ilyas,1973

70
PENGARUH LAMA FERMENTASI DAN SUHU PENGERINGAN TERHADAP JUMLAH ASAM AMINO LISIN DAN KARAKTER FISIKO-KIMIA TEPUNG TEMPE THE EFFECTS of FERMENTATION PERIOD AND DRYING TEMPERATURE TO THE AMOUNT of LYSIN AND THE PHYSICO-CHEMICAL CHARACTERISTICS of TEMPEH POWDER SKRIPSI Ditujukan untuk memenuhi sebagian dari syarat – syarat guna memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan Oleh: Paula Kartika Dewi W. NIM : 02.70.0045 2006 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

Upload: eva-putri-harjito

Post on 27-Dec-2015

18 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

sadsd

TRANSCRIPT

Page 1: ilyas,1973

PENGARUH LAMA FERMENTASI DAN SUHU

PENGERINGAN TERHADAP JUMLAH ASAM AMINO LISIN

DAN KARAKTER FISIKO-KIMIA TEPUNG TEMPE

THE EFFECTS of FERMENTATION PERIOD AND DRYING

TEMPERATURE TO THE AMOUNT of LYSIN AND THE

PHYSICO-CHEMICAL CHARACTERISTICS of

TEMPEH POWDER

SKRIPSI

Ditujukan untuk memenuhi sebagian dari syarat – syarat guna memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pangan

Oleh:

Paula Kartika Dewi W. NIM : 02.70.0045

2006

JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

Page 2: ilyas,1973

PENGARUH LAMA FERMENTASI DAN SUHU

PENGERINGAN TERHADAP JUMLAH ASAM AMINO LISIN

DAN KARAKTER FISIKO-KIMIA TEPUNG TEMPE

THE EFFECTS of FERMENTATION PERIOD AND DRYING

TEMPERATURE TO THE AMOUNT of LYSIN AND THE

PHYSICO-CHEMICAL CHARACTERISTICS of

TEMPEH POWDER

Oleh:

Nama : PAULA KARTIKA DEWI W.

NIM : 02.70.0045

Program Studi : Teknologi Pangan

Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan di hadapan sidang penguji pada tanggal 22 Febuari 2006

Semarang, Maret 2006

Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Katolik Soegijapranata

Pembimbing I Dekan

Kristina Ananingsih, ST., MSc. Kristina Ananingsih, ST., MSc.

Pembimbing II

Ir. B. Soedarini, MP.

Page 3: ilyas,1973

i

RINGKASAN

Tempe secara luas dikenal sebagai makanan tradisional Indonesia yang bergizi tinggi tetapi memiliki daya tahan simpan yang singkat. Peningkatan kualitas dan umur simpan tempe dapat dilakukan melalui pengolahan lebih lanjut menjadi tepung. Namun, kelemahan utama tepung tempe adalah rasanya pahit. Rasa pahit tepung disebabkan oleh asam-asam amino bebas yang berasa pahit (salah satunya adalah asam amino lisin) sebagai hasil pemecahan protein selama proses fermentasi. Selain dipengaruhi oleh lama fermentasi, rasa pahit dalam tepung tempe juga dipengaruhi oleh suhu pengeringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari perbedaan lama waktu fermentasi tempe dan suhu yang digunakan untuk mengeringkan tempe terhadap sifat fisik, kimia dan jumlah asam amino lisin pada tepung tempe. Dalam penelitian ini, tempe dengan umur fermentasi 36 jam dan 42 jam dikeringkan menggunakan dehumidifier, masing-masing dengan suhu 50 0C, 60 0C, dan 70 0C untuk selanjutnya ditepungkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka kadar protein, kadar lemak, dan nilai bulk density semakin tinggi, namun waktu kemampuan pembasahan, nilai intensitas warna, dan jumlah asam amino lisinnya makin rendah. Sedangkan semakin lama waktu fermentasi tempe yang digunakan maka kadar protein dan jumlah asam amino lisinnya meningkat, namun kadar lemak, nilai bulk density, waktu kemampuan pembasahan, dan nilai intensitas warnanya makin menurun. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa tepung tempe hasil dari tempe fermentasi 36 jam dengan suhu pengeringan 70 0C yang paling baik, karena produk yang dihasilkan kandungan asam amino lisinnya rendah, serta memiliki sifat kimia dan fisik yang baik.

Page 4: ilyas,1973

ii

SUMMARY

Tempeh is widely known as Indonesian traditional food which has high nutritional value, but its have very short shelf life. The quality and shelf life of tempeh can be improve by further processing to make tempeh powder. However the main shortage of tempeh powder is bitter taste. Bitter taste is caused by some free amino acids which have bitter taste (lysin is one of these amino acids). That came from protein degradation during fermentation process. Bitter taste in tempeh powder is also caused by the drying temperature. The main purpose of this research is to know the effect of different fermentation period in tempeh production and of different temperature during drying towards physical and chemical characteristics including the amount of lysin amino acid. In this research, tempeh taken from 36 hours and 42 hours fermentation are dried using dehumidifier at temperature 50 ºC, 60 ºC, and 70 ºC then followed by flouring process. The results show that the higher drying temperature gives the higher protein, fat, and bulk density level, but the higher drying temperature gives the lower rehydration capacity, color intensity value, and lysin amino acid value. While the longer tempeh fermentation gives the higher protein and lysin amino acid value, but the longer tempeh fermentation gives the lower fat level, bulk density, rehydration capacity and color intensity value. Moreover, the research shows that the best quality of tempeh powder is produced by tempeh fermentation for 36 hours and the drying 70 ºC temperature, which is contain the lowest lysin amino acid and has a good physical and chemical characteristics.

Page 5: ilyas,1973

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas segala berkat dan kasih

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul :

PENGARUH LAMA FERMENTASI DAN SUHU PENGERINGAN TERHADAP

JUMLAH ASAM AMINO LISIN DAN KARAKTER FISIKO-KIMIA TEPUNG

TEMPE dengan baik. Laporan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat penulis untuk

memenuhi kelengkapan akademis guna memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak baik bimbingan, nasehat,

arahan, serta doa maka laporan ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu,

pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Ibu Kristina Ananingsih, ST, M.Sc, selaku Dekan Fakultas Teknologi Pertanian dan

dosen pembimbing pertama yang telah memberikan topik kepada penulis, sabar dan

banyak membantu baik memberikan masukkan, arahan serta bimbingan kepada

penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsinya dengan baik.

2. Ibu Ir. Soedarini, MP, selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak

memberikan masukkan, arahan dan berbagai informasi serta bimbingan dalam

membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Ir. Ch. Retnaningsih, MP; yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan

semangat kepada penulis.

4. Seluruh dosen pengajar di Fakultas Teknologi Pertanian yang telah berkenan

membantu dan membimbing penulis selama ini. Jasa Bapak dan Ibu sekalian tidak

akan saya lupakan. ϑ

5. Pak Felix Soleh Khuntoro yang telah banyak membantu dan mendukung penulis,

terutama dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium. Makasih banget ya pak, atas

hiburan dan masukkannya di saat penulis sedang putus asa. ϑ

6. Pak Pri yang telah banyak membantu dan mendukung penulis selama ini. Thanks ya

pak Pri ϑ . Juga untuk Pak Aris yang sempat ikut membantu penulis dalam

pelaksanaan skripsi ini.

Page 6: ilyas,1973

iv

7. Seluruh keluargaku yang sangat tercinta : Cie Joyce dan Ko Arfan (yang sangat baik

hati, mau membantu penulis selama di Yogyakarta), papi yang udah ada di surga,

mami, Cie Sonya dan Ko Victor yang telah banyak memberikan dukungan baik doa,

semangat, tenaga maupun materiil pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Adree (Q-minqu), yang meskipun jauh selalu sabar mendengarkan keluh kesah,

memberikan cinta, semangat, nasehat, dukungan, dan doa kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Thanks a lot yach... 9. Teman-temanku terbaek dan tersayang : Moei, Itax, Ruth, Febe, Anas, Winny, dan

Ivana terima kasih banyak atas dukungan dan semangatnya saat penulis sering up and

down, serta doanya, hingga laporan ini bisa selesai dengan baik.

10. Kepada teman-teman yang bersama-sama melakukan kegiatan penelitian di

laboratorium : Ferry, Oliv, Iguank, Marini, Nyun, Wulan, Tina, Ratna, Agnes, Deny,

Camel, Ood, Robert, Anton, Sari, Arum, Sinta dan masih banyak lagi, yang tidak bisa

disebut satu persatu, susah senang ditanggung bersama. Terima kasih atas bantuan

dan dukungannya!! Acay-acay fighting... ϑ

11. Teman-temanku dekat : Anitya, Ridwan, Daphina, Fanny, Monce, Kartika, Wenny

dan Ko Yong yang selalu memberikan masukkan dan perhatiannya kepada penulis.

Kalian emank OK ^_^

12. Dan kepada teman-temanku seluruh angkatan 2001, 2002, dan 2003 yang juga telah

memberi dorongan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan

skripsi ini.

13. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Teknologi Pertanian Jurusan Teknologi Pangan

Universitas Katolik Soegijapranata Semarang yang telah banyak membantu dalam hal

administrasi.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan serta bimbingannya

semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai dan membalas segala kebaikan semua

pihak yang telah membantu. Amin.

Semarang, Febuari 2006

Penulis

Page 7: ilyas,1973

v

DAFTAR ISI

RINGKASAN ....................................................................................................... i

SUMMARY .......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... v

DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi

DAFTAR GAMBAR............................................................................................. vii

DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... viii

1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

2. MATERI DAN METODA............................................................................... 12

2.1. Pelaksanaan Penelitian.............................................................................. 12 2.2. Materi ....................................................................................................... 12 2.3. Metode...................................................................................................... 12

2.3.1. Pembuatan Tepung Tempe ............................................................. 12 2.3.2. Analisa Kimia ................................................................................ 12 2.3.2.1. Kadar Air ......................................................................... 12 2.3.2.2. Kadar Protein (Metode Mikro Kjeldahl)........................... 13 2.3.2.3. Kadar Lemak (Metode Soxhlet) ....................................... 13 2.3.3. Analisa Fisik .................................................................................. 14 2.3.3.1. Bulk Density..................................................................... 14 2.3.3.2. Kemampuan Pembasahan ................................................ 14 2.3.3.3. Intensitas Warna .............................................................. 14 2.3.4. Analisa Kandungan Asam Amino Lisin dengan HPLC................... 14 2.3.5. Analisa Statistik ............................................................................. 15

3. HASIL PENELITIAN...................................................................................... 16

3.1. Analisa Kimia Tepung Tempe .................................................................. 17 3.2. Analisa Fisik Tepung Tempe .................................................................... 20 3.3. Analisa Asam Amino Lisin Tepung Tempe .............................................. 22

4. PEMBAHASAN.............................................................................................. 24

5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 30

6. DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 31

7. LAMPIRAN

Page 8: ilyas,1973

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Kandungan Zat Gizi Kedelai dan Tempe….......................... 2

Tabel 2. Perubahan Asam Amino Bebas Selama Fermentasi Tempe (mg/100 gr bahan) ................................................................................... 9

Tabel 3. Data Kadar Air, Kadar Protein, dan Kadar Lemak pada Tepung Tempe…. 17

Tabel 4. Data Bulk Density, Kemampuan Pembasahan dan Intensitas Warna pada

Tepung Tempe......................................................................................... 20

Tabel 5. Jumlah Asam Amino Lisin pada Tepung Tempe…………………………. 22

Page 9: ilyas,1973

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alat Pengering Dehumidifier .............................................................. 8

Gambar 2. Komponen Alat HPLC ....................................................................... 10

Gambar 3. Tepung Tempe ................................................................................... 16

