identification of risk factors at first seizure in

81
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA KEJANG PERTAMA DALAM MEMPREDIKSI TIMBULNYA KEJANG BERULANG PADA ANAK IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN PREDICTING RECURRENT SEIZURE IN CHILDREN YANUAR SAPUTRA WIDJAJA KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Upload: others

Post on 14-Nov-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA KEJANG PERTAMA DALAM MEMPREDIKSI TIMBULNYA KEJANG

BERULANG PADA ANAK

IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN PREDICTING RECURRENT SEIZURE IN CHILDREN

YANUAR SAPUTRA WIDJAJA

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2013

Page 2: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA KEJANG PERTAMA DALAM MEMPREDIKSI TIMBULNYA KEJANG

BERULANG PADA ANAK

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Biomedik

Disusun dan diajukan oleh

YANUAR SAPUTRA WIDJAJA

kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2013

Page 3: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

TESIS

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA KEJANG PERTAMA DALAM MEMPREDIKSI TIMBULNYA KEJANG

BERULANG PADA ANAK

Disusun dan diajukan oleh :

YANUAR SAPUTRA WIDJAJA

Nomor Pokok : P1507209028

telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis

pada tanggal 3 September 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Penasihat,

dr. Hadia Angriani M, SpA(K) Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, SpA(K) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Biomedik Direktur Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin

Prof. dr. Rosdiana Natzir, Ph.D Prof. Dr. Ir. Mursalim

Page 4: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Identifikasi Faktor-faktor Risiko pada Kejang

Pertama dalam Memprediksi Timbulnya

Kejang Berulang pada Anak

Nama : dr. Yanuar Saputra Widjaja

Nomor Pokok : P1507209028

Program Studi : Biomedik

Konsentrasi : Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu

Makassar, 4 September 2013

Menyetujui,

Komisi Penasihat

dr. Hadia Angriani M, SpA(K) Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, SpA(K)

Menyetujui,

Ketua Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu

Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, SpA(K) NIP. 19520923 197903 1 003

Page 5: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Yanuar Saputra Widjaja

No.Stambuk : P1507209028

Program Studi : Biomedik

Konsentrasi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu

FK.UNHAS

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis

ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, September 2013

Yang menyatakan

Yanuar Saputra Widjaja

Page 6: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,

karena atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan

hasil penelitian ini.

Penulisan hasil penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam

menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Institusi

Pendidikan Dokter Spesialis Anak (IPDSA) pada Konsentrasi Pendidikan

Dokter Spesialis Terpadu Program Studi Biomedik, Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin, Makassar. Perkenankan penulis menghaturkan

terima kasih yang tulus kepada ibunda The Siok King dan ayahanda Auw

Yang Sau Hin atas doa, dukungan dan kasih sayang yang tak pernah

putus hingga pada tingkatan seperti sekarang ini.

Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan rasa

terima kasih kepada dr. Hadia Angriani M, SpA(K) sebagai pembimbing

yang secara tulus bersedia menjadi pembimbing dengan arif dan

bijaksana, menerima konsultasi dan memberikan bimbingan, serta saran

mulai dari pemilihan judul, penelitian dan penyusunan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih, rasa hormat, dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada Ketua Departemen Prof. Dr. dr. H.

Dasril Daud, SpA(K) yang juga selaku pembimbing statistik, yang telah

banyak memberikan arahan, saran, kritikan, dan bimbingan dalam bidang

statistik dan pengolahan data di tengah kesibukan beliau, serta kesabaran

Page 7: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

beliau dalam memberikan diskusi. Penulis juga mengucapkan banyak

terima kasih kepada para penguji yang telah memberikan banyak

masukan dan perbaikan untuk hasil penelitian ini, yaitu: Prof. Dr. dr.

Syarifuddin Rauf, SpA(K), Prof. dr. Husein Albar, SpA(K), dan Dr. dr.

Idham Jaya Ganda, SpA(K). Dan juga kepada seluruh staf pengajar

Departemen Ilmu Kesehatan Anak (DIKA) yang telah banyak membantu.

Teman-teman angkatan saya, Kwari J. Satriono, M. Ikhsan Nurkholis, Sri

Hadzriati, Maryana, Mahirina Marjani, dan Yulianty Mochtar, yang selama

ini memberikan dukungan, bantuan serta kerjasama yang baik selama

masa pendidikan saya. Semua teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan

Anak dan teman sejawat peserta Combined Degree atas bantuan dan

kerjasamanya selama ini.

Terima kasih kepada seluruh pegawai di Departemen Ilmu

Kesehatan Anak UNHAS serta paramedis di seluruh rumah sakit jejaring

Departemen Ilmu Kesehatan Anak UNHAS, atas bantuan dan

kerjasamanya selama ini.

Terima kasih kepada Ketua Konsentrasi, Ketua Program Studi

Biomedik, beserta seluruh staf pengajar pada Konsentrasi Pendidikan

Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree) Program Biomedik

Pascasarjana UNHAS atas bimbingannya selama saya menjalani

pendidikan.

Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada

mertua, Bapak Allex Indradjaja Tunardy dan Ibu Connie Halim atas doa

Page 8: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

dan dukungan yang tiada terputus untuk saya. Untuk istriku, dr. Evelyn

Indradjaja Tunardy, M. Kes, Sp.OG, pendamping hidup dan ibu yang

sempurna untuk buah hati saya, tiada pernah cukup ungkapan terima

kasih atas keikhlasan, pengertian yang sangat luar biasa dan

kesabarannya mendukung serta membangkitkan semangat saya untuk

melewati masa-masa sulit dalam pendidikan ini. Teruntuk belahan jiwa

saya, William Ekaputra Wijaya yang membuat saya terpicu menyelesaikan

hasil penelitian ini. Saudaraku tersayang Henny Puspa Widjaja, Hani

Puspa Widjaja, dan Nofianti Puspa Widjaja, tiada pernah cukup ungkapan

terima kasih atas doa, pengertian, dan kasih sayang selama ini.

Terima kasih kepada seluruh pasien yang sudah bersedia ikut

dalam penelitian ini dan masih banyak lagi nama yang telah berjasa bagi

saya dalam penyelesaian hasil penelitian ini yang tidak dapat saya

sebutkan satu per satu, terima kasih yang tulus saya haturkan.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan Ilmu Kesehatan Anak di masa mendatang. Tak lupa

penulis memohon maaf untuk hal-hal yang tidak berkenan dalam

penulisan ini karena penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini

masih jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritikan yang

membangun sangat saya harapkan demi perbaikan selanjutnya.

Makassar, Agustus 2013

Yanuar Saputra Widjaja

Page 9: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

ABSTRAK

PENDAHULUAN. Kejang merupakan kelainan neurologi yang sering

ditemukan pada anak, 4-10% anak menderita setidaknya satu kali

bangkitan kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Kejang menunjukkan

suatu gejala klinik yang mendasari suatu proses yang dapat disebabkan

oleh berbagai macam dan dianggap sebagai kasus kedaruratan neurologi

yang perlu penanganan segera. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi

faktor-faktor risiko pada kejang pertama dalam memprediksi timbulnya

kejang berulang pada anak.

METODE. Penelitian menggunakan metode kasus kontrol. Sampel

penelitian sebanyak 40 anak dengan kejang berulang dan 40 anak

dengan kejang tidak berulang yang diambil secara consecutive sampling

dari kuesioner dan juga data rekam medik di BLU RS Dr. Wahidin

Sudirohusodo Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas dari Januari

hingga Juni 2013.

HASIL. Dari 80 anak dengan kejang, anak berumur < 18 bulan saat

kejang pertama lebih berisiko mengalami kejang berulang (p=0,000;

OR=2,9). Tidak ada perbedaan bermakna faktor-faktor risiko jenis

kelamin, riwayat kejang dalam keluarga, riwayat trauma kepala, suhu,

kadar Natrium, dan gula darah sewaktu saat kejang pertama, masing-

masing dengan nilai p=0,82; 0,491; 1,0; 0,793; 0,359; dan 1,0.

KESIMPULAN. Anak berumur < 18 bulan saat kejang pertama lebih

berisiko mengalami kejang berulang. Jenis kelamin, riwayat kejang dalam

keluarga, riwayat trauma kepala, suhu, kadar Natrium, dan gula darah

sewaktu saat kejang pertama bukan merupakan faktor risiko pada kejang

pertama dalam memprediksi timbulnya KB.

Kata kunci: faktor risiko, kejang pertama, kejang berulang, anak

Page 10: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

ABSTRACT

INTRODUCTION. Seizure is the most neurological abnormality found in

children, about 4-10% children have seizure at least once in 16 years of

their first live. The research aimed at identificating risk factors at first

seizure in predicting recurrent seizure in children.

METHODS. This was case control study. There were 40 children with

recurrent seizure and 40 children with non-recurrent seizure who were

taken by the consecutive sampling technique from questionnaire and

medical record at BLU Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital in the

Department of Child Health, Medical Faculty, Hasanuddin University from

January to June 2013.

RESULTS. Eighty children with seizure, children aged < 18 months at first

seizure have greater risk to have recurrent seizure (p=0.000; OR=2.9).

There is no significant difference of risk factors between gender, history of

seizure in family, history of head trauma, temperature, level of sodium, and

blood glucose at first seizure with p=0.82; 0.491; 1.0; 0.793; 0.359; and

1.0 respectively.

CONCLUSIONS. Children aged < 18 months at first seizure have greater

risk to have recurrent seizure. Gender, history of seizure in family, history

of head trauma, temperature, level of sodium, and blood glucose at first

seizure are not risk factors at first seizure in predicting recurrent seizure.

Key words: risk factor, first seizure, recurrent seizure, children

Page 11: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR iii

ABSTRAK vi

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR SINGKATAN xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

