat biasa
dengan masyarakat yang memiliki status kebangsawanan tertentu. Hal ini
muncul dengan istilah misalnya “laskar” dan “putera asli”. Istilah “anak
daerah” sejatinya telah muncul pada tahun 1950-an sebagai antagonis dari
orang pusat yang di drop daerah (Mackie, 1980:672).
Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata
tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia.
Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah
utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan
pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang,
karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme
Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur
pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga
politik afiliasi dan politik akomodasi.
Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik
maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah
keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran.
Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses
penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh
perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul
menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon
kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur
sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak
dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
40
Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan
akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks
dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat
dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi
pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran
misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus
dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Proses
Musrenbang menjadi formalitas belaka, karena banyak usulan pembangunan
yang akhirnya hilang karena peran pemerintah yang sangat besar (Muluk,
2006:139). Bahkan dokumen anggaran yang seharusnya menjadi dokumen
publik hanya mungkin diakses dengan cara-cara ‘pintu belakang’. Pada sisi
lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja
pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang
terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan
mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat
tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon
dan ditindaklanjuti.
Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya
Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat
atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan
pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada
daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak
memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA
oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Proses AMDAL dalam
pemberian izin pemanfaatan SDA faktanya hanyalah bersifat formalitas dan
tidak dijadikan sebagai dasar yang objektive dalam pengambilan keputusan.
Pemberian izin pemanfaatan SDA seringkali lebih menguntungkan
pengusaha daripada masyarakat. Pemilihan langsung kepala daerah yang
diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya
tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain eklusif
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
41
partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya
melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam
prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi
adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses pencalonan
kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang
telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.
Meskipun demikian, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004
tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil
daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program
inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi
ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun
sangat bangga dengan program-program yang telah memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo
dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten
Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran
kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi
keberlanjutan program-program inovasi tersebut.
Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan
besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu
sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22
No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata
belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang
mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang
diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11
tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU
No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua
berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar
tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap
gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
42
memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi
otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan
bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan
daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan
aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan
Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan
Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta
berbagai problem lainnya sebagaimana telah disinggung dimuka.
Kedua pokok permasalahan di atas menghendaki satu perubahan mendasar
hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan
konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan
tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan
pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau
urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan
antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan
keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah.
Konstruksi Ulang Hubungan Pusat – Daerah untuk Indonesia
Pembahasan berbagai muatan dalam konstruksi ulang hubungan antara
Pusat dan Pemerintah tidak dapat dilepaskan dalam kerangka teori bentuk
negara dan upaya untuk menselaraskan kekuatan sentripetal dan kekuatan
sentrifugal yang senantiasa dinamis bergerak dalam sebuah negara bangsa.
Tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi untuk mengadopsi bentuk negara
federal dan mengubah bentuk negara kesatuan yang telah menjadi
konsensus para pendiri negara. Persoalannya bukan terletak pada perubahan
bentuk negara, tetapi lebih besar pada upaya mencari format hubungan
vertikal antara pusat dan daerah. Dalam praktek hubungan antara pusat dan
daerah di berbagai negara, pendulum unitarisme dan federalisme saling
bergerak ke arah yang berlawanan. Bahkan sejak tahun 1947 seorang
sarjana hukum Jerman Bodo Denewitz mengatakan bahwa federalisme dan
unitarisme adalah dua konsep kembar yang tidak mungkin membicarakan
satu tanpa membicarakan yang lainnya. “... so haben auch die bisherigen
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
43
Untersuchungen über das Wesen des Föderalismus diesen fast
ausschließlich und zumindest regelmäßig nur im Zusammenhang mit dem
Begriff Unitarisme behandelt” (Denewitz, 1947: 81). Kombinasi berbagai
instrumen unitarisme dan federalisme tersebut bahkan membentuk kharakter
khusus konstruk hubungan antara pusat dan daerah.
Memang dapat dipahami adanya kekhawatiran dari sejumlah kalangan
terhadap ide dan keinginan perubahan bentuk negara kesatuan ke negara
federal. Karena perubahan yang sangat radikal dalam tatanan negara
seringkali dapat menyebabkan situasi anomali dan chaos. Perubahan yang
evolutif, dilakukan secara komprehensif dengan agenda setting yang
bertahap merupakan pilihan yang mungkin dilakukan. Fakta bahwa berbagai
instrumen yang digunakan dalam negara kesatuan dan negara federal dapat
saling bertukar tidaklah dapat dipungkiri. Jika pembahasan lebih lanjut
diarahkan pada perbandingan berbagai bentuk negara federal, maka niscaya
akan kita dapatkan berbagai perbedaan yang signifikan antara federal Jerman,
federal Austria, federal USA, federal Australia, federal Kanada, federal India,
dan mungkin juga federal Malaysia. Berbagai instrumen yang dipergunakan di
masing-masing negara memiliki keunikan dari kontinum yang bersifat sangat
federalis-liberal sampai pada federalis unitaris. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pemikiran untuk mengadopsi instrumen yang lazimnya
dipergunakan di negara federal, tanpa merubah bentuk negara kesatuan
menjadi federal, adalah sesuatu yang mungkin.
Sayangnya, ide dan pemikiran dasar federalisme dan negara federal di
Indonesia sudah terlanjur layu sebelum berkembang. Padahal melalui
penjelasan terhadap beberapa kharakter negara federal kita dapat secara
cermat memahami esensi ikatan Pusat dan Daerah yang bercorak federalis.
Hal ini akan membantu kita mengkonstruksi ulang hubungan antara pusat dan
daerah di Indonesia dengan kacamata yang lain, yaitu bentuk negara federal.
Seperti telah menjadi pemahaman umum, bahwa pusat dalam negara federal
adalah struktur bentukan negara-negara bagian. Kewenangan yang dimiliki
oleh pusat lazimnnya merupakan kewenangan yang diserahkan dalam
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
44
konstitusi federal (Prasojo, 2005:105). Dalam hal ini terdapat dua kelaziman
cara untuk memberikan kewenangan kepada struktur federal yang terbentuk.
Pertama, konstitusi mengatur secara detail kewenangan yang dimiliki oleh
pusat (federal). Kewenangan tersebut dapat berupa kewenangan mengatur
dan kewenangan mengurus. Kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi
sebagai kewenangan pusat, dengan sendirinya merupakan kewenangan
negara bagian. Prinsip inilah yang dikenal dengan kewenangan sisa untuk
negara bagian (residu of powers to state). Diantara negara-negara federal
yang menganut prinsip residu of powers to state adalah USA, Jerman, Swiss
dan Austria. Cara kedua dengan menetapkan di dalam konstitusi federal
kewenangan yang dimiliki oleh negara bagian, sedangkan sisanya dimiliki
oleh pusat. Penetapan kewenangan sisa semacam ini disebut dengan residu
of powers to federal. Negara yang menganut cara kedua ini adalah Kanada
dan India.
Dalam teori dan praktek hubungan pusat dan daerah di kebanyakan negara
federal, kekuasaan dan kewenangan pusat tidak hanya berasal dari konstitusi,
melainkan juga dari interpretasi dan komentar terhadap konstitusi yang
diberikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Sekedar menyebut contoh
kewenangan pusat yang lahir dari interpretasi dan komentar terhadap
konstitusi adalah “implied powers” dan “necessary and proper clause” di
Amerika Serikat, dan “stillschweigende Kompetenzen kraft Natur der Sache”
dan “kraft Zusammenhang” di Jerman. Kekuasaan inilah yang menyebabkan
terjadinya kecenderungan sentralisasi di negara-negara federal (Prasojo,
2003:403).
