iii kerangka pemikiran 3.1 konsep agroindustri · - produksi input pertanian, peralatan dan mesin -...
TRANSCRIPT
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Konsep Agroindustri
Agroindustri merupakan salah satu subsistem dari sistem agribisnis yang
memiliki peranan yang sangat penting karena memiliki potensi untuk mendorong
pertumbuhan yang tinggi akibat adanya nilai tambah yang dihasilkan serta
mempercepat transformasi struktur ekonomi dari sektor pertanian menuju
industri. Agroindustri didefinisikan sebagai semua kegiatan industri yang terkait
dengan kegiatan pertanian yang meliputi: (i) industri pengolahan hasil produk
pertanian dalam bentuk setengah jadi dan produk akhir; (ii) industri penanganan
hasil pertanian segar; (iii) industri pengadaan sarana produksi pertanian; dan (iv)
industri pengadaan alat – alat pertanian (Saragih, 2010). Austin (1981)
mendefinisikan agroindustri sebagai pengolahan bahan baku yang bersumber
dari tanaman atau binatang, yang meliputi proses transformasi dan pengawetan
melalui perubahan fisik dan kimiawi, penyimpanan, pengepakan dan distribusi.
Sedangkan Henson and Cranfield (2009) mendefinisikan sektor agroindustri
sebagai bagian dari sektor manufaktur yang mengolah bahan baku dan barang
setengah jadi yang berasal dari pertanian, perikanan dan kehutanan. Dengan
demikian, sektor agroindustri meliputi pengolahan makanan, minuman,
tembakau, tekstil dan pakaian, produk kayu dan furniture, kertas, dan produk
karet.
Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas dapat dilihat bahwa sektor
agroindustri bukanlah sektor yang dapat berdiri sendiri, karena merupakan
bagian dari sistem agribisnis yang kompleks. Sebagai bagian dari sistem
agribisnis, pengembangan agroindustri harus mengacu kepada keseluruhan
sistem (Gambar 5). Tambunan (2010) menyebutkan bahwa pengembangan
agroindustri harus memperhatikan kaidah keterpaduan usaha, yaitu: (i) azas
keterpaduan wilayah; (ii) azas keterpaduan usahatani; dan (iii) azas keterpaduan
komoditas. Ketiga azas tersebut harus berjalan secara simultan dimana ada
kesepakatan dari semua pelaku bisnis dan pengambil keputusan untuk
memberikan prioritas utama pada komoditas tertentu yang akan dikembangkan
di suatu wilayah. Penentuan dan pengembangan komoditas yang
memperhatikan wilayah sebagai suatu kesatuan ekonomi yang didasarkan
kepada keterpaduan wilayah harus bermuara pada sistem usahatani yang
24
memadukan pola usaha dan organisasi produksi yang efisien dan azas
keterpaduan usahatani.
