implementasi personalitas hukum internasional …
TRANSCRIPT
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
372
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
IMPLEMENTASI PERSONALITAS HUKUM INTERNASIONAL
ASEAN DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
Dyan Franciska Dumaris Sitanggang
Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan
Jalan Ciumbuleuit 94, Bandung, Jawa Barat
E-mail: [email protected]
Abstrak Berbicara tentang ASEAN, muncul pertanyaan mengenai pentingnya ASEAN bagi
komunitas internasional. Apakah ASEAN terbukti sebagai organisasi internasional atau
hanya forum diplomasi yang tidak memiliki kekuatan saat mengadakan hubungan baik
dengan negara-negara anggota atau entitas hukum internasional lain? Piagam ASEAN
menjadikan ASEAN organisasi berdasarkan aturan hukum dan melegitimasi personalitas
hukumnya. Kembali muncul pertanyaan, bagaimana implementasi personalitas hukum
tersebut? Dalam tulisan ini kerja sama internal dan eksternal ASEAN dianalisis dan
dikaitkan dengan pertanggungjawaban. Penting untuk dijabarkan bidang-bidang yang
masuk kompetensi ASEAN untuk membuat perjanjian internasional. Di samping itu,
kepatuhan negara-negara anggota yang menandatangani persetujuan yang dibentuk di
bawah koordinasi ASEAN perlu diperkuat – demi efektifnya implementasi. Di sisi lain,
dalam ambisi mendorong signifikansi ASEAN secara internasional, integrasi negara-
negara anggota menjadi sangat penting agar ASEAN bisa tetap berkembang sebagai
sebuah organisasi internasional. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif dengan
menganalisis perjanjian internasional yang relevan dengan aktivitas ASEAN.
Kata kunci: ASEAN, personalitas hukum internasional, praktek pembuatan perjanjian.
Abstract
Talking about ASEAN, it always brings up a question, what is the significance of ASEAN
towards the international community? Does ASEAN prove to be much of an international
organization or is it a mere diplomatic forum with lack of power vis-a-vis the Member
States and other entities under international law? ASEAN Charter is no doubt an
achievement for ASEAN that has turned the organization a rules-based one and
legitimized the international legal personality of ASEAN. Again, another question arises,
how is the personality implemented? This paper examines the internal and external
cooperation of ASEAN in the form of its treaty-making practices, interlinks those
practices with the attribution of responsibility, and the need to specify in what area
ASEAN has the competency to make international agreement and ASEAN itself to
strengthen the culture of compliance of its Member States for the agreements signed by
them under ASEAN’s coordinative ambit – for effective implementation. Howbeit strong
the ambition is to make ASEAN an internationally significant entity, the vital point is the
integration of its Member States, and that will make ASEAN survive against the odds to
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
373
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
further grow as an international organization. This is a normative legal research in which
the author analyzes the treaties relating to the treaty-making activities of ASEAN.
Keywords: ASEAN, international legal personality, treaty-making
A. PENDAHULUAN
Pada 1967, lima puluh tiga tahun yang lalu, wakil dari lima negara Asia Tenggara
yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand berkumpul di Bangkok dan
menandatangani deklarasi yang melahirkan sebuah perhimpunan regional baru, dinamai
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa
Asia Tenggara. Deklarasi ini memuat keinginan bersama negara-negara pendiri untuk
hidup dalam perdamaian satu dengan yang lain, menyelesaikan sengketa secara damai,
dan berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama.
Namun merujuk pada sejarah, ASEAN tidak terlahir dalam keadaan yang
kondusif bagi sebuah organisasi internasional.1 Pada masa itu, kawasan Asia Tenggara
rentan konflik (conflict-ridden region)2 dan pada masa awal konsolidasinya sebagai
organisasi regional, ASEAN telah melalui periode penuh konflik dalam negara-negara di
kawasan Asia Tenggara yang mengancam keamanan dan stabilitas kawasan tersebut.
Perang Vietnam yang terjadi di Indochina disebut sebagai satu-satunya ‘perang panas’ di
dunia, yang pada waktu itu dunia dalam suasana persaingan dalam perebutan pengaruh
antara blok Kapitalis dan blok Komunis yang juga disebut ‘perang dingin’.3 Terjadi pula
1 Rodolfo C. Severino, ASEAN: South Asia Background Series No. 10, Singapura: ISEAS Publications,
2008, Hlm. 3-6. 2 Mely Caballero-Anthony, Regional Security in Southeast Asia: Beyond the ASEAN Way, Singapura:
ISEAS Publications, 2005, Hlm. 1-2. 3 Mikio Oishi, Introduction: The ASEAN Way of Conflict Management Under Challenge, dalam Mikio
Oishi (ed.), Contemporary Conflicts in Southeast Asia: Towards a New ASEAN Way of Conflict
Managament, Vol. 3, Singapura, Springer, 2016, Hlm. 3.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
374
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
pemberontakan di beberapa daerah di Indonesia serta beberapa negara anggota ASEAN,
ditambah sengketa teritorial serta masalah diplomatik antara negara anggota ASEAN.
Kendati tidak seperti organisasi regional lain yang dibentuk atas kesamaan sejarah
dan latar belakang,4 setiap negara anggota berupaya mewujudkan tujuan ASEAN. Namun
setelah berhadapan dengan sejumlah permasalahan mulai dari krisis finansial Asia tahun
1997, disadari bahwa prinsip-prinsip lama ASEAN tidak bisa digunakan menghadapi
tantangan baru kala itu. Sepuluh negara anggota ASEAN menghendaki organisasi
tersebut menjadi rules-based organization dari sebelumnya yang hanya menggunakan
Deklarasi Bangkok sebagai legitimasi. Maka terbentuklah Piagam ASEAN setelah
tahapan negosiasi intens, diadopsi pada Konferensi ASEAN ke-13 di Singapura tahun
2007 yang berdasarkan prosedur perjanjian internasional kemudian berlaku pada 15
Desember 2008.5 Melalui Piagam ASEAN, ASEAN diberi personalitas hukum
internasional.6 ASEAN bertransformasi menjadi organisasi dengan kemampuan
bertindak independen. ASEAN diberi kekuasaan membentuk perjanjian,7 dan sruktur
organisasi serta mekanisme pelaksanaannya diperkuat. Meski sejak awal ASEAN telah
4 Singapore Parliamentary Debates Vol. 84, 28 Februari 2008, col. 1181: George Yeo, mantan Menteri Luar
Negeri Singapura menyampaikan, “Europe is built on a common value system which has its roots in Rome,
Greece, and Judeo-Christianity … We do not have that same common history, and in fact ASEAN is marked
by its diversity. The fact that we have such an admixture of religions and political systems, and historical
connections, indicate that the founding basis of ASEAN cannot be the same as that of Europe … Many of
us in ASEAN do not see us ever becoming like the Europe of today, but we can certainly become the Europe
of the Common Market, the Europe of the Economic Community.” 5 Bonkeut Sangsomak, A New Turning Point in the Relations Among the Southeast Asian States, dalam
Tommy Koh, et al. (eds.), The Making of the ASEAN Charter, Singapura: World Scientific Publishing Co.
