ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · dampak panjang pantai dengan luas daratan dan...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Lindung
2.1.1 Konsep Hutan lindung di Indonesia
Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi tumbuh-tumbuhan dan hewan
yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat
membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu (Suparmoko, 1997).
Definisi ini memiliki kemiripan dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dalam
pasal ini, hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam
persekutuan hidup dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
dinyatakan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara
kesuburan tanah (Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan). Menurut Riyanto (2005) hutan lindung adalah kawasan hutan yang
karena keadaan sifat alamnya diperlukan antara lain untuk melindungi sistem
penyangga kehidupan, yaitu proses hidroorologi, proses penyuburan tanah, proses
keanekaragaman hayati, proses penyehatan lingkungan dan manfaat lainnya.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) poin (b) Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan dinyatakan bahwa kriteria hutan
lindung adalah kawasan hutan yang memenuhi salah satu kriteria berikut:
1) Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas
hujan setelah masing-masing dikalikan angka penimbang mempunyai jumlah
nilai (skor) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih;
2) Kawasan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per seratus) atau
lebih;
3) Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2 000 (dua ribu) meter atau lebih
di atas permukaan laut;
12
4) Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan
lereng lapang lebih dari 15% (lima belas per seratus);
5) Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air;
6) Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.
2.1.2 Fungsi dan nilai guna sumberdaya hutan lindung
Fungsi hutan di antaranya ialah sebagai berikut (Suparmoko 1997): (1)
mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara
kesuburan tanah; (2) menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada
umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor
sehinga menunjang pembangunan ekonomi; (3) melindungi suasana iklim dan
memberi daya pengaruh yang baik; dan (4) memberikan keindahan alam pada
umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar. Menurut Iskandar (2008) sebagai
dampak panjang pantai dengan luas daratan dan dekatnya jarak antara kawasan
daratan dengan kawasan pantai, FAO menilai bahwa hutan pada pulau kecil
mempunyai kontribusi penting terhadap kelestarian lingkungan, yaitu: (1)
konservasi tanah dan air; (2) perlindungan pantai; (3) konservasi keanekaragaman
hayati; dan (4) terkait dengan ekosistem laut.
Menurut Sardjono (2004) fungsi hutan meliputi: (1) fungsi produksi yang
memberi manfaat langsung hasil hutan kayu, hasil hutan nir kayu dan areal untuk
bercocok tanam bagi masyarakat lokal. Selain itu juga memberikan manfaat tak
langsung bagi masyarakat lokal berupa penghasilan, pelestarian kegiatan budaya
lokal yang berbasiskan produk hutan dan pelestarian dan perkembangan industri
rumah tangga masyarakat; (2) fungsi lindung yang memberi manfaat langsung
berupa kesuburan tanah, keanekaragaman hayati (flora, fauna, mikroorganisme)
serta manfaat tak langsung berupa keterjaminan produktivitas pertanian dan
kemandirian pangan, kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat, pelestarian
pengetahuan dan teknologi tradisional; (3) fungsi tata klimat yang memberi
manfaat langsung bagi masyarakat lokal berupa iklim mikro dan udara bersih,
juga memberi manfaat tak langsung berupa kenyamanan dan kedamaian
kehidupan pedesaan, mendukung kehidupan yang sehat sejahtera dan mengurangi
dampak bencana alam; dan (4) fungsi lain-lain, seperti memberi manfaat untuk
batas tanah (tanda pemilikan lahan), perlindungan tempat-tempat keramat,
13
pelestarian identitas kelembagaan lokal, melestarikan etika konservasi dan
pergaulan hidup antar anggota masyarakat.
Pearce dan Turner (1990) mengidentifikasi secara rinci total nilai
sumberdaya hutan sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1. Dalam hal ini produksi
kayu merupakan nilai penggunaan langsung (extractive use value), sedangkan
fungsi hutan untuk rekreasi dan mengasimilasi karbon merupakan penggunaan
tidak langsung (non extractive use value). Sementara itu, nilai tanpa penggunaan
(non-use value) meliputi nilai atas dasar warisan dari generasi sebelumnya
(bequest value) dan nilai karena keberadaannya (existance value).
Tabel 1 Perincian nilai ekonomi total sumberdaya hutan
Nilai Ekonomi TotalNilai Guna Nilai Non GunaNilai gunaLangsung
Nilai gunatak langsung
NilaiPilihan
Nilaipilihan
NilaiKeberadaan
Nilai Non-guna lainnya
(Hasil ygdapatdikonsumsilangsung)
(ManfaatFungsional)
(Nilaipilihanpenggunaan)
(Nilai pilihanNonpenggunaan)
(NilaiPengetahuan)
(Nilai nonpenggunaanlainnya)
a) Kayub) Buah, bijic) Getahd) Rotane) Pakanf) Hewang) Tumbuhan
obat
a) Fungsiekologis
b) Pengenda-lian banjir
c) Perlindu-nganterhadapangin
Rekreasi a) Ekosistemb) Suaka
margasatwa
a) Habitatb) Spesies
Langka
a) Biodiversitib) Pemandang-
an
Sumber: Pearce dan Turner (1990).
Menurut Noordwijk et al. (2004) hutan lindung mempunyai makna fungsi
perlindungan aktif hutan terhadap aliran air ke daerah hilir. Dalam istilah Belanda
hutan lindung atau “schermbos” berarti hutan yang berfungsi sebagai “payung
atau lindung”. Fungsi penyangga sebenarnya berkaitan langsung dengan fungsi
lindung, karena fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada kejadian hujan.
Fungsi penyangga dapat ditingkatkan dengan jalan meningkatkan penggunaan air
dan mempertahankan struktur tanah pada daerah perbukitan (hillslope).
Memperhatikan uraian tentang fungsi dan nilai guna atau manfaat hutan dan
hutan lindung di atas dapat dinyatakan keberadaan hutan lindung sangat
diperlukan karena fungsi pentingnya sebagai perlindungan sistem penyangga
14
kehidupan. Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak dijelaskan
maksud dari perlindungan sistem penyangga kehidupan. Tetapi, dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dijelaskan bahwa sistem penyangga kehidupan merupakan suatu
proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin
kelangsungan kehidupan manusia (Pasal 7). Sedangkan perlindungan sistem
penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang
menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan (Pasal 8).
Menurut Noordwijk et al. (2004) fungsi perlindungan pada daerah hulu
sebenarnya dapat diberikan oleh tutupan dari berbagai macam vegetasi, selama
sistem tersebut mampu dalam: (1) mempertahankan lapisan seresah di permukaan
tanah; (2) mencegah terbentuknya alur dan parit-parit akibat erosi; dan (3)
menyerap air untuk evapotranspirasi. Bila vegetasi hutan alami secara bertahap
digantikan oleh pohon yang bernilai ekonomi tinggi atau mempunyai fungsi
lainnya, seharusnya fungsi lindung tersebut masih tetap ada. Sistem pembukaan
lahan pertanian dengan cara tebang habis pada skala luas, akan menurunkan
fungsi lindung. Pada transformasi hutan secara perlahan menjadi sistem
agroforestri, tidak dilakukan penebangan hutan pada skala luas sehingga dalam
proses regenerasinya fungsi hutan masih dapat dipertahankan.
Dalam konsep Indonesia, kata hutan adalah lahan yang kepemilikan dan
pengelolaannya diawasi langsung oleh pemerintah atau negara. Sedang lahan
milik petani yang menyerupai hutan atau “agroforest”, umumnya disebut kebun.
Pada sistem kebun, pengelolaannya lebih ditekankan pada dua fungsi yaitu
“fungsi produksi dan fungsi lindung”. Dalam kaitannya dengan kriteria dan
indikator hidrologi, beberapa macam kebun telah dievaluasi dan hasilnya
menunjukkan bahwa kebun seperti kebun kopi campuran, hutan karet, “parak”
(suatu sistem campuran pohon buah-buahan, pohon penghasil kayu dan rempah di
Sumatra Barat), kebun buah-buahan pekarangan (mixed fruit tree homegardens),
dan sistem “repong damar” merupakan sistem yang masih dapat memenuhi
berbagai fungsi lindung pada daerah perbukitan. Dengan demikian kebun tersebut
15
pantas dinamakan sebagai “kebun lindung” karena dapat berfungsi ganda yaitu
fungsi produksi dan fungsi lindung (Noordwijk et al. 2004).
2.1.3 Pengelolaan hutan lindung di Indonesia
Landasan hukum utama pengelolaan hutan lindung di Indonesia antara lain
adalah:
1) Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3).
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan (tahun 1967-1999).
3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang (tahun 1992-
1999).
6) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.
7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah.
8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan.
9) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan.
10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan.
11) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan.
12) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada
Daerah (sudah tidak berlaku).
13) Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
16
14) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 6/Menhut-II/2009 tentang
Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung meliputi kegiatan:
a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) pemanfaatan hutan
dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d)
perlindungan hutan dan konservasi alam (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Pasal 21). Tata hutan dimaksudkan dalam rangka pengelolaan yang lebih intensif
untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal. Tata hutan lindung meliputi
pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem. Pemanfaatan
hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan hutan lindung
dilaksanakan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu
(Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 26 Ayat 1 dan 2).
Izin usaha pemanfaatan kawasan diberikan kepada perorangan dan
koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan diberikan kepada perorangan,
koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik Negara dan
badan usaha milik daerah. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu diberikan
kepada perorangan dan koperasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 Ayat (1, 2 dan
3).
Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya
dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga
kehidupan tetap terjaga (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 40).
Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: a. reboisasi; b.
penghijauan; c. pemeliharaan; d. pengayaan tanaman; e. penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknik, pada lahan kritis dan tidak
produktif (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 41). Sedangkan
reklamasi hutan, meliputi usaha usaha untuk memperbaiki dan memulihkan
kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal
sesuai dengan peruntukanya. Kegiatan reklamasi meliputi inventarisasi lokasi,
penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi (Undang-Undang
17
Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 44 Ayat (1) dan (2). Selanjutnya pada Pasal 46
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan “penyelenggaraan
perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan
dan likungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,
tercapai secara optimal dan lestari.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Kepada Daerah
(sudah tidak berlaku sejak tahun 2007), dinyatakan bahwa sebagian urusan
pemerintah di bidang kehutanan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II antara
lain adalah pengelolaan hutan lindung (Pasal 5 huruf e). Selanjutnya dijelaskan
pada Pasal 6 Ayat (5) urusan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksudkan pada
Pasal 5 huruf e mencakup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas,
mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam
rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa
lingkungan.
Pada tahun 2007 peraturan pemerintah nomor 62/1998 tersebut diganti
dengan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan aturan ini,
urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan pengelolaan hutan
lindung yang diserahkan kepada kabupaten/kota, diantaranya: pertimbangan
penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan
hutan lindung, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh
tahunan (jangka panjang) unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL),
pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka
menengah) unit KPHL, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan
tahunan (jangka pendek) unit KPHL, pemberian perizinan pemanfaatan kawasan
hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi, dan
pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota.
