identitas pasien responsi bedah 1
DESCRIPTION
responsiTRANSCRIPT
KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn R
Alamat : Dr.sutomo- banaran- kertosono
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 18 th
Pendidikan : SMA
Agama : islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : siswa
Tanggal Pemeriksaan : 30-07-2013
No.RM : 13271871
II. ANAMNESA
Keluhan utama
Sakit pada perut bagian bawah
Riwayat Penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan perut bagian bawah terasa sakit kuranng lebih 3 hari,
kadang disertai sesak, sakit yang dirasakan terus menerus. Tidak mual dan muntah.
BAB/BAK normal, makan/ minum normal. Dalam 2 bulan ini ketika pagi pasien
mengatakan keluar benjolan sebesar telur ayam pada perut bagian bawah dan terasa
sakit, sebelumnya pasien tidak mengetahui adanya benjolan di perut bagian bawah
tersebut. Benjolan itu menghilang ketika dibuat bergerak dan makan. Setiap bulan
haid pasien teratur, rata-rata lama haid 4-7 hari, setiap akan haid pasien merasa nyeri
yang hebat sampai pasien tidak masuk sekolah. Diluar haid pasien sering spoting
dalam dua bulan ini. Kemudian MRS di RSUD kertosono diberi amino fluid 1x1 dan
ranitidine 3x1 tetapi keadaan pasien tidak membaik, kemudian dirujuk ke RSUD
Nganjuk.
Riwayat Penyakit Dahulu
- pasien tidak mempunyai riwayat asma atau pun alergi
Riwayat penyakit keluarga (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Umum
Kesadaran :compos mentis
Keadaan umum :cukup
Tensi :120/80 mmHg
Nadi :92 x/mnt
Suhu axillar :37oC
Resoiratory rate :20X/ menit
Kepala Leher
Mata : konjungtiva anemis -/-
sclera ikterik -/-
Hidung : nafas cuping hidung (-)
Mulut : cyanosis (-)
Leher : - tidak teraba massa atau pembesaran
kelenjar
- Pembesaran vena jugularis (-)
Thoraks
Inspeksi : Gerak nafas seirama
retraksi otot (-)
Palpasi : Fremitus raba normal
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : Cor: S1S2 tunggal
pulmo: vesikuler: +/+
Abdomen
Inspeksi : Flat (+)
Jejas (-)
Kulit intak(+)
Jaringan parut (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel (+)
nyeri tekan (+) pada inguinal dextra dan
sinitra serta hipogastrium
hepar & lien tidak teraba
Perkusi : suara ketuk tympani
Ekstremitas : Akral hangat, oedema - / -
B. LOKALIS
Abdomen
Inspeksi : Flat (+)
Jejas (-)
Kulit intak(+)
Jaringan parut (-)
Massa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel
nyeri tekan (+) pada inguinal dextra dan
sinitra serta hipogastrium
hepar & lien tidak teraba
Perkusi : suara ketuk tympani
Rectal Toucher : nyeri seluruh lapang pandang
Massa (-), feses (-), darah (-)
Tonus sfinkter ani normal
Mukosa recti licin
Ampula recti normal
Psoas sign (+)
Obturator sign (+)