Pte. Ltd., 2009, Hlm. 159-166. 6 Charter of the Association of Southeast Asian Nations, 20 November 2007, art. 3: “ASEAN, as an inter-
governmental organisation, is hereby conferred legal personality.” 7 Ibid., art. 41(7): “ASEAN may conclude agreements with countries or sub-regional, regional and
international organisations and institutions. The procedures for concluding such agreements shall be
prescribed by the ASEAN Coordinating Council in consultation with the ASEAN Community Councils.”
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
375
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
cukup aktif terlibat dalam hubungan kerja sama baik pada tataran internal (anggota
ASEAN) maupun eksternal dengan negara dan/atau organisasi internasional lain, dengan
adanya Piagam ASEAN, landasan hukum bagi hubungan kerja sama tersebut dipertegas.
Masalah yang muncul setelah dibentuknya Piagam ASEAN adalah negara-negara
anggotanya masih tetap bertindak secara kolektif sebagai anggota ASEAN dan tidak
menyerahkan hak penuh kepada ASEAN untuk bertindak secara independen. Hal ini tentu
akan berdampak pada pertanggungjawaban hak dan kewajiban yang lahir dari kerja sama
tersebut. Ketika negara-negara anggota bertindak secara kolektif, perjanjian kerja sama
ditandatangani perwakilan negara-negara anggota ASEAN, dan bukan oleh ASEAN
sendiri. Hal ini berarti, negara-negara anggotanya yang secara langsung menikmati hak
serta mengemban kewajiban dari perjanjian tersebut, bukan ASEAN sebagai pribadi
hukum internasional independen. Sebagai organisasi internasional dengan kepribadian
hukum internasional, sudah sepatutnya ASEAN bertindak secara mandiri dalam rangka
mengadakan hubungan internasional, termasuk dalam membuat perjanjian internasional.
B. METODE PENELITIAN
Dalam tulisan ini ditinjau status ASEAN sebagai entitas hukum internasional dan
pengimplementasian personalitas hukumnya yang salah satunya dalam bentuk pembuatan
perjanjian internasional. Sejauh apa kapasitas ASEAN untuk bertindak independen dan
bagaimana konsekuensi hukum ketika ASEAN mengadakan hubungan baik secara
internal maupun eksternal melalui perjanjian internasional? Penelitian ini dilakukan
secara yuridis normatif dengan menganalisis sumber-sumber hukum internasional,
khususnya perjanjian internasional yang relevan dengan aktivitas ASEAN.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
376
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
C. PEMBAHASAN
1. ASEAN Sebagai Organisasi Internasional: Suatu Tinjauan Umum
Pada awal sejarah hukum internasional, negara dianggap sebagai subyek utama
hukum internasional dan entitas lain tidak diberikan personalitas hukum internasional.8
Namun dunia telah bertransformasi menjadi ‘global village’9 seiring meningkatnya
aktivitas lintas batas negara, sehingga diperlukan solusi untuk menanggulangi masalah
yang muncul dari aktivitas tersebut. Keterhubungan membuat negara-negara menjadi
semakin saling membutuhkan sehingga pembentukan organisasi internasional menjadi
sebuah keniscayaan. Muncul paradoks bahwa untuk bisa melaksanakan fungsi dan
mempertahankan kemandiriannya, negara-negara harus bekerja sama karena efek
globalisasi. Kerja sama tersebut lalu difasilitasi dengan pembentukan organisasi-
organisasi internasional. Namun tidak berarti kedaulatan negara dikesampingkan.10
Negara tetap sebagai pemeran utama dalam hubungan internasional, di mana negaralah
yang membentuk organisasi. Lahirnya organisasi internasional merupakan salah satu
karakteristik masyarakat modern yang dibentuk sesuai kebutuhan.11
8 Henry G. Schermers, et al., International Institutional Law: Unity within Diversity, hlm. 986 (Martinus
Nijhoff Publishers, Boston, 2011); Lihat juga David J. Bederman, The Souls of International
Organizations: Legal Personality and the Lighthouse at Cape Spartel, 36 Va. J. Int. L. 275, 275-377, 1996;
Sejarah konsepsi hanya negara yang memiliki personalitas dibahas dalam Roland Portmann, Legal
Personality in International Law, New York: Cambridge University Press, 2010, Hlm. 42-79. 9 Schermers, ibid., hlm. 1; Chimni menyebutnya ‘global state’ dalam B. S. Chimni, International
Institutions Today: An Imperial Global State in the Making, 15 Eur. J. Int. L. 1, 1-37, 2004. 10 Penjabaran kedaulatan, globalisasi dan international governance lihat J. Samuel Barkin, International
Organizations: Theories and Institutions, New York: Palgrave Macmillan, 2006, Hlm. 5-14. 11 Proses lahirnya organisasi internasional lihat Henry G. Schermers, et al. (eds.), Proliferation of
International Organizations: Legal Issues (Kluwer Law International, Den Haag, 2001) dan Schermers,
supra no. 12, hlm. 986-988; Reparations for Injuries Suffered in the Service of the United Nations, Advisory
Opinion, (1949) I.C.J. Rep. 174, Hlm. 178. [selanjutnya disebut Reparations]
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
377
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
Istilah organisasi internasional merujuk pada perhimpunan negara-negara yang
dibentuk dan didasarkan pada suatu perjanjian internasional yang memuat tujuan
bersama, diperlengkapi dengan organ-organ khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi
tertentu dalam organisasi, dan pembentukannya berdasarkan hukum internasional.12
Konstituennya kemudian menjelma menjadi bagian hukum organisasi internasional.13
Dengan konstituen tersebut, negara-negara dapat memberikan personalitas hukum
internasional secara eksplisit yakni kapasitas untuk bertindak sebagai subyek hukum14
yang terpisah dari negara-negara pembentuknya. Personalitas dapat pula dilihat dari
kekuasaan yang diberikan dan fungsi organisasi tersebut ketika tidak ada klausula yang
secara jelas menyatakan pemberian personalitas internasional.15 Dalam kasus
Reparations, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa dengan memiliki personalitas
internasional, bukan berarti organisasi itu disamakan dengan negara, tetapi dengan
personalitas tersebut organisasi dipandang sebagai subjek hukum yang sah dengan hak
dan kewajibannya.16 Hak dan kewajiban apa saja yang diberikan akan sesuai dengan
atribusi kekuasaan dan tujuan pembentukan dan fungsi organisasi tersebut.
