i pendahuluan i... · aktivitas yang dilakukan oleh pedagang kaki lima ... pedagang asongan,...
TRANSCRIPT
15
I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dinamika pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dunia tidak hanya
dipengaruhi oleh sektor formal, namun juga dipengaruhi oleh sektor informal. Sektor
informal turut berkontribusi dalam kegiatan ekonomi, terutama di negara-negara
berkembang di dunia (Loayza, 1997). Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang menjadi salah satu negara yang juga mengalami perkembangan sektor
informal, terutama setelah masa krisis ekonomi tahun 1997 dan 2008/2009
(Mubarok, 2012).
Sektor informal di Indonesia sudah sejak lama menjadi tumpuan harapan
banyak warga. Mereka memilih (baik dengan sukarela maupun terpaksa) masuk ke
sektor informal karena karakteristik sektor ini relatif lebih sederhana. Para pekerja
sektor informal tidak pernah dituntut harus memiliki tingkat pendidikan dan keahlian
tertentu, asalkan mereka memiliki semangat dan ketekunan yang cukup besar untuk
menjalankan usaha yang umumnya berskala kecil. Sektor informal adalah sektor
yang tidak terorganisir (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan
legal namun tidak terdaftar (unregistered) (Bappenas, 2009).
Salah satu kegiatan sektor informal yang penuh dinamika di Indonesia adalah
aktivitas yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima (selanjutnya disebut PKL).
Menurut Bappenas (2009) tumbuhnya usaha kecil-kecilan di perkotaan seperti PKL,
pedagang asongan, penjual bakso dan sebagainya akibat dari proses migrasi tenaga
kerja dari desa ke kota. Sejak dekade 1970-an Indonesia mengalami era pertumbuhan
ekonomi yang tinggi serta terjadi pula pergeseran struktur yang cepat dari sektor
pertanian ke sektor non pertanian. Oleh karena umumnya sektor pertanian terdapat di
desa sedangkan industri terdapat di kota, maka migrasi desa ke kota merupakan arah
perpindahan tenaga kerja yang pada umumnya terjadi dalam proses industrialisasi.
Hal yang menarik dari fenomena tersebut adalah banyaknya tenaga kerja yang
bersifat swakarya dan swadaya, sehingga membentuk usaha-usaha informal, salah
satunya PKL.
PKL merupakan kegiatan urban yang perkembangannya sangat fenomenal
karena keberadaannya semakin tampak memenuhi ruang kota. Kegiatan ini dipahami
sebagai kegiatan yang belum terwadahi, sehingga ruang publik menjadi satu-satunya
tempat untuk melakukan kegiatan tersebut. Penggunaan ruang publik telah menjadi
suatu karakteristik yang identik dengan eksistensi PKL di kota-kota Indonesia
(Siahaan, 2000)
Fenomena perkembangan PKL di Kota-kota Indonesia tersebut, menarik
perhatian Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri. Hal ini karena PKL
tidak saja menjadi suatu kekuatan ekonomi riil yang harus ditata dan diberdayakan,
namun disisi lain juga menimbulkan dampak negatif seperti terganggunya kelancaran
lalu lintas, estetika dan kebersihan serta fungsi prasarana kawasan perkotaan. Oleh
karena pertimbangan tersebut, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan dan
menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 41 tahun 2012
tentang Pedoman Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Hal ini sejalan
dengan yang diungkapkan Dimas (2008) bahwa PKL dapat dipandang dari 2 sisi,
yaitu satu sisi sebagai masalah kota, sementara satu sisi yang lain PKL merupakan
potensi ekonomi kota. Dengan hadirnya Permendagri tersebut, diharapkan
16
Pemerintah Daerah dapat mengantisipasi berkembangnya PKL disetiap
Kota/Kabupaten.
Fenomena perkotaan tersebut juga dialami oleh Kota Bogor. Kota dengan
jumlah penduduk 1.004.831 jiwa (BPS,2013), menghadapi problematika penanganan
sektor informal yaitu Pedagang Kaki Lima (PKL). Dalam dokumen Rencana
Strategis Kota Bogor 2005 – 2009 dan RPJMD 2010 – 2014, penanganan PKL
menjadi salah satu dari empat prioritas pembangunan di Kota Bogor. Namun, hingga
awal tahun 2014 penanganan PKL belum menampakkan hasil sesuai rencana.
