ii. tinjauan pustaka · transportasi merupakan akar dari teori ekonomi (neo)-klasik yang ... dan f...
TRANSCRIPT
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada dasarnya transportasi hanya salah satu dari faktor penting dalam
pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Walaupun sudah banyak yang mengkaji
pentingnya peran transportasi dalam konteks pembangunan wilayah, namun
demikian penelitian terhadap peran transportasi masih tetap berlanjut (Button,
1993), karena persoalan transportasi dan pembangunan ekonomi suatu wilayah
merupakan hal yang rumit. Bagian ini akan mengkaji teori ekonomi wilayah
dalam konteks keterkaitannya dengan transportasi dan melihat seberapa jauh
berdasarkan teori tersebut dan perkembangan peran transportasi pada suatu
wilayah dan keterkaitan antar wilayah.
2.1. Tinjauan Teoritis Kinerja Ekonomi Wilayah
Perbedaan potensi suatu wilayah dengan wilayah lainnya merupakan hal
yang dibahas dalam ekonomi wilayah (regional economics). Selain itu ilmu
ekonomi regional tidak membahas kegiatan ekonomi secara individu melainkan
melihat suatu wilayah secara keseluruhan (Tarigan, 2005). Ilmu ekonomi regional
pada dasarnya adalah cabang dari ilmu ekonomi, baik mikro maupun makro
dengan karakteristik khusus yang memasukkan unsur lokasi dan ruang. Oleh
sebab itu salah satu unsur yang sering dimasukkan dalam ilmu ekonomi regional
adalah transportasi.
2.1.1. Peran Transportasi Dalam Pengembangan Wilayah
Transportasi merupakan akar dari teori ekonomi (neo)-klasik yang
dilakukan melalui pertumbuhan, permintaan/penawaran (demand/supply) dan
pendekatan industrialisasi (Pawson,1979; Simon, 1996,).
14
Sedangkan, pembangunan wilayah, lebih merupakan fungsi dari potensi
sumber daya alam, tenaga kerja, prasarana dan sarana pembangunan, teknologi
dan perdagangan antar wilayah (Adisasmita, 2005).
Hubungan antara transportasi dan studi pembangunan pada awalnya
merujuk pada buku ”An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nation”, pada tahun 1776 oleh Adam Smith. Smith menekankan pentingnya
jejaring transportasi yang dikenal sebagai ’as greatest of all improvement’ dalam
mengembangkan pasar dari perkotaan (urban) ke perdesaan (rural area) dan
selanjutnya memfasilitasi adanya tenaga kerja. Dalam jangka panjang, proses
tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan suatu wilayah.
Akan tetapi, Smith tidak banyak memberikan penjelasan dengan cara bagaimana
(proses) peningkatan transportasi dengan peningkatan produksi dan pembangunan
ekonomi. Namun demikian pandangan dari Smith tersebut secara luas diterima
oleh para peneliti sebagai dasar (foundation) dari studi yang terkait dengan
permasalahan (isu) mengenai transportasi dan teori pembangunan hingga saat ini.
Pandangan Smith tersebut, kemudian banyak diikuti oleh para peneliti
dalam memberikan kontribusinya terhadap permasalahan transportasi, yang mana
semakin memperluas makna (pengertian) mengenai jaringan transportasi sebagai
hal yang sangat penting dalam menentukan besarnya ruang (wilayah) dari suatu
produksi maupun jangkauannya terhadap pasar. Von Thunen, 1826
mengembangkan teori yang membandingkan tingkat aksesibilitas transportasi
dengan tata guna lahan pertanian (Webber, 1984, Chapman dan Walker, 1987).
Von Thunen berpendapat bahwa tingkat kesuburan tanah dapat digantikan dengan
15
tingkat aksesibilitas ke lahan tersebut. Model dari Von Thunen adalah sebagai
berikut:
YfmcpYR
di mana R = Sewa per unit lahan; Y = Hasil produksi per unit lahan; p = harga
(pasar) per unit lahan; c = Rata rata biaya produksi per unit lahan; m = jarak ke
pasar (km) dan f = ongkos angkut per unit lahan dan jarak.
Seluruh lahan pertanian diusahakan agar memaksimalkan produktifitas (R), yang
mana dalam hal ini tergantung pada lokasi dan jarak dari pusat penjualan (pasar).
Peranan petani adalah memaksimalkan laba yaitu harga di pasar ( Y(p-c) )
dikurangi biaya transportasi (Yfm). Gambar 3 menunjukan keterkaitan antar jarak
dan sewa lahan dari model von Thunen.
Sumber: Button (1993)
Gambar 3. Variasi sewa tanah dan tata guna lahan, von Thunen
Sew
a la
han
(Rp)
P
m
l
k
j
W B O Jarak dari pasar
Jara
k d
ari
pas
ar
Prod.susu
Bisnis
Prod.gandum
16
Tahun 1929, Alfred Weber menjelaskan keterkaitan antara biaya
transportasi dengan lokasi industri di mana biaya transportasi dari material awal
(raw material) dan produk akhir adalah minimum. Pada Gambar 4a menunjukkan
letak pabrik yang berlokasi di antara sumber material dan pasar. Pada Gambar 4b,
letak pabrik mendekati sumber material, dan berakibat pada menurunnya biaya
transportasi, dan terus akan menurun apabila letak pabrik berada pada sumber
material.
Gambar 4. Keterkaitan antara biaya transportasi dan lokasi industri yang
mendekati sumber material
Hal yang sama terjadi juga apabila pabrik bergerak kekanan seperti pada
gambar 5a, 5b, 5c, di mana pada lokasi pabrik mendekati pasar, biaya transport
akan terendah apabila lokasi pabrik terletak di dekat dengan pasar.
Apa yang dilakukan oleh Von Thunen dan Weber kemudian diteliti lebih
lanjut oleh oleh Isard (1956) dan Greenhunt (1956). Christaller (1933) menyusun
suatu sistem yang mana biaya transportasi mempengaruhi aktifitas perkotaan
(urban) dan perdesaan (rural). Losch (1954), selanjutnya menjelaskan bagaimana
biaya transportasi mempengaruhi distribusi spasial dari suatu produksi.
Pasar
( a )
Pasar Sumber
material
Pabrik
Unit Cost
(Transport)
( b )
- Sumber material
-Pabrik
Pasar
(c )
Unit Cost
(Transport)
Sumber material
Pabrik
Unit Cost
(Transport)
17
Gambar 5. Keterkaitan antara biaya transportasi dan lokasi industri yang
mendekati pasar
Dengan demikian secara umum, dapat dikatakan bahwa para ekonom
klasik telah menyiapkan kerangka ekonomi, sebagai dasar teori, terutama
mengembangkan argumentasi bahwa jaringan transportasi yang sudah ada akan
mempengaruhi lokasi dari suatu aktifitas ekonomi. Artinya dapat diasumsikan
bahwa perubahan dalam sistem transportasi secara langsung menyebabkan
perubahan suatu aktifitas.
2.1.2. Transportasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Munculnya paham baru yang kemudian dikenal sebagai ekonomi
neoklasik (neoclassical economy) memberikan peran dari kapital dan teknologi di
sebagai salah satu variabel di dalam pembangunan ekonomi (Kuznets,1995). Dari
perspektif transportasi, hampir tidak ada perubahan yang signifikan antara
ekonomi klasik dan neoklasik. Namun demikian, penggunaan teknologi menjadi
hal yang utama dari model neoklasik, sehingga peningkatan teknologi dalam
sistem transportasi memainkan peran dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Pasar Sumber material
( a )
Sumber
material
Pabrik
Unit Cost
(Transport)
Pasar Pabrik
Unit Cost
(Transport)
( b )
Pasar
Pabrik
Sumber
material
( c )
Unit Cost
(Transport)
18
Penjelasan mengenai hubungan antara transportasi dan pertumbuhan
ekonomi dalam era modernisasi dikenal dalam teori tahap pertumbuhan (”the
stage of growth”) yang diperkenalkan oleh Walt Rostow, 1960. Dalam pandangan
Rostow, peningkatan di sektor transportasi (melalui pembangunan rel kereta api)
adalah hal yang utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjadikan
perubahan pada masayarakat yang berbasis pertanian ke pasca industri. Rostow
membagi tahapan pembangunan tersebut dalam 5 tahapan yaitu : (1) masyarakat
tradisional, (2) tahap prasyarat tinggal landas, (3) tahap tinggal landas, (4) tahap
menuju kedewasaan, (5) tahap konsumsi tinggi. Peran transportasi, menurut
Rostow muncul pada tahap prasyarat tinggal landas. Dalam tahap ini terdapat
syarat yang penting yaitu peningkatan investasi pada prasarana ekonomi terutama
transportasi (Hess dan Ross, 1997).