Gambar 4. Tempe Segar ...................................................................................... 17

Gambar 5. Kadar Air pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan .. 18

Gambar 6. Kadar Protein pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan…… ................................................................................... 18

Gambar 7. Kadar Lemak pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan….. ..................................................................................... 19

Gambar 8. Nilai Bulk Density pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan….. ..................................................................................... 20

Gambar 9. Kemampuan Pembasahan pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan……………………………………………………… 21

Gambar 10. Intensitas Warna pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan……………….……………………………………………… 21

Gambar 11. Kadar Asam Amino Lisin pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan……………………………………………………… 23

Page 10: ilyas,1973

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Nilai Intensitas Warna

Lampiran 2. Kromatogram Jumlah Asam Amino Lisin

1. Kromatogram Tepung Tempe B, 36, 50 2. Kromatogram Tepung Tempe B, 36, 60 3. Kromatogram Tepung Tempe B, 36, 70 4. Kromatogram Tepung Tempe B, 42, 50 5. Kromatogram Tepung Tempe B, 42, 60 6. Kromatogram Tepung Tempe B, 42, 70 7. Kromatogram Standard

Lampiran 3. Perhitungan Jumlah Asam Amino Lisin

Lampiran 4. Analisa Data Pengukuran Kadar Air

Lampiran 5. Analisa Data Pengukuran Kadar Protein

Lampiran 6. Analisa Data Pengukuran Kadar Lemak

Lampiran 7. Analisa Data Pengukuran Bulk Density

Lampiran 8. Analisa Data Pengukuran Kemampuan Pembasahan

Lampiran 9. Analisa Data Pengukuran Intensitas Warna

Lampiran 10. Analisa Data Pengukuran Asam Amino Lisin

Page 11: ilyas,1973

1

1. PENDAHULUAN

Tempe kedelai adalah bahan makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang yang

berupa padatan dan berbau khas serta berwarna putih keabu-abuan. Telah diketahui

bahwa tempe merupakan makanan asli Indonesia yang kandungan gizinya patut

diperhitungkan. Tempe merupakan sumber yang baik untuk memenuhi kebutuhan gizi

dan membina kesehatan tubuh karena banyak mengandung asam amino esensial, asam

lemak esensial, vitamin B kompleks, dan serat kasar (Kasmidjo, 1990).

Tempe merupakan hasil proses fermentasi. Dalam kegiatan itu selalu terlibat tiga faktor

pendukung, yaitu bahan baku yang diurai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe),

dan keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses fermentasi

tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah keping-keping biji kedelai yang telah

direbus, mikroorganismenya berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus

oryzae, Rhizopus stolonifer (dapat kombinasi dua spesies atau ketiga-tiganya), dan

lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30°C, pH awal 6,8 serta kelembaban nisbi

70-80%

Dalam pembutan tempe mula-mula kedelai dibersihkan dan dicuci, kemudian direndam

dengan air besih selama satu malam. Selanjutnya kedelai tersebut direbus selama 30

menit. Perebusan ini bertujuan untuk menghilangkan bau langu pada kedelai. Kedelai

yang sudah direbus tersebut dicuci lagi hingga bersih kemudian direndam selama satu

malam. Selanjutnya kedelai tersebut dicuci dan dibersihkan lagi hingga tidak ada kulit

arinya. Kedelai yang telah benar-benar bersih itu, kemudian direbus sekitar 15-30 menit

supaya menjadi lebih lunak. Setelah itu, didinginkan beberapa waktu kemudian baru

ditambahkan laru tempe. Campuran antara kedelai dan laru tempe tersebut diaduk

hingga merata. Selanjutnya dibungkus menggunakan plastik atau daun dan diinkubasi

selama 48 jam. Setelah itu tempe segar siap diolah lebih lanjut (Sarwono, 1996).

Tempe memiliki tekstur yang lebih lembut daripada kedelai, karena enzim-enzim yang

dihasilkan selama proses fermentasi mengakibatkan modifikasi struktur protein, lemak,

dan karbohidrat. Enzim-enzim yang diproduksi selama fermentasi adalah lipase,

Page 12: ilyas,1973

2

protease, dan amilase. Di dalam perut, enzim-enzim ini membantu memudahkan

pencernaan makanan (Anonim, 2004).

Tempe umumnya digunakan untuk lauk pauk. Akan tetapi, tempe memiliki banyak

kelemahan dalam bentuk segar antara lain tidak kuat disimpan dalam jangka waktu lama

dan penggunaannya sangat terbatas untuk lauk pauk saja. Lain halnya jika tempe itu

dibuat menjadi tepung. Selain dapat disimpan dalam jangka waktu panjang, tepung

tempe dapat diolah menjadi berbagai macam makanan. Penggunaan tempe menjadi

lebih multi guna (Sarwono, 1996).

Menurut Haslina & Pratiwi (1996), sifat tempe yang menguntungkan sebagai bahan

makanan antara lain kandungan protein baik tempe maupun kedelai sangat lengkap dan

mengandung delapan macam asam amino esensial, kandungan vitamin B12 tinggi,

kandungan lemak jenuh dan kolesterol yang rendah, dan mempunyai tekstur seluler

yang unik sehingga mudah dicerna dan diserap. Kandungan tempe lebih tinggi daripada

kedelai karena tempe telah mengalami proses fermentasi (Sholihin, 2004).

Perbandingan kandungan zat gizi kedelai dan tempe dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Kandungan Zat Gizi Kedelai dan Tempe

Zat Gizi dan Faktor Mutu Gizi Kedelai Tempe Kadar zat gizi

(%) bahan kering Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Kalsium Fosfor Besi

Faktor mutu gizi Nilai cerna Nilai hayati Nisbah keefisienan protein Net Protein Utilizition Std

46.2 19.1 28.5 3.7 6.1 254 781 11

75-89 (82) 41-74 (58) 0-1.6 (0.7)

48-61

46.5 19.7 30.2 7.2 3.6 347 729 9

83

2.12

Keterangan : Angka dalam kurung adalah angka rata-rata Sumber : Haslina & Pratiwi (1996)

Page 13: ilyas,1973

3

Secara kuantitatif, nilai gizi tempe sedikit lebih rendah daripada nilai gizi kedelai.

Namun secara kualitatif nilai gizi tempe lebih tinggi karena tempe mempunyai nilai

cerna yang lebih baik. Hal ini disebabkan kadar protein yang larut dalam air akan

meningkat akibat aktivitas enzim proteolitik (Widianarko et al., 2000).

Pengolahan bahan pangan dengan metode pengeringan dimaksudkan untuk

mengendalikan laju kerusakan bahan pangan dengan tujuan untuk memperoleh bahan

pangan olahan kering yang bermutu, aman, dan stabil selama masa penyimpanan

(Winarno et al., 1984). Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau

menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut

menggunakan energi panas (Baker, 1997).

Pengeringan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dan menghambat

pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim. Mekanisme pengeringan yang berlaku pada

bahan pangan yaitu udara panas dialirkan ke bahan pangan kemudian ditransfer ke

permukaan bahan sehingga menyebabkan air dalam bahan pangan menguap. Panas pada

tahap ini adalah panas laten. Dasar metode pengeringan ini adalah proses difusi, difusi

uap air melewati lapisan udara dan terbawa dengan perpindahan udara sehingga tekanan

uap air pada permukaan bahan lebih kecil dan tekanan yang digunakan untuk

menghilangkan air tersebut disebut driving force atau gaya pendorong (Fellows, 1990).

Menurut Kendall & Allen (2002) dan Whitfield (2002), kandungan air di dalam produk

pangan yang telah dikeringkan bervariasi mulai dari 5% hingga 25% tergantung pada

jenis bahannya. Biji-bijian dan kacang-kacangan misalnya padi, jagung, kacang kedelai,

kacang tanah, kacang hijau, dll biasanya dikeringkan sampai kadar air 10% (Winarno et

al., 1984). Selain itu keberhasilan proses pengeringan tergantung pada kecukupan

energi panas untuk menguapkan air di dalam bahan pangan dengan adanya udara kering

untuk menyerap uap air yang dibebaskan, dan adanya sirkulasi udara yang cukup untuk

membawa uap air keluar. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan adalah

bahwa proses tersebut sedapat mungkin berlangsung pada suhu yang tidak

menimbulkan banyak pengaruh terhadap aroma, tekstur, dan warna bahan pangan yang

akan dikeringkan (Baker, 1997). Sehingga dalam proses pengeringan dikenal dengan

Page 14: ilyas,1973

4

istilah critical temperature (suhu kritis) yang merupakan suhu saat jaringan bahan

menjadi kering tetapi mengalami perubahan warna dan flavor yang tidak dikehendaki

(Gould, 1996).

Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi

lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan

pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transpor,

dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah. Di samping

keuntungan-keuntungannya, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu

karena sifat asal bahan yang dikeringkan dapat berubah, misalnya bentuknya, sifat-sifat

fisik dan kimianya, penurunan mutu dan sebagainya. Kerugian yang lainnya juga

disebabkan beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum dipakai,

misalnya harus dibasahkan kembali (rehidrasi) sebelum digunakan (Winarno, 1993).

Tempe dapat dibuat tepung untuk bahan campuran pembuatan kue. Proses pembuatan

tepung tempe adalah dengan cara tempe dikukus, digiling, dikeringkan, ditumbuk

menjadi tepung, dan diayak untuk mendapatkan butiran-butiran tepung tempe yang

halus. Proses pengukusan tempe bertujuan untuk menghentikan proses fermentasi agar

tidak berlangsung lebih lanjut. Tepung tempe dapat dengan baik ditambahkan pada

makanan lain tanpa mengurangi atau merubah cita rasa makanan yang ditambahkan.

Tepung tempe dapat digunakan sebagai sumber protein utama dalam makanan, seperti

bubur instan misalnya (Sarwono, 1996).

Tepung tempe merupakan salah satu produk dari tempe yang cukup potensial untuk

dikembangkan sebagai produk pangan sumber energi yang bermanfaat, mengingat nilai

gizinya yang tinggi, terutama kandungan protein dan lemaknya. Penggunaan tempe

biasanya hanya terbatas sebagai lauk. Tetapi bila dibuat menjadi tepung setelah

dilakukan pengeringan, maka penggunaannya akan menjadi lebih luas. Keuntungan

dalam bentuk tepung yaitu lebih awet dan dapat dicampurkan dengan makanan lain

sehingga dapat dikonsumsi oleh bayi, anak-anak ataupun orang-orang lanjut usia dan

bahkan dapat dibuat menjadi minuman sebagai pengganti susu kedelai yang mempunyai

flavor yang kurang disukai, selain itu juga akan lebih mudah diperkaya dengan vitamin,

Page 15: ilyas,1973

5

mineral, maupun metionin yaitu asam amino pembatas pada kedelai (Astuti et al.,

1982).

Menurut Kusharyanto & Budiyanto (1995), aplikasi tepung tempe untuk bahan

campuran antara lain :

1. Makanan bayi

Potensi tempe yang dapat menaikkan daya tahan terhadap infeksi dalam mencegah diare

akan sangat baik bila dimanfaatkan untuk campuran makanan bayi. Dalam pembuatan

makanan bayi berupa bubur dan susu penggunaan tepung tempe dapat untuk

menggantikan serealia bubur bayi.

2. Makanan anak-anak

Kandungan protein, lemak, dan karbohidrat yang terkandung dalam tepung tempe

terdapat dalam bentuk sederhana, sehingga sangat baik jika digunakan sebagai

campuran makanan anak-anak. Pemanfaatan tempe sebagai makanan anak-anak dapat

merupakan campuran padat pengganti serealia atau pengganti tepung terigu pada

pembuatan cookies.

