implementasi pemungutan retribusi perpanjangan izin
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI PEMUNGUTAN RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DI KABUPATEN
BEKASI
Rizkita Puteri Widyaningrum1 dan Inayati2
1.Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2.Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini membahas implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kabupaten Bekasi setelah diterbitkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Retribusi IMTA di Kabupaten Bekasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif. Dengan mengaitkan pada teori implementasi Grindle, hasil penelitian terbagi menjadi isi kebijakan dan konteks implementasi. Hasil penelitian dari segi isi kebijakan menunjukkan dalam pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA masih terdapat kekurangan dalam hal SDM dalam bidang pelayanan serta pengawas ketenagakerjaan, dan adanya sejumlah hal yang dalam implementasi belum sejalan dengan peraturan perundang-undangan, yakni dalam pelaksanaan kewenangan pengesahan RPTKA Perpanjangan serta terkait dengan pembentukan Tim SIPORA sebagai pengawas orang asing dan TKA di Kabupaten Bekasi. Hasil lainnya menunjukkan bahwa terdapat mekanisme terkait dengan kondisi EPO dan pengajuan permohonan restitusi atas kelebihan pembayaran Retribusi Perpanjangan IMTA yang dilaksanakan tanpa dasar aturan yang jelas. Hasil penelitian dari segi konteks implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA menunjukkan adanya strategi berupa sosialisasi dan pengawasan terhadap pengguna TKA yang dilakukan oleh Disnaker Kabupaten Bekasi.
Kata kunci: DPKK; IMTA; Retribusi Perizinan Tertentu; TKA IMPLEMENTATION OF THE USER CHARGES ON THE EXTENTION OF WORK
PERMIT IN KABUPATEN BEKASI
ABSTRACT
The focus of this research is the implementation of the user charges on the extention of work permit in Kabupaten Bekasi after the Regional Regulation No. 3 of 2013 published by using qualitative-descriptive approach. According to the implementation theory by Grindle, the results are divided into the content and context of the implementation of the policy. The results of the study in terms of policy content shows there is still a lack of human resources, and there is a number of issues in the implementation that has not been in line with legislation, it is related to the authority of publishing the extention of Expatriate Placement Plan and the forming of SIPORA team which has supervision role to the foreigners in Kabupaten Bekasi. Other results showed that there is a mechanism related to the conditions of application of EPO and restitution for the user charges on the extention of work permit overpayment that implemented without a clear basic rules. The results of the study in terms of the context of the implementation indicates there are two strategies that implemented by Regional Office of Manpower Department of Kabupaten Bekasi regarding to implementing of the user charges on the extention of work permit, the strategies are socialization and supervision. Keywords: DPKK Tax; Expatriate Placement Plan; License and Permit Fees; Work Permit.
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Pendahuluan
Sektor industri di Indonesia yang mulai dikembangkan sejak masa orde baru dan terus
berkembang tentu tidak terlepas dari kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia
pada saat itu. Salah satu kebijakan yang cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan
pesat industri di Indonesia adalah dengan dikeluarkannya undang-undang Penanaman Modal
Asing (PMA) tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
tahun 1968 (Tambunan, 2006, 10). Nilai investasi di Indonesia kemudian terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, terutama investasi yang bersumber dari luar negeri. Investasi
asing di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun selama periode 2010 hingga
2013. Porsi penanaman modal asing pada tahun 2010 dan 2011 mayoritas teralokasi pada
sektor tersier, yakni sektor jasa. Namun keadaan menunjukkan perubahan yang cukup
signifikan, bahwa pada tahun 2012 dan 2013, proporsi penanaman modal asing paling banyak
teralokasi pada sektor industri dengan kenaikan yang cukup signifikan yakni hingga mencapai
kurang lebih USD 4.000 setiap tahunnya (Realisasi Penanaman, 2013). Apabila ditinjau dari
segi lokasi, maka daerah yang menjadi penyerap investasi asing terbanyak adalah Provinsi
Jawa Barat dengan total penyerapan hingga 19% dari total keseluruhan investasi asing pada
tahun 2013 (Realisasi Penyerapan, 2013). Hal ini menjadi sesuatu yang wajar mengingat di
Provinsi Jawa Barat terdapat daerah Kabupaten Bekasi yang memiliki salah satu kawasan
industri terbesar di Indonesia.
Berkembangnya sektor Industri di Indonesia, dan didukung dengan kepemilikan
kawasan industri yang besar tentu memberikan keuntungan tersendiri bagi Kabupaten Bekasi
karena banyaknya investasi asing yang masuk membuat industri membutuhkan banyak tenaga
kerja. Sebagai konsekuensinya, tenaga kerja yang terserap dari industri tersebut tidak hanya
TKI namun juga TKA yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai
representasi dari perusahaan-perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia,
maupun yang memang didatangkan untuk memberikan pengetahuan dan keahliannya dalam
melaksanakan berbagai jenis pekerjaan di industri tersebut. Meningkatnya jumlah TKA yang
masuk ke Indonesia dari tahun ke tahun diantisipasi oleh Pemerintah Indonesia melalui
sejumlah kebijakan, terutama dengan instrumen peraturan perundang-undangan. Untuk tetap
menjaga keseimbangan proporsi jumlah tenaga kerja lokal dan TKA di Indonesia, Pemerintah
Indonesia menerbitkan aturan yang terkait dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Permenekertrans) Nomor PER.02/MEN/III/2008 s.t.d.t.d Permenakertrans No.
12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Potensi yang besar dari sektor ketenagakerjaan sebagai konsekuensi dari
perkembangan industri tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari aturan yang mengatur tentang
kewenangan daerah, karena salah satu kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada
daerah adalah kewenangan dalam urusan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) huruf n PP No. 38 Tahun 2007. Menindaklanjuti
hal tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 97 Tahun 2012
tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing sebagai landasan pengalihan kewenangan mengenai TKA kepada daerah.