2.1.4 Hasil penelitian tentang hutan lindung di Indonesia
Hutan Lindung Pulau Marsegu telah dijadikan tempat untuk berladang dan
berkebun oleh masyarakat sekitar, terutama daerah hutan sekunder berkarang dan
18
daerah berpasir sebelah timur (Irwanto 2007). Khusus di daerah hutan lindung di
pegunungan, azas kelestarian pengelolaan hutan tidak dapat dilaksanakan dengan
baik, yang terbukti dengan adanya kerusakan-kerusakan hutan, bahkan lahan-
lahan kosong yang cukup luas. Salah satu penyebabnya ialah kebutuhan rakyat
setempat yang mendesak dari hutan, antara lain kayu bangunan, hijauan makanan
ternak, dan kesempatan kerja tidak dapat terpenuhi dan tersalurkan dengan baik
dan teratur (Kartasubrata 1986). Sebagian besar petani tepi hutan adalah petani
subsisten yang memiliki potensi sebagai pelestari, namun belum cukup kompeten
khususnya di bidang teknis kehutanan, sosial ekonomi, sosial budaya dan
pertanian konservasi. Potensi perilaku petani dalam mengelola hutan lindung
bermotifkan pemenuhan ekonomi jangka pendek, mengelola komoditi non
kehutanan dan mengabaikan teknis kehutanan dan pemanfaatan lahan dengan
mengabaikan pertanian konservasi (Budiono 2006).
Dideskripsikan dalam hasil penelitian Sidu (2006) tentang kerusakan hutan,
kerusakan Hutan Jati di Kawasan Hutan Lindung Jompi didorong oleh
meningkatnya kebutuhan masyarakat, keinginan atas penguasaan lahan, adanya
isu bahwa sebagian wilayah Kawasan Hutan Lindung Jompi akan menjadi
wilayah perluasan kota, adanya klaim masyarakat bahwa kawasan Kontu
merupakan tanah adat, adanya komoditi kayu yang bernilai ekonomi tinggi,
meningkatnya jumlah pengangguran, kurangnya lapangan kerja dan lemahnya
penegakan hukum. Lebih lanjut dikemukakan di dalam hasil penelitian Sidu
(2006) bahwa: 1) kondisi modal sosial masyarakat sekitar Kawasan Hutan
Lindung Jompi mengalami penurunan/lemah, terutama disebabkan oleh
rendahnya tingkat kepercayaan (trust) antar warga masyarakat. Rendahnya trust
ini akibat maraknya prilaku sosial yang selalu merugikan antar sesama, seperti
penipuan, pencurian dan kekerasan. Rendahnya modal sosial juga dipengaruhi
secara nyata oleh masih rendahnya modal manusia terutama terkait dengan tingkat
pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah; 2) proses pemberdayaan
masyarakat sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi masih sangat lemah, terutama
dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku
pemberdayaan, kurang tersedianya modal fisik dan modal sosial yang cenderung
melemah/rendah; 3) tingkat pemberdayaan masyarakat sekitar Kawasan Hutan
19
Lindung Jompi tergolong rendah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh
rendahnya proses pemberdayaan masyarakat dan kurang tersedianya modal fisik;
4) perpaduan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keberdayaan
masyarakat seperti faktor proses pemberdayaan, modal fisik, kemampuan pelaku
pemberdayaan, modal sosial dan modal manusia, merupakan model
pemberdayaan masyarakat yang efektif sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi.
Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyo et al. (2003) di Kawasan Hutan
Lindung Bukit Daun Provinsi Bengkulu menghasilkan kesimpulan bahwa dari
analisis data fisik ternyata perambahan hutan tidak di latar belakangi faktor-faktor
fisik dan analisis statistik faktor sosial ekonomi menunjukan bahwa pertumbuhan
penduduk dan pendapatan dari usaha tani mempengaruhi luas perambahan hutan.
Ruslan (1992) melakukan penelitian dengan judul penelitian “Sistem
Hidrologi Hutan Lindung Daerah Aliran Sungai Riam Kanan Kalimantan
Selatan”. Kesimpulan utama penelitian ini adalah model sistem hidrologi hutan
lindung dapat digunakan untuk menentukan penggunaan lahan yang terpilih dari
segi biofisik, agar kondisi hidro-orologis hutan lindung Daerah Aliran Sungai
Riam Kanan menjadi lebih baik.
2.2 Sumberdaya Hutan Lindung sebagai Sumberdaya Bersama MilikNegara
Berdasarkan pengertian dari fungsi pokok hutan lindung, maka hutan
lindung merupakan sumberdaya alam berupa stock yang dapat menghasilkan
fungsi-fungsi yang sifatnya intangible, seperti mengatur tata air, mencegah banjir,
mencegah erosi, mengendalikan intrusi air laut, memelihara kesuburan tanah.
Menurut Riyanto (2005) hasil hutan di hutan lindung adalah sumberdaya alam
yang berupa barang dan jasa, yaitu flora dan fauna atau bagian-bagiannya dan non
hayati, baik yang nyata maupun yang tidak nyata, yang berasal dari hutan lindung.
Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Kartodihardjo (2004) bahwa sumberdaya alam dapat digolongkan ke dalam
bentuk stock atau modal alam (natural capital) seperti Daerah Aliran Sungai
(DAS), danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain yang keberadaannya tidak
dibatasi oleh wilayah administrasi dan sumberdaya sebagai faktor produksi atau
sebagai barang/komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan dan lain-lain yang
20
diproduksi oleh berbagai sektor/dinas sebagai sumber-sumber ekonomi.
Sumberdaya alam dalam bentuk stock dapat menghasilkan fungsi-fungsi
intangible sifatnya, seperti menyimpan air, dan mencegah terjadinya banjir di
musim hujan dan mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2
di udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurangi bahan beracun, maupun
kekayaan alam sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya
masyarakat, dan lain-lain. Sumberdaya alam bentuk stock mempunyai fungsi-
fungsi yang berguna bagi publik dan fungsi-fungsi tersebut tidak dapat dibagi-
bagikan kepada perseorangan dan tidak pula dapat dimiliki oleh perorangan.
Nilai dan tujuan keberadaan sumberdaya alam dapat diinterpretasikan
berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan, yaitu sebagai private
goods,club goods, common pool goods, dan public goods (Ostrom 1977 dalam
Berge 2004), yang berguna bagi penetapan ketentuan-ketentuan untuk
mengelolanya. Pengetahuan ini juga menentukan ketepatan pemilihan bentuk
kelembagaan (Kartodihardjo 2006).
Tabel 2 Tipologi barang dan jasa
Jenis sumberdaya PenggunaExcludable Non-excludable
Subtractable Private goods Common pool goodsNon-substractable Club goods Public goods
Sumber: Ostrom dan Ostrom (1977) dalam Berge (2004).
Sumberdaya bersama (Common pool goods) merupakan sumberdaya alam
atau sumberdaya buatan yang bilamana seseorang menggunakan sumberdaya
bersama akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, tetapi sulit
memisahkan akses pengguna (Cousin 2000, Ostrom 1990, Dietz et al. 2002 dalam
Quinn et al. 2007). Berdasarkan sifat rivalitas (persaingan) common pool goods
(misalnya danau, sungai dll) termasuk barang dan jasa yang apabila dimanfaatkan
sesorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Selain itu,
penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya (Kartodihardjo
2006).
Menurut Hardin (1968) sumberdaya alam bersama yang aksesnya bebas dan
tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua (tragedy of the
21
commons). Lebih lanjut dikemukakan oleh Hardin (1968) untuk mencegah
sumberdaya berkembang menjadi sumberdaya bersama (commons) dalam artian
bebas akses tanpa aturan, dibutuhkan pengaturan sosial secara memaksa, yang
dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pengertian memaksa (coercion) yang
dimaksudkan adalah mutual coercion, yaitu pengaturan yang disepakati bersama
oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Quinn
et al. (2007) menyatakan bahwa dijelaskan oleh Hardin (1968) pengguna common
akan melakukan tindakan memaksimalkan aliran manfaat dari sumberdaya yang
open acces bilamana biaya atas penggunaannya ditanggung oleh semua pengguna,
dan sebagai kesimpulannya akan terjadi penggunaan yang berlebihan terhadap
sumberdaya common yang kemudian mengarah kepada terjadinya degradasi dan
keruntuhan (collaps) sumberdaya.
Menurut Ostrom (1990) tesis the tragedy of the commons Hardin kurang
memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam berbagai situasi
sumberdaya bersama (commons). Kemudian solusi pencegahannya dibatasi pada
argumen bagi peran yang lebih besar dari pemerintah dalam menangani masalah-
masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan. Argumen tersebut juga
mengabaikan keberadaan dan potensi tata kelola dan pengelolaan sumberdaya
bersama oleh kelompok atau komunitas lokal pengguna sumberdaya tersebut.
Juga mengabaikan bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan peranan institusi
sosial yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat
dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya bersama,
termasuk hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumberdaya tersebut.
Menurut Marothia (1993) banyak peneliti dan pembuat kebijakan
menganjurkan privatisasi atau pengambil alihan common property resources oleh
negara untuk pengelolaannya. Ini merupakan kesalah-pahaman yang belakangan
ini semakin dipertentangkan oleh banyak ilmuwan sumberdaya alam dan mereka
mendokumentasikan secara rinci sistem common property yang mungkin
memiliki kekurangan dalam spesifikasi pemilikan dan penetapan (rencana)
institusi dari rezim hak pemilikan yang berlansung. Sedangkan menurut pendapat
Regmi (2007) semua tipe sumberdaya common pool tidak dapat dilindungi secara
22
efektif tanpa disain institusi/kelembagaan yang didasarkan pada masalah yang
fundamental.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulankan bahwa sesungguhnya
sumberdaya hutan lindung merupakan sumberdaya bersama yang apabila
dimanfaatkan oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain,
namun sulit memisahkan para pengguna sumberdaya hutan lindung tersebut. Guna
menghindari terjadinya open acces terhadap sumberdaya hutan lindung yang akan
berakibat pada kerusakan sumberdaya hutan lindung, maka hutan lindung dikuasai
oleh negara atau menjadi milik negara.
2.3 Institusi, Hak Pemilikan, Batas Kewenangan dan Aturan Keterwakilan
Institusi adalah sekumpulan norma dan perilaku yang secara jelas
mengakomodasi nilai yang terdapat dalam tujuan kolektif (Uphoff 1986). Institusi
merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur saling hubungan dalam
masyarakat, yang mana telah mendefinisikan tentang hak, kewajiban dan
tanggung jawab, serta hak-hak istimewa anggotanya (Schmid 1987). Institusi
merupakan sekumpulan aturan formal dan informal yang mengatur perilaku
individu (North 1990). Menurut Koentjaraningrat (1997) kelembagaan dapat
diistilahkan dengan lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial, yang memiliki
makna sebagai suatu bentuk yang abstrak dengan norma-norma dan aturan-aturan
tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Kemudian kelembagaan dapat pula
diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan
yang berpusat kepada aktivitas manusia untuk memenuhi kompleks kebutuhan
khusus dalam kehidupan masyarakat. Menurut Rachbini (2006) institusi adalah
satu bentuk aturan formal dan informal dalam bertindak atau berperilaku yang
dapat memfasilitasi koordinasi atau memerintah hubungan antar individu dalam
organisasi atau masyarakat. Sedangkan menurut Kartodihardjo dan Jhamtani
(2006) institusi adalah tataran dan pola hubungan antar anggota masyarakat,
organisasi dan/atau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling
mengikat yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan.
Institusi adalah inovasi manusia untuk mengatur dan mengendalikan sumber
hubungan saling ketergantungan antar manusia terhadap sesuatu (Kartodihardjo
23
2004). Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa institusi berkenaan dengan aturan formal dan informal yang
mengarahkan prilaku individu, organisasi atau masyarakat.