3. Makanan ibu hamil dan menyusui

Penggunaan tepung tempe sebagai sumber protein dapat menggantikan skim atau

sumber protein lain pada produk makanan atau minuman ibu hamil dan menyusui.

4. Makanan lanjut usia

Tempe mempunyai sifat hipolipidemik dan mengandung banyak senyawa antioksidan

sehingga sangat baik sebagai campuran makanan untuk lanjut usia, baik berupa bubur

sereal maupun minuman kesehatan.

Flavor intrinsik yang terdapat pada kedelai dapat dihilangkan dengan pemberian uap air

panas. Pengujian pada tepung kedelai menunjukkan bahwa pemberian uap air panas

selama 10 menit dan 40 menit sama-sama efektif dalam menghilangkan flavor (Cowan

et al., 1973). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Astuti et al., (1982),

pengukusan tempe yang dilakukan selama 45 menit sebelum dilakukan pengeringan,

tidak mempengaruhi kandungan proteinnya. Ini dikarenakan pengukusan selama 45

menit tidak berpengaruh terhadap kandungan N terlarutnya.

Page 16: ilyas,1973

6

Pada prinsipnya pembuatan tempe menjadi tepung melalui beberapa tahap yang harus

dilakukan, yakni :

a. Tahap mematikan mikrobia.

Blanching merupakan salah satu tahap pengolahan yang penting bagi suatu bahan yang

akan dikeringkan. Blanching adalah suatu proses pemanasan yang diberikan kepada

bahan mentah selama beberapa menit pada suhu mendekati air mendidih atau tepat

pada suhu air mendidih. Adapun maksud proses blanching tergantung pada maksud

dari tujuan pengolahan. Dalam proses pengeringan ini blanching mempunyai tujuan

untuk mematikan dan mengurangi mikrobia yang ada di permukaan bahan

(Muljohardjo, 1983).

Menurut Arthey & Dennis (1991), pemberian perlakuan pemanasan yang disebut

dengan blanching diperlukan untuk mencegah perubahan akibat aktivitas enzim dan

mikroba pada makanan. Ada dua macam metode blanching, yaitu steam blanching dan

hot water blanching. Steam blanching merupakan metode blanching yang baik karena

dapat mencegah pelepasan larutan dari produk. Hal ini dapat meningkatkan daya tahan

nutrien terlarut terutama vitamin larut air dan menurunkan cairan terlarut dari proses

blanching.

Mikrobia yang terdapat dalam tempe adalah dari genus Rhizopus, sehingga mematikan

mikrobia dalam tempe yang dimaksud adalah mematikan kapang Rhizopus. Tahap ini

perlu dilakukan karena jika kapang tidak dimatikan akan diperoleh tepung tempe yang

berasa tidak enak. Steam blanching atau cara pengukusan ini dilakukan dengan cara

pemberian suhu yang tinggi pada tempe dengan uap air. Jika dibandingkan dengan hot

water blanching, maka cara pengukusan lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan

karena dengan pengukusan berarti tidak melarutkan vitamin B12, vitamin B2

(riboflavin), vitamin B6, niacin, dan asam pantothenat karena bersifat tidak tahan panas,

dapat mematikan spora dan tidak ada zat padat yang terlarut akan rusak selama

pengukusan (Senodarmoamidjojo, 1964).

Perlakuan blanching dapat menyebabkan enzim menjadi non aktif sehingga tidak

merangsang perubahan metabolisme yang menyebabkan perubahan warna dan

Page 17: ilyas,1973

7

timbulnya bau tidak enak (Ikrawan, 2004). Dalam proses blanching terjadi inaktivasi

enzim lipase sehingga tidak terjadi penguraian yang berkelanjutan dari trigliserida

menjadi asam lemak (Seto, 2001).

b. Tahap pengecilan ukuran

Pengecilan ukuran perlu dilakukan sebab dimaksudkan untuk memperluas permukaan

bahan, sehingga dengan demikian akan mempercepat proses penguapan air dari dalam

bahan tersebut. Pengecilan ukuran juga dimaksudkan agar kapang Rhizopus yang berada

di bagian dalam tempe yang mungkin masih hidup dapat berada lebih dekat dengan

permukaan atau berada di permukaan sehingga kapang dapat dimatikan selama proses

pada tahap berikutnya (Sumarsono, 1983).

c. Tahap pengeringan

Pengeringan adalah menguapkan air bebas yang ada di dalam bahan. Untuk

menguapkan air bebas tersebut dapat dilakukan dengan udara panas dan udara kering.

Penggunaan udara panas akan mempengaruhi kestabilan protein dan beberapa asam

amino dalam bahan. Tahap pengeringan ini harus dapat menurunkan kadar air tempe

cukup rendah, sebab pertumbuhan kapang umumnya terjadi pada kadar air di atas 10%

(Sumarsono, 1983).

Ada beberapa macam metode pengeringan, salah satunya adalah metode konveksi,

yaitu pengeringan menggunakan udara panas yang dialirkan ke bagian atas permukaan

bahan pangan (Hermana, 1991). Menurut Sharma & Caralli, (1998) prinsip kerja

dehumidifier adalah dengan mengurangi kelembaban melalui perpindahan panas dan

meningkatkan laju gaya pendorong. Pengeringan menggunakan dehumidifier biasanya

dilakukan untuk pengeringan makanan pada skala industri rumah tangga. Dehumidifier

yang baik biasanya memiliki pengontrolan panas dan kipas angin yang meniupkan

udara panas pada makanan. Suhu yang digunakan biasanya mencapai 140oF (60oC)

(Kendall & Sofos, 2004). Alat pengering dehumidifier dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 18: ilyas,1973

8

Gambar 1. Alat Pengering Dehumidifier

Prinsip kerja dehumidifier yaitu menggunakan udara kering dengan kelembaban relatif

rendah dan tekanan rendah sehingga ∆P besar karena tekanan dalam bahan tinggi.

Dalam pengeringan, dehumidifier tidak hanya menguapkan air saja, melainkan juga

menguapkan senyawa bukan air misalnya senyawa volatil yang berat jenisnya lebih

rendah daripada air. Adanya senyawa volatil yang ikut menguap akan menyebabkan air

tidak menguap seluruhnya tetapi justru menyebabkan kandungan airnya tetap (Potter &

Hotchkiss, 1987).

Pengeringan menggunakan dehumidifier lebih baik daripada pengeringan dengan sinar

matahari. Kelebihan dehumidifier adalah produk akhir memiliki kualitas yang lebih

baik (kualitas kandungan nutrisi pada produk akhir lebih terjaga), waktu pengeringan

lebih cepat, kebersihan produk lebih terjaga, memiliki kipas angin sebagai pengontrol

suhu, dapat mengeringkan produk dalam jumlah cukup banyak. Kelemahan metode ini

adalah produk yang diletakkan di dekat sumber panas akan lebih cepat kering, oleh

karena itu tray harus dirotasi agar pengeringan merata (Desrosier & Desrosier, 1998).

d. Tahap penggilingan dan pengayakan

Tempe yang sudah kering selanjutnya digiling dengan blender. Pada penggilingan

prinsipnya adalah pemotongan, penggesekan, dan penekanan sehingga kontak antara

bahan dan alat banyak terjadi. Sedangkan pengayakan bertujuan supaya diperoleh

butiran tepung yang halus dan ukurannya seragam (Sumarsono, 1983).

Page 19: ilyas,1973

9

Menurut Johnson & Peterson (1974), asam-asam amino bebas hasil pemecahan protein

ada yang mempunyai rasa pahit, seperti prolin, valin, metionin, isoleusin, fenilalanin,

lisin, histidin dan arginin. Hal ini juga didukung oleh Kusumaningrum (2004), yang

mengungkapkan bahwa asam amino metionin, histidin, lisin, triptofan, dan arginin

ternyata dapat menimbulkan rasa pahit. Kadar asam-asam amino tersebut makin tinggi

dengan meningkatnya waktu fermentasi seperti terlihat pada Tabel 2. Asam amino lisin

merupakan asam amino yang memiliki rasa paling pahit, bila dibanding dengan asam

amino penyebab pahit lainnya (Anonim, 1998).

Struktur asam amino lisin :

CH2 – CH2 – CH2 – CH2 – CH – COOH

NH2 NH2 (Winarno et al, 1984).

Tabel 2. Perubahan Asam Amino Bebas Selama Fermentasi Tempe (mg/100 gr bahan)

Waktu fermentasi (jam) Jenis Asam Amino

0 24 48 As. Aspartat

Threonin Serin

As. Glutamat Prolin Glisin Alanin Sistin Valin

Metionin Isoleusin Leusin Tirosin

Fenilalanin Triptofan

Lisin Histidin Arginin Amonia

16,7 8,9 16,9 11,5 1,1 1,6 5,6 -

6,3 0,4 1,2 1,6 3,1 2,9 14 5,0 4,8 8,1 22,6

19,4 22,2 26,7 52,3 7,2 13,4 67,2 0,6 15,7 3,7 6,0 15,4 27,3 26,9 5,4 76,7 33,7 27,5 99,1

116 74

107 372 86,3 89,3 476 9,9

66,5 25,3 48,4 89

840 114 21

212 139 82,8 143

Sumber : Murata et al. (1967).

Page 20: ilyas,1973

10

Salah satu metode yang dapat dipergunakan untuk memisahkan asam amino dalam

suatu bahan adalah HPLC (High Performance Liquid Chromatography). HPLC adalah

suatu sistem kromatografi yang fase geraknya dialirkan dengan cepat dengan bantuan

tekanan dan pompa dan hasilnya dideteksi dengan suatu instrumen. Jenis HPLC yang

digunakan adalah kromatografi partisi fase terbalik. Metode HPLC bekerja dengan cara

memisahkan campuran menjadi komponen-komponen penyusunnya. Setelah itu

dilakukan analisa kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui jenis senyawa penyusun

campuran dan kadarnya (Nollet, 2000). Komponen alat HPLC dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Komponen Alat HPLC

Menurut Adnan (1997), keunggulan HPLC adalah :

- HPLC dapat menangani senyawa-senyawa yang stabilitasnya terhadap suhu

terbatas, begitu juga volatilitasnya bila tanpa menggunakan derivatisasi

- HPLC dapat memisahkan senyawa yang sangat serupa dengan resolusi baik

- Waktu yang diperlukan untuk pemisahan suatu larutan dengan HPLC biasanya

singkat

- HPLC dapat digunakan untuk analisis kuantitatif dengan baik dan dengan presisi

yang tinggi, dengan koefisien variasi dapat kurang dari 1%

- HPLC juga merupakan teknik analisa yang peka.

Menurut Adnan (1997), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) baik fase

stasioner maupun fase gerak berupa cairan. Oleh karena itu antara fase stasioner dan

fase gerak digunakan cairan atau pelarut yang tidak dapat bercampur. Fase stasioner

Page 21: ilyas,1973

11

merupakan cairan yang dilapiskan pada permukaan zat padat penyangga dan dipakai

sebagai bahan isian (packing material) untuk kolom. Pelarut yang lebih polar biasanya

digunakan sebagai fase stasioner. Ada 2 macam sistem kromatografi, yaitu :

• Kromatografi fase normal (normal phase chromatography)

Kromatografi yang fase stasionernya polar dan fase geraknya non polar

• Kromatografi fase terbalik (reverse phase chromatography)

Kromatografi yang fase stasionernya non polar dan fase geraknya polar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari perbedaan lama waktu

fermentasi dalam pembuatan tempe dan perbedaan suhu yang digunakan untuk

mengeringkan tempe terhadap sifat fisik, kimia dan jumlah asam amino lisin yang

merupakan salah satu penyebab rasa pahit pada tepung tempe.

