identifikasi single nucleotide polymorphism (snp) …digilib.unila.ac.id/57739/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM (SNP) PADA GEN APICAL MEMBRANE ANTIGEN-1 (AMA-1) Plasmodium falciparum DI WILAYAH PUSKESMAS KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG
Skripsi
Oleh
SRI JANAHTUL HAYATI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2019
IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM (SNP) PADA GEN APICAL MEMBRANE ANTIGEN-1 (AMA-1) Plasmodium falciparum DI WILAYAH PUSKESMAS KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG
Oleh
Sri Janahtul Hayati
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Lulus Sarjana Kedokteran
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2019
ABSTRACT
IDENTIFICATION OF SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM (SNP)
OF THE Plasmodium falciparum APICAL MEMBRANE ANTIGEN-1 (AMA-1) GENE AT PRIMARY HEALTH CARE OF PESAWARAN
REGION, LAMPUNG
By
Sri Janahtul Hayati Background: Malaria is an infectious disease in humans caused by protozoa of the genus plasmodium. The most common type of plasmodium which causes malaria is Plasmodium falciparum. The high number of malaria cases that occur can be caused by many factors, one of the factor is the Single Nucleotide Polymorphism (SNP) that presents in plasmodium. This kind of genetic diversity needs to be verified to found the right vaccine to eradicate malaria. Method: This research used a survey research design with descriptive method. Sample obtained from 18 stored Archived Biological Materials (ABM). The examination was carried out by using the PCR method and sequencing to identify the SNP in the AMA-1 gene. Result: There were 18 samples that had been carried out by PCR and sequencing. The result shows there are 6 SNP’s in some positions of AMA-1 gene. Conclusion: There are single nucleotide polymorphisms (SNP) in Plasmodium falciparum Apical Membrane Antigen-1 (AMA-1) gene at the primary health care of Pesawaran Region, Lampung. Keyword: Malaria, Plasmodium falciparum, Apical Membrane Antigen-1 (AMA-1), Single Nucleotide Polymorphism (SNP), Polymerase Chain Reaction (PCR)
ABSTRAK
IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM (SNP) PADA GEN APICAL MEMBRANE ANTIGEN-1 (AMA-1) Plasmodium falciparum DI WILAYAH PUSKESMAS KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG
Oleh
Sri Janahtul Hayati Latar Belakang: Malaria adalah suatu penyakit infeksi pada manusia yang disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium. Jenis plasmodium yang paling sering menyebabkan malaria adalah Plasmodium falciparum. Tingginya kasus malaria yang terjadi dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah Single Nucleotide Polymorphism (SNP) yang ada pada plasmodium. Keragaman genetik berupa SNP ini perlu diidentifikasi untuk dapat mengetahui vaksin yang tepat dalam membasmi malaria. Metode: Jenis penelitian ini menggunakan rancangan penelitian survey dan bersifat deskriptif. Sampel penelitian diperoleh dari Bahan Biologi tersimpan (BBT) sebanyak 18 sampel. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode PCR dan sekuensing untuk melihat adanya SNP pada gen AMA-1. Hasil: Terdapat 18 sampel yang telah dilakukan PCR, dan 2 sampel dilanjutkan dengan metode sekuensing. Dari hasil sekuensing didapatkan 6 buah SNP dibeberapa posisi pada gen AMA-1 Kesimpulan: Ditemukan Single Nucleotide Polymorphism pada gen Apical Membrane Antigen-1 (AMA-1) Plasmodium falciparum di wilayah puskesmas Kabupaten Pesawaran Lampung. Kata Kunci: Malaria, Plasmodium falciparum, Apical Membrane Antigen-1 (AMA-1), Single Nucleotide Polymorphism (SNP), Polymerase Chain Reaction (PCR)
Judul Skripsi : IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE
POLYMORPHISM (SNP) PADA GEN APICAL MEMBRANE ANTIGEN-1 (AMA-1) Plasmodium falciparum DI WILAYAH PUSKESMAS KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG
Nama Mahasiswa : Sri Janahtul Hayati No. Pokok Mahasiswa : 1518011146 Program Studi : Pendidikan Dokter Fakultas : Kedokteran
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Dr.dr. Betta Kurniawan, S.Ked.,M.Kes NIP 197810092005011001
Dr.dr. Jhons Fatriyadi S, S.Ked.,M.Kes NIP 197608312003121003
1. Dekan Fakultas Kedokteran
Dr. Dyah Wulan Sumekar RW, SKM., M.Kes NIP 19720628199702200
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr.dr. Betta Kurniawan, S.Ked.,M.Kes.
Sekretaris : Dr.dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S.Ked.,M.Kes.
Penguji : dr. Syazili Mustofa, S.Ked.,M.Biomed.
2. Dekan Fakultas Kedokteran
Dr. Dyah Wulan Sumekar RW, SKM., M.Kes NIP 19720628199702200
Tanggal Lulus Ujian Skripsi: 13 Mei 2019
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya, bahwa: 1. Skripsi dengan judul “IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE
POLYMORPHISM (SNP) PADA GEN APICAL MEMBRANE ANTIGEN-
1 (AMA-1) Plasmodium falciparum DI WILAYAH PUSKESMAS
KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG” adalah hasil karya sendiri dan
tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan
cara tidak sesuai tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik
atau yang disebut plagiarism.
2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada
Universitas Lampung.
Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya
ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan
kepada saya.
Bandar Lampung, 10 April 2019
Pembuat pernyataan
Sri Janahtul Hayati
NPM 1518011146
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balikpapan, Kalimantan Timur pada 3 Juni 1997, sebagai anak
pertama dari dua bersaudara, dari Bapak Sobri Atmaja dan Ibu Siti Feranika.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Pembina pada
tahun 2003, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 100/II Muara Bungo
pada tahun 2010, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Muara
Bungo diselesaikan pada tahun 2012, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA
Negeri 2 Muara Bungo diselesaikan pada tahun 2015.
Pada tahun 2015, penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung (FK Unila). Pada masa perkuliahan penulis mengikuti
lembaga kemahasiswaan yaitu PMPATD Pakis Rescue Team dan Forum Studi
Islam Ibnu Sina (FSIIS) Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, serta
menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Taman Bogo, Kabupaten
Lampung Timur pada tahun 2018.
PERSEMBAHAN
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
(Q.S Al-Insyirah: 5-6)
Dengan mengucap syukur kupersembahkan karya sederhana ini untuk
“Orangtua dan Adikku yang tercinta”
Atas doa, kasih sayang, dukungan dan motivasi yang tiada henti
SANWACANA
Puji dan syukur Penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Skripsi dengan judul “Identifikasi Single Nucleootide Polymorphism (SNP) Pada
Gen Apical Membrane Antigen-1 (AMA-1) Plasmodium falciparum di Wilayah
Puskesmas Kabupaten Pesawaran Lampung ” adalah salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Dr. Dyah Wulan Sumekar RW, SKM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
3. Dr. dr. Betta Kurniawan, S.Ked., M.Kes., selaku Pembimbing Utama yang
telah membimbing, mengarahkan, memberi saran dan nasihat dengan penuh
kesabaran selama proses penyelesaian skripsi ini.
4. Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S.Ked., M.Kes., selaku Pembimbing Kedua
yang telah membimbing, mengarahkan, memberi saran dan nasihat dengan
penuh kesabaran selama proses penyelesaian skripsi ini.
5. dr. Syazili Mustofa, S.Ked., M.Biomed., selaku Penguji Utama untuk saran dan
nasihat yang telah diberikan dalam proses penyelesaian skripsi ini.
6. Terima kasih kepada relawan yang telah bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini dengan memberikan darahnya untuk dijadikan sebagai sampel
dalam penelitian ini.
7. Terima kasih kepada para laboran Laboratorium Biomolekular dan Fisiologi
FK Unila, Ibu Nuriyah dan Mbak Yani, atas ilmu, bantuan, bimbingan dan
kesabaran yang telah diberikan kepada kami dalam proses penelitian skripsi
ini.
8. Seluruh staf dosen dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung atas ilmu dan waktu yang telah diberikan dalam membantu
mendukung proses perkuliahan
9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda (Pelda CPM. Sobri
Atmaja) dan Ibunda (Siti Feranika), serta Adikku (Muhammad Nasrullah)
yang selama ini yang telah memberikan dukungan, motivasi, semangat, kasih
sayang dan doa yang tak putus dipanjatkan untukku. Terima kasih atas
perjuangan terbaik yang selalu diberikan kepadaku. Semoga menjadi amalan
baik yang terus mengalir dan selalu di berikan kesehatan, kebahagiaan serta
lindungan oleh Allah SWT.
10. Seluruh Keluarga Besar H. Solihin HB dan opa Karel Alfonsius Tauran
(Alm.) yang telah memberikan dukungan dan doa selama ini.
11. Terima kasih kepada teman seperjuangan, Balqis Ikfi Hidayati, Muhammad
Irfan Adhi Shulhan, Syfa Dinia Putri, Puji Indah Permata Sari dan Fitria
Putridewi untuk kerjasama, doa, waktu, tenaga, dan semangat yang telah
diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Terima kasih kepada teman dan sahabatku, Lia, Rachma, Sari, Angie, Citra,
Dila, Retno, Ayu, Rima, Zihan, Astrid dan Otie atas doa , dukungan dan
motivasi yang telah diberikan.
13. Sahabat kecilku hingga saat ini, Riana Widya Lestari yang selalu memberi
dukungan, doa dan semangatnya dari jauh.
14. Sahabat masa SMA hingga saat ini, Tia, Ceska, Anita, Ayu, Nana, Silvi, Opi,
dan Winny yang selalu memberi dukungan, doa dan semangatnya dari jauh.