Dengan dilandasi terbitnya PP No. 97 tahun 2012, dan menyadari bahwa potensi
jumlah tenaga kerja asing cukup besar di Kabupaten Bekasi, Pemerintah Kabupaten Bekasi
yang telah menyiapkan rancangan peraturan daerah kemudian segera melaksanakan
pemungutan Retribusi IMTA berdasarkan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2013 tentang
Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sejalan dengan kebijakan
Pemerintah Pusat yang dipayungi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Respon yang sangat cepat atas peraturan pemerintah tersebut kemudian
menjadikan Kabupaten Bekasi sebagai daerah pertama di Indonesia yang membuat Perda
Retribusi Perpanjangan IMTA. Sejak diimplementasikannya Perda No. 3 Tahun 2013
tersebut, Retribusi Perpanjangan IMTA menjadi penyumbang terbesar kedua dalam
komponen penerimaan retribusi Kabupaten Bekasi secara keseluruhan dari semua jenis
retribusi setelah Retribusi IMB. Hal ini menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti
mengingat bahwa pihak Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi merasa bahwa masih banyak
perusahaan yang belum memahami benar perda terkait Retribusi Perpanjangan IMTA tersebut
karena sosialisasi yang diberikan belum dapat menjangkau sasaran Wajib Retribusi secara
menyeluruh sehingga dengan realisasi yang jumlahnya telah melampaui target tersebut,
sebenarnya masih terdapat potensi yang tidak terjaring oleh Disnaker Kabupaten Bekasi.
Dengan melihat pada proses implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA
di Kabupaten Bekasi secara keseluruhan, maka akan dapat diperoleh informasi yang
menyeluruh dan dapat dianalisis secara mendalam dengan mengacu pada konsep
implementasi dari Grindle yang melihat implementasi dari segi konten kebijakan dan konteks
implementasi sendiri mengenai hal-hal yang masih menjadi permasalahan di lapangan
sehingga potensi-potensi yang belum sepenuhnya terjaring, dapat dioptimalkan agar dapat
meningkatkan PAD Kabupaten Bekasi. Selain itu dari analisis mengenai kondisi di lapangan
nantinya dapat diketahui apakah pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA ini telah berjalan
sesuai dengan tujuan utamanya, yakni pengendalian terhadap masuknya TKA ke Indonesia,
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
khususnya ke Kabupaten Bekasi untuk menjaga keseimbangan jumlah TKI dan TKA yang
bekerja di sektor industri agar kesempatan kerja bagi TKI di Kabupaten Bekasi tetap terbuka
lebar dan dari tataran konseptual tidak menyimpang dari konsep retribusi daerah dan retribusi
perizinan tertentu.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif sebagai
upaya memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai fenomena yang akan diteliti,
yakni mengenai implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten
Bekasi. Berdasarkan pada tujuan, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan
manfaat penelitian murni karena murni dilakukan untuk kepentingan akademis tanpa
disponsori pihak manapun serta dengan waktu penelitian yang ditentukan oleh peneliti yakni
pada bulan Maret 2014 hingga Juni 2014.
Penelitian mengenai implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di
Kabupaten Bekasi diawali dari proses pengumpulan data sebanyak-banyaknya mengenai
implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA tersebut dengan melakukan
wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses pemungutan, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi,
DPPKA Kabupaten Bekasi, Bank Jawa Barat dan Banten, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI, Perusahaan Pengguna TKA, serta Akademisi Perpajakan Daerah. studi
literatur sebagai data sekunder dalam mengolah data. Data sekunder tersebut diperoleh dari
berbagai sumber bahan cetak seperti buku, artikel ilmiah, jurnal ilmiah, majalah, penelitian
terdahulu, serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Selain itu, data sekunder juga
diperoleh melalui penelusuran internet terkait dengan data dan informasi yang dibutuhkan.
Teknik pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan pemilahan data
melalui coding, analisis dan penyajian data, dan simpulan serta triangulasi informasi dengan
informan-informan terkait untuk memperoleh gambaran menyeluruh terkait pelaksanaan
pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi dalam
penelitian ini dianalisis dengan mengacu pada teori implementasi dari Grindle (1980, 3).
Berdasarkan teori tersebut, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh isi dari kebijakan yang
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
akan diimplementasikan serta konteks dari implementasi itu sendiri. Dalam hal isi kebijakan,
maka fokus dari penelitian ini adalah implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan
IMTA di Kabupaten Bekasi terkait dengan kepentingan kelompok sasaran yang termuat
dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan IMTA di
Kabupaten Bekasi, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari diberlakukannya Perda No. 3
Tahun 2013, dan sumber daya manusia yang terkait dengan ketersediaan sumber daya
manusia dari implementor pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi.
Selain itu juga akan dijelaskan hal-hal lain terkait isi kebijakan pemungutan Retribusi
Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi yang dilihat dari sisi harmonisasi dengan peraturan
perundang-undangan mengenai IMTA di tingkat Pemerintah Pusat. Adapun pembahasan dari
aspek isi kebijakan adalah sebagai berikut
Arah Kebijakan Pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi
Pada dasarnya pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA akan menjadi sumber PAD
yang membawa manfaat bagi daerah yang memungut sepanjang dalam penerapan aturan yang
menjadi landasan pemungutan memang benar-benar sesuai dengan apa yang telah diatur, dan
tidak menghasilkan tindakan-tindakan di luar aturan yang telah ditetapkan yang nantinya akan
menimbulkan keresahan bagi Wajib Retribusi, dalam hal ini pengguna TKA. Selain itu,
alokasi atau penggunaan dari dana retribusi yang dipungut juga harus dilakukan secara jelas
dan terarah, sesuai dengan tujuan peningkatan kualitas ketenagakerjaan yang nantinya akan
diarahkan untuk menggantikan posisi yang mungkin saat ini masih diduduki oleh TKA.