12 Schermers, supra no. 12, hlm. 36-47; Jan Klabbers, An Introduction to International Institutional Law,
hlm. 7-13 (Cambridge University Press, New York, 2002); Dalam Vienna Convention on the Law of
Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986, 21
Maret 1986, 25 I.L.M. 543, art. 2(i), organisasi internasional didefinisikan sebagai organisasi
antarpemerintah (inter-governmental). 13 Rudolf L. Bindschedler, International Organization: General Aspects dalam Rudolf Bernhardt (ed.),
Encylopedia of Public International Law: Instalment 5, Hlm. 120 (Elsevier Science Publishers B.V.,
Belanda, 1983); Rosalyn Higgins, Problems & Process: International Law and How We Use It, Hlm. 46
(Oxford University Press, Oxford, 2006); Portmann, op.cit., Hlm. 7-12; C. F. Amerasinghe, Principles of
the Institutional Law of International Organization, Edisi Ke-2, New York: Cambridge University Press,
2005, Hlm. 21. 14 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Edisi Ke-6, Oxford: Oxford University Press, 2003,
Hlm. 57. Lihat pula Higgins, op.cit., Hlm. 39-55. 15 Reparations, Op.cit., Hlm. 179 16 Ibid.,
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
378
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
Ketika menyatakan bahwa PBB memiliki personalitas internasional meskipun
tidak eksplisit tercantum dalam Piagam, Mahkamah Internasional memberikan empat
alasan yang dapat dijadikan patokan dalam menentukan apakah suatu organisasi adalah
subyek hukum internasional17 yang dapat disimpulkan menjadi dua poin: apakah negara-
negara anggota yang membentuk organisasi telah menetapkan fungsi dan tujuannya dan
memberikannya kompetensi untuk melaksanakan fungsi dan mencapai tujuan tersebut;
dan apakah organisasi dapat bertindak mandiri dan diberi kapasitas untuk bertindak
sebagai subyek hukum internasional bagi negara anggota, dan entitas di luar organisasi.
ASEAN, sebagai organisasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, jelas
adalah organisasi regional yang tidak membuka keanggotaan bagi negara-negara yang
tidak berada di kawasan tersebut. Melalui Piagam ASEAN, organisasi ini menyatakan
diri sebagai organisasi antar-pemerintah,18 karena ASEAN bersifat koordinatif dan bukan
organisasi supranasional. Karakteristik organisasi antar-pemerintah memang
menekankan pada sifat koordinatif, yaitu pengambilan keputusan dilakukan oleh
perwakilan pemerintah, dan dalam hal-hal tertentu pemerintah dari masing-masing negara
anggota tersebut tidak bisa dinyatakan terikat ketika mereka tidak menghendaki,19
misalnya dalam keadaan di mana apa yang hendak disepakati bertentangan dengan
kepentingan nasional. Organisasi antar-pemerintah menekankan pada kesetaraan,
sehingga pengadopsian suatu keputusan membutuhkan persetujuan negara-negara
tersebut. Sifat kolaboratif tersebut menjelaskan mengapa, dalam area-area tertentu yang
17 Ibid., Hlm. 178-179. 18 ASEAN Charter, Op.cit., art. 3. 19 Schermers, op.cit., Hlm. 55.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
379
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
sifatnya sensitif seperti hak asasi manusia (HAM), negara-negara anggota belum
sepenuhnya memberi kekuasaan bertindak kepada ASEAN.20
Berdasarkan teori organisasi sebagai subjek hukum, personalitas internasional dan
klasifikasinya, eksistensi ASEAN dapat dikaji secara lebih mendalam. Jelaslah bahwa
ASEAN merupakan perkumpulan negara-negara dengan tujuan yang jelas dan melalui
Piagam ASEAN dibentuk organ-organ yang dijalankan oleh wakil dari negara-negara
anggota dengan fungsi masing-masing.21 Bahkan sebelum adanya Piagam ASEAN,
ASEAN sudah memiliki Sekretariat yang didirikan tahun 1976.22 Melalui organ-organ
ASEAN, decision-making dipercepat. Tanggung jawab pengambilan keputusan
diserahkan pada pimpinan ASEAN, termasuk voting bila perlu, untuk isu-isu yang tidak
terselesaikan karena konsensus tidak tercapai di level bawah.23 Komite Perwakilan Tetap
di Jakarta, Indonesia, dibentuk untuk mempercepat proses pengambilan keputusan dalam
berbagai isu yang membutuhkan persetujuan negara-negara anggota.
Meski belum sepenuhnya, dalam bidang tertentu dapat dikatakan ada pemisahan
kompetensi antara ASEAN dengan anggotanya. Contohnya dalam bidang ekonomi
diadopsi Framework Agreements for Enhancing ASEAN Economic Cooperation,24 terkait
20 Rodolfo C. Severino, Southeast Asia In Search of an ASEAN Community: Insights from the Former
ASEAN Secretary General, Singapura: ISEAS Publications, Singapura, 2006, Hlm. 151. 21 ASEAN Charter, Op.cit., chap. IV (organs), art. 7-15. 22 Agreement on the Establishment of the ASEAN Secretariat, 24 Februari 1976, diakses pada
http://asean.org/?static_post=asean-secretariat-basic-documents-agreement-on-the-establishment-of-the-
asean-secretariat-bali-24-february-1976-2 pada 29 September 2020. 23 Rodolfo C. Severino, The Year in ASEAN: The Charter, Trade Agreements, and the Global Economic
Crisis, 10 Southeast Asian Affairs 60, 61, 2010. [selanjutnya disebut Severino, The Year in ASEAN] 24 Framework Agreements on Enhancing ASEAN Economic Cooperation, 28 Januari 1992, diakses di
http://www.asean.org/storage/images/2012/Economic/AFTA/Common_Effective_Preferential_Tariff/Fra
mework%20Agreements%20on%20Enhancing%20ASEAN%20Economic%20Cooperation%20.pdf pada
29 September 2020.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
380
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
liberalisasi perdagangan, kerja sama industri dan foreign direct investment.25 Di sini
nampak kompetensi ASEAN mengatur kerja sama ekonomi anggotanya. Meskipun tidak
memuat kewajiban hukum yang mengikat, negara-negara anggota kemudian
mencantumkan aturan untuk mengimplementasikan mandat Kerangka Kerja dalam
Piagam.26 Pada tahun 1995 juga diadopsi Treaty on the Southeast Asia Nuclear Weapon-
Free Zone yang mulai berlaku pada 27 Maret 1997 setelah tujuh negara memasukkan
instrumen ratifikasi dan/atau aksesi.27
Chesterman mengkritisi bahwa meski personalitas internasional diberi secara
eksplisit melalui Piagam, implementasinya cenderung terbatas,28 karena
penandatanganan perjanjian dalam kerja sama eksternal tidak semuanya dilakukan oleh
ASEAN. Namun, setidak-tidaknya ASEAN dapat membuat perjanjian dengan negara dan
entitas lain, di mana prosedurnya ditentukan Dewan Koordinasi ASEAN setelah
konsultasi bersama Dewan-Dewan Komunitas.29 Kerja sama eksternal sudah dilakukan
ASEAN bahkan sejak sebelum Piagam terbentuk.
