ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria...

50
16 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Penyebab Kemiskinan. Pemahaman tentang definisi kemiskinan mutlak untuk dipahami, agar persepsi dan interpretasi tentang kemiskinan tidak multitafsir serta dalam intervensi kebijakan tidak salah sasaran. Secara umum kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut (TKPK 2006 dan SNPK 2005). Dalam RPJM Nasional kemiskinan di definisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik perempuan maupun laki-laki. Sedangkan kemiskinan (ketertinggalan) wilayah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur bagi penduduk di wilayah bersangkutan. Selain dari itu, Sumodiningrat (2005) menyebutkan bahwa masyarakat miskin secara umum ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation). 2. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness). 3. Ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccecibilty). 4. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menentukan nasib dirinya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis; dan 5. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor).

Upload: lykien

Post on 19-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Penyebab Kemiskinan.

Pemahaman tentang definisi kemiskinan mutlak untuk dipahami, agar

persepsi dan interpretasi tentang kemiskinan tidak multitafsir serta dalam

intervensi kebijakan tidak salah sasaran. Secara umum kemiskinan adalah suatu

keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai

dengan taraf kehidupan kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan tenaga,

mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut (TKPK 2006 dan SNPK 2005).

Dalam RPJM Nasional kemiskinan di definisikan sebagai kondisi dimana

seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu

memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan

yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan

pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,

sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman

tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik,

baik perempuan maupun laki-laki. Sedangkan kemiskinan (ketertinggalan)

wilayah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur bagi penduduk di wilayah

bersangkutan.

Selain dari itu, Sumodiningrat (2005) menyebutkan bahwa masyarakat

miskin secara umum ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan

dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic

need deprivation).

2. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melakukan kegiatan usaha produktif

(unproductiveness).

3. Ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccecibilty).

4. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menentukan nasib dirinya sendiri serta

senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan

dan kecurigaan, serta sikap apatis; dan

5. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa

mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor).

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

17

Pendefinisian yang lebih tegas dan mendalam disampaikan oleh KIKIS

(2002) yaitu kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau

esensial sebagai manusia. Kebutuhan asasi, meliputi: kebutuhan akan subsistensi,

afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu

luang. Kemiskinan subsistensi terjadi karena rendahnya pendapatan, tak

terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan-kebutuhan

dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan terjadi karena meluasnya budaya

kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan

dasar. Kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola

hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan

alam. Kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan yang rendah,

selain faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan. Kemiskinan

partisipasi terjadi karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses

pengambilan keputusan, sedangkan kemiskinan identitas terjadi karena

dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan

hancurnya nilai sosio-kultural yang ada.

Di sisi lain, Chambers (2001) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu

integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri

(proper), (2) ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi

darurat (state of emergency), (4) ketergantungan (dependence), dan (5)

keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sedangkan

Mas’oed (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan

alamiah dan kemiskinan buatan (artificial). Kemiskinan alamiah berkaitan dengan

kelangkaan sumberdaya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang

tandus. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau

pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya,

sarana, dan fasilitas sosial ekonomi yang ada secara merata.

Di Indonesia, pengertian kemiskinan didasarkan pada pengertian yang

ditetapkan berdasarkan kriteria dari tiga institusi (BPS 2008) yaitu:

1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat

memenuhi makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari. Data

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

18

kemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari data Susenas dan untuk

menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Data Susenas merupakan data

yang bersifat makro, data ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan

persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa, dimana

alamatnya secara rinci, data ini hanya digunakan untuk mengevaluasi

pertambahan/pengurangan jumlah penduduk miskin. Sedangkan untuk

menyalurkan BLT dalam rangka kompensasi BBM, sifatnya mikro yang dapat

menunjukkan nama kepala keluarga yang berhak menerima BLT dan lokasi

tempat tinggalnya. Sedangkan untuk mengukur kemiskinan dengan

menggunakan kebutuhan dasar makanan (setara 2.100 kalori per kapita per

hari) dan bukan makanan (variabel kuantitatif), penentuan rumah tangga

penerima BLT didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga dengan

menggunakan 14 variabel kuantitatif penjelas kemiskinan. Ke 14 variabel yang

digunakan adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas

tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, bahan bakar,

membeli daging, ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian baru,

kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan rumah

tangga, dan asset yang dimiliki rumah tangga.

2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, apabila

memenuhi kriteria berikut (BPS 2008) :

a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya.

b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari

c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah,

bekerja/sekolah dan bepergian.

d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah.

e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.

3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya

kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1,00 per kapita per hari (BPS

2008).

Ketiga kriteria tersebut di atas, belum mampu menunjukkan rumah tangga

miskin dengan tepat dan benar, sehingga seringkali menyulitkan pelaksana dalam

implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan. Banyaknya komplain dan

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

19

reaksi yang menolak beberapa program dan kegiatan merupakan bukti lemahnya

sistem pendataan yang dilakukan selama ini, terutama dalam penyaluran bantuan

yang sifatnya sementara seperti bantuan langsung tunai (BLT). Beberapa lembaga

seperti Smeru dan Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional mendorong

pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan

kondisi daerah masing-masing. Namun demikian, dalam prakteknya sangat sedikit

pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia yang melakukan kreativitas terkait

dengan kriteria kemiskinan tersebut.

Setiabudi (2002); Chambers, 2008; dan Waidl et al. (2008) tanpa menafikan

ketiga kriteria tersebut dalam memberikan informasi, mereka menyarankan

beberapa pendekatan seperti penggunaan pendekatan sosiologis dengan metode

referer, dimana setelah kita dapat menemukan satu rumah tangga miskin

kemudian meminta yang bersangkutan memilih rumah tangga lain yang status

sosial-ekonominya setara atau lebih rendah dari dia. Alternatif lainnya, adalah

menggunakan pendekatan partisipatif seperti partisipatory rural appraisal (PRA)

pada level yang paling rendah seperti rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW).

Pendekatan ini telah diimplementasi oleh beberapa kabupaten/kota di Indonesia

dan memberikan hasil yang memuaskan walaupun menggunakan waktu dan biaya

yang lebih besar.

Selain pengertian kemiskinan tersebut di atas, penyebab kemiskinan juga

penting untuk dipahami. Ada banyak penyebab kemiskinan dan tak ada satupun

jawaban yang mampu menjelaskan semuanya secara sekaligus. Ini ditunjukkan

oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan

keadaan, waktu, dan tempat tertentu yang mecoba mencari penyebab kemiskinan.

Smeru (2001) menyimpulkan bahwa penyebab dasar kemiskinan antara lain; (i)

kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (ii) terbatasnya ketersediaan

bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (iii) kebijakan yang bias perkotaan

dan bias sektor; (iv) adanya perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat

dan sistem yang kurang mendukung; (v) adanya perbedaan sumberdaya manusia

dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi

modern); (vi) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam

masyarakat; (vii) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

20

mengelola sumber daya alam dan lingkungannya; dan (viii) tidak adanya tata

kepemerintahan yang bersih dan baik (good governance).

Sedangkan Nasikun (2001) menyoroti beberapa sumber dan proses

penyebab terjadinya kemiskinan, antara lain :

a. Policy induce processes; proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi

melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah

kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan dan

menyuburkan kemiskinan.

b. Socio-economy dualism; Negara eks koloni mengalami kemiskinan karena

pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang

paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.

c. Population growth; perspektif yang di dasari pada teori Malthus bahwa

pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan

seperti deret hitung.

d. Resources management and the environment; adanya unsur kesalahan

manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen

pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.

e. Natural cycles and processes; kemiskinan terjadi karena siklus alam,

misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan

terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak

memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terjadi secara terus

menerus.

f. The marginalization of woman; peminggiran kaum perempuan karena

perempuan masih dianggap kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan

hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.

g. Cultural and etnic factor; bekerjanya faktor budaya dan etnik yang

memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan

nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara

adat atau keagamaan.

h. Exploitatif intermediation; keberadaan penolong menjadi penodong,

seperti rentenir (lintah darat).

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

21

i. Internal political fragmentation and civil strata; suatu kebijakan yang

diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat

menjadi penyebab kemiskinan.

j. International processes; bekerjanya sistem-sistem internasional

(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin

miskin.

Selanjutnya, selain beberapa faktor tersebut di atas, penyebab kemiskinan di

masyarakat khususnya di daerah perdesaan disebabkan oleh keterbatasan asset

yang dimiliki (Suryawati 2005), yaitu:

a. Natural assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa

hanya menguasai lahan kurang memadai untuk mata pencahariannya.

b. Human assets; menyangkut kualitas sumberdaya manusia yang relatif

masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan,

keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi).

c. Physical assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum

seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di perdesaan.

d. Financial assets; berupa tabungan (saving) serta akses untuk memperoleh

modal usaha.

e. Social assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini

kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan

politik.

Namun demikian, secara umum penyebab kemiskinan dapat dikategorikan

dalam tiga bentuk, antara lain (Makmun 2003) :

1. Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang

berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di

masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan

mobilitas masyarakat.

2. Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya

nilai-nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang

rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

22

3. Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam

maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering,

maupun keterisolasian.

Sedangkan Chronic Poverty Research Centre (CPRC) dalam Shepherd

(2007) menggambarkan kategorisasi dinamika kemiskinan menjadi tiga bagian

yaitu meliputi: selalu miskin dan biasa miskin (chronically poor), kemiskinan

transisional meliputi kemiskinan yang fluktuatif dan kadang-kadang miskin

(transitorily poor), dan tidak miskin (non-poor). Penduduk yang berada pada

kategori kronis bukan hanya miskin di dalam pendapatan akan tetapi juga sangat

terbatas dalam pendidikan, nutrisi, akses ke pelayanan kesehatan, atau mungkin

terisolasi dan dieksploitasi oleh para elit. Dalam beberapa konteks perempuan

miskin dan anak-anak perempuan, anak-anak perempuan dan orang tua (terutama

janda) cenderung terjebak dalam kemiskinan.

Selanjutnya penduduk yang berada dalam kategori transisional lebih rentan

terhadap kemiskinan. Penyebabnya bisa disebabkan oleh faktor internal karena

penduduk kategori ini tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kondisi

eksternal. Di samping itu, guncangan dalam bentuk kesehatan karena sakit,

guncangan lingkungan, bencana alam, kekerasan, dan ketidakpastian hukum dan

rontoknya perekonomian penyebab keluar masukanya rumah tangga dalam

kemiskinan. Ketika penduduk hanya memiliki asset terbatas, layanan dasar yang

tidak memadai dan tidak efektifnya perlindungan sosial menjadi jebakan orang

dalam kemiskinan.

Memahami kemiskinan dengan pengkategorisasian tersebut mempermudah

pengambil kebijakan dalam menentukan sifat dan jenis intervensi kebijakan yang

akan dilakukan. Pengkategorisasian ini dapat juga membantu mengidentifikasi

jalan keluar terhadap kemiskinan sebelum kondisi mereka menjadi kronik

sebagaimana dijelaskan pada Gambar 1 berikut ini.

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

23

Gambar 1. Kategorisasi dinamika kemiskinan, CPRC dalam Sherperd 2007.

2.2. Ukuran-Ukuran Kemiskinan

Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) membuat

perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan,

perkotaan dan propinsi di Indonesia) yang berpatokan pada pengeluaran

rumah tangga menurut data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional).

Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang

terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap sebagai

“dasar” dan diperlukan dalam jangka waktu agar dapat hidup secara layak.

Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di

bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan (poverty

line). Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan

sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan (i) biaya

untuk memperoleh sekeranjang “bundle” makanan dengan kandungan 2.100

kalori per kapita per hari, dan (ii) biaya untuk memperoleh “sekeranjang” bahan

bukan makanan yang dianggap dasar seperti pakaian, perumahan, kesehatan,

transportasi, dan pendidikan (BPS 2008).

Garis kemiskinan yang banyak dirujuk untuk menentukan jumlah penduduk

miskin dan tidak miskin diajukan oleh Sajogyo (1977). Pada awalnya garis

kemiskinan adalah setara dengan harga beras 240 kg beras per orang per tahun

untuk perdesaan dan 360 kg per orang per tahun untuk perkotaan. Perkembangan

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

24

selanjutnya ketentuan garis kemiskinan pun berubah menjadi lebih rinci yaitu di

bawah 240; 240-320; 320-480; dan lebih dari 480 kg ekuivalen beras. Klasifikasi

ini biasa digunakan untuk mengelompokkan penduduk lebih secara rinci.

Kelompok paling bawah disebut sangat miskin, selanjutnya miskin, hampir

berkecukupan, dan berkecukupan.