BAB I. PENDAHULUAN

I. 1. Latar belakang masalah 1

I. 2. Rumusan masalah 4

I. 3. Tujuan penelitian 4

I. 3. 1. Tujuan umum 4

I. 3. 2. Tujuan khusus 5

I. 4. Hipotesis penelitian 5

I. 5. Manfaat penelitian 6

I. 5. 1. Aspek teori / ilmu pengetahuan 6

I. 5. 2. Aspek aplikasi 7

Page 12: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Definisi 8

II. 2. Epidemiologi 8

II. 3. Klasifikasi 9

II. 4. Patofisiologi 9

II. 4. 1. Fisiologi bangkitan kejang 9

II. 4. 2. Patomekanisme kejang berulang 12

II. 5. Faktor-faktor risiko kejang 14

II. 5. 1. Predisposisi genetik (faktor genetik) 15

II. 5. 2. Perubahan metabolisme neuron

(faktor biokimia) 17

II. 5. 2. 1. Hiponatremia 18

II. 5. 2. 2. Hipernatremia 19

II. 5. 2. 3. Hipoglikemia 20

II. 5. 3. Perubahan-perubahan neuropatologi

(faktor neuropatologi) 21

II. 6. Diagnosis 22

II. 7. Diagnosis banding 23

II. 8. Pemeriksaan penunjang 26

II. 9. Tatalaksana 27

II. 9. 1. Tatalaksana kejang pada fase akut 27

II. 9. 2. Profilaksis terus-menerus dengan

antikonvulsan tiap hari 28

Page 13: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

II. 10. Prognosis 28

KERANGKA TEORI 30

BAB III. KERANGKA KONSEP 31

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. 1. Desain penelitian 32

IV. 2. Tempat dan waktu penelitian 32

IV. 3. Populasi penelitian 32

IV. 4. Sampel dan cara pemilihan sampel 33

IV. 5. Perkiraan besar sampel 33

IV. 6. Kriteria inklusi dan eksklusi 34

IV. 6. 1. Kriteria inklusi 34

IV. 6. 2. Kriteria eksklusi 35

IV. 7. Izin penelitian dan ethical clearence 35

IV. 8. Cara kerja 35

IV. 8. 1. Alokasi subyek 35

IV. 8. 2. Cara penelitian 36

IV. 8. 2. 1. Prosedur penelitian 36

IV. 8. 2. 2. Skema alur penelitian 37

IV. 8. 2. 3. Prosedur pemeriksaan 38

IV. 9. Identifikasi dan klasifikasi variabel 39

IV. 9. 1. Identifikasi variabel 39

Page 14: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

IV. 9. 2. Klasifikasi variabel 39

IV. 10. Definisi operasional dan kriteria obyektif 40

IV.10.1 Definisi operasional 40

IV.10.2 Kriteria obyektif 41

IV. 11. Pengolahan dan analisis data 42

IV. 11. 1. Analisis univariat 42

IV. 11. 2. Analisis bivariat 42

BAB V. HASIL PENELITIAN

V. 1. Jumlah sampel 44

V. 2. Karakteristik sampel 44

V. 3. Penjaringan faktor risiko KB 46

V. 4. Identifikasi faktor-faktor risiko KB 51

BAB VI. PEMBAHASAN 52

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN

VII. 1. Kesimpulan 60

VII. 2. Saran 60

VII. 2. 1. Saran penelitian 60

VII. 2. 2. Saran pelayanan 60

DAFTAR PUSTAKA 61

LAMPIRAN 65

Page 15: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

DAFTAR TABEL

nomor halaman

1. Risiko relatif berulangnya kejang 16

2. Penyebab kejang 24

3. Kondisi pada anak yang sering salah untuk kejang 25

4. Karakteristik kelompok KB dan KTB 45

5. Hubungan umur saat kejang pertama kali antara KB

dan KTB 47

6. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian antara KB

dan KTB 48

7. Hubungan suhu saat kejang pertama antara KB

dan KTB 48

8. Hubungan riwayat kejang dalam keluarga antara KB

dan KTB 49

9. Hubungan riwayat trauma kepala saat kejang pertama

antara KB dan KTB 49

10. Hubungan kadar Natrium saat kejang pertama antara

KB dan KTB 50

11. Hubungan kadar gula darah sewaktu saat kejang

pertama antara KB dan KTB 51

Page 16: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

DAFTAR SINGKATAN

Lambang/singkatan

AOR

ATP

CT-Scan

CI

COR

df

EEG

GABA

HIE

IPSIs

KB

KTB

MRI

mg/dl

mmol/l

NaCl

OR

SD

STARCH

X2

Arti dan keterangan

Adjusted odds ratio

Adenosine triphosphate

Computed tomography scan

Confidence interval

Crude odd ratio

Degree of freedom

Electroencephalography

Gamma amino butyric acid

Hypoxic-ischemic encephalopathy

Inhibitory post synaptic potentials

Kejang berulang

Kejang tidak berulang

Magnetic resonance imaging

Miligram/desiliter

Milimol/liter

Natrium klorida

Odds ratio

Standar deviasi

Syphillis toxoplasmosis aids rubella cytomegalovirus

herpes simplex

Chi-square

Page 17: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

DAFTAR LAMPIRAN

nomor halaman

1. Permohonan izin penelitian 65

2. Persetujuan izin penelitian 66

3. Rekomendasi persetujuan etik 67

4. Kuesioner 68

5. Tabel induk 70

Page 18: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar belakang masalah

Kejang merupakan kelainan neurologi yang sering ditemukan pada

anak, 4-10% anak menderita setidaknya satu kali bangkitan kejang pada

16 tahun pertama kehidupan. Insiden tertinggi pada anak kurang dari 3

tahun, dan frekuensi menurun pada anak yang lebih tua. Penelitian

epidemiologi menunjukkan diperkirakan 150.000 anak akan mengalami

kejang pertama yang tidak terprovokasi setiap tahun, dan 30.000 anak

tersebut akan berkembang menjadi epilepsi (McAbee dan Wark, 2000;

Vining, 1994).

Yang dimaksud dengan kejang adalah gangguan pelepasan

muatan listrik yang berlebihan dari sekelompok neuron otak yang

menyebabkan perubahan kesadaran yang tidak disadari, berlangsung

singkat, dan mengganggu perilaku, aktivitas motorik, sensasi, serta fungsi

otonom. Periode penurunan respon postictal biasanya mengikuti beberapa

kejang, dan durasi postictal sesuai dengan lamanya aktivitas kejang.

Epilepsi digambarkan sebagai suatu kondisi kejang berulang. Definisi

klasik status epileptikus mengacu pada aktivitas kejang yang berlangsung

terus-menerus atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa sadar

(Friedman dan Sharieff, 2006).

Page 19: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Selama kejang, aliran darah ke otak, konsumsi oksigen dan

glukosa, dan produksi karbon dioksida serta asam laktat semua

meningkat. Perubahan sistemik awal termasuk takikardia, hipertensi,

hiperglikemia, dan hipoksemia. Kejang yang singkat jarang memberikan

efek langsung pada otak. Pada kejang yang berlangsung lama,

menimbulkan asidosis laktat, rhabdomyolosis, hiperkalemia, hipertermia,

dan hipoglikemia, yang kesemuanya dihubungkan dengan kerusakan

neurologi yang menetap. Jaminan jalan napas yang baik, dan terminasi

kejang merupakan prioritas utama pada pasien yang sedang mengalami

kejang (Friedman dan Sharieff, 2006).

Kejang menunjukkan suatu gejala klinik yang mendasari suatu

proses yang dapat disebabkan oleh berbagai macam. Ketika seorang

anak datang dengan keluhan kejang, harus diusahakan mencari

penyebabnya. Gambaran yang detail dari seorang saksi mata merupakan

faktor yang paling penting untuk mendiagnosis secara tepat. Bila riwayat

penyakit tampaknya tidak sesuai dengan kejang, diagnosis alternatif harus

dipikirkan (Friedman dan Sharieff, 2006).

Kejang pada anak dianggap sebagai kasus kedaruratan neurologi

yang perlu penanganan segera (Ridha, 2008). Suatu penelitian

retrospektif melaporkan bahwa kelainan berupa hemiparesis, disusul

diplegia dan koreoatetosis, dapat terjadi pada pasien yang mengalami

kejang lama atau kejang berulang baik umum maupun fokal (Berg, dkk.,

1992)

Page 20: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Anak yang datang dengan keluhan kejang yang pertama kali,

terbersit pertanyaan: “Apakah kejangnya akan berulang?” Pada penelitian

metaanalisis oleh Berg dan Shinnar, risiko terjadinya kejang berulang

setelah kejang pertama sebesar 40% akan mengalami kejang kedua

(Berg dan Shinnar, 1991; Shinnar, dkk., 1996). Data terakhir menunjukkan

bahwa kejang yang ketiga kalinya setelah yang kedua menjadi 80%

(Camfield, dkk., 1985).

Pemahaman mengenai kejang berulang pada anak masih sangat

terbatas bagi tenaga kesehatan kita. Dalam menentukan penyebab dasar

timbulnya kejang memerlukan suatu pemeriksaan yang khusus, sehingga

terkadang penderita terlambat dalam penanganan. Atas dasar ini, maka

penting untuk mengetahui faktor risiko sebagai diagnosis dini kejang

berulang pada anak.

Penelitian berbagai faktor risiko kejang berulang pada anak, setahu

penulis, belum pernah dilakukan, terutama di Sulawesi Selatan. Untuk

menekan morbiditas maupun mortalitas pada anak dengan risiko kejang

berulang, maka menurut penulis perlu untuk diteliti faktor risiko apa saja

yang berperan pada kejang berulang.

Beberapa penelitian mendeskripsikan bahwa faktor umur penderita,

jenis kelamin, suhu saat kejang, riwayat kejang dalam keluarga, riwayat

trauma kepala, gangguan metabolik, dan gangguan elektrolit darah

berperan terhadap terjadinya kejang berulang. Literatur lain mengatakan

bahwa infeksi, kelainan serebrovaskuler, dan keganasan juga

Page 21: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

berpengaruh terhadap terjadinya kejang berulang. Namun, tidak diketahui

seberapa besarkah pengaruh dari masing-masing faktor risiko kejang

berulang tersebut saat kejang pertama terjadi.

Penilaian terhadap faktor risiko terhadap terjadinya kejang

berulang pada anak diharapkan dapat membantu sebagai deteksi awal

dalam memudahkan diagnosis dan mempercepat dalam penanganan

penyakit yang mendasarinya.

I. 2. Rumusan masalah :

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat

dirumuskan pertanyaan peneliti sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap terjadinya kejang

berulang pada anak?

2. Seberapa besar pengaruh faktor risiko terhadap terjadinya kejang

berulang pada anak?

I. 3. Tujuan penelitian

I. 3. 1. Tujuan umum

Mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan terhadap terjadinya

kejang berulang pada anak.

Page 22: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

I. 3. 2. Tujuan khusus

1. Menentukan hubungan umur penderita saat kejang pertama

dengan kejang berulang pada anak.

2. Menentukan hubungan jenis kelamin dengan kejang berulang

pada anak.

3. Menentukan hubungan suhu saat kejang pertama dengan kejang

berulang pada anak.

4. Menentukan hubungan riwayat kejang dalam keluarga dengan

kejang berulang pada anak.

5. Menentukan hubungan riwayat trauma kepala saat kejang

pertama dengan kejang berulang pada anak.

6. Menentukan hubungan hipernatremia saat kejang pertama

dengan kejang berulang pada anak.

7. Menentukan hubungan hipoglikemia saat kejang pertama dengan

kejang berulang pada anak.

8. Menentukan besarnya pengaruh masing-masing faktor tersebut

dengan terjadinya kejang berulang pada anak.

I. 4. Hipotesis penelitian

1. Kejadian kejang berulang lebih tinggi pada anak usia < 18 bulan

daripada anak usia ≥ 18 bulan saat kejang pertama.

2. Kejadian kejang berulang pada anak laki-laki lebih tinggi

dibandingkan anak perempuan saat kejang pertama.

Page 23: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

3. Kejadian kejang berulang pada anak dengan kejang tanpa

demam lebih tinggi daripada kejang dengan demam saat kejang

pertama.

4. Kejadian kejang berulang lebih tinggi pada anak dengan riwayat

kejang dalam keluarga dibandingkan dengan anak tanpa

riwayat kejang dalam keluarga saat kejang pertama.

5. Kejadian kejang berulang lebih tinggi pada anak dengan

riwayat trauma kepala dibandingkan dengan anak tanpa riwayat

trauma kepala saat kejang pertama.

6. Kejadian kejang berulang lebih tinggi pada anak yang

mengalami hipernatremia dibandingkan dengan hiponatremia

saat kejang pertama.

7. Kejadian kejang berulang lebih tinggi pada anak yang

mengalami hipoglikemia dibandingkan hiperglikemia saat kejang

pertama.

I. 5. Manfaat penelitian

I. 5. 1. Aspek teori / ilmu pengetahuan

1. Memberikan informasi ilmiah tentang faktor risiko terjadinya

kejang berulang pada anak.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian

lebih lanjut terutama dalam bidang patomekanisme genetik,

Page 24: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

manifestasi klinik, laboratorium, radiologik penderita kejang

pada anak.

I. 5. 2. Aspek Aplikasi

Sebagai bahan pertimbangan terhadap kasus-kasus anak yang

dicurigai menderita kejang berulang agar mendapat penanganan secara

komprehensif, sehingga dapat menurunkan angka morbiditas pada pasien

kejang.

Page 25: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Definisi

Kejang adalah gangguan pelepasan muatan listrik yang berlebihan

dari sekelompok neuron otak yang menyebabkan perubahan kesadaran

yang tidak disadari, berlangsung singkat, dan mengganggu perilaku,

aktivitas motorik, sensasi, serta fungsi otonom (Friedman dan Sharieff,

2006; Johnston, 2007).

Kejang berulang adalah dua episode kejang terpisah > 24 jam yang

menunjukkan adanya kelainan epileptik pada otak yang menimbulkan

rekurensi pada masa depan (Johnston, 2007).

II. 2. Epidemiologi

Kejang merupakan kelainan neurologi tersering dijumpai, 3-5 %

terjadi pada anak, 4-10% anak menderita setidaknya satu kali bangkitan

kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Epilepsi terjadi 0,5-1 % dari

populasi dan 60 % kasus dimulai pada masa anak (Haslan, 2000; McAbee

dan Wark, 2000; Vining, 1994).

Insiden tertinggi pada anak kurang dari 3 tahun, dan frekuensi

menurun pada anak yang lebih tua. Penelitian epidemiologi menunjukkan

diperkirakan 150.000 anak akan mengalami kejang pertama yang tidak

Page 26: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

terprovokasi setiap tahun, dan 30.000 anak tersebut akan berkembang

menjadi epilepsi (McAbee dan Wark, 2000; Vining, 1994).

II. 3. Klasifikasi

Klasifikasi penyakit kejang/konvulsi (Baird, 1992; Poerwadi, 1978):

1. Kejang pada bayi baru lahir (neonatal seizure) 0 – 28 hari

2. Kejang dengan demam

Tetanus

Kejang demam sederhana

Kejang demam komplikata

Kejang sebab radang intrakranial : ensefalitis, meningitis, abses

otak

3. Epilepsi

4. Lain – lain : trauma kepala, tumor, kelainan metabolik, gangguan

elektrolit, gangguan peredaran darah, obat – obatan.

II. 4. Patofisiologi

II. 4. 1. Fisiologi bangkitan kejang

Bangkitan kejang merupakan gejala lepasnya muatan listrik yang

berlebihan pada sekelompok sel-sel neuron di otak. Lepas muatan ini

dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis anatomis ke daerah di

sekitarnya atau ke daerah yang lebih jauh.