Page 22: ilyas,1973

12

2. MATERI DAN METODA

2.1 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Agustus 2005 hingga Januari 2006 di Laboratorium

Ilmu Pangan dan Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan Jurusan Teknologi

Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.

Untuk uji intensitas warna dilakukan di Laboratorium Jasa Analisis, Fakultas Teknologi

Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sedangkan untuk analisa kandungan asam amino

lisin dilakukan di Laboratorium Ilmu Pangan Program Studi Teknologi Pengolahan

Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

2.2 Materi

Bahan yang akan digunakan dalam pembuatan tepung tempe ini adalah tempe yang

diperoleh dari produsen tempe kedelai yang berada di Jalan Jeruk, Semarang. Tempe

yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe kedelai yang telah mengalami proses

fermentasi selama 36 jam dan 42 jam. Sedangkan alat-alat yang digunakan meliputi

timbangan, alat pemarut, panci kukus, dehumidifier, blender, dan ayakan 625 mesh.

2.3 Metode

2.3.1 Pembuatan Tepung Tempe

Tempe yang akan dibuat menjadi tepung tempe adalah tempe kedelai yang telah diberi

perlakuan steam blanching (dikukus) selama 15 menit. Selanjutnya tempe tersebut

diparut dan kemudian dikeringkan menggunakan alat pengering yaitu dehumidifier

dengan suhu pemanasan yang berbeda, yaitu 50 0C, 60 0C, dan 70 0C hingga kadar

airnya ±10%. Kemudian tempe yang sudah kering tersebut dihaluskan dengan

menggunakan blender dan diayak menggunakan ayakan 625 mesh.

2.3.2 Analisa Kimia

2.3.2.1 Kadar Air Pengukuran kadar air tepung tempe dilakukan dengan menggunakan alat moisture

balance hingga diperoleh tepung tempe yang memiliki kadar air akhir kurang dari10%.

Page 23: ilyas,1973

13

2.3.2.2 Kadar Protein (Metode Mikro Kjeldahl) Mula-mula menimbang 0,75 gr sampel, lalu sampel tersebut dimasukkan dalam labu

Kjeldhal. Kemudian memasukkan 7,5 gr S2SO4; 0,35 gr HgO; 15ml H2SO4 pekat, dan

batu didih. Larutan tersebut dipanaskan hingga jernih (3-4 jam), kemudian labu berisi

dekstruat didinginkan dan dipindahkan dalam labu destilasi serta dibilas dengan 100 ml

aquades. Selanjutnya ke dalam labu destilasi ditambahkan 15 ml Na2S2O3 4%; 50ml

NaOH 50% dingin; dan 0,2 gr Zn. Pada Erlenmeyer penampung destilat diisi dengan

50ml HCl 0,1 N lalu ditetesi indikator methyl red dan diletakkan di bawah kondensat

dengan ujung kondensor tercelup. Didestilasi ± 1 jam sampai dihasilkan 75 ml destilat.

Destilat dititrasi dengan NaOH 0,1N sampai tidak berwarna kuning. Percobaan ini

diulang lagi untuk perlakuan blanko (Sudarmadji et al., 1989).

Kadar protein dihitung dengan rumus :

% N = ml NaOH (blanko – sampel) x N NaOH x 14,008 x 100 %

berat sampel x 1000

% protein = % N x faktor konversi (5,75)

2.3.2.3 Kadar Lemak (Metode Soxhlet)

Sampel yang sudah dihaluskan ditimbang sebanyak 4 gram di dalam cawan porselin

yang telah diketahui berat konstannya dengan menggunakan neraca analitik. Kertas

saring yang akan digunakan juga ditimbang dengan menggunakan neraca analitik.

Selanjutnya sampel dibungkus dengan menggunakan kertas saring tersebut, kemudian

dimasukkan ke dalam labu Soxhlet dan ditambahkan pelarut eter sampai memenuhi •

bagian dalam labu Soxhlet. Setelah itu, sampel diekstraksi selama ± 4 jam. Setelah

proses ekstraksi lemak ini selesai, sampel dikeringkan di dalam oven dan didinginkan di

dalam desikator dan kemudian lemak terekstrak (residu) ini ditimbang beratnya

(Sudarmadji et al., 1989).

Perhitungan kadar lemak :

%100 (g) awalberat

(g)lemak berat lemak %

akhirberat -awalberat lemak Berat

×=

=

Page 24: ilyas,1973

14

2.3.3 Analisa Fisik

2.3.3.1 Bulk Density

Pengukuran ini digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan dalam menempati

volume dan memudahkan pengemasan. Sampel dimasukkan dalam wadah yang dengan

tepat dapat diketahui volumenya, sampai benar-benar penuh tanpa ada rongga udara

didalamnya, setelah itu ditimbang dan dihitung dengan menggunakan rumus: gram/cm3

(Sharma & Caralli, 1998).

2.3.3.2 Kemampuan Pembasahan

Pengukuran ini digunakan untuk mengetahui kemudahan terbasahi yang dinyatakan

dalam satuan detik. Sejumlah 150 ml air dimasukkan ke gelas piala 600 ml mulut lebar

dan ditutup. Kemudian tepung sebanyak 1 gr dimasukkan ke permukaan air yang

tenang, dan kemudian dicatat waktunya yang mulai dihitung sejak tepung dituang

sampai semua bubuk terbasahi (Hartomo & Widiatmoko, 1993).

2.3.3.3 Intensitas Warna

Analisa intensitas warna dilakukan dengan menggunakan alat MINOLTA Chroma

Meters seri 200 (CR-200). Sampel dimasukkan ke dalam plastik transparan kemudian

warna diukur dengan menggunakan Lab Scan Kolorimeter dengan Illuminant C.

Pengukuran warna yang dihasilkan yaitu warna L* (lightness) menunjukkan tingkat

kecerahan, a* (redness) menunjukkan warna merah atau hijau dan b* (yellowness)

menunjukkan warna kuning atau biru (MacDougall, 2000).

Keterangan : E = intensitas warna

E = L2 + a2 + b2 L, a, b = dapat dilihat dari hasil pengukuran

menggunakan chromameter

2.3.4 Analisa Kandungan Asam Amino Lisin dengan HPLC

Mula-mula sampel 60 mg dimasukkan dalam tabung, kemudian ditambahkan larutan

HCl 6 N 4 ml lalu ditutup, dipanaskan (110°C, 24 jam) dan dinetralkan dengan NaOH 6

bulk Volumebahan Massa

density Bulk =

Page 25: ilyas,1973

15

N. Selanjutnya disaring dengan membran filter 0,45 µm. Filtrat inilah yang akan

digunakan untuk analisa sampel.

Pembuatan Kurva Standar :

4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 µL asam amino standar, ditambah dengan larutan OPA (o-

phthaldialdehyde) hingga volume 500 µL. Setelah 5 menit, derivat asam amino diambil

20 µL lalu diinjeksikan dalam HPLC dan dibuat regresi linier.

Larutan sampel siap diinjeksikan ke dalam HPLC merk Shimadzu dengan menggunakan

kolom C18. Elusi dilaksanakan dengan kecepatan 1,5 ml/menit dan deteksi

dilaksanakan dengan Flourecence pada panjang gelombang 340 nm. Sebelum

penginjeksian larutan sampel pada HPLC diawali dengan penginjeksian larutan standar

asam amino lisin terlebih dahulu (Suhardi, 1997).

Besarnya kandungan asam amino lisin dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Konsentrasi senyawa (ppm) = luas area senyawa x konsentrasi standar ppm luas area standar

2.3.5 Analisa Statistik

Data yang diperoleh diolah menggunakan program SPSS 12.0 for Window, dengan

metode analisis ragam 1 arah (One Way Anova), dan non parametrik. Selanjutnya dibuat

grafik untuk mempermudah memahami hasil penelitian.

Page 26: ilyas,1973

16

3. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa perbedaan lama

fermentasi tempe dan suhu pengeringan tempe memberikan pengaruh terhadap sifat

kimia, namun tidak berpengaruh pada sifat fisik tepung tempe. Pengukuran sifat kimia

tepung tempe meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan jumlah asam amino

lisin. Sedangkan sifat fisik tepung tempe yang dianalisa yaitu bulk density, kemampuan

pembasahan, dan intensitas warna. Tepung tempe yang dihasilkan, serta tempe segar

fermentasi 36 jam dan fermentasi 42 jam dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Tepung Tempe Keterangan : B, 36, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 36, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 36, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 70 °C B, 42, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 42, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 42, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 70 °C

B, 50, 36

B, 60, 36

B, 70, 36

B, 50, 42

B, 60, 42

B, 70, 42

Page 27: ilyas,1973

17

Gambar 4. Tempe Segar

3.1 Analisa Kimia Tepung Tempe

Sifat kimia tepung tempe dengan variasi lama fermentasi dan suhu pengeringan dapat

diketahui dari kadar air, kadar protein dan kadar lemak. Data kadar air, kadar protein,

dan kadar lemak pada tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Data Kadar Air, Kadar Protein, dan Kadar Lemak pada Tepung Tempe

Perlakuan Kadar Air (%) Kadar Protein (%) Kadar Lemak (%) B, 36, 50 9,00 ± 1,07a 37,55 ± 3,05a 27,74 ± 3,27b B, 36, 60 9,33 ± 0,99a 38,42 ± 1,47a 28,02 ± 1,75b B, 36, 70 9,55 ± 1,33a 39,54 ± 3,09a 28,12 ± 1,12b B, 42, 50 9,20 ± 0,78a 38,00 ± 1,17a 25,00 ± 2,85a B, 42, 60 9,67 ± 1,35a 39,01 ± 1,55a 25,02 ± 1,25a B, 42, 70 9,92 ± 1,67a 40,01 ± 2,01a 27,46 ± 1,49ab

Keterangan :

Tanda superscript yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (• 0,05) pada tingkat kepercayaan 95 %.

B, 36, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 36, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 36, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 70 °C B, 42, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 42, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 42, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 70 °C

Fermentasi 36 jam Fermentasi 42 jam

Page 28: ilyas,1973

18

Kadar Air (%)

7.58

8.59

9.510

10.5

B, 36, 50 B, 36, 60 B, 36, 70 B, 42, 50 B, 42, 60 B, 42, 70

perlakuan

kada

r air

(%)

aa

a

a

aa

Gambar 5. Kadar Air pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan

Tabel 3 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa kadar air pada tepung tempe yang

dihasilkan mempunyai nilai yang hampir sama yaitu berkisar 9% sehingga tidak

berbeda nyata. Tepung tempe hasil fermentasi 42 jam dengan suhu pengeringan 70 °C

memiliki kadar air tertinggi yaitu 9,92 ± 1,67%. Sedangkan yang memiliki kadar air

terendah adalah tepung tempe hasil fermentasi 36 jam dengan suhu pengeringan 50 °C,

yaitu 9,00 ± 1,07%.

Kadar Protein (%)

34

36

38

40

42

B, 36, 50 B, 36, 60 B, 36, 70 B, 42, 50 B, 42, 60 B, 42, 70

perlakuan

Kad

ar p

rote

in (%

)

aa

a

aa

a

Gambar 6. Kadar Protein pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan

Tabel 2 dan Gambar 6 menunjukkan bahwa kadar protein pada tepung tempe

mengalami peningkatan seiring dengan makin tingginya suhu pengeringan yang

Page 29: ilyas,1973

19

digunakan dan makin lama waktu fermentasinya. Namun perlakuan ini tidak

memberikan perbedaan nyata yang signifikan terhadap kadar protein tepung tempe.

Tepung tempe hasil fermentasi 36 jam dengan suhu pengeringan 50 °C memiliki kadar

protein terendah yaitu 37,55 ± 3,05%, sedangkan tepung tempe hasil fermentasi 42 jam

dengan suhu pengeringan 70 °C memiliki kadar protein tertinggi yaitu 40,01 ± 2,01%.