Lebih lanjut dikemukakan oleh (Kartodihardjo et al. 2004, Kartodihardjo
(2008) unsur-unsur institusi terdiri atas atau dicirikan oleh batas yurisdiksi atau
batas wilayah kewenangan (jurisdictional boundary), hak pemilikan (property
rights) dan aturan representasi/keterwakilan (rule of representation). Tiga hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
2.3.1 Hak pemilikan
Hak pemilikan menurut Schmid (1987) menggambarkan hubungan individu
dengan yang lainnya terhadap sumberdaya alam atau sesuatu. Hak merupakan
instrumen untuk mengendalikan hubungan saling ketergantungan manusia dan
merupakan pemecahan terhadap siapa memperoleh apa. Menurut Commons
(1968) yang dikutip Ostrom (2003) hak pemilikan merupakan sebuah
penyelenggaraan kewenangan (otoritas) untuk melakukan aksi tertentu pada
sebuah domain yang tertentu. Menurut Ostrom (2003) hak pemilikan menjelaskan
aksi yang dapat dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan individu lain
berkenaan dengan “sesuatu”. Jika seseorang memiliki hak, maka seseorang
tersebut mempunyai kewajiban yang sepadan atas haknya tersebut. Menurut
Bromley (1991) sebagaimana diacu Hanna dan Munashinghe (1995) hak
pemilikan merupakan kumpulan hak yang diberikan dimana telah terdefinisikan
secara jelas hak dan kewajiban di dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
Menurut Hanna et al (1995) empat tipe rezim pemilikan, adalah: 1)
pemilikan individual (private property); 2) pemilikan bersama (common
property); pemilikan Negara (state property); dan 4) akses terbuka (open acces).
Karakteristik masing-masing rezim pemilikan tersebut berdasarkan pemegang
pemilikan, hak pemilik dan kewajiban pemilik oleh Hanna et al. (1995) diringkas
sebagaimana tersaji pada Tabel 3.
Menurut Arifin (2001) pada hakekatnya terdapat empat macam hak
kepemilikan atas sumberdaya yang sangat berbeda satu dengan lainnya, yakni:
1) Milik Negara (state property). Para individu mempunyai kewajiban untuk
mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang
24
mengelola sumberdaya itu. Demikian pula, departemen yang bersangkutan
mempunyai hak untuk memutuskan aturan main penggunaanya. Contoh
sumberdaya alam milik Negara ini adalah tanah hutan, mineral serta
sumberdaya pertambangan, dan sumberdaya alam lain yang dikuasai Negara
untuk hajat hidup orang banyak.
Tabel 3 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajibanpemilik
Tipe Rezim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban PemilikPemilikan individual Individual Penggunaan diterima
secara sosial,mengendalikan akses
Menghidari penggunaanyang tidak dapat diterimasecara social
Pemilikan bersama Kolektif Mengeluarkan yangbukan pemilik
Pemeliharaan; membatasitingkat penggunaan
Pemilikan negara Warga Negara Menetukan aturan Memelihara tujuan sosialAkses terbuka Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Sumber: Hanna et al. (1995).
2) Milik pribadi (private property). Para individu pemilik mempunyai hak
untuk memanfaatkan sumberdaya sesuai aturan dan norma yang berlaku
(socially acceptable uses) serta memiliki kewajiban untuk menghindari
pemanfaatan sumberdaya yang eksesif dan tak dapat dibenarkan menurut
kaidah norma yang berlaku (socially unacceptable uses). Misalnya lahan
pertanian yang dimiliki perorangan termasuk di sini.
3) Milik umum (common property). Kelompok masyarakat yang berhubungan
dengan sumberdaya milik umum mempunyai hak untuk tidak
mengikutsertakan individu lain yang bukan berasal dari kelompok itu,
disamping kewajiban untuk mematuhi statusnya orang luar. Sementara itu,
setiap anggota kelompok masyarakat yang terikat dalam sistem sosial tertentu
untuk mengelola sumberdaya mempunyai hak dan kewajiban untuk
memelihara kelestariannya sesuai dengan aturan yang disepakati bersama.
Misalnya, tanah marga atau sebidang tanah dipedesaan atau air irigasi (sistem
subak di Bali), dimana penduduk yang terikat dalam kelompok sosial yang
ada dapat memanfaatkan dapat memanfaatkan dan mengelolanya secara
bersama berdasarkan norma hidup dan budaya yang berlaku.
25
4) Tak bertuan (open acces). Dalam hal ini tidak ada unsur kepemilikan atas
sumberdaya tersebut sehingga setiap orang dari kelompok sosial manapun
hanya memiliki privilis (privilege), siapa cepat dia dapat, tetapi bukan hak.
Hak-hak dapat dijabarkan menjadi bentuk access dan withdrawal,
management, exclusion dan alienation, yang kemudian dapat dibedakan hak-hak
yang seharusnya dipunyai oleh empat kelompok masyarakat yang mempunyai
strata hak pemilikan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah yaitu:
owner, proprietor, claimant, dan autorized user (Schlager dan Ostrom 1992).
Menurut Schlager dan Ostrom (1992) hak-hak terkait dengan sumberdaya
adalah sebagai berikut:
1) Hak akses (access rights) adalah hak untuk memasuki suatu area sumberdaya
yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non
ekstraktifnya;
2) Hak pemanfaatan (withdrawal rights) adalah hak untuk memanfaatkan suatu
unit sumberdaya atau produk dari suatu sistem sumberdaya (misalnya
menangkap ikan);
3) Hak pengelolaan (management rights) adalah hak untuk mengatur pola
pemanfaatan secara internal atau menentukan aturan operasional pemanfaatan
sumberdaya;
4) Hak eksklusi (exclusion rights) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain
(menentukan keikutsertaan-mengeluarkan pihak lain);
5) Hak pengalihan (alienation rights) adalah hak untuk menjual dan menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.
Hubungan antara hak-hak terikat dengan kelompok masyarakat yang
memiliki strata hak oleh Schlager dan Ostrom (1992) dijelaskan dalam bentuk
tabel sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Menurut Harsono (1999) dalam
Suhaeri (2005) kepastian hak atas tanah adalah serangkaian wewenang, kewajiban
dan atau larangan bagi pemegang hak untuk berbuat sesuatu (yang boleh, wajib
atau dilarang untuk diperbuat) mengenai tanah yang menjadi hak-nya.
26
Tabel 4 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakatTipe Hak Pemilik
(owner)Pemilik Terikat(Proprietor)
Penyewa(AuthorizedClaimant)
Pengguna(AutorizedUser)
Akses dan pemanfaatan X X X XPengelolaan X X XEksklusi X XPengalihan X
Sumber: Schlager dan Ostrom (1992).
2.3.2 Batas yurisdiksi (kewenangan)
Menurut Rachman et al. (2002) konsep batas yuridiksi dapat memberi arti
batas otoritas yang dimiliki suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya. Menurut
Katodihardjo (2008) batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup
dalam organisasi. Implikasi ekonomi dari adanya batas yurisdiksi adalah batas
suatu HPH, misalnya, untuk melakukan aktivitas ekonomi seperti batas wilayah
kerja, batas skala usaha yang diperbolehkan. Dengan demikian perubahan batas
yurisdiksi berakibat terhadap kemampuan HPH menginternalisasikan manfaat
atau biaya. Sepanjang tambahan manfaat melebihi tambahan biaya maka HPH
akan memperluas batas yurisdiksinya. Menurut Schmid (1988) dalam Suhaeri
(2005) menjelaskan bahwa batas kewenangan diartikan sebagai batas wilayah
kekuasaan yang dimiliki seseorang terhadap sumberdaya alam.
Mengingat HLPT mememiliki karakteristik dapat dimanfaatkan secara
bersama, maka persoalan batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan
keinginan para penggunanya. Berdasarkan konsep batas yuridiksi sebagaimana
disampaikan di atas, maka batas yuridiksi berkenaan dengan alokasi sumberdaya
HLPT merupakan batas kewenangan yang dimiliki suatu lembaga dalam
mengatur sumberdaya HLPT. Di samping itu dalam konteks pengelolaan
sumberdaya HLPT batas yuridiksi menunjukkan bahwa bagaimana institusi
mengatur siapa yang tercakup dan apa yang diperoleh (siapa memperoleh apa).
2.3.3 Aturan keterwakilan
Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan
mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Aturan representasi mengatur
siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam pengambilan keputusan. Hal
ini tercermin dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil
27
dan apa akibatnya terhadap kinerja akan ditentukan oleh kaidah-kaidah
representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan (Kartodihardjo
2008). Menurut Rachman (1999) sebagaimana diacu Rachman et al. (2002)
keputusan yang diambil dan akibatnya terhadap kinerja akan ditentukan oleh
kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan
kolektif.
Dengan demikian aturan keterwakilan mengatur siapa yang berhak terlibat
dalam proses pengambilan keputusan, keputusan apa yang diambil dan apa
akibatnya terhadap kinerja yang ingin dicapai. Apabila menginginkan perubahan
alokasi dan distribusi sumberdaya secara keseluruhan dapat dilakukan dengan
aturan keterwakilan.
2.4 Organisasi dan Kapasitas Organisasi
Organisasi adalah unit sosial yang dengan sengaja diatur, terdiri dari dua
orang atau lebih yang berfungsi secara relatif terus menerus untuk mencapai
sasaran atau serangkain sasaran bersama (Robbins 2008). Beberapa definisi
organisasi yang dikutip Liliweri (1997) dari beberapa ahli adalah sebagai berikut:
1) Organisasi adalah integrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah
spesialis yang berkerjasama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati
(Thompson 1969).
2) Organisasi adalah suatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia yang
bermacam-macam dan terkoordinasi berupa pemanfaatan, perubahan dan
penyatuan segenap sumber-sumber manusia, materi, modal, gagasan dan
sumber alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam
interaksinya dengan sistem-sistem kegiatan manusia dan sumber-sumbernya,
dalam suatu lingkungan tertentu (Bakke 1950).
3) Organisasi adalah sebuah sistem yang memaksakan koordinasi kerja antara dua
orang atau lebih (Barnard).
4) Organisasi modern atau yang sering disebut “birokarasi” selalu berciri: (1)
sebuah organisasi selalu mempunyai struktur hierarki; (2) karena itu setiap
organisasi mempunyai hierarki wewenang; (3) setiap karyawan mempunyai
wewenang-wewenang khusus yang ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria
28
kedudukan yang telah ditetapkan; (4) hubungan sosial dalam organisasi selalu
bersifat impersonal; (5) organisasi modern atau birokrasi selalu merujuk pada
promosi karyawan atas dasar “merit”, jadi ada jenjang karier; (6) ada peraturan
yang jelas tentang tugas yang harus dilaksanakan sehingga setiap orang dapat
mengambil keputusan; dan (7) pembagian tugas dan fungsi berdasarkan
keahlian (Max weber).
Definisi kapasitas dalam kaitannya dengan organisasi yang dikutip Bateson
et al. (2008) dari beberapa sumber adalah sebagai berikut:
1) The United Nations Development Programme mendefinisikan membangun
atau mengembangkan kapasitas sebagai "proses dimana individu, organisasi,
lembaga, dan masyarakat mengembangkan kemampuan (secara individu dan
secara bersama) untuk melakukan fungsi, memecahkan masalah, dan
mencapai seperangkat sasaran hasil”.
2) The World Bank menjelaskan bahwa membangun kapasitas sebagai “sebuah
proses jangka panjang dengan pendekatan sistematik, merupakan permintaan
untuk memperbaiki kinerja sektor publik, dan penyediaan organisasi dengan
struktur yang baik dan personel yang ahli”.
3) The European Centre for Development Policy Management mendefinisikan
kapasitas sebagai “kombinasi atribut-atribut kekayaan, kemampuan dan
hubungan-hubungan yang menentukan sistem manusia untuk melakukan,
bertahan dan memperbaharui diri”.