Page 27: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Bila terjadi aktivitas listrik yang berlebihan pada sekelompok

neuron, maka terdapat 3 hal yang mungkin terjadi, yaitu:

1. Aktivitas listrik tidak menjalar ke sekitarnya, melainkan

terlokalisasi pada kelompok neuron tersebut.

2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak melibatkan

seluruh otak.

3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak.

Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan kejang parsial,

sedangkan pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis bangkitan

kejang tergantung pada letak sel neuron yang melepaskan muatan listrik

berlebihan serta penjalarannya (Verity, 1998; Johnston, 2007).

Sampai saat ini belum terungkapkan dengan jelas mekanisme apa

yang memulai atau yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepaskan

muatan secara sinkron dan berlebihan, dengan kata lain, sampai saat ini

belum diketahui dengan pasti mekanisme terjadinya bangkitan kejang.

Untuk menerangkan proses yang mendahului bangkitan kejang dan

yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi yang berlebihan pada

sekelompok sel-sel neuron, ada beberapa mekanisme yang telah

dikemukakan, yaitu:

1. Gangguan pada mekanisme inhibisi pra dan pascasinaps

Sel-sel neuron saling berhubungan melalui sinaps-sinaps. Aksi

potensial yang terjadi pada satu neuron dihantarkan melalui

neuroakson yang kemudian melepaskan zat transmiter pada sinaps

Page 28: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

yang dapat mengeksitasi dan menginhibisi membran pascasinaps.

Transmiter eksitasi (asetilkolin dan asam glutamat) mengakibatkan

depolarisasi. Zat transmiter inhibisi (glisin, GABA) menyebabkan

hiperpolarisasi neuron penerimanya. Jadi, satu impuls dapat

mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi sinaps (Johnston,

2007).

Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron

lainnya melalui sinaps eksitasi dan inhibisi, sehingga otak merupakan

struktur yang terdiri dari sel-sel neuron yang aktivitasnya saling

berhubungan dan saling mempengaruhi.

Pada keadaan normal terjadi keseimbangan antara eksitasi dan

inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan

bangkitan kejang. Efek inhibisi ialah meninggikan tingkat polarisasi dari

membran sel. Kegagalan dari mekanisme inhibisi mengakibatkan

terjadinya pelepasan muatan listrik berlebihan.

2. Meningkatnya eksitasi akibat gangguan pada mekanisme biokimiawi

yang mendasari potensial sinaps eksitasi. Pada binatang percobaan,

bangkitan kejang dapat ditimbulkan dengan asetilkolin pada korteks.

3. Gangguan pada membran sel neuron. Stabilisasi dan polarisasi

membran neuron berhubungan erat dengan keseimbangan ion pada

membran sel serta metabolisme oksidasi (Johnston, 2007).

Page 29: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

II. 4. 2. Patomekanisme kejang berulang

Banyak penyelidikan yang telah dilakukan untuk menerangkan

tentang masalah kelistrikan kejang berulang/epilepsi, antara lain oleh

Herbert Jasper (Kanada), Lennox dan Gibbs (Amerika) antara tahun 1935

– 1945. Dari penyelidikan tersebut terungkap bahwa bangkitan epilepsi

dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus

epileptogen, yang biasanya diketahui lokasinya, tetapi tidak selalu

diketahui sifatnya (Kari dan Nara, 1984).

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya

saling berhubungan. Pada umumnya hubungan antarneuron terjalin

dengan denyut listrik dan dengan bantuan zat kimia yang secara umum

disebut neurotransmiter. Hasil akhir dari komunikasi antarneuron ini

tergantung pada fungsi dasar dari neuron tersebut. Dalam keadaan

normal, lalu lintas denyut antarneuron berlangsung dengan baik dan

lancar. Namun demikian, bisa juga terjadi bahwa sebagian dari neuron

bereaksi secara abnormal. Hal ini misalnya terjadi apabila mekanisme

yang mengatur lalu lintas denyut antarneuron kacau bila breaking system

dari otak mengalami gangguan. Yang berperan dalam mekanisme

pengaturan ini adalah neurotransmiter kelompok glutamat (yang

mendorong ke arah aktivitas berlebihan (excitatory) dan kelompok GABA

(= gamma-aminobutyric acid, yang bersifat menghambat: inhibitory)

(Budiarto, dkk., 1998).

Page 30: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Kejang epileptik, apapun jenisnya, selalu disebabkan transmisi

impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola normal

disebut sinkronisasi impuls. Sinkronisasi bisa terjadi hanya pada

sekelompok kecil neuron saja, atau kelompok yang lebih besar, atau

meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari

kelompok neuron yang ikut dalam proses sinkronisasi ini menimbulkan

manifestasi yang berbeda dari serangan epileptiknya: serangan epileptik

yang ditimbulkan juga menjadi sangat beragam. Bagaimana cara

terjadinya sinkronisasi tidak diketahui secara tepat (Budiarto, dkk., 1998).

Secara teoritis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini:

a. Keadaan fungsi jaringan neuron penghambat kurang optimal, sehingga

terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila

konsentrasi Gamma amino butyric acid (GABA) tidak normal. Otak pasien

yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi

GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial

postsinaptik (IPSIs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat

reseptor GABA.

Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan

oleh hilang atau berkurangnya inhibisi oleh GABA. Zat ini merupakan

neurotransmiter inhibitorik utama di otak. Ternyata sistem GABA ini sama

sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset

membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa

Page 31: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

menghasilkan inhibisi tidak lengkap yang akan menambah rangsangan.

Ada kesan bahwa peran GABA pada absence dan pada epilepsi konvulsif

tidak sama. Kini belum ada kesepakatan tentang peran GABA pada

epilepsi kronis.

b. Keadaan fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan, sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Kemungkinan lain adalah bahwa fungsi jaringan neuron

penghambat normal, tetapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang

terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi

glutamat di otak. Sampai berapa jauh peran peningkatan glutamat ini pada

orang yang menderita epilepsi belum diketahui secara pasti.

Glutamat sejak lama diakui sebagai zat yang berperan pada sinaps

perangsang di korteks dan hipokampus. Hayashi pada tahun 1954

menemukan bahwa aplikasi glutamat topikal akan menimbulkan bangkitan

paroksimal seperti pada epilepsi. Kini diketahui bahwa sistem glutamat ini

juga terdiri dari beberapa subtipe reseptor lagi. Glisin diperlukan untuk

fungsi glutamat, sedangkan zink memblokir pengaruhnya bila diberikan

sebelum serangan dimulai (Budiarto, dkk., 1998).

II. 5. Faktor-faktor risiko kejang

Faktor-faktor risiko utama timbulnya kejang dapat ditinjau dari

beberapa aspek (Haslan, 2000; Menkes, 1995):

Page 32: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

II. 5. 1. Predisposisi genetik (faktor genetik)

Berperanan antara lain pada kejang demam, insiden meningkat

jika ada riwayat keluarga kejang demam bervariasi antara 17-31%.

Sebagian besar studi menunjukkan transmisi pola autosomal dominan

(Aicardi, 1992). Dua penelitian MRI yang dilakukan terhadap dua keluarga

dengan seorang individu epilepsi lobus temporalis dan kejang

demam yang dipresentasikan akhir-akhir ini untuk mendukung

hipotesis kemungkinan faktor genetik terhadap sklerosis bagian mesial

lobus temporalis dilaporkan adanya asimetri hipokampal yang bahkan

juga ditemukan pada beberapa anggota keluarga yang lain, ini

menunjukkan adanya suatu kecenderungan genetik yang berperan

(Schulz dan Ebner, 2001).

Kejang akibat suatu genetik dapat tersembunyi atau dapat terjadi

sebagai bagian dari komplikasi medis dari kelainan genetik. Terdapat lebih

dari 149 sindrom genetik jarang berupa kejang, misalnya: sklerosis

tuberose, penyakit mitokondrial, dan kelainan metabolik. Risiko

berulangnya kejang dapat bervariasi tergantung diagnosis, sehingga

pemeriksaan genetik direkomendasikan untuk mengidentifikasi secara

tepat diagnosis suatu sindrom (Department of Human Genetics Division of

Medical Genetics, 2008).

Kebanyakan kelainan kejang tidak disebabkan oleh sindrom

genetik, tetapi masih dapat disebabkan oleh mutasi dari genetik.

Penelitian kelainan genetik kejang telah ditemukan mutasi yang

Page 33: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

mempengaruhi aktivitas normal jalur saraf otak. Beberapa mutasi dapat

diturunkan atau baru ke dalam suatu keluarga, sehingga perlu suatu

pemeriksaan genetik untuk menemukan penyebab kelainan kejang

(Department of Human Genetics Division of Medical Genetics, 2008).

Interaksi yang rumit antara kemungkinan keterlibatan genetik dan

faktor lingkungan masih sulit dijelaskan. Untuk itu sebaiknya kelainan

kejang yang tidak dapat dijelaskan merupakan prediktor dari risiko

berulangnya masih bergantung kepada riwayat keluarga. Risiko kejang

meningkat pada derajat kekerabatan pertama keluarga (orang tua,

saudara kandung, dan anak) yang mempengaruhi suatu individu dan lebih

rendah pada hubungan kekerabatan yang jauh. Risiko berulang

diperkirakan lebih besar jika terdapat dua atau lebih kerabat dengan

kelainan kejang dan mungkin dipengaruhi oleh jenis kejang, usia saat

kejang, dan keterlibatan orang tua (Department of Human Genetics

Division of Medical Genetics, 2008).

Tabel 1. Risiko relatif berulangnya kejang (Department of Human Genetics

Division of Medical Genetics, 2008)

Saudara kandung 2,5%

Saudara kandung < 10 tahun 6%

Saudara kandung > 25 tahun 1-2%

Salah satu orang tua 4%

Kedua orang tua ~ 15%

Satu orang tua dan satu saudara kandung ~10%

Page 34: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Selain itu, penting untuk diingat > 90% orang dengan kelainan

kejang tidak dipengaruhi oleh kekerabatan dan banyak orang tua dengan

kejang tidak memiliki anak dengan kelainan kejang.

II. 5. 2. Perubahan metabolisme neuron (faktor biokimia)

Kelainan biokimia bertanggung jawab terhadap lepasnya

muatan listrik tidak terkontrol pada neuron, tetapi belum diketahui.

Suatu kejang dapat dihasilkan dari berbagai perubahan metabolik dan

sebaliknya menyebabkan perubahan-perubahan biokimia. Berbagai

perubahan metabolisme sel dapat menghasilkan depolarisasi parsial

neuron (Haslan, 2000; Menkes, 1995; Snodgrass, 2006):

1. Perubahan rasio dari konsentrasi asam glutamat terhadap gamma

amino butyric acid (GABA).

2. Anoksia menurunkan produksi ATP pada suatu kadar yang tak

cukup untuk memelihara potensial membran istirahat yang normal.

3. Hiponatremia dan hipernatremia mengganggu fungsi sistem saraf

pusat dengan mengubah osmolalitas sel otak.

4. Hipokalsemia dan hiperkalsemia menimbulkan gejala neurologi

dengan mengganggu potensial aksi (impuls saraf).

5. Hipoglikemia menurunkan fungsi normal siklus Krebs dan

menggantinya dengan pemanfaatan GABA sebagai substrat untuk

menghasilkan energi.

Page 35: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

6. Kelainan metabolisme asetilkolin, juga bertanggung jawab terhadap

terjadinya kejang.

II. 5. 2. 1. Hiponatremia

Natrium klorida (NaCl) bertanggung jawab untuk fraksi osmolaritas

cairan tubuh yang terbesar, kecuali endolimfe koklear. Perubahan dalam

konsentrasi natrium plasma gejala yang sering dan pertama dalam

intoksikasi air atau kekurangan air. Cairan ekstraseluler otak secara

normal isotonus dengan plasma. Jika osmolaritas plasma berubah dengan

cepat, otak bertindak sebagai osmometer – otak bengkak ketika

osmolaritas plasma menurun dan mengkerut ketika osmolaritas plasma

meningkat karena kehilangan air.

Hiponatremia dapat diakibatkan oleh peningkatan cairan tubuh

dengan retensi dari cadangan natrium normal. Hal ini paling sering terjadi

pada gangguan elektrolit, terjadi sekitar 2,5% dari pasien yang dirawat,

dan lebih sering pada pasien neurologi dan bedah neurologi (Anderson,

dkk., 1985). Hiponatremia seringkali dikaitkan dengan edema serebri dan

meningkatkan angka mortalitas (Arieff, dkk., 1992).