Selanjutnya, termasuk elemen penting dalam negara federal adalah
pengawasan federal (federal control), intervensi federal (federal intervention),
dan eksekusi federal (federal execution). Di area kekuasaan dan kewenangan
murni negara bagian, pengawasan federal bertujuan menjamin kesesuaian
norma hukum negara bagian (baik konstitusi maupun undang-undang)
dengan norma hukum konstitusi dan Undang-Undang federal. Dalam
kewenangan yang secara konstitutional ditetapkan sebagai kewenangan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
45
pusat, tetapi penyelenggaraannya dilimpahkan kepada negara bagian, maka
pengawasan pusat tidak saja bertujuan menjamin kesesuaian norma hukum
negara bagian terhadap konstitusi federal, tetapi juga menjamin kesesuaian
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan federal. Pengawasan pusat dapat
berujung kepada eksekusi federal, jika menurut pusat, negara bagian melukai
dan melanggar konstitusi federal. Namun demikian, untuk menjamin
eksistensi soverenitas dan karakter “state” pada negara bagian, maka
eksekusi pusat hanya dapat dilakukan jika tahapan berikut ini dilalui; Pertama,
negara bagian jelas-jelas melukai dan melanggar norma hukum konstitusi;
Kedua, pusat (federal) telah memberi peringatan dan ancaman terhadap
pelanggaran tersebut; dan Ketiga, negara bagian tetap tidak melakukan
koreksi terhadap pelanggaran norma hukum. Konstruksi hubungan struktur
pusat dan negara bagian dalam sebuah negara federal dengan demikian
mengizinkan eksekusi oleh pusat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
negara bagian, sekalipun dalam bentuk ekstrim melalui tindakan militer.
Pengaturan tindakan militer dalam eksekusi pusat terhadap negara bagian
semacam ini terdapat antara lain di dalam Konstitusi Federal Swiss Artikel
173, meskipun dalam prakteknya belum pernah diterapkan. Dengan ulasan ini
dapat dipertegas, bahwa prinsip homogenitas (kesesuaian norma hukum
yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi) dalam hubungan
antara pusat dan daerah dilakukan oleh pusat, dan bukan sebaliknya oleh
negara bagian (atau oleh pemerintah daerah). Sehingga persetujuan
terhadap sebuah produk perundang-undangan di tingkat pusat yang terkait
dengan daerah, di negara federal sekalipun –apalagi di negara kesatuan–
tidaklah melalui konsultasi dan persetujuan dengan Lembaga Perwakilan
Lokal (Parlemen Lokal), sebagaimana kesepakatan dalam MOU Helsinki butir
1.1.2..”Decisions with regard to Aceh by Legislature of the Republic of
Indonesia will be taken in consultation with and with consent of the legislature
of Aceh”. Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan kebijakan dan
perundang-undangan di tingkat pusat dilakukan melalui lembaga Kamar
Kedua Parlemen.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
46
Berbeda dengan eksekusi federal, intervensi federal tidaklah bersifat sanksi,
karena intervensi federal tidak berkaitan dengan pelanggaran norma hukum.
Tetapi sebaliknya, intervensi federal merupakan instrumen federal yang
bertujuan menjamin kemampuan negara bagian untuk melaksanakan
kewenangannya. Intervensi federal adalah bagian dari pengawasan federal
yang bersifat bantuan. Intervensi federal hanya dapat dilaksanakan, jika
negara bagian tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan yang
dimilikinya dan atau terjadinya kondisi yang menyebabkan negara bagian
tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Contoh
konkret intervensi federal adalah dalam kasus bencana alam yang melanda
satu negara bagian, dimana negara bagian tersebut tidak dapat mengatasi
bencana tersebut dan atau tidak dapat melaksanakan kewenangannya
karena gangguan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tersebut.
Intervensi federal dapat dilakukan atas inisiatif federal dan dapat juga
dilakukan atas permintaan negara bagian. Konteks substansi hubungan pusat
dan negara bagian dalam hal intervensi adalah jaminan bantuan yang
diberikan oleh pusat kepada negara bagian terhadap pelaksanaan
kewenangan atau urusan yang dimiliki oleh negara bagian. Tidak saja dalam
keadaan darurat bencana, tetapi juga keadaan normal dimana negara bagian
tidak mampu melaksanakan kewenangan yang dimiliki.
Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan undang-undang dan
kebijakan nasional (federal) juga menjadi elemen penting dalam negara
federal. Secara mendasar hal ini bertujuan memberikan jaminan perlindungan
kepada negara bagian dari eksekusi dan intervensi federal yang dapat
menyebabkan defisit soverenitas dan otonomi negara bagian. Dalam praktek
penyelenggaraannya, bentuk dan cara keterlibatan negara bagian dalam
proses pembuatan undang-undang di tingkat pusat ini sangat beragam.
Tetapi demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa semua negara federal
menganut sistem dua kamar dalam proses artikulasi politik nasional, yaitu
sistem parlemen dua kamar; satu kamar terdiri dari wakil rakyat yang dipilih
dalam pemilihan umum, dan kamar yang lain terdiri dari wakil-wakil negara
bagian. Metode pemilihan dan keterikatan politik antara wakil-wakil negara
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
47
bagian dan negara bagian yang bersangkutan juga sangat variatif. Para
senator di Amerika Serikat dipilih secara langsung oleh rakyat negara bagian
dan tidak memiliki keterikatan politik secara formal dengan eksekutif dan
legislatif di negara bagian dalam keputusan politiknya di Senat. Di Jerman
sebaliknya, anggota Bundesrat terdiri dari kepala dan anggota-anggota
pemerintahan negara bagian (Länder) dan keputusan politik setiap anggota
adalah terikat dengan keputusan pemerintah negara bagian. Dalam kasus
federal Swiss, disamping melalui sistem dua kamar, negara bagian juga dapat
mempengaruhi keputusan politik dan undang-undang nasional lainnya melalui
institusi demokrasi langsung (Ständemehr dan referendum). Juga dalam hal
pemberian suara, terdapat variasi antara Senat di USA dan Bundesrat di
Jerman. Setiap senator memiliki satu suara dan dapat berbeda dengan
senator lainnya dari negara bagian yang sama. Sedangkan anggota
Bundesrat tidak memiliki hak suara individu karena setiap negara bagian
hanya dihitung satu suara dan harus diberikan secara sama. Terlepas dari
sistem pemilihan dan keterikatan politik anggotanya, sistem dua kamar
merupakan elemen sentral keterlibatan negara bagian dalam proses
pembuatan undang-undang nasional (Bothe, Berlin, 1977:84). Sistem
parlemen dua kamar telah diadopsi di Indonesia dengan kewenangan yang
bersifat konsultatif.
Pembicaraan hubungan pusat dan daerah di negara berstruktur federal tidak
pula terlepas dengan perimbangan keuangan baik secara vertikal antara
negara bagian dan negara pusat maupun antara negara bagian dengan
negara bagian. Pembagian sumber-sumber keuangan dan pembiayaan
kewenangan antara pusat (federal) dan negara bagian diatur secara detail
dalam konstitusi federal. Menurut kelaziman, konstitusi menetapkan jenis-
jenis pajak yang dimiliki secara terpisah oleh Pusat dan Negara Bagian.
Disamping itu, karena sifat otonomi yang dimiliki oleh “state” yang bukan
merupakan bentukan pusat, maka sumber-sumber penerimaan terbesar dari
sektor pajak maupun non pajak dapat dimiliki secara paralel oleh pusat
maupun negara bagian, sehingga dimungkinkan terjadinya double taxation
bagi warga negara.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
48
Dalam negara berstruktur federal yang lain, beberapa pajak potensial seperti
pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan dan pajak penjualan dipungut
oleh negara pusat dan hasilnya dibagi secara bersama antara pusat, negara
bagian dan municipal. Konstitusi atau Undang-Undang menetapkan besarnya
bagi hasil pajak-pajak tersebut. Jika karena alasan-alasan tertentu parlemen
telah bersepakat, maka besarnya prosentase bagi hasil dapat direvisi. Di
Jerman misalnya, prosentasi bagi hasil Pajak Penghasilan adalah 42,5%
Pusat, 42,5% Negara Bagian dan 15% Kommune. Sedangkan pajak
pertambahan nilai dibagi 50,5% pusat dan 49,5% negara bagian. Disamping
pembagian secara terpisah dan bagi hasil, sistem federal Jerman juga
menganut perimbangan keuangan horizontal antara negara bagian kaya
kepada negara bagian miskin.