Beberapa wujud kerja sama ASEAN dengan entitas di luar ASEAN baik negara
ataupun organisasi lainnya antara lain, pada tahun 2005 ASEAN membuat persetujuan
dengan United States Patent and Trademark Office tentang kerja sama terkait hak atas
25 Paul Davidson, The ASEAN Way and Role of Law in ASEAN Economic Cooperation. 8 Sing. Y.B. Int’l.
L. 165, 168-169, 2004; Simon Chesterman, Does ASEAN Exist? The Association of Southeast Asian Nations
as an International Legal Personality, 12 Sing. Y.B. Int’L. L. 199, 205, 2008. 26 ASEAN Charter, Op.cit., art. 1(5). 27 Treaty on the Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone, 15 Desember 1995, (mulai berlaku pada 27
Maret 1997), diakses di hhttp://agreement.asean.org/media/download/20131230234315.pdf pada 29
September 2020. 28 Chesterman, Op.cit., Hlm. 207. 29 ASEAN Charter, Op.cit., art. 41(7).
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
381
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
kekayaan intelektual.30 Tahun 2006 ASEAN menjadi observer di PBB setelah diterima
dengan suara bulat oleh Majelis Umum,31 dan Majelis Umum mengadopsi resolusi
terpisah terkait kerja sama PBB dengan ASEAN.32 Pada tahun 2007, ASEAN dan PBB
membentuk MoU yang ditandatangani oleh Sekretaris-Jenderal ASEAN dan PBB dan
diadopsi oleh Majelis Umum.33 Tahun 2009, ASEAN melanjutkan kerja sama ASEAN-
Australia Development Cooperation Program (AADCP) tahap kedua,34 yang sebelumnya
telah ada sejak tahun 1974 dalam bentuk ASEAN-Australia Economic Cooperation
Program (AAECP) dan AADCP tahap pertama. Namun untuk hal-hal sensitif, negara-
negara anggota masih menandatangani MoU ataupun perjanjian dengan kapasitas
individual masing-masing sebagai negara, sehingga ASEAN belum benar-benar
independen dalam mengadakan persetujuan dengan entitas lain.35
30 Arrangement Between the ASEAN Secretariat and the United States Patent and Trademark Office
(USPTO) on Cooperation in the Field of Intellectual Property Rights, 19 April 2005, diakses di
http://treaty.kemlu.go.id/uploads-pub/5428_ASEAN-2005-0214.pdf pada 29 September 2020. 31 United Nations General Assembly, Observer Status for the Association of Southeast Asian Nations in the
General Assembly, U.N. Doc. A/RES/61/44, 4 Desember 2006. 32 United Nations General Assembly, Cooperation Between the United Nations and the Association of
Southeast Asian Nations, U.N. Doc. A/RES/61/46, 4 Desember 2006. 33 Memorandum of Understanding Between the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) and the
United Nations (UN) on ASEAN-UN Cooperation, 27 September 2007, diakses di https://asean.org/wp-
content/uploads/images/21918.pdf pada 29 September 2020; United Nations General Assembly,
Cooperation Between the United Nations and the Association of Southeast Asian Nations, U.N. Doc.
A/RES/63/35, 26 November 2008. 34 Memorandum of Understanding Between the Association of Southeast Asian Nations and the Government
of Australia on the Second Phase of the ASEAN-Australia Development Cooperation Program (AADCP
II), 23 Juli 2009, diakses di http://asean.org/wp-
content/uploads/images/2013/external_relations/Australia/agreements/MOUONAADCPII.pdf pada 29
September 2020. 35 Media release yang keluar bersamaan dengan penandatanganan Piagam menyatakan bahwa hal-hal apa
saja yang bisa dan tidak bisa dilakukan ASEAN terkait personalitas internasionalnya akan didiskusikan
lebih lanjut dan dicantumkan dalam protokol tambahan setelah penandatanganan Piagam, namun sampai
sekarang protokol tersebut masih belum dibentuk, dalam Media Release – ASEAN Leaders Sign ASEAN
Charter, Singapura, 20 November 2007, diakses di http://asean.org/?static_post=media-release-asean-
leaders-sign-asean-charter-singapore-20-november-2007 pada 29 September 2020.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
382
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
Dari uraian di atas, ada dua konklusi dari tinjauan umum ASEAN sebagai
organisasi internasional ini. Yang pertama, bahwa meskipun personalitas internasional
baru secara eksplisit diberikan dalam Piagam ASEAN, bukan berarti ASEAN tidak
memilikinya sebelumnya. Praktek ASEAN sebagai organisasi internasional telah
dilakukan sejak sebelum Piagam terbentuk. Piagam ASEAN merupakan penegasan dalam
instrumen hukum bahwa ASEAN adalah organisasi internasional dengan personalitas.36
Yang kedua, bahwa meski status ASEAN sebagai organisasi internasional tidak dapat
dipungkiri, eksistensinya cenderung dipertanyakan karena masih ada pembagian tipe
persetujuan yang ditandatangani negara-negara dan yang ditandatangani Sekretaris-
Jenderal ASEAN dalam hal hubungan kerja sama dengan entitas lain di luar ASEAN.
Terlepas dari itu, Piagam ASEAN merupakan pencapaian signifikan ASEAN.
Selain secara formal menjadikan ASEAN sebagai international person, sebagai
pengemban hak dan kewajiban, ASEAN pun menjadi organisasi dengan instrumen
hukum sehingga tindakan-tindakannya berdasar pada aturan yang telah disepakati negara-
negara anggotanya sendiri, di mana sebelumnya ASEAN dimaksudkan hanya sebagai
komunitas sosial dan bukan komunitas hukum.37 Di sisi lain, negara-negara anggota
berkomitmen mematuhi norma dan aturan dalam Piagam pada ranah internasional dan
wajib membentuk peraturan nasional agar norma dan aturan tersebut dapat diterapkan di
36 Chesterman, op.cit., Damos Dumoli Agusman, Treaty Making Power in ASEAN: Legal Analysis on
ASEAN Practices, 14 Opinio Juris 9, 11, 2013, Hlm. 200. 37 Paul Davidson, ASEAN: The Evolving Legal Framework for Economic Cooperation, Singapura: Times
Academic Press, 2002, Hlm. 29.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
383
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
wilayah nasional masing-masing negara anggota.38 Dengan adanya Piagam ASEAN,
culture of compliance atau budaya kepatuhan dikembangkan melalui organ-organ yang
mengkoordinasikan bagaimana keputusan serta persetujuan ASEAN diimplementasi.39
Sekretariat Nasional ASEAN pada Kementerian Luar Negeri di masing-masing negara
memiliki tugas koordinasi sedangkan Sekretaris-Jenderal bertugas melaporkan kepada
pimpinan ASEAN mengenai kepatuhan (compliance) dan ketidakpatuhan (incompliance)
negara-negara anggota terhadap keputusan dan persetujuan yang telah dibuat tersebut.
