impending eklampsia dan hellp syndrom plus iufd.docx
TRANSCRIPT
Tanggal masuk: 19 September 2012 No. Rekam Medis : 190621
Pukul: 17.30 WIB G3P2A0
Ruangan: RB kelas III
A. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Umur : 31 tahun
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Pojodadi
Nama suami : Tn. X
Umur : 32 Tahun
Suku : jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Alamat : Pojodadi
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri pada ulu hati dan mual
1
Keluhan Tambahan
Kepala terasa sakit, pandangan kabur dan kaki bengkak
2. Riwayat Penyakit Sekarang (LOKKKMM)
a. Lokasi : epigastrium
b. Onset : Sejak 3 hari SMRS
c. Kualitas : seperti ditusuk, terkadang disertai rasa mualdan kembung
d. Kuantitas: selalu ada, tidak hilang timbul
e. Kronologis: Seorang ibu mengaku hamil 5 bulan datang ke UGD
RSUAY pada hari Rabu tanggal 19 September 2012 pukul 17.30 WIB
dengan keluhan nyeri pada ulu hati sejak 3 hari SMRS, keluhan
dirasakan semakin berat disertai dengan nyeri kepala dan pandangan
terasa kabur . Pasien juga merasa mual dan pernah muntah, pasien
juga mengaku saat BAB berwarna hitam dan air kencing berwarna
kuning gelap.
Pasien mengaku memiliki riwayat darah tinggi sejak kelahiran anak ke
2.
Karena khawatir akan kondisi diri dan janinnya, pasien ini
memeriksakan diriny ke UGD RSAY
f. Menyertai: mual muntah, serta nyeri kepala dan pandangan kabur
g. Mempengaruhi: -
2
Riwayat Menstruasi
Menarche : 13 tahun
Siklus haid : 28 hari, teratur
Jumlah : 3x ganti pembalut
Lama : 7 hari
3. Riwayat Perkawinan
a. Kawin ke : satu
b. Lamanya Perkawinan : menikah sejak tahun 2000
4. Riwayat Kehamilan Sekarang
HPHT : 22-4-2012
THP : 29-11-2013
ANC : 2 kali sebelum masuk RS di Bidan dan dokter
kandungan
Keluhan : Mual dan muntah di awal kehamilan
5. Riwayat Kehamilan, Persalinan yang Lalu
Ha
mil
ke
Tahun Jenis
kelami
n
Jenis
Persalinan
Penyulit Penolong BB.
Lahir
Keadaan
anak
Masa
Nifas
1 2001
(Umur 11
thn)
peremp
uan
Aterm
Pervaginam
spontan
Tidak
ada
Bidan 2,8 kg Sehat Dbn
3
2
2008 laki-
laki
Aterm
Pervaginam
Spontan
Tidak
ada
Bidan 2,9 kg Sehat Dbn
6. Riwayat Ginekologi
Tidak ada riwayat penyakit ginekologi
7. Riwayat Keluarga Berencana
Pasien mengaku mengguanakan KB pil setelah kelahiran anak kedua
(catatan: KB suntik tidak bisa diberian karena tekanan darah ibu tinggi)
8. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku mempunyai riwayat penyakit darah tinggi, tetapi tidak
memiliki penyakit kencing manis, penyakit jantung, ginjal dan asma.
Pasien juga mengaku mata kirinya tidak dapat melihat jelas sejak kecil.
9. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal jika di keluarga ada yang menderita penyakit jantung,
ginjal, asma, dan kencing manis. Pasien tidak tahu apakah ibu pasien
pernah mengalami hal yang sama saat hamil.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
2. Status Emosional : Stabil
4
3. Tanda Vital
TD : 210/180 mmHg
N : 120 x / ment
RR : 28 x / menit
Suhu : 36,8 ºC
4. Muka Edema : Tak
Konjungtiva : tidak anemis
Sklera Mata : tidak ikterik
Mata : visus 1/60
5. Leher : Dalam batas normal
6. Dada : simetris
7. Paru : vesikuler (+), Rhonki (-), wheezing (-)
8. Jantung : BJ I-II Murni, murmur (-), gallops (-)
9. Pinggang : tidak ada nyeri
10. Ektremitas
Odema tangan dan jari : Tak
Odema tibia, kaki : Tak
Varices tungkai : Tak
Refleks patela kanan : dalam batas normal
Reflek patela kiri : dalam batas normal
11. Abdomen
Inspeksi : tidak ada bekas luka operasi
Pembesaran perut : (+)
Asites : tak
5
Tinggi fundus uteri : 3 jari dibawah umbilikus/ 15 cm
HIS : (-)
Denyut jantung janin : 145 kali/ menit
Taksiran berat janin : Rumus jhonson = (15-12) x 155 = 465 gr
12. Periksa Dalam (tanggal 23 September 2012)
Vulva : bersih, bloody slime (-)
Vagina : licin, tak
Portio : tebal, lunak, pembukaan 1cm
Serviks : 3cm, berlipat lipat
Ketuban : tidak teraba selaput
Presentasi : bagian terbawah belum masuk PAP, tidak
teraba
Bishop score : 3
6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium :
a) cek darah lengkap
Darah lengkap tanggal 20 September 2012
Hb : 13,1 gr/dl
Ht : 35,7 %
Leukosit : 13,4 x 103/mm3
Trombosit : 62 x 103/mm3
Gula darah sewaktu: 91 mg/dl
b) faal hati
SGOT : 138 U/L
SGPT : 66 U/L
Albumin : 3.15 g/dl
c) fungsi ginjal
ureum : 35 mg/dl
creatinin : 1,08 mg/dl
as. Urat : 7,63 mg/dl
b) cek urinalisis
Protein : + ++
Saran pemeriksaan lab: LDH, gambaran apusan darah tepi dan birillubin
2. USG
USG tanggal 20 Agustus 2012
7
- Janin tunggal hidup,
- Usia Kehamilan 23minggu 2 hari
- Taksiran Berat Janin (TBJ) 480 gr
3. Funduskopi (oleh dokter Sp.M tanggal 21 september 2012)
Kesan retinophati hipertensi grade 2
4. EKG
Kesan sinus tachicardia
E. DIAGNOSIS OBSTETRI
G3P2A0, 31 tahun, umur kehamilan 21 minggu, janin tunggal hidup
intrauterin, belum inpartu dengan hipertensi kronik superimposed
(impending eklampsia) dan suspect HELLP partial syndrom kelas
misissipi II.
F. TATALAKSANA ATAS INDIKASI
1. Medikamentosa
IVFD RL/Dx 5% 20 gtt/menit
MgSO4 sesuai protap pre eklampsia berat
Antibiotik 3 x 1 gr IV
Nifedipine 3 x 10 gr
Ranitidine inj /12 jam
2. Saran : tirah baring total dengan oksigen terpasang, awasi tanda-tanda
kejang, awasi tanda intoksikasi MgS04, pantau tekanan darah, DJJ dan
8
tanda vital. Dapat diberikan dexamethason 10 mg iv/ 12 jam, dapat
pula diberikan antiagregasi trombosit (asam asetil salisilat) 8mg/24
jam.
3. Penatalaksanaan ekspektatif dengan terapi medisinal. Perencanaan
untuk penatalaksanaan aktif dengan terminasi kehamilan per vaginam/
per abdominam setelah keadaan ibu stabil.