15. Keluarga Besar FK Unila 2015 (Endom15ium) yang tidak bisa disebutkan
satu persatu atas kebersamaan, pengalaman, ilmu, kasih sayang, perhatian dan
kepedulian selama ini dan yang akan datang. Semoga Allah selalu meridhoi
setiap langkah kita menuju kesuksesan dan cita-cita mulia kita.
16. Keluarga Besar PMPATD Pakis Rescue Team, Aldi, Reandy, Luthfi, Cut,
Nikom, Alfia, Sukma, Yudha, Thare dan teman-teman SC10 yang telah
memberikan pelajaran, kebersamaan, perhatian dan pengalaman-pengalaman
berharga selama ini.
17. Keluarga Besar FSI Ibnu Sina yang telah memberikan pelajaran dan
pengalaman-pengalaman berharga selama ini.
18. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat (angkatan 2002-2018) yang sudah
memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan
pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Semoga segala
perhatian, kebaikan dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan
dari Allah SWT. Aamiin.
Bandar Lampung, 10 April 2019
Penulis,
Sri Janahtul Hayati 1518011146
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5 1.4. Manfaat ..................................................................................................... 5
1.4.1. Manfaat Teoritis ................................................................................. 5 Manfaat Praktisi ................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 7 2.1. Malaria ...................................................................................................... 7
2.1.1. Agen Malaria ...................................................................................... 7 2.1.2. Manifestasi Klinis Malaria ................................................................ 10 2.1.3. Pengendalian Malaria ....................................................................... 12
2.2. Variasi Genetik P. falciparum ................................................................. 19 2.3. Kerangka Teori ....................................................................................... 25 2.4. Kerangka Konsep .................................................................................... 26 2.5. Hipotesis ................................................................................................. 26
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 27 3.1. Jenis Penelitian........................................................................................ 27 3.2. Tempat dan Waktu .................................................................................. 27 3.3. Sampel Penelitian .................................................................................... 27 3.4. Populasi Penelitian .................................................................................. 28
3.4.1. Kriteria Inklusi ................................................................................. 28 3.4.2. Kriteria Eksklusi ............................................................................... 28
3.5. Jumlah Sampel dan Teknik Sampling ...................................................... 28
ii
3.6. Identifikasi Variabel ................................................................................ 29 3.7. Definisi Operasional Variabel ................................................................. 29 3.8. Instrumen Penelitian ................................................................................ 29
3.8.1. Isolasi DNA...................................................................................... 29 3.8.2. Amplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).................... 31 3.8.3. Elektroforesis ................................................................................... 33
3.9. Prosedur Penelitian.................................................................................. 33 3.9.1. Isolasi DNA...................................................................................... 33 3.9.2. Uji Kuantitas DNA ........................................................................... 35 3.9.3. Amplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).................... 35 3.9.4. Elektroforesis ................................................................................... 37
3.10. Teknik Analisa Data .............................................................................. 38 3.11. Alur Penelitian ...................................................................................... 39 3.12. Etika Penelitian ..................................................................................... 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 41 4.1. Hasil Penelitian ....................................................................................... 41 4.2. Pembahasan Hasil Penelitian ................................................................... 47 4.3. Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 52
BAB V SIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 53 5.1. Kesimpulan ............................................................................................. 53 5.2. Saran ....................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 54
iii
DAFTAR TABEL Tabel Halaman
Tabel 1. Klasifikasi protozoa manusia dari genus Plasmodium ............................ 9
Tabel 2. Definisi Operasional Penelitian. ........................................................... 29
Tabel 3. Sekuens dan Perlakuan pada PCR. ....................................................... 32
Tabel 4. Posisi dan perubahan basa yang terjadi pada sampel ............................ 44
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman Gambar 1. Siklus hidup Plasmodium. ............................................................... 10
Gambar 2. Lokasi gen AMA-1 pada Kromosom P. falciparum. ........................ 22
Gambar 3. Proses Invasi merozoite kedalam eritrosit. ....................................... 23
Gambar 4. Kerangka Teori ............................................................................... 25
Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian ........................................................... 26
Gambar 6. Alur Penelitian ................................................................................ 39
Gambar 7. Isolasi DNA .................................................................................... 41
Gambar 8. Hasil PCR 1 .................................................................................... 42
Gambar 9. Hasil sekuensing sampel 13a dan 23a. ............................................. 43
Gambar 10. Perbandingan hasil multiple alignment dan elektroferogram .......... 44
Gambar 11. Perbandingan hasil multiple alignment dengan elektroferogram .... 46
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Malaria adalah suatu penyakit infeksi pada manusia yang disebabkan oleh
protozoa dari genus plasmodium. Lima spesies plasmodium yang diketahui
dapat menginfeksi manusia adalah Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae dan Plasmodium knowlesi.
Plasmodium penyebab kematian akibat malaria didominasi oleh P.
falciparum. Sementara itu distribusi malaria yang luas secara geografis
disebabkan oleh P. vivax (Kenneth, 2017; Costa et al., 2017).
Menurut Malaria World Report 2017, terdapat 216 juta kasus malaria ditahun
2016, dimana terjadi peningkatan yang sebelumnya hanya 211 juta kasus
ditahun 2015. Kasus kematian akibat malaria mencapai 445.000 ditahun
2016, nyaris sama dengan jumlah kematian akibat malaria ditahun
sebelumnya, yaitu 446.000 (WHO, 2017).
Laporan kasus kematian terbanyak akibat malaria di Asia Tenggara pada
tahun 2016 terjadi di India yaitu sebanyak 331 kasus, sementara Indonesia
menempati urutan kedua dengan jumlah 161 kasus. Laporan kasus malaria
yang dikonfirmasi secara mikroskopik pada tahun 2016 adalah sebanyak
218.450 kasus. Sementara itu laporan kasus malaria berdasarkan spesies
2
penyebab didominasi oleh P. falciparum yaitu sebanyak 135.693 kasus. Data
tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan kasus malaria akibat P.
falciparum yang terjadi pada tahun 2015, yaitu sebanyak 116.420 kasus
(WHO, 2017).
Di Indonesia Annual Parasite Incidence (API) Malaria pada tahun 2016
adalah 0,77 per 1.000 penduduk, dimana API tertinggi terjadi di Papua yaitu
39, 93 per 1.000 penduduk dan API terendah yaitu 0,00 per 1.000 penduduk
di Provinsi Banten dan Bali. Sementara itu, API di Provinsi Lampung pada
tahun 2016 adalah 0,40 per 1.000 penduduk, dimana angka ini telah
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 0,49 per 1.000 penduduk
(Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2015 mencatat pada sebagian
daerah di Provinsi Lampung terdapat daerah yang merupakan daerah endemis
dan berpotensi menjadi tempat berkembangnya penyakit malaria. Daerah-
daerah tersebut adalah daerah pedesaan yang memiliki rawa-rawa, genangan
air payau di tepi laut dan tambak-tambak ikan yang terlantar. Desa endemis
malaria berjumlah 223 desa atau 10% dari jumlah seluruh desa dengan angka
kesakitan setiap tahun 0,4 per 1.000 penduduk. Berbeda dengan kondisi di
wilayah Kabupaten Lampung Barat yang merupakan daerah persawahan dan
perkebunan, sehingga kasus malaria yang terjadi tidak terlalu banyak (Dinas
Kesehatan Provinsi Lampung, 2015).
Menurut Profil Kesehatan Kabupaten Pesawaran tahun 2015, API di
Kabupaten Pesawaran dalam rentang waktu 5 tahun (2011-2015) mengalami
3
fluktuasi. Pada tahun 2011 API di Kabupaten Pesawaran adalah 4,74 per
1.000 penduduk, kemudian menurun pada tahun 2012 menjadi 1 per 1.000
penduduk. Pada tahun 2013 API meningkat drastis menjadi 7,26 per 1.000
penduduk, dan kembali menurun pada tahun 2015 menjadi 6,36 per 1.000
penduduk. Kasus yang terjadi pada tahun 2015 adalah sebanyak 2.712 kasus
dengan 2 kasus kematian di wilayah kerja Puskesmas Pedada (1 orang) dan
Puskesmas Hanura (1 orang) (Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran, 2016).
Angka kejadian malaria masih terbilang tinggi, karena masih adanya masalah
pada pengendalian malaria (Mau & Murhandarwati, 2016). Program
eradikasi malaria yang sedang dikembangkan adalah pengembangan
insektisida nonpyrethroid, teknologi genetik yang berpotensi mengurangi
transmisi parasit malaria oleh nyamuk, identifikasi marker resistensi obat,
serta vaksin malaria (Rabinovich et al., 2017).
Kegagalan dalam pengobatan malaria yang disebabkan oleh resistensi parasit
terhadap Obat Anti Malaria (OAM) sering dihubungkan dengan masalah
genetik, karena parasit mudah bermutasi dan membentuk strain baru,
sehingga menyebabkan resistensi (Mau & Murhandarwati, 2016). Hingga
saat ini telah banyak vaksin malaria yang di uji-coba di lapangan, namun
efikasi yang terlihat ternyata masih rendah. Salah satu alasannya adalah
karena adanya polimorfisme (terdapat dua atau beberapa fenotip berbeda
dalam satu spesies) (Farooq et al., 2009).
Resistensi pada beberapa OAM dimediasi oleh adanya polimorfisme pada
dua transporter obat yang disandikan oleh Pfcrt dan Pfmdr. Hal ini dikaitkan
4
dengan adanya mutasi pada mediator utama yang resisten terhadap klorokuin
dan amodiakuin. Polimorfisme pada suatu gen dapat berdampak pada
sensitifitas beberapa obat. Dampak yang timbul dapat menyebabkan parasit
menjadi kurang sensitif terhadap obat tertentu namun disisi lain dapat
menjadi lebih sensitif pada obat-obatan tertentu (Tukwasibwe et al., 2017).
