impeachment presiden menurut uud 1945 hasil...
TRANSCRIPT
IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UUD 1945
HASIL AMANDEMEN DALAM TINJAUAN
KETATANEGARAAN ISLAM
OLEH:
IRWANTO
103045228184
KONSENTRASI SIYASAH SYAR'IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH DAN SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429H/2008M
IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UUD 1945
HASIL AMANDEMEN DALAM TINJAUAN
KETATANEGARAAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
IRWANTO
NIM : 103045228184
Di Bawah Bimbingan :
Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag
NIP. 150275509
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen
dalam Tinjauan Ketatanegaraan Islam” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada hari Kamis, 12 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi
Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah.
Jakarta, 12 Desember 2008.
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M. NIP. 150 210 422
Panitia Ujian :
1. Ketua : Asmawi, M.Ag. ( ………….…… )
NIP. 150 282 394
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag ( …………….… )
NIP. 150 282 403
3. Pembimbing : Dr.H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag ( …………….… )
NIP. 150 275 509
4. Penguji I : Dedy Nursyamsi, S.H, M.Hum ( …………….… )
NIP. 150 264 001
5. Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag ( …………….… )
NIP. 150 282 403
ا��� ا��� ا� ��ـ�
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berbagai karunia dan anugerah yang
diberikan kepada segenap hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh
dengan ikhlas mengharapkan ridha-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada hamba pilihan-Nya yang membawa risalah kebenaran, pemimpin
bagi pembawa cahaya keridhaan-Nya yang abadi, yaitu Sayyidina Muhammad SAW,
sebaik-baik makhluk dan dipenuhinya dengan akhlak yang sempurna.
Penulis bersyukur telah menyelesaikan skripsi yang diajukan sebagai salah
satu syarat dalam menempuh gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul
“IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945
HASIL AMANDEMEN DALAM TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM”.
Penulis menyadari dengan kerendahan hati bahwa dalam setiap tahap
penyusunan skripsi ini begitu banyak bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian
yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak/Ibu:
1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,
MA.,MM.
2. Ketua Program Studi Jinayah dan Siyasah, Asmawi, M.Ag., dan Sekretaris
Program Studi Jinayah dan Siyasah, Sri Hidayati, M.Ag., beserta staff dan seluruh
dosen yang telah memberi ilmu, membimbing dan mengarahkan penulis sejak
masa perkuliahan hingga berakhirnya skripsi ini.
3. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. Selaku pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan ilmunya dan bimbingannya serta
do’anya dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Pimpinan Perpustakaan, baik Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah
memberikan fasilitas pada Penulis untuk mengadakan studi kepustakaan.
5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis selama masa kuliah.
6. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Sugiono dan Ibunda tercinta Emma. Serta
keluarga yang telah mendukung penulis dengan sepenuh hati dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Syaikh kyai H. Sa’adih dan H. Syahrulloh selaku guru spiritual penulis. Dan guru-
guru penulis lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan namun tidak mengurangi
rasa ta’dzim dan mahabbah penulis kepada beliau-beliau.
8. Teman-teman Siyasah Syar’iyyah angkatan 2003, Ahmad Syaifudin dan family
(terima kasih banyak untuk semuanya karena telah bersedia meluangkan
waktunya), Ahmad Nazir Al Batawie, Qosim Al Batawie (makasih atas
bimbingan belajar kitabnya sehingga saya dapat lulus ujian komprehensif), Iiz,
Iswara , Abd. Nawi , Ana Prawati, dan Rory Artha (Owie) yang mau disibukkan
oleh penulis meskipun sedang kerja. Yang selalu mendukung dan memberi
semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Sang kekasih dan pujaan hati Marissa Putriana K (X), yang selalu menemani
penulis saat susah ataupun senang, yang tidak lelah-lelahnya memberikan
perhatian dan perhatian, juga bantuan baik materil maupun spiritual kepada
penulis untuk selalu menyelesaikan skripsi penulis. Juga keluarganya yang selalu
memberikan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikannya, agar bisa
cepat-cepat kerja.
10. Teman-teman penulis lainnya yang selalu memberikan motivasi kepada penulis.
Kakaku Syauqi (A.oki), terima kasih atas bimbingan dan doanya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini, Guruh, Dayat, Hasbih, Heru, Djamal, serta
Imam, yang membantu penulis ketika kesulitan.
Semoga bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian yang diberikan oleh
mereka mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis pribadi dan pembaca
pada umumnya. Amîn.
Jakarta, 26 November 2008
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 9
D. Review Studi Terdahulu 10
E. Metode Penelitian 13
F. Sistematika Penulisan 15
BAB II IMPEACHMENT DALAM PERSPEKTIF POLITIK ISLAM
A. Impeachment Menurut Perspektif Politik Islam 16
B. Alasan-alasan Terjadinya Impeachment dalam Islam 18
C. Institusi yang Berwenang Melakukan Impeachment dalam Islam 24
D. Mekanisme Impeachment Menurut Perspektif Politik Islam 39
BAB III LEMBAGA KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
A. Pemerintahan Presidentil 47
B. Presiden dan Wakil Presiden 53
C. Syarat Presiden dan Wakil Presiden 59
D. Kewenangan Presiden 63
BAB IV ANALISIS PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN
MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN DAN DALAM
PERSPEKTIF POLITIK ISLAM
A. Mekanisme Impeachment Presiden dalam Ketentuan UUD 1945
Hasil Amandemen 65
B. Alasan-alasan Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil
Amandemen 76
C. Proses Pembuktian di MK 86
D. Proses Impeachment di MPR 89
E. Analisis 92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 97
B. Saran 101
DAFTAR PUSTAKA 103
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara Hukum yang mengidealkan prinsip supremasi hukum,
Indonesia telah mengalami perubahan konstitusi dan juga perubahan dalam sistem
ketatanegaraan, seperti perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945. Setelah
diselenggarakannya pemilihan umum pada tahun 1999, dibentuklah Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan komposisi keanggotaan tidak ada partai
politik yang menguasai mayoritas mutlak kursi dalam MPR. Dalam sidangnya
diadakan pada bulan oktober 1999 untuk pertama kali, MPR menggunakan pasal
37 UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945. Dalam kepustakaan teori konstitusi
hal itu disebut sebagai formal amandement. Ternyata, setelah tahun 1999 MPR
masih melakukan perubahan terhadap UUD 1945, hal itu dilakukan berturut-turut
pada bulan Agustus 2000, pada November 2001, dan selanjutnya pada Agustus
2002. Dalam perubahan Undang-Undang Dasar yang dilakukan selama empat kali
berturut-turut itu telah terjadi perubahan terhadap sistem ketatanegaraannya.1
Dalam bahasa Inggris, to amend the Constitution artinya mengubah
Undang Undang Dasar dan Constitutional Amandement artinya perubahan
Undang-Undang Dasar mempunyai makna yang berbeda. Dengan demikian kata
1 Firmansyah Arifin dkk, Hukum dan Kuasa Konstitusi, (Jakarta: Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN), 2004), h. 15
mengubah dan perubahan yang berasal dari kata dasar “ubah” sama dengan to
amend atau amandement, dan pemakaian kata yang lebih tepat adalah
amandement. Lebih lanjut kata “amandement” itu diserap atau diIndonesiakan
menjadi “amandemen”, dan kata mengubah berarti menjadikan lain atau menjadi
lain dari, sedangkan kata perubahan berarti berubahnya sesuatu (dari asalnya).
Dengan demikian apabila kita menyebut kata perubahan berarti sama dengan
“amandemen”, tetapi dalam Bahasa Indonesia resmi yang dipergunakan adalah
kata “perubahan”2
Salah satu persoalan penting setelah terjadinya empat kali perubahan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang secara
eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil
Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela,
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden.
Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 7A dan 7B perubahan ketiga UUD 1945.3
2 Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987),
Cet.4, h. 133-134.
3 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), h. 42-43 dan 61-62
Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan / atau
Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik,
bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem
pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, Perubahan ketiga UUD 1945 memuat
ketentuan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis
dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam
konstitusi.
Selain itu, proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah
didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang
akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan /
atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela,
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden.
Adanya kemungkinan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis
ketatanegaraan disebut dengan istilah Impeachment.
Apabila menelusuri perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia hampir
setengah abad di bawah UUD 1945, terlihat bahwa persoalan yang mendasar
tidak hanya terletak pada tidak lugasnya UUD 1945, akan tetapi lebih kepada
kelemahan-kelemahan elementer yang terdapat dalam UUD 1945 itu sendiri.
Kasus ketatanegaraan yang diawali dengan kejatuhan presiden Soeharto di tengah
masa jabatannya pada awal reformasi 1998 yang diikuti krisis dalam berbagai
sektor kehidupan terutama hukum dan moral, memberikan kesempatan untuk
melakukan perubahan secara mendasar terhadap UUD 1945.
Salah satu penyebab krisis ketatanegaraan antara lain terletak pada
ketidakmampuan penyelenggara negara. Seperti penyelewengan kekuasaan
eksekutif yang cenderung otoriter dan berujung pada praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Oleh karena itu di era reformasi agenda tuntutan perubahan
UUD 1945 menjadi suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilaksanakan.4
Sesuai dengan sistem presidensial, keberadaan institusi, fungsi, tugas
Presiden dalam menjalankan pemerintahan tegas diatur dalam UUD dan
perundang-undangan, termasuk calon Presiden dan/ atau Wakil Presiden dipilih
oleh rakyat dalam satu paket pun diatur di dalamnya. Karena kedua jabatan itu
dipandang sebagai satu kesatuan institusi sehingga untuk menjatuhkan Presiden di
masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan pelanggaran hukum. Satu-
satunya jalan untuk membatasi agar institusi kepresidenan tidak larut dalam
persoalan-persoalan pribadi atau kelompok, diperlukan pengaturan institusi
kepresidenan dan sikap tindak Presiden yang diikat dengan norma-norma hukum
yang tegas. Implementasi hukum membutuhkan adanya suatu kekuasaan terutama
agar hukum tidak berarti hanya serangkaian aturan atau kaidah moral atau berlaku
4 Bambang Wijoyanto, Konstitusi Baru Melalui Komisi Independen, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2002), h. Xii
sebaliknya. Kekuasaan juga membutuhkan hukum paling tidak untuk dua
kondisi;5
1) Adalah guna memberikan legitimasi terhadap penyelewengannya di dalam
kehidupan masyarakat. Berdasar kepada kaidah-kaidah hukum, otoritas
kekuasaan ataupun kewenangan yang dianggap dan diakui sah oleh
masyarakat yang dikuasainya.
2) Bahwa hukum dibutuhkan agar kekuasaan tersebut dapat menjelma dan
berkembang tidak sewenang-wenang.
Sikap tindak pejabat administrasi negara dalam menjalankan kekuasaan
dapat berupa sikap tindak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
sikap tindak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sikap
tindak presiden yang bertentangan dengan perundang-undangan dapat berupa:
1) Sikap tindak yang melebihi kekuasaan (exess de pouvier).
2) Sikap tindak menyalahgunakan kekuasaan (deternemount depouvier).
3) Sikap tindak bertentangan dengan hukum perdata (onrecmatigedaad).
4) Sikap tindak yang bertentangan dengan hukum pidana.
5 Jimly Ashiddiqie dkk, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
(Jakarta: Pusat Studi HTN FHUI, 2002), h. 13
Setelah perubahan UUD 1945 berdasarkan ketentuan pasal 7A pada
prinsipnya menegaskan bahwa presiden dapat dimintai pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban presiden yang berujung dapat memberhentikan Presiden jika
dalam masa jabatannya karena sikap tindak Presiden yang bertentangan dengan
hukum (pidana) secara rinci diatur dalam pasal 7A UUD 1945.6
Perbuatan melanggar hukum atau bertentangan dengan hukum dapat saja
dilakukan Presiden apabila Presiden melakukan pelanggaran yang telah
ditetapkan dalam UUD maupun peraturan perundang-undangan lain, karena tidak
jelasnya batasan-batasan kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden. Jika terjadi
demikian maka Presiden dapat saja dikatakan sudah melakukan pelanggaran
terhadap jiwa dan semangat UUD 1945, yang merupakan salah satu butir haluan
penyelenggaraan negara yang ditentukan dalam UUD 1945.
Dalam Islam, pemimpin bukanlah penguasa yang terjaga dari kesalahan.
Tapi dia adalah manusia biasa yang boleh salah dan benar, boleh adil dan pilih
kasih. Menjadi hak kaum Muslimin untuk meluruskan pemimpin yang berbuat
salah dan meluruskan penyimpangannya.7
6 Jimly Ashiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, (Yogyakarta: FH. UII, 2003), h. 10 7 Yusuf Al-Qardawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, Terjemahan
Kathur Suhardi, dari Min Fiqhid-Daulah Fil-Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Syuhada, 2001), Cet II, h.
224
Menurut Al-Mawardi, yang menyebabkan rakyat wajib mentaati dan
membela kepala negara adalah selama tidak berubah keadaannya. Yang dimaksud
dengan berubah keadaannya adalah kepala negara yang cacat keadilannya, dan
sesuatu menimpa fisiknya sehingga tidak mampu menjalankan pemerintahan.8
Ulil amri ditaati karena ia menaati Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa di antara
ulil amri itu menyuruh dengan apa yang sesuai dengan yang diturunkan Allah dan
Rasul-Nya, wajiblah umat menaatinya. Tetapi barang siapa yang menyuruh
(memerintah) dengan menyalahi apa yang dibawa oleh Rasul, perintah itu tidak
boleh didengar dan ditaati. Sebab, ketentuan sunnah telah mengatur tentang batas-
batas ketaatan terhadap ulil amri dan melarang rakyat untuk menaatinya, jika ulil
amri menyalahi hukum yang telah diatur oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Hadits
itu antara lain adalah:
ا� ���� و�� � ���� : � ��ل�و �� ا�� ��� ر�� ا� ����� �� ا�� �� ����" ا���ء ا�� �� ا� �� وا�
،��& ��� و% $� � ���ن ام� ��)'� ،� 9)روا- م ��)ا0/ وآ�- ا% ان ی+ م� ��('�
Artinya: “Dari Ibnu’Umar ra. Dari Nabi SAW., beliau bersabda: “Seorang muslim
wajib mendengar dan taat baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang
dibencinya kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia
diperintah untuk mengerjakan maksiat maka ia tidak wajib untuk mendengar dan
taat”. (H.R. Muslim)
8 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1999), h. 261-262 9 Syekh al-Islam Muhyiddin Abi Zakariya, Terjemahan kitab Riyadhus Shalihin I, oleh
Muslich Shabir, (Jakarta: PT. Karya Toha Putra, 2004), h. 340
Oleh karenanya, pemimpin yang tidak lagi memenuhi syarat-syarat
sebagai pemimpin kepala negara haruslah diberhentikan. Berdasarkan latar
belakang tersebut, dalam skripsi ini penulis merasa tertarik untuk mengangkatnya
menjadi sebuah skripsi yang berjudul: “IMPEACHMENT PRESIDEN
MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 HASIL AMANDEMEN
DALAM TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memudahkan pembatasan masalah dan focus kajian skripsi ini,
penulis akan membatasi masalah dan merumuskan permasalahan. Pembatasan
permasalahan merupakan hal yang penting untuk menghindari dari melebar dan
meluasnya obyek kajian, sedang perumusan masalah ditujukan untuk
mengarahkan alur bahasa dan menjawab berbagai permasalahan sebagai suatu
substansi dari skripsi ini.
Berdasarkan atas pemaparan latar belakang skripsi ini, penulis membatasi
permasalahan pada mekanisme impeachment Presiden yang terdapat di UUD
1945 hasil amandemen, dan kemudian ditelaah secara komparatif menurut hukum
Islam.
Dari pembatasan masalah di atas, secara lebih rinci perumusan masalah
dalam skripsi ini lebih mengkhususkan pada beberapa pembahasan sebagai
berikut:
1. Bagaimana alasan-alasan impeachment Presiden dan mekanisme
impeachment Presiden menurut UUD 1945 dan menurut tinjauan
ketatanegaraan Islam?
2. Bagaimana pandangan menurut ketatanegaraan Islam terhadap alasan dan
mekanisme impeachment Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945
dengan ketatanegaraan Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa saja alasan-alasan impeachment Presiden dan
mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945 dan tinjauan
ketatanegaraan Islam.