4) The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada mendefinisikan
kapasitas sebagai kemampuan sebuah entitas (seseorang, organisasi, atau
sebuah sistem) melakukan fungsi sesuai yang direncanakan secara efektif,
secara efisien, dan berkelanjutan untuk mencapai sasaran hasil yang telah
direncanakan dalam mendukung misi organisasi mereka.
Kapasitas organisasi merupakan hal kritis terkait dengan efektifitas
implementasi kebijakan. Konsekuensinya, legislator dan birokrat harus
memperhatikan kapasitas dalam merencanakan program. Kapasitas merupakan
suatu investasi yang menunjukkan sebagian dari kualitas kebijakan atau level
implementasi kebijakan (Ting 2009). Dalam perspektif kelembagaan pengertian
kapasitas adalah batas kewenangan dari dua pihak atau lebih dalam mengelola,
29
memanfaatkan dan meningkatkan daya guna dari sumberdaya tertentu. Kapasitas
lembaga merupakan fungsi dari perilaku organisasi dan kemampuan beradaptasi
Kartodihardjo et al. (1997).
Dalam konteks perubahan, kapasitas dapat digambarkan sebagai organisasi
dengan beban kerja total untuk terus beroperasi dan mengubah aktivitas
(Anderson dan Anderson 2009). Menurut McPhee dan Bare (2001) kapasitas
organisasi non profit adalah kemampuan organisasi non profit untuk memenuhi
misi mereka secata efektif.
Menurut United Way of Greater Toronto, the Ontario Trillium Foundation
and the Maytree Foundation (2009) ada enam aspek kunci yang harus
diperhatikan dalam membangun kapasitas organisasi, khususnya organisasi
nirlaba. Keenam aspek tersebut adalah sebagai berikut:
1) Misi, visi dan strategi; berkenaan dengan bagaimana visi, misi dan nilai-nilai
mengarahkan pada apa yang harus diperbuat, membantu mendefinisikan hal-
hal yang ingin dicapai komunitas, dan secara bersama berhubungan dengan
program dan pelayanan yang dijalankan. Wilayah ini juga berkenaan dengan
bagaimana organisasi mengembangkan tujuan dan sasaran jangka pendek dan
jangka panjang serta bagaimana memonitor pencapaiannya.
2) Tata kelola dan kepemimpinan; melihat bagaimana pemimpin (pengarah)
ditetapkan dan memikul tanggung-jawab pekerjaan organisasi dan bagaimana
tanggung jawabnya kepada sesama dan kepada pemilik modal.
3) Pencapaian target komunitas; berkenaan dengan akses dan kapasitas organisasi
dalam bereaksi terhadap komunitas dan upaya tetap melayani. Selain itu, di sini
juga dikaji pada tingkat mana organisasi yang bersangkutan menjalankan usaha
kolaboratif dan kemitraan dengan perwakilan komunitas lain, termasuk faktor
yang berkontribusi pada profil agen di dalam komunitasnya dan dalam
hubungannya dengan pemilik modal.
4) Program dan dampak, fokus pada pendekatan organisasi di dalam
penyampaian program dan pelayanan, staf pelayanan hubungan pengguna,
peluang-peluang untuk pengguna pelayanan memberikan umpan balik, sistem
pengawasan dan evaluasi, rentang dan kapasitas program, dan standar
kepentingan agen, norma-norma dan pengalaman terbaik.
30
5) Manajemen keuangan dan perlindungan aset; mengacu kepada penganggaran
dan sistem pelaporan keuangan, manajemen resiko (termasuk pengurusan
kesehatan tempat kerja dan keamanannya), peningkatan dana dan tanggung-
jawab pemilik modal, termasuk keberlanjutannya.
6) Sumber daya manusia; berkenaan dengan struktur organisasi dan bagaimana
kerja organisasi melalui staf dan sukarelawan. Lingkungan kerja, pelatihan dan
dukungan untuk staf dan sukarelawan, kebijaksanaan dan prosedur yang
memandu saling hubungan di antara agen, staf dan sukarelawannya.
Gambar 3 Aspek-aspek kunci kapasitas organisasi (United Way of GreaterToronto, the Ontario Trillium Foundation and the MaytreeFoundation 2009).
Indikator-indikator yang menunjukan kapasitas organisasi adalah visi dan
rencana strategis, kepemimpinan, manajemen organisasi, sumberdaya manusia,
pengembangan sumber daya, manajemen keuangan, struktur kemitraan/jaringan
dan kapasitas program (The Nature Conservancy 2001). Aktivitas di dalam
membangun kapasitas organisasi terkait dengan aspek kunci kapasitas organisasi
adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 3. Menurut Bateson et al. (2008)
kapasitas organisasi dapat dinilai berdasarkan wilayah kapasitas inti. Secara rinci
wilayah kapasitas inti yang dinilai disajikan pada Tabel 5. Dalam membangun
Kepekaan & pencapaiantarget komunitas Kemitraan strategis Akses dan keadilan
Manajemen keuangandan perlindungan asset Rencana keberlanjutan Teknologi informasi Pengembangan dana
Misi, Visi & strategi Rencana strategis Rencana operasional
Aktivitas membangun kapasitas
Sumberdaya manusia Perekrutan tenaga kerja Struktur tempat kerja Perekrutan sukarelawan
dan pengelolaanya
Tata kelola &kepemimpinan Pengembangan pengarah Pengembangan
kepemimpinan
Program dan dampak Disain program dan
pengembangan Sistem evaluasi &
pengawasan
31
kapasitas organisasi, yang harus dikerjakan oleh organisasi dengan pengarah dan
stafnya adalah: (1) menilai kapasitas organisasi saat ini; (2) mengenali kekuatan
organisasi dan wilayah perbaikan; (3) membuat rencana pengembangan
kapasitas; (4) melaksanakan aktivitas membangun kapasitas dengan
mengedepankan prioritas; dan (5) menilai hasil dari implementasi aktivitas
membangun kapasitas.
Tabel 5 Alat penilai kapasitas organisasi berdasarkan perspektif kapasitasutama, deskripsi kapasitas dan wilayah kapasitas inti yang dinilai
Perspektif kapasitasutama untuk penilaiankapasitas organisasi
Deskripsi kapasitas Wilayah kapasitas intiyang dinilai
Faktor kebudayaanorganisasi.
Faktor kebudayaan menguji apa yangmemotivasi/mendorong untuk kesuksesanorganisasi. Faktor ini mengarah pada tigahal yang mendasari kemampuan organisasiuntuk berfungsi dan bertahan.
Visi dan misiorganisasi, budayaorganisasi, insentiforganisasi.
Faktor kapasitasoperasional.
Faktor operasional mewakili gabungansaling hubungan dari tujuh area inti(indikator) yang menopang kemampuanorganisasi untuk berbuat, tumbuh danbertahan.
Kepemimpinan danstrategi, struktur tata-kelola dan manajemen,manajemen keuangan,sumberdaya manusia,sistem dan prosedur,komunikasi,infrastruktur.
Faktor kinerjaorganisasi.
Faktor kinerja organisasi menguji empatwilayah yang berhubungan dengan tujuandan sasaran organisasi sehingga organisasidapat terus ada.
Efektivitas, efisiensi,relevansi organisasi,kesehatan finansial
Faktor eksternal danpersepsi.
Faktor eksternal dan persepsi mengarahpada empat wilayah yang mencerminkankenyataan organisasi bukanlah entitasyang terisolasi tetapi beroperasi dilingkungan yang dinamis dengan banyakunsur yang saling terkait.
Aturan dan norma-norma, kerangka kerjalegal dan politik,hubungan dan jaringan,pemilikan danpartisipasi
Sumber: Bateson et al. (2008).
2.5 Koordinasi Antar Organisasi/Lembaga
Menurut Malone dan Crowston (1990) sebagaimana diacu dalam Kim
(1996) koordinasi merupakan aksi mengelola saling ketergantungan diantara
berbagai bentuk aktivitas untuk mencapai tujuan. Menurut Hogl (2002)
Koordinasi antar sektor dapat dinyatakan sebagai proses atau sebuah
status/keadaan. Mendefinisikan koordinasi antar sektor sebagai proses
menyiratkan pertanyaan “bagaimana koordinasi dibuat? Secara umum, proses
32
tersebut berkenaan dengan pengorganisasian dan rekonsiliasi dari proses dan
aktivitas yang berbeda, menuju keteraturan dan kekompakan. Dalam terminologi
kebijakan berarti rekonsiliasi kebijakan dan program sektor.
Koordinasi merupakan spektrum luas kegiatan bersama para agen negara.
Kegiatan ini dapat berada dimana saja di rangkaian komunikasi hinga kerja sama
(kolaborasi), tergantung pada keluaran apa yang akan dicapai agen, apa yang
dibagi dan dipertanggung-jawabkan, sumber resiko atau implikasi (SSC 2008).
Koordinasi dapat dipilah menjadi dua, yakni (Zingerli et al. 2004): (1) koordinasi
negatif (negative coordination) yang menyiratkan derajat kerjasama yang rendah
dimana aktor tunggal hanya bertujuan mengoptimasi manfaat/faedah aktivitasnya
sendiri pada waktu tertentu. Aktor mengadakan reaksi politik secara negatif pada
usul kebijakan, jika mereka melihat kemungkinan berkonsekuensi pada biaya; dan
(2) koordinasi positif (positive coordination) yang menyiratkan derajat kerjasama
yang tinggi dimana dari waktu ke waktu para aktor berusaha mengoptimalkan
manfaat dari sejumlah aktivitas. Politik aktor mengevaluasi/menilai pilihan dan
komitmen banyak aktor dan orang yang bersangkutan dan pilihan apa yang
mereka anggap optimal dalam perspektif jangka panjang. Berlawanan dengan
koordinasi negatif, keputusan aktor tidak hanya atas dasar kejadian tunggal, tetapi
kadang-kadang setuju menerima resiko dengan harapan kompensasi dalam
interaksi di masa depan. Setelah membangun pola koordinasi dengan sejumlah
keuntungan penting, selanjutnya, aktor bertindak secara ekonomis rasional sejak
sewaktu mereka menerima kehilangan dalam kreasi pola koordinasi yang
biasanya sangat mahal. Berdasarkan perspektif teori kesejahteraan, koordinasi
positif memberi harapan hasil yang jauh lebih baik untuk maksimasi kesejahteraan
umum daripada koordinasi negatif. Koordinasi positif paling mungkin untuk di
dipupuk melalui dilembagakannya interaksi dan dengan fokus negosiasi pada isu-
isu kepentingan bersama.
Berdasarkan konsep koordinasi yang dikemukan oleh Malone dan Crowston
(1990), Hogl (2002), Zingerli et al. (2004) dan SSC (2008) dapat disimpulkan
bahwa komponen koordinasi adalah (1) aktor/sektor/organisasi; (2) saling
ketergantungan; (3) aktivitas sektor/aktor/organisasi; dan (4) tujuan yang ingin
dicapai.
33
Dari sudut pandang aktor individual, secara umum dapat dijustifikasi bahwa
keuntungan koordinasi tidak dapat hadir dengan sendirinya (cannot be given).
Keseluruhan manfaat harus diperhitungkan. Dari perspektif itu, koordinasi adalah
diinginkan jika direncanakan aksi yang dapat menambah capaian kesejahteraan
yang tidak terjangkau dengan pengambilan keputusan aktor individual secara
bebas. Keuntungan yang dapat diharapkan dari koordinasi antar sektor, meliputi:
(1) dapat mencapai tujuan yang tidak bisa dicapai sendirian; (2) dapat
meningkatkan kesempatan bahwa alternatif kebijakan yang dipilih dipastikan
mengakibatkan pencapaian kesejahteraan keseluruhan yang lebih tinggi; (3) dapat
membantu ke arah mencegah kehilangan kesejahteraan secara menyeluruh karena
kebijakan dapat memberikan efek kesejahteraan positif untuk aktor individual;
dan (4) dapat menghadirkan legitimasi dan penerimaan kebijakan publik (Hogl
2002).