Pada suatu penelitian di Afrika Tengah dan Afrika Barat tahun 2015, telah
dilakukan analisis terhadap tiga antigen yang menjadi kandidat vaksin, yaitu
Erythrocyte Binding Antigen 175 (EBA-175), Apical Membrane Antigen
(AMA-1), dan Merozoite Surface Protein 3 (MSP-3). Dalam penelitian
tersebut, antibodi terhadap AMA-1 telah terbukti dapat menghambat invasi
parasit pada eritrosit manusia. Namun AMA-1 sangat polimorfik, dan
keberagaman ini dapat menimbulkan masalah dalam pengembangan vaksin
malaria (Soulama et al., 2011). Maka melakukan analisis keragaman
genetik, termasuk analisis single nucleotide polymorphism (SNP) pada isolat
P.falciparum di suatu daerah sangatlah penting sebelum melakukan
pengembangan dan uji coba vaksin pada daerah tersebut (Farooq et al., 2009).
Dari latar belakang diatas maka peneliti menganggap perlu dilakukan upaya
pengendalian pada kasus malaria di daerah endemis di Kabupaten Pesawaran
Provinsi Lampung, salah satunya adalah dengan mengidentifikasi single
nucleotide polymorphism (SNP) pada P. falciparum (dalam hal ini AMA-1)
dan mengetahui pengaruhnya terhadap pengembangan vaksin yang sedang
dikembangkan saat ini.
5
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ditemukan
adanya single nucleotide polymorphism (SNP) pada gen AMA-1 P.
falciparum dari penderita malaria falciparum di wilayah Puskesmas
Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi single
nucleotide polymorphism (SNP) pada gen AMA-1 P. falciparum yang
menginfeksi pasien malaria di wilayah Puskesmas Kabupaten Pesawaran
Lampung.
1.4. Manfaat
Adapun manfaat pada penelitian ini dibagi menjadi manfaat teoritis dan
manfaat praktisi.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam
pengembangan di bidang ilmu Parasitologi dan Biomolekuler
mengenai single nucleotide polymorphism (SNP) pada AMA-1 pada
P. falciparum di wilayah Puskesmas Kabupaten Pesawaran Lampung.
Manfaat Praktisi
Adapun manfaat praktisi pada penelitian ini ditujukan untuk beberapa
subjek, yaitu manfaat bagi peneliti dan bagi pemerintah.
6
a. Bagi Peneliti
Adapun manfaat praktisi pada penelitian ini diharapkan dapat
menjadi pengetahuan baru dan sebagai media pengaplikasian
pembelajaran yang telah didapatkan selama perkuliahan.
b. Bagi Penulis lain
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi
peneliti lain
c. Bagi Pemerintah
Adapun manfaat bagi pemerintah adalah sebagai bahan evaluasi
dalam melakukan pengendalian terhadap angka kejadian malaria
khususnya di wilayah Kabupaten Pesawaran Lampung
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Malaria
Malaria adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
plasmodium yang berkembang biak di dalam sel darah manusia. Penyakit
malaria secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina
(Putra, 2011).
2.1.1. Agen Malaria
Parasit malaria adalah mikroorganisme yang berasal dari genus
Plasmodium. Terdapat lebih dari 100 spesies Plasmodium namun
hanya lima spesies yang ditemukan dapat menginfeksi manusia, yaitu
P.falciparum, P.vivax, P.ovale, P.malariae dan P.knowlesi. Terdapat
beberapa spesies lagi yang diduga dapat menginfeksi manusia dan
masih dalam masa penelitian (CDC, 2018). Klasifikasi protozoa
manusia dari genus Plasmodium tertera pada tabel 1 (satu) (Soedarto,
2016).
Malaria di tularkan melalui gigitan nyamuk genus Anopheles betina.
Nyamuk betina membutuhkan darah untuk melangsungkan proses
bertelurnya. Perkembangan parasit malaria dari stadium gametosit
hingga stadium sprorozoit dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
8
suhu dan kelembaban. Suhu tinggi akan mempercepat pertumbuhan
parasit didalam tubuh nyamuk. Durasi hidup Anopheles juga
memungkinkan parasit untuk menyelesaikan siklus hidupnya didalam
tubuh nyamuk yang berlangsung selama 10 sampai 18 hari (CDC,
2015).
Daur hidup aseksual plasmodium berlangsung didalam tubuh manusia
dan daur hidup seksualnya berlangsung didalam tubuh nyamuk. Daur
hidup aseksual terdiri dari empat tahapan, yaitu skizogoni
preeritrositik, tahap skizogoni eksoeritrositik, tahap skizogoni
eritrositik dan tahap gametomi (Soedarto, 2016).
Pada saat nyamuk anopheles infektif menghisap darah manusia,
sporozoit yang berada dikelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam
peredaran darah. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati
dan menjadi tropozoit hati, berkembang menjadi skizon hati yang
terdiri dari 10.000-30.000 merozoit hati (siklus pre-eritositik) (Putra,
2018).
Pada P. vivax dan P. ovale, tahap yang tidak aktif (hypnozoit) dapat
bertahan di hati dan menyebabkan kekambuhan dengan menginvasi
aliran darah selama berminggu-menggu bahkan bertahun-tahun
kemudian (siklus eksoeritrositik) (CDC, 2018).
Ketika hepatosit ruptur dan mengeluarkan merozoit ke sirkulasi,
merozoit tersebut akan menginvasi eritrosit dan dalam waktu 48-72
9
jam akan menghasilkan 8-24 merozoit. Siklus ini disebut siklus
eritrositik. Rupturnya eritrosit pada fase ini menyebabkan munculnya
manifestasi klinis malaria, seperti demam, sakit kepala, panas dingin
dan malaise (Ouattara & Laurens, 2014).
Tabel 1. Klasifikasi protozoa manusia dari genus Plasmodium (Antinori et al., 2012).
No. Klasifikasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Domain Kingdom Superphylum Phylum Class Order Sub-order Family Genus Sub-genus Species
Eukaryota Chromalveolata Alveolata Apicomplexa Aconoidasida Haemosporida Haemosporidiidea Plasmodiidae Plasmodia Plasmodium; Laverania P.falciparum P.malariae P.ovale P.vivax P.knowlesi
Pada siklus eritrositik ini trofozoit imatur menjadi gametosit jantan
(mikrogametosit) dan betina (makrogametosit) (tahap gametomi),
kemudian terbawa oleh nyamuk Anopheles saat menghisap darah.
Parasit kemudian bermultiplikasi didalam tubuh nyamuk, yang
dikenal dengan siklus sporogonik. Mikrogamet berkembang di
lambung nyamuk, menembus makrogamet dan menghasilkan zigot.
Zigot akan berkembang menjadi motil dan memanjang (ookinet) dan
menyerang dinding midgut nyamuk dan berkembang menjadi
ookista. Ookista tumbuh kemudian pecah, dan melepaskan sporozoit,
lalu masuk ke kelenjar ludah nyamuk. Sporozoit berinokulasi pada
10
host baru, dan siklus ini terus berlangsung, seperti yang terlihat pada
gambar 1 (CDC, 2018).
Gambar 1. Siklus hidup Plasmodium (CDC, 2018).
2.1.2. Manifestasi Klinis Malaria
Pada saat sporozoit masuk ke kapiler subkutan, sporozoit akan masuk
ke dalam hepatosit dan memulai daur hidupnya. Pada saat skizon
ruptur, pelepasan parasit malaria kedalam sirkulasi memicu proses
patofisiologi malaria dan mengaktifkan kaskade sitokin yang
menyebabkan munculnya tanda dan gejala malaria (Bartoloni &
Zammarchi, 2012).
11
Masa inkubasi pada malaria falciparum berlangsung antara 8 sampai
12 hari dan pada malaria malariae antara 21 dan 40 hari. Sedangkan
pada malaria vivax dan malaria ovale masa inkubasi dapat
berlangsung selama 10 sampai 17 hari. Gejala klinis malaria bersifat
khas, yaitu demam berulang, splenomegali dan anemia. Demam pada
malaria terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium rigor (kedinginan),
stadium panas badan dan stadium berkeringat. Gejala demam pada
malaria sesuai dengan saat terjadinya skizogoni eritrositik pada
masing-masing plasmodium. Anemia pada malaria terjadi akibat
pecahnya eritrosit berulang selama terjadinya proses segmentasi
parasit. Pembesaran limpa terjadi setelah penderita mengalami
beberapa kali serangan demam, biasanya teraba pada minggu kedua
sejak demam pertama terjadi (Soedarto, 2016).
Malaria berat terjadi ketika seseorang mengalami infeksi serius yang
disertai dengan kerusakan organ atau abnormalitas pada darah atau
metabolisme pengidap malaria. Komplikasi yang dapat terjadi dapat
berupa malaria serebral, penurunan kesadaran, anemia hemolitik
(terjadi destruksi eritrosit), hemoglobinuria (akibat hemolysis),
abnormalitas koagulasi darah, Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS), hipotensi, Acute kidney Failure, Acidosis Metabolic dan
hipoglikemia (CDC, 2015).
12
2.1.3. Pengendalian Malaria
Pengendalian malaria secara promotif, preventif dan kuratif telah
dilaksanakan dengan baik namun angka kejadian malaria masih
terbilang tinggi. Tingginya angka kejadian ini disebabkan oleh banyak
faktor, seperti kegagalan pengobatan yang disebabkan oleh resistensi
parasit terhadap OAM. Resistensi OAM pada P. falciparum sering
dihubungkan dengan masalah genetik, karena parasit mudah
bermutasi membentuk strain baru. Pada P. falciparum di dunia
diketahui terdapat kurang lebih 14 strain dan di Indonesia strain
Plasmodium belum semuanya diketahui. Masalah pengendalian
malaria lainnya tidak hanya dipengaruhi oleh resistensi OAM pada
P.faciparum, P. vivax dan gen tertentu tetapi juga dipengaruhi oleh
banyaknya variasi alel pada Plasmodium (Mau & Murhandarwati,
2016).