FOLLOW-UP PASIEN DI BANGSAL
20 September 2012
S: nyeri pada ulu hati, kepala terasa sakit, gerak janin masih terasa
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang
TD : 200/140
T : 36,8oC,
N : 120x/ menit
RR : 24x/menit
His : (-)
DJJ : 167 x/menit
PPV : -
Tanda inpartu : (-)
A: G3P2A0, 31 tahun, umur kehamilan 23 minggu, janin tunggal hidup
intrauterin, fetal distress, belum inpartu dengan hipertensi kronik
superimposed dan suspect HELLP partial syndrom kelas misissipi II
P: - MgSO4 sesuai protap
9
- IVRL 20 tetes/menit
- Antibiotik 3 x 1 gr IV
-Nifedipine 3 x 10 gr
- Konsul dokter Sp.OG
21 September 2012
S: nyeri pada ulu hati, kepala terasa sakit, gerak janin masih terasa
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang
TD : 200/110
T : 36,8oC,
N : 120x/ menit
RR : 24x/menit
His : (-)
DJJ : 158 x/menit
PPV : -
Tanda inpartu : (-)
A: G3P2A0, 31 tahun, umur kehamilan 23 minggu, janin tunggal hidup
intrauterin, belum inpartu dengan hipertensi kronik superimposed dan
suspect HELLP partial syndrom kelas misissipi II
P: - MgSO4 sesuai protap
- IVRL 20 tetes/menit
- Antibiotik 3 x 1 gr IV
-Nifedipine 3 x 10 gr
- Konsul dokter Sp.PD
-Konsul dokter Sp.M
22 September 2012
S: nyeri pada ulu hati, kepala terasa sakit, gerak janin masih terasa namun
lebih lemah daripada sebelumnya
10
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang
TD : 210/120
T : 36,8oC,
N : 100x/ menit
RR : 24x/menit
His : (-)
DJJ : 116 x/menit
PPV : -
Tanda inpartu : (-)
A: G3P2A0, 31 tahun, umur kehamilan 23 minggu, janin tunggal hidup
intrauterin, belum inpartu dengan hipertensi kronik superimposed dan
suspect HELLP partial syndrom kelas misissipi II
P: - MgSO4 sesuai protap
- IVRL 20 tetes/menit
- Antibiotik 3 x 1 gr IV
-Amlodipin 1 x 10mg (oral)
-dopamet 1x250 mg (oral)
Pukul 20:30 os mengaku tidak merasakan gerakan janin sejak sore.
Pemeriksaan : gerakan janin tidak ada, DJJ tidak ada
23 September 2012
S: nyeri pada ulu hati, kepala tidak terasa sakit, pandangan membaik, gerak
janin tidak terasa
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang
TD : 160/100
T : 36,8oC,
N : 120x/ menit
11
RR : 24x/menit
His : (-)
DJJ : (-)
PPV : -
Tanda inpartu : (-)
A: G3P2A0, 31 tahun, umur kehamilan 23 minggu, janin tunggal mati
intrauterin, belum inpartu dengan hipertensi kronik superimposed dan
suspect HELLP partial syndrom kelas misissipi II
P: - MgSO4 sesuai protap
- IVRL 20 tetes/menit
- Antibiotik 3 x 1 gr IV
-amlodipin 1 x 10 mg
-dopamet 1 x 250 mg
- Induksi sesuai protap hari pertama dengan oksitosin (saran periksa
bishop score dan pematangan serviks bila <5)
- Konsultasi dokter Sp.OG
24 September 2012
S: keluhan (-)
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang
TD : 140/90
T : 36,7oC,
N : 92x/ menit
RR : 24x/menit
His : (-)
DJJ : (-)
PPV : -
Tanda inpartu : (-)
12
A: G3P2A0, 31 tahun, umur kehamilan 23 minggu, janin tunggal mati
intrauterin, fetal distress, belum inpartu dengan hipertensi kronik
superimposed dan suspect HELLP partial syndrom kelas misissipi II
P: - IVRL 20 tetes/menit
- Antibiotik 3 x 1 gr IV
-Amlodipin 1 x 10 mg
-dopamet 1x250 mg
-dexamethason 3 x 1amp
-hentikan induksi
- Konsul dokter Sp.OG
Pemeriksaan laboratorium ulang
Hasil:
a) cek darah lengkap
Darah lengkap tanggal 24 September 2012
Hb : 8,7 gr/dl
Ht : 25 %
Leukosit : 12,8 x 103/mm3
Trombosit : 110 x 103/mm3
Gula darah sewaktu: 77 mg/dl
b) faal hati
SGOT : 54 U/L
SGPT : 46 U/L
Albumin : 2,78 g/dl
13
c) fungsi ginjal
ureum : 26 mg/dl
creatinin : 0,86 mg/dl
as. Urat : 6,0 mg/dl
25 September 2012
S: keluhan (-)
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang
TD : 140/90
T : 36,8oC,
N : 96x/ menit
RR : 24x/menit
His : (-)
DJJ : (-)
PPV : -
Tanda inpartu : (-)
A: G3P2A0, 31 tahun, umur kehamilan 23 minggu, janin tunggal mati
intrauterin, fetal distress, belum inpartu dengan hipertensi kronik
superimposed dan suspect HELLP partial syndrom kelas misissipi II
P: - IVRL 20 tetes/menit
- Antibiotik 3 x 1 gr IV
-dexamethason 3 x 1amp
- Konsul dokter Sp.OG
26 September 2012
S: keluhan (-)
O: Keadaan umum : baik
TD : 130/90
T : 36,5oC,
N : 80x/ menit
14
RR : 24x/menit
His : (-)
DJJ : (-)
PPV : -
Tanda inpartu : (-)
A: G3P2A0, 31 tahun, umur kehamilan 23 minggu, janin tunggal mati
intrauterin,
P: Pasien dipulangkan dengan kontrol kembali satu minggu setelah keluar
rumah sakit atau jika ada penyimpangan
15
ANALISIS
1. Apakah diagnosa pada kasus sudah benar?
Pada kasus ini, ny. S didiagnosa dengan diagnosa sebagai berikut:
G3P2A0, 31 tahun, umur kehamilan 21 minggu, janin tunggal hidup
intrauterin, belum inpartu dengan hipertensi kronik superimposed
(impending eklampsia) dan suspect HELLP partial syndrom kelas
misissipi II.
Diagnosa tersebut ditentukan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang yang telah dilalui pasien
a. G3P2A0, 31 tahun, umur kehamilan 21 minggu
diagnosa ini didapatkan dari anamnesa, riwayat kehamilan didapatkan dari
keterangan pasien dan suami pasien, serta umur kehamilan dihitung dari HPHT
yakni tanggal 22 April 2012.
b. Janin tunggal hidup intrauterine
diagnosa ini didapatkan dari pemeriksaan fisik yakni palpasi dengan leopold,
serta denyut jantung janin yang terdengar dari satu janin dengan pemeriksaan
menggunakan stetoskop monoral dan featal phone.
16
c. Belum inpartu
Diagnosa ini ditegakkan karena belum adanya tanda-tanda inpartu pada pasien
berupa his atau perasaan mules, keluarnya lendir bercampur darah, dan belum ada
nya pembukaan serviks uteri.
d. hipertensi kronik superimposed (impending eklampsia)
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan
seb,elum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu, dan
yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronis yang diperberat
oleh preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada
hipertensi kronis dan disebut juga Superimposed Preeclampsia
.
Sedangkan impending eklampsia adalah istilah terhadap kasus pre eklampsia
dengan gejala gejala berupa nyeri ulu hati, nyeri kepala bagian frontal serta
pandangan yang menjadi kabur.
f. HELLP partial syndrom kelas misissipi II.
Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang laboratorium,
HELLP parsial syndrom ditegakkan karena pasien mendapat 2 dari 3 tanda
HELLP syndrom yakni peningkatan enzim hati, dan penurunan jumlah trombosit.
Sedangkan kelas missisipi II digolongkan berdasarkan derajat turunnya kadar
trombosit dalam darah.
17
2. apakah tatalaksana sudah benar?
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah
kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai
dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi
sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan
MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.
Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110
mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko
perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya
mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi
yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline®) iv dalam dosis kecil
2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang
diinginkan tercapai. Labetalol (Normodyne®) dan nifedipin juga digunakan
dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila
nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu
perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.(4)
Penatalaksanaan Sindroma HELLP
a. Penilaian dan stabilisasi kondisi ibu :
- Bila DIC (+), koreksi faktor pembekuan
- Pemberian profilaksis anti kejang dengan Sulfas Magnesikus
- Penanganan hipertensi berat
- CT- scan dan USG abdomen bila dicurigai adanya hematom hepar
subkapsular
b. Evaluasi kesejahteraan janin:
18
- Non Stress Test
- Profil biofisik
- Ultrasonografi biometri
c. Evaluasi kematangan paru, jika usia kehamilan < 35 minggu
- Jika paru telah matang, segera lahirkan
- Jika paru belum matang, beri kortikosteroid, kemudian lahirkan
d. Jika usia kehamilan ³ 35 minggu, setelah kondisi ibu stabil, segera lahirkan
Adanya sindroma HELLP ini tidak merupakan indikasi untuk melahirkan
segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah
kondisi ibu dan bayi. Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan
pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat
diinduksi dengan oksitosin pada semua kehamilan ³ 32 minggu. Ataupun
kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang telah matang untuk diinduksi.
Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang belum matang, seksio
sesarea elektif merupakan pilihan.
Penatalaksanaan PEB menurut teori (Ansar et all, 1985):
a. Ekspektatif
Kehamilan yang dipertahankan bersama terapi medisinal dengan kriteria
Kehamilan < 37mg
Keadaan janin baik
Tidak ada impending eklamsia
19
b. Aktif
Kehamilan segera diakhiri bersama terapi medisinal dengan kriteria
Indikasi Ibu
Kehamilan > 37mg
Ada tanda impending eklamsia
Gagal konservatif :
o Bila dalam 6 jam setelah terapi medisinal TD naik
o Bila dalam 24 jam setelah terapi medisinal gejala tidak berubah
Indikasi Janin : Gawat Janin
Indikasi Lab : HELLP syndrome
Terapi Medisinal
Terapi medisinal yang diberikan berupa: (Sudhaberata, 2001; Semenovskaya,
2010; Saputra 2010)
1. Segera rawat di ruangan yang terang dan tenang, terpasang infus Dx/RL
dari IGD.
2. Tirah baring miring ke satu sisi
3. Oksigenisasi
4. Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.
5. Anti kejang: dengan MgSO4 atau diazepam (bila MgSO4 tidak ada atau
tidak memenuhi syarat)
6. Antihipertensi: nifedipin, dopamet
20
7. Antidiuretik : Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda
edema paru, payah jantung kongestif atau edema anasarka. Diberikan
furosemid injeksi 40 mg/im.
8. Kardiotonika: Indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah jantung,
diberikan digitalis.
9. Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal > 38,5 oC dapat dibantu
dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylomidon 2 cc IM.
10. Antibiotik diberikan atas indikasi. Diberikan ampicillin 1 gr/6 jam/IV
11. Analgetik bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus.
Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2
jam sebelum janin lahir
12. Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1x80 mg/hari. Syarat: Trombositopenia
(<60.000/ml) (Sudhaberata, 2001)
13. Dapat pula dilakukan transfusi dengan trmbosit pekat untuk meningkatkan
jumlah trombosit pada trombosit < 50.000/ml (Essien et all, 2008)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terapi yang diberikan sudah benar.
Demikian pula penatalaksanaan dan sikap atas kehamilan ibu.
21
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan
Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3
kategori yaitu hipertensi kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal
sebagai pregnancy-induced hypertension), dan pre-eklamsi. Menurut The
International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP)
klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi :
1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan,
persalinan, atau pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan
non-proteinuri.
- Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)
- Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)
- Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)
2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit
ginjal kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)
- Hipertensi kronis (without proteinuria)
- Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa
hipertensi)
- Hipertensi kronis dengn superimposed
- Pre-eklamsi (proteinuria)
3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria
4. Eklampsia.
22
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the
NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu :
1. Hipertensi gestasional
2. Preeklamsi
3. Eklamsi
4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis
5. Hipertensi kronis.
Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai
proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan.
Sedangkan yang dimaksud dengan eklamsi adalah kelainan akut pada
preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai dengan
timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan
sistem saraf pusat). Ada pula istilah eclamsia sine eclampsia adalah
eklamsi yang ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa kejang.
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan
sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20
minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi
kronis yang diperberat oleh preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi
atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga
Superimposed Preeclampsia.
23
Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam
kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak
disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu
pascasalin.
B. HELLP SYNDROME
1. Definisi
Terminologi HELLP diperkenalkan pertama sekali oleh Weinstein (1982)
yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzymes dan Low
Platelet counts. Sindroma ini merupakan kumpulan dari gejala multisistim
pada preeklampsia berat dan eklampsia dengan karakteristik trombositopenia,
24
hemolisis (anemia hemolisis mikroangiopatik) dan enzym hepar yang
abnormal.
Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri :
- Hemolisis,
• kelainan apus darah tepi,
• total bilirubin > 1,2 mg/dl,
• laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L.
- Peningkatan fungsi hati,
• serum aspartat aminotransferase (AST) > 70 U/L,
• laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L.
- Jumlah trombosit < 100.000/mm3.
2. Etiologi dan Patofisiologi
ETIOLOGI
Etiologi dan patogenesis dari sindroma HELLP ini selalu dihubungkan
dengan preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklampsia
sampai saat ini juga belum dapat diketahui dengan pasti.
Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga kini untuk
mengungkapkan patogenesis dari preeklampsia, namun dalam dekade terakhir
ini perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi dari sel endotel. Tetapi apa
penyebab dari perubahan endotel ini belum juga diketahui dengan pasti. Saat
25
ini ada beberapa hipotesis yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi
dari preeklampsia, yaitu :
iskemia plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan
toksisitas, maladaptasi imun dan penyakit genetik.
a. Invasi Trofoblastik Abnormal
Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling
yang luas ketika diinvasi oleh trofoblas endovaskular (Gambar.3). Akan
tetapi, pada preeklamsi terdapat invasi trofoblastik yang tidak lengkap.
Pada kasus ini, pembuluh darah decidua, tetapi bukan pembuluh darah
myometrial, menjadi sejajar dengan trofoblas endovaskular. Madazli
dan kawan-kawan (2000) membuktikan bahwa besarnya defek invasi
trofoblastik terhadap arteri spiralis berhubungan dengan beratnya
hipertensi.