Dari penjelasan sebelumnya prinsip yang dikemukakan oleh Smith masih
relevan dalam pemikiran ekonomi neoklasik. Penjelasan mengenai apa yang
dikemukakan Smith terkait dengan permasalahan transportasi dapat dijelaskan
oleh Button (1993). Button memberikan ilustrasi sederhana mengenai model
permintaan/penawaran (demand/supply model), yaitu bagaimana peningkatan
transportasi akan memperbesar (memperluas) pasar suatu barang melalui
pengurangan biaya transportasi (lihat gambar 6). Dalam gambar 6 tersebut,
menunjukkan bahwa pengurangan biaya transportasi (∆P) mengubah biaya
penawaran (supply) dari Ps0 ke Ps1. Karena permintaan tetap, maka terjadi
keseimbangan baru dari yang semula di titik 0o ke titik 01. Hal ini berarti bahwa
dengan adanya penurunan biaya transportasi, produser dapat meningkatkan
19
produksinya. Peningkatan produksi ini berkaitan dengan perluasan pasar suatu
barang.
Ilmu ekonomi regional tidak terlepas dari induk ekonomi itu sendiri yaitu
makroekonomi dan ekonomi pembangunan. Dalam ekonomi regional, materi
materi ekonomi secara umum perlu disesuaikan dan dikembangkan berdasarkan
karakteristik ilmu ekonomi regional. Permasalahan seperti stabilitas harga (price
stability), tidak perlu dibahas apabila berkaitan dengan suatu wilayah dalam suatu
negara, karena instrumen ini merupakan kebijakan pemerintah pusat. Sedangkan
masih relevan untuk dibahas seperti full employment dan economic growth.
Sumber: Buton (1993)
Gambar 6. Keterkaitan biaya transportasi dan produksi
Modifikasi dari variabel-variabel ekonomi telah banyak dilakukan oleh
peneliti ekonomi regional. Analisis ekonomi regional dengan menggunakan
pendekatan makro ekonomi atau dengan menerapkan model-model pendapatan
nasional serta menggunakan model-model pertumbuhan nasional dapat dinamakan
Q
P
Pd
P0
P1
Ps0
Ps1 O0
O1
ΔP
P : biaya transportasi
Ps: biaya thd supply
komoditas
Pd: biaya atas permintaan
thd komoditas
P0: biaya transportasi
sebelum adanya peningkatan
transportasi
P1: biaya akibat adanya
peningkatan transportasi
Q: jumlah produksi ΔQ
20
sebagai makroekonomi antarwilayah (interregional macroeconomic). Penerapan
antarwilayah dengan demikian bermakna bahwa perekonomian adalah terbuka di
mana arus barang, arus modal dan arus tenaga kerja antara daerah satu dengan
lainnya mengalir tanpa hambatan.
Pertumbuhan regional (wilayah) pada dasarnya menggunakan konsep
konsep pertumbuhan ekonomi secara agregatif. Namun demikian, analisis
pertumbuhan regional lebih ditekankan pada perpindahan faktor (factor
movement). Arus modal dan tenaga kerja yang mengalir dari satu daerah ke daerah
lain akan membuka peluang interaksi antar daerah dan pada akhirnya membuka
peluang pertumbuhan antar daerah (Richardson, 2001). Dalam kaitan factor
movement antar wilayah maka model pertumbuhan Harord-Domar dapat
digunakan untuk menganalisis pertumbuhan regional.
Model Harrod-Domar didasarkan asumsi asumsi bahwa: hasrat menabung
atau (s), tingkat pertumbuhan penduduk (n), dan koefisien–koefisien dalam
produksi adalah konstan. Pertumbuhan mantap (steady growth) akan dicapai
apabila kedua macam input tersebut harus memenuhi syarat-syarat keseimbangan
yaitu tingkat pertumbuhan modal (k) dan tingkat pertumbuhan penduduk (n) harus
sama dengan tingkat pertumbuhan output (g) atau (g = k =n). Dalam kondisi
keseimbangan maka tabungan yang direncanakan harus terus menerus sama
dengan investasi yang direncanakan.Terkait dengan pertumbuhan modal (k) dapat
dirumuskan sebagai berikut :
vs
KY
YS
KS
KI .
21
di mana: I= Investasi; S= Tabungan; K=Modal dan Y= Pendapatan, v adalah rasio
modal-output (capital output ratio). Pertumbuhan mantap tercapai apabila
terpenuhi syarat g=n= s/v. Karena s, v, n ditentukan secara independen maka
pertumbuhan mantap hanya dapat tercapai secara kebetulan.
Ketika hubungan antar wilayah terjadi, maka perekonomian tersebut dapat
dikatakan sebagai perekonomian terbuka. Dengan demikian impor dan tabungan
merupakan kebocoran, sedangkan ekspor dan investasi merupakan suatu suntikan
(injection) yang dapat menutupi kebocoran tersebut. Kelebihan tabungan dapat
disalurkan kedaerah lain, dalam bentuk surplus ekspor. Hal yang sama terjadi
apabila pertumbuhan penduduk suatu daerah mengalami pertumbuhan yang lebih
cepat dari penyerapan tenaga kerja pada pertumbuhan yang sedang berlangsung.
Hal ini akan berakibat terjadinya migrasi netto, yang dapat membantu
menyeimbangkan n dan g. Syarat yang diperlukan bagi perekonomian terbuka
adalah sebagai berikut :
S + M = I + X
kemudian dapat dirumuskan menjadi
(s + m)Y = I + X atau YX
YI ms )(
dimana, S= Tabungan; M= Impor; I=Investasi dan X= Ekspor
Dengan asumsi dua daerah yaitu i dan j, maka hubungan ekspor dan impor
antara 2 daerah , dapat digambarkan sebagai berikut:
1 1j j
jijjii YmMX
22
dimana:
Xi = ekspor daerah i
Mji = impor daerah j dari daerah i
m = marginal propensity to import
Yj = pendapatan daerah j
Dengan demikian, persamaan pertumbuhan suatu daerah dapat dirumuskan
kembali menjadi :
YX
YI ms )(
v
vs
Y
S
Y
I . di mana g =s/v
ijijiiii YYmmsvg /)(.
i
i
j
jijii
iv
YYMms
g
/1
Berdasarkan rumus di atas maka suatu daerah akan dapat tumbuh dengan
cepat apabila memiliki g (pertumbuhan ekonomi) yang tinggi dengan syarat
daerah tersebut harus memiliki tabungan (s) yang tinggi; impor (m) tinggi; ekspor
kecil; dan rasio modal output (capital output ratio= COR) kecil.