Rovsing sign (+)
Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1Anoreksia 0
Mual/muntah 0
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1Febris 0
Laboratorium Leukositosis 0Shift to the left 0
Total poin 4
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM HEMATOLOGI 30-07-2013
LAB HEMATOLOGI HASIL NORMAL
WBC 7,83 (10^3/UL) L : ( 3,8-10,6) P : ( 3,6-11,6 )
NEUT 5,61 (10^3/UL) 71,6 [%][30 – 70]
LYMPH 1,29 (10^3/UL) 16,5 [%][25 – 40]
EO 0,68 (10^3/UL) 8,7 [%][4 – 12]
MONO 0,24 (10^3/UL) 3,1 [%][2 – 4]
BASO 0,01 (10^3/UL) 0,1 [%][0.1 – 1.2]
RBC 4,23 (10^6/UL) L : (4,4-5,9) P : (11,7- 15,5)
HGB 8,9 (g/dl) L : ( 13,2-17,3) P : (11,7-15,5)
HCT 28,8 (%) L : (40-52) P : (35-47)
MCV 68,1 (fl) (80-100)
MCH 21,0 (pg) (26,0-34,0)
MCHC 30,9 (g/dl) (32,0-36,0)
PLT 318 (10^3/UL) (150-350)
RDW- SD 37,4 (fl) ( 35,1- 46,3)
RDW- CV 15,4 (%) ( 11,6- 14,4)
PDW 12,1 (fl) (9,0-13,0)
P-LCR 26,8 (%)
PCT 0,32
TEST FAAL HEMOSTASIS TANGGAL 30-07-2013
PT 14,5 detik kontrol 13,1 detik
APTT 30,3 detik kontrol 34,9 detik
HASIL PEMERIKSAAN USG ABDOMEN TANGGAL 30-07-2013
Hepar :besar normal, permukaan regular, tepi tajam
Intensitas echoparenkim homogen, v.porta dan hepatica normal
Gailbladder :besar normal, dinding tipis, massa/ batu (-)
Pancreas :besar normal, densitas ntensitas echoparenkim homogen normal,
massa/kalsifikasi(-)
Lien :besar normal, densitas echoparenkim homogen normal, massa/kista(-)
Ren dextra dan sinistra :besar normal, system pelvicalyceal normal, massa/batu (-)
Buli-buli :mucosa normal, massa/batu (-)
Uterus :besar normal, massa/kista (-)
Adnexa kanan dan kiri tidak tampak kelainan
Tampak echo-cairan bebas di cavum abdomen
Tampak gambaran usus dilatasi
Kesimpulan :peritonitis
V. Resume
Seorang wanita 18 tahun datang dengan keluhan perut bagian bawah terasa sakit kuranng
lebih 3 hari, kadang disertai sesak, sakit yang dirasakan terus menerus. Dalam 2 bulan ini
ketika pagi pasien mengatakan keluar benjolan sebesar telur ayam pada perut bagian
bawah dan terasa sakit, benjolan itu menghilang ketika dibuat bergerak dan makan.
Dalam dua bulan ini diluar haid pasien sering spoting
Dari pemeriksaan fisik abdomen didapatkan nyeri tekan (+) pada inguinal dextra dan
sinitra serta hypogastrium. Rectal Toucher nyeri seluruh lapang pandang, Psoas sign (+),
Obturator sign (+), Rovsing sign (+).
Berdasar Alvarado score, total poinnya adalah 4.
Berdasar Lab Haematologi didapatkan peningkatan neutrophil dan protrombine time serta
penurunan HGB, HCT, MCV, MCH, MCHC.
Berdasar USG abdomen kesimpulannya adalah peritonitis
VI. Diagnosa
Peritonitis e.c ?
VII. Penatalaksanaan
Pro laparatomi
VIII. LAPORAN OPERASI
Diagnosa pra bedah : peritonitis e.c ?
Diagnosa pasca bedah : peritonitis e.c endometriosis pecah
Jenis anastesi : GA
Tindakan : kistatektomi
IX. Riwayat Perkembangan Pasien
31/7/2013 Tx pos op
Sementara puasa,bila bising usus (+) 1x24
jam, diet MSS
Inj Cefotaxim 3x1
Inj ketorolac 3x1 1x24jam
Inj vit B1 2x1
Inj asam traneksamat 3x250mg
Cek Hb, bila Hb<9 tranfusi PRC sampai
dengan Hb ≥9
Obs vital sign
1/8/2013 S: nyeri perut (+)
Flatus (+)
KU: cukup
KES: Composmentis
TD: 110/80 mmHg
N : 80x/ menit
T : 36,70 C
RR: 20x/ menit
K/L: A+/I-/C -/D-
Thor : Cor dbn
Pulmo dbn
Abd : soepel (+), BU (+),
nyeri tekan (+)
A: pos laparatomi hari I
Tx:
Inf Pz 20 tpm
Amoxicillin 3x500
Asam mefenamat 3x500
Formuno 1x1
Obs Vs dan keluhan
LABORATORIUM HEMATOLOGI 31-07-2013
WBC (10^3/UL) L : ( 3,8-10,6) P : ( 3,6-11,6 )NEUT (10^3/UL) [%][30 – 70]LYMPH (10^3/UL) [%][25 – 40]EO (10^3/UL) [%][4 – 12]MONO (10^3/UL) [%][2 – 4]BASO (10^3/UL) [%][0.1 – 1.2]RBC (10^6/UL) L : (4,4-5,9) P : (11,7- 15,5)HGB 10,7 (g/dl) L : ( 13,2-17,3) P : (11,7-15,5)HCT (%) L : (40-52) P : (35-47)MCV (fl) (80-100)MCH (pg) (26,0-34,0)MCHC (g/dl) (32,0-36,0)PLT (10^3/UL) (150-350)RDW- SD (fl) ( 35,1- 46,3)RDW- CV (%) ( 11,6- 14,4)PDW (fl) (9,0-13,0)P-LCR (%)PCT
2/8/2013 S: keluhan (-)
KU: cukup
KES: Composmentis
TD: 120/80 mmHg
N : 84x/ menit
T : 36,50 C
RR: 20x/ menit
K/L: A-/I-/C -/D-
Thor : Cor dbn
Pulmo dbn
Abd : soepel (+), BU (+),
nyeri tekan (-)
A: pos laparatomi hari II
Tx :
Imobilisasi duduk
Aff infus
Aff DC
Amoxicillin 3x500
Asam mefenamat 3x500
Formuno 1x1
Sulfas ferosus 1x1
Diet ML
0bs Vs dan keluhan
PERITONITIS ET CAUSA ENDOMETRIOSIS
Pembimbing:
dr. Pramugyono Sp B
Disusun Oleh:
Arief Kurniawan 05700221
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
SMF Ilmu Bedah
RSUD Nganjuk
Tahun 2013
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. (Fauci et al, 2008)
Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan yang mirip endometrium, di luar kavum uteri (Manuaba, 2001: 526). Sedangkan menurut (Wiknjosastro, 1999: 314) Endometriosis adalah satu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma, terdapat di miometrium ataupun di luar uterus.
KlasifikasiInfeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:a. Peritonitis primer (Spontaneus)Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.b. Peritonitis sekunder Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).
Tabel Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal Penyebab
Esophagus
Boerhaave syndromeMalignancyTrauma (mostly penetrating)Iatrogenic*
Stomach Peptic ulcer perforationMalignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
DuodenumPeptic ulcer perforationTrauma (blunt and penetrating)Iatrogenic*
Biliary tract
CholecystitisStone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common ductMalignancyCholedochal cyst (rare)Trauma (mostly penetrating)Iatrogenic*
PancreasPancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)Trauma (blunt and penetrating)Iatrogenic*
Small bowel
Ischemic bowelIncarcerated hernia (internal and external)Closed loop obstructionCrohn diseaseMalignancy (rare)Meckel diverticulumTrauma (mostly penetrating)
Large bowel and appendix
Ischemic bowelDiverticulitisMalignancyUlcerative colitis and Crohn diseaseAppendicitisColonic volvulusTrauma (mostly penetrating)Iatrogenic
Uterus, salpinx, and ovaries
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)Malignancy (rare)Trauma (uncommon)
c. Peritonitis tertier Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan operasi sebelumnya. Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).
Klasifikasi EndometriosisMenurut topografinya endometriosis dapat digolongkan, yaitu sebagai berikut:
1. Endometriosis Interna, yaitu endometriosis di dalam miometrium, lazim disebut Adenomiosis.
2. Endometriosis Eksterna, yaitu endometriosis di luar uterus, lazim disebut ”true endometriosis”
Menurut letaknya endometriosis dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Endometriosis genetalia interna, yaitu endometriosis yang letaknya di dalam uterus.2. Endometriosis eksterna, yaitu endometriosis yang letaknya di dinding belakang uterus, di
bagian luar tuba dan di ovarium.3. Endometriosis genetalia eksterna, yaitu endometriosis yang letaknya di pelvio peritonium
dan di kavum douglas, rekto sigmoid, kandung kencing.
.
Etiologi
Sampai saat ini belum ada penyebab pasti dari endometriosis. Ada beberapa teori yang menerangkan terjadinya endometriosis, seperti :
1. Teori implantasi yaitu implantasi sel endometrium akibat regurgitasi transtuba pada saat menstruasi.
2. Teori metaplasia, yaitu metaplasia sela multipotensial menjadi endometrium, namun teori ini tidak didukung bukti klinis maupun eksperimen.
3. Teori induksi, yaitu kelanjutan teori metaplasia dimana faktor biokimia indogen menginduksi perkembangan sel peritoneal yang tidak diperesiansi menjadi jaringan endometrium (Mansjoer, 2001: 381).
4. Teori sistem kekebalan, kelainan sistem kekebalan menyebabkan jaringan menstruasi tumbuh di daerah selain rahim.
5. Teori genetik, keluarga tertentu memiliki faktor tertentu yang menyebabkan kepekaan yang tinggi terhadap endometriosis. Bahwa anak ataupun Anda penderita endometriosis beresiko besar mengalami endometriosis sendiri.
6. Teori Retrograde menstruation (menstruasi yang bergerak mundur) menurut teori ini, endometriosis terjadi karena sel-sel endometrium yang dilepaskan pada saat menstruasi mengalir kembali melalui tuba ke dalam rongga pelvis.
PatofisiologiReaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008).
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et al, 2008).
Patogenesis endometriosis
Manifestasi Klinis Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga abdomen. Gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970). Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok (Doherty, 2006).Gejala
1. Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis (Schwartz et al, 1989).
2. Anoreksia, mual, muntah dan demamPada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989).
3. Facies HipocratesPada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et al,1970).Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989).
4. Syok Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970).
Tanda
1. Tanda VitalTanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartz et al, 1989).
2. InspeksiTanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).
3. AuskultasiAuskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami strangulasi (Cole et al,1970).
4. PerkusiPenilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et al,1970). Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al, 1989).
5. Palpasi Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter.bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al, 1989).
6. Palpasi Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter.
Tanda-Tanda dan Gejala endometriosis
1. Nyeri perut bagian bawah dan di daerah panggul progresif.2. Disminorea (nyeri hebat di perut bagian bawah saat haid yang menganggu aktifitas).
3. Dispareunea (nyeri ketika melakukan hubungan seksual), disebabkan karena adanya endometriosis di kavum douglas.
4. Nyeri ketika buang air besar atau kecil (disuria), khususnya pada saat menstruasi. Disebabkan karena adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.
5. Poli dan hipermenorea (siklus lebih pendek dari normal < 21 hari, darah lebih banyak atau lama dari normal lebih dari 7 hari).
6. Infertilitas (kemandulan), apabila mobilitas tuba terganggu karena fibriosis dan karena perlekatan jaringan disekitarnya.
7. Menstruasi yang tidak teratur (misalnya spoting sebelum menstruasi).
8. Haid yang banyak (menorragia)
Pemeriksaan Penunjangperitonitis
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970).
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).
EndometriosisPemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
1. Laparaskopi2. Kuldoskopi3. USG rahim4. Barium enema5. CT scan6. MRI
Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing. Sigmoidoskopi dan sistokospi dapat memperlihatkan tempat perdarahan pada waktu haid.Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,untuk penegakkan diagnose peritonitis selain yang tersebut diatas, harus pula dicari penyebab pastinya sehingga peritonitisnya dapat diatasi segera sehingga tidak menimbulkan kematianTata Laksana
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006).Penanganan Preoperatif
Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial (Schwartz et al, 1989).
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty, 2006).
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989).
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989).
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz et al, 1989).
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen tepat yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz et al, 1989).Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena
gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006).
Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).
Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006.)Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan
awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).