Kadar Lemak (%)

18202224262830

B, 36, 50 B, 36, 60 B, 36, 70 B, 42, 50 B, 42, 60 B, 42, 70

perlakuan

Kad

ar le

mak

(%)

ab

aa

bbb

Gambar 7. Kadar Lemak pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan

Tabel 3 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa kadar lemak dari tepung tempe juga

mengalami peningkatan seiring dengan makin tingginya suhu pengeringan yang

digunakan. Tepung tempe fermentasi 36 jam dengan suhu pengeringan 70 °C memiliki

kadar lemak tertinggi, yaitu 28,12 ± 1,12%. Sedangkan tepung tempe hasil fermentasi

42 jam dengan suhu pengeringan 50 °C memiliki kadar lemak terendah yaitu 25,00 ±

2,85%. Jika dilihat dari Tabel 2, meskipun berbeda perlakuan suhunya tidak

menunjukkan adanya beda nyata nilai kadar lemak antara tepung tempe baik yang

dikeringkan dengan menggunakan suhu 50 °C, 60 °C, maupun 70 °C. Sedangkan

tepung tempe yang dihasilkan dari tempe dengan lama fermentasi 36 jam dan 42 jam

menunjukkan adanya perbedaan nyata yang signifikan terhadap kadar lemak tepung

tempe yang dihasilkan.

Page 30: ilyas,1973

20

3.2 Analisa Fisik Tepung Tempe

Tabel 4. Data Bulk Density, Kemampuan Pembasahan, dan Intensitas Warna pada

Tepung Tempe

Perlakuan Bulk Density (g/cm3) Pembasahan (detik) Intensitas Warna B, 36, 50 0,378 ± 0,032a 14,14 ± 2,98a 77,02 ± 3,12a B, 36, 60 0,381 ± 0,023a 13,97 ± 2,12a 76,09 ± 1,88a B, 36, 70 0,388 ± 0,012a 12,85 ± 4,12a 75,55 ± 2,36a B, 42, 50 0,380 ± 0,020a 13,90 ± 3,38a 76,41 ± 1,84a B, 42, 60 0,394 ± 0,008a 13,00 ± 1,70a 75,49 ± 2,58a B, 42, 70 0,399 ± 0,020a 10,94 ± 1,50a 74,15 ± 3,44a

Keterangan :

Tanda superscript yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (• 0,05) pada tingkat kepercayaan 95 %.

B, 36, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 36, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 36, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 70 °C B, 42, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 42, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 42, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 70 °C

Bulk Density (g/cm3)

0.30.320.340.360.38

0.40.42

B, 36, 50 B, 36, 60 B, 36, 70 B, 42, 50 B, 42, 60 B, 42, 70

perlakuan

Bul

k D

ensi

ty (g

/cm

3 )

a a a aa a

Gambar 8. Nilai Bulk Density pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan

Tabel 4 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa tepung tempe hasil fermentasi 42 jam

dengan suhu pengeringan 70 °C memiliki nilai bulk density tertinggi yaitu 0,399 ± 0,020

Page 31: ilyas,1973

21

g/cm3, sedangkan tepung tempe hasil fermentasi 36 jam dengan suhu pengeringan 50 °C

memiliki nilai bulk density terendah yaitu 0,378 ± 0,032 g/cm3.

Pembasahan (detik)

0

5

10

15

B, 36, 50 B, 36, 60 B, 36, 70 B, 42, 50 B, 42, 60 B, 42, 70

perlakuan

Pem

basa

han

(dtk

) a aa

aa

a

Gambar 9. Kemampuan Pembasahan pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam

Perlakuan Tabel 4 dan Gambar 9 menunjukkan bahwa makin lama waktu fermentasi tempe dan

makin tinggi suhu pengeringan yang digunakan, maka kemampuan pembasahannya juga

makin cepat. Tepung tempe hasil fermentasi 36 jam dengan suhu pengeringan 50 °C

memiliki kemampuan pembasahan terlama yaitu 14,14 ± 2,98 detik, sedangkan tepung

tempe hasil fermentasi 42 jam dengan suhu pengeringan 70 °C memiliki kemampuan

pembasahan tercepat yaitu 10,94 ± 1,50 detik.

Intensitas Warna

70

72

74

76

78

B, 36, 50 B, 36, 60 B, 36, 70 B, 42, 50 B, 42, 60 B, 42, 70

perlakuan

Int.

War

na

aa a a a

a

Gambar 10. Intensitas Warna pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam Perlakuan

Page 32: ilyas,1973

22

Tabel 4 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa tepung tempe hasil fermentasi 36 jam

dengan suhu pengeringan 50 °C memiliki intensitas warna paling tinggi (cerah) yaitu

77,02 ± 3,12, sedangkan tepung tempe hasil fermentasi 42 jam dengan suhu

pengeringan 70 °C memiliki intensitas warna paling rendah (gelap) yaitu 74,15 ± 3,44.

Perhitungan nilai intensitas warna secara keseluruhan untuk tepung tempe yang

dianalisa dengan menggunakan chromameter dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.3 Analisa Asam Amino Lisin Tepung Tempe Tabel 5. Jumlah Asam Amino Lisin pada Tepung Tempe

Perlakuan Asam Amino Lisin (g/100 g protein tepung tempe)

B, 36, 50 4,94a B, 36, 60 4,50a B, 36, 70 4,03a B, 42, 50 6,01a B, 42, 60 5,27a B, 42, 70 4,80a

Keterangan :

Tanda superscript yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (• 0,05) pada tingkat kepercayaan 95 %.

B, 36, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 36, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 36, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 70 °C B, 42, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 42, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 42, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 70 °C

Page 33: ilyas,1973

23

Asam Amino Lisin (g/100 g protein tepung tempe)

0

2

4

6

8

B, 36, 50 B, 36, 60 B, 36, 70 B, 42, 50 B, 42, 60 B, 42, 70

perlakuan

Lisi

n a a a

a aa

Gambar 11. Kadar Asam Amino Lisin pada Tepung Tempe dengan Berbagai Macam

Perlakuan

Tabel 5 dan Gambar 11 menunjukkan bahwa kadar asam amino lisin meningkat seiring

dengan makin lamanya waktu fermentasi. Sedangkan makin tinggi suhu pengeringan

yang digunakan, kadar asam amino lisinnya akan menurun. Dari Tabel 5 dapat dilihat

kadar asam amino lisin pada tepung tempe yang dibuat dengan berbagai macam

perlakuan tidak berbeda nyata. Tepung tempe hasil dari fermentasi 36 jam, dengan

menggunakan suhu pengeringan 70 °C memiliki kadar asam amino lisin yang paling

rendah, yaitu 4,03 g/100 g protein tepung tempe. Hasil analisa atau kromatogram dan

perhitungan jumlah asam amino lisin secara keseluruhan untuk tepung tempe yang

dianalisa dengan menggunakan HPLC dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

Page 34: ilyas,1973

24

4. PEMBAHASAN

Tempe secara luas dikenal sebagai makanan khas Indonesia yang bergizi tinggi tetapi

memiliki daya tahan simpan yang singkat dan penggunaannya sangat terbatas untuk

lauk pauk saja. Peningkatan kualitas tempe supaya umur simpannya lebih lama dan

lebih multi guna dapat dilakukan melalui pengolahan lebih lanjut menjadi tepung.

Tempe kedelai dalam bentuk tepung merupakan produk yang lebih luas penggunaannya,

mudah penyimpanannya dan pendistribusiannya (Sarwono, 1996). Tepung tempe

merupakan salah satu produk yang nantinya dapat diperluas penggunaannya sebagai

bahan makanan campuran sumber protein nabati, misalnya sebagai bahan campuran

dalam pembuatan makanan bayi, cookies, serta produk makanan atau minuman ibu

hamil dan menyusui (Kusharyanto & Budiyanto, 1995).

Salah satu kendala dalam pengolahan atau pemanfaatan tepung tempe adalah adanya

rasa pahit. Rasa pahit disebabkan oleh asam-asam amino bebas yang berasa pahit yang

terdapat pada tempe sebagai hasil pemecahan protein selama proses fermentasi. Makin

lama waktu fermentasi, kadar asam-asam amino bebas tersebut makin meningkat

sehingga ada kemungkinan rasa pahit yang meningkat. Asam-asam amino yang

menimbulkan rasa pahit diantaranya adalah valin, isoleusin, methionin, fenilalanin,

histidin, lisin, prolin, dan arginin (Johnson & Peterson, 1974). Menurut Anonim (1998),

asam amino lisin merupakan asam amino yang memiliki rasa paling pahit, dibanding

dengan asam amino penyebab pahit lainnya.

Menurut Murata et al. (1967), kadar asam-asam amino semakin meningkat seiring

dengan meningkatnya waktu fermentasi seperti terlihat pada Tabel 2. Oleh karena itu

proses fermentasi tempe sebaiknya tidak terlalu lama agar tepung tempe yang dihasilkan

tidak pahit. Dalam penelitian ini, tempe yang digunakan adalah tempe yang telah

difermentasi selama ± 36 jam dan ± 42 jam.

Sebelum dilakukan proses pengeringan, terlebih dahulu dilakukan proses steam

blanching terhadap tempe selama 15 menit (Astuti et al., 1982). Steam blanching atau

cara pengukusan ini dilakukan dengan cara pemberian suhu yang tinggi (70-100 oC)

Page 35: ilyas,1973

25

pada tempe dengan uap air. Pada penelitian ini dipilih metode steam blanching, sebab

jika dibandingkan dengan metode hot water blanching, maka cara pengukusan lebih

menguntungkan. Hal ini disebabkan karena dengan pengukusan berarti tidak melarutkan

vitamin B12, vitamin B2 (riboflavin), vitamin B6, niacin, dan asam pantothenat karena

bersifat tidak tahan panas, dapat mematikan spora dan tidak ada zat padat yang terlarut

akan rusak selama pengukusan (Senodarmoamidjojo, 1964). Steam blanching

(pengukusan) yang dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi bertujuan untuk

mematikan kapang Rhizopus yang terdapat dalam tempe sehingga dengan demikian

proses fermentasi tempepun akan berhenti. Hal ini dikarenakan kapang Rhizopus tidak

dapat hidup pada suhu di atas 42 oC (Samson et al., 1995).

Perlakuan blanching juga dapat menyebabkan enzim menjadi non aktif. Dengan

demikian tidak merangsang perubahan metabolisme yang menyebabkan perubahan

warna dan timbulnya bau tidak enak (Ikrawan, 2004). Dalam proses blanching terjadi

inaktivasi enzim lipase sehingga tidak terjadi penguraian yang berkelanjutan dari

trigliserida menjadi asam lemak (Seto, 2001).

Setelah proses steam blanching dilakukan proses pengecilan ukuran tempe. Pengecilan

ukuran perlu dilakukan sebab dimaksudkan untuk memperluas permukaan bahan.

Dengan demikian akan mempercepat proses penguapan air dari dalam bahan tersebut

(Sumarsono, 1983).

Tepung tempe dibuat dengan proses yang melibatkan panas (pengeringan). Beberapa

asam-asam amino hasil pemecahan protein pada tempe peka terhadap panas (Ilyas et al.,

1965). Selain dipengaruhi oleh asam-asam amino, rasa pahit dalam tepung tempe

kemungkinan juga dipengaruhi oleh panas pengeringan. Selama pengeringan

kemungkinan terjadi reaksi maillard antara asam amino dan gula pada tempe sehingga

terbentuk senyawa kompleks berwarna kecoklatan yang berasa sangat tidak

menyenangkan (deMan, 1997). Hasil proses pengeringan sangat dipengaruhi oleh suhu

dan waktu yang digunakan. Oleh karena itu dalam pembuatan tepung tempe ini, proses

pengeringan tempenya dilakukan menggunakan dehumidifier dengan variasi suhu 50

°C, 60 °C, dan 70 °C.