Secara umum perkembangan garis kemiskinan di Indonesia berdasarkan

wilayah dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Garis Kemiskinan Menurut Daerah dan Komponennya 2007-2008

(Rp/Kapita/Bulan) Daerah/Tahun Makanan

(GKM)

Bukan Makanan

(GKNM)

Jumlah

(GK)

Perkotaan

Maret 2007

Maret 2008

Perdesaan

Maret 2007

Maret 2008

Kota + Desa

Maret 2007

Maret 2008

132.259

143.897

116.265

127.207

123.993

135.270

55.683

60.999

30.572

34.624

42.704

47.366

187.942

204.896

146.837

161.831

166.697

182.636

Sumber : Badan Pusat Statistik, Jakarta Indonesia 2008.

Beberapa ukuran atau indeks kemiskinan yang sering digunakan dalam

berbagai studi empiris seperti yang dilakukan oleh Blackwood and Lynch (1994)

dalam Nanga (2006) dan Harniati (2007) adalah sebagai berikut:

1. Poverty Headcount yang mengukur jumlah atau persentase penduduk yang

berada di bawah garis kemiskinan. Bentuk formula poverty headcount dapat

ditulis sebagai berikut :

…………………………………………………………… (1)

dimana H adalah poverty headcount, q adalah jumlah penduduk atau

persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan n

adalah jumlah penduduk. Dengan demikian, poverty headcount tidak lain

adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan

(poverty line) terhadap jumlah penduduk.

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

25

2. Poverty Gap atau biasa disebut sebagai income shortfall, digunakan untuk

menghitung jumlah pendapatan yang dibutuhkan untuk mengangkat

penduduk miskin ke atas garis kemiskinan atau keluar dari kemiskinan.

Bentuk formula dari poverty gap, dapat dinyatakan sebagai berikut :

I = z – μ …………………………………………………………… (2)

dimana I adalah kekurangan pendapatan rata-rata (average income shortfall)

yang mengukur jumlah uang yang diperlukan untuk meningkatkan

pendapatan dari rata-rata penduduk miskin ke atas garis kemiskinan, μ adalah

pendapatan rata-rata dari penduduk miskin, dan z adalah garis kemiskinan.

3. Distribusi pendapatan diantara penduduk miskin. Ukuran ini berhubungan

dengan pembagian atau distribusi pendapatan diantara penduduk secara

keseluruhan, sebab ukuran kemiskinan absolut (absolute poverty measures)

perdefinisi bergantung secara ekslusif pada pendapatan dari penduduk miskin.

Untuk mengukur distribusi pendapatan salah satu ukuran populer yang

sering digunakan dalam penelitian empiris adalah koefisien gini (Gini

Coefficient) dan kurva Lorenz (Lorenz Curve). Formula koefisien atau rasio gini

(Tambunan 2003) adalah sebagai berikut :

………………………… (3)

Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 :

kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari

pendapatan) dan bila 1: ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian

pendapatan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara

menikmati sebagian besar pendapatan negara tersebut. Ide dasar dari perhitungan

koefisien gini berasal dari kurva Lorenz. Koefisien gini adalah rasio: (a) daerah di

dalam grafik tersebut yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan

sempurna (yang membentuk sudut 45 derajat dan titik 0 dari sumbu y dan x)

terhadap (b) daerah segi tiga antara garis kemerataan tersebut dan sumbu y dan x.

Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati satu atau semakin menjauh dari

kurva Lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan

distribusi pendapatan, seperti dalam Gambar 2 berikut.

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

26

Gambar 2. Kurva Lorenz

Ukuran lain yang biasa digunakan untuk mengukur kemiskinan adalah

indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan. Indeks keparahan dan

kedalaman kemiskinan dapat diukur dengan menggunakan formulasi Foster,

Greer, dan Thorbecke yang biasa disebut sebagai FGT index (BPS 2008; dan

Todaro et al. 2009). Formula FGT terdiri dari insiden kemiskinan, indeks

kedalaman, dan indeks keparahan, dengan formulasi sebagai berikut :

...……………………………………………… (4)

dimana :

Pα = Indeks FGT

Yi = Pendapatan dari penduduk miskin ke i, dimana i = (1,2,…..H)

Yp = Garis Kemiskinan

N = Total Jumlah Penduduk

H = Jumlah penduduk miskin

α = 0,1,2 merupakan parameter yang menyatakan ukuran kedalaman dan

keparahan kemiskinan. Semakin besar α, semakin besar bobot insiden

kemiskinan. Jika α = 0 disebut sebagai Headcount ratio, H/N yang

mengindikasikan proporsi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis

kemiskinan, maka P0 = H/N. Dengan demikian, bila 30 persen penduduk dari total

penduduk diklasifikasikan miskin, maka P0 = 0,3. Jika α = 1, disebut sebagai

ketimpangan kemiskinan atau rata-rata kedalaman kemiskinan yang dinyatakan

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

27

sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan. Ketika α = 1 maka P1 = (1/N)Σ(z-

Yi/z)1 sehingga ketika P1 = 0,3 berarti kesenjangan antara total penduduk (miskin

dan tidak miskin) adalah 30 persen. P1/P0 = 1/H Σ(z-Yi/z) adalah rata-rata

kedalaman kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan. Jika α = 2, adalah

jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan

sebagai proporsi dari garis kemiskinan tersebut.

2.3. Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan

Salah satu ukuran kesejahteraan yang sering digunakan untuk mengukur

tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara (measure of economic welfare)

adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB). Pada waktu PDB naik, diasumsikan bahwa rakyat secara materi makin

bertambah baik posisinya. Ukuran yang digunakan adalah PDB atau PDRB per

kapita (Dornbusch et al. 1987 dan Mankiw 2007). Pada bagian lain Mankiw

menyebutkan output barang dan jasa suatu perekonomian (GDP) bergantung pada

(1) jumlah input, yang disebut faktor-faktor produksi, dan (2) kemampuan untuk

mengubah input menjadi output. GDP yang ditentukan dari kedua faktor tersebut

disebutkannya sebagai sisi penawaran dari pendapatan nasional (GDP).

Selanjutnya output atau GDP dari sisi penggunaannya terdiri dari konsumsi (C),

Investasi (I), Pembelian Pemerintah (G) dan Ekspor-Netto (NX). GDP dari sisi

penggunaannya disebut sebagai sisi permintaan dari pendapatan nasional.

Bank Dunia (2006) menjelaskan bahwa ada tiga cara untuk membantu

mengangkat diri dari kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi, layanan

masyarakat, dan pengeluaran pemerintah. Masing-masing cara tersebut menangani

minimal satu dari tiga ciri utama kemiskinan di Indonesia, yaitu: kerentanan, sifat

multi-dimensi, dan keragaman antar daerah. Selanjutnya dijelaskan bahwa strategi

pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga komponen,

yaitu sebagai berikut :

1) Membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi rakyat miksin. Pertumbuhan

ekonomi telah dan akan menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan.

Pertama, langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin

merupakan kunci bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

28

proses pertumbuhan-baik dalam konteks perdesaan-perkotaan ataupun dalam

berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan pulau. Kedua, dalam

menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya

konsentrasi distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi

kemiskinan serta kerentanan kemiskinan. Dari era 1970-an sampai dengan

akhir tahun 1990-an, pertumbuhan ekonomi berjalan dengan pesat dan telah

menjangkau masyarakat miskin: setiap poin persentase kenaikan pengeluaran

rata-rata menghasilkan penurunan 0,3 persen angka kemiskinan. Strategi untuk

membantu masyarakat miskin memetik manfaat dari pertumbuhan ekonomi

terdiri dari beberapa unsur. Pertama, penting untuk memelihara stabilitas

makroekonomi; kuncinya adalah inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil

dan kompetitif. Negara-negara yang mengalami guncangan (shock)

makroekonomi memiliki pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan

yang lebih lamban dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki

pengelolaan makroekonomi yang lebih baik (Bank Dunia 2005). Kedua,

masyarakat miskin perlu dihubungkan dengan peluang-peluang pertumbuhan.

Akses yang lebih baik terhadap jalan, telekomunikasi, kredit dan pekerjaan di

sektor formal dapat dikaitkan dengan tingkat kemiskinan yang lebih rendah.

Ketiga, yang penting adalah melakukan investasi untuk meningkatkan

kemampuan (kapabilitas) masyarakat miskin, yakni menyiapkan mereka agar

bisa dengan baik menarik manfaat dari berbagai kesempatan bagi pertumbuhan

pendapatan yang muncul di depan mereka. Baik di daerah perdesaan maupun

di perkotaan, tingkat pendidikan yang lebih tinggi bagi kepala rumah tangga

terkait dengan tingkat konsumsi yang lebih tinggi. Investasi dalam pendidikan

untuk masyarakat miskin akan memacu masyarakat miskin untuk berpartisipasi

dalam pertumbuhan.

2) Membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin. Penyediaan layanan

sosial bagi rakyat miskin baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swasta-

adalah mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu

merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

29

Indonesia. Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya angka

kematian ibu yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan

yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan

yang berkaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan

perbaikan sistem pertanggung jawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan

bahkan proses kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah

kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang

pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator

pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat

layanan masyarakat bermanfaat bagi masyarakat miskin merupakan kunci

dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.

Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan

sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka

dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-

pendapatan). Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk

membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan

melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan

kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua,

pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-

indikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari

aspek non-pendapatan.

Pertumbuhan ekonomi meningkatkan pendapatan rata-rata, yang

selanjutnya memiliki dampak menurunkan kemiskinan. Jika pertumbuhan

ekonomi juga meningkatkan ketimpangan (inequality), yang kemudian

meningkatkan kemiskinan (trade off antara pertumbuhan dan kesenjangan

ekonomi). Beberapa negara pada tahun 1970-an dan 1980-an dengan pertumbuhan

ekonomi yang tinggi, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara

laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi

pendapatan. Semakin tinggi PDB atau semakin besar pendapatan per kapita

semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya (Tambunan 2003).

Sebagai suatu perbandingan, hasil studi dari ADB di tahun 1980-an terhadap

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

30

sepuluh negara di Asia, termasuk India, China, Malaysia, Bangladesh, Korea, Sri

Lanka dan Filipina, memperlihatkan bahwa kesejahteraan dari kelompok

masyarakat termiskin membaik hanya di negara-negara yang laju pertumbuhan

ekonominya sangat besar. Hasil studi ini menunjukkan bahwa memang ada

spread effect dan trickle down effect di negara-negara tersebut. Akan tetapi, hasil

analisis dengan pendekatan lintas negara (cross-section) tidak menunjukkan

adanya suatu relasi yang kuat antara tingkat pendapatan dan tingkat kemerataan

dalam distribusi pendapatan (Dowling dan Soo 1983; Bhanoji 1980 dalam

Tambunan 2003).

Permasalahan yang timbul adalah kemacetan mekanisme trickle down

effects, dimana mekanisme tersebut sebenarnya sangat diyakini akan terbentuk

sejalan dengan meningkatnya akumulasi kapital dan perkembangan institusi

ekonomi yang mampu menyebarkan kesejahteraan yang merata. Dengan kata lain,

di satu sisi penerapan pendekatan ini berhasil membangun akumulasi kapital yang

cukup besar, namun di sisi lain juga telah menciptakan proses kesenjangan secara

simultan, baik kesenjangan desa oleh kota, maupun kesenjangan antar kelompok

di masyarakat (Wiranto 2007).

Kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat pada dasarnya

diakibatkan oleh faktor (1) sosial ekonomi rumah-tangga atau masyarakat, (2)

struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah-

tangga atau masyarakat, (3) potensi regional (sumberdaya alam, lingkungan, dan

infrastruktur) yang memengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan

(4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran

pada skala lokal, regional dan global.

Literatur mengenai evolusi atau perubahan kesenjangan pendapatan pada

awalnya didominasi oleh apa yang disebut dengan hipotesis Kuznets. Simon

Kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi

pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya distribusi

pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva

Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam

distribusi pendapatan-seperti yang diukur dengan koefisien Gini, tampak seperti

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

31

Ko

efis

ien

Gin

i

Pendapatan Nasional bruto per kapita

kurva berbentuk U-terbalik, seiring dengan naiknya GNI per kapita, untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut (Tambunan 2003 dan Todaro 2009).

0,75

0,50

0,35

0,25

0

Gambar 3. Kurva Kuznets “U-Terbalik”

Dari periode 1970-an hingga sekarang sudah banyak studi empiris yang

menguji hipotesis Kuznets tersebut dengan menggunakan data agregat dari

sejumlah negara, diantaranya Kravis (1970, 1973), Watkins (1995), Adelman dan

Morris (1973), Chenery et al. (1974), Chen dan Ravillon (1997) dan Deininger

dan Squire (1995a, b, 1996) dalam Tambunan (2003). Beberapa catatan penting

dari penemuan studi-studi tersebut diantaranya sebagai berikut. Pertama, sebagian

besar studi-studi mendukung hipotesis Kuznets, sedangkan sebagian lainnya

menolak atau tidak menemukan adanya korelasi seperti gambar 1 di atas. Kedua,

walaupun secara umum hipotesis itu diterima, namun sebagian besar dari studi-

studi tersebut menunjukkan bahwa relasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan

pemerataan dalam distribusi pendapatan nasional pada periode jangka panjang

terbukti hanya untuk kelompok negara-negara maju (negara-negara dengan

tingkat pendapatan yang tinggi). Ketiga, bagian kesenjangan dari kurva Kuznets

(bagian kiri dari gambar 1) cenderung lebih tidak stabil dibandingkan porsi

kesenjangan menurun dari kurva tersebut (bagian kanan). Kesenjangan cenderung

menurun untuk negara-negara pada tingkat pendapatan menengah hingga tinggi.