2. ASEAN in Practice: Analisis Kerja Sama ASEAN serta Konsekuensi Hukumnya
Pada umumnya, ada beberapa hak yang dimiliki oleh organisasi internasional
dalam aktivitasnya di ranah internasional, salah satunya hak membuat perjanjian
internasional dengan negara-negara bukan anggota organisasi sebatas tujuan dan fungsi
organisasi,40 juga dengan organisasi lainnya. Sama halnya dengan ASEAN, di mana
selain menjadi organisasi kerja sama antarnegara anggota atau antara ASEAN dengan
negara anggota, ASEAN juga dapat bekerja sama dengan pihak di luar ASEAN.41 Kerja
sama tersebut dapat dilakukan ASEAN sesuai Pasal 41(7) Piagam. Dengan tidak
38 ASEAN Charter, op.cit., art. 5(2): “Member States shall take all necessary measures, including the
enactment of appropriate domestic legislation, to effectively implement the provisions of this Charter and
to comply with all obligations of membership.” 39 Ibid., art. 27; Severino, The Year in ASEAN, op.cit., Hlm. 61. 40 Cassese menjabarkan empat hak organisasi, yaitu (1) the right to enter into international agreements with
non-member States on matters within the organization’s province, (2) the right to immunity from
jurisdiction of State courts for acts and activities performed by the organization, (3) the right to protection
for all the organization’s agents acting in the territory of a third State in their official capacity as
international civil servants, dan (4) the right to bring an international claim, dalam Antonio Cassese,
International Law, Edisi Ke-2, Oxford, Oxford University Press, 2005, Hlm. 138-139. 41 ASEAN Charter, Op.cit., art. 41(1): “ASEAN shall develop friendly relations and mutually beneficial
dialogue, cooperation and partnerships with countries and sub-regional, regional and international
organisations and institutions.”
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
384
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
mengesampingkan pentingnya MoU, MoU tidak akan dimasukkan sebagai contoh
perjanjian internasional.42 Dalam tulisan ini kata perjanjian dan persetujuan digunakan
bergantian namun bermakna perjanjian dalam hukum internasional.
Dalam kerangka ASEAN sendiri, ASEAN telah cukup membuktikan
eksistensinya dengan membentuk perjanjian dalam bidang politik-keamanan, ekonomi,
serta sosial-budaya baik antarnegara anggota, atau antara Sekretariat ASEAN dengan
pemerintah negara anggota. Perjanjian-perjanjian tersebut antara lain:
a. Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) on Hosting and Granting
Privileges and Immunities to the ASEAN Secretariat,43 mengatur pemberian
kapasitas hukum kepada Sekretariat ASEAN sesuai hukum Indonesia,
pengaturan keistimewaan dan kekebalan Sekretaris-Jenderal, Deputi
Sekretaris Jenderal dan staf Sekretariat dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya, perlindungan bangunan dan isinya, dan lain-lain.
42 Kerja sama internal dan eksternal ASEAN selain perjanjian atau persetujuan dapat pula menggunakan
penamaan MoU dan penamaan lainnya. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bobot kerja sama dalam substansinya,
namun tidak mengurangi hak dan kewajiban. Namun umumnya, MoU jarang memuat kewajiban hukum
sehingga konsekuensi atas pelanggaran komitmen dalam MoU lebih bersifat politik atau moral. Lihat
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Hlm. 45-46 (Cambridge University Press, Cambridge,
2000); Daniel Seah, Problems Concerning the International Law-Making Practice of ASEAN: A Reply to
Chen Zhida, 6 Asian J. Int’l. L. 265, 273, 2015; Alan Boyle, et al., The Making of International Law,
Oxford, Oxford University Press, 2007, Hlm. 212. 43 Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) on Hosting and Granting Privileges and Immunities to the ASEAN Secretariat, berlaku
20 November 2012, diakses di http://agreement.asean.org/media/download/20140416010338.pdf pada 29
September 2020.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
385
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
b. Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters,44 telah mulai berlaku
bagi semua negara anggota karena syarat pengesahan yang telah terpenuhi.
Dengan adanya perjanjian ini, negara-negara anggota difasilitasi dalam kerja
sama pemberian bantuan dalam penyelesaian masalah pidana.
c. ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and
Children,45 bertujuan untuk mencegah dan mengatasi permasalahan
perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak, menjamin agar
pelaku tindak pidana tersebut diproses secara hukum oleh negara dengan
yurisdiksi, memberi perlindungan korban termasuk di dalamnya pengaturan
mengenai repatriasi, dan mengatur area-area yang masuk dalam kerja sama
negara anggota termasuk kerja sama lintas batas (cross-border), kerja sama
penegak hukum, dan ekstradisi.
d. ASEAN Convention on Counter Terrorism,46 menyediakan kerangka kerja
sama kawasan untuk menanggulangi, mencegah, dan menekan terorisme serta
kerja sama antara penegak hukum, sebagai contoh dalam bentuk pertukaran
informasi dan kerja sama lintas batas. Kejahatan yang dimaksud dalam
perjanjian ini pun dikaitkan dengan kejahatan dalam perjanjian-perjanjian
internasional yang lain (dalam Pasal II ayat (1)).
44Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20160901074559.pdf pada 29 September 2020. 45 ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children, berlaku 8 Maret
2017, diakses di http://agreement.asean.org/media/download/20160303122945.pdf pada 29 September
2020. 46ASEAN Convention on Counter Terrorism, berlaku 27 Mei 2011, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20131229172152.pdf pada 29 September 2020.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
386
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
e. ASEAN Agreement on Customs,47 yang mengadopsi standar-standar
internasional untuk melindungi sistem rantai pasok global dan memuat
kerangka kerja sama dalam hal pengaturan bea cukai strategi pemajuan dan
perlindungan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
f. ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalisation of Passenger Air
Services,48 yang mengatur liberalisasi dan integrasi jasa penerbangan negara-
negara ASEAN sebagai bagian dari implementasi MEA, salah satunya dengan
adanya pengaturan designation and authorisation of airlines yang mana tidak
ada pembatasan maskapai yang akan melakukan penerbangan internasional
selama sesuai ketentuan keamanan dan keselamatan penerbangan dalam
Perjanjian ini dan perjanjian-perjanjian lain yang relevan.
g. ASEAN Petroleum Security Agreement,49 dengan tujuan untuk memperkuat
upaya baik di tingkat nasional maupun multinasional (kerangka kerja sama
regional ASEAN) dalam hal ketahanan minyak bumi (security of petroleum
supply), serta langkah-langkah untuk meminimalisir terjadinya keadaan
darurat terkait ketahanan minyak bumi.
h. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution,50 sebagai bentuk
penerapan ASEAN Co-operation Plan on Transboundary Pollution yang
47ASEAN Agreement on Customs, berlaku 7 November 2014, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20140117163238.pdf pada 29 September 2020. 48ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalisation of Passenger Air Services, berlaku 30 Juni
2011, diakses di http://agreement.asean.org/media/download/20140117165827.pdf pada 29 September
2020. 49ASEAN Petroleum Security Agreement, berlaku 22 Maret 2013, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20140119100436.pdf pada 29 September 2020. 50ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, berlaku 25 November 2003, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20190702041932.pdf pada 29 September 2020.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
387
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
diadopsi tahun 1995, memuat prinsip-prinsip hukum internasional publik
antara lain kedaulatan dan tanggung jawab negara-negara dalam
mengeksploitasi sumber dayanya agar tidak merugikan negara lain dalam hal
polusi asap lintas batas negara.
ASEAN telah membentuk banyak persetujuan internal tetapi sebagian belum
berlaku karena ada negara anggota yang belum meratifikasi. Persetujuan yang dijadikan
contoh di atas adalah beberapa yang sudah diratifikasi atau diaksesi semua negara
anggota, dan substansinya dapat dianalisis dari segi hukum perjanjian internasional.