Page 36: ilyas,1973

26

Setelah proses pengeringan, dilakukan proses grinding (penggilingan) tempe. Prinsip

penggilingan adalah pemotongan, penggesekan, dan penekanan sehingga kontak antara

bahan dan alat banyak terjadi (Sumarsono, 1983). Setelah proses grinding, tepung yang

diperoleh diayak dengan ayakan 625 mesh supaya diperoleh butiran tepung yang halus

dan ukurannya seragam. Dengan ukuran yang semakin halus, maka akan semakin tinggi

mutunya, karena penampakan tepung yang lebih baik serta daya guna yang tinggi

(Arpah, 1993).

Hasil analisa sifat kimia yaitu kadar air (Tabel 3 dan Gambar 5), pada sampel tepung

tempe mempunyai kadar air yang berkisar 9%. Hal ini dikarenakan, acuan kadar air

akhir tepung tempe pada penelitian ini adalah kurang dari 10%, sehingga jika kadar

airnya sudah kurang dari 10% maka proses pengeringan dihentikan. Menurut

Sumarsono (1983), tahap pengeringan ini harus dapat menurunkan kadar air tempe

cukup rendah, sebab pertumbuhan kapang umumnya terjadi pada kadar air di atas 10%.

Berdasarkan Tabel 3 dan Gambar 6 dapat diketahui bahwa tepung tempe hasil dari

fermentasi 42 jam, dengan suhu pengeringan 70 °C memiliki kadar protein yang paling

tinggi, yaitu 40,01 ± 2,01%. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa kadar protein pada

tepung tempe dengan perlakuan suhu pengeringan dan lama fermentasi tidak berbeda

nyata. Ini dikarenakan penentuan kadar protein pada penelitian ini menggunakan

metode Kjeldahl yang hanya menganalisa N total pada tepung tempe. Sedangkan jumlah

N total dalam bahan selalu tetap. Kadar protein makin meningkat dengan makin

lamanya waktu fermentasi. Tepung tempe hasil fermentasi 42 jam memiliki kadar

protein yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung tempe fermentasi 36 jam, ini

dikarenakan jumlah miselia pada tempe mengalami peningkatan seiring dengan makin

lamanya waktu fermentasi. Pada tempe 42 jam jumlah miselianya lebih banyak bila

dibandingkan dengan miselia yang terdapat pada tempe 36 jam. Hal ini dapat dilihat

pada Gambar 4. Selain itu, selama proses fermentasi dengan adanya aktivitas proteolitik

dari enzim protease yang dihasilkan oleh Rhizopus oligosporus akan terjadi pemecahan

protein kedelai yang semula bersifat tidak larut menjadi bentuk yang lebih terlarut

sehingga akan mudah dicerna (Kasmidjo, 1990). Oleh karena itu, makin lama

fermentasi maka makin banyak pula protein yang dipecah menjadi asam-asam amino

Page 37: ilyas,1973

27

bebas yang lebih mudah dicerna. Menurut Shurtleff & Aoyagi (1979), selama proses

fermentasi tempe maka N terlarutnya akan bertambah dari 0,5% menjadi 2%.

Dilihat dari Tabel 3 dan Gambar 7, tepung tempe fermentasi 42 jam mempunyai kadar

lemak yang lebih rendah daripada yang dibuat dari tempe fermentasi 36 jam. Hal ini

disebabkan karena selama fermentasi, lemak tersebut digunakan sebagai sumber energi

oleh jamur untuk pertumbuhannya. Selama fermentasi enzim lipase menghidrolisis

trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam ini digunakan sebagai sumber energi bagi

jamur, sehingga kadar lemak dalam tempe menurun (Astuti, 1994). Kasmidjo (1990),

menyatakan bahwa lebih dari 1/3 lemak netral dari kedelai terhidrolisis oleh enzim

lipase selama 3 hari fermentasi oleh Rhizopus oligosporus pada 37 °C.

Variasi suhu pengeringan yang digunakan ternyata tidak berpengaruh terhadap kadar

lemak dari tepung tempe. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3, bahwa tidak ada beda nyata

pada kadar lemak dari tepung tempe, meskipun menggunakan suhu pengeringan yang

berbeda. Ini dikarenakan komponen utama asam lemak pada kedelai adalah asam lemak

tidak jenuh yang didominasi oleh asam linoleat, asam linolenat dan sedikit asam oleat

(Kasmidjo, 1990). Asam linoleat mempunyai titik didih 202 °C, oleh karena itu dengan

suhu pengeringan 50 °C – 70 °C (rentang suhu yang relatif pendek) dan kontak bahan

dengan panas yang relatif singkat maka lemak yang hilang akibat panas dapat

diabaikan. Jadi suhu pengeringan disini tidak berpengaruh terhadap kadar lemak.

Bulk density sangat berkaitan dengan proses-proses pencampuran, pemindahan dan

pengangkutan bahan, penyimpanan dan pengepakan (Clifton, 1987). Tujuan pengukuran

bulk density dari tepung tempe adalah untuk memudahkan dalam proses pengemasan

dan pengepakan. Besarnya bulk density dipengaruhi oleh faktor-faktor bentuk bahan,

ukuran dan sifat permukaan. Oleh karena itu digunakan sebuah wadah yang dapat

diukur isinya. Hal ini terutama untuk bahan pangan yang berukuran kecil seperti tepung

tempe ini (Sudarmadji, 1989).

Menurut Sudarmadji (1989), adanya perlakuan suhu yang tinggi akan mengakibatkan

densitas menurun karena dengan suhu tinggi maka kadar airnya juga akan menurun.

Page 38: ilyas,1973

28

Semakin meningkat kadar air maka semakin meningkat pula nilai bulk density sebab

massa partikelnya akan ikut meningkat (Clifton, 1987). Namun karena dalam penelitian

ini menggunakan acuan kadar air yang sama untuk tepung tempe yang dibuat, yaitu

berkisar 9% maka nilai bulk density pada tepung tempe yang dihasilkan tidak berbeda

nyata. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4 dan Gambar 8, bahwa tepung tempe yang dibuat

dalam penelitian ini memiliki nilai bulk density yang berkisar antara 0,3 - 0,4 g/cm3. Hal

ini sesuai dengan Aman et al., (1992), yang menyatakan bahwa nilai densitas dari

makanan bentuk bubuk antara 0,3 – 0,8 g/cm3.

Pengukuran kemampuan pembasahan dilakukan untuk mengetahui kemudahan

terbasahi yang dinyatakan dalam satuan detik. Kemampuan pembasahan tergantung

pada ketersediaan gugus hidrofilik yang dapat mengikat air (Gomes & Aquilera 83

dalam Kartika, 1995). Dari Tabel 4 dan Gambar 9 dapat diketahui bahwa tepung tempe

yang dihasilkan dari tempe fermentasi 42 jam, dengan suhu pengeringan 70 °C memiliki

kemampuan pembasahan yang paling cepat yaitu 10,94 ± 1,50 detik. Selama fermentasi

akan terjadi pemecahan protein menjadi asam-asam amino bebas, antara lain adalah

asam amino yang bersifat polar (de Man, 1997). Makin lama waktu fermentasi kadar

asam-asam amino tersebut semakin meningkat, sehingga kemampuan untuk menyerap

dan mengikat air juga makin tinggi.

Makin tinggi suhu pengeringan tepung tempe, kemampuan pembasahan juga makin

cepat. Kemampuan pembasahan tercepat didapat pada tepung tempe hasil dari

fermentasi tempe 42 jam dengan suhu pengeringan 70 °C. Makin tinggi suhu yang

digunakan, akan mempercepat terjadinya pemecahan protein menjadi asam-asam amino

(Winarno et al., 1984). Asam-asam amino tersebut antara lain adalah asam amino yang

bersifat polar sehingga daya penyerapan dan pengikatan airnya juga meningkat.

Selain bau, tekstur dan rasa, warna memiliki peranan yang sangat penting dalam

penerimaan makanan oleh konsumen. Selain itu warna juga dapat menunjukkan

perubahan kimia dalam bahan makanan seperti terjadinya pencoklatan (browning) dan

karamelisasi. Dari Tabel 4 dan Gambar 10 dapat diketahui bahwa tepung tempe yang

dihasilkan dari tempe fermentasi 36 jam, dengan suhu pengeringan 50 °C memiliki nilai

Page 39: ilyas,1973

29

intensitas warna yang paling tinggi (cerah) yaitu 77,02 ± 3,12. Semakin tinggi suhu

pengeringan yang digunakan maka semakin gelap pula warna tepung tempe yang

dihasilkan. Ini dikarenakan, proses pengeringan yang berlangsung cepat dan disertai

suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan perubahan warna lebih banyak daripada

pengeringan dengan suhu dan kecepatan yang lebih rendah (Fellows, 1990).

Protein terdiri dari asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida.

Ada 20 macam asam amino yang seluruhnya dibutuhkan oleh semua organisme untuk

sintesis protein (Armstrong, 1995). Lisin merupakan salah satu asam amino essensial

yang artinya tidak dapat disintesa oleh tubuh manusia, sehingga harus disuplai dari

makanan (Fennema, 1985). Menurut Johnson & Peterson (1974) dan Kusumaningrum

(2004), asam amino lisin ini mempunyai rasa yang pahit. Dari Tabel 5 dan Gambar 11

dapat diketahui bahwa tepung tempe yang dihasilkan dari penelitian ini mengandung

asam amino lisin yang dapat mengakibatkan tepung tempe mempunyai rasa pahit.

Tepung tempe yang dihasilkan dari tempe fermentasi 36 jam, dengan suhu pengeringan

70 °C memiliki kandungan asam amino lisin yang paling rendah yaitu 4,03 g/100 g

protein tepung tempe.

Menurut Murata et al. (1967), kadar asam amino lisin pada tepung tempe makin tinggi

dengan meningkatnya waktu fermentasi seperti yang terlihat pada Tabel 2. Dengan

adanya proses fermentasi tempe, asam amino lisin akan meningkat sekitar 42 kali jauh

lebih besar dari kedelai masak tanpa fermentasi (Shurtleff & Aoyagi, 1979). Teori ini

juga didukung oleh de Man (1997), yang menyatakan bahwa makin lama waktu

fermentasi, kadar asam-asam amino yang bersifat polar juga akan makin meningkat,

salah satu asam amino yang memiliki sifat polar adalah asam amino lisin. Sedangkan

jika dilihat dari pengaruh suhu terhadap kadar asam amino lisin, makin tinggi suhu

pengeringan yang digunakan maka makin rendah pula kadar asam amino lisin pada

tepung tempe. Ini dikarenakan asam amino lisin merupakan asam amino yang peka

terhadap pemanasan (Ilyas et al., 1973).

Page 40: ilyas,1973

30

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

• Jumlah asam amino lisin, yang merupakan salah satu asam amino penyebab rasa

pahit pada tepung tempe, makin meningkat seiring dengan makin lamanya waktu

fermentasi tempe.

• Semakin lama waktu fermentasi maka menghasilkan tepung tempe dengan kadar

protein yang meningkat, namun kadar lemak, nilai bulk density, waktu kemampuan

pembasahan, dan nilai warnanya makin gelap.

• Suhu pengeringan yang tinggi akan mengakibatkan jumlah asam amino lisin

menurun karena asam amino lisin peka terhadap pemanasan.

• Semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka kadar protein, kadar lemak,

dan nilai bulk densitynya semakin tinggi, namun waktu kemampuan pembasahan

dan nilai intensitas warnanya makin rendah.

