i. 1.1. pendahuluan · ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan untuk itulah perlu dilakukan...
TRANSCRIPT
1
KAJIAN
REVOLUSI AGRARIA INDONESIA
OLEH
Dr.HABIB, S.H., SpN., M.HuM.
2
I. 1.1. PENDAHULUAN
Bahwa pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia sangat dibutuhkan
penanganan secara berencana baik itu jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang, dapat diprediksi akan terjadi pertambahan penduduk Indonesia
yang terus meningkat dikarenakan tingginya angka harapan hidup rakyat
Indonesia, dapat diestimasikan penduduk Indonesia pada tahun 2040 akan
tumbuh menjadi 400 juta jiwa, hal ini akan memiliki implikasi baik secara social,
ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan untuk itulah perlu dilakukan revolusi
agraria yang dikandung maksud untuk melindungi kekayaan Bangsa Indonesia
berupa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
guna memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan Bangsa Indonesia
dikemudian hari.
Bahwa sesuai dengan data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS), luas
wilayah laut Indonesia mencapai 5.076.800 Km2 dan bilamana dijadikan ke
dalam hektar adalah 507.680.000 hektar, sedangkan luas daratan Indonesia
mencapai 1.904.569 Km2 dan bilamana dijadikan ke dalam hektar adalah
190.456.900 hektar dan bilamana luas wilayah laut dan daratan Indonesia
dikelola dengan baik akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran secara
maksimal kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia.
Bahwa di seluruh wilayah NKRI sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Indonesia Agrarian Watch (IAW), lebih dari 28 juta hektar atau
sekitar 14,7% dari seluruh jumlah daratan di Indonesia merupakan tanah terlantar
dan diterlantarkan baik itu tanah kawasan hutan, tanah Negara yang dikuasai
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota maupun tanah hak perseorangan/badan hukum, hal ini
mengakibatkan tanah menjadi tidak produktif dan menyalahi prinsip
kemanfaatan dan keadilan yaitu fungsi tanah bertujuan digunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran Bangsa dan Rakyat Indonesia.
Bahwa sesuai hasil penelitian IAW (Indonesia Agrarian Watch), lebih dari
3,4 juta hektar kawasan hutan berizin, hutan produksi, yang meliputi
Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi
yang dapat di Konversi (HPK) dan tanah dalam bentuk Hak Guna Usaha dan
bekas Hak Guna Usaha untuk perkebunan besar yang tidak dikelola dengan baik
karena pemegang tanah tersebut tidak memiliki dan tidak menggunakan modal
usaha yang cukup, sehingga dengan demikian tanah-tanah tersebut kurang
produktif dan ini menyalahi pemberian HGU sebagaimana diatur dalam pasal 28
ayat 2 UUPA yang berbunyi :
Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar,
dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai
3
investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan
perkembangan zaman.
Bahwa tanah yang diterlantarkan dan tidak dikelola dengan baik tersebut
manakala dikelola dengan menggunakan modal usaha yang cukup, maka
Indonesia akan mampu mandiri dan swasembada dalam sektor pertanian,
peternakan, perikanan, bahkan Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia.
Bahwa sesuai yang diatur dalam pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar,
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, meliputi tanah, hasil
tambang, mineral dan air wajib dikelola oleh Negara dan hasilnya dipergunakan
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, selama ini perusahaan
tambang hanya membayar pajak kepada negara, bahkan banyak tambang illegal
yang tidak memberikan pemasukan apapun kepada Negara, hal ini menyalahi
prinsip Pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar, yang berbunyi :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Hal tersebut sejalan dengan bunyi pasal 33 ayat 2 UUD yang berbunyi
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajad
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”, dengan demikian, maka perusahaan
yang melakukan eksplorasi, eksploitasi dan kegiatan menambang wajib membeli
dan/atau melakukan bagi hasil tanah, hasil tambang, mineral dan air kepada
Negara, yang mana hasil penjualan dan/atau bagi hasil tanah, hasil tambang,
mineral dan air merupakan potensi yang sangat besar dalam rangka
mengembangkan perekonomian Indonesia, yaitu dengan cara meningkatnya
pendapatan dalam APBN.
Pendapat Menteri Negara BUMN saat itu, Mustafa Abubakar, dalam
keterangan tertulis di sidang uji materi UU Nomor 30/2009 menafsirkan
“dikuasai oleh negara” berarti negara sebagai regulator, fasilitator, dan
operator yang secara dinamis menuju negara hanya sebagai regulator dan
fasilitator.
Menurut putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
15/PUU-XVI/2018, makna dikuasai oleh Negara adalah rakyat secara kolektif
mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(betheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Bahwa revolusi agraria mengandung maksud agar fungsi-fungsi agraria
dilakukan secara sinergis dan terintegrasi, sehingga dengan demikian persoalan
agraria tidak bersifat sektoral dan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial
4
bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk mencapai maksud tersebut maka
Kementrian Sektor Agraria tersebut disusun dibawah Menteri Koordinator
Bidang Agraria yang membawahi kementrian-kementrian yang meliputi :
1. Badan Pertanahan Nasional dan Tata Ruang.
2. Kementrian Kelautan, Perikanan dan Jasa Tirta.
3. Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
4. Kementrian Pertanian, Perternakan dan KaBulog.
5. Kementrian ESDM/Pertambangan.
Bahwa di Indonesia belum ada lembaga atau institusi yang mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya secara
terintregrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan pasal 2 ayat
1 dan 2 UUPA, sehingga dengan demikian di Indonesia perlu didirikan Badan
Usaha Milik Negara, yang meliputi :
1. Bank Tanah Indonesia.
2. Bank Air Indonesia.
3. Bank Ikan Indonesia.
4. Bank Kayu Indonesia.
5. Bank Tambang Indonesia yang meliputi Bank Emas, Bank Nikel, Bank
Alumunium, Bank Batu Bara dan Bank Pasir.
Bahwa sejak mulai berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang berlaku mulai tanggal 24 September
1960 sampai dengan saat ini, pelaksanaan Agraria di Indonesia masih bersifat
sektoral dan belum terintegrasi secara nasional, sehingga dengan demikian
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
belum dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran secara maksimal
kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia.
Bahwa Kementrian Agraria/Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional
sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, selama ini hanya
mengelola salah satu fungsi Agraria yang bersifat administratif dalam bidang
pertanahan yang tugas pokoknya mengurusi pendaftaran tanah/sertipikasi tanah,
yaitu mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, sehingga dengan
demikian hak menguasai Negara atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya belum ada instansi atau lembaga yang
mengaturnya secara nasional.
Bahwa dengan adanya pendirian bank-bank tersebut di atas, maka akan
memberikan pendapatan ke dalam APBN, yaitu sebagai berikut :
1. Pendirian Bank Tanah Indonesia maka akan memberikan pendapatan ke
dalam APBN kurang lebih sekitar 2900 Triliun Rupiah yaitu dengan cara
5
mengelola lahan-lahan terlantar, tanah sengketa dan tanah kelebihan luas
maksimum yang ada di Indonesia.