Selain itu alokasi dari dana retribusi juga sebisa mungkin diarahkan untuk meningkatkan nilai
kompetitif dari TKI, agar perusahaan-perusahaan PMA lebih memilih untuk menggunakan
TKI dibandingkan mengimpor TKA. Dalam melakukan alokasi dana retribusi ini pun, Pemda
diharuskan untuk memiliki transparansi dan akuntabilitas sebagai bentuk pertanggungjawaban
kepada para pengguna TKA yang telah membayarkan dana retribusi.
Pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi dengan dilandasi
Perda No. 3 Tahun 2013 sebenarnya bertujuan untuk mengendalikan TKA yang masuk ke
Kabupaten Bekasi agar jumlahnya tidak mendominasi pasar tenaga kerja di daerah tersebut.
sebagaimana diketahui bahwa TKA yang didatangkan ke Indonesia umumnya memang
memiliki kompetensi dan pengetahuan yang lebih tinggi yang dibutuhkan oleh industri di
Kabupaten Bekasi. Kondisi ini tentu akan membawa konsekuensi yang kurang baik bagi TKI
di Kabupaten Bekasi karena akan memperkecil kesempatan kerja yang mereka miliki.
Sementara apabila dilihat dari kompetensi yang dimiliki, TKI di daerah tersebut masih cukup
jauh tertinggal dan hal ini tentu dapat menjadi alasan bagi perusahaan untuk lebih memilih
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
mempekerjakan TKA. Pengenaan Retribusi Perpanjangan IMTA dengan besaran USD 100
per orang per bulan kemudian diharapkan dapat menjadi semacam hambatan bagi pengguna
TKA untuk mempekerjakan TKA di Indonesia agar dalam jangka panjang perusahaan akan
lebih memilih untuk mempekerjakan TKI karena kualitas yang dimiliki sudah jauh lebih baik,
dan tidak berbeda jauh dengan kualitas TKA.
Dalam praktiknya, diberlakukannya Perda No. 3 Tahun 2013 sendiri memiliki
konsekuensi yang dapat diibaratkan seperti dua mata pisau. Di satu sisi, Perda mengenai
Retribusi Perpanjangan IMTA ini diimplementasikan dengan tujuan untuk mengendalikan
jumlah TKA yang masuk dan bekerja di Indonesia, khususnya yang pengguna TKA-nya
berada dalam satu lokasi kerja yakni Kabupaten Bekasi. Sehingga, keberadaan perusahaan-
perusahaan PMA di Kabupaten Bekasi dapat memberikan lebih banyak kesempatan kerja bagi
TKI dibandingkan dengan TKA, atau setidaknya menjaga keseimbangan jumlah TKA dan
TKI yang bekerja. Namun di sisi lain dengan dipungutnya Retribusi Perpanjangan IMTA
maka jenis retribusi ini menjadi penerimaan daerah yang harus memiliki target setiap
tahunnya. Terlebih lagi target yang ditetapkan tentu akan selalu ditingkatkan setiap tahunnya.
Namun apabila ditelaah lebih jauh, pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten
Bekasi pada kenyataannya telah sedikit memiliki pergeseran tujuan dari yang pada awalnya
bersifat pengendalian menjadi pencapaian target penerimaan. Hal ini dapat dilihat dari
kurangnya ketegasan dari Disnaker Kabupaten Bekasi selaku implementor dalam
mengimplementasikan klausul-klausul dalam aturan, yang pada dasarnya terkait erat dengan
tujuan utama dari pemungutan retribusi tersebut, bahwa Disnaker Kabupaten Bekasi sejauh
ini belum melakukan tindakan yang tegas dalam bentuk pengawasan setelah pengguna TKA
membayarkan Retribusi Perpanjangan IMTA. Akibatnya di lapangan terjadi kondisi yang
tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, salah satunya adalah bahwa kegiatan pendampingan
yang dilakukan oleh TKI untuk setiap satu orang TKA tidak selalu dilaksanakan oleh
perusahaan pengguna TKA. Akibatnya, transfer ilmu yang seharusnya dilakukan dari TKA
kepada TKI tidak terlaksana dengan baik. Kondisi-kondisi tersebut tentu akan menghambat
tercapainya tujuan utama dari pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA, yakni peningkatan
kualitas ketenagakerjaan di Kabupaten Bekasi. Apabila Disnaker Kabupaten Bekasi tidak
benar-benar melaksanakan evaluasi dan monitoring atas program-program dan aktivitas yang
seharusnya dilakukan oleh pengguna TKA setelah Retribusi Perpanjangan IMTA dibayarkan,
dapat dipastikan tujuan utama pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten
Bekasi akan sangat sulit dicapai.
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Sumber Daya Manusia Implementor Pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di
Kabupaten Bekasi
Berdasarkan amanat Perda No. 3 Tahun 2013, pemungutan Retribusi Perpanjangan
IMTA di Kabupaten Bekasi dilaksanakan oleh Disnaker Kabupaten Bekasi. Disnaker dalam
hal ini memegang peranan yang cukup sentral karena seluruh proses perpanjangan IMTA,
termasuk proses pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA dilakukan oleh instansi tersebut.
Dengan peranan yang sentral dalam pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA, maka sudah
seharusnya SDM yang dimiliki oleh Disnaker Kabupaten Bekasi dapat diandalkan dari segi
kualitas maupun kuantitas. Namun pada kenyataannya jumlah SDM yang dimiliki oleh
Disnaker Kabupaten Bekasi masih belum memadai secara kuantitas, baik dalam bidang
pelayanan maupun bidang pengawasan. Dalam bidang pelayanan perpanjangan IMTA, masih
terdapat kekurangan jumlah petugas sehingga sebagai konsekuensinya petugas di bagian
pelayanan harus memperpanjang jam kerjanya agar IMTA perpanjangan dapat diterbitkan
sesuai waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan tersebut
dapat dikatakan sudah tepat karena pelayanan terhadap masyarakat, dalam hal ini pengguna
TKA, harus tetap menjadi prioritas. Terlebih lagi dalam rangka memperoleh IMTA
perpanjangan tersebut, pengguna TKA sudah membayar retribusi yang apabila dikaitkan
dengan teori license and permit fees (Zorn, 1991, 138) merupakan biaya pengganti atas proses
penerbitan IMTA perpanjangan. Sehingga sudah menjadi hal yang wajar apabila penerbitan
IMTA perpanjangan tetap sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan bagaimana pun kondisi yang dihadapi oleh implementor.
SDM lainnya yang juga memegang peranan penting dalam pemungutan Retribusi
Perpanjangan IMTA adalah pihak Pengawas Ketenagakerjaan. Pengawas Ketenagakerjaan
Disnaker Kabupaten Bekasi melaksanakan fungsi pengawasan untuk memastikan tidak ada
penyalahgunaan maupun penyimpangan yang dilakukan oleh pengguna TKA. Dengan
peranan tersebut maka sudah seharusnya juga jumlah dari Pengawas Ketenagakerjaan
memadai untuk melaksanakan tugasnya. Namun sangat disayangkan hingga saat ini jumlah
Pengawas Ketenagakerjaan di Kabupaten Bekasi masih sangat kurang bila dibandingkan
dengan jumlah perusahaan yang mempekerjakan TKA di wilayah tersebut, di mana jumlah
Pengawas Ketenagakerjaan yang hanya berjumlah 28 orang harus mengawasi 400 perusahaan
pengguna TKA dan 4.000 perusahaan di Kabupaten Bekasi secara keseluruhan. Hal ini tentu
dapat menyebabkan tidak optimalnya pengawasan yang dilakukan. Untuk menyikapi kondisi
tersebut, sejauh ini Disnaker Kabupaten Bekasi memanfaatkan personil selain Pengawas
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
dengan dibekali surat fungsional pengantar kerja yang ditandatangani oleh Kepala Dinas.
Upaya tersebut sudah dapat dikatakan tepat untuk mengatasi kondisi-kondisi darurat. Namun
cara ini tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang karena personil yang
dibekali surat fungsional pengantar kerja tersebut tidak memiliki kewenangan sebesar
Pengawas Ketenagakerjaan. Fungsional selain Pengawas hanya memiliki kewenangan sebatas
untuk melakukan wawancara kepada bagian personalia dari perusahaan pengguna TKA.
Sehingga pengawasan yang dilakukan tetap menjadi tidak optimal.
Exit Permit Only (EPO)
Berdasarkan Permenakertrans No.12 Tahun 2013 untuk mempekerjakan TKA di
Indonesia, perusahaan harus memiliki RPTKA yang memuat tentang identitas perusahaan
beserta nama dan jumlah TKA yang dipekerjakan, dan jangka waktu penggunaan TKA yang
bersangkutan. RPTKA menjadi dasar bagi pemerintah untuk memungut retribusi
perpanjangan IMTA dengan jumlah satu tahun pembayaran di muka. Namun pada faktanya,
di lapangan banyak terjadi kondisi di mana TKA bekerja tidak sesuai dengan RPTKA yang
telah disahkan, dan kembali ke negara asal sebelum jangka waktu bekerja di Indonesia habis.
Kondisi ini disebut dengan exit permit only (EPO). Kondisi EPO kemudian membawa
konsekuensi tersendiri bagi dana Retribusi Perpanjangan IMTA yang telah disetorkan kepada
pemerintah daerah. Menurut pihak Disnaker Kabupaten Bekasi, terdapat setidaknya dua
mekanisme yang dapat diterapkan atas dana Retribusi Perpanjangan IMTA apabila terjadi
kondisi EPO. Mekanisme pertama adalah dengan pengembalian dana retribusi (restitusi) atas
dana yang jangka waktunya belum terpakai, dan mekanisme kedua adalah dengan pengalihan
dana retribusi kepada TKA lain yang masih bekerja di pengguna TKA yang sama.
Mekanisme restitusi atas Retribusi Perpanjangan IMTA yang telah dibayarkan oleh
pengguna TKA dilakukan atas dana retribusi yang belum terpakai oleh TKA yang
bersangkutan. Apabila pada saat permohonan perpanjangan IMTA seorang TKA diharuskan
untuk membayar retribusi di muka untuk jangka waktu 12 bulan, dengan dasar jangka waktu
kerja dalam RPTKA, maka Disnaker Kabupaten Bekasi akan terlebih dahulu melihat berapa
bulan jangka waktu yang telah terpakai. Sedangkan sisa dari jumlah bulan yang belum
terpakai akan dikalikan dengan USD 100, dan akan dikembalikan ke pihak pengguna TKA.
Mekanisme pengalihan juga hampir sama dengan restitusi, di mana sisa jumlah bulan dalam
satu tahun yang tidak terpakai oleh TKA untuk bekerja akan dikalikan dengan USD 100.
Namun, sisa dana ini tidak dikembalikan ke rekening perusahaan melainkan dialihkan untuk
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
TKA lain dari perusahaan yang sama, yang juga akan melakukan perpanjangan. Sehingga
perusahaan hanya akan menambah kekurangan pembayaran untuk TKA yang mendapat
pengalihan tersebut.
Pada dasarnya, mekanisme terkait EPO diimplementasikan oleh Pemda Kabupaten
Bekasi karena dianggap memberikan kemudahan kepada pengguna TKA. Sejauh ini, sudah
banyak pengguna TKA memilih untuk menggunakan mekanisme pengalihan dibandingkan
restitusi karena mekanisme tersebut dinilai lebih mudah dan efisien. Efisiensi dalam hal ini
terkait dengan waktu pengurusan. Dengan melakukan pengalihan dana Retribusi
Perpanjangan IMTA kepada TKA yang masih bekerja di perusahaan yang sama dan juga akan
melakukan perpanjangan, maka waktu yang dibutuhkan lebih singkat karena pengguna TKA
hanya tinggal membayar kekurangan dana retribusi dari sisa jumlah bulan yang telah terpakai
oleh TKA sebelumnya. Namun tidak semua pengguna TKA mengetahui adanya mekanisme
pengalihan tersebut sehingga mereka hanya menggunakan mekanisme pengembalian.
Hal ini menunjukkan bahwa ternyata tidak semua pengguna TKA mengetahui bahwa
ada mekanisme pengalihan untuk TKA yang melakukan EPO karena pada kenyataannya di
lapangan, mekanisme yang telah diberlakukan oleh Pemda Kabupaten Bekasi terkait dengan
pengurusan TKA yang akan melakukan EPO sejauh ini belum diatur secara tertulis dalam
peraturan perundang-undangan maupun turunannya, termasuk Perda No.3 Tahun 2013. Perda
No.3 Tahun 2013 hanya secara tersirat mengatur dalam Pasal 14 ayat (4) bahwa
pengembalian kelebihan pembayaran retribusi akan langsung diperhitungkan untuk melunasi
utang retribusi apabila pengguna TKA masih mempunyai utang retribusi lainnya. Namun
dengan tidak adanya peraturan yang jelas mengenai EPO maka Disnaker Kabupaten Bekasi
dapat dikatakan belum sepenuhnya antisipatif dalam melihat kemungkinan adanya EPO
tersebut. Mekanisme restitusi dan pengalihan atas dana Retribusi Perpanjangan IMTA yang
belum terpakai tersebut secara teknis diberlakukan oleh Disnaker Kabupaten Bekasi karena
kondisi yang terjadi di lapangan.
Dengan demikian sejauh ini peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat
maupun daerah, dalam hal ini Kabupaten Bekasi, masih belum mengakomodasi kondisi yang
sebenarnya sudah sering kali terjadi, yakni kondisi EPO. Kondisi demikian membawa
konsekuensi pada ketidakpastian dari tata cara dan prosedur yang seharusnya dijalankan bagi
pengguna TKA. Bahkan seharusnya aturan mengenai EPO dijelaskan hingga hal yang paling
teknis karena menyangkut prosedur yang panjang, dan terlebih lagi menyangkut PAD
Kabupaten Bekasi. Dengan adanya alternatif pengalihan maupun restitusi atas TKA yang
melakukan EPO, maka akan melibatkan lebih banyak instansi dan berimplikasi pada
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
berkurangnya penerimaan daerah. Sehingga dengan tidak adanya klausul mengenai EPO ini
akan merugikan kedua belah pihak, baik pengguna TKA maupun Kabupaten Bekasi.
Restitusi Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi
Restitusi Retribusi Perpanjangan IMTA merupakan bentuk pengembalian atas
kelebihan pembayaran Retribusi Perpanjangan IMTA kepada Pemda Provinsi maupun Pemda
kabupaten/kota. Untuk daerah Kabupaten Bekasi sendiri, restitusi atas Retribusi Perpanjangan
IMTA diatur di dalam Pasal 14 Perda No. 3 Tahun 2013. Dalam pembahasan ini, restitusi atas
Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari sisi
konsep, dan dari sisi peraturan yang mengatur mekanisme restitusi tersebut. Sejauh ini,
kondisi restitusi dilakukan sebagai konsekuensi atas adanya TKA yang melakukan EPO.
Sehingga restitusi yang dilakukan oleh pengguna TKA adalah untuk mengupayakan
pengembalian dana Retribusi Perpanjangan IMTA yang tersisa atau belum digunakan masa
berlakunya oleh TKA yang sudah kembali ke negaranya.
Dengan adanya proses restitusi dalam dana Retribusi Perpanjangan IMTA ini, maka
sudah jelas bahwa harus ada peraturan yang secara teknis mengatur tentang bagaimana alur
permohonan restitusi yang harus diikuti oleh pengguna TKA yang akan melakukan
permohonan restitusi tersebut. Hal ini telah diatur dalam Pasal 14 ayat (7) yang mengatur
bahwa tata cara restitusi atas retribusi Perpanjangan IMTA lebih lanjut diatur dalam peraturan
bupati. Namun sangat disayangkan hingga saat ini, peraturan bupati yang mengatur tata cara
restitusi tersebut belum dibuat sehingga menimbulkan ketidakpahaman dari pengguna TKA
maupun agent yang selama ini ditugaskan oleh perusahaan untuk melakukan proses
pengurusan perpanjangan IMTA dalam mengajukan permohonan restitusi, serta adanya
ketidakseragaman dalam segi waktu pelayanan dan jangka waktu pengembalian yang
diberikan kepada pengguna TKA yang melakukan pengurusan langsung dengan pengguna
TKA yang menggunakan jasa agent.
Kondisi-kondisi yang telah diuraikan sebenarnya merupakan konsekuensi dari tidak
adanya aturan yang jelas mengenai tata cara dan prosedur restitusi sendiri yang berakibat pada
tidak dimilikinya standar pelayanan yang baku oleh Disnaker sebagai pihak pemungut
Retribusi Perpanjangan IMTA sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk
melakukan pemrosesan dokumen untuk kepentingan restitusi. Dari uraian tersebut dapat
dikatakan bahwa dalam hal permohonan restitusi atas Retribusi Perpanjangan IMTA di
Kabupaten Bekasi, sudah seharusnya diatur dalam peraturan bupati yang memang mengatur
hal-hal yang paling teknis dari proses permohonan restitusi tersebut. Disnaker Kabupaten
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Bekasi tidak dapat mempertahankan kondisi ini dalam jangka waktu yang panjang karena
restitusi pada dasarnya membawa konsekuensi yang penting bagi beberapa hal. Konsekuensi
yang pertama adalah tentu bagi kepastian hukum untuk pengguna TKA yang mengajukan
permohonan restitusi. Dengan tidak adanya payung hukum yang jelas terkait tata cara dan
prosedur yang berlaku, tentu akan menimbulkan keresahan bagi pengguna TKA. Terlebih lagi
terkait dengan efisiensi waktu dan biaya yang harus dikorbankan untuk mengajukan
permohonan restitusi tersebut. Dengan belum diberlakukannya aturan teknis dari pengajuan
permohonan restitusi tentu akan ada resiko terjadinya penyimpangan yang akan sangat
mungkin dilakukan oleh petugas yang terlibat dalam proses pengurusan, misalnya mengarah
kepada pungutan liar untuk pengurusan dokumen permohonan restitusi karena pihak
pengguna sendiri tidak mengetahui bagaimana prosedur yang sebenarnya harus dilakukan,
dan instansi mana saja yang terlibat atau harus diajukan permohonan untuk proses restitusi
ini. Hal tersebut tentu akan menjadi bumerang bagi pihak Disnaker karena berimplikasi pada
citra buruk pelayanan yang diberikan oleh Disnaker, dan citra buruk Pemda Kabupaten Bekasi
yang dianggap koruptif terutama apabila pengguna TKA yang bersangkutan merupakan
perusahaan PMA. Konsekuensi yang ketiga adalah dalam hal PAD Kabupaten Bekasi sendiri.
Apabila kondisi-kondisi apa yang bisa diajukan permohonan restitusi tidak segera ditetapkan
melalui peraturan bupati, maka tidak akan ada batasan yang jelas atas proses restitusi tersebut.
Akibat yang sangat mungkin terjadi adalah pengguna TKA akan meminta restitusi dalam
berbagai kondisi yang mungkin tidak terduga sebelumnya oleh Pemda Kabupaten Bekasi,
sementara Disnaker Kabupaten Bekasi tidak memiliki payung hukum untuk membatasi hal
tersebut. Kondisi yang demikian tentu akan menimbulkan kerugian bagi daerah Kabupaten
Bekasi, karena terdapat PAD yang harus ditarik kembali dari kas daerah.
Konsekuensi-konsekuensi di atas jelas mempertegas bahwa sebenarnya restitusi atas
Retribusi Perpanjangan IMTA sendiri merupakan kondisi yang dilematis karena di satu sisi
dengan tidak adanya aturan teknis yang jelas yang mengatur tata cara dan prosedur serta
kriteria kondisi yang dapat diajukan permohonan restitusi tentu membawa konsekuensi besar
bagi PAD Kabupaten Bekasi karena pada dasarnya retribusi tersebut telah dimasukkan ke
dalam APBD dari Kabupaten Bekasi. Apabila restitusi tersebut selalu dilakukan terutama atas
kondisi EPO yang sifatnya tidak terduga, tentu akan menyebabkan ketidakstabilan bagi PAD
Kabupaten Bekasi karena jumlahnya dapat terus berkurang seiring dengan permohonan
restitusi yang diajukan oleh pengguna TKA. Namun di sisi lain, apabila restitusi tidak
dilakukan maka seolah telah terjadi pemungutan retribusi atas objek yang sebenarnya tidak
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
ada dengan asumsi bahwa adanya jangka waktu yang tidak dimanfaatkan oleh TKA yang
bersangkutan untuk bekerja di Kabupaten Bekasi.
Kondisi dilematis tersebut pada dasarnya dapat dikembalikan pada tataran konseptual
dari pengenaan retribusi sendiri, bahwa secara konseptual retribusi merupakan harga yang
harus dibayarkan oleh seseorang kepada pemerintah atas pelayanan maupun barang yang
disediakan oleh pemerintah, yang dinikmati oleh orang tersebut. Lebih spesifik, Retribusi
Perpanjangan IMTA yang masuk ke dalam jenis retribusi perizinan tertentu yang merupakan
harga yang harus dibayar oleh seseorang atas izin yang diberikan oleh pemerintah untuk suatu
kegiatan. Artinya, seseorang harus membayar ketika orang tersebut mendapatkan keuntungan
atau benefit berupa izin yang dikeluarkan pemerintah untuk kegiatan yang akan
diselenggarakan. Meskipun apabila ditinjau ke dalam konsep license and permit fees,
pengenaan Retribusi Perpanjangan IMTA ini memang tidak bersifat voluntary melainkan
bersifat wajib (compulsory) karena apabila pengguna TKA tidak membayarkan dana retribusi
tersebut berarti Disnaker tidak dapat menerbitkan IMTA perpanjangan. Apabila IMTA
perpanjangan tidak dimilikioleh TKA yang masa berlaku IMTA awalnya sudah habis, maka
konsekuensi yang harus ditanggung adalah deportasi.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa dalam tataran konseptual, restitusi atas
Retribusi Perpanjangan IMTA menjadi satu hal yang janggal mengingat konsep retribusi
dalam penetapan harga sendiri telah memperhitungkan biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah untuk pemberian izin tersebut. Artinya, atas harga yang telah dibayarkan oleh
pengguna TKA di muka sebagai dana Retribusi Perpanjangan sudah menjadi biaya yang
menutup cost Pemda Kabupaten Bekasi untuk mengeluarkan izin selama jangka waktu satu
tahun, sesuai dengan masa berlakunya IMTA perpanjangan, dan dana ini menjadi janggal
apabila harus dikembalikan kepada pengguna dengan salah satu alasan bahwa TKA yang
dipekerjakan ternyata melakukan EPO sehingga waktu bekerjanya tidak sesuai dengan
RPTKA yang dilampirkan pada proses perpanjangan IMTA.
Pengawasan Terhadap TKA di Kabupaten Bekasi
Pengawasan terhadap TKA diatur dalam Pasal 18 ayat (1) sampai (3) Perda No.3
Tahun 2013. Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa pengawasan dilakukan oleh Disnaker
melalui kerjasama dengan pihak Imigrasi, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan
instansi lain yang terkait. Instansi-instansi tersebut kemudian disatukan dalam sebuah tim
Koordinasi Pengawasan Orang Asing (SIPORA). Pengawasan yang dilakukan oleh SIPORA
bersifat lebih luas dibandingkan dengan pengawasan yang dilakukan secara langsung oleh
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Kabupaten Bekasi. Pihak imigrasi dalam hal ini
melakukan pengawasan terkait dengan penerbitan visa untuk bekerja (TA-01) dan penerbitan
kartu izin tinggal sementara (KITAS) (TA-02). Sehingga untuk masalah penyalahgunaan visa
kunjungan yang digunakan untuk bekerja, pihak imigrasi dalam Tim SIPORA yang
melakukan fokus pengawasan. Sementara jika ada TKA yang ditemukan oleh Pengawas
Ketenagakerjaan tidak memiliki izin untuk tinggal dan bekerja di Kabupaten Bekasi, maka
Polres Kabupaten Bekasi dalam hal ini unit Polisi Orang Asing (POA) akan melakukan
penangkapan untuk kemudian dilakukan deportasi terhadap orang asing yang bersangkutan.
Dengan peranan SIPORA terkait dengan pengawasan terhadap orang asing dan TKA
di Kabupaten Bekasi, maka keberadaan tim ini sangat penting fungsinya untuk mendukung
pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi. Namun fakta di lapangan
menunjukkan kondisi yang berbeda, bahwa sampai saat ini Tim SIPORA tersebut belum juga
dibentuk tanpa alasan yang jelas. Belum dibentuknya tim ini menunjukkan bahwa
implementasi yang dilakukan oleh Disnaker Kabupaten Bekasi belum sejalan dengan Perda
No. 3 Tahun 2013 dalam hal pengawasan yang terkait dengan pemungutan Retribusi
Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi. Padahal pengawasan yang dilakukan oleh Tim
SIPORA yang sifatnya harus terintegrasi antara satu instansi anggota dengan instansi anggota
lainnya. Informasi yang dimiliki oleh tiap instansi anggota tim juga tentu sudah harus
terintegrasi agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan tindakan atas orang asing maupun
TKA yang bekerja di Kabupaten Bekasi dalam hal terjadi pelanggaran maupun tidak terjadi
pelanggaran. Apabila waktu untuk pembentukan tim ini masih belum dipastikan dan terus-
menerus ditunda, maka implikasi yang akan terjadi adalah kemungkinan pelanggaran yang
akan dilakukan oleh instansi-instansi yang menjalankan fungsi pengawasan itu sendiri. Hal ini
tentu akan merugikan pihak pengguna TKA dan TKA yang bersangkutan.
Konteks Implementasi Kebijakan Pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi
Pada dasarnya proses implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik yang berkembang di Indonesia. Hal ini
dikarenakan keberadaan TKA di Indonesia merupakan salah satu bentuk dari perwakilan
negara-negara investor yang menanamkan modalnya melalui perusahaan-perusahaan yang
salah satunya bergerak di bidang industri. Untuk itu, sebagai wilayah yang memiliki kawasan
industri yang cukup besar kehadiran TKA di Kabupaten Bekasi juga akan sangat dipengaruhi
oleh kondusivitas sosial dan politik di Indonesia secara umum. Untuk itu, dalam menetapkan
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
target penerimaan Retribusi Perpanjangan IMTA, Disnaker Kabupaten Bekasi sangat
memperhatikan dan mempertimbangkan adanya kemungkinan kondisi EPO pada TKA yang
bekerja di Kabupaten Bekasi.
Penerimaan yang sangat dipengaruhi oleh iklim sosial politik di Indonesia tersebut
membuat Disnaker Kabupaten Bekasi melakukan sejumlah strategi. Sejauh ini strategi yang
telah dilakukan untuk memaksimalkan penerimaan dari TKA yang tercatat sedang bekerja di
wilayahnya adalah dengan melakukan sosialisasi kepada perusahaan-perusahaan pengguna
TKA di Kabupaten Bekasi dan melakukan kunjungan ke perusahaan pengguna TKA tersebut.
Strategi yang Sosialiasi tersebut diadakan dalam bentuk forum terbuka di kawasan-kawasan
industri yang berada di Kabupaten Bekasi. Perusahaan-perusahaan, terutama yang merupakan
pengguna TKA tersebut diundang oleh Disnaker Kabupaten Bekasi untuk diberikan informasi
terkait proses perpanjangan IMTA yang dana kompensasinya sudah dialihkan ke Pemda
Kabupaten Bekasi dalam bentuk Retribusi Perpanjangan IMTA
Namun peserta sosialisasi yang datang ke forum sebanyak 100 perusahaan untuk lima
kawasan tidak pernah tercapai. Jumlah perwakilan perusahaan yang hadir tidak signifikan,
yakni hanya 37 perusahaan dan maksimal 57 perusahaan. Dengan kondisi demikian, maka
Disnaker kemudian menjalankan strategi lainnya untuk melakukan sosialisasi kepada
perusahaan pengguna TKA. Strategi yang dilakukan oleh Disnaker untuk menjamin
kelancaran pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA adalah dengan memberikan informasi-
informasi yang diperlukan secara langsung pada saat proses pengurusan kepada pengguna
TKA maupun agent yang diutus pengguna TKA untuk mengurus perpanjangan IMTA,
terutama terkait dengan penyetoran dana retribusi tersebut agar tidak lagi ada kesalahan
pembayaran. Sosialisasi yang dilakukan secara langsung biasanya juga dilengkapi dengan
surat pemberitahuan dari Disnaker yang ditujukan kepada pengguna TKA. Dalam proses
sosialisasi secara langsung, agent juga memegang peranan yang cukup penting dalam hal
penyebaran informasi. Disnaker menggunakan bantuan agent-agent tersebut untuk
menyampaikan surat pemberitahuan kepada pengguna TKA yang diurus oleh agent tersebut
karena dianggap akan lebih efisien dalam hal waktu. Dengan jumlah petugas pemungutan
Retribusi Perpanjangan IMTA di Disnaker Kabupaten Bekasi yang kurang memadai, terlebih
dengan kondisi pekerjaan yang tumpang tindih tentu membuat kapabilitas dari Disnaker
dalam proses sosialisasi menjadi tidak maksimal. Untuk itu, cara yang demikian dapat
dikatakan sudah sangat membantu mengingat jumlah perusahaan yang harus diberikan
informasi jauh lebih banyak dibandingkan personil Disnaker sendiri.
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Selanjutnya, strategi lain yang dilakukan oleh Disnaker Kabupaten Bekasi terkait
dengan pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA adalah dengan dilakukannya kunjungan
oleh Pengawas Ketenagakerjaan ke perusahaan-perusahaan di Kabupaten Bekasi, khususnya
pengguna TKA, untuk memastikan jumlah TKA serta dokumen-dokumen yang dimiliki
masih berlaku dan sesuai dengan aturan. Namun kembali terbentur dengan kuantitas SDM
yang tidak memadai, tentu akan mengakibatkan kurangnya kapabilitas Pengawas
Ketenagakerjaan. Dengan kondisi demikian tentu akan sangat sulit bagi Disnaker Kabupaten
Bekasi untuk mengetahui sebenar-benarnya kondisi di lapangan.
Simpulan
Implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi dapat
disoroti dari dua hal utama, yakni terkait dengan isi kebijakan pemungutan Retribusi
Perpanjangan IMTA dan konteks implementasinya. Dari segi isi kebijakan, fakta di lapangan
menunjukkan bahwa terdapat kekurangan dari SDM implementor pemungutan Retribusi
Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi khususnya pada pegawai yang melayani
perpanjangan IMTA dan Pengawas Ketenagakerjaan. Selanjutnya, terdapat komunikasi yang
kurang baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten Bekasi sehingga terdapat
ketidakselarasan dalam pengimplementasian aturan. Terkait pengawasan, belum dibentuk Tim
SIPORA oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi. Selanjutnya, belum dibuat aturan teknis yang
jelas dan rinci terkait mekanisme Exit Permit Only (EPO) dan mekanisme pengajuan restitusi
Retribusi Perpanjangan IMTA. Selain itu terdapat isu secara konseptual bahwa apabila
dikaitkan dengan teori license and permit fees terdapat kejanggalan dari adanya mekanisme
restitusi atas Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi. Sementara dalam konteks
impementasi kebijakan, untuk memaksimalkan penerimaan pemungutan Retribusi
Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi yang sangat dipengaruhi kondisi sosial dan politik
secara umum di Indonesia, Disnaker telah menjalankan strategi sosialisasi dan kunjungan ke
perusahaan pengguna TKA.
Referensi
Bird, Richard M. Local and Regional Revenues: Realities and Prospects. Washington: The Worldbank, 2003.
Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000.
Grindle, Merilee S., ed. Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey: Princeton University Press, 1980.
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Irawan, Prasetya. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, 2006.
Mikesell, John L. Fiscal Administration. Chicago: The Dorsey Press, 1986. Udoji, Chief J.O. The African Public Servant as a Public Maker, Public Policy in Africa.
Addis Abeba: Africa Association for Publik Administration and Management, 1981. Zorn, C. Kurt. User Charges and Fees, dalam John F. Patersen dan Dennis F. Strachoto
(Eds.), Local Government Finance: Concept and Practices. USA: Government Finance Officers Association, 1991.
Alamsyah, Kamal. “Analisis Pengaruh Sistem Informasi Manajemen Terhadap Efektivitas Kerja Pegawai di Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten Subang.” Kebijakan Jurnal Ilmu Administrasi 9:2(2011): 227-240.
Tambunan, Tulus. “Perkembangan Industri dan Kebijakan Industrialisasi di Indonesia Sejak Orde Baru Hingga Pasca Krisis.” Kamar Dagang Indonesia-Jetro, November 2006. <http://kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-3022-01082008.pdf>
Badan Koordinasi Penanaman Modal.”Perkembangan Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Menurut Sektor, Q-4 2013. <http://www.bkpm.go.id/contents/p16/statistics/17#yr2012>
--------------------------------------------. “Perkembangan Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Menurut Lokasi Triwulan IV 2013.” <http://www.bkpm.go.id/contents/p16/statistics/17#yr2012>
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014