Jadi, seperti telah dijelaskan sebelumnya, sejak bagian kesenjangan dari kurva

tersebut terdiri dari negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah, maka

relasi itu lebih tidak stabil untuk negara-negara tersebut.

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

32

Sama halnya dengan kesenjangan antar kelompok atau antar golongan,

kesenjangan antar wilayah juga terjadi dalam negara-negara berkembang.

Berdasar pada hal tersebut beberapa ahli ekonomi mencoba mengembangkan

suatu pemikiran tentang pembangunan ekonomi wilayah sebagai reaksi atas

kurang berhasilnya pemerataan kesejahteraan antar wilayah. Pemikiran tentang

pertumbuhan ekonomi wilayah ini dimulai sejak tahun 50-an pada saat perhatian

terhadap pembangunan daerah meningkat. Pemikiran tentang pertumbuhan

ekonomi wilayah bertujuan untuk membahas secara rinci faktor-faktor yang

menentukan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Perhatian terhadap hal ini

timbul karena dalam kenyataannya laju pertumbuhan ekonomi wilayah sangat

bervariasi, ada yang pertumbuhannya sangat tinggi dan ada pula yang sangat

rendah. Di samping itu, juga tujuan lainnya adalah untuk membahas hubungan

antara pertumbuhan ekonomi wilayah dengan ketimpangan pembangunan antara

wilayah (Syafrizal 2008).

Konsep pembangunan wilayah yang dianut selama ini mengacu pada

konsep-konsep pembangunan klasik yang mengedepankan pertumbuhan

ekonomi daripada pemerataan. Simon Kuznet (1966) dengan teorinya yang

dikenal yaitu “The first fundamental theorem of welfare economic”

menyatakan bahwa negara yang baru berkembang atau pendapatannya rendah,

dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonominya harus mengorbankan dulu

tujuan pemerataan pembangunan (trade off antara pertumbuhan dan pemerataan).

Hal ini telah memberi legitimasi dominasi peranan pemerintah untuk

memusatkan pengalokasian sumber-sumber daya pada sektor-sektor atau

wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pada

pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya “net transfer”

sumberdaya daerah ke pusat kekuasaan secara besar-besaran melalui ekspor ke

negara-negara maju. Implikasi dari penekanan pertumbuhan ekonomi adalah

terjadinya polarisasi spasial (geografi) alokasi sumberdaya (capital investment)

antar wilayah melalui aglomerasi industri di tempat-tempat yang kompetitif

(perkotaan). Sehingga program dalam bentuk bantuan pembangunan daerah tidak

mampu untuk mengurangi ketimpangan yang terjadi.

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

33

Lewis dalam Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi dan modernisasi pembangunan dibutuhkan adanya

“transfer surplus” dari sektor/kawasan pertanian (perdesaan) ke sektor industri di

perkotaan. Transfer surplus dapat terjadi melalui pengambilan dan penarikan

sumber daya manusia (tenaga kerja), modal dan sumberdaya lainnya oleh

perkotaan atas nama kepentingan pembangunan. Dalam alam pikir seperti itu,

upaya-upaya mengakselerasi (mempercepat pertumbuhan industri dan transmisi

menuju masyarakat urban menjadi agenda pembangunan yang dianggap sangat

penting).

Namun, pada kenyataannya transfer surplus tersebut menyebabkan

“backwash effect” yang masif, eksploitasi terhadap perdesaan semakin

meningkat menyebabkan hilangnya inovasi dan berakibat pada meningkatnya

kemiskinan di perdesaan. Di samping itu, mendorong terjadinya urbanisasi yang

besar-besaran dan berdampak pada meningkatnya pengangguran dan kemiskinan

di perkotaan.

Para penganut teori klasik berkeyakinan bahwa mekanisme pasar,

dalam jangka panjang dapat menciptakan struktur perkembangan wilayah yang

seimbang. Sedangkan Myrdal (1957) dalam Rustiadi et al. (2009), berpendapat

lain, bahwa dengan adanya faktor sebab-akibat kumulatif (circular cumulative

causation) dalam proses pembangunan dalam jangka panjang justru ketimpangan-

ketimpangan ekonomi wilayah tersebut akan semakin melebar. Ada dua kekuatan

penting yang dikemukakan Myrdal yaitu (i) wilayah-wilayah yang sudah maju

menciptakan keadaan yang menghambat perkembangan wilayah-wilayah yang

masih terkebelakang (back wash effects) dan (ii) wilayah-wilayah yang telah maju

menciptakan keadaan yang mendorong perkembangan wilayah-wilayah yang

masih terkebelakang (spread effects). Selanjutnya Myrdal menyebutkan beberapa

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya backwash effects (Rustiadi et al.

2009) yaitu :

1. Corak perpindahan penduduk dari wilayah yang masih terkebelakang ke

wilayah maju. Sejumlah tenaga kerja yang berpendidikan / berkualitas lebih

dinamis dan selalu mencari alternatif yang lebih baik. Adanya

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

34

perkembangan ekonomi di wilayah-wilayah yang lebih maju merupakan daya

tarik bagi perpindahan tenaga kerja berkualitas tersebut. Sedangkan di wilayah-

wilayah yang terkebelakang tinggal orang-orang yang pada umumnya lebih

konservatif. Keadaan demikian sangat tidak menguntungkan bagi

perkembangan wilayah yang masih terkebelakang karena setiap saat

kehilangan putra-putri daerahnya yang bermutu (brain drain).

2. Arus investasi yang tidak seimbang. Karena struktur masyarakatnya yang lebih

konservatif maka permintaan modal di wilayah terkebelakang sangat minimal.

Di samping itu, produktivitas yang rendah tidak menarik investor dari luar.

Bahkan modal yang ada di dalam justru mengalir secara terus menerus ke luar

wilayah (wilayah yang lebih maju) karena lebih terjamin untuk menghasilkan

pendapatan yang lebih tinggi.

3. Pola dan aktivitas perdagangan yang didominasi oleh industri-industri di

wilayah yang lebih maju. Sehingga wilayah terkebelakang sangat sukar

mengembangkan pasar bagi hasil-hasil industrinya.

Braun (2007) mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya

ketimpangan adalah adanya berbagai tatanan sosial yang bersifat dualistis.

Tatanan sosial yang lebih tradisional dengan yang lebih modern seringkali ditemui

secara bersamaan pada suatu wilayah. Tatanan sosial modern merupakan produk

interaksi sosial dengan tatanan luar yang di adopsi, sedangkan tatanan sosial

tradisional merupakan corak khas milik pribumi. Hal ini menyebabkan timbulnya

dualisme dalam berbagai aspek seperti dualisme teknologi dan dualisme finansial.

Berbagai jenis dualisme tersebut ternyata berkaitan erat dengan aspek

kewilayahan. Sektor modern pada umumnya berada di daerah perkotaan

sedangkan sektor tradisional berada pada daerah perdesaan. Ketimpangan

produktivitas antara kota dan desa menyebabkan ketimpangan penanaman modal

dan pembangunan di kedua sub wilayah tersebut. Dengan demikian, akibatnya

adalah terjadi jurang ketimpangan yang bertambah lebar antara

perkembangan wilayah kota yang cukup pesat, sementara perkembangan

perdesaan sangat lambat. Kenyataan inilah yang dikenal dengan dualisme

regional (Mbawu dan Thorbecke 2001; dan Rustiadi et al. 2009).

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

35

Berdasar pada asumsi ini pelaku pembangunan terutama di negara-negara

berkembang pada awal pembangunannya mengedepankan

pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya tanpa memerhatikan aspek

pemerataan. Hal ini menjadi jebakan dan pada akhirnya disadari bahwa

pertumbuhan yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan masyarakat karena

menimbulkan bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang tidak

berkesinambungan, akan tetapi dapat menimbulkan gejolak sosial dan depresi

lingkungan yang pada akhirnya meruntuhkan atau merobohkan pertumbuhan

ekonomi itu sendiri.

Pola Marx (dalam Hayami 2001) tentang pertumbuhan ekonomi yang

muncul pada fase awal industrialisasi, menyebabkan perekonomian negara

berkembang mengalami ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Dari sudut

pandang pertumbuhan ekonomi, meningkatnya ketimpangan pendapatan dapat

menyebabkan pada gangguan sosial (social shock) dan menghancurkan dasar-

dasar sosial politik aktivitas ekonomi. Marx memprediksi bahwa terjadi semakin

meningkatnya ketimpangan dalam proses pembangunan kapitalis. Sejalan dengan

menurunnya tingkat kepentingan lahan melalui perkembangan lebih lanjut dalam

industrialisasi sejak era Ricardo, dimana pendapatan nasional diklasifikasikan ke

dalam tiga kategori, yaitu upah sebagai pengganti untuk tenaga kerja, keuntungan

sebagai pengganti untuk modal, dan nilai sewa untuk pengganti lahan bagi tuan

tanah. Marx menganalisis bagaimana pendapatan nasional terbagi diantara dua

kategori yaitu upah dan keuntungan. Hal ini memprediksi bahwa pendapatan

nasional akan mengalir lebih besar untuk keuntungan perusahaan dibanding untuk

upah. Hal ini menyebabkan konsentrasi pendapatan pada para pemilik modal dan

menyebabkan kemiskinan di pihak buruh atau penduduk yang tidak memiliki

lahan atau keterampilan sebagaimana yang dibutuhkan pada sektor industri.

2.4. Kerentanan dan Determinan Kemiskinan

Kerentanan dan kemiskinan “poverty and vurnerability”, diakui semakin

mendapat perhatian sebagai sebuah aspek penting dalam menelaah fenomena

kemiskinan (World Bank, 2000). Kerentanan bukan hanya diarahkan pada kondisi

rumah tangga sekarang berkenaan dengan garis kemiskinan tertentu, tetapi lebih

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

36

daripada risiko atau peluang rumah tangga menjadi miskin dalam beberapa

periode yang akan datang (Mcculloch et al. 2001).

Kerentanan terhadap kemiskinan di definisikan sebagai kerentanan terhadap

garis kemiskinan (Vurnerability to Poverty Line) yaitu risiko atau probabilitas

rumah tangga jatuh ke dalam garis kemiskinan. Peluang atau risiko rumah tangga

menjadi miskin bukan hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal, akan tetapi juga

dipengaruhi oleh faktor rumah tangga dan individu serta aspek kewilayahan.

Kerentanan menurut Chambers dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga

miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti

datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa

keluarga miskin itu (Chambers, 1983). Kerentanan dapat juga diartikan sebagai

suatu kondisi dimana rumah tangga miskin tidak memiliki kesiapan baik mental

maupun material dalam menghadapi situasi sulit yang dialaminya.

Kerentanan mengacu pada kecenderungan orang jatuh atau tinggal, di

bawah pra-kebutuhan dasar hidup minimal yang telah ditentukan (Dasgupta,

1997; Pritchett et al. 2000; Halder dan Husain, 1999; Hashemi, 1997; Rahman,

1995). Pada dasarnya kemiskinan dan kerentanan bagai dua sisi mata uang tidak

bisa dibedakan. Pengamatan status dari rumah tangga miskin (biasa didefinisikan

hanya dengan apakah atau tidak tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga

berada di atas atau di bawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan) merupakan

realisasi ex-post dari suatu keadaan probabilitas ex-ante yang dapat diambil untuk

menetapkan tingkat kerentanan rumah tangga. Jadi, memprediksi probabilitas dari

kemiskinan bagi rumah tangga dengan berbagai set karakteristik memperkirakan

kerentanan rumah tangga (Chaudhuri et al. 2001).

Dalam penelitian ini, kerentanan kemiskinan didekati berdasarkan berbagai

karakteristik dari rumah tangga, individu, dan kewilayahan. Dalam konteks ini,

kerentanan dilihat dari seberapa besar kesiapan atau daya tahan suatu rumah

tangga atau individu dalam menghadapi fenomena dan permasalahan yang terkait

dengan kemiskinan. Pengukuran kerentanan kemiskinan diestimasi dengan

menggunakan teknik ekonometrika dengan persamaan logit. Teknik ini dipilih

karena lebih memberikan keleluasaan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

37

memengaruhi risiko terhadap kemiskinan dan memungkinkan untuk menganalisis

magnitud tingkat kerentanan dengan menggunakan data primer.

Di samping itu, permasalahan besar yang dihadapi di dalam pengentasan

kemiskinan yaitu masih besarnya risiko-risiko sosial ekonomi dan rendahnya

kemampuan yang dimiliki oleh penduduk miskin untuk mengatasi atau

memulihkan diri akibat adanya eksternalitas berupa guncangan (shock) ekonomi

dan juga akibat kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial. Selanjutnya,

kerentanan berdasarkan karakteristik rumah tangga dan individu tersebut di atas,

dalam penelitian ini juga diarahkan untuk menganalisis determinan kemiskinan

atau faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan seperti pertumbuhan ekonomi,

krisis ekonomi, inflasi, dan kontribusi sektor terhadap PDRB.

Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997/1998, bukan

hanya berdampak pada dimensi ekonomi akan tetapi juga pada dimensi sosial dan

politik. Krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada kemiskinan,

dimana terjadi lonjakan jumlah penduduk miskin dari 34,01 juta jiwa pada tahun

1996 menjadi 49,5 juta jiwa pada tahun 1998 atau secara proporsional meningkat

dari 17,47 persen pada tahun 1996 menjadi 24,23 persen pada tahun 1998 (BPS

2008). Gambaran tentang dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 mengakibatkan

peningkatan kemiskinan lebih dari sepertiga kali dapat dilihat pada Gambar 4

berikut (World Bank 2006).

Dari gambar tersebut, dapat dibuktikan bahwa krisis ekonomi memiliki

dampak yang sangat besar terhadap kemiskinan. Bahkan, pada tahun 1997-1998

ada kecenderungan terjadinya stagflasi, dimana laju pertumbuhan ekonomi

menurun dari 7,82 persen pada tahun 1996 menjadi 4,7 persen pada tahun 1997

dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 yaitu (-13,13 persen). Pada tahun yang

sama, laju inflasi negara kita mencapai angka yang cukup fantastis selama Orde

Baru, yaitu 77,63 persen. Padahal tahun 1997 hanya 11,05 persen dan tahun-tahun

sebelumnya dibawah satu digit (Djunedi 2006).

Page 23: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

38

Gambar 4. Gambaran kemiskinan di Indonesia sebelum dan sesudah krisis

ekonomi pada tahun 1997.

Namun demikian, diakui bahwa krisis multidimensi tahun 1997 memiliki

dampak terhadap perekonomian, akan tetapi di sisi lain dampaknya berbeda pada

daerah-daerah yang memiliki komoditi ekspor non-migas. Rustiadi (2007),

menyebutkan bahwa dampak krisis multidimensi tahun 1997 memiliki dampak

yang berbeda pada kawasan perdesaan dan perkotaan. Pertama, dampak krisis di

daerah perkotaan ternyata lebih parah dibandingkan dengan daerah perdesaan.

Kedua, dampak krisis ini sangat heterogen, dimana terdapat beberapa daerah yang

mengalami kesulitan parah sementara daerah-daerah lain relatif baik keadaannya.

Namun demikian, di Pulau Jawa baik daerah perdesaan maupun perkotaan sama-

sama mengalami dampak yang lebih serius. Beberapa daerah di Pulau-pulau lain,

khususnya sebagian besar Sumatera, Sulawesi, dan Maluku mengalami dampak

krisis yang tidak terlalu besar, bahkan beberapa daerah yang memiliki komoditi

ekspor seperti coklat, kopi, karet, dan udang merasa lebih beruntung dengan

terjadinya krisis. Ketiga, terdapat kaitan yang kecil antara tingkat kemiskinan

awal dengan derajat besarnya dampak krisis, dimana terdapat beberapa daerah

yang relatif miskin yang ternyata tidak begitu terkena krisis, sementara terdapat

beberapa daerah lain yang lebih makmur ternyata mengalami dampak krisis yang

besar. Artinya, guncangan krisis ekonomi pada tahun 1997 diakui dampaknya

sangat besar akan tetapi tidak berlaku secara umum untuk beberapa wilayah.

Page 24: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

39

Guncangan selanjutnya yang memengaruhi kemiskinan, yaitu adanya

kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Berdasarkan Peraturan Presiden

Nomor 55 Tahun 2005, harga premium naik menjadi Rp 4.500,- per liter yang

sebelumnya hanya Rp 2.400,- (naik 87,5 persen), harga solar menjadi Rp 4.300,-

per liter yang semula Rp 2.100,- (naik 104,76 persen) dan harga minyak tanah

menjadi Rp 2.000,- per liter yang semula Rp 700,- (naik 185,7 persen). Kenaikan

harga yang berlaku sejak 1 Oktober 2005 ini berdampak pada meningkatnya

harga bahan kebutuhan dasar atau lonjakan inflasi yang sangat tinggi yaitu sebesar

17 persen. Peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi menyebabkan garis

kemiskinan pada tahun 2006 naik secara signifikan sehingga meningkatkan

jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (RPJM 2004-2009 dan

Djunedi 2006).

Sirait (2003) menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM membuat

masyarakat semakin terpuruk kondisi ekonominya, ditengah-tengah kenaikan

komoditas-komoditas kebutuhan hidup lain. Kenaikan BBM ini akan berdampak

langsung terhadap semakin tingginya biaya hidup yang ditanggung oleh

masyarakat lapisan rentan miskin, miskin, dan sangat miskin. Dampak yang

ditimbulkan akan sangat berpengaruh signifikan terhadap perubahan pola

kehidupan dan pola pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, ini

dikarenakan kenaikan tersebut tidak diikuti dengan kenaikan tingkat kesejahteraan

atau pendapatan. Perubahan pola perilaku kehidupan atau pemenuhan kebutuhan

dasar tersebut dapat berupa perilaku mengurangi kuantitas yang dikonsumsi dan

pengalihan alokasi konsumsi. Intinya, bahwa kenaikan BBM berdampak langsung

pada penurunan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan (kualitas

pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, dan kesehatan) dan perubahan ini akan

merubah potret kemiskinan di Indonesia.

Peningkatan harga bahan kebutuhan dasar ini berdampak besar kepada

menurunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat berakibat

pada menurunnya permintaan terhadap barang dan jasa yang pada akhirnya

menurunkan pertumbuhan ekonomi (Mankiw 2007). Di samping itu, dampak dari

peningkatan inflasi lainnya adalah pertambahan jumlah penduduk miskin.

Page 25: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

40

Menurut Sadli (2005) bahwa peningkatan inflasi 1 persen berdampak pada

peningkatan 0,1 persen penduduk miskin.

Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh penduduk miskin, adalah

rendahnya akses ke lembaga permodalan (bank). Sebagian besar penduduk miskin

bekerja pada sektor informal dengan usaha skala kecil dan mikro. Dalam

mengembangkan usahanya memerlukan pembiayaan yang besar, namun di sisi

lain mereka tidak memiliki akses ke lembaga permodalan karena terkendala

dengan persyaratan administrasi berupa agunan. Di samping itu, permodalan yang

bisa diakses melalui perbankan mengisyaratkan suku bunga yang tinggi. Oleh

karena itu, perlu dilakukan kebijakan mikro yang dapat meningkatkan pendapatan

melalui pembangunan modal fisik, manusia dan finansial. Muhammad Yunus

(2007) peraih hadiah nobel perdamaian tahun 2006, meyakini bahwa penyediaan

modal mikro bagi si miskin merupakan hak-hak asasi.

Wibisono (2008) menjelaskan salah satu jalan keluar untuk mengentaskan

kemiskinan adalah dengan kebijakan mikro melalui penyediaan modal finansial.

Efektivitas kebijakan kredit mikro dalam mengentaskan kemiskinan memerlukan

banyak kualifikasi. Pertama, adanya program peningkatan aset fisik dan modal

manusia secara simultan. Ini dikarenakan modal finansial saja tidak mencukupi

untuk membuat si miskin meningkatkan pendapatannya. Modal finansial

membutuhkan faktor produksi lain seperti modal fisik dan modal manusia agar

dapat menjadi produktif secara optimal. Karena itu, program technical assistance

dan reformasi aset finansial seharusnya berjalan beriringan dengan program kredit

mikro.

Kedua, adanya lingkungan makro yang kondusif seperti kebijakan moneter

dan perbankan yang berpihak atau setidaknya netral terhadap sektor riil, kebijakan

fiskal dan redistribusi yang berkeadilan, kebijakan perdagangan dan investasi

yang tidak memarginalkan kelompok miskin. Kebijakan mikro seperti mikro

kredit, bisa terhapus seketika oleh kebijakan makro yang tidak bersahabat, seperti

suku bunga yang tinggi dan pajak retribusi yang tinggi. Secara umum kredit mikro

di perbankan sangat mahal dengan suku bunga antara 15-20 persen per tahun.

Page 26: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

41

Dalam tingkat suku bunga yang tinggi menyebabkan usaha mikro yang digeluti

oleh kaum miskin tidak mampu bersaing dengan usaha yang berskala besar.

Usaha mikro umumnya memiliki risiko usaha yang tinggi (risk premium).

Dalam sistem bunga, tingginya risiko usaha dikompensasi oleh suku bunga yang

lebih tinggi untuk mengantisipasi kegagalan pembayaran modal dan bunganya

(Wibisono 2008 dan Mankiw 2007). Hal ini mencipatakan lingkaran yang tidak

berujung, risiko tinggi membawa pada harga kredit yang tinggi, tetapi suku bunga

yang tinggi membawa pada peluang kegagalan mengembalikan kredit yang tinggi

pula. Dalam kondisi demikian, kreditor kredit mikro selalu ditempatkan pada

posisi yang lemah dan rentan sehingga melemahkan motivasi si miskin untuk

menjadi wirausahawan dan memperkecil peluang usahanya berhasil. Bahkan biasa

berakhir dengan jatuhnya ke dalam rimba kemiskinan yang paling dalam ketika

agunan yang serba terbatas harus dijual untuk menutupi hutang-hutang dari

kreditor tersebut.

Selanjutnya, guncangan lain yang sering mempengaruhi kemiskinan adalah

melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan instrumen kebijakan yang

dilakukan oleh Pemerintah melalui dua pendekatan yaitu belanja pemerintah

(government expenditure) dan pajak (taxation). Sebagaimana di ketahui bahwa

peningkatan belanja pemerintah berpengaruh pada output perekonomian. Mankiw

(2007) mencontohkan bahwa kenaikan satu satuan belanja pemerintah dapat

meningkatkan GDP sebesar 1,93. Artinya peningkatan Rp. 100 milyar dalam

belanja pemerintah meningkatkan GDP sebesar Rp. 193 milyar. Di sisi lain

kebijakan fiskal lainnya seperti peningkatan pajak berdampak pada penurunan

output perekonomian. Kenaikan satu satuan pajak berdampak pada penurunan

GDP atau PDRB sebesar (-1,19). Artinya, kenaikan pajak sebesar Rp. 100 milyar

menurunkan GDP atau PDRB sebesar Rp. 119 milyar.

Peningkatan pajak daerah atau retribusi bukan hanya berpengaruh pada

output perekonomian, akan tetapi secara langsung juga berpengaruh pada

menurunnya daya beli masyarakat. Dana yang siap untuk dibelanjakan semakin

berkurang yang pada akhirnya memengaruhi permintaan terhadap barang dan jasa.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kebijakan fiskal yang berkeadilan dengan

Page 27: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

42

melakukan pengenaan pajak yang proporsional berdasarkan garis kemiskinan dan

kedalaman kemiskinan (Smeru 2008).

2.5. Konsep dan Karakteristik Wilayah dan Kemiskinan

Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

definisi wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif

dan/atau aspek fungsional. Isard (1975) menganggap pengertian suatu wilayah

pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batas-batas tertentu, namun suatu area

yang memiliki arti (meaningful) karena adanya masalah-masalah yang ada di

dalamnya sedemikian rupa, sehingga ahli regional memiliki interest didalam

menangani permasalahan tersebut, khususnya karena menyangkut permasalahan

sosial-ekonomi.

Sedangkan Johnston dalam Stimson et al. (2006) memandang wilayah

sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi spasial dan merekomendasikan dua tipe

wilayah: (1) wilayah formal, merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaan-

kesamaan karakteristik, dan (2) wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep

wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau

lokasi/tempat. Murty (2000) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis,

teritorial atau tempat, yang berwujud sebagai suatu negara, negara bagian,

provinsi, distrik (kabupaten), dan perdesaan. Tapi suatu wilayah pada umumnya

tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan suatu

kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi, iklim hingga geografis, sesuai

dengan tujuan pembangunan atau kajian. Dengan demikian, istilah wilayah

menekankan interaksi antara manusia dengan sumberdaya lainnya yang ada di

dalam suatu batasan unit geografis tertentu (Rustiadi et al. 2009).

Sedangkan BPS (2008) mengklasifikasikan desa dengan empat pendekatan

wilayah, yaitu hutan (di dalam dan tepi hutan), pesisir/pantai, lahan basah, lahan

kering, lahan campuran, dan berdasarkan topografi yaitu dataran rendah dan

dataran tinggi (pegunungan). Dengan demikian, dalam penelitian ini dimensi

wilayah di definisikan sebagai wilayah yang memiliki kesamaan-kesamaan

karakteristik dan fungsional, yaitu wilayah pesisir, dataran rendah, dan wilayah

Page 28: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

43

pegunungan yang dibatasi dengan batas administrasi desa dan kelurahan.