Beberapa hasil pendataan dan penelitian terdahulu, menunjukkan bahwa jumlah PKL
di Kota Bogor semakin besar dari tahun ke tahun (Disperindag; PINBUK; Ruhiyana,
2010; Mubarok : 2012; Rakhmawati, 2007). Terjadi peningkatan jumlah PKL
dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (data lihat pada Tabel 1). Hal ini terjadi karena
adanya pengaruh krisis ekonomi yang mengakibatkan semakin tingginya angka
pengangguran akibat PHK dan sulitnya lapangan kerja formal, sehingga menjadi
PKL merupakan pilihan untuk tetap mendapatkan penghasilan (Ruhyana, 2010 dan
Rakhmawati, 2007).
Tabel 1 Data PKL di Kota Bogor
No Tahun Jumlah PKL Sumber
1 1996 2.140 Pemkot Bogor
2 1999 6.340 Pusat Inkubasi Bisnis Usaha
Kecil (PINBUK)
3 2002 10.350 Dinas Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi
(Disperindag) Kota Bogor
4 2004 12.000 Renstra Kota Bogor 2005 - 2009
5 2009 7.782 LKPJ AMJ Walikota Bogor
2005-2009
6 2012 9.710 Kantor Koperasi dan UMKM
Kota Bogor
Sumber : Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor (2012).
Menurut Mubarok (2012) dan Ruhyana (2010), tipologi karakter PKL di Kota
Bogor penyebarannya mengikuti pola jaringan jalan dan beraglomerasi pada pusat-
pusat kegiatan ekonomi seperti pasar, pertokoan, dan juga stasiun atau terminal.
Menurut Rakhmawati (2007), cara berjualan PKL terbagi menjadi 3 kelompok yaitu
: menggunakan badan jalan/ pasar tumpah, menggunakan selasar kios, dan juga
menggunakan bangunan terlantar. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh aspek
keterjangkauan atau aksesibilitas berdagang dengan calon pembeli. Tipologi ini
menyebabkan ruang prasarana kota seperti trotoar, taman, bahkan badan jalan
menjadi berubah fungsi dan membuat kesemrawutan kota.
Langkah-langkah penataan PKL di Kota Bogor terus dilakukan setiap tahun
oleh Pemerintah. Namun hasilnya hingga saat ini belum memuaskan. 3 (tiga) langkah
yang dilakukan oleh Pemerintah Kota dalam penataan seperti penertiban PKL,
relokasi dan lokalisir lokasi PKL, serta penentuan zona PKL belum tercapai. Belum
terlihat tahapan dan fokus pembinaan PKL yang memberikan dampak terhadap
penataan PKL dan dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan.
17
Kondisi di lapangan justru menampakkan kesan semakin tidak tertangani,
walaupun sudah ditetapkan perangkat kebijakan berupa Peraturan Daerah (Perda)
nomor 13 tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Dalam keputusan
tersebut telah ditetapkan 3 lokasi prioritas penataan yaitu di Jalan MA Salmun, Nyi
Raja Permas, dan Jalan Dewi Sartika. Dari 3 (tiga) lokasi tersebut, 2 lokasi telah
mendapatkan intervensi penataan yaitu di Jalan MA Salmun dan Nyi Raja Permas,
namun di Jalan Dewi Sartika belum dilakukan penataan. PKL masih menempati
trotoar, saluran drainase, dan sebagian badan jalan. Lokasi Jalan Dewi Sartika
merupakan lokasi strategis karena berada diantara Pasar Kebon Kembang, Plaza
Kapten Muslihat, pusat perkantoran dan Stasiun Kereta Api Bogor
Untuk itu, diperlukan strategi dalam penataan PKL di Kota Bogor, yang
menyentuh kebutuhan PKL dan dapat menjadi solusi terhadap permasalahan PKL.
Keberhasilan Kota Solo dalam memberikan pembinaan kepada PKL dan menata
ruang publik kota, dapat menjadi inspirasi Pemerintah Kota Bogor dalam penataan
PKL.
Perumusan Masalah
Sebagai bagian dari penggerak ekonomi kota, saat ini keberadaan PKL menjadi
dilematis bagi pemerintah Kota Bogor. Karena disisi yang lain keberadaannya telah
menimbulkan ketidaknyamanan, terutama pada ruang-ruang publik di Kota Bogor
(LKPJ Walikota, 2012). Berbagai langkah telah diambil dan terus dikerjakan dalam
upaya penataan dan pemberdayaan PKL, namun belum seluruhnya menampakkan
hasil yang bisa menyelesaikan masalah PKL. Satu hal yang menjadi kunci dari
keberhasilan penataan adalah mengetahui tentang data dan karakteristik PKL. Dalam
proses penataan di Jalan Dewi Sartika diperlukan data yang akurat terkait
karakteristik PKL yang berada di lokasi tersebut. Untuk itu, yang menjadi
permasalahan pertama dalam penelitian ini adalah bagaimana karakteristik PKL di
Jalan Dewi Sartika, ditinjau dari motivasi menjadi PKL, lama berjualan dilokasi
tersebut, dan yang terkait dengan karakter usaha yang dilakukan di lokasi tersebut?