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menekan angka kejadian
malaria, seperti menyediakan obat antimalaria, pembasmian dengan
insektisida dan cara sederhana lainnya, seperti penggunaan kelambu.
Agar lebih efektif, program pemberantasan malaria harus mencakup
vaksinasi dan pengendalian vektor nyamuk (Soulama et al., 2011).
Di Amerika, telah dilakukan kebijakan pengendalian vektor, dengan
penyemprotan dalam rumah (Indoor Residual Spraying) atau dengan
memasang kelambu insektisida. Upaya lainnya adalah dengan
melakukan kontrol biologis. Penggunaan spesies nematoda larvivora,
13
seperti Bacillus sphaericus terbukti efektif melawan populasi malaria,
mengurangi kepadatan larva hingga 90%, dan menurunkan prevalensi
malaria pada anak-anak usia sekolah (Conde et al., 2015).
Pada abad ke-20, dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT) adalah
merupakan insektisida organik sintetis pertama. Penerapan Indoor
Residual Spraying (IRS) yang mengandung DDT dan bahan kimia
lainnya pada kontrol Anopheles betina dewasa menunjukkan
keberhasilan yang baik. Individual Residual Spraying menghasilkan
penurunan drastis dalam indeks parasit tahunan yang tercatat di
berbagai wilayah di dunia. Meskipun dapat mengontrol
perkembangan Anopheles didunia, penggunaan DDT harus melewati
beberapa pertimbangan lingkungan dan ekologis. Badan perlindungan
lingkungan (Environmental Protection Agency / EPA) melarang
penggunaan DDT pada tahun 1972. Hal ini disebabkan karena DDT
dapat tertinggal pada jaringan tubuh manusia dan menyebabkan
berbagai gangguan kesehatan, seperti gangguan pada hati, ginjal,
saraf, kekebalan tubuh dan sistem reproduksi. Hal ini merupakan
alasan penting lainnya untuk mempertimbangkan kembali
penggunaan senyawa kimia tersebut dalam pengendalian malaria
(Kamareddine, 2012).
Upaya eliminasi malaria di Indonesia dilakukan secara bertahap dan
diharapkan dapat mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Strategi
spesifik program eliminasi tersebut terdiri dari akselerasi, intensifikasi
14
dan eliminasi. Strategi akselerasi dilakukan di daerah endemis tinggi
malaria, kegiatan yang dilakukan adalah berupa kampanye kelambu
antinyamuk masal, penyemprotan dinding rumah pada daerah dengan
API > 40% dan penemuan dini hingga pengobatan malaria yang tepat.
Strategi intensifikasi dilakukan diluar kawasan timur Indonesia.
Kegaitan yang dilakukan adalah pemberian kelambu antinyamuk
didaerah resiko tinggi, penyemprotan dinding rumah dilokasi KLB
malaria, penemuan dini - pengobatan tepat dan penemuan kasus aktif.
Strategi eliminasi dilakukan didaerah endemis rendah. Kegiatan yang
dilakukan adalah penemuan dini – pengobatan tepat, penguatan
surveilans migrasi, surveilans daerah yang rawan perindukan vektor,
penemuan kasus aktif, dan penguatan rumah sakit rujukan
(Kementrian Kesehatan RI, 2016).
Upaya pengendalian malaria di Kabupaten Pesawaran adalah dengan
melakukan rasionalisasi penggunaan Rapid Diagnostic Test (RDT),
surveilans vektor penyebab malaria, melakukan larvaciding didaerah
endemis malaria dan meningkatakan keterampilan tenaga
laboratorium di puskesmas, pembentukan kelompok kerja malaria dan
pembentukan pos malaria desa (Dinas Kesehatan Kabupaten
Pesawaran, 2016).
Munculnya strain nyamuk yang tahan terhadap insektisida juga
merupakan hambatan dalam strategi pengendalian malaria. Banyak
pendekatan yang dilakukan termasuk rencana yang berfokus pada
15
penggunaan mikroorganisme rekayasa genetik untuk menghalangi
perkembangan parasit malaria di dalam vektor Anopheles. Kontrol
biologis vektor malaria sekarang dianggap sebagai bagian mendasar
dari program pemberantasan malaria (Kamareddine, 2012).
Pada satu penelitian di India tahun 2009, kejadian malaria berat yang
disebabkan oleh P. falciparum menjadi lebih rumit karena penyebaran
strain resisten klorokuin P. falciparum. Penggunaan obat baru dalam
hal ini akan membutuhkan biaya yang cukup besar dan berpotensi
toksik, oleh karena itu diperlukan pengembangan vaksin malaria yang
efektif (Farooq et al., 2009).
Keanekaragaman genetik pada parasit malaria dapat menjadi
hambatan dalam pengembangan vaksin malaria. Terjadinya
polimorfisme antigenik dapat meningkatkan kemampuan parasit
untuk menghindar dari sistem pengenalan oleh sistem imun tubuh,
sehingga sulit untuk mengenali variasi yang ada pada parasit
(Soulama et al., 2011).
Penelitian malaria saat ini difokuskan pada protein yang relevan
secara imunologis, terutama yang diekspresikan di permukaan parasit
dan berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh inang. Antigen P.
falciparum dari berbagai tahapan siklus hidup telah ditargetkan untuk
digunakan sebagai vaksin malaria. Merozoite surface protien-2 (MSP-
2), antigen membran apikal-1 (AMA-1) dan protein circumsporo-
zoite (CSP) P. falciparum dianggap sebagai kandidat utama untuk
16
pengembangan vaksin malaria. Maka analisis variasi perubahan basa
pada isolat P. falciparum di suatu wilayah sangat penting sebelum
melakukan uji coba vaksin malaria (Farooq et al., 2009).
2.1.3.1. Vaksinasi Malaria
Penelitian vaksin malaria dimulai pada tahun 1930 dan
terfokus pada parasit inaktif yang gagal dalam menghasilkan
respon imun tubuh. Percobaan imunisasi malaria pada
nyamuk yang terinfeksi dilakukan pada pertengahan tahun
1970. Selanjutnya uji coba vaksin dilapangan dilakukan pada
tahun 1990 dengan vaksin SPf66, yaitu vaksin subunit yang
mengandung sekuens 3 antigen pada stadium eritrosit P.
falciparum dan circumsporozoite protein (CSP) (Ouattara &
Laurens, 2014).
Kandidat vaksin yang telah diuji secara ekstensif untuk
mencegah malaria P. falciparum adalah RTS,S/AS01; vaksin
ini secara langsung bekerja pada sistem imun dalam melawan
circumsporozoit protein (PfCSP) dengan menutupi
permukaan sporozoit yang terinfeksi. RTS,S dirancang
dengan sistem adjuvant liposomal AS01 dari
GlaxoSmithKline, dan merupakan vaksin yang memiliki
efektifitas perlindungan yang terdemonstrasi terhadap
malaria dalam uji klinis fase III namun efektifitas vaksin ini
tetap dipengaruhi oleh faktor usia (Draper, et al., 2018).
17
Malaria Vaccine Technology Roadmap tahun 2030 mulai
merancang vaksin generasi berikutnya untuk P. falciparum
atau P. vivax dengan target efikasi sebesar 75% dan tetap
mempertahankan tujuan utama vaksin generasi pertamanya,
yaitu vaksin dengan efikasi proteksi >50% dan bertahan lebih
dari satu tahun (Draper, et al.,2018).
Vaksin malaria dibagi menjadi beberapa kelompok
berdasarkan stadium perkembangan parasit malaria, yaitu
vaksin pre-eritrositik, vaksin fase eritrositik dan vaksin
lainnya termasuk vaksin yang memblokade transmisi dan
vaksin malaria akibat kehamilan. (Ouattara & Laurens, 2014;
Draper SJ, et al., 2018).
Vaksin pre-eritrositik menargetkan pada fase sporozoit
inaktif pada stadium hepar (hipnozoit). Vaksin ini bertujuan
untuk mengeliminasi parasit selama infeksi awal dan
menghambat transmisi parasit. Salah satu contoh vaksin pre-
eritrositik ini adalah PfSPZ yang menginduksi respon pada
sel CD4, CD8 dan sel gamma delta juga respon pada
antibody. Percobaan pada vaksin ini telah dilakukan di Mali
dan menunjukkan efikasi terhadap transmisi alami parasit,
Studi lainnya di daerah Afrika menggunakan vaksin ini untuk
mengevaluasi penggunaannya dan digunakan sebagai salah
satu alat eradikasi malaria (Coelho, et al.,2017).
18
Dalam perkembangan vaksin eritrositik, hambatan yang
dialami adalah adanya polimorfisme antigenik pada merozoit
juga pada protein permukaan eritrosit yang terinfeksi
(Coelho, et al., 2017).
Transmission-Blocking Vaccine (TBV) adalah vaksin yang
tidak melindungi individu secara langsung. Namun vaksin ini
memiliki dampak yang substansial,. Pada populasi carrier
asimtomatik dan submikroskopik, TBV akan menangkap
transmisi malaria berikutnya dan melindungi komunitas
lainnya sebagaimana yang dilakukan vaksin lainnya melalui
kekebalan kelompok (Draper et al.,2018).
Salah satu kandidat antigen fase eritrositik yang sedang
dikembangkan untuk P. falciparum adalah Apical Membrane
Antigen (AMA-1). Protein AMA-1 terletak di ujung apikal
merozoit yang berikatan dengan eritrosit. Selain itu, AMA-1
juga berada pada fase sporozoit dimana fase tersebut juga
terlibat dalam invasi hepatosit. Saat ini rekombinan strain
3D7 dan FVO P.falciparum AMA-1 sedang dalam masa
penelitian fase 1 dan 2 dan telah memperlihatkan hasil yang
menjanjikan (Lumkul et al.,2018).