2. Untuk mengetahui tentang pandangan menurut system ketatanegaraan Islam
terhadap alasan dan mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945
dan dalam tinjauan ketatanegaraan Islam.
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai tambahan
tentang ilmu pengetahuan dan wawasan tentang impeachment pada umumnya.
Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat pada umumnya, adalah
mengetahui apa pengertian impeachment dalam ilmu hukum, dan menurut UUD
1945. Secara akademis dapat bermanfaat bagi para fakultas akademisi Fakultas
Syariah dan Hukum pada umumnya dan bagi program studi Jinayah Siyasah
Syar’iyyah khususnya, sebagai tambahan referensi tentang studi komparatif
mengenai impeachment baik dalam UUD 1945 dan dalam Hukum Islam.
D. Review Studi Terdahulu
Dari literatur yang telah penulis telaah, terdapat beberapa karya tulis yang
dijadikan acuan awal oleh penulis, dan untuk menjaga keaslian judul yang akan
penulis ajukan dalam skripsi ini perlu kiranya penulis uraikan juga beberapa buku
atau karangan yang berkaitan atau mengkaji isu seperti ini.
Skripsi dengan Judul: Implementasi Syura Pada Masa Al-khulafa Al-
Rasyidun Dan Relevansinya Pada Masa Kini. Oleh Kholik, program studi
Siyasah Syar’iyyah Jurusan Jinayah Siyasah Tahun 2006. bertolak pada substansi
musyawarah yang diimplementasikan pada masa kepemimpinan dan khalifah
pertama dan artikulasi yang dihadirkan melalui pemikiran dan pandangan ulama
ahli hukum islam pada masa kini dan tentunya perkembangan konsep
musyawarah yang diterapkan saat ini.
Skripsi dengan Judul: Al-Sultah Al-Tasyri’iyyah di Indonesia: Studi
Terhadap Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD’1945. Oleh Ihdi Karim
Makin Ara Program Studi Siyasah Syar’iyyah, Jurusan Jinayah Siyasah Tahun
2004, memberikan deskripsi mengenai studi lembaga-lembaga negara di
Indonesia (Pasca amandemen 1945) dalam klasifikasi Al-Sultah Al-Tasyri’iyyah.
Secara spesifik skripsi ini mengulas keberadaan, kedudukan dan peranan serta
hubungan antar lembaga satu dengan lembaga yang lain.
Dalam buku Hukum dan Kuasa Konstitusi karya Arifin Firmansyah dkk,
dijelaskan tentang keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraan, hukum acara, kewenangannya, dan buku ini juga merupakan
kumpulan dari kegiatan seminar yang diambil dari kegiatan seminar dan diskusi
public tentang RUU Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan oleh KRHN
(Konsorsium Reformasi Hukum Nasional ).
Dalam buku Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer,
dijelaskan tentang gagasan dan pemikiran Jimly Assyiddiqie dalam konstitusi dan
ketatanegaraan Indonesia kontemporer, konstitusi dan konstitusionalisme, negara,
demokrasi dan lembaga politik, seputar amandemen UUD 1945. Buku ini
mendokumentasikan perkembangan pemikiran tentang konstitusi dan
ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945 yang kemudian diharapkan dapat
berkembangnya pemikiran mengenai hukum, konstitusi, dan ketatanegaraan
Indonesia.
Dalam buku Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran
Islam, membahas tentang hukum tata negara dan kepemimpinan agama. Imamah
(kepemimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-
ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan umat, sehingga
kehidupan masyarakat menjadi aman dan sejahtera.
Dalam buku Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, yang
ditulis oleh Ridwan HR, SH., M.hum. Berisikan tentang sejarah pemerintahan
Islam dari periode khilafah nubuwah dilanjutkan khilafah rasyidah, sert atentang
prinsip-prisnsip siyasah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Dalam buku Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, yang ditulis
oleh M. Hasbi Amiruddin. Bahwa buku ini berisi tentang pemikiran ataupun
gagasan Fazlur Rahman mengenai konsep negara Islam
Dalam skripsi tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Menurut UU
No. 23 tahun 2003 dalam Perspektif Politik Islam yang ditulis oleh Sugiyono.
Skripsi ini membahas tentang bagaimana konsep PEMILU untuk memilih
khalifah (Presiden) menurut UU RI No. 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden dalam perspektif politik Islam.
Secara umum dan komprehensif tinjauan review dan pustaka diatas telah
banyak menyinggung mengenai penerapan konsep pengangkatan atau pemilihan
presiden atau khalifah serta membahas lebih sedikit tentang pemberhentian
presiden.
Akan tetapi, belum terdapat suatu kajian perbandingan yang spesifik
mengenai mekanisme impeachment presiden, baik menurut UUD 1945 maupun
menurut sistem ketatanegaraan Islam. Atas dasar itu, penulis berinisiatif untuk
meninjau lebih dalam mengenai mekanisme impeachment dalam sistem
ketatanegaraan Islam dengan UUD 1945 yang merupakan perbedaan spesifik
dibanding karya tulis yang telah ada.
Mengenai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan “Buku
Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah & Hukum.10
Penggunaan dari berbagai macam tinjauan pustaka ini untuk menjadi acuan dalam
melaksanakan penulisan agar dapat mencapai tujuannya. Dengan adanya patokan
diharapkan dapat membuat penulis dapat lebih mudah dalam melaksanakan
penulisan skripsi.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, artikel-artikel,
makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan
masalah yang diangkat.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik kepustakaan, yaitu dengan membaca buku atau literatur yang relevan
dengan topik masalah dalam penelitian ini.
10 Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
3. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penulisan
antara lain UUD 1945, UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, dan buku-buku lain yang berkaitan dengan bahasan penulisan.
b. Data Sekunder yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu
artikel-artikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian
rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai
untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data
tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode
menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu
gambaran secara jelas hingga menemukan jawaban yang diharapkan.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku
"Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007".
F. Sistematika Penulisan
Bab I: Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metode penelitian dan teknik penulisan, sistematika
penulisan.
Bab II: Tinjauan umum tentang pengertian impeachment dalam perspektif
politik Islam, alasan-alasan terjadinya impeachment dalam Islam,
institusi yang berwenang melakukan impeachment dalam Islam
mekanisme impeachment menurut perspektif politik Islam.
Bab III: Lembaga Kepresidenan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), terdiri dari, pemerintahan presidentil, Presiden dan Wakil
Presiden, syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden, kewenangan
Presiden.
Bab IV: Analisis proses impeachment menurut UUD 1945 hasil amandemen
yang mencakup mekanisme dan alasan-alasan impeachment menurut
ketentuan UUD 1945 hasil amandemen, proses pembuktian MK, dan
MPR, serta analisis.
Bab V: Penutup, berisikan tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
IMPEACHMENT DALAM PERPEKTIF POLITIK ISLAM
Sebelum membahas lebih dalam tentang impeachment dalam Islam, perlu
diketahui bahwa, Impeachment berasal dari kata impeach yang dalam bahasa Inggris
sinonim dengan kata accuse atau charge yang berarti menuduh atau mendakwa.
Impeachment merupakan sarana yang memberikan kemungkinan dilakukannya
pemberhentian seorang Presiden atau Pejabat Tinggi Negara (a public official) dari
jabatannya itu berakhir.11
Impeachment adalah tindakan politik dengan hukuman berhenti dari jabatan
dan kemungkinan larangan untuk memegang suatu jabatan, bukan hukuman pidana
(criminal conviction) atau pengenaan ganti kerugian perdata.12
A. Impeachment Dalam Perspektif Politik Islam
Impeachment dalam Islam dapat diartikan di dalam pengertian al-khalla’
(pencopotan); adalah mencabut, memecat, menelanjangi, menyingkirkan. Ibnu
Manzur mengatakan, kata mencopotnya sama pengertiannya dengan mencabut-
nya; hanya saja di dalam istilah pemecatan terkandung makna “penangguhan atau
11 Achmad Roestandi., Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), Cet I, h. 168
12 Iwan Permadi, Jurnal Konstiusi, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2007), Volume 4 No.3, h. 131
proses secara perlahan”. Dengan demikian, istilah al-khalla’ (“pencopotan”) ini
erat kaitannya dengan an-nakstu (“pelanggaran”). Jadi istilah pelanggaran dan
pemecatan terkandung pengertian “tipu daya muslihat”. Dan di dalam syara’ atau
hukum, istilah tersebut tidak diperkenankan.13
Di dalam shahih Muslim, Abu Hurairah ra meriwayatkan sebuah hadits
Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Dر: ��� اا بA ���� و���آ8@ی% و����إ�<�ی% و�� م�= ا� م: ا� ی78����ی % ث&4
�&� E ا�I� ا�� م�)�� یة&G� ��ء م ��)� �&D ر�� ی �Dرو, � (L
��'�)اM�N� �� % م� �0 ا� A�7@ ,آو A�'IL� �Dرو, R � ذ�� P& �:هو, � �
�, �� نI%� L ا�)� ی ی %� مم ا�یTا ن �� N ی�� ��� م��) ی� �ناو, "� و��� م� -
14 )روا - م ��(
Artinya: “Ada tiga orang yang tidak akan berjumpa dan berbicara kepada Allah di
hari kiamat kelak, tidak disucikan dan bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu:
orang yang tidak mau memberi minum orang dalam perjalanan (musafir) padahal
ia kelebihan air, orang yang membai’at seorang pemimpin karena pertimbangan
duniawi semata (hanya dilaksanakannya jika menguntungkan dirinya); orang yang
berjual beli suatu barang sesudah Asar, lalu ia bersumpah demi Allah, sungguh
barang itu telah ditawar sekian dan sekian, lalu ia dibenarkan (oleh pembeli) maka
ia (pembeli) mengambil (membeli)-nya sedangkan ia (yang bersumpah) tidak di
tawar senilai itu pada barangnya”. (H.R. Muslim)
13 Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), hlm.191-192
14 Muslim An-Naisabury, Shahih Muslim , (Beirut: Darul Fikri, 1978), Cet III, Bab Iman, h.
109
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, al-khalla (pencopotan)
dapat dikatakan dengan pemecatan atau bisa disebut juga dengan pemakzulan,
namun di dalam ketatanegaraan Indonesia lebih dikenal dengan sebutan
pemberhentian.15
Yang dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia terdapat tiga
Presiden (Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid) yang berhenti sebelum masa
jabatannya berakhir. Soekarno dan Abdurrahman Wahid karena melanggar
konstitusi, sedangkan Soeharto mundur secara sepihak, karena mendapat tekanan
dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia (people power).16
B. Alasan-alasan Terjadinya Impeachment dalam Perspektif Politik Islam
Jika seseorang menduduki kepemimpinan negara Islam tidak berarti
bahwa ia tetap akan menjadi kepala negara tanpa ada yang boleh menggangu
gugat, apapun yang terjadi, dan apapun yang ia taklukan meskipun bertentangan
dengan syariah Islam.17
Khalifah secara otomatis akan diberhentikan, manakala
terjadi perubahan keadaan di dalam dirinya dengan perubahan yang langsung
mengeluarkan dari jabatan khilafah.
15 Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah, h. 193
16 Iwan Permadi, Jurnal Konstiusi, h. 131
17 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, Terjemah dari Musthalah
Maufur, Kitab an-Nizham as-Siyasi fil-Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 174
Khalifah juga wajib diberhentikan apabila terjadi perubahan keadaan
dalam dirinya walaupun perubahan tersebut tidak langsung mengeluarkannya dari
jabatan khilafah, namun menurut syara’ dia tidak boleh melanjutkan jabatannya18
.
Para Yuris Muslim menyebutkan bahwa integritas pribadi (al-adalah) yang rusak
dan cacat fisik, merupakan alasan yang sah diberhentikannya kepala negara.
Alasan lain berhentinya seorang khalifah adalah karena meninggal dunia,
pengunduran diri, tertawan musuh, murtad, hilang akal karena pikun atau gila.
Abdul Qadim Zallum membuat dua klasifikasi pemberhentian khalifah:
1. Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari
jabatannya, yaitu terdiri dari;
a) Kalau khalifah murtad dari Islam19
: Apabila imam keluar dari agama
Islam riddah (seperti jika ia secara terus terang mengeluarkan kata-kata
kufur atau mengingkari salah satu prinsip agama Islam, atau mendustakan
Al-Qur’an atau menafsirkan ayat Al-Qur’an menurut seleranya sendiri
dan bertentangan dengan maksud yang disepakati, atau melakukan
perbuatan yang jelas-jelas menunjukkan kekufuran maka dengan
sendirinya keabsahan imamah-nya telah gugur.20
Karena Islam
18 Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam; doktrin sejarah dan realitas
empirik; Terjemah dari Moh. Mahfud Wachid, Kitab Nidhamul Hukmi fil Islam, Cet I, (Bangil: Al-
Izzah, 1996), h. 135 19 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press,
2007), h. 275
20 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 176
merupakan hal salah satu syarat pengangkatan khilafah. Bahkan ini
merupakan syarat yang pertama kali dan syarat untuk bisa terus menjadi
khilafah. Siapa saja yang murtad dari Islam, dan menjadi kafir, maka
wajib dibunuh kalau dia tidak kembali dari kemurtadannya. Karena orang
kafir itu tidak boleh menjadi penguasa atas kaum muslimin. Demikian
orang kafir tidak diperbolehkan untuk memiliki jalan untuk menguasai
orang-orang mukmin.
Hal sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:
Pertama, Firman Allah SWT:
�������� ��� �������� ������
���� ��⌧� ������ �⌧ !�� "#�$% &��
'(������ )*��+, #���- ����./0%
�1�+ ��⌧� ���23�45���6�� 7689 �-
'(������ )*��+, :;<�)��=)>�-
����:?@6�A ��� /�BC☺�-�+ "#�$%
��E�B�% �F☺:�� G H����� ���:��J
��KLMN O�� �P���� �Q.☺5�8R1:�� �
#���+ ST./:U�J H�� ���23�45���6��
V@� ��E�B�% �-�Y� Z⌧?�L.[
)١٤١: ٤/ ا�� �ء( Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang
akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi
bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut
berperang) beserta kamu?" dan jika orang-orang kafir mendapat
keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka
Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman”.
Kedua, Firman Allah SWT:
�Q\]^+_`5�� �������� '(�N�%��
'�/?�+, ��� '�/?�+,�+
�b�F[c3�� Ve_+f,�+ g�h!i�
)*��B�% ' ���� j�kC�l5�B� V��
,�)�⌧& @+m83�� V@e�1 &��
Rb�F[c3���+ �1 j�kN��
��B�% �/ &����� �Y���?:���+
239"!.� G .n��o�; p��3."
F#q>Cr+,�+ Z⌧�+�_� ) ٥٩: ٤/ ا�� �ء(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”.
Maka kata minkum (dari kamu sekalian) bersamaan dengan kata ulil
amri tersebut merupakan pernyataan yang tegas, tentang adanya syarat Islam
bagi seorang waliyul amri, selama ia masih menjadi waliyul amri. Kalau dia
telah menjadi kafir, maka dia tidak lagi menjadi bagian dari kita (kaum
muslimin). Dengan demikian sifat yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an bagi
seorang waliyul amri, yaitu harus Islam itu telah hilang. Karena itu, khalifah
akan dikeluarkan dari jabatan khilafah karena kemurtadannya dan dia tidak
akan kembali menjadi khalifah kaum muslimin sehingga hukum menta’atinya
menjadi tidak wajib.
b) Kalau khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan21
/ hilang
akal; apabila imam kehilangan akal atau terganggu mentalnya sehingga
membuatnya gila dalam waktu pendek atau lama maka imam dalam hal
ini keluar dari imamah dan berhak diberhentikan.22
Hal itu, karena
memang akal merupakan salah satu syarat pengangkatan jabatan khilafah,
disamping hal itu juga merupakan syarat keberlangsungan akad (syurt
istimrar) hal ini berdasarkan sabda Rasullulah SAW:
Artinya: “Telah diangkat pena itu atas tiga orang: …Orang gila, hingga
sembuh.” Dalam riwayat lain: “Orang gila, yang kesadarannya, hingga
sembuh”.
Siapa saja yang diangkat pena atasnya, maka dia tidak sah untuk
mengurusi urusannya sendiri, maka tentu dia juga tidak boleh tetap
menjadi khalifah yang mengurusi urusan orang-orang. Dan hal itu
merupakan sesuatu yang lebih jelas — karena mengurusi urusannya
sendiri saja tidak boleh, apalagi mengurusi urusan orang lain.23
21 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275 22 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 174
23 Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 136
c) Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat24
, yaitu jatuh di bawah
kekuasaan dan cengkraman musuh, ia digerakkan olehnya semaunya
sehingga tidak bisa mengatur lagi urusan kaum muslimin sebagaimana
yang dikehendaki.25
2. Perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkannya dari
jabatan khalifah namun dia tidak boleh mempertahankan jabatannya yaitu
terdiri dari:
a) Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan
terang-terangan. Hal itu karena memang ‘adalah merupakan salah satu
syarat keberlangsungan akad pengangkatan khilafah. Karena ketika Allah
SWT telah mensyaratkan ‘adalah (adil) pada saksi, maka syarat tersebut
justru lebih utama bagi keberkangsungan akad pengangkatan jabatan
khalifah.26
b) Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau waria.27
Hal itu karena salah satu syarat akad pengangkatan jabatan khilafah,
bahkan menjadi syarat keberlansungan akadnya adalah laki-laki. Karena
adanya sabda Rasulullah SAW:
24 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
25 Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 139
26 Ibid, h. 137
27 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
Artinya: “Tidak akan pernah suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan
(pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”.28
c) Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terkadang sembuh terkadang
gila.
d) Khalifah tidak lagi dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai khalifah
karena suatu sebab, baik karena cacat anggota tubuhnya atau karena sakit
keras yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya.
e) Adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak mampu lagi
menangani urusan kaum Muslimin menurut pikirannya sendiri, yang
sesuai dengan hukum syara’. 29
C. Institusi Yang Berwenang Melakukan Impeachment dalam Perspektif
Politik Islam
Dalam hal ini, Islam tidak menentukan institusi mana yang berwenang
melakukan impeachment (pemberhentian) Presiden. Namun menurut pendapat
Abdul Rashid Moten, institusi yang berwenang melakukan impeachment Presiden
ada 3:
28 Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 139
29 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
1. Mahkamah Mazhalim
Mahkamah Mazhalim adalah lembaga peradilan yang dimaksud untuk
merealisir keadilan di tengah kehidupan masyarakat, yang fungsinya untuk
menegakkan hukum di wilayah kekuasaan negara, atau sebagai media untuk
mengimplementasikan ajaran Islam di bidang penegakkan dan perlindungan
hukum.
Di dalam Al-Quran disebutkan beberapa ayat yang mengatur tentang
keadilan dan penegakkan dan perlindungan hukum, di antaranya;
0�1 ��� ����3%�_�� +, '+m8⌧�/
�s5�B5�%!i� V@e�1 �.U�6 t+,
�;�1�+ *!C☺��.r �� E�� 0�0B��
+, '�F☺��:�+% RbC^./:����� G 0�1
��� ��v�/�- ����K�/�� 4w�r�� �
0�1 ��� ��⌧� �☺/?�4⌧x B�39 �� )
)٥٨: ٤ /ا�� �ء
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.
�Q\]^+_`5�� �������� '�N�%��
'�-��� ��E�%oc��� 9�)>R1:�����
���.^Q\K� y� �����+ V@�
����9>K4-+, ++, <�:�.^��o��:��
��E���3:�!i��+ G �1 �z���� �J?�N⌧{
++, B�3R1�� H����� GV@e ++, �.☺\|
' S⌧�� '�/�n�!� l��M}�~� +,
'����^ /� G �1�+ '4����6� ++,
'�K�23 // 0���� ��� ��⌧�
�.☺�� ��/6.☺ /� B�3�L." ) ٤:١٣٥/ا�� �ء(
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia Kaya ataupun miskin,
Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
<+,�+ ���Cr� �A��B O�� ��.☺��
�b�l-+, H�� S��+ C��n�v�
��/t����� t+, ��/t��⌧? @��+ +,
]��B�!:4�� �#� �� /�� ���% �b�l-+,
H�� .n:?���1 ' ���� '�������
��@6 A���� ��v`-+, F^�23� H�� +,
�\"�O9 � �� /�n�� ��\|�-/; �
0�1�+ B�3��⌧� "#�$% 0�0B��
��K19>5⌧4�� )٤٩: ٥/ا��� \L ة (
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah
kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah),
Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa
mereka. Dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik”.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an ini tidak ditentukan bahwa keadilan dan
perlindungan hukum itu harus dilakukan dengan sistem kelembagaan atau
individu yang diserahi kekuasaan tertentu. Dalam perspektif hukum Islam,
sesungguhnya yang penting bukan saja bagaimana keadilan dan perlindungan
hukum itu diwujudkan di tengah kehidupan masyarakat, tetapi apakah
keadilan dan perlindungan hukum itu dapat direalisir dalam kehidupan
manusia secara efektif dan efisien.
Mahkamah mazhalim merupakan lembaga yang bertugas memberikan
penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan hukum, dan memutuskan
perkara. Dalam pelaksanaannya, lembaga ini dijalankan oleh tiga pelaksana
peradilan, yakni;
Hakim, )"� �=ا�( , yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan
hukum, menyelesaikan sengketa, perselisihan dan persoalan wakaf. Muhtasib,
yakni pelaksana hisbah atau yang bertugas melaksanakan amar ma’ruf nahy
munkar, menegakkan ketertiban, mencegah terjadinya pelanggaran-
pelanggaran hak-hak tetangga, dan menghukum orang-orang yang
mempermainkan syariat Islam. Qadhi Mazhalim )�� �>ا�� "� ��( , yang bertugas
menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputus oleh Qadhi dan Muhtasib
atau menyelesaikan perkara banding.30
Oleh karena itu, apabila kepala negara tidak memenuhi syarat sebagai
kepala negara dan telah memiliki kriteria akan adanya alasan-alasan yang
dapat memberhentikannya maka institusi atau lembaga yang berhak
memberhentikannya adalah Mahkamah Mazhalim.
Mahkamah Mazhalimlah yang paling berhak menentukan keputusan
(memvonis berhenti dan tidaknya), kalau memang keadaan khalifah telah
mengalami perubahan yang bisa mengeluarkannya dari jabatan khilafah. Dia
juga yang memiliki wewenang untuk memberhentikan atau memberi
peringatan kepadanya.
Hal itu dilakukan kalau terjadi salah satu dari beberapa hal yang
menyebabkan diberhentikannya Khalifah, sementara dalam hal ini yang
berhak memberhentikannya adalah Mahkamah Mazhalim. Beberapa hal itu
harus dihilangkan, dimana dia merupakan hal-hal yang harus ditetapkan, dan
untuk menetapkannya harus diputuskan oleh seorang qadli.
Begitu pula wewenang qadli mazhalim untuk memberhentikan
khalifah itu adalah wewenang menjatuhkan vonis untuk menghilangkan
kedzaliman. Sebab kalau salah satu kondisi yang bisa menjadikan seorang
khalifah diberhentikan atau kondisi yang menjadikannya wajib diberhentikan
30 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 286-287
itu ada, maka kalau kondisi itu tetap ada itu merupakan suatu kedzaliman.
Karena Mahkamah Mazhalimlah yang bertugas memberhentikannya (agar
kedzaliman itu hilang). Karena itu sesungguhnya vonis Mahkamah Mazhalim
untuk memberhentikan khalifah tersebut hanyalah vonis untuk
menghilangkan kedzaliman. Oleh karena itu, Mahkamah Mazhalim memiliki
wewenang untuk memutuskan apapun bentuk kedzaliman itu.31
Karena Mahkamah Mazhalimlah yang berhak memutuskan hilangnya
kedzaliman-kedzaliman tersebut, dimana qadhi mazhalimlah memiliki
wewenang untuk menetapkan kedzaliman serta keputusan terhadapnya, maka
Mahkamah Mazhalimlah yang juga berhak menentukan kalau salah satu
keadaan tersebut telah terjadi atau tidak. Termasuk dialah yang berhak
menentukan pemberhentian Khalifah.
Hanya saja, kalau Khalifah mengalami salah satu keadaan ini, lalu dia
mengundurkan diri, maka masalahnya selesai. Sedangkan kalau kaum
muslimin berpendapat, bahwa dia wajib diberhentikan karena keadaan itu
telah terjadi, maka keputusannya harus dikembalikan kepada qadli.
Berdasarkan firman dari Allah:
�Q\]^+_`5�� �������� '(�N�%��
'�/?�+, ��� '�/?�+,�+
�b�F[c3�� Ve_+f,�+ g�h!i�
)*��B�% ' ���� j�kC�l5�B� V��
31 Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 269
,�)�⌧& @+m83�� V@e�1 &��
Rb�F[c3���+ �1 j�kN�� ��B�% �/
&����� �Y���?:���+ 239"!.� G
.n��o�; p��3." F#q>Cr+,�+ Z⌧�+�_� )
)٤:٥٩/ ا�� �ء
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Maksudnya, kalau kalian berselisih dengan pemimpin kalian, di mana
perselisihan tersebut merupakan perselisihan antara umat dengan pemimpin,
maka mereka harus mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya itu
berarti mereka harus mengembalikannya kepada qadli, yaitu mahkamah
mazhalim. 32
2. Dewan Kepemimpinan
Semua kekuasaan yang dinikmati oleh peradilan madzalim diserahkan
kepada dewan hukum agung dalam konstitusi Republik Islam Iran yang
disetujui oleh 98,2 % mereka yang mempunyai suara dan diimplementasikan
pada tahun 1979. Meskipun konstitusi tersebut memberikan kepada dewan
hukum kekuasaan untuk menentukan kasus presiden yang menyimpang dari
32 Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 143
ketentuan konstitusi, kekuasaan untuk menuntut impeachment presiden
diserahkan diluar batas hukumnya.
Kekuasaan ini diberikan ke vilayat-e-faqih, yang terdiri dari pimpinan
dewan pimpinan. Pasal 5 konstitusi Iran 1979, yang mewujudkan prinsip-
prinsip pemerintahan Islam syi’ah, menegaskan bahwa;
Selama ghaibnya wali al- asr (pemimpin zaman) (semoga Tuhan
mempercepat penampakannya kembali), wilayah dan kepemimpinan umat
berpindah kepada faqih yang adil (a’dil) dan bertaqwa (muttaqin) yang benar-
benar menyadari keadaan masanya; berani, banyak akal, dan memiliki
kecakapan administratif; diakui dan diterima sebagai pemimpin oleh
mayoritas masyarakat; dalam peristiwa di mana tidak ada faqih yang diakui
oleh mayoritas, pimpinan/ dewan kepemimpinan.
Konstitusi tersebut memberikan terhadap vilayat al-faqih sebagaimana
menurut pasal 110, kekuasaan terdiri dalam pemerintahan, menjadikan
jabatan-jabatan kepresidenan terpilih dan parlemen sebagai sub-ordinasi bagi
wilayat al-faqih. Berkaitan dengan kepresidenan, fungsi-fungsi dewan
meliputi;
a. Menandatangani keputusan yang merumuskan pemilihan presiden
republik oleh masyarakat.
b. Memecat presiden republik; demi kepentingan negara, karena peradilan
agung menangkapnya bersalah melanggar tugas-tugas konstitusionalnya,
atau karena satu suara. Majelis permusyawaratan nasional melihat ketidak
mampuan politiknya (pasal 110 ayat 4&5).33
3. Majelis Syura’
Menurut Fazlur Rahman, kata syura’ berasal dari kata kerja syawara-
yusyawiru yang berarti menjelaskan menyatakan atau mengajukan dan
mengambil sesuatu. Bentuk lain dari kata syawara adalah tasyawara, artinya
berunding, saling bertukar pendapat; syawir, yang artinya meminta pendapat
atau musyawarah. Dalam konteks budaya Indonesia, syura’ dalam bentuk
institusi disebut majelis syura.
Syura’ mempunyai arti sangat penting dalam organisasi apapun atau
jama’ah manapun. Setiap negara maju memusatkan perhatian pada asas
musyawarah dan mengajak rakyatnya untuk mencapai keamanan dan
ketentraman, keberhasilan, dan kebahagiaan. Sebab musyawarah adalah jalan
yang benar untuk mencapai pendapat dan solusi yang lebih bijaksana baik
untuk kemaslahatan individu maupun kelompok serta Negara, bahkan
internasional. Maka tidak mengherankan jika Islam sebagai agama Rabbani
begitu besar perhatiannya pada asas musyawarah alias syura’ sehingga salah
satu surat Al-Quran ada yang dinamakan surat asy-Syuura. Surat ini berbicara
tentang sifat-sifat orang mukmin yang diantaranya menjadikan kehidupan
33 Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), h. 144-145
orang-orang mukmin berdiri diatas asas syura’, bahkan urusan mereka
seluruhnya adalah musyawarah di antara mereka.
Syura (musyawarah) merupakan sebuah prinsip dalam Islam yang
hampir semua umat Islam mengakui urgensitasnya dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Secara etimologi musyawarah mempunyai arti
nasehat, konsultasi, perundingan, atau konsideran pemufakatan. Sedangkan
secara terminologi berarti majelis yang dibentuk untuk mendengarkan saran
dan ide sebagaimana mestinya dan terorganisir dalam urusan negara.34
Di zaman modern, para pemikir kontemporer seperti Rasyid Ridho
dan lain lain, telah mendukung penggantian syura pemerintahan Islam awal
dengan badan perwakilan (legislatif) rakyat yang dipilih melalui sistem
pemungutan suara modern. As-Sayyid Al-Maududi secara aktual menegaskan
bahwa legislatif adalah apa yang dalam terminologi fiqh lama dikenal dengan
ahlul halli wal aqdi, mereka juga setuju mendudukkan eksekutif kepada
kebanyakan keputusan legislatif. Mereka mendapat dukungan, dalam hal ini
dari para pemikir muslim modernis semisal Fathur Rahman yang berpendapat
bahwa; karena pelanggaran penting terhadap kepercayaan masyarakat, kepala
pemerintahan dapat dipecat setelah nilai suara legislatif yang besar
menentangnya.35
34 Sugiyono, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Menurut UU No. 23 Tahun 2003 dalam
Perspektif Politik Islam, (Jakarta, 2006), h. 12-13
35 Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 145
Indikasi atas pentingnya musyawarah dalam ayat Al-Quran adalah
bahwa asas ini dibarengi dengan kewajiban shalat, shadaqah (zakat), dan
menjauhi perbuatan keji. Allah SWT berfirman:36
� وا�A ی��n���=:U�J ��<�`5�L⌧� �:*s��
q�ro��⌧4:���+ �;�1�+ ��%
'�L97⌧{ ��/t �+3�4:)�� .
���������+ '���.��=)[�
��\�|�3�� '�%���+,�+
@MG�@6� �� ��/t3:%+,�+ �l�����
��A��B O�� ��☺�%�+ ��FU5�B:�.���
��K1�4B�
)٣٧-٤٢:٣٨/ا�^:رى (
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.
Dan bagi orang-orang yang apabila mereka dipelakukan dengan zhalim,
mereka membela diri”.
Indikasi lain bahwa Al-Qur’an telah mencatat aplikasi Syura’ agar
memberi manfaat bagi kehidupan empiric, dalam mencari solusi atas
masalah-masalah yang mereka alami. Allah SWT dalam hal ini berfirman:
F�o����o��:���+ "# /9��3�
�#/t.^5�� ++, <� �����.r <� E@6�%�⌧�
' C#.☺�� .8��+, +, 0jRk�
�Q��q�c3�� G V@��+ �8�����Q-�Y�
�,�� �#FU/�:�� �#\/��)>���+
36 Musthalah Maufur, M.A., Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 54
9�+3 /Q-�Y���� G S� F`6��/ c:4�-
���1 �.U./)[+ G S� c���S7/ �M����o�+
�.t�������� S��+ p8������% �r��
w@�������� G V@��+ �����:��
T ��% .n��o�; � ���� .8��+,
5��q �� #� e��3� ��v\ ��$%
��+�����+ S⌧�� ..�MN� �.☺\��@6� �
�1�+ ���8��+, +,
'(�/9� ���)>@T ����.^5�� ++, S⌧��
..��B� ����:?@6�A �;�1 �!C☺`6.[
��0% j�k:?��� 9�+ O /Q-�Y���� �
'�K10��+ ��� '(�F☺@6C��+
0+, ��� �M4�� ��/6�v /� p�39 �� )
)٢:٢٣٣/ا� =�ة
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban
ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang
ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada
Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Nabi Muhammad sendiri disuruh oleh Al-Qur’an dalam surat Asy-
Syura ayat 159 untuk memutuskan setelah berkonsultasi dengan pemuka-
pemuka masyarakat.37
�.☺�L�� nQ.☺Cr�� "#�$% &�� qsB��
��FU�� ' �����+ qsN�� �¡K�� ⌧ ?�6⌧{
R6�6�1:�� '��7⌧4-�� C#�% .n����.r
' FC���� ��\ �� �3�4:)�=)[��+
��}r~ ��/t��+�⌧��+ V�� g�h!i� '
�;���� qs:%"¢� �T�����=�� V@� &��
G 0�1 ��� O6���J
�����£����=F☺:� )٣:١٥٩ /ال ���ان ( �
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai rang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya”.
Musyawarah sebagai salah satu prinsip negara dan pemerintahan
Islam memiliki kedudukan penting dan strategis dalam kehidupan umat
manusia.38
Dalam konteks budaya Indonesia, syura’ dalam bentuk institusi
disebut dengan Majelis Syura’. Nama populer untuk majelis ini yang
37 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 290
38 Ibid, h. 289
digunakan oleh lembaga negara Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat atau badan legislatif.39
Dengan melihat pada petunjuk Nabi SAW sebagai kepala negara
Islam di madinah-dalam menjalankan pemerintahan dan syura; pada contoh
yang dilakukan oleh al khulafa ar-Rasyidin, pada generasi terdahulu yang
menjalankan pemerintahan dan syura’ dapat dikatakan batasan-batasan fungsi
majelis syura’:
a. Memililih kepala negara dan mencalonkannya: Ahli syura’ dalam negara
Islam melakukan pemilihan kepala negara dalam pemilihan awal,
membai’atnya dengan bai’at khusus, kemudian memaparkan kepada umat
untuk memperoleh bai’at umum.
b. Membantu kepala negara dalam menangani urusan negara, menyelesaikan
persoalan-persoalan ummat, seperti perang, pengesahan perjanjian,
membuat perundang-undangan yang bersifat ijtihad-lah dan pelaksanaan
hukum-hukum syariah.
c. Mengontrol kepala negara dan para pejabat tinggi lainnya seperti
gubernur dan mentri.
d. Memberhentikan kepala negara atau pejabat tinggi yang dipilih oleh
majelis syura’. Karena yang memilih kepala negara adalah majelis syura’,
juga membai’atnya atas dasar akad bai’at antara kedua belah pihak;
39 Fazlur Rahman, Konsep Negara Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2006), Cet I, h. 123
kepala negara dan majelis syura’ yang mewakili umat ini, maka majelis
syura’ berhak memberhentikan kepala negara. Dalam akad ini terdapat
kewajiban bagi kepala negara dan juga ditetapkan hak-haknya. Apabila ia
meninggalkan kewajiban maka ahli syura’ memberi nasehat. Jika nasehat
ini dilaksanakan maka ia disambut baik, tetapi jika tidak, melainkan tetap
melanggar kewajiban maka ahli syura’ berkewajiban untuk memecatnya
dan mengumumkan pemberhentiannya itu dari jabatan kepala negara
kepada umat.40
Apabila terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan oleh seorang khalifah, para ulama dan cendikiawan Muslim
berpendapat bahwa khalifah semacam itu harus diberhentikan dari jabatannya
sebagai kepala negara atau pimpinan eksekutif.
Al-Ghazali mengajukan 2 macam bentuk kekuasaan khalifah yang
harus diberhentikan, yaitu:
a) Khalifah Zhulm, yaitu khalifah yang menjalankan politik tirani yang
bertentangan dengan keadilan dan kehendak rakyat.
b) Khalifah Ghair al-Syaukah, yaitu khalifah yang tidak mampu
menjalankan kebijakan politik yang adil, yang digariskan oleh syariat dan
rakyat.
40 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem politik Islam, h. 83-86
Kedua macam penguasa ini akan merusak negara dan agama. Karena
itu, ia harus diberhentikan.
Jadi wajar apabila Majelis Syura’ (lembaga legislatif) sebagai
penjelmaan wakil rakyat, berhak untuk mengangkat seorang khalifah yang
dianggap cakap dan memenuhi kriteria. Jika khalifah itu melakukan
penyalahgunaan kekuasaan, Majelis syura’ berhak pula untuk
memberhentikannya.41
Apabila Majelis Syura’ menilai khalifah telah
melakukan pelanggaran terhadap syariat, konstitusi, dan perundang-undangan
lainnya.
Orang yang harus menilai situasi tersebut—tentang sudah atau belum
terjadinya kemurtadan pada pihak penguasa—adalah ulama yang dari
kalangan ahlu-halli wal-‘aqdi (majelis syura’). Menurut al-Juwaini,
merekalah yang berhak mencopot penguasa. Itulah kondisi atau syarat
pertama yang memperbolehkan umat Islam menuntut pencopotan kekuasaan
imam.42
Dalam hubungan ini, konferensi para ulama dan para cendikiawan
muslim yang mewakili semua aliran, Sunni dan Syi’ah, yang diselenggarakan
pada tanggal 21 sampai dengan 24 Januari 1951 dari Karachi, Pakistan,
memberi rekomendasi sebagai berikut: Lembaga (dalam hal ini Majelis
41 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 178-179
42 Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah, h. 204
Syura’) yang diberi kuasa memilih kepala negara (khalifah), juga memiliki
kekuasaan untuk memecatnya atas dasar suara mayoritas.43
D. Mekanisme Impeachment Menurut Perspektif Politik Islam
Mengenai mekanisme impeachment, dalam Islam tidak ditemukan
penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqh al-
siyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian
presiden;
Pertama, sekelompok ulama Ahli Sunnah, Khawarij, Mu’tazilah,
Zaidiyah, dan para ulama murjiah berpendapat wajib mengangkat senjata untuk
memberhentikannya. Cara inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan sall
as-saif (menghunuskan pedang).44
Golongan Khawarij berpendapat, ’Imam yang
telah berubah perilaku baiknya dan menyimpang dari kebenaran, maka ia wajib
dipecat atau dibunuh’. Abu Hanifah mendukung pendapat ini. Ia mengatakan
bahwa keimaman seorang zalim bukan saja batal, tetapi lebih dari itu, dibolehkan
melakukan pemberontakan terhadapnya, bahkan seyogyanya hal itu dilakukan
dengan syarat pemberontakan itu memiliki faktor-faktor untuk dapat berhasil dan
berfaedah dengan seorang yang adil dan baik sebagai pengganti orang yang zalim
dan fasik, dan bukan semata-mata memecah belah kekuatan dan menghilangkan
43 Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah h. 191
44 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 180
nyawa. Abu Hanifah berpendapat bahwasanya memberontak terhadap pimpinan
negara yang tidak sah adalah sesuatu yang dibenarkan dalam syari’at. Pendapat
ini mendapat dukungan dari fuqaha lainnya seperti Sa’id bin Jubair, al-Sya’bi,
Ibnu Abi Laila, dan Abdul Bukhturi. Juga para qurra berdiri di pihaknya.
Abu ya’ala juga percaya bahwa kontrak imamah tidak dapat dibubarkan
selama tidak ada alasan-alasan yang sah. Kepala Negara harus meletakkan
jabatannya apabila merasa telah memiliki kekurangan yang permanent, tetapi
selama mampu melaksanakan tugas-tugasnya sebagai kepala Negara (Presiden),
ia tidak boleh meletakkan jabatannya. Al-Juwayni beranggapan bahwa, kalau
kepala Negara tidak bermoral dan menyimpang dari akhlak yang baik, maka ia
boleh turun; tetapi apakah orang lain harus atau dapat memberhentikannya
diperlukan ijtihad dalam kasus seperti ini. Ironisnya ia juga menganggap bahwa
kepala Negara boleh meletakan jabatannyakapan saja ia mau.45
Ibnu Hazm mengemukakan bahwa sebagian besar Ahli Sunnah,
Mu’tazilah, Khawarij, dan Zaidiyah memandang bahwa mengangkat senjata
dalam amar ma’ruf dan nahi munkar adalah wajib jika mencegah kemungkaran
itu tidak ada jalan lain selain dengan senjata. Pendapat itu mengacu pada sabda
Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits panjang yang berbicara mengenai
sebab-sebab Bani Israil mendapat laknat Allah SWT; “Sekali-kali tidak, demi
Allah, sungguh kamu mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
45 Mumtaz Ahmad, (ed), Masalah-masalah Teori Politi Islam, penerjemah Ena Hadi,
(Bandung: Mizan, 1996), Cet III, h. 104
munkar. Kemudian sungguh-sungguh kamu mencegah perbuatan orang zalim,
menggiringnya dengan gigih pada kebenaran, dan mengajaknya pada jalan
kebenaran-tanpa memberi peluang pada jalan kesesatan-atau jika tidak demikian
niscahya Allah akan mencampur aduk hati sebagian kalian dengan sebagian
lainnya kemudian menimpakan laknat terhadap kalian seperti laknat terhadap
mereka (Bani Israil)”.46
Secara umum Ahlusunnah melihat pada dua pertimbangan: Pertama,
akibat negatif menggunakan kekuatan senjata. Kedua, adalah akibat negatif dari
kelanjutan imam yang fasik pada kekuasaannya. Mereka lebih condong untuk
memilih akibat buruk yang lebih kecil. Apabila pemberhentian menimbulkan
fitnah yang lebih besar maka tidak dibenarkan mengangkat senjata terhadapnya.
Para ulama Ahlusunnah yang berpendapat demikian diantaranya ialah Al-
Aiji, ia mengemukakan bahwa umat harus memberhentikan imam bilamana
terdapat alasan yang mengharuskan demikian, akan tetapi jika menimbulkan
fitnah maka yang diambil adalah akibat buruk yang lebih kecil. Sedangkan Al-
Kamal bin Abu Syarif mengemukakan bahwa pada dasarnya imam tidak
dibenarkan diberhentikan akan tetapi berhak diberhentikan manakala
kelangsungan imamah-nya menimbulkan fitnah.47
Sementara itu, Ibnu Taimiyah
selaku pemikir besar dan berpandangan luas mendukung sikap ini dengan alasan
46 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem politik Islam, h. 181
47 Ibid, h. 45-46
bahwa mwnjatuhkan seorang kepala Negara akan menggangu ketentraman di
dalam masyarakat dan melemahkan persatuan umat. Karena Ibnu Timiyah
berpendapat, bahwa keberadaan kepala Negara, meskipun zalim, lebih baik bagi
rakyat daripada kalau mereka harus hidup tanpa kepala Negara. Dia meminjam
suatu ungkapan bahwa enam puluh tahun dibawah kepala Negara yang zalim
lebih baik daipada satu malam tanpa kepala Negara. Bahkan ia memberi
dukungan kepada absolutisme yang tiada henti-hentinya. Demi ketentraman dan
menjauhkan anarki ditengah masyarakat telah menjadi alasan utama untuk tidak
menjatuhkan kepala Negara yang melakukan penyimpangan.48
Hal itu karena banyaknya hadits shahih yang mewajibkan ketaatan kepada
Negara, sekalipun senantiasa melaksanakan kemungkaran, bertindak zalim, dan
memakan hak-hak rakyat, selama tidak memrintah berbuat maksiat dan tidak
jelas-jelas kafir.49
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
� ش �ا ��� ت ا� ��cرق ا� ���T ن� م� ����� ' ��� �D م� رأم� ام��ه^�e ��7ه� gم� ت م� %
�50)روا- م ��( ه��
Artinya: “Siapa saja yang melihat sesuatu (yang tidak disetujui) dari amirnya
hendaknya bersabar. Karena tidak seorangpun yang meninggalkan jama’ah
sejengkal saja kemudian mati, kecuali dia mati seperti jahiliyyah”. (H.R. Muslim)
48 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UI
Press, 1993), CetV, h. 89 49 Abdul Qadim Zallum, System Pemerintahan Islam, h. 129
50 Muslim An-Naisabury, Shahih Muslim Syarah An-Nawawy, (Beirut: Darul fikri, 1978), Cet
III, Jiilid XII, h. 240
Kedua, untuk memberhentikan pemimpin adalah melalui apa yang
diistilahkan pada zaman modern ini dengan civil disobedience (pembangkangan
sipil). Cara ini dilakukan apabila umat merasa bahwa imam ini fasiq yang tidak
takut dosa melakukan maksiat atau zalim, tidak layak menjadi imam. Umat-
melalui wakil-wakil mereka menghadap kepadanyauntuk memberi teguran dan
nasihat akan tetapi ia menolak dan menyombongkan diri. Maka dlam keadaan
demikian tidak ada jalan lain selain memboikotnya dan juga orang-orang yang
menjadi kroninya. Ketika itu ia merasa bahwa dirinya tercampakkan dari umat
atau rakyatnya; kembali kepada kebenaran atau meletakkan jabatan. Pengertian
ini diambil dari sabda Rasulullah SAW;
-L�� -�8�h��� � �ن�, م� رأى م7�� م7��ا � ��g �ن �� ی� ,� �= � ��g �ن �� ی�روا- ) وذR� ا�N( اjی��ن
51م ��(
Artinya, “Barang siapa diantara kamu melihat suatu kemunkaran maka hendaklah
ia merubahnya dengan tangannya, dan jika ia tak mampu maka dengan lisannya,
dan jika ia tak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah
iman”. (H.R. Muslim)
Sebab pengertian mengingkari dengan hati tidaklah bersifat pasif tanpa
memberikan reaksi konkrit terhadap pelaku kemungkaran baik penguasa maupun
bukan penguasa, melainkan bersifat aktif yang berarti menolak kemungkaran
dengan hatinya lalu tidak menyukainya dan tidak menyukai pelakunya serta
memboikotnya: tidak makan bersamanya, tidak berhubungan dengannya dan
51 HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri dalam Kitab Riyadus Sholihin karangan Syekh al-
Islam Muhyiddin Abi Zakariya, (Surabaya: Mahkota,tt), h. 108
begitu seterusnya. Apabila setiap individu umat Islam melakukan demikian
terhadap imam yang zalim dan fasiq maka tidak ada jalan lain baginya selain
kejatuhan yang mengenaskan.
Pengertian inilah yang terkandung dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
yang dituturkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya
sesuatu kekurangan yang masuk pada Bani Israil adalah bahwa orang laki-laki
bertemu orang laki-laki lalu berkata: “Mengapa itu kamu lakukan? Takutlah
kepada Allah, tinggalkanlah apa yang kamu lakukan itu. Yang demikian tidak
halal bagimu. “Kemudian berjumpa lagi esok harinya tetapi ia masih tetap
melakukan apa yang diperingatkan kemarin. Yang demikian itu tidak
menghalanginya menjadi teman makan dan minum serta bersahabat dengannya.
Karean orang-orang Bani Israel melakukan demikian maka Allah mencampur
aduk hati sebagian mereka dengan sebagian yang lainnya-yang baik dan buruk-
kemudian berfirman; “Orang-orang kafir dilaknati….hingga pada firman-Nya
‘orang-orang fasiq’. Bahkan dalam hadits riwayat At-Thabrani terdapat sabda
Rasulullah SAWl; “Pada akhir zaman terdapat umara yang zalim, para menteri
yang fasiq, para jaksa yang penghianat, para fuqaha pembohong. Maka diantara
kalian mengalami zaman itu, janganlah sekali-kali menjadi petugas pajak
mereka, pejabat mereka, dan aparat kepolisian mereka”.
Ketiga, adalah bahwa masa jabatan imam lebih baik dibatasi hingga
jangka waktu tertentu. Jika imam melakukan perbuatan fasiq maka umat
menghindarkan diri dari keburukannya dengan tidak memilihnya pada periode
lain. Ini tampaknya menjadi cara yang baik untuk menghindarkan diri dari
pemimpin yang fasiq dan zalim tanpa harus menumpahkan darah selain juga
dapat menjadi ajang untuk menampilkan keahlian dan pengalaman yang orang-
orang yang layak menjadi pemimpin umat.52
Dapat disimpulkan, bahwa Islam menolak ketidak pedulian dan sebagai
gantinya, menegaskan kewajiban umat untuk tidak mentaati dan melawan
pemimpin yang tidak memenuhi hukum Tuhan. Al-Quran juga mewajibkan
ketaatan kepada mereka yang berkuasa. Namun ia juga mewajibkan kepada para
pemimpin memenuhi syariah dan memperhatikan kepentingan masyarakat.