Pelaksanaan penataan PKL yang telah dan sedang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Bogor, tidak terlepas dari arah kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam bentuk regulasi atau Peraturan Daerah maupun Peraturan
Walikota. Beberapa program dan kegiatan telah dilaksanakan, mulai dari penertiban,
relokasi maupun penetapan zona-zona berdagang bagi PKL. Namun, hingga saat ini
lokasi-lokasi prioritas penataan masih ditempati oleh PKL. Selain itu dalam kurun
waktu pelaksanaan penataan dan pembinaan PKL telah menggunakan anggaran yang
tidak sedikit. Dalam 10 tahun terakhir, hampir kurang lebih Rp. 10 Miliyar anggaran
yang telah digunakan (Ruhyana : 2010). Dengan kondisi adanya potensi dan masalah
dalam pembinaan tersebut, perlu diindentifikasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan
dan kelemahan secara internal, maupun faktor-faktor yang menjadi tantangan dan
harapan dalam mengembangkan penataan dan pembinaan PKL di lokasi prioritas.
Perlu dilakukan perumusan konsep yang fokus terhadap pembinaan PKL. Untuk itu,
permasalahan kedua yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini adalah apa saja
faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh dalam penataan PKL di Jalan
Dewi Sartika?
Keberhasilan beberapa kota di dunia maupun di Indonesia dalam penataan
PKL, tidak terlepas dari kajian strategis yang tepat dalam penanganan permasalahan
18
dan pelibatan para pemangku kepentingan dalam pelaksanaannya. Pembinaan PKL
dilokasi prioritas perlu strategi yang tepat agar sesuai dengan sasaran dan tujuan
pembinaan PKL. Pembinaan PKL perlu dilakukan secara terencana, terinci, terpadu,
dan berkelanjutan agar dapat dilaksanakan dengan program-program yang jelas dan
tepat sasaran. Pelaksanaan program pembinaan PKL perlu redesign agar
menghasilkan strategi dan program yang tepat bagi pembinaan PKL. Untuk itu,
permasalahan ketiga yang perlu dirumuskan adalah apa strategi yang harus
dilaksanakan Pemerintah Kota Bogor dalam penataan dan pemberdayaan PKL di
Jalan Dewi Sartika?
Dalam pelaksanaan strategi perlu diturunkan pada program-program
operasional yang akan menjadi agenda pelaksanaan penataan PKL di Jalan Dewi
Sartika. Sehingga strategi yang telah dirumuskan akan dapat dilaksanakan dan
menjadi keberhasilan dalam menata PKL. Untuk itu, permasalahan keempat yang
perlu disusun adalah apa program-program penataan PKL di Jalan Dewi Sartika,
dikaitkan dengan startegi yang telah dirumuskan ?
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan alternatif strategi terhadap penataan
PKL di Kota Bogor yang akan berdampak pada efektivitas penataan PKL.
Sedangkan tujuan khusus dari kajian ini, antara lain :
1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika
(Sekitar Taman Topi).
2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor internal dan faktor-faktor
eksternal yang berpengaruh terhadap penataan PKL di Jalan Dewi Sartika.
3. Merumuskan alternatif-alternatif strategi dalam penataan PKL di Jalan Dewi
Sartika dan menentukan strategi alternatif terbaik, dan
4. Menyusun Program-program yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kota
Bogor dalam melakukan penataan dan pemberdayaan PKL.
Kegunaan Kajian
Kajian ini diharapkan memberikan manfaat dan kegunaan bagi para pihak yang
terlibat dalam penataan dan pemberdayaan PKL. Secara khusus, antara lain :
1. Bagi pemerintah, diharapkan berguna menjadi alternatif dalam penataan PKL.
Sehingga program dan rencana penanganan PKL dapat tercapai dan ruang kota
semakin nyaman.
2. Bagi PKL, kajian ini memberikan gambaran tempat berdagang yang sesuai
dengan karakteristik PKL, selain memberikan jaminan keamanan dalam
berdagang sehingga tidak selalu dihantui oleh program penertiban dari
pemerintah.
3. Bagi penulis, dapat berkontribusi dalam pemecahan masalah kota. Selain itu dapat
menyelesaikan masa studi.