2. Pendirian Bank Kayu Indonesia akan memberikan pendapatan ke dalam
APBN per tahunnya sekitar 250 Triliun Rupiah.
3. Pendirian Bank Air Indonesia maka setiap perusahaan yang menjual air
mineral akan membeli kepada Negara, dan hasil penjualan air tersebut akan
memberikan pemasukan ke dalam APBN sebesar 225 Triliun Rupiah.
4. Pendirian Bank Ikan Indonesia di setiap titik zona laut di Indonesia akan
memberikan pendapatan ke dalam APBN sebesar 350 Triliun Rupiah.
5. Pendirian Bank Tambang Indonesia yang keseluruhannya akan
memberikan pendapatan ke dalam APBN sekitar 3700 Triliun Rupiah.
sehingga dengan demikian, Revolusi Agraria Indonesia dapat menjadi solusi
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana
sila ke-5 Pancasila yaitu APBN Indonesia akan meningkat secara drastis menjadi
7.425 Triliun Rupiah setiap tahunnya.
Lembaga-lembaga ini didirikan dengan Undang-undang/PERPPU dalam
bentuk Holding Company secara nasional, sesuai dengan fungsi dan hak untuk
mengelola dari Negara atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya, sehingga dengan demikian bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikelola oleh Negara secara
maksimal dapat mewujudkan kesejahteraan kepada Bangsa dan Rakyat
Indonesia.
Pendirian bank-bank tersebut di atas dimaksudkan Negara Republik
Indonesia dapat melakukan monopoli sektor agraria baik untuk skala nasional
maupun global, sehingga Indonesia dapat mengatur, menentukan dan
mengendalikan harga-harga produk sektor agraria di dunia dalam rangka
menghadapi perdagangan bebas yang terus berkembang dengan masif.
6
I. 1.2. Dasar Ideologi / Filosofi :
Pancasila yang berbunyi :
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Persatuan Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
I. 1.3. Dasar Konstitusi :
Alinea ke-4 UUD 1945, yang berbunyi :
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 33 ayat 3 UUD, yang berbunyi :
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat 5 UUD, yang berbunyi :
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.
7
I. 1.4. Dasar Hukum :
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
Pasal 1 UUPA, yang berbunyi :
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat
abadi.
(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula
tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
(5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut
wilayah Indonesia.
(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan
air tersebut ayat 4 dan pasal 5 ini.
Pasal 2 UUPA, yang berbunyi :
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan
ruang angkasa, termaksud kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut ;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa ;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
8
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 5 UUPA, yang berbunyi :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama.
Pasal 13 UUPA, yang berbunyi :
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan
agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan
kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3
serta menjamin bagi setiap warganegara Indonesia derajat hidup yang
sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun bagi
keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria
dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli
swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial
termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
9
Pasal 14 ayat 1 UUPA, yang berbunyi :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 dan
3, pasal 9 ayat 2 serta pasal 10 ayat 1 dan 2 pemerintah dalam rangka
sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya :
a. untuk keperluan Negara ;
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya,
sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa ;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial,
kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan ;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan
dan perikanan serta sejalan dengan itu ;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
Pasal 15 UUPA, yang berbunyi :
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta
mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum
atau instansi yang mempunyai hubungan-hukum dengan tanah itu,
dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
Dalam penjalasan pasal 32 ayat 2 alinea 3 dan 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi :
Kelemahan sistem publikasi negatif adalah bahwa pihak yang namanya
tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu
menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai
tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatas diatasi dengan menggunakan
lembaga acquisitieve verjaring atau adverse possession. Hukum tanah kita
yang memakai dasar hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum
adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan
sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga
rechtsverwerking.
Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan
tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang
memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut
kembali tanah tersebut. Ketentuan didalam UUPA yang menyatakan
hapusnya hak atas tanah karena diterlantarkan (Pasal 27, 34, dan 40 UUPA)
adalah sesuai dengan lembaga ini.
10
Bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, salah satu hapusnya hak atas tanah
adalah karena diterlantarkan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan
sebagai berikut:
Pasal 27 UUPA, yang berbunyi :
Hak milik hapus bila :
a. tanahnya jatuh kepada Negara :
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18 yang berbunyi untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur dengan Undang-undang ;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya ;
3. karena diterlantarkan ;
4. karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2.
b. tanahnya musnah.
Pasal 34 UUPA, yang berbunyi :
Hak guna-usaha hapus karena :
a. jangka waktunya berakhir ;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat tidak
terpenuhi ;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir ;
d. dicabut untuk kepentingan umum ;
e. diterlantarkan ;
f. tanahnya musnah ;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat 2.
Pasal 40 UUPA, yang berbunyi :
Hak guna bangunan hapus karena :
a. jangka waktunya berakhir ;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat tidak
terpenuhi ;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir ;
d. dicabut untuk kepentingan umum ;
e. diterlantarkan ;
f. tanahnya musnah ;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat 2.
11
II. 2.1. KONSEP REVOLUSI AGRARIA INDONESIA
Untuk memperoleh kemerdekaan NKRI, maka ribuan pahlawan telah
mengorbankan jiwa dan raga mereka sebagai wujud dharma bakti kepada nusa
dan bangsa Indonesia, puncaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai
Negara yang merdeka, maka memiliki tujuan bersama yang dituangkan dalam
UUD NKRI 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sehingga
dengan demikian, maka UUD 1945 merupakan cita-cita luhur, dan sekaligus
cita-cita proklamasi yang merupakan cita-cita bersama seluruh rakyat Indonesia,
maka revolusi agraria Indonesia adalah strategi/cara yang dilakukan secara cepat
dan tepat untuk mewujudkan cita-cita luhur dan cita-cita proklamasi 17 Agustus
1945, oleh karena itu revolusi agraria adalah sejalan dan bahkan merupakan
perintah konstitusi UUD NKRI yang bukan hanya hak Negara tetapi merupakan
kewajiban Pemerintah dan Negara guna mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia, yaitu masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD NKRI.
