identifikasi ibu yang mengalami mioma uteri di poli …repository.poltekkes-kdi.ac.id/200/1/final...
TRANSCRIPT
IDENTIFIKASI IBU YANG MENGALAMI MIOMA UTERI DI POLI KIA RSU BAHTERAMAS PROVINSI
SULAWESI TENGGARA TAHUN 2015
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Pendidikan pada Program Studi Diploma III Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Kendari
Disusun Oleh:
IHWANA MUSATRI DEWI NIM : P00324013048
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
JURUSAN KEBIDANAN PROGRAM STUDI DIII
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas karunia dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah ini dengan
judul “Identifikasi Ibu yang Mengalami Mioma Uteri di Poli KIA RSU
Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015”.
Penulis menyadari bahwa semua ini dapat terlaksana karena dorongan
dan bimbingan dari berbagai pihak, secara langsung maupun tidak langsung
dalam memberikan bimbingan dan petunjuk sejak dari pelaksanaan kegiatan
awal sampai pada penyelesaian karya tulis ilmiah ini. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sitti Aisa, Am.Keb., S.Pd., M.Pd.,
selaku Pembimbing I dan Ibu Heyrani, S.Si.T., M.Kes., selaku Pembimbing II
yang telah meluangkan waktu dan pikiran dengan penuh kesabaran dan
tanggung jawab guna memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis
dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Pada kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada
yang terhormat:
1. Bapak Petrus, SKM., M.Kes., selaku Direktur Poltekkes Depkes Kendari.
2. Bapak Dr. Razak, M.Kes., selaku Direktur RSU Bahteramas Provinsi
Sulawesi Tenggara dan staf yang telah membantu dalam memberikan
informasi selama penelitian ini berlangsung.
3. Ibu Halijah, SKM., M.Kes., selaku Ketua Jurusan Kebidanan Poltekkes
Depkes Kendari.
v
4. Ibu Sultina Sarita, SKM., M.Kes., selaku Penguji I, Ibu Hj. Sitti Zaenab,
SKM., S.Si.T., M.Keb., selaku Penguji II, dan Ibu Yustiari, SST., M.Kes.,
selaku Penguji III.
5. Seluruh Dosen dan staf pengajar Poltekkes Depkes Kendari Jurusan
Kebidanan yang telah banyak membantu dan memberikan ilmu
pengetahuan maupun motivasi selama mengikuti pendidikan di Poltekkes
Depkes Kendari.
6. Teristimewa kepada ayahanda La Samudu, S.Pd., dan Ibunda Wa
Musdafir Mukmin, S.Pd., tersayang yang telah mengasuh, membesarkan
dengan cinta dan penuh kasih sayang, serta memberikan dorongan moril,
material dan spiritual, serta saudara-saudaraku, terima kasih atas
pengertiannya selama ini.
7. Sahabat hatiku: Bribda Hasrul Hariddin, yang telah banyak membantu dan
memberikan semangat selama penulis menempuh pendidikan.
8. “Curut” Sahabat kesayanganku: Isna, Juli, Erna, Ikha, Ika, Putri, Kiah,
Nunu, Ecing, Ria) dan Teman-teman Asrama Aliyah: Asriani, Inding,
Fatma dan Femi. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
9. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Poltekkes Depkes Kendari Jurusan
Kebidanan angkatan 2013.
Tiada yang dapat penulis berikan kecuali memohon kepada Allah
SWT, semoga segala bantuan dan andil yang telah diberikan oleh semua
pihak selama ini mendapat berkah dari Allah SWT. Akhir kata penulis
mengharapkan semoga karya tulis ilmiah ini dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan serta dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Kendari, Juli 2016
Penulis
vi
ABSTRAK
Identifikasi Ibu yang Mengalami Mioma Uteri di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015
Ihwana Musatri Dewi 1, Sitti Aisa 2, Heyrani 3
Latar Belakang: Mioma uteri sering ditemukan pada wanita usia reproduksi (20-35 tahun) sebesar 20-35%, dengan prevalensi lebih dari 70% pada pemeriksaan patologi anatomi uterus. RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara melalui studi dokumentasi tahun 2015, didapatkan sebanyak 10,36% dari seluruh kasus baru ginekologi di RSU Bahteramas merupakan mioma uteri, sebanyak 34 kasus. Tujuan Penelitian: untuk mengidentifikasi ibu yang mengalami mioma uteri di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015. Metode Penelitian: Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini telah dilakukan di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni – Juli 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang menderita mioma uteri di Poli KIA RSU Bahteramas tahun 2015 sebanyak 34 orang dengan jumlah sampel sebanyak 34 orang, yang ditentukan dengan cara total sampling. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu umur ibu, paritas, dan penggunaan alat kontrasepsi hormonal, sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kejadian mioma uteri. Hasil Penelitian: Menunjukkan bahwa mioma uteri terbanyak ditemukan pada kelompok usia > 35 tahun (91,20%), mioma uteri terbanyak ditemukan pada ibu dengan jumlah paritas ≥ III (50,0%); dan mioma uteri terbanyak ditemukan pada ibu yang menggunakan alat kontrasepsi suntik sebesar 44,1%. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kelompok usia > 35 tahun, paritas ≥ III, dan riwayat penggunaan alat kontrasepsi hormonal merupakan risiko kejadian mioma uteri.
Kata Kunci : Mioma Uteri Daftar Pustaka : 33 (2003-2015) 1. Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Kendari Jurusan Kebidanan 2. Dosen Pembimbing Poltekkes Kemenkes Kendari Jurusan Kebidanan 3. Dosen Pembimbing Poltekkes Kemenkes Kendari Jurusan Kebidanan
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................ vii
DAFTAR ISI .......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................ 5
D. Manfaat Penelitian .......................................................... 6
E. Keaslian Penelitian ......................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Mioma Uteri ...................................... 8
B. Tinjauan Tentang Faktor Risiko Terjadinya Mioma Uteri 21
C. Landasan Teori .............................................................. 27
D. Kerangka Konsep ......................................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .............................................................. 30
B. Tempat Penelitian ......................................................... 30
C. Waktu Penelitian ........................................................... 30
D. Populasi dan Sampel Penelitian ..................................... 30
E. Variabel Penelitian ........................................................ 31
viii
F. Definisi Operasional ...................................................... 31
G. Sumber Data ................................................................. 32
H. Pengolahan Data ........................................................... 32
I. Penyajian Data .............................................................. 33
J. Analisis Data ................................................................. 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .............................................................. 35
B. Pembahasan ................................................................. 41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................... 49
B. Saran ............................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Distribusi Jumlah Kejadian Mioma Uteri Menurut Umur di Poli
KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara .................... 40
2. Distribusi Jumlah Kejadian Mioma Uteri Menurut Paritas di Poli
KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara .................... 40
3. Distribusi Jumlah Kejadian Mioma Uteri Menurut Penggunaan
Kontrasepsi Hormonal di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi
Sulawesi Tenggara ..................................................................... 41
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Konsep Penelitian ............................................................. 29
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mioma uteri adalah tumor jinak daerah rahim atau lebih tepatnya
otot rahim dan jaringan ikat di sekitarnya. Tumor ini pertama kali
ditemukan oleh Virchow pada tahun 1854. Mioma belum pernah
ditemukan pada wanita yang belum mengalami menstruasi (menarche),
sedangkan setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih
tumbuh. Neoplasma jinak ini berasal dari otot uterus dan jaringan ikat
yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah
fibromioma, leiomioma, atapun fibroid (Wiknjosastro, 2009).
Mioma uteri ini menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan
terapi yang efektif belum didapatkan, karena sedikit sekali informasi
mengenai etiologi mioma uteri itu sendiri. Walaupun jarang menyebabkan
mortalitas, namun morbiditas yang ditimbulkan oleh mioma uteri ini cukup
tinggi karena mioma uteri dapat menyebabkan nyeri perut dan perdarahan
abnormal, serta diperkirakan dapat menyebabkan kesuburan rendah
(Bailliere, 2006). Jika terjadi perdarahan abnormal yang berlebihan dapat
menyebabkan anemia dan tidak menutup kemungkinan terjadi kematian
pada wanita (Price, 2006).
Berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO)
penyebab angka kematian ibu karena mioma uteri pada tahun 2010
1
sebanyak 22 (1,95%) kasus dan tahun 2011 sebanyak 21 (2,04%) kasus
(Lilyani, 2012).
Etnik Afrika-Amerika memiliki faktor risiko menderita mioma uteri
2,9 kali dibandingkan wanita etnik Kaukasia. Wanita dengan golongan
Afrika-Amerika dapat menderita mioma uteri dalam usia yang lebih muda
dan mempunyai mioma yang banyak dan lebih besar serta menunjukkan
gejala klinis (Peddada, 2008).
Mioma uteri sering ditemukan pada wanita usia reproduksi (20-35
tahun) sebesar 20-35%, dengan prevalensi lebih dari 70% pada
pemeriksaan patologi anatomi uterus (Pudiastuti, 2012). Di Indonesia
mioma uteri ditemukan 2,39%-11,70% pada semua penderita ginekologi
yang dirawat dan paling sering ditemukan pada wanita umur 35-45 tahun
(kurang lebih 25%) serta jarang terjadi pada wanita 20 tahun dan pasca
menopause (Wiknjosastro, 2009).