SubsistemAgribisnis Hulu
SubsistemAgribisnis On Farm
Subsistem AgribisnisHilir
(AGROINDUSTRI)- Produksi input
pertanian, peralatandan mesin
- Pengadaan dandistribusi inputpertanian, peralatandan mesin
- Budidaya tanamandan ternak
- Penanganan panendan pascapanen
- Penjualan danpemasaran produkprimer pertanian
- Pengadaan bahan bakuproduk primer
- Pengolahan produkantara dan produk akhir
- Pemasaran produkantara dan produk akhir
Subsistem LayananPendukung dan Kebijakan- Fasilitas kredit dan asuransipertanian
- Penyuluhan dan informasipertanian
- Transportasi dankomunikasi
- Infrastruktur lokal dannasional
- Penelitian danpengembangan
- Lingkungan binis(makroekonomi dankebijakan khusus)
Gambar 5 Menggerakkan agroindustri dalam konseptualisasi agribisnis.(Sumber: Tambunan, 2010)
Seperti yang disajikan pada Gambar 5, pengembangan agroindustri sangat
terkait dengan dukungan kebijakan pemerintah dalam menciptakan enabling
environment yang mendukung perkembangan aktivitas agroindustri. Menurut
Wilkinson and Rocha (2009), fokus kebijakan pemerintah dalam pengembangan
agroindustri khususnya di negara – negara berkembang adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan strategis terkait dengan daya saing agroindustri
2. Dukungan terhadap usaha kecil dan menengah terkait dengan
peningkatan kapasitas, pembentukan klaster dan transfer teknologi
25
3. Pengakuan atas peran kunci sektor informal dan kebutuhan akan
instrumen lingkungan bisnis yang mendukung dalam hubungannya
dengan investasi asing
4. Kebijakan yang memasukkan petani kecil dan produsen produk pertanian
dalam kontrak rantai pasok
5. Penyediaan barang publik dengan tujuan meningkatkan persaingan untuk
memperoleh akses pasar
6. Penyediaan layanan untuk membangun kemampuan akses pasar yang
berkelanjutan, pengembangan kebijakan perlindungan konsumen
7. Aktif berperan dalam harmonisasi dan menjamin transparansi standar
mutu; langkah-langkah untuk memastikan bahwa pengembangan
agroindustri adalah kompatibel dengan keberlanjutan lingkungan dan
sosial serta negosiasi standar dan akses pasar di forum internasional .
3.2 Kebijakan Publik
Definisi kebijakan menurut Wilson (2006) adalah tindakan, tujuan dan
pernyataan pemerintah mengenai hal – hal tertentu dan langkah – langkah yang
diambil untuk menerapkannya serta penjelasan yang diberikan mengenai apa
yang terjadi atau tidak terjadi. Kebijakan publik merupakan pola ketergantungan
yang kompleks dari pilihan – pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk
keputusan – keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor
pemerintah (Dunn, 2003).
Kebijakan terdiri dari berbagai elemen yang saling terkait dalam satu
sistem kebijakan yang terdiri dari pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan dan
kebijakan itu sendiri. Untuk memperoleh informasi yang relevan dengan
kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah – masalah publik, dilakukan
proses analisis kebijakan. Dunn (2003) mengartikan analisis kebijakan sebagai
disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian
multiple dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, menilai
dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Dalam
melakukan analisis kebijakan pengembangan agroindustri kakao, harus melalui
lima prosedur analisis yaitu perumusan masalah, peramalan, pemantauan,
evaluasi, dan rekomendasi (Gambar 6).
26
Gambar 6 Prosedur analisis kebijakan.(Sumber, Dunn, 2003)
1. Merumuskan masalah – masalah kebijakan.
Perumusan maslah kebijakan merupakan aspek yang paling krusial dan
pada dasarnya merupakan sistem masalah yang saling tergantung,
subyektif, artifisial dan dinamis. Masalah kebijakan sering mengandung
konflik antara pelaku kebijakan dan tidak realistis untuk menganggap
bahwa beberapa pengambil keputusan memiliki pilihan yang sama dan
konsensus mengenai satu tujuan. Perumusan masalah merupakan suatu
proses dengan empat tahap yang saling tergantung satu sama lain yaitu;
penghayatan masalah, pencarian masalah, pendefinisian masalah, dan
spesifikasi masalah. Metode – metode yang dapat digunakan untuk
merumuskan masalah – masalah kebijakan meliputi analisis batasan,
analisis klasifikasional, analisis hierarkis, sinektika, brainstorming, analisis
perspektif berganda, analisis asumsional dan pemetaan argumentasi.
2. Meramalkan kebijakan di masa depan
Peramalan merupakan prosedur untuk membuat informasi tentang situasi
di masa depan atas informasi yang ada tentang masalah kebijakan.