Koordinasi melihat secara luas solusi atas fragmentasi sektoral yang ada
dipemerintahan disebuah negara yang melaksanakan manajemen publik.
Fragmentasi disebabkan oleh pengembangan agen, pengembangan fortofolio
kementerian yang mengarah kepada banyaknya jumlah pilihan, dan di beberapa
wilayah karena adanya penekanan berlebihan pada petanggung jawaban vertikal
atas keseluruhan pendekatan pemerintah. Fragmentasi membuat pengkoordinasian
layanan menjadi lebih rumit, menambah biaya karena duplikasi layanan dan
usaha, dan kaburnya tanggung-jawab untuk beberapa isu (SSC 2008). Lebih
lanjut dikemukakan oleh SSC (2008) apabila mekanisme tanggung-jawab vertikal
masih dilihat sebagai suatu cara efisien untuk memastikan kinerja agen, maka
mereka memerinci isu ke dalam bagian komponenya. Pendekatan ini tidak efektif
memecahkan isu kompleks dan hasilnya tidak baik, yakni tak tertanganinya isu
lintas organisasi. Bila pengkoordinasian agen-agen benar-benar atas isu kompleks,
maka dapat dikembangkan solusi berdasarkan kesepakatan sehingga intervensi
lebih efektif. Harapan tercapainya peningkatan layanan tidak hanya sebatas
reorientasi agen mengenai kelompok yang dilayani dan resiko duplikasi layanan.
Hal tersebut sangat jelas berkenaan dengan penguatan koordinasi lintas agen.
Koordinasi merupakan sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai
pihak karena perubahan lingkungan yang begitu cepat. Kegagalan di dalam
34
membangun tujuan organisasi merupakan penyebab kegagalan dalam koordinasi.
Koordinasi membutuhkan pertukaran informasi yang intensif antar semua pihak
untuk mengkonfirmasikan sejumlah data detail sumberdaya untuk mencapai
tujuan (Moekayat 1994). Dalam konteks pelayanan pemerintah/negara, koordinasi
berarti saling berbagi informasi, sumber daya dan tanggung jawab untuk
mencapai hasil tertentu (SSC 2008).
Menurut Malone (1993) sebagaimana diacu Karyana (2007) koordinasi dan
saling ketergantungan merupakan topik yang sering dibahas dalam studi
organisasi. Keduanya memiliki keterkaitan erat, karena koordinasi dalam banyak
kasus merupakan masalah yang timbul sebagai akibat saling ketergantungan.
Tiga komponen utama koordinasi adalah tugas dan fungsi (task), ketersediaan
sumberdaya (resources) dan kegiatan (activities).
Secara konseptual kooperasi, koordinasi dan integrasi memiliki kemiripan
tetapi berbeda dan dapat dipilah di dalam bentuk hirarki yang menunjukan
perbedaan tujuan dan sasaran hasil (Stead dan Meijers 2004 dalam Zingerli et al.
2004). Kooperasi, koordinasi dan integrasi mengindikasikan reorientasi
pembuatan kebijakan dari kebijakan sektoral bebas kepada pembuatan kebijakan
yang terkoordinasi dan terpadu (Zingerli et al. 2004).
Menurut Peters (1998) yang dikutip oleh Hogl (2002), aspek berikut dapat
digunakan untuk menjelaskan atau mengukur koordinasi antar sektor; (1) derajat
pemborosan (dua atau lebih dari dua kegiatan/program organisasi mengarah pada
tujuan yang sama, namun tanpa adanya saling pertimbangan antar organisasi); (2)
derajat inkoherensi (dua atau lebih dari dua kegiatan/program organisasi
mengarah pada tujuan berbeda atau didasarkan pada acuan yang berbeda); (3)
derajat kesenjangan kebijakan (isu-isu penting tidak tertangani atau tidak
teragendakan).
Menurut Hogl (2002) skala koordinasi kebijakan (policy co-ordination
scale) dan skala kapasitas koordinasi (co-ordination capacity scale)
dikembangkan oleh Metcalfe (1994 dan 1997). Logisnya kapasitas koordinasi
dibangun dari bawah melalui tahap demi tahap. Banyak masalah koordinasi dapat
dipecahkan pada tingkat yang lebih rendah tanpa menerapkan tuntutan permintaan
koordinasi pada tingkat lebih tinggi. Di sisi lain, efektivitas koordinasi tingkat
35
yang lebih tinggi bergantung pada kehandalan kapasitas koordinasi pada tingkat
yang lebih rendah. Oleh karena itu, logika ini menyatakan bahwa sistem
koordinasi yang handal bergantung pada rangkaian bangunan kapasitas koordinasi
sebagaimana tergambar pada pada Tabel 6, dan dimulai dari tahap pertama.
Tabel 6 Skala kapasitas koordinasi
Tahap 8 Menetapkan sebuah strategi keseluruhan sektor terkait. Langkah ini merupakantambahan untuk lebih melengkapi, yang mau tidak mau harus dapat dicapai di dalampraktek.p
Tahap 7 Menetapkan persetujuan bersama atau sejumlah prioritas. Persetujuan antar sektoruntuk prioritas bersama dan/atau pemerintah pusat meletakkan landasan utamakebijaksanaan dan menetapkan prioritas diantara sektor terkait.
Tahap 6 Mendefinisikan batasan bersama dengan menyusun parameter aktivitas sektoral.Organisasi pusat pengambil keputusan antar sektor secara aktif berperan membatasikegiatan/aktivitas sektoral. Parameter menjelaskan apa yang aktor sektor harus tidaklakukan, tidak terbatas hanya merumuskan apa yang mereka dapat lakukan.p 5
Tahap 5 Arbitrasi perbedaan antar sektor. Dimana perbedaan antar sektor tidak dapatdipecahkan melalui proses koordinasi horizontal seperti dijelaskan pada langkah 2sampai 4, sebuah mekanisme terpusat biasanya digunakan untuk menyetujuipenerapan prosedur untuk arbitrasi (contoh: hirarki pemerintah, pemungutan suara).4
Tahap 4 Menghindari kebijakan menyimpang diantara sektor dan mencari persetujuan.Memperhatikan koordinasi negatif untuk menemukan perbedaan dan salingmencegah efek negatif, aktor/organisasi bekerja sama, seperti kemitraan dan timproyek, karena mereka memahami saling ketergantungan dintara mereka danmereka saling memiliki minat dalam memecahkan perbedaan kebijakan. Step 3
Tahap 3 Konsultasi dengan yang lain. Merupakan proses dua arah. Sektor/aktor memberitahusektor/aktor lain tentang apa yang mereka lakukan, mereka saling berkonsultasidalam proses merumuskan kebijakan mereka.
Tahap 2 Pertukaran informasi diantara sektor. Sektor/aktor saling menjaga isu-isu terbaruyang muncul dan bagaimana mereka menyarankan bertindak di wilayah merekasendiri. Kehandalan dan diterimanya saluran komunikasi reguler yang ada.
Tahap 1 Sektor/aktor mengatur dengan bebas sesuai domain/hak hukum mereka. Setiapsektor mempertahankan otonominya di dalam cakupan wilayah kebijakannya.
Sumber: Metcalfe (1994); dimodifikasi Karl Hogl (2002).
Sebagai contoh, kegagalan koordinasi mungkin berkaitan dengan batas
kewenangan yang bermakna ganda atau bertentangan (tahap 1), dapat juga
kegagalan berasal dari kekurangan informasi (tahap 2) atau kurang konsultasi
(tahap 3). Kegagalan koordinasi ini dapat di hindari dengan kecukupan informasi
dan kecukupan konsultasi, tetapi kedua langkah tersebut tidak dapat dihapus
untuk dapat berhasil mencari persetujuan kebijakan dalam kasus perselisihan
serius (tahap 4). Sebaliknya, menurut Metcalfe (1997) yang dikutip Hogl (2002)
manajemen konvensional sering dimulai dari anggapan bahwa pertama dan yang
paling mendesak adalah mendefinisikan keseluruhan prioritas dan keluasan
strategi (langkah 7 dan 8). Ini secara implisit mengambil kehandalan lain tingkat
36
kapasitas koordinasi untuk dijalankan. Sebagai konsekuensinya, pernyataan misi,
program dan ekspresi lain berupa prioritas yang luas hanya menjadi retorika (kata-
kata indah dalam pidato kosong) tanpa infrastruktur koordinasi.
2.6 Persepsi dan Perilaku Individu
Arti persepsi adalah pengalaman seseorang tentang objek, peristiwa atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan tentang objek tersebut (Liliweri 1997). Menurut Liliweri
manusia mempersepsi manusia lain atau benda-benda disekitarnya. Persepsi
terhadap manusia selalu disebut persepsi antar pribadi, sedangkan persepsi kepada
yang bukan manusia disebut persepsi objek.
Menurut Robbins (2008) persepsi adalah proses yang digunakan individu
untuk mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan
makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian, apa yang dipersepsikan
seseorang dapat berbeda dari kenyataan obyektif. Faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi dijelaskan oleh Robbins dalam bentuk Gambar 4.
Gambar 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2008).
Variabel individual seperti persepsi mempengaruhi perilaku (Gibsons et al.
1996). Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku seseorang sangat diwarnai oleh
banyak faktor serta persepsinya tentang faktor-faktor tersebut. Persepsi yang
dimiliki itu pulalah yang turut menentukan bentuk, sifat dan intensitas peranannya
dalam kehidupan organisasional (Siagian 1986). Mengingat demikian eratnya
antara persepsi seseorang dengan perilakunya, maka mutlak perlu memahami dan
Faktor pada target1) Hal baru2) Gerakan3) Bunyi4) Ukuran5) Latar belakang6) Kedekatan
Faktor pada pemersepsi1) Sikap2) Motif3) Kepentingan4) Pengalaman5) Pengharapan
Persepsi
Faktor dalam situasi1) Waktu;2) Keadaan/tempat kerja3) Keadaan sosial
37
mendalami persepsi individu untuk kepentingan upaya pencapaian tujuan
kelompok/organisasi. Menurut Gibsons (1996) persepsi berperan dalam
penerimaan ransangan, mengaturnya, menterjemahkan dan mengiterpretasikan
rangsangan yang sudah teratur itu untuk mempengaruhi perilaku dan membentuk
sikap.
2.7 Motivasi dan Perilaku Individu
Menurut Robbins (2008) motivasi adalah proses yang ikut menentukan
intensitas, arah dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Meski
motivasi umum terkait dengan upaya kearah sasaran apa saja, kami
menyempitkan fokus pada tujuan organisasi agar mencerminkan minat tunggal
kita terhadap perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. Menurut Gibson et al.
(1996) motivasi berkaitan dengan perilaku dan kinerja. Lebih lanjut dikemukakan
oleh Gibson et al. (1996) motivasi merupakan konsep yang kita gunakan untuk
menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau di dalam seseorang
individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku.