Uraian terkait dengan problem kekikinian yang dihadapi Indonesia dalam
konteks hubungan antara pusat dan daerah, juga uraian tentang teori dan
praktek penyelenggaraan hubungan pusat dan daerah di beberapa negara
federal dimaksudkan untuk membentangkan pemahaman dalam upaya
mencari format konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia
pada masa yang akan datang. Seperti yang telah disinggung dimuka, gerakan
dinamis sentripetal dan sentrifugal selalu terjadi dalam semua negara dari
satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, baik di negara kesatuan maupun
negara federal. Sehingga semakin jelaslah bagi kita bahwa instrumen yang
lazim dipergunakan di negara federal dapat saja diadopsi di negara kesatuan,
jika dilakukan secara cermat dan berhati-hati.
Akan halnya konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa
yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan
tersebut.
Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
49
Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan
pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu
kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,
tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan
Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini,
penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945
perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan
polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan
praktek di negara federal. Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh
Bhenyamin Hoessein. Pandangan tersebut demikian adanya. Meskipun
demikian, tulisan ini tidak akan melanjutkan polemik tersebut melainkan akan
menekankan pada konstruksi tingkatan pemerintahan daerah, peran dan
kedudukannya.
Perjalanan panjang penelitian di beberapa daerah mengarahkan pada
kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun
1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi
(fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi
ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah.
Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak
adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam
prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai
Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan,
pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah
kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur.
Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan,
pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal,
seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah
berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batas-
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
50
batas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas
administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan.
UU No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah-
masalah yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata
belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah
terbentuk.
Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga
konstruksi teoritis yang ada, maka konsensus untuk menghilangkan status
daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap
mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti
dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk
melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota
tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini,
karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat
kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat
instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai
WPP. Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk
mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi,
pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya.
Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat
katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur
dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang dimaksudkan sebagai upaya
untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan
sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah.
Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan
Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004
dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
51
kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar
tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat.
Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada
kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif
oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999
disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada
daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak
perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material
ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut
oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya,
ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan
sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein,
2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat
dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas
sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang
pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).
Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah
Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim
dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan
Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi,
sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal
secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999
menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal
pembagian wewenang.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang
berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
52
ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.
Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua
prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu
berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi
kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya,
untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika
prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi
mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan
pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat
fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan
pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan
ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-
sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,
propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat
pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan.
Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada
inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang
sudah diberikan Undang-Undang. Bagi daerah, inkonsistensi ini
membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari
inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam
kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang pembagian kewenangan, dapat dirasakan ketegangan antara sektor
dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh
pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan kewenangan.
Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat
dan daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama,
dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan
yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang
bersifat nasional dilakukan oleh pusat. Sedangkan Propinsi dan
Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
53
Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus
dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1)
kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi,
(3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus
dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka
dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan,
dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di
negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara
bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan
tersebut dapat dikurangi. Dalam tulisan ini diusulkan agar pembagian
kewenangan berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
secara tuntas di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan
Pemerintah sebagaimana yang dianut pada saat ini, cenderung
menguntungkan pusat dan melemahkan daerah.
Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk
menumbuhkembangkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan
tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh
kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu
adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber
penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka
hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun
waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi
sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan
terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah
persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan
dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD
1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan
dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dan ketiga,
kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan
pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien.
Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
54
terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane,
1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui
UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata
belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumber-
sumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara,
meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada
sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga
terjadi.
Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bersumber
dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga
disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam
UUD 1945. Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut, tulisan ini menawarkan pengungkit yang dapat
dijadikan sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan
pajak dan bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi
hasil penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar
daerah, dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua,
keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana
setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan
keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi
perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki
kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal
antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan
money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh
menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap
daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil
pajak. Kelima, perlunya mempertegas dan memperjelas ketentuan
perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin
kedudukan hukum pemerintah daerah.
Penutup
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
55
Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk
terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan
Daerah berkedudukan sebagai “parlemen kedua” bersama-sama dengan
DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk
memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD
diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan
anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan
pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang
mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama
untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah
dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.
Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada
produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan
kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan
perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang
yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan
yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada
produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi
juga Undang-undang yang lainnya.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas yang menjadi arahan dalam
penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan
Daerah ini, dapat disimpulkan sejumlah hal sebagai berikut:
Penyusunan UU mengenai Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota atau antara
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten dan Kota merupakan amanat UUD 1945
hasil amandemen khususnya Pasal 18 A ayat (1).
Pengaturan Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah dan
hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan yang bersifat
resiprokal (tidak bersifat satu arah baik dari atas kebawah/downward dan
sebaliknya/upward) dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah. RUU
harus menata proses hubungan yang dikembangkan secara resiprokal di
dalam cakupan tersebut.
RUU harus diarahkan pula kepada kemungkinan penataan badan badan
khusus bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi.
Badan khusus ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang
bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini dapat diciptakan
melalui instrumen desentralisasi fungsional.
Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara
lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk
menghindari polemik. Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
57
proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan wewenang atas
dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah
mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas
dasar prinsip kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah
mekanisme dan proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip
kepemerintahan yang baik.
Penyusunan RUU yang telah dilakukan dirasakan belum memadai khususnya
dalam mengakomodir pandangan dan pendapat dari segenap stakeholder
yang ada mengenai materi yang harus diatur dalam UU Tata Hubungan
Kewenangan
Saran
Berdasarkan pemaparan dan kesimpulan di atas disarankan agar dilakukan
pendalaman kajian penyusunan RUU ini di tahun mendatang sehingga dapat
mematangkan materi pengaturan dalam Draft RUU Tata Hubungan
Kewenangan yang telah dihasilkan dalam kegiatan ini. Melalui kegiatan
pendalaman dan pematangan ini diharapkan Draft RUU tersebut dapat
memperoleh masukan-masukan materi yang lebih memadai dan
komprehensif dari segenap stakeholder lain yang belum berkesempatan
memberi saran dan masukan dalam pelaksanaan kajian kali ini.
Dalam pendalaman dan pematangan tersebut, perlu juga memperhatikan UU
dan RUU lain yang bersinggungan dengan Draft RUU Tata Hubungan
Kewenangan ini.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
58
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arthur B. Gunlicks. 2000. “Föderative Systeme im Vergleich: Die USA und Deutschland “, in: Von Arnim, Hans Herbert/Färber, Gisela/Fisch, Stefan (Eds). Föderalismus – Hält er noch, was er verspricht?, Berlin: h. 41-62
Bothe, Michael. 1977. Die Kompetenzverteilung des modernen Bundesstaates in rechtsvergleichender Sicht. Berlin.
Bell, Daniel. 1988: “The World in 2013“, Journal Dialogue. Clarke, Michael and Stewart, John. The Choices for Local Government; for
The 1990’s and Beyond, Longmann UK,. 1991 ____________. General Management in Local Government: Getting the
Balance Right. Longmann. UK. 1990 Cochrane, Allan. Whatever happened to Local Government. Open University
Press, Buckingham. 1993 Conyers, Diana. Regional Administration and Regional Planning: A Plea for
Integration. University of Nottingham, The Hague. 1983 Couch, Chrish. Urban Renewal; Theory and Practice. Mac Millan, London.