19
2.2. Variasi Genetik P. falciparum
Genom P.falciparum tersusun menjadi 14 kromosom linier dengan total
panjang 23 Mb. Setiap kromosom individu tersusun sama dengan satu
salinan tunggal yang berfungsi dalam replikasi dan progresi kedalam siklus
sel (Gardner, et al.,2013).
Polimorfisme yang melekat pada P. falciparum memberikan penghindaran
kekebalan tubuh yang efektif bagi parasit dan menyebabkan terjadinya
mekanisme resistensi obat untuk parasit. Banyak penelitian tentang
polimorfisme parasit dan menunjukkan hasil yang mengarah pada substitusi
asam amino (mutasi non-sinonim) yang mungkin mengalami seleksi, seperti
sebagai protein imunogenik dan fenotipe resistensi.
Liver Stage Antigen-1 (LSA-1) adalah salah satu antigen yang dikenal
secara spesifik diekspresikan selama tahap pre-eritrositik pada P.
falciparum. Studi tentang sistem imun manusia akibat paparan sporozoit
yang telah dilemahkan dengan radiasi dan paparan parasit yang tertular
secara alami menunjukkan respon imun LSA-1 yang spesifik sehingga
LSA-1 dianggap sebagai kandidat vaksin yang menarik (Nicoll et al, 2011).
Plasmodium falciparum EBA-175 (175 kDa erythrocyte-binding protein),
merupakan salah satu ligan merozoit P. falciparum yang sangat penting
yang memediasi invasi eritrosit melalui reseptor sialat, yaitu reseptor
glikoporin A. Namun efek dimorfik alel EBA-175 pada tingkat keparahan
malaria masih dalam penelitian (Adam et al., 2013).
20
Glutamate Rich-protein (GLURP) adalah suatu aintigen yang terdapat pada
skizon matur pada eritrosit yang terinfeksi. Pada suatu studi telah ditemukan
keterlibatan GLURP pada antibodi anti-GLURP manusia. Antibodi dengan
purifikasi yang tinggi tidak memiliki efek hambat langsung yang signifikan
pada invasi merozoit namun mampu menimbulkan efek habit monosit-
dependen yang kuat pada pertumbuhan P. falciparum. Hal ini menunjukkan
indikasi yang memungkinkan bahwa molekul GLURP dapat dijadikan
sebagai salah satu target vaksin (Theisen et al.,1998).
Circum Sporozoit Protein (CSP) P. falciparum sangat bersifat imunogenik
dan dianggap sebagai salah satu kandidat vaksin utama. Circum Sporozoit
Protein (CSP) merupakan antigen utama dan paling banyak diekspresikan
dipermukaan sporozoit infeksius. Circum Sporozoit Protein (CSP) memiliki
daerah pengulangan pusat, yaitu NANP, dimana daerah ini merupakan
target untuk penetralan yang dimediasi oleh antibodi bersama CD8+ dan
epitop sel T CD4+ diujung terminal-C. Penggunaan CSP full-length
termasuk ujung terminal-N dan daerah R1 dapat menimbulkan respon
antibodi yang lebih luas (Kastenmuller et al., 2013).
Merozoite Surface Protein MSP-1 dan MSP-2 dengan banyak alel dan
berbeda dalam panjang gen telah dipelajari secara ekstensif dan
polimorfisme genetiknya digunakan untuk menggambarkan klonalitas
infeksi dalam sejumlah besar penelitian. Panjang variabilitas terutama
berasal dari pengurutan berulang. Alel MSP-1 termasuk dalam kelompok
allelik K1, MAD20 dan RO33 dengan variabilitas tinggi. Merozoit Surface
21
Protein-1 (MSP-1) telah dikategorikan menjadi 17 blok. Blok 2 sangat
diminati, karena menunjukkan trinucleotide berulang dan melalui proses
rekrutmen intragenik yang cepat. Telah terlihat bahwa antibodi IgG
terhadap subtipe blok MSP-1 adalah yang paling sering dan penting dalam
resistensi antimalarial.
Eritrosit yang terinfeksi strain parasit tertentu akan merekat pada eritrosit
yang tidak terinfeksi dan membentuk roset mediate , yang memfasilitasi
invasi parasit ke dalam sel yang belum terinfeksi atau melindungi sel yang
terinfeksi dari serangan kekebalan tubuh. Selain protein PfEMP1, rossetins
terlibat dalam rosetin eritrosit, beberapa di antaranya dikodekan oleh gen
keluarga interseksi yang berulang (rif) yang mengkode RIFIN. Fungsi
RIFIN yang tidak terlibat dalam rosetting sejauh ini masih belum jelas.
RIFIN diekspresikan pada permukaan eritrosit dan memiliki kurang lebih
200 varian yang telah diketahui hingga saat ini (Meyer, 2002).
2.1.3.1. Gen AMA-1
Apical Membrane Antigen-1 (AMA-1) adalah kandidat vaksin fase
eritrositik terkemuka yang diekspresikan oleh merozoitum P.
falciparum dan dapat menghambat invasi eritrosit. Vaksin AMA1 telah
menunjukkan efikasi protektif pada hewan pengerat dan simian, bukti
lain juga menunjukkan bahwa AMA-1 merupakan target penting
antibodi alami pada manusia. Gen AMA-1 dikodekan oleh satu salinan,
yang membentang 1.869 base pair (bp) pada kromosom 11 (Lumkul et
al., 2018).
22
Keanekaragaman antigenik pada AMA-1 dapat memediasi pelarian
kekebalan dan imunisasi dengan AMA-1. Kapasitas AMA-1 untuk
mendapatkan kekebalan protektif pada manusia baru-baru ini
ditunjukkan oleh percobaan vaksin tahap 2 pada anak-anak berusia 1-6
tahun di Mali. Uji coba ini menggunakan vaksin berdasarkan alel
AMA-1 tunggal. Dilaporkan bahwa efikasi protektif 64% terhadap
malaria oleh alel yang mirip dengan vaksin, namun tidak ada efikasi
yang signifikan terhadap alel lainnya. Temuan ini menunjukkan potensi
vaksin malaria AMA-1, namun strategi untuk mengatasi keragaman
antigenik masih tetap dibutuhkan (Drew et al., 2012). Gen AMA-1
terletak pada kromosom 11 P. falciparum, seperti yang terlihat pada
gambar 2.
Gambar 2. Lokasi gen AMA-1 pada Kromosom P. falciparum.
(NCBI, 2015).
Plasmodium falciparum AMA-1 (PfAMA-1) memunculkan antibodi
yang dapat menghambat invasi sel inang in vitro ,sehingga
berkontribusi pada imunitas pada manusia yang secara alami terpapar
malaria. Oleh karena itu, AMA-1 dianggap sebagai kandidat utama
vaksin untuk P. falciparum dan P. vivax (Arnott et al., 2014).
23
Pada ilustrasi yang terlihat pada gambar 3, terlihat proses invasi
merozoit kedalam eritrosit. Apical Membrane Antigen-1 berimplikasi
pada stadium awal invasi merozoit, termasuk mensekresi rhoptry
kedalam eritrosit, pembentukan junction dan reorientasi apikal.
Junction yang terbentuk berfungsi sebagai pengait pada penetrasi
myosin dependen pada merozoit. Tahap penetrasi ini bertepatan dengan
pembentukan parasitophorus vacuole (PV) yang terdiri dari konten
rhoptry dan periode ekinositosis yang berlangsung selama kurang lebih
5-10 menit.
Gambar 3. Proses Invasi merozoite kedalam eritrosit (Yap et al., 2014).
Ketika merozoit telah masuk, PV menjepit membran eritrosit, dan
eritrosit kembali ke bentuk normalnya. Ekspresi AMA-1 berlebihan
pada parasit wildtype dan ketika kadar AMA-1 berkurang, penyegelan
24
membran parasit pun menjadi tidak efisen. Pengurangan kadar AMA-1
menyebabkan ketidakmampuan parasit dalam membentuk junction,
sehingga merozoit akan tetap menempel namun tidak dapat
berpenetrasi kedalam eritrosit.
Setelah melekat pada eritrosit, merozoit mengarahkan kembali ujung
apikalnya ke permukaan eritrosit dan berhadapan di antara dua sel;
Invasi aktif terjadi saat merozoit meluncur melalui persimpangan ketat,
yang bergerak dari ujung anterior ke belakang dari sel parasit. Merozoit
menembus eritrosit, protein dan lipid dilepaskan dari organel apikal ke
dalam celah yang dibentuk terutama dari membran invaginasi eritrosit.
Setelah merozoit benar-benar memasuki eritrosit, membran tertutup
membentuk vakuola parasitophorous dan kembali menyegel membran
eritrosit. Eritrosit mengalami 5-10 menit ekinositosis (ekstrusi seperti
lonjakan transien dari membran eritrosit yang mungkin disebabkan oleh
dehidrasi) sebelum eritrosit yang terinfeksi beralih ke bentuk
normalnya (Yap et al., 2014).
25
2.3. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini dipaparkan pada gambar 4.
Keterangan :
: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
Gambar 4. Kerangka Teori
Malaria
Etiologi Manifestasi
klinis
Pengendalian Malaria
Agen Malaria OAM Insektisida
P. falciparum
Single Nucleotide Polymorphism Resistensi
P. vivax P. ovale
MSP-1
AMA-1 CSP GLURP
Vaksin
P. malariae
26
2.4. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dijelaskan pada gambar 5.
Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian 2.5. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah “Terdapat Single Nucleotide
Polyorphism (SNP) pada gen AMA-1 dari isolat penderita P.falciparum di
wilayah Puskesmas Kabupaten Pesawaran Lampung”.