Bentuk utama ramalan kebijakan yaitu proyeksi, prediksi dan perkiraan
yang dibedakan atas dasar ekstrapolasi kecenderungan, teori dan
pandangan pribadi. Peramalan digunakan untuk membuat estimasi
MASALAHKEBIJAKAN
KINERJAKEBIJAKAN
MASA DEPANKEBIJAKAN
AKSIKEBIJAKAN
HASIL – HASILKEBIJAKAN
PerumusanMasalah
PerumusanMasalah
Evaluasi Peramalan
RekomendasPemantauan
27
tentang tiga tipe situasi masa depan yaitu; masa depan potensial, masa
depan yang masuk akal dan masa depan normatif.
3. Merekomendasikan aksi – aksi kebijakan
Rekomendasi kebijakan ditujukan untuk menjawab pertanyaan “Apa yang
harus dilakukan?” Dengan demikian, rekomendasi kebijakan memerlukan
pendekatan yang normatif, dan tidak hanya empiris dan evaluatif serta
memberikan berbagai alternatif. Pendekatan utama untuk rekomendasi
dalam analisis kebijakan publik adalah analisis biaya manfaat dan analisis
biaya efektivitas.
4. Memantau hasil – hasil kebijakan
Pemantauan merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan
untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat kebijakan publik.
Pemantauan menghasilkan pernyataan yang bersifat penandaan setelah
kebijakan diadopsi dan diimplementasikan, sedangkan peramalan
menghasilkan penandaan sebelum tindakan dilakukan.
5. Mengevaluasi kinerja kebijakan
Evaluasi kebijakan terkait dengan seberapa jauh suatu hasil kebijakan
memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan dan sasaran. Fungsi
utama evaluasi dalam analisis kebijakan adalah penyediaan informasi
yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, kejelasan
dan kritik nilai – nilai yang mendasari pilihan tujuan dan sasaran dan
penyediaan informasi bagi perumusan masalah berikutnya. Kriteria
evaluasi kebijakan antara lain efektivitas, estimasi, kecukupan,
kesamaan, daya tanggap dan kelayakan.
3.3 Kebijakan Pertanian
3.3.1 Definisi dan Instrumen Kebijakan Pertanian
Kebijakan pertanian merupakan suatu program yang dijalankan pemerintah
yang dipilih dari berbagai alternatif yang ada untuk mengarahkan dan
menentukan kondisi sekarang dan yang akan datang di bidang pertanian
(Schmitz, et al., 2002). Kebijakan pertanian merupakan bentuk intervensi yang
cukup kompleks, mencakup pasar output, pasar input, perdagangan, investasi
barang publik, sumber daya alam, regulasi dari eksternalitas, pendidikan,
pemasaran dan distribusi produk. Ada 3 alasan mendasar bagi pemerintah untuk
melakukan intervensi yaitu:
28
1. Efisiensi, yaitu membuat pasar menjadi lebih efisien seperti kebijakan
subsidi untuk barang – barang publik, pembatasan eksternalitas dan
regulasi yang membatasi kekuatan pasar.
2. Stabilisasi, yaitu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menstabilkan
ekonomi, seperti kebijakan moneter untuk menstabilkan nilai tukar.
3. Distribusi, yaitu kebijakan pemerintah untuk meredistribusi pendapatan di
antara kelompok masyarakat.
Van Tongeren (2008) menyebutkan bahwa kebijakan harus ditargetkan untuk
hasil yang spesifik dan terpisah, Untuk itu, perlu dilakukan pembatasan
mengenai variabel – variabel yang ditargetkan sehingga harus memenuhi
beberapa dimensi sebagai berikut: (i) terukurnya definisi tujuan kebijakan yang
akan ditargetkan dan unit-unit di mana target diukur; (ii) definisi spasial/geografis
daerah, karena kegagalan pasar yang membenarkan intervensi kebijakan sering
terjadi secara lokal atau regional terbatas; dan (iii) definisi karakteristik
kelayakan, terkait dengan siapa yang berhak menerima dan tidak, karena
kebijakan pertanian paling sering berlaku untuk petani secara individual. Setelah
memenuhi kriteria tersebut, baru instrumen kebijakan dapat dipilih. Instrumen
kebijakan pertanian biasanya disamakan dengan transfer uang, tetapi
kebanyakan instrumen yang dibuat oleh pengambil kebijakan adalah berupa
pajak (transfer negatif, regulasi dan fasilitas.