Pasien dengan hiponatremia memiliki gejala neurologi (58%) dan

kematian (19%). Gejala neurologi hiponatremia termasuk sakit kepala,

mual, gangguan koordinasi, delirium, dan seringkali kejang umum atau

fokal disertai apnea, dan opistotonus. (Mangos dan Lobeck, 1964;

Editorial, 1992; Snodgrass, 2006).

Page 36: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

II. 5. 2. 2. Hipernatremia

Peningkatan konsentrasi natrium dalam cairan tubuh meningkatkan

osmolalitas cairan dan menyebabkan manifestasi serebri yang berat

(Snodgrass, 2006). Luttrell dan Finberg telah mengungkapkan dengan

terperinci faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk gejala neurologi,

yaitu: subdural hematom, kongesti kapiler dan vena, dan pendarahan

yang diakibatkan dari mengkerutnya otak selama dehidrasi (Luttrell dan

Finberg, 1959).

Hipernatremia sering terjadi pada bayi muda usia < 6 bulan.

Gangguan natrium lebih dari separuhnya yang terjadi setelah perawatan

merupakan petanda dari kegagalan terapi. Pasien dengan hipernatremia

lebih sering menunjukkan gejala neurologis (79%) dan kematian (37%)

daripada anak dengan hiponatremia. Pasien mengalami gangguan

kesadaran yang bervariasi dan hiperpireksia. Diperkirakan sepertiga

pasien mengalami kejang umum dan spastik. Kelainan neurologis fokal,

terutama hemiparesis, tampak pada 10% pasien. Finberg menemukan

pendarahan subdural pada bayi dengan hipernatremia. Pada beberapa

gejala neurologis, terutama kejang, tidak tampak sampai 24-48 jam

setelah terapi cairan dimulai. Gejala ini sama digambarkan pada edema

serebri dan penurunan ambang kejang saat rehidrasi otak (Hogan, dkk.,

1969; Finberg, 1959; Dunn dan Butt, 1997; Snodgrass, 2006).

Page 37: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

II. 5. 2. 3. Hipoglikemia

Beberapa penulis mengatakan bahwa hipoglikemia menyebabkan

topografi lesi serebri yang berbeda dengan hypoxic-ischemic

encephalopathy (HIE), pada keterlibatan substansia abu-abu (grey matter)

(Auer dan Sutherland, 2002). Ada banyak pengecualian pada pernyataan

ini, dan penelitian gambaran otak selalu menunjukkan lesi talamus dan

substansia putih (white matter) berhubungan dengan hipoglikemia pada

neonatus (Barkovich, dkk., 1998).

Pendarahan atau infark biasanya tidak ada, meskipun setelah

terjadi hipoglikemia yang berat. Sama seperti pada hipoksia, akumulasi

neurotransmiter berperanan penting dalam patogenesis kerusakan saraf

dan kematian (Auer, 1986).

Manifestasi klinik hipoglikemia pada neonatus berbeda dari yang

lain. Gejala yang ditimbulkan juga nonspesifik, seperti: tremor, apnea,

sianosis, takipnea, kejang, dan kesadaran menurun. Gejala hipoglikemia

dapat terlihat segera 1 jam setelah lahir, terutama pada bayi prematur,

tetapi biasanya muncul setelah 3-24 jam. Diperkirakan 25%, hipoglikemia

tidak menimbulkan gejala setelah 24 jam (Raivio, 1968).

Saat bayi yang lebih tua dan anak-anak menunjukkan gejala

hipoglikemia, kondisi ini timbul bersamaan dengan gejala otonom yang

memperberat gangguan fungsi neurologis. Kadar glukosa serum yang

menimbulkan gejala kejang bervariasi, tetapi setiap anak dengan kadar

glukosa darah ≤ 46 mg/dl dicurigai mengalami hipoglikemia. Gejala

Page 38: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

otonom timbul akibat peningkatan sekresi adrenalin, berupa palpitasi,

cemas, pucat, berkeringat, iritabel, dan tremor (Gregory dan Aynsley-

Green, 1993).

Hampir semua anak menderita kejang umum atau fokal saat

mengalami hipoglikemia berat. Pemberian glukosa intravena segera pada

pasien tidak melibatkan gangguan batang otak. Pada anak dengan

kesadaran menurun yang lama atau terjadi serangan hipoglikemia yang

berulang, prognosis untuk sembuh sempurna sangat jelek, dan

diperkirakan setengah dari pasien ini mengalami retardasi mental

(Haworth dan Coodin, 1960).

Tidak jarang, para klinikus menemukan anak yang mengalami

kejang pertama akibat hipoglikemia, tetapi berlanjut mengalami kejang

berulang tanpa hipoglikemia. Meskipun lamanya hipoglikemia dapat

memicu kerusakan hipokampus dan menimbulkan kejang fokal,

tampaknya kerusakan hipokampus yang tersembunyi meskipun sangat

jarang, merupakan penyebab kejang berulang dan tidak dihubungkan

dengan kejadian hipoglikemia (Wayne, dkk., 1990).

II. 5. 3. Perubahan-perubahan neuropatologi (faktor neuropatologi)

Semua jaringan otak yang patologik, apakah atrofi,

malformasi, atau neoplasma, secara elektrik menjadi lemah,

sehingga neuron epileptogenik ini akan menyebabkan fungsi metabolisme

Page 39: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

sel menjadi abnormal bahkan pada lokasi di sekitar dari berbagai lesi ini

(Poerwadi, 1978).

II. 6. Diagnosis

Penegakan diagnosis tidak selalu mudah dan merupakan analisis

dari berbagai aspek. Diagnosis kejang pada anak membutuhkan riwayat

penyakit yang lengkap karena banyak kemungkinan penyebab kejang

atau kondisi yang dapat menimbulkan kejang. Riwayat harus difokuskan

baik saat sebelum episode kejang maupun segera setelah kejang.

Informasi yang diperlukan termasuk durasi, gerakan, mata, biru,

kehilangan kesadaran, aura, inkontinensia, lama periode postiktal, dan

kelainan neurologis fokal setelah kejang. Informasi lebih lanjut yang perlu

didapat termasuk faktor pemicu penting seperti trauma, terpapar zat

beracun, riwayat imunisasi, demam, atau tanda lain sistemik penyakit.

Riwayat pengobatan di rumah juga penting ditanyakan. Jika diketahui

seorang anak memiliki kelainan kejang, maka penting untuk memastikan

apakah saat kejang yang terakhir berbeda dengan kejang sebelumnya,

frekuensi kejang dengan tipe yang sama pada pasien, obat-obatan yang

dipakai pasien dan keteraturan minum obat atau adanya perubahan

pengobatan akhir-akhir ini. Riwayat tambahan penting lainnya termasuk

masalah medis penting (kelainan neurologis, VP-shunt, atau

keterlambatan perkembangan), riwayat bepergian akhir-akhir ini, dan

riwayat kejang dalam keluarga (Shneker dan Fountain, 2003; Friedman

dan Sharieff, 2006).

Page 40: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Pemeriksaan fisik dan neurologis harus dilakukan. Tanda-tanda

vital, termasuk suhu, nadi, dan tekanan darah harus diperiksa. Demam

merupakan penyebab tersering kejang pada anak. Pada pemeriksaan

kepala harus diperiksa mikrosefali, dismorfik, tanda-tanda trauma, dan

keberadaan VP-shunt. Pada bayi, pengukuran lingkar kepala dapat

menolong. Fontanela yang menonjol mengindikasikan adanya tekanan

intrakranial yang meningkat. Pemeriksaan mata dilakukan untuk melihat

adanya edema papil dan perdarahan retina. Pemeriksaan rangsang

meningeal pada leher. Pembesaran hati dan limpa menunjukkan adanya

penyakit metabolik. Penilaian kulit untuk lesi seperti bercak cafe’ au lait

(neurofibromatosis), adenoma sebasea atau bercak ash leaf (sklerosis

tuberosa), dan bercak port wine (sindrom Sturge-Weber). Lebam yang

tidak dapat dijelaskan juga meningkatkan kecurigaan adanya kelainan

pendarahan atau kekerasan pada anak (Shneker dan Fountain, 2003;

Friedman dan Sharieff, 2006).

II. 7. Diagnosis banding

Kejang merupakan gejala klinis suatu proses patologis yang

mendasari dengan berbagai kemungkinan penyebab (Tabel 2). Saat anak

datang dengan kejang, setiap usaha perlu dilakukan untuk menentukan

penyebabnya. Perlu juga dibedakan kejang dan kondisi nonepileptik lain

yang menyerupai aktivitas kejang (Tabel 3). Deskripsi yang lengkap saat

terjadi kejang dari seorang saksi mata merupakan faktor paling penting

Page 41: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

dalam keakuratan diagnosis. Jika riwayat penyakit tampaknya tidak sesuai

dengan kejang, maka diagnosis alternatif harus dipikirkan (Friedman dan

Sharieff, 2006).

Tabel 2. Penyebab kejang

Infeksi

Abses otak

Ensefalitis

Kejang demam

Meningitis

Neurosistiserkosis

Neurologi atau perkembangan

Trauma lahir

Anomali kongenital

Penyakit degeneratif serebri

Ensefalopati hipoksik-iskemik

Sindroma neurokutaneus

Malfungsi Ventrikuloperitoneal

shunt

Metabolik

Hiperkarbia

Hipokalsemia

Hipoglikemia

Traumatik atau vaskular

Kontusio serebri

Cerebrovascular accident

Kekerasan pada anak

Trauma kepala

Pendarahan intrakranial

Toksikologi

Alkohol, amfetamin, antihistamin,

antikolinergik

Kokain, karbon monoksida

Isoniazid

Timbal, lithium, lindan

Hipoglikemia oral, organofosfat

Fensiklidin, fenotiazin

Salisilat, simpatomimetik

Antidepresan trisiklik, teofilin,

anestesi topikal

Withdrawals (alkohol,

Page 42: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Hipomagnesemia

Hipoksia

Metabolisme inborn errors

Defisiensi piridoksin

antikonvulsan)

Idiopatik atau epilepsi

Obstetri (eklampsia)

Onkologi

Tabel 3. Kondisi pada anak yang sering salah untuk kejang

Kelainan dengan gangguan

perubahan kesadaran

Apnea and sinkop

Breath-holding spells

Disaritmia kardiak

Migrain

Kelainan gerakan paroksismal

Distonia akut

Mioklonus benigna

Pseudoseizures

Shuddering attacks

Spasmus mutans

Tiks

Gangguan tidur

Narkolepsi

Night terrors

Sleepwalking

Kelainan psikologis

Attention deficit hyperactivity

disorder

Hiperventilasi

Histeria

Serangan panik

Refluks gastroesofageal (sindrom

Sandifer)

Page 43: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

II. 8. Pemeriksaan penunjang

Kadar gula darah puasa sebaiknya diambil untuk evaluasi awal,

begitu pula kalsium, fosfor, natrium dan magnesium hendaknya diperiksa

pula. Pemeriksaan-pemeriksaan metabolik khusus juga dapat dilakukan

pada kejang neonatal. Pemeriksaan cairan serebrospinalis diindikasikan

jika kejang diduga berhubungan dengan suatu proses infeksi, pendarahan

subaraknoid atau gangguan demielinisasi (Haslan, 2000, Baird, 1992).

Titer Syphillis Toxoplasmosis AIDS Rubella Cytomegalovirus Herpes

Simplex (STARCH) seharusnya diperoleh untuk pelacakan kemungkinan

adanya infeksi kongenital (Brown dan Snead, 1993).

Pemeriksaan Electroencephalography (EEG) dianjurkan sebagai

pemeriksaan tambahan yang dapat dikerjakan pada anak dengan kejang

(Haslan, 2000). Pemeriksaan penunjang lain, foto polos kepala hanya

berguna untuk kejang post trauma untuk mengetahui ada tidaknya fraktur

(Poerwadi, 1978).

Peranan Computed Tomography Scan (CT-Scan) kepala atau

Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada pelacakan penyebab kejang

masih kontroversial. Prosedur pemeriksaan ini rutin digunakan pada

pasien dengan kejang fokal tanpa demam pertama kali. CT-Scan

seharusnya direncanakan pula pada pasien dengan lesi intrakranial yang

diduga mendasari adanya kelainan neurologi. Indikasi MRI termasuk

kejang parsial kompleks, frekuensi kejang meningkat atau bertambah

berat, pola kejang yang berubah-ubah, adanya bukti peninggian tekanan

Page 44: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

intrakranial atau trauma dan kejang pertama kali pada masa remaja

(Haslan, 2000).