Sampel darah penderita malaria di wilayah
Puskesmas Pesawaran Lampung
Single nucleotide polymorphism (SNP) pada
Apical Membrane Antigen-1 P. falciparum
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif kuantitatif dengan metode survey. Penelitian akan dilakukan
dengan menggunakan sampel darah penderita malaria di wilayah kerja
Puskesmas Hanura, Kabupaten Pesawaran, Lampung.
3.2. Tempat dan Waktu
Pengambilan sampel dilakukan di Puskesmas Hanura, Kabupaten
Pesawaran pada tahun 2016. Isolasi DNA dan PCR dilakukan di
Laboratorium Biokimia Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. Sekuensing dilakukan pada
Laboratorium layanan sekuensing di Singapura.
3.3. Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan biologi tersimpan
(BBT) berupa sampel darah yang terinfeksi P. falciparum. Peneliti memilih
sampel ini karena DNA yang diperoleh dari bahan biologis yang tersimpan
bersifat stabil (Wolf et al, 2009).
28
3.4. Populasi Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat populasi target dan populasi terjangkau.
Populasi target yang digunakan adalah populasi penderita malaria P.
falciparum di wilayah Puskesmas Kabupaten Pesawaran Lampung.
Sedangkan Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah berupa sampel
dari bahan biologi tersimpan (BBT), yaitu sampel darah dari penderita
malaria P. falciparum di wilayah Puskesmas Pesawaran Lampung. Dalam
menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, maka di
berlakukan kriteria Inklusi dan Eksklusi.
3.4.1. Kriteria Inklusi
DNA yang terdapat pada BBT dapat diperiksa dengan PCR.
3.4.2. Kriteria Eksklusi
Sampel BBT yang telah terkontaminasi, yaitu sampel yang telah
mengalami perubahan warna dan preparat yang telah rusak. Serta
sampel dengan konsentrasi DNA yang rendah.
3.5. Jumlah Sampel dan Teknik Sampling
Sampel yang digunakan adalah BBT dari penderita malaria di wilayah
Puskesmas Pesawaran Lampung. Sampel yang digunakan berjumlah 53.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah berupa consecutive
sampling, dimana pemilihan sampel ditentukan dengan menetapkan subjek
yang memenuhi kriteria penelitian (Nursalam, 2008).
29
3.6. Identifikasi Variabel
Variabel dalam penelitian ini adalah gen AMA-1 (Apical Membrane
Antigen-1) pada P. falciparum di wilayah Puskesmas Kabupaten Pesawaran
Lampung.
3.7. Definisi Operasional Variabel
Untuk mempermudah penelitian, dan mencegah pembahasan yang terlalu
luas maka dibuat definisi operasional penelitian yang tertera pada tabel 2.
Tabel 2. Definisi Operasional Penelitian (Soulama et al., 2011). No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil
Ukur Skala
1 2
Single Nucleotide Polymorphism (SNP) Gen PfAMA-1
Suatu jenis variasi genetik yang umum terjadi Gen marker pada P.falciparum
Amplifikasi segmen basa nukleotida Amplifikasi segmen gen PFAMA-1
Sekuensing PCR dan Elektroforesis
Urutan basa nukleotida Fragmen DNA PFAMA-1
Kategorik Kategorik
3.8. Instrumen Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu berupa isolasi
DNA, amplifikasi (perbanyakan) dengan PCR, dan elektroforesis.
3.8.1. Isolasi DNA
Prinsip dasar isolasi DNA adalah lisis sel (melisikan DNA dari
nucleus), pegendapan protein dan RNA, pengendapan
30
DNA/presipitasi DNA, pencucian DNA dari protein dan RNA
(kontaminan). Tujuan dilakukannya isolasi DNA adalah diperolehnya
DNA total (genome) dengan konsentrasi tinggi dan bersih dari
kontaminan. Isolasi DNA dapat dilakukan secara manual dan dengan
bantuan KIT.
Berbagai macam KIT telah dirancang oleh produsen untuk
memudahkan peneliti dalam ekstraksi DNA yang saat ini tersedia.
Hasil ekstraksi DNA merupakan tahapan penting, sehingga harus
dilakukan dengan baik dan bebas dari kontaminan (Nugroho &
Rahayu, 2016).
DNA parasit diekstrak menggunakan kit DNA sesuai dengan protokol
pabrikannya (Geneaid; Taiwan). DNA diberi aliquot steril dan
dimasukkan kedalam tabung kemudian disimpan pada suhu -20℃
sampai pemeriksaan PCR dimulai (Soulama et al., 2015).
Setelah melakukan ekstraksi DNA, selanjutnya dilakukan pengujian
kuantitas DNA dilakukan dengan metode nanofotometer pada
panjang gelombang (l) 260 dan 280 nm dengan menggunakan stok
DNA hasil isolasi dan pemurnian. DNA mempunyai kemurnian tinggi
jika ratio nilai absorbansi pada pada panjang gelombang 260 nm dan
280 nm berkisar antara 1,8 – 2,0 (Sambrook et al., 1989).
31
3.8.2. Amplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah salah satu teknik dalam
biologi molekuler untuk mengamplifikasi atau mengandalkan
sejumlah kecil DNA secara in vitro menggunakan sistem enzimatik
dan suhu. PCR dimulai dengan DNA template dalam jumlah yang
sedikit, kemudian melalui beberapa siklus dan jumlah copy DNA akan
menjadi jutaan kali lipat. Selektifitas reaksi PCR ditentukan oleh
pemilihan primer yang tepat. Primer adalah potongan DNA dalam
bentuk untai tunggal dimana sekuen yang dimilikinya komplemen
dengan sekuen DNA template yang bersebelahan dengan daerah
target (Maftuchah, 2014).
Primer dapat diperoleh melalui literatur yang telah ada ataupun
dengan cara merancangnya sendiri. Efikasi dan sensitifitas PCR
sangat bergantung pada efisiensi primer. Primer unik untuk
mengamplifikasi sekuens target harus memenuhi kriteria tertentu,
seperti panjang primer, GC%, annealing dan melting temperature,
stabilitas ujung 5’, dan spesifisitas ujung 3’. Untuk merancang suatu
primer dengan bantuan software, harus diketahui urutan DNA
organisme yang akan di amplifikasi dalam bentuk FASTA pada
kolom yang disediakan. FASTA adalah kumpulan basa dari suatu
spesies yang berguna untuk menganalisis DNA dan protein tertentu.
Setelah memasukkan urutan basa DNA, sistem akan secara otomatis
menyelaraskan urutan DNA dengan primer yang dimaksud. Pada
tahap ini terdapat banyak pilihan primer yang akan muncul. Primer
32
yang akan dipilih kemudian disesuaikan dengan karakter primer yang
diinginkan.
Tabel 3. Sekuens dan Perlakuan pada PCR (Kang et al., 2018). Sekuens *Perlakuan pada
PCR Reaksi Pertama
5′-GTACTTGTTATAAATTGTACA-3′ (forward)
5′-TTTTAGCATAAAAGAGAAGC-3′
(reverse)
Initial D (94℃ selama 5 menit) D (94℃ selama 1 menit) A (55℃ selama 1 menit), Ex (72℃ selama 2 menit) FEx (72℃ selama 10 menit) Cy (35 siklus)
Cy Reaksi Kedua
5′- ACAAAAATGAGAAAATTATACTGC-3′ (forward)
5’-AAATTCTTTCTAGGGCAAAC-3’ (reverse)
Initial D (94℃ selama 5 menit) D (94℃ selama 1 menit) A (55℃ selama 1 menit), Ex (72℃ selama 2 menit) FEx (72℃ selama 10 menit) Cy (35 siklus)
*D: Denaturasi; A: Annealing; Ex: Pemanjangan; FEx: Pemannjangan akhir; Cy: siklus
Terkadang PCR masih memungkinkan untuk terjadinya kontaminasi.
Nested PCR adalah teknik PCR dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi. Nested PCR menggunakan dua pasang primer,
dimana salah satunya terletak di bagian dalam. Primer luar digunakan
untuk mengamplifikasi sekuens target. Produk PCR kemudian di
amplifikasi menggunakan primer set, dan menghasilkan produk PCR
akhir yang lebih pendek dari produk PCR sebelumnya. Nested PCR
33
sangat spesifik karena pasangan primer yang kedua melengkapi
sekuens dalam amplikon yang dihasilkan dari reaksi pertama (Crisan,
2010).
Penelitian ini dilakukan dengan metode PCR. Primer yang digunakan
diadaptasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kang et al
pada tahun 2018. Adapun sekuens dan perlakuan pada PCR yang
dilakukan tertera pada Tabel 3.
3.8.3. Elektroforesis
Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul seluler
berdasarkan ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang
dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang akan
dipisahkan. Teknik elektroforesis dapat digunakan untuk analisis
DNA, RNA dan protein. Fragmen molekul DNA dapat ditentukan
ukurannya dengan cara membuat gel agarose, yaitu suatu bahan semi-
padat berupa polisakarida yang di ekstraksi dari rumput laut.
3.9. Prosedur Penelitian
Pada penelitian ini, prosedur yang dilakukan terdiri dari beberapa tahapan.
Adapun tahapan yang dilakukan adalah sebagi berikut.
3.9.1 Isolasi DNA
a. Menambahkan 300µl sampel ke microcentrifuge tube
b. Menambahkan 900µl lysis buffer (3 x jumlah RBC)
c. Menginkubasi dalam suhu ruang selama 10 menit.