Penggunaan istilah member State/States dan/atau Party/Parties menunjukkan bahwa
persetujuan ASEAN itu memberi kewajiban hukum kepada masing-masing negara
anggota sebagai pihak sehingga menunjukkan kompetensi koordinasi ASEAN. Indonesia
sendiri sudah memiliki aturan yang dijadikan pedoman dalam hal mutual legal assistance
in criminal matters (MLA) dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan
Timbal Balik Dalam Masalah Pidana yang dijadikan pedoman membuat perjanjian MLA
Indonesia dengan negara lain, tetapi dalam ASEAN sudah ada Perjanjian MLA sehingga
negara-negara anggota dapat menggunakan Perjanjian tersebut.
Meski demikian, banyak persetujuan dan perjanjian yang belum berlaku karena
belum sepenuhnya memperoleh pernyataan terikat semua negara anggota, masih dalam
bentuk tidak mengikat seperti MoU atau deklarasi, atau sama sekali belum dibahas dan
dibentuk instrumennya. Sebagai contoh, dalam bidang HAM, ASEAN telah memiliki
ASEAN Human Rights Declaration (AHRD) namun banyak dikritisi, salah satunya
karena penggunaan ‘…in accordance with national law’ menunjukkan HAM yang
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
388
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
dilindungi hanya sesuai yang ada dalam hukum nasional,51 memicu inkonsistensi antara
HAM dalam AHRD dan hukum HAM internasional. AHRD hanya berbentuk deklarasi,
tetapi dapat dilihat sebagai fondasi pembentukan instrumen HAM kelak.
Pada prinsipnya, sebagai konsekuensi personalitas internasional, peraturan yang
dibuat harus bersifat enforceable dan pelanggarannya dapat diadili.52 Bila melihat
penyelesaian sengketanya, sesuai Piagam ASEAN, negara-negara harus menyelesaikan
sengketa secara damai namun mengutamakan negosiasi dan konsultasi, dan beberapa
persetujuan memberi keleluasaan para pihak memilih forum dalam menyelesaikan
sengketa, contohnya pengaturan penyelesaian sengketa dalam Perjanjian MLA. ASEAN
sendiri telah menyediakan fasilitas dalam bentuk protokol penyelesaian sengketa, yaitu
Protocol to the ASEAN Charter on Dispute Settlement Mechanisms (Protokol DSM)
menjabarkan penyelesaian sengketa ASEAN dalam bentuk konsultasi, jasa baik, mediasi,
konsiliasi, dan arbitrase secara komprehensif, tetapi belum diratifikasi Filipina dan
Singapura,53 sementara untuk persetujuan ekonomi dibentuk ASEAN Protocol on
Enhanced Dispute Settlement Mechanism (Protokol Vientiane) yakni mekanisme Panel
dan Badan Banding seperti sistem World Trade Organization (WTO), dan sudah
diratifikasi semua negara anggota. Kelemahan penyelesaian sengketa ASEAN yaitu
penggunakan relations-based system untuk menyelesaikan sengketa dan bukan rezim
51 ASEAN Human Rights Declaration, 18 November 2012. 52 James Crawford, International Law as Discipline and Profession, 106 Proceedings of the Annual
Meeting (American Society of International Law) 471, 472, 2012. 53 Protocol to the ASEAN Charter on Dispute Settlement Mechanisms, status instrumen ratifikasi, diakses
di http://agreement.asean.org/media/download/20200128121018.pdf pada 29 September 2020.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
389
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
berdasar hukum.54 Mekanisme Protokol Vientiane bersifat opsional dan belum pernah
digunakan negara-negara anggota ASEAN dan pada prakteknya negara-negara anggota
yang terlibat sengketa perdagangan malah menggunakan sistem WTO.
Selanjutnya, terkait kerja sama eksternal, dari perspektif hukum setidak-tidaknya
pembedaan karakteristik hubungan eksternal ASEAN dibagi dua, yaitu hubungan antara
negara-negara anggota ASEAN dengan pihak ketiga di mana status setiap negara anggota
adalah subyek hukum internasional independen dan ‘ASEAN’ hanya digunakan untuk
merujuk kepada masing-masing negara anggota secara kolektif; dan hubungan antara
ASEAN (baik atas nama ASEAN ataupun atas nama Sekretariat ASEAN) sebagai subyek
hukum internasional yang terpisah dari anggotanya dengan pihak ketiga.55 Ada beberapa
MoU yang ditandatangani oleh Sekretaris-Jenderal tetapi pada pembukaannya
menyebutkan bahwa MoU tersebut dibuat mewakili negara-negara ASEAN, contohnya
MoU ASEAN – China tentang Kerja Sama Kebudayaan, namun substansinya tidak
merefleksikan perjanjian internasional (sebagai contoh, penggunaan ‘partisipan’ dan
bukan ‘pihak’) dan tidak memberi kewajiban hukum bagi negara-negara anggota.
Pada prakteknya, karakteristik pertama muncul dalam persetujuan bidang
ekonomi seperti Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation
among the Governments of the Member Countries of the Association of Southeast Asian
Nations and the Republic of Korea, Framework Agreement on Comprehensive Economic
54 Joseph Wira Koesnaidi, et al., For a More Effective and Competitive ASEAN Dispute Settlement
Mechanism, Paper for WTI/SECO Project, 37, 2014. 55 Chen Zhida, ASEAN and Its Problematic Treaty-Making Practice: Can International Organizations
Conclude Treaties “on Behalf of” Their Member States?, 4 Asian J. Int’l. L. 391, 397-398, 2014; Agusman,
op.cit., Hlm. 17.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
390
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
Cooperation between the Republic of India and the Association of Southeast Asian
Nations, dan Agreement between the Governments of the Member Countries of the
Association of Southeast Asian Nations and the Government of the Russian Federation
on Economic and Development Cooperation. Instrumen-instrumen tersebut
ditandatangani masing-masing wakil pemerintah negara-negara anggota, dan ‘ASEAN’
digunakan bukan untuk merujuk pada ASEAN, melainkan hanya sebagai penyingkatan
untuk menyebut semua negara anggota yang menandatangani persetujuan secara kolektif.
Karakteristik kedua muncul dalam bidang yang beragam tetapi sebagian besar berbentuk
MoU, antara lain ASEAN – China Memorandum of Understanding on Cultural
Cooperation, Memorandum of Understanding between the Governments of the Member
Countries of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) and the Government of
the People’s Republic of China on Cooperation in the Field of Non-traditional Security
Issues, Memorandum of Understanding between the Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) Secretariat and the Government of the People’s Republic of China on
Agricultural Cooperation, Memorandum of Understanding between the Governments of
the Member Countries of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) and the
World Organization for Animal Health (OIE) on Technical Cooperation, dan
Cooperation Agreement between the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)
Secretariat and the International Labour Office. Instrumen-instrumen tersebut
ditandatangani Sekretaris-Jenderal ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kerja
sama yang tidak hanya terkait kepentingan regional tetapi juga kepentingan nasional
negara, penandatanganan tidak dilakukan Sekretaris-Jenderal ASEAN tetapi oleh
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
391
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
pemerintah negara anggota. Untuk kerja sama umum dan juga kerja sama Sekretariat
dengan entitas lain ditandatangani Sekretaris-Jenderal.