Walaupun tabungan suatu daerah cenderung lebih besar dari investasi,
namun tingkat pertumbuhan modalnya dapat tetap sama dengan tingkat
pertumbuhan output, asalkan selisih tabungan - investasi tersebut diimbangi oleh
surplus ekspor. Kelebihan tenaga kerja juga diimbangi oleh migrasi keluar dan
kekurangan tenaga kerja dipenuhi melalui migrasi masuk. Syarat
keseimbangannya adalah :
iii rng
23
di mana r adalah tingkat migrasi yang merupakan jumlah netto dari migrasi keluar
dan migrasi-masuk (Ri) dalam tiap periode waktu sebagai persentase dari jumlah
penduduk daerah yang berstransportasi (Pi). Secara keseluruhan, dari sudut
pandang sistem yang berstransportasi adalah :
i
j
ij
i
ii
P
R
P
Rr
1
Pada perekonomian terbuka, pertumbuhan mantap masih lebih pada
perkecualian daripada merupakan kelaziman. Pencapaian syarat syarat
keseimbangan disuatu wilayah dapat mengubah syarat syarat keseimbangan di
wilayah lainnya dan hal ini dapat mempengaruhi keseimbangan pertumbuhan
wilayah itu sendiri. Ada atau tidaknya kecenderungan kearah pertumbuhan
mantap akan tergantung pada arus modal dan tenaga kerja antarwilayah
(interregional) bersifat menyeimbangkan atau tidak, dan hal ini tidaklah
ditentukan dalam model tersebut.
Selain Harrod-Domar, model model pertumbuhan neo-klasik yang juga
telah digunakan secara luas adalah Borts (1960), Bort dan Stein (1964), dan
Romans. Namun demikian untuk beberapa hal model pertumbuhan tersebut
mendapat kritikan terutama asumsi yang menyatakan full employment terjadi
secara terus menerus. Hal ini seringkali tidak dapat diterapkan dalam sistem
multiregional, karena persoalan regional timbul sebagai akibat dari adanya
perbedaan geografis dalam tingkat penggunaan sumber daya. Selain itu asumsi
persaingan sempurna tidak dapat diterapkan dalam perekonomian ruang (space
economy) di mana oligopoli, monopoli murni, atau persaingan monopolistik
adalah tipe tipe struktur pasar yang lebih mungkin (Richardson, 2001). Model
24
neoklasik, kemudian menarik perhatian para ahli teori perekonomian regional
karena model tersebut mengandung teori tentang mobilitas faktor disamping teori
pertumbuhan. Implikasi dari model tersebut adalah bahwa dengan asumsi
persaingan sempurna maka modal dan tenaga kerja akan berpindah apabila balas
jasa faktor tersebut berbeda-beda.
Syarat pertumbuhan mantap yang dalam model ekonomi neoklasik relatif
kurang restriktif apabila dibanding dengan model Harrod –Domar. Batasan yang
terdapat pada Harrod–Domar, kemudian mendapat kritikan karena adanya
kemungkinan substitusi antara modal dan tenaga kerja, yang berarti adanya
fleksibilitas dalam rasio modal-ouput. Tingkat pertumbuhan dapat bersumber dari
(Hayami, 2001; Johansson, 1993): (a) akumulasi modal, (b) pertumbuhan
penawaran tenaga kerja,dan (c) kemajuan teknologi, yang mencakup segala
sesuatu yang meningkatkan efisiensi dari sumber sumber yang stoknya sudah
tertentu.
Apabila diasumsikan bahwa tingkat kemajuan teknologi adalah fungsi dari
waktu, maka persamaan fungsi produksinya adalah :
),,( tLKFY ii
di mana: K=Modal; L=Tenaga Kerja; t=Teknologi
Persamaan pertumbuhan di atas dapat di derivasi menjadi :
iiiiii TnkY 1
di mana Y = tingkat pertumbuhan output, k = tingkat pertumbuhan modal,
n = tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan T = kemajuan teknologi. Sedangkan α
adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor modal atau produk marginal dari modal
25
Y
K
K
Y dan dengan mengsumsikan skala pengembalian yang konstan (constant
return to scale) maka (1-α) = bagian pendapatan yang dihasilkan oleh tenaga kerja
yaitu Y
L
L
Y.
Pertumbuhan kapasitas penuh merupakan suatu hal yang dikehendaki
dalam model neoklasik. Oleh sebab itu diperlukan suatu mekanisme untuk
menyamakan investasi dengan tabungan dalam kondisi full employment. Dengan
demikian syarat pertumbuhan mantap adalah :
mK
YMPK
i
i
i ,
di mana MPK adalah marginal productivity of capital. Apabila m sudah tertentu
dan nilai α konstan, maka Y dan K harus tumbuh dengan tingkat yang sama.
Syarat keseimbangan bagi keseluruhan sistem adalah :
n
i
n
i
ii SI1 1
di mana: I=Investasi dan S=Tabungan
Namun demikian tabungan yang dihasilkan dalam suatu wilayah secara
individual tidak mesti sama dengan investasinya, karena suatu daerah akan
mengimpor modal apabila tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio
tabungan domestik terhadap modal.
2.2. Transportasi dan Perdagangan Antar Wilayah
Pembangunan wilayah tidak terlepas dari perdagangan antar wilayah.
Weber (1909) sudah memperkenalkan dampak lokasi terhadap biaya transportasi.
26
Namun Weber tidak menjelaskan analisis yang dihasilkan bagi komoditi di mana
proses dari biaya transportasi terjadi. Proses tersebut dapat dijelaskan dalam teori
perdagangan.
Pada awalnnya Adam Smith meperkenalkan teori keuntungan absolut
(absolute advantage) (Carbaugh, 2005). Teori ini lebih mendasarkan pada
besaran/variabel riil, seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan
banyaknnya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk.
Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang
tersebut. Kelemahan teori ini adalah apabila hanya satu negara yang memiliki
keunggulan absolut, maka perdaganagn antar wilayah tidak akan terjadi karena
tidak ada keuntungan.
Teori Smith ini, kemudian di perbaiki oleh David Ricardo, yang kemudian
dikenal sebagai keunggulan komparatif (Comparative Advantage). Tidak seperti
Smith yang menekankan pada perbedaan biaya absolut antara dua wilayah,
Ricardo’s teori lebih menekankan pada perbedaan biaya komparatif (relatif).
Menurut keunggulan komparatif (labor efficiency), suatu negara akan memperoleh
manfaat dari perdagangan antar wilayah jika melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang di mana negara tersebut lebih efisien dan mengimpor barang
yang mana negara tersebut akan memproduksi kurang/tidak efisien. Kelemahan
teori ini adalah mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara.
Heckser dan Ohlin (H-O) kemudian berusaha menjelaskan bahwa
walaupun fungsi faktor produksi (tenaga kerja) di kedua negara sama,
perdagangan antar wilayah (internasional) tetap terjadi. H-O kemudian
menggunakan 2 kurva yaitu kurva isocost yang menggambarkan total biaya
27
produksi yang sama dan kurva isoquant yang menggambarkan total kuantitas yang
sama (Hady 1998, Halwani, 2005, Fentra dan Taylor, 2011). Teori ini
mendasarkan pada faktor pendukung (endownment) yang mengarisbawahi bahwa
resources endownment merupakan faktor penentu dalam keunggulan komparatif.
Dengan demikian harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh
jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing masing negara.
Kedua kurva tersebut akan bersinggungan pada suatu titik optimal.
Artinya, dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan
biaya yang minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu. Sesuai dengan
konsep titik singgung antara Isocost dan Isoquant, maka masing masing negara
tentu akan memeproduksi barang barang tertentu dengan kombinasi faktor
produksi yang paling optimal sesuai proporsi/struktur faktor produksi yang
dimilikinya (lihat gambar 7).
Sumber: Hamdy (1998)
Gambar 7. Perbedaan harga menurut Heckser-Ohlin
B
C
D
A
Tenaga Kerja
Isoquant televisi
Isoquant pakaian
Isocost $400 (Negara X)
Isocost $600 (Negara X)
Isocost $400 (Negara Y)
Isocost $600C (Negara Y)
Modal
28
Teori Heckser-Ohlin menggunakan asumsi 2 x 2 x 2 yaitu :
1. Perdagangan terjadi antara dua negara
2. Masing masing negara memproduksi dua macam barang yang sama
3. Masing masing negara menggunakan dua macam faktor produksi, yaitu
tenaga kerja dan mesin, tetapi dengan jumlah/ proporsi yang berbeda
Asumsi di atas dapat dilihat melalui matrix manfaat perdagangan (Gain
From Trade) dengan contoh pada tabel 1.