1990 Crane, Randal. 1995. “The Practice of Regional Development in Indonesia:
Resolving Central-local Coordination Issues in Planning and Finance”. Public Administration and Development. Vol. 15. hal. 140.
Daft, Richard, L,. Organization Theory and Design. West Publishing Co,. Singapore. 1992.
Daldjoeni, N,. Seluk-beluk Masyarakat Kota. Alumni. Bandung. 1992 Davey, K.J.. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek internasional
dan relevansinya bagi dunia ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988
De Mello, Luiz R. JR. 1999. “Intergovernmental Fiscal Relation: Coordination Failures and Fiscal Outcomes”. Public Budgeting and Finance. Vol. 19/1. Hal. 8.
Denewitz, Bodo. 1947. Der Föderalismus. Sein Wesen und Seine Geschichte. Hamburg.
Deuerlein, Ernst. 1972. Föderalismus. Die historischen und philosophischen Grundlagen des föderativen Prinzips. Bonn.
Devas, Nick. et.al.. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1989.
Elcock, Howard. Local Government; Policy and Management in Local Authorities. Routledge, London, 1994 Ed.III.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
59
Esterbauer, Fried und Thöni, Erich. 1981. Föderalismus und Regionalismus in Theorie und Praxis. Wien.
Fesler, James W,. Area and Administration. Univ. Alabama Press. Alabama:1949
Frenkel, Max. 1984. Föderalismus und Bundesstaat, 1st Ed.. Bern. Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in
the Twenty-First Century. London. Hoessein, Bhenyamin. 1995. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efisiensi ke Demokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia. Depok.
Hoessein, Bhenyamin. 2001. “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan sebagai Tanggap terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan Tantangan Globalisasi”. Usahawan 04/April, Jakarta.
Hoessein, Bhenyamin. 2001 “Pembagian Kewenangan antara Pusat dan daerah, Paper seminar „Konstruksi Hukum dan Politik kemandirian dan demokrasi Otonomi Daerah“, paper dipresentasikan di Malang.
Kuttenkeuler, Benedikt. 1998. Die Verankerung des Subsidiaritätsprinzips im Grundgesetz. Ein Beitrag zur Bedeutung des Subsidiaritätsprinzips für die Kompetenzabgrenzung im Bundesstaat. Frankfurt.
Laufer, Heinz dan Münch, Ursula.1988. Das Foedarative System der Bundesrepublik Deutschland, Opladen.
Leach, Steve,. Davis, Howard and Associates,. Enabling or Disabling Local Government. Open Univ. Press. Bristol:1996
Leach, Steve., Stewart, John., and Walsh, Kieron,. The Changing Organization and Management of Local Government. London. Mac Millan:1994
Leemans, A.F., Changing Patterns of Local Government , The Hague, IULA, 1970.
Mackie, J.A.C. (editor). 1980. “Integrating and Centrifugal Factors in Indonesian Politic since 1945“. The Making of Nation. ANU. Canberra.
Maryanov, Gerald S,. Decentralization in Indonesia as a Political Problems. Cornell University Press. Itahca, New York: 1958
Massam, Bryan. Location and Space in Social Administration. John Wiley & Sons. New York: 1975
Muluk, M.R. Khairul. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Daerah dengan Pendekatan Berpikir Sistem (Studi Administrasi Publik di Kota Malang). Disertasi tidak diterbitkan. FISIP UI. Jakarta.
Newell, Charldean (ed). The Effective Local Government Manager. ICMA. Washington. 1993
Norton, Alan,. International Handbook of Local and Regional Government. Edward Elgar:1994, UK
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
60
Pitschas, Rainer. 2001. “Dezentralisierung und Good Governance - Zivilgesellschaftliche Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat” di dalam: Thomi, Walter/Steinich, Markus/Polte, Winfried (editor), Dezentralisierung in Entwicklungslandem. Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven staatlicher Reformpolitik, Baden-Baden, h..125-149.
Prasojo, Eko. 2003. Politische Dezentralisierung in Indonesien. Die Föderalismusdebatte in Politik und Rechtsvergleich. Frankfurt.
Prasojo, Eko. 2005. “Problem dan Prospek NAD Pasca MOU Helsinki”. Jurnal Intelijen dan Kontraintelijen. Vol. II No. 9 Desember-Januari. Centre for Study of Intelligence and Counterintelligence BIN. Jakarta. Hal. 22-31.
Prasojo, Eko. 2005. “Pilkada, Demokratisasi dan Good Governance: Rekonseptualisasi Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan”. Jurnal Bisnis dan Birokrasi No. 2/Vol. XIII/Mei. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta. Hal 101-109.
Prasojo, Eko. 2005. Federalisme dan Negara Federal. Sebuah Pengantar. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta.
Prasojo, Eko; Kurniawan, Teguh; Hasan, Azwar. 2004. Reformasi Birokrasi dalam Praktek. Kasus di Kabupaten Jembrana. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta.
Rohdewohld, Rainer. 2003. “Decentralization and The Indonesian Bureaucracy: Major Changes, Minor Impact?”, di dalam Aspinal, Edward dan Fealy, Greg. Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization and Democratization. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. Smith, Brian C.. 1985. Decentralization. The Teritorial Dimension of the State. London.
Schneider, Hartmut and Libercier, Marie Helene. Concept, Issues and Experiences for Building up Participatory in “Participatory Development”. DCS. USA. 1995
Smith, BC., Decentralization: The Territorial Dimension of The State. George Allen & Unwin Publiher. London: 1985.
White, Roland dan Smoke, Paul. 2005. East Asia Decentralizes: Making Local Government Work. The World Bank. Washington DC.
Wunsch, James S dan Olowu, Dele. 1995. “Centralization and Development in Post-Independence Africa”. di dalam Wunsch dan Olowu. The Failure of the Centralized State. Institutions and Self Governance in Africa. San Francisco, California.
Yappika. 2006. “Studi Pelaksanaan Desentralisasi yang Membukan Ruang Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata Pemerintahan, dan Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat”, hasil penelitian tidak dipublikasikan. Jakarta.
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
1
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
URAIAN PENJELASAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ......TAHUN.....
TENTANG HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
Menimbang:
a. Bahwa Pemerintahan Daerah secara keseluruhan merupakan sub
I. PENJELASAN UMUM 1. Dasar Pemikiran
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
2
sistem dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
pelaksanaannya harus memperhatikan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. Bahwa keberagaman dan kekhususan yang dimiliki oleh daerah
harus berjalan seiring dengan tujuan pemberian otonomi daerah
dan tercapainya tujuan-tujuan negara;
c. Bahwa Hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah perlu diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah;
d. Bahwa untuk melaksanakan hal tersebut perlu ditetapkan Undang-
Undang tentang Hubungan Kewenangan Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah.
Menurut pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized unitary state; gedecentraliseerde eenheidsstaat). Secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan sebagai kontinum. Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk
menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan
penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk
mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.
Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut
secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in
unity”.
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya
dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah
secara teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau
kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada
masayarakat lokal untuk mengatur dan mengurus kepentingan-
kepentingannya dengan aspek kewilayahan sebagai dasar pertimbangan
utama dalam penentuan batas jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi
fungsional berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
3
segolongan masyarakat yang terkait dalam fungsi pemerintahan tertentu
untuk mengatur dan mengurusnya sesuai batas yurisdiksi fungsi tersebut.
Dalam penyelenggaraan desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen
pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan
secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan pemerintahan
tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi dalam negara
kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus
kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan daerah
otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi juga
harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur
melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan
adanya daerah yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan
desentralisasi tidak pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya
negara dalam negara. Yang ada adalah pemerintah pusat menyerahkan
atau melimpahkan kewenangan pemerintahan dan atau wewenang tertentu
kepada pemerintah daerah.