II. 9. Tatalaksana

Pengobatan kejang pada anak terdiri dari (Aicardi, 1992; Aicardi,

1986):

II. 9. 1. Tatalaksana kejang pada fase akut

Pada fase akut kejang, anak ditempatkan pada posisi semiprone

lateral untuk membatasi bahaya aspirasi dan memelihara jalan napas

tetap adekuat (Aicardi, J., 1986). Diazepam adalah obat pilihan pertama

secara intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3 mg-0,5

mg/kgBB dengan kecepatan 0,5 ml/menit. Intrarektal 0,5-0,75 mg/kgBB

atau 5 mg pada anak BB kurang 10 kg dan 10 mg pada anak lebih 10 kg.

Bila terdapat panas, ditekankan pentingnya menurunkan suhu tubuh.

Panas berlebihan pada anak dihindari, selimut yang tebal segera

dikeluarkan. Suhu dikurangi dengan kompres hangat biasanya

disarankan. Penggunaan antipiretik masih kontroversial (Aicardi, 1986).

Penyelidikan terpenting pada fase akut adalah mencari dan

mengobati penyebab. Pemeriksaan cairan serebrospinal umumnya

disarankan pada semua bayi-bayi dengan kejang pertama kali. Namun,

kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus tertentu

terutama pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan cepat atau pada

kasus yang dicurigai meningitis. Pada bayi kecil sering gejala meningitis

Page 45: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur

kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada penderita yang berumur kurang

dari 18 bulan (Aicardi, 1986).

II. 9. 2. Profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan tiap hari

Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dengan kadar darah

sebesar 16 µg/ml. Efek samping utama terhadap perilaku berupa kelainan

watak seperti iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada

30% - 50% anak. Efek samping ini dapat dikurangi dengan menurunkan

dosis sampai diperoleh kadar darah sebesar 11 µg/ml atau kurang

(Ismael, dkk., 1999; Aicardi, 1986).

Pengobatan pencegahan terhadap rekurensi kejang dengan

mempertimbangkan keseimbangan antara risiko dan keuntungan

pengobatan tersebut. Pengobatan profilaksis terus-menerus terhadap

berulangnya kejang secara umum tidak disarankan (Aicardi, 1992).

II. 10. Prognosis

Faktor-faktor risiko untuk berkembang menjadi epilepsi sebagai

suatu komplikasi dari kejang, termasuk riwayat epilepsi pada keluarga

positif, kejang pertama sebelum usia 9 bulan, kejang lama atau atipik,

temuan-temuan kelainan neurologi dan gangguan perkembangan. Insiden

epilepsi 9% jika beberapa faktor risiko ada, dibandingkan anak kejang

tanpa faktor risiko insidennya hanya 1%. Prognosis dari kejang secara

Page 46: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

umum baik. Kira-kira 65%-75% dari anak hanya satu episode kejang dan

sebagian 2 atau 3 episode. Hanya 9% lebih dari 3 episode. Prognosis

perkembangan neurologi dari kejang adalah baik, kecuali pasien-pasien

yang berkembang menjadi epilepsi beberapa diantaranya menjadi

retardasi (Haslan, 2000).

Page 47: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

KERANGKA TEORI

Gangguan mekanisme inhibisi

Gangguan membran neuron

Umur Jenis Kelamin Suhu Riwayat Kejang dalam Keluarga

Riwayat Trauma Kepala

Hilang/berkurangnya GABA

- Bertambahnya kadar asam glutamat

- Gangguan metabolisme asetilkolin

Meningkatnya eksitasi

Ketidakseimbangan Elektrolit

Hipoglikemia

Epileptogenesis Kejang Berulang

- Perubahan osmolalitas intraseluler

- Akumulasi agen toksik intraseluler

Imaturitas otak

Genetik

Page 48: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

BAB III

KERANGKA KONSEP

Bagan ini menerangkan berbagai kedudukan dan peran variabel yang menjelaskan hubungan berbagai faktor risiko pada kejang

pertama terhadap kejadian kejang berulang

Keterangan:

Variabel bebas Hubungan variabel bebas

Variabel tergantung

Hubungan variabel tergantung

Variabel antara Hubungan variabel antara

Variabel kendali Hubungan variabel kendali

Umar saat kejang pertama

Jenis kelamin

Suhu saat kejang pertama

Riwayat kejang dalam keluarga

Riwayat trauma kepala saat kejang

pertama

Gangguan elektrolit saat kejang pertama

Gula darah sewaktu saat

kejang pertama

Kejang berulang

Tetanus Kelainan intrakranial

Hipertensi Ensefalopati

Gangguan mekanisme

inhibisi

Meningkatnya eksitasi

Gangguan membran

neuron

Hilang/berkurangnya GABA

- Bertambahnya kadar asam glutamat

- Gangguan metabolisme asetilkolin

Epileptogenesis

- Perubahan osmolalitas intraseluler

- Akumulasi agen toksik intraseluler

Page 49: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

IV. 1. Desain penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol mengenai identifikasi

faktor risiko penderita kejang berulang dengan menentukan kejang

berulang (KB) sebagai kasus dan kejang tidak berulang (KTB) sebagai

kontrol, kemudian menelusuri faktor risiko umur, jenis kelamin, suhu saat

kejang, riwayat kejang dalam keluarga, riwayat trauma kepala, kadar

elektrolit darah, dan metabolik pada saat kejang pertama.

IV. 2. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di instalasi rawat inap/catatan medis Bagian

Ilmu Kesehatan Anak FK-UNHAS/RS Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar mulai bulan Januari sampai Juni 2013.

IV. 3. Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah semua penderita yang mengalami

kejang berulang yang berumur > 1 bulan sampai 15 tahun, sedangkan

populasi kontrol adalah semua penderita yang mengalami kejang satu kali

sampai umur 15 tahun.

Page 50: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

IV. 4. Sampel dan cara pengambilan sampel

Sampel diambil dari populasi dengan cara sebagai berikut:

1. Sampel berasal dari populasi terjangkau dan diperoleh berdasarkan

urutan masuknya di rumah sakit (consecutive sampling).

2. Menyeleksi sesuai kriteria inklusi untuk kasus, yaitu yang mengalami

KB dan KTB sebagai kontrol.

3. Menetapkan responden penelitian, yaitu ibu atau ayah kandung atau

wali penderita untuk mengkonfirmasi ada tidaknya kejang dalam

keluarga.

IV. 5. Perkiraan besar sampel

Dengan desain kasus kontrol, diperkirakan odds ratio (OR) = 2,

proporsi efek pada kelompok kontrol sebesar 0,2 dengan nilai kemaknaan

sebesar 0,05 dan power sebesar 80% maka perkiraan besar sampel

dapat dihitung sebagai berikut :

2P - P

QP QPz PQ2z n

21

2

2 21 1βα

20,006 - 0,2

(0,2x0,99 x0,8)006,0(0,842 )2(0,1x0,9996,1 n

2

n = 40

Keterangan :

P2 = 0,2

z = 1,96

Page 51: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

z = 0,84

OR = 2

P1 = 0,006

P = ½ (P1+P2) = 0,1

Q = 1 – P = 0,99

Q1 = 1 – P1 = 0,8

Q2 = 1 – P2 = 0,99

Hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel adalah 40 orang untuk anak

dengan kejang berulang.

IV. 6. Kriteria inklusi dan eksklusi

IV. 6. 1. Kriteria inklusi

Semua penderita yang mengalami kejang satu kali yang berumur

> 1 bulan sampai umur 15 tahun.

Semua penderita yang mengalami kejang berulang yang berumur

> 1 bulan sampai umur 15 tahun.

Memiliki data lengkap dalam catatan medik rumah sakit bagi

subyek yang mengalami kejang saat pertama kali maupun kejang

berulang.

Page 52: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

IV. 6. 2. Kriteria eksklusi

Anak dengan tetanus.

Anak dengan hipertensi ensefalopati.

Anak dengan kejang yang disebabkan oleh kelainan intrakranial:

meningitis, ensefalitis, abses otak, tumor otak, hidrosefalus,

hiperbilirubinemia.

IV. 7. Izin penelitian dan ethical clearance

Dalam melaksanakan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan

setelah izin dari direktur rumah sakit (lampiran 1) dan atas seizin bagian

catatan medik sebagai tembusan. Penelitian ini dinyatakan memenuhi

persyaratan etik untuk dilaksanakan oleh Komisi Etik Penelitian Biomedis

pada Manusia, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (lampiran 2).

IV. 8. Cara kerja

IV. 8. 1. Alokasi subyek

1. Subyek penelitian adalah penderita kejang yang memenuhi

syarat inklusi dan eksklusi.

2. Subyek penelitian terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

a. Kelompok penderita KB

b. Kelompok penderita KTB.

Page 53: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

3. Kedua kelompok ditelusuri melalui catatan medik mengenai

umur, jenis kelamin, suhu saat kejang, riwayat kejang dalam

keluarga, riwayat trauma kepala, kadar elektrolit darah, dan

metabolik.

IV. 8. 2. Cara penelitian

IV. 8. 2. 1. Prosedur penelitian

Pada setiap sampel dilakukan pencatatan data :

1. Umur, jenis kelamin, suhu saat kejang, riwayat kejang dalam

keluarga, riwayat trauma kepala, kadar elektrolit darah, dan

glukosa darah sewaktu (GDS) saat kejang pertama.

2. Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya yang

mendukung diagnosis kejang berulang pada anak.

3. Pengumpulan data diperoleh dari rekam medik, kemudian

dianalisis.

Page 54: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

IV. 8. 2. 2. Skema alur penelitian

Populasi anak dengan kejang

Seleksi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi

Kasus 40 KB

Kontrol 40 KTB

Faktor risiko (+)

- Umur saat kejang pertama kali

- Jenis kelamin - Suhu badan saat kejang

pertama kali - Riwayat kejang dalam

keluarga - Riwayat trauma kepala

saat kejang pertama kali - Kadar natrium saat kejang

pertama kali - Kadar glukosa darah

sewaktu saat kejang pertama kali

- Umur saat kejang pertama kali

- Jenis kelamin - Suhu badan saat kejang

pertama kali - Riwayat kejang dalam

keluarga - Riwayat trauma kepala

saat kejang pertama kali - Kadar natrium saat kejang

pertama kali - Kadar glukosa darah

sewaktu saat kejang pertama kali

Faktor risiko (-)

Faktor risiko (+)

Faktor risiko (-)

Page 55: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

IV. 8. 2. 3. Prosedur Pemeriksaan

Pada setiap sampel dilakukan pencatatan data:

a. Pengambilan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik:

o Umur

o Jenis kelamin

o Tanda-tanda vital: suhu tubuh, nadi, pernapasan,

tekanan darah, tingkat kesadaran.

o Manifestasi klinik sebagai penyebab kejang.

b. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya

o Pemeriksaan rutin darah, elektrolit darah, GDS, urin dan

tinja

o Konsul antardivisi atau bagian lain jika penyebab kejang

tidak jelas

o Dilakukan pungsi lumbal jika ada indikasi.

c. Pengumpulan data riwayat kejang dalam keluarga

menggunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan.

Kuesioner ini diisi oleh responden dengan penjelasan dan

didampingi oleh peneliti. Pengisian oleh responden adalah

sukarela dan diberitahu bahwa kerahasiaannya akan terjamin.

d. Pengumpulan data umur, riwayat kejang dalam keluarga, suhu

badan, kadar natrium, dan GDS diperoleh dari catatan medik

pada saat pasien dirawat ketika mengalami kejang pertama.

Page 56: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

IV. 9. Identifikasi dan klasifikasi variabel

IV. 9. 1. Identifikasi variabel

1. Kejang berulang

2. Faktor-faktor risiko:

Faktor umur

Faktor jenis kelamin

Faktor suhu badan saat kejang pertama

Faktor riwayat kejang dalam keluarga

Faktor riwayat trauma kepala saat kejang pertama

Faktor kadar natrium dalam darah saat kejang pertama

Faktor kadar glukosa sewaktu dalam darah saat kejang

pertama

3. Mekanisme terjadinya kejang berulang

4. Tetanus

5. Hipertensi ensefalopati

6. Kelainan intrakranial

IV. 9. 2. Klasifikasi Variabel

Dalam penelitian ini beberapa variabel dapat diidentifikasi

berdasarkan peran dan skalanya :

1. Variabel bebas adalah faktor-faktor risiko: umur, suhu saat kejang

merupakan variabel numerik. Jenis kelamin, riwayat kejang dalam

Page 57: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

keluarga, riwayat trauma kepala, hipernatremia, hiponatremia, dan

hipoglikemia merupakan variabel kategorikal.

2. Variabel tergantung adalah kejang berulang pada anak yang

merupakan variabel kategorikal.

3. Variabel antara adalah pato-mekanisme kejang yang menyebabkan

terjadinya kejang berulang yang tidak diamati dan diukur.

4. Variabel kendali adalah penderita tetanus dan kelainan intrakranial

yang juga memiliki hubungan terhadap terjadinya kejang berulang

yang dikendalikan, yang merupakan variabel kategorikal.