Teori ini kemudian dipertanyakan, terutama apabila jumlah atau proporsi
faktor produksi yang dimiliki masing masing negara relatif sama, maka harga
barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan antar wilayah (negara)
tidak akan terjadi. Pada kenyataannya, walaupun jumlah/proporsi faktor produksi
yang dimiliki masing masing negara relatif sama, dan dengan demikian harga
barang yang sejenis pun sama, ternyata perdagangan anatar wilayah tetap terjadi.
Tabel 1: Matrix Gain from Trade dari Teori H-O
Asumsi
2 Negara Negara X Negara Y
2 Barang Pakaian Televisi Pakaian Televisi
2 F.Produksi T.Kerja Modal T. Kerja Modal
Proses.Prod P.Karya P.Modal P.Karya P.Modal
Proporsi faktor Produksi 60 unit 15 unit 30 unit 60 unit
Isoquant 100 unit 20 unit 100 unit 20 unit
Isocost $400 $600 $600 $400
Unit Cost $4 (murah) $30 (mahal) $6 (murah) $20 (mahal)
Wasily Leontief kemudian melakukan studi empiris di Amerika pada
tahun 1953, dan menguji teori Heckser-Ohlin tersebut, dan mendapatkan hasil
29
yang berbeda dengan teori tersebut, sehingga disebut paradoks Leontief.
Berdasarkan teori H-O, maka ekspor AS akan terdiri atas barang barang yang
padat modal /kapital (capital intensive), sebaliknya impor AS akan terdiri dari
barang barang yang padat karya. Berdasarkan studi empiris Leontif, ternyata
ekspor AS justru terdiri atas barang barang yang padat karya (labor intensive).
Sebaliknya, impor terdiri atas barang barang yang padat modal. Leontief
berargumen bahwa pekerja di Amerika Serikat (AS) lebih efisien dari pada
pekerja negara lain, di mana dengan kemampuan yang lebih tinggi maka AS dapat
mengekspor tenaga kerja keluar wilayahnya. Hal ini dapat terjadi karena beberapa
hal yaitu: intensitas faktor produksi yang berkebalikan (factors intensity
reversals); tarif dan non tarif barrier; perbedaan dalam skill dan human capital;
perbedaan dalam faktor sumber daya alam (natural resources). Dalam menguji
kebenaran teori H-O tersebut, Leontief menggunakan Input-Output, yang
kemudian menjadi salah satu alat dalam menguji kebijakan di suatu negara.
2.3. Transportasi dan Disparitas Wilayah.
Literatur mengenai perubahan kesenjangan pendapatan pada awalnya
dikenal sebagai hipotesis Kuznets, dimana peningkatan pendapatan rata rata
perkapita dan tingkat ketimpangan dalam pembagian pendapatan berbentuk kurva
U terbalik. Kuznets (1955), menggunakan data dari beberapa negara, dan
menemukan korelasi antara kesenjangan pendapatan perkapita yang berbentuk U
terbalik. Kemudian hal ini diintrepretasikan sebagai perubahan dari distribusi
pendapatan dalam proses transisi dari perekonomian tradisional (perdesaan) ke
perekonomian modern (industri).
30
Pada prinsipnya hipotesis tersebut menjelaskan bahwa pada awal proses
pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar karena adanya
urbanisasi dan industrialisasi. Kemudian dalam proses perjalanan waktu tejadinya
proses pembangunan akan mencapai puncaknya dan kemudian terjadi
ketimpangan menurun (mengecil), yaitu pada saat sektor industri sudah mampu
menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari sektor peredesaan
(sektor pertanian), atau pada saat pangsa pertanian lebih kecil dari didalam
produksi dan penciptaan pendapatan (Tambunan, 2009)
Beberapa studi menguji hipotesis tersebut dengan menggunakan data
agregat dari sejumlah negara. Sebagian besar mendukung hipotesa tersebut,
seperti Anand dan Kanbur, 1993 dan Ahlulwalia, 1976. Namun ada juga yang
menolak atau tidak menemukan korelasi yang kuat seperti Ravallion dan Datt,
1996 dan Field dan Jakubson (Tambunan, 2001).
Selain itu beberapa pandangan terkait dengan hubungan antara pertumbuhan
dan disparitas, seperti Myrdal, 1957 (dalam Jhingan, 1983) yang menyatakan
bahwa teori teori yang ada lebih melihat pada dunia barat dan tidak dapat
diterapkan dinegara yang sedang berkembang. Myrdal berpendapat bahwa gejala
dan perkembangan ekonomi di negara negara yang sedang membangun
menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara wilayah maju dan tertinggal yang
semakin lama semakin besar. Hal ini sebagai akibat kekuatan pasar yang
memainkan peranan pertumbuhan sehingga tidak membantu yang tertinggal
namun justru sebaliknya membantu yang kuat. Makin melebarnya kesenjangan
tersebut dikenal sebagai backwash- effect (efek menguras) dan spread effect (efek
menyebar). Efek menguras terjadi karena penggunanaan input atau faktor
31
produksi antara unsaha yang satu dengan yang lainnya saling betentangan.
Sebaliknya efek menyebar terjadi karena digunakannya faktor produksi yang satu
dengan yang lainnya saling mendukung. Dinegara sedang berkembang pada
umumnya efek menguras lebih kuat dibanding efek menyebar sehingga
kesenjangan semakin melebar.
Beberapa penulis juga meyebutkan peran keterkaian kebelakang (backward
linkage) dan keterkaitan kedepan (forward linkages) dalam menghasilkan
aglomerasi pada suatu wilayah. Myrdal dan Hirschman (dalam Soetrisno, 1992)
berpendapat bahwa eksternalitas lebih terkait dengan penawaran atau permintaan
daripada sekedar adanya teknologi, dimana eksternalitas tersebut dapat
meyebabkan perubahan struktur. Oleh sebab itu dampak akhir dari pola
keterkaitan kebelakang atau keterkaitan kedepan pada disparitas wilayah akan
tergantung pada perubahan struktur ekonomi pada wilayah tersebut. Pada
akhirnya, bagaimana ekonomi lokal terhubung dengan ekonomi wilayah lainnya
akan menentukan dampak dari antar wilayah maupun dampak intrawilayah
tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul penelitian empiris dan dikenal
sebagai new economic geography (NEG) yang dipelopori oleh Krugman
(Kuncoro, 2012). Kontribusi Krugman yang paling pokok adalah penghematan
eksternal dan aglomerasi industri dalam skala regional dengan perdagangan.
Penekanan dari penelitian tersebut merupakan kombinasi model persaingan tidak
sempurna dan peningkatan skala ekonomis, serta teori lokasi yang menekankan
pentingnya biaya transportasi.
32
Dalam standar ekonomi pembangunan, proses pembangunan akan
menyebabkan dualisme (Meier, 1995, Suman dan Joesoef, 2006). Dualisme
ekonomi ini akan berdampak sosial sebab hal ini mencerminkan ketimpangan
(inequality), artinya dualisme merupakan suatu keadaan di mana ada daerah yang
mengalami tingkat pembangunan yang tinggi dari daerah lain. Perbedaan ini dapat
saja disebabkan kurangnya aksesibilitas kepada suatu wilayah. Oleh sebab itu, hal
inilah yang sering menyebabkan adanya disparitas atau kesenjangan. Dengan
demikian meredakan tensi dualisme merupakan salah satu kebijakan ekonomi.
Dalam meredakan tensi dualisme tersebut, salah satu hal penting adalah biaya
transportasi.
Dari beberapa model ekonomi geografi, yang dilakukan oleh Martin dan
Rogers (1995), Puga (2005), Behrens dan kawan kawan (2007) menunjukkan
bahwa infrastruktur transportasi pada suatu negara dapat meningkatkan
ketimpangan apabila terjadi pasar asimetris antara suatu wilayah dengan wilayah
lainnya yang menyebabkan relokasi aktifitas ke daerah yang lebih menguntungkan
setelah menurunnya biaya transportasi. Persyn dan Algoed (2011), dari hasil
penelitiannya menyarankan bahwa investasi sektor transportasi mempercepat
pertumbuhan wilayah maupun mengurangi disparitas.