34
d. Melakukan sentrifuge dengan kecepatan 7700 rpm selama 5
menit. Kemudian memisahkan hasil sentrifuge dengan
supernatant.
e. Menambahkan 100µl buffer AL ke dalam sampel, kemudian di
vortex selama 15 detik.
f. Menambahkan GB buffer 200µl kedalam sampel
g. Menambahkan 30µl Proteinase K, kemudian melakukan inkubasi
dalam waterbath dengan suhu 60o. Sampel diperiksa setiap 3
menit dan dikocok dengan cara dibolak balikkan secara perlahan.
h. Mengganti tube dengan GD column, kemudian menambahakan
200µl etanol absolut kedalam sampel
i. Melakukan sentrifuge dengan kecepatan 14-16.000G selama 5
menit
j. Menambahkan 400µl Wash Buffer, kemudian melakukan
sentrifuge dengan kecepatan 14-16.000G selama 1 menit
k. Menambahkan 600µl wash buffer, kemudian melakukan
sentrifuge dengan kecepatan 14-16.000G selama 1 menit.
l. Mengganti GD column kemudian menambahkan 100µl Elution
buffer pre-heated
m. Melakukan inkubasi pada suhu ruang selama 3 menit
n. Melakukan sentrifuge dengan kecepatan 14-16.000G selama 1
menit
35
o. Membuang QIAamp Spin Column dan menutup 1,5 ml
microsentrifuge tube, hasil ekstraksi dapat disimpan pada lemari
pendingin.
3.9.2 Uji Kuantitas DNA
a. Menghidupkan nanofotometer sesuai dengan protokolnya
(IMPLEN NanoPhotometer P-Class; Germany)
b. Memilih program yang sesuai dengan sampel DNA (dsDNA =
Double Stranded DNA) dan memilih satuan yang akan
digunakan, yaitu µg/ml.
c. Meneteskan permukaan cell holder dengan buffer, kemudian
membersihkannya dengan tissue
d. Meneteskan 1µl sampel DNA yang telah di ekstraksi pada cell
holder kemudian meletakkan lid 10 pada permukaan cell holder.
Hasil purifikasi (l = A260/A280) dan konsentrasi DNA akan
secara otomatis tertera pada layar.
e. Mencatat nilai konsentrasi dan purifikasi DNA.
3.9.3 Amplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)
a. Amplifikasi PCR
1. Membuat campuran reaksi dengan perhitungan: 25 µL per
reaksi × (total nomor reaksi + 1)
2. Menghitung jumlah setiap bahan yang dibutuhkan pada setiap
reaksi, volume setiap bahan dikalikan dengan reaksi (total
36
nomor reaksi + 1). Volume yang dibutuhkan pada setiap kit,
berikut rincian volume pada ki yang akan digunakant:
a) MyFi™ DNA Polymerase (Bioline)
5X MyFi Reaction Buffer : 5 µL
20 µM Forward Primer : 0,5 µL
20 µM Reverse Primer : 0,5 µL
DNA Template : 1 µL
MyFi DNA Polymerase : 1 µL
Aqua for Injection : 17 µL
3. Mencampurkan setiap bahan dengan volume sesuai dengan
perhitungan total reaksi ke dalam microsentrifuge tube,
kecuali DNA tamplate. Selama pengerjaan, seluruh bahan
diletakkan pada nampan dan rak dingin, untuk menjaga suhu
4. Melakukan aliquot campuran reaksi tersebut sebanyak 24 µL
pada setiap 0,2 ml microsentrifuge tube
5. Menambahkan DNA tamplate sebanyak 1 µL pada setiap
tube
6. Menempatkan tube ke dalam rotor, kemudian memasukkan
rotor ke dalam Rotor-Gene® Q (Qiagen)
7. Menjalankan reaksi PCR sesuai dengan kondisi PCR yang
telah ditentukan.
37
b. Cycling Parameters
Pada tahap ini, terjadi tiga proses utama yaitu denaturasi,
annealing dan extension dari materi genetik sampel. Setiap
tahapan pada PCR ini membutuhkan suhu tertentu yang berbeda-
beda.
3.9.4 Elektroforesis
Tahap elektroforesis ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap
pembuatan gel agarose dan melakukan deteksi dengan Elektroforesis.
a. Pembuatan Gel Agarose
1. Gel agarose dibuat dengan konsentrasi 0,8%
2. Menambahkan 10ml TBE 0,5 x dalam 190ml aquades
3. Menambahkan 1,6gr bubuk gel agarose kedalam larutan,
kemudian tutup baker glass dengan parafilm. Kemudian
dipanaskan pada suhu 100oC hingga larutan terlihat jernih (+
15 menit)
4. Diamkan dalam suhu ruang hingga sedikit mendingin
5. Menambahkan 5µl Gel Red, kemudian aduk dengan gerakan
memutar secara perlahan hingga Gel Red tercampur
6. Menyiapkan tray elektroforesis dengan mengelilingi tray
menggunakan selotip kertas untuk mencegah gel tumpah.
7. Menuangkan larutan gel agarose kedalam tray secara
perlahan untuk menghindari terbentuknya gelembung udara
8. Meletakkan comb pada tray, kemudian gel didiamkan pada
suhu ruang hingga mengeras
38
9. Setelah mengeras, lepaskan selotip pembatas dan letakkan
tray kedalam mesin electrophoresis apparatus
10. Lepaskan comb dari gel secara perlahan untuk menghindari
gel patah atau rusak
11. Merendam tray dengan larutan buffer
12. Sumuran pada gel siap diisi dengan sampel
b. Elektroforesis
1. Menyiapkan kertas parafilm atau solatip pada wadah;
2. Meletakkan 2 µL loading dye pada parafilm atau solatip;
3. Mengambil 3 µL hasil amplifikasi PCR, kemudian
mencampurkannya dengan loading dye;
4. Mengambil 5 µL hasil campuran tersebut, kemudian
memasukkannya ke dalam sumur pada gel agarose;
5. Menyambungkan alat elektroforesis dengan sumber listrik
dengan pengaturan pada alat elektroforesis, yaitu 100 V, 50
Watt dan 250 mA selama 55 menit;
6. Setelah selesai, didiamkan beberapa saat dan mengangkat
agarose dari bilik elektroforesis dan meletakkannya pada alat
UV untuk divisualisasikan.
3.10. Teknik Analisa Data
Dari penelitian ini akan didapatkan sejumlah data mengenai susunan alel
gen AMA-1 dari sampel yang diujikan. Hasil pembacaan elektroforesis
39
kemudian dilanjutkan ke tahapan sekuensing. Urutan basa nukleotida hasil
sekuensing sampel dibaca dengan bantuan software MEGA X.
3.11. Alur Penelitian
Alur penelitian dijelaskan pada gambar 6.
Gambar 6. Alur Penelitian
Izin penggunaan Laboratorium
Mempersiapkan alat dan bahan penelitian
Isolasi DNA pada sampel berupa BBT
Melakukan Amplifikasi dengan PCR
Pembacaan hasil amplifikasi dengan Elektroforesis
Pengolahan dan Analisis data
Hasil penelitian
Pengirimian hasil amplifikasi untuk dilakukan sekuensing
40
3.12. Etika Penelitian
Etik penelitian ini telah disetujui oleh komisi etik Fakultas kedokteran
Universitas Lampung dengan nomor surat 587/UN26.18/PP.05.02.00/2019.
Bukti persetujuan etik terlampir pada lampiran.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah ditemukan single nucleotide
polymorphism (SNP) pada gen Apical Membrane Antigen-1 (AMA-1) P.
falciparum yang menginfeksi penderita malaria di wilayah Puskesmas
Pesawaran Provinsi Lampung.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Sampel yang digunakan sebaiknya diukur dengan nanofotometer
terlebih dahulu agar setiap sampel memiliki konsentrasi DNA yang
sama.
2. Sekuensing dilakukan pada seluruh sampel untuk melihat perubahan
basa yang mungkin lebih beragam.
3. Penelitian yang sama dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih
banyak untuk memastikan ada tidaknya variasi genetik yang terjadi di
daerah Kabupaten Pesawaran.
DAFTAR PUSTAKA
Adam AAM, Amine AAA, Hassan DA, Omer WH, Nour BY, Jebakumar AZ, et
al. 2013. Distribution of erythrocyte binding antigen 175 (eba-175) gene dimorphic alleles in Plasmodium falciparum field isolates from Sudan. BMC Infectious Disease. 469(13); 1-6.
Afridi SG, Irfan M, Ahmad H, Aslam M, Nawaz M, Ilyas M, et al. 2018. Population genetic structure of domain I of apical membrane antigen-1 in Plasmodium falciparum isolates from Hazara division of Pakistan. Malaria Journal. 389(17); 1-11.
Antinori S, galimberti L, Milazzo L, Corbellino M. 2014. Biology of human malaria plasmodia including Plasmodium knowlesi. Mediterranean Journal of Hematology and Infectious Diseases [Online Journal] [diunduh 26 Agustus 2018]. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov
Arnott A, Wapling J, Mueller I, Paul AR, Siba PM, Reeder JC, et al. 2014. Distinct patterns of diversity , population structure and evolution in the AMA1 genes of sympatric Pasmodium falciparum and Plasmodium vivax populations of Papua New Guinea from an area of similarly high transmission. Malaria Journal.13(1): 1–16.
Bartoloni A, Zammarchi L. 2012. Clinical aspect of uncomplicated and sever malaria. Mediterranean journal of Hematology and Infectious Diseases. 4(1): 1-10.
Boyle MJ, langer C, Chan JA, Hodder AN, Coppel RL, Anders RF, et al. 2014. Sequential processing of merozoite surface proteins during and after erythrocyte invasion by Plasmodium falciparum. Infectin and Immunity. 82(3): 924–936.
Caminade A, Kovats S, Rocklov J, Tompkins AM, Morse AP, Gonzales FJC, et al.
2014. Impact of climate change on global malaria distribution. PNAS. 111(9):
55
3286-3291.
Centers for Disease Control and Prevention. 2015. Anopheles Mosquitoes. Atlanta.
Centers for Disease Control and Prevention. 2015. Disease.
Centers for Disease Control and Prevention. 2018. Malaria. Atlanta.
Centers of disease Controls and Prevention. 2018. Malaria Parasites. Atlanta.
Coelho CH, Doritchamou JYA, Zaidi I, Duffy PE. 2017. Advances in malaria vaccine development: report from the 2017 malaria vaccine symposium. Nature Partner Journal. 2:34.
Conde M, Pareja PX, Orjuela LI, Ahumada ML, Duran S, Jara JA, et al. 2015. Larval habitat characteristics of the main malaria vectors in the most endemic regions of colombia: potential implications for larval control. Malaria Journal. 14(1): 476.
Costa GL, Amaral LC, Fontes CJF, Carvalho LH, Brito CFA, Sousa TN. 2017.
Assessment of copy number variation in genes related to drug resistence in Plasmodium vivax and Plasmodium falciparum isolates from the Brazilian Amazon and a systematic review of the literature. Malaria Journal. 152(16); 1-11.
Crisan D, Editor. 2010. Hematopathology : genomic mechanisms of neoplastic disease. USA : Humana Press.
Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran. 2016. Profil Kesehatan Kabupaten Pesawaran 2015 : 22-23. (a)
Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran. 2016. Profil Kesehatan Kabupaten Pesawaran 2015 : 51-52. (b)
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2015. Profil kesehatan provinsi Lampung tahun 2015 : 44.
56
Draper SJ, Sack BK, King CR, Nielsen CM, rayner JC, Higgins MK, et al. 2018. Malaria vaccines : recent advances and new horizons. Cell Host & Microbe. 43 - 56.
Drew DR, Hodder AN, Wilson DW, Foley M, Mueller I, Siba PM, et al. 2012. Defining the antigenic diversity of Plasmodium falciparum apical membrane antigen 1 and the requirements for a multi-allele vaccine against Malaria. PLoS ONE. 7(12): 1–11.
Duan J, Mu J, Thera MA, Joy D, Pond SLK, Diemert D, et al. 2008. Population
structure of the genes encoding the polymorphic Plasmodium falciparum apical membrane antigen 1 : implications for vaccine design. PNAS. 105(22); 7857-7862.
Duffy CW, Hampate BA, Assefa S, Ahouisi AD, Deh YB, Tandia A, et al. 2017.
Population genetic structure dan adaptation of malaria parasites on the edge of endemic distribution. Molecular Ecology. 26: 2880-2894.
Ebrahimzadeh A, gharaei A, Saryazdi K. 2014. Allelic diversity of polymorphic
ama-1 (apical membrane antigen 1) vaccine candidate antigen of Plasmodium falciparum in two population of imported and indigenous cases in South-East of Iran using nested-pcr. Journal Of Tropical Disease. 5(2); 1-4.
Farooq U, Malla N, Dubey, ML. 2009. Genetic polymorphism in MSP-2, AMA-1 and CSP genes in plasmodium falciparum field isolates from north and north-Western India. Genetic polymorphism in MSP-2, AMA-1 and CSP genes in Plasmodium falciparum field isolates from north and north-Western India. Department of Parasitology, Post Graduate Institute of Medical Education and Research, Chandigarh, India. 46(2): 109–116.
Gardner MJ, Hall N, Fung E, White O, Berriman M, Hyman RW, et al. 2013. Genome sequence of the human malaria parasite Plasmodium falciparum. Europe PMC Funders Group. 1-35.
Garg S, Alam MT, Das MK, Dec V, Kumar A, Dash AP, et al. 2007. Sequence
diversity and natural selection at domain I od the apical membrane antigen I among Indian Plasmodium falciparum populations. Malaria Journal. 154(6): 1-9.
Healer J, Triglia T, Hodder AN, Gemmil AW, Cowman AF. 2005. Functional
57
analysis of Plasmodium falciparum apical membrane antigen-1 1 utilizing interspecies domains. Infection And Immunity. 73(4); 2444-2451.
Kamareddine L. 2012. The biological control of the malaria vector. Toxins. (4):
748–767. Kang JM, Lee J, Moe M, Jun H, Le HG, Kim TI, et al. 2018. Population genetic
structure and natural selection of Plasmodium falciparum apical membrane antigen-1 in Myanmar isolates. Malaria Journal. 71(17); 1-17.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Profil kesehatan Indonesia
tahun 2016. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kenneth IEP. 2017. Incidence of malaria parasite in pregnant and non pregnant women in Ewohimi, Edo State, Nigeria. American Association for Science and Technology. 4(6) : 97-99.
Lumkul L, awaswong V, Simpalipan P, Kaewthamasom M, Harnyuttanakom P, Pattaradilokrat S. 2018. Unraveling haplotype diversity of the apical membrane antigen-1 in Plasmodium falciparum populations in Thailand. Korean Journal of Parasitology. 56(2): 153-165.
Maftuchah, Winaya A, Zainudin A. 2014. Teknik dasar analisis biologi molekuler. Yogyakarta : Deepublisher.
Mau F, Murhandarwati EEH. 2016. Keragaman genetik dari Msp 1, Msp 2, dan Glurp pada Plasmodium falciparum di kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Buletin Penelitian Kesehatan. 44(2): 77–84.
Meyer CG, May J, Arez AP, Gil JP, Rosario Vd. 2002. Review : genetic diversity of Plasmodium falciparum : asexual stages. Tropical Medicine and International hHalth. 7(5): 395-408
Nair M, Hinds MG, Coley AM, Hodder AN, Foley M, Anders RF, Norton RS.
2002. Structure of domain III of the blood-stage malaria vaccine candidate, Plasmodium falciparum apical membrane antigen-1 (AMA-1). 322(4); 741-753.
58
Nicoll WS, Sacci JB, Rodolfo C, Giacomo GD, Piacentini M, Holland ZJ, et al. 2011. Plasmodium falciparum liver stage antigen-1 is cross-linked by tissue transglutaminase. Malaria Journal. 10:14.
Nugraheni D, Wijayanti M. 2011. Respon antibodi terhadap merozoite surface
protein-1 (msp-1) dan apical membrane antigen-1 (ama-1) Plasmodium falciparum pada penduduk daerah endemis rendah dan endemis sedang di Indonesia. Universitas Gadjah Mada.
Nugroho ED, Rahayu DA. 2016. Penuntun Praktikum Bioteknologi. Yogyakarta : Deepublish.
Nugroho ED, Rahayu DA. 2018. Pengantar bioteknologi (Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta : Deepublish. Nursalam. 2008. Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.
Ouattara A, laurens MB. 2014. Vaccines against malaria. Infectious Disease Society of America. 60(6): 930-936.
Putra, RI. 2011. Malaria dan permasalahannya. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 11(2): 103–114.
Rabinovich RN, Drakeley C, Djimde AA, Hall BF, Hay SI, Hemingway J, et al.
2017. MaIERA: an update research ageda for malaria elimination and eradication. PLoS Med. 14(11): 1-17.
Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1998. Molecular cloning - a laboratory manual.
Second edition, (three volumes). New York : Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Soedarto. 2016. Buku ajar parasitologi kedokteran edisi kedua. Surabaya : Sagung
Seto.
Soulama I, Bigoga JD, Ndiaye M, Bougouma EC, Quagraine J, Casimiro PN, et al. 2011. Genetic diversity of polymorphic vaccine candidate antigens ( apical membrane antigen-1 , merozoite surface protein-3 , and erythrocyte binding
59
antigen-175 ) in Plasmodium falciparum isolates from Western and Central Africa. The American Society of Tropical and Hygiene. 84(2): 276–284.
Soulama I, Serme SS, Bougouma EC, Diarra A, Tiono AB, Ouedraogo A, et al.
2015. Clinical variation of Plasmodium falciparum eba-175, ama-1, and msp-3 genotypes in young children living in a seasonally high malaria transmission setting in Burkina Faso. Journal of Parasitology Research [Online Journal] [diunduh 31 Desember 2017]. Tersedia dari : http:/hindawi.com.
Sousa A, Barron LG, Vetter M, Morales J. 2014. The historical distribution of main malaria foci in Spain as related to water bodies. International Journal of Environmental Research and Public Health. (11) : 7896-7917.
Sugiarto, Hadi UK, Soviana S, Hakim L. 2016. Karakteristik habitat larva
Anopheles spp. di Desa Sungai Nyamuk, daerah endemik malaria di kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. BALABA. 12(1): 47-54.
Sulasmi S, Setyaningtyas DE, Rosanji A, Rahayu N. 2017. Pengaruh curah hujan,
kelembaban, dan temperatur terhadap prevalensi malria di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. JHECDs. 3(1): 22-27.
Theisen M, Soe S, Oeuvray C, Thomas AW, Vuust J, Danielsen S, et al. 1998. The
glutamate rich protein (glurp) of Plasmodium falciparum is a target for antibody dependent monocyte-mediated inhibition of parasite growth in vitro. Infection dan Immunity. 66(01); 11-17.
Tukwasibwe S, Tumwebaze P, Conrad M, Arinaitwe E, Kamya MR, Dorsey G, et
al. 2017. Drug resistance mediating Plasmodium falciparum polymorphisms and clinical presentations of parasitaemic children in Uganda. Malaria Journal. 125(16); 1-6.
Wolf LE, Bouley TA, McCulloch CE. 2010. Genetic research with stored biological
materials : ethics and practice. 32(2): 7–18.
World Health Organizations. 2017. World Malaria Report. Geneva : WHO Library Cataloguing Data.
Yap A, Azevedo MF, Gilson PR, Weiss GE, O'Neil MT, Wilson DW, et al. 2014. Conditional expression of apical membrane antigen 1 in Plasmodium
60
falciparum shows it is required for erythrocyte invasion by merozoites. Cellular Microbiology. 16(5): 642–656.