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
4
Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, persoalan-persoalan
persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah
dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Gubernur sebagai kepala
daerah juga memiliki fungsi dekonsentrasi yaitu sebagai wakil Pemerintah
dalam rangka dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual
function karena daerah otonom itu adalah separateness (disintegrasi)
sehingga harus mengintegrasikan kembali (how to reintegrated).
Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai
daerah otonom dan sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur
juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala
daerah.
Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara
lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk
menghindari polemik. Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya
tata hubungan tersebut antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan
pemerintahan daerah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia
berkenaan dengan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan, merupakan sub-sistem dari pemerintahan Nasional. (b)
pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya hubungan saling
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
5
ketergantungan antar berbagai elemen Pemerintahan dalam bingkai
Negara kesatuan Republik Indonesia; (c) tuntutan globalisasi
menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling
bersinergi; (d) bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki
karakter budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemeirintahan
yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal, pendorong berbagai
perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan
masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.
Disamping itu, hal pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah
dan Pemerintahan Daerah serta antar Pemerintahan Daerah adalah
amanat UUD. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945; khususnya ayat (1) pasal 18 A menyatakan:”Hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,
dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah.” Frasa “diatur dengan Undang-undang” secara eksplisit
mengindikasikan bahwa materi tata hubungan kewenangan yang dimaksud
bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain tetapi justru secara
khusus harus disusun sebuah UU akan hal itu. Sandaran legalitas dari
pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita menyusun sebuah UU.
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
6
Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat
dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang
baik. Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupatan/ Kota adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur
Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan
kepemerintahan yang baik.
Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,
horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik
dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam
antar ketiga area tersebut. Disamping hubungan kewilayahan, maka
hubungan kewenangan juga meliputi hubungan jabatan, hubungan organ,
keuangan, kepegawaian, intervensi pemerintah terhadap pemerintahan
daerah, dan pelaporan serta pertanggungjawaban pemerintahan daerah.
Mengingat:
1. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
7
2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
3. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1 Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
8
1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada
daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
4. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut, Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar 1945
5. Pemerintahan Daerah adalah Gubernur atau Bupati/Walikota
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah
6. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
9
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
bersifat lokal dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
7. Instansi Vertikal adalah perangkat Pemerintah yang ditempatkan
di Daerah untuk melaksanakan dan mengurus urusan pemerintahan
tertentu berdasarkan asas dekonsentrasi.
8. Wewenang adalah hak, kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah
dan/atau Pemerintahan Daerah untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan.
9. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan sejenis
yang terkait dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat,
negara dan bangsa
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 2
Undang-Undang ini bertujuan memperjelas dan mempertegas distrubsi
kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan antara pemerintah,
pemerintah daerah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta antar
daerah.
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
10
Bagian Ketiga
Azas-azas
Pasal 3
Undang-undang ini disusun berdasarkan azas kepercayaan, penghormatan,
pengakuan, dan tata kepemerintahan yang baik, serta keserasian dan
keharmonisan hubungan antar lembaga pemerintahan.
Bagian Keempat
Ruang Lingkup
Pasal 4
Undang-Undang ini mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah dan
pemerintahan daerah yang meliputi distribusi kewenangan, hubungan
organisasi, hubungan wilayah, dan hubungan jabatan, hubungan
kepegawaian, hubungan keuangan, hubungan pelaporan dan
pertanggungjawaban, dan hubungan intervenasi.
BAB II
TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN
PENYELENGGARAAN URUSAN
BAB II
TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN
PENYELENGGARAAN URUSAN Pasal 5 Pasal 5
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
11
(1) Pembagian, penyerahan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan
dari pemerintah kepada pemerintahan daerah didasarkan dengan
mempertimbangkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, efesiensi,
koneksitas dan subsidaritas
(1) Eksternalitas dalam ketentuan ini adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Yang dimaksud akuntabilitas adalah pertanggungjawaban penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Yang dimaksud efisiensi adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan bedasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Yang dimaksud koneksitas adalah keselarasan antara kewenangan yang dimiliki dan unsur-unsur pembiayaan. Sedangkan yang dimaksud dengan subsidiaritas adalah bahwa kewenangan yang paling dekat dengan masyarakat diselenggarakan oleh level pemerintahan yang paling dekat.
(2) Urusan Pemerintah Pusat bersifat mutlak yang meliputi politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, justisi, moneter dan fiskal
nasional, mempunyai daya laku berskala nasional dan mengikat
bangsa secara keseluruhan sebagaimana diatur oleh Undang-
Undang.
(2) Cukup Jelas
(3) Urusan Pemerintah Provinsi meliputi urusan perencanaan, (3) Urusan perencanaan, kordinasi, pembinaan dan pengawasan merupakan urusan di luar urusan yang diatur ayat (2) yang didesentralisasikan
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
12
koordinasi, pembinaan dan pengawasan dalam lingkup propinsi serta
urusan yang didekonsentrasikan kepada Gubernur.
oleh Pemerintah dan bersifat lintas kabupaten/ kota berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Urusan yang didekonsentrasikan kepada Gubernur adalah urusan Pemerintah yang penyelenggaraanya dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah. Yang dimaksud dengan pembinaan dan pengawasan adalah urusan pemerintahan yang bertujuan menjamin terlaksananya urusan yang diserahkan kepada daerah otonom.
(4) Urusan Pemerintah Kabupaten/ Kota menyangkut urusan pelayanan
dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Cukup Jelas
Pasal 6 Pasal 6
Penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada Pemerintahan Daerah dilakukan dengan peraturan perundang-undangan.
Cukup Jelas
Pasal 7 Pasal 7
(1) Pemerintahan Daerah dapat mengembalikan urusan pemerintahan
yang telah menjadi wewenangnya kepada Pemerintah jika tidak
dapat melaksanakan urusan tersebut.
(1) Meskipun secara normatif sebuah urusan telah diserahkan kepada pemerintahan daerah, tetapi dalam prakteknya urusan tersebut dapat diserahkan kembali kepada pemerintah jika suatu pemerintahan daerah tidak mampu melaksanakannya.
(2) Kriteria dan tata cara pengembalian urusan pada ayat (1) diatur
oleh Peraturan Pemerintah
(2) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
13
(3) Pemerintah dapat menarik kembali urusan pemerintahan yang telah
diserahkan kepada daerah jika:
(a) terdapat kepentingan yang bersifat nasional; atau
(b) daerah tidak dapat melaksanakannya
(3) Kepentingan nasional dalam hal ini adalah kepentingan yang menyangkut keutuhan negara dan bangsa, memiliki keterkaitan dengan standarisasi hukum pada tingkat nasional, dan kesatuan standarisasi ekonomi nasional.
(4) Kriteria dan tata cara penarikan urusan pada ayat (3) diatur oleh Peraturan Pemerintah
(4) Cukup Jelas
Pasal 8 Pasal 8
Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 7 meliputi
kewenangan untuk mengatur dan kewenangan untuk mengurus atau
melaksanakan.
Dalam Undang-Undang ini titik berat mengatur standar, norma, dan kebijakan di tingkat nasional diletakkan pada level pemerintah pusat, sedangkan kewenangan mengatur dan mengurus pada tingkat regional dan lokal dilakukan oleh level pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 9 Pasal 9
Kewenangan mengatur sebagai dimaksud dalam pasal 8 terdiri atas:
(1) Kewenangan mengatur yang mutlak menjadi kewenangan
Pemerintah;
(2) Kewenangan mengatur bersifat yang konkuren;
(3) Kewenangan mengatur bersifat kerangka;
Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
14
(4) Kewenangan mengatur bersifat paralel
Pasal 10 Pasal 10
(1) Dalam kewenangan mengatur yang menjadi kewenangan mutlak
pemerintah, pemerintahan daerah hanya memiliki kewenangan
untuk mengatur jika dan selama kewenangan tersebut secara
eksplisit ditetapkan oleh suatu Undang-undang.