Daryanto (2003), berpendapat bahwa disparitas pembangunan antar daerah
dapat dilihat dari kesenjangan dalam hal :
1. pendapatan perkapita
2. kualitas sumber daya manusia
3. pelayanan sosial seperti kesehatan, pendidikan dan sebagainya
4. akses ke perbankan
5. ketersediaan sarana dan prasarana transportasi.
33
Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi dapat saja akan berakibat pada
kesenjangan yang menyebabkan distorsi perdagangan antar daerah.
2.4. Perkembangan Pemikiran Transportasi dan Ekonomi Wilayah
Pemikiran neoklasik terkait dengan transportasi terus berjalan hingga saat
ini. Akan tetapi perdebatan dalam perkembangannya terus terjadi. Robert Fogel,
1964 (dalam Button 1993), melakukan penelitian dengan menggunakan
ekonometrik di Amerika bahwa pada abad ke sembilan belas kontribusi
transportasi rel (kereta api) ternyata telah dihitung (dinilai) secara berlebihan
(overvalued). Dari penelitian Fogel, didapat bahwa dimulainya jalan kereta api
pada abad ke sembilan belas tersebut tidak memberikan kontribusi yang krusial
terhadap pertumbuhan ekonomi. Fogel menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
yang terjadi lebih disebabkan oleh adanya inovasi (revolusi ilmu pengetahuan).
Efektifitas dari inovasi yang terjadi lebih disebabkan atau difasilitasi secara
politis, geografi dan sosial. Fogel, kemudian menyimpulkan bahwa, walaupun
hubungan antara transportasi dan pertumbuhan ekonomi adalah penting, namun
secara luas telah diabaikan oleh para ekonom.
Dari perspektif ekonomi geografi baru (new economic geography),
Kilkenny (1995), dalam konteks daerah perdesaan di negara berkembang,
mempunyai argumen bahwa, peningkatan jaringan transportasi dapat merugikan
kinerja ekonomi di daerah perdesaan. Pengurangan biaya transportasi akan
meningkatkan keuntungan dari firma diperkotaan dan mempromosikan adanya
konsentrasi diperkotaan, dan dengan demikian akan mengurangi perusahaan
dalam berinvestasi di daerah perdesaan. Menurut Kilkenny, pembangunan
perdesaan (rural) hanya dapat dipengaruhi oleh peningkatan transportasi jika biaya
34
yang terkait dengan produksi di daerah perdesaan dan biaya akibat adanya
transportasi lebih rendah daripada biaya yang mendukung produksi diperkotaan.
Banister dan Berechman (2000), mengembangkan kerangka konseptual
terkait dengan investasi di bidang transportasi dan pembangunan ekonomi.
Walaupun menyederhanakan keterkaitan antara transport dan pembangunan
ekonomi di wilayah yang sedang berkembang, kedua penulis tersebut
menggunakan pendekatan makroekonomi untuk menilai dampak yang terjadi
akibat adanya investasi dibidang transportasi terhadap pertumbuhan ekonomi
terutama dinegara maju. Keduanya menyatakan bahwa investasi disektor
transportasi akan secara langsung meningkatkan aksesibilitas, namun tidak selalu
menyebabkan pertumbuhan ekonomi.
Campisi dan Bella (1987), melakukan evaluasi perencanaan transportasi
dalam jangka pendek dengan pendekatan input output model. Pendekatan yang
didasarkan interregional input output dengan mempertimbangkan dampak yang
dipicu oleh adanya perubahan dalam sistem transportasi. Dari hasil evaluasi
disimpulkan bahwa disekonomi sebagai akibat stuktur ruang dari produksi dan
konsumsi dapat diuraikan kedalam komponen lokasi dan komponen transportasi
untuk menentukan peta inefisiensi dari setiap regional maupun sektoral.
Pada sistem transportasi yang efisien maka wilayah yang dipengaruhi akan
menerima manfaat dan kesempatan ekonomi yang baik. Sebaliknya sistem
transportasi yang tidak efisien akan meningkatkan biaya ekonomi dan dengan
demikian kehilangan kesempatan untuk berkembang. Rodrigue, Comtois dan
Slack (2006), menyatakan bahwa dampak ekonomi dari transportasi dapat dibagi
menjadi :
35
1. Dampak langsung yaitu berhubungan dengan perubahan asesibilitas di mana
transport memperluas pasar distribusi dan mengurangi biaya dan waktu yang
dapat dihemat (time saving).
2. Dampak tidak langsung adalah sebagai akibat dari dampak berganda
(multiplier effect), seperti turun/naiknya harga harga komoditas barang.
Dampak ekonomi dari sektor tansportasi tersebut, dengan demikian dapat
mempengaruhi perkembangan suatu regional, dan pada akhirnya akan
mempengaruhi pembangunan daerah tersebut. Ahmed dkk (dalam Button, 1993)
berpendapat bahwa di negara yang sedang berkembang, salah satu permasalahan
yang menyebabkan hambatan terhadap pembanguan sosio-ekonomi dan integrasi
nasional adalah akibat dari kurangnya fasilitas transportasi. Hal ini berdampak
terhadap pembangunan infrastrutur lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.
Demikian juga input terhadap produksi pertanian dengan sektor lainya. Pendapat
Ahmed tersebut, memberi pengertian bahwa peranan transportasi dalam
pembangunan merupakan hal yang sangat penting, baik dalam pembangunan
ekonomi suatu wilayah maupun antar wilayah.
Kajian atau studi mengenai hubungan transportasi dan pembangunan
ekonomi di atas, lebih banyak didasarkan kondisi di Eropa Barat maupun
Amerika Utara atau sering disebut sebagai negara Barat. Periode kolonialime yang
terjadi pada negara dunia ketiga oleh negara Barat, mungkin menyebabkan
kurangnya studi mengenai pembangunan di negara sedang berkembang pada
periode sebelum tahun enam puluhan (Hoyle, 1973, Mahayni, 1977).
Pembangunan sektor transportasi selama periode kolonialisme dilaksanakan
dengan mengikuti pola pola pembangunan di negara barat. Lebih spesifik lagi,
36
pembangunan transportasi pada saat itu lebih untuk melayani keinginan negara
Barat untuk memenuhi perekonomian dan politik kolonial rezim dengan tujuan
lebih kepada kontrol terhadap teritorialnya. Selain itu, dengan satu tujuan yaitu
pertumbuhan ekonomi, maka pembangunan transportasi lebih di fokuskan kepada
pembangunan ekonomi dari pada pengurangan kemiskinan.
Creghtney (1994), berdasarkan pengalaman di Afrika, mengatakan bahwa
transportasi dapat membentuk struktur baru perekonomian. Tujuan dari
pembentukan stuktur baru (stuctural adjustment) adalah mengurangi defisit neraca
pembayaran melalui pengurangan permintaan domestik agar konsumsi dan
investasi seimbang dengan produksi dan pendapatan. Disamping itu juga
dimaksudkan mengubah tingkat produksi yang memungkinkan keluar batas
wilayah dengan meningkatkan alokasi sumber daya dan penggunaan sumber daya
yang efisien atau meningkatkan jumlah input. Gregory and Bumb (2006), World
Bank (2008), bahkan melaporkan bahwa, dampak transportasi sangat berpengaruh
terhadap pertanian di Afrika Tengah, karena biaya transportasi mencapai sepertiga
dari harga pupuk.
Beberapa studi terkait dengan transportasi dan pembangunan di Indonesia
juga telah banyak dilakukan. Parikesit dan Magribi (2005) melakukan studi
mengenai interaksi antara transportasi perdesaan (rural) dan pembangunan
wilayah di Sulawesi Tenggara dan menunjukkan bahwa rural transport
memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan disekitarnya.
Adanya rural transport telah memperkecil disparitas antar daerah.
Deichman dkk (2005), menguji peran dari ekonomi geografi dan faktor
faktor yang berhubungan dengan distribusi aktifitas industri di Indonesia. Hasil
37
studi tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan infrastruktur transportasi
hanya memberikan dampak yang terbatas terhadap relokasi industri ke luar pulau
Jawa.