Angka kejadian mioma uteri tinggi pada pasien yang mempunyai
anak di usia yang sudah terlalu tua atau pada wanita yang mempunyai
sedikit anak atau menikah di usia yang muda. Tumor tumbuh dengan
lambat rentang usia 25-40 tahun. Mioma uteri ditemukan pada wanita
nullipara muda pada rentang usia 25-35 tahun. Kondisi serupa mengenai
lapisan uterus pada orang yang lebih tua atau wanita multipara. Data
statistik menunjukkan 60% mioma uteri terjadi pada wanita yang tidak
pernah hamil atau pada wanita yang hamil hanya satu kali (Benson,
2008).
2
Hormon estrogen dan progesteron dapat diperoleh melalui alat
kontrasepsi yang bersifat hormonal. Menurut Meyer de Snoo dalam teori
Cell nest atau teori genitoblast, menyatakan bahwa estrogen dapat
memicu pertumbuhan mioma uteri karena mioma uteri kaya akan reseptor
estrogen (Wiknjosastro, 2009). Bila pada uterus terdapat mioma, maka
pemberian kontrasepsi hormonal kombinasi maupun sekuensial akan
memicu pertumbuhan mioma, karena mioma banyak mengandung
reseptor estrogen dan progesteron. Pada pemberian kontrasepsi
hormonal dengan dosis estrogen dan progesteron yang rendah tidak
terjadi pembesaran mioma yang bermakna (Morton, 2006). Progesteron
merangsang pembentukan enzim sulfotransferase di endometrium
sehingga terjadi pembentukan estrogen dalam jumlah besar.
Di Indonesia pada tahun 2014, kasus mioma uteri di temukan
sebesar 2,39-11,7% pada semua pasien kebidanan yang di rawat. Mioma
3-9 kali lipat lebih sering pada wanita kulit hitam dibandingkan wanita kulit
putih. Data statistik menunjukkan 60% mioma uteri terjadi pada wanita
yang tidak pernah hamil atau hamil hanya satu kali (Depkes, RI, 2014).
Sebagian besar kasus mioma uteri ditemukan tanpa gejala,
sehingga kebanyakan penderita tidak menyadari adanya kelainan pada
rahimnya. Hanya 20-50% dari tumor ini yang menimbulkan gejala klinik,
terutama perdarahan menstruasi yang berlebihan, infertilitas, abortus
berulang, dan nyeri akibat penekanan massa tumor (Djuwantono, 2006).
Penatalaksanaan mioma uteri dengan gejala klinik pada umumnya
dan tersering adalah tindakan operatif yaitu histerektomi (pengangkatan
3
rahim) atau pada wanita yang ingin mempertahankan kesuburannya,
miomektomi (pengangkatan mioma) dapat menjadi pilihan (Winkjosastro,
2009).
Kejadian mioma uteri di Sulawesi Tenggara menurut data Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2013 berjumlah 406
kasus (18,4%) dari 2.206 kasus ginekologi. Sedangkan pada tahun 2014
meningkat menjadi 496 kasus (19,2%) dari 2.583 kasus ginekologi
(Dinkes Prov. Sultra, 2014).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan pada
tanggal 19 Januari 2016 di RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara
melalui studi dokumentasi tahun 2015, didapatkan sebanyak 10,36% dari
seluruh kasus baru ginekologi di RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi
Tenggara merupakan mioma uteri, sebanyak 34 kasus. Melalui hasil studi
dokumentasi yang dilakukan pada 4 pasien dengan mioma uteri
didapatkan bahwa 1 dari pasien tersebut menggunakan kontrasepsi suntik
progestin, 2 lainnya menggunakan kontrasepsi pil oral kombinasi selama 5
tahun dan 23 tahun, sedangkan 1 lainnya tidak menggunakan kontrasepsi.
Selain itu, sebanyak 4 pasien berumur lebih dari 35 tahun.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis telah melakukan
penelitian dengan judul: Identifikasi Ibu yang Mengalami Mioma Uteri di
Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015”.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah identifikasi ibu yang
mengalami mioma uteri di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi
Tenggara Tahun 2015”?.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengidentifikasi ibu yang mengalami mioma uteri di Poli KIA
RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengidentifikasi umur ibu yang mengalami mioma uteri di
Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun
2015.
b. Untuk mengidentifikasi paritas ibu yang mengalami mioma uteri di
Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun
2015.
c. Untuk mengidentifikasi riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal
ibu yang mengalami mioma uteri di Poli KIA RSU Bahteramas
Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai tambahan informasi
yang nantinya dapat dijadikan pertimbangan dan pengembangan
5
promosi kesehatan ibu dalam pembuatan kebijakan serta upaya
peningkatan kesehatan ibu hamil.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan
informasi pengetahuan khususnya mengenai mioma uteri pada
masyarakat, selain itu diharapkan masyarakat dapat meningkatkan
pengetahuannya sehubungan dengan kasus ginekologi, khususnya
kejadian mioma uteri.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan sarana untuk melatih diri dan berfikir
secara ilmiah khususnya masalah kejadian mioma uteri pada ibu.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang sudah dilakukan oleh
peneliti, hasil penelitian yang mirip dengan penelitian yang akan dilakukan
adalah:
1. Kurniasari, Tri (2010). Karakteristik Mioma Uteri di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta Periode Januari 2009-Januari 2010. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh wanita yang didiagnosa mioma uteri
sebanyak 114 orang. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa mioma
uteri terbanyak ditemukan pada kelompok usia 41 – 50 tahun sebesar
61,40% dan kelompok usia lebih dari 60 tahun merupakan kelompok
usia yang paling sedikit ditemukan yaitu sebesar 0,88% serta tidak
ditemukannya kasus mioma uteri di bawah 20 tahun. Selain itu,
6
berdasarkan jumlah paritas, kasus mioma uteri ditemukan terbanyak
pada nullipara sebesar 24,56%. Perbedaan dengan penelitian ini
adalah penggunaan variabel penelitian, dimana pada penelitian ini
menambahkan variabel penggunaan alat kontrasepsi hormonal.
2. Rahmi (2012). Gambaran Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Mioma
Uteri di Poliklinik Kebidanan RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Tahun 2012. Populasi adalah semua pasien yang menderita mioma
uteri dengan jumlah sampel sebanyak 64 orang. Hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa usia menarch lambat (>16 thn) mempunyai resiko
terjadinya mioma uteri yaitu sebanyak 28 responden dengan
persentase 43,8%. Paritas Multipara mempunyai resiko terjadinya
mioma uteri yaitu sebesar 38 responden dengan persentase 59,4%.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah penggunaan variabel
penelitian, dimana pada penelitian ini menambahkan variabel
penggunaan kontrasepsi hormonal.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Mioma Uteri
1. Pengertian
Mioma uteri adalah salah satu tumor jinak otot rahim, disertai
jaringan ikatnya. Mioma uteri berbatas tegas, tidak berkapsul, dan
berasal dari otot polos jaringan fibrous, sehingga mioma uteri dapat
berkonsistensi padat jika jaringan ikatnya dominan, dan berkonsistensi
lunak jika otot rahimnya yang dominan (DeCherney et al, 2009).
Miometrium adalah yang paling tebal dan merupakan otot polos
berlapis tiga; yang sebelah luar longitudinal, yang sebelah dalam
sirkuler, yang antara kedua lapisan ini beranyaman. Miometrium dalam
keseluruhannya dapat berkontraksi dan berelaksasi. Myoma uteri
merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan merupakan
tumor jinak ginekologi paling banyak diderita para wanita saat
mendekati masa menopause. Myoma uteri adalah tumor jinak pada
daerah rahim atau lebih tepatnya otot rahim dan jaringan ikat di
sekitarnya, yang dalam kepustakaan dikenal dengan istilah
fibromyoma, leiomyoma ataupun fibroid (Winkjosastro, 2009).
Mioma uteri biasa juga disebut fibroid, fibromyoma,
fibroleiomyoma, eiomyofibroma merupakan tumor yang dapat tumbuh
solid atau multiple (Guyton, 2012). Frekuensi kejadian mioma uteri
paling tinggi antara usia 35-50 tahun yaitu mendekati angka 40%,
8
jarang ditemukan pada usia di bawah 20 tahun. Sedangkan pada usia
menopause hampir tidak pernah ditemukan (Wiknjosastro, 2009).
2. Etiologi
Hal yang mendasari tentang penyebab mioma uteri belum
diketahui secara pasti, diduga merupakan penyakit multifaktorial.
Dipercayai bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang
dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal yang
berada di antara otot polos miometrium. Sel-sel mioma mempunyai
abnormalitas kromosom. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mioma, disamping faktor predisposisi genetik, adalah
beberapa hormone seperti estrogen, progesterone dan human growth
hormone (Thomason, 2008).
Dengan adanya stimulasi estrogen, menyebabkan terjadinya
proliferasi sel di uteri, sehingga menyebabkan perkembangan yang
berlebihan dari garis endometrium, sehingga terjadilah pertumbuhan
mioma. Meskipun belum ada penemuan yang mendasari bahwa
estrogen menyebabkan mioma, tetapi pertumbuhan mioma berkaitan
dengan estrogen. Mioma terdiri dari reseptor estrogen dalam jumlah
yang lebih banyak daripada otot rahim normal (DeCherney, 2009).