Bahwa untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh
Rakyat Indonesia perlu dilakukan Revolusi Agraria Indonesia, menurut
Wikipedia revolusi adalah perubahan politik atau sosial yang cepat dan bilamana
konsep revolusi dihubungkan dengan pasal 33 ayat 3 UUD dan pasal 1 ayat 2,
ayat 4, ayat 5 dan ayat 6 UUPA, maka konsep agraria itu meliputi bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, sehingga
dengan demikian, maka konsep revolusi agraria mengandung pengertian, yaitu
perubahan politik dan sosial secara cepat, yang berkaitan dengan bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, singkat kata, revolusi
agraria adalah perubahan politik dan sosial secara cepat dan masif yang
dilakukan secara terencana, terukur dan terstruktur dengan tetap memperhatikan
ideologi, konstitusi dan hukum yang berlaku di Indonesia terhadap sektor-sektor
agraria yang meliputi :
1. Sektor pertanahan dan turunannya ;
2. Sektor kehutanan dan lingkungan hidup beserta turunannya ;
3. Sektor kelautan dan tata guna air beserta turunannya ;
4. Ruang angkasa dan turunannya ;
5. Energi dan sumber daya alam beserta turunannya.
Untuk mewujudkan Revolusi Agraria Indonesia, seyogjanya dilakukan
kajian secara cermat dan mendalam terhadap UUD Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dari pengertian-pengertian terhadap rumusan UUD inilah akar
permasalahan agraria di Indonesia ini muncul, mari kita cermati pasal 33 ayat 3
UUD menegaskan dengan jelas dan tegas yang berbunyi sebagai berikut :
12
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Unsur dari pasal 33 ayat 3 UUD adalah :
a. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara ;
b. Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, yaitu unsur pertama pasal 33 ayat 3 UUD lebih lanjut tersurat
pokok-pokoknya saja, sebagaimana diatur didalam pasal 2 ayat 1 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
yang berbunyi :
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Pasal 2 ayat 2 UUPA, yang berbunyi :
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut ;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa ;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, walaupun sudah diatur didalam Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UUPA
tetapi pengaturan tersebut masih bersifat pokok-pokoknya saja, dan belum
mengatur secara jelas dan lengkap tentang peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, hal inilah yang mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dan carut
marut terhadap persoalan agraria di Indonesia.
Penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya menjadi sangat penting karena banyaknya pelanggaran terhadap
kepemilikan/penguasaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga/instansi, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, badan hukum, dan warga negara
13
(perseorangan), yaitu adanya penelantaran tanah dan kepemilikan tanah yang
melampaui batas baik jumlahnya maupun luasnya, sehingga tanah-tanah tersebut
tidak produktif dan tidak mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, sehingga hal ini akan membahayakan persatuan dan keutuhan NKRI,
pasal 5 UUPA berbunyi :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-
undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Hukum Agraria Indonesia berdasarkan pada hukum adat, sehingga dengan
demikian didalam hukum adat dilarang menterlantarkan tanah, karena
menterlantarkan tanah berakibat hak atas tanahnya hapus, sebagaimana diatur
dalam pasal 27, 34 dan 40 UUPA.
Pendapat Menteri Negara BUMN saat itu, Mustafa Abubakar, dalam
keterangan tertulis di sidang uji materi UU Nomor 30/2009 menafsirkan
“dikuasai oleh negara” berarti negara sebagai regulator, fasilitator, dan
operator yang secara dinamis menuju negara hanya sebagai regulator dan
fasilitator.
Menurut putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
15/PUU-XVI/2018, makna dikuasai oleh Negara adalah rakyat secara kolektif
mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(betheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Hak menguasai dari Negara terhadap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 15/PUU-XVI/2018 adalah sebagai berikut :
a. Hak untuk mengadakan kebijakan (beleid) ;
b. Hak untuk melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad) ;
c. Hak untuk melakukan pengaturan (regelendaad) ;
d. Hak untuk melakukan pengelolaan (betheersdaad) ;
e. Hak untuk melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) ;
Semua hak-hak menguasai dari Negara tersebut di atas ditujukan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Begitu juga terhadap unsur kedua pasal 33 ayat 3 UUD, yang berbunyi
“Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”, untuk
14
mewujudkan unsur kedua ini perlu diterbitkan undang-undang yang mengatur
penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, yaitu dengan dibuatkan korporasi tentang Holding Company dengan
dasar undang-undang/PERPPU yang mengatur tentang penguasaan negara atas
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya khususnya
pengelolaan tanah dan kekayaan alam yang diterlantarkan dan kepemilikan tanah
yang melampaui batas maksimal agar supaya dapat memberikan kemakmuran
secara maksimal kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, hal tersebut diatas
merupakan perintah konstitusi untuk membuat undang-undang pelaksanaan dari
pasal 33 UUD yang secara jelas dan tegas diperintahkan oleh pasal 33 ayat 5
UUD, yang berbunyi :
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
Berdasarkan pasal 33 UUD dan penjelasannya, maka sumber-sumber
ekonomi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak termasuk
juga sektor agraria wajib dikelola oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, hal ini merupakan prinsip dasar
perekonomian Indonesia yang dipergunakan untuk mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia, perekonomian Indonesia memiliki karakteristik
yang khas sejalan dengan situasi dan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia
yang memiliki tradisi dan budaya gotong royong, guyub rukun dan kekeluargaan,
konsekuensi dari prinsip tersebut diatas adanya pelarangan dan pembatasan
monopoli penguasaan sumber-sumber ekonomi yang penting dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak termasuk juga sektor agraria oleh swasta,
artinya monopoli sektor agraria merupakan hak penuh dari Negara, sedangkan
monopoli oleh swasta terhadap sektor agraria merupakan pengecualian selama
monopoli tersebut diberikan wewenang dalam bentuk undang-undang. Hal ini
sebagaimana diatur oleh penjelasan pasal 33 UUD yaitu :
(1) Perekonomian berdasarkan atas asas kekeluargaan atau persaudaraan
(brotherhood), yang menjunjung kesejahteraan bersama sebagai tujuan
utama, bukan persaingan individualisme (liberalism).
(2) Memberi kewenangan penuh kepada Negara untuk mengelola cabang-
cabang produksi yang penting bagi Negara, dan menguasai hajat hidup
orang banyak.
(3) Penguasaan oleh Negara ini ditunjukan untuk kemakmuran bersama,
bukan kemakmuran orang per orang.
Hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 33 ayat 2 UUD, yang berbunyi :
15
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hajad hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, hak menguasai Negara atas bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, Negara
memiliki hak dan bahkan kewajiban untuk mengelola dan melakukan monopoli
terhadap cabang-cabang ekonomi yang penting dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak, yaitu dengan cara mendirikan dan mengelola usaha-usaha dalam
sector sebagai berikut :
a. Mendirikan dan mengelola Bank Tanah Indonesia ;
b. Mendirikan dan mengelola Bank Kayu Indonesia ;
c. Mendirikan dan mengelola Bank Air Indonesia ;
d. Mendirikan dan mengelola Bank Ikan Indonesia ;
e. Mendirikan dan mengelola Bank Tambang Indonesia.
16
II. 2.2. REVOLUSI SEKTOR PERTANAHAN
Persoalan agraria bukan hanya sektor pertanahan saja, agraria pada dasarnya
meliputi sektor pertanahan, kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan
(ESDM), udara/ruang angkasa dan tata guna air baik air darat maupun laut
wilayah, sektor-sektor diatas untuk dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya
kepada bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia haruslah dikelola secara
terintegrasi dan tidak dapat dilakukan secara sektoral, sehingga dengan demikian
Revolusi Sektor Pertanahan Indonesia dapat mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Perlu diketahui jumlah tanah semakin berkurang, sedangkan pihak-pihak
yang membutuhkan tanah semakin bertambah, maka konsekuensi logis adalah
semakin mahalnya harga tanah, tetapi pada sisi lain banyak tanah-tanah yang
tidak sesuai dengan peruntukannya, dan dialih fungsikan dari tanah pertanian
menjadi perumahan, dan bahkan banyaknya tanah-tanah yang terlantar atau
sengaja diterlantarkan baik oleh lembaga-lembaga, Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota serta oleh perorangan maupun badan
hukum, padahal semua itu menyalahi prinsip-prinsip hukum agraria yang
berlaku.