Pelaksanaan kewajiban hukum dapat dimaknai dalam dua pengertian,56 yang
pertama yaitu kewajiban hukum yang diemban organisasi internasional dengan
personalitas hukum sebagai pihak perjanjian yang diperhadapkan dengan pihak lain.
Ketika membuat perjanjian, organisasi internasional secara sukarela bermaksud
mematuhi kewajiban di dalamnya melalui pengimplementasian kewajiban tersebut.
Kedua, terkait pelanggaran kewajiban yang kemudian menimbulkan tanggung jawab
internasional dari negara atau organisasi internasional terkait. Negara atau organisasi
internasional yang melakukan pelanggaran berhadapan dengan konsekuensi hukum.
Itulah sebabnya dalam praktek penyusunan perjanjian ASEAN, ketika negara-negara
menghendaki agar kewajiban hukum dalam perjanjian diembankan bagi mereka sendiri,
negaralah yang menjadi pihak dan kewajiban diembankan secara individual. Dengan
adanya pemisahan seperti itu, kewajiban dalam persetujuan dapat langsung dikenakan
kepada negara-negara, dengan alasan bahwa pada prakteknya negara-negara lebih mampu
dalam mengimplementasikan kewajiban tersebut dan menyediakan kompensasi finansial
bila diperhadapkan dengan tuntutan pelanggaran kewajiban.57 Dalam perjanjian antara
ASEAN dengan Pemerintah Indonesia, Sekretaris-Jenderal bertindak atas nama
Sekretariat ASEAN dan pemerintah Indonesia bertindak sebagai entitas independen,
meski Indonesia adalah negara anggota ASEAN, sehingga perjanjian tersebut tidak
56 Lihat Jutta Brunee, Enforcement Mechanisms in International Law and International Environmental
Law, 1 Environmental Law Network International Review 3, 3, 2005. 57 Seah, Op.cit., Hlm. 278.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
392
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
memberi kewajiban bagi pihak lain selain Sekretariat ASEAN dan Indonesia. Hal ini
sesuai ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa untuk suatu
perjanjian bisa mengikat bagi negara harus ada persetujuan untuk mengikatkan diri.58
Pada tahun 2011, ASEAN telah membuat ketentuan penyusunan persetujuan
internasional dalam Rules of Procedure for the Conclusion of International Agreements
by ASEAN (ROP) sebagai implementasi amanat dalam Pasal 41(7) Piagam. Dalam ROP
ini, persetujuan internasional ASEAN didefinisikan sebagai berikut:59
“… international agreement by ASEAN … any written agreement, regardless of
its particular designation, governed by international law which creates rights and
obligations for ASEAN as a distinct entity from its Member States.”
namun tidak termasuk “the conclusion of international agreements concluded by all
ASEAN Member States collectively and which create obligations upon individual ASEAN
Member States.”60 Dengan demikian, ASEAN memang dapat membentuk persetujuan
atau perjanjian berdasarkan hukum internasional sebagai entitas independen, dan
diletakkan garis pembedaan antara kewajiban ASEAN dengan negara-negara anggota
secara individual, sehingga untuk persetujuan yang ditandatangani negara-negara
anggota, ASEAN tidak diembankan kewajiban yang sama. Hal ini terkait erat dengan
pertanggungjawaban atas pelanggaran. Meskipun dalam persetujuan-persetujuan di atas
ASEAN bukan merupakan pihak, pembentukannya dilakukan dalam kerangka koordinasi
ASEAN, sehingga logikanya, organ-organ ASEAN juga terlibat di dalamnya dan bisa
58 Vienna Convention on the Law of Treaties, 23 Mei 1969, 1155 U.N.T.S. 331, art. 11. 59 ASEAN Coordinating Council, Rules of Procedure for the Conclusion of International Agreements by
ASEAN, 17 November 2011, Rule 2. [selanjutnya disebut ROP 2011] 60 Ibid., Rule 1(2).
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
393
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
saja terkait apabila didapati pelanggaran atas kesepakatan. Sebagai contoh, dalam
pembentukan persetujuan ekonomi, Dewan Ekonomi ASEAN terlibat dalam koordinasi
dan pengawasan terhadap persetujuan pasar bebas antara negara-negara anggota ASEAN
degan negara lain, seperti China atau Selandia Baru.
Sehubungan dengan tanggung jawab organisasi, Komisi Hukum Internasional
telah membentuk Draft Articles on International Responsibility of International
Organizations yang dimulai tahun 2002 dan diadopsi tahun 2011.61 Dalam Pasal 3,
“Every internationally wrongful act of an international organization entails the
international responsibility of that organization.” Dasar pemberian tanggung jawab pada
organisasi adalah pada personalitas internasionalnya, dan telah diatur dalam hukum
kebiasaan internasional.62 Di dalam Draf tersebut diatur bahwa tindakan lembaga atau
agen dari sebuah organisasi internasional dalam melaksanakan fungsi organisasi tersebut
adalah tindakan dari organisasi itu sendiri, sehingga dapat dimintakan
pertanggungjawaban bila terjadi pelanggaran. Hal ini dikarenakan peran organisasi
internasional dalam hubungan internasional sehingga penting diatur pertanggungjawaban
apabila terjadi pelanggaran norma-norma internasional, serta agar masyarakat
internasional dapat mengidentifikasi dalam hal apa negara dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara individual, dan dalam hal apa pertanggungjawaban
61 Report of the International Law Commission, General Assembly Official Record, 66th Session,
Supplement No. 10, U.N. Doc. A/66/10, Hlm. 54 dst. [selanjutnya disebut Draft ILC IO] 62 Brownlie, op.cit., hlm. 665: “The correlative of legal personality and a capacity to present international
claims is responsibility … when creating institutions states cannot always hide behind the organization
when its activities cause damage to the interests of states or other organizations. General international law
provides criteria according to which an organization may be held to be unlawful in conception and objects
…”; Mirka Möldner, Responsibility of International Organizations: Introducing the ILC’s DARIO, 16 Max
Planck U.N.Y.B. 281, 286-287, 2012.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
394
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
dimintakan kepada organsiasi internasional. Elemen pelanggaran internasional yang
dapat menimbulkan pertanggungjawaban terdapat dalam Pasal 4.