Direktorat Transportasi Bappenas (2006), mengkaji investasi di sektor
transportasi. Berdasarkan analisis yang dilakukan maka nilai ICOR untuk sektor
transportasi ternyata kurang dari satu. Artinya untuk menghasilkan satu satuan
Nilai Tambah Bruto (NTB) hanya diperlukan nilai investasi kurang dari satu. Hal
ini mengindikasikan bahwa investasi pada sektor transportasi tersebut cukup
efisien.
Firman (2008), dengan menggunakan metoda input output analisis,
melakukan investigasi dampak sektor transportasi terhadap sektor pertanian dan
peternakan. Berdasarkan hasil analisis input ouput nasional 2005, maka dapat
disimpulkan bahwa keberadaan sektor transportasi sangat menunjang sektor
sektor dalam mendistribusikan barang dan jasa. Khususnya sektor pertanian dan
peternakan merupakan sektor yang menjadi salah satu sektor yang dapat
memanfaatkan output sektor transportasi dalam mendistribusikan barang dan jasa.
2.5. Tinjauan Metode Analisis Dampak
2.5.1. Beberapa Pendekatan dalam Analisis Ekonomi Sektor Transportasi
Untuk dapat melakukan analisis ketergantungan atau keterkaitan ekonomi
antarsektor dan antarwilayah yang terjadi maka dibutuhkan sebuah perangkat
analisis yang memadai untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mensimulasi
keterkaitan antarwilayah dan antarsektor. Dengan perangkat analisis yang tepat,
maka pola keterkaitan yang akan dibangun dapat disimulasi berdasarkan skenario-
38
skenario kebijakan tertentu. Dampak dari setiap kebijakan pembangunan
transportasi di suatu wilayah akan dapat diketahui, bukan hanya terhadap
perkembangan sektoral saja, namun yang lebih utama lagi dampaknya tersebut
dapat ditelusuri lintas wilayah.
Pada prinsipnya cukup banyak alat yang tersedia untuk menganalisa
mengestimasi pembangunan transportasi. Benefit Cost Analysis (BCA), sudah
banyak digunakan di Indonesia, terutama dalam proyek proyek transportasi
(Bappenas dan JICA, 2004, Departemen Pekerjaan Umum, 2006, Korea
Expressway Corporation dan Seoyong Engineering Co.ltd, 2007). Penggunaan
BCA ini lebih sebagai alat pengambil keputusan dalam menentukan suatu
prioritas suatu project dengan project lainnya. Salah satu kelemahan dari
penggunaan BCA ini adalah sensitif terhadap penentuan discount rate (Burrel dan
Haugen, 2000), karena tingkat discount rate dapat merubah analisa yang telah
dibuat.
Pendekatan lainnya yang juga sering digunakan dalam studi dampak
antarwilayah, salah satunya adalah adalah interregional input-output. Dalam
model ini hubungan keterkaitan antarwilayah dan antarsektor dituangkan dalam
bentuk matriks input-output antarsektor dan antarwilayah. Meskipun model ini
cukup mampu menjelaskan hubungan keterkaitan antarwilayah dan antarsektor,
namun interaksi antarwilayah yang dapat direkam sebatas pada dua wilayah saja,
dan mengabaikan efek multiplier interegion dari wilayah-wilayah lainnya. Untuk
mengatasi hal ini akhirnya input-output interregion dikembangkan menjadi input-
output multiregion. Model input-output ini sudah dapat memotret keterkaitan
antarwilayah bukan hanya pada dua wilayah saja, namun yang lebih luas lagi bisa
39
lebih dari dua wilayah sebagaimana halnya yang digunakan dalam studi ini yang
akan memotret dampak interregion tersebut pada 5 wilayah. Meskipun demikian
tetap diakui bahwa input-output multiregion ini masih mengandung keterbatasan-
keterbatasan, diantaranya adalah tidak mampu menjelaskan secara lebih detail
pengaruh keseimbangan distribusi nilai tambah perekonomian antarwilayah,
antarsektor dan antar institusi (rumahtangga, pemerintah dan swasta).
Model berikutnya yaitu multiregional SAM (Social Accounting Matrix)
merupakan perluasan dari model multiregional input output. Model ini mampu
menjelaskan pengaruh pemerataan distribusi antar wilayah, antarsektor dan
antarinstitusi terhadap kinerja perekonomian. Model ini juga cukup mampu
memberikan hasil yang lebih detil sehingga lebih berguna dalam merumuskan
kebijakan-kebijakan pembangunan wilayah yang sudah harus fokus kepada
wilayah, sektor dan institusi tertentu. Meskipun demikian model multiregional
SAM juga memiliki keterbatasan mengingat bahwa model ini disusun berdasarkan
asumsi bahwa faktor harga dianggap tetap. Akibatnya intervesi yang diberikan
dari neraca eksogenous berpengaruh secara linier terhadap neraca endogenus
(aktivitas produksi, faktor produksi, dan institusi). Dalam kenyataanya di
lapangan, harga selalu berfluktuasi seiring dengan fluktuasi suplai dan demand.
Selain itu kelemahan yang lain model multiregion SAM lebih bersifat statis
sehingga hanya dapat memberikan gambaran pengaruh intervensi dalam jangka
pendek.
Untuk mengatasi kelemahan dari model multiregion SAM sebenarnya
dapat disusun model berikutnya yaitu multiregion CGE (Computable General
Equilibrium). Pada model ini disusun serangkain persamaan yang dapat
40
menjelaskan dinamika dari masing-masing komponen dalam multiregion SAM
(Haddad, E.A dan Hewings, G.J.D, 1998, Ishiguro dkk, 2003). Persamaan-
persamaan ini disusun di luar tabel multiregion SAM tersebut. Konsekuansinya
adalah dibutuhkan data-data dan serangkaian persamaan yang cukup kompleks.
Meskipun model multiregion CGE merupakan model yang cukup mampu untuk
mempertajam model multiregion SAM, tetapi penyusunan persamaan yang relatif
kompleks membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Apalagi dengan
cakupan multiregion wilayah provinsi yang terdiri dari 5 wilayah, maka susunan
persamaannya menjadi sangat kompleks. Kompleksitas ini pada akhirnya akan
membuat bias perhitungan karena terlalu banyak asumsi yang harus digunakan
dalam mengaplikasikan parameter-parameter pada setiap persamaan CGE yang
dibangun.
Terkait dengan berbagai kelebihan dan keterbatasan alat-alat analisis
interregion di atas, maka dalam studi ini akhirnya dipilih model input-output
multiregion untuk menjawab permasalahan yang telah ditetapkan. Meskipun
model input-output multiregion mengandung beberapa kelemahan, tetapi model
ini cukup mampu mengakomodasikan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam
studi ini. Bahkan dalam aplikasinya lebih lanjut jika memungkinkan untuk
menganalisis lebih mendalam mengenai perubahan struktural perekonomian
masing-masing wilayah melalui teknik dekomposisi struktural yang dapat
menjelaskan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah itu apakah diakibatkan
pertumbuhan suatu sektor pada wilayah sendiri atau dari sektor tertentu pada
wilayah-wilayah lainnya, yang mana dalam hal ini ada lima wilayah yang
ditelusuri. Pada saat ini penerapan dekomposisi struktural antarwilayah hanya
41
dapat diturunkan melalui model input-output multiregion saja. Bukan hanya itu,
aplikasi input-output multiregion lainnya yang tidak dapat diturunkan melalui
model SAM dan CGE antara lain multiplier product matrix analysis (MPM), dan
field of influence, di mana semuanya ini sangat berguna sekali untuk mengamati
perubahan-perubahan struktur perekonomian wilayah dengan lebih detail yang
diakibatkan perkembangan sektor transportasi.
2.5.2. Model Keseimbangan Umum
Semua unit ekonomi baik itu konsumen, produsen atau pemasok
merupakan faktor yang saling terkait. Teori keseimbangan umum berkenaan
dengan masalah apakah tindakan yang saling bebas oleh para pembuat keputusan
mendorong ke suatu posisi di mana keseimbangan tercapai oleh semua pihak.