Mioma pada awalnya diperkirakan merupakan jaringan
uniseluler, dengan setiap selnya terdiri glukosa-6-phospate
dehydrogenase, yang bersifat elektrophoresis. Penelitian yang
dilakukan oleh Nilbert dan Heim, mendapatkan hasil bahwa terdapat
9
translokasi (mutasi genetik) khususnya kromosom 12 yang
berpengaruh pada pertumbuhan mioma (Thomason, 2008).
Pengaruh-pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan
perkembangan mioma, antara lain:
a. Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi
estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat
menopause dan pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak
ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita
dengan sterilitas. Selama fase sekretorik, siklus menstruasi dan
kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium normal
berkurang. Pada mioma reseptor estrogen dapat ditemukan
sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut
tertekan selama kehamilan.
b. Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma
sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron
merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan mioma dengan dua cara yaitu
mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan
jumlah reseptor estrogen pada mioma.
10
c. Hormon Pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi
hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa,
terlihat pada periode ini memberi kesan bahwa pertumbuhan yang
cepat dari mioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil dari
aksi sinergistik antara hormon pertumbuhan dan estrogen
(Mochtar, 2009).
3. Jenis dan Gambaran Klinis
Mioma uteri terbanyak tumbuh di fundus dan korpus uteri,
hanya 3% yang terdapat di serviks. Mioma tumbuh soliter, multipel
atau berdifusi. Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis
intramural, sebanyak 95% yang berlokasi di lapisan tengah
miometrium (Thomason, 2008).
Menurut tempatnya di uteri dan menurut arah pertumbuhannya,
maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain:
a. Mioma Submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga
uteri. Jenis ini sering memberikan keluhan gangguan perdarahan.
Mioma jenis lain meskipun besar mungkin belum memberikan
keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa, walaupun kecil
sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma
submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase,
dengan adanya benjolan waktu kuret. Mioma jenis ini dapat keluar
dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt
11
atau mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi,
ulserasi dan infark (Wiknjosastro, 2009).
b. Mioma Intramural
Terdapat di dinding uteri di antara serabut miometrium.
Karena pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak
dan terbentuk simpai yang mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding
rahim dijumpai banyak mioma, maka uteri akan mempunyai bentuk
yang berbenjol-benjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang
terletak pada dinding depan uteri, dalam pertumbuhannya akan
menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat
menimbulkan keluhan miksi (Wiknjosastro, 2009).
c. Mioma Subserosa
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uteri sehingga menonjol
pada permukaan uteri diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat
tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma
intraligamenter (Wiknjosastro, 2009).
d. Mioma Intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain,
misalnya ke ligamentum atau omentum kemudian membebaskan
diri dari uteri sehingga disebut wondering parasitis fibroid. Jarang
sekali ditemukan satu macam Mioma saja dalam satu uteri. Mioma
pada servik dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga
ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit (Wiknjosastro, 2009).
12
4. Gejala
Mioma uteri menimbulkan gejala hanya pada 35-50% kasus.
Sebagian besar penderita mioma uteri tidak menunjukkan adanya
gejala. Gejala mioma uteri tergantung pada lokasi, ukuran, jenis dan
adanya kehamilan (DeCherney, 2009).
a. Massa di perut bawah
Penderita mengeluhkan merasakan adanya massa atau
benjolan di perut bagian bawah.
b. Perdarahan abnormal
Menorrhagi adalah pola perdarahan uteri abnormal yang
paling umum karena mioma. Mioma submukosa bertangkai sering
menyebabkan gejala menorrhagi sebagai akibat ulserasi atau
nekrosis. Perdarahan oleh mioma dapat menyebabkan anemia
berat. Mioma intramural juga dapat menyebabkan perdarahan yang
lama dan disertai dengan peningkatan jumlah perdarahan
(hipermenorrhoe) oleh karena adanya gangguan kontraksi otot
uteri. Kavum uteri yang meluas karena pertumbuhan mioma
dengan sendirinya dapat menyebabkan perdarahan banyak,
terutama mioma subserosa yang disertai dengan masalah
perdarahan yang lebih sedikit daripada dua jenis lainnya
(Thomason, 2008).
c. Nyeri perut
Gejala nyeri tidak khas untuk mioma, walaupun sering terjadi.
Hal ini timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma
13
yang disertai dengan nekrosis setampat dan peradangan. Pada
pengeluaran mioma submukosa yang akan dilahirkan, pada
pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis cervikalis dapat
menyebabkan dismenorrhoe. Dapat juga rasa nyeri disebabkan
karena torsi pada mioma uteri bertangkai. Dalam hal ini sifatnya
akut, disertai dengan rasa enek dan muntah-muntah. Pada mioma
yang sangat besar, rasa nyeri dapat disebabkan karena tekanan
pada urat syaraf yaitu pleksus uterovaginalis, menjalar ke pinggang
dan tungkai bawah (Wiknjosastro, 2009).
d. Pressure Effects (tekanan)
Pembesaran mioma dapat menyebabkan adanya efek
tekanan pada organ-organ di sekitar uteri. Gejala ini merupakan
gejala yang tak biasa dan sulit untuk dihubungkan langsung
dengan mioma. Penekanan pada kandung kencing dapat
menyebabkan kerentanan kandung kencing, pollakisuria dan
dysuria. Bila uretra tertekan bisa menimbulkan retensiourinae. Bila
berlarut-larut dapat menyebabkan hydroureteronephrosis. Tekanan
pada rectum tidak begitu besar, kadang-kadang menyebabkan
konstipasi atau nyeri saat defekasi (DeCherney, 2009).
e. Infertilitas dan abortus
Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau
menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosa
dapat memudahkan terjadinya abortus karena distorsi rongga uteri.
Apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan dan mioma
14
merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu
indikasi untuk dilakukan miomektomi (Wiknjosastro, 2009).
5. Perubahan Sekunder
a. Atrofi
Tanda-tanda dan gejala berkurang dan menghilang karena
ukuran mioma uteri berkurang saat menopause atau setelah
kehamilan.
b. Degenerasi hialin
Perubahan ini sering terutama pada penderita usia lanjut
disebabkan karena kurangnya suplai darah. Jaringan fibrous
berubah menjadi hialin dan serabut otot menghilang. Mioma
kehilangan struktur aslinya dan menjadi homogen. Dapat meliputi
sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya seolah-olah
memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.
c. Degenerasi kistik
Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian
dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan
yang tidak teratur berisi agar-agar, dapat juga terjadi
pembengkakan yang luas dan bendungan limfe menyerupai
limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar
dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
d. Degenerasi membatu (Calsireus Degeneration)
Terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena
adanya gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan
15
garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan
memberikan bayangan pada foto rontgen.
e. Degenerasi Merah (Carneus Degeneration)
Perubahan ini terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis:
diperkirakan karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan
vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti
daging mentah berwarna merah disebabkan pigmen hemosiderin
dan hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi
pada kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit demam,
kesakitan, tumor pada uteri membesar dan nyeri pada perabaan.
Penampilan klinik ini seperti pada putaran tangkai tumor ovarium
atau mioma bertangkai.
f. Degenerasi lemak
Jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin. Pada
Mioma yang sudah lama dapat terbentuk generasi lemak. Di
permukaan irisannya berwarna kuning homogen dan serabut
ototnya berisi titik lemak dan dapat ditunjukkan dengan pengecatan
khusus untuk lemak (DeCherney, 2009).
6. Diagnosis
a. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis
mioma lainnya, faktor risiko serta kemungkinan komplikasi yang
terjadi.
16
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan status lokalis dengan palpasi abdomen. Mioma
uteri dapat diduga dengan pemeriksaan luar sebagai tumor yang
keras, bentuk yang tidak teratur, gerakan bebas, tidak sakit.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Akibat yang terjadi pada mioma uteri adalah anemia akibat
perdarahan uteri yang berlebihan dan kekurangan zat besi.
Pemeriksaaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah Darah
Lengkap (DL) terutama untuk mencari kadar Hemoglobin.
Pemeriksaaan laboratorium lain disesuaikan dengan keluhan
pasien.
2) Imaging, pemeriksaan radiologi yang menggunakan magnet
3) Pemeriksaaan dengan USG (Ultrasonografi) transabdominal
dan transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma
uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada
uteri yang kecil. Uteri atau massa yang paling besar baik
diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri
secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang
mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesaran
uteri.
4) Histerosalfingografi digunakan untuk mendeteksi mioma uteri
yang tumbuh ke arah kavum uteri pada pasien infertil.
5) Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri
17
submukosa, jika mioma kecil serta bertangkai. Mioma tersebut
sekaligus dapat diangkat.
6) MRI (Magnetic Resonance Imaging) sangat akurat dalam
menggambarkan jumlah, ukuran, dan lokasi mioma tetapi
jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa
gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium
normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat
dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma (DeCherney, 2009).
7. Penatalaksanaan
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah.