Impantasi Plasenta Normal dan preeklampsia
26
Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dan kawan-kawan
(1980) meneliti pembuluh darah yang diambil dari tempat implantasi
plasenta pada uterus. Mereka memperhatikan bahwa perubahan pada
preeklampsia awal meliputi kerusakan endotelial, perembesan isi
plasma pada dinding arteri, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis
tunika media. Mereka menemukan bahwa lipid mengumpul pertama
kali pada sel-sel myointimal dan kemudian pada makrofag akan
membentuk atherosis (Gambar 4). Obstruksi lumen arteriol spiral oleh
atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Perubahan-
perubahan ini dianggap menyebabkan perfusi plasenta menjadi
berkurang secara patologis, yang pada akhirnya menyebabkan sindrom
preeklamsi
Atherosis
b. Faktor imunologis
27
Preeklamsi sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul
lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa
pada kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies
terhadap antigen plasenta yang tidak sempurna, dan semakin
sempurna pada kehamilan berikutnya. Selain itu pada kehamilan
pertama terjadi pembentukan “Human leucocyte Antigen Protein G
(HLA)” yang berperan penting dalam modulasi respon imun,
sehingga ibu menolak hasil konsepsi (plasenta) yang akan
menimbulkan terjadinya preeklamsi.
c. Peran prostasiklin dan tromboksan
Pada kehamilan normal akan terjadi peningkatan prostasiklin (PGI
2). Sedangkan pada preeklamsi-eklamsi akan terjadi kerusakan
pada endotel vaskuler yang menyebabkan turunnya produksi PGI 2,
aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis. Selanjutnya penurunan PGI
2 ini akan diganti dengan trombin dan plasmin. Trombin akan
mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin.
Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan dan
serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
d. Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi
Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon
dari plasenta karena terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan
urutan proses tertentu. Desidua juga memiliki sel-sel yang bila
28
diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious. Agen ini dapat
menjadi mediator yang mengakibatkan kerusakan sel endotel.
Sitokin tertentu seperti tumor necrosis factor- (TNF-) dan
interleukin memiliki kontribusi terhadap stres oksidatif yang
berhubungan dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan
adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan
pembentukan lipid peroksida. Hal ini akan menghasilkan toksin
radikal yang merusak sel-sel endotel, memodifikasi produksi Nitric
Oxide, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Fenomena
lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif meliputi pembentukan
sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular
(trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan
proteinuria).
29
Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan
e. Faktor genetik
Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak diragukan lagi
berhubungan dengan preeklamsi dan tendensi untuk terjadinya
preeklamsi juga diturunkan. Penelitian yang dilakukan oleh
Kilpatrick dan kawan-kawan menunjukkan adanya hubungan
antara antigen histokompatibilitas HLA-DR4 dengan hipertensi
proteinuria. Menurut Hoff dan kawan-kawan, respon imun humoral
maternal yang melawan antibodi imunoglobulin fetal anti HLA-DR
dapat menimbulkan hipertensi gestasional.
Sindroma HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari hasil kerusakan
endotel mikrovaskular dan aktivasi dari trombosit intravaskular. Adanya
kegagalan invasi dari trofoblas pada trimester kedua dalam menginvasi tunika
muskularis arteri spiralis, menyebabkan vasokonstriksi arterial pada bagian
uteroplasenta. Kegagalan ini disebabkan oleh gagalnya sel-sel trofoblas dalam
mengekspresikan integrin yang merupakan ‘molekul pelekat’ (adhesion
molecules) atau kegagalan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor)
dalam mengekspresikan integrin. Keadaan ini menyebabkan penurunan aliran
darah intervilus, hipoksia dan akhirnya terjadi kerusakan sel endotel ibu dan
janin. Dan selanjutnya mengakibatkan efek terhambatnya pertumbuhan janin
intrauterin (PJT). Akibat kerusakan dari endotel ini terjadi pelepasan zat -zat
30
vasoaktif, dimana tromboksan (TXA2 ) meningkat dibandingkan dengan
prostasiklin (PgI2).
Adanya perubahan respon imun ibu terhadap trofoblas akibat dari perubahan
‘polymorphism’ HLA-G (human leucocyte antigens – G) terhadap trofoblas,
menyebabkan terjadinya proses imunologis. Hal ini mengakibatkan terjadinya
gangguan pertumbuhan dan invasi dari trofoblas. Proses imunologis akibat
perubahan respon imun ibu juga mempengaruhi terjadinya kerusakan sel
endotel, ini terbukti dengan dilepaskannya sel mediator pada sel endotel.
Kerusakan dari sel endotel menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan
rasio
TXA2 dan PgI2, penurunan produksi dari nitric oxide dan merangsang
terjadinya agregasi dari trombosit yang seterusnya akan mengakibatkan
vasospasme.
Dengan berkurangnya fungsi endotel, menyebabkan bertambahnya tahanan
vaskuler, meningkatnya produk peroksida lipid dan meningkatnya aktifitas
radikal bebas. Anion peroksida ini mengganggu keseimbangan rasio TXA2
dan PgI2 sehingga TXA2 menjadi lebih dominan. Anion peroksida juga
menambah agregasi trombosit, serta menyebabkan asam lemak tak jenuh
pada membra n fospolipid mengalami konversi menjadi peroksida lipid.
Peroksida lipid ini menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut. Kerusakan
integritas endotel diikuti dengan hilangnya kapasitas vasodilator, yang mana
dapat dinilai dengan meningkatnya respon terhadap angiotensin II dan
noradrenalin.
31
Kerusakan dari sel endotel arteri spiralis mengakibatkan hipoksia dan
seterusnya menjadi aterosis akut. Aterosis akut ditandai dengan adanya
diskontinuitas dari sel endotel, gangguan fokal pada membrana basalis,
deposisi trombosit, terbentuknya mural trombus dan akhirnya terjadi nekrosis
fibrinoid. Dengan rangsangan dari trombosit growth factor terjadi perubahan
proliferasi yang tidak teratur pada tunika intima, dan pada tunika media
mengakibatkan hiperplasia.
Aterosis akut ini merupakan keadaan yang patognomonis pada preeklampsia.
Walaupun aterosis akut ini dapat juga terjadi pada keadaan hipertensi kronis,
Diabetes Mellitus, penyakit ginjal maupun Lupus. Efek semua kejadian yang
telah disebutkan di atas terjadilah gangguan sirkulasi sistemik dan gangguan
koagulasi pada ibu yang selanjutnya menjadi sindroma HELLP. Pada keadaan
normal setiap sel mempunyai daya pertahanan terhadap serangan
ekstrasellular. Membran sel sangat berperan dalam fungsi pertahanan ini. Sel
darah merah pada penderita preeklampsia tidak memiliki pertahanan terhadap
radikal bebas yang selanjutnya mengakibatkan membran sel darah merah
menjadi tidak stabil dan mengalami kerusakan. Daya pertahanan membran sel
darah merah ini berhubungan dengan kadar prostasiklin di dalam plasma
melalui gen superoxidase dismutase (SOD). Penurunan aktivitas dari SOD ini
mengakibatkan penurunan daya pertahanan terhadap radikal bebas.
Perubahan stabilitas membran sel darah merah menyebabkan masuknya
kalsium ke dalam sel, terjadi peningkatan aktivitas sel dan terjadi perubahan
dari rigiditas membran. Perubahan ini menyebabkan sel darah merah berubah
bentuknya, mudah pecah (fragmentasi) dan sel cenderung menjadi lisis.
32
Keadaan di atas dapat menerangkan terjadinya hemolisis pada penderita
preeklampsia.
PATOGENESIS
Anemia Hemolitik Mikroangiopati
Pada sindroma HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati. Akibat
fragmentasi sel darah merah, sel darah merah menjadi menjadi lebih mudah
keluar dari pembuluh darah yang kecil. Dimana pembuluh darah tersebut
telah mengalami kebocoran akibat kerusakan endotel dan adanya deposit
fibrin. Pada gambaran darah tepi terlihat gambaran spherocytes, schistocytes,
triangular cell dan burr cell.