Menurut Robbins (2008) dan Gibsons et al. (1996), teori motivasi yang
paling terkenal adalah hierarki kebutuhan yang diungkapkan oleh Abraham
Maslow. Menurutnya, bahwa di dalam diri semua manusia bersemayam lima
jenjang kebutuhan, yaitu: (1) fisiologis, antara lain makan (rasa lapar), minum
(haus), perlindungan (pakaian dan rumah), sembuh dari rasa sakit, seks dan
kebutuhan jasmani lain; (2) keamanan; antara lain keselamatan dan perlindungan
terhadap kerugian fisik dan emosional, kebutuhan untuk kemerdekaan dari
ancaman; (3) sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik, dan
persahabatan; (4) penghargaan, mencakup faktor penghormatan diri seperti harga
diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor penghormatan dari luar seperti misalnya
status, pengakuan dan perhatian; dan (5) aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi
sesorang/sesuatu sesuai ambisinya, yang mencakup pertumbuhan, pencapaian
potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri. Menurut McClelland (1992) dalam teori
"kebutuhan" terdapat tiga kebutuhan utama yang mendorong (memotivasi)
individu untuk berperilaku dengan cara tertentu, yaitu: kebutuhan akan
pencapaian, kebutuhan akan hubungan dan kebutuhan akan kekuatan.
38
2.8 Prinsip Disain Institusi dan Prinsip Disain Rezim Hak Pemilikan
Prinsip disain didefinisikan sebagai konsepsi yang menggunakan secara
sengaja maupun tidak sengaja keberlangsungan asosiasi individu-individu dengan
mengangkat kembali prinsip pengorganisasian (Ostrom 1995). Terkait dengan
sumberdaya milik bersama (common pool resources), Ostrom (1990)
mengemukakan bahwa dalam institusi sumberdaya milik bersama terdapat
beberapa prinsip yang harus dirancang agar institusi tersebut dapat berlangsung
secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1) Prinsip batas yang ditentukan secara jelas untuk dapat menentukan
kepemilikan seseorang atau rumah tangga terhadap sumberdaya tersebut;
2) Prinsip kongruensi, yaitu distribusi manfaat dengan aturan yang tepat,
proporsional dengan pembiayaannya, kemudian aturan yang tepat terkait
dengan waktu, tempat, teknologi dan kuantitas unit sumberdaya terkait dengan
kondisi lokal;
3) Prinsip pengaturan pilihan kolektif, yaitu hampir semua individu dipengaruhi
oleh aturan operasional yang dapat merubah partisipasinya dalam pelaksanaan
pengaturan;
4) Prinsip adanya kegiatan yang sifatnya memonitor kondisi sumberdaya dan
prilakunya penggunannya yang akuntabel;
5) Prinsip pemberian sanksi kepada pengguna yang melanggar aturan yang
diterapkan sesuai dengan tingkatan kesalahan dan konteks kejadian pengguna,
dari petugas yang akuntabel atau dari pengguna lainnya atau keduanya;
6) Prinsip aturan mekanisme penyelesaian konflik di antara pengguna dan antara
pengguna dan petugas yang dapat diakses secara cepat, biaya rendah dan
tersedia secara lokal;
7) Prinsip adanya pengorganisasian hak yang diakui para pengguna atau
kelembagaan yang tidak dapat dicampurtangani oleh pemerintah.
Menurut Agrawal (2001) studi yang dikerjakan Wade (1988) pada institusi
irigasi telah menambah daftar faktor yang memfasilitasi kesuksesan institusi,
beberapa faktor disebutkan terus secara regular. Faktor tersebut diantaranya
adalah ukuran kelompok kecil, batas sumberdaya dan keanggotaan kelompok
pengguna terdefinisi secara jelas, kemudahan dalam monitoring dan penegakan
39
aturan, dan kedekatan lokasi antara pengguna dan sumberdaya. Menurut
Kartodihardjo (2006) kelembagaan untuk pengelolaan common pool goods
didasarkan atas beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya
alam, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sanksi,
penyelesaian konflik, maupun pengakuannya oleh peraturan dan perundangan
yang lebih tinggi.
Kumpulan faktor kritis (set of critical factor) sebagai penentu kesuksesan
pengaturan sumberdaya common pool hasil identifikasi Robert Wade, Elinor
Ostrom, Jean-Marie Baland dan Jean-Philipe Platteu yang disintesis oleh Agrawal
(2001) dan dapat diaplikasikan pada commons institutions adalah sebagaimana
tersaji pada Tabel 7. Menurut Agrawal (2001) daftar faktor-faktor ini (Tabel 7)
dapat diaplikasikan pada seluruh institusi sumberdaya milik bersama. Faktor-
faktor tersebut akan sangat bermanfaat untuk memusatkan pengkajian pada
kondisi hubungan sebab-akibat yang menunjang keberlanjutan.
Disain rezim hak pemilikan harus merefleksikan tujuan dan sasaran
kemasyarakatan. Selanjutnya tugas dalam mendisain rezim hak pemilikan harus
harmonis dengan tujuan kemasyarakatan untuk kinerja ekonomi, keadilan dan
pemeliharaan lingkungan (ekologi). Tujuan ini dapat secara eksplisit dan implisit
yang dibentuk oleh tradisi budaya, diskursus sosial dan dinamika ekonomi (Hanna
et al. 1995).
Menurut Hanna et al. (1995) mendefinisikan kepentingan individu-individu
atau kelompok dalam hubungannya dengan sumberdaya (Bromley 1989) adalah
hal yang fundamental pada disain hak pemilikan (property rights design) (Runge
1984; Young 1992). Syarat disain selanjutnya adalah kepastian struktur insentif
(incentive structure) yang merefleksikan aturan tujuan jangka panjang untuk
keberlanjutan sistem ekologi (Jentoft 1989; Pinkerton 1989; Ostrom 1993).
Sehubungan dengan keharmonisan temporal adalah isu keharmonisan spasial
(spatial congruence). Hal ini penting untuk menjamin rezim hak pemilikan
memiliki batas yang terdefinisikan secara jelas, sehingga batas konsisten dengan
batas alami sistem ekologi (Constatnza dan Daly 1992; Berkes dan Folke 1994;
Gunderson et al. 1994; Smith 1994). Selanjutnya, disain juga harus menyangkut
“distribusi otoritas”. Rezim berfungsi baik jika keputusan aturan konsisten dengan
40
pemilikan, sebagai contoh bilamana sumberdaya dimiliki secara kolektif maka
harus dikelola dengan tatanan pilihan kolektif (Ostrom 1990).
Tabel 7 Kumpulan faktor kritis untuk kesuksesan pengaturan sumberdaya milikbersama (common pool resources) hasil identifikasi Wade, Ostrom,Baland dan Platteau yang disintesis oleh Agrawal (2001)
Kumpulan Faktor (set of factor)1. Karakteristik sistem
sumberdayaa. Ukuran kecilb. Batas sumberdaya yang didefinisikan dengan jelas
2. Karakteristikkelompok
a. Ukuran kecilb. Batas kelompok yang didefinisikan dengan jelasc. Norma berbagid. Pengalaman sukses di masa lalu - modal sosiale. Kepemimpinan yang tepat - muda, familiar dengan perubahan
lingkungan eksternal, mempunyai koneksi dengan elitetradisional lokal
f. Saling ketergantungan antar anggota kelompokg. Ragam dukungan, identitas dan kepentingan
3. Saling hubunganantara karakteristiksistem sumberdayadan karakteristikkelompok
a. Tumpang tindih lokasi tempat tinggal kelompok pengguna danlokasi sumberdaya
b. Tingkat ketergantungan anggota kelompok terhadapsumberdaya tinggi
c. Kewajaran dalam alokasi manfaat dari “common resource”4. Pengaturan institusi a. Aturan sederhana dan mudah untuk dipahami
b. Memikirkan/merencanakan akses lokal dan aturan pengelolaanc. Mudah dalam penegakan aturand. Diselesaikannya sanksie. Tersedianya pengadilan (keputusan hakim) dengan biaya murah
Sumber: Agrawal (2001).
2.9 Pembayaran Jasa Lingkungan
Menurut Wunder (2005) pembayaran untuk jasa lingkungan (payment for
environmental services) adalah (1) transaksi sukarela (voluntary transaction); (2)
jasa lingkungan yang terdefinisi dengan baik (well-defined environmental
service); (3) melibatkan minimum satu pembeli jasa lingkungan; (4) dari
minimum satu penjual jasa lingkungan; dan (5) hanya berlaku jika jasa layanan
terus dapat disediakan penghasil jasa. Berdasarkan definisi pembayaran jasa
lingkungan menurut UNSAID dan RMI (2007) paling tidak ada 4 (empat)
karakteristik skema Payment for Environmental Services (PES), yaitu: (1)
pembayaran jasa lingkungan dikembangkan berdasarkan azas sukarela dan
negosiasi-negosiasi para pihak; (2) mekanisme transaksi dan jasa yang
ditransaksikan dapat terdefinisi secara jelas dan dapat diukur; (3) transaksi
melibatkan paling tidak satu pihak penyedia jasa sebagai penjual jasa lingkungan
41
dan satu pihak sebagai penerima manfaat sebagai pembeli jasa lingkungan; dan
(4) skema kontrak harus mampu menjamin akan keberlanjutan skema dan aliran
manfaat dalam waktu yang diperjanjikan.
Empat tipe jasa lingkungan yang sering dilaporkan sebagai subjek dari
skema pembayaran untuk jasa lingkungan (Landell-Mill dan Porras 2002, Grieg-
Gran dan Bann 2003, Wunder 2005 dalam Kanounnikoff 2006) adalah:
1) Layanan daerah aliran sungai (watershed services); memiliki cakupan yang
cukup luas, meliputi kontrol terhadap aliran air atau kontrol terhadap kualitas
air, yang berhubungan dengan ekosistem alami tertentu seperti hutan dan air
tawar. Batasan pembayaran jasa pelayanan air termasuk daya ungkit politis
atas penyedia pelayanan daerah aliran sungai yang persediaan pelayanan airnya
memiliki justifikasi ilmiah.
2) Penyerapan karbon (carbon sequestration); Ekosistem hutan merupakan
penyedia utama pelayanan penyerapan karbon. Pembayaran untuk pelayanan
penyerapan karbon dilakukan dengan menghindari penebangan hutan, akan
tetapi masih dihadapkan pada transaksi biaya tinggi dan ketidakpastian dengan
tergantung pada aturan perdagangan karbon internasional dan efektivitas
jangka panjang (Grieg-Gran dan Bann 2003).
3) Konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation); Jasa
konservasi keanekaragaman hayati sulit untuk menjadi subyek
valorization/perhitungan khususnya yang berkenaan dengan nilai intengible
(tak dapat dihitung langsung), ketidakpastian bertalian dengan persediaan
pelayanan dan jenis dan jumlah manfaat yang belum pasti dan adanya transaksi
biaya tinggi (Grieg-Gran dan Bann 2003).
4) Keindahan bentang lahan (landscape beuty); keindahan bentang alam lazim
disediakan oleh ekosistem alami, volarisasi (nilai) pelayanan dari keindahan
bentang alam (pemandangan) dapat berupa pembayaran operator turis
lingkungan untuk memperoleh akses ke wilayah yang memiliki keindahan
bentang alam (pemandangan) tersebut. Sebagai pembatas utama internalisasi
dari pelayanan keindahan pemandangan sejauh ini masih mengacu kepada
kenyataan, pelayanan keindahan pemandangan lebih berbasis pada persediaan
oleh pemerintah dan dicirikan dengan penetapan biaya (below-cost pricing)
42
(Grieg-Gran and Bann 2003). Akan tetapi, tipikal keindahan pemandangan
menyajikan nilai guna langsung (externalitas langsung) dari ekosistem dan
karenannya diterapkan pembayaran jasa lingkungan terutama dengan
menggunakan nilai tidak langsung untuk menambah perbedaan nilai
pembayaran jasa lingkungan dari instrumen kebijaksanaan lingkungan
lainnya.