Penanganan mioma uteri tergantung pada umur, status fertilitas,
paritas, lokasi dan ukuran tumor, sehingga biasanya Mioma yang
ditangani yaitu yang membesar secara cepat dan bergejala serta
mioma yang diduga menyebabkan fertilitas. Penanganan mioma uteri
terbagi atas:
a. Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak
memerlukan pengobatan, tetapi harus diawasi perkembangan
tumornya. Jika mioma lebih besar dari kehamilan 10-12 minggu,
tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu
diambil tindakan operasi.
b. Medikamentosa
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan
pertumbuhan mioma uteri secara menetap belum tersedia pada
18
saat ini. Terapi medikamentosa masih merupakan terapi tambahan
atau terapi pengganti sementara dari operatif. Preparat yang selalu
digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog GnRHa
(Gonadotropin Realising Hormon Agonist), Progesteron, danazol,
gestrinon, tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain
seperti gossypol dan amantadine (Swine, 2009).
c. Operatif
Pengobatan operatif meliputi miomektomi, histerektomi dan
embolisasi arteri uteri.
1) Miomektomi, adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa
pengangkatan uteri. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya
pada mioma submukosa pada mioma geburt dengan cara
ekstirpasi lewat vagina.
2) Histerektomi, adalah pengangkatan uteri, yang umumnya
tindakan terpilih. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan
alasan mencegah akan timbulnya karsinoma servisis uteri.
3) Embolisasi arteri uteri (Uterin Artery Embolization /UAE), adalah
injeksi arteri uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui
kateter yang nantinya akan menghambat aliran darah ke mioma
dan menyebabkan nekrosis. Nyeri setelah UAE lebih ringan
daripada setelah pembedahan mioma dan pada UAE tidak
dilakukan insisi serta waktu penyembuhannya yang cepat
(Swine, 2009).
19
d. Radiasi dengan radioterapi
Radioterapi dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang
terjadi pada beberapa kasus.
8. Komplikasi
a. Degenerasi ganas
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya
0,32-0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari
semua sarkoma uteri. Keganasan umumnya baru ditemukan pada
pemeriksaan histologi uteri yang telah diangkat.
b. Torsi (putaran tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul
gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan
demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi
perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi.
c. Nekrosis dan infeksi
Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang
diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya
(Wiknjosastro, 2009).
B. Tinjauan Tentang Faktor Risiko Terjadinya Mioma Uteri
1. Umur
Wanita kebanyakan didiagnosa dengan mioma uteri dalam usia
40-an; tetapi belum diketahui pasti apakah mioma uteri yang terjadi
adalah disebabkan peningkatan formasi atau peningkatan pembesaran
20
secara sekunder terhadap perubahan hormon pada waktu usia begini.
Faktor lain yang bisa mengganggu insidensi sebenar kasus mioma
uteri adalah kerana dokter merekomendasi dan pasien menerima
rekomendasi tersebut untuk menjalani histerektomi hanya setelah
mereka sudah melepasi usia melahirkan anak (Parker, 2007).
Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur
25 tahun mempunyai sarang mioma. Mioma belum pernah dilaporkan
terjadi sebelum menarke dan setelah menopause hanya 10% mioma
yang masih bertumbuh (Winkjosastro, 2009)
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50
tahun yaitu mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia
dibawah 20 tahun. Sedangkan pada usia menopause hampir tidak
pernah ditemukan (Wiknjosastro, 2009). Pada usia sebelum menarche
kadar estrogen rendah, dan meningkat pada usia reproduksi, serta
akan turun pada usia menopause (Ganong, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Jung di Pusan St. Benedict
Hospital dan di Mokpo Korea serta diperkuat oleh pendapat Ran Ok
yang menyatakan bahwa kasus mioma uteri terbanyak terjadi pada
kelompok usia 40-49 tahun. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan
dan perkembangan mioma uteri dipengaruhi oleh stimulasi hormon
estrogen yang disekresikan oleh ovarium. Pada umumnya mioma uteri
jarang timbul sebelum menarche dan sesudah menopause, tumbuh
dengan lambat serta sering dideteksi secara klinis pada kehidupan
dekade keempat. Pada usia reproduksi sekresi hormon estrogen oleh
21
ovarium meningkat, berkurang pada usia klimakterium, dan pada usia
menopause hormon estrogen tidak disekresikan lagi oleh ovarium
(Ganong, 2008).
2. Riwayat Keluarga (Genetik)
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan
penderita mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk
menderita mioma dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan
penderita mioma uteri. Penderita mioma yang mempunyai riwayat
keluarga penderita mioma uteri mempunyai 2 kali lipat kekuatan
ekspresi dari VEGF-α (a myoma-related growth factor) dibandingkan
dengan penderita mioma yang tidak mempunyai riwayat keluarga
penderita mioma uteri (Parker, 2007).
3. Obesitas
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini
mungkin berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi
esterogen oleh enzim aromatease di jaringan lemak. Hasilnya terjadi
peningkatan jumlah esterogen tubuh, dimana hal ini dapat
menerangkan hubungannya dengan peningkatan prevalensi dan
pertumbuhan mioma uteri (Parker, 2007).
Satu studi prospektif dijalankan dan dijumpai kemungkinan
risiko menderita mioma uteri adalah setinggi 21% untuk setiap
kenaikan 10 kg berat badan dan dengan peningkatan indeks massa
tubuh. Temuan yang sama juga turut dilaporkan untuk wanita dengan
30% kelebihan lemak tubuh. Ini terjadi kerana obesitas menyebabkan
22
pemingkatan konversi androgen adrenal kepada estrone dan
menurunkan hormon sex-binding globulin. Hasilnya menyebabkan
peningkatan estrogen secara biologikal yang bisa menerangkan
mengapa terjadi peningkatan prevalensi mioma uteri dan
pertumbuhannya (Parker, 2007).
Beberapa penelitian menemukan hubungan antara obesitas dan
peningkatan insiden mioma uteri. Suatu studi di Harvard yang
dilakukan oleh Dr. Lynn Marshall menemukan bahwa wanita yang
mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas normal,
berkemungkinan 30,23% lebih sering menderita mioma uteri. Ros dkk,
mendapatkan resiko mioma uteri meningkat hingga 21% untuk setiap
10 Kg kenaikan berat badan dan hal ini sejalan dengan kenaikan IMT
(Djuwantono, 2006).
4. Paritas
Mioma uteri lebih sering terjadi pada wanita nullipara atau
wanita yang hanya mempunyai satu anak (Swine, 2009). Pada wanita
nullipara, kejadian mioma lebih sering ditemui salah satunya diduga
karena sekresi estrogen wanita hamil sifatnya sangat berbeda dari
sekresi oleh ovarium pada wanita yang tidak hamil. Hampir semuanya
adalah estriol, suatu estrogen yang relatif lemah daripada estradiol
yang disekresikan ovarium. Hal ini berbeda dengan wanita yangtidak
pernah hamil dan melahirkan, estrogen yang ada di tubuhnya adalah
murni estrogen yang dihasilkan oleh ovarium yang semuanya
digunakan untuk proliferasi jaringan uteri (Guyton, 2012).
23
Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya
untuk terjadinya perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang
tidak pernah hamil atau satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60%
mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau
hanya hamil satu kali (Schorge et al., 2008).
Peningkatan paritas menurunkan insidensi terjadinya mioma
uteri. Mioma uteri menunjukkan karakteristik yang sama dengan
miometrium yang normal ketika kehamilan termasuk peningkatan
produksi extracellular matrix dan peningkatan ekspresi reseptor untuk
peptida dan hormon steroid. Miometrium postpartum kembali kepada
berat asal, aliran darah dan saiz asal melalui proses apoptosis dan
diferensiasi. Proses remodeling ini berkemungkinan bertanggung
jawab dalam penurunan saiz mioma uteri. Teori yang lain pula
mengatakan pembuluh darah di uterus kembali kepada keadaan atau
saiz asal pada postpartum dan ini menyebabkan mioma uteri
kekurangan suplai darah dan kurangnya nutrisi untuk terus membesar.
Didapati juga kehamilan ketika usia midreproductive (25-29 tahun)
memberikan perlindungan terhadap pembesaran mioma (Parker,
2007).
5. Penggunaan Kontrasepsi Hormonal
Sebagai salah satu pencetus mioma uteri, hormon estrogen dan
progesteron dapat diperoleh melalui alat kontrasepsi yang bersifat
hormonal. Menurut Meyer de Snoo dalam teori Cell nest atau teori
genitoblast, menyatakan bahwa estrogen dapat memicu pertumbuhan
24
mioma uteri karena mioma uteri kaya akan reseptor estrogen
(Winkjosastro, 2009). Bila pada uterus terdapat mioma, maka
pemberian kontrasepsi hormonal kombinasi maupun sekuensial akan
memicu pertumbuhan mioma, karena mioma banyak mengandung
reseptor estrogen dan progesteron. Pada pemberian kontrasepsi
hormonal dengan dosis estrogen dan progesteron yang rendah tidak
terjadi pembesaran mioma yang bermakna (Baziad, 2006). Pada
kontrasepsi hormonal dengan progestin (progesteron saja) studi klinis
menunjukkan progesteron memfasilitasi pertumbuhan fibroid.
Misalnya, ukuran fibroid meningkat selama pengobatan dengan
progesteron sintetis (Morton, 2006). Progesteron merangsang
pembentukan enzim sulfotransferase di endometrium sehingga terjadi
pembentukan estrogen dalam jumlah besar (Baziad, 2006).