Untuk mewujudkan Revolusi Sektor Pertanahan diperlukan langkah-langkah
sebagai berikut :
A. Bank Tanah Indonesia.
Persoalan pertanahan harus dibuat regulasi sedemikian rupa sehingga
tanah dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada Rakyat
Indonesia, untuk itulah perlu dibuat suatu badan yang mengelola dan
mengatur masalah pertanahan dalam bentuk Bank Tanah Indonesia (BTI),
Bank Tanah Indonesia dibuat dengan undang-undang atau PERPPU sebagai
regulator yang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk juga menentukan harga nilai
ganti rugi bagi pihak-pihak yang membutuhkan tanah dan hasil dari
perolehan keuangan Bank Tanah Indonesia akan menjadi salah satu sumber
pendapatan dalam APBN, dengan didirikannya Bank Tanah Indonesia
maka diharapkan tidak ada lagi penyalahgunaan dan penyimpangan sektor
agraria di Indonesia, sehingga Indonesia akan menjadi Negara produsen
pangan dunia dalam sektor pertaniaan, perternakan dan perikanan, Bank
Tanah Indonesia sangat penting terutama dalam rangka sumber pendapatan
dalam APBN dan lebih penting lagi diperlukan dalam rangka memperoleh
tanah untuk pembangunan kepentingan umum, Bank Tanah Indonesia tidak
akan menyentuh atau menangani tanah hak masyarakat yang telah dikelola
dengan baik, Bank Tanah Indonesia juga tidak akan menangani tanah yang
dikuasai oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah
17
Kabupaten/Kota, aset BUMN, aset BUMD, aset desa dan aset badan usaha
milik desa selama tanah tersebut dikelola dengan baik. Bank Tanah
Indonesia akan menangani dan mengelola serta mengambilalih tanah-tanah
(obyek Bank tanah Indonesia), yaitu :
a. Semua tanah terlantar atau diterlantarkan baik itu tanah negara yang
dikuasai oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan tanah BUMN, BUMD serta
tanah BUMDes.
b. Tanah obyek sengketa, agar tanah tersebut tidak terlantar atau
diterlantarkan, dan tanah sengketa tersebut akan diberikan kepada
pemenang sengketa yang berhak setelah putusan IN KRACHT van
GEWIJSDE.
c. Tanah PERHUTANI atau INHUTANI yang tidak dikelola dengan baik.
d. Tanah HGU atau bekas HGU yang di terlantarkan dan tidak dikelola
dengan baik.
e. Tanah hak yang terlantar atau diterlantarkan oleh pemegang haknya ;
Jumlah tanah yang terlantar atau diterlantarkan lebih dari 28 juta hektar,
dan bilamana ini dikelola dengan baik, setidaknya akan memberikan
tambahan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang cukup besar, Bank Tanah Indonesia diharapkan dapat meberikan
pemasukan ke dalam APBN sejumlah 2900 Triliun Rupiah.
Bank Tanah Indonesia ini dibuat berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD, yang
berbunyi :
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hal ini berdasarkan pula pada pasal 33 ayat 5 UUD, yang berbunyi :
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
Pasal 2 ayat 1 UUPA, yang berbunyi :
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
18
Pasal 2 ayat 2 UUPA, yang berbunyi :
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut ;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa ;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Hal ini berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 15/PUU-XVI/2018, makna dikuasai oleh Negara adalah
rakyat secara kolektif mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan
(beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (betheersdaad) dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
B. Percepatan Sertipikasi Tanah Secara Nasional Untuk Semua Bidang Tanah.
Percepatan sertipikasi tanah dalam rangka melaksanakan tertib
administrasi pertanahan dan guna untuk memperoleh kepastian hak dan
kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah, pemerintah
berkewajiban melaksanakan percepatan sertipikasi tanah secara nasional
terhadap seluruh bidang tanah di NKRI baik itu aset pemerintah, kawasan
hutan, bandara, pelabuhan, jalan raya, tanah hak masyarakat, tanah milik
badan hukum, tanah tempat-tempat ibadah, kawasan industri dan semua
bidang tanah di NKRI, dengan memiliki sertipikat hak atas tanah, maka hal
ini akan memberikan potensi meningkatnya pertumbuhan ekonomi
nasional, karena dengan memiliki sertipikat hak atas tanah, maka
masyarakat memiliki potensi memperoleh modal untuk usaha dengan
meminjam uang dari bank dengan sertipikat hak atas tanah sebagai jaminan,
percepatan sertipikasi tanah dilakukan sebagi berikut :
- WNI perseorangan diberikan sertipikat hak milik atau hak guna
bangunan atau hak pakai.
- Pemerintah atau pemerintah daerah propinsi, pemerintah
kabupaten/kota, pemerintah desa dapat diberikan hak pakai.
- Pemerintah atau pemerintah daerah propinsi, pemerintah
kabupaten/kota pemerintah desa, BUMN, BUMD dan badan usaha
milik desa diberikan hak pengelolaan.
19
- Badan hukum, WNI perseorangan dapat diberikan hak guna bangunan
atau hak pakai diatas tanah hak milik atau hak guna bangunan atau hak
pakai diatas tanah hak pengelolaan.
Perlu diketahui berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Indonesia Agrarian Watch (IAW) pada tahun 2017 jumlah bidang tanah
yang telah bersertipikat diseluruh wilayah NKRI baru mencapai 40%,
sedangkan sisanya yang 60% belum dilakukan pendaftaran (bersertipikat)
dan bahkan sejak awal Pemerintahan Ir. Joko Widodo, IAW telah
mendorong pemerintah untuk secepatnya melakukan percepatan sertipikasi
tanah secara nasional dan ini merupakan tanggung jawab pemerintah untuk
melakukan sertipikasi tanah diseluruh wilayah NKRI, percepatan sertipikasi
tanah akan dapat berjalan secara maksimal dalam waktu yang singkat dan
tepat bila dilakukan secara sinergis antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa serta pihak-pihak yang
terkait. Sertipikasi tanah dilakukan dengan penyajian data fisik dan data
yuridis tanah, hasil dari penyajian data fisik berupa peta bidang tanah,
apabila tanah sudah ada peta bidangnya, berarti proses pendaftaran tanah
sudah dilakukan 70%, sisanya berupa penyajian data yuridis tanah tersebut
dilakukan dengan cara melengkapi bukti-bukti hak atas tanah yang meliputi
buku C desa, girik, pipil termasuk bukti-bukti peralihan dan perolehan hak
atas tanah tersebut.