Pengelompokan ini dilakukan untuk mempermudah dalam mengidentifikasi

fenomena kemiskinan berdasarkan wilayah dan sebagai alat untuk memprediksi

fenomena kemiskinan itu sendiri.

Permasalahan kemiskinan berdasarkan wilayah pada umumnya memiliki

ciri-ciri yang sama, yaitu tingkat pendapatan yang rendah, pendidikan rendah,

keterampilan terbatas, derajat kesehatan yang rendah, asset yang terbatas, serta

akses ke pelayanan publik terbatas. Namun secara spesifik, permasalahan

kemiskinan juga memiliki karakteristik dan penciri yang berbeda antara satu

lokasi atau wilayah. Pada wilayah pesisir dimana penduduknya mayoritas nelayan,

permasalahan kemiskinan lebih dipengaruhi oleh struktur alamiah sumberdaya

ekonomi dan fluktuasi penangkapan serta relasi tidak berimbang antara pelaku

ekonomi (Kusnadi 2002).

Sedangkan Sudarso (2004) menjelaskan bahwa yang memengaruhi sulitnya

mengangkat masyarakat nelayan yang miskin sangat dipengaruhi oleh faktor

internal dan eksternal. Keterbatasan pendidikan, kurangnya kesempatan untuk

mengakses dan menguasai teknologi yang lebih modern, dan tidak dimilikinya

modal yang cukup adalah faktor-faktor internal yang menghambat. Di sisi lain,

sejumlah faktor eksternal, seperti makin terbatasnya potensi sumber daya laut

yang bisa dimanfaatkan nelayan, persaingan yang makin intensif, mekanisme

pasar, posisi tawar nelayan dihadapan tengkulak, keadaan infrastruktur pelabuhan

perikanan, dan yuridksi daerah otonomi adalah beban tambahan yang makin

memperparah keadaan.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa tekanan kemiskinan

struktural yang melanda kehidupan nelayan tradisional, sesungguhnya oleh faktor-

faktor yang kompleks (Satria 2002; dan Suyanto 2003). Faktor-faktor tersebut

tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan

sumberdaya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang

eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh

dampak negatif modernisasi perikanan atau Revolusi Biru yang mendorong

terjadinya eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan.

Page 29: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

44

Rumah tangga miskin pada wilayah dataran rendah sebagian besar bekerja

sebagai petani dengan luas lahan yang sempit. Di samping itu, rumah tangga

miskin pada daerah dataran rendah mayoritas dengan tingkat pendidikan yang

rendah, derajat kesehatan yang rendah, terbatasnya kepemilikan aset (lahan), di

dominasi oleh lahan tadah hujan, akses ke sarana dan prasarana sosial ekonomi

terbatas, walaupun ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi lebih

tersedia dibanding pada daerah pegunungan atau dataran tinggi.

Kemiskinan pada daerah pegunungan atau dataran tinggi dengan kemiringan

yang curam, kondisi lahan yang berbatuan, tidak subur, tandus, sehingga rawan

erosi atau longsor memiliki harga atau nilai yang rendah sebagai sumberdaya

kehidupan (Harniati 2007). Selanjutnya, ketersediaan infrastruktur yang sangat

terbatas diperparah oleh kurangnya alternatif mata pencaharian, sehingga

produktivitas masyarakat rendah. Kondisi demikian berpengaruh pada rendahnya

investasi yang menjamin diversifikasi mata pencaharian yang berkelanjutan. Di

samping itu, wilayah pegunungan sebagian besar terisolasi, kurangnya

infrastruktur seperti listrik, telekomunikasi dan infrastruktur transportasi, sehingga

terjebak dalam perangkap kemiskinan spasial.

Dengan demikian, maka aktivitas ekonomi pada suatu wilayah dapat

dipengaruhi oleh antara lain faktor biofisik sumberdaya alam sebagai sumberdaya

utama kehidupan masyarakat, faktor sumberdaya manusia (human and social

capital), infrastruktur fisik dan sosial. Keragaman aktivitas ekonomi pada setiap

topografi wilayah berkaitan dengan perbedaan harga atau nilai sumberdaya yang

merupakan determinan untuk meraih peluang-peluang ekonomi (economic

opportunity). Aktivitas ekonomi ini pada akhirnya yang menentukan pendapatan

dan pengeluaran setiap rumah tangga (Rustiadi et al. 2009). Gambaran mengenai

karakteristik wilayah dan kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Page 30: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

45

Tabel 4. Karakteristik Wilayah dan Kemiskinan. Karakteristik wilayah Wilayah Pesisir Wilayah Dataran

Rendah

Wilayah Pegunungan

(Dataran Tinggi)

Definisi* Desa/kelurahan

yang berbatasan

dengan garis pantai

atau laut dengan

corak kehidupan

masyarakatnya baik

tergantung maupun

tidak tergantung

pada potensi laut

Desa/Kelurahan

yang sebagian

besar wilayahnya

rata atau datar

dengan corak

masyarakatnya

tergantung pada

pertanian dan

peternakan

Desa/Kelurahan yang

sebagian besar

wilayahnya berbukit

sampai pegunungan

dengan corak

kehidupan

masyarakatnya baik

tergantung maupun

tidak tergantung pada

potensi hutan

Topografi**:

- ketinggian

- kemiringan

0 sd 30 mdpl

0 – 3 %

30 sd 500 mdpl

3 – 45 %

500 mdpl

45 %

Tingkat

Pendidikan**

4-5 tahun 5-6 tahun < 4 tahun

Kepemilikan aset**:

- Lahan (sawah &

lahan kering)

- Perahu

-

- Perahu (kecil)

- Mesin PK kecil

- Jangkauan

terbatas

< 0,5 Ha

-

< 0,5 Ha

-

Mata Pencaharian** - Nelayan, buruh

nelayan

- Kurang variatif

- Petani dan

Buruh Tani

- Relatif variatif

- Petani, buruh tani,

dan hasil hutan

- Kurang variatif

Infrastruktur***;

- Jalan

- Listrik

- Telekomunikasi

- Air bersih

- Baik

- Baik

- Baik

- Kurang baik

- Relatif Baik

- Baik

- Relatif Baik

- Relatif baik

- Kurang baik

- Terbatas

- Terbatas

- Kurang baik

Akses ke pelayanan

umum

- Relatif baik - Relatif baik - Kurang baik

Sumber: Diolah dari beberapa sumber (*PP 72/2005; BPS 2005; ***Nanga 2006; **Harniati

2007)

Selanjutnya karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin dapat

dijelaskan dari beberapa aspek seperti rata-rata jumlah anggota rumah tangga,

persentase wanita sebagai kepala rumah tangga, rata-rata usia kepala rumah

tangga, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 5

berikut (BPS 2008).

Page 31: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

46

Tabel 5. Karakteristik Sosial Demografi Rumah Tangga Miskin dan Rumah

Tangga Tidak Miskin di Indonesia Menurut Wilayah, tahun 2008.

Karakteristik Rumah Tangga/Wilayah Miskin Tidak Miskin 1. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga (jiwa):

- Perkotaan (K)

- Perdesaan (D)

- Perkotaan + Perdesaan (K+D)

4,70

4,61

4,64

3,86

3,74

3,79

2. Persentase wanita sebagai kepala rumah tangga (%):

- Perkotaan (K)

- Perdesaan (D)

- Perkotaan + Perdesaan (K+D)

14,18

12,30

12,91

14,15

13,03

13,52

3. Rata-rata usia Kepala Rumah Tangga (tahun):

- Perkotaan (K)

- Perdesaan (D)

- Perkotaan + Perdesaan (K+D)

48,57

47,86

48,09

45,47

47,33

46,51

4. Rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga (tahun) :

- Perkotaan (K)

- Perdesaan (D)

- Perkotaan + Perdesaan (K+D)

5,19

4,06

4,40

9,06

5,78

7,23

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, Jakarta (2008)

2.6. Kemiskinan Dari Perspektif Ilmu Sosial

Dari perspektif ekonomi, Blank (2003) mengidentifikasi enam

perspektif yang digunakan oleh ahli ekonomi dan pengambil kebijakan untuk

memahami kemiskinan. Perspektif tersebut, meliputi keterbelakangan ekonomi

(economic underdevelopment), modal manusia (human capital), kontradiksi di

dalam kapitalisme (contradiction in capitalism), penyebab struktural (structural

causes), karakteristik masyarakat miskin dan efek insentif dari program

kesejahteraan (characteristics of the poor and the incentive effect of welfare

programs), seperti digambarkan pada Gambar 5.

Dalam perspektif keterbelakangan ekonomi dan kurang berfungsinya pasar

secara efektif, menyebabkan kemiskinan di dunia ketiga. Dia menunjukkan bahwa

kemiskinan dapat dikurangi melalui ekspansi pasar ke daerah-daerah miskin,

termasuk ke daerah yang mengalami stagnasi ekonomi. Pengambil kebijakan

umumnya percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi tingkat

kemiskinan. Namun studi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan

tingkat kemiskinan di Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan yang

berbeda. Jung et al. (2006) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan

tingkat kemiskinan menunjukkan hubungan negatif hingga tahun 1970-an.

Page 32: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

47

Namun, mulai dari akhir tahun 1970-an hubungan antara pertumbuhan ekonomi

dan tingkat kemiskinan secara statistik menjadi tidak jelas. Jung menyimpulkan

bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan memiliki hubungan tergantung

pada waktu dan tempat.

Gambar 5. Peta konseptual dari teori-teori penyebab kemiskinan (Blank 2003).

Dalam perspektif kedua, dia mengatakan bahwa kurangnya

pengembangan modal manusia dimana individu-individu tidak dapat

berpartisipasi dan bekerja dalam dunia kerja. Dalam perspektif ketiga, dia

menyatakan bahwa pasar tidak berfungsi secara inheren dan dengan demikian

menciptakan kemiskinan. Perspektif keempat mengidentifikasi kekuatan-kekuatan

sosial dan politik yang terjadi diluar pasar, seperti sikap politik dan adanya

rasisme serta diskriminasi yang berkontribusi terhadap kemiskinan.

Perspektif kelima dikaitkan dengan karakteristik pilihan dan perilaku

individu, seperti perkawinan, ukuran keluarga, dan penyimpangan substansial.

Nilai-nilai tentang pekerjaan dan pendidikan yang mendasari perspektif ini

menunjukkan bahwa masalah kemiskinan adalah dikontrol oleh masyarakat

POLITICAL

ECONOMICS

CLASSICAL

ECONOMICS

1. MACRO:

The economy is

underdeveloped

or inefficient.

THEORY OF

POVERTY

2. MICRO:

Poor people

lack skill and

ability.

3. MACRO:

Capitalism

causes poverty.

4. MACRO:

Social and political

forces causes poverty.

5. MICRO:

Poor people

make choices.

6. MICRO:

Social welfare

program causes

poverty.

LIBERAL AND

NEO LIBERAL

ECONOMICS

Page 33: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

48

miskin itu sendiri dan karena itu dibutuhkan kebijakan dan program untuk

memengaruhi pilihan-pilihan melalui insentif dan pencegahan. Perspektif keenam

dan terakhir menunjukkan bahwa kemiskinan sebagaimana yang disebut sebagai

dependensi kesejahteraan atau perangkap kemiskinan. Blank, menyatakan bahwa

keenam perspektif kemiskinan itu merupakan perspektif teoritis ekonomi.

Dua perspektif yaitu keterbelakangan ekonomi dan kurangnya modal

manusia merupakan pendekatan umum dalam ekonomi liberal yang tokoh

utamanya adalah John Maynard Keynes, yang mempercayai bahwa pasar dapat

mendorong pembangunan ekonomi. Yang kedua adalah teori Marxian, yaitu

kapitalisme dan kekuatan sosial ekonomi dan politik penyebab kemiskinan.

Terakhir dari persepktif perilaku individu dan dependensi kesejahteraan sebagai

penyebab kemiskinan mencerminkan pandangan tradisional dari ekonomi klasik.

Para ekonom klasik menyatakan bahwa intervensi pemerintah untuk mengurangi

kemiskinan menciptakan perilaku buruk bagi masyarakat miskin dan harus

dihentikan.

Cheyne, O’Brien dan Belgrave (2000), mengemukakan bahwa ada dua teori

utama (grand theory) tentang kemiskinan, yaitu: (1) teori neo-liberal, dan (2) teori

sosial demokrat. Teori neo-liberal pada intinya mengatakan bahwa komponen

penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Menurut Sherraden

(2006) teori tersebut memfokuskan diri pada tingkah laku individu yang

merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan modal manusia

(human capital). Para pendukung teori neo-liberal berargumen bahwa, kemiskinan

merupakan persoalan individu yang disebabkan kelemahan-kelemahan individu

atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan

sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan

pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Strategi penanggulangan

kemiskinan bersifat “residual”, sementara, dan hanya melibatkan keluarga,

kelompok-kelompok swadaya atau lembaga keagamaan.