Keseimbangan umum didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana semua pasar
dan semua unit pembuat keputusan berada dalam keseimbangan secara simultan.
Keseimbangan umum ada jika di setiap pasar terjadi keseimbangan pada harga
yang positif, setiap konsumem memaksimumkan kepuasan dan setiap produsen
memaksimumkan keuntungan (Koutsoyiannis, 1982).
Keseimbangan umum muncul dari solusi model persamaan simultan, yang
terdiri dari berjuta-juta persamaan dan berjuta-juta hal yang tidak diketahui. Hal
yang tidak diketahui adalah harga dan kuantitas (faktor atau komoditi).
Persamaan-persamaan dalam sistem diturunkan dari upaya memaksimumkan
perilaku konsumen dan produsen yang berbentuk persamaan perilaku yang
menjelaskan fungsi permintaan dan penawaran di semua pasar oleh semua
individu, serta persamaan market-clearing.
42
Model keseimbangan umum dikembangkan oleh ekonom Prancis, Leon
Walras (1834-1910), yang memberikan argumen bahwa semua harga dan
kuantitas di semua pasar ditentukan secara simultan melalui interaksi satu dengan
lainnya. Secara umum dalam model keseimbangan Walras, jumlah pasar sama
dengan jumlah komoditi dan faktor produksi. Untuk setiap pasar terdapat tiga
fungsi, yaitu fungsi permintaan, penawaran dan keseimbangan pasar, yang
mensyaratkan bahwa jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan.
Dalam pasar komoditi, banyaknya fungsi permintaan sama dengan banyaknya
konsumen dan banyaknya fungsi penawaran sama dengan banyaknya perusahaan
yang memproduksi komoditas. Dalam suatu pasar faktor, banyaknya fungsi
permintaan sama dengan banyaknya perusahaan dikalikan dengan banyaknya
komoditas yang diproduksinya.
Namun demikian, Leon Walras sendiri tidak pernah mampu
membuktikan keberadaan keseimbangan umum walaupun banyaknya persamaan
sama dengan banyaknya hal yang tidak diketahui, tidak ada jaminan bahwa
keseimbangan umum pasti terjadi. Disamping permasalahan keberadaan
keseimbangan umum, dua hal yang berkaitan dengan persoalan ini adalah
permasalahan kestabilan dan keunikan dari keseimbangan umum.
Koutsoyiannis (1982) memberikan argumen bahwa analisis keseimbangan
umum menjadi kurang berguna secara praktis, jika tidak diketahui apakah sistem
ekonomi dapat mencapai atau menuju ke arah keseimbangan umum. Pendapat
lainnya mengatakan bahwa model keseimbangan umum akan bermanfaat,
walaupun tidak ada solusinya, karena menunjukkan kompleksitas dari keterkaitan
antarpasar dan antarpembuat keputusan secara individual.
43
Model keseimbangan umum yang rumit dan tidak pernah ditemukan
solusinya kemudian disederhanakan oleh Leontief menjadi model yang diterapkan
secara empiris. Dengan menggunakan data data di Amerika Serikat, Leontief
berhasil menyusun model Tabel Input–Output (Miller dan Blair, 1985).
Model Input-Output (I-O) merupakan salah satu peralatan analisis yang
banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ekonomi, geografi,
regional science, engineering, dan sebagainya. Hal ini tidak terlepas dari kerangka
dasar I-O itu sendiri yang intinya menunjukkan keterkaitan (interdependency)
antara satu sektor dengan sektor lainnya dalam suatu perekonomian atau satuan
sistem pada satu periode waktu tertentu. Selain itu model I-O mampu
memprediksi dampak dari tindakan ekonomi yang direncanakan (misalnya
pembangunan nasional). Fukuishi (2010), menjelaskan bahwa masih sedikit riset
sektor transportasi yang menggunakan I-O. Dengan demikian model I-O nasional
maupun daerah bermanfaat dalam perencanaan pembangunan dan evaluasinya
untuk level agregat nasional atau daerah.
2.5.3. Pentingnya Memahami Ekonomi Spasial
Dalam ekonomi spasial, sudah banyak dilakukan studi tentang model
perkembangan ekonomi nasional secara agregatif, baik yang dilakukan secara
individual maupun institusi. Salah satu tujuan studi studi tersebut adalah untuk
melihat dampak perubahan variabel-variabel kebijakan atau variabel yang
dieksogenkan ke dalam perekonomian. Namun, model-model ekonomi agregat
demikian tidak lagi memadai karena tidak dapat menggambarkan aspek ruang
44
suatu perekonomian, baik dalam pelaksanaan kegiatan maupun dalam
pemanfaatan hasil pembangunan (Muchdie, 1998b),
Demikian pula dengan model I-O nasional atau daerah, yang digunakan
untuk mengukur dampak perubahan permintaan akhir terhadap perekonomian,
karena tidak mampu menggambarkan aspek ruang perekonomian nasional atau
daerah. Akibatnya, model I-O tidak terlalu banyak manfaatnya bagi perencanaan
pembangunan dan evaluasinya yang telah memasuki ke dalam dimensi ruang.
Oleh karena itu dibutuhkan model yang mampu memberikan analisis tentang
dampak langsung, tidak langsung dan yang terimbas (induced effect) dari kegiatan
pembangunan yang memasukkan aspek keruangan. Model Interregional Input-
Output (IRIO) memiliki kapasitas tersebut.
Indonesia sebagai suatu negara yang terdiri atas beribu-ribu pulau dengan
beragam sifat yang unik, tingkat teknologi dan perkembangan ekonomi yang
berbeda antar-daerah, adalah sangat riskan untuk mengabaikan aspek ruang, aspek
daerah dan wilayah. Uppal (1986) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi telah diikuti oleh semakin buruknya pemerataan pendapatan, merupakan
suatu bukti pengabaian terhadap dimensi ruang dalam pembangunan. Kameo dan
Rietvield (1987) mengatakan bahwa tidak ditemukan kecenderungan penurunan
ketidakmeratan pendapatan per kapita antardaerah di Indonesia dalam periode
1975-1982. Muchdi (1998a), berpendapat bahwa dipandang dari sudut nasional,
ketidakmerataan antardaerah merupakan hal yang sangat peka dengan cara apa
pun harus dihindari.
45
2.5.4. Pentingnya Menerapkan IRIO dalam Analisis Ekonomi Sektoral dan
Spasial
Model IRIO selain mampu menggambarkan tentang struktur
ketergantungan sektoral (sectoral interdependency) juga mampu menunjukkan
ketergantungan regional (regional interdependency), yaitu antara satu kegiatan
ekonomi di suatu daerah dengan kegiatan ekonomi di daerah lainnya (BPS, 2000).
Model I-O daerah hanya menangkap keterkaitan antarindustri lokal, tetapi
model mengabaikan keterkaitan ekonomi antardaerah. Model I-O daerah bersifat
terbuka, maksudnya hanya mampu menelusuri pengaruh dari perubahan
permintaan akhir di daerah setempat. Model tersebut tidak memperhitungkan
sistem antardaerah, yaitu tidak melihat asal perubahan permintaan akhir dan tidak
melihat juga umpan balik (spill-over repercussion) dari perubahan di luar
terhadap aktivitas ekonomi di daerah. Secara singkat, model I-O daerah hanya
memungkinkan kita memperhitungkan feedback antarindustri di daerah saja tetapi
tidak memperhitungkan feedback antardaerah.
Richardson (1972), berpendapat bahwa kontribusi I-O bagi analisis daerah
tidak akan pernah mencapai keadaan yang mendekati potensi sebenarnya, kecuali
sistem menyeluruh dari tabel I-O antardaerah sudah disusun. Selanjutnya,
Richardson berpendapat bahwa istilah interregional model (IRIO) dan
multiregional model (MRIO) boleh dipertukarkan. Istilah pertama mengacu pada
kasus di mana daerah-daerah dalam model menyempurnakan suatu sistem
(misalnya komponen dari perekonomian). Sedangkan istilah kedua mengacu
kepada sembarang kelompok daerah yang saling berkaitan yang sering
membentuk sebagian dari perekonomian nasional.
46
Menganalisis model I-O antardaerah memberikan beberapa keuntungan,
diantaranya dengan kerangka kerja yang konsisten menyajikan pengecekan
terhadap data itu sendiri. Misalnya total ekspor harus sama dengan total impor
antardaerah. Dengan tersedianya I-O antardaerah memberikan tekanan yang kuat
bagi studi-studi I-O daerah secara sekuensial. Data dasar untuk menyusun I-O
antardaerah adalah permintaan akhir, koefisien teknis dan perdagangan
antardaerah tahunan. Tabel I-O antardaerah memiliki aplikasi yang lebih luas
daripada I-O daerah.
Rincian potensi penggunaan Tabel I-O antardaerah adalah sebagai berikut
(Richardson, 1972):
1. Studi tentang pergeseran lokasi kegiatan industri dan tenaga kerja.
2. Estimasi perbedaan yang bersifat kedaerahan dan ciri industri dalam teknik
produksi.
3. Menghitung neraca ekonomi antar daerah.
4. Studi dampak berlingkup daerah.
5. Studi program pembangunan ekonomi berlingkup daerah.
6. Perencanaan ketahanan masyarakat.
Contoh nyata dari penggunaan Tabel I-O antardaerah adalah:
1. perhitungan pengaruh pada daerah yang berbeda atas perubahan pada
pengeluaran pemerintah pusat.
2. Mengevaluasi pengaruh dari pergeseran antardaerah dalam lokasi industri.
3. Pengukuran dan peramalan pasar ekspor dari suatu daerah.
47
4. Pengukuran dampak kenaikan tarif transportasi barang antardaerah terhadap
produksi daerah dan perdagangan.
5. Penghitungan dampak limpahan (spill-over effect) perluasan pembangunan di
daerah kaya terhadap daerah miskin dan feedback antardaerah.
Model IRIO membagi ekonomi nasional berdasarkan sektor dan daerah
kegiatan (Hulu, 1990), sedang struktur dasar model IRIO secara rinci telah
dibahas dalam Muchdie (1998a, 1998b). Walaupun IRIO adalah model yang
paling ideal, menurut Muchdi (1998b), model ini mempunyai dua masalah yang
serius. Pertama, berkaitan dengan asumsi bahwa suatu komoditi yang diproduksi
di suatu daerah, secara teknis berbeda dengan komoditi sama yang dihasilkan oleh
daerah lainnya. Kedua, untuk memperoleh estimasi nilai koefisien perdagangan
diperlukan data arus perdagangan menurut daerah asal dan daerah tujuan serta
menurut sektor produksi dan sektor konsumsi. Data seperti ini biasanya tidak
tersedia, bahkan di negara yang statistiknya sudah maju sekalipun. Untuk dapat
memperolehnya diperlukan survai yang akan membutuhkan biaya, tenaga dan
waktu yang banyak. Hal-hal inilah yang menyebabkan sangat sedikit negara yang
sudah menyusun tabel IRIO.
Untuk mengatasi masalah-masalah itu, berbagai model I-O mengenakan
asumsi bahwa barang yang sama tidak lagi perlu dibedakan dari daerah asalnya.
Dalam penerapannya, ada yang menggunakan perkiraan titik (Chenery dan
Moses), ada pula yang menggunakan teori gravitasi (Leontief dan Strout) dan ada
yang menggunakan perumusan pemrograman linear (Moses) (Muchdie 1998a).
48
2.5.5. Pentingnya Analisis Dampak dari Model IRIO
Menurut Muchdie (1998a), Daryanto dan Hafizrianda (2010) dengan
model I-O antardaerah (IRIO), analisis struktur ruang dalam perekonomian
Indonesia dapat dibahas. Bahasan tersebut dapat menggunakan analisis:
1. Dampak pengganda total (total multiplier effects) baik sektoral maupun
spasial,
2. Dampak pengganda bersih sektoral dan spasial,
3. Dampak luberan (spill-over effects), dan
4. Dampak balik (feed-back effects).
Angka pengganda merupakan ukuran kepekaan suatu perekonomian
terhadap perubahan yang dinyatakan dalam hubungan sebab-akibat. Pengganda
pada model I-O biasanya diasumsikan sebagai tanggapan (respons) terhadap
meningkatnya permintaan akhir suatu sektor tertentu. Muchdie (1998a),
mengingatkan bahwa konsep pengganda sering digunakan secara rancu sehingga
menghasilkan interpretasi yang keliru. Oleh sebab itu beberapa pendapat
menyatakan bahwa perlu membedakan kategori pengganda menjadi dampak awal
(initial impact), dampak imbasan kegiatan produksi (production-induced impact)
dan dampak imbasan konsumsi (consumption-induced effect). Selain itu, juga ada
kategori lain yang disebut dampak luberan (flow-on impact), yang merupakan
dampak bersih.
Secara teoritis, pengganda dari model I-O daerah tunggal lebih kecil
daripada pengganda model I-O antar daerah. Penegasan lebih jauh dilakukan oleh
Miller (1985) melalui percobaan yang lebih komprehensif dalam menguji sistem
49
perekonomian tertutup. Kesimpulannya adalah bahwa umpan balik antardaerah
bergantung kepada tingkat keterkaitan ekonomi antardaerah atau berlawanan
dengan derajat kemandirian suatu daerah. Semakin mandiri suatu daerah, semakin
kecil tingkat keterkaitan antardaerahnya. Miller bahkan mengusulkan aturan kasar
untuk menentukan besaran umpan balik secara a priori: suatu daerah yang
mensupplai 10 persen dari kebutuhannya akan menaksir terlalu rendah perubahan
outputnya sebesar 10 persen bila mengabaikan konsep umpan balik. Sementara
daerah yang mensupplai 90 persen kebutuhannya akan menaksir terlalu rendah
perubahan outputnya sebesar 2 persen. Jadi untuk setiap kenaikan 10 persen
kemampuan memsupplai kebutuhannya senndiri, akan menurunkan kesalahan
sebesar 1 persen atas perkiraan perubahan output.
Muchdie (1998a), merinci lebih jauh menjadi empat tipe pengganda, dua
diantaranya relevan dengan kajian model antardaerah, yaitu pengganda khusus
sektoral (sector-specific multipliers) dan pengganda khusus spasial (spatial-
specific multipliers). Pengganda khusus sektoral menyatakan jumlah input yang
dibutuhkan dari perekonomian secara keseluruhan (tanpa memandang ruang)
untuk memenuhi bertambahnya satu unit permintaan akhir sektor yang dimaksud.
Pengganda khusus spasial menyatakan jumlah input yang dibutuhkan dari semua
sektor pada suatu daerah karena meningkatnya satu unit permintaan akhir daerah
yang berhubungan dengan transportasi.
Miller dan Blair (1985) telah mendefinisikan IDBAD (indeks dampak
balik antardaerah atau interregional feed-back index) dan IDBTAD (indeks
dampak balik dan luberan antardaerah atau interregional feed-back and spill-over
index) untuk mengukur saling ketergantungan antardaerah. Berdasarkan kedua
50
indeks tersebut dapat dianalisis pentingnya keterkaitan antardaerah di Indonesia.
Dampak balik pengganda total dapat dengan mudah diperlihatkan sebagai selisih
antara pengganda total pada model daerah-tunggal dan pengganda total pada
model antardaerah, yaitu pengganda total yang terjadi di daerah yang
berstransportasi pada model antardaerah. Dampak luberan adalah pengganda total
yang terjadi di daerah lain karena terjadinya peningkatan permintaan akhir pada
daerah yang sedang dipelajari. Ini diukur dari perbedaan antara pengganda total
dan pengganda yang terjadi hanya pada daerah yang dipelajari. Mengenai metode
penghitungan akan dijelaskan dalam bab 3.