(1) Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah jika suatu Undang-Undang tertentu memberikan mandat secara eksplisit untuk mengaturnya. Jika tidak, maka Pemerintahan Daerah harus melaksanakan norma hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah.
(2) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat konkuren pemerintahan
daerah memiliki kewenangan mengatur jika dan selama pemerintah
belum menggunakan kewenangan tersebut baik melalui Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan
Presiden maupun melalui peraturan lainnya.
(2) Jika suatu urusan belum diatur oleh suatu peraturan perundang-undangan apapun, maka pemerintahan daerah memiliki kewenangan mengatur dalam bentuk peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah.
(3) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat kerangka Pemerintah
menetapkan secara umum pengaturan urusan pemerintahan dan
pemerintah daerah mengaturnya lebih lanjut dalam Peraturan
Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah.
(3) Cukup Jelas
(4) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat paralel Pemerintah dan
Pemerintah Daerah berwenang mengatur urusan-urusan
pemerintahan tertentu secara bersamaan.
(4) Kewenangan mengatur ini dapat dimiliki oleh pemerintahan daerah jika suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara eksplisit menyerahkan kewenangan tersebut.
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
15
Pasal 11 Pasal 11
Kewenangan yang bersifat mengurus sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
terdiri atas:
(1) Kewenangan mengurus oleh Pemerintah dalam rangka sentralisasi;
(2) Kewenangan mengurus oleh Pemerintahan Daerah berdasarkan asas
desentralisasi;
(3) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas
dekonsentrasi;
(4) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas
tugas pembantuan;
(5) Kewenangan mengurus oleh instansi pemerintah berdasarkan asas
dekonsentrasi.
Cukup Jelas
Pasal 12 Pasal 12
(1) Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kewenangan mengatur dan mengurus yang menjadi wewenang Pemerintah dan/atau Pemerintahan Daerah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran.
(1) Cukup Jelas
(2) Setiap sektor wajib menyesuaikan ketentuan-ketentuan peraturan (2) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
16
perundang-undangan yang mengaturnya sesuai dengan pembagian urusan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
Pasal 13 Pasal 13
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
berdasarkan Undang-Undang sebagai urusannya sendiri, jika dan
selama Undang-Undang tidak menetapkan lain.
(1) Cukup Jelas
(2) Dalam kewenangan mengurus berdasarkan azas desentralisasi
pemerintahan daerah menetapkan sendiri tata cara, organisasi
dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam peraturan
daerah dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Cukup Jelas
(3) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap tujuan dan
kesesuaian hukum dalam pelaksanaan urusan pemerintahan
daerah berdasarkan azas desentralisasi.
(3) Pengawasan terhadap tujuan adalah menyangkut apakah tujuan yang diamanatkan dalam penyerahan urusan tersebut tercapai atau tidak tercapai. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator keberhasilan pelaksanaan urusan. Sedangkan kesesuaian hukum menyangkut apakah peraturan daerah yang dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap kesesuaian hukum
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas
(4) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
17
desentralisasi pemerintah dapat membatalkan peraturan
daerah/peraturan kepala daerah.
(5) Dalam hal tidak tercapainya tujuan penyelenggaran satu urusan
pemerintahan pemerintah dapat mengambil tindakan pembinaan
dan atau sanksi terhadap suatu pemerintahan daerah.
(5) Cukup Jelas
(6) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5)
terhadap propinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
(6) Cukup Jelas
(7) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5)
terhadap kabupaten/kota dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
yang dalam pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Gubernur.
(7) Cukup Jelas
Pasal 14 Pasal 14
(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas tugas
pembantuan, pemerintahan daerah menetapkan perangkat
pelaksana urusan tersebut jika tidak ditetapkan secara khusus
oleh Peraturan Perundang-undangan.
(1) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
18
(2) Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan
teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan
dan perencanaan untuk pelaksanaan tugas pembantuan.
(2) Cukup Jelas
(3) Dalam pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas pembantuan
perangkat pemerintah daerah melaksanakan petunjuk yang
ditetapkan oleh pemerintah.
(3) Cukup Jelas
(4) Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas
pembantuan meliputi kesesuaian hukum dan pencapaian tujuan
urusan yang diserahkan.
(4) Cukup Jelas
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh
perangkat pemerintah yang bersangkutan.
(5) Perangkat pemerintah yang bersangkutan adalah Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
(6) Pelaksanaan urusan pemerintahan oleh pemerintahan
kabupaten/kota berdasarkan tugas pembantuan yang berasal dari
pemerintahan propinsi dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang
sama pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) pada level propinsi.
(6) Cukup Jelas
(7) Dalam hal urusan pemerintahan berdasarkan azas tugas (7) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
19
pembantuan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka level pemerintahan yang memberikan tugas pembantuan dapat menarik kembali tugas pembantuan tersebut.
Pasal 15 Pasal 15
(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas
dekonsentrasi, Departemen/Lembaga Pemerintah Non
Departemen menyerahkan urusan pemerintahan kepada instansi
vertikal yang ada di daerah atau kepada perangkat pemerintahan
propinsi atau perangkat pemerintahan kabupaten/kota jika tidak
terdapat instansi vertikal di daerah.
(1) Cukup Jelas
(2) Instansi vertikal di daerah yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi wajib melakukan
koordinasi dengan perangkat pemerintahan daerah yang
bersangkutan.
(2) Koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi dilakukan oleh Gubernur. Dalam hal ini Gubernur mengadakan rapat rutin dengan instansi vertikal, kepala daerah dan perangkat pemerintahan daerah terkait. (3) C k J l
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
20
(4) Dalam hal Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen
tidak memiliki instansi vertikal maka urusan pemerintahan
berdasarkan azas dekonsentrasi diselenggarakan oleh perangkat
pemerintahan daerah berdasarkan tugas pembantuan.
(5) Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan
teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan
dan perencanaan untuk pelaksanaan urusan berdasarkan azas
dekonsentrasi.
(4) Cukup Jelas
(6) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas
dekonsentrasi, instansi vertikal atau organ pemerintahan daerah
wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4)
(5) Cukup Jelas
(7) Gubernur melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan urusan
pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi.
(6) Cukup Jelas
(8) Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas
dekonsentrasi meliputi kesesuaian hukum dan tujuan
(7) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
21
penyelenggaraan urusan.
(9) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan oleh
instansi pemerintah yang menyerahkan urusan pemerintahan bersama-sama dengan Gubernur.
(8) Cukup Jelas
Pasal 16 Pasal 16
(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan oleh instansi pemerintah
berdasarkan azas sentralisasi, pemerintahan daerah memberikan
bantuan bagi terlaksananya urusan tersebut sejauh tidak dilarang
oleh peraturan perundang-undangan.
(1) Cukup Jelas
(2) Bila diperlukan, instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Cukup Jelas
BAB III
TATA HUBUNGAN ORGANISASI
H BAB III
TATA HUBUNGAN ORGANISASI
Pasal 17
Pasal 17
(1) Dalam Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah setiap (1). Perangkat pemerintah adalah Departemen dan Lembaga Pemerintah
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
22
perangkat pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota memiliki
hubungan satu dengan lainnya.
non Departemen yang meliputi Badan, Dewan, Komisi dan badan-badan pemerintahan lainnya. Perangkat Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota adalah perangkat organisasi daerah yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas, Badan, kantor dan lembaga teknis lainnya.