C. Pembatasan Kepemilikan/Penguasaan Hak Atas Tanah.
Pembatasan kepemilikan/penguasaan hak atas tanah bertujuan untuk
mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradap (sila ke-2 Pancasila) dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5
Pancasila), argumen hukum pembatasan kepemilikan/penguasaan hak atas
tanah ini adalah logis/wajar, hal ini telah sejalan dengan prinsip keadilan
dalam hukum, artinya bagi rakyat yang mampu secara ekonomi dikenakan
pajak progresif yang tinggi atas kepemilikan/penguasaan hak atas tanah
yang dimiliki atau dikuasai, sedangkan bagi masyarakat miskin yang
memiliki hak atas tanah yang sedikit/kecil dikenakan pajak yang rendah
atau tanpa pajak progresif, pembatasan kepemilikan/penguasaan hak atas
tanah ditujukan untuk warga negara Indonesia perseorangan maupun
korporasi atau badan hukum, untuk tanah pertanian maupun tanah darat
atau perumahan, untuk perkebunan besar/kecil yang peruntukannya
meliputi pertanian, peternakan dan pemukiman, hal ini dilakukan terhadap
semua hak atas tanah yang meliputi :
- Hak milik.
- Hak guna usaha.
- Hak guna bangunan, maupun
20
- Hak pakai, pengecualian pembatasan terhadap kepemilikan atau
penguasaan hak pakai adalah untuk instansi pemerintah baik
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa.
Pembatasan kepemilikan/penguasaan hak atas tanah dilakukan dengan
cara, yaitu :
- Zonasi/wilayah/tempat khusus untuk tanah pertanian.
- Luas/jumlah tanahnya.
- Peruntukan tanah.
- Pengenaan uang pemasukan secara progresif, BPHTB secara progresif
dan pajak bumi dan bangunan secara progresif.
Salah satu pembatasan kepemilikan/penguasaan hak atas tanah
dilakukan dengan pembayaran uang pemasukan secara progresif yang
berasal dari surat keputusan pemberian hak yang berasal dari tanah Negara
atau dengan cara pengenaan pajak secara progresif, pengenaan pajak
meliputi :
- BPHTB untuk pendapatan APBD Kabupaten/Kota.
- Uang pemasukan/bagi hasil untuk APBN.
- Pajak Bumi dan Bangunan untuk pendapatan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota untuk APBD Kabupaten/Kota.
a. Pembatasan kepemilikan/penguasaan tanah pertanian telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian. Hal ini sesuai dengan kepadatan penduduk
perkilometer di tiap-tiap daerah di Indonesia dengan catatan
kepemilikan minimum adalah 2 hektar setiap keluarga dan kepemilikan
kelebihan dari kelipatan 2 hektar akan dikenakan pajak progresif sesuai
dengan kepemilikan/penguasaan hak atas tanah, sedangkan
kepemilikan/penguasaan hak atas tanah yang melebihi luas maksimum
sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960, akan
diambil alih dan dikuasai oleh negara dan akan menjadi sumber
pendapatan di dalam APBN.
b. Pembatasan kepemilikan/penguasaan tanah darat/tanah perumahan
kepemilikan/penguasaan hak atas tanah maksimal 5 bidang setiap
keluarga, dengan ketentuan setiap kelebihan dari satu bidang hak atas
tanah dikenakan pajak progresif sesuai dengan kelipatannya dengan
ketentuan apabila kepemilikan/penguasaan setiap keluarga melebihi 5
bidang tanah maka kelebihan tersebut akan diambil alih/dikuasai oleh
negara dan akan menjadi sumber pendapatan APBN.
c. Pembatasan penguasaan/kepemilikkan Hak Guna Usaha, hal ini
dimaksudkan agar supaya pemegang Hak Guna Usaha sanggup dan
21
mampu untuk mengelola tanah yang diberikan oleh Negara dengan
baik, sehingga dihindari adanya penelantaran tanah dan/atau
pengelolaan HGU yang tidak maksimal dikarenakan pemegang HGU
tidak memiliki modal yang cukup, sebagaimana diketahui pada saat ini
begitu gampangnya Negara/Pemerintah memberikan HGU kepada
perseorangan/badan hukum, padahal pemegang HGU tersebut tidak
memiliki modal dan tidak memiliki tenaga ahli untuk mengelola HGU
dengan baik, sebagaimana diperintahkan dan diatur dalam pasal 28 ayat
2 UUPA, yang berbunyi sebagai berikut :
Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5
hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus
memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik,
sesuai dengan perkembangan zaman.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, yang berbunyi :
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Hal ini diatur lebih lanjut didalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang
berbunyi :
(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuau hak atas tanah
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
(2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundangan.
(3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan.
Selanjutnya pasal tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkan Undang-
Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian.
Pengaturan terhadap kepemilikan/penguasaan hak atas tanah pertanian
diakukan sebagai berikut :
Pasal 1 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang berbunyi :
(1) Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu
keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah
22
pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain atau pun
miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya
tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat 2
pasal ini.
(2) Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor-
faktor lainnya, maka luas maksimum yang dimaksud dalam ayat 1 pasal
ini ditetapkan sebagai berikut :
Jika tanah pertanian yang dikuasai itu merupakan sawah dan tanah
kering, maka untuk mengitung luas maksimum tersebut, luas sawah
dijumlah dengan luas tanah kering dengan menilai tanah kering sama
dengan sawah ditambah 30% di daerah-daerah yang tidak padat dan
20% di daerah-daerah yang padat dengan ketentuan, bahwa tanah
pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar.
D. Penerbitan Sertipikat Bangunan Gedung.
Bahwa Indonesia menganut Asas Pemisahan Horizontal terhadap tanah
dan bangunan, sehingga dengan demikian perlu dibuatkan perangkat hukum
baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun
Peraturan Daerah sebagai dasar diaturnya kepemilikan bangunan yang
berdiri diatas hak atas tanah. Karena Ijin Mendirikan Bangunan Gedung
(IMB) bukan bukti kepemilikan bangunan.
Penerbitan dan kepemilikan sertipikat bangunan gedung, hal ini
menjadi sangat penting untuk melindungi Kepemilikan Bangunan Gedung
karena dengan berkembangnya pembangunan di Indonesia, maka bisa jadi
nilai atau harga suatu bangunan gedung jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan harga hak atas tanahnya, sehingga dengan demikian penerbitan
sertipikat bangunan gedung tersebut dapat dikenakan retribusi/PNBP
sebagai sumber pendapatan dalam APBN/APBD.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung, yang berbunyi :
Di daerah-daerah yang :
Sawah
(hektar) atau
Tanah kering
(hektar)
1 Tidak padat 15 20
2 Padat
a. kurang padat 10 12
b. cukup padat 7,5 9
c. sangat padat 5 6
23
1. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif
yang meliputi :
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak
atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung;
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Setiap orang atau badan hukum dapat memiliki bangunan gedung atau
bagian bangunan gedung.