Biokimia fibroid memiliki konsentrasi reseptor progesteron lebih
tinggi dari miometrium normal. Keadaan otot miometrium yang semula
normal akan mengalami pertumbuhan sel dengan adanya hormon
progesteron dan reseptornya. Progesteron dan reseptornya memicu
pertumbuhan tumor. Progesteron sendiri tidak dapat menekan
reseptornya sehingga ketika kadar progesteron dalam tubuh
meningkat akibat pemberian progesteron sintesis, maka jumlah
reseptor progesteron tidak akan mengalami penurunan. Pada terapi
fibroid dengan progesteron sintetis, secara parenteral diberikan
medroksi-progesteron asetat 150 mg setiap 3 bulan sampai 150 mg
setiap bulan (Morton, 2006). Dosis ini sama dengan dosis yang
25
diberikan pada saat injeksi kontrasepsi hormonal dengan progestin
yang diberikan setiap 3 bulan, dibandingkan dengan jenis pil yang
memiliki dosis 300 μg levonorgestrel pada kemasan 35 pil atau 350 μg
noretindron dan 75 μg desogestrel pada kemasan 28 pil. Demikian
pula dengan implan yang hanya mengandung 68 mg levonorgestrel
dengan masa kerja hormon 3–5 tahun. Hal ini berkaitan dengan
temuan bahwa penggunaan Hormon Replacement Therapy (HRT)
pada wanita postmenopause juga terbukti meningkatkan pertumbuhan
fibroid secara signifikan ketika dosis medroxiprogesterone asetat yang
lebih tinggi (5 mg/hari) digunakan, dibandingkan dengan dosis yang
lebih rendah (2,5 mg/hari) (Palomba, 2006).
Kontrasepsi hormonal kombinasi hanya digunakan oleh 3 orang
wanita dengan mioma uteri. Menurut Saifuddin (2006) kontrasepsi
kombinasi yang beredar saat ini hanya mengandung 30 μg Etinil
Estradiol dan 150 μg levonorgestrel/ desogestrel. Kandungan estrogen
dan progesteron yang terdapat dalam kemasan tersebut sangat sedikit
dan tidak memungkinkan sel untuk berkembang menjadi mioma uteri.
Namun mioma uteri masih terjadi pada akseptor kombinasi.
6. Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian
yang pernah dilakukan ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama
kehamilan. Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena
tingginya kadar esterogen dalam kehamilan dan bertambahnya
vaskularisasi ke uteri (Bromer, 2008). Kehamilan dapat juga
26
mengurangi resiko mioma karena pada kehamilan hormon progesteron
lebih dominan.
C. Landasan Teori
Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos, yang terdiri dari sel-sel
jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen (Memarzadeh
dalam Hadibroto, 2005). Penyebab kejadian mioma uteri belum diketahui
secara pasti, diduga merupakan penyakit multifaktorial. Faktor penduga
pertumbuhan mioma uteri antara lain umur, paritas, faktor ras dan genetik,
usia menarche, obesitas, serta penggunaan alat kontrasepsi hormonal
(Djuwantono, 2006).
Angka kejadian mioma uteri tinggi pada pasien yang mempunyai
anak di usia yang sudah terlalu tua atau pada wanita yang mempunyai
sedikit anak atau menikah di usia yang muda. Tumor tumbuh dengan
lambat rentang usia 25-40 tahun. Mioma uteri ditemukan pada wanita
nulipara muda pada rentang usia 25-35 tahun. Data statistik menunjukkan
60% mioma uteri terjadi pada wanita yang tidak pernah hamil atau pada
wanita yang hamil hanya satu kali.
Hormon estrogen dan progesteron dapat diperoleh melalui alat
kontrasepsi hormonal. Menurut Meyer bahwa estrogen dapat memicu
pertumbuhan mioma uteri karena mioma uteri kaya akan reseptor
estrogen (Winkjosastro, 2009). Bila pada uterus terdapat mioma, maka
pemberian kontrasepsi hormonal kombinasi maupun sekuensial akan
memicu pertumbuhan mioma, karena mioma banyak mengandung
27
reseptor estrogen dan progesteron. Pada pemberian kontrasepsi
hormonal dengan dosis estrogen dan progesteron yang rendah tidak
terjadi pembesaran miom yang bermakna. Pada kontrasepsi hormonal
dengan progestin, studi klinis menunjukkan progesteron memfasilitasi
pertumbuhan fibroid. Misalnya, ukuran fibroid meningkat selama
pengobatan dengan progesteron sintetis (Morton, 2006). Progesteron
merangsang pembentukan enzim sulfotransferase di endometrium
sehingga terjadi pembentukan estrogen dalam jumlah besar.
28
D. Kerangka Konsep
Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
: Garis penghubung variabel yang diteliti
: Variabel independen yang diteliti
: Variabel dependen yang diteliti
Umur
Ibu yang mengalami Mioma Uteri
Paritas
Riwayat Penggunaan Kontrasepsi Hormonal
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk mengidentifikasi
ibu yang mengalami mioma uteri di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi
Sulawesi Tenggara Tahun 2015.
B. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi
Sulawesi Tenggara.
C. Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 30 Juni – 24 Juli
2016.
D. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah seluruh ibu yang mengalami mioma uteri di Poli
KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2015
sebanyak 34 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil dari objek
yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo,
2010). Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang mengalami mioma
30
uteri di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara tahun
2015 sebanyak 34 orang. Jumlah sampel dalam penelitian ini
ditentukan dengan cara total sampling, dimana seluruh ibu yang
mengalami mioma uteri di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi
Tenggara tahun 2015 ditetapkan sebagai sampel penelitian.
E. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu:
1. Variabel independent atau variabel bebas dalam penelitian ini yaitu
umur ibu, paritas, dan riwayat penggunaan alat kontrasepsi hormonal.
2. Variabel dependent atau variabel terikat dalam penelitian ini yaitu ibu
yang mengalami mioma uteri.
F. Definisi Operasional
1. Ibu yang mengalami Mioma uteri
Ibu yang mengalami mioma uteri adalah seorang wanita yang
didiagnosa oleh dokter menderita tumor jinak otot polos, yang terdiri
dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen.
2. Umur
Umur adalah usia responden saat penelitian dilakukan, dengan
kategori:
a. < 20 tahun
b. 20 – 35 tahun
c. > 35 tahun (Wiknjosastro, 2009).
31
3. Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan responden,
baik lahir hidup maupun mati, dengan kategori:
a. Paritas 0
b. Paritas I
c. Paritas II
d. Paritas ≥ III (Pudiastuti, 2012).
4. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi hormonal
Riwayat penggunaan alat kontrasepsi hormonal adalah
penggunaan alat atau obat kontrasepsi yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya kehamilan, dimana bahan bakunya mengandung
preparat progestin, estrogen atau progesteron, dengan kategori:
a. Pil
b. Suntik
c. Implant (Saefuddin AB, 2006).
G. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder bersumber dari laporan-laporan yang telah didokumentasikan
melalui buku registrasi ibu di Poli KIA dan gambaran umum lokasi
penelitian.
H. Pengolahan Data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk
memperoleh data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data
32
mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan
informasi yang diperlukan. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
1. Pengeditan (editing)
Proses editing dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengecek kelengkapan data dari buku register di Poli KIA.
2. Pemasukan data (entry)
Entry data adalah proses memasukkan data-data dalam tabel
berdasarkan variabel penelitian.
3. Tabulasi (tabulating)
Tabulating dilakukan dengan memasukkan data ke dalam tabel
yang tersedia kemudian melakukan pengukuran masing-masing
variabel (Sugiyono, 2008).
I. Penyajian Data
Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi berdasarkan variabel yang diteliti disertai dengan narasi
secukupnya.
J. Analisis Data
Analisa data dilakukan secara manual dengan menggunakan
kalkulator, kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabel frekuensi
disertai penjelasan-penjelasan. Sedangkan dalam pengolahan data maka
digunakan rumus:
%100N
fP
33
Keterangan:
f : Frekuensi yang sedang dicari persentasenya
N : Number Of Cases (jumlah frekuensi atau banyaknya individu)
P : Angka persentase (Sugiyono, 2008).
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Keadaan Geografis
Sejak bulan Oktober 2012, Rumah Sakit Umum Bahteramas
Provinsi Sulawesi Tenggara (RSU Bahteramas Prov. Sultra) telah
menempati lokasi baru di jalan P. Tandean Kecamatan Baruga
Kota Kendari. Lokasi ini sangat strategis karena mudah dijangkau
dengan kendaraan. Adapun batas-batas RSU Bahteramas Sultra
secara administratif sebagai berikut:
1) Sebelah Utara : Kelurahan Wandudopi
2) Sebelah Timur : Kelurahan Lepo-Lepo
3) Sebelah Selatan : Kelurahan Baruga
4) Sebelah Barat : Kelurahan Watubangga.
b. Sarana dan Prasarana
RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara berdiri di atas
tanah dengan luas mencapai 170.000 m2. Sarana dan prasarana
yang berupa bangunan fisik seluas 54.127 m2 sedangkan
selebihnya belum terealisasi atau belum selesai dibangun. Namun
semua bangunan yang telah dioperasikan memiliki tingkat aktivitas
yang sangat tinggi.