Skema pembayaran jasa lingkungan merupakan mekanisme pembiayaan
yang memerlukan kreasi atas pengumpulan dan pengelolaan dana dari penerima
manfaat. Dalam teori, penerima manfaat tidak harus membayar lebih dari nilai
pelayanan yang mereka terima. Diperlukan besaran nilai pelayanan jasa
lingkungan yang layak, oleh karenanya aturan merupakan tantangan utama bagi
kelahiran skema pembayarana jasa lingkungan. Penilaian ini meliputi proses
analisis ekonomi dengan konsultasi yang luas dengan penerima manfaat dalam
rangka pengaturan sumbangan yang bisa diterima oleh mereka dan cukup bagi
pendanaan sistem pembayarana jasa lingkungan. Tujuan kunci dari skema
pembayarana jasa lingkungan adalah menghasilkan aliran pendapatan yang stabil
dan terus menerus yang dapat memastikan keberlanjutan sistem untuk jangka
panjang. Pendapatan dapat berasal dari pajak-pajak, biaya dari pengguna, subsidi
pemerintah, sumbangan langsung, dana bantuan atau pinjaman dari lembaga
internasional atau donasi oleh NGO internasional atau yayasan Mekanisme
pembayaran harus juga dirancang untuk mengantarkan dana sampai pada
pengguna lahan (land users). Dalam teori, pembayaran yang diberikan kepada
pengguna lahan harus cukup untuk mengganti kerugian atas ongkos konservasi
dan biaya kesempatan penggunaan lahan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan
keseimbangan antara pembayaran maksimal yang mau disediakan penerima
manfaat (beneficiaries) dan pembayaran minimal atas jasa layanan lingkungan
yang dapat disediakan oleh pengguna lahan (Mayrand dan Paquin 2004).
2.10 Kinerja Institusi dan Kinerja Rezim Hak Pemilikan
Menurut Schmid (1987) kinerja institusi diukur oleh siapa mendapat apa
dan biaya siapa yang dipertimbangkan. Pada sekelompok orang kinerja institusi
ini dapat dilihat pada tingkat kehidupan, keamanan, kualitas lingkungan, dan
43
kualitas kehidupan secara umum. Kinerja institusi juga dapat dilihat pada
distribusi sumberdaya/kekayaan dan kesempatan. Atau diukur dari kebebasan
(bebas melakukan pilihan untuk bertransaksi), pertumbuhan (optimalisasi total
dari nilai produksi) dan efisiensi (pilihan untuk mengoptimalkan pengeluaran dan
pemasukan). Menurut Uphoff (1986a) kinerja suatu institusi diukur dari
bagaimana institusi menyelesaikan empat tugas pokoknya. Keempat tugas pokok
tersebut, meliputi: (1) pengambilan keputusan (termasuk perencanaan dan
evaluasi); (2) mobilisasi dan manajemen sumberdaya; (3) komunikasi dan
koordinasi; dan (4) penyelesaian konflik.
Selanjutnya Menurut Hanna et al. (1995) kinerja rezim hak pemilikan dapat
diukur melalui satu atau kombinasi dari tiga dimensi: ekonomi, sosial dan ekologi.
Seluruh dimensi adalah saling berhubungan, saling mempengaruhi dan memiliki
keterkaitan (keterlekatan: embedded) dalam sebuah sistem. Ukuran kinerja untuk
rezim hak pemilikan adalah efisiensi ekonomi. Ukuran efisiensi fokus pada
tingkat produksi dengan keluaran ekonomi terbaik (the best economic outcomes)
melalui produksi dengan kombinasi input biaya rendah. Ukuran kinerja sosial
fokus pada rezim keadilan yang merefleksikan definisi sosial atas keadilan
distribusi (fairness distribution) manfaat dan biaya. Sedangkan ukuran kinerja
berbasis ekologi fokus pada tingkat persediaan modal alam (stock of natural
capital) yang dikelola.
2.11 Pengembangan Institusi
Berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusi sangat diperlukan oleh
masyarakat. Namun ketika institusi tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan,
maka diperlukan suatu langkah perbaikan. Beberapa literatur menyebutkan ada
tiga solusi untuk memperbaiki kinerja institusi, yaitu melalui: pengembangan
institusi (institutional development), penguatan institusi (institutional
strengthening) atau perubahan institusi (institutional change) (Pratiwi 2008).
Berdasarkan pendapat Pratiwi (2008) tersebut dapat dinyatakan bahwa Kinerja
institusi yang tidak optimal dapat diperbaiki dengan pengembangan institusi
(institutional development) berdasarkan kinerja institusi eksisting.
44
Menurut Nasution (1999) yang dikutip Karyana (2007) pengembangan
kelembagaan (institusi) merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan
hubungan antar individu dalam masyarakat, sehingga menjadi kelembagaan yang
dikehendaki. Tujuan pengembangan kelembagaan (institusi) secara umum adalah
untuk mencapai derajat pemenuhan kebutuhan manusia secara lebih baik dengan
alokasi sumberdaya yang efisien dan efektif serta dapat diterima oleh semua
kelompok masyarakat secara adil. Secara spesifik tujuan pengembangan
kelembagaan (institusi) adalah: 1) sebagai wahana akses adil terhadap input
faktor; 2) mampu memberikan aturan main dan acuan secara adil bagi setiap
pelaku dalam kelembagaan tersebut guna mencapai efisiensi dan efektifitas yang
tinggi dalam alokasi sumberdaya kepada semua unsur yang terlibat; 3) mampu
mendistribusikan hasil proses pemamfaatan sumberdaya untuk mencapai tujuan
yang dikehendaki. Menurut Uphoff (1986) bila merencanakan pengembangan
institusi/ kelembagaan lokal pada area pengelolaan sumberdaya alam, patut
digaris bawahi bagaimana analisis mengarah pada menilai/menaksir faktor seperti
larangan (hal tidak diperbolehkan) dan manfaat dan biaya pengelolaan
sumberdaya yang dapat mempengaruhi kelangsungan berbagai jenis institusi
lokal.
2.12 Bentuk-Bentuk Institusi: Kasus Institusi Pengelolaan Hutan
Bentuk institusi pengelolaan sumberdaya alam di suatu wilayah atau negara
akan berkembang sesuai dengan karakteristik sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, penguasaan teknologi serta pengaruh-pengaruh internal yang
melingkupinya. Sebagai bahan perbandingan, berikut disajikan bentuk institusi
pengelolaan hutan yang telah berkembang di beberapa negara.
2.12.1 Institusi pengelolaan hutan di Jerman
1) Struktur State Forest Enterprise
Pengelolaan hutan di Jerman baik hutan Negara, sebagian besar hutan
masyarakat maupun hutan pribadi dilakukan oleh State Forest Enterprise (SFE).
Struktur organisasi SFE adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 5 berikut:
45
Gambar 5 Struktur hirarki State Forest Enterprise Jerman (Hessen-Forst 2011).
State Forest Enterprise berasal dari tradisi keberhasilan tata usaha hutan
negara di Hesse yang mempunyai struktur organisasi ditingkat lapangan
dikeseluruhan daerah dan bekerja dekat dengan warga negara menurut asas
"penyerahan kedaulatan secara terpadu (integrated sovereignty)”, di mana
terdapat Forest Management Units (FMU) yang menjalankan tugas berdasarkan
peraturan yang sah. State Forest Enterprise Hessen-Forst mengurusi secara
khusus inventarisasi hutan, perencanaan, penilaian hutan dan teknik kehutanan
dengan menerapkan hasil riset silvikultur dari Northwest German Forest Research
Institute (NWFVA).
State Forest Enterprise dicirikan oleh hirarki sejajar. Dewan direktur
dibagi menjadi empat departemen; dua departemen bekerja sebagai pendukung
(personel, informasi teknologi, pembiayaan dan penganggaran), sementara dua
departemen lainnya bekerja pada wilayah operasi produksi (silvikultur, pemasaran
dan kerjasama, konsultasi dan pelayanan-pelayanan lain).
Regu pengontrolan, terdiri dari empat ahli senior, memastikan saling
hubungan ke dan dari unit pengelolaan hutan. Tugas mereka meliputi pemberian
46
nasehat, pengkoordinasian dan mendukung unit pengelolaan hutan dan bantuan
dalam mencapai target regional.
Pengontrolan (Controlling): pengusahaan hutan negara disupervisi oleh
menteri yang bertanggung jawab dan berkenaan dengan: (1) penerimaan terhadap
aturan pengusahaan hutan negara; (2) pencalonan direktur jenderal; (3)
penerimaan anggaran belanja tahunan; (4) perjanjian dengan auditor dalam
konsultasi dengan Pemeriksa Keuangan Hessian; dan (5) keputusan yang relevan
secara politis. Departemen tidak turut campur tangan dalam urusan operasional
(bisnis).
Penghubung (Liaison): State Forest Enterprise menerapkan prinsip efisiensi
ekonomi dalam melakukan pengembangan secara terus menerus terhadap struktur
dan aliran kerja serta pengontrolan pengelolaan. Regu/Tim pengontrolan
merupakan bagian dari dewan direktur yang bertindak sebagai penghubung dan
pengkoordinasi antara organisasi pusat dengan unit pengelolaan hutan. Regu
pengontrolan yang terdiri atas empat ahli senior (senior experts) yang mempunyai
tanggung jawab secara regional. Kedekatan kepada unit pengelolaan hutan
dipastikan melalui komunikasi yang baik dan keputusan cepat. Tugas utama regu
pengontrolan adalah menempatkan tujuan dan strategi pengusahaan hutan negara
sedemikian rupa sehingga mendukung kepala unit pengelola hutan sehubungan
dengan tanggungjawabnya. Regu/Tim kontrol juga meneliti operasi manajemen
unit pengelolaan hutan.
Komisi Pengusahaan Hutan Negara (State Forest Enterprise Commission):
merupakan komisi eksternal pengusahaan hutan negara yang independen yang
memastikan keseimbangan dan keberlansungan sasaran strategis yang ditentukan
untuk pengusahaan hutan negara. Laporan tahunan pengusahaan hutan negara
diteliti oleh komisi dan diberikan komentar dengan semua pertanyaan berkenaan
dengan sasaran-sasaran strategis. Komisi SFE terdiri atas dua belas anggota
komite dengan keahlian yang diakui, yaitu: (1) menteri bertanggung jawab
sebagai pemimpin; (2) satu delegasi dari setiap parlemen terwakili dalam
Hessiean Parlemen; (3) satu wakil dari setiap departemen fungsional dan
anggaran; (4) satu wakil dari personel pengusahaan hutan negara; dan (5) lebih
dari empat wakil dari sektor lainnya seperti lingkungan, ekonomi, masyarakat
47
umum atau pemilik hutan kecil-kecilan atau ilmuwan. Para anggota ditetapkan
untuk satu periode pemilihan dimana menteri bertanggung jawab dalam konsultasi
dengan menteri keuangan atau Presiden Parlemen Hessian. Komite bersidang
tidak kurang dari sekali setahun atas permintaan menteri yang bertanggung jawab,
atau menteri keuangan, direktur jenderal dari pengusahaan hutan negara atau dari
sedikitnya tujuh anggota secara bersama-sama.