Negara berkembang memiliki variasi yang sangat tinggi dalam hal
sumberdaya alam, tipe sistem pertanian, ukuran usahatani, tingkat
pembangunan sumberdaya manusia, infrastruktur dan lain – lain. Kondisi ini
membuat pemerintah dihadapkan pada berbagai tujuan dan kendala, sehingga
harus memilih instrumen kebijakan yang paling sesuai. Brooks (2010)
menyebutkan bahwa dengan kondisi tersebut, pilihan kebijakan pertanian adalah
sebagai berikut:
1. Intervensi pasar output dan input, seperti: kebijakan harga dan
perdagangan, kebijakan pemasaran, subsidi input (benih, pupuk dan
kredit modal kerja)
2. Penyediaan barang publik seperti infrastruktur pedesaan
3. Transfer pendapatan
4. Perubahan kelembagaan seperti, dewan pemasaran, reformasi lahan,
reformasi sektor keuangan, hukum, dan lain – lain.
29
3.3.2 Kebijakan Bea Ekspor
Penerapan kebijakan pajak ekspor biji kakao seperti yang tertuang dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010 dapat digambarkan seperti
pada Gambar 7. Jika diasumsikan bahwa supply ekspor kakao adalah kurva SE,
permintaan ekspor kurva ED, permintaan domestik kurva DD dan supply
domestik adalah SD, maka harga perdagangan bebas kakao adalah PF. Pajak
optimal diperoleh ketika SE berpotongan dengan pendapatan marjinal (MRED).
Melalui penerapan pajak ekspor ini, pemerintah akan memperoleh pendapatan
pajak sebesar abcd, sedangkan petani kakao akan kehilangan fcdPf.
Gambar 7 Kebijakan bea ekspor kakao.(Sumber: Schmitz, et al., 2002)
Dampak penerapan kebijakan bea ekspor terhadap pengembangan industri
hilir kakao dapat digambarkan seperti yang disajikan pada Gambar 8. Dd
merupakan permintaan biji kakao domestik, Sd adalah penawaran biji kakao
domestik, De adalah permintaan ekspor biji kakao, Se adalah penawaran ekspor
biji kakao, Se’ adalah penawaran biji kakao setelah penerapan kebijakan bea
ekspor, TP(Q) adalah fungsi produksi industri pengolahan kakao domestik. Jika
tidak terjadi perdagangan internasional, kondisi keseimbangan terjadi pada Q0
dengan tingkat harga P0. Dengan adanya perdagangan internasional, dimana
terjadi permintaan ekspor yang ditunjukkan oleh garis De dan penawaran ekspor
yang ditunjukkan oleh garis Se, maka tingkat harga biji kakao yang terbentuk
adalah meningkat menjadi P1. Pada tingkat harga tersebut, jumlah biji kakao
P
qDqE
DD
SD
MRED
ED
SE
f Pf
ab
c d
30
yang diminta di dalam negeri adalah sebesar Q1 dan jumlah yang ditawarkan
sebesar Q2. Selisih antara Q1 dengan Q2 merupakan jumlah biji kakao yang
diekspor. Jika diasumsikan bahwa permintaan biji kakao domestik hanya
dilakukan oleh industri pengolahan kakao, maka Q1 merupakan jumlah input
yang digunakan oleh industri, sehingga industri pengolahan berproduksi pada
tingkat TP0.
.
Gambar 8 Dampak kebijakan bea ekspor kakao terhadap industri hilir.