Sebaliknya, teori sosial demokrat memandang bahwa kemiskinan

bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh

adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat

Page 34: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

49

tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber

kemasyarakatan. Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas,

kaum sosial demokrat tidak memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai sesuatu

yang jahat. Kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi

yang paling efektif. Kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara

kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. Perbedaan antara kedua teori

tersebut disajikan dalam Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Deskripsi Teori Umum tentang Kemiskinan

Teori Utama Teori Neo-Liberal Teori Sosial Demokrat

Landasan teoritis Individual Struktural

Konsepsi kemiskinan Kemiskinan absolute Kemiskinan relative

Prinsip Residual

Dukungan saling

menguntungkan

Institusional

Redistribusi pendapatan

vertikal dan horizontal

Aksi kolektif

Penyebab Kemiskinan Kelemahan dan pilihan-

pilihan individu

Lemahnya pengaturan

pendapatan

Lemahnya kepribadian

(malas, pasrah, bodoh)

Ketimpangan struktural dan

politik

Ketidakadilan sosial

Strategi penaggulangan

kemiskinan Penyaluran pendapatan

terhadap orang miskin

secara selektif

Memberikan pelatihan dan

keterampilan pengelolaan

keuangan

Penyaluran pendapatan dasar

secara universal

Perubahan fundamental dalam

pola-pola pendistribusian

pendapatan melalui intervensi

negara.

Sumber : Cheyne, O’Brien dan Belgrave (2000).

2.7. Perangkap Kemiskinan (Poverty Trap).

Berbagai pandangan yang terkait dengan jebakan kemiskinan telah menjadi

pandangan umum bagi pengambil kebijakan namun sampai saat ini belum terlihat

formula mempuni yang dapat mengeluarkan penduduk miskin dari jebakan

kemiskinan tersebut. Lingkaran setan kemiskinan salah satunya sebagaimana yang

telah diungkap oleh Nurkse (1953) dalam Rustiadi et al. (2009) yang dikenal

sebagai “The Vicious Circle” secara skematik dapat dilihat pada gambar 3.

Di sektor masyarakat tradisional banyak sekali sumberdaya alam yang

belum terkelola dan dikembangkan secara optimal (1) sebagai akibat masih

terkebelakangnya masyarakat tersebut; (2) dan kurangnya modal untuk

mengelola sumberdaya tersebut; (3) Kenyataan ini menyebabkan tingkat

Page 35: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

50

produktivitas di sektor tersebut sangat rendah yang berimplikasi terhadap

tingkat pendapatan yang rendah; (4) pada kondisi tingkat pendapatan yang rendah

tersebut; (5) selain kemampuan menabung yang rendah; (6) juga tingkat

permintaannya rendah. Karena tingkat permintaan yang rendah tidak mampu

mendukung terhadap perkembangan ekonomi wilayah, sehingga tidak menarik

bagi investor untuk menanamkan modalnya atau investasi rendah; (7) Akhirnya

jumlah modal yang terbentuk; dan (8) di wilayah tersebut masih tetap di bawah

yang dibutuhkan untuk memutuskan lingkaran perangkap kemiskinan tersebut.

Gambar 6. Lingkaran Perangkap Kemiskinan (Nurkse 1953 dalam Rustiadi et al. (2009)

Berbeda dengan Daimon (2001) yang menjelaskan bahwa tidak ada daerah

yang miskin, akan tetapi yang ada hanya orang miskin, yang secara geografis

terkonsentrasi di lokasi tertentu. Masalahnya adalah keberadaan pada lingkaran

kemiskinan yang terkunci di suatu lokasi, kemiskinan tidak ditempatkan secara

acak atas ruang tetapi berpola secara sistematis. Fenomena ini yang disebut

sebagai perangkap kemiskinan spasial “spatial trap poverty”, yang menjelaskan

hubungan struktural antara ruang geografis dan akibat kemiskinan. Perangkap

kemiskinan spasial terjadi dimana situasi kemiskinan disebabkan lokasi tertentu

dimana faktor biaya mobilitas yang cukup tinggi. Perangkap kemiskinan spasial

biasanya dicirikan oleh kurangnya transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur

Kekayaan alam yang kurang

dikembangkan (1)

Masyarakat masih terkebelakang

(2)

Kurangnya Modal (3)

Tabungan Rendah (6) Produktivitas Rendah

(4)

Pendapatan Riil

Rendah (5)

Pembentukan Modal

Rendah (8)

Rangsangan Investasi

Rendah (7)

Page 36: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

51

yang menjadikan mobilitas tenaga kerja mahal. Tradisi masyarakat lokal,

hambatan budaya dan agama (misalnya sistim kasta di India) akan menambah

biaya substansial non-ekonomi. Jenis hambatan kelembagaan di negara-negara

berkembang juga membuat biaya mobilitas tenaga kerja yang tinggi.

Sedangkan Barret (2007), menjelaskan bahwa perangkap kemiskinan

disebabkan oleh beberapa kasus, seperti ketidaksempurnaan pasar (market

imperfection), pengetahuan yang tidak sempurna (imperfect learning),

keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), kegagalan koordinasi

(coordination failures), kelembagaan tidak berfungsi secara ekonomi

(economically dysfunctional institutions) pada tingkat ruang dan waktu yang

berbeda.

2.8. Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia.

Tujuan utama penanggulangan kemiskinan adalah membebaskan dan

melindungi masyarakat dari kemiskinan dalam arti luas, jadi bukan hanya

mencakup upaya mengatasi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan

dasarnya, tetapi juga sejauh mana masyarakat miskin atau kelompok miskin

mempunyai akses terhadap berbagai aspek kebutuhan dasar lainnya, seperti

kesehatan, pendidikan, dan partisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya

dan politik secara penuh.

Untuk mengatasi problema kemiskinan dirumuskan lima strategi utama,

yaitu (1) Strategi Perluasan Kesempatan. Strategi ini ditujukan untuk

menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang

memungkinkan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dapat

memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan

peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; (2) Strategi Pemberdayaan

Masyarakat. Strategi ini dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial,

politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi

masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan

keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan

pemenuhan hak-hak dasar; (3) Strategi Peningkatan Kapasitas. Dilakukan

untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha

Page 37: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

52

masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan agar dapat

memanfaatkan perkembangan lingkungan; (4) Strategi Perlindungan Sosial.

Dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan

(perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar,

kemampuan berbeda/penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru baik laki-

laki maupun perempuan yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak

negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial; dan (5) Strategi Kemitraan Global.

Dilakukan untuk mengembangkan dan menata ulang hubungan dan kerjasama

global, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke

empat strategi di atas (TKPK 2006).

Selama 30 tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah melakukan

berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, baik melalui pendekatan

sektoral, regional, kelembagaan, maupun strategi dan kebijakan khusus. Pada era

Orde Baru misalnya, pembangunan ekonomi merupakan fokus utama

pemerintah saat itu, sehingga program-program dan strategi yang

dilaksanakan tidak dinyatakan secara resmi untuk tujuan penanggulangan

kemiskinan, melainkan hanya diletakkan dalam kerangka pembangunan

nasional melalui pendekatan sektoral (Pelita).

Baru pada 1994-1998 diperkenalkan secara eksplisit program

penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan regional, yaitu IDT (Instruksi

Presiden tentang Desa Tertinggal). Dalam pelaksanaannya, IDT didampingi oleh

P3DT (Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal) yang didanai oleh

berbagai dana internasional. Pada 2001, P3DT diubah menjadi P2D

(Pengembangan Prasarana Desa).

Pada saat krisis ekonomi, pemerintah Indonesia merancang program

penanggulangan kemiskinan di bawah payung Program JPS (Jaring Pengaman

Sosial), di antaranya untuk bidang pendidikan dan kesehatan, yang diikuti dengan

program lainnya, baik dari LSM lokal maupun lembaga keuangan internasional.

Beberapa di antaranya masih berlangsung sampai sekarang, walaupun telah

beberapa kali mengalami perubahan nama dan orientasi kegiatan. Salah satu

contohnya adalah OPK (Operasi Pasar Khusus), bantuan pangan yang

Page 38: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

53

dilaksanakan sejak 1998 sebagai bagian dari Program JPS dalam rangka

meminimalisasi dampak krisis ekonomi. Pada 2001, dengan tujuan untuk

mempertajam penetapan sasaran, program ini berubah nama menjadi Program

Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Berbagai evaluasi dan studi terhadap

program OPK dan Raskin menunjukkan kelemahan program tersebut, terutama

dalam penetapan sasaran.

Program Subsidi Langsung Tunai (SLT) merupakan program

kompensasi kenaikan harga BBM kepada rumah tangga miskin yang

diluncurkan pemerintah pada kuartal terakhir 2005. Melalui kantor-kantor

cabang PT Pos Indonesia, setiap rumah tangga miskin menerima Rp.100.000 per

bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Kemudian digantti nama menjadi

Bantuan Langsung Tunai yang dilaksanakan sampai sekarang.

Program P4K (Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil)

yang merupakan kerja sama antara Departemen Pertanian dengan Bank Rakyat

Indonesia (BRI). Indikator keberhasilan yang ditetapkan untuk Program P4K

adalah tumbuh dan berkembangnya KPK (kelompok petani-nelayan kecil)

menjadi kelompok mandiri yang ditandai dengan pengurus dan anggota yang

aktif, dana bersama yang terus berkembang, dan terintegrasinya Program P4K ke

dalam program pembangunan daerah. Namun demikian, dari dokumen-dokumen

yang ada, baik dalam petunjuk pelaksanaan maupun hasil pemantauan dan

evaluasi yang dilakukan oleh pihak internal dan eksternal, tidak ditemukan adanya

pedoman mengenai bagaimana indikator-indikator keberhasilan tersebut bisa

tercapai dan bagaimana strategi pengakhiran program.

Dalam beberapa dokumen disebutkan bahwa salah satu penggerak utama

program ini adalah para PPL (petugas penyuluh lapangan), yang

bertugas mendampingi KPK dalam mengembangkan usaha mereka dan

sekaligus membantu mengelola uang hasil pinjaman. Dengan berakhirnya

program, maka tidak ada lagi insentif yang akan diterima PPL terutama dalam

penetapan sasaran.

PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan P2KP (Program

Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) adalah program penanggulangan

Page 39: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

54

kemiskinan berbasis masyarakat yang merupakan kerja sama Pemerintah

Indonesia dan Bank Dunia, dan diluncurkan pada kurun waktu 1998-1999 dengan

tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan sarana perkotaan (P2KP) dan

pedesaan (PPK).

PPK dan P2KP terdiri dari beberapa fase dan pada fase terakhir tercakup di

dalamnya strategi pengakhiran. Pada program PPK, tujuan strategi pengakhiran

adalah terjadinya alih kelola program kepada masyarakat dan pemerintah daerah

agar prinsip, tujuan, dan sistem PPK dapat melembaga sebagai suatu sistem

pembangunan partisipatif di desa dan kecamatan (PPK 2006). Sementara itu, pada

P2KP, strategi pengakhiran dilakukan pada fase terminasi yang bertujuan untuk

menjamin agar indikator keberlanjutan P2KP dapat tercapai. Langkah-langkah

penyiapan yang dilakukan pada fase ini di antaranya: evaluasi partisipatif P2KP di

tingkat kelurahan, penguatan kembali lembaga lokal, perluasan program oleh

masyarakat, dan mengintegrasikan P2KP dengan program lainnya (P2KP, 2005).

Namun, rencana strategi pengakhiran kedua program ini menjadi pertanyaan

karena pada 2007, seiring dengan pengembangan kebijakan payung (umbrella

policy) untuk program-program pemberdayaan masyarakat, PPK dan P2KP

diintegrasikan di bawah payung PNPM (Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat) dan direvisi menjadi PNPM Mandiri dan diimplementasikan sampai

sekarang.

Semua program pengentasan kemiskinan yang diuaraikan di atas di rancang

dan di desain oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah,

walaupun dalam pelaksanaannya beberapa program telah melibatkan pemerintah

daerah dan masyarakat lokal. Permasalahan yang muncul seringkali dalam

implementasi program tidak terjadi sinkronisasi dan terjadi pemahaman yang

parsial antara semua level baik di birokrasi maupun dalam level masyarakat.

Tidak menyatunya dan lemahnya komitmen antara pemerintah di semua level

berdampak pada banyaknya program yang diimplementasikan hanya berorientasi

proyek, ketika akhir anggaran berakhir maka selesai pula program tersebut. Hal

ini diperparah karena tidak adanya strategi pengalihan program antara pemerintah

pusat dan daerah serta kepada masyarakat sebagai sasaran kegiatan. Akhirnya,

Page 40: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

55

yang terjadi adalah banyaknya program pengentasan kemiskinan tidak mampu

menurunkan atau mereduksi jumlah penduduk miskin secara permanen dan

bahkan diindikasikan justru menimbulkan budaya malas dan ketergantungan

masyarakat terhadap pemerintah yang semakin meningkat.

Mengacu pada program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan

nasional, pemerintah daerah Kabupaten Barru mempertegas komitmen

penanggulangan kemiskinan melalui Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Daerah (SPKD) tahun 2003-2008 berdasarkan Surat Keputusan Bupati Barru

Nomor 11 Tahun 2003. SPKD ini merupakan payung hukum penanggulangan

kemiskinan di Kabupaten Barru dengan sasaran yang ingin dicapai yaitu

menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 60% dari 11.864 KK pada tahun

2003 menjadi 7.118 KK pada tahun 2008.

Pada tahun yang sama di bawah Komite Penanggulangan Kemiskinan

Kabupaten Barru melakukan kajian berdasarkan pengalaman empiris

implementasi program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Hal ini

dilakukan mengingat upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama

ini pada umumnya berorientasi terhadap permasalahan ekonomi, bersifat parsial,

sektoral dan tidak terintegrasi. Hasilnya, secara absolut memang terjadi penurunan

angka kemiskinan, tetapi hal itu tidak tahan terhadap berbagai kerentanan baik

yang berdimensi ekonomi, sosial, sumberdaya alam maupun politik yang terjadi

disekitarnya. Hal ini terbukti oleh masih tingginya jumlah penduduk miskin dan

menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi terutama setelah terjadinya krisis

ekonomi pada tahun 1997/1998.

Menyadari akan kondisi dan kejadian yang tercipta pada berbagai upaya

penanggulangan kemiskinan tersebut dan sekaligus menghindari replikasi

kelemahan dan kekurangan yang terjadi, maka pada tataran Pemerintah Daerah

Kabupaten Barru, dilakukan upaya khusus dengan mengangkat isu kemiksinan

sebagai “arus utama” tujuan dan sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam

proses mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Upaya khusus tersebut dikemas

dalam bentuk “Pilot Proyek Penanggulangan Kemiskinan Terpadu dan

Terintegrasi atau disingkat dengan PIK-PAKET”.

Page 41: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

56

Prinsip-prinsip yang dianut dalam pelaksanaan PIK-PAKET tersebut, adalah

transparansi, partisipasi, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kolaborasi. Prinsip

transparansi mengisyaratkan bahwa serangkaian proses manajemen kegiatan dan

organisasi yang dilakukan oleh unit pengelola kegiatan dapat dilakukan dengan

jelas, terbuka dan mudah diketahui oleh semua pihak yang terkait, khususnya

masyarakat termasuk kemudahan cara untuk mengakses dan mengetahuinya.

Prinsip partisipasi, mengisyaratkan bahwa setiap langkah kegiatan PIK-PAKET

harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa memiliki

dan proses belajar dan bekerja bersama dari para pihak. Partisipasi dibangunan

dengan penekanan bahwa partisipasi dimulai dari tahap identifikasi masalah,

identifikasi potensi, identifikasi peluang, perencanaan kegiatan, pengorganisasian,

pemupukan sumberdaya, pelaksanaan kegiatan hingga tahap monitoring dan

evaluasi serta keberlanjutan hasil.

Prinsip akuntabilitas, mengandung isyarat bahwa setiap bentuk kegiatan

yang dilakukan harus jelas siapa yang bertanggung jawab tentang apa, dan kepada

siapa serta bagaimana caranya dan kapan dilakukan. Selanjutnya, prinsip

keberlanjutan mengisyaratkan bahwa segala bentuk kegiatan yang dilakukan

haruslah selalu mempromosikan dan menumbuhkan peluang pemindahan

kemampuan dan kekuasaan pengelolaan kegiatan kepada masyarakat miskin

sehingga segala bentuk ketergantungan masyarakat miskin terhadap sumberdaya

dari luar sedapat mungkin dielaminir baik dari segi jumlah maupun dari segi

rentang waktu. Terakhir, prinsip kolaborasi mengisyaratkan bahwa setiap tahap

pelaksanaan haruslah dilakukan dengan melibatkan pihak terkait dalam suatu

bentuk kerja sama yang melembaga sehingga dapat menciptakan sinkronisasi

energi dalam mencapai keluaran dan hasil pada tiap tahapan kegiatan.

Organisasi pengelolaan dilakukan dengan jelas dan tegas termasuk dalam

pengaturan tata peran tiap pelaku pada semua level dari tingkat kabupaten sampai

pada tingkat kelompok masyarakat miskin (POKMAS). Dalam pelaksanaan di

lapangan dilakukan dengan pendekatan partisipatif “Partisipatory Rural

Appraisal/PRA”, dengan memberi ruang gerak sebesar-besarnya kepada

masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam perjalanannya

Page 42: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

57

pelaksanaan PIK-PAKET mengalami hambatan dan kendala terutama dalam

mengorganisir instansi teknis terkait dalam memberdayakan anggota kelompok

masyarakat miskin, termasuk dalam komitmen pembiayaan dan belum

berjalannya kolaborasi antar semua stakeholder dalam semua proses pelaksanaan

program tersebut.

2.9. Tinjauan Studi Terdahulu tentang Kemiskinan

Upaya untuk memahami tentang faktor-faktor yang memengaruhi dan

menyebabkan kemiskinan dapat dilakukan melalui beberapa penelitian empirik

yang dilakukan oleh beberapa ahli dan peneliti. Beberapa hasil penelitian tersebut

dapat dijadikan sebagai rujukan untuk mempertegas dasar-dasar pemahaman

tentang fenomena kemiskinan, baik yang dilakukan pada beberapa negara maupun

yang dilakukan di Indonesia sendiri. Beberapa hasil studi yang dilakukan pada

beberapa negara dapat diuraikan pada bagian berikut.

Kesatu, Studi oleh Ravallion (2001) dengan menggunakan data 50 negara

sedang berkembang dalam tahun 1990-an, menemukan bahwa (1) terdapat

hubungan yang negatif antara pertumbuhan pendapatan rata-rata dengan

kemiskinan dengan koefisien elastisitas sebesar -2,5; (2) tidak terdapat hubungan

yang sistematis diantara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan;

(3) pertumbuhan ekonomi akan memiliki dampak mengurangi kemiskinan yang

kuat jika tingkat ketimpangan awal pendapatan rendah; dan (4) terdapat tanda

konvergen di dalam ketimpangan pendapatan antar negara di dunia.

Kedua, studi yang dilakukan Adams (2004) yang mencoba mengestimasi

hubungan antara pertumbuhan di dalam pendapatan rata-rata dan ketiga ukuran

kemiskina yaitu poverty incidence, poverty gap, dan squared poverty gap. Sampel

dalam studi ini terdiri dari 50 negara-negara sedang berkembang. Dalam

penelitian ini ditemukan bahwa koefisien parameter dengan regresi kemiskinan

terhadap pertumbuhan pendapatan rata-rata memiliki tanda yang negatif sesuai

dengan yang diharapkan dan secara statistik signifikan. Koefisien elastisitas

dengan menggunakan pendapatan rata-rata $1 AS/hari sebagai ukuran tingkat

kemiskinan, adalah sebesar -5,75 kalau negara-negara Asia Tengah dan Eropa

Timur dimasukkan sebagai sampel, dan sebesar -2,59 tanpa negara-negara Asia

Page 43: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

58

Tengah dan Eropa Timur. Sedangkan koefisien elastisitas untuk poverty gap dan

squared poverty gap terhadap mean income, masing-masing adalah sebesar 3,04

dan 3,39, jauh lebih besar dibandingkan dengan 2,59 yang menunjukkan bahwa

ukuran poverty gap atau squared poverty gap lebih sensitif atau elastis terhadap

pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan pendapatan rata-rata). Adams mengatakan

bahwa ketika ia menggunakan GDP per kapita, hasilnya tidak jelas dan juga tidak

berpengaruh nyata secara statistik. Selain itu, diungkapkan bahwa negara-negara

dengan tingkat ketimpangan pendapatan mula-mula yang rendah mengalami

penurunan kemiskinan yang jauh lebih besar daripada negara-negara yang

memiliki tingkat ketimpangan awal yang tinggi.

Ketiga, studi oleh Dagderivan et al. (2002) dengan menggunakan data 50

negara sedang berkembang selama kurun waktu 1980-an-1990-an, menyimpulkan

bahwa (1) pertumbuhan ekonomi saja tidak selalu merupakan cara terbaik untuk

mengurangi kemiskinan; (2) suatu kombinasi pertumbuhan ekonomi dan

redistribusi pendapatan merupakan cara yang paling efektif (the most effective

way) untuk mengurangi kemiskinan di banyak negara; dan (3) dikatakan bahwa

tidak semua kebijakan redistribusi efektifnya sama untuk setiap negara

berkembang.

Keempat, studi yang dilakukan oleh Tsangarides et al. (2004) yang meneliti

determinan dan tingkat kemiskinan untuk negara-negara Afrika dan negara-negara

anggota OECD dengan menggunakan data untuk periode 1960-1999. Studi ini

menemukan beberapa hal (1) tingkat inflasi yang rendah dan pertumbuhan

penduduk yang rendah memiliki dampak yang kuat terhadap penurunan

kemiskinan; (2) faktor sumberdaya alam, capaian pendidikan, guncangan term of

trade, memiliki dampak yang relatif lemah terhadap kemiskinan; (3) keterbukaan

perdagangan, tingkat investasi, tingkat demokrasi, dan harapan hidup memiliki

pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh, tetapi tidak

berpengaruh langsung terhadap pendapatan kaum miskin; dan (4) kebijakan yang

mampu menurunkan tingkat inflasi, mengurangi government size, mengurangi

defisit anggaran, meningkatkan kedalaman sektor keuangan (deepen the financial

Page 44: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

59

sector), dan meningkatkan pendidikan (educational attainment) merupakan jenis

kebijakan yang sangat memihak kaum miskin (super-pro poor policies).

Kelima, Studi yang dilakukan oleh Fan et al. (2005). Dalam studinya

mengenai dinamika kemiskinan desa-kota yang dilakukan di Cina dan India dia

menggunakan pendekatan ekonometrika (persamaan regresi). Studi ini

menemukan bahwa dinamika hubungan antara sektor perdesaan dan perkotaan di

negara-negara berkembang masih dicirikan oleh dualisme ekonomi, dengan kata

lain koeksistensi sektor modern di perkotaan dan sektor tradisional di perdesaan.

Hipotesis yang dibangun adalah dengan mengurangi atau memperbaiki urban bias

akan menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih besar di sektor perdesaan, dan

upaya penanggulangan kemiskinan pada kedua daerah sebagai hasil yang lebih

dari keterkaitan desa-kota.

Di Cina, hasil yang diperoleh bahwa pertumbuhan sektor pertanian

berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan baik di perdesaan maupun di

perkotaan. Namun, efek terhadap kemiskinan di perdesaan lebih besar dibanding

di perkotaan. Di sisi lain kontribusi pertumbuhan sektor perkotaan hanya

berpengaruh pada penanggulangan kemiskinan di perkotaan dan berpengaruh

negatif dan siginifikan pada kemiskinan perdesaan.

Sedangkan di India, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor perdesaan

berpengaruh pada penanggulangan kemiskinan di perdesaan serta secara nyata

terhadap penanggulangan kemiskinan di perkotaan. Di sisi lain, pertumbuhan

sektor perkotaan berpengaruh kuat pada penanggulangan kemiskinan perkotaan,

namun pengaruhnya tidak nyata terhadap penanggulangan kemiskinan di

perdesaan. Hasil analisis ekonometrika dari studi ini menunjukkan bahwa

pertumbuhan sektor pertanian memiliki dampak yang signifikan pada kemiskinan

perdesaan dan sama dengan kasus di Cina juga berpengaruh pada kemiskinan

perkotaan. Karena itu, dia menyarankan agar kebijakan untuk meningkatkan

pertumbuhan di sektor pertanian dan mempromosikan keterkaitan desa-kota yang

lebih baik memiliki potensi besar dalam mengurangi kemiskinan.

Di samping itu, juga ditemukan bahwa rasio atau keuntungan pembangunan

jalan desa memiliki manfaat empat kali lebih besar daripada jalan perkotaan

Page 45: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

60

terhadap pertumbuhan PDB nasional. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap Yuan

yang diinvestaikan di perdesaan jauh lebih berpengaruh terhadap kemiskinan di

perdesaan dan perkotaan. Salah satu dampak langsung dari pertumbuhan sektor

perdesaan terhadap kemiskinan perkotaan adalah penurunan harga makanan,

penurunan harga makanan secara proporsional lebih menguntungkan miskin

perkotaan daripada miskin perdesaan. Seperti yang digambarkan oleh Fan, Fang,

dan Zhang (2002) dan Fan et al. (2005) bahwa peningkatan penelitian dan

pengembangan (R&D) di sektor pertanian berdampak pada peningkatan produksi

pangan, yang menjadi salah satu alasan dibalik pengurangan kemiskinan di daerah

perkotaan baik di India maupun di Cina. Penelitian tanpa pertanian, maka harga

pangan akan meningkat yang berdampak pada meningkatnya kemiskinan di

perkotaan.