(2) Hubungan perangkat antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
dan antar Pemerintahan Daerah meliputi penyelenggaraan urusan
daerah menurut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
(2). Cukup jelas
(3) Perangkat Pemerintah dalam rangka pelaksanaan azas
dekonsentrasi wajib melakukan koordinasi dengan perangkat
pemerintah daerah.
(3) Kewajiban melakukan koordinasi dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih dan mengoptimalisasi pelaksanaan dan hasil-hasil urusan yang diselenggarakan secara dekonsentrasi.
(4) Dalam penyelenggaraan urusan menurut azas desentralisasi
perangkat pemerintah propinsi dan perangkat pemerintah
kabupaten/kota wajib melakukan koordinasi.
(4) Karena wilayah kerja perangkat Propinsi meliputi semua wilayah kerja kabupaten/kota di Propinsi yang bersangkutan, maka setiap penyelenggaraan urusan oleh perangkat propinsi harus dengan koordinasi dan sepengetahuan perangkat pemerintah Kabupaten/Kota.
(5) Dalam penyelenggaraan urusan tugas pembantuan perangkat
pemerintah yang memberikan tugas tersebut wajib melakukan
koordinasi dan pembinaan terhadap perangkat pemerintah daerah
yang menerima tugas pembantuan.
(5) Cukup Jelas
(6) Dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas wilayah suatu (6) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
23
daerah otonom perangkat pemerintah daerah yang bersangkutan
wajib melakukan koordinasi dan kerjasama.
(7) Perangkat pemerintah propinsi melakukan koordinasi, pembinaan
dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas
kabupaten/kota di wilayah propinsi yang bersangkutan.
(7) Cukup Jelas
Pasal 18 Pasal 18
Perangkat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah Departemen dan
Lembaga Pemerintah Non Departemen; Dinas, Badan dan Kantor serta
Lembaga Teknis Lainnya pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Cukup Jelas
Pasal 19 Pasal 19
(1) Setiap perangkat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib melakukan kerjasama
antara satu dengan lainnya berdasarkan hak, kewajiban dan
wewenangannya masing-masing serta berlandaskan atas dasar
kepentingan dan kesatuan nasional secara keseluruhan.
(1) Cukup Jelas
(2) Kerjasama antara perangkat pemerintah pusat dan pemerintah (2) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
24
daerah Propinsi dilakukan melalui Departemen/Lembaga
Pemerintah Non Departemen dan dikoordinasikan oleh Menteri
Dalam Negeri.
(3) Kerjasama antara perangkat pemerintah propinsi dengan perangkat
pemerintah propinsi lainnya dapat dilakukan sendiri oleh propinsi
yang bersangkutan atau melalui koordinasi Menteri Dalam Negeri.
(3) Cukup Jelas
(4) Kerjasama antar perangkat pemerintah kabupaten/kota dalam satu
propinsi dapat dilakukan sendiri oleh masing-masing pemerintah
daerah tersebut atau dikoordinasikan oleh Gubernur propinsi yang
bersangkutan.
(4) Cukup Jelas
(5) Kerjasama antar perangkat kabupaten/kota di wilayah pemerintah
propinsi yang berbeda dilakukan sendiri oleh pemerintah
kabupaten/kota yang bersangkutan atau dikoordinasikan oleh
Gubernur Propinsi yang bersangkutan.
(5) Cukup Jelas
Pasal 20
Pasal 20
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
25
(1) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah dan
perangkat pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan daerah, maka Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara adil dan selara
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azas-
azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
(2) Perselisihan yang dimaksud menyangkut antara lain kejelasan terhadap satu kewenangan tertentu antar tingkat pemerintahan, batas-batas wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan, konflik pembiayaan dan penerimaan.
(2) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah
propinsi dan daerah kabupaten/kota, maka Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara
adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
(2) Upaya damai diutamakan dalam penyelesaian perselisihan antar tingkat pemerintahan. Adil dan selaras berarti sesuai dengan hak, kewajiban dan kewenangannya masing-masing.
(3) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah
kabupaten/kota dalam satu wilayah propinsi, maka Menteri Dalam
Negeri melalui Gubernur melakukan upaya-upaya penyelesaian
secara adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang
baik.
(3) Cukup Jelas
(4) Perselisihan yang terjadi antara perangkat pemerintah daerah (4) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
26
kabupaten/kota dalam wilayah propinsi yang berbeda diselesaikan
melalui Gubernur propinsi yang terkait secara adil dan selaras
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azas-
azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
(5) Keputusan yang diambil dalam perselisihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) bersifat mengikat masing-
masing perangkat pemerintah dan pemerintahan daerah.
(5) Cukup Jelas
(6) Terhadap keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat
dilakukan upaya gugatan di Peradilan.
(6) Cukup Jelas
(1) Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan
pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan
khusus/tertentu diwilayahnya melalui Peraturan Daerah.
(1) Cukup Jelas
(2) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jika pembentukan pemerintahan
khusus/tertentu tersebut bertentangan dengan kepentingan
nasional, tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah dan atau
menyebabkan disinsentif bagi pembangunan ekonomi, politik,
(2) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
27
sosial dan hukum.
BAB IV
TATA HUBUNGAN JABATAN
BAB IV
TATA HUBUNGAN JABATAN
Pasal 21 Pasal 21
(1) Dalam melaksanakan urusan pemerintahan, setiap pejabat dalam
semua tingkat pemerintahan wajib memperhatikan kewenangan,
tugas pokok dan fungsi yang dimilikinya.
(1) Cukup Jelas
(2) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat melakukan koordinasi dan
pembinaan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
dilakukan oleh Bupati/Walikota di wilayahnya.
(2) Cukup jelas
(3) Gubernur melakukan koordinasi dengan pejabat instansi vertikal di
daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi.
(3) Cukup Jelas
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah otonom
berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi setiap Menteri,
(4) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
28
Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Ketua Komisi, Ketua
Dewan Pemerintah, ketuan Badan, pimpinanBadan Hukum Milik
Negara, Badan Usaha Milik Negara harus melakukan koordinasi
dengan Gubernur dan Bupati/Walikota yang bersangkutan.
(5) Bupati/Walikota dapat melakukan hubungan kerja secara langsung
dengan Gubernur di wilayah Propinsi yang berbeda melalui
Gubernur propinsi yang bersangkutan.
(5) Cukup Jelas
(6) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaporkan
kepada Gubernur propinsi dimana bupati/walikota tersebut berada.
(6) Cukup Jelas
(7) Bupati/Walikota yang melakukan perjalanan dinas ke Luar Negeri
harus memberitahukan dan melaporkan hasilnya kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah di daerah.
(7) Cukup Jelas
(8) Kepala Dinas dan lembaga teknis daerah propinsi melakukan koordinasi dengan Kepala Dinas dan lembaga teknis kabupaten/kota di propinsi yang bersangkutan.
(8) Cukup Jelas
BAB V
TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN
BAB V
TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
29
Pasal 22 Pasal 22
(1) Kepegawaian negara dibagi menjadi Pegawai Pemerintah dan
Pegawai Pemerintah Daerah.
(1) Cukup Jelas
(2) Pemerintah menetapkan standar dan norma perekrutan,
penggajian, promosi dan mutasi dalam jabatan, perpindahan
pegawai antar daerah, insentif tambahan, pengembangan kapasitas,
pengawasan dan pensiun Pegawai Pemerintah Daerah.
(2) Cukup Jelas
(3) Tata hubungan kepegawaian antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah diatur oleh peraturan perundang-undangan.
(3) Cukup Jelas
BAB VI
TATA HUBUNGAN KEUANGAN
BAB VI
TATA HUBUNGAN KEUANGAN
Pasal 23 Pasal 23
(1) Hubungan keuangan antar pemerintah dan pemerintahan daerah
maupun antar pemerintahan daerah memperhatikan keserasian
antara kewenangan, penguasaan sumber penerimaan dan kewajiban
(1) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
30
pembiayaan yang dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan.
