ii. tinjauan pustaka 2.1. daya dukung lingkungan sebagai ... · kawasan permukiman didefinisikan...
TRANSCRIPT
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daya Dukung Lingkungan sebagai Dasar Pengelolaan KawasanPermukiman Berkelanjutan
Kawasan permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hidup
di luar kawasan lindung, merupakan kawasan perkotaan atau perdesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (PP No 26 /2008).
Berdasarkan definisi tersebut, kawasan permukiman adalah bagian dari kawasan
budidaya, yaitu kawasan budidaya non pertanian. Sebagai kawasan budidaya non
pertanian, kawasan permukiman tidak hanya sekedar tempat tinggal seperti
perumahan, akan tetapi juga merupakan tempat melakukan kegiatan usaha
sehingga dapat merupakan perkotaan maupun perdesaan. Oleh karena itu, pada
kawasan permukiman selain terdapat perumahan dan sarana-prasarananya, juga
terdapat kawasan untuk kegiatan ekonomi (perdagangan, jasa, rekreasi, industri
kecil) dan kegiatan sosial. Dalam istilah lain kawasan permukiman sering disebut
sebagai kawasan terbangun.
Pengembangan kawasan permukiman membutuhkan sumberdaya alam
seperti lahan dalam jumlah yang besar. Dalam rangka pengelolaan kawasan
permukiman berkelanjutan, pengembangan permukiman harus mengacu pada
konsep keseimbangan antara kemampuan ekosistem dalam menyediakan lahan
untuk permukiman dibandingkan dengan kebutuhan lahan permukiman. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup secara berkelanjutan
diperlukan pengaturan terhadap pengembangan permukiman, sehingga tidak
melampaui luas lahan yang sesuai bagi permukiman.
Konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya ditujukan untuk
keharmonisan lingkungan akan tetapi juga keberlanjutan jangka panjang dengan
berbasis sumber daya alam (Khanna et al. 1999). Tiga pilar utama pembangunan
berkelanjutan adalah dimensi lingkungan, dimensi sosial dan dimensi ekonomi.
Ketiga pilar tersebut oleh berbagai pihak dikembangkan sesuai kebutuhan.
11
Moffat et al. (2001) menambahkan pilar ke 4 yaitu etika dalam pembangunan
berkelanjutan. Menurut Moffat et al. (2001), pembangunan berkelanjutan bukan
hanya perlu didefinisikan tetapi perlu dideklarasikan sebagai prinsip-prinsip etika.
Sejalan dengan Moffat et al. (2001), The United Nation Commission on
Sustainable Development (UNCSD) memasukan prinsip etika dalam dimensi
kelembagaan sebagai pilar ke 4 pembangunan berkelanjutan (UNCSD 2001).
Price dan Messerli (2002) memasukan dimensi budaya dan jender (culture and
gender), dimensi kebijakan dan legislasi (policies and legislation), serta risiko
bencana (risk). Fisheries Centre UBC selain memasukkan etika sebagai pilar ke
4, juga memasukan dimensi teknologi sebagai pilar ke 5 (UBC 2006).
Operasionalisasi dari konsep pembangunan berkelanjutan dilakukan melalui
konsep daya dukung (carrying capacity) (Wackernagel 1994; Rees 1996; Khanna
et al. 1999; Richard 2002). Operasionalisasi konsep daya dukung lingkungan
mencakup 3 hal (Khanna et al. 1999) yaitu : perkiraan kapasitas pendukung;
perkiraan kapasitas asimilasi; alokasi optimal dari sumberdaya. Perkiraan
kapasitas pendukung (Rees 1996; Khanna et al. 1999) terdiri atas: regenerasi;
ketahanan dan titik kritis. Perkiraan kapasitas asimilasi adalah perkiraan
kemampuan ekosistem menyerap sesuatu (limbah, atau beban pencemar) yang
dimasukan tanpa menimbulkan dampak pada ekosistem (Rees 1996; Khanna et al.
1999) .
Daya dukung lingkungan dapat berbentuk daya dukung lingkungan untuk
biologi dan daya dukung lingkungan untuk penduduk (Khanna et al.1999). Daya
dukung lingkungan biologi didefinisikan sebagai tingkat konsumsi sumberdaya
dan pembuangan limbah maksimum yang masih dapat dipertahankan tanpa batas
waktu dan secara progresif tidak mengganggu bioproduktivitas dan integritas
ekologi suatu kawasan (Khanna et al. 1999). Daya dukung lingkungan untuk
penduduk diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung penduduk
(manusia) pada kondisi berkelanjutan. Sejalan dengan hal tersebut, UUPPLH No
32/2009 mendefinisikan daya dukung lingkungan sebagai kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain.
12
Untuk memperkirakan daya dukung dilakukan seleksi terhadap satu atau
beberapa sumberdaya yang secara inheren terbatas seperti air, lahan, energi dan
biota, selanjutnya dilakukan perhitungan untuk memperkirakan seberapa besar
sumberdaya tersebut harus disediakan (Richard 2002). Perhitungan daya dukung
selain dapat dilakukan melalui perhitungan konsumsi energi atau makanan, juga
dapat dilakukan melalui kebutuhan lahan (Rees 1996; Richard 2002). Wackernagel
(1994), menginterpretasikan konsep daya dukung sebagai lahan per penduduk
yang dibutuhkan individu untuk hidup secara berkelanjutan. Perhitungan melalui
kebutuhan lahan dilakukan dengan dua cara yaitu
a) Cara sederhana adalah melalui pendugaan kepadatan penduduk pada areal
tertentu, selanjutnya dihitung jumlah penduduk yang masih dapat didukung
oleh areal tersebut (Richard 2002). Menurut Meadows (1995) dalam Murai
(1996), salah satu kriteria pembangunan berkelanjutan ditunjukkan oleh
kepadatan penduduk yang tidak melebihi 50 orang per ha. Kondisi
keberlanjutan dikatakan kritis apabila kepadatan penduduk berada antara 100
– 150 orang per ha, sedangkan lebih dari 200 orang per ha maka kepadatan
penduduk tidak lagi mengarah pada keberlanjutan tapi cenderung merusak
(destructive).
b) Cara yang lebih kompleks adalah menggunakan konsep Ecological
footprint. Konsep Ecological footprint menghitung seberapa luas lahan yang
dibutuhkan per kapita untuk menghasilkan secara eksklusif barang dan jasa
serta mengasimilasi limbah yang dihasilkan tanpa perlu pengelolaan
(Wackernagel 1994). Dalam hal ini lahan digunakan sebagai ukuran untuk
kombinasi berbagai faktor (kebutuhan makanan, energi, air dan sumberdaya
lainnya). Selanjutnya dihitung kebutuhan luas lahan untuk mendukung
setiap populasi (Wackernagel 1994; Rees 1996; Richard 2002). Penelitian
yang dilakukan Rees dan Wackernagel tahun 1996 di beberapa tempat di
dunia, menyimpulkan bahwa ecological footprint rata-rata dunia adalah 1,8
ha per orang (Moffat et al. 2001). Ecological footprint negara-negara Asia
berkisar antara 0,4 ha/kapita (India) sampai 3 ha/kapita (Jepang)(Moffat et
13
al. 2001; Rees 1996). Negara dengan ecological footprint 3-4 ha/orang di
Eropa adalah Austria, Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Belanda, dan
Switzerland, serta negara dengan ecological footprint 4-5 ha/orang adalah
Canada dan USA (Rees 1996; Moffat et al. 2001).
