hukum laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

23
TUGAS HUKUM LAUT (PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN DI LAUT SULAWESI (BLOK AMBALAT) DAN POSISI INDONESIA DI TINJAU DARI ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL) UNCLOS 1982 OLEH RIFAI USMAN ( 2006 – 21 – 066 ) FAKULTAS HUKUM

Upload: rifai

Post on 29-Jun-2015

4.096 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

TUGAS

HUKUM LAUT

(PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN DI LAUT SULAWESI

(BLOK AMBALAT) DAN POSISI INDONESIA DI TINJAU

DARI ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL)

UNCLOS 1982

OLEH

RIFAI USMAN ( 2006 – 21 – 066 )

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2009

Page 2: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN DI LAUT SULAWESI

(BLOK AMBALAT) DAN POSISI INDONESIA DI TINJAU DARI

ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

DINAMIKA lingkungan strategis pada tatanan global, regional dan

nasional akan senantiasa berubah dan sulit diprediksi. Kecenderungan global

seperti ini akan mempengaruhi perkembangan lingkungan strategis regional yang

pada akhirnya berdampak pada kondisi nasional. Demikian juga dengan kondisi

saat sekarang ini pengaruh ekonomi global yang berimbas pada kenaikan harga

minyak dunia turut berpengaruh terhadap perekonomian bangsa Indonesia. Di

tingkat regional, sebagai dampak dari belum terselesainya status wilayah

perbatasan antar negara serta diwarnai dengan krisis energi dan sumber daya alam

yang tengah melanda. Hingga permasalahan perbatasan dan klaim atas wilayah

terutama yang memiliki kandungan potensi sumber daya alam mineral dan fosil

sangat potensial menjadi pemicu ketegangan antar negara yang saling bertetangga.

Beberapa wilayah laut perbatasan Indonesia yang banyak menyimpan

kekayaan minyak seperti Cela Timor, Natuna yang terletak di Laut Cina Selatan,

dan blok Ambalat yang berada di Laut Sulawesi tidak tertutup kemungkinan akan

gangguan kembali dan klaim wilayah oleh negara bertetangga yang langsung

berbatasan. Hal tersebut tidak terlepas dari semakin menipisnya krisis energi dan

sumberdaya alam yang tengah melanda dunia sehingga memaksa negara- negara

tetangga yang berbatasan wilayah Indonesia akan mengeksplorasi dan mengklaim

wilayah Indonesia sebagai wilayah mereka.

Negara Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah yang sangat

luas, terutama untuk wilayah perairannya. Kondisi yang sedemikian rupa,

dimungkinkan adanya persengketaan-persengketaan dengan negara tetangga yang

1

Page 3: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

dapat mengganggu hubungan antar negara. Persengketaan-persengketaan yang

timbul bisa saja dalam bidang politik, ekonomi sosial ataupun budaya. Sejak

Indonesia merdeka, bangsa ini sering terlibat dalam berbagai persengketaan

dengan negara tetangga dalam berbagai hal dan bidang. Persengketaan dengan

negara serumpun Malaysia menjadi catatan sendiri dalam sejarah sejak berdirinya

bangsa indonesia sejak kemerdekaan hingga sekarang.

Mengamati sejarah perjalanan bangsa Indonesia dalam hubungannya

dengan Malaysia, sudah sejak sekitar tahun 1960-an mengalami pasang surut.

Sejak era kepresidenan Soekarno, Indonesia sudah mempunyai permasalahan

dengan Malaysia, yang terkenal adalah pernyataan “ganyang Malaysia” yang

diseruka oleh Bung Karno pada tanggal 27 Juli 1963 yang kemudian berlanjut

pada tanggal 3 Mei 1964, Bung Karno meneriakan Komando Dwikora, yang

pertama adalah petinggi pertahanan revolusi, kedua menyerukan untuk membantu

revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah untuk menghancurkan

Malaysia. Hal ini dipicu oleh rencana pembentukan negara Malaysia oleh

Pemerintah Inggris.

Masalah konvensional seperti penentuan batas teritorial masih mewarnai

hubungan internasional antar negara-negara. Penentuan batas teritorial semakin

rumit ketika dilakukan di laut dan melibatkan dimensi laut teritorial, landas

kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Tidak terkecuali dalam lingkup

regional kawasan Asia Tenggara dimana banyak terjadi perbedaan pandangan

dalam mengelola dan menyelesaikan masalah perbatasan laut seperti yang terjadi

di kawasan Laut Sulawesi.

Hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kini tengah mencapai

titik paling kritis. Sejak Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia,

memberikan konsesi pengeboran minyak di lepas pantai Sulawesi yaitu di Blok

Ambalat kepada Shell (perusahaan milik Inggris dan Belanda), hubungan kedua

negara tetangga tersebut mengalami ketegangan yang mencemaskan. sudah

beberapa kali kapal-kapal perang RI dan Malaysia berhadap-hadapan, nyaris baku

tembak. Untung keduanya masih menahan diri. Seandainya salah satu pihak

menembak, niscaya perang terbuka akan meletus.

2

Page 4: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

Kasus Ambalat secara tiba-tiba menyadarkan kita dari mabuk eforia dan

terlena oleh berbagai permasalahan dalam negeri yang belum menemukan

solusinya (inward looking) bahwa selain itu kita juga perlu menaruh perhatian kita

terhadap masalah yang datang dari luar (outward looking). Akibat dari

keterlambatan kita dalam menghadapi sesuatu akan memuat kita gelagapan dan

dengan setengah sadar menghadapinya. Seperti halnya apa yang sedang hangat

dewasa ini kita hadapi yaitu munculnya klaim Malaysia terhadap Blok Ambalat di

Laut Sulawesi.

Dari berbagai persengketaan yang mewarnai hubungan Malaysia dengan

Indonesia khususnya masalah Ambalat hendaknya diselesaikan secara damai.

Penyelesaian sengkete secara damai adalah cara yang dianjurkan oleh dunia

Internasional. Jika kita melihat kasus Ambalat ini, maka kasus ini dikategorikan

sebagai sengketa mengenai implementasi hukum laut Internasional. Unsur-unsur

yang mempengaruhi kasus tersebut sedikit banyak mengenai hukum laut

Internasional, dimana masalah penetapan batas wilayah teritorial laut antara

Indonesia dengan Malaysia menjadi inti dari kasus perebutan blok Ambalat.

Penerapan metode penyelesaian sengketa secara damai sesuai yang di

anjurkan dalam United Nations Conventions on The Law of the Sea 1982

(UNCLOS 1982) bisa diterapkan mengingat Indonesia telah merativikasi

konvensi hukum laut.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas , maka dalam tugas

makalah Hukum laut ini, penulis mengangkat masalahnya adalah “ Metode yang

digunakan Indonesia – Malaysia dalam menyelesaikan sengketa Ambalat sesuai

dengan UNCLOS 1982”

3

Page 5: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

BAB II

PEMBAHASAN

UNCLOS 1982 menyediakan berbagai metode dalam rangka

menyelesaikan sengketa hukum laut. Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV

tentang Settlement of Disputes (Penyelesaian Sengketa). Pada pasal 279 pada

intinya menyebutkan bahwa negara-negara pihak diberi kebebasan yang luas

untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Pasal

ini mengarahkan penyelesaian sengketa seperti yang dianjurkan dalam pasal 33

(1) piagam PBB .

Sebenarnya permasalahan ini sudah terjadi sejak lama (sejak dibuatnya

peta wilayah oleh Malaysia tahun 1979), dan merupakan peninggalan pemerintah

kolonial yang pernah menduduki wilayah di Indonesia dan Malaysia. Dimana

peta-peta yang ditinggalkan “colonial masters” tidak pernah jelas dalam penarikan

batas wilayah, namun terpaksa digunakan tiap negara di Asia Tenggara setelah

negara-negara itu mendapat kemerdekaan. Hal inilah yang berakibat pada

muncullah permasalahan hingga saat ini.

Permasalahan Ambalat ini mulai memanas setelah kekalahan Indonesia

dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang

memeriksa perkara Pulau Sipadan-Ligitan pada 17 Desember 2002 yang

kemudian menyerahkan kedua pulau tersebut kepada Malaysia. Hal ini

dikarenakan Indonesia didakwa "tidak" menunjukkan keinginan untuk menguasai

kedua pulau itu karena hukum nasional (UU Prp Nomor 4 Tahun 1960) tidak

pernah memasukkan pulau itu ke wilayah kita karena tidak pernah ada

"penguasaan secara efektif (effectivites/effective occupation)", baik oleh Belanda

maupun Indonesia, sementara Inggris dan Malaysia melakukannya. Padahal, jarak

kedua pulau itu lebih dekat ke kepulauan Indonesia dibandingkan denganMalaysia

Pada dasarnya yang menjadi bahan perdebatan antara Indonesia dan

Malaysia adalah terkait dengan bentuk negara berdasarkan United Nations

Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) tahun 1982. Dimana menurut

4

Page 6: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

fakta yang ada menyatakan negara Indonesia adalah negara kepulauan

(archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional.

Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960

tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi

Indonesia lainnya menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat diterima

di Konferensi Hukum Laut Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) III, sehingga dalam

"The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982"

dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Indonesia disebut sebagai

negara kepulauan karena Indonesia merupakan negara yang seluruhnya terdiri dari

satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain, yang mana

ketentuan ini diatur dalam Pasal 46 ayat 1 UNCLOS 1982.

Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak

ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis

pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost

points of the outermost islands and drying reefs). Hal itu diatur dalam Pasal 47

ayat 1 UNCLOS 1982 yang kemudian diundangkan dengan UU No 6/1996

tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai

implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita. Sedangkan Malaysia

adalah negara pantai biasa, yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa

(normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat

tertentu dipenuhi. Karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh daerah itu

karena ia hanya bisa menarik baselines Negara Bagian Sabah dari daratan

utamanya, bukan dari Pulau Sipadan atau Ligitan. Hal ini didasarkan pada Pasal

76 UNCLOS 1982.

Klaim tumpang-tindih dari dua atau lebih negara pada dasarnya bukan hal

istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut

memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil

laut, dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang

diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jarak bisa mencapai

350 mil laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation (kepanjangan

ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Hal ini menyebabkan banyak negara

5

Page 7: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

berlomba mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum

laut. Jika Malaysia berargumentasi, "tiap pulau berhak mempunyai laut teritorial,

zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya sendiri", maka Pasal 121

UNCLOS 1982 dapat membenarkannya. Namun, rezim penetapan batas landas

kontinen mempunyai aturan khusus yang membuktikan keberadaan pulau-pulau

yang dianggap kecil (relatively small, socially and economically insignificant)

tidak akan dianggap sebagai keadaan spesial dalam penentuan garis batas landas

kontinen. Beberapa yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan

dipakainya doktrin itu.

Dengan demikian, yang perlu ditentukan kini adalah garis pangkal masing-

masing negara. Jika situasi di Ambalat memanas dengan telah berhadap-

hadapannya kapal perang dan pesawat tempur kedua negara, Malaysia

mengatakan semua bisa dirundingkan, maka itu hanya akan mencapai deadlock

jika Malaysia bersikukuh untuk dipakainya peta wilayahnya tahun 1979. Peta itu

hanya tindakan unilateral yang tidak mengikat Indonesia. Dan peta yang dibuat

secara sepihak oleh Malaysia tersebut juga ditolak oleh Filipina dan Thailand

yang juga merupakan negara tetangga mereka. Indonesia telah menolak langsung

peta itu sejak diterbitkan, karenapenarikan baselines yang tidak jelas landasan

hukumnya. Ambalat jelas di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah

Indonesia. Jika kedua negara tetap dalam posisi berlawanan, maka untuk

mencegah konflik bersenjata, jalan keluar yang harus ditempuh adalah duduk

dalam perundingan garis batas landas kontinen kedua negara, yang sekaligus

berarti menyelesaikan kasus Ambalat dengan menerapkan prinsip equitable

solution, seperti digariskan UNCLOS 1982. Penyelesaian setiap sengketa yang

berkaitan dengan batas wilayah dalam hukum laut, haruslah diseslesaikan dengan

cara damai seperti yang diatur dalam Pasal 279 UNCLOS 1982 dimana

disebutkan bahwa :

“Negara-negara peserta harus menyelesaikan setiap sengketa antara

mereka perihal interpretasi atau penerapan Konvensi ini dengan cara damai

sesuai dengan pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan, untuk

6

Page 8: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

tujuan ini harus mencarai penyelesaian dengan cara sebagaimana ditunjukkan

dalam Pasal 33 ayat 1 piagam tersebut.”

Oleh karenanya merujuk ketentuan tersebut, penyelesaian sengketa ini

wajib dilakukan melalui jalan damai, dan pengerahan kekuatan militer hanyalah

ditujukan untuk menjaga wilayah perbatasan saja, dan tidak digunakan untuk

kepentingan yang lain

Banyak cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan ini

secara damai. Sebetulnya apabila dilihat Indonesia dan Malaysia tidak perlu

membawa permasalahan ini ke Mahkamah Internasional, karena sebagai negara

anggota ASEAN sebaiknya permasalahan ini diselesaikan menggunakan lembaga

untuk menyelesaikan konflik-konflik batas kelautan di Asia Tenggara secara

regional. Persoalan mekanisme regional ini (the question of regional conflict

resolution) sebenarnya telah berupaya untuk dilembagakan oleh ASEAN melaui

gagasan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan ASEAN Security

Community (ASC), namun tampaknya hingga kini belum digunakan maksimal.

Malaysia dan Indonesia sebaiknya merujuk kedua dokumen resmi itu yang

menekankan resolusi konflik secara damai. Kedua negara sebaiknya juga

mempertimbangkan implikasi politik regional jika tidak menggunakannya. Adalah

suatu ironi besar jika kedua negara mengabaikan dokumen ini sebagai prinsip

normatif untuk penyelesaian konflik karena negara-negara ASEAN sebenarnya

telah mengikat negara-negara Asia Timur, seperti China, Jepang, dan Korea

Selatan, melalui penandatanganan TAC dan sepakat melembagakan dan

mempromosikan ASC.

Diketahui secara luas bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut

Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum terselesaikan secara tuntas.

Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan

Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang

belum pernah dicapai kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat

maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang

ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di

masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadi salah satu acuan utama dalam

7

Page 9: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

penentuan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti

apakah Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan

Ambalat. Hal ini sama halnya dengan penggunaan Traktat 1904 dalam penegasan

perbatasan RI dengan Timor Leste.

A. Pengakuan Peta Laut

Bahwa Malaysia mengklaim Ambalat menggunakan peta (laut) yang

diproduksi tahun 1979. Menutur Prescott (2004), peta tersebut memuat Batas

Continental Shelf di mana klaim tersebut secara kesuluruhan melewati median

line. Deviasi maksimum pada dua sekor sekitar 5 mil laut. Nampaknya dalam

membuat klaim dasar laut ini Malaysia telah mengabaikan beberapa titik garis

pangkal Indonesia yang sudah sah. Di luar pandangan tersebut di atas, perlu

ditinjau secara detail bagaimana sesungguhnya sebuat peta laut bisa diakui dan

sah untuk dijadikan dasar dalam mengklaim suatu wilayah. Tentang hal ini, Clive

Schofield, mantan direktur International Boundary Research Unit (IBRU)

berpendapat bahwa “peta laut tertentu harus dilaporkan dan diserahkan ke PBB,

misalnya peta laut yang memuat jenis garis pangkal dan batas laut. Namun begitu

suatu Negara yang megeluarkan peta laut tentu saja tidak bisa memaksa Negara

lain kecuali memang disetujui.” Intinya, penggunaan peta laut tahun 1979 oleh

Malaysia harus didasarkan pada kaidah ilmiah dan hukum yang bisa diterima. Jika

peta laut ini hanya memenuhi kepentingan dan keyakijan sepihak saja tanpa

memperhatikan kedaulatan Negara tetangga, jelas hal ini tidak bisa dibenarkan.

B. Konfensi international

Salah satu sumber hukum yang bisa diacu, Konvensi 1891, nampaknya

tidak akan membantu banyak dalam penyelesaian kasus ini. Seperti halnya

Sipadan dan Ligitan, Konvensi ini kemungkinan besar tidak akan mengatur secara

tegas kepemilikan Ambalat. Hal ini terjadi karena Konvensi 1891 hanya

menyebutkan bahwa Inggris dan Belanda sepakat mengakui garis batas yang

berlokasi di garis lintang 4° 10’ ke arah timur memotong Pulau Sebatik tanpa

lebih rinci menyebutkan kelanjutannya. Tentu saja ini meragukan karena Ambalat,

8

Page 10: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

seperti juga Sipadan dan Ligitan berada di sebelah timur titik akhir garis yang

dimaksud. Jika garis tersebut, sederhananya, diperpanjang lurus ke timur,

memang Ambalat, termasuk juga Sipadan dan Ligitan akan berada di pihak

Indonesia. Namun demikian, menarik garis batas dengan cara ini, tanpa dasar

hukum, tentu saja tidak bisa diterima begitu saja. Melihat kondisi di atas,

diplomasi bilateral memang nampaknya jalan yang paling mungkin. Meskipun

mengajukan kasus ini ke badan internasional seperti ICJ, adalah juga alternatif

yang baik, langkah ini tidak dikomendasikan. Mengacu pada gagasan Prescott,

ada tiga hal yang melandasi pandangan ini. Pertama, kasus-kasus semacam ini

biasanya berlangsung lama (bisa 4-5 tahun). Artinya, ini akan menyita biaya yang

sangat besar, sementara negosiasi antarnegara mungkin akan lebih produktif.

Kedua, pengadilan kadang-kadang memberikan hasil yang mengejutkan.

Keputusan the Gulf of Fonseca adalah contoh yang nyata.Ketiga, kadang-kadang

argumen pengadialan dalam membuat keputusan terkesan kabur sehingga sulit

dimengerti.

C. Penyelesaian Kasus Ambalat Melalui Elemen Negosiasi

Saat ini tercatat bahwa Indonesia memiliki batas laut yang belum tuntas

dengan Malaysia, Filipina, Palau, India, Thailand, Timor Timur, Sigapura, Papua

New Guinea, Australia, dan Vietnam. Bisa dipahami bahwa Indonesia saat ini

menghadapi banyak persoalan berat, termasuk bencana alam yang menyita

perhatian besar. Saat inilah kemampuan pemerintah benar-benar diuji untuk dapat

tetap memberi perhatian kepada persoalan penting seperti ini di tengah goncangan

bencana.Hal penting lain yang mendesak adalah melakukan inventarisasi pulau-

pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia termasuk melakukan pemberian nama

(tiponim). Sesungguhnya hal ini sudah menjadi program pemerintah melalui

Departemen Kelautan dan Perikanan sejak cukup lama, namun kiranya perlu

diberikan energi yang lebih besar sehingga bisa dituntaskan secepatnya. Jika ini

tidak dilakukan, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau akan kehilangan satu per

satu pulaunya karena diklaim oleh bangsa lain tanpa bisa berbuat banyak.

9

Page 11: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa dasar sejarah saja tidak bisa

dijadikan pegangan dalam menelusuri kepemilikan sebuah wilayah. Lepasnya

Sipadan dan Ligitan adalah salah satu bukti nyata untuk hal ini. Diperlukan

adanya bukti hukum yang menunjukkan bahwa Indonesia telah melakukan upaya

sistematis untuk memelihara secara administrai daerah yang dipersoalkan. Hal ini,

salah satunya, dilakukan dengan menarik pajak bagi penduduk setempat, dan

mengeluarkan peraturan-peraturan lokal yang berkaitan dengan wilayah sengketa.

Didirikannya resor-resor wisata oleh Malaysia di Sipadan dan Ligitan adalah salah

satu kekuatan yang akhirnya mengantarkan Malaysia pada suatu kemenangan,

disamping isu pengelolaan lingkungan.

Apapun cara yang ditempuh, kedua belah pihak wajib saling menghormati

dengan menempuh cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik. Pemahaman

yang baik dari segi ilmiah, teknis dan hukum yang baik oleh kedua pihak

diharapkan akan mengurangi langkah-langkah provokatif yang tidak perlu.

Pemahan seperti ini tentu saja tidak cukup bagi pemerintah saja, melainkan juga

masyarakat luas untuk bisa memahami dan mendukung terwujudkannya

penyelesaian yang adil dan terhormat Banyak pihak di negeri ini

mengkhawatirkan tragedi lepasnya Sipadan-Ligitan terulang kembali di Ambalat

dan sengketa perbatasan lainnya. Sumber utama kekhawatiran ini adalah

terulangnya kekalahan di meja perundingan, kalah dalam bernegosiasi. Kekuatan

negosiasi terletak pada fokusnya, yaitu yang bertumpu pada pencapaian

kesepakatan yang saling menguntungkan.

Negosiasi membuka jalan baru yang membawa harapan baru pula bagi

semua pihak yang terlibat dengan cara yang unik, yaitu dengan motivasi. Jadi

kekuatan inti negosiator ulung adalah kemampuannya untuk memotivasi pihak

lain atau yang diajak berunding untuk menerima tujuan negosiasi. Atau dengan

kata lain, kekuatan negosiasi terletak pada kemampuan si negosiator untuk

memunculkankekuatan persuasi atau faktor intellectual nonaggressiveness yang

melekat dan menghindari crude power. Kenyataannya, tidak mudah untuk

menciptakan suasana win-win yang menuju pada kesepakatan bersama. Berbagai

faktor dapat mempengaruhi suasana negosiasi dan dapat menurunkan rasa percaya

10

Page 12: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

antar-pihak yang berunding. Apabila hal ini tidak diatasi, maka negosiasi yang

sebenarnya merupakan sarana strategis dapat berbalik menjadi sarana destruktif

yang akibatnya dapat berkepanjangan. Namun, menjadi negosiator yang baik

memang tidak mudah.. Anak-anak adalah negosiator ulung karena mereka gigih

(persistence), tidak mengenal kata 'tidak', tidak tahu malu, dan cerdik dalam

memanfaatkan kelemahan mereka menjadi kekuatan. Seorang Jendral yang tegas

dan displin, barangkali harus menyerah terhadap rengekan anaknya.

Dalam negosiasi, terdapat empat faktor yang mesti diperhatikan:

pemanfaatan waktu, individualisme, pola komunikasi dan derajat kepentingan

formalitas dan conformity bagi suatu pihak. Keempat faktor ini mempengaruhi

pace dari proses negosiasi, mempengaruhi penerapan strategi negosiasi dan

menciptakan kepekaan untuk membentuk hubungan yang harmonis, trust, dan

keterkaitan emosi. Faktor-faktor ini juga membantu dalam mengidentifikasi pola

pengambilan keputusan, dan memahami alur pikir pihak lawan runding. Unsur

penting dalam negosiasi adalah power, informasi dan waktu. Power yang

dimaksud tentu saja crude power, tetapi berbentuk kekuatan bersaing, kekuatan

mengambil resiko, kekuatan komitmen, kekuatan keahlian, dan masih banyak lagi.

Kelengkapan dan keakuratan informasi juga merupakan senjata yang ampuh

dalam negosiasi. Jika kita tahu bahwa ‘lawan’ kita tidak mempunyai alternatif,

kita dapat menaikkan bargaining position kita. Dan ‘waktu’ dapat dimanfaatkan

untuk menaikkan posisi dalam negosiasi.

Apabila perundingan secara bilateral tidak mampu menyelesaikan

sengketa tersebut, maka Konvensi menyediakan beberapa badan peradilan, yaitu :

- Tribunal Internasional untuk Hukum Laut;

- Mahkamah Internasional;

- Tribunal Arbitrasi;

- Tribunal Arbitrasi Khusus.

Lembaga-lembaga tersebut mempunyai yuridiksi atas perselisihan yang

diajukan kepadanya tentang interpretasi dan penerapan ketentuan-ketentuan

konvensi ini. Adapun lembaga-lembaga tersebut diatas adalah lembaga yang

11

Page 13: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

mempunyai keputusan mengikat (binding decisions). Setiap keputusan yang

dikelurkan oleh lembaga tersebut merupakan putusan akhir (final decisions).

Indonesia dan malaysia pernah menggunakan metode penyelesaian

sengketa mengingat ini (melalui mahkamah Internasional) sewaktu

menyelesaikan sengketa perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan.

Penyelesaian sengketa Ambalat ini memang seharusnya menggunakan

jalan perundingan atau cara damai. Hal ini dikarenakan terkait dengan ketentuan

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mewajibkan setiap negara untuk

menyelesaikan sengketa menggunakan cara damai. Dan banyak jalan yang dapat

ditempuh oleh Indonesia dan Malaysia terkait dengan penyelesaiaan sengketa

tersebut tanpa dengan menggunakan kekuatan militer. Karena konflik bersenjata

hanya akan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kedua negara dan

msyarakatnya, apalagi Indonesia dan Malaysia merupakan negara serumpun. Oleh

karenanya Pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan peta batas wilayah yang

jelas mengenai batas-batas wilayah Indonesia dengan negara lain, baik itu yang

ada di darat maupun dilaut. Selain itu pengelolaan pulau-pulau terluar, wilayah

perbatasan dan pengawasan wilayah perbatasan perlu ditingkatakan demi menjaga

kedaulatan dan harga diri bangsa Indonesia.

12

Page 14: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada,

memang belum terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya

sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya

dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatan

yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali

Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris

sebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja

menjadi salah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dan

Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit

memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Cara terbaik adalah jika para pembuat

kebijakan, baik di Jakarta dan Kuala Lumpur maupun berbagai kelompok

masyarakat di kedua negara, bersedia menggunakan kerangka pemikiran holistik

untuk mengelola sengketa itu.

13

Page 15: HUkum Laut (upaya penyelesaian sengketa ambalat)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairul., 2000, Hukum Internasional; Horizon baru Hukum Laut

Internasional , Djambatan, Jakarta .

Mauna, Boer., 2000, Hukum Internasional – pengertian , peranan dan fungsi

dalam era dinamika global , Alumni, Bandung

Undang-undang No 17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nation

Conventions on The Law Of the Sea

United Nation Conventions on The Law Of the Sea 1982

www. Goggle.com

14