3. Pemerintah Daerah wajib mendata bangunan gedung untuk keperluan
tertib pembangunan dan pemanfaatan.
4. Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan,
dan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
E. Pendirian BUMN dan BUMD Secara Terintegrasi.
Untuk mewujudkan Revolusi Sektor Pertanahan secara maksimal
diperlukan upaya-upaya secara cepat dan strategis dan salah satu cara
mewujudkannya yaitu dengan melibatkan pemerintah untuk berperan aktif
dengan mendirikan BUMN, BUMD, Badan Usaha Milik Desa yang
dibiayai dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota, APBDesa
yang menangani dan mengelola sektor pertanahan yang meliputi pertanian,
peternakan dan perikanan.
24
II. 2.3. REVOLUSI SEKTOR KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN HIDUP
Kawasan hutan disamping berfungsi sebagai paru-paru Indonesia dan paru-
paru dunia, juga sebagai sumber kehidupan makhluk hidup dalam bentuk
oksigen, hutan juga berfungsi sebagai sumber mata air, disamping itu hutan
berfungsi sebagai sumber bahan baku kayu yang berguna sebagai sumber
kesejahteraan bagi pemerintah dan rakyat Indonesia.
Kawasan hutan wajib dikelola lebih baik sehingga dapat memberikan hasil
guna dan daya guna secara maksimal untuk memberikan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia, sehingga dengan demikian Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup harus memetakan dari jenis hutan tersebut,
yaitu hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi, hutan-hutan tersebut
harus dikelola dengan baik tidak boleh terlantar dan diterlantarkan, hal ini
menyalahi prinsip yang diatur dalam UUPA, yaitu pasal 13 dan 15 UUPA.
Kawasan hutan lindung yang sudah ada tanamannya dan tidak diterlantarkan
tetap dipertahankan sebagai hutan lindung, terhadap kawasan hutan lindung yang
terlantar dan diterlantarkan dan menjadi tanah tidur untuk dilepas dan diserahkan
kepada Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
Pemerintah Desa termasuk juga kepada instansi-instansi terkait untuk dijadikan
hutan kota/desa, terhadap hutan produksi yang terlantar dan diterlantarkan akan
diserahkan kepada Bank Tanah Indonesia yang kemudian untuk dikelola oleh
BUMN, BUMD, dan Badan Usaha Milik Desa dan dapat pula dikerjasamakan
dengan pihak ketiga.
1. Bank Kayu Indonesia (BKI)
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar terhadap pengembangan
industri kayu dalam skala global, hal ini dikarenakan banyaknya tanah-
tanah yang terlantar dan diterlantarkan, manakala tanah-tanah tersebut
dikelola dengan baik, hal ini akan menjadi potensi dalam rangka produksi
kayu sebagai bahan ekspor dunia, sehingga dengan demikian diharapkan
Indonesia akan menjadi eksportir kayu terbesar di dunia dan sekaligus
dapat menentukan, mengatur dan mengendalikan harga kayu dunia.
Untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
didirikan Bank Kayu Indonesia dalam bentuk BUMN, Bank Kayu
didirikan dengan undang-undang/PERPPU, bahwa kebutuhan kayu dalam
negeri untuk pembangunan dunia industri setiap tahun selalu meningkat
termasuk juga kebutuhan kayu untuk bahan baku ekspor ke luar negeri
semakin bertambah, tetapi pada satu sisi produksi kayu Indonesia semakin
berkurang, sehingga perlu adanya satu lembaga/institusi sebagai regulator
sektor kayu dalam bentuk Bank Kayu Indonesia, Bank Kayu Indonesia
dibentuk dan didirikan dengan undang-undang yang mengatur dan
25
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
produksi kayu di Indonesia, sehingga industri kayu Indonesia dapat
memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada Bangsa Indonesia,
pendirian Bank Kayu Indonesia (BKI) diharapkan dapat memberikan
tambahan pendapatan ke dalam APBN sejumlah 250 Triliun Rupiah,
pendapatan ini diperoleh dengan cara Bank Kayu Indonesia sebagai
regulator terhadap produsen dan pengolahan kayu di Indonesia yaitu fungsi
dan tugas PERHUTANI dan INHUTANI dilebur didalam Bank Kayu
Indonesia.
2. Memaksimalkan hutan lindung untuk ditanami tanaman sehingga dapat
menjadi paru-paru Indonesia dan paru-paru dunia.
3. Melakukan reboisasi dan penanaman tanaman hutan lindung sesuai dengan
kondisi geografis daerah yang bersangkutan, sehingga dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas sumber mata air sebagai sumber kehidupan makhluk
hidup.
4. Terhadap hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dapat dikelola
dengan baik oleh Kementrian Kehutanan, maka akan dilakukan upaya
sebagai berikut :
a. Untuk diserahkan menjadi hutan konservasi kepada Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan
lembaga-lembaga lainnya sehingga fungsi hutan menjadi maksimal.
b. Terhadap hutan yang tidak dikelola dengan baik, maka akan
dilakukan upaya pelepasan oleh Kementrian Kehutanan guna
meningkatkan swasembada sektor pertanian, peternakan dan
perikanan di Indonesia, baik itu diserahkan kepada Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan kepada masyarakat.
Dasar untuk didirikan Bank Kayu Indonesia, yaitu :
Pasal 33 ayat 3 UUD, yang berbunyi :
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat 5 UUD, yang berbunyi :
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
26
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 15/PUU-
XVI/2018, makna dikuasai oleh Negara adalah rakyat secara kolektif
mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(betheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
27
II. 2.4. REVOLUSI SEKTOR KELAUTAN / TATA GUNA AIR
Begitu sangat pentingnya air untuk kehidupan makhluk hidup, maka dari itu
tata kelola air baik itu air darat dan air wilayah laut Indonesia harus diatur
sedemikian rupa guna sebesar-besarnya memberikan kesejahteraan dan
kemakmuran kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, sebagaimana diatur dalam
pasal 16 ayat 2 yang berbunyi :
Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4
ayat 3 UUPA ialah:
a. hak guna air,
b. hak pemiliharaan dan penangkapan ikan.
Lebih lanjut dalam pasal 47 UUPA, yang berbunyi :
1. Hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau
mengalirkan air itu di atas tanah orang lain.
2. hak guna air serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan
peraturan Pemerintah.
Pengelolaan dan regulasi wilayah perairan baik air darat maupun laut
wilayah Indonesia perlu dikelola secara terintegrasi dengan pembangunan sektor
agraria lainnya. Hal ini diharapkan supaya pengelolaan perairan Indonesia dapat
berdaya guna dan berhasil guna secara maksimal untuk kesejahteraan Bangsa
dan Rakyat Indonesia.
Perlu diketahui 2/3 luas wilayah NKRI adalah merupakan laut, disamping
laut wilayah Indonesia memiliki air darat baik itu air tanah maupun sungai besar
dan sungai kecil, danau, bendungan, waduk, tetapi pada saat ini ada potensi besar
sungai-sungai tersebut mulai mengering, hal ini dikarenakan rusaknya kawasan
hutan yang dipergunakan untuk menampung air pada saat hujan, hal ini
mengakibatkan semakin matinya jutaan mata air di Indonesia.