Berdasarkan konsep daya dukung lingkungan tersebut, maka daya dukung
fisik kawasan permukiman dapat diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk
mendukung kegiatan permukiman. Kemampuan lingkungan untuk mendukung
kegiatan permukiman secara berkelanjutan ditentukan oleh kapasitas pendukung,
kapasitas asimilasi, dan alokasi optimal dari sumberdaya. Kapasitas pendukung
permukiman berkelanjutan dalam implementasinya dijabarkan menjadi status
keberlanjutan permukiman. Kapasitas asimilasi kawasan permukiman dijabarkan
menjadi kemampuan kawasan permukiman untuk menampung penduduk. Alokasi
optimal dari sumberdaya dalam implementasinya dijabarkan sebagai alokasi lahan
yang sesuai untuk dijadikan permukiman.
Pada dekade mendatang terdapat indikasi bahwa kebutuhan manusia
terhadap ekosistem akan terus meningkat, kondisi tersebut dipicu oleh naiknya
jumlah penduduk. United Nations Population Fund's (UNPF) memperkirakan
penduduk dunia akan mencapai 9,3 milyar pada tahun 2050 (Richard 2002),
sehingga permintaan dan konsumsi akan sumberdaya biologi (biota) dan
sumberdaya fisik seperti lahan dan air akan bertambah pesat pula. Hal tersebut
sekaligus akan meningkatkan dampak terhadap ekosistem. Dampak terhadap
ekosistem terjadi karena perkembangan jumlah penduduk dan kegiatan sosial
ekonomi penduduk, meningkatkan kebutuhan lahan untuk permukiman.
Peningkatan kebutuhan lahan akan memicu perubahan ekosistem. Perubahan
ekosistem dipicu oleh faktor penggerak (driven factor) yang bersifat langsung dan
tidak langsung. Faktor penggerak perubahan yang langsung adalah suatu faktor
yang dapat merubah suatu aspek dari ekosistem tertentu secara langsung, faktor
tersebut antara lain adalah perubahan pada tataguna lahan dan penutupan lahan
setempat (MA Board 2001).
14
2.2 Evaluasi Kawasan Permukiman
Timbulnya masalah degradasi fungsi DAS sebagai penyedia jasa ekosistem
diduga berkaitan dengan semakin besarnya kawasan di dalam DAS yang kedap air
(impervious area). Kawasan permukiman merupakan kawasan terbangun sehingga
perubahan tutupan lahan dari lahan hutan atau pertanian menjadi permukiman,
menyebabkan permukaan tanah menjadi kedap air (Mustafa et al. 2005). Dampak
yang ditimbulkan dari pembangunan permukiman yang tidak terkendali adalah
menurunnya kemampuan DAS dalam mengatur keseimbangan tata air, seperti
diperlihatkan oleh terjadinya kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim
hujan. Beberapa hasil penelitian di DAS Ciliwung (Irianto 2000; Tim IPB 2002;
Kadar 2003; Lukman 2006), menunjukkan adanya korelasi antara peningkatan
debit sungai Ciliwung pada musim hujan dengan perubahan penggunaan lahan
DAS Ciliwung, terutama perubahan penggunaan lahan dari kawasan tidak
terbangun seperti kawasan hutan dan pertanian menjadi kawasan permukiman.
Konsep daya dukung sebagai operasionalisasi konsep pembangunan
berkelanjutan, selain memperhitungkan seberapa besar populasi yang dapat
didukung oleh suatu sumberdaya, juga memperhitungkan dimana mereka akan
dialokasikan (Khanna et al. 1999), dengan demikian akan terjadi kompetisi
diantara berbagai keinginan penggunaan pada sebidang lahan yang sama.
Persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan seleksi terhadap
kesesuaian lahan (Saroinsong et al. 2006). Seleksi dilakukan dengan cara
mengevaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman.
Evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman akan melibatkan berbagai
faktor sebagai kriteria. Menurut Van der Zee (1986), pemilihan lahan untuk
permukiman ditentukan oleh faktor relif, iklim, tanah, vegetasi dan akses terhadap
air. Selanjutnya Van der Zee (1990) menyatakan evaluasi lahan untuk permukiman
menghasilkan kesesuaian lahan (land suitability) permukiman, yang dikelompokan
menjadi 4 yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (sesuai), S3 (kurang sesuai) dan N (tidak
sesuai).
15
Evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman juga harus berpedoman pada
ketentuan perundangan yang berlaku. Berdasarkan peraturan perundangan yaitu:
PP No 26/2008 tentang RTRWN; Perpres N0 54/2008 tentang penataan ruang
Jabodetabekpunjur; Perda Provinsi Jawa Barat No 2/2003 tentang RTRW Provinsi
Jawa Barat; Perda Provinsi Jawa Barat No 2/2006 tentang Kawasan Lindung dan;
Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor, ketentuan
kawasan permukiman adalah: tidak berada di kawasan lindung, tidak berada di
kawasan resapan air dan bukan daerah rawan bencana alam maupun buatan
manusia.
Berdasarkan persyaratan kesesuaian lahan dan ketentuan perundangan yang
berlaku bagi kawasan permukiman, maka kriteria untuk menilai kawasan
permukiman adalah: a) berlokasi di kawasan budidaya; b) aman dari bencana alam
dan; c) kualitas tapak permukiman (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria dan Faktor Kesesuaian Kawasan Permukiman
Kriteria Parameter Variabel UkuranKemiringan lereng . <40%ketinggian tempat. <2000 m dpl.Erosi tanah. Tidak-agak peka.Intensitas curah hujan. <27 mm/hari.Jarak sempadan sungai .
1. Bukan kawasanresapan air danbukan kawasanlindung.
Relief, iklim, tanah,geologi, sempadansungai, danau.
Jarak sempadan danau.30 m kiri kanan .200 m tepi danau.
2. Aman dari bencanaalam .
Longsor, gerakan tanah,bahaya gunung api.
Tingkat keamananbencana.
Aman terhadapbencana.
Relief tanah. Kemiringan lereng. <15%
3.Kualitas tapakpermukiman:
a. Fisik tapakKetinggian tempat ≤1000 m
b. Ketersediaan air Sumber air . Ketersediaan. jarak <100 mc. Aksesibilitas Jaringan jalan. Ketersediaan. Dilalui jaringan
jalanSumber: PP No 26/2008; Perpres No 54/2008; Keppres No 32/1990; Perda Prov Jawa Barat No 2/2003; Perda Prov JawaBarat No 2/2006; Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 ; SK Menteri PU No 20/KPTS/1986, Bappeda Kabupaten Bogor(2001), Van der Zee (1986), dan Van der Zee (1990)
Salah satu alat yang sering dipakai untuk mengevaluasi kesesuaian lahan
kawasan permukiman adalah Sistem Informasi Geografis (SIG) (Ligtenberg et al.
2004; Syartinilia et al. 2006; Saroinsong et al. 2006). Kelebihan SIG adalah
kemampuannya menangani kompleksitas dan volume basis data yang besar secara
16
efisien, serta mampu memvisualisasikan hasil secara efektif sehingga mudah
dimengerti oleh pengguna (Shasko dan Keller 1989; Mustafa et al. 2005).
Kelebihan SIG lainnya adalah SIG merupakan teknologi yang terintegrasi karena
dapat menyatukan berbagai teknologi geografi yaitu Global Positioning System
(GPS); dan Computer Aided Design (CAD). Dengan kemampuannya itu, SIG
dapat dipakai untuk mengevaluasi kesesuaian kawasan permukiman yang
membutuhkan data yang relatif besar dan kompleks secara efisien dan efektif.
Selain SIG, untuk mengevaluasi kesesuaian kawasan permukiman,
dibutuhkan Remote sensing untuk menganalisis jenis penutupan lahan yang
dihasilkan dari citra satelit. Remote sensing dengan klasifikasi spektral, sangat
efektif dari segi biaya, sangat efisien dari segi waktu dan sumber data yang handal
untuk keperluan mendeteksi tutupan lahan, secara spasial dan temporal, bagi skala
wilayah yang luas (Weng 2002; Mustafa et al. 2005). Hasil analisis terhadap citra
satelit menggunakan remote sensing selanjutnya diproses dengan SIG.
2.3. Kelembagaan dalam Pengelolaan Kawasan Permukiman di DaerahAliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan
yang merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi
menampung air yang berasal dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya
melalui sungai dan anak-anak sungai ke danau atau ke laut secara alami. Batas di
darat berupa pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan perairan yang
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Kelembagaan diartikan sebagai suatu tatanan dan pola hubungan antara
anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan
bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi. Kelembagaan diwadahi
dalam suatu organisasi atau jaringan. Pada kelembagaan terdapat faktor-faktor
pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal
untuk pengendalian prilaku sosial, dan insentif untuk bekerjasama dalam mencapai
tujuan bersama (Djogo et al. 2003).
17
Kelembagaan selalu menjadi issu penting dalam pengelolaan sumberdaya
alam dan pembangunan pada umumnya. Berbagai macam penyebab kerusakan
sumberdaya dan degradasi lingkungan tidak hanya disebabkan masalah ekonomi
namun lebih pada masalah kelembagaan (Rustiadi dan Viprijanti 2006). Kegagalan
pembangunan seringkali bersumber dari kegagalan negara dan pemerintah dalam
membuat, mengimplementasikan kebijakan secara benar, serta mengabaikan
pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh proses
pembangunan baik sosial, ekonomi, politik, teknologi maupun pengelolaan
sumberdaya alam (Djogo et al. 2003). Dampak kelembagaan pada degradasi
sumberdaya sangat jelas terlihat pada sumberdaya yang memiliki karakteristik
milik bersama (common) seperti DAS, karena ketiadaan penguasaan yang bersifat
privat (privat property).
Sumberdaya seperti air tanah, lahan, hutan, sungai, dan danau yang
merupakan bagian DAS adalah barang spesifik yang bermanfaat bagi semua orang
atau anggota komunitas tertentu, disebut sebagai barang kompetitif (rivalness)
yang tidak dapat dijadikan sesuatu yang eksklusif (non excludability) karena milik
masyarakat. Sterner (2003) menyebut barang dengan sifat rivalness dan non
excludability sebagai Common Pool Resources (CPRs). Common Pool Resources
(CPRs) selain memiliki ciri rivalness dan non excludability juga memiliki ciri
terbatas, sehingga harus ada biaya yang dikeluarkan untuk membatasi akses pada
sumberdaya bagi pihak-pihak yang jadi pemanfaat (Rustiadi dan Viprijanti 2006).
Penggunaan yang berlebihan dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki
sebuah DAS, dan adanya free riders, menyebabkan CPRs seperti DAS cenderung
mengalami kerusakan.
Untuk mencegah pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan diperlukan
perangkat kebijakan (policy instrument). Instrumen kebijakan dapat berupa carrot
sebagai simbol insentif ekonomi, stick sebagai simbol instrumen hukum/regulasi,
dan sermont sebagai simbol instrumen informasi (Sterner 2003). Instrumen
kebijakan merupakan intervensi negara yang dirancang untuk mencapai tujuan
serta untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan kebijakan (Djogo et al. 2003).
18
Oleh karena itu, instrumen kebijakan yang akan diterapkan sangat tergantung pada
pemerintah. Instrumen kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan
sumberdaya alam dapat berbentuk pajak, biaya, ongkos, provisi, regulasi, zoning,
pembatasan (bans), izin, liability bonds, labeling, information disclosure,
pelibatan publik dan international treaties (Sterner 2003).
Salah satu instrumen kebijakan yang dapat digunakan pemerintah untuk
meningkatkan dan memperbaiki daya dukung lingkungan DAS adalah Information
disclosure dalam bentuk sosialisasi perencanaan tata ruang dan permukiman serta
peraturan perundang-undangan pada masyarakat. Sosialisasi mengenai peraturan-
peraturan yang berkaitan dengan penataan permukiman adalah hal yang penting,
agar masyarakat dapat terlibat secara intensif. Sosialisasi ini dilakukan secara
simultan dan komprehensif dan ditujukan agar masyarakat dapat terlibat aktif
mematuhi aturan tata ruang dan permukiman yang dibuat. Sosialiasi tidak hanya
sekedar memasang papan pengumuman, tetapi mengajak masyarakat untuk
memahami esensi perundang-undangan dengan cara dialogis dan berkelanjutan,
memberikan ganjaran dan imbalan simbolik untuk berbagai jenis perilaku positif
bagi penataan permukiman.
Selain sosialisasi, kebijakan pengelolaan sumberdaya dapat menggunakan
instrumen pelibatan publik. Pelibatan publik dalam bentuk partisipasi masyarakat
secara formal telah tertuang dalam UUPR No 26/2007, UUPPLH No 32/2009 ;
UUPP No 4 /1992, dan PP no 69/1996 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban
serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang. Partisipasi
masyarakat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat, karena persepsi sebagai
komponen kognitif dari sikap mendasari secara relatif totalitas sikap seseorang (Sueca
et al. 2001). Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap fungsi ekologi DAS
Ciliwung hulu berperan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam
membangun permukiman di kawasan yang sesuai untuk permukiman.
Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh tiga macam kekuatan (power) yaitu
coercive (pemaksaan), remunerative (imbalan keuntungan) dan normatif (Etzioni
1961). Ketiga kekuatan tersebut bekerja berdasarkan alat pengontrolnya yang
19
berupa sanksi fisik, materi dan simbol, menghasilkan tipe partisipasi alienative,
calculative dan moral (Etzioni 1961). Tipe partisipasi tersebut dipengaruhi oleh
faktor pendidikan, pekerjaan dan penghasilan (Soedjono 1990; Dewi 1997; Sabri
2004). Ketiga faktor sosial ekonomi tersebut secara tidak langsung menunjukkan
tingkat kualitas kehidupan masyarakat. Salah satu ukuran tingkat kualitas
kehidupan masyarakat dari perspektif pembangunan manusia adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Empat komponen IPM adalah angka harapan
hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli
masyarakat. Berdasarkan komponen pembentuk IPM tersebut, maka IPM dapat
menjadi langkah awal untuk memperkirakan kecenderungan partisipasi
masyarakat.
Secara kelembagaan pihak-pihak yang terlibat (stakeholders) dalam
pengelolaan permukiman di DAS Ciliwung hulu adalah pemerintah daerah
Kabupaten/kota Bogor, pemerintah pusat, para akademisi, LSM, serta kalangan
masyarakat dan pengusaha yang melakukan kegiatan di DAS Ciliwung hulu.
Stakeholders dibagi menjadi primary stakeholders dan secondary stakeholders
(ODA 1995). Primary stakeholders adalah mereka yang terpengaruh secara
positif (bermanfaat) atau negatif (tidak sengaja diatur) seperti masyarakat.
Secondary stakeholders adalah para intermediari dalam proses penyampaian
program kegiatan atau para pemberi pemahaman pada primary stakeholders,
mereka terdiri dari funding, implementing, monitoring, organisasi advokasi,
pemerintah, LSM, dan organisasi sektor swasta. Berdasarkan hal tersebut maka
masyarakat yang bertempat tinggal atau yang melakukan kegiatan di DAS
Ciliwung hulu dikatakan sebagai primary stakeholders, sedangkan kalangan
pemerintah baik pusat maupun daerah, para akademisi, dan LSM yang berkaitan
atau peduli dengan DAS Ciliwung hulu adalah secondary stakeholders.
Menurut Kartodihardjo (2006), semakin tidak jelas hubungan kerjasama
antara pemerintah dengan masyarakat terhadap sumberdaya, maka keduanya akan
saling mengandalkan, dan pada taraf tertentu kondisi tersebut akan menjadikan
DAS sebagai barang tanpa pemilik (open access). Tragedi open access terhadap
20
sumberdaya dipicu oleh kevakuman kelembagaan yang tercipta oleh suatu proses
desentralisasi yang tidak komplit (Kartodihardjo 2006). Berdasarkan fenomena
yang terjadi di DAS Ciliwung hulu saat ini, diperkirakan, kelembagaan yang
mengatur tata ruang DAS tidak berfungsi, sehingga terjadi tragedi open access
dimana alih fungsi lahan terjadi tanpa kendali.
Pada era otonomi daerah, keinginan untuk meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD) dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menjalankan fungsi-
fungsi pemerintahan telah mendorong pemerintah daerah mengeksploitasi
sumberdaya alam yang ada di wilayahnya. Menurut Dharmawan (2005), DAS
sebagai suatu sumberdaya yang bersifat CPRs, tidak lagi dijaga secara bersama-
sama akibatnya derajat susceptibility (kerawanan) DAS terhadap terjadinya
“tragedy of the commons” meningkat tajam, sedangkan pada ranah struktural,
otonomi daerah menghadapi persoalan kekosongan ruang kelembagaan.
Dharmawan (2005) menggambarkan persoalan kekosongan ruang kelembagaan
sebagai institutional krisis, sebagai berikut :
a. Ruang-ruang dialog dan ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya
koordinasi antar pemegang otoritas administratif dalam merumuskan kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara partisipatif, tidak
terbentuk.
b. Terbatasnya ruang untuk mengkomunikasikan kebijakan menyebabkan tidak
terbangunnya komunikasi partisipatif tentang seberapa dalam derajat
pemanfaatan sumberdaya alam pada wilayah administratif masing-masing
harus dicapai.
c. Ketidakhadiran ruang komunikasi, menyebabkan ketidakcukupan informasi
bagi pemangku otoritas kebijakan lingkungan untuk mengambil keputusan
seberapa dalam derajat eksploitasi sumberdaya alam wilayah masing-masing
dapat ditoleransi.
d. Ketiadaan ruang komunikasi mencapai taraf yang secara ekologis
membahayakan manakala setiap pihak tidak lagi menghiraukan dan tidak ingin
21
mempedulikan kebijakan lingkungan di wilayah administratif tetangganya. Hal
ini akan menyebabkan eksploitasi sumberdaya alam menjadi tidak terkontrol.
e. Dampak dari kekosongan ruang kelembagaan adalah terjadi kesulitan dalam
mengembangkan proses-proses koordinasi dan komunikasi antar pemerintah
daerah, antar sektor, serta antar beragam kepentingan lainnya
2.4. Metode Interpretative Structural Modelling (ISM)
Interpretative Structural Modelling (ISM) adalah proses analisis
menggunakan komputer yang memungkinkan individu-individu atau kelompok
mengembangkan peta hubungan yang kompleks diantara banyak elemen yang
terlibat dalam situasi yang kompleks. Metode ISM sering digunakan untuk
memberikan pemahaman dasar pada situasi yang kompleks, serta menyusun
tindakan untuk memecahkan masalah. Metode ISM yang dikembangkan oleh
Saxena tahun 1992 (Eriyatno 1999; Marimin 2004), merupakan teknik
permodelan yang memberikan basis analisis program, dimana informasi yang
dihasilkan sangat berguna bagi formulasi kebijakan serta perencanaan strategis
(Eriyatno 1999).