(2) Hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
dapat meliputi:
A. pembagian sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak
secara terpisah;
B. bagi hasil sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak
antar tingkat pemerintahan;
C. perimbangan horizontal antara pemerintahan daerah kaya dan
pemerintahan daerah miskin;
D. subsidi dan bantuan dari pemerintah pusat kepada
pemerintahan daerah.
(2) Cukup Jelas
(3) Hubungan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap
dengan memperhitungkan kekuatan keuangan pemerintahan
daerah pada setiap tahapan.
(3) Cukup Jelas
(4) Pemerintah harus menjamin bahwa pada tahapan subsidi dan
bantuan dari pemerintah, kekuatan kekuangan pemerintahan
(4) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
31
daerah tidak boleh berada dalam kesenjangan yang terlalu tinggi.
BAB VII
PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
BAB VII
PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 24
Pasal 24
(1) Bupati/Walikota berkewajiban memberikan laporan
pertanggungjawaban tentang pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban
serta wewenangnya kepada Menteri Dalam Negeri melalui
Gubernur setiap tahun.
(1) Cukup Jelas
(2) Gubernur berkewajiban memberikan laporan pertanggungjawaban
tentang pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban serta wewenangnya
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri setiap tahun
(2) Cukup Jelas
BAB VIII
HUBUNGAN INTERVENSI
BAB VIII
HUBUNGAN INTERVENSI
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
32
Pasal 25 Pasal 25
(1) Dalam keadaan tertentu dan untuk kepentingan umum, Pemerintah
dapat melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas
Pemerintahan Daerah.
(1) Cukup Jelas
(2) Pemerintah dapat melakukan tindakan eksekusi terhadap
pemerintahan daerah yang tidak mengindahkan peringatan dan
sanksi yang diberikan oleh pemerintah.
(2) Cukup Jelas
(3) Eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
pengurangan Dana Alokasi Umum sampai pada tindakan represif
militer.
(3) Cukup Jelas
(4) Tindakan represif militer dapat dilakukan hanya dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah.
(4) Cukup jelas
BAB IX
TATA HUBUNGAN WILAYAH KERJA
BAB IX
TATA HUBUNGAN WILAYAH KERJA
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
33
Pasal 26 Pasal 26
(1) Di dalam wilayah sebuah daerah otonom terdapat pula wilayah
kerja pemerintahan umum dan wilayah kerja administrasi lapangan.
(1) Cukup Jelas
(2) Daerah Khusus/tertentu dapat dibentuk oleh pemerintah di
wilayah daerah otonom.
(2) Cukup Jelas
(3) Daerah Khusus/tertentu dapat pula dibentuk oleh pemerintahan
propinsi dan pemerintahan kabupaten/kota.
(3) Cukup Jelas
Pasal 27 Pasal 27
(1) Wilayah-wilayah kerja sebagaimana diatur dalam pasal 26 memiliki
hubungan kerja yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya
(1) Cukup Jelas
(2) Hubungan kerja sebagaimana diatur dalam ayat (1) meliputi hubungan wewenang, hubungan jabatan, hubungan organisasi dan hubungan pelayanan.
(2) Cukup Jelas
(3) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Peraturan Pemerintah
(3) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
34
Pasal 28 Pasal 28
(1) Wilayah pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
adalah wilayah kerja Gubernur sebagai wakil pemerintah yang
luasnya sama dan atau berhimpit dengan daerah otonom propinsi.
(1) Cukup Jelas
(2) Wilayah administrasi lapangan adalah wilayah kerja instansi
vertikal yang ada di daerah otonom yang luasnya sama dengan
wilayah kerja satu atau beberapa daerah otonom dimana instansi
vertikal itu bekerja.
(2) Cukup Jelas
(3) Wilayah pemerintahan khusus/tertentu adalah wilayah kerja suatu
unit/entitas tertentu yang dibentuk oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu di daerah otonom yang
luasnya bisa sama atau lebih kecil dari satu daerah otonom, atau
meliputi beberapa daerah otonom.
(3) Cukup Jelas
(4) Wilayah daerah otonom adalah wilayah kerja seorang kepala
daerah yang luasnya sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
Undang pembentukan daerah otonom tersebut.
(4) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
35
(5) Dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil pemerintah, Gubernur
berwenang menyelaraskan dan mengkoordinasikan seluruh
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan khusus dan
pemerintahan administrasi lapangan di tingkat Provinsi dan tingkat
Kabupaten/Kota.
(5) Cukup Jelas
(6) Jika terdapat perselisihan dalam penyelenggaraan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Gubernur melakukan upaya-
upaya penyelesaian dengan memperhatikan kewenangan dan fungsi
masing-masing urusan pemerintahan.
(6) Cukup Jelas
(7) Gubernur memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dalam hal upaya penyelesaian dan hasilnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
(7) Cukup Jelas
Pasal 29 Pasal 29
(1) Pemerintah menetapkan pembagian urusan dan fungsi antara
pemerintahan daerah khusus/tertentu yang dibentuk di wilayah
daerah otonom dengan pemerintahan daerah yang bersangkutan.
(1) Cukup Jelas
(2) Pembagian urusan dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
36
meliputi kewenangan mengatur dan mengurus, pembiayaan dan
bagi hasil, dan hak dan kewajiban pelayanan kepada masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian urusan dan fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah.
(3) Cukup Jelas
Pasal 30 Pasal 30
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam rangka administrasi lapangan dan pemerintahan khusus/tertentu di wilayah daerah otonom harus memperhatikan pelaksanaan azas desentralisasi dan otonomi yang dimiliki oleh pemerintahan daerah, azas keadilan dan keselarasan pemerintahan secara menyeluruh.
Cukup Jelas
Pasal 31 Pasal 31
(3) Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan
pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan
khusus/tertentu diwilayahnya melalui Peraturan Daerah.
(1) Cukup Jelas
(4) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jika pembentukan pemerintahan
khusus/tertentu tersebut bertentangan dengan kepentingan
(2) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
37
nasional, tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah dan atau
menyebabkan disinsentif bagi pembangunan ekonomi, politik,
sosial dan hukum.
BAB X
PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN
BAB X
PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN
Pasal 32
Pasal 32
(1) Penyelesaian konflik dan perselisihan wewenang antara Pemerintah
dan Pemerintahan Daerah dan antara Pemerintahan Daerah
dengan Pemerintahan Daerah lainnya dilaksanakan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini.
(1) Cukup Jelas
(2) Penyelesaian konflik dan perselisihan diutamakan dengan melalui
upaya musyawarah untuk mencapai kesepakatan, dan apabila tidak
dapat diperoleh kesepakatan antara para pihak maka perselisihan
diselesaikan melalui upaya hukum
(2) Cukup Jelas
BAB XI
SANKSI
BAB XI
SANKSI
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
38
Pasal 33 Pasal 33
(1) Pemerintah berwenang memberikan sanksi kepada Pemerintahan
Daerah yang tidak melaksanakan kewajibannya dan/atau tidak
mematuhi ketentuan Undang-Undang ini dan Peraturan Perundang-
Undangan lainnya.
(1) Cukup Jelas
(2) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Peraturan Pemerintah
(2) Cukup Jelas
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Pasal 34
(1) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan
antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah dan antara
Pemerintahan Daerah yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
dinyatakan tetap berlaku selama belum diatur dan/atau ditetapkan
lain oleh Undang-Undang ini.
(1) Cukup Jelas
(2) Peraturan perundang-undangan sektoral wajib menyesuaikan diri (1) Cukup Jelas
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
39
dengan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35 Pasal 35
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan agar setiap
orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia
Disahkan di Jakarta
Pada Tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAM