imperialisme pendidikan

38
Imperialisme Pendidikan : Menuju Imperialisme Ekonomi Oleh Rum Rosyid- UNIV. TANJUNGPURA- PONTIANAK “Apa yang sering dikerjakan oleh dunia pendidikan kita. Dibendungnya aliran sungai yang bebas berkelok-kelok”, tulis Henry David Thoreau (1850). Ungkapan salah satu tokoh aliran anarkisme pendidikan yang hidup pada 1817-1862 ini mungkin perlu kita renungi kembali jika kita bicara soal pendidikan saat ini. Terlebih, pembicaraan kita dibingkai dalam perspektif kritis, seperti misalnya keringnya dimensi sosial pada dunia pendidikan kita. Dunia pendidikan dalam perspektif kritis, tak ubahnya seperti penjajahan bagi manusia. Ketika manusia dikenalkan dengan lingkungan barunya melalui institusi pendidikan, saat itu pula ia potensial dijajah secara kognitif. Persinggungan kita dengan dunia di ruang- ruang kelas tiap hari hanyalah persinggungan dengan teks- teks yang tak selalu aktual, seperangkat alat uji yang tak mencerdaskan, dan hegemoni wibawa guru yang terkesan dipaksakan. Bahkan, salah satu kesalahan terbesar pendidikan adalah, ditariknya kita dalam ‘dunia asing’ yang terpisah dari problematika dan dinamika masyarakat sesungguhnya. Mari kita bayangkan, seberapa banyakkah waktu yang disediakan oleh guru bagi kita untuk berfikir tentang kekerasan politik, kenakalan remaja, kenakalan diri kita sendiri, bumi hangus di Ambon, teriakkan merdeka kawan-kawan kita di Aceh, buruknya kualitas anggota parlemen di daerah, dan sederet fenomena sosial lainnya? Nothing. Kalaupun ada, ia hanya menjadi ‘bumbu’ dari ocehan panjang guru-guru kita, tanpa ekspresi empatik sama sekali. Potret-potret sosial itu sungguhpun teramat mengesankan, tak sempat kita amati dan kita diskusikan di dalam kelas. Padahal, kita mungkin adalah siswa-siswa yang pintar menghafal teori-teori sosial lengkap dengan siapa tokoh pengusungnya. Maka lengkaplah kita, dalam istilah WS Rendra, menjadi generasi ‘gagu’ di tengah masyarakat: ada, tetapi

Upload: rumrosyid

Post on 26-Jun-2015

291 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Imperialisme Pendidikan : Menuju Imperialisme EkonomiOleh Rum Rosyid- UNIV. TANJUNGPURA- PONTIANAK

“Apa yang sering dikerjakan oleh dunia pendidikan kita. Dibendungnya aliran sungai yang bebas berkelok-kelok”, tulis Henry David Thoreau (1850). Ungkapan salah satu tokoh aliran anarkisme pendidikan yang hidup pada 1817-1862 ini mungkin perlu kita renungi kembali jika kita bicara soal pendidikan saat ini. Terlebih, pembicaraan kita dibingkai dalam perspektif kritis, seperti misalnya keringnya dimensi sosial pada dunia pendidikan kita. Dunia pendidikan dalam perspektif kritis, tak ubahnya seperti penjajahan bagi manusia.

Ketika manusia dikenalkan dengan lingkungan barunya melalui institusi pendidikan, saat itu pula ia potensial dijajah secara kognitif. Persinggungan kita dengan dunia di ruang-ruang kelas tiap hari hanyalah persinggungan dengan teks-teks yang tak selalu aktual, seperangkat alat uji yang tak mencerdaskan, dan hegemoni wibawa guru yang terkesan dipaksakan. Bahkan, salah satu kesalahan terbesar pendidikan adalah, ditariknya kita dalam ‘dunia asing’ yang terpisah dari problematika dan dinamika masyarakat sesungguhnya. Mari kita bayangkan, seberapa banyakkah waktu yang disediakan oleh guru bagi kita untuk berfikir tentang kekerasan politik, kenakalan remaja, kenakalan diri kita sendiri, bumi hangus di Ambon, teriakkan merdeka kawan-kawan kita di Aceh, buruknya kualitas anggota parlemen di daerah, dan sederet fenomena sosial lainnya? Nothing. Kalaupun ada, ia hanya menjadi ‘bumbu’ dari ocehan panjang guru-guru kita, tanpa ekspresi empatik sama sekali.

Potret-potret sosial itu sungguhpun teramat mengesankan, tak sempat kita amati dan kita diskusikan di dalam kelas. Padahal, kita mungkin adalah siswa-siswa yang pintar menghafal teori-teori sosial lengkap dengan siapa tokoh pengusungnya. Maka lengkaplah kita, dalam istilah WS Rendra, menjadi generasi ‘gagu’ di tengah masyarakat: ada, tetapi tak kuasa mengeja gejala-gejala sosial yang sedang terjadi di tengah-tengah kita. Peningkatan mutu sekolah secara massal merupakan suatu upaya untuk menciptakan dan menjamin proses perubahan berlangsung secara terus menerus dan bisa dilaksanakan oleh semua sekolah. Sekolah memiliki latar belakang dan potensi masing-masing, yang menyebabkan tidak mungkin dilaksanakan “one size fits for all” policy.

Sebenarnya, lembaga pendidikan adalah sarana sosialisasi kedua sesudah keluarga. Oleh karena fungsinya sebagai sarana sosialisasi itulah sekolah seharusnya banyak mengadopsi metodologi sosial yang menjamin fungsi sosialisasi itu terpenuhi secara optimal. Yaitu bagaimana individu-individu warga belajar tak sekedar saling kenal dan bergaul antar mereka, tetapi juga harus melibatkan lingkungan sekitar. Secara mikro, sekolah harus menjadi lembaga yang bisa menjalin interaksi dan interelasi yang harmonis dengan lingkungan atau masyarakat sekitarnya. Secara makro, ia harus menjamin adanya keterkaitan psikologis dan intelektual dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Ini berarti bahwa dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang tengah terjadi menjadi referensi yang penting dalam daur belajar kita. Kalau tidak, benarlah sekolah itu akan menjadi ‘menara gading’ yang menjadikan warga belajarnya cenderung asosial dan pragmatik; tidak memiliki orientasi sosial yang jelas dan dedikatif.

Page 2: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Kebijakan dan upaya peningkatan mutu sekolah harus memiliki fleksibilitas yang tinggi. Meskipun, tetap saja harus ada dimensi kebijakan dan upaya yang bersifat imperatif untuk semua sekolah.(Zamroni, 2009) Rencana Strategis Depdiknas antara lain memuat visi, dan misi Pendidikan Nasional. Visi Pendidikan Nasional Indonesia adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Pada tahun 2005, HDI Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan peringkat tersebut semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya. HDI Indonesia tahun 1997 adalah 99, lalu tahun 2002 menjadi 102, kemudian tahun 2004 merosot kembali menjadi 111 (Human Development Report 2005, UNDP). Menurut Laporan Bank Dunia (Greaney, 1992) dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement), di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Kondisi anak-anak Indonesia hanya mampu menguasai 30 persen dari materi bacaan dan mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini disebabkan karena mereka sangat terbiasa dalam menghapal serta mengerjakan soal pilihan ganda. Sementara itu, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia (berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant). Dalam hal daya saing, Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara di dunia (The World Economic Forum Swedia, 2000). Ini artinya: Indonesia hanya berpredikat sebagai follower, bukan sebagai leader.

Misi Pendidikan Nasional adalah: (1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (3) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (4) meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan (5) memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI. Manusia Indonesia yang dimaksud dalam visi pendidikan nasional Indonesia adalah manusia berkualitas dalam kecendekiawanan, kecerdasan spiritual, emosional, sosial, serta kinestetis (gerak tubuh) dan kepiawaian, serta mampu menghadapi perkembangan dan persaingan global.

Untuk membangun dunia pendidikan tidak akan terlepas dari dorongan dan semangat spiritualisme. Bangsa-bangsa di Timur Tengah mengalami masa kejahiliyahan pada saat sebelum Islam datang, begitu juga di Eropa dan Amerika mengalami masa kegelapan

Page 3: IMPERIALISME PENDIDIKAN

pada saat agama tidak memberikan ruh pencerahan terhadap para pemeluknya. Masa Kejayaan bangsa-bangsa di Timur Tengah diawali dengan kedatangan Islam di Saudi Arabia. Dengan system pendidikan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, mampu mengubah paradigma jahiliyah/kebodohan menjadi peradaban yang maju. Ajaran Islam yang pertama kali diturunkan kepada utusan Allah ini adalah iqro yang artinya membaca. Sehingga dalam perjalanan sejarah tercatat bahwa negara-negara atau kerajaan-kerajaan yang dikuasai oleh Islam berubah menjadi bangsa yang berilmu pengetahuan dan maju seperti munculnya kerajaan di Andalusia dan Cordoba sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia pada masa abad pertengahan itu.

Demikian juga yang terjadi di Eropa dan Amerika, pada saat Eropa mengalami masa kegelapan muncul tokoh pembaharu dari kalangan agamawan Kristen yaitu Calvin. Dalam bukunya, Weber menganalisis bahwa kemajuan ekonomi yang pesat di Eropa dan Amerika disebabkan adanya Etika Protestan. Etika protestan lahir di Eropa melalui agama protestan yang dikembangkan oleh Calvin(Ahmad Subagyo, 2003). Disini muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang itu sudah ditakdirkan sebelumnya untuk masuk ke surga atau neraka. Tetapi orang yang bersangkutan tentu saja tidak mengetahuinya. Karena itu, mereka menjadi tidak tenang, menjadi cemas, karena ketidakjelasan nasibnya ini. Salah satu cara untuk mengetahui apakah mereka akan masuk surga atau neraka adalah keberhasilan kerjanya di dunia yang sekarang ini. Kalau seseorang berhasil dalam kerjanya didunia, hampir dapat dipastikan bahwa dia ditakdirkan untuk naik surga. Kalau kerjanya selalu gagal di dunia ini, hampir dapat dipastikan bahwa dia akan masuk ke neraka. Adanya kepercayaan ini membuat orang-orang penganut Protestan Calvin bekerja keras untuk meraih sukses. Mereka bekerja tanpa pamrih; artinya mereka bekerja bukan untuk mencari kekayaan material, melainkan untuk mengatasi kecemasannya. Inilah yang disebut sebagai Etika Protestan.

Lunturnya Idealisme Pendidikan : Efek GlobalisasiNarasi besar tentang pendidikan tidak terlepas dari sistem dunia yang berlaku. Pendidikan merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, dimana dia berfungsi untuk menciptakan pelaku-pelaku (agen) yang akhirnya ikut melanggengkan sistem kekuasaan yang ada.Rasionalitas instrumental yang bertujuan praktis ekonomis telah sangat berpengaruh pada pembentukan karakter pendidikan modern. Efektivitas pendidikan dan spesialisasi ilmu menjadi sebuah tuntutan yang memunculkan suatu spesifikasi status dan peran. Ini pada akhirnya juga akan berpengaruh pada perkembangan maupun posisi dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan kemampuan manusia untuk mengolah alam. Ilmu pengetahuan yang berguna ialah yang bisa mengembangkan kemampuan manusia dalam mengolah alam untuk keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan itu sendiri telah menjadi bagian dari lingkaran kepentingan kelas (golongan) penguasa untuk menjaga kesinambungan sistem yang berlaku.

Idealisme pendidikan menjadi luntur ketika terkait dengan globalisasi, yang memiliki dua sifat utamanya, de-teritorialisasi dan trans-nasionalisme. De-teritorialisasi dimengerti sebagai hilangnya batas-batas wilayah geografis dari negara-negara nasional. Sedangkan trans-nasionalisme berusaha “menghilangkan” makna nasional dan lokal. Yang nasional

Page 4: IMPERIALISME PENDIDIKAN

atau lokal tetap ada namun menjadi tidak berharga. Dengan demikian, pendidikan nasional menjadi tidak berharga(Andreo FR, 2010). Tidak ada lagi pengakuan akan ruang pendidikan nasional di dunia global. Tidak mengherankan, perguruan-perguruan tinggi lebih memilih dan memakai label “Untuk dapat bersaing di era globalisasi” dibandingkan dengan “turut mewujudkan cita-cita bangsa.” Hal yang mendasar di dalam pendidikan nasional,  adalah identitas dari pendidikan itu sendiri. Suatu identitas yang terbentuk dari pengenalan akan hubungan struktur (tanda) dengan dirinya sendiri (pendidikan).

Struktur yang menjadi lokus adalah negara. Pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus terkait dengan negara, dan di dalam keterkaitan itu pendidikan turut di dalam developmentalism. Fenomena Globalisasi, sebenarnya jauh-jauh hari pada awal abad 20 sudah dilihat V.I Lenin yang mengistilahkanya dengan Imperialisme atau perkembangan tertinggi dari Imperialisme. Yakni sebuah ciri dari perkembangan ekonomi Internasional yang ditandai dengan penyatuan capital Industri dan capital Bank dalam kapital finance, pembagian wilayah pasar dunia antar kapitalis, monopoli dan penguasaan atas pasar.

Senada dengan yang dianalisis Lenin dalam memandang Globalisasi, menurut Stiglitz (2003), merupakan hubungan yang tidak setara antarnegara, lembaga, dan aktornya. Karena itu, hubungan antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Disadari maupun tidak, sistem ekonomi kapitalisme sudah berkembang dan merayap pada semua aspek kehidupan kemasyarakatan di Indonesia, telah menjadi factor dasar material pembentuk hampir seluruh orientasi kebijakan Negara di bidang sosial, ekonomi, politik, tanpa terkecuali bidang pendidikan.

Lebih jauh dalam dunia pendidikan nasional yang berkembang pada era perdagangan bebas saat ini semakin perlu untuk dipahami. Karena, semua negara anggota WTO yang sudah menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa antara lain: layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan, serta jasa-jasa lainnya akan terus “Ditekan” agar secepatnya melaksanakan kesepakatan yang diambil dalam berbagai macam konferensi dan perundingan tingkat tinggi yang mengatur masalah perdagangan bebas barang dan jasa tersebut.

Konsekuensi dari komitmen Indonesia dalam WTO, yang juga diikuti dengan kesertaannya dalam menandatangani GATS (kesepakatan WTO berkaitan dengan perdagangan barang dan jasa), AFAS (ASEAN Framework on Services) serta Deklarasi Bogor 1994/APEC dan agenda Aksi Osaka. Semua perundingan internasional itu sebagai produk pendukung liberalisasi pasar yang dikembangkan WTO. Itu artinya Indonesia juga harus mengikat diri untuk ikut pada putaran-putaran lanjutan yang mendorong Negara peserta untuk membuka pasar domestiknya secara lebih lebar dan lebih cepat supaya mudah diakses pelaku industri dari negara lain, dan pada akhirnya menghapus semua hambatan perdagangan barang dan jasa. Sejak Indonesia menjadi anggota WTO, secara otomatis semua hasil perjanjian yang berhubungan dengan perdagangan multilateral, diratifikasi menjadi UU No 7/1994 sebagai prasyaratanya agar lalu lintas perdagangan barang dan jasa dari Indonesia bisa bersaing dan diterima di pasar bebas.

Page 5: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Dari kondisi diatas, kita bisa melihat bersama begitu besarnya kepentingan para pemodal asing terhadap dunia pendidikan nasional baik secara langsung maupun tidak langsung, karena dunia pendidikan merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan di kemudian hari.

Menolak Diskusi Metafisis dan Ideologis Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagaiآ sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).

Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.

Aliran ini pertama kali tumbuh di Amerika pada tahun 1878. Ketika itu Charles Sanders Pierce (1839 – 1914) menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Namun pragmatisme sendiri lahir ketika William James membahas makalahnya yang berjudul ”Philosophycal Conceptions and Practical Result” (1898) dan mendaulat Pierce sebagai Bapak Pragmatisme. Selanjutnya aliran ini makin berkembang berkat kerja keras dari William James dengan berbagai karya tulisnya. Karya tulisnya itu antara lain adalah, “A Pluralistic Essay”, “Essay in Radical Empiricism”, “The Will to Believe”, dan “The Varieties of Religious Experience”. John Dewey juga ikut mengambil bagian dalam mempopulerkan aliran ini. Karya – karyanya antara lain adalah “Democracy and Education”, “Reconstruction in Philosophy”, “How We Think”, dan

Page 6: IMPERIALISME PENDIDIKAN

“Experience in Education”. Namun ia dan para pengikutnya lebih suka menyebut filsafatnya sebagai Instrumentalisme.

Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978. Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan.

Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika.

Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Suatu tindakan dapat dilaksanakan entah sadar atau tidak termotivasi oleh adanya tujuan. Dengan demikian pragmatik artinya tindakan bertujuan. Menurut Willian James bahwa manusia hidup harus bertindak sebagai aktualisasi dari kewajiban untuk mencapai tujuan tertentu yang merupakan haknya untuk dinikmati (Pragmatisme  menurut William James, hlm 35-40).

Sekalipun William James menulis Varieties of Religious Experiences, tidak berarti bahwa dia mendukung kesadaran beragama. Selama pengalaman keagamaan itu berguna bagi yang bersangkutan, maka ia benar. Dengan demikian, pragmatisme adalah relativisme. Tidak ada kebenaran abadi dan mutlak, segalanya tergantung pada apakah "kebenaran" itu berguna atau tidak. Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah kriteria bagi kebenaran(Kuntowidjoyo, 2004).

Dalam suasana hidup yang serba pragmatis ini, tidak ada lagi tempat untuk wacana metafisis yang menyangkut kesadaran terdalam dari makna dan tujuan hidup di atas kebenaran hakiki. Hal-hal yang bersifat nilai, norma dan moral sebagaimana ditawarkan agama dipandang suatu kemewahan yang melangit dan cerita tahayul. Tak ada lagi etika sebagai sandaran sebagaimana yang di ajarkan oleh agama, kecuali moralitas situasional yang mengabdi pada situasi dan kondisi yang berlaku sesuai kemajuan zaman. Dan pada akhirnya, agama akan kehilangan nilai dan elan vitalnya sekaligus tersingkir dengan sendirinya jika para pemeluknya hanyut pada mentalitas pragmatis.

Page 7: IMPERIALISME PENDIDIKAN

James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran. It is useful because it is true, it is true because it is useful. Karena kriteria kebenaran itulah, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang mendukung bisnis dan politik Amerika. Dengan adanya pragmatisme tidak ada sosialisme di Amerika. (Ada memang Partai Komunis Amerika dan toko-toko buku Marxisme. Tetapi, baik sosialisme maupun komunisme tidak pernah diperhitungkan dalam dunia politik). Kaum buruh Amerika juga menjadi pendukung kapitalisme karena mereka ikut berkepentingan. Hampir-hampir tidak ada ada kritik terhadap kapitalisme, kecuali dari gerakan The New Left pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.

Pandangan Pragmatisme Mengenai Hubungan Alam dan Manusia Faham pragmatisme merupakan cerminan dari life style masyarakat Amerika pada umumnya. Pragmatisme merupakan sebuah aliran yang berusaha menengahi antara tradisi empirisme dan tradisi idealisme. Menurut tokoh pragmatisme John Dewey filsafat merupakan pengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik, untuk di dunia, dan sekarang. Dalam pandangan pragmatisme manusia dan alam dipandang sebagai sesuatu yang selalu saling bersandar. Manusia bukan dua bagian yang berbeda antara jiwa dan badan, ia bersatu dengan alam dan alam di interpretasikan sehingga mencakup manusia. Alam dalam manusia adalah alam yang sudah berfikir dan menjadi cerdas. Alam dikatakan tidak rasional dan tidak irrasonal. Alam dapat difikirkan sekaligus difahami. Alam dipandang sebagai sesuatu yang harus dirubah dan dikontrol melalui eksperimen-eksperimen.

Pandangan Dewey tersebut membuat kemajuan yang linear pada masyarakat Barat. Manusia Barat terobsesi untuk melakukan berbagai eksperimen mengenai alam dan ternyata hal ini mewujudkan penemuan-penemuan mutakhir di zamannya. Nietzsche mendambakan manusia yang terbaik adalah mereka yang mampu mengatasi segala keterbatasannya. Jika ia telah mampu mengatasi hal tersebut ialah yangdinamai oleh Nietzsche sebagai Ubber mench (superman). Manusia diyakini sebagai makhluk yang multidimensional maka dari itu sangat sulit untuk menafsirkan secara menyeluruh dan tepat apa yang menjadi keinginan dan tujuan dari hidupnya.

Pragmatisme yang telah mendominasi masyarakat Barat merupakan sebuah pencapaian filsafat yang sangat bagus, filsafat yang semula hanya berhenti pada masalah-masalah yang bersifat esensial dan utopis oleh faham pragmatisme telah dilahirkan ke dalam dunia. Pragmatisme menekankan pada pendirian dan metode lebih daripada doktrin filsafat yang sistematis. Teori kebenaran yang diungkapkan oleh seorang tokoh pragmatisme, William James mengatakan bahwa suatu ide itu benar jika ia berhasil dan memberi akibat-akibat yang memuaskan. Oleh sebab itu kebenaran bersifat relatif dan terus berkembang. Kebenaran (truth) adalah yang menjadikan berhasil dalam cara kita berfikir.

Asas kegunaan atas hasil dari sebuah tindakan oleh masyarakat pragmatis telah biasa disalahartikan sebagai sebuah dalil pembenaran atas terjadinya eksploitasi alam. Pembangunan pabrik dengan dampak polusi yang tinggi diperbolehkan dengan dalih untuk membuka lapangan kerja yang luas sekaligus guna mengurangi tingkat

Page 8: IMPERIALISME PENDIDIKAN

pengangguran di sebuah wilayah. Demikian dalil asas manfaat tersebut terus bergulir hingga sekarang. Dominasi masyarakat industri maju terhadap negara berkembang menggunakan alasan-alasan pragmatis pun akhirnya tidak dapat dihindari lagi.

Sekularisme sebagai realitas Metafisika bisa diartikan sebagai the theory of reality. Suatu upaya filosofis untuk memahami karakteristik mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul yang sederhana namun serba mencakup. Secara sederhana, metafisikawan berusaha menjelaskan rangkuman dan intisari dari apa (of what is), apa yang ada (of what exists), dan apa yang sejati ada (of what is ultimately real). Intisari atau substansi realitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak. Mereka yang beraliran kuantitatif (yakni hakikat sebagai rangkuman realitas atau as the sum of reality) terbagi kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme, (2) dualisme, dan (3) pluralisme.

Sedangkan yang beraliran kualitatif (yakni hakikat sebagai intisari dari realitas atau as the substance of reality) terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat realitas bersifat mental atau spiritual; (2) realisme, bahwa hakikat realitas bersifat material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori monisme. (3) Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4) Pragmatisme, yang menolak untuk mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan realitas. Mereka lebih suka mengatakan bahwa realitas senantiasa berada pada keadaan berubah dan mencipta secara konstan sekalipun secara literal bisa dinyatakan ada ketidakterbatasan filosofis baik jenis maupun jumlahnya.

Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius, 22:21).

Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya, pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).

Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan

Page 9: IMPERIALISME PENDIDIKAN

adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.

Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. (Qashash, 1995:30-31). Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis.

Menurut Ahmad Al-Qashash(Yayat Hidayat, 13/1/2009) dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah (1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Para komentator seperti Zeyno Baran, direktur the International Security and Energy Programs Nixon Center yang masih mengidap mentalitas penjajah saat mendiskusikan kebijakannya di dunia Islam. Pengamat sekuler tidak dengan tulus hati berdialog dengan dunia Islam. Mereka hanya melihat dari satu sisi saja, yakni kepentingan penjajahan Barat. Hal ini tampak dari pernyatan Baran yang menyatakan bahwa Barat bisa membantu (negeri-negeri muslim) untuk mengembangkan kurikulum sekolah yang menekankan pada cara berpikir kritis, patriotisme, etika, dan nilai-nilai Islam yang sejalan dengan demokrasi dan sekulerisme. "can assist them (Muslim countries) in developing school curricula that emphasise critical thinking, patriotism, ethics and those Islamic values that are compatible with democracy and secularism." Tentu saja kaum muslim berhak bertanya tentang nilai-nilai Islam yang tidak sesuai dengan sekulerisme , mengapa tidak diajarkan di sekolah mereka.

Kenyataannya banyak umat Islam yang menolak sistem sekuler yang ditawarkan oleh Barat dan menginginkan tegaknya Khilafah saat ini. Baran sebenarnya mengakui hal ini dari pernyataannya tentang umat Islam yang semakin menyadari nilai-nilai dasar Barat dan menolaknya. "Akan semakin banyak umat Islam dan bukan hanya teroris yang percaya mereka akan diremehkan dalam tatanan dunia yang dipimpin oleh AS", tegasnya. Ditambahkan oleh Baran: "Mereka yakin agenda demokrasi dan kebebasan George W. Bush hanyalah tipuan untuk menenangkan mereka, yang dengan itu AS bisa mempertahankan hegomoni globalnya". Sementara itu masyarakat sekuler Barat telah kehilangan perekat yang kuat ditengah masyarakat akibat penyakit kronis individualisme, kejahatanpun merajelala, hubungan sosial yang retak dan paham materialisme yang fanatis. Mengimpor model sekuler yang gagal dan hancur dari Barat ke dunia Islam , seperti membiarkan menyebarnya virus flu burung.

Page 10: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din 'an al-hayah). Dengan hanya melihat pendapat kelompok moderat pinggiran, Baran terlalu menekankan perbedaan internal dalam peradaban Islam, sementara mengabaikan pertentangan yang menyeluruh antara dua peradaban yang bersaing secara ide yang dalam wacana intelektual dunia Barat dikenal dengan perdebatan antara Imperium vs Kosmopolis. Penganjur ide imperium menyakini bahwa Barat telah menciptakan tatanan dunia neo-liberal yang tidak adil lewat pemikiran imperalisme. Mereka menggunakan hutang luar negeri, perdagangan yang tidak adil, dukungan terhadap penguasa yang tirani dan pendudukan ilegal di luar negeri untuk kepentingan imperialisme-mereka . Disisi lain, kebebasan sipil dihambat dengan cara menghembuskan rasa ketakutan (antara lain lewat isu terorisme). Sebaliknya, penganjur pandangan kosmopolis menyakini tatanan kapitalis dan sekuler saat ini dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan harus dijaga meskipun dibutuhkan serangan intervensi militer sebagai bentuk pre-empative (serangan sebelum diserang).

Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis. Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, melainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.

Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuensi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.

Sekularisme di IndonesiaMasa kejayaan Indonesia pra-kemerdekaan, terjadi ketika kerajaan-kerajaan di Indonesia berjaya di tanah air. Awal munculnya kerajaan di tanah air diinspirasi dari pertumbuhan agama Hindu dan Budha. Semangat spiritualisme masyarakat mendorong kegairahan untuk mendirikan pusat-pusat pendidikan padepokan yang mengajarkan sendi-sendi kehidupan dan membangun sebuah komunitas masyarakat yang adil, berbudaya dan beradab. Dari padepokan-padepokan melahirkan ksatria-ksatria calon pemimpin bangsa raja. Pemimpin-pemimpin yang lahir dari kalangan ksatria yang mentas dari godokan kawah candradimuka pendidikan lebih berperilaku adil, cerdas, arif dan bijaksana, sehingga mampu melahirkan sebuah bangsa yang besar.

Page 11: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Sekularisme sebagai akar liberalisme, masuk ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1996:27). Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik.

Inti Islam Politiek adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda bahkan membantu rakyat yang akan menempuh jalan tersebut; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan-Islam. Politik pemisahan inilah yang oleh Kernkamp disebut Splitsingstheorie, sebab pada hakekatnya agama Islam tidak begitu jauh memisahkan ketiga bidang ini(Suminto, 1996:12). Secara resmi pemisahan antara gereja dan Negara baru terjadi pada tahun 1935; dan sejak itu administrasi gereja dilepaskan dari pengawasan Gubernur Jenderal, dan para pengelola gereja tidak lagi diangkat oleh pejabat pemerintah(Suminto, 1996: 37).

Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama. (Noer, 1991:183).

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan penjajah. Tapi sayang sekali ini tidak terjadi. Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular. Revolusi ini tak ubahnya seperti Revolusi Amerika tahun 1776, ketika Amerika memproklamirkan kemerdekaannya dari kolonialisasi Inggris. Amerika yang semula dijajah lantas merdeka secara politik dari Inggris, meski sesungguhnya Amerika dan Inggris sama-sama sekular.

Karena sudah sekular, dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit). (Ebenstein & Fogelman, 1994:148). Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi-liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik

Page 12: IMPERIALISME PENDIDIKAN

tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. (Audi, 2002:47). Dalam bidang agama, liberalisme mewujud dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat. (Said, 1995:101).

Pendidikan Islam merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional, bahkan pendidikan Islam merupakan aset nasional. Karenanya, posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional bukan sekadar berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai komponen substansial. Artinya, pendidikan Islam merupakan komponen yang sangat menentukan perjalanan pendidikan nasional sejak pra-kemerdekaan hingga saat ini.Dari waktu ke waktu, masalah pendidikan Islam di negeri ini ternyata juga tidak luput dari dinamika politik kekuasaan. Pertanyaannya, apa dan bagaimana kebijakan politik pendidikan Islam di negeri ini? Secara yuridis, hal ini telah terakomodasi dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Dari payung hukum yang mengatur pendidikan Islam tersebut bukan berarti kini tidak menyisakan masalah baik secara institusional maupun politis. Banyak kalangan mempersoalkan dan mengkritisi, bahwa dengan terintegrasikannya sistem pendidikan nasional Islam sebagai komponen substansial ke dalam sistem pendidikan nasional, maka konsep lama yang membatasi pengertian pendidikan Islam secara sempit hanya pendidikan keagamaan seharusnya dihapuskan. Ironisnya hingga kini masih ada dikotomisasi.

Padahal, implikasi politis dari payung hukum tersebut seharusnya kebijakan lama yang sampai sekarang masih berlaku yaitu memisahkan antara pendidikan Islam (keagamaan) yang dikelola dan dibina oleh Departemen Agama dan pendidikan umum yang dibina dan dikelola oleh Departemen pendidikan Nasional harus ditinjau kembali.Upaya peninjauan kembali peranan Depag sebagai pengelola pendidikan Islam memerlukan pikiran jernih, dengan menghilangkan kegamangan dari para elite Muslim dan menanggalkan beban politis ideologis masa lalu yang selama ini menggelayutinya serta memfokuskan pada pertimbangan pedagogis dan akademis. Jika hal ini dapat dilakukan, maka akan lahir kebijakan yang reformatif, yaitu: pengelolaan pendidikan Islam yang selama ini berada di tangan Departemen Agama diserahkan kepada Departemen pendidikan Nasional(Choirul Mahfud, 2009).

Tentu hal ini bukan perkara mudah baik bagi Depdiknas maupun Depag dalam mengatur kembali masalah pendidikan Islam yang sudah sekian tahun terpisah. Keterpisahan dua institusi besar tidak luput dari sejarah dan situasi kondisi sosio-kultural-politik pada masa itu. Waktu itu, kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras. Puncaknya, para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama. Sehingga, Departemen Agama dianggap sebagai representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik agama (Islam) dan sebagai satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam.

Page 13: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Ketersesatan sejarah Indonesia itu terjadi karena saat menjelang proklamasi (seperti dalam sidang BPUPKI), kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, dan M. Yamin memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. (Anshari, 1997:42). Jadilah Indonesia sebagai negara sekular.Komaruddin Hidayat dalam tulisannya Islam Liberal di Indonesia dan Masa Depannya (Republika, 17-18 Juli 2001) memasukkan Soekarno dan Hatta sebagai tokoh-tokoh Islam Liberal. Husaini & Hidayat (2002:34) membenarkan  Komaruddin Hidayat tidak sedang mengigau. Soekarno dan Hatta memang tokoh liberal di Indonesia karena keduanya ngotot menyerukan sekularisme bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Soekarno adalah seorang sekular. Pada tahun 1940 Soekarno pernah menulis artikel Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, yang mempropagandakan sekularisme Turki sebagai suatu teladan yang patut dicontoh. (Noer, 1991:302). Beberapa buku telah ditulis khusus untuk membongkar sekularisme Soekarno, seperti buku Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kamal karya Abdulloh Shodiq (1992) dan buku Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal di Indonesia karya Maslahul Falah (2003). Hatta juga seorang sekular. Prof. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 menggambarkan pendirian sekular dari Hatta dalam sidang BPUPKI dengan berkata,"Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah : paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan : bukan negara Islam." (Anshari, 1997:27).

Politik Orde Baru hingga akhir 1980-an tidak hanya anti-komunisme, tetapi juga anti-Islam yang ditransformasikan sebagai ideologi dan kekuatan politik. Sejak kelahirannya, Orde Baru berdiri di atas slogan politik ‘melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen’, sesuai dengan penafsiran tunggal mereka. Slogan ini cukup menggambarkan sikap deideologinya khususnya terhadap Islam. Represi kekuasaan, baik secara terang-terangan maupun secara terselubung melalui operasi intelijen, selalu membayangi setiap partai dan gerakan politik Islam. Berkiblat pada siasat Snouck Hurgronye dalam menaklukkan Aceh, Orde Baru juga berupaya membiarkan kalangan Islam melaksanakan ibadah secara ritual individu namun memberangus setiap orang atau kelompok yang mempunyai gagasan tentang politik Islam. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial, awal dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng “anak tirikan”, mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”.

Oleh karena itu, politik Orde Baru pada hakikatnya adalah usaha mewujudkan sebuah negara sekular melalui perlindungan angkatan bersenjata dan intelijen dengan legitimasi pembangunan ekonomi. Pada tataran ideologis, platform politik saat itu sangat dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme. Butir-butir P4 merupakan wujud tafsir ideologi kapitalisme terhadap Pancasila. Aspek ini bisa menjadi alasan utama kenapa Soeharto tampak bersikap sangat keras terhadap kelompok-kelompok Islam yang ingin

Page 14: IMPERIALISME PENDIDIKAN

memperjuangkan syariah Islam atau negara Islam. Karena kekuatan Islam dianggap tidak hanya sebagai ancaman terhadap politiknya secara pribadi, namun juga kekhawatirannya pada kelompok Islam yang akan mengubah asas sekular dari negara.

Tindakan seperti Orde Baru yang berusaha mengeliminasi politik Islam tersebut sebenarnya masih berlangsung hingga hari ini. Paling tidak upaya tersebut terlihat pada saat Partai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu menyerukan untuk kembali pada asas tunggal. Tentu mudah ditebak bahwa wacana tersebut merupakan bagian strategi mereka untuk menjegal perkembangan politik Islam agar politik sekuler bisa tetap menguasai negeri ini. Oleh karena itu, upaya penjegalan terhadap Islam politik yang memperjuangkan tegaknya syari’ah tidak dilakukan oleh Soeharto semata-mata karena bagian strategi ambisi dirinya, namun merupakan imbas dari perang ideologi saat itu antara kapitalisme, komunisme, dan Islam.

Orde Baru menjadi bagian rantai kapitalisme untuk menghancurkan komunisme dan Islam. Sementara saat ini kapitalisme dunia dibawah pimpinan AS sedang menghadapi Islam sebagai satu-satunya rival semenjak komunisme tumbang. Tentu harus ada kesadaran pada diri umat Islam, bahwa sistem politik yang sedang berjalan saat ini di berbagai negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia pada dasarnya merupakan bagian dari kapitalisme global itu. Negara-negara dunia ketiga yang notabene negeri-negeri Muslim realitasnya saat ini berada dalam hegemoni negara-negara yang berideologi kapitalisme dibawah pimpinan AS. Jadi meskipun Soeharto telah tiada, benturan ideologi kapitalisme dan Islam di negeri ini tetap akan berlangsung bahkan mungkin bisa lebih tajam sejalan dengan makin kuatnya Islam ideologis memperjuangkan perbaikan sistem saat ini menuju sistem Islam, yakni Syari’ah dan Khilafah.

Pada aspek ekonomi, kebijakan Orde Baru banyak ‘dibantu’ AS dengan cara membentuk mafia ekonomi yang dikenal dengan Mafia Berkeley. Mafia inilah yang kemudian merancang kebijakan ekonomi Indonesia yang kapitalistik, liberal dan sesuai dengan kepentingan AS. Mereka ditempatkan dalam posisi strategis dalam pemerintahan untuk mengendalikan perekonomian negara. Sebagian besar pejabat ekonomi dalam kabinet Orde Baru adalah hasil didikan AS terutama dari Mafia Berkeley tersebut. Misalnya, Widjojo Nitisastro sebagai ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Emil Salim sebagai wakilnya, Subroto sebagai dirjen pemasaran dan perdagangan, menteri keuangan Ali Wardhana, serta ketua Penanaman Modal Asing Moh Sadli.

Sesuai dengan politik ekonomi AS, mafia ini menjalankan kebijakan ekonomi yang kapitalistik. Yaitu kebijakan yang pro pasar, mengundang investasi asing, meminjam hutang luar negeri. Dampaknya sangat luar biasa. Kebijakan investasi asing ditandai dengan penjualan kekayaan alam Indonesia kepada perusahaan asing sebagai kompensasi dari bantuan hutang luar negeri Indonesia. Freeport mendapat emas di Papua Barat, sebuah perusahaan konsorsium Eropa mendapat Nikel di Papua Barat, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Sementara hutang luar negeri kemudian menjadi alat tekanan negara donor yang semakin menjerat Indonesia. Akibat jebakan hutang ini Indonesiapun harus patuh terhadap instruksi IMF dan Bank Dunia, yang alih-alih menyelesaikan krisis ekonomi, tapi malah membuat krisis ekonomi makin parah.

Page 15: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Pragmatisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan1. Pengalaman dan PertumbuhanPemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khususnya melalui pendidikan.Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.

2. Tujuan PendidikanDalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.

Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya,

Page 16: IMPERIALISME PENDIDIKAN

pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.

Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama.

Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang. Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.

Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.  

Page 17: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Imperialisme Pendidikan : Menuju Imperialisme Ekonomi  Pernah diungkapkan oleh Antonio Gramsci, Louis Althusser, Michel Foucault yang juga disepakati oleh Paulo Freire mengenai penanaman ideologi melalui lembaga pendidikan untuk melanggengkan kekuasaan negara. Sehingga tujuan pendidikan yang seharusnya dapat membantu peserta didik untuk memahami realitas dehumanisasi yang ada di sekitarnya dalam rangka memahami dirinya sebagai manusia untuk mengenal Penciptanya sehingga dapat menjalankan tugasnya di bumi ini, menjadi ternistakan oleh Keuangan Yang Maha Kuasa, dan bukannya malah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama dari Pancasila yang seharusnya dijadikan pijakan dalam segala langkah.

Ketika kita mengetahui bagaimana masa lalu sejarah bangsa ini mengakibatkan apa yang bisa kita lihat sekarang. Solusi yang paling ampuh untuk mengatasi segala persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, adalah dengan merombak total sistem pendidikan nasional kita. Termasuk di dalamnya sistem persekolahan, pendidikan keguruan, metode belajar-mengajar, dan segala hal yang terkait dengan sistem pendidikan.

Berabad-abad lamanya budaya tersebut diwariskan secara turun-temurun pada manusia Indonesia. Ironisnya, tidak hanya budaya saja yang diwariskan secara turun-temurun dari masa lalu, tetapi juga sistem pemerintahan secara global berikut segala aparatus negara dan perundangannya. Tentu saja hal tersebut juga berlaku dalam ranah sistem pendidikan. Mulai dari metode pengajaran hingga sistem evaluasi yang diterapkan saat ini, sangat berbau feodalistis. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, mengapa hal seperti ini masih berlangsung hingga masa sekarang.

Manusia -manusia saat ini, masyarakat kita yang sekarang ini, adalah produk keluaran sekolah formal yang telah dengan sengaja mempraktekkan proses dehumanisasi di dalamnya. Model pembelajaran gaya bank, seperti yang pernah dikemukakan oleh Paulo Freire, menjadi model yang secara seragam diaplikasikan pada hampir seluruh jenjang dan tingkat lembaga pendidikan yang ada di negeri ini. Mengapa bencana pendidikan di negeri ini menjadi sedemikian kronis dengan sederet permasalahan tersebut, tentunya kita harus berkaca pada apa yang telah terjadi pada masa lalu bangsa ini. Kita tidak boleh menjadi bangsa yang buta sejarah, karena dengan mengetahui apa-apa yang telah terjadi pada masa lampau kita akan mendapatkan penjelasan tentang apa-apa yang terjadi saat ini, bahkan dapat meramalkan apa-apa yang akan terjadi dimasa mendatang.

Model pendidikan gaya bank yang dianggap sebagai sumber dari segala permasalahan yang ada tidak hanya permasalahan pendidikan, tetapi segala permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini – sebenarnya tidak muncul begitu saja. Melainkan bersumber dari nenek moyang terdahulu yang berangkat dari kerajaan bersistem kastanisasi dan memang budayanya begitu feodal dan paternalistik sehingga melahirkan tradisi kebisuan. Apalagi, budaya tersebut malah semakin difasilitasi dan dijadikan senjata ampuh oleh Belanda dalam upayanya untuk melanggengkan kekuasaan di bumi nusantara.

Mental bangsa Indonesia dilatarbelakangi oleh warisan budaya yang begitu mengakar kuat. Bila warisan budaya yang dimaksud adalah kebobrokan moral dalam budaya

Page 18: IMPERIALISME PENDIDIKAN

feodalistik dan paternalistik yang sudah diwariskan turun temurun pada manusia Indonesia hari ini, maka budaya tersebut tidak perlu dilestarikan dengan kata-kata ‘bahwa perubahan tidak akan pernah berhasil’. Perubahan bisa dilakukan dengan mencabut habis seluruh akar sistem yang ada, tidak hanya dengan memotong dahan yang terlihat sakit. Semisal budaya korupsi yang dulu telah menggerogoti VOC hingga bangkrut, dapat digantikan dengan pemerintahan Hindia Belanda yang relatif bersih dengan waktu yang singkat sebuah pembuktian bahwa korupsi bukanlah budaya orang Belanda dan Indonesia pun juga bisa melakukan hal yang sama jika menghentikan pelestarian stereotyping terhadap dirinya sendiri.

Amerika, negara adikuasa ini harus melakukan revolusi dibidang pendidikan selama kurang lebih 17 tahun sebelum akhirnya mencapai keberhasilan. Begitupula dengan India, negara miskin yang beberapa tahun terakhir ini mulai merangkak keluar dari keterpurukan ekonominya dengan jalan pendidikan. Finlandia, sebuah negara dengan sistem pendidikan yang dianggap terbaik sedunia, telah meninggalkan peningkatan perekonomian berbasis kehutanan dan menggantikannya dengan integrasi antara lembaga pendidikan dan industri sehingga meraih keberhasilan dengan industri Nokia yang melakukan inovasi tiada henti. Masih banyak lagi contoh negara yang mau melakukan revolusi pendidikan agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang masih terpuruk dan tidak kunjung mengakhiri keterpurukannya.

Sarana-sarana negara-negara kapitalis untuk melakukan imperialisme ekonomi antara lain    1. Menyebarkan ide yang berkaitan dengan politik dan ekonomi Di antara ide-ide ekonomi tersebut, adalah ide pembangunan ekonomi dan  keadilan sosial, agar negara-negara yang baru saja lepas dari  penjajahan militer dapat segera masuk ke perangkap penjajahan ekonomi  Amerika. Sebab, pelaksanaan ide-ide itu jelas membutuhkan banyak dana.  Maka dari itu, tertipulah negara-negara tersebut untuk segera mencari  hutang luar negeri dan terjerumuslah mereka menjadi negara dengan  hutang bertumpuk 2. Mengubah sistem mata uang dunia Presiden Nixon pada tahun 1971 menghapuskan keterkaitan dolar dengan  emas, sehingga dolar tak dapat dikonversi lagi menjadi emas. Maka dolar  pun menguasai sistem mata uang dunia dan memaksa Jepang dan Jerman  mendukung dolar, karena kedua negara tersebut mempunyai cadangan emas  sangat besar di dunia 3. Membentuk lembaga-lembaga ekonomi Internasional Sejalan dengan ide-ide AS yang menyatakan bahwa politik polarisasi dan  blok-blok internasional akan dapat menyulut perang-perang dunia, maka  AS bertekad memantapkan prinsip-prinsip Tata Dunia Baru yang didasarkan  pada pembentukan lembaga-lembaga internasional di bidang politik,  ekonomi, kesehatan, peradilan, dan pendidikan. Maka lalu berperanlah  PBB, Dewan Keamanan, IMF, Bank Dunia, Mahkamah Internasional, dan  lembaga-lembaga dunia lainnya. 4. Membentuk blok-blok ekonomi, seperti NAFTA dan APEC Blok-blok tersebut antara lain terdiri dari AS, Meksiko, Kanada,  Australia, New Zealand, Jepang, Korea, dan Indonesia. Sementara itu di  sisi lain ada pula Pasar Bersama Eropa yang beranggotakan negara-negara  Eropa. Peran blok-blok ini untuk bersaing

Page 19: IMPERIALISME PENDIDIKAN

dalam hal dominasi dan  perampasan ekonomi tak perlu dibuktikan lagi. Di samping blok-blok itu, telah diselenggarakan pula berbagai  konferensi internasional dan regional untuk mengokohkan dominasi Barat  dan memaksakan format-format ekonomi Barat. Konferensi-konferensi  seperti ini antara lain adalah kesepakatan GATT, yang berkaitan dengan  tarif (bea masuk) dan tuntutan untuk menghapus segala tarif ini pada  konferensi di Napoli (Italia) pada tahun 1994.

5. Merekayasa Berbagai Perang, Krisis, Kekacauan, dan Kerusuhan Berbagai perang dan kerusuhan sengaja disulut oleh Barat di  negeri-negeri Islam, seperti Perang Teluk I (perang Irak-Iran) dan  Perang Teluk II yang dimaksudkan untuk menguasai minyak dan mencampuri  urusan negeri lain dengan cara membangun pangkalan-pangkalan militer  dan zona-zona kemananan di wilayah Irak Utara dan Selatan. Negara-negara kapitalis juga mensponsori gerakan- gerakan separatis -  seperti gerakan separatis Kurdi dan Sudan Selatan - dan perang saudara  di Afghanistan. Tujuannya adalah untuk menyiksa bangsa-bangsa tersebut,  merampok harta kekayaannya, dan memeratakan kemelaratan dan kerusakan.

KepustakaanAlif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa

Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007. http://aliflukmanulhakim.blogspot.com

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.

_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.

A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003 Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &

Noble, Inc.Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.

Yogjakarta. Hal. 28Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.

Page 20: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra. University of Hawaii. Hawai.

Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.    Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,

Melbourne D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,

Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.

Yogyakarta : 1997 Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.

HaperCollins Publiser. London. Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980 Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,

Bandung, Penerbit Alumni. Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta --------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya

Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta

--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to

Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July

11th, 2008 Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,

London, George Allen and Unwind Ltd.    Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage

Publications. London. P. 85-87Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.comTitus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984 UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO

Page 21: IMPERIALISME PENDIDIKAN

UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966; 2001, 2003)

Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit Paradigma, Yogyakarta

Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.

Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam

Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall  

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing, Ltd.

Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.

Chicago Rand McNellyCarter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of

Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-Dewantara,

Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge & Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. WydenpubHasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO

Seminar on Decentralization. Unpublished.

Page 22: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.PembangunanKi Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian

Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.PressKi Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis LuhurKi Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,

Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.

Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7 Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak

Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.

Page 23: IMPERIALISME PENDIDIKAN

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964

http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_contenthttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlhttp://stishidayatullah.ac.id/index2.phphttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlAliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.comKoran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down

load pada tanggal 16 November 2005 http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal

16 November 2005 http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November

2005 http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan IndonesiaBeberapa Tantangan Menuju Masyarakat InformasiOleh : Rum RosyidDosen FKIP Universitas TanjungpuraDirektur Global Equivalency for Education