35
Sebagian sarana fisik termasuk sarana pelayanan pasien
telah direhabilitasi namun masih ada beberapa sarana fisik lain
yang memerlukan rehabilitasi dan renovasi. Sarana kesehatan
terdiri dari pelayanan rawat jalan, rawat inap, instalasi, dan
pelayanan penunjang medik. Pelayanan rawat jalan terdiri: poliklinik
penyakit `dalam, poliklinik kesehatan anak, poliklinik bedah,
poliklinik THT, poliklinik mata, poliklinik kulit dan kelamin, poliklinik
kesehatan gigi dan mulut, poliklinik neurologi, poliklinik kebidanan
dan penyakit kandungan, poliklinik jantung dan kardiovaskuler dan
poliklinik gizi.
Sedangkan pelayanan rawat inap terdiri dari: ruang
perawatan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, THT, mata,
kulit dan kelamin, gigi dan mulut, neurologi, penyakit kandungan,
perawatan intensif, prenatologi. Sedangkan instalasi terdiri dari
instalasi gawat darurat dan instalasi rehabilitasi medic. Pelayanan
penunjang antara lain terdiri dari: patologi klinik, patologi anatomi,
radiologi, farmasi, dan pelayanan lain seperti binatu, ambulance
serta pengatur jenazah.
c. Visi da Misi Rumah Sakit
Visi RSU Bahteramas Provinsi Sultra yaitu “Pembangunan
kesehatan di Sultra mengacu pada visi yang telah ditetapkan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi Sultra yaitu “terwujudnya masyarakat
Sulawesi Tenggara yang sehat 2010”. Untuk mewujudkan visi
36
tersebut, maka misi yang diemban oleh RSU Bahteramas Provinsi
Sultra adalah:
1) Memberikan pelayanan kesehatan prima berlandaskan etika
profesi
2) Menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penelitian tenaga
kesehatan
3) Meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Motto RSU Bahteramas Provinsi Sultra adalah “Melayani
dengan hati dan senyum” dan Filosofi RSU Bahterama Provinsi
Sultra adalah “Melayani dengan baik merupakan ibadah”.
d. Tugas Pokok dan Fungsi Rumah Sakit
Tugas pokok dan fungsi RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi
Tenggara mengacu pada Perda Nomor 3 tahun 1999 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja RSU Bahteramas Provinsi
Sulawesi Tenggara yakni “Melaksanakan upaya kesehatan secara
berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan yang
dilaksanakan secara serasi dan terpadu melalui upaya
peningkatan, pencegahan dan pelaksanakan upaya rujukan”.
Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana tersebut di
atas, RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai
fungsi yaitu menyelenggarakan pelayanan medik,
menyelenggarakan pelayanan penunjang medik,
menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan,
37
menyelenggarakan pelayanan rujukan, menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan kesehatan, menyelenggarakan administrasi umum
dan keuangan.
e. Organisasi dan Manajemen
Pimpinan RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara
disebut Direktur dan menduduki jabatan struktural eselon II B.
Direktur dibantu oleh tiga orang wakil direktur yaitu wakil direktur
umum dan keuangan, wakil direktur pendidikan dan pelatihan serta
wakil direktur pelayanan, masing menduduki jabatan struktural
eselon III A. Wakil direktur umum dan keuangan membawahi tiga
bagian yakni bagian umum, bagian keuangan dan bagian
perencanaan dan rekam medis. Kepala bidang dan kepala bagian
masing menduduki jabatan struktural eselon III B. Wakil direktur
pendidikan dan pelayanan membawahi bidang pendidikan dan
pelatihan. Sedangkan wakil direktur pelayanan membawahi dua
bidang yakni bidang pelayanan medik dan bidang keperawatan.
Masing-masing kepala bidang dan kepala bagian membawahi
seksi atau sub bagian yaitu kepala bidang pelayanan medik
membawahi seksi pelayanan medik, pelayanan penunjang medik
serta seksi diklat dan penelitian pengembangan kesehatan. Kepala
bidang keperawatan membawahi seksi pelayanan keperawatan
dan seksi etika dan mutu keperawatan. Sedangkan kepala bagian
membawahi sub bagian masing-masing yaitu kepala bagian umum
38
membawahi sub bagian tata usaha, sub bagian kepegawaian dan
sub bagian perlengkapan dan rumah tangga. Kepala bagian
keuangan membawahi sub bagian mobilisasi dana, sub bagian
verifikasi dan akuntansi dan sub bagian perbendaharaan, serta
kepala bagian perencanaan dan rekam medis membawahi sub
bagian penyusunan program dan laporan, sub bagian rekam medis
dan sub bagian pemasaran dan hukum. Kepala seksi dan kepala
sub bagian masing-masin menduduki jabatan struktural eselon IV
B.
Selain jabatan struktural, di RSU Bahteramas Provinsi
Sulawesi Tenggara juga terdapat jabatan fungsional yakni kepala-
kepala instalasi yang dibawahi langsung oleh kepala instalasi.
Sedangkan komite medis yang merupakan perwakilan dan
kelompok staf medis fungsional dibawahi langsung oleh direktur.
Pengangkatan kepala instalasi adalah wewenang direktur,
sedangkan pengangkatan komite medis adalah wewenang direktur
atas usulan direktur.
f. Tenaga Kesehatan
Tenaga Kesehatan di RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi
Tenggara hingga 31 April 2015 berjumlah 771 orang Pegawai
Negeri Sipil (PNS), terdiri atas tenaga medis sebanyak 71 orang,
paramedis perawatan sebanyak 358 orang, paramedis non
perawatan sebanyak 212 orang dan non medis sebanyak 121
orang. Sedangkan tenaga kontrak sebanyak 74 orang.
39
2. Variabel Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil
sebagai berikut:
a. Kejadian Mioma Uteri Menurut Umur Responden
Tabel 1. Distribusi Jumlah Kejadian Mioma Uteri Menurut Umur di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara
No. Umur (Tahun) Frekuensi (n) Persentase (%)
1 < 20 0 0
2 20 – 35 3 8,8
3 > 35 31 91,2
Total 34 100,0
Sumber: Data Primer, 2016.
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 34 responden yang
menderita mioma uteri, sebagian besar responden berumur > 35
tahun, yakni sebanyak 31 orang (91,2%), dan umur 20 – 35 tahun
sebanyak 3 orang (8,8%).
b. Kejadian Mioma Uteri Menurut Paritas Responden
Tabel 2. Distribusi Jumlah Kejadian Mioma Uteri Menurut Paritas di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara
No. Paritas Frekuensi (n) Persentase (%)
1 0 2 5,9
2 I 5 14,7
3 II 10 29,4
4 ≥ III 17 50,0
Total 34 100,0
Sumber: Data Primer, 2016.
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 34 responden yang
menderita mioma uteri, sebagian besar responden memiliki paritas
≥ III, yakni sebanyak 17 orang (50,0%), dan paritas terkecil yang
40
menderita mioma uteri adalah paritas 0, yakni sebanyak 2 orang
(5,9%).
c. Kejadian Mioma Uteri Menurut Riwayat Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Tabel 3. Distribusi Jumlah Kejadian Mioma Uteri Menurut Riwayat
Penggunaan Kontrasepsi Hormonal di Poli KIA RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara
No. Kontrasepsi Hormonal Frekuensi (n) Persentase (%)
1 Pil 12 35,3
2 Suntik 15 44,1
3 Implant 7 20,6
Total 34 100,0
Sumber: Data Primer, 2016.
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 34 responden yang
menderita mioma uteri, sebagian besar responden menggunakan
alat kontrasepsi suntik, yakni sebanyak 15 orang (44,1%), dan
sebagian kecil yang menderita mioma uteri menggunakan alat
kontrasepsi implant, yakni sebanyak 7 orang (20,6%).
B. Pembahasan
Berdasarkan status rekam medik pasien di Poli KIA bagian
Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi
Tenggara tahun 2015 didapatkan 34 sampel yang merupakan penderita
mioma uteri berdasarkan hasil pemeriksaan Histopatologi bagian Patologi
Anatomi RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara.
1. Ibu yang Mengalami Mioma Uteri Menurut Umur
Jumlah kasus terbanyak terdapat pada kelompok usia > 35 tahun
yaitu sebesar 91,2%, diikuti kelompok usia 20 – 35 tahun sebesar
41
8,8%, dan tidak ditemukan kasus mioma uteri pada usia kurang dari 20
tahun. Hal ini berarti bahwa kasus mioma uteri muncul pada usia > 35
tahun (Benson, 2008).
Kejadian mioma uteri berhubungan dengan usia manarche,
dimana pasien dengan usia menarche yang cepat lebih sedikit
mengalami mioma uteri, sedangkan pasien dengan usia menarch
lambat lebih cenderung dan banyak mengalami mioma uteri.
Menstruasi merupakan perdaraan bulanan yang berasal dari pelapis
rahim melalui vagina pada wanita yang seksual dewasa dan tidak
hamil. Dalam kondisi normal, menstruasi tidak menyebabkan
gangguan yang cukup berarti. Terlambat haid atau menstruasi yang
tidak teratur juga patut diwaspadai karena itu berarti telah terjadi
abnormalitas pada siklus menstruasi. Penelitian yang dilakukan oleh
Rahmi (2012) menunjukkan bahwa usia manarch lambat (> 16 tahun)
mempunyai risiko terjadinya mioma uteri sebesar 43,8%.