IV. 10. Definisi operasional dan kriteria obyektif

IV. 10. 1. Definisi operasional

Kejang berulang adalah kejang lebih dari satu kali dalam episode

kejang yang berbeda dalam waktu > 24 jam dari kejang pertama.

Umur saat kejang pertama adalah lama hidup anak sejak dilahirkan

hingga mengalami kejang pertama yang dinyatakan dalam tahun,

bulan dan hari.

Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan yang ditentukan

berdasarkan catatan medik.

Suhu saat kejang pertama adalah panas badan yang diukur secara

aksila dengan menggunakan termometer air raksa segera setelah

terjadinya kejang pertama.

Page 58: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Ada riwayat kejang dalam keluarga adalah jika salah satu atau lebih

dari anggota keluarga pernah menderita kejang, yaitu:

a. Saudara kandung penderita

b. Ayah kandung

c. Ibu kandung

d. Saudara kandung ayah

e. Saudara kandung ibu

f. Kakek dari pihak ayah

g. Kakek dari pihak ibu

h. Nenek dari pihak ayah

i. Nenek dari pihak ibu

Ada riwayat trauma kepala saat kejang pertama adalah jika kejang

timbul segera, awal, atau lambat dalam waktu kurang dari 7 hari

setelah trauma kepala saat kejang pertama.

IV. 10. 2. Kriteria obyektif

Suhu badan:

≥ 37, 8oC : Demam

36 – 37,7oC : Normal

Umur:

< 18 bulan : faktor risiko KB

≥ 18 bulan : bukan faktor risiko KB

Page 59: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Ketidakseimbangan elektrolit:

Hiponatremia: kadar Natrium darah < 130 mmol/l

Hipernatremia: kadar Natrium dalam darah > 145 mmol/l

Hipoglikemia: kadar glukosa sewaktu dalam darah <60 mg/dl

IV. 11. Pengolahan dan analisis data

Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan tujuan dan jenis

data ke dalam kelompok kejang berulang dan kejang tidak berulang

kemudian dianalisis secara masing-masing dengan metode statistik yang

sesuai.

IV. 11. 1. Analisis univariat

Digunakan untuk deskripsi karakteristik data dasar penelitian

berupa rentangan, rerata, standar deviasi dan frekuensi.

IV. 11. 2. Analisis bivariat

a. Uji Student t: digunakan untuk menganalisis data dengan variabel

bebas berskala numerik dan variabel tergantung berskala nominal

yang datanya terdistribusi normal dan mempunyai varians yang sama,

dalam hal menilai kemaknaan faktor risiko terhadap penderita yang

mengalami KB dan KTB

b. Uji Mann-Whitney: digunakan untuk menganalisis data dengan variabel

bebas berskala numerik dan variabel tergantung berskala nominal

Page 60: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

yang datanya tidak terdistribusi normal dan mempunyai varians

berbeda. Untuk uji normalitas digunakan uji Kolmogorov-

Smirnov/Shapiro-Wilk. Untuk uji kesamaan varians digunakan uji

Levene.

c. Uji X2 (Chi-square) atau Fisher’s Exact test: untuk membandingkan 2

variabel yang berskala nominal antara 2 kelompok atau lebih yang

tidak berpasangan, dalam hal menilai kemaknaan faktor risiko

terhadap penderita KB dan KTB.

d. Menghitung crude odds ratio dengan confidence interval (CI) 95%

untuk menentukan besarnya peluang terjadinya kejang berulang.

Hasil uji hipotesis ditetapkan sebagai berikut :

1. Tidak bermakna, bila p > 0,05

2. Bermakna, bila p 0,05

3. Sangat bermakna, bila p < 0,01

4. Odds ratio dengan CI 95% > 1 menunjukkan bahwa faktor yang

diteliti memang merupakan faktor risiko.

5. Odds ratio dengan CI 95% -1 sampai 1 menunjukkan bahwa

faktor yang diteliti bukan merupakan faktor risiko.

6. Odds ratio dengan CI 95% < 1 menunjukkan bahwa faktor yang

diteliti merupakan faktor protektif.

Page 61: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

BAB V

HASIL PENELITIAN

V.1. Jumlah Sampel

Selama jangka waktu penelitian mulai bulan Januari sampai Juni

2013 telah dilakukan identifikasi faktor risiko KB terhadap 80 anak yang

memenuhi kriteria untuk diteliti.

V.2. Karakterisitik Sampel

Karakteristik sampel pada kelompok KB dan KTB dapat dilihat pada

tabel 4.

Dari seluruh sampel yang ada (80) anak, pada kelompok KB

terdapat 23 (57,5%) laki-laki dan 17 (42,5%) perempuan, sedangkan pada

kelompok KTB laki-laki 24 (60%) dan perempuan 16 (40%). Pada

kelompok KB terdapat 14 (35%) yang mempunyai riwayat kejang dalam

keluarga dan 26 (65%) tidak ada, sedangkan pada kelompok KTB

terdapat 17 (42,5%) yang mempunyai riwayat kejang dalam keluarga dan

23 (57,5%) tidak ada. Pada kelompok KB terdapat 4 (10%) yang

mempunyai riwayat trauma kepala saat kejang pertama kali dan 36 (90%)

tidak ada, sedangkan pada kelompok KTB terdapat 5 (12,5%) yang

mempunyai riwayat trauma kepala saat kejang pertama kali dan 35

(87,5%) tidak ada. Rerata umur saat kejang pertama kali pada KB 2,9

tahun (rentangan 0,08-14,58) dan rerata pada KTB 11,8 tahun (rentangan

8,41-13,75).

Page 62: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Tabel 4. Karakteristik kelompok KB dan

KTB

Nilai p

0,000

2. Jenis Kelamin L : P 0,820

0,243

0,491

0,723

0,466

0,809

85,9

88

11,8

12

38,45

38,55

38,57

6. Kadar Natrium Saat Kejang Pertama Kali (mmol/l)

Rentangan

Standar deviasi

120-153

6,23

0,90

5. Riwayat Trauma Kepala Saat Kejang Pertama

137

2,9

1,83

136,5

136

7. Kadar Glukosa Darah Saat Kejang Pertama (mg/dl)

Rentangan

1,12

0,08 - 14,58

Rerata

Median

Standar deviasi

20-136

Ada

Tidak Ada

4 (10)

36 (90)

Median

Rerata

Median

Rerata

64-126

22,37 14,66

5 (12,5)

35 (87,5)

130-146

3,84

137,35

86,95

85

8,41 - 13,75

3,26 1,28

3. Suhu Saat Kejang Pertama kali (oC)

Rentangan 36,5 - 40,5 36,8 - 40

Rerata

Median

Rentangan

24 : 16 (60:40)

4. Riwayat Kejang Dalam Keluarga

Ada

Tidak Ada

14 (35) 17 (42,5)

26 (65) 23 (57,5)

39

Standar deviasi

Standar deviasi

Kelompok

KBVariabel

N (%) = 40 (50%)

KTB

N (%) = 40 (50%)

1. Umur Saat Kejang Pertama Kali (tahun)

23 : 17 (57,5 :42,5)

L: Laki-laki P: Perempuan ( ) : Nilai persentase

Rerata suhu pada KB 38,450C dengan rentangan 36,5-40,50C dan rerata

pada KTB 38,570C dengan rentangan 36,8-400C. Rerata kadar natrium

saat kejang pertama kali pada KB 136,5 mmol/l dengan rentangan 120-

153 mmol/l dan rerata pada KTB 137,35 mmol/l dengan rentangan 130-

Page 63: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

146 mmol/l. Rerata kadar glukosa darah sewaktu saat kejangg pertama

kali pada KB 86,93 mg/dl dengan rentangan 20-136 mg/dl dan rerata pada

KTB 85,9 mg/dl dengan rentangan 64-126 mg/dl.

V.3. Penjaringan Faktor Risiko KB

Dalam penjaringan faktor risiko digunakan analisis bivariat.

Analisis hubungan antara umur saat kejang pertama kali antara KB

dan KTB dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Hubungan umur saat kejang pertama kali antara KB dan KTB

19 (100%)

21 (34,5%)

Umur Saat KelompokTotal

Kejang Pertama KB KTB

Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)

0 (0%)

40 (65,5%)

19 (100%)

61 (100%)

< 18 bln

≥ 18 bln

X2=24,918 df=1 p = 0,000 (p<0,01) COR = 2,905 (CI 95%:2,05 – 4,10)

Frekuensi kejadian KB pada kelompok umur < 18 bln saat kejang

pertama kali (100%) lebih tinggi daripada frekuensi kejadian KB pada

kelompok umur ≥ 18 bln (34,5%). Analisis statistik memperlihatkan

terdapat perbedaan yang sangat bermakna umur saat kejang pertama

antara KB dan KTB, dengan nilai p=0,000 (p<0,01). Nilai crude odds ratio

(COR) = 2,905 dengan interval kepercayaan 95% (2,05 – 4,10) yang

berarti bahwa kejadian KB pada kelompok umur muda lebih tinggi 2,9 kali

dibandingkan dengan yang lebih tua.

Page 64: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Analisis hubungan jenis kelamin dengan kejadian antara KB dan

KTB dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian antara KB dan KTB

Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)

Perempuan

23(49%)

17(51,5%)

24(51%)

16(48,5%)

47(100%)

33(100%)

Jenis KelaminKB KTB

TOTALKelompok

Laki - Laki

X2 = 0,052 df = 1 p = 0,820 (p>0,05)

Frekuensi kejadian KB pada anak laki-laki 49% dan anak

perempuan 51,5% sedangkan pada KTB laki-laki 51% dan perempuan

48,5%. Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna (p=0,820) dalam

hal kejadian KB dengan KTB berdasarkan jenis kelamin.

Analisis hubungan suhu saat kejang pertama antara KB dan KTB

dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Hubungan suhu saat kejang pertama antara KB dan KTB

30 (49,2%)

10 (52,6%)

Suhu Saat KelompokTotal

Kejang Pertama KB KTB

Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)

31 (50,8%)

9 (47,4%)

61 (100%)

19 (100%)

Demam (≥ 37,8oC)

Tidak Demam (< 37,8oC)

X2=0,069 df=1 p = 0,793 (p>0,05)

Page 65: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Frekuensi kejadian KB dengan demam saat kejang pertama 49,2%

dan tidak demam 52,6%, sedangkan pada KTB dengan demam saat

kejang pertama 50,8% dan tidak demam 47,4%. Analisis statistik

menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna suhu saat kejang pertama

antara kelompok KB dengan KTB dengan nilai p =0,793 (p>0,05).

Analisis hubungan riwayat kejang dalam keluarga antara KB dan

KTB dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Hubungan riwayat kejang dalam keluarga antara KB dan KTB

31 (100%)

49 (100%)

Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)

Ada

Tidak Ada

14 (45%)

26 (53%)

17 (55%)

23 (47%)

Riwayat Kejang KelompokTotal

Dalam keluarga KB KTB

X2=0,474 df=1 p = 0,491 (p>0,005)

Frekuensi kejadian KB pada kelompok subyek yang mempunyai

riwayat kejang dalam keluarga sebesar 45% dan 53% tidak ada,

sedangkan pada kelompok KTB yang mempunyai riwayat kejang dalam

keluarga sebesar 55% dan 47% tidak ada. Tidak ada perbedaan

bermakna (p=0,491) dalam hal kejadian KB dengan KTB berdasarkan

riwayat kejang dalam keluarga.

Analisis hubungan riwayat trauma kepala saat kejang pertama

antara KB dan KTB dapat dilihat pada tabel 9.

Page 66: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Tabel 9. Hubungan riwayat trauma kepala saat kejang pertama antara

KB dan KTB

Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)

Ada

Tidak Ada

4 (44,5%)

36 (50,7%)

5 (55,5%)

35 (49,3%)

Riwayat Trauma Kepala KelompokTotal

Saat Kejang Pertama KB KTB

9 (100%)

71 (100%)

Fisher’s exact test p = 1,00 (p>0,05)

Frekuensi kejadian KB pada kelompok subyek yang mempunyai

riwayat trauma kepala saat kejang pertama sebesar 44,5% dan 55,5%

tidak ada, sedangkan pada kelompok KTB yang mempunyai riwayat

trauma kepala saat kejang pertama sebesar 50,7% dan 49,3% tidak ada.

Tidak ada perbedaan bermakna (p=1,00) dalam hal kejadian KB dengan

KTB berdasarkan riwayat trauma kepala saat kejang pertama.