Metode ISM dibagi dalam dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan
klasifikasi sub elemen (Eriyatno dan Sofyar 2006). Metode ISM menganalisis
elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan
langsung antar elemen dan tingkat hierarki (Marimin 2004). Penyusunan tingkat
hierarki berdasarkan pada lima kriteria (Eriyatno 1999) yaitu:
a) Kekuatan pengikat (bond strength) di dalam dan antar kelompok/tingkat;
b) Frekuensi relatif dari osilasi (guncangan), dimana tingkat yang lebih
rendah lebih mudah terguncang dibandingkan dengan tingkat yang lebih
tinggi;
c) Konteks, dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu
yang lebih lambat;
d) Liputan (containment) dimana liputan yang lebih tinggi mencakup pula
tingkat yang lebih rendah;
22
e) Hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah
lambat yang mempengaruhi peubah cepat di tingkat bawahnya.
Struktur dari sistem hierarki dibutuhkan untuk menjelaskan pemahaman
terhadap perihal yang dikaji. Menurut Saxena (1992) dalam Eriyatno (1999)
program terdiri dari sembilan elemen yaitu (a)sektor masyarakat yang terpengaruh
program; (b) kebutuhan dari program; (c) kendala utama program; (d) perubahan
yang dimungkinkan; (e) tujuan dari program; (f) tolok ukur untuk menilai setiap
tujuan program; (g) aktivitas yang dibutuhkan untuk perencanaan tindakan; (h)
ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas program;
dan (i) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Selanjutnya setiap
elemen dari program yang dikaji diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen, dan
ditetapkan hubungan kontekstual antar sub-elemen tersebut.
2.5. Model Sistem Dinamik dan Analisis Kebijakan
Penataan kawasan permukiman pada DAS bersifat kompleks dan dinamis.
Untuk itu proses analisisnya harus menyeluruh (holistic) dan berkembang sesuai
dengan waktu. Pendekatan kesisteman merupakan pendekatan untuk
menyelesaikan masalah yang kompleks, dinamis dan probabilistik (Eriyatno 1999)
dan didasarkan pada Cybernetic, holistic dan effectiveness (Kholil 2005).
Pendekatan kesisteman merupakan penerapan sistem ilmiah dalam manajemen,
yang dapat memberikan dasar untuk memahami adanya penyebab ganda dari suatu
masalah dalam kerangka sistem. Melalui pendekatan kesisteman dapat diketahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi
(Marimin 2004).
Perilaku sistem dikelompokan menjadi empat (Muhamadi et al. 2001) yaitu :
a. Pembelajaran : perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas kemampuan
sistem untuk menciptakan keluaran berdasarkan proses sebelumnya.
b. Emerjensi: perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas pemunculan
realitas baru yang tidak terduga dalam sistem.
23
c. Ko-evolusi: perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas perilaku mikro
mempengaruhi perilaku makro.
d. Non Linieritas: proses perubahan tidak berbanding lurus, non linieritas
merupakan perilaku hasil dari terjadinya kombinasi antara simpal positif dan
simpal negatif, dimana simpal negatif mengalami waktu tunda. Bentuk lain
dari non linieritas adalah random.
Untuk menganalisis berbagai masalah yang bersifat sistemik, rumit, berubah
cepat dan mengandung ketidakpastian dapat dipakai pendekatan kesisteman
menggunakan model dinamik (Muhamadi et al. 2001). Hal tersebut karena sistem
dinamik merupakan proses berpikir menyeluruh dan terpadu yang mampu
menyederhanakan kerumitan tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari objek
yang menjadi perhatian (Muhamadi et al. 2001). Selain itu, sistem dinamik dapat
digunakan untuk menganalisis struktur sistem fisik, biologi, dan sosial serta dapat
memperlihatkan perilaku dari sistem tersebut; dan menganalisis perubahan
struktur yang terjadi pada salah satu bagian dari sistem yang akan memberikan
efek pada perilaku sistem secara keseluruhan (Martin 1997).
Hasil pengkajian empiris yang dilakukan para pakar terhadap pola perilaku
dinamik, telah teridentifikasi 8 pola dasar perilaku dinamik (Kim dan Anderson
1998; Muhammadi et al. 2001), yaitu :
a) Batas Keberhasilan (Limits to Success): Pada batas keberhasilan, kegiatan
pertumbuhan pada awalnya membawa keberhasilan yang semakin meningkat,
dengan bertambahnya waktu keberhasilan tersebut menyebabkan sistem mencapai
batas sehingga tingkat pertumbuhannya mulai diperlambat. Keberhasilan memicu
munculnya mekanisme pembatasan dan menyebabkan keberhasilan tersebut
menurun. Kecenderungan yang ditunjukkan ditentukan oleh kegiatan pertumbuhan
awal (Gambar 3).
24
Gambar 3. Struktur dan Perilaku Model Batas Keberhasilan (Limits to Success)
b) Perbaikan yang Gagal (Fixes that Fail): Perbaikan yang gagal berawal dari
terjadinya suatu gejala, kemudian dilakukan tindakan cepat, tetapi tanpa
disadari setelah beberapa waktu ternyata menyebabkan gejala tersebut timbul
kembali atau timbul akibat lain yang makin memperburuk gejala tersebut.
Adanya waktu tunda menyebabkan pengaruh dari akibat yang tidak disengaja
tidak disadari, sehingga cara perbaikan yang sama dilakukan secara berulang-
ulang. Kadang-kadang pengaruh negatif dari akibat yang tidak disengaja
bersifat tidak terpulihkan, sehingga pada saat struktur sistem telah mengakar
kuat sulit untuk dipulihkan atau diputar-arahkan (Gambar 4).
Gambar 4. Struktur dan Perilaku Model Perbaikan yang Gagal (Fixes that Fail)
c) Pemindahan Beban (Shifting the Burden) merupakan tindakan pemecahan
masalah secara cepat yang sifatnya sementara, tanpa disadari menimbulkan
efek samping yang dapat memperburuk pemecahan gejala masalah dari pada
Sasaran
NilaiProduktivitas
RB
B
R
25
memecahkan gejala yang sebenarnya. Pemecahan masalah mendasar akan
mencegah gejala masalah muncul kembali (simpal negatif). Akan tetapi setiap
kali diterapkan pemecahan gejala masalah, efek samping semakin menguat dan
kemampuan memecahkan masalah mendasar semakin menurun. Struktur
model baku ini mirip dengan perbaikan yang gagal (Gambar 5).
Gambar 5. Struktur dan Perilaku Model Pemindahan Beban
d) Sasaran yang Berubah (Drifting Goals) adalah suatu keadaan dimana terdapat
perbedaan antara unjuk kerja yang ditargetkan dengan yang dicapai yang
selanjutnya dilakukan tindakan perbaikan (koreksi). Pengaruh dari tindakan
koreksi akan membutuhkan waktu untuk diketahui hasilnya dan tidak selalu
berhasil mencapai target. Model baku sasaran yang berubah mempunyai
beberapa kemugkinan pola perilaku menurut waktu (Gambar 6).
Gambar 6. Struktur dan Perilaku Model Sasaran Yang Berubah
B
B
26
c) Kemajuan dan Kekurangan Modal (Growth and Underinvestment) adalah
keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara peningkatan kebutuhan
dengan kapasitas pertambahan modal untuk memenuhi kebutuhan. Struktur
model ini bercirikan grafik fungsi waktunya terdiri dari empat variabel yaitu
kebutuhan (jumlahnya), kapasitas (kemampuan menyediakan), pemenuhan
kebutuhan (kebutuhan nyata berdasarkan standar kinerja) dan kapasitas untuk
pemenuhan kebutuhan. Perbedaan antara kebutuhan dan kapasitas saat ini
akan mempengaruhi kebutuhan berikutnya( Gambar 7).
Gambar 7. Struktur dan Perilaku Model Kemajuan dan Kekurangan Modal
d) Sukses bagi yang Berhasil (Success to the Successful adalah keadaan
persaingan untuk meraih sukses. Kondisi awal dimana salah satu pihak
mendapat alokasi sumberdaya lebih banyak dibandingkan pihak lain akan
memberikan lebih banyak keuntungan dan kemungkinan keberhasilan yang
lebih besar. Selanjutnya bagi yang berhasil, terjadi kecenderungan
penempatan sumber daya yang lebih besar, dibandingkan saingannya, agar
dapat terus meningkatkan produksinya. Hal tersebut dapat merebut alternatif
sumberdaya dan kesempatan pihak lain dalam membangun keberhasilan. Tiga
kondisi yang membentuk dinamika model ini yaitu: Kondisi pertama, zero-
sum game dimana satu atau dua alternatif sumberdaya berkompetisi, artinya
kapanpun satu pihak mendapatkan lebih banyak sumberdaya, maka pihak lain
akan mendapat lebih sedikit. Kondisi kedua, penyimpan sumberdaya lebih
banyak maka pihak tersebut akan mempunyai peluang untuk lebih sukses.
Kondisi ketiga, dengan mengurangi alokasi sumberdaya pada salah satu pihak,
27
maka peluang pihak tersebut untuk mencapai keberhasilan akan berkurang
(Gambar 8).
Gambar 8. Struktur dan Perilaku Model Sukses Bagi yang Berhasil.
e) Eskalasi ( Escalation): Ekskalasi adalah kondisi dimana ada dua pihak yang
terlibat dalam suatu persaingan, dimana masing-masing saling bereaksi
terhadap pihak yang lain. Tindakan yang dilakukan satu pihak (A) untuk
menanggulangi ancaman yang muncul, akan dirasakan pihak yang lain (B)
sebagai ancaman baginya karena menyebabkan ketidakseimbangan dalam
sistemnya. Pihak lain (B) akan bereaksi dengan bertindak mengurangi
ancaman tersebut dengan mengurangi kesenjangan, yang berdampak pada
terjadinya ketidakseimbangan di pihak A. Selanjutnya pihak A akan kembali
bertindak mengurangi kesenjangan, dan berdampak kembali pada pihak B.
Kejadian tersebut akan terus berulang. Situasi ini dapat berakhir baik apabila
kedua pihak berkompetisi untuk mendapatkan hasil terbaik, atau menjadi
buruk bagi keduanya apabila keadaan tersebut makin meningkatkan tekanan
pada kedua belah pihak (Gambar 9).
Gambar 9. Struktur dan Perilaku Model Eskalasi
28
f) Kesulitan Bersama (Tragedy of the Commons) adalah kondisi dimana terdapat
dua pihak atau lebih yang secara bersama-sama menggunakan sumberdaya
yang terbatas, untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi-masing-
masing, yang berakhir dengan kesulitan bersama. Model ini didasarkan pada
struktur batas keberhasilan. Masing-masing pihak yang terlibat berpikir
mereka dapat mengeksploitasi sumberdaya untuk kepentingan dan keuntungan
masing-masing. Model ini mempunyai tiga pola perilaku kecenderungan
terhadap waktu. Perilaku pertama, mewakili variabel aktivitas total. Perilaku
kedua mewakili variabel sumberdaya alam (SDA). Perilaku ketiga mewakili
variabel pendapatan per aktivitas. Pembentukan model melalui tiga fase yaitu:
fase stabil, dimana peningkatan aktivitas tidak menimbulkan penurunan SDA
dan pendapatan; fase penurunan SDA dan pendapatan sedikit secara bertahap;
fase penurunan SDA secara cepat akibat masing-masing pihak berlomba
mengkonsumsi sumberdaya dalam jumlah besar. Pada awalnya keuntungan
per aktivitas individu meningkat, namun pada saat sumberdaya mengalami
penurunan maka keuntungan tersebut mengalami penurunan hingga mencapai
titik terendah (Gambar 10).
Gambar 10. Struktur dan Perilaku Model Kesulitan Bersama
Perilaku dinamis dari model dapat dikenali dari hasil simulasi model.
Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan
untuk memahami, membuat analisis, meramalkan gejala atau proses dimasa depan
(Muhamadi et al. 2001). Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan
yaitu pengembangan kebijakan alternatif dan analisis kebijakan alternatif.
29
Pengembangan kebijakan dilakukan dengan cara model tetap atau model di ubah.
Model diubah dengan dua cara yaitu melalui perubahan unsur, dan melalui
perubahan struktur (Muhammadi et al. 2001). Tahap-tahap yang dilakukan pada
simulasi adalah (Muhamadi et al. 2001):
(a) Tahap penyusunan konsep: pada tahap ini gejala atau proses yang akan
ditiru harus dipahami dengan cara menentukan unsur-unsur yang berperan
dalam gejala atau proses tersebut;
(b) Tahap pembuatan model: pada tahap ini model merupakan suatu bentuk
yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses.
(c) Tahap simulasi: pada tahap ini dilakukan simulasi pada model yang
dibuat. Dalam model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukan
data kedalam model, untuk mengetahui perilaku gejala atau proses.
(d) Tahap validasi hasil simulasi: pada tahap ini dilakukan validasi untuk
mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses
yang ditirukan. Model dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan
hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan, kecil.
2.6 Validasi Model Kebijakan
Validasi model merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menilai
kesesuaian antara keluaran dari model matematik dengan keluaran dari sistem
nyata atau untuk memeriksa kesesuaian antara perilaku model matematik dengan
perilaku sistem yang diwakili (Eryatno dan Sofyar 2007). Teknik validasi yang
dapat digunakan untuk memvalidasi model kebijakan, secara objektif dan subjektif
adalah (Eryatno dan Sofyar 2007): (a) animasi, (b) membandingkan dengan
metoda lain, (c) degenerate tesis, (d) validitas peristiwa, (e) test untuk kondisi
yang ekstrem, (f) validitas muka, (g) nilai tetap, (h) validasi sejarah dari data, (i)
metode sejarah ,(j) validitas internal, (k)validasi bertingkat, (l)grafik operasional,
(m) variabilitas parameter, (n) analisis sensitivitas, (o) validasi perkiraan, (p)
traces, (q) turing test.
30
Validasi produk kebijakan dapat dilakukan melalui uji pendapat pakar atau
studi banding terhadap kebijakan yang sedang berjalan atau sudah dijalankan
(Eryatno dan Sofyar. 2007). Menurut Vennix (1997) Semakin banyak variasi tes
validitas yang digunakan, hasilnya akan semakin baik, akan tetapi yang pertama
harus dilakukan adalah mengecek kekonsistenan penggunaan satuan (dimensi),
dan yang terpenting sebelum model digunakan sebaiknya didiskusikan dengan
pengguna untuk mengecek seberapa besar respon mereka terhadap proses
konstruksi model.
Penelitian ini menggunakan uji validitas dengan cara membandingkan output
model dengan data empiris. Selain itu juga digunakan face validity untuk menguji
output model yang sulit dibandingkan dengan data empiris karena bersifat
prediksi ke masa depan, contohnya partisipasi masyarakat di masa yang akan
datang.
2.7 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan di DAS Ciliwung hulu, maupun
hasil penelitian yang relevan terkait dengan DAS, permukiman dan kawasan
resapan air secara garis besar dapat dikelompokan menjadi :
a. Penelitian yang bertujuan mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan
terhadap kondisi hidrologi DAS Ciliwung hulu menggunakan berbagai
model yaitu : HEC-1, Answers, Regresi, dan Indeks konservasi,
b. Penelitian yang bertujuan mengelola kawasan di DAS Ciliwung hulu yaitu
mengelola kawasan rekreasi alam dengan konsep daya dukung DAS.
c. Penelitian yang bertujuan mengkaji kesesuaian pemanfaatan lahan DAS
Ciliwung hulu dengan berbagai kriteria yaitu: kriteria kesesuaian lahan
untuk komoditi pertanian dan kriteria kesesuaian kawasan untuk kawasan
lindung, menggunakan Sistem informasi geografis (SIG) dan remote
sensing; Automatic land evaluation system (ALES), Multi criteria dimention
model (MCDM).
31
d. Penelitian yang bertujuan mengkaji posisi, peran dan pengembangan
kelembagaan di DAS Ciliwung.
e. Penelitian yang bertujuan mengkaji pemanfaatan ruang terhadap rencana
tata ruang menggunakan metode SIG, Location quotient dan shift and share
serta model dinamik di wilayah Jabotabek.
f. Penelitian yang bertujuan mengkaji aspek hukum dari pembangunan
perumahan di kawasan resapan air.
Berdasarkan penelusuran pada hasil-hasil penelitian tersebut, belum
ditemukan penelitian yang bertujuan mengelola kawasan permukiman
berkelanjutan di DAS Ciliwung hulu dengan menggunakan model sistem dinamik
yang menggabungkan hard system (GIS) dengan soft system (ISM dan MDS)
menjadi model dinamik. Keluaran hasil penelitian berupa alokasi dan distribusi
permukiman secara spatial dilengkapi dengan skenario kebijakan penataan
permukiman. Selanjutnya ringkasan hasil peneltian terdahulu tersebut disajikan
pada Tabel 2.
32
Tabel 2 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Peneliti , Tahun dan Judul Konsep dan Metoda Hasil
1. Singgih Irianto tahun 2000: Kajian HidrologiDAS Ciliwung
Menggunakan model HEC-1 untukmembuat simulasi perubahanpenggunaan lahan.
Hasil simulasi menunjukkan terjadi peningkatan kontribusi DAS Ciliwunghulu terhadap banjir Jakarta dari 43,2%(1981) menjadi 50,7%(1999).Penelitian ini tidak menghitung alokasi optimal pemanfaatan lahan danlokasi penyebarannya.
2. .Sugiharto tahun 2001: ArahanPemanfaatan Lahan Untuk KegiatanPermukiman Berdasarkan AnalisisKesesuaian Lahan dan Penilaian KualitasSub Daerah Aliran Sungai (Sub-Das). Studikasus: Sub DAS Cileunyi, kabupatenBandung).
Metode analisis kualitatifmenggunakan kriteria kesesuaianlahan dan analisis kuantitatif melaluiukuran fluktuasi debit aliran dantingkat erosi tanah.
Hasil analisis mengindikasikan bahwa tidak seluruh kawasan di sub DASCileunyi dapat dimanfaatkan untuk kegiatan permukiman sehinggaarahan pemanfaatan lahan untuk kegiatan pemukiman di kawasan inidilakukan dengan prioritas. Penelitian ini tidak merancang modelpengelolaan.
3. Bappeda Prov DKI Jakarta dan LP-IPB tahun2002 : Kajian Pemanfaatan Ruang Jabotabek
Alat yang digunakan untuk analisisadalah GIS, Location Quotient, shiftand share.
Di Jabodetabek telah terjadi alih fungsi lahan, serta pemanfaatan lahanbelum optimal karena banyak yang belum sesuai RTRW. Penelitian initidak membuat alokasi optimal permukiman, khususnya di KabupatenBogor sebagai wilayah resapan air.
4. Isman Kadar tahun 2003 : Pengaruh RTRWKab Bogor Terhadap Konservasi Air danPenerimaan Daerah
Alat yang digunakan untukmenganalisis adalah model dinamisdengan menggunakan software Stella
Apabila pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor sesuai RTRW, maka akanterjadi peningkatan debit puncak aliran permukaan di DAS Ciliwung dankenaikan penerimaan daerah. Studi ini hanya menghitung komposisioptimal penggunaan lahan, tanpa melihat bagaimana alokasi danpengendaliannya.
5 Nana M. Arifjaya dan Lilik B Prasetyo tahun2004 : .Dampak Perubahan Lahan TerhadapPerubahan Aliran Permukaan di SetiapKecamatan di DAS Ciliwung Hulu
Metoda analisis yang digunakanadalah GIS
Perlu perbaikan daerah hulu Sungai Ciliwung, untuk menanggulangibanjir. Penelitian hanya menunjukkan indikasi rusaknya DAS hulu tidakmembuat lokasi dan alokasi pemanfaatan ruangnya.
6. Laela Qodariah, Nana Mulyana Arifjaya, IbnuMaryanto, 2004 : Analisis Curah hujan, Erosidan sedimentasi Akibat Perubahan Tata GunaLahanDi Sub DAS Ciliwung HuluMenggunakan Simulasi Answers
Metoda Answers Simulasi menghasilkan beberapa skenario penggunaan lahan padakejadian hujan maksimum. Hasil simulasi menunjukan skenario dengankomposisi pengunaan lahan optimal adalah hutan 54,1 %, Teh seluas23 %, tanaman semusim 12,8 %, permukiman 9,7 %. Komposisipenggunaan lahan seperti itu mampu menurunkan laju erosi sebesar64,3 % ,sedimen menurun 59% dan debit puncak 2,04 mm/detik dan
33
Peneliti , Tahun dan Judul Konsep dan Metoda Hasil
jumlah aliran permukaan sebesar 8,2 mm.. Penelitian ini hanyamembahas alokasi pemanfaatan ruang tidak membahas penyebarannyasecara ruang.
7. Qodarian Pramukanto tahun 2004 : StrategiPengelolaan Rekreasi Alam BerdasarkanDaya Dukung Kawasan: Studi Kasus DaerahTangkapan Air Cisampay Sub DAS Ciliwunghulu
Menggunakan konsep daya dukungdan daya tampung lingkungan
Kajian membahas lokasi dan alokasi kawasan rekreasi alamberdasarkan kapasitas rancangan potensialnya dan menghitung dayatampungnya.
8. Arwin Sabar tahun 2004 : Kajian AspekHidrologi, Tata Guna Lahan dan KonservasiSumberdaya Air di Kawasan Bopunjur
Menggunakan Konsep konservasisumberdaya air yaitu IndeksKonsevasi Alami(Ika)
Beban limpasan air akbat konversi lahan di kawasan Bopunjur menjadipermukiman dapat dikendalikan dengan mengembalikan fungsi hidrologikawasan sesuai dengan azas konservasi air dimana indeks konservasiaktual > indeks konservasi alami dihitung berdasarkan daya dukunglingkungan setempat. Pelestarian air tanah dikawasan permukiman dapatdilakukan dengan membuat bidang resapan, sumur resapan dan wadukresapan.
9. Chendy Tafakresnanto dan Wahyu Widionotahun 2004 : Kajian Pemanfaatan Lahan DASCiliwung dan Cisadane
Menggunakan kriteria kesesuaianlahan untuk komoditi pertanian denganperangkat lunak ALES.
Kajian menghasilkan rincian arahan fungsi pemanfaatan lahan di DASCiliwung hulu untuk kegiatan pertanian.
10 Muhajirin tahun 2004 : Kebijakan PemdaKabupaten Dalam PengendalianPembangunan Perumahan Di kawasanResapan Air Bandung Utara
Metoda pendekatan yang digunakanadalah analisis komparasi terhadapperaturan perundangan dan analisisdeskriptif
Penelitian menunjukkan faktor pendorong yang berpengaruh terhadappembangunan perumahan : pertumbuhan penduduk, nilai lahan,konsistensi penerapan kebijakan/peraturan perundangan, kelembaga an,dan daya beli masyarakat. Faktor pembatas perkembangan permukiman:kondisi fisik (jenis tanah, kelerengan, bencana alam). Penelitian ini hanyamengevaluasi kebijakan perijinan pembangun, tidak membuat strategipengendalian tata ruang.
11. Sabri tahun 2004 : Analisis Alih FungsiLahan Menggunakan Penginderaan Jauhdan Kesediaan Membayar di Sub DASCiliwung Hulu Jawa Barat
Metoda pendekatan :ContingentValuation Method , analisis kesediaanmembayar dan analisis persepsi. Alatyang digunakan adalah GIS, remotesensing, skala likert, dan SPSS.
Penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan luas kawasan terbangundan menurunnya luas kawasan yang berfungsi sebagai resapan, cukupbesarnya kesediaan masyarakat membayar iuran konservasi dan luaskawasan terbangun yang dikenai iuran konservasi. Penelitian ini tidakmenata kawasan terbangun/ permukiman maupun membuat modelkelembagaan.
34
Peneliti , Tahun dan Judul Konsep dan Metoda Hasil
12. Apik Karyana tahun 2005 : Analisis Posisi,Peran Kelembagaan dan PengembanganKelembagaan DAS: Studi Kasus Di DASCiliwung)
Metoda Pendekatan: KonsepParticipatory Rural Appraisal (PRA),Metoda Importance PerformanceAnlysis(IPA), dan LearningOrganization(LO)
Penelitian menunjukkan bahwa koordinasi antar instansi masih lemah,yang berakibat pada lemahnya law enforcement, dan berdampak padapenataan ruang DAS Ciliwung. Penelitian yang dilakukan tidak membuatoptimasi penataan ruang permukiman. Model institusi yang disarankanadalah untuk pengelolaan DAS Ciliwung yang disebut Badan LayananUmum Pengelola DAS Ciliwung..
13 Hikmat Lukman tahun 2006 : KajianHidrologi DAS Ciliwung Hulu
Menggunakan metoda regresi linieruntuk menghitung debit limpasan sertabase flow
Selama 1993 sampai 2002 trend debit aliran limpasan cenderung naik ,sedangkan trend base flow menurun, hal tersebut menunjukkanterjadinya kerusakan lahan di DAS. Penelitian haanya membahas kondisihidrologi DAS tidak membahas pemanfaatan ruang .
14. Syartinilia, HS. Arifin, LB Prasetyo, S.Tsuyuki tahun 2006 Identification ofPotensial Protection Area Using GIS andRemote Sensing, A Case Study in The UpperStream of Ciliwung Watershed of West Java,Indonesia
Alat analisis yang digunakan adalahMulti Citeria Decision Making (MCDM)dan GIS
Meneliti wilayah yang perlu dilindungi dengan menggunakan kriteriakawasan lindung untuk Rencana Tata Ruang Bopunjur. Hasil analisisdiperbandingkan dengan RTRW Kabupaten Bogor. Penelitian yangdilakukan tidak membuat optimasi pemanfaatan lahan untukpermukiman, hanya menyediakan informasi dasar bagi perencanaanpenggunaan lahan.