Kegagalan dalam hal-hal ini akan membenarkan jabatan dari posisi kekuasaan
legislatif atau majelis as-syura’ dalam menjalankan dalam kekuasaan menuntut
pertanggungjawaban harus mencari bantuan dari pengadilan untuk menyelidiki
masalah dengan cara yang tidak memihak dan adil.53
52 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 184-185
53 Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 151-152
BAB III
LEMBAGA KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA (NKRI)
Salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan negara atau
pemerintahan adalah pertanggungjawaban dan pengawasan. Jabatan Presiden RI
adalah suatu jabatan dalam tatanan negara berdasarkan paham kerakyatan. Karena
itu harus ada pertanggungjawaban dan pengawasan. Dalam penjelasan UUD 1945
sebelum amandemen disebutkan “Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk
dan bertanggung jawab kepada Majelis”. Dalam praktek ketatanegaraan yang
berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggung jawab tersebut tidak sekedar
diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga pemberhentian Presiden dari
jabatannya.54
Semenjak amandemen 1, 2, 3, 4 Undang-Undang Dasar 1945 telah beralih
dari system pemerintahan campuran kepada system pemerintahan presidential.
Dalam sistem ini kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan sebagai
kepala Negara diorganisasikan ke dalam satu tangan dengan sebutan lembaga
kepresidenan. Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden dalam suatu institusi
tersebut mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam konstitusi ataupun
54 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta, FH.UII Press, 1999), Cet I, h. 107
dalam peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya.55
Dalam rangka
memperkuat sistem presidensial, pengaturan terhadap kekuasaan Presiden adalah
suatu keniscahyaan. Selama ini yang terjadi tidak adanya legal (aturan) yang
mengaturnya. Sehingga, tidak jarang sang Presiden berlindung di balik hak
prerogatifnya.56
Yang dimaksud dengan lembaga kepresidenan adalah institusi atau
organisasi jabatan yang dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 berisi
dari jabatan, yaitu Presiden dan Wakil Presiden.57
A. Pemerintahan Presidentil
Sebelum memasuki penjelasan dalam sistem pemerintahan presidensil,
telah kita ketahui bahwa Indonesia sebelum menganut sistem presidensil
menganut sistem pemerintahan parlementer. Sistem parlementer adalah sebuah
sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam
pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat
perdana menteri atau Presiden, dan parlemen pun dapat menjatuhkan
pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Berbeda dengan sistem presidensil, di mana sistem parlemen dapat memiliki
seorang Presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap
55 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), h. 59
56 Indria Samego, MA, Kita Butuh Undang-Undang Lembaga Kepresidenan, Majalah figur,
edisi XI, Tahun 2007
57 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, h. 59
jalannya pemerintahan. Dalam presidensil, Presiden berwenang terhadap jalannya
pemerintahan, namun dalam sistem parlementer Presiden hanya menjadi simbol
kepala negara saja.
Pada mulanya, tujuan dibentuknya parlemen bikameral itu memang
biasanya dihubungkan dengan bentuk negara federal yang memerlukan dua kamar
untuk maksud melindungi formula federasi itu sendiri. tetapi, dalam
perkembangannya bersamaan dengan terjadinya kecenderungan tuntutan kearah
desentralisasi kekuasaan dalam bentuk negara kesatuan sistem bicameral juga
dipraktekkan di banyak negara kesatuan. dalam sistem pemerintahan parlementer,
ada dua alasan utama yang sering digunakan untuk menerapkan sistem bicameral
ini, yaitu; (a) adanya kebutuhan untuk menjamin keseimbangan yang lebih stabil
antara pihak eksekutif dan legislatif (the unbridled power of a singlechamber
being restrained by the creation of a second chamber recruited on diferend
basic), dan (b) keinginan untuk membuat sistem pemerintahan benar-benar
berjalan lebih efisien dan setidaknya lebih lancer (smooth) melalui apa yang
disebut ‘revising chamber’ untuk memelihara “a careful check on the sometimes
hasty decisions of the first chamber”.58
Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah
tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif,
atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena
58 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), h. 22
itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang
legislatif.
Adapun sistem pemerintahan ini memiliki kelebihan dan kelemahan
sebagai berikut:
a. Kelebihan
a) Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam hal
ini, kekuasaan parlemen sangat dominan sebagai
perwujudan kedaulatan rakyat, sehingga asas demokrasi
dapat terwujud.
b) Kekuasaan parlemen yang besar dimaksudkan untuk
membawa kesejahteraan rakyat.
c) Parlemen bertugas membuat undang-undang yang harus
dijalankan pihak eksekutif, disamping mengawasi jalannya
pemerintahan, apakah sesuai dengan undang-undang atau
tidak.
d) Menteri-menteri harus dapat mempertanggungjawabkan
semua tindakannya kepada parlemen (DPR) agar mendapat
kepercayaan (mosi) dari parlemen.
e) Program-program kebijaksanaan kabinet harus disesuaikan
dengan tujuan poliitk sebagian besar anggota parlemen.
f) Kedudukan kepala Negara hanya merupakan lambang atau
simbol yang tidak dapat diganggu gugat.
b. Kelemahan
a) Penyusunan kabinet demikian terlalu sulit, karena
memperhatikan konstelasi anggota-anggota parlemen,
sehingga setiap partai akan memperebutkan kedudukan
kementerian yang dianggap mempunyai posisi penting dan
menentukan, misalnya menteri luar negeri, keuangan,
pertahanan, dan menteri dalam negeri.
b) Jika menteri-menteri tidak dapat
mempertanggungjawabkan tindakannya, maka diberikan
mosi tidak percaya dari parlemen yang mengakibatkan
krisis kabinet dan akhirnya kabinet jatuh (bubar).
Akibat dari jatuh-bangunnya kabinet, maka kabinet tidak mungkin dapat
melaksanakan programnya, karena parlemen sering menjatuhkan kabinet yang
disebabkan kelompok oposisi terlalu kuat. Karena kabinet tidak dapat
melaksanakan programnya, berarti tidak mungkin tercapai tujuan nasional, yaitu
masyarakat adil dan sejahtera; timbulnya dampak negative, yaitu mulai
disintegrasi.
Ketika pertama kali didirikan pada tahun 1945, struktur parlemen negara
kita di idealkan berkamar tunggal (unikameral) tetapi dengan variasi yang
dikaitkan dengan teori kedaulatan rakyat yang dibayangkan dapat diorganisasikan
secara total ke dalam suatu organ bernama MPR. Majelis inilah yang dianggap
sebagai penjelmaan seluruh rakyat dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itu,
sehingga diidealkan sebagai lembaga yang tertinggi dalam bangunan organisasi
negara. Pandangan demikian inilah yang tercermin dalam rumusan pasal 1 ayat
(2) dan diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan UUD 1945.59
Seperti yang dikemukakan di atas, dalam sistem pemerintahan
parlementer, jabatan Presiden biasanya dikaitkan statusnya sebagai kepala
Negara, sedangkan kedudukan kepala pemerintahan biasanya dipegang oleh
jabatan lain yang lazimnya disebut sebagai Perdana Menteri. Berbeda dari sistem
parlementer tersebut, maka dalam sistem presidensil, kedudukan sebagai kepala
Negara dan kepala pemerintahan itu menyatu dalam jabatan Presiden dan Wakil
Presiden. Karena itu, sistem presidensil tidak mengenal pembedaan apalagi
pemisahan antara kedudukan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan.
Yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden yang masing-masing ditentukan
tugas dan kewenangannya dalam konstitusi ataupun dalam peraturan perundang-
undangan di bawahnya.
Beberapa ciri yang penting dalam sistem pemerintahan presidensil adalah:
1. Masa jabatannya tertentu, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, atau 7 tahun,
sehingga Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan di tengah
masa jabatannya karena alasan politik. Di beberapa Negara, periode masa
jabatan ini biasanya dibatasi dengan tegas, misalnya, hanya 1 kali masa
jabatan atau hanya 2 kali masa jabatan berturut-turut.
59 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, h. 157
2. Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik
tertentu yang biasa dikenal sebagai parlemen, melainkan langsung
bertanggung jawab kepada rakyat. Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat
diberhentikan dari jabatannya karena alasan pelanggaran hukum yang
biasanya dibatasi pada kasus-kasus tindak pidana tertentu yang jika dibiarkan
tanpa pertanggungjawaban dapat menimbulkan masalah hukum yang serius
seperti misalnya pengkhianatan pada Negara, pelanggaran yang nyata
terhadap konstitusi, dan sebagainya.
3. Karena itu, lazimnya ditentukan bahwa, Presiden dan Wakil Presiden itu
dipilih oleh rakyat secara langsung ataupun melalui mekanisme perantara
tertentu yang tidak bersifat perwakilan permanen sebagaimana hakekat
lembaga parlemen. Dalam system parlementer, seorang Perdana Menteri,
meskipun juga dipilih melalui pemilihan umum, tetapi pemilihannya sebagai
Perdana Menteri bukan karena rakyat secara langsung melainkan karena yang
bersangkutan terpilih menjadi anggota parlemen yang menguasai jumlah kursi
mayoritas tertentu.
4. Dalam hubungannya dengan lembaga parlemen, Presiden tidak tunduk kepada
parlemen, tidak dapat membubarkan parlemen, dan sebaliknya parlemen juga
tidak dapat menjatuhkan presiden dan membubarkan kabinet sebagaimana
dalam praktek system parlementer.
5. Dalam sistem ini, tidak dikenal adanya pembedaan antara fungsi kepala
Negara dan kepala pemerintahan. Sedangkan dalam sistem parlementer,
pembedaan dan bahkan pemisahan kedua jabatan kepala Negara dan kepala
pemerintahan itu merupakan suatu kelaziman dan keniscahyaan.
6. Tanggung jawab pemerintahan berada di pundak Presiden dan oleh karena itu
presidenlah pada prinsipnya yang berwenang membentuk pemerintahan,
menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan para Menteri serta
pejabat-pejabat publik dan pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan
berdasarkan ‘political appointment’. Karena itu, dalam sistem ini, biasa
dikatakan ‘concentrasion of governing power and responsibility upon the
president’. Di atas presiden tidak ada institusi lain yang lebih tinggi, kecuali
konstitusi. Karena itu, dalam sistem ‘constitusional state’, secara politik
Presiden dianggap bertanggungjawab kepada rakyat, sedangkan secara hukum
ia bertanggungjawab kepada konstitusi.60
B. Presiden dan Wakil Presiden
Lembaga Kepresidenan atau Presidential institution merupakan istilah
yang kerap dipergunakan dalam berbagai arti; di Indonesia, perkataan Presiden
dipergunakan dalam dua arti; yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat
(ambtsdrager). Sedangkan dalam bahasa asing (seperti Inggris) untuk lingkungan
jabatan digunakan istilah presidency atau kalau sebagai ajektif dipergunakan
istilah presidential, misalnya; presidential government, sedangkan sebagai
60 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, h. 61
pejabat digunakan istilah president. Dalam UUD 1945, penggunaan kata
”Presiden” menunjukkan pejabat. Hal ini tampak dari rumusan-rumusan yang
menyebut Presiden. Misalnya,”Calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang
warga Negara Indonesia sejak kelahiran……”. Tetapi karena Presiden adalah
pemangku jabatan kepresidenan, dengan sendirinya dalam UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai Presiden sekaligus
mengandung pula makna pengaturan lingkungan jabatan Kepresidenan.
Jabatan adalah lingkungan kerja tetap yang berisi fungsi-fungsi tertentu
yang secara keseluruhan akan mencerminkan tujuan dan tata kerja suatu
organisasi. Jadi Jabatan (sebagai Presiden) dalam suatu negara merupakan
lingkungan kerja tetap yang berisi fungsi - fungsi tertentu untuk mencapai tujuan
Negara sebagaimana diamanatkan oleh rakyat. Sedangkan Pejabat adalah orang-
perorangan yang didudukkan dalam suatu jabatan dengan tugas dan wewenang
(taak en bevoegdheid) untuk merealisasikan berbagai fungsi jabatan tertentu. Jadi
Pejabat (Presiden) merealisasikan berbagai fungsi lingkungan jabatan Presiden
dalam tindakan-tindakan yang konkrit dan dapat dipertanggungjawabkan baik
secara politik, hukum maupun sosial.61
61 Fristian Humalanggi, Tinjauan historis-Yuridis Lembaga kepresidenan Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Artikel ini diakses pada 21 Oktober 2008 dari www.Tempo interakif.com
Menurut UUD 1945, Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan yang menjadi penyelenggara Pemerintah Negara Tertinggi di
bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan untuk membantu menjalankan
kewajibannya, Presiden dibantu oleh Wakil Presiden.
Istilah Presiden merupakan derivatif dari to preside yang berarti
memimpin atau tampil di depan. Sedangkan kata Latin presidere berasal dari kata
prae yang berarti didepan, dan kata sedere berarti duduk. Jabatan presiden yang
dikenal sekarang ini, yaitu muncul di Amerika Serikat pada abad ke-18. 62
UUD 1945 juga memberikan kedudukan yang kuat kepada lembaga
kepresidenan. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan. Selain menjalankan
kekuasaan eksekutif, Presiden juga menjalankan kekuasaan membentuk peraturan
perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan dengan penegakan hukum (grasi,
amnesti, dan abolisi) dan lain sebagainya.63
Di Indonesia, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar, berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, dan menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Presiden dan Wakil
62 Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretarian Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2005), Cet I, h. 23
63 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, h. 30
Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat di
pilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.64
Jabatan Presiden merupakan jabatan tunggal, yaitu diisi oleh satu orang
pemangku jabatan. Pemangku jabatan Presiden juga disebut Presiden. Dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia Presiden bukan merupakan pejabat yang
tertinggi, karena dia berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
sehingga jabatan majemuk yang melakukan kedaulatan rakyat dan merupakan
Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes (badan perwakilan yang
menyuarakan kemauan rakyat). Kepada badan negara tertinggi ini Presiden wajib
memberikan pertanggungjawaban.
Di Indonesia dikenal adanya tiga lembaga yang menjalankan tiga
kekuasaan yang berbeda, yakni; kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif,
kekuasaan yudikatif. Hal ini dipengaruhi oleh teori pemisahan kekuasaan yang
diajukan pertama kali oleh Montesquie dalam karyanya yang berjudul ”Esprit des
Lois” yang diterbitkan pada tahun 1748. Pemerintah menjalankan kekuasaan
eksekutif, badan perwakilan menjalankan kekuasaan legislatif, dan badan yudisial
menjalankan kekuasaan yudikatif. Sebagai Negara yang menganut sistem
Presidensil, di Indonesia Presiden sebagai pemerintah Negara merangkap sebagai
kepala Administrasi Negara Republik Indonesia. C. F. Strong mengemukakan
kekuasaan eksekutif dalam Negara yang dijalankan oleh Presiden, antara lain:
64 Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, h. 23
1. Kekuasaan diplomatik, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar
negeri.
2. Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang
dan administrasi Negara.
3. Kekuasaan militer, yaitu berkaitan dengan organisasi angkatan bersenjata dan
pelaksanaan perang.
4. Kekuasaan Yudikatif, yaitu menyangkut pemberian pengampunan,
penangguhan hukuman, dan sebagainya terhadap narapidana atau pelaku
kriminal.
5. Kekuasaan Legislatif, yaitu berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-
undang dan mengatur proses pengesahannya menjadi undang–undang.65
Sedangkan di Indonesia jabatan Wakil Presiden dalam struktur
ketatanegaraan hanya difungsikan sebagai “ban serep” belaka. Artinya, Wakil
presiden tidak mempunyai posisi strategis dalam struktur ketatanegaraan dan
hanya menjadi pengganti dari presiden belaka. Dalam kewajibannya, Presiden
dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.
Ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dalam
hal terjadi kekosongan Wakil Presiden selambat-lambatnya dalam waktu enam
65 Fristian Humalanggi, Tinjauan historis-Yuridis Lembaga Kepresidenan Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, www.Tempo interakif.com
puluh hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari
dua calon yang diusulkan oleh Presiden.66
Akan tetapi meskipun merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan,
keduanya adalah dua jabatan konstitusional yang terpisah. Karena itu, meskipun
di satu segi keduanya merupakan satu kesatuan, tetapi di segi yang lain, keduanya
memang merupakan dua organ negara yang berbeda satu sama lain, yaitu dua
organ yang tak terpisahkan tetapi dapat dan harus dibedakan satu dengan yang
lain.
Wakil Presiden, menurut pasal 4 ayat (2) jelas merupakan pembantu bagi
Presiden dalam melakukan kewajiban kepresidenan. Sesuai dengan sebutannya,
Wakil Presiden itu bertindak mewakili Presiden dalam hal Presiden berhalangan
untuk menghadiri kegiatan tertentu atau melakukan sesuatu dalam lingkungan
kewajiban konstitusional Presiden. Dalam berbagai kesempatan di mana Presiden
tidak dapat memenuhi kewajiban konstitusionalnya karena sesuatu alasan yang
dapat dibenarkan menurut hukum, maka Wakil Presiden dapat bertindak sebagai
pengganti Presiden. Sementara itu dalam berbagi kesempatan yang lain, Wakil
Presiden juga dapat bertindak sebagai pendamping bagi presiden dalam
melakukan kewajibannya.
66 Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, h. 24
Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR (demikian
pandangan yang berlaku) dan juga tidak bertanggung jawab kepada Presiden
karena Wakil Presiden dipilih dan diangkat bukan oleh Presiden. Bahwa Wakil
Presiden tidak bertanggung jawab kepada Presiden, sungguh wajar. Tetapi tidak
demikian halnya terhadap MPR, karena:
1. Wakil Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR. Wajar kalau bertanggung
jawab kepada MPR.
2. Membebaskan Wakil Presiden dari suatu sistem pertanggungjawaban,
menyalahi prinsip pemerintahan negara demokratis. Dalam negara
demokratis, setiap jabatan atau pejabat harus ada pertanggungjawaban dan
tempat bertanggung jawab (geen macht zonder ver aant woordelijkheid).
Apabila jabatan Wakil Presiden tergolong sebagai jabatan politik, sudah
semestinya ada forum bagi pertanggungjawaban secara politik.
C. Syarat Presiden dan Wakil Presiden
Syarat untuk dicalonkan dan dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden
adalah sama, karena pada satu saat Wakil Presiden dapat menjadi Presiden.
Pengaturan mengenai syarat-syarat ini ada yang bersifat umum (universal) dan
ada pula yang bersifat khusus yang hanya berlaku di Negara-negara yang
bersangkutan. Salah satu syarat yang sebenarnya berlaku umum adalah syarat
sehat fisik dan mental. Karena itu, dalam wacana yang berkenaan dengan syarat
Presiden, hampir tidak ada lagi yang mempersoalkannya, karena alasan yang
biasanya dianggap perlu untuk menyelamatkan Negara dari keharusan dipimpin
oleh orang yang tidak sehat.
Syarat lainnya antara lain adalah syarat usia, misalnya, sekurang-
kurangnya 40 tahun, tidak pernah dihukum karena tindak pidana, kecuali tindakan
pidana politik; tidak pernah menjadi warga Negara asing karena kehendaknya
sendiri. Namun, seorang yang mendapat kewarganegaraan karena naturalisasi,
dapat saja dicalonkan menjadi Presiden.67
Menurut Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan syarat-syarat
Presiden dan Wakil Presiden adalah:
1. Seorang Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.
2. Tidak pernah mengkhianati Negara.
3. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Mengacu pada pasal 6 ayat (2) UUD 1945, bahwa syarat-syarat untuk
menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan UU maka
syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden disebutkan dalam pasal 6 UU
no 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
adalah sebagai berikut:
67 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, h. 66
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Warga negera Indonesia sejak kelahirannyadan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain kehendaknya sendiri;
c. Tidak pernah menghianati Negara;
d. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakantugas
dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
e. Bertempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
f. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang
berwenang memeriksa kekayaan penyelenggara Negara;
g. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan
dan/secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya
yang merugikan keuangan Negara;
h. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan;
i. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyi hukum tetap;
j. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
k. Terdaftar sebagai pemilih;
l. Memiliki pokok wajib pajak (NPWP) dan telah melaksanakan
kewajiban selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan
dengan surat pemberitahuan pajak penghasilan wajib pajak
orang pribadi;
m. Memiliki daftar riwayat hidup
n. Belum pernah menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden
selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
o. Setia kepada pancasila sebagai dasar Negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan cita-cita
proklamasi selama 17 Agustus 1945;
p. Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak
pidana maker berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
q. Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga piluh lima) tahun;
r. Berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau yang sederajat;
s. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya, bukan orang yang
terlibat lansungdalm G. 30. SPKI;
t. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara lima tahun atau lebih.
D. Kewenangan Presiden
Adapun Wewenang, Kewajiban, dan Hak yang dimiliki oleh Presiden
berdasarkan UUD 1945 yakni terdapat di dalam pasal 10, 11, 12 ,13 ,14 , 15, dan
selanjutnya pasal 16 secara berturut-turut mengatur kewenangan-kewenangan
Presiden dalam berbagai bidang sebagai berikut;
1. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara [Pasal 10];
2. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain [pasal 11, ayat (1))];
3. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan Negara, dan / atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat [Pasal 11, ayat (2)];
4. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-
undang [Pasal 11, ayat (3)];
5. Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang [Pasal 12];
6. Presiden mengangkat duta, dan konsul [Pasal 13, ayat (1)];
7. Dalam hal mengangkat duta, presiden memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat [Pasal 13, ayat (2)];
8. Presiden menerima penempatan duta Negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [ Pasal 13, ayat (3)];
9. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan Mahkamah
Agung [Pasal 14, ayat (1)];
10. Presiden memberi amnesty dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat [ Pasal 14, ayat (2)];
11. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang
diatur dengan undang-undang [Pasal 15];
12. Presiden membentuk suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan
nasehat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam
undang-undang [Pasal 16].
BAB IV
ANALISIS PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UUD 1945
HASIL AMANDEMEN
A. Mekanisme Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen
Di negara manapun, kedudukan Pesiden sangatlah vital dalam menentukan
perjalanan bangsa ke depan, termasuk kehidupan ketatanegaraannya. Dalam hal
ini kekuasaan Presiden secara atributif diperoleh berdasarkan konstitusi.68
Jabatan presiden merupakan lingkungan pekerjaan yang sifatnya strategis
dan tidak boleh lowong sedikitpun. Sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan
UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2) (volkssouvereiniteit)
yang dilakukan sepenuhnya oleh MPR . MPR bersidang sedikit 5 tahun sekali dan
bertugas untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan UUD dan
Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Sedangkan Presiden adalah
mandataris MPR yang tunduk dan bertanggung jawab pada majelis. Di Indonesia,
pengisian jabatan Presiden dilakukan dengan cara pemilihan oleh suatu lembaga
yaitu MPR dengan suara terbanyak seandainya calon lebih dari satu orang
sedangkan bila calon tunggal maka cukup dengan persetujuan aklamasi. Dengan
demikian, sistem pengisian jabatan Presiden dilakukan melalui lembaga khusus
68 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuaaan: kajian teoritis dan yuridis terhadap pidato
nawaksara, (Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 53
yaitu MPR.69
Adapun kekuasaan Presiden secara derivatif diperoleh melalui
pelimpahan kekuasaan dalam bentuk pemberian kuasa (mandaatsverlening) dan
melalui pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab (delegatie).70
Proses permintaan pertanggungjawaban Presiden pada masa sebelum
perubahan UUD 1945, sangat terkait pada pelbagai ketentuan yang telah
disepakati pada tingkat MPR, selain bila oleh DPR Presiden dianggap melanggar
haluan negara. Yang telah ditetapkan oleh MPR, maka majelis dapat diundang
untuk sebuah persidangan istimewa yang meminta pertanggungjawaban Presiden.
Dalam hal ini Presiden sesuai konstitusi negara, dengan bentuk pertanggungjawab
politis yang diberi sanksi, yakni dengan kemungkinan MPR setiap waktu melepas
Presiden dari jabatannya (kan hem op elk gewnst moment onslaan) atau
kemungkinan Presiden dijatuhi hukuman pemecatan (op straffe vabn ontslag) dari
jabatan sebelum habis masanya.bentuk pertanggungjawab seperti ini termasuk
dalam kategori pertanggungjawab dalam arti luas karena ada sanksinya.71
69 R. Muhammad Mihradi, Jurnal keadilan, Lembaga Kajian Hukum dan Keadilan,
November 2000), Vol.I, h. 6
70 Suwoto mulyosudarmo, peralihan kekuaaan: kajian teoritis dan yuridis terhadap pidato
nawaksara, h. 62
71 Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretarian Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2005), Cet I, h. 30
UUD 1945 sebelum perubahan, tidak mengatur secara tegas
pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya baik mengenai alasan maupun
mekanismenya. Dalam pasal 8 UUD 1945, yang berbunyi “Jika Presiden
mangkat, berhenti atau tidak dapat melakakan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Dari
ketentuan tersebut, kata “berhenti” secara implisit diberhentikan memberikan
kemungkinan seorang Presiden diberhentikan ditengah jabatannya, yaitu bisa
berarti berhenti karena mengundurkan diri maupun berhenti karena
mengundurkan diri maupun berhenti karena diberhentikan.
Dalam bagian penjelasan UUD 1945 yaitu pada angka VII alinea ketiga
dijelaskan bahwa “Jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar
Haluan Negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh Majelis
Permusyawaratn Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan
istimewa agar supaya bisa meminta pertanggungan jawab Presiden”. Ketentuan
penjelasan ini secara implisit memuat alasan dan mekanisme dapat
diberhentikannya seorang Presiden. Presiden dapat diberhentikan dengan alasan
bahwa Presiden sungguh melanggar Haluan Negara. Sedangkan prosesnya adalah
melalui persidangan istimewa MPR untuk meminta pertanggungan jawab
Presiden setelah adanya kesimpulan dari Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden sungguh melanggar haluan Negara. Walaupun dalam penjelasan ini tidak
secara eksplisit bahwa pertanggungn jawab yang ditolak oleh MPR berakibat
pada diberhentikannya Presiden. Pengaturan yang tegas mengenai pemberhentian
Presiden diatur dalam ketetapan-ketetapan MPR yang menentukan bahwa MPR
berwenang meminta pertanggungjawaban Presiden mengenai pelaksanaan garis-
garis besar haluan negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut serta
mencabut kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya
apabila Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan Negara dan atau Undang-
Undang Dasar.
Yang dimaksud dengan melanggar haluan negara tidak didefinisikan
dalam perundang-undangan yang ada. Namun dari kajian terhadap berbagai
ketetapan MPR yang ada dan praktek ketatanegaraan Indonesia, pelanggaran
terhadap haluan negara adalah merupakan pelanggaran terhadap ketetapan-
ketetapan MPR baik ketetapan MPR mengenai garis-garis besar haluan negara
maupun ketetapan MPR yang lainnya serta pelanggaran terhadap UUD. Jika
dikaitkan dengan ketentuan pasal 9 UUD 1945, mengenai sumpah jabatan
Presiden maka pelanggaran terhadap UUD ini, dapat memperluas bentuk dan
jenis pelanggaran yang dapat dilakukan oleh Presiden karena bisa mencakup
tindakan Presiden yang tidak memegang teguh UUD serta tidak menjalankan
segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Adanya kata-
kata “menjalankan undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”,
dapat berarti bahwa pelanggaran terhadap setiap ketentuan undang-undangan atau
pelanggaran terhadap peraturan pemerintah, keputusan Presiden dan peraturan-
peraturan lainnya dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap pasal 9 UUD
1945.
Ketentuan yang lebih rinci mengenai mekanisme pemberhentian Presiden
sebelum amandemen diatur dalam ketetapan MPR RI No. VI/MPR/1973 dan Tap
MPR No. III/MPR/1978, yang menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) berkewajiban setiap saat mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam
rangka pelaksanaan haluan negara. Apabila DPR menganggap bahwa Presiden
sungguh-sungguh melanggar haluan negara maka DPR menyampaikan
memorandum untuk mengingatkan Presiden. Apabila dalam waktu tiga bulan
Presiden tidak memperhatikan memorandum tersebut, maka DPR menyampaikan
memorandum kedua. Dan apabila dalam waktu satu bulan memorandum kedua ini
tidak diindahkan Presiden maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan
Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.72
Hasil perubahan UUD 1945 yang berkaitan langsung dengan kekuasaan
Presiden dan Wakil Presiden, adalah pembatasan kekuasaan Presiden
sebagaimana diatur dalam pasal 7 (lama) yang berbunyi “Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”. Penegasaan di dalam pasal 7 dipandang terlalu fleksibel untuk
ditafsirkan. Jadi tidak perlu dibatasi, asal masih dipilih oleh MPR, ia dapat terus
menjabat Presiden dan atau Wakil Presiden. Kemudian, pasal 7 diubah, yang
bunyinya menjadi “Presiden dan atau Wakil Presiden memegang jabatannya
selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
72 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden “Alasan Tindak Pidana Pemberhetian Presiden
Menurut UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 89-91
sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Perubahan pasal ini dipandang sebagai
langkah yang tepat untuk mengakhiri perdebatan tentang periodisasi jabatan
Presiden dan Wakil Presiden. Perubahan terhadap pasal-pasal ini dapat dikatakan
sebagai pengurangan atas kekeuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai
hak prerogatif. Adanya perubahan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung oleh rakyat diharapkan rakyat dapat berpartisipasi secara
langsung menentukan pilihannya sehingga tidak mengulang kekecewaan yang
pernah terjadi pada pemilu 1999. Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki
otoritas dan legitimasi yang sangat kuat karena akan dipilih langsung oleh rakyat.
Perubahan ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menetapkan bahwasanya Presiden dan / atau Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A UUD NRI 1945). Pasal 7 UUD
NRI Tahun 1945 menegaskan bahwasanya Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa
jabatannya, tentu saja during good behaviour. Presiden dan Wakil Presiden tidak
lagi dipilih oleh MPR. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dapat pula
mengajukan mosi tidak percaya (motie van wantrouwen) terhadap kebijakan
Presiden dan / atau Wakil Presiden, sekalipun dukungan DPR tetap dipandang
efektif dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.73
Pejabat negara yang dapat di-impeach di Indonesia menurut UUD setelah
perubahan hanyalah Presiden dan / atau Wakil Presiden. Berbeda dengan aturan
negara lain dimana mekanisme impeachment bisa dilakukan terhadap pejabat-
pejabat tinggi negara. Misalkan di Amerika Serikat, Presiden dan Wakil Presiden
serta pejabat tinggi negara adalah obyek yang dapat dikenakan tuntutan
impeachment sehingga dapat diberhentikan. Pengaturan bahwa Presiden dan /
atau Wakil Presiden yang dapat dikenakan tuntutan impeachment terdapat pada
pasal 7A UUD Tahun 1945 yang menyebutkan “Presiden dan / atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun perbuatan apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan / atau Wakil Presiden.”
73 Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, (Palu: Fakultas Hukum Universitas
Tadulako, 2005), Vol. I April-Juli, h. 2
Pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dimaksud merupakan
kewenangan konstitusional MPR atas usul DPR. DPR adalah impeacher,
mempersiapkan data bukti secara cermat. Tentu saja, DPR perlu mempersiapkan
tim investigasi sebelum mengemukakan pendapatnya berkenaan hal-hal
pelanggaran hukum dan atau perbuatan yang dilakukan oleh Presiden dan / atau
Wakil Presiden.74
DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan
kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bilamana dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden
dan / atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang
termasuk dalam alasan impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A
UUD 1945, maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya (tata
tertib DPR) mengajukan tutntutan impeachment tersebut kepada Mahkamah
Konstitusi.75
Dalam pada itu, ketua Mahkamah Konstitusi dalam syaratnya, bertanggal
15 juni 2004, no. 94-95/MK.KA/VI/2004 kepada ketua MPR. Ketua DPR dan
pimpinan DPD (khusus terakhir melalui sekretaris jendral MPR) memberikan
saran guna perubahan peraturan tata tertib DPR dan MPR, antara lain dengan
mengantisipasi penjabaran prosedur dan pemberhentian Presiden dan Wakil
74 Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 3
75 Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah
Konstitusi, h. 62
Presiden dalam peraturan tata tertib masing-masing, termasuk peraturan tata tertib
DPD.76
Proses impeachment yang berada ditangan Mahkamah Konstitusi, sesuai
dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) maka MK wajib memeriksa, mengadili dan
memutus pendapat DPR tersebut.
Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon
karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan /
atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal
7A UUD 1945.77
Pasal 7B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa
usulan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diajukan DPR
kepada MPR hanya terlebih dahulu mengajukan kepada MK untuk memeriksa,
mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden
melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela Presiden dan / atau wakil
presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden
(pasal 7B ayat 4) UUD NRI 1945. Putusan yang diminta DPR kepada MK adalah
putusan hukum (‘judicieele vonnis’), bukan putusan politik (‘politieke
beslissing’). Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR, wajib
disampaikan kepada DPR dan Presiden dan / atau Wakil Presiden (pasal 85
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).78
76 Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 3 77 Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah
Konstitusi, h. 62
78 Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 3
Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, dan / atau terbukti
bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan / atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden kepada
MPR (pasal 7B ayat (5) UUD NRI Tahun 1945).79
Berbeda halnya putusan Mahkamah Konstitusi maka putusan MPR yang
memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden adalah putusan politik
(politieke beslissing). Hanya MPR yang memiliki kewenangan konstitusional
guna memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatan
(pasal 7A dan pasal 7B ayat (6), (7) UUD NRI Tahun 1945). 80
MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR
tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima usul tersebut (pasal 7B
ayat (6) UUD NRI Tahun1945).81
Proses pengambilan keputusan MPR atas usul
pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden ini dilakukan dengan
mengambil suara terbanyak dalam rapat paripurna. Komposisi dan tata cara
pengambilan suara terbanyak itu juga diatur secara rinci oleh UUD 1945 yaitu
rapat paripurna MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari seluruh
anggota MPR. Dan persetujuan atas usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil
79 Ibid, h. 4
80 Ibid, h. 3
81 Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 5
Presiden harus disepakati sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir
dalam rapat paripurna.82
Walaupun telah jatuh putusan MK yang menyatakan bahwasanya
pendapat DPR tentang pelanggaran hukum oleh Presiden telah terbukti, namun
MPR dapat menjatuhkan putusan lain sepanjang pertimbangan politik (‘politieke
overweging’) dalam rapat paripurna MPR menerima baik penjelasan yang
dikemukakan Presiden dan / atau Wakil Presiden sehingga rapat memandang
Presiden dan / atau wakil Presiden tidak perlu diberhentikan. Rapat paripurna
terlebih dahulu memberi kesempatan kepada Presiden dan / atau Wakil Presiden
menyampaikan penjelasan sebelum Rapat Paripurna menjatuhkan putusan (vide
pasal 7B ayat (7) UUD NRI Tahun 1945).
Penjelasan sebagaimana dimaksud pasal konstutusi tersebut pada
hakikatnya merupakan upaya pembelaan diri bagi Presiden dan / atau Wakil
Presiden. Tidak berarti putusan MPR menyampingkan putusan MK, tetapi hal
pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya itu
memang merupakan constitutioneele bevoegheden dari MPR. Dalam pada itu,
putusan Rapat Paripurna MPR yang memberhentikan Presiden dan / atau Wakil
Presiden adalah sebatas memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden dari
jabatan publik kepala pemerintahan negara, dalam makna to removal from the
office, tidak memasuki ranah penyidikan serta penuntutan pidana terhadap
82 Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah
Konstitusi, h. 62
Presiden dan / atau Wakil Presiden yang diberhentikan. Putusan politik (‘politike
beslissing’), bukan bagian dari proses hukum penyidikan (‘opsporing) dan
penuntutan.83
B. Alasan-Alasan Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil
Amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahum 1945 setelah
perubahan, mengatur secara tegas mengenai alasan-alasan pemberhentian
Presiden , dan mekanisme Presiden dalam masa jabatannya. Pasal 7A UUD 1945,
berbunyi: “Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, baik apabila telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.”
1. Pengkhianatan Terhadap Negara.
Sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah
Konstitusi bahwa pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana
terhadap keamanan negara yang diatur dalam Undang-Undang, maka dapat di
kemukakan bahwa sebagian besar tindak pidana terhadap keamanan negara
83 Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 5
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan
sebagian lagi di luar KUHPidana, seperti tindak pidana terorisme.
KUHPidana secara khusus tidak mempergunakan istilah tindak pidana
“pengkhianatan terhadap Negara”, namun dalam ilmu pidana Indonesia,
tindak pidana terhadap keamanan Negara atau yang disebut tindak pidana
makar yang diatur dalam Titel I buku 2 KUHPidana yaitu dari pasal 104 s/d
pasal 129 adalah merupakan tindak pengkianatan terhadap negara.
Menurut Wirjono Prodjidikuro, Titel I buku 2 KUHPidana, memuat
tindak-tindak pidana yang bersifat menggangu kedudukan negara sebagai
suatu kesatuan yang berdiri di tengah-tengah masyarakat internasiaonal yang
terdiri dari pelbagai negara yang berdaulat. Sifat pengkhianatanlah (verrad)
yang merupakan nada bersama dari tindak-tindak pidana dari title I ini. Lebih
lanjut Wirjono menyatakan, ada dua pengkhianatan yaitu:
a. Pengkhianatan intern (hoog verraad), yang ditujukan untuk merubah
struktur kenegaraan dan struktur pemerintahan yang ada termasuk juga
tindak pidana terhadap kepala negara. Jadi mengenai keamanan intern
negara.
b. Pengkhianatan ekstern (landverraad) yang ditujukan untuk membahayakan
keamanan luar negeri. Jadi mengenai keamanan ekstren dari negara,
misalnya hal memberi pertolongan kepada negara asing yang bermusuhan
dengan negara lain.84
Berdasarkan titel I Buku II KUHPidana pengkhianatan terhadap
negara mencakup jenis-jenis tindak sebagai berikut:
1) Makar terhadap Kepala Negara (pasal 104);
2) Makar untuk memasukkan Indonesia dibawah kekuasaan asing (pasal
106);
3) Makar untuk menggulingkan pemerintah (pasal 107);
4) Pemberontakan / opstand (pasal 108);
5) Permufakatan jahat dan / atau penyertaan untuk melakukan kejahatan
yang dimaksud dalam pasal 104, 106, 107, dan 108 KHUPidana;
6) Mengadakan hubungan dengan Negara asing yang bermusuhan dengan
Indonesia (pasal 111), bentuk-bentukl dari tindak pidana ini adalah
mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud:
a. Menggerakannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau
perang terhadap negara.
b. Memperkuat niat negara asing tersebut.
c. Menjanjikan bantuan terhadap negara asing tersebut.
d. Membantu persiapan negara asing tersebut untuk melakukan
perbuatan permusuhan atau perang terhadap negara.
84 Wirjono Prodjodikuro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta-Bandung: PT
Eresco, 1974), Cet II, h. 202
7) Mengadakan hubungan dengan negara asing dengan tujuan agar
negara asing membantu penggulingan terhadap pemerintah di
Indonesia (pasal 111 bis);
8) Menyiarkan surat-surat rahasia (pasal 112-116);
9) Kajahatan-kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara
(pasal 117-120);
10) Merugikan negara dalam perundinagn diplomatic (pasal 121);
11) Kejahatan lainnya yang dilakukan oleh mata-mata musuh (pasal 126);
12) Menipu dalam hal menjual barang-barang keperluan tentara (pasal
127).
2. Korupsi dan Penyuapan
Korupsi adalah suatu permasalahan besar yang merusak keberhasilan
pembangunan nasional. Korupsi menjadikan ekonomi menjadi berbiaya
tinggi, politik yang tidak sehat, dan moralitas yang terus-menerus merosot.85
Korupsi merupakan sebuah konsep yang sangat akrab di telinga semua orang
Indonesia. Hampir setiap hari media massa mengungkapkan gejala-gejala
penyelewengan dan penyalahgunaan dana, waktu, kekuasaan, dan fasilitas
yang ada yang merupakan berbagai macam gejala korupsi. Kendatipun semua
orang tidak menerima praktik-praktik korupsi, tetapi korupsi hampir
melibatkan semua orang. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat,
85 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madan, (
Jakarta, UIN, 2006), h. 216
pengusaha, dan kaum pegawai, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang
berhubungan dengan lembaga-lembaga sosial dan bahkan lembaga
keagamaan. Di mana pun ketika ada kesempatan, orang akan melakukan
korupsi.86
Menurut Fockema Andrea, kata korupsi berasal dari bahasa latin
corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu pula
berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari
bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu
corruption, corrupt, Prancis, yaitu corruption, dan Belanda, yaitu corruptie
(korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah
kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.87
Kata korupsi dalam
bahasa Indonesia berarti penyuapan, perusakan moral, perbuatan yang tidak
beres dalam jabatan, pemalsuan dan sebagainya.88
Di Indonesia, korupsi bukan saja merupakan gejala kehidupan individu
(pribadi), masyarakat (kelompok dan golongan), atau negara (sistem politik
dan pemerintahan). Lebih dari itu, tindakan tercela itu sudah menjadi salah
satu masalah utama dan mendesak. Di katakan seperti itu, karena korupsi
86 Munawar Fuad Noeh, Islam Dan Gerakan Moral Anti Korupsi (Jakarta, Zihru’l Hakim,
1997), Cet I, h. 13
87 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional
(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), h. 4
88 Djoko Prakoso, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara,(Jakarta:
PT Bina Aksara, 1987), h. 389
merupakan realita penyalahgunan kekuasaan di setiap sendi kehidupan
masyarakat. Penelitian berskala internasional, regional, dan nasional telah
membuktikan hal itu. Ditemukan, bahwa Indonesia adalah negara terkorup
kedua di Asia dan pertama di ASEAN.89
Bangsa ini pun terperanjat ketika
Dato Param Cumaraswamy, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa
menyimpulkan bahwa korupsi diperadilan Indonesia adalah salah satu yang
terburuk di dunia yang mungkin hanya bisa disamai oleh Meksiko. Bahkan di
mata orang bisnis, khususnya para investor Asia, korupsi di Indonesia, dalam
hal ini adalah korupsi di Pengadilan, Indonesia memperoleh skor 9,92 dari
skala 1 sampai 10 dengan catatan yang mendapat skor 1 adalah yang terbaik
dan yang mendapat skor 10 adalah yang terburuk. Skor ini tepat berada di atas
India yang memperoleh angka 9,26 dan Vietnam yang mendapatkan skor
8,75.90
Tragisnya, walau hampir semua orang Indonesia menilai korupsi
adalah jahat dan buruk dan arena itu harus diberantas-, tetapi pejabat dan
instansi yang berwenang memberantasnya, bekerja setengah hati dan asal-
asalan. Sehingga, hasil tindakan itu jauh dari memuaskan. Malah berbagai
tokoh dan lembaga kekuasaan, terkesan kuat memberikan proteksi kepada
para koruptor. Lebih parah lagi, dalam pergaulan sehari-hari, tidak ada
89 Arbi Sanit, ed., Korupsi Di Negeri Kaum Beragama Ikhtiar Membangun Fiqh Anti Korupsi
(Jakarta: P3M, 2004), h. 45
90 Arya Maheka, Mengenali Dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: KPK, t.th), h. 2
pembedaan antara koruptor dengan orang jujur. Koruptor dihormati karena
kekayaan dan kekuasaan atau karena sumbangannya kepada warga
masyarakat.
Walaupun UUD 1945 memisahkan kedua bentuk pelanggaran hukum
ini yaitu; korupsi dan penyuapan sebagaimana tercantum dalam pasal 7A
UUD 1945, namun dalam pembahasan ini akan digabung dalam satu topic,
karena ternyata korupsi dan penyuapan sudah diatur dalam satu undang-
undang tersendiri.91
Dalam ketentuan hukum pidana Indonesia, tindak pidana korupsi
diatur dalam undang-undang tersendiri.92
Sehingga dengan demikian segala
tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut dapat dikualifisir
sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang
ini mencakup tiga kelompok tindak pidana yaitu:
Pertama, tindak pidana korupsi yang umum sebagaiman diatur dalam
pasal 2 dan pasal 3 UU No 31 tahun 1999 yang terdiri dari sebagai berikut:
91 Yaitu Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
Undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
92 Yaitu UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana di
ubah dengan UU No 20 tahun 2001
a. Perbuatan yang secara melawan hukum memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau korporasi93
yang dapat merugikan
keuangan atau perekonomian negara;94
b. Perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian
Negara.95
Kedua, tindak pidana korupsi yang sebelumnya merupakan tindak
pidana suap yang terkait dengan jabatan pegawai negeri,96
hakim, advokat
sebagimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
93 Korporasi sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 butir 1 UU No 30 tahun 1999, adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.
94 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pasal 2.
95 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pasal 3
96 Dalam pasal 1butir 2 UU No 31 tahun 1999, yang dimaksud pegawai negeri adalah:
- Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU kepegawaian;
- Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; - Orang yang menerima gaji atau upah dari keunagan Negara atau daerah;
- Orang yang menerima upah atau gaji dari korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan Negara atau daerah;
- Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan odal atau
fasilitas dari Negara atau masyarakat.
Ketiga, tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi, antara lain perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mencegah,
merintangi atau menggagalkan penyidikan, dan pemeriksan dalam perkara
korupsi. Memberikan keterangan tidak benar sebagai tersangka, saksi, dan
saksi ahli dalam perkara yang terkait dengan tindak pidana korupsi.97
3. Tindak Pidana berat Lainnya serta Perbuatan Tercela.
Undang-Undang Dasar 1945 maupum Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, tidak memberikan batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud
dengan “tindak pidana berat lainnya dan perbuatan tercela”. Namun dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menjadi
sangat tegas bahwa maksud “tindak pidana berat lainnya” adalah tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Tidak ada batasan yang tegas atas istilah “perbuatan tercela”, baik
dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun dalam Undang-undang tentang
Mahkamah Konstitusi.
Pasal 10 ayat (3) huruf d Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi (UU No 24 tahun 2004) memberikan pengertian tentang perbuatan
tercela yaitu “perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan / atau
Wakil Presiden”. Perbuatan tercela itu termasuk pelanggaran hukum lainnya
seperti pelanggaran sumpah jabatan, penyalahgunaan wewenang (abuse of
97 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 179.
power), pelanggaran undang-undang dasar serta pelanggaran terhadap norma
moral dan norma agama. Pelanggaran terhadap norma hukum dapat sekaligus
juga merupakan pelanggaran terhadap norma agama, misalnya berjudi atau
berzina. Logika ini dapat dipahami karena hukum pada hakikatnya berakar
pada moral (kesusilaan), dan kesusilaan pada dasarnya bersendikan agama.98
4. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau wakil Presiden
Undang-undang nomor 24 tahun 2003 pasal 10 ayat (3) huruf e
menyebutkan bahwa yang dimaksud tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan / atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana di tentukan
dalam pasal 6 UUD 1945.
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan syarat-syarat Presiden dan
Wakil Presiden adalah:
1. Seorang Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.
2. Tidak pernah mengkhianati Negara.
3. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
98 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, h. 180-181.
Mengacu pada pasal 6 ayat (2) UUD 1945, bahwa syarat-syarat untuk
menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan UU maka
syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden disebutkan dalam pasal 6 UU
no 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
C. Proses Pembuktian di Mahkamah Konstitusi (Mk)
Sebelum Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangannya dalam pasal
10 ayat (2), terlebih dahulu dilakukannya pengawasan oleh DPR. UUD 1945
mengatur bahwa DPR memilki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi angaran
dan fungsi pengawasan. Atas dasar pelaksanaan fungi pengawasan ini maka DPR
dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden. Pasal
7B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan;
“Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan / atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden adalah
dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat."
Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK adalah
bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan
impeachment yang di tujukan kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Ketika
proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili Presiden dan /
atau wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi objek dalam
proses impeachment di MK adalah pendapat DPR. MK wajib memeriksa,
mengadili dan memberikan putusan atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang
diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu
proses impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada
Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK
merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman
maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi
justifikasi secara hukum.99
UUD 1945 dan UU MK seolah membuat kalsifikasi pokok perkara
tuduhan impeachment ke dalam 2 kelompok yaitu (a) Presiden dan / atau Wakil
Presiden melakukan pelanggran hukum dan (b) Presiden dan / atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Yang termasuk dalam kelompok pertama adalah berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela.
Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kedua yaitu syarat sebagai Presiden
dan / atau Wakil Presiden adalah sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 ayat (1)
UUD 1945 serta pasal 6 UU No.23 tahun 2003 sebagai penjabaran dari pasal 6
ayat (20 UUD 1945. Akan tetapi pengelompokan ini tidak membawa dampak
hukum yang berbeda, karena bilamana Presiden dan / atau Wakil Presiden
terbukti melakukan salah satu dari perbuatan melanggar hukum sebagaiman
termasuk dalam kelompok pertama maupun kelompok kedua maka amar putusan
99 Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah
Konstitusi, h. 75
MK adalah membenarkan pendapat DPR. Namun apabila Presiden dan / atau
Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum dan / atau tidak
tidak terbukti lagi memenuhi syarat sebgai Presiden dan / atau Wakil Presiden
maka amar putusan MK adalah menyatakan permohonan di tolak.
Secara ringkas proses impeachment di Mahkamah Konstitusi dapat
digambarkan sebagai berikut:
1) Pendaftaran pemohon dalam hal ini DPR) di kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi harus memenuhi ketentuan tentang kedudukan hukum (legal
standing) pemohon, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili, dan
pokok perkara disertai bukti-bukti.
2) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
3) Pemeriksaan pendahuluan oleh panel hakim.
4) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
5) Pemeriksaan di persidangan dan pembuktian.
6) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
7) Putusan dapat berupa Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan:
a. Tidak dapat di terima
b. Ditolak; atau
c. Membenarkan pendapat DPR.
d. Jika putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka
DPR melanjutkannya ke dalam MPR.
e. Dalam hal Presiden dan / atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada
saat proses persidangan di Mahkamah Konstitusi, proses persidangan di
hentikan dan pernohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.
D. Proses Impeachment di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Setelah perubahan ketiga UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) tidak lagi mengikuti doktrin supremasi parlemen yang menduduki MPR
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Doktrin yang dianut oleh UUD
1945 setelah mengalami perubahan adalah supremasi konstitusi dimana konstitusi
menjadi suatu institusi tertinggi di Indonesia.
MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih
lanjut dengan undang-undang. MPR bersidang sedikitnya dalam lima tahun di
ibukota negara. Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak
sementara itu, wewenang MPR melantik Presiden dan / atau Wakil Presiden, dan
memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD.100
100 Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah
Konstitusi, h. 24
Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR maka
DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR setelah menerima usul
DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR dalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari setelah MPR menerima usulan tersebut, tata cara
impeachment dalam lembaga MPR diatur dalam bab XV (pasal 63) mengenai tata
cara pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
peraturan tata tertib (keputusan MPR RI nomor 7/MPR/2004 tentang peraturan
tata tertib MPR RI sebagaimana telah diubah dengan keputusan MPR RI nomor
13/MPR/2004 tentang perubahan Peraturan tata tertib MPR RI)
Pimpinan MPR kemudian mengundang anggota MPR untuk mengikuti
rapat paripurna yang mengagendakan memutus usulan pemberhentian Presiden
dan / atau wakil Presiden yang diajukan oleh DPR. Pimpinan MPR juga
mengundang Presiden dan / atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan
yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya dalam rapat paripurna majelis.
Presiden dan / atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan
penjelasan atas usul pemberhentiannya. Apabila Presiden dan / atau Wakil
Presiden tidak hadir untuk meyampaikan penjelasan, maka majelis tetap
mengambil putusan terhadap usul pemberhentaian Presiden dan / atau Wakil
Presiden.
Pengambilan putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan / atau
Wakil Presiden yang diajukan DPR setelah adanya putusan MK dilaksanakan
melalui mekanisme pengambilan suara terbanyak. Persyaratan pengambilan suara
terbanyak itu adalah diambil dalan rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
dari jumlah anggota majelis (kourum), dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota yang hadir yang memenuhi kuorum.
Secara ringkas proses impeachment di MPR dapat digambarkan sebagai
berikut:
a. MPR menggelar Sidang Paripurna untuk membahas Putusan Mahkamah
Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR, selambat-lambatnya 30 hari
setelah menerima putusan .
b. Presiden dan / atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan keterangan.
c. Rapat Paripurna MPR dengan korum sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah
anggota dapat mengambil keputusan, yang mungkin berupa:
1) Ditolak, yang berarti Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak
diberhentikan dari jabatannya, atau
2) Diterima, dengan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir, yang berarti Presiden dan / atau Wakil Presiden
diberhentikan dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir.101
101 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, h. 186-187
E. Analisis
Impeachment berasal dari kata impeach yang dalam bahasa Inggris sinonim
dengan kata accuse atau charge yang berarti menuduh atau mendakwa. Impeachment
merupakan sarana yang memberikan kemungkinan dilakukannya pemberhentian
seorang Presiden atau Pejabat Tinggi Negara (a public official) dari jabatannya itu
berakhir.102
Impeachment adalah tindakan politik dengan hukuman berhenti dari jabatan
dan kemungkinan larangan untuk memegang suatu jabatan, bukan hukuman pidana
(criminal conviction) atau pengenaan ganti kerugian perdata.103
Menurut UUD 1945 bahwa Presiden dapat diberhentikan apabila Presiden
telah melakukan pelanggaran hokum berupa; pengkhianatan terhadap Negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden yang diatur dalam pasal 7A UUD 1945.
Alasan-alasan yang dapat memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya
dalam Islam yaitu menurut pendapat dari Abdul Qadim Zallum terdapat dua
klasifikasi pemberhentian khalifah:
102 Achmad Roestandi., Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), Cet I, h. 168
103 Iwan Permadi, Jurnal Konstiusi, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2007), Volume 4 No.3, h. 131
1. Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari
jabatannya, yaitu terdiri dari;
1) Kalau khalifah murtad dari Islam104
2) Kalau khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan105
3) Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat106
2. Perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkannya
dari jabatan khalifah namun dia tidak boleh mempertahankan jabatannya
yaitu terdiri dari:
1) Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya.107
2) Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau
waria.108
3) Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terkadang sembuh terkadang
gila
4) Cacat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak dapat
diharapkan kesembuhannya
104 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press,
2007), h. 275
105 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275 106 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
107 Ibid, h. 137
108 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
5) Adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak mampu lagi
menangani urusan kaum Muslimin menurut pikirannya sendiri, yang
sesuai dengan hukum syara’. 109
Adapun mengenai mekanisme impeachment, di dalam UUD 1945 harus
melalui tiga lembaga Negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah
Konstitusi (MK), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). DPR dalam
menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk
mengawasi jalannya pemerintahan. Bilamana dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam alasan
impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945, maka DPR
setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya (tata tertib DPR)
mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.
Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, dan / atau terbukti bahwa
Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan / atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden kepada MPR
(pasal 7B ayat (5) UUD NRI Tahun 1945). Proses pengambilan keputusan MPR
atas usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden ini dilakukan dengan
109 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
mengambil suara terbanyak dalam rapat paripurna. Bahwa, apakah Presiden dapat
di impeachment atau tetap memangku jabatannya sebagai presiden.
Sedangkan menurut sistem ketatanegaraan Islam tidak ditemukan
penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqh al-
siyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian
Presiden.
Pertama, sekelompok ulama Ahli Sunnah, Khawarij, Mu’tazilah,
Zaidiyah, dan para ulama murjiah berpendapat wajib mengangkat senjata untuk
memberhentikannya. Cara inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan sall
as-saif (menghunuskan pedang).
Kedua, untuk memberhentikan pemimpin adalah melalui apa yang
diistilahkan pada zaman modern ini dengan civil disobedience (pembangkangan
sipil). Cara ini dilakukan apabila umat merasa bahwa imam ini fasiq yang tidak
takut dosa melakukan maksiat atau zalim, tidak layak menjadi imam.
Ketiga, dengan cara pengambilan suara terbanyak yang keputusannya
ditetapkan oleh Majelis Syurâ. Di zaman modern, para pemikir kontemporer
seperti Rasyid Ridho dan lain-lain, mengganti majelis syura dengan badan
perwakilan (legislatif) rakyat yang dipilih melalui sistem pemungutan suara
modern. As-Sayyid Al-Maududi secara aktual menegaskan bahwa legislatif
adalah apa yang dalam terminologi fiqh lama dikenal dengan ahlul halli wal aqdi
(majelis syura). Dengan demikian sesuai dengan pemikiran tersebut majelis
syura’ (lembaga legislatif) sebagai penjelmaan wakil rakyat, berhak untuk
mengangkat seorang khalifah yang dianggap cakap dan memenuhi kriteria. Jika
khalifah itu melakukan penyalahgunaan kekuasaan, Majelis syura’ berhak pula
untuk memberhentikannya apabila Majelis Syura’ menilai khalifah telah
melakukan pelanggaran terhadap syariat, konstitusi, dan perundang-undangan,
maka presiden dapat diberhentikan melalui pengambilan suara terbanyak yang
keputusan majelis syura tersebut ditetapkan dengan suara terbanyak.
Sehingga jelas apa yang telah dipaparkan diatas, mengenai mekanisme
impeachment Presiden menurut UUD 1945 dengan sistem ketatanegaraan Islam
memiliki perbedaan yang nyata. Adapun terdapat satu persamaan bahwa, dalam
pengambilan keputusan terhadap pemberhentian Presiden antara pemikiran
Rasyid Ridho dengan UUD 1945 adalah melalui pengambilan suara terbanyak
dalam sidang lembaga legislatif. Dalam hubungan ini, konferensi para ulama dan
para cendikiawan muslim yang mewakili semua aliran, Sunni dan Syi’ah, yang
diselenggarakan pada tanggal 21 sampai dengan 24 Januari 1951 dari Karachi,
Pakistan, memberi rekomendasi sebagai berikut: Lembaga (dalam hal ini Majelis
Syura’) yang diberi kuasa memilih kepala negara (khalifah), juga memiliki
kekuasaan untuk memecatnya atas dasar suara mayoritas.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari serangkaian uraian di atas, penulis menarik suatu kesimpulan sebagai
berikut, yaitu:
Alasan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden disebutkan
secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden yang telah diatur
dalam pasal 7A UUD’45.
Mekanisme Impeachment Presiden di Indonesia melalui proses di 3
lembaga negara secara langsung. Proses yang pertama di lembaga DPR. DPR
melalui hak pengawasannya melakukan proses “investigasi” atas dugaan-dugaan
bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden melakukan tindakan-tindakan yang
dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tergolong dalam alasan-alasan
Impeachment. Setelah proses di DPR selesai maka putusan tersebut dilanjutkan
dan dibawa ke Mahkamah Konstitusi dan MK wajib untuk memberikan putusan
atas pendapat DPR. Kemudian dilanjutkan lagi ke Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) untuk mendapat kata/hasil akhir akan nasib Presiden dan / atau
Wakil Presiden apakah Presiden diberhentikan atau tidak
Adapun alasan yang menjadikan Presiden berhenti menurut
ketatanegaraan Islam adalah. Menurut pendapat dari Abdul Qadim Zallum
terdapat dua klasifikasi pemberhentian khalifah:
1) Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari
jabatannya, yaitu terdiri dari;
• Kalau khalifah murtad dari Islam
• Kalau khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan/
hilang akal;
• Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat
2) Perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis
mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun dia tidak boleh
mempertahankan jabatannya yaitu terdiri dari:
• Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya
• Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau
waria
• Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terkadang sembuh
terkadang gila
• Karena cacat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak
dapat diharapkan kesembuhannya
• Adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak mampu lagi
menangani urusan kaum Muslimin menurut pikirannya sendiri,
yang sesuai dengan hukum syara’
Mengenai mekanisme impeachment, dalam Islam tidak ditemukan
penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqh al-
siyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian
presiden;
Sekelompok ulama Ahli Sunnah, Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyah, dan
para ulama murjiah berpendapat wajib mengangkat senjata untuk
memberhentikannya, dengan istilah sall as shaif yaitu, (menghunuskan pedang).
Dengan civil disobedience (pembangkangan sipil). Cara ini dilakukan
apabila umat merasa bahwa imam ini fasiq yang tidak takut dosa melakukan
maksiat atau zalim, tidak layak menjadi imam.
Menurut Rashid ridho yaitu Melaliu majelis syura’ karena majelis syura’
(lembaga legislatif) sebagai penjelmaan wakil rakyat, berhak untuk mengangkat
seorang khalifah yang dianggap cakap dan memenuhi kriteria. Jika khalifah itu
melakukan penyalahgunaan kekuasaan, Majelis syura’ berhak pula untuk
memberhentikannya apabila Majelis Syura’ menilai khalifah telah melakukan
pelanggaran terhadap syariat, konstitusi, dan perundang-undangan, maka presiden
dapat diberhentikan melalui pengambilan suara terbanyak yang keputusan majelis
syura tersebut ditetapkan dengan suara terbanyak.
Adapun pandangan menurut ketatanegaraan Islam terhadap alasan dan
mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945 dan ketatanegaraan Islam
adalah, bahwa di dalam alasan-alasan yang telah disebutkan baik menurut UUD
1945 dan dalam ketatanegaraan Islam adalah adanya keterkaitan tentang alasan
yang ada dalam ketatanegaraan Islam yaitu alasan tentang hilangnya sifat adalah
atau hilangnya rasa keadilan Presiden atau pemimpin yang bisa diartikan atau
dijelaskan di dalam UUD 1945 yaitu:
1) Pengkhianatan terhadap Negara dalam Islam berupa; Makar dan Bughot
(pemberontakan),
2) Korupsi dan penyuapan dalam Islam berupa; Pencurian, penipuan
3) Perbuatan tercela dalam Islam berupa; melanggar bai’at atau sumpah
jabatan, penyelewengan kekuasaan, berjudi, berzina
Dan tinjauan mengenai mekanisme impeachment Presiden menurut UUD
1945 dan dalam ketatanegaraan Islam yaitu bahwa;
Mahkamah madzalim sebagai lembaga peradilan yang fungsinya
menegakkan hukum, mengadili Presiden terkait adanya pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden apakah Presiden bersalah atau tidak. Dan dewan
pimpinan mensyahkan secara hukum yang berlaku atas putusan yang dilakukan
oleh mahkamah madzalim terkait pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
Presiden. Kemudian putusan tersebut dibawa ke Majelis Syura untuk
dimusyawarahkan hingga menemukan hasil akhir akan nasib Presiden apakah
Presiden dapat diberhentikan atau tidak dengan cara pengambilan suara
terbanyak.
Hal ini dapat dikatakan sesuai menurut UUD 1945 atas apa yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu memutuskan secara hukum bahwa
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan perundang-undanagan. Dan
putusan tersebut selanjutnya dibawa ke Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan
MPR kemudian mengadakan Sidang Istimewa terkait pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden melalui pengambilan suara terbanyak. Dengan
pengambilan suara terbayak tersebut maka MPR dapat memutuskan apakah
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya atau tidak.
B. Saran
Sebagaimana yang telah penulis uraikan secara luas mengenai mekanisme
impeachment Presiden, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menjalankan tugas yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Negara , khususnya
lembaga yang menangani mekanisme impeachment:
Check and balances antara tiga lembaga negara menjadi salah satu faktor
penting dalam tatanan pemerintahan yang demokratis. Mekanisme pengawasan
yang dibangun oleh parlemen terhadap eksekutif haruslah juga mendasarkan pada
prinsip yang serupa. Kisah arogansi parlemen di masa awal demokratisasi
Indonesia merupakan sebuah pengalaman yang patut diingat dan dipelajari.
Untuk terciptanya check and balances, tiap lembaga negara harus
menggunakan pendekatan legal konstitusional untuk melaksanakan mekanisme
kontrol kekuasaan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif. Agar pengawasan
terhadap lembaga eksekutif oleh lembaga legislatif haruslah diberi koridor untuk
menegakkan nilai keadilan dan tidak hanya sekedar pertarungan elit politik
semata. Apabila proses ini terjadi maka sistem politik yang lebih sehat akan
tercipta dan membawa kesejahteraan masyarakat. Dengan memegang kuat prinsip
check and balances tersebut, maka lembaga negara akan dapat menjalankan
tugasnya dengan lebih efektif dan lebih demokratis.