Analisis hubungan kadar Natrium saat kejang pertama antara KB

dan KTB dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Hubungan kadar Natrium saat kejang pertama antara KB dan

KTB

Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)

1 (20%)

39 (52%)

5 (100%)

75 (100%)

Tidak Normal

Normal

4 (80%)

36 (48%)

Kadar Natrium Saat KelompokTotal

Kejang Pertama KB KTB

Fisher’s exact test p= 0,359 (p>0,05)

Page 67: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Frekuensi kejadian KB dengan kadar Natrium saat kejang pertama

tidak normal sebesar 80% dan 48% normal, sedangkan kejadian KTB

dengan kadar Natrium saat kejang pertama tidak normal sebesar 20% dan

52% normal. Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna kadar

Natrium saat kejang pertama antara kelompok KB dengan KTB dengan

nilai p =0,359 (p>0,05).

Analisis hubungan kadar gula darah sewaktu saat kejang pertama

antara KB dan KTB dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11. Hubungan kadar gula darah sewaktu saat kejang pertama

antara KB dan KTB

1 (100%)

39 (49,4%)

Kadar Gula Darah Sewaktu KelompokTotal

Saat Kejang Pertama KB KTB

Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)

0 (0%)

40 (50,6%)

1 (100%)

79 (100%)

Tidak Normal

Normal

Fisher’s exact test p= 1,00 (p>0,05)

Frekuensi kejadian KB dengan kadar gula darah sewaktu tidak

normal sebesar 100% dan 49,4% normal, sedangkan kejadian KTB

dengan kadar gula darah sewaktu tidak normal sebesar 0% dan 50,6%

normal. Secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna kadar gula

darah sewaktu saat kejang pertama antara kelompok KB dan KTB dengan

nilai p=1,00 (p>0,05).

Page 68: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

V.4. Identifikasi Faktor-faktor Risiko KB

Pada analisis bivariat didapatkan ada satu variabel, yaitu umur saat

kejang pertama kali yang teridentifikasi mempunyai hubungan bermakna

dengan kejadian KB.

Frekuensi kejadian KB pada kelompok umur < 18 bln saat kejang

pertama kali (100%) lebih tinggi daripada frekuensi kejadian KB pada

kelompok umur ≥ 18 bln (34,5%). Nilai crude odds ratio (COR) = 2,905

dengan interval kepercayaan 95% (2,05 – 4,10) yang berarti bahwa

kejadian KB pada kelompok umur muda lebih tinggi 2,9 kali dibandingkan

dengan yang lebih tua.

Page 69: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

BAB VI

PEMBAHASAN

Kejang merupakan kelainan neurologi yang sering ditemukan pada

anak, 4-10% anak menderita setidaknya satu kali bangkitan kejang pada

16 tahun pertama kehidupan. Insiden tertinggi pada anak kurang dari 3

tahun, dan frekuensi menurun pada anak yang lebih tua. Kejang

menunjukkan suatu gejala klinik yang mendasari suatu proses yang dapat

disebabkan oleh berbagai macam. Ketika seorang anak datang dengan

keluhan kejang, harus diusahakan mencari penyebabnya (McAbee dan

Wark, 2000; Friedman dan Sharieff, 2006).

Kejang pada anak dianggap sebagai kasus kedaruratan neurologi

yang perlu penanganan segera. Anak yang datang dengan keluhan

kejang yang pertama kali, terbersit pertanyaan: “Apakah kejangnya akan

berulang?” (Berg dan Shinnar, 1991; Ridha, 2008)

Pemahaman mengenai kejang berulang pada anak masih sangat

terbatas bagi tenaga kesehatan kita, sedangkan penelitian berbagai faktor

risiko kejang berulang pada anak sampai saat ini masih belum jelas.

Penilaian terhadap faktor risiko terhadap terjadinya kejang berulang pada

anak diharapkan dapat membantu sebagai deteksi awal dalam

memudahkan diagnosis dan mempercepat dalam penanganan penyakit

yang mendasarinya.

Page 70: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Pada penelitian ini, dengan menggunakan desain kasus kontrol

tentang identifikasi faktor risiko pada kejang pertama terhadap penderita

KB yang dilaksanakan selama periode Januari sampai Juni 2013, telah

diperoleh 80 sampel yang dikelompokkan masing-masing 40 sampel

sesuai dengan kriteria inklusi kasus dan kontrol.

Frekuensi kejadian KB pada kelompok umur < 18 bln saat kejang

pertama (100%) lebih tinggi daripada frekuensi kejadian KB pada

kelompok umur ≥ 18 bln (34,5%). Ada perbedaan yang sangat bermakna

dengan nilai p=0,000 (p<0,01) antara kelompok KB dengan KTB.

Meskipun tampak umur anak < 18 bulan saat kejang pertama

hampir keseluruhannya mengalami kejang berulang, namun nilai crude

odds ratio (COR) = 2,905 dengan interval kepercayaan 95% (2,05 – 4,10)

yang berarti bahwa kejadian KB pada kelompok umur muda lebih tinggi

2,9 kali dibandingkan dengan yang lebih tua.

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Daoud AS,

dkk. (2004) yang memperoleh hasil tidak adanya perbedaan yang

bermakna risiko kejadian KB terhadap umur saat kejang pertama

(p=0,28). Perbedaan ini disebabkan karena desain penelitian yang kohort

prospektif.

Pada dua penelitian random besar, risiko usia saat kejang pertama

ditemukan memiliki risiko terhadap terjadinya KB pada anak (First Seizure

Trial Group, 1993). Ini dihubungkan dengan tingkat maturasi otak dengan

mielinisasi yang belum sempurna, mekanisme inhibisi yang kurang,

Page 71: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

permeabilitas dinding sel yang terganggu, dan adanya faktor lain yang

dapat mencetuskan timbulnya KB, seperti jarak antara kejang pertama

dengan kejang berulang dan pemberian terapi setelah kejang pertama.

Pada penelitian ini sampel penelitian tidak dianalisis faktor lain yang

mempengaruhi seperti anak umur < 18 bulan dengan suhu yang tinggi,

riwayat trauma kepala, dan lain-lain, faktor jarak kejang pertama dengan

kejang berulang, dan pemberian terapi setelah kejang pertama tidak

dieksklusi.

Frekuensi KB pada anak laki-laki 49% dan anak perempuan 51,5%

sedangkan pada KTB pada anak laki-laki 51% dan perempuan 48,5%.

Tidak ada perbedaan bermakna p=0,82 (p>0,05) dalam hal kejadian KB

dan KTB berdasarkan jenis kelamin. Hasil yang sama juga diperoleh

penelitian lain yang dilakukan oleh Daoud AS, dkk (2004) yang

memperoleh hasil yang tidak berbeda bermakna kejadian KB menurut

jenis kelamin (p=0,51). Hasil penelitian berbeda didapatkan dari India oleh

Das CP, dkk (2000) yang mengatakan bahwa kejadian kejang berulang

lebih tinggi pada anak laki-laki. Hal ini dikarenakan sampel penelitian yang

kami peroleh sedikit atau adanya faktor lain yang tidak diketahui, sehingga

menyebabkan anak perempuan juga memiliki risiko yang sama dengan

anak laki-laki, misalnya anak perempuan yang kejang pertama kali

dengan suhu yang tinggi sekali atau dengan riwayat trauma kepala berat.

Analisis statistik mengenai hubungan suhu saat kejang pertama

menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna p=0,793 (p>0,05) antara

Page 72: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

kelompok KB dengan demam saat kejang pertama 49,2% dan tidak

demam 52,6%, sedangkan kelompok KTB dengan demam saat kejang

pertama 50,8% dan 47,4% tidak demam. Hal ini berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Berg AT, dkk. yang mengatakan bahwa

kejadian KB lebih tinggi saat demam (48%) pada suhu 38,3°C yang

berulang 35% dan pada suhu 40°C sekitar 13%. Tsuboi dan

Lumbantobing menyatakan bahwa suhu yang dapat mencetuskan

serangan kejang adalah suhu sebelum terjadinya serangan kejang. Pada

penelitian ini, suhu demikian sangat sulit diperoleh sebab pada umumnya

orang tua membawa anaknya ke rumah sakit setelah anak mengalami

serangan kejang. Mereka mengetahui anaknya demam hanya melalui

rabaan saja. Oleh karena itu, nilai rata-rata tinggi suhu tubuh yang

diperoleh pada penelitian ini adalah suhu saat masuk rumah sakit, dengan

pemikiran bahwa itulah suhu yang maksimal dapat diperoleh segera

setelah terjadinya serangan kejang. Pengobatan dengan antipiretik atau

kompres sesaat sebelum dibawa ke rumah sakit juga mungkin

mempengaruhi suhu saat kejang pertama.

Frekuensi kejadian KB pada kelompok subyek yang mempunyai

riwayat kejang dalam keluarga sebesar 45% dan 53% tidak ada,

sedangkan pada kelompok KTB yang mempunyai riwayat kejang dalam

keluarga sebesar 55% dan 47% tidak ada. Tidak ada perbedaan

bermakna p=0,491 (p>0,05) antara kelompok KB dan KTB berdasarkan

riwayat kejang dalam keluarga. Hal ini berbeda dengan penelitian yang

Page 73: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

dilakukan oleh Daoud AS, dkk (2004) yang memperoleh hasil adanya

perbedaan yang bermakna kejadian KB dengan riwayat kejang dalam

keluarga (p=0,000). Hal ini dihubungkan dengan adanya keterkaitan

genetik pada anak dengan kejang berulang. Penelitian lain (Shinnar

dkk.,1996; Stroink dkk., 1998; Ramos Lizana dkk., 2000) menunjukkan

sedikit atau tidak adanya peningkatan risiko KB pada anak dengan riwayat

kejang dalam keluarga. Perbedaan ini mungkin disebabkan kurang

akuratnya informasi yang didapatkan saat memperoleh data akibat

ketidaktahuan keluarga akan riwayat kejang dalam keluarga.

Frekuensi kejadian KB pada kelompok subyek yang mempunyai

riwayat trauma kepala saat kejang pertama sebesar 44,5% dan 55,5%

tidak ada, sedangkan pada kelompok KTB yang mempunyai riwayat

trauma kepala saat kejang pertama sebesar 50,7% dan 49,3% tidak ada.

Tidak ada perbedaan yang bermakna p=0,723 (p>0,05) antara KB dan

KTB berdasarkan riwayat trauma kepala saat kejang pertama. Hal ini

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Frey (2003) yang

memperoleh hasil adanya perbedaan yang bermakna kejadian KB dengan

riwayat trauma kepala saat kejang pertama. Perbedaan ini disebabkan

berbedanya derajat trauma kepala. Semakin berat trauma kepala, risiko

terjadinya kejang berulang makin besar. Selain itu, adanya recall bias

pada pengambilan sampel karena perbedaan persepsi intensitas dan

waktu terjadinya trauma kepala.

Page 74: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Analisis statistik mengenai hubungan kadar Natrium saat kejang

pertama menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok

KB dengan kadar Natrium tidak normal 80% dan normal 48%, sedangkan

kelompok KTB dengan kadar Natrium tidak normal 20% dan normal 52%

dengan p=0,359 (p>0,05). Demikian juga pada kadar gula darah sewaktu

saat kejang pertama antara KB dan KTB menunjukkan tidak ada

perbedaan bermakna antara kelompok KB dengan kadar gula darah

sewaktu tidak normal 100% dan normal 49,4%, sedangkan pada KTB

dengan kadar gula darah sewaktu tidak normal 0% dan normal 50,6%

dengan p=1,00 (p>0,05). Hal ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Turnbull, dkk. (1990) dan Singh, dkk (1973) yang meneliti

sebanyak 70% dan 20% gangguan elektrolit dan metabolik Natrium dan

glukosa saat kejang pertama dalam memprediksi timbulnya kejang

berulang. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan waktu

pemeriksaan kadar elektrolit dan gula darah sewaktu dan terapi intravena

yang sudah didapatkan oleh pasien sebelum datang ke rumah sakit.

Faktor-faktor risiko pada kejang pertama dalam memprediksi

timbulnya kejang berulang berpengaruh pada pembentukan fokus

epileptogen (epileptogenesis) yang didefinisikan sebagai berkembangnya

suatu proses epilepsi yang dikarakteristik sebagai berulangnya kejang

setelah kejang pertama. Pencegahan terhadap pembentukan

epileptogenesis dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas seorang

anak untuk mengalami kejang berulang setelah kejang pertama.

Page 75: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Pemberian obat antiepileptik dapat dipertimbangkan untuk mencegah

proses pembentukan epileptogenesis.