Air merupakan kebutuhan dasar manusia untuk hidup termasuk juga
tumbuh-tumbuhan dan binatang, tanpa air semua jenis makhluk hidup akan mati
dan punah, oleh karena itu perlu regulasi dalam tata kelola air, manakala hal ini
tidak segera dibenahi, maka dipastikan 20 tahun lagi di Indonesia akan
mengalami krisis air termasuk juga krisis air bersih.
Untuk itulah perlu dibuatkan regulasi berkaitan dengan pengelolaan air yaitu
dalam bentuk Bank Air Indonesia (BAI).
28
A. Bank Air Indonesia
1. Pada saat ini jumlah penduduk dunia berkisar 7,7 milyard, hal ini sangat
membutuhkan air bersih dan air mineral dalam rangka melangsungkan
hidupnya artinya manusia tidak dapat hidup tanpa mengkonsumsi air,
oleh karena itu kebutuhan air bersih dan air mineral dunia akan terus
meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dunia, potensi sumber
daya air ini bilamana dimanfaatkan oleh Negara Republik Indonesia
secara maksimal akan memberikan kontribusi pendapatan dalam APBN,
Indonesia sebagai Negara tropis dan 2/3 dari wilayahnya adalah
merupakan laut, maka Indonesia memiliki potensi yang sangat besar
bilamana dibandingkan dengan Negara lainnya terhadap potensi air
bersih dan air mineral, sehingga dengan demikian manakala potensi
sumber daya air dikelola secara maksimal oleh Negara maka Indonesia
akan menjadi eksportir air mineral terbesar di dunia dan sekaligus
Indonesia dapat mengatur, menentukan dan mengendalikan harga air
mineral dunia.
Bank Air Indonesia dibuat dalam bentuk undang-undang/PERPPU yang
berfungsi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan air baik itu air darat maupun laut Indonesia,
hal ini dilakukan terhadap perusahaan yang menjual bahan baku air
secara komersial diatur sedemikian rupa untuk membeli bahan baku air
kepada Bank Air Indonesia, tetapi terhadap keperluan irigasi dan
keperluan keluarga yang bersifat perseorangan tidak perlu membeli air
kepada Bank Air Indonesia, pendirian Bank Air Indonesia diharapkan
dapat memberikan tambahan pendapatan ke dalam APBN yaitu sejumlah
225 Triliun Rupiah, hal ini dengan tujuan hasil dari Bank Air Indonesia
akan digunakan secara keseluruhan untuk membuat mata air mata air
baru dengan cara menanam kembali kawasan hutan dan tanah-tanah
fasilitas umum yang terlantar dan diterlantarkan, hal ini dilakukan supaya
air dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada Bangsa
Indonesia. Pengaturan tata kelola air dalam bentuk Bank Air Indonesia
diatur berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD, yang berbunyi :
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Pasal 33 ayat 5 UUD, yang berbunyi :
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
29
Pasal 2 ayat 1 UUPA, yang berbunyi :
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
Pasal 2 ayat 2 UUPA, yang berbunyi :
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut ;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa ;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
15/PUU-XVI/2018, makna dikuasai oleh Negara adalah rakyat secara
kolektif mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (betheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Keuntungan dari Bank Air Indonesia akan dipergunakan untuk
merehabilitasi kawasan hutan dan membuat kawasan hutan baru dalam
rangka membuat mata air baru yang akan dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan sumber air bersih bangsa Indonesia dikemudian hari.
3. Pemanfaatan dalam pengelolaan air baik itu air darat maupun laut
wilayah secara maksimal untuk terwujudnya Negara maritim yang dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
4. Membuat regulasi berkaitan dengan tata guna air yang berpihak pada
masyarakat adat dan masyarakat lokal guna memberikan hak guna usaha
perikanan kepada masyarakat adat dan lokal yang salah satu fungsi
peruntukannya tambak perikanan.
B. Bank Ikan Indonesia
1. Indonesia merupakan Negara tropis dan sekaligus 2/3 wilayah NKRI
merupakan laut, sehingga dengan demikian Indonesia memiliki potensi
yang sangat besar terhadap produk ikan dunia, untuk itu manakala
potensi sumber daya ikan ini dikelola secara maksimal oleh Negara,
30
maka Indonesia akan menjadi eksportir ikan terbesar di dunia dan
sekaligus Indonesia dapat menentukan, mengatur dan mengendalikan
harga ikan dunia.
Bank Ikan Indonesia dibentuk atas dasar undang-undang/PERPU, Bank
Ikan Indonesia dibuat sebagai penampungan hasil tangkapan ikan nelayan
maupun hasil produksi pengusaha ikan air tawar, pendirian Bank Ikan
Indonesia sangat diperlukan karena Indonesia merupakan negara
kepulauan, hal ini dilakukan untuk mencegah adanya pencurian ikan oleh
nelayan asing, pendirian Bank Ikan Indonesia (BII) diharapkan dapat
memberikan kontribusi dan pemasukan ke dalam APBN yaitu sejumlah
350 Triliun Rupiah dan anggaran ini cukup besar dalam rangka
pemberian modal kepada nelayan dan masyarakat pesisir untuk
membangun sektor kelautan dan yang lebih penting lagi digunakan untuk
mengawasi wilayah laut Indonesia dari pencurian nelayan asing, Bank
Ikan Indonesia dibuat sebagai berikut :
a. Bank Ikan yang dibuat secara terapung di tengah laut wilayah
Indonesia sebagai tempat penampungan ikan nelayan dan sekaligus
membeli hasil tangkapan nelayan guna untuk dijual baik dengan cara
ekspor maupun dijual untuk memenuhi kebutuhan ikan dalam negeri,
dengan dibuatkan Bank Ikan di tengah laut wilayah Indonesia, hal ini
bertujuan untuk mengurangi biaya produksi dan sekaligus menjaga
stabilitas harga ikan nasional, dengan demikian diharapkan akan
meningkatkan taraf hidup nelayan Indonesia.
b. Bank Ikan yang dibuat didaratan, Bank ikan ini dibuat dengan
maksud untuk membeli tangkapan ikan dari laut termasuk juga
membeli hasil produksi peternak ikan air tawar, dengan dibuatnya
Bank Ikan didaratan ini diharapkan kualitas produk ikan termasuk
juga ikan air tawar maupun ikan tangkapan nelayan dapat terjaga
keawetannya agar supaya tidak rusak dan membusuk, dengan
demikian dapat memberikan nilai tambah dan menurunkan biaya
produksi yang dilakukan oleh peternak ikan air tawar maupun
nelayan dari laut wilayah.
c. Memberikan bekal keterampilan dan memberikan fasilitas kapal
motor kepada nelayan guna meningkatkan produksi nelayan dan
keluarganya.
d. Membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) yang berfungsi untuk membeli hasil
tangkapan nelayan untuk dilakukan ekspor, sehingga dengan
demikian sektor perikanan ini dapat memberikan nilai tambah untuk
devisa Negara.
31
2. Bank Ikan dibuat dalam bentuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Usaha Milik Daerah.
3. Operasional Bank Ikan dikerjasamai dan diawasai oleh Armada Laut
Indonesia.
4. Titik-titik Bank Ikan di laut untuk wilayah yang mempunyai potensi
maksimal hasil tangkapan ikan.
Dasar untuk didirikan Bank Ikan Indonesia, yaitu :
Pasal 33 ayat 3 UUD, yang berbunyi :
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat 5 UUD, yang berbunyi :
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 15/PUU-
XVI/2018, makna dikuasai oleh Negara adalah rakyat secara kolektif
mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(betheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
32
II. 2.5. REVOLUSI SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
Di Indonesia banyak dilakukan pelanggaran terhadap eksplorasi dan
eksploitasi sektor Energi Sumber Daya Mineral atau kekayaan alam yang
menyalahi peruntukan dan penggunaannya, sektor Energi Sumber Daya Mineral
atau kekayaan alam perlu dikelola secara terintegrasi secara nasional dan tidak
ditangani secara sektoral, karena sektor ini, bilamana di kelola secara maksimal
akan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada bangsa
Indonesia, eksplorasi dan eksploitasi Energi Sumber Daya Mineral atau
kekayaan alam yang dilakukan di kawasan hutan/laut wilayah semestinya
terlebih dahulu harus ada pelepasan kawasan hutan/laut dari Kementrian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup/Menteri Kelautan.
Regulasi yang berkaitan dengan Energi Sumber Daya Mineral atau kekayaan
alam dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Bank Tambang Indonesia (BTI)
Kondisi geografis Indonesia serta banyaknya gunung berapi dimana
Indonesia dikelilingi oleh lempeng tektonik pada satu sisi merupakan
ancaman bagi keselamatan penduduk Indonesia, akan tetapi pada sisi
lain, ini merupakan potensi melimpahnya sumber daya tambang dan
mineral Indonesia, potensi tambang dan mineral Indonesia manakala
dikelola secara maksimal, maka Indonesia akan menjadi eksportir
terbesar tambang dan mineral dunia, sehingga dengan mengoptimalkan
potensi tambang dan mineral, maka Indonesia akan mampu mengatur,
menentukan dan mengendalikan harga tambang dan mineral dunia
Bank Tambang Indonesia (BTI) didirikan dengan dasar undang-
undang/PERPPU, yaitu Bank Tambang Indonesia yang meliputi Bank
Emas, Bank Nikel, Bank Alumunium, Bank Batu Bara dan Bank Pasir,
yang wewenangnya mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan peralihan terhadap sumber daya alam
Indonesia, untuk dijual dan diberikan kepada pihak-pihak yang
membutuhkan, dan hasil dari penjualan sektor Energi Sumber Daya
Mineral atau kekayaan alam akan menjadi sumber pendapatan APBN,
pendirian Bank Tambang Indonesia merupakan perintah konstitusi pasal
33 ayat 3 UUD, pendirian Bank Tambang Indonesia cukup potensial
dalam rangka untuk meningkatkan regulasi sektor pertambangan
disamping itu pula pendirian Bank Tambang Indonesia akan menjadi
sumber pendapatan ke dalam APBN yaitu sejumlah 3700 Triliun Rupiah,
dengan APBN sebesar ini tentunya untuk membangun NKRI tidak perlu
berharap hutang dari luar negeri.
33
b. Pengolahan Energi Sumber Daya Mineral atau kekayaan alam yang
berdiri di atas tanah hak milik masyarakat dapat diberikan hak pakai
diatas tanah hak milik masyarakat.
c. Pengolahan Energi Sumber Daya Mineral atau kekayaan alam yang
berdiri diatas tanah kawasan hutan dapat diberikan hak pakai di atas
tanah hak pengelolaan (Kementerian Kehutanan).
d. Pengelolaan Energi Sumber Daya Mineral atau kekayaan alam yang berdiri
diatas laut wilayah dapat diberikan dalam bentuk hak pakai diatas tanah hak
pengelolaan (Kementerian Kelautan).
Pendirian Bank Tambang Indonesia dibentuk berdasarkan :
Pasal 33 ayat 3 UUD, yang berbunyi :
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat 5 UUD, yang berbunyi :
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 15/PUU-
XVI/2018, makna dikuasai oleh Negara adalah rakyat secara kolektif
mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(betheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
34
II. 2.6. REVOLUSI SEKTOR UDARA / RUANG ANGKASA INDONESIA
Bahwa persoalan ruang angkasa juga diatur pokok-pokoknya di dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 UUPA pasal 48, yang berbunyi :
(1) Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha
memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air, serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang
bersangkutan dengan itu.
(2) Hak guna ruang angkasa diatur dengan peraturan pemerintah.
Pada saat ini Indonesia sudah memiliki UU Nomor 16/2002 tentang ratifikasi
Pengaturan Ruang Angkasa yang mengatur kegiatan Negara-negara dalam
eksploitasi dan penggunaan antariksa, tetapi Undang-undang ini tidak sesuai
dengan jiwa dan kondisi Indonesia sebagai Negara kepulauan.
Bahwa sesuai dengan pasal 48 ayat 1 UUPA, yang berbunyi :
Hak Guna Ruang Angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara
dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.
Dan penjelasan pasal 48 ayat 1 UUPA, yang berbunyi :
Hak Guna Ruang Angkasa diadakan mengingat kemajuan teknik dewasa
ini dan kemungkinan-kemungkinannya dikemudian hari.
Sampai dengan saat ini, belum ada undang-undang yang berlaku secara
nasional mengatur tentang wilayah udara/ruang angkasa Indonesia, pada saat era
internet dan iptek berkembang sangat pesat seperti saat ini, perlu adanya regulasi
untuk mengatur wilayah udara/ruang angkasa, sehingga wilayah udara/ruang
angkasa Indonesia dapat terjaga dengan baik dan dapat memberikan
kesejahteraan kepada rakyat Indonesia, wilayah udara/ruang angkasa Indonesia
perlu adanya perlindungan dan pengawasan sedemikian rupa guna melindungi
wilayah darat dan perairan Indonesia.
Begitu pentingnya regulasi wilayah udara/ruang angkasa Indonesia, sehingga
perlu dilakukan regulasi yang mengatur peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan wilayah udara/ruang angkasa yang ditujukan untuk melindungi
pertahanan dan keamanan NKRI, sekaligus dapat mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran Bangsa dan Rakyat Indonesia.
35
Dengan perkembangan teknologi saat ini, ruang angkasa begitu penting
dengan ditempatkannya satelit-satelit asing di atas wilayah ruang angkasa
Indonesia, hal ini akan berdampak terganggu dan terancamnya keberadaan bumi,
air dan kekayaan alam Indonesia yang semakin diketahui oleh negara-negara
asing.