Keenam, studi oleh Braun (2007) dalam penelitiannya tentang keterkaitan

desa-kota untuk pertumbuhan, ketenagakerjaan dan penanggulangan kemiskinan,

menemukan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembukaan

lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan

meningkatkan kualitas keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan. Peningkatan

kualitas keterkaitan desa-kota dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas

infrastruktur sebagai jembatan yang menghubungkan antara desa-kota sehingga

perdagangan dapat terjadi secara efisien. Agar tidak terjadi eksploitasi sektor

perkotaan terhadap perdesaan maka harus didukung kelembagaan pasar untuk

menghindari terjadinya kegagalan pasar (market failure) dan menekan terjadinya

informasi asimetris antara permintaan dan penawaran (supply and demand) atau

antara desa-kota. Kelembagaan pasar lebih fokus pada penguatan kapasitas petani-

petani kecil untuk mengintegrasikan produsen dan konsumen dengan kesepakatan

yang menguntungkan kedua belah pihak dalam bentuk kontrak. Dengan adanya

perjanjian yang saling menguntungkan dapat meningkatkan pendapatan rumah

tangga miskin di perdesaan dengan membantu mengurangi biaya transaksi dan

variabilitas harga produk pertanian. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya

adalah menciptakan akses yang lebih baik ke sumber permodalan, informasi dan

teknologi pertanian yang aplikabel.

Page 46: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

61

Memfasilitasi kebijakan diversifikasi transformasi ekonomi perdesaan,

sehingga meningkatkan diversifikasi kegiatan usaha diluar sektor pertanian di

perdesaan. Hal ini penting untuk penduduk perdesaan yang tidak memiliki lahan

dan terbatas. Pertumbuhan sektor non-pertanian di perdesaan merupakan

kontributor penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Di samping itu, kajian ini juga menemukan bahwa perlu mendorong

pengembangan kota-kota kecil dan menengah untuk menghindari terjadinya

urbanisasi yang massif. Kota kecil dan menengah dapat memainkan peranan

sebagai titik kontinum perdesaan dan perkotaan dan menjadi determinasi dalam

pembagian keuntungan antara perdesaan dan perkotaan melalui penyediaan

barang konsumsi, produksi dan pola kerja berbagai jenis kegiatan sosial dan

ekonomi.

Di Indonesia sendiri, penelitian yang mengkaji faktor-faktor yang

memengaruhi kemiskinan telah banyak dilakukan para ahli. Kesatu, adalah studi

yang dilakukan oleh Bidani dan Ravallion (1993). Hasil estimasi yang dilakukan

dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square/OLS)

maupun metode instrumental variable membuktikan bahwa; (1) pengeluaran

konsumsi rata-rata sebagai persentase terhadap garis kemiskinan (poverty line)

dan indeks gini ternyata memiliki pengaruh nyata terhadap berbagai ukuran

kemiskinan headcount poverty (Po), poverty gap ratio (P1 ), dan squared poverty

gap (P2) dengan arah pengaruh yang negatif dan positif; dan (2) pengeluaran

konsumsi rata-rata juga memiliki pengaruh nyata secara statistik terhadap indeks

gini provinsi di Indonesia dengan tanda positif, yang menunjukkan bahwa

hubungan U-terbalik sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Kuznets tidak berlaku

di Indonesia.

Kedua, adalah studi yang dilakukan Booth (2000) yang menemukan bahwa

produktivitas pertanian per hektar dan luas pemilikian lahan merupakan

determinan yang signifikan dari variasi di dalam kemiskinan di daerah perdesaan

(rural poverty) di berbagai provinsi di Indonesia. Di dalam kaitan ini, dikatakan

bahwa penekanan lebih lanjut pada pembangunan pertanian dan perdesaan

merupakan hal yang penting apabila diinginkan terjadi pengurangan kemiskinan

Page 47: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

62

di Indonesia. Namun, program-program pembangunan perdesaan hendaknya

bukan hanya difokuskan pada tanaman (crop-focused) seperti yang terjadi di masa

lalu, tetapi lebih difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan spesifik dari penduduk

miskin di daerah-daerah miskin (poor regions). Program-program pembangunan

perdesaan yang lebih efektif juga akan membantu dalam membatasi meluasnya

kemiskinan perkotaan.

Ketiga, adalah studi yang dilakukan oleh Asra (2000) yang melakukan

dekomposisi atas perubahan insiden kemiskinan agregat di Indonesia menurut

sektor (desa-kota). Beberapa diantara temuan penting dari studi tersebut adalah

bahwa (1) penurunan kemiskinan di daerah perdesaan merupakan penyumbang

terbesar terhadap penurunan kemiskinan secara agregat, dan pertumbuhan

ekonomi merupakan komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan

(poverty reduction) di Indonesia; (2) elastisitas kemiskinan terhadap distribusi

pertumbuhan awal untuk ketiga ukuran FGT (headcount poverty, poverty gap

index, dan distributionally sensitive index) di daerah perdesaan lebih tinggi

dibandingkan dengan daerah perkotaan, yang menunjukkan bahwa kemiskinan di

daerah perdesaan lebih elastis atau sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi; dan

(3) hasil simulasi dekomposisi menunjukkan bahwa pergeseran di dalam angkatan

kerja dan perbaikan peluang kerja di sektor perkotaan memainkan peranan penting

dalam mengurangi kemiskinan agregat.

Keempat, adalah studi yang dilakukan oleh Daimon (2001) dalam

penelitiannya mengenai dimensi kesejahteraan dan kemiskinan spasial: Belajar

dari Program Pentargetan di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan

ekonometrika (Maximun likelihood Estimation/MLE), menemukan bahwa

perangkap kemiskinan spasial, sangat dipengaruhi oleh kurangnya sarana dan

prasarana transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur sehingga menyebabkan

mobilitas tenaga kerja sangat mahal.

Kelima, adalah studi Simatupang dan Dermoredjo (2003) yang

menyimpulkan beberapa hal seperti (1) dampak produk domestik bruto (PDB)

terhadap insiden kemiskinan bervariasi menurut sektor; (2) PDB sektor pertanian

memiliki dampak lebih besar terhadap kemiskinan di perdesaan sedangkan

Page 48: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

63

kemiskinan di perkotaan terutama oleh PDB sektor industri; (3) PDB sektor lain

(non pertanian dan industri) juga berpengaruh terhadap kemiskinan di perdesaan;

(4) kemiskinan agregat dipengaruhi oleh PDB sektor pertanian dan PDB sektor

non pertanian; (5) insiden kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras; (6)

strategi pembangunan yang efektif untuk pengentasan kemiskinan adalah strategi

pembangunan yang lebih efektif pada pembangunan di sektor pertanian,

khususnya sektor tanaman pangan.

Keenam, adalah studi yang dilakukan oleh Balisacan et al. (2003)

menemukan bahwa (1) kesejahteraan penduduk miskin (the poor) yang diukur

dengan pendapatan dari kaum miskin dipengaruhi secara nyata (signifikan) oleh

pertumbuhan ekonomi; (2) faktor lain yang berpengaruh nyata terhadap

kesejahteraan masyarakat miskin adalah modal manusia (human capital) yang

diukur dari rata-rata lama sekolah, infrastruktur (jalan) dan akses terhadap

teknologi. Selain itu, dikemukakan bahwa mengurangi kemiskinan tidak cukup

hanya dengan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga harus memerhatikan

faktor kelembagaan dan pendistribusian pendapatan.

Ketujuh, adalah studi yang dilakukan oleh Yudhoyono (2004) menunjukkan

bahwa kemiskinan di daerah perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran

pemerintah untuk sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi, upah, dan dummy

reformasi. Sedangkan di perkotaan dipengaruhi oleh pengeluaran untuk

infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dummy reformasi, dan dummy desentralisasi.

Selain itu, dikemukakan bahwa kombinasi skenario peningkatan pengeluaran

pemerintah untuk sektor pertanian sebesar 15 persen dan peningkatan upah

sebesar 20 persen, merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek yang potensial

terutama dalam mengurangi kemiskinan.

Kedelapan, adalah studi yang dilakukan Suryahadi et al. (2006)

melakukan penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan

kemiskinan di Indonesia. Hasil studi ini menjelaskan bahwa pertumbuhan pada

sektor jasa dan perdesaan berdampak pada penurunan jumlah rumah tangga

miskin pada semua sektor dan lokasi. Namun pertumbuhan jasa di perkotaan

memberikan nilai elastisitas kemiskinan yang tinggi dari semua sektor kecuali

Page 49: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

64

pertanian perkotaan. Pertumbuhan sektor pertanian di perdesaan memberikan

dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan di sektor pertanian perdesaan,

dan memberi kontribusi terbesar dalam penurunan jumlah kemiskinan di

Indonesia. Studi ini menekankan bahwa cara yang paling efektif untuk

mempercepat pengurangan kemiskinan adalah mendorong pertumbuhan sektor

pertanian di perdesaan dan sektor jasa di perkotaan. Namun, dalam jangka

panjang penekanannya harus lebih difokuskan dan di arahkan pada pencapaian

pertumbuhan menyeluruh dan memiliki keterkaitan yang kuat dalam sektor jasa.

Kesembilan, Studi yang dilakukan oleh Wahyuniarti dan Siregar (2007),

yang melakukan penelitian terkait dengan dampak pertumbuhan ekonomi

terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, dengan metode analisis yang

digunakan adalah analisis deskriptif dan ekonometrika. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dalam

mengurangi kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar.

Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap

kemiskinan, namun besaran pengaruh masing-masingnya relatif kecil.

Peningkatan share sektor pertanian dan share sektor industri juga signifikan

mengurangi jumlah kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif besar

pengaruhnya terhadap penurunan jumlah kemiskinan ialah pendidikan.

Implikasi kebijakan yang disarankan dalam tulisan ini adalah

pertumbuhan ekonomi yang dibutukan untuk mengurangi jumlah penduduk

miskin adalah pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan. Investasi sebagai

penyumbang pertumbuhan harus dilakukan dalam bentuk mempercepat

industrialisasi pertanian/perdesaan, akumulasi modal manusia melalui pendidikan

dan pelatihan, serta pengembangan dan perbaikan infrastruktur perdesaan (modal

fisik). Pengendalian inflasi wajib dilakukan untuk mempertahankan daya beli

masyarakat sehingga peningkatan pendapatan yang diperolehnya menjadi lebih

berarti dalam memenuhi kebutuhan dasar atau meningkatkan kualitas hidup

mereka. Pengendalian inflasi hendaknya lebih terfokus pada kawasan perdesaan.

Laju pertumbuhan populasi penduduk perlu dikendalikan secara lebih efektif,

terutama pada golongan penduduk miskin. Hal ini dapat dilakukan dengan

menggalakkan kembali program keluarga berencana.

Page 50: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. ... Ini ditunjukkan oleh adanya

65

Kesepuluh, studi yang dilakukan oleh Santoso et al. (2007) menemukan

bahwa kebijakan moneter yang ekpansif dapat menurunkan tingkat kemiskinan

dalam jangka pendek. Namun, adanya fluktuasi business cycle dan tidak

dikuasainya inflasi yang tinggi membuat efek positif yang dihasilkan hanya

bersifat temporer. Dalam jangka panjang, inflasi yang rendah dan stabilitas

ekonomi makro yang baik berasosiasi secara signifikan dengan tingkat

kemiskinan yang lebih rendah dan distribusi pendapatan yang lebih baik.

Kebijakan moneter yang bersifat hati-hati “prudent policy” (menjaga kestabilan

harga dan kondisi ekonomi makro) memiliki efek positif yang permanen dalam

menurunkan tingkat kemiskinan dan meratakan distribusi pendapatan.

Kesebelas, adalah studi yang dilakukan oleh Papilaya (2006) yang meneliti

mengenai akar penyebab kemiskinan menurut rumah tangga miskin dan strategi

penanggulangannya dengan menggunakan pendekatan penelitian ekploratori-

eksplanatori dan penelitian partisipatori. Beberapa simpulan terutama yang terkait

dengan dimensi wilayah adalah sebagai berikut: (1) Faktor-faktor determinan

yang berpengaruh secara positif dan nyata terhadap perilaku rumah tangga miskin,

meliputi: Pada tipologi kemiskinan perkotaan adalah faktor modal sosial, yaitu

tingkat partisipasi sosial dan faktor modal manusia yaitu tingkat pendidikan

formal dan non formal; dan (b) Pada tipologi kemiskinan perdesaan, adalah faktor

modal sosial, yaitu tingkat partisipasi sosial, dan budaya gotong royong; faktor

modal alamiah, yaitu akses rumah tangga miskin terhadap sumberdaya alam; dan

faktor manusia, yaitu kepribadian melankolis dan kepribadian plegmatis; (2)

Tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin menurut tipologi kemiskinan

perdesaan lebih tinggi dari perkotaan; dan (3) Tingkat kesejahteraan rumah tangga

miskin berbeda secara nyata menurut tipologi berdasarkan kondisi sosio-ekonomi

berbasis mata pencaharian utama. Tingkat kesejahteraan nelayan lebih tinggi

dibandingkan pekerja sektor informal, petani dataran rendah dan dataran tinggi.