Penerapan kebijakan bea ekspor biji kakao menyebabkan kurva
penawaran ekspor biji kakao bergeser dari Se menjadi Se’. Hal tersebut
menyebabkan harga ekspor biji kakao meningkat menjadi P2, sedangkan harga
domestik turun menjadi P3. Penurunan harga domestik tersebut menyebabkan
jumlah biji kakao yang diminta oleh industri pengolahan meningkat dari Q1
menjadi Q3. Sedangkan jumlah biji kakao yang ditawarkan turun dari Q2 menjadi
Q4 sehingga jumlah biji kakao yang diekspor juga turun menjadi Q4-Q3.
31
Peningkatan jumlah biji kakao yang diminta oleh industri pengolahan dari Q1
menjadi Q3 menyebabkan produksi kakao olahan juga meningkat dari TP0
menjadi TP1. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa penerapan bea ekspor
mampu mendorong industri hilir dalam meningkatkan produksi kakao olahan.
3.4 Dinamika Sistem
3.4.1 Sistem
Permasalahan yang muncul di dunia nyata umumnya bersifat sangat
kompleks dan saling terkait satu sama lain. Untuk itu, upaya pemecahan
masalah tersebut tidak bisa dilakukan secara terpisah, namun harus menyeluruh
sebagai suatu sistem yang saling terkait, berinteraksi dan berhubungan. Marimin
dan Maghfiroh (2010) mendefinisikan sistem sebagai suatu kesatuan usaha,
terdiri dari bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan
dalam suatu lingkungan yang kompleks. Adanya hubungan yang teratur dan
terorganisir merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah sistem dalam
mencapai tujuan sebagai sasaran akhir seperti digambarkan pada Gambar 9.
Sementara itu, Eriyatno (2003) menekankan pada adanya totalitas himpunan dari
hubungan yang terstruktur serta memiliki ruang dan waktu. Dimensi ruang dapat
dianggap sebagai sebuah batas lingkungan di mana interaksi antar unsur dari
sebuah objek berlangsung (Muhammadi, et al., 2001). Dengan demikian,
Marimin dan Maghfiroh (2010) menyebutkan bahwa suatu sistem memiliki sifat –
sifat dasar sebagai berikut:
1. Pencapaian tujuan. Orientasi pencapaian tujuan memberikan sifat
dinamis kepada sistem yaitu memberikan ciri perubahan yang terjadi
secara terus menerus dalam upaya mencapai tujuan.
2. Kesatuan usaha, mencerminkan sifat dasar dari sistem di mana hasil
keseluruhannya melebihi jumlah bagian – bagiannya atau sering disebut
konsep sinergi.
3. Keterbukaan terhadap lingkungan. Pencapaian tujuan dari suatu sistem
tidak harus dilakukan dengan satu cara terbaik, tetapi melalui berbagai
cara sesuai dengan tantangan lingkungan yang dihadapi.
4. Transformasi, yaitu proses perubahan input menjadi output yang
dilakukan oleh sistem.
5. Hubungan antar bagian, yaitu kaitan antar subsistem yang memberikan
analisa sistem suatu dasar pemahaman yang lebih kuat.
32
6. Sistem terdiri dari beberapa macam, seperti sistem terbuka, sistem
tertutup, dan sistem dengan umpan balik.
7. Mekanisme pengendalian, menyangkut sistem umpan balik suatu
bagian pemberi informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku
sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan masalah yang
dihadapi.
Gambar 9 Pengertian sistem.(Sumber: Marimin dan Maghfiroh, 2010)
McLeod and Schell (2008) menyebutkan bahwa sistem terdiri dari
subsistem – subsistem (komponen), batasan sistem (boundary), lingkungan di
luar sistem (environment), penghubung (interface), masukan (input), pengolahan
(process), keluaran (output), sasaran (objective) dan tujuan (goal). Elemen dari
sistem adalah unsur (entity) yang mempunyai tujuan atau realitas fisik, setiap
elemen mengandung atribut yang dapat berupa nilai bilangan, formula intensitas,
ataupun keberadaan fisik (Eriyatno, 2003).
3.4.2 Pendekatan Sistem
Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui
pemahaman yang utuh sehingga diperlukan suatu kerangka pemikiran baru yang
dikenal dengan pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem
merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan identifikasi
terhadap sejumlah kebutuhan – kebutuhan sehingga dapat menghasilkan
operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 2003). Sedangkan menurut Marimin dan
Elemen
Interaksi
Tujuan/Sub
Tujuan
Penyediaanbahan baku Perdagangan
Industripengolahan Konsumsi
33
Maghfiroh (2010), pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisa
organisatoris yang menggunakan ciri – ciri sistem sebagai titik tolak. Pendekatan
sistem dapat memberikan landasan pengertian yang luas mengenai faktor –
faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar pemahaman
penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem.
Dalam pendekatan sistem terdapat 2 hal umum yaitu; (i) semua faktor
penting untuk mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan
(ii) pembuatan model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional.
Pendekatan sistem terdiri delapan unsur agar dapat bekerja secara sempurna
yaitu: metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, tim multidisipliner,
pengorganisasian, disiplin untuk bidang non kuantitatif, teknik model matematika,
teknik simulasi, teknik optimasi, dan aplikasi komputer. Untuk menyelesaikan
masalah dengan menggunakan pendekatan sistem, harus melalui enam tahapan
yaitu analisa, rekayasa model, implementasi rancangan, serta implementasi dan
operasi sistem. Sedangkan metodologi sistem terdiri dari enam tahap analisa
yang meliputi analisa kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi masalah,
pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial politik, serta
penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan.
Sedangkan menurut McLeod and Schell (2008), pendekatan sistem terdiri
dari 3 tahap yaitu persiapan, definisi dan solusi. Tahap persiapan meliputi melihat
objek sebagai suatu sistem, pengenalan lingkungan sistem dan
pengidentifikasian subsistem dari objek. Tahap pendefinisian terdiri dari 2
langkah yaitu meneruskan bentuk sistem menjadi subsistem dan menganalisis
bagian – bagian dari sistem secara berurutan. Tahap solusi terdiri dari
pengidentifikasian alternatif solusi, evaluasi, memilih solusi terbaik, implementasi
dan menindaklanjuti untuk memastikan bahwa solusi tersebut efektif. Ketika
pendekatan sistem diaplikasikan menjadi pengembangan sistem, akan
menghasilkan system development life cycle (SDLC) seperti yang disajikan pada
Gambar 10. Dalam model SDLC seperti yang disajikan pada Gambar 10,
masalah didefinisikan pada tahap perencanaan dan analisis. Alternatif solusi
diidentifikasi dan dievaluasi pada tahap desain. Kemudian, solusi terbaik
diimplementasikan dan digunakan. Pada tahap penggunaan, dilakukan
pengumpulan umpan balik untuk melihat seberapa baik sistem dalam
menyelesaikan masalah.
34
Gamba(Sum
Pendekatan sistem d
lama semakin kompleks,
berbagai komponen dalam
ini sangat penting untuk m
berguna sebagai cara b
pendekatan sistem menim
sikap kritis dan kemampu
(Marimin dan Maghfiroh, 20
3.4.3 Pendekatan Dinami
Dinamika sistem meru
suatu sistem dapat diper
perubahan (guncangan) d
berhubungan dengan perila
tujuan memahami dan men
mengenai perilaku sistem
serta kebijakan pengontrola
dengan menggunakan mod
System Dynamic Society
Im
5. TahapPengguna
bar 10 Pola siklus system life cycle.umber: McLeod and Schell, 2008)
diperlukan karena persoalan yang dihadap
ks, dinamis dan probabilistik sehingga interde
m mencapai tujuan sistem semakin rumit. Pe
menonjolkan tujuan yang hendak dicapai da
berpikir dalam suatu kerangka analisa.
imbulkan kompleksitas analisa sehingga men
puan diagnostik setiap permasalahan yang
2010).
mika Sistem
erupakan suatu metode untuk mempelajari sej
pertahankan atau memperoleh manfaat dar
dari dunia luar. Dengan demikian, dinamik
rilaku suatu sistem yang berubah menurut wakt
enjelaskan bagaimana umpan balik (feedback)
m tersebut, mendesain struktur umpan balik
olan yang tepat melalui simulasi dan optimalisa
odel kuantitatif dan kualitatif (Coyle, 1995). S
ciety (2011) menyebutkan bahwa dinamik
1. TahapPerencanaan
2. TahapAnalisis
3. TahapPerancangan
4. TahapImplementasi
apnaan
api semakin
rdependensi
Pendekatan
dan sangat
sa. Namun,
enghendaki
ng dihadapi
sejauh mana
dari adanya
mika sistem
aktu dengan
ck) informasi
lik informasi
lisasi sistem
. Sedangkan
ika sistem
35
merupakan sebuah pendekatan dengan bantuan komputer untuk menganalisis
dan mendesain sebuah kebijakan yang ditandai dengan adanya saling
ketergantungan, saling interaksi, umpan balik informasi, dan lingkaran hubungan
sebab akibat. Pendekatan ini dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang
dinamis yang timbul dalam sistem sosial, manajerial, ekonomi, ekologi, dan lain –
lain.
Sedangkan Sterman (2000) menyebutkan bahwa dinamika sistem
merupakan metode yang sangat kuat untuk mendapat informasi yang berguna
mengenai kompleksitas yang dinamis dan resistensi kebijakan. Kompleksitas
yang dinamis timbul karena sistem bersifat:
1. Dinamis. Perubahan dalam sistem terjadi pada skala yang banyak dan
skala yang berbeda – beda tersebut kadang – kadang berinteraksi.
2. Tightly coupled. Pelaku dalam sistem berinteraksi kuat satu sama lain dan
dengan lingkungannya.
3. Diatur oleh umpan balik (governed by feedback). Keputusan yang
menghasilkan perubahan menyebabkan perubahan sifat dan memicu
yang lain untuk bertindak, sehingga menimbulkan situasi baru yang akan
berpengaruh pada keputusan berikutnya.
4. Nonlinear. Dampak dari sesuatu jarang proporsional dengan
penyebabnya dan apa yang terjadi secara lokal dalam suatu sistem
sering tidak berlaku di daerah yang jauh. Non linearity sering meningkat
dari fisik dasar sistem dan juga banyaknya faktor yang berintegrasi dalam
pengambilan keputusan.
5. History – dependent. Ketergantungan terhadap satu jalur tertentu.
6. Self – organizing. Kedinamisan suatu sistem sering meningkat secara
spontan dari struktur internalnya.
7. Adaptive. Kapabilitas dan aturan – aturan keputusan dalam sistem yang
kompleks berubah setiap saat. Adaptasi juga terjadi sebagai proses
belajar dari pengalaman khususnya yang dipelajari dari cara baru untuk
mencapai tujuan dan menghadapi kendala.
8. Counterintuitive. Pada sistem yang kompleks, sebab dan akibat jauh
dalam ruang dan waktu, namun kita cenderung berusaha menjelaskannya
dengan mencari penyebab yang sedekat mungkin.
36
9. Policy resistant. Dalam sistem yang kompleks dimana kita memiliki
kemampuan untuk memahaminya, sepertinya banyak solusi yang jelas
untuk suatu masalah atau sebenarnya hanya memperburuk situasi.
10. Characterized by trade off.
Gambar 11 Pola umum perilaku dinamika sistem.(Sumber: Sterman, 2000)
Garcia (2006) menyebutkan bahwa tujuan dasar dari pendekatan dinamika
sistem adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai penyebab struktural
dari perilaku sistem. Untuk itu, pengetahuan mengenai peran dari setiap elemen
dari sistem sangat penting untuk menilai bagaimana tindakan yang berbeda dari
setiap elemen tersebut mempengaruhi kecenderungan perilaku sistem. Sterman
(2000) dan Kirkwood (1998) menyebutkan bahwa bentuk perilaku dasar dari
dinamika sistem adalah exponential growth, goal seeking, dan oscillation.
Masing-masing bentuk tersebut dari struktur umpan balik yang sederhana
dimana growth diperoleh dari umpan balik yang positif, goal seeking dari umpan
balik negative dan oscillation dari umpan balik negatif dengan delay waktu.
Bentuk perilaku seperti S-Shaped growth, S-shaped growth with overshoot and
oscillation, dan overshoot and collapse terbentuk dari inteksi nonlinier dari
struktur umpan balik dasar (Gambar 11).
Umpan balik yang membentuk pola perilaku dari setiap model
dinamika sistem merupakan salah satu inti dari konsep dinamika sistem
(Sterman, 2000). Untuk merepresentasikan struktur umpan balik dari suatu
sistem, causal loop diagram merupakan alat yang sangat penting. Diagram ini
37
sangat penting untuk: (i) menggambarkan secara cepat hipotesis penyebab
dinamika dalam sistem; (ii) memperoleh mental model; dan (iii)
mengkomunikasikan umpan balik yang penting dan dipercaya bertanggung
jawab terhadap permasalahan. Dalam causal loop diagram, setiap variabel
dihubungkan dengan hubungan sebab akibat (causal link) baik positif maupun
negatif (Tabel 2).
Tabel 2 Pengertian causal link
Simbol Interpretasi Rumus Matematis Contoh
X YJika X meningkat(menurun), makaY meningkat(menurun)
> 0
= ( +Ÿ) +
Luas areal
Produksi bijikakao
X Y
Jika X meningkat(menurun), makaY menurun(meningkat)
< 0
= (" +Ÿ) +
Harga biji kakao
Permintaan bijikakao oleh
industriSumber: (Sterman, 2000)
3.5. Pembangunan Model Dinamika Sistem
Model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang akan memperlihatkan
hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal balik atau hubungan
sebab akibat (Eriyatno, 2003). Sterman (2000) menyebutkan bahwa untuk
membangun model yang baik harus mengikuti proses yang terdiri dari: (1)
mengartikulasikan masalah yang harus diselesaikan; (2) formulasi “dynamic
hypotesis” atau teori tentang penyebab masalah; (3) formulasi model simulasi
untuk menguji dynamic hypotesis; (4) menguji model hingga sesuai dengan
tujuan; dan (5) merancang dan mengevaluasi kebijakan untuk perbaikan. Proses
tersebut merupakan langkah yang berulang (iteratif).
Secara umum, tahapan analisis dalam membangun model dengan
menggunakan dinamika sistem meliputi: (a) identifikasi masalah; (b)
merumuskan hipotesis dinamika sistem; (c) menyusun hubungan sebab akibat
yang kontinu atau interface diagram; (d) membangun model simulasi; (e)
+
-
+
-
38
melakukan pengujian model apakah dapat diterapkan di dunia nyata. Sterman
(2000) mengingatkan beberapa prinsip untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan model dinamika sistem yaitu: (a) model dikembangkan
untuk menyelesaikan masalah yang ada, bukan untuk memodelkan sistem; (b)
pemodelan harus terintegrasi sejak awal; (c) bersikap skeptis terhadap nilai
pemodelan sejak proyek dimulai; (d) dinamika sistem tidak dapat berdiri sendiri
sehingga perlu menggunakan alat dan metode lainnya yang sesuai; (e) fokus
pada pengimplementasian model sejak awal; (f) pemodelan yang terbaik
merupakan proses penyelidikan bersama yang dilakukan berulang – ulang; (g)
hindari pemodelan “black box”; (h) validasi merupakan proses yang kontinu
dalam menguji dan membangun kepercayaan terhadap model; (i) dapatkan
model awal yang bekerja secepat mungkin dengan hanya menggunakan rincian
yang diperlukan; (j) batasan model yang luas lebih penting daripada banyak
detail; (k) gunakan pemodel yang ahli; dan (l) implementasi model bukanlah akhir
dari pekerjaan.