Peningkatan Enzim Hepar
Pada sindroma HELLP terjadi perubahan pada hepar dimana gambaran
histopatologisnya berupa nekrosis parenkhim periportal dan atau fokal yang
disertai dengan deposit hialin yang besar dari bahan seperti fibrin yang
terdapat pada sinusoid. Pada penelitian dengan imunoflourescen dijumpai
mikrotrombi fibrin dan deposit fibrinogen pada sinusoid dan daerah
hepatoselular yang nekrosis. Adanya mikrotrombi dan deposit fibrin pada
sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di hepar yang
merupakan dasar dari terjadinya peningkatan enzim hepar dan terdapatnya
nyeri perut kuadran kanan atas. Gambaran nekrosis selular dan perdarahan
dapat terlihat dengan MRI. Pada kasus yang berat dapat dijumpai adanya
perdarahan intrahepatik dan hematom subkapsular atau ruptur hepar.
Trombositopeni
33
Penurunan jumlah trombosit pada sindroma HELLP disebabkan oleh
meningkatnya konsumsi atau destruksi dari trombosit. Meningkatnya
konsumsi trombosit disebabkan oleh agregasi trombosit. Hal ini akibat dari
kerusakan endotel, penurunan produksi prostasiklin, proses imunologis
maupun peningkatan jumlah radikal bebas. Penyebab dari destruksi trombosit
sampai saat ini belum diketahui. Dijumpainya peningkatan megakaryosit pada
biopsi sumsum tulang menunjukkan pendeknya life span dari trombosit dan
cepatnya proses daur ulang.
3. KLASIFIKASI
Ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindroma HELLP, yaitu :
a. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang didapati. (tenesse criteria)
Audibert dkk (1996) melaporkan pembagian sindroma HELLP berdasarkan
jumlah keabnormalan parameter yang di dapati yaitu : sindroma HELLP
Murni bila didapati ketiga parameter di bawah ini, yaitu : hemolisis,
peningkatan enzim hepar dan penurunan jumlah trombosit dengan
karakteristik : gambaran darah tepi dijumpainya burr cell, schistocyte atau
spherocytes ; LDH > 600 IU/L ; SGOT > 70 IU/L ; bilirubin > 1,2 ml/dL dan
jumlah trombosit < 100.000/ mm3 .
Sedangkan sindroma HELLP Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau lebih
tetapi tidak ketiga parameter sindroma HELLP. Lebih jauh lagi sindroma
HELLP Parsial dapat dibagi beberapa sub grup lagi yaitu Hemolysis (H),
Low Trombosit counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts (H+LP),
hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL).
34
b. Berdasarkan jumlah dari trombosit. (missisipi criteria)
Martin (1991) mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kelas,
yaitu :
kelas I jumlah trombosit ≤ 50.000/mm3,
kelas II jumlah trombosit > 50.000 - £ 100.000/mm3
kelas III jumlah trombosit > 100.000 - £ 150.000/mm3.
4. FAKTOR RESIKO
a. Determinan intermediat
Yang berperan dalam determinan intermediat antara lain:
1) Status reproduksi.
a) Faktor usia
Usia 20 – 30 tahun adalah periode paling aman untuk hamil / melahirkan,
akan tetapi di negara berkembang sekitar 10% - 20% bayi dilahirkan dari ibu
remaja yang sedikit lebih besar dari anakanak. Padahal daru suatu penelitian
ditemukan bahwa dua tahun setelah menstruasi yang pertama, seorang wanita
masih mungkin mencapai pertumbuhan panggul antara 2 – 7 % dan tinggi
badan 1 %. Dampak dari usia yang kurang, dari hasil penelitian di Nigeria,
wanita usia 15 tahun mempunyai angka kematian ibu 7 kali lebih besar dari
wanita berusia 20 – 24 tahun. Faktor usia berpengaruh terhadap terjadinya
preeklampsia/ eklampsia. Usia wanita remaja pada kehamilan pertama atau
nulipara umur belasan tahun (usia muda kurang dari 20 thn). Studi di RS
Neutra di Colombia, Porapakkhan di Bangkok, Efiong di lagos dan
35
wadhawan dan lainnya di Zambia, cenderung terlihat insiden preeklampsia
cukup tinggi di usia belasan tahun, yang menjadi problem adalah mereka
tidak mau melakukan pemeriksaan antenatal.
Hubungan peningkatan usia terhadap preeklampsia dan eklampsia adalah
sama dan meningkat lagi pada wanita hamil yang berusia diatas 35 tahun.
Usia 20 – 30 tahun adalah periode paling aman untuk melahirkan, akan tetapi
di Negara berkembang sekitar 10% sampai 20% bayi dilakirkan dari ibu
remaja yang sedikit lebih besar dari anak-anak. Padahal dari suatu penelitian
ditemukan bahwa dua tahun setelah mestruasi yang pertama, seorang anak
wanita masih mungkin mencapai pertumbuhan panggul antara 2 – 7% dan
tinggi badan 1%. Hipertensi karena kehamilan paling sering mengenai wanita
nulipara. Wanita yang lebih tua, yang dengan bertambahnya usia akan
menunjukkan peningkatan insiden hipertensi kronis, menghadapi risiko yang
lebih besar untuk menderita hipertensi karena kehamilan atau superimposed
pre-eclampsia. Jadi wanita yang berada pada awal atau akhir usia reproduksi,
dahulu dianggap rentan. Misalnya, Duenhoelter dkk. (1975) mengamati
bahwa setiap remaja nuligravida yang masih sangat muda, mempunyai risiko
yang lebih besar untuk mengalami preeklampsia. Spellacy dkk. (1986)
melaporkan bahwa pada wanita diatas usia 40 tahun, insiden hipertensi kerena
kehamilan meningkat tiga kali lipat ( 9,6 lawan 2,7% ) dibandingkan dengan
wanita kontrol yang berusia 20-30 tahun. Hansen (1986) meninjau beberapa
penelitian dan melaporkan peningkatan insiden preeklampsia sebesar 2-3 kali
lipat pada nulipara yang berusia di atas 40 tahun bila dibandingkan dengan
yang berusia 25 – 29 tahun.
36
b) Paritas
Dari kejadian delapan puluh persen semua kasus hipertensi pada kehamilan, 3
– 8 persen pasien terutama pada primigravida, pada kehamilan trimester
kedua.
Catatan statistik menunjukkan dariseluruh incidence dunia, dari 5%-8% pre-
eklampsia dari semua kehamilan, terdapat 12% lebih dikarenakan oleh
primigravidae. Faktor yang mempengaruhi pre-eklampsia frekuensi
primigravida lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama
primigravida muda.
Persalinan yang berulang-ulang akan mempunyai banyak risiko terhadap
kehamilan, telah terbukti bahwa persalinan kedua dan ketiga adalah
persalinan yang paling aman. Pada The New England Journal of Medicine
tercatat bahwa pada kehamilan pertama risiko terjadi preeklampsia 3,9% ,
kehamilan kedua 1,7% , dan kehamilan ketiga 1,8%.
c) Kehamilan ganda
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda
dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian
ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor
penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan
Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat
mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2
(1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebihdari satu.
d) Faktor genetika
37
Terdapat bukti bahwa pre-eklampsia merupakan penyakit yang diturunkan,
penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita pre-
eklampsia. Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.