Hasil ini sesuai dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh
Ran Ok et al., (2007) yang menyatakan bahwa kasus mioma uteri
terbanyak terjadi pada kelompok usia lebih dari 40 tahun. Hal ini
disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan mioma uteri
dipengaruhi oleh stimulasi hormon estrogen yang disekresikan oleh
ovarium. Pada umumnya mioma uteri jarang timbul sebelum menarche
dan sesudah menopause, tumbuh dengan lambat serta sering
dideteksi secara klinis pada kehidupan dekade keempat (Marquard,
2008). Pada usia reproduksi sekresi hormon estrogen oleh ovarium
42
meningkat, berkurang pada usia klimakterium, dan pada usia
menopause hormon estrogen tidak disekresikan lagi oleh ovarium
(Ganong, 2008).
Wiknjosastro (2009) menyatakan bahwa frekuensi kejadian
mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun yang mendekati
angka 40%, jarang ditemukan pada usia di bawah 20 tahun. Hal ini
disebabkan karena pada usia sebelum menarche kadar estrogen
rendah, dan meningkat pada usia reproduksi serta akan turun pada
usia menopause. Senada dengan pernyataan di atas, Marquard (2008)
menyatakan bahwa pertumbuhan mioma uteri disebabkan oleh
stimulasi hormon estrogen. Hormon estrogen disekresi oleh ovarium
mulai saat pubertas berangsur-angsur meningkat dan akan mengalami
penurunan bahkan tidak berproduksi lagi setelah usia menopause.
Wanita kebanyakan didiagnosa dengan mioma uteri dalam usia
40-an; tetapi belum diketahui pasti apakah mioma uteri yang terjadi
adalah disebabkan peningkatan formasi atau peningkatan pembesaran
secara sekunder terhadap perubahan hormon pada waktu usia begini.
Faktor lain yang bisa mengganggu insidensi sebenar kasus mioma
uteri adalah kerana dokter merekomendasi dan pasien menerima
rekomendasi tersebut untuk menjalani histerektomi hanya setelah
mereka sudah melepasi usia melahirkan anak (Parker, 2007).
2. Ibu yang Mengalami Mioma Uteri Menurut Paritas
Kejadian mioma uteri juga dipengaruhi oleh jumlah paritas. Pada
penelitian ini jumlah kasus mioma uteri terbanyak terdapat pada
43
wanita dengan kelompok paritas ≥ III yaitu sebesar 50,0%. Jumlah
kasus pada kelompok paritas II ditemukan sebesar 29,4% dan jumlah
kasus mioma uteri pada wanita dengan paritas 0 dan I masing-masing
sekitar 5,9% dan 14,7%. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa
mioma uteri lebih banyak terjadi pada pasien dengan paritas multipara
dibandingkan dengan paritas primipara dan nullipara.
Hasil penelitian sesuai dengan teori Hafiz et al (2003) yang
menyatakan mioma uteri banyak terjadi pada wanita dengan multipara
dibandingkan dengan wanita yang mempunyai riwayat frekuensi
melahirkan satu kali, mioma uteri terjadi 74% pasien dengan paritas
multipara, dengan kata lain sebagian besar mioma uteri terjadi pada
paritas multipara.
Menurut asumsi peneliti semakin banyak paritas multipara yang
melahirkan anak dengan jarak kehamilan kurang dari 2 tahun semakin
memicu pesatnya pertumbuhan mioma uteri dimana terjadinya
peningkatan hormone estrogen yang tidak stabil karena adanya proses
penyembuhan/involusi uterus yang belum sempurna.
Penelitian tersebut bertolak belakang dengan pendapat
Wiknjosastro (2009) bahwa mioma uteri lebih sering ditemukan pada
wanita nullipara atau wanita yang kurang subur, hal ini berkaitan juga
dengan keadaan hormonal.
Menurut Parker (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan
jumlah paritas akan menurunkan risiko terjadinya mioma uteri. Mioma
uteri memiliki karakteristik yang serupa dengan miometrium normal
44
selama kehamilan, termasuk peningkatan produksi matriks
ekstraseluler dan peningkatan ekspresi reseptor hormon steroid dan
peptida. Miometrium selama post partum kembali pada keadaan
normal baik dalam ukuran dan aliran darah melalui proses apoptosis
dan dediferensiasi. Proses remodeling ini berperan dalam involusi
mioma yang responsibel. Teori lain menyatakan bahwa suplai aliran
darah ke mioma akan berkurang selama involusi uterus akibat nutrisi
yang ikut berkurang.
Beberapa penelitian menemukan hubungan saling berbalik
antara paritas dan munculnya mioma uteri. Hal ini disebabkan
besarnya jumlah reseptor estrogen yang berkurang di lapisan
miometrium setelah kehamilan. Tidak adanya hubungan antara paritas
dengan kejadian mioma uteri kemungkinan karena adanya faktor lain
seperti: asupan gizi yang dikonsumsi, alat kontrasepsi yang dipakai
serta pola hidup.
Mioma uteri lebih sering terjadi pada wanita nullipara atau wanita
yang hanya mempunyai satu anak (Swine, 2009). Pada wanita
nullipara, kejadian mioma uteri lebih sering ditemui salah satunya
diduga karena sekresi estrogen wanita hamil sifatnya sangat berbeda
dari sekresi oleh ovarium pada wanita yang tidak hamil yaitu hampir
seluruhnya estriol, suatu estrogen yang relatif lemah daripada estradiol
yang disekresikan ovarium. Hal ini berbeda dengan wanita yang tidak
pernah hamil atau melahirkan, estrogen yang ada di tubuhnya adalah
45
murni estrogen yang dihasilkan oleh ovarium semuanya digunakan
untuk proliferasi jaringan uterus (Guyton, 2006).
Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya
untuk terjadinya perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang
tidak pernah hamil atau satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60%
mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau
hanya hamil satu kali (Schorge et al., 2008).
Menurut Saefuddin (2006), bahwa ukuran mioma yang sangat
besar dapat menganggu kehamilan karena mioma mengambil terlalu
banyak ruang sehingga bisa menekan atau mendesak kehamilan dan
menyebabkan abortus terutama mioma submukosa karena juga dapat
menyebabkan distorsi rongga uterus, apalagi mioma yang sampai
menutupi atau menekan pars interstitialis tuba bisa menyebabkan
infertilitas atau penurunan kesuburan.
3. Ibu yang Mengalami Mioma Uteri Menurut Riwayat Penggunaan Kontrasepsi Hormonal
Jumlah kasus mioma uteri lebih banyak diderita oleh responden
yang menggunakan alat kontrasepsi suntik, yakni sebanyak 15 orang
(44,1%), responden yang menggunakan alat kontrasepsi pil sebanyak
12 orang (35,3%), dan sebagian kecil yang menderita mioma uteri
menggunakan alat kontrasepsi implant, yakni sebanyak 7 orang
(20,6%). Hasil penelitan ini mengungkapkan bahwa lebih banyak
wanita dengan mioma uteri menggunakan kontrasepsi jenis progestin
46
daripada kombinasi. Hal ini menunjang hasil studi klinis yang
menunjukkan progesteron memfasilitasi pertumbuhan fibroid.
Sebagai salah satu pencetus mioma uteri, hormon estrogen dan
progesteron dapat diperoleh melalui alat kontrasepsi yang bersifat
hormonal. Menurut Meyer de Snoo dalam teori Cell nest atau teori
genitoblast, menyatakan bahwa estrogen dapat memicu pertumbuhan
mioma uteri karena mioma uteri kaya akan reseptor estrogen
(Winkjosastro, 2009). Bila pada uterus terdapat mioma, maka
pemberian kontrasepsi hormonal kombinasi maupun sekuensial akan
memicu pertumbuhan mioma, karena mioma banyak mengandung
reseptor estrogen dan progesteron. Pada pemberian kontrasepsi
hormonal dengan dosis estrogen dan progesteron yang rendah tidak
terjadi pembesaran mioma yang bermakna (Baziad, 2006). Pada
kontrasepsi hormonal dengan progestin (progesteron saja) studi klinis
menunjukkan progesteron memfasilitasi pertumbuhan fibroid.
Misalnya, ukuran fibroid meningkat selama pengobatan dengan
progesteron sintetis (Morton, 2006). Progesteron merangsang
pembentukan enzim sulfotransferase di endometrium sehingga terjadi
pembentukan estrogen dalam jumlah besar (Baziad, 2006).
Biokimia fibroid memiliki konsentrasi reseptor progesteron lebih
tinggi dari miometrium normal. Keadaan otot miometrium yang semula
normal akan mengalami pertumbuhan sel dengan adanya hormon
progesteron dan reseptornya. Progesteron dan reseptornya memicu
pertumbuhan tumor. Progesteron sendiri tidak dapat menekan
47
reseptornya sehingga ketika kadar progesteron dalam tubuh
meningkat akibat pemberian progesteron sintesis, maka jumlah
reseptor progesteron tidak akan mengalami penurunan. Pada terapi
fibroid dengan progesteron sintetis, secara parenteral diberikan
medroksi-progesteron asetat 150 mg setiap 3 bulan sampai 150 mg
setiap bulan (Morton, 2006). Dosis ini sama dengan dosis yang
diberikan pada saat injeksi kontrasepsi hormonal dengan progestin
yang diberikan setiap 3 bulan, dibandingkan dengan jenis pil yang
memiliki dosis 300 μg levonorgestrel pada kemasan 35 pil atau 350 μg
noretindron dan 75 μg desogestrel pada kemasan 28 pil. Demikian
pula dengan implan yang hanya mengandung 68 mg levonorgestrel
dengan masa kerja hormon 3–5 tahun. Hal ini berkaitan dengan
temuan bahwa penggunaan Hormone Replacement Therapy (HRT)
pada wanita postmenopause juga terbukti meningkatkan pertumbuhan
fibroid secara signifikan ketika dosis medroxiprogesterone asetat yang
lebih tinggi (5 mg/hari) digunakan, dibandingkan dengan dosis yang
lebih rendah (2,5 mg/hari) (Palomba, 2006).
Kontrasepsi hormonal kombinasi hanya digunakan oleh 3 orang
wanita dengan mioma uteri. Menurut Saifuddin (2006) kontrasepsi
kombinasi yang beredar saat ini hanya mengandung 30 μg Etinil
Estradiol dan 150 μg levonorgestrel/ desogestrel. Kandungan estrogen
dan progesteron yang terdapat dalam kemasan tersebut sangat sedikit
dan tidak memungkinkan sel untuk berkembang menjadi mioma uteri.
Namun mioma uteri masih terjadi pada akseptor kombinasi.
48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
dikemukakan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Mioma uteri terbanyak ditemukan pada kelompok usia > 35 tahun
(91,20%) dan kelompok usia 20-35 tahun yang paling sedikit
ditemukan serta tidak ditemukannya kasus mioma uteri di bawah 20
tahun.
2. Mioma uteri terbanyak ditemukan pada ibu dengan jumlah paritas ≥ III
(50,0%).
3. Mioma uteri terbanyak ditemukan pada ibu yang menggunakan alat
kontrasepsi suntik (44,1%).
B. Saran
1. Wanita yang mempunyai faktor-faktor resiko untuk terjadinya mioma
uteri terutama wanita berusia lebih dari 35 tahun, agar waspada dan
selalu memeriksakan diri kepada tenaga ahli secara teratur.
2. Pada wanita dengan primipara agar lebih waspada dan memeriksakan
diri lebih teratur kepada tenaga ahli kebidanan dan penyakit
kandungan, untuk tindakan preventif dan diagnosis dini terjadinya
mioma uteri.
49
3. Kepada para wanita yang telah mulai haid (menarche) untuk
memeriksakan alat reproduksinya apabila ada keluhan-keluhan
haid/menstruasi untuk dapat menegakkan diagnosis dini adanya
mioma uteri.
4. Deteksi adanya mioma uteri hendaknya dilakukan sedini mungkin
untuk menghindari morbiditas dan komplikasi lebih lanjut seperti
perdarahan dan anemia/penurunan kadar hemoglobin.
5. Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian yang serupa
dengan penelitian ini agar menambah jumlah variabel penelitian
sehingga mendapatkan hasil yang maksimal.
50
DAFTAR PUSTAKA
Bailliere. 2006. The Epidemiology of Uterin Leiomyomas. 12: 169-176. Baziad, Ali. 2006. Kontrasepsi Hormonal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Benson, R. 2008. Buku Saku Obsteteri dan Ginekologi. Edisi 9. Cetakan I.
Jakarta: Penerbit EGC. BLUD RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara, 2015. Rekapitulasi
Laporan Rumah Sakit Tahun 2015. Kendari: BLUD RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara.
Bromer, Jason G; Arici, A. 2008. Impact of Uterine Myomas of IVF Outcome.
Illinois: Companies. DeCherney, A.H. & Natham, L. 2009. Current Obstetric & Gynecologic:
Diagnosis & Treatment. Boston: The Mc Graw-Hill Companies Inc. Departemen Kesehatan RI. 2014. Asuhan Persalinan Normal (Buku Acuan).
Jakarta : Departemen Kesehatan. Dinkes Prov. Sultra, 2014. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengara.
Kendari: Dinkes Prov. Sultra. Djuwantono, T. 2006. Terapi GnRH Agonis Sebelum Histerektomi atau
Miomektomi. Jakarta: Farmacia. Ganong, William. F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 22. Jakarta:
EGC. Guyton, et al. 2012. Obstetri Williams. Jakarta: EGC. Hadibroto, Budi, 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. 38.
No. 3: 255-260. Hafiz et al., 2003. Fibroids as a Causative Factor in Menirrhagia and its
Management. Journal Fibroid. 44: 355-349. Kurniasari, Tri., 2010. Karakteristik Mioma Uteri di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta Periode Januari 2009-Januari 2010. Skripsi. Surakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret.
Lilyani, Devy, 2012. Hubungan Faktor Risiko dan Kejadian Mioma Uteri di RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah. Vol. 1. No. 1. Tahun 2012.
Marquard, 2008. Myom Uterus. Journal Gynecology. Vol 2. No. 35. Mochtar, R. 2009. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC. Morton, Cynthia C. 2006. Theories of fibroid formation. Boston: Brigham and
Women’s Hospital-Center for Uterine Fibroid. Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Palomba S, Sena T,. 2006. Effect of Different Doses of Progestin on Uterine
Leimyomas in Postmeno-pausal Women. Europe Journal Obstet Gynecol Reprod Biol 102 : 199-201
Parker, W.H. 2007. Etiology, Symptomatology and Diagnosis of Uterine
Myomas. California : Departement of Obstetrics and and Gynecology UCLA School of Medicine.
Peddada, 2008. Growth of Uterine Leiomyamata Among Premonopausal
Black and White Women. 105: 19887-92. Poltekkes Kendari, 2014/2015. Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah.
Kendari: Jurusan Kebidanan Poltekkes Kendari. Pudiastuti, RD., 2012. Asuhan Kebidanan pada Hamil Normal dan Patologi.
Yogyakarta: Nuha Medika. Price, S & Wilson, 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar Penyakit. Jakarta:
EGC. Rahmi, 2012. Gambaran Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Mioma Uteri di
Poliklinik Kebidanan RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Banda Aceh: DIII Kebidanan STIKES U’Budiyah.
Ran Ok et al., 2007. Mioma Uteri: Kumpulan Askeb-Askeb.
http://www.detikhealth.com/html. Diakses Tanggal 18 Juli 2016. Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Schorge et al., 2008. Williams Gyneology. New York: McGraw Hill Medical. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian. Bandung: CV. Alfa Beta.
Swine, Smith. 2009. Uterine Fibroids. Diakses pada Situs http://www.emedicinehealth.com/uterine_fibroids/article_em.htm#Fibroids%20Overview. Tanggal 15 Juni 2016.
Thomason, Philip. 2008. Leiomyoma, Uterus (Fibroid). Diakes pada Situs
http//emedicine.medscape.com/article/405676-overview. Tanggal 15 Juni 2016.
Winkjosastro, H. 2009. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
Lampiran 1. Master Tabel Penelitian
IDENTIFIKASI IBU YANG MENGALAMI MIOMA UTERI DI POLI KIA RSU BAHTERAMAS PROVINSI SULAWESI TENGGARA
No Nama Umur (Th)
Kriteria Umur Paritas Penggunaan Alat
Kontrasepsi Hormonal
<20 20-35 >35 0 I II ≥ III Pil Implan Suntik
1 Ny. Sy 42 √ √ √
2 Ny. Tr 38 √ √ √
3 Ny. Ml 43 √ √ √
4 Ny. Pn 40 √ √ √
5 Ny. Lu 25 √ √ √
6 Ny. Sr 36 √ √ √
7 Ny. Lp 39 √ √ √
8 Ny. Nd 41 √ √ √
9 Ny. Kr 38 √ √ √
10 Ny. Y 40 √ √ √
11 Ny. Mt 37 √ √ √
12 Ny. Si 39 √ √ √
13 Ny. Js 36 √ √ √
14 Ny. Bd 41 √ √ √
15 Ny. Wo 45 √ √ √
16 Ny. Ab 37 √ √ √
17 Ny. Mh 40 √ √ √
18 Ny. Sn 35 √ √ √
19 Ny. Sh 38 √ √ √
20 Ny. Aj 42 √ √ √
21 Ny. Dn 40 √ √ √
22 Ny. Tb 39 √ √ √
23 Ny. Eh 41 √ √ √
24 Ny. Id 36 √ √ √
25 Ny. Sh 39 √ √ √
26 Ny. Mi 37 √ √ √
27 Ny. W 42 √ √ √
28 Ny. M 40 √ √ √
29 Ny. Kt 38 √ √ √
30 Ny. Sh 28 √ √ √
31 Ny. Mh 41 √ √ √
32 Ny. Me 37 √ √ √
33 Ny. Nr 39 √ √ √
34 Ny. Mn 42 √ √ √
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Penulis
1. Nama : Ihwana Musatri Dewi
2. Tempat Tangal Lahir : Wakorumba, 29 Oktober 1995
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Suku/Bangsa : Muna
6. Alamat : Jl. A.H. Nasution Kel. Anduonohu
Kota Kendari
B. Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri 1 Wakorsel, Tamat Tahun 2007
2. SMP Negeri 1 Wakorsel, Tahun Tamat 2010
3. SMA Negeri 1 Lohia, Tamat Tahun 2013
4. Terdaftar sebagai Mahasiswa Poltekkes Kendari Jurusan Kebidanan
Tahun 2013 sampai sekarang.