• Tepung tempe yang paling baik adalah tepung tempe hasil dari fermentasi tempe 36

jam dengan suhu pengeringan 70 °C, karena produk yang dihasilkan warnanya

cerah, kandungan asam amino lisinnya rendah dan kandungan gizinya tinggi.

5.2 SARAN

• Tepung tempe yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki kadar lemak yang

cukup tinggi yaitu ± 25% sehingga mudah tengik. Oleh karena itu, perlu adanya

penelitian lebih lanjut tentang pengaruh jenis kemasan terhadap umur simpan tepung

tempe.

Page 41: ilyas,1973

31

6. DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. (1997). Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit Andi. Yogyakarta. Aman, M.; K. Abdullah; dan A. M. Syarif. (1992). Sifat Fisik Pangan. IPB. Bogor. Andarwulan, N. dan S. Koswara. (1992). Kimia Vitamin. Penerbit IPB. Bogor. Anonim. (1998). Amino Acid Taste Chart. http://www.jomarlabs.com/main/taste_chart.asp Anonim. (2004). Tempe/Tempeh Fermented Soybean Cake. http://www.henrynugroho.org/tempeh.html Armstrong, F. B. (1995). Biochemistry (Terjemahan : Buku Ajar Biokimia, diterjemahkan Maulany). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Arthey, D. and C. Dennis. (1991). Vegetable Processing. Chapman & Hall. UK. Astuti, M.; Hardiman; dan Soeyitno. (1982). Laporan Penelitian Pembuatan Tepung Tempe. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Baker, C.G.J. (1997). Industrial Drying of Food. Blackie Academic and Profesional. London. Clifton, E. M. (1987). Food Analysis Theory and Practise 2nd edition. Van Nostrand Reinhold Co Inc. New York. Cowan, J. C.; J. J. Rackis; and W. J. Wolf. (1973). Soybean Protein Flavor Components. A Review. J. Am. Oil Chemists. Soc. 50 : 426A-435A, 444A. de Man, J. M. (1997). Principle of Food Chemistry (Terjemahan : Kimia Makanan, diterjemahkan Padmawinata). Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung. Desrosier, N. W. and J. N.Desrosier. (1998). The Technology of Food Preservation 4th Edition. AOI Publishing Company. Westport. Fellows, P. (1990). Food Processing Technology : Principles and Practise. Ellis Horwood Limited. New York. Fennema O. R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker Inc. New York. Goosens, A. E. (1974). Protein Foods-Flavor & Off Flavor. Food Engineering. Gould, W. A. (1996). Unit Operation For The Foods. Chapman & Hall. London. Hartomo, A. J. dan M. C. Widiatmoko. (1993). Emulsi dan Pangan Instant Berlesitin. Andi Offset, Yogyakarta.

Page 42: ilyas,1973

32

Haslina dan E. Pratiwi. (1996). Manfaat Tempe Bagi Gizi dan Kesehatan Manusia. Sainteks Volume III, No. 4.

Hayta, M. (2002). Bulgur Quality as Affected by Drying Methods. Journal of Food Science. Volume 67, No. 6.

Hermana. (1991). Iradiasi Pangan. ITB. Bandung. Ikrawan, Y. (2004). Menangani Bahan Pangan Beku. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/29/cakrawala/penelitian.htm. Ilyas, N.; A. C. Peng; and W. A. Gould. (1973). Tempeh : an Indonesian Fermented Food. Departement of Horticultur, Ohio. Johnson, A. H. and M. S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology, Volume II. The Avi Publisher. Kartika H. E. (1995). Pengaruh Penambahan Tepung Tempe Terhadap Sifat Cookies. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi Dan Biokimia Pengolahan Serta Pemanfaatannya. P. A. U. UGM. Yogyakarta.

Kendall, P. and J. Sofos. (2004). Preparation: Drying Fruits. Colorado State University Cooperative Extension. www.ext.colostate.edu

Kendall, P. and L. Allen. (2002). Quick Facts Of Drying. Colorado State University. Colorado. Kusharyanto dan A. Budiyanto. (1995). Upaya Pengembangan Produk Tempe. Prosending Pengembangan Tempe dalam Industri Pangan Modern, seminar 15-16 April. Universitas Gajah Mada Kusumaningrum, E. N. (2004). Pembuatan Minuman Soygurt dari Sari Tempe dengan menggunakan bakteri Lactobacillus plantarum. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi, Vol. 5 No. 1. http://pk.ut.ac.id/jmst/jurnal_2004.1/elizabeth.pdf. MacDougall, D. B. (2000). Colour in Food (Improving Quality). CRC Press. Cambridge. England. Martoharsono, S. (1993). Biokimia Jilid 2. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Murata, K.; H. Ifehata; and I. Miyamoto. (1967). Studies on The Nutritional Value of Tempeh. JFS. 32. Nollet, L. M. L. (2000). Food Analysis by HPLC. Marcell Dekker, Inc. New York.

Page 43: ilyas,1973

33

Potter, N. N. and J. H. Hotchkiss. (1987). Food Science. JJ Offset Press. New Delhi.

Samson, R. A.; E. S. Hoekstra; J. C. Frisvad; and O. Filtenburg. (1995). Introduction to Food Borne Fungi. Centraalbureau voor Schimmelcultures. The Netherlands. Sarwono, B. (1996). Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta. Senodarmoamidjojo. (1964). Vitamin dan Hormon, Cetakan ke II. PT. Pembangunan. Jakarta. Seto, S. (2001). Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sharma, J. L. and S. Caralli. (1998). A Dictionary of Food and Nutrition. CBS Publishers and Distributors. New Delhi. Sholihin, B. (2004). Science and Technology. http://www.tempo.co.id/majalah/jap/sat-1.html Shurtleff, W. and A. Aoyagi. (1979). The Book of Tempeh Profesional Edition. Harper & Row Publishers. New York, Hagerstown, San Fransisco, London. Sudarmadji, S.; B. Haryono dan Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Suhardi. (1997). Analisa Protein Bahan Makanan dan Hasil Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Sumarsono. (1983). Aspek-aspek Penggunaan Tepung Tempe. Jurnal Pengolahan Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Whitfield. D. E. V. (2002). Solar Dryer Systems and The Internet: Important Resources To Improve Food Preparation. http://www.SolarCookers.Co. za/Projectfiles/solardryer- system.htm. Widianarko, B.; A. Rika Pratiwi; dan Ch. Retnaningsih. (2000). Tempe, Makanan Populer dan Bergizi Tinggi. http://free.vlsm.org/v12/artikel/pangan/tipspangan/TEK12.PDF. Download 14 Febuari 2005.

Wikipedia. (2005). Tempe. http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe. Download 14 Febuari 2005.

Winarno, F. G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F. G.; S. Fardiaz; dan D. Fardiaz. (1984). Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta. Winarno, F.G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 44: ilyas,1973

7. LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Nilai Intensitas Warna

Rumus : Keterangan :

E = L2 + a2 + b2 E = intensitas warna

L, a, b = dapat dilihat dari hasil pengukuran

menggunakan chromameter

Tepung tempe B, 36, 50 ♣ Ulangan 1 :

Diketahui : L = 61,33 a = - 9,24 b = + 44,63

E = L2 + a2 + b2 = 61,332 + 9,242 + 44,632 = 76,41062361

♣ Ulangan 2 :

Diketahui : L = 61,32 a = - 9,24 b = + 44,63

E = L2 + a2 + b2 = 61,322 + 9,242 + 44,632 = 76,40259747

♣ Ulangan 3 :

Diketahui : L = 61,32 a = - 9,21 b = + 44,61

E = L2 + a2 + b2 = 61,322 + 9,212 + 44,612 = 76,38729345

Tepung tempe B, 36, 60 ♣ Ulangan 1 :

Diketahui : L = 61,21 a = - 9,16 b = + 44,73

E = L2 + a2 + b2 = 61,212 + 9,162 + 44,732 = 76,36322806

Page 45: ilyas,1973

♣ Ulangan 2 :

Diketahui : L = 61,21 a = - 9,14 b = + 44,72

E = L2 + a2 + b2 = 61,212 + 9,142 + 44,722 = 76,3549743

♣ Ulangan 3 :

Diketahui : L = 61,22 a = - 9,18 b = + 44,72

E = L2 + a2 + b2 = 61,222 + 9,182 + 44,722 = 76,36778902

Tepung tempe B, 36, 70 ♣ Ulangan 1 :

Diketahui : L = 60,81 a = - 9,09 b = + 44,11

E = L2 + a2 + b2 = 60,812 + 9,092 + 44,112 = 75,67150256

♣ Ulangan 2 :

Diketahui : L = 60,79 a = - 9,09 b = + 44,12

E = L2 + a2 + b2 = 60,792 + 9,092 + 44,122 = 75,66126222

♣ Ulangan 3 :

Diketahui : L = 60,80 a = - 9,10 b = + 44,11

E = L2 + a2 + b2 = 60,802 + 9,102 + 44,112 = 75,66466877

Tepung tempe B, 42, 50 ♣ Ulangan 1 :

Diketahui : L = 60,36 a = - 9,09 b = + 44,20

E = L2 + a2 + b2 = 60,362 + 9,092 + 44,202 = 75,3631057

Page 46: ilyas,1973

♣ Ulangan 2 :

Diketahui : L = 60,35 a = - 9,08 b = + 44,18

E = L2 + a2 + b2 = 60,352 + 9,082 + 44,182 = 75,3421615

♣ Ulangan 3 :

Diketahui : L = 60,35 a = - 9,08 b = + 44,17

E = L2 + a2 + b2 = 60,352 + 9,082 + 44,172 = 75,33629802

Tepung tempe B, 42, 60 ♣ Ulangan 1 :

Diketahui : L = 60,10 a = - 8,78 b = + 44,05

E = L2 + a2 + b2 = 60,102 + 8,782 + 44,052 = 75,03

♣ Ulangan 2 :

Diketahui : L = 60,11 a = - 8,85 b = + 44,06

E = L2 + a2 + b2 = 60,112 + 8,852 + 44,062 = 75,05210324

♣ Ulangan 3 :

Diketahui : L = 60,12 a = - 8,87 b = + 44,07

E = L2 + a2 + b2 = 60,122 + 8,872 + 44,072 = 75,06834353 Tepung tempe B, 42, 70 ♣ Ulangan 1 :

Diketahui : L = 59,85 a = - 8,97 b = + 43,95

E = L2 + a2 + b2 = 59,852 + 8,972 + 43,952 = 74,79362205

Page 47: ilyas,1973

♣ Ulangan 2 :

Diketahui : L = 59,82 a = - 8,96 b = + 43,93

E = L2 + a2 + b2 = 59,822 + 8,962 + 43,932 = 74,75666459

♣ Ulangan 3 :

Diketahui : L = 59,82 a = - 8,96 b = + 43,93

E = L2 + a2 + b2 = 59,822 + 8,962 + 43,932 = 74,75666459 Keterangan : B, 36, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 36, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 36, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 70 °C B, 42, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 42, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 42, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 70 °C

Page 48: ilyas,1973

Lampiran 2. Kromatogram Jumlah Asam Amino Lisin

1. Kromatogram Tepung Tempe B, 36, 50

Page 49: ilyas,1973

2. Kromatogram Tepung Tempe B, 36, 60

Page 50: ilyas,1973

3. Kromatogram Tepung Tempe B, 36, 70

Page 51: ilyas,1973

4. Kromatogram Tepung Tempe B, 42, 50

Page 52: ilyas,1973

5. Kromatogram Tepung Tempe B, 42, 60

Page 53: ilyas,1973

6. Kromatogram Tepung Tempe B, 42, 70

Page 54: ilyas,1973

7. Kromatogram Standard

Page 55: ilyas,1973

Lampiran 3. Perhitungan Jumlah Asam Amino Lisin

Persamaan :

y = 626645 x - 4789

Dimana : y = luas area yang dapat dilihat dari kromatogram hasil analisa dengan

HPLC

x = konsentrasi persen

Tepung tempe B, 36, 50

y = 626645 x - 4789

3093176 = 626645 x - 4789

x = 4,9437 %

Jadi pada tepung tempe B, 36, 50 jumlah asam amino lisinnya adalah 4,94 g/100 g

protein tepung tempe.