Pada analisis bivariat, hanya ada satu variabel sebagai faktor risiko

yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian KB, yaitu umur

saat kejang pertama, maka tidak dilanjutkan ke analisis multivariat. Pada

penelitian ini sampel kontrol umur rentangan yang diambil adalah

penderita yang masuk rumah sakit umur 8,41 sampai 13,75 tahun. Hal ini

dilakukan untuk meniadakan bias seleksi yang akan terjadi jika kontrol

diambil karena tidak ada jaminan bahwa seorang anak tidak mengalami

KB setelah umur tersebut. Asumsinya bahwa anak umur lebih 8 tahun

secara umum maturasi serebral anak sudah optimal, sehingga

kemungkinan untuk mengalami KB seperti pada kelompok kasus

dianggap minimal. Hal ini memungkinkan terpenuhinya persyaratan

kriteria inklusi kontrol, yaitu penderita yang tidak mengalami KB, tetapi

pernah mengalami kejang satu kali.

Penelitian desain kasus kontrol ini, pengumpulan data riwayat

kejang dalam keluarga, dan riwayat trauma kepala dengan cara

anamnesis dan data sekunder. Penulis menyadari bahwa informasi yang

diberikan atau validasi data yang dikumpulkan dengan menggunakan

anamnesis dan data rekam medik sering menimbulkan bias informasi atau

recall bias. Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya recall bias, penulis

telah melakukan upaya, yaitu: 1. responden orang tua/pengasuh

penderita. 2. Perlangsungan kejang singkat/akut, tetapi bagi orang

Page 76: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

tua/pengasuh penderita kejang (responden), serangan kejang dapat

menimbulkan kepanikan dan kekhawatiran, sehingga penulis dapat

menggali informasi penelusuran anggota keluarga yang mungkin pernah

menderita kejang, penulis mendapat informasi yang terbuka dan kesan

tanpa rekayasa, sebab mereka beranggapan bahwa informasi yang

diberikan tersebut adalah dalam rangka penanganan yang terbaik untuk

anak-anak mereka. Kekurangan lain dari penelitian ini adalah kurangnya

informasi pengobatan yang telah diberikan kepada penderita, sehingga

mempengaruhi hasil penelitian. Kekuatan penelitian ini adalah desain

kasus kontrol yang dipakai karena lamanya mendapatkan pasien yang

mengalami kejang berulang maupun yang mengalami kejang satu kali

selama hidupnya.

Page 77: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

VII.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor risiko pada

kejang pertama dalam memprediksi timbulnya KB yang teridentifikasi

adalah umur kurang dari 18 bulan saat mengalami kejang pertama.

VII.2. Saran

VII. 2. 1. Saran penelitian

Penelitian lanjut KB dihubungkan dengan tipe kejang, interval

kejang pertama dan kedua, pemeriksaan EEG, pengaruh pengobatan

rumatan, dan aspek genetiknya.

VII. 2. 2. Saran pelayanan

Besarnya pengaruh faktor umur saat kejang pertama sebagai faktor

risiko timbulnya KB perlu dipertimbangkan pemberian pengobatan

antikejang rumatan pada anak usia < 18 bulan untuk pencegahan

kemungkinan serangan kejang berulang.

Page 78: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

DAFTAR PUSTAKA

Aicardi, J. 1992. Febrile Convulsions and Other Occasional Seizures. Dalam: Bax

M., Gilberg C., Ogier H., Eds. Disease of the Nervous System in Childhood ; 1st Ed. New York : Mc Keith Press, 958 – 81.

Aicardi, J. 1986. Febrile Convulsions. Dalam: Aicardi J., Ed. Epilepsy in children,

New York: Raven Press, 212 – 32. Anderson, R., J., Chung, H. M., Kluge, R., dkk. 1985. Hyponatremia: A

Prospective Analysis of Its Epidemiology and the Pathogenetic Role of Vasopressin. Ann Intern Med 102:164-168.

Arieff, A. I. Ayus, J. C., Fraser, C. L. 1992. Hyponatremia and Death or

Permanent Brain Damage in Healthy Children. BMJ 304:1218-1222. Auer, R. N. 1986. Progress Review: Hypoglycemic Brain Damage. Stroke

17:699-708. Auer, R. N., Sutherland, G. R., 2002. Hypoxic Brain Damage. Dalam: Graham, D.

I., Lantos, P. L., Eds. Greenfield’s Neuropathology; 7th Ed. London: Arnold, 33-280.

Baird, H. W. 1992. Penyakit Konvulsi. Dalam: Behrman R. E., Kliegman R. M.,

Jenson H. B., Ed. Nelson Ilmu Kesehatan Anak; Edisi ke 12. Jakarta: EGC, 335 – 51.

Barkovich, A. J., Ali, F. A. Rowley, H. A., dkk. 1998. Imaging Patterns of Neonatal

Hypoglycemia. AJNR Am J Neuroradiol 19:523-528. Berg, A. T. 2008. Risk of recurrence after a first unprovoked seizure Suplement -

Management of a first seizure. Epilepsia 49:13-18. Berg, A. T., Shinnar, S. 1991. The Risk of Seizure Recurrence Following a First

Unprovoked Seizure: A Meta Analysis. Neurology 41: 965. Berg, A.T., Shinnar, S., Hauser, W.A., Alemany, M., Shapiro, E.D., Crain, E.F.

1992. A Prospective Study of Recurrent Febrile Seizure. NIJM 327: 1122-7.

Brown, W. D., Snead, O. C. 1993. Seizures Disorders. Dalam: Johnson R.T.,

Griffin J. W., Eds. Current Therapy in Neurologic Disease ; 4th ed. Baltimore : BC Decker, 27 – 50.

Budiarto, G., dkk. 1998. Epilepsi. Volume 3. Surabaya : Perhimpunan

Penanggulangan Epilepsi Indonesia; Hal. 7-10;47.

Page 79: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Camfield, C. S., Camfield, P. R., Gordon, K., dkk. 1996. Does Number of Seizures Before Treatment Influence Ease of Control or Remission of Childhood Epilepsy? Not if the Number is 10 or Less. Neurology 46: 41.

Cockburn, F., Brown, J. K., Belton, N. R., dkk. 1973. Neonatal Convulsions

Associated with Primary Disturbance of Calcium, Phosphorus, and Magnesium Metabolism. Arch Dis Child 48:99-108.

Daoud, AS, Ajloni, S, El-Salem, K, Horani, K, Otoom, S, Daradkeh, T. 2004. Risk

of seizure recurrence after a first unprovoked seizure: a prospective study among Jordanian children. Seizure 13:99-103.

Das, CP, Sawhney, IM, Lal, V, Prabhakar, S. 2000. Risk of recurrence of

seizures following single unprovoked idiopathic seizure. Neurology India 48:357-360.

Department of Human Genetics Division of Medical Genetics. 2008. Seizure

Disorders,(Online),(http://genetics.emory.edu/pdf/Emory_Human_Genetics_Seizure_Disorders.pdf, diakses 10 Maret 2012).

Dunn, K., Butt, W. 1997. Extreme Sodium Derangement in a Paediatric Inpatient

Population. J Paediatr Child Health 33:26-30. Editorial. 1992. Excess Water Administration and Hyponatremic Convulsions in

Infancy. Lancet 339:153-155. Finberg, L. 1959. Pathogenesis of Lesions in the Nervous System in

Hypernatremic States. I. Clinical Observation of Infants. Pediatrics 23:40-45.

First Seizure Trial Group. 1993. Randomized clinical trial on the efficacy of

antiepileptic drugs in reducing the risk of relapse after a first unprovoked tonic-clonic seizure. First Seizure Trial Group (FIR.S.T. Group). Neurology 43(3 Pt 1):478-83.

Frey, L.C. 2003. Epidemiology of Posttraumatic Epilepsy: A Critical Review.

Epilepsia 44:11-17. Friedman, M. J., Sharieff, G. Q. 2006. Seizures in Children. Pediatr Clin N Am 53:

257– 277. Gregory, J. W., Aynsley-Green, A Hypoglycemia in the Infant and Child. Ba llière

Clin Endocrinol Metab 7:683-704. Haslan, R. H. 2000. The Nervous System. Dalam: Nelson W. E., Behrman R. E.,

Kliegman R. M., Jenson H. B., Eds. Nelson Text Book of Pediatrics; 16th Ed. Philadelphia : WB Saunders Co, 1813 – 26.

Page 80: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Haworth, J. C., Coodin, F. J. 1960. Idiopathic Spontaneous Hypoglycemia in Children: Report of Seven Cases and Review of the Literature. Pediatrics 25: 748-765.

Hogan, G. R., Dodge, P. R., Gill, S. R., dkk. 1969. Pathogenesis of Seizures

Occuring During Restoration of Plasma Tonicity to Normal in Animals Previously Chronically Hypernatremic. Pediatrics 43:54-64.

Hsu, S. C., Levine, M. A. 2004. Perinatal Calcium Metabolism: Physiology and

Pathophysiology. Semin Neonatol 9:23-36. Ismael, S., Soetomenggolo, T. S., Lazuardi, S., Pusponegoro, H. D. 1999.

Kelainan Paroksismal. Dalam: Soetomenggolo T. S., Ismael S., Ed. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP Idai, 204 – 73.

Johnston, M. V. 2007. Seizures in Childhood. Dalam Behrman R. E., Kliegman R.

M., Jenson H. B., Stanton B. F., Eds. Nelson Text Book of Pediatrics; 18th Ed. Philadelphia : WB Saunders Co, 461 – 69.

Kari, K., Nara, P. 1984. Epilepsi Anak, (Online), (http://www.portalkalbe.co.id/,

diakses 20 Februari 2009). Lumbantobing. 2007. Kejang demam (febrile convulsions). Balai Penerbit FKUI.

Jakarta, 1-21. Luttrell, C. N., Finberg, L. 1959. Hemorrhagic Encephalopathy Induced by

Hypernatremia. Arch Neurol Psychiatr 81:424-432. Lynch, B. J., Rust, R. S. 1994. Natural History and Outcome of Neonatal

Hypocalcemic and Hypomagnesemic Seizures. Pediatr Neurol 11:23-27. Mangos, J. A., Lobeck, C. C. 1964. Studies of Sustained Hyponatremia due to

Central Nervous System Infection. Pediatrics 34:503-510.

McAbee, G. N., Wark, J. E. 2000. A Practical Approach to Uncomplicated Seizures in Children. Am Fam Physician 62(5):1109– 16.

Menkes, J. H. 1995. Paroxysmal Disorders. Dalam: Menkes J.H., Ed. Textbook of

Child Neurology; 5th Ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 422-25. Muenter, M. D., Whisnant, J. P.1968. Basal Ganglia Calsification,

Hypoparathyroidism, and Extrapyramidal Motor Manifestations. Neurology 18:1075-1083.

Poerwadi, T. 1978. Kejang pada Anak dan Penatalaksanaannya. Makalah

disajikan pada Konas I Perdosi Makassar, 65 – 82. Raivio, K. O. 1968. Neonatal Hypoglycemia. Acta Paediatr Scand 57:540-546.

Page 81: IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN

Ridha, N. R. 2008. Identifikasi Faktor Risiko Terhadap Kejang Demam Berulang. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu Bidang Ilmu Kesehatan Anak Program Studi Biomedik Program Pascasarjana – UNHAS.

Schulz, R, Ebner, A. 2001. Prolonged Febrile Convulsions and Mesial Temporal

Lobe Epilepsy in an Identical Twin. J. Neurol 57 : 318 – 20. Shinnar, S., Berg, A. T., Mosche, S. L, dkk. 1996. The Risk of Seizure

Recurrence After a First Unprovoked Afebrile Seizure in Childhood: An Extended Follow-up. Pediatrics 98: 216.

Shneker, B. F., Fountain, N. B. 2003. Epilepsy. Dis Mon 49:426–78. Snodgrass, S. R. 2006. Neurologic Manifestations of Systemic Illness. Dalam:

Menkes, J. H., Sarnat, H. B., Maria, B. L. eds. Child Neurology; 7th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 1025-1095.

Tsang, R. C., Steichen, J. J., Chan, G. M. 1977. Neonatal Hypoglycemia

Mechanism of Occurrence and Management. Crit Care Med 5:56-61. Tsuboi T, Okada S. 1985. The genetics of epilepsy. Dalam: Sakai T, Tsuboi T,

penyunting. Genetic aspects of human behavious. Tokyo: Igaku-Shoin, 113-27.

Turnbull T.L, Vanden Hoek T.L, Howes D.S, Eisner R.F. 1990. Utility of

laboratory studies in the emergency department patient with a new-onset seizure. Ann Emerg Med 19:373–377.

Verity, C.M. 1998. Do Seizure Damage the Brain? The Epidemiological Evidence,

BMJ 18: 78-84. Vining, E. P. 1994. Pediatric Seizures. Emerg Med Clin North Am 12(4):973– 88. Wayne, E. A., Dean, H. J., Booth, F., dkk. 1990. Focal Neurologic Deficits

Associated with Hypoglycemia in Children with Diabetes. J Pediatr 117:575-577.