Syarat-syarat bagaimana suatu tindakan dapat diatribusikan kepada organisasi
termuat dalam Pasal 6 sampai 9. Pasal 6 mengatur bahwa tindakan organ atau agen
organisasi internasional dalam pelaksanaan fungsinya dianggap sebagai tindakan
organisasi itu sendiri. Dalam Pasal 7 disebut tindakan organ atau agen negara atau
organisasi internasional yang dilaksanakan berdasarkan kendali atau perintah organisasi
internasional lain adalah tanggung jawab organisasi yang melaksanakan kendali.63
Agusman menjabarkan bahwa hukum internasional tidak mengenal praktek
penyerahan treaty-making capacity yang dimiliki negara kepada subyek hukum
internasional lain di mana subyek hukum tersebut yang akan bertindak untuk dan atas
nama negara dan menyatakan keterikatan negara atas suatu perjanjian, karena kapasitas
tersebut adalah bagian yang terintegrasi dengan kedaulatan negara dan merupakan
domain kekuasaan nasional negara yang bersangkutan.64 Indonesia sendiri belum pernah
meratifikasi perjanjian yang ditandatangani oleh negara atau organisasi lain.
Agusman mengaitkannya dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional (UUPI), di mana dalam hukum Indonesia selain Presiden dan
Menteri Luar Negeri, penandatangan suatu perjanjian mendapat surat kuasa dari
Indonesia dan hanya diberikan kepada pejabat resmi pemerintahan yang mewakili
63 Draft ILC IO, op.cit., komentar untuk pasal 7, para. 10. 64 Agusman, Op.cit., Hlm. 27.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
395
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
Indonesia.65 Dalam ROP, bila diperlukan Sekretaris-Jenderal akan memberi kuasa penuh
kepada yang akan bernegosiasi atau menandatangani suatu persetujuan atas instruksi
Menteri Luar Negeri negara-negara anggota.66 Akan tetapi ketika wakil negara-negara
anggota mengizinkan Sekretaris-Jenderal ASEAN membentuk persetujuan tertentu atau
memberi kuasa penuh kepada wakil yang lain, ini tidak bisa disamakan dengan pemberian
surat kuasa Indonesia kepada pejabat resminya karena secara konstitusional kuasa tidak
diberikan kepada wakil organisasi internasional.67 Dalam UUPI, penandatangan mewakili
Pemerintah Republik Indonesia secara langsung. Pada praktek organisasi internasional
khususnya PBB negara anggota dapat pula memberikan general full powers kepada
permanent representative-nya di organisasi tersebut untuk mempermudah
penandatanganan perjanjian dalam organisasi sehingga tidak perlu diterbitkan berulang
kali, namun pemberian kuasa tersebut tergantung pada pengaturan dalam konstitusi
negara yang bersangkutan dan tindakan terkait pembentukan perjanjian dilaksanakan
berdasarkan instruksi spesifik dari pemerintahnya.68 Praktek ini tidak dilakukan dalam
kerangka ASEAN. Penandatangan persetujuan internal ASEAN dari Indonesia umumnya
dilakukan oleh Menteri Luar Negeri yang tidak membutuhkan surat kuasa.
Maka, apabila ditinjau praktek pembentukan perjanjian internasional ASEAN,
terlepas dari spirit ‘ASEAN Way’ yang sangat politis dan ciri khasnya adalah kompromi,
konsensus, tidak benar-benar menerapkan asas timbal-balik, memilih hal-hal mana yang
65 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, 23 Oktober 2000, pasal 7
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4012). 66 ROP 2011, Op.cit., Rule 9. 67 Agusman, Op.cit., Hlm. 30. 68 Aust, Op.cit., Hlm. 61.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
396
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
menguntungkan kepentingan masing-masing,69 pemisahan kapasitas ketika membentuk
perjanjian juga menunjukkan atribusi pertanggungjawaban apabila kelak terjadi
pelanggaran. Tidak berarti ASEAN sendiri benar-benar terlepas dari konsekuensi hukum,
karena perjanjian-perjanjian tersebut dibentuk dalam kerangka ASEAN yang
mengoordinasi juga melakukan supervisi, sehingga bila elemen-elemen atribusi
terpenuhi, ASEAN juga dapat diembankan tanggung jawab bersama-sama dengan
negara-negara anggota yang menandatangani dan meratifikasi perjanjian.
3. ASEAN for the Future: Prospek Implementasi Personalitas Hukum ASEAN
Bila dibandingkan dengan Uni Eropa yang telah dianggap sebagai organisasi
supranasional, tentu ASEAN masih tidak dapat dipersandingkan mengingat ASEAN dan
Uni Eropa memiliki perbedaan latar belakang. Pada prakteknya ASEAN bersifat
koordinatif dan statusnya tidak lebih tinggi dari negara-negara anggotanya. Namun
kendati menyandang status sebagai organisasi supranasional dan memiliki personalitas
internasional, Komisi Eropa sebagai badan eksekutif Uni Eropa hanya dapat membentuk
perjanjian jika telah diberikan kompetensi secara khusus kepada Dewan Uni Eropa
berdasarkan principle of conferral.70 Negara-negara anggota memegang non-conferred
competences,71 sehingga kompetensi Uni Eropa tidak eksklusif.72
69 Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problems of
Regional Order, New York, Routledge, 2001, Hlm. 47-72. 70 Treaty of Lisbon Amending the Treaty on European Union and the Treaty Establishing the European
Community, 13 Desember 2007, art. 5(1). 71 Ibid., art. 4(1). 72 Consolidated version of the Treaty on the Functioning of the European Union, 13 Desember 2007, art.
2.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
397
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
Dengan demikian, terkait implementasi personalitas internasional ASEAN, tidak
aneh bila ada pemisahan antara perjanjian yang ditandatangani wakil negara-negara
anggota dan yang ditandatangani Sekretaris-Jenderal ketika ditilik dari posisi ASEAN
sendiri sebagai organisasi regional yang koordinatif (bukan supranasional) dan dari aspek
pertanggungjawabannya. Meski implementasi personalitas tidak hanya melalui
persetujuan, kerja sama internal dan eksternal merupakan bentuk implementasi yang vital
bagi organisasi internasional, sehingga yang menjadi inti permasalahan sebenarnya
adalah apakah implementasi itu efektif atau tidak. Dalam Piagam ASEAN, negara-negara
telah menetapkan lima belas tujuan ASEAN, memberi personalitas hukum bagi ASEAN
dan memfasilitasi kerja sama dalam bentuk kekuasaan membentuk instrumen hukum.
Dengan adanya ROP sebagai panduan, negara-negara anggota juga memberi kapasitas
bagi ASEAN dalam mewujudkan tujuan pembentukannya. Seah menyebut ROP sebagai
produk penting yang dihasilkan negara-negara anggota ASEAN sendiri dalam
menjabarkan konsep kompetensi international law-making ASEAN dalam Piagam,73 dan
usaha negara-negara anggota untuk tegas menyatakan posisi ASEAN dalam membentuk
persetujuan dan mengemban hak dan kewajiban hukum vis-a-vis entitas lain.
Untuk semakin meningkatkan peran ASEAN, negara-negara anggota harus
memperkuat ASEAN dari dalam. Dalam hubungan internal, negara anggota harus benar-
benar mengimplementasikan kewajiban dalam persetujuan yang telah diratifikasinya ke
dalam sistem hukum nasional, dan organ-organ ASEAN harus secara berkala memastikan
kepatuhan. Selanjutnya terkait hubungan eksternalnya, dalam Pasal 41(4) Piagam
73 Seah, Op.cit., Hlm. 288.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
398
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
menyatakan bahwa perