ika film “jakarta maghrib” karya salman aristo bimo hakito print.pdf · menyebarkan hiburan,...
TRANSCRIPT
Jurnal
Pesan Moral Ditengah Perilaku Masyarakat Urban:
Analisis Semiotika Film “Jakarta Maghrib” Karya Salman Aristo
Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret
Diajukan Oleh:
Bimo Hakito
D1214018
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
1
Pesan Moral Ditengah Perilaku Masyarakat Urban:
Analisis Semiotika Film “Jakarta Maghrib” Karya Salman Aristo
Bimo Hakito
Widyantoro
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Jakarta became one of the cities in Indonesia contained urban society.
Along with the times and rapid globalization, the culture that comes from outside
can easily permeate the souls of Jakarta people who eventually will form a new
culture by itself. Jakarta Maghrib summarizes the "Maghrib" as a special time
that has long spread suppositions into the community. He tried to catch the sunset
not only as a religious phenomenon but as a typical part of the urban community
in Jakarta, then compile them into a five-link the story as a narrative delivery
strategy.
People living in large cities both in the elite housing and apartments are
very intimately with the individualist behavior. In contrast to the rural
communities who still likes to cooperate and help each other to solve a problem
or to achieve certain goals. The bustle of everyday life and a different lifestyle
with rural communities that make urban community seem indifferent and uncaring
toward others.
This study aims to determine the depth of the moral message which is
illustrated through a film titled Jakarta Maghrib so hopefully people can get a
clear picture of the moral message in the middle of the urban people's behavior
through the film Jakarta Maghrib. This type of research is qualitative descriptive
approach semiotic analysis, with data collection through scene-Jakarta Maghrib
movie scene in which there are elements that illustrate the moral message. Data
analysis technique uses semiotic analysis of Roland Barthes technique in which
researchers see their moral message through three aspects: the meaning of
denotation, connotation meaning and myths that exist in each scene and dialogue
in the film.
Keywords: Semiotics, Moral Message, Urban Society, Film
2
Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, film telah
menjadi suatu media komunikasi massa yang sangat populer di kalangan
masyarakat. Film juga memiliki peran sebagai sarana yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan
sajian lain kepada masyarakat umum. (McQuail, 1996:13).
Definisi film menurut UU No.33 Tahun 2009 tentang perfilman adalah
karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa
yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat
dipertunjukan. (Effendy, 2014:61). Film merupakan salah satu media komunikasi
dan termasuk dalam kategori pesan dalam lima unsur komunikasi yang
dikemukakan Leswell. Kelima unsur tersebut adalah Source (sumber), Message
(pesan), Channel (saluran), Receiver (penerima), dan Effect (efek). (Uchjana
Effendy, 2001:11)
Ketika kita melihat film Jakarta Maghrib, film dengan durasi 75 menit ini
memiliki tingkat kerumitan yang cukup kompleks. Dengan adanya produser,
sutradara, aktor, artistik, hingga ilustrasi musik diharapkan mampu menghibur
para penonton, memberikan pencerahan, dan menyampaikan pesan-pesan
komunikasi didalamnya.
Dalam penelitian film berjudul Jakarta Maghrib ini, peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif dengan menghasilkan data deskriptif dimana peneliti
mendeskripsikan atau mengkonstruksi dari teori-teori yang ada secara mendalam
terhadap objek penelitian. Selain itu, peneliti tertarik untuk meneliti film Jakarta
Maghrib karena ada suatu realita sosial beserta kompleksitas persoalan-persoalan
sosial yang terjadi di masyarakat. Khususnya masyarakat urban.
Atas dasar itulah peneliti tertarik untuk meneliti pesan moral dalam film
“Jakarta Maghrib” terhadap gaya hidup masyarakat urban. Dimana kebanyakan
film-film masa kini hanya mementingkan kebutuhan komersial tanpa
menyampaikan sebuah pesan, isu sosial, maupun pesan moral yang bisa diambil
hikmahnya.
3
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, apa saja pesan moral yang ditampilkan
dalam film Jakarta Maghrib?
Telaah Pustaka
1. Komunikasi Massa
Menurut Onong Uchjana Effendy, komunikasi adalah proses pernyataan
antar manusia. Yang dinyatakan adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada
orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya. (Effendy,
1993:28).
Pesan yang terdapat dalam komunikasi seperangkat simbol verbal maupun
simbol nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud dari
komunikator. Pesan menurut Onong Effendy adalah “suatu komponen dalam
proses komunikasi berupa paduan dari pikiran dan perasaan seseorang dengan
menggunakan lambang, bahasa/lambang-lambang lainnya disampaikan kepada
orang lain” (Effendy, 1989:224).
2. Komunikasi Verbal dan Non Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah
lisan maupun tertulis.Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan
antarmanusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi,
pemikiran, gagasan atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan
informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling
berdebat dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan
penting. (Hardjana, 2003:22).
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam
bentuk nonverbal. Tanpa kata-kata.Dalam hidup nyata komunikasi nonverbal
ternyata jauh lebih banyak dipakai daripada komunikasi verbal, dengan katakata.
(Hardjana, 2003:26).
4
3. Sejarah dan Definisi Film
Film merupakan salah satu media komunikasi massayang sudah ada sejak
abad 18. Kebanyakan film diciptakan sebagai sarana entertaining atau hiburan,
namun di sisi lain film juga dibuat sebagai sarana edukasi bagi masyarakat.
Thomas Alfa Edison adalah orang pertama yang mengembangkan kamera citra
bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang sedang
merekam asistennya ketika bersin. (Danesi, 2010 : 133).
4. Film sebagai Komunikasi Massa
Sekarang, film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni tetapi lebih
sebagai “komunikasi massa” (Jowett dan Linton, 1981) dan “praktik sosial”
(Turner, 1991). Kedua perspektif tersebut lebih melihat kompleksitas aspek film
sebagai medium komunikasi massa yang beroperasi di masyarakat (Irawanto,
1999:11).
Dari sudut pandang komunikasi massa, film memandang komunikasi
sebagai penyampaian pesan dan produksi serta pertukaran makna. Film dimaknai
dari pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi film yang memahami
hakekat, fungsi dan efeknya. Artinya, film berperan sebagai proses komunikasi
(Mulyana, 2002: 243).
Film mempunyai kekuatan untuk mengkontruksikan pesan lewat bahasa audio
visual. Realitas atau fakta yang berada dalam film seolah-olah muncul sebagai
representasi peristiwa yang objectif, jujur, adil, transparan. Penonton hanya
menjadi mayoritas yang diam ketika menonton film. Kekuatan film sebagai media
massa dibandingkan dengan jenis media massa lainnya adalah (Ardianto, 2007 :
145-147).
5. Film sebagai Representasi Realitas Masyarakat
Film mampu menangkap gejala-gejala dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat yang kemudian disajikan kembali kepada masyarakat untuk mendapat
5
apresiasi. Sebagai salah satu media komunikasi, film mengandung berbagai pesan
yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Pesan-pesan tersebut dibangun dari
berbagai macam tanda yang terdapat dalam film (Irawanto, 1999:14).
Film dalam merepresentasikan realitas akan selalu terpengaruh oleh lingkup
sosial dan ideologi dimana film tersebut dibuat dan akan berpengaruh kembali
terhadap kondisi masyarakatnya. Dalam waktu yang bersamaan, film
mengukuhkan suatu interaksi reflektif antara reflektif sinematik dan pengalaman
kehidupan riil yang ada diluar film itu sendiri. Interaksi ini adalah interaksi antara
masyarakatbdan film yaitu masyarakat dapat belajar dari film, film dapat
merefleksikan kehidupan masyarakatnya. Film dapat juga memberdayakan
masyarakat melalui tema kehidupan masyarakat yang diangkat kedalam film itu
sendiri (Irawanto, 1999:15).
Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengkaji adanya hubungan
antara film dengan kultur masyarakat, yaitu secara textual dan contextual (Turner,
1995: 153). Pendekatan tekstual berfokus pada teks-teks film. Film sebagai
sebuah teks dipahami sebagai ekspresi dari aspek-aspek tertentu pada kultur
masyarakatnya. Isi film yang ada di masyarakat, cenderung mempertahankan
struktur sosial yang sudah ada dengan cara mereproduksi makna-makna yang
berasal dari nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan kelompok-kelompok dominan
dalam masyarakat (Irawanto, 1999:16).
6. Sinematografi
Sinematografi merupakan teknik yang digunakan dalam pembuatan sebuah
film (Pratista, 2008 : 105-110).
a. Kamera
Pergerakan kamera juga mampu menunjukkan situasi atau lingkungan
sekitar subjek kamera. Komposisi gambar juga digunakan untuk
menunjukkan penekanan pada tokoh yang dianggap penting dengan
menunjukkan gambar secara dominan/komposisi yang lebih besar dari
yang lain (Turner, 1999:59-62)
6
b. Pencahayaan (Lighting)
Tata cahaya dalam film secara umum dapat dikelompokkan menjadi
empat unsur yakni, kualitas, arah, sumber serta warna. Keempat unsur
tersebut sangat mempengaruhi dalam membentuk suasana serta mood dalam
film (Pratista, 2008:75-78).
c. Tata Suara (Audio)
Suara dalam film dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yakni dialog,
musik dan efek suara. Dialog adalah bahasa komunikasi verbal yang
digunakan untuk semua karakter di dalam maupun luar cerita film (narasi).
Sementara musik adalah seluruh iringan musik serta lagu, baik yang ada
didalam maupun luar cerita film (musik latar). Sementara efek suara adalah
semua suara yang dihasilkan oleh semua objek yang ada di dalam maupun
luar cerita film (Pratista, 2008:149).
7. Moral
Moral berasal dari kata Latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan,
adat istiadat, kebiasaan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang
berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Moral merupakan kaidah norma
dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan
kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standard baik-buruk yang
ditentukan bagi individu nilai- nilai sosial budaya dimana individu sebagai
anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan
seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan
seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai
penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan (Ali dan Asrori, 2012: 136).
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai moral
dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya. Baik yang terdapat
dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis,
pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia
7
dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi
perkembangan nilai moral dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di
dalamnya (Ali dan Asrori, 2012: 146).
8. Perilaku
Robert Kwick (1974), menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau
perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.
(dikutip dari Notoatmodjo, 2003). Perilaku yang dimaksudkan oleh penulis disini
lebih kepada cerminan perilaku masyarakat urban dalam film “Jakarta Maghrib”.
Skinner (1938) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap stimulus/ rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi
melalui proses adanya organisme. Dan kemudian organisme tersebut merespon,
maka teori Skinner ini disebut “S-O-R” atau stimulus-organisme-respon.
9. Masyarakat Urban
Masyarakat urban adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain
dalam kehidupannya, sekelompok manusia yang saling membutuhkan tersebut
akan membentuk suatu kehidupan bersama yang disebut dengan masyarakat.
Masyarakat itu sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya
berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Soekamto,
2006).
10. Semiotika Roland Barthes
a. Pengertian Semiotika Roland Barthes
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia
ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam
8
istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam
hal ini di campuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). (Sobur,
2009 : 15).
Ciri khas semiotika Barthes terletak pada penggalian lebih jauh dari
penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian
masyarakat. Menurutnya, semiotika adalah “ilmu mengenai bentuk”. Studi ini
mengkaji signifikasi yang terpisah dari isinya. Semiotika tidak hanya meneliti
mengenai signifier dan signified, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka
(Sobur, 2004:123). Barthes menyarankan sebuah pluralitas makna dan interpretasi
yang pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri mengingatkan adanya perbedaan-
perbedaan yang dimiliki manusia, sejarah, dan kebudayaan masing-masing
(Kurniawan, 2001:117)
Jika teori semiotika Roland Barthes ini dikaitkan dengan karya audio visual,
maka setiap pesan yang disampaikan melalui karya tersebut merupakan pertemuan
antara signifier dengan signified. Lewat unsur verbal visual, diperoleh tingkatan
makna, yakni makna denotative yang di dapat pada semiosis tingkat pertama dan
makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Dengan kata lain,
denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan
konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pendekatan semiotik terletak
pada tingkatan kedua atau pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami
secara utuh (Tinarbuko, 2008: 15).
9
Metodologi
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif
dengan pendekatan semiotika komunikasi. Metode kualitatif merujuk pada
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi, apa yang ditulis dan
dikatakan oleh orang dan tingkah laku yang diamati. Penelitian deskriptif
bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat sifat individu, keadaan, gejala,
atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain
dimasyarakat (Koentjaraningrat, 1994:29).
Sajian dan Analisis Data
A. Scene 2
Time Code : 00.07.52 – 00.08.37
Shot a shot b
Pada scene 2, medium close up, adegan terjadi didalam kamar antara
Iman yang berprofesi sebagai satpam komplek dan Nur sebagai ibu rumah tangga.
Keduanya telah bersiap untuk bercinta layaknya pasangan suami istri. Namun
pada shot a nampak Iman dan Nur tidak jadi melakukan aktivitas bercinta
dikarenakan keduanya mendengar adzan Maghrib yang telah berkumandang.
Sempat terjadi kebingungan diantara keduanya. Antara ingin melanjutkan bercinta
atau tidak. Karena telah mendengar suara adzan Maghrib.
Pada dasarnya suara dalam film dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis,
yakni dialog, musik dan efek suara. Dialog adalah bahasa komunikasi verbal yang
digunakan untuk semua karakter di dalam maupun luar cerita film (narasi).
10
Sementara musik adalah seluruh iringan musik serta lagu, baik yang ada didalam
maupun luar cerita film (musik latar). Sementara efek suara adalah semua suara
yang dihasilkan oleh semua objek yang ada di dalam maupun luar cerita film
(Pratista, 2008:149).
“Ketika malam turun, dekatkanlah anak-anak kalian kepadamu, karena
waktu itu syaithan berkeliaran, sejam kemudian kalian dapat melepaskan mereka.
Dan tutuplah pintu-pintu rumahmu dan sebutlah nama Allah. Padamkanlah lampu
dan sebutlah nama Allah. Tutuplah minumanmu dan sebutlah nama Allah.
Tutuplah juga bejanamu dan sebutlah nama Allah. Sekalipun hanya dengan
meletakkan sesuatu di atasnya.” (HR. Bukhari).
Dari pengamatan analisis denotasi dan konotasi pada scene 2, bahwa
diantara sekian banyak masyarakat urban di Jakarta yang secara perlahan mulai
acuh terhadap lingkungan dan kejadian disekitar, masih ada seklumit generasi
yang berpegang teguh kepada keyakinannya. Sebagai contoh Ibu Nur yang
memegang tradisi kultur Islam, mengingatkan kepada Nur dan Iman jika bayi
tidak baik ditinggal sendirian dalam kondisi tertidur ketika Maghrib.
B. Scene 5
Time Code : 00.15.54 – 00.20.00
Shot a Shot b
Pada scene ini menampilkan adegan dan percakapan antara Baung dengan
Babe. Baung sempat mengkritik aktivitas Babe karena musholla yang dirawatnya
setiap hari tidak pernah dipedulikan oleh warga setempat. Dari perkataan Baung
11
tersebut dapat diketahui jika tingkat kepedulian masyarakat Jakarta sangat rendah
terhadap lingkungan sekitar, bahkan musholla dikomplek mereka sendiri
sekalipun. Namun kemudian timbul jawaban dari Babe yaitu “Baung.. warung
tidak bisa dibawa mati Ung.. tidak bisa..”. Babe pun nampak santai menjawab
pertanyaan Baung. Babe seolah-olah tanpa beban merawat musholla dan
mengerjakan dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Jawaban dari Babe menyimpan
makna jika kehidupan ini tidak hanya tentang duniawi saja. Hidup didunia tidak
akan abadi dan tidak bisa membawa mati harta benda yang kita miliki selama
hidup.
Ditengah-tengah scene ini Baung juga sempat melontarkan pertanyaan
kepada Babe yaitu “Emang Babe takut mati?”. Lalu Babe menjawab “Saya tidak
takut mati, saya takut kalo belum bikin apa-apa yang bener, saya keburu mati..
Itu yang saya takutkan Ung..” Backsound dalam adegan ini berubah menjadi
alunan piano dengan nada rendah yang memiliki makna terkesan sedih, haru,
derita dan juga kesengsaraan. Penggunaan nada-nada rendah dalam adegan
digunakan untuk mendukung pembentukan atmosfir yang terkesan dengan
perasaan-perasaan kekecewaan serta kesedihan. Srisayekti (2013: 3) menjelaskan
bahwa tangga nada minor sering digunakan untuk adegan sedih dan tangga nada
mayor untuk adegan bahagia.
Setelah menyadari Babe telah meninggal dunia dan hanya ada Baung yang
berada disekitar mushola, akhirnya Baung memberanikan diri untuk
mengumandangkan adzan. Hingga akhirnya warga berduyun-duyun ingin
memukuli seseorang yang sedang adzan tak lain adalah Baung dengan berkata
“Siapa lagi itu yang di mushola, kita hajar aja ayo! Pelecehan ini, dasar anak
kunyuk!” dari pernyataan warga tersebut menggambarkan jika warga masyarakat
di Jakarta mudah terprovokasi keadaan tanpa mengetahui fakta yang ada.
Dari lambang verbal dan nonverbal Scene ini kita bisa melihat sikap
keberanian yang ditampilkan Baung ketika ia memiliki inisiatif untuk
memberanikan diri mengumandangkan adzan. Padahal Baung masih berpakaian
ala preman dan tanpa pikir panjang langsung menuju mushola untuk
mengumandangkan adzan Maghrib. Keberanian memiliki kata dasar berani yang
12
berarti bukan tidak adanya rasa takut, tetapi bagaimana seseorang mampu
mengatasi rasa takut hingga melahirkan suatu tindakan berani menghadapi apa
yang ada di depannya (Chip R. Bell & Billijack R. Bell, 2003: 241).
Pada saat Babe meninggal dunia dan diketahui oleh Baung, seketika
muncul alunan nada music Islami setelah Baung mengumandangkan adzan
Maghrib. Menurut Pratista (2008: 154) dalam bukunya yang berjudul Memahami
Film, “Musik merupakan elemen yang berperan penting dalam memperkuat
mood, nuansa, serta suasana sebuah film.”
C. Scene 7
Time Code : 00.17.34 – 00.23.10
Shot a Shot b
Shot c Shot d
Karena kesal menunggu, Ivan mulai beraksi mengarang cerita horror
kepada pemilik playstation, Ence Bagus. Namun ia tidak takut. Kemudian ia
menakut-nakuti anak-anak yang sedang bermain playstation itu. Dalam adegan
13
ini, seketika muncul backsound bertema horor. Ivan mengarang cerita tentang
hantu yang datang ketika menjelang maghrib. Anggapan yang berkembang
disebagian masyarakat jika setan akan berkeliaran ketika Maghrib. Maka dari itu
sebaiknya meninggalkan hal-hal yang tidak penting dan kembali kerumah masing-
masing.
Dengan contoh ini, Barthes ingin memperlihatkan bahwa gejala suatu
budaya dapat memperoleh konotasi sesuai dengan sudut pandang suatu
masyarakat. Jika konotasi itu sudah mantap, maka ia menjadi mitos, sedangkan
mitos yang sudah mantap akan menjadi ideologi (Barthes, dalam Rusmana, 2005).
Ekspresi suara dan wajah sama-sama penting dalam mengkomunikasikan
ekspresi emosi pada diri seseorang kepada lawan bicaranya (M. Darwis Hude,
2006: 48-51).
Pada scene 7 ditemukan bahwa ada mitos yang berkembang didalam
masyarakat tentang adanya setan atau jin yang berkeliaran ketika Maghrib.
Namun masih banyak masyarakat urban yang memiliki moral rendah serta
terkesan kurang peduli dengan hal-hal yang berbau reliji.
"Jika malam datang menjelang, atau kalian berada di sore hari, maka
tahanlah anak-anak kalian, karena sesungguhnya ketika itu setan sedang
bertebaran. Jika telah berlalu sesaat dari waktu malam, maka lepaskan mereka.
Tutuplah pintu dan berzikirlah kepada Allah, karena sesungguhnya setan tidak
dapat membuka pintu yang tertutup. Tutup pula wadah minuman dan makanan
kalian dan berzikirlah kepada Allah, walaupun dengan sekedar meletakkan
sesuatu di atasnya, matikanlah lampu-lampu kalian." (HR. Bukhari, No. 3280,
Muslim, No. 2012).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan intrepretasi yang dilakukan terhadap film
“Jakarta Maghrib” dengan menggunakan metode analisis semiotika Roland
Barthes, pada akhirnya penulis menemukan serangkaian simbol-simbol serta
makna pesan moral yang terkandung dalam objek penelitian tersebut. Berikut ini
kesimpulannya :
14
Film “Jakarta Maghrib” merupakan sebuah film yang merepresentasikan
tentang adanya pesan moral terutama dalam perilaku masyarakat urban. Perilaku
masyarakat kelas menengah seperti Iman dan Nur dalam masyarakat urban, faktor
perekonomian menjadi salah satu penyebab konflik rumah tangga. Perekonomian
keluarga yang serba pas-pasan membuat perilaku dan gaya hidup masyarakat
kelas menengah ini harus lebih giat dalam mencari nafkah sehingga kurangnya
ruang dan waktu untuk sejenak bersama keluarga hal itu sebagian dari siklus
kehidupan di kota Jakarta.
Lemahnya nilai reliji dan kurangnya pula pendidikan agama dan moral serta
didukung lingkungan yang negatif hal itu memicu terbentuknya pribadi-pribadi
seperti Baung sebagai seorang preman. Pada film “Jakarta Maghrib” lah sebagian
aspek perilaku masyarakat urban divisualisasikan agar menjadi cerminan dan
menjadi pesan moral bagi masyarakat manapun untuk mengambil suatu hal yang
positif dan membuang hal-hal yang negatif dalam gaya hidup keseharian.
Saran
Film “Jakarta Maghrib” secara lugas dan baik mencerminkan gaya hidup
masyarakat urban saat ini dimana peristiwa-peristiwa yang kompleks ada dalam
film tersebut mulai dari persoalan rumah tangga sampai para pemuda-pemudi
menjadi penganut modernisme, seolah menyadarkan kita akan pentingnya apa
yang terjadi disekeliling kita menjadi sebuah pembelajaran dan kontrol bagaimana
sebagai makhluk sosial harus bisa menyaring segala pergaulan dan menjaga
keluarga kita dari hal-hal yang negatif.
Untuk media massa khususnya film, media sebagai fungsi informasi dan
fungsi kontrol. Dewasa ini film sebagai media massa yang efektif yaitu harus
lebih banyak mengangkat isu-isu dan pesan moral.
15
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad dan M. Asrori. (2012). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala. (2007). Komunikasi Massa: Suatu
Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Danesi, Marcel. (2010). Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.
Effendy, Onong Uchjana. 2001. Ilmu Komunikasi dan Praktek. Bandung :
ROSDA.
Hardjana, Agus. M. (2003). Komunikasi Intrapersonal Dan Interpersonal.
Yogyakarta: Kanisius.
Irawanto, Budi. (1999). Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam
Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.
Koentjaraningrat. (1994). Metode – Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia
Mc Quail, Denis. (1996). Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta:
Erlangga.
Mulyana, D. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Notoatmodjo S., (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Pratista, Himawan. (2008). Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.
Skinner, B.F. (1938). The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis.
Cambridge. Massachusetts: B.F. Skinner Foundation.
Sobur, Alex. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Rosda Karya.
Soerjono Soekanto. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sutopo, HB. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Tinarbuko, Sumbo. (2008). Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.
Turner, Graeme. (1999). Film as Social Practise. London and New York:
Routledge.
Wiryanto. (2000). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Grasindo.
Pengertian Adzan.
(http://www.google.com/#q=pengertian+adzan). Diakses pada pukul 16:14 WIB,
20 Oktober 2016.
Mitos tentang Maghrib.
http://www.infoyunik.com/2015/02/mitos-larangan-keluar-saat-maghrib-
bisa.html. Diakses pada pukul 16:34 WIB, 20 Oktober 2016.