Faktor ras dan genetik merupakan unsur yang penting karena mendukung
insiden hipertensi kronis yang mendasari. Kami menganalisa kehamilan pada
5.622 nulipara yang melahirkan di Rumah Sakit Parkland dalam tahun 1986,
dan 18% wanita kulit putih, 20% wanita Hispanik serta 22% wanita kulit
hitam menderita hipertensi yang memperberat kehamilan (Cuningham dan
Leveno, 1987). Insiden hipertensi dalam kehamilan untuk multipara adalah
6,2% pada kulit putih, 6,6% pada Hispanik, dan 8,5% pada kulit hitam, yang
menunjukkan bahwa wanita kulit hitam lebih sering terkena penyakit
hipertensi yang mendasari. Separuh lebih dari multipara dengan hipertensi
juga mendrita proteinuria dan karena menderita superimposed preeclampsia.
Kecenderungan untuk preekalmpsia-eklampsia akan diwariskan. Chesley dan
Cooper (1986) mempelajari saudara, anak, cucu dan menantu perempuan dari
wanita penderita eklampsia yang melahirkan di Margareth Hague Maternity
Hospital selam jangka waktu 49 tahun, yaitu dari tahun 1935 sampai 1984.
Mereka menyimpulkan bahwa preeklampsia – eklampsia bersifat sangat
diturunkan, dan bahwa model gen-tunggal dengan frekuensi 0,25 paling baik
untuk menerangkan hasil pengamatan ini; namun demikian, pewarisan
multifaktorial juga dipandang mungkin.
2) Status kesehatan
a) Riwayat preeklampsia
38
Hasil penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan
bahwa terdapat 83 (50,9%) kasus preeklapmsia mempunyai riwayat
preeklapmsia, sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 12 (7,3%)
mempunyia riwayat preeklampsia berat.
b) Riwayat hipertensi
Salah satu faktor predisposing terjadinya pre-eklampsia atau eklampsia
adalah adanya riwayat hipertensi kronis, atau penyakit vaskuler hipertensi
sebelumnya, atau hipertensi esensial. Sebagian besar kehamilan dengan
hipertensi esensial berlangsung normal sampai cukup bulan. Pada kira-kira
sepertiga diantara para wanita penderita tekanan darahnya tinggi setelah
kehamilan 30 minggu tanpa disertai gejala lain. Kira-kira 20% menunjukkan
kenaikan yang lebihmencolok dan dapat disertai satu gejala preeklampsia atau
lebih, seperti edema, proteinuria, nyeri kepala, nyeri epigastrium, muntah,
gangguan visus ( Supperimposed preeklampsia ), bahkan dapat timbul
eklampsia dan perdarahan otak.
c) Riwayat penderita diabetus militus
Hasil penelitian Agung Supriandono dan Sulchan sofoewan menyebutkan
bahwa dalam pemeriksaan kadar gula darah sewaktu lebih dari 140 mg %
terdapat 23 (14,1%) kasus preeklampsia, sedangkan pada kelompok kontrol
(bukan preeklampsia) terdapat 9 (5,3%).
d) Status gizi
Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah juga
menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada
dalam badan sekitar 15% dari berat badan, maka makin gemuk seorang makin
39
banyak pula jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin
berat pula fungsi pemompaan jantung. Sehingga dapat menyumbangkan
terjadinya preeklampsia.
e) Stres / Cemas
Meskipun dibeberapa teori tidak pernah disinggung kaitannya dengan
kejadian preeklampsia, namun pada teori stres yang terjadi dalam waktu
panjang dapat mengakibatkan gangguan seperti tekanan darah. Manifestasi
fisiologi dari stres diantaranya meningkatnya tekanan darah berhubungan
dengan:
- Kontriksi pembuluh darah reservoar seperti kulit, ginjal dan organ lain
- Sekresi urin meningkat sebagai efek dari norepinefrin
- Retensi air dan garam meningkat akibat produksi mineralokortikoid
sebagai akibat meningkatnya volume darah
- Curah jantung meningkat.
5. TANDA DAN GEJALA
Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau
kwadran kanan atas (90%) karena adanya obstruksi aliran darah di daerah
sinusoid hati yang terbendung oleh timbunan fibrin intravaskuler. Jira tekanan
intrahepatik melampaui kemampuan regangan kapsula glisoni akan
menyebabkan ruptur hati. Selain itu pula dijumpai malaise, mual, muntah dan
ikterus., nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum dibawa ke
rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 – 86%). Penambahan berat
40
badan dan edema (60%), hipertensi dapat tidak dijumpai sekitar 20% kasus,
didapatinya hipertensi ringan (30%) dan hipertensi berat (50%).
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat diperlukan, karena
diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun sampai saat
ini belum ada batasan yang tegas mengenai nilai batas untuk masing-masing
parameter. Hal ini terlihat dari banyaknya penelitian terhadap sindroma
HELLP yang bertujuan untuk membuat suatu keputusan nilai batas dari
masing-masing parameter.
a. Hemolisis
Gambaran hapusan darah tepi sebagai parameter terjadinya hemolisis, adalah
dengan didapatinya burr cell dan atau schistocyte, dan atau helmet cell.
Menurut Weinstein (1982) dan Sibai (1986) gambaran ini merupakan
gambaran yang spesifik terjadinya hemolisis pada sindroma HELLP.
Proses hemolisis pada sindroma HELLP oleh karena kerusakan dari sel darah
merah intravaskuler, menyebabkan hemoglobin keluar dari intravaskuler.
Lepasnya hemoglobin ini akan terikat dengan haptoglobin, dimana kompleks
hemaglobin-haptoglobin akan dimetabolisme di hepar dengan cepat.
Hemoglobin bebas pada sistim retikuloendotel akan berubah menjadi
bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis.
Pada wanita hamil normal kadar bilirubin berkisar 0,1 – 1,0 mg/ dL. Dan
pada sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu > 1,2 mg/dL.
41
Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan
mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya sel darah
merah yang imatur. Sel darah merah imatur ini mudah mengalami destruksi,
dan mengeluarkan isoenzim eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan plasma
lactic dehidrogenase (LDH). Kadar LDH yang tinggi juga menunjukkan
terjadinya peroses hemolisis.
Pada wanita hamil normal kadar LDH berkisar 340 – 670 IU/L. Dan pada
sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu > 600 IU/L.
b. Peningkatan Kadar Enzim Hepar.
Serum aminotranferase yaitu aspartat aminotranferase (serum glutamate
oksaloasetat transaminase/SGOT) dan alanine aminotranferase ( serum
glutamate piruvat transaminase/SGPT) meningkat pada kerusakan sel hepar.
Pada Preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat pada seperlima kasus,
dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Menurut penelitian
Martin dkk (1991) kadar SGOT lebih tinggi dari SGPT pada sindroma
HELLP. Peninggian ini menunjukkan fase akut dan progresivitas dari
sindroma ini. Peningkatan SGOT dan SGPT juga merupakan tanda terjadinya
ruptur kapsul hepar.
Pada wanita hamil normal kadar SGOT berkisar 0 – 35 IU/L . Dan pada
sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu >70 IU/L. Lactat Dehidrogenase
(LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung jawab terhadap proses
oksidasi laktat menjadi piruvat. Peningkatan LDH menggambarkan terjadinya
kerusakan pada sel hepar, walaupun peningkatan kadar LDH juga merupakan
tanda terjadinya hemolisis. Peningkatan kadar LDH tanpa disertai
42
peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis.
Martin dkk (1991) melaporkan pada sindroma HELLP kadar puncak LDH
581 –2380 IU/L dengan rerata 1369 IU/L, dimana kadar puncak ini
didapatkan pada 24 – 48 jam post partum. LDH dapat dipergunakan untuk
mendeteksi hemolisis dan kerusakan hepar. Oleh sebab itu parameter ini
sangat berguna dalam mendiagnosa sindroma HELLP.
Peningkatan bilirubin pada Preeklampsia sangat jarang, pada kasus eklampsia
hanya 4 – 20%. Dan peningkatan ini jarang sampai lima kali lipat.
Hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi menunjukkan hemolisis intra
vaskuler. Hiperbilirubinemia yang terkonjugasi menunjukkan kerusakan pada
perenkhim hepar.
c. Jumlah Trombosit yang Rendah
Pada kehamilan normal belum diketahui batasan jumlah trombosit yang
spesifik. Sebagian besar laporan mengatakan jumlah trombosit rerata
menurun selama kehamilan walaupun secara statistik tidak signifikan. Pada
wanita hamil normal kadar trombosit berkisar > 150.000/ mm3. Dan pada
sindroma HELLP kadar ini menurun sampai < 100.000/ mm3.
Martin dkk (1991) melaporkan dari 158 preeklampsia berat dengan sindroma
HELLP didapati kadar trombosit berbeda-beda. Didapatinya 19% pasien pada
saat masuk rumah sakit dengan jumlah trombosit > 150.000/mm3, 35% antara
100.000 – 150.000/mm3, 31% antara 50.000 – 100.000/mm3 dan 15% <
50.000/mm3.
Urine lengkap
43
Protein urine merupakan gambaran yang diharapkan dalam HELLP, karena
proteinuria merupakan syarat tegaknya diagnosis Preeklampsia. Kadar asam
urat juga diperkirakan dapat mengalami kenaikan pada pasien HELLP
Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi penting untuk melihat adanya komplikasi berupa
edema papil yang menunjukkan edema serebri dan retinopati hipertensi yang
berkelanjutan dapat dilihat sebagai ablasio retina.
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan EKG pada pasien HELLP syndrom untuk melihat komplikasi ke
jantung, yang bisa didapati berupa cardio megali.
7. PENATALAKSANAAN
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah
kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai
dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi
sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan
MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.
Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110
mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko
perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya
mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi
yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline®) iv dalam dosis kecil
2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang
44
diinginkan tercapai. Labetalol (Normodyne®) dan nifedipin juga digunakan
dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila
nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu
perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.(4)
Penatalaksanaan Sindroma HELLP
a. Penilaian dan stabilisasi kondisi ibu :
- Bila DIC (+), koreksi faktor pembekuan
- Pemberian profilaksis anti kejang dengan Sulfas Magnesikus
- Penanganan hipertensi berat
- Rujuk ke fasilitas kesehatan yang memadai
- CT- scan dan USG abdomen bila dicurigai adanya hematom hepar
subkapsular
b. Evaluasi kesejahteraan janin:
- Non Stress Test
- Profil biofisik
- Ultrasonografi biometri
c. Evaluasi kematangan paru, jika usia kehamilan < 35 minggu
- Jika paru telah matang, segera lahirkan
- Jika paru belum matang, beri kortikosteroid, kemudian lahirkan
d. Jika usia kehamilan ³ 35 minggu, setelah kondisi ibu stabil, segera lahirkan
Adanya sindroma HELLP ini tidak merupakan indikasi untuk melahirkan
segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah
kondisi ibu dan bayi. Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan
pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat
45
diinduksi dengan oksitosin pada semua kehamilan ³ 32 minggu. Ataupun
kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang telah matang untuk diinduksi.
Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang belum matang, seksio
sesarea elektif merupakan pilihan.
Penatalaksanaan PEB menurut teori (Ansar et all, 1985):
b. Ekspektatif
Kehamilan yang dipertahankan bersama terapi medisinal dengan kriteria
Kehamilan < 37mg
Keadaan janin baik
Tidak ada impending eklamsia
b. Aktif
Kehamilan segera diakhiri bersama terapi medisinal dengan kriteria
Indikasi Ibu
Kehamilan > 37mg
Ada tanda impending eklamsia
Gagal konservatif :
o Bila dalam 6 jam setelah terapi medisinal TD naik
o Bila dalam 24 jam setelah terapi medisinal gejala tidak berubah
Indikasi Janin : Gawat Janin
Indikasi Lab : HELLP syndrome
46
Terapi Medisinal
Terapi medisinal yang diberikan berupa: (Sudhaberata, 2001; Semenovskaya,
2010; Saputra 2010)
14. Segera rawat di ruangan yang terang dan tenang, terpasang infus Dx/RL
dari IGD.
15. Tirah baring miring ke satu sisi
16. Oksigenisasi
17. Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.
18. Anti kejang: dengan MgSO4 atau diazepam (bila MgSO4 tidak ada atau
tidak memenuhi syarat)
19. Antihipertensi: nifedipin, dopamet
20. Antidiuretik : Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda
edema paru, payah jantung kongestif atau edema anasarka. Diberikan
furosemid injeksi 40 mg/im.
21. Kardiotonika: Indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah jantung,
diberikan digitalis.
22. Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal > 38,5 oC dapat dibantu
dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylomidon 2 cc IM.
23. Antibiotik diberikan atas indikasi. Diberikan ampicillin 1 gr/6 jam/IV
24. Analgetik bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus.
Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2
jam sebelum janin lahir
25. Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1x80 mg/hari. Syarat: Trombositopenia
(<60.000/ml) (Sudhaberata, 2001)
47
26. Dapat pula dilakukan transfusi dengan trmbosit pekat untuk meningkatkan
jumlah trombosit pada trombosit < 50.000/ml (Essien et all, 2008)
Cara terminasi yang dipilih sebaiknya yang kurang traumatik bagi ibu dan
bayinya dengan cara induksi persalinan atau langsung seksio sesaria. Cara
yang dipilih tergantung pada : umur kehamilan, maturitas, dan tafsiran berat
janin, skor pelvis menurut Bishop, nilai sosial anak, derajat
preeklamsia/eklampsianya, ada-tidaknya gawat bayi serta kemampuan tim
perinatal di pusat pelayanan tersebut. Bila tidak ada kontra indikasi
melahirkan per-vaginam maka induksi persalinan dengan medikamentosa
merupakan pilihan; tindakan seksio hanya dilakukan berdasarkan indikasi
obstetri dan bukan karena preeklamsi/eklamsinya sendiri (Karkata, 2007).
Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu
Induksi persalinan : tetesan oksitosin dengan syarat nilai Bishop 5 atau
lebih dan dengan fetal heart monitoring.
Seksio sesaria bila :
o Fetal assesment jelek
o Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai Bishop kurang dari 5)
atau adanya kontraindikasi tetesan oksitosin.
o 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif.
o Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi
dengan seksio sesaria.
48
Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu
Kala I
Fase laten :
6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan seksio sesaria.
Fase aktif :
Amniotomi saja
Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap
maka dilakukan seksio sesaria (bila perlu dilakukan tetesan
oksitosin).
Kala II
Pada persalinan per vaginam maka kala II diselesaikan dengan partus buatan
vakum ekstraksi/forcep ekstraksi. Amniotomi dan tetesan oksitosin dilakukan
sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian pengobatan medisinal. Pada
kehamilan <37 minggu; bila keadaan memungkinkan, terminasi ditunda 2 kali
24 jam untuk maturasi paru janin dengan memberikan kortikosteroid
(Sudhabrata, 2001)
7. PENCEGAHAN
Manipulasi diet
49
Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia adalah
pembatasan garam. Setelah beberapa tahun diselidiki, pembatasan
garam tidaklah penting. Pada penelitian yang dilakukan Knuist dan
kawan-kawan, pembatasan garam terbukti tidak efektif dalam
mencegah preeklamsia pada 361 wanita.
Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis
menunjukkan bahwa suplementasi kalsium pada waktu antenatal
menghasilkan penurunan yang signifikan dari tekanan darah dan
insidensi preeklamsia.
Antioksidan
Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi lipid
yang berperan dalam kerusakan endotel. Penelitian yang dilakukan
oleh Schiff dan kawan-kawan menunjukkan bahwa konsumsi vitamin
E tidak berhubungan dengan preeklamsi. Mereka menemukan bahwa
peninggian plasma vitamin E pada wanita dengan preeklamsi dan
menyatakan bahwa hal ini merupakan respon terhadap stres oksidatif.
Namun hal ini masih menjadi kontroversi karena ada penelitian lain
yang menyatakan terapi dengan vitamin C / E dapat menurunkan
aktivasi endotel yang pada akhirnya akan menurunkan preeklamsi.
Pada penelitian lain, dengan pemberian vitamin C sebanyak 1000
mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia kehamilan 16 – 22
minggu berhubungan dengan rendahnya insidensi preeklamsi. Karena
50
itu masih perlu dilakukan penelitian sebelum menyarankan
penggunaan Vitamin C dan E untuk penggunaan secara klinis.
Suplemen kalsium
Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan antara
asupan diet rendah kalsium dengan terjadinya preeklamsi. Dengan
pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 – 2 g/hari telah disarankan
untuk upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian Cochrane,
diketahui bahwa pemberian suplementasi kalsium tidak dibutuhkan
pada nulipara. Walaupun demikian, mungkin pemberiannya bisa
menguntungkan untuk mereka yang termasuk kelompok dengan
asupan kalsium yang memang kurang atau pada kelompok risiko
tinggi, seperti mereka dengan riwayat preeklamsi berat.
N-Acetylcystein
Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti
radikal bebas atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan
dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah yang
diakibatkan kerusakan sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian
obat ini masih kontroversi. Meskipun demikian beberapa ahli sudah
mencoba menggunakan obat ini.
8. KOMPLIKASI
Preeklampsia dengan HELLP sindrom dapat menyebabkan gangguan berbagai
sistem organ.
Otak
51
Pada hamil normal, perfusi serebral tidak berubah, namun pada pre-eklampsia
terjadi spasme pembuluh darah otak karena deposit fibrin, penurunan perfusi dan
suplai oksigen otak sampai 20%. Spasme menyebabkan hipertensi serebral, faktor
penting terjadinya perdarahan otak dan kejang / eklampsia.
Hati
Terjadi peningkatan aktifitas enzim-enzim hati pada pre-eklampsia, yang
berhubungan dengan beratnya penyakit.4
Ginjal
Pada pre-eklampsia, arus darah efektif ginjal berkurang + 20%, filtrasi glomerulus
berkurang + 30%. Pada kasus berat terjadi oligouria, uremia, sampai nekrosis
tubular akut dan nekrosis korteks renalis. Ureum-kreatinin meningkat jauh di atas
normal. Terjadi juga peningkatan pengeluaran protein (”sindroma nefrotik pada
kehamilan”)
Sirkulasi uterus , koriodsidua
Perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta adalah patofisiologi
yang terpenting pada pre-eklampsia, dan merupakan faktor yang menentukan hasil
akhir kehamilan.
1. Terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara massa
plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang.
2 .hipoperfusi uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang
mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan
52
kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron)
sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi.
3. karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen
dan nutrisi ke janin. Akibatnya bervariasi dari gangguan pertumbuhan janin
sampai hipoksia dan kematian janin
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous, Hypertension, dalam Merck Manual of Diagnosis&Therapy, 25
Januari 2004, diakses tanggal 11 September 2012, dari http :
//www.merck.com
2. August P, Management of Hypertension in Pregnancy, 2009, diakses tanggal
11 September 2012, dari http : //www.uptodate.com/patients/content/topic
3. Branch D, Porter T, Hypertensive Disorders of Pregnancy, dalam Danforth’s
Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-8, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy
W, penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 1999: 309-326
53
4. Brooks M, Pregnancy&Preeclampsia, 5 Januari 2005, diakses tanggal 12
September 2012, dari http : //www.emedicine.com
5. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K,
Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22,
New York: McGraw-Hill, 2005 : 761-808
6. Eger R, Hypertensive Disorders during Pregnancy, dalam
Obstetrics&Gynecology Principles for Practice, Ling F, Duff P, penyunting,
New York : McGraw-Hill, 2001 : 224-252
7. Gibson P, Carson M, Hypertension and Pregnancy, 30 Juli 2009, diakses
tanggal 12 September 2012, dari http :
//emedicine.medscape.com/article/261435
8. Herrera J, Shahabudin A, Ersheng G, Wei Y, Garcia R, Lopez P, Calcium plus
Linoleic Acid Therapy for Pregnancy Induced Hypertension, 9 Desember
2005, diakses tanggal 12 September 2012, dari http : //www.ncbi.nlm.nih.gov
9. Kaplan N, Lieberman E, Hypertension with Pregnancy and the Pill, dalam
Kaplan’s Clinical hypertension, edisi ke-8, Neal W, penyunting, Philadelphia:
Lippincott Williams&Wilkins, 2002: 404-433
10. Kelompok Kerja Penyusunan Hipertensi dalam Kehamilan-Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam
Kehamilan di Indonesia, edisi ke-2, Angsar M, penyunting, 2005: 1-27
11. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman
Diagnosis dan terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian
pertama, edisi ke-2, Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan Sadikin, 2005 : 60-70
54
12. Mose J, Gestosis, dalam Obstetri Patologi : Ilmu Kesehatan Reproduksi, edisi
ke-2, Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah F, penyunting,
Jakarta : EGC, 2003 : 68-82
13. National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure, dalam The Seventh Report of the Joint
National Committee, NIH publication, 2004 : 49-52
14. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi
ke-3, Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301
15. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam
Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9, New
York : McGraw-Hill, 2003: 338-353
16. Scott J, Disaia P, Hammond C, Spellacy W, Gordon J, Danforth Buku Saku
Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Obstetri dan Ginekologi, edisi
ke-1, Koesoema H, penyunting, Jakarta : Widya Medika, 2002: 202-213
17. Seely E, Maxwell C, Chronic Hypertension in Pregnancy. 2007, diakses
tanggal 10 September 2012, dari http :
//circ.ahajournals.org/cgi/content/full/115
18. Shennan A, Hypertensive disorders, dalam Dewhurst’s textbook of Obstetrics
& Gynaecology, edisi ke-7, USA : Blackwell Publishing, 2007 : 227-234
19. Sibai B, Diagnosis, Prevention, and Management of Eclampsia, 10 September
2012, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.greenjournal.org
20. Sibai B, Treatment of Hypertension in Pregnant Women, 25 Juli 1996, diakses
tanggal10 September 2012, dari http : //www.NEJM.org/cgi/content/full
55
CASE REPORT :
G3P2A0, 31 Tahun, Umur Kehamilan 21 Minggu, Janin Tunggal Hidup
Intrauterin, Belum Inpartu Dengan Hipertensi Kronik Superimposed
(Impending Eklampsia) Dan Suspect HELLP Partial Syndrom Kelas
Misissipi II.
REFERAT :
HELLP Syndrom
Oleh :
Saga Malela Aria Sabara, S.Ked
0818011095
56
Preceptor :
dr. Wahdi, Sp. OG
SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD JENDERAL AHMAD YANI METRO
OKTOBER 2012
57