2) Struktur Forest Managemet Units (FMU)
Struktur organisasi Forest Management Units (FMU) adalah sebagaimana
disajikan pada Gambar 6. Organisasi FMU ada di seluruh wilayah negara,
sehingga dapat menjamin unit pengelola hutan dekat dengan masyarakat, otoritas
lokal dan pelanggan lain. Hal ini merupakan penerapan prinsip teritorial
(territorial principle) yang menjadi sebuah keharusan dalam melaksanakan
silvikultur berorientasi alamiah (nature-oriented silviculture). Organisasi FMU
menjalankan fungsi yang meliputi pendidikan lingkungan, konservasi alam, advis
bio-energi dan advis terhadap pemilik hutan privat dan rata-rata FMU mengatur
18.000-20.000 ha dengan 10-12 pasukan daerah (ranger districts). Dengan
demikian struktur internal FMU merupakan kombinasi prinsip teritorial dengan
prinsip peningkatan fungsi organisasi.
Gambar 6 Struktur organisasi Forest Management Units (Hessen Forst 2011).
48
Organisasi ini dipimpin oleh seorang kepala yang memiliki tugas meliputi
pemasaran, pengontrolan, kualitas proses pengelolaan dan organisasi. Kepala
FMU membawahi bidang administrasi, kepala seksi produksi, kepala seksi
pelayanan dan kedaulatan serta rangers district. Fungsi utama organisasi ini
meliputi konservasi, pendidikan lingkungan, bioenergi dan penyuluhan.
2.12.2 Institusi pengelolaan hutan di Jepang
Keberhasilan bangsa Jepang dalam mempertahankan kelestarian fungsi
sumberdaya alam sejak berabad-abad yang lalu telah banyak dilaporkan dalam
berbagai literatur (Kartodihardjo 2004). Menurut Zoysa dan Inoue (2010) “irai” di
Jepang adalah sebuah sistem pengelolaan berkelanjutan hutan milik bersama di
pedesaan-pedesaan yang memproduksi kebutuhan dasar domestik dan berfungsi
sebagai pengerat hubungan komunitas lokal. Di bawah rezim pemilikan bersama
(commom property regimes) hanya anggota kelompok yang memiliki akses
terhadap sumberdaya yang pemanfaatannya didasarkan pada regulasi.
Aturan pengelolaan yang tepat meliputi tanggal dan waktu, tempat dan
jumlah yang diperbolehkan untuk diekstrasi dari hutan “irai” diimplementasikan
untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan (Kijima et al. 2000 dalam Zoysa
dan Inoue 2010). Rumah tangga (keluarga) di dalam komunitas sangat peduli
terhadap kemampuan lahan hutan “irai” dalam mendukung kelangsungan mata
pencaharian (penghidupan) mereka. Pengambilan keputusan penting terkait
dengan pengelolaan hutan “irai” didasarkan pada persetujuan seluruh anggotanya
(Goto 2007 dalam Zoysa dan Inoue 2010).
Menurut Kartodihardjo (2004) yang mengutip hasil penelitian McKean
(1993) keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dalam hubungannya dengan
kinerja sistem institusi yang diterapkan di tiga desa di Jepang yang diteliti oleh
McKean antara lain karena fakta-fakta berikut: (1) hingga kini keberadaan “lahan
milik bersama” masih dapat dipertahankan oleh masyarakat di Jepang karena
adanya komunitas pemilik bersama yang teridentifikasi dengan jelas dan tertulis;
(2) dalam sejarahnya desa-desa di Jepang berkembang mengikuti perubahan
zaman dengan selalu mengacu pada aturan-aturan atau kesepakatan-kesepakatan;
dan (3) dalam mengimplementasikan aturan tersebut, masyarakat Jepang
menerapkan sanksi atau penalti bagi pelanggar aturan sebagai suatu sistem kontrol
49
sosial, dimana penalti tersebut dapat berupa “pengucilan” dari kehidupan sosial
masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa keberhasilan pengelolaan
sumberdaya alam tak terkecuali sumberdaya hutan secara berkelanjutan di
pedesaan tradisional di Jepang merupakan akibat dari adanya: (1) aturan yang
disepakati masyarakat dan diimplementasikan secara baik serta diberlakukannya
sanksi atas pelanggaran; (2) unit terkecil dari pengelola hutan, yaitu rumah tangga
(household) terlibat dalam pengambilan keputusan; dan (3) adanya kesadaran dan
kepedulian komunitas terhadap fungsi hutan dalam mendukung penghidupan
masyarakat.
2.12.3 Insitusi pengelolaan hutan di Sri Langka
Mengacu pada pendapat dan hasil penelitian beberapa ahli, Zoysa dan Inoue
(2008) melaporkan hal-hal yang berkenaan dengan institusi pengelolaan hutan di
Sri Langka sebagai berikut:
1) Kehutanan Sri Langka memiliki sejarah lebih dari dua ribu tahun yang
direfleksikan di dalam catatan peninggalan raja-raja masa lalu. Sri Langka
mempunyai sejarah panjang penanaman pohon sejak tahun 543 sebelum
masehi, dimana tradisi ini ada pada budaya buddha. Dalam catatan sejarah
kuno "maha-wamsa", "rajaratnacari" dan " rajawali" dinyatakan komunitas
pedesaan (kampung) terorganisir secara baik dan hidup secara harmonis dalam
lingkungan hutan sepanjang periode raja Vijaya (543 sebelum masehi).
Mereka mengelola keberlanjutan lingkungan hutan disekelilingnya dan
menikmati hak serta dapat secara baik melakukan administrasi sendiri.
2) Penegakan aturan dan regulasi untuk perlindungan hutan dan penggunaan
produksi hutan ditegakkan pula pada periode 161-137 sebelum masehi oleh
Raja Dutugamunu. Raja diperlakukan sebagai pemilik sah lahan hutan.
Meskipun raja sebagai penguasa hutan, komunitas (masyarakat) memegang
hak mengambil hasil hutan dan diawasi oleh para anggota yang ditunjuk
sebagai manajer. Hutan dikelola berdasarkan rezim pemilikan bersama dengan
norma-norma dan konvensi untuk mengatur hak-hak individual, sementara
kesepakatan sosial digunakan untuk mencegah penyalahgunaan sumber daya
hutan (Kariyawasam 2001).
50
3) Adanya cadangan hutan untuk royalti (gabadagam), institusi biara (nindagam),
kuil umum (viharagam), dan untuk tujuan lain (devalegam) terdokumentasi di
tulisan kuno. Hutan dialokasikan untuk penyelenggaraan pelayanan kepada
masyarakat (rajakariya), sementara petugas hutan (kele korala) ditetapkan
sebagai pengatur penggunaannya. Penarikan pajak kepada penguasa hutan
pribadi terdokumentasi sejak abad keenam. Penebangan spesies pohon tertentu
dan masuk ke lahan dan kebun hutan keluarga raja adalah dilarang. Aturan ini
berlaku hingga diujung zaman kerajaan di Sri Langka (tahun 1815).
4) Sistem otoritas pemerintah terhadap penggunaan sumberdaya hutan mulai
diterapkan sejak kekuasaan kolonial Inggris. Hak dan tanggung jawab
komunitas dalam mengelola hutan digantikan oleh agen-agen birokrasi
perwakilan pemerintah. Rezim kolonial meruntuhkan kohesi komunitas
pedesaan dan sistem pengelolaan hutan berdasarkan pemilikan bersama
menjadi terkikis.
5) Sejak tahun 1950, yakni setelah kemerdekaan Sri Langka, pengelolaan
dilakukan oleh tenaga teknis terlatih dari departemen kehutanan. Secara umum,
petugas tidak terlatih sebagaimana mestinya untuk secara pantas mengakui
hak-hak asli/lokal, mengapresiasi pengetahuan lokal dan memahami
ketergantungan ekonomi komunitas terhadap sumberdaya hutan. Institusi
tradisional dan kepemimpinan lokal termarginalikan atau terabaikan. Akhirnya,
orang-orang luar dari wilayah kota terutama pedagang kayu mengambil alih
kendali sumberdaya hutan dan sistem produksi hutan yang menjadi mata
pencaharian komunitas lokal. Banyak tempat penggembalaan yang berfungsi
pada abad ini ditutup. Walaupun, otoritas kehutanan tidak dapat
mengendalikan pengambilan kayu bakar, perladangan berpindah, pertanian
perkebunan, pertambangan, pembalakan kayu dan aktivitas lain di hutan yang
dilakukan oleh komunitas lokal secara tidak sah.
6) Saat ini, strategi dan tradisi kuno pemanfaatan/penggunaan sumberdaya
menjadi komponen penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan negara Sri
Langka. Fungsi komunitas tradisional dalam mengurus sumberdaya hutan
sangat diperlukan, oleh karenanya diperkuat.
51
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan oleh Zoysa dan Inoue (2008) yang
mengacu pada pendapat berbagai ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa
keberhasilan pengelolaan hutan di Sri Langka di masa lalu merupakan resultan
dari adanya: (1) pengaturan hak masyarakat lokal sekitar hutan untuk menikmati
manfaat hutan; (2) penegakan aturan dan regulasi untuk perlindungan hutan dan
penggunaan produksi hutan; (3) sesuai dengan karakteristiknya hutan dikelola
dengan menggunakan pendekatan rezim pemilikan bersama; (4) petugas
kehutanan bertugas mengatur penggunaan kawasan hutan.
2.12.4 Institusi Pengelolaan Hutan Lindung di Indonesia: Kasus KelembagaanHutan Lindung Sungai Wain
Berdasarkan hasil penelitian tentang kelembagaan pengelolaan Hutan
Lindung Sungai Wain (HLSW), Falah et al. (2007) melaporkan bahwa
Pemerintah Kota Balikpapan memiliki komitmen yang kuat untuk mendukung
pengelolaan HLSW, terbukti dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 11
tahun 2004 tentang Pengelolaan HLSW serta tiga Surat Keputusan Walikota
tentang Penataan dan Pemanfaatan HLSW, Pembentukan Badan Pengelola HLSW
dan Tata Cara dan Pemanfaatan HLSW. Beberapa kegiatan yang berhasil
dilaksanakan Badan Pengelola HLSW (BPHLSW) antara lain menekan
penebangan liar dan perburuan satwa liar hingga 0%, upaya penanganan masalah
perambahan dengan memberi hak pemanfaatan lahan kepada masyarakat lokal
dalam blok pemanfaatan, kegiatan pemanfaatan kawasan yang meliputi
agroforestri, ekowisata, penelitian, pendidikan lingkungan serta pemberdayaan
masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian Falah et al. (2007) tersebut, pemanfaatan
kawasan HLSW yang diperbolehkan berdasarkan Surat Keputusan Walikota
Nomor 13 tahun 2004 adalah agroforestri, pemungutan hasil hutan non kayu,
ekowisata dan pendidikan lingkungan serta kegiatan penelitian. Agroforestri:
kawasan yang telah dirambah dan dijadikan kebun oleh masyarakat dijadikan blok
pemanfaatan. Setiap kepala keluarga berhak memperoleh izin pemanfaatan
maksimal dua hektar dalam jangka waktu maksimal lima tahun dan tidak dapat
dipindahtangankan. Pemungutan hasil hutan non kayu: hasil hutan non kayu
yang diperbolehkan adalah pemungutan rotan, madu, buah, tanaman obat-obatan
52
dan hasil hutan non kayu lainnya yang tidak mengganggu fungsi lingkungan.
Pemanfaatan jasa lingkungan: bentuk pemanfaatan jasa lingkungan yang
diperbolehkan adalah kegiatan penelitian, kunjungan formal, kunjungan
pendidikan dan pelatihan, olah raga tantangan serta ekowisata. Salah satu bentuk
pemanfaatan jasa lingkungan yang potensial adalah pemanfaatan air. Insentif
pemanfaatan air menjadi sumber pendanaan pengelolaan HLSW, dimana telah
terealisasi setiap tahun Pertamina UP V Balikpapan sebagai konsumen utama air
Waduk Wain membayar Rp 200.000.000.