Tepung tempe B, 36, 60

y = 626645 x - 4789

2815236 = 626645 x - 4789

x = 4,5001 %

Jadi pada tepung tempe B, 36, 60 jumlah asam amino lisinnya adalah 4,50 g/100 g

protein tepung tempe.

Tepung tempe B, 36, 70

y = 626645 x - 4789

2517779 = 626645 x - 4789

x = 4,0255 %

Jadi pada tepung tempe B, 36, 50 jumlah asam amino lisinnya adalah 4,03 g/100 g

protein tepung tempe.

Page 56: ilyas,1973

Tepung tempe B, 42, 50

y = 626645 x - 4789

3756225 = 626645 x - 4789

x = 6,0007 %

Jadi pada tepung tempe B, 36, 50 jumlah asam amino lisinnya adalah 6,01 g/100 g

protein tepung tempe.

Tepung tempe B, 42, 60

y = 626645 x - 4789

3295797 = 626645 x - 4789

x = 5,2670 %

Jadi pada tepung tempe B, 36, 50 jumlah asam amino lisinnya adalah 5,27 g/100 g

protein tepung tempe.

Tepung tempe B, 42, 70

y = 626645 x - 4789

3003837 = 626645 x - 4789

x = 4,8011 %

Jadi pada tepung tempe B, 36, 50 jumlah asam amino lisinnya adalah 4,80 g/100 g

protein tepung tempe.

Keterangan :

B, 36, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 36, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 36, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 36 jam, dan suhu pengeringan 70 °C B, 42, 50 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 50 °C B, 42, 60 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 60 °C B, 42, 70 = tepung tempe yang terbuat dari tempe blanching, fermentasi 42 jam, dan suhu pengeringan 70 °C

Page 57: ilyas,1973

Lampiran 4. Analisa Data Pengukuran Kadar Air

Explore

Tests of Normality

.152 36 .035 .953 36 .133kdr_airStatistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Lilliefors Significance Correctiona.

Oneway

Descriptives

kdr_air

6 9.002618 1.0736212 .4383040 7.875922 10.129314 7.1456 10.26506 9.330967 .9866255 .4027882 8.295567 10.366367 8.1546 10.54506 9.551098 1.3327920 .5441100 8.152419 10.949778 7.9021 11.65466 9.199172 .7803700 .3185847 8.380224 10.018120 8.1564 10.25606 9.666509 1.3455474 .5493174 8.254443 11.078574 8.1748 12.15466 9.922353 1.6687815 .6812772 8.171075 11.673632 7.4547 12.0255

36 9.445453 1.1817374 .1969562 9.045610 9.845295 7.1456 12.1546

36,b,5036,b,6036,b,7042,b,5042,b,6042,b,70Total

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval forMean

Minimum Maximum

ANOVA

kdr_air

3.344 5 .669 .441 .81745.534 30 1.51848.878 35

Between GroupsWithin GroupsTotal

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Page 58: ilyas,1973

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets

kdr_air

Duncana

6 9.0026186 9.1991726 9.3309676 9.5510986 9.6665096 9.922353

.266

variasi36,b,5042,b,5036,b,6036,b,7042,b,6042,b,70Sig.

N 1

Subsetfor alpha

= .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.a.

Page 59: ilyas,1973

Lampiran 5. Analisa Data Pengukuran Kadar Protein

Explore

Tests of Normality

.094 36 .200* .986 36 .923kdr_proteinStatistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance.*.

Lilliefors Significance Correctiona.

Oneway

Descriptives

kdr_protein

6 37.553119 3.0489870 1.2447437 34.353404 40.752835 34.1456 42.01236 38.417603 1.4686657 .5995802 36.876333 39.958873 36.1423 40.14606 40.014218 2.0061926 .8190247 37.908848 42.119588 37.4523 43.15346 37.999620 1.1668540 .4763661 36.775082 39.224158 36.1534 39.14536 39.013167 1.5456791 .6310208 37.391076 40.635257 37.2543 41.05346 39.535238 3.0907666 1.2618002 36.291678 42.778799 35.1430 43.4600

36 38.755494 2.2055004 .3675834 38.009260 39.501728 34.1456 43.4600

36,b,5036,b,6036,b,7042,b,5042,b,6042,b,70Total

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval forMean

Minimum Maximum

ANOVA

kdr_protein

26.340 5 5.268 1.098 .382143.908 30 4.797170.248 35

Between GroupsWithin GroupsTotal

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Page 60: ilyas,1973

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets

kdr_protein

Duncana

6 37.5531196 37.9996206 38.4176036 39.0131676 39.5352386 40.014218

.096

variasi36,b,5042,b,5036,b,6042,b,6042,b,7036,b,70Sig.

N 1

Subsetfor alpha

= .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.a.

Page 61: ilyas,1973

Lampiran 6. Analisa Data Pengukuran Kadar Lemak

Explore

Tests of Normality

.104 36 .200* .984 36 .879kdr_lemakStatistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance.*.

Lilliefors Significance Correctiona.

Oneway

Descriptives

kdr_lemak

6 27.737904 3.2702174 1.3350607 24.306021 31.169786 23.1255 32.15466 28.018894 1.7465053 .7130078 26.186049 29.851739 26.4558 31.15466 28.118575 1.1192267 .4569224 26.944018 29.293131 27.1580 30.25356 24.995351 2.8474785 1.1624782 22.007105 27.983596 21.0245 29.15456 25.019170 1.2523633 .5112752 23.704895 26.333445 23.0125 26.25456 27.462442 1.4856744 .6065240 25.903322 29.021561 26.1546 30.1549

36 26.892056 2.3900141 .3983357 26.083391 27.700720 21.0245 32.1546

36,b,5036,b,6036,b,7042,b,5042,b,6042,b,70Total

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval forMean

Minimum Maximum

ANOVA

kdr_lemak

65.521 5 13.104 2.925 .029134.405 30 4.480199.926 35

Between GroupsWithin GroupsTotal

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Page 62: ilyas,1973

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets

kdr_lemak

Duncana

6 24.9953516 25.0191706 27.462442 27.4624426 27.7379046 28.0188946 28.118575

.065 .630

variasi42,b,5042,b,6042,b,7036,b,5036,b,6036,b,70Sig.

N 1 2Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.a.

Page 63: ilyas,1973

Lampiran 7. Analisa Data Pengukuran Bulk Density

Explore

Tests of Normality

.111 30 .200* .943 30 .108bulk_densityStatistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance.*.

Lilliefors Significance Correctiona.

Oneway

Descriptives bulk_density

95% Confidence Interval for Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 36,b,50 10 .377641 .0314868 .0055521 .372862 .403692 .3797 .4103 36,b,60 10 .381379 .0228152 .0102032 .353051 .409708 .3635 .4212 36,b,70 10 .388277 .0124150 .0140813 .338545 .416737 .3254 .4068 42,b,50 10 .380359 .0130440 .0088371 .374820 .423891 .3798 .4289 42,b,60 10 .394053 .0079413 .0035515 .384193 .403914 .3879 .4068 42,b,70 10 .399355 .0197603 .0058335 .364162 .396555 .3654 .3996 Total 60 .386844 .0194714 .0035550 .379573 .394115 .3254 .4289

ANOVA

bulk_density

.002 5 .000 .962 .460

.009 24 .000

.011 29

Between GroupsWithin GroupsTotal

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Page 64: ilyas,1973

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets bulk_density Duncan

Subset for alpha =

.05 variasi N 1 36,b,70 10 .388277 42,b,70 10 .399355 36,b,60 10 .381379 36,b,50 10 .377641 42,b,60 10 .394053 42,b,50 10 .380359 Sig. .133

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.

Page 65: ilyas,1973

Lampiran 8. Analisa Data Pengukuran Kemampuan Pembasahan

Explore

Tests of Normality

.105 30 .200* .957 30 .255pembasahanStatistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance.*.

Lilliefors Significance Correctiona.

Oneway

Descriptives pembasahan

95% Confidence Interval for Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 36,b,50 10 14.140000 2.9821133 1.8435981 7.729351 17.966649 8.3200 19.4100 36.b,60 10 13.970000 2.1200236 .9481034 11.337643 16.602357 11.2500 16.2000 36,b,70 10 12.848000 4.1224107 1.3336416 10.437217 17.842783 10.7000 18.6000 42,b,50 10 13.896000 3.3774147 .6697761 9.080403 12.799597 9.6000 12.9000 42,b,60 10 13.000000 1.7038779 .7619974 10.884356 15.115644 11.5000 15.3800 42,b,70 10 10.940000 1.4976648 1.5104258 9.702386 18.089614 10.2800 18.4400 Total 60 13.132333 2.7777710 .5071493 12.095097 14.169570 8.3200 19.4100

ANOVA

pembasahan

36.025 5 7.205 .921 .484187.740 24 7.822223.764 29

Between GroupsWithin GroupsTotal

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Page 66: ilyas,1973

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets pembasahan Duncan

Subset for alpha =

.05 variasi N 1 42,b,50 10 13.896000 36,b,50 10 12.848000 42,b,60 10 13.000000 42,b,70 10 10.940000 36.b,60 10 13.970000 36,b,70 10 14.140000 Sig. .122

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.

Page 67: ilyas,1973

Lampiran 9. Analisa Data Pengukuran Intensitas Warna

Explore

Tests of Normality

.085 18 .200* .984 18 .983int_warnaStatistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance.*.

Lilliefors Significance Correctiona.

Oneway

Descriptives

int_warna

3 77.023074 3.1238744 1.8035697 69.262940 84.783208 74.2560 80.41063 76.088067 1.8777307 1.0841083 71.423525 80.752608 74.1500 77.89903 75.547001 2.3627115 1.3641121 69.677700 81.416302 73.1245 77.84503 76.414801 1.8448549 1.0651275 71.831928 80.997675 75.3363 78.54503 75.485834 2.5762305 1.4873874 69.086123 81.885546 73.1540 78.25143 74.154888 3.4397095 1.9859172 65.610176 82.699600 70.4540 77.2540

18 75.785611 2.3757605 .5599721 74.604173 76.967049 70.4540 80.4106

36,b,5036,b,6036,b,7042,b,5042,b,6042,b,70Total

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval forMean

Minimum Maximum

ANOVA

int_warna

14.474 5 2.895 .426 .82281.478 12 6.79095.952 17

Between GroupsWithin GroupsTotal

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Page 68: ilyas,1973

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets

int_warna

Duncana

3 74.1548883 75.4858343 75.5470013 76.0880673 76.4148013 77.023074

.245

varian42,b,7042,b,6036,b,7036,b,6042,b,5036,b,50Sig.

N 1

Subsetfor alpha

= .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.

Page 69: ilyas,1973

Lampiran 10. Analisa Data Pengukuran Asam Amino Lisin

Explore

Tests of Normality

.143 6 .200* .988 6 .984lysinStatistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance.*.

Lilliefors Significance Correctiona.

NPar Tests Kruskal-Wallis Test

Ranks

1 3.001 2.001 1.001 6.001 5.001 4.006

var36,b,5036,b,6036,b,7042,b,5042,b,6042,b,70Total

lysinN Mean Rank

Page 70: ilyas,1973

Test Statisticsa,b

5.0005

.416

Chi-SquaredfAsymp. Sig.

lysin

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: varb.