ideologi sosial

34
BAB II KRITERIA AKAD YANG MENGANDUNG UNSUR PENIPUAN DALAM KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM A. Pengertian Hukum Perjanjian Islam Secara etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Ittida, atau Akad. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak ataupun perjanjian, perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih”. 43 Dalam Hukum Islam khususnya Al-Quran sendiri setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian 44 yaitu kata akad ( al-‘aqdu) dan kata ‘ahd (al- ‘ahdu), Al-Quran memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian 45 , sedangkan kata yang kedua dalam Al-Quran berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian. Akad atau al-‘aqdu dalam bahasa Arab berarti ikatan, atau perjanjian dan kesepakatan. Kata ‘aqdu (atau al’aqd) sendiri mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji dari orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang lain, yang kemudian disebut perikatan (‘aqd). 43 Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K, Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal: 1. 44 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 2001), hal: 247 45 Al-Qur’an, Surat Al-Maidah ayat 1 27 Universitas Sumatera Utara

Upload: imam-jokine-mobil-dolak

Post on 27-Sep-2015

27 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

IDEOLOGI

TRANSCRIPT

  • 27

    BAB II

    KRITERIA AKAD YANG MENGANDUNG UNSUR PENIPUAN DALAMKETENTUAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM

    A. Pengertian Hukum Perjanjian Islam

    Secara etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan

    Muahadah Ittida, atau Akad. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak

    ataupun perjanjian, perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya

    terhadap seseorang lain atau lebih.43

    Dalam Hukum Islam khususnya Al-Quran sendiri setidaknya ada dua istilah

    yang berkaitan dengan perjanjian44 yaitu kata akad ( al-aqdu) dan kata ahd (al-

    ahdu), Al-Quran memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian45,

    sedangkan kata yang kedua dalam Al-Quran berarti masa, pesan, penyempurnaan,

    dan janji atau perjanjian. Akad atau al-aqdu dalam bahasa Arab berarti ikatan, atau

    perjanjian dan kesepakatan. Kata aqdu (atau alaqd) sendiri mengacu pada terjadinya

    dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang

    lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan

    dengan janji yang pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji dari orang

    yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang lain, yang kemudian disebut

    perikatan (aqd).

    43 Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K, Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hal: 1.

    44 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Adityabakti, 2001), hal: 247

    45 Al-Quran, Surat Al-Maidah ayat 1

    27

    Universitas Sumatera Utara

  • 28

    Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan

    perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang

    perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara

    efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalam ijab dan qabul

    yang menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan yang

    dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat. Artinya

    bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih baru

    dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat Islam.

    Dengan adanya ijab qabul yang didasarkan pada ketentuan syariat, maka suatu akad

    akan menimbulkan akibat hukum pada objek perjanjian yaitu terjadinya pemindahan

    kepemilikan atau pengalihan kemanfaatan dan seterusnya.

    Sebagaimana Hukum Islam yang berasal dari tiga sumber hukum, yaitu Al-

    Quran, Hadits (sebagai dua sumber utama), serta ar-rayu atau akal pikiran manusia

    yang terhimpun dalam ijtihad. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad Saw,

    yang dikenal dengan Hadits Muaz46 maka sumber hukum Perjanjian Islam sendiri

    berasal juga dari Al-Quran, al- Hadits, dan Ijtihad.47

    46 Pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman ( dariMadinah) untuk menjadi gubernur disana. Sebelum berangkat, Nabi menguji sahabatnya yang bernamaMuaz bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergunkannya kelak untukmemecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang mengatakan bahwa dia akanmempergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang dijumpainyadidaerah baru itu. Pertanyaan baru itu dijawab Muaz dengan mengatakan bahwa dia akanmempergunakan Al-Quran. Jawaban tersebut disusul oleh Nabi dengan pertanyaan: Jika tidak terdapatpetunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al-Quran bagaimana? Muaz menjawab: saya akanmencarinya dalam Sunnah Nabi. Nabi bertanya lagi: Kalau engkau tidak menemukan petunjuk dalamSunnah Nabi, bagaimana? Muaz menjawab Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencarisumber pemecahannya dengan mempergunakan rayu atau akal saya dan akan mengikuti pendapatsaya itu. Nabi sangan senang atas jawaban Muaz tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah

    Universitas Sumatera Utara

  • 29

    1. Al-QuranSebagai salah satu sumber hukum Islam utama yang pertama, dalam HukumPerjanjian Islam, sebagian besar Al-Quran hanya mengatur mengenai kaidah-kaidah umum. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari isi ayat-ayat Al-Qurandibawah ini:a. Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya:

    Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain ddiantarakamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartaitu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada hartabenda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamumengetahui.

    b. Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.

    c. Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya:Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secaratunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Danhendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Danjanganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telahmengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yangberhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah iabertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pundaripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya ataulemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan denganjujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki(diantaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelakidan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jikaseorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi ituenggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamujemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktumembayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih dapatmenguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah ituperdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosabagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabilah kamiberjual-beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jikakamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatukefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

    d. Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283 yang artinya:

    yang telah menuntun utusan Rasul-Nya lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar IlmuHukum dan Tata Hukum Islan di Indonesia, cet 8, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 hal:68

    47Gemala Dewi, et al., Hukum Periakatan Islam Di Indonesia ( Jakarta: kencana, 2005), hal:38

    Universitas Sumatera Utara

  • 30

    Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)sedangkamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barangtanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagiankamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itumenunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada AllahTuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalahorang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamukerjakan.

    e. Al-Quran surat An-Nisa ayat 29 yang artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan hartasesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yangberlaku dengan suka sama suka di antara kamu

    f. Al-Quran surat Al-Maidah ayat 1 yang artinya:Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.

    g. Al-Quran surat Al-Maida ayat 2 yang artinya:Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa, dan pelanggaran.

    h. Al-Quran surat Al-Jumuah ayat 9 yang artinya:Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan untuk menunaikansembahyang pada hari Jumat maka bersegeralah kamu kepada mengingatAllah dan tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagi mu jikakamu mengetahui.

    i. Al-Quran surat Al-Muthaffifiin ayat 1-6 yang artinya:Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orangyang apabila menerima takaran dari orang lain minta dipenuhi, dan apabilamereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akandibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusiaberdiri menghadap Tuhan semesta alam.

    Masih banyak lagi ayat-ayat lainnya dalam Al-Quran yang mengatur

    mengenai perbuatan muamalat secara umum.

    2. Al-HaditsDalam Hadits, ketentuan-ketentuan mengenai muamalat lebih terperinci

    daripada Al-Quran. Namun perincian ini tidak terlalu mengatur hal-hal yang sangatmendetail, tetap dalam jalur kaidah-kaidah umum. Hadist-Hadist tersebut antara laindapat dilihat dibawah ini:

    a. HR Abu Dawud dan HakimAllah Swt.telah berfirman (dalam Hadits Qudsi-Nya), Aku adalah yangketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang di antara

    Universitas Sumatera Utara

  • 31

    keduanya berkhianat terhadap temannya. Apabila salah seorang di antarakeduanya berkhianat, maka Aku keluar dari perserikatan keduanya.

    b. Hadist Nabi Muhammad SawDari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Saw, berkata, Sesungguhnya Allah danRasul-Nya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai, begitu juga babi,dan berhala. Pendengar bertanya, Bagaimana dengan lemak bangkai, yaRasulullah? Karena lemak itu berguna buat cat perahu, buat minyak kulit,dan minyak lampu. Jawab beliau, Tidak boleh, semua itu haram, celakalahorang Yahudi tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka hancurkanlemak itu sampai menjadi minyak, kemudian mereka jual minyaknya, lalumereka makan uangnya.

    c. Hadits Nabi Muhammad Saw, dari Abu HurairahRasulullah Saw. Telah bersabda, Janganlah diantara kamu menjual sesuatuyang sudah dibeli oleh orang lain.

    d. HR Muslim dari Abu HurairahBahwasanya Rasulullah Saw, pernah melalui suatu onggokan makanan yangbakal dijual, lantas beliau memasukkan tangan beliau kedalam onggokan itu,tiba-tiba didalam jarinya beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jaribeliau yang basah itu seraya berkata, Apakah ini? Jawab yang punyamakanan,Basah karena hujan, ya Rasulullah. Beliau bersabda, Mengapatidak engkau taruh dibagian atas supaya dapat dilihat orang? Barang siapayang menipu, maka ia bukan umatku.

    e. HR Ahmad dan BaihaqiOrang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya.Maka apabila salah seorang diantara kamu memindahkan utangnya kepadaorang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampumembayarnya.

    f. HR Bukhari dan MuslimSiapa saja yang melakukan jual-beli Salam (salaf), maka lakukanlah dalamukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu.

    g. HR Abu Yala, Ibnu Majah, Thabrani, dan TarmidziBerilah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum keringkeringatnya.

    3. IjtihadSumber Hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad yang dilakukan dengan

    menggunakan akal atau ar-rayu. Posisi akal dalam ajaran Islam memiliki kedudukanyang sangat penting. Allah Swt menciptakan akal untuk manusia agar dipergunakansesuatu dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan dalam Islam. Namun demikian, akaltidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada petunjuk. Petunjuk itu telah diatur olehAllah Swt yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadits.

    Penggunaan akal untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi MuhammadSaw seperti yang terdapat pada Hadits Muaz bin Jabal, bahkan juga terdapat dalam

    Universitas Sumatera Utara

  • 32

    ketentuan Al-Quran Surat An-Nisa ayat 59., Mohammad Daud Ali memberikandefinisi ijtihad adalah:

    ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh denganmempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahlihukum) yang memenuhi syarat untuk merumus-kan garis hukum yang belumjelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.

    Akad dalam terminologi ahli bahasa mencakup makna ikatan, pengokohan

    dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan diantara kalangan

    ulama fiqh menyebutkan akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelas dari

    dua keinginan yang ada kecocokan, sebagaimana mereka juga menyebutkan arti akad

    sebagai setiap ucapan yang keluar yang menerangkan keinginan walaupun

    sendirian.48

    Menurut Dictionary of Business Term,49 memberikan definisi akad yaitu

    aqd or contract is Transaction involving two or more individuals whereby each

    becomes obligate to the other, with reciprocal rights to demand performances of what

    is promised

    Bila dialih-bahasakan maka bermakna sebagai berikut:

    akad adalah sebuah persetujuan yang mengikat secara umum antara dua pihak

    atau lebih yang sama, untuk pertimbangan, satu atau lebih pihak setuju untuk

    melakukan sesuatu.

    Sementara itu, Hashim Maruf al- Husaini50, memberikan definisi akad atau

    kontrak:

    48 Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal:1649 Alexander Hamilton Institute, A Dictionary of Business Terms, 1987 dalam Abdul Manan,

    Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012),hal: 72

    Universitas Sumatera Utara

  • 33

    a contract is an agreement and the consequence is an obligation and binding

    upon the contracting parties

    Bila dialih-bahasakan maka bermakna sebagai berikut:

    akad adalah sebuah kontrak yang merupakan suatu persetujuan dan konsekuensinya

    adalah suatu kewajiban dan mengikat bagi pihak-pihak yang terlibat.

    Pengertian Akad sendiri juga terdapat dalam Kompilasi Hukum ekonomi

    Syariah Bab I Pasal 20 yang menyebutkan:

    akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih

    untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

    Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

    Syariah, Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis

    antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak

    dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip Syariah.

    Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam

    suatu akad atau perjanjian ataupun kontrak menurut hukum Islam yaitu adanya

    pertalian ijab qabul yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad tersebut

    dan dengan sedirinya memiliki kewajiban dan hak yang melekat pada akad tersebut

    yang mengikat para pihak. Akad tersebut juga harus sesuai dengan syariat Islam dan

    tidak boleh membuat suatu akad terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT.

    B. Rukun dan Syarat Suatu Akad

    Akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa

    pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri demi terwujudnya suatu

    50 Hashim Maruf al-Husaini, Nazriyah al-Aqd fi Fiqh al- Zafari(n.d), hal:100 dalam Mohd MasumBillah, Shariah Standart of Business Contract, ( Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd, 2006), hal: 3

    Universitas Sumatera Utara

  • 34

    tujuan yang telah disepakati sebelumnya. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang

    mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu, untuk

    menyatakan kehendak masing-masing, harus diungkapkan dalam suatu pernyataan

    yaitu dengan ijab dan qabul. Dalam melaksanakan suatu akad terdapat rukun dan

    syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya akad yang dibuat oleh para pihak. Begitu

    juga dalam syariah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya

    suatu transaksi.

    Secara definisi, rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak

    terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya

    perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu.51

    Sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan

    hukum syari dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya

    menyebabkan hukum pun tidak ada.52

    Pendapat mengenai rukun akad dalam Hukum Islam sendiri beraneka ragam

    dikalangan para ahli fiqh. Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun

    aqad hanya sighat al-aqd, yaitu ijab dan qabul dan syarat akad adalah al-aqidain

    (subjek akad) dan mahallul aqd (objek akad). Alasannya adalah al-aqidain dan

    mahallul aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf akad (perbuatan hukum akad).

    Kedua hal tersebut berada diluar perbuatan akad.

    51Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru vanHoeve, 1996), hal: 1510 selanjutnya lihat juga dalam Gemala Dewi, et.al., Hukum Perikatan Islam diIndonesia, (Jakarta: Kencana, 2005) hal: 50

    52Ibid

    Universitas Sumatera Utara

  • 35

    Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafii termasuk

    Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Kharakhi, bahwa al-

    aqidain dan mahallul aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut merupakan

    salah satu pilar utama dalam tegaknya akad.

    Sedangkan menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut

    merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu

    akad53:

    1. Subjek Akad (al-aqidain)Subjek Akad disini adalah dua pihak atau lebih yang melakukan akad. Keduabelah pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akadsehingga akad tersebut dianggap sah. Kelayakan tersebut terwujud denganbeberapa hal berikut54:a. Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila

    pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaantercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total,tidak sah melakukan perjanjian.

    b. Bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang dibawah paksaan,kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan perlupengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untukmenjual barangnya untuk menutupi hutangnya.

    c. Akad itu dianggap berlaku bila tidak terdapat khiyar (hak pilih). Sepertikhiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ruyah (hakpilih dalam melihat) dan sejenisnya.

    2. Obyek Akad (Mahallul Aqd)Mahallul aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakanpadanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupabenda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tak berwujud,seperti manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul aqdadalah sebagai berikut:55

    53Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Memahami Syariat Islam. Cet 1, (Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2000), hal:23

    54 Shalah ash-Shawi &Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Terjemahan),(Jakarta: Darul Haq, 2008), hal: 27-28

    55 Ghufron A Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual. Cet.1 (Jakarta:PT. Raja GrafindoPersada, 2002), hal: 86-89

    Universitas Sumatera Utara

  • 36

    a. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkanSuatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti menjualanak hewan yang masih didalam perut induknya atau menjual tanamansebelum tumbuh. Alasannya, bahwa sebab hukum dan akibat akad tidakmungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada. Namun demikianpengecualian terhadap bentuk akad-akad tertentu, seperti salam, istishna,dan musyaqah yang objek akadnya diperkirakan akan ada di masa yangakan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istihsna untuk memenuhikebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat.

    b. Objek perikatan dibenarkan oleh syariahPada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslahmemiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya idaksuci, seperti bangkai, minuman keras, babi, atau darah dianggap tidakmemiliki nilai dan tidak memiliki manfaat bagi manusia. Menurutkalangan Hanafiyah, dalam tasharruf akad tidak mensyaratkan adanyakesucian objek akad. Dengan demikian, jual beli kulit bangkai dibolehkansepanjang memiliki manfaat. Kecuali benda-benda yang secara jelasdinyatakan dalam nash, seperti, khamar, daging babi, bangkai dan darah.Selain itu, jika objek perikatan itu dalam bentuk manfaat yangbertentangan dengan ketentuan syariah, seperti pelacuran, pembunuhanadalah tidak dibenarkan pula, batal.Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa, benda yang bukan milikseseorang pun tidak boleh dijadikan objek perikatan. Karena hal ini tidakdibenarkan dalam syariah.56

    c. Objek akad harus jelas dan dikenaliSuatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan dandiketahui oleh aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahamandi antara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objektersebut berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi,dan keadaannya. Jika terdapat cacat pada benda tersebut pun harusdiberitahukan. Jika objek tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihakyang memilki keahlian sejauh mana kemampuan, keterampilan, dankepandaiannya dalam bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum ataukurang ahli terampil, mampu, maupun pandai, tetap harus diberitahukanagar masing-masing pihak memahaminya. Dalam Hadits riwayat ImamLima dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad Saw melarang jual-beligharar (penipuan) dan jual-beli hassah (jual beli dengan syarat tertentu,seperti penjual akan menjual bajunya apabila lemparan batu dari penjualmengenai baju itu)57.

    d. Objek dapat diserahterimakan

    56 Ahmad Azhar Basyir,Op. Cit., hal: 8057 Ghufron A MasAdi, Op.Cit.,hal: 88

    Universitas Sumatera Utara

  • 37

    Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan pada saat akadterjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu disarankanbahwa objek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudahuntuk menyerahkannya kepada pihak kedua. Burung di udara, ikan di laut,tidaklah dapat diserahkan karena tidak ada dalam kekuasaannya. Untukobjek perikatan yang berupa manfaat, maka pihak pertama harusmelaksanakan tindakan (jasa) yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pihakkedua, sesuai dengan kesepakatan.

    3. Ijab dan Kabul (Sighat al-Aqd)Sighat al-aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akadberupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran daripihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalahsuatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukanoleh pihak pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam melakukanijab dan Kabul agar memiliki akibat hukum yaitu sebagai berikut 58:a. Jalaul mana, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,

    sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki;b. Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul; danc. Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak

    para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.

    Ijab dan qabul sendiri dapat dilakukan dengan empat cara berikut ini:59a. Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan

    secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yangdilakukan oleh para pihak

    b. Tulisan. Adakalanya, suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal inidapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu secara langsungdalam melakukan perikatan, atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnyalebih sulit, seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum.Akan ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatantidak dalam bentuk tertulis, karena diperlukan alat bukti dan tanggungjawab terhadap orang-orang yang bergabung dalam satu badan hukumtersebut.

    c. Isyarat. Suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan oleh orang normal,orang cacat pun dapat melakukan suatu perikatan (akad). Apabila cacatnyaadalah berupa tuna wicara, maka dimungkinkan akad dilakukan denganisyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut memilikipemahaman yang sama.

    58 Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, selanjutnya dilihat dalam Mariam DarusBadrulzaman et al., Kompilasi Hukum Perikatan , cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001). hal:247-248

    59 Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit, hal: 68-71

    Universitas Sumatera Utara

  • 38

    d. Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kiniperikatan dapat dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan,tertulis, ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan taahi atau muathah(saling memberi dan menerima). Adanya perbuatan memberi danmenerima dari pihak yang telah saling memahami perbuatan perikatantersebut dan segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi pada prosesjual-beli di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihakpembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkanpada barang tersebut. Pada saat pembeli datang ke meja kasir,menunjukkan bahwa di antara mereka akan melakukan perikatan jual-beli.

    4. Tujuan Akad (Maudhuul Aqd)Maudhuul Aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan untuktujuan tersebut. Dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT,dalam Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw dalam hadits. Menurut ulamafiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syariahtersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.Sebagai contoh, A dan B melakukan perikatan kerja sama untuk melakukanpembunuhan atau perampokan, maka perikatan tersebut haram hukumnya.Apabila para pihak melakukan perikatan dengan tujuan yang berbeda, namunsalah satu pihak memiliki tujuan yang bertentangan dengan hukum Islamdengan diketahui pihak lainnya, maka perikatan itu pun haram hukumnya.Sebagai contoh lain, A menjual anggur kepada B, A mengetahui, bahwatujuan B membeli anggur tersebut untuk diolah menjadi minuman keras dandijual untuk dikonsumsi. Jual beli tersebut tidak boleh dilakukan, karenaminuman keras adalah haram untuk dikonsumsi manusia. Apabila A tetapmenjual anggur tersebut kepada B berarti A turut andil dalam membuatbarang haram tersebut. Dengan demikian, jual beli tersebut haram hukumnya.Sesuai dengan dasar hukum yang terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Maidahayat (2), bahwa: dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa danpelanggaran60. Namun, apabila A benar-benar tidak mengetahui tujuan Bmembeli anggur tersebut, maka perikatan tersebut tidak haram, tetapi dapatdibatalkan.61

    Setiap akad yang dibuat oleh para pihak atau subyek hukum, pasti memiliki

    tujuan tertentu, sebagaimana halnya dalam KUHPerdata yang menyatakan bahwa

    60 Lihat Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 261 Yenti Salma Barlinti, Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Berdasarkan Ketentuan World

    Trade Organizatation dalam Perspektif Hukum Islam, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum UniversitasIndonesia,(Jakarta: Universitas Indonesia, 2001) dalam Gemala Dewi, et.al., Hukum Perikatan IslamDi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal: 63

    Universitas Sumatera Utara

  • 39

    suatu perjanjian tanpa disertai suatu klausa dianggap tidak ada, atau batal demi

    hukum. Hal serupa juga terjadi di dalam Hukum Perjanjian Islam. Bahwa setiap akad

    (perjanjian/kontrak) yang dibuat harus senantiasa memiliki tujuan yang jelas, dan

    satu lagi rambu-rambu yang harus diperhatikan yaitu jangan sampai melanggar

    ketentuan-ketentuan syara. Mengenai tujuan akad ini, Ahmad Azhar Basyir

    menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah

    dan mempunyai akibat hukum, yaitu:62

    1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang

    bersangkutan tanpa akad yang diadakan;

    2. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad;

    3. Tujuan akad harus dibenarkan syarak.

    Masing-masing rukun (unsur) yang membentuk akad diatas memerlukan

    syarat-syarat agar unsur (rukun) itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya

    syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad.

    Sedangkan menurut pendapat Mazhab Hanafi bahwa syarat yang ada dalam

    akad dapat dikategorikan menjadi syarat sah (shahih), rusak (fasid) dan syarat yang

    batal (bathil) dengan penjelasan sebagai berikut 63:

    1. Syarat shahih adalah syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukungdan memperkuat substansi akad dan dibenarkan oleh syara, sesuai dengankebiasaan masyarakat (urf). Misalnya harga barang yang diajukan olehpenjual dalam jual beli, adanya hak pilih (khiyar) dan syarat sesuai denganurf, dan adanya garansi.

    62 Ahmad Azhar Basyir, Op.cit., hal: 99-10063 Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Waa Adillatuhu Jilid 4, (Gema Insani: Jakarta, 2011), hal: 517

    Universitas Sumatera Utara

  • 40

    2. Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yangada dalam syarat sahih. Misalnya, memberi mobil dengan uji coba duluselama satu tahun.

    3. Syarat batil adalah syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat sahih dantidak memberi nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya, akan tetapimalah menimbulkan dampak negatif. Misalnya, penjual mobil mensyaratkanpembeli tidak boleh mengendarai mobil yang telah dibelinya.

    Adapun syarat pembentukan akad yang akan dibahas dalam penelitian ini ada

    empat macam, yaitu:64

    1. Syarat iniqad (terjadinya akad)Syarat iniqad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk menjadikansuatu akad dalam zatnya sah menurut syara. Apabila syarat tidak terwujud makaakad menjadi batal.Syarat ini ada dua macam:a. Syarat umum, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap akad. Syarat ini

    meliputi :1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak;2. Yang dijadikan objek akad menerima hukumannya;3. Akad itu diizinkan oleh syariah selama dilakukan oleh orang yang

    mempunyai hak melakukan walaupun dia bukan aqid yang memilikibarang.

    4. Tidak boleh melakukan aqad yang dilarang oleh syariah, seperti jual beli,mulasamah;

    5. Akad dapat memberikan faedah sehigga tidak sah bila rahn dianggapsebagai imbangan amanah.

    6. Ijab tidak boleh dicabut sebelum terjadinya qabul. Maka, bila orang yangber ijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka ijabnya batal.

    7. Ijab dan qabul harus bersambung sehingga bila orang yang berijab sudahberpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

    b. Syarat khusus adalah akad yang harus ada pada sebagian akad dan tidakdisyariatkan pada bagian lain. Syarat khusus ini bisa disebut syarat tambahan(idhafi) yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti adanya saksidalam pernikahan.

    2. Syarat sah,Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara untuk timbulnya akibat-akibat hukum dari suatu akad. Apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnyamenjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis. Contohnya seperti dalam jual belidisyariatkan oleh Hanafiah, terbebas dari salah satu aib (cacat) yang enam, yaitu:

    64 Ibid

    Universitas Sumatera Utara

  • 41

    a. Jahalah (ketidakjelasan)b. Ikhrah (paksaan)c. Tauqit (pembatasan waktu)d. Gharar (tipuan/ketidakpastian)e. Dhararf. Syarat yang fasid65

    3. Syarat nafadz(kelangsungan akad)Untuk kelangsungan akad diperlukan dua syarat66:a. Adanya kepemilikan atau kekuasaan. Artinya orang yang melakukan akad

    harus pemilik barang yang menjual objek akad, atau mempunyai kekuasaan(perwakilan). Apabila tidak ada kepemilikan dan tidak ada kekuasaan(perwakilan), maka akad tidak bisa dilangsungkan, melainkan mauquf(ditangguhkan), bahkan menurut Asy-Syafii dan Ahmad, akadnya batal.

    b. Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam barang yangmenjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka akadnya mauquf, tidaknafidz. Hak orang lain tersebut ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:1. Hak orang lain tersebut berkaitan dengan jenis barang yang menjadi objek

    akad, seperti menjual barang milik orang lain.2. Hak orang lain tersebut berkaitan dengan nilai dari harta yang menjadi

    objek akad, seperti tasharruf orang yang pailit yang belum dinyatakanmahjur alaih terhadap hartanya yang mengakibatkan kerugian kepadapara kreditor.

    3. Hak tersebut berkaitan dengan kemashlahatan si aqid, bukan denganbarang yang menjadi objek akad. Seperti tasarruf orang yang memilikiahliyatul ada yang tidak sempurna (naqishah) yang telah dinyatakanmahjur alaih.

    4. Syarat luzumPada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat (lazim). Untuk mengikatnya(lazim-nya) suatu akad, seperti jual beli dan ijarah, disyaratkan tidak adanyakesempatan khiyar (pilihan), yang memungkinkan di-fasakh-nya akad oleh salahsatu pihak. Apabila di dalam akad tersebut terdapat khiyar, seperti khiyar syarat,khiyar aib, atau khiyar ruyat, maka akad tersebut tidak mengikat (lazim) bagiorang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam kondisi seperti itu ia bolehmembatalkan akad atau menerimanya.

    C. Macam-Macam Akad Perjanjian

    Akad (Perjanjian/Kontrak) dapat diklasifikasikan sesuai dengan beberapa

    perspektif. Berkenaan dengan keabsahan atau kesesuaiannya dengan peraturan

    65Ibid, hal: 22866 Ahmad Wardi muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal: 152

    Universitas Sumatera Utara

  • 42

    Syariah, para fuqaha secara umum membagi akad menjadi dua jenis, yaitu akad yang

    sah (Sahih) dan tidak sah (batil). Akad yang sah adalah yang memenuhi semua

    persyaratan, sementara akad yang tidak sah ialah yang di dalamnya salah satu

    persyaratan atau lebih untuk keabsahan dilanggar.67

    Menurut Sohari Sahrani dan Rufah Abdullah68, macam-macam akad terdiri dari:

    1. Akad munjiz, ialah akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainyaakad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad ialah tidakdisertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaansetelah adanya akad.

    2. Akad mualaq, ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syaratyang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.

    3. Akad mudhaf, ialah akad yang dalm pelaksanaannya terdapat syarat-syaratmengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yangpelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan inisah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukumsebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.

    Selain akad munjiz, mualaq, dan mudhaf, macam-macam akad beraneka

    ragam yang terdapat dalam berbagagi penggolongan dilihat dari beberapa sudut

    pandang69:

    1. Ada tidaknya bagian (qismah) pada akad, terbagi dua bagian:a. Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syarat dan telah ada

    hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah; danb. Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syariah dan

    belum ditetapkan hukum-hukumnya.2. Disyariatkan dan tidaknya akad, dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:

    a. Akad musyaraah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara, sepertigadai dan jual beli; dan

    67 Ibnul Qayyim, 1995, hal 3, dalam Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance A-ZKeuangan Syariah, ( Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal: 183

    68 Sohari Sahrani dan Rufah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),hal: 47

    69Ismail Nawawi, Op. Cit., hal: 27-29

    Universitas Sumatera Utara

  • 43

    b. Akad mamnuah, akad-akad yang dilarang syariah, seperti menjual anakbinatang dalam perut ibunya.

    3. Sah dan batalnya akad dapat ditinjau dari dua segi menjadi dua, yaitu:a. Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencukupi persyaratannya, baik

    syarat yang khusus maupun syarat yang umum; danb. Akad fasidah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera, karena kurang salah

    satu syarat-syaratnya, baik syarat umum maupun syarat khusus, sepertinikah tanpa wali.

    4. Sifat benda akad dapat ditinjau dari dua sifat, yaitu:a. Akad ainiyah, yaitu akad yang disyariatkan dengan penyerahan barang-

    barang seperti jual beli;danb. Akad ghair ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan

    barang-barang karena tanpa penyerahan barang-barang pun akad sudahberhasil, seperti akad amanah.

    5. Cara melakukan akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:a. Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad

    pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah; danb. Akad ridhaiyah, yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu

    dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya.6. Berlaku dan tidaknya akad, dapat ditinjau dari dua segi yaitu:

    a. Akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad; dan

    b. Akad mauqufah, yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujuipemilik harta).

    7. Luzum yang dapat membatalkan akad dapat ditinjau dari empat hal, yaitu:a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat

    dipindahkan seperti akad kawin. Manfaat perkawinan tidak bisadipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh, tapi akad nikah dapatdiakhiri dengan cara yang dibenarkan syara, seperti talak dan khulu;

    b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang dapat dipindahkandan dirusakkan, seperti persetujuan jual beli dan akad-akad lainnya;

    c. Akad lazim yang menjadi hak dari salah satu pihak, seperti rahn orangyang menggadai suatu benda, ia punya kebebasan kapan saja ia akanmelepaskan rahn atau menebus kembali barangnya; dan

    d. Akad lazima yang menjadi hak dari dua belah pihak tanpa menunggupersetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yangmenitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan, atau yangmenerima boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yangmenitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menitipkan.

    8. Tukar menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga bagian:a. Akad muawadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti

    jual beli.

    Universitas Sumatera Utara

  • 44

    b. Akad tabarruat, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian danpertolongan, seperti hibah; dan

    c. Akad yang tabarruat, yaitu akad pada awalnya menjadi akad muawdhah,namun pada akhirnya seperti qardh dan kafalah.

    9. Harus dibayar ganti dan tidaknya akad, dari segi ini akad dibagi menjadi tigabagian:a. Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua

    sesudah benda itu diterima, seperti qardh;b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan

    oleh yang memegang barang, seperti titipan (ida); danc. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan

    amanah, seperti rahn (gadai).10. Tujuan akad dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya:

    a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli;b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian), seperti

    syirkah dan mudharabahc. Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan

    kafalah;d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah; dane. Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ida atau titipan.

    11. Faur dan istimrar, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak

    memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja,seperti jual beli; dan

    b. Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terusberjalan, seperti ariyah.

    12. Ashliyah dan thabiiyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:a. Akad ashliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya

    sesuatu dari yang lain, seperti jual beli dan Iarah; danb. Akad, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya

    rahn yang tidak dilakukan bila tidak ada utang.13. Berdasarkan maksud dan tujuan akad dapat dibedakan oleh beberapa hal,

    yaitu:a. Kepemilikan;b. Menghilangkan kepemilikan;c. Kemutlakan, yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya;d. Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas secara

    mutlak kepada wakilnya;e. Penjagaan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 45

    D. Unsur-Unsur Penipuan Dalam Hukum Perjanjian Islam

    Salah satu dasar mutlak untuk sahnya akad perjanjian adalah keadaan suka

    sama suka atau saling rela. Oleh karena itu, rusaknya kualifikasi ini akan

    menyebabkan batalnya suatu akad. Para ulama fiqh juga sudah membahas secara

    detail tentang sebab-sebab yang dapat merusak keadaan rela sama rela (taradhin).

    Secara umum, dalam masalah pentingnya rasa rela dan saling memuaskan,

    Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 29 tentang

    keharusan pemilikan dan konsumsi dengan cara yang benar:

    Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan hartamu di

    antara kamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang terjadi

    atas dasar saling ridha (suka sama suka) darimu.

    Ini adalah sebuah ayat yang sangat umum dan luas dalam penerapan hak-hak

    konsumen, Atas dasar ayat inilah banyak sekali muncul hukum-hukum ekonomi

    Islam yang terinci (tafshiliy). Para ahali tafsir mengemukakan bahwa ungkapan

    jangan makan harta di antara kamu mengandung suatu pengertian sangat umum,

    dimana ia mencakup pelarangan pengkonsumsian harta milik diri sendiri atau harta

    orang lain dengan cara yang batil. Kata cara yang batil bermaksud cara yang haram,

    atau segala cara yang tidak sesuai dengan ketentun syara, atau cara yang tidak benar,

    atau cara-cara yang tidak dihalalkan syara, seperti riba, judi, paksaan dan penipuan.

    Penafsiran kata batil ini sesuai pula dengan makna yang terdapat dalam bahasa

    yang berhubungan dengan haqiqah syariyah. Kata perniagaan secara bahasa

    berarti perbuatan tukar menukar atau jual beli karena perniagaan adalah cara tukar

    Universitas Sumatera Utara

  • 46

    menukar yang paling umum. Kata saling ridha memberi implikasi bahwa suatu

    kegiatan tukar menukar itu dilakukan dua pihak yang berakad, yang selanjutnya

    kedua pihak harus saling rela secara sempurna, tidak ada paksaan atau kekesalan yang

    terjadi. Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa tidak semua bentuk saling rela diakui

    oleh syara, namun yang diakui adalah kerelaan yang berada dalam batas-batas

    ketentuan hukum syara.

    Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan suatu kesepakatan haruslah

    diberikan secara bebas atau adanya kerelaan dari masing-masing pihak. Dalam

    Hukum Perjanjian ada tiga sebab yang membuat persetujuan tadi menjadi tidak bebas

    yaitu tiga hal: paksaan, kekhilafan dan penipuan.70 Sedangkan dalam ilmu fikih Islam

    terdapat empat hal perusak keadaan saling rela, yaitu:

    1. Paksaan2. Kekhilafan3. Penipuan;dan4. Adanya ketidaksetaraan nilai tukar yang menyolok antara dua barang yang

    dipertukarkan karena adanya perdayaan atau tipuan (al-Ghubn al-Fahisy maaal-Taghrir)71

    Penipuan (Tadlis) adalah penyesatan dengan sengaja oleh salah satu pihak

    yang tidak diketahui oleh pihak mitra janji (unknown to one party) dengan

    memberikan keterangan-keterangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk

    membujuk pihak mitra janjinya agar memberikan perizinannya di mana jelas bahwa

    70 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1998), hal: 2371 Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam,

    (Yogyakarta: BPFE, 2004), hal: 174

    Universitas Sumatera Utara

  • 47

    kalau tidak karena tipu muslihat itu dia tidak telah membuat perikatan bersangkutan

    atau paling tidak, tidak dengan syarat yang telah disetujuinya.72

    Menurut Abdul Halim Mahmud al-Baly, yang dimaksud dengan penipuan

    (tadlis) adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada objek kontrak dan

    menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya untuk

    menyesatkan pihak yang berakad dan berakibatkan merugikan salah satu pihak yang

    berakad tersebut. Lebih lanjut Abdul Halim al-Baly menjelaskan bahwa penipuan

    (tadlis) ada tiga macam yakni73:

    1. Penipuan yang bentuk perbuatan yaitu menyebutkan sifat yang tidak nyatapada objek kontrak/akad;

    2. Penipuan yang berupa ucapan, seperti berbohong yang dilakukan olehsalah seorang yang berakad untuk mendorong agar pihak lain maumelakukan kontrak. Penipuan juga dapat terjadi pada harga barang yangdijual dengan menipu memberi penjelasan yang menyesatkan;

    3. Penipuan dengan menyembunyikan cacat pada objek kontrak, padahal iasudah mengetahui kecacatan tersebut.

    Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia juga melarang kontrak yang

    dilakukan dengan penipuan dan tipu muslihat. Semua akad (kontrak) yang dilakukan

    dengan penipuan dan tipu muslihat, maka akad (kontrak) tersebut dianggap tidak ada.

    Penipuan itu harus berupa muslihat licik (kunstgrypen), sehingga sesuatu yang

    tidak benar terkesan merupakan gambaran keadaan yang sesungguhnya pada objek

    kontrak yang dilakukan. Suatu penipuan dan tipu muslihat apabila hal itu merupakan

    kebohongan yang diatur rapi dan harus dilihat dari orang yang ditipu. Jadi harus

    dilihat segala aspek timbulnya penipuan dan tipu muslihat itu.74

    72 Syamsul Anwar, Op. cit., hal: 16873 Abdul Manan, Op. Cit., hal: 94-9574 Ibid, hal: 95

    Universitas Sumatera Utara

  • 48

    Sehubungan dengan hal tersebut, Yahya Harahap75 mengatakan bahwa antara

    salah sangka (dwaling) dengan penipuan (bedrog) hampir bersamaan dalam

    perwujudannya. Sangat sulit untuk membedakan keduanya. Perbedaan keduanya

    hanya dapat diketahui pada unsur kesengajaan. Pada penipuan, pada diri yang

    melakukan penipuan terdapat unsur sengaja yaitu sengaja mengatur kebohongan

    yang teratur rapi, sehingga memberi kesan yang benar bagi pihak lain. Adapun pada

    salah sangka (dwaling) tidak ada unsur kesengajaan untuk memberi tanggapan salah

    sangka pada pihak lain. Dalam kaitan ini, para hakim harus berhati-hati dalam

    menentukan tentang penipuan dan tipu muslihat ini, sebab apabila salah dalam

    menilai tentang wujud dari penipuan ini, maka salah pula dalam menetapkan hukum.

    Secara ringkas dapat dikatakan bahwa unsur-unsur penipuan dalam Hukum

    Perjanjian Islam adalah:76

    1. Penyesatan sebagai tindakan mengelabui dengan kesengajaan yang tidakdiketahui oleh pihak mitra akad/janji (unknown to one party) denganperkataan atau perbuatan.

    2. Adanya tipu muslihat3. Adanya kebohongan.4. Menyembunyikan keterangan.

    Dasar pelarangan penipuan dalam perjanjian menurut hukum Islam adalah

    Hadis Nabi yang berbunyi:

    Dari Abu Hurairah, ia mengatakan: rasulullah SAW pernah lewat ada

    seseorang yang sedang menjual bahan makanan, lalu Rasulullah

    75 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1996), hal: 2676 Syamsul Anwar, Op. Cit., hal:169

    Universitas Sumatera Utara

  • 49

    memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan itu. Maka Rasulullah Saw

    bersabda, :Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu.77

    Dalam Hadis lain dinyatakan:

    Dari Abdullah Ibn Dinar, ia mengatakan: Pernah seorang laki-laki

    menerangkan kepada Rasulullah Saw bahwa ia ditipu dalam jual-beli lalu

    Rasulullah Saw mengatakan:Barangsiapa yang engkau melakukan jual-beli

    dengannya, maka katakan: Tidak ada penipuan.78

    Penipuan yang mengandung tipu muslihat dalam hukum Islam dikenal dengan

    istilah penipuan dengan perbuatan (at-tagrir al-fili), yaitu suatu penipuan melalui

    perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk menyesatkan pihak lain dan

    mendorongnya untuk menutup perjanjian dengan ketidakseimbangan prestasi,

    sekalipun ketiadaan keseimbangan prestasi itu kecil. Hal ini dapat dilihat dalam

    Hadist Nabi yang terdapat contoh mengenai kasus perbuatan tipu muslihat ini, yaitu

    larangan menahan air susu binatang (unta, sapi atau kambing) untuk memperlihatkan

    bahwa binatang tersebut banyak susunya pada saat dilihat oleh pembeli sehingga ia

    terdorong untuk membelinya. Menurut Hadis tersebut, apabila seseorang tertipu

    dengan cara demikian, ia memiliki hak khiyar pengembalian (khiyar a-rad), dengan

    arti ia dapat membatalkannya, tetapi apabila ia menerimanya dengan rela, maka akad

    semacam itu sah.

    E. Kriteria Akad Yang Mengandung Unsur Penipuan

    Penipuan yang mengandung tipu muslihat dalam hukum Islam dikenal dengan

    istilah penipuan dengan perbuatan (at-tagrir al-fili), yaitu suatu penipuan melalui

    77 Ibid78 Ibid, hal: 170

    Universitas Sumatera Utara

  • 50

    perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk menyesatkan pihak lain dan

    mendorongnya untuk menutup perjanjian dengan ketidakseimbangan prestasi,

    sekalipun ketiadaan keseimbangan prestasi itu kecil.

    Disamping penipuan dengan perbuatan tipu muslihat yang disebut at-tagriral-fili hukum Islam mengenal pula penipuan dengan bohong tanpa perbuatan tipumuslihat, yang dikenal dengan istilah at-tagrir al-qauli (penipuan dengan perkataan).Hanya saja penipuan dengan perkataan atau dengan bohong (at-tagrir al-qauli) iniberbeda dengan dari penipuan dengan perbuatan (at-tagrir al- fili) dimana yangterakhir ini penipuan ada bila terjadi perbuatan tipu muslihat tanpa melihat apakahpenipuan itu mengakibatkan pihak tertipu mengalami ketidakseimbangan prestasiyang menyolok (al-gabn al-fahisy) atau tidak. Sedangkan dalam penipuan denganbohong (at-tagrir al-qauli), penipuan baru ada apabila terjadi ketidak seimbanganyang prestasi yang menyolok. Penipuan dengan bohong ini dalam hukum Islammempunyai perbedaan pemberlakuannya antara wilayah perjanjian amanah danwilayah di luar perjanjian amanah. Di luar perjanjian amanah, para ahli hukum Islamtidak memperoleh kesepakatan tentang kedudukan penipuan dengan bohong sebagaisuatu cacat kehendak yang dapat menjadi alasan pembatalan perjanjian (akad)79.

    Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa wilayah utama berlakunya

    terhadap adanya kebohongan tersebut sebagai suatu penipuan yang dapat

    membatalkan perjanjian adalah apa yang dinamakan perjanjian amanah

    (kepercayaan). Akad (perjanjian) kepercayaan (amanah) ini terdapat dalam akad jual

    beli yang dalam Hukum Islam dikenal dengan nama buyu al-amanah (jual beli

    kepercayaan), yaitu suatu bentuk jual-beli di mana pembeli diberitahu secara jujur

    oleh penjual mengenai harga pokok barang dan cara ia memperolehnya apakah

    melalui pembelian utang atau tunai atau sebagai penggantian dalam kasus

    perdamaian. Dengan demikian, pembeli mengetahui besarnya keuntungan yang

    diambil oleh penjual. Adanya bentuk jual-beli jenis ini dimaksudkan untuk

    79 Ibid, hal: 172

    Universitas Sumatera Utara

  • 51

    mempertegas penerapan nilai-nilai etika bisnis Islam yang menghendaki adanya

    kejujuran sedemikian rupa dalam transaksi serta tidak membenarkan adanya penipuan

    dalam bentuk apa pun, sehingga suatu kebohongan semata dianggap sebagai

    pengkhianatan dan penipuan yang berakibat dapat dibatalkannya transaksi tersebut.

    Bentuk jual beli ini bertujuan untuk melindungi orang yang tidak berpengalaman dan

    kurang informasi dalam transaksi, sehingga dengan demikian ia terlindungi dari

    penipuan. Disebut jual-beli amanah (kepercayaan), karena pembeli bersandar kepada

    kejujuran si penjual semata tentang informasi harga barang yang dibelinya.80

    Disini penjual dituntut untuk berlaku sejujurnya dalam menjelaskan harga

    asli barang karena pengetahuan tentang harga pokok (asli) ini menjadi dasar

    ditutupnya perjanjian. Oleh karena itu, apabila penjual berbohong dengan

    memberikan informasi yang tidak benar (yang dalam hal ini disebut sebagai suatu

    pengkhianatan), kemudian diketahui oleh si pembeli, maka semata bohong si penjual

    dalam kasus ini memberikan khiyar kepada pembeli untuk meneruskan atau

    membatalkan jual-beli.

    Begitu juga ketika menyembunyikan keterangan dimana diam dalam arti

    menyembunyikan keterangan dan tidak menjelaskannya kepada pihak mitra janji

    dalam hukum Islam juga dianggap sebagai penipuan dalam beberapa hal. Telah

    dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa adanya tipu muslihat, kebohongan dan

    menyembunyikan keterangan dalam hukum Perjanjian Islam merupakan unsur-unsur

    80 Asy-Syirazi, al-Muhazdzab (Mesir:has al-Babi al- Halabi, t.t.), I:292 dalam SyamsulAnwar, Op. Cit., hal:173

    Universitas Sumatera Utara

  • 52

    dari penipuan. Hal ini juga yang menjadi kriteria dari akad yang mengandung

    penipuan itu.

    Dalam ilmu hukum, penipuan ini dikenal dengan misrepresentation yaitu

    dimana terjadi ketidaksesuaian diakibatkan terjadinya pemahaman yang keliru dari

    pihak yang menerima penawaran (representee) akibat penyampaian atau penyajian

    fakta yang keliru dari pihak yang memberi penawaran perihal informasi melalui

    representasi yang diminta lawannya bernegoisasi.81

    Sedangkan dapat kita lihat bahwa suatu akad (perjanjian) dalam hukum Islam

    memiliki asas-asas yang terdiri dari 82:

    1. Asas Ibahah (Mabda al-ibhah)Asas Ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secaraumum. Asas ini dirumuskan dalam adagium Pada asasnya segala sesuatu ituboleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya. Asas ini merupakankebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam,untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadahyang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil Syariah.Orang tidak dapat membuat-buat bentuk baru ibadah yang tidak pernahditentukan oleh Nabi Saw. Bentuk-bentuk baru ibadah yang dibuat tanpapernah diajarkan oleh Nabi Saw itu disebut Bidah dan tidak sah hukumnya.Sebaliknya dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitubahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegasatas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum dan perjanjianapapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjiantersebut.

    2. Asas Kebebasan Berakad ( Mabda Hurriyah at Taaqud)Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam, dalam artianpara pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad (freedom of makingcontract). Bebas dalam menentukan objek perjanjian, serta bebas menentukanbagaimana cara menentukan penyelesaian sengketa jika terjadi dikemudianhari. Asas kebebasan berkontrak di dalam hukum Islam dibatasi olehketentuan syariah Islam. Dalam membuat perjanjian ini tidak boleh ada unsur

    81 Syahril Sofyan, Op. Cit., hal:1382 Syamsul Anwar, Op. Cit., hal: 83

    Universitas Sumatera Utara

  • 53

    paksaan, kekhilafan, dan penipuan. Dasar hukum mengenai asas ini tertuangdalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 256, yang artinya seagai berikut:83Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telahjelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat,,,Adanya kata-kata tidak ada paksaan ini, berarti Islam menghendaki dalam halperbuatan apapun harus didasari oleh kebebasan untuk bertindak, sepanjangitu benar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah.

    3. Asas Konsensualisme ( Mabdaar-Radhaiyyah)Asas Konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjiancukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perludipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam padaumumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual. Para ahli hukum Islambiasanya menyimpulkan asas konsensualisme dari dalil-dalil hukum berikut:a. Firman Allah: Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu makan harta

    sesamamu dengan jalan batil,kecuali (jika makan harta sesama itudilakukan) dengan cara tukartukar berdasarkan perizinan timbal balik(kata sepakat) di antara kamu .84

    b. Firman Allah, Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagiandari mas kawin itu atas dasar senang hati (perizinan, consent), makamakanlah (ambillah) pemberian itu sebagai suatu yang sedap lagi baikakibatnya85

    c. Sabda Nabi Saw, Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan katasepakat[Hadis riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah].

    d. Kaidah hukum Islam, pada asas perjanjian (akad) itu adalah kesepakatanpara pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkanmelalui janji.

    4. Asas Janji itu MengikatDalam Al-Quran dan Hadis terdapat banyak perintah agar memenuhi janji.Dalam kaidah usul fiqh, perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib. Iniberarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Diantara ayat dan hadisdimaksud86 adalah:a. Firman Allah Swt, dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan

    dimintakan pertanggungjawabannya87b. Dasar dari Ibn Masud, janji itu adalah hutang.

    5. Asas Keseimbangan (Mabda at-Tawazun fi al Muawadhah)Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalambertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menekankan perlunya

    83 Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 25684 Al-Quran Surat An-Nisa ayat 2985 Ibid, ayat 486 Syamsul Anwar., Op.Cit., hal: 8987 Al-Quran Surat Al-Isra ayat 34

    Universitas Sumatera Utara

  • 54

    keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yangditerima maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Asas keseimbangandalam transaksi (antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima)tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidakseimbanganprestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul resiko tercermindalam larangan terhadap transaksi riba, dimana dalam konsep riba hanyadebitur yang memikul segala resiko atas kerugian usaha, sementara kreditorbebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saatdananya mengalami kembalian negatif.

    6. Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)Dengan adanya kemaslahatan dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh parapihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak bolehmenimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah).Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidakdapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihakbersangkutan sehingga memberatkkannya, maka kewajibannya dapat diubahdan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.

    7. Asas AmanahDengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslahberitikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkansalah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupanmasa kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihakmelalui suatu keahlian yang amat spesialis dan profesionalisme yang tinggisehingga ketika ditransaksikan, pihak lain yang menjadi mitra transaksi tidakbanyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantungkepada pihak yang menguasainya.Begitupun dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yangdisebutkan perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepadainformasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan untuk menutupperjanjian bersangkutan. Diantara ketentuannya, adalah bahwa bohong ataupenyembunyian informasi yng semestinya disampaikan dapat menjadi alasanpembatalan akad bila dikemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yangtelah mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian. Contoh palingsederhana dalam hukum Islam adalah akad murabahah, yang merupakan salahsatu bentuk akad amanah. Pada zaman sekarang wilayah akad amanah tidakhanya dibatasi pada akad seperti murabahahh, tetapi juga meluas ke dalamakad takaful (asuransi) bahkan juga banyak akad yang pengetahuan mengenaiobjeknya hanya dikuasai oleh salah satu pihak saja.

    8. Asas keadilan.Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalamhukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah Al-Quran yangmenegaskan, berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa[QS.5:8]. Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

    Universitas Sumatera Utara

  • 55

    Sering kali di zaman modern akad ditutup oleh satu pihak dengan pihak laintanpa memilki kesempatan untuk melakukan negoisasi mengenai klausul akadtersebut, karena klausul akad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Sehinggatidak mustahil bahwa dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian kepadapihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalamhukum Islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilansyarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasanuntuk itu.

    Asasnya adalah bahwa akad, seperti dikemukakan terdahulu, wajib

    dilaksanakan dalam semua kandungannya. Dan juga harus memuat asas-asas yang

    tersebut diatas. Namun terdapat perjanjian di mana salah satu pihak tidak dapat

    membuat penawaran karena klausul perjanjian itu telah dibakukan sedemikian rupa,

    dan pihak tersebut tidak punya pilihan kecuali menerimanya. Inilah yang terjadi

    dengan apa yang disebut dengan akad baku (aqd al-isan) atau pun kontrak baku.

    Tidak mustahil terjadi kemungkinan bahwa klausul akad tersebut kemudian ternyata

    sangat memberatkan pihak yang menerimanya, tanpa dapat menawar. Bagaimana

    pihak tersebut harus melaksanakannya?

    Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh dua pihak di mana

    salah satu pihak menstandarkan klausul-klausulnya kepada pihak lain yang tidak

    mempunyai kebebasan untuk melakukan tawar menawar dan tidak mempunyai

    pilihan kecuali menerimanya. Dan mengenai penanda-tanganannya, meskipun si

    penanda-tangan tak membacanya, ia dianggap telah menyetujui isinya.88

    Ciri yang menandai akad baku ini adalah adanya keterkaitan dengan

    penguasaan hajat orang banyak, adanya penguasaan yang luas oleh suatu pihak

    karena melibatkan ekonomi usaha besar yang tidak dapat dilakukan oleh semua

    88 G. H. Treitel , Law of Contract, Eight Edition, Sweet & Maxwell, International SyudentEditions, London, 1991, dalam Syahril Sofyan, Op. Cit., hal: 244

    Universitas Sumatera Utara

  • 56

    orang, dan penawarannya biasanya ditujukan kepada umum dengan klausul yang

    sama dan bersifat terus menerus dan biasanya tercetak serta detail dan tidak dapat

    ditawar-tawar.89

    Secara praktikal kontrak baku ini sangat praktis dan ekonomis bagi para

    pelaku bisnis karena dapat disiapkan dengan waktu yang singkat bila kapan saja

    dibutuhkan ketika harus menghadapi kastemernya, akan tetapi patut juga dicermati

    dan diwaspadai bahwa dengan penanda-tanganan suatu akad baku ini telah

    menempatkan kedudukan sang kastemer dalam posisi yang lemah dan tidak seimbang

    dengan pelaku bisnis itu sendiri, padahal dari sudut pandang ekonomi pelaku bisnis

    itu berada dalam posisi sebagai pihak yang kuat dan yang menurut ajaran atau teori

    fidusia maupun filosofi bangsa kita tidak patut diperlakukan sewenang-wenang,

    karena hukum kontrak menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah

    berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dan perjanjian itu harus

    dilaksanakan dengan itikad baik90.

    Dilaksanakan dengan itikad baik bermakna bahwa itikad baik itu secara

    normatif harus ada sesudah sampai pada tahap kontrak baku tersebut telah ditanda-

    tangani oleh kedua belah pihak, padahal kalau kita perhatikan alam terkembang ini

    adalah sangat sulit diterima logika akal sehat suatu perjanjian akan dilaksanakan

    dengan itikad baik kalau ternyata didahului dengan hal-hal yang sukar dilihat itikad-

    baik dari pelaku bisnis yang menghindari tanggung jawab atau konsekwensi serta

    89 Syamsul Anwar, Op. Cit., hal: 318-31990 Syahril Sofyan, Op. Cit., hal: 242

    Universitas Sumatera Utara

  • 57

    resiko kontrak yang sudah ada dalam kontrak baku yang telah ditandatangani. Pada

    titik ini terlihat upaya dari pelaku usaha itu untuk senantiasa mengelak atau

    menghindar dari kewajiban untuk tetap memenuhi tanggung-jawabnya sebagai pelaku

    bisnis menurut hukum, dan ini terlihat dengan dicantumkannya klausula-klausula

    dalam perjanjian atau kontrak baku itu yang memberikan posisi hukum yang lebih

    kuat kepada pelaku usaha daripada kastemernya dan sebagai konsekwensinya para

    kastemer senantiasa tak mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum yang

    mereka harapkan dari pelaku usaha itu.91

    Tapi tidak dapat dipungkiri, keadaan dimana posisi kastemer yang lemah

    ketika dihadapi dengan akad baku memberi kesempatan kepada pembuat akad

    tersebut untuk melakukan penipuan dimana dengan sengaja dengan kehendak dan

    pengetahuan memunculkan kesesatan pada kastemer tersebut. Penipuan tersebut

    dikatakan terjadi tidak saja bilamana suatu fakta tertentu dengan sengaja tidak

    diungkapkan atau disembunyikan, tetapi juga suatu informasi keliru dengan sengaja

    diberikan ataupun terjadi dengan tipu daya lain demi tercapainya tertutupnya akad

    tersebut.92

    Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka

    pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk

    menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang

    memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk

    91 Ibid, hal: 242-243.92 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotarian, (Bandung: PT.

    Citra Aditya Bakti, 2008), hal: 373

    Universitas Sumatera Utara

  • 58

    menentukan klausula-klausula tertentu dalam kontrak baku, sehingga perjanjian yang

    seharusnya dibuat/dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak

    ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang

    oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Oleh karena yang merancang format dan

    isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, maka dapat

    dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan

    baginya atau meringankan/menghapuskan beban-beban/kewajiban-kewajiban tertentu

    yang seharusnya menjadi bebannya.93

    Keadaan akad yang seperti ini dapat kita lihat pada Kasus antara PT. Bank

    Syariah Mandiri melawan PT. Atriumasta Sakti. Dimana kedua belah pihak telah

    sepakat dalam membuat akad pembiayaan murabahah No 53 tanggal 23 Februari

    2005 dihadapan Efran Yuniarto, SH., Notaris di Jakarta. Permasalahan muncul disaat

    PT. Atriumasta Sakti merasa bahwa PT. Bank Syariah Mandiri telah cidera janji

    dengan tidak mengeluarkan pencairan dana tahap kedua seperti yang dijanjikan,

    selain itu ternyata pada akad murabahahnya, bentuk perjanjiannya ternyata

    mengambil konstruksi kredit modal kerja yang biasa digunakan pada bank

    kovensional,yang sudah pasti bertentangan dengan prinsip pembiayaan murabahah

    yang merupakan akad jual beli. Selain itu margin yang ditetapkan dalam perjanjian

    murabahah berupa ceiling price yang berubah-ubah secara tidak pasti (uncertain)

    tidak ditentukan secara lump sum pertahun tetapi ditetapkan dalam prosentase

    93Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2012), hal: 58

    Universitas Sumatera Utara

  • 59

    pertahun seperti halnya bunga pada perbankan konvensional yang menurut prinsip

    syariah adalah riba yang haram hukumnya. Tak hanya itu saja, tentang pembebanan

    bunga dalam surat sanggup/ promes yang sama artinya dengan riba, dan karenanya

    juga melanggar prinsip syariah. Dan terakhir akad pembiayaan No. 53 tersebut

    sekaligus merupakan akad transaksi jual beli antara pemasok dan bank, dan juga jual

    beli antara bank dengan nasabah yang hanya dibuat dalam satu akad saja, hal ini

    sudah tentu bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSN-

    MUI/IV/2000 tentang Murabahah.

    Dari kasus diatas jelas terlihat adanya unsur penipuan dalam akad murabahah

    yang jelas sekali dilarang oleh syariat Islam. Dimana pada akad murabahah yang

    dipakai adalah menggunakan standar pada perjanjian diperbankan konvensional,

    tetapi justru tidak berdasarkan prinsip perjanjian perbankan syariah seharusmya.

    Tidak hanya itu saja, terdapat ketidak pastian terhadap ceiling price yang diselalu

    berubah-ubah seperti halnya penerapan bunga pada bank konvensional dan menurut

    prinsip syariah ini dinamakan riba yang haram hukumnya. Selain itu dalam hal

    terdapatnya 2 (dua) akad dalam satu transaksi bersamaan, dimana hal ini juga sudah

    bertentangan dengan syariah Islam.94

    Keadaan peristiwa diatas jelas terlihat sangat memberatkan pihak nasabah

    bahkan menimbulkan kerugian bagi dirinya. Maksud dari keadaan memberatkan

    disini dan dalam hukum perjanjian Syariah adalah suatu peristiwa luar biasa yang di

    94Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, ( Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 2006), hal: 94

    Universitas Sumatera Utara

  • 60

    luar kemampuan para pihak dan yang terjadi secara tidak terduga sebelumnya, serta

    menyebabkan pelaksanaan isi perjanjian yang sangat memberatkan salah satu pihak

    dan menimbulkan kerugian yang fatal. Dalam hal ini bagi pihak yang dirugikan

    tersebut dapat melaksanakan opsi khiyar yang dimilikinya apakah akan membatalkan

    akad tersebut atau tetap meneruskannya Jika ia memilih untuk membatalkan kontrak

    itu haruslah mengajukan kepada pihak yang berwenang atau pengadilan. Oleh karena

    sebagai pihak yang ditipu, ia berhak melakukan pembatalkan akad tersebut Dengan

    demikian, akad (kontrak) yang dibuatnya tidak terlaksanakan sebagaimana mestinya,

    sebab ia sebagai pihak yang ditipu sudah menderita rugi dengan adanya kontrak

    tersebut.

    Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan. Dengan kata

    lain, pihak tertipu, agar dapat meminta pembatalan perjanjian, harus membuktikan di

    depan hakim bahwa ia tidak telah menutup perjanjian bersangkutan, setidaknya tidak

    dengan syarat tersebut kalau tidak karena adanya penipuan yang dilakukan oleh pihak

    lawan janji.95

    95 J. Satrio, Hukum Kontrak: Teori dan Tekhnik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), hal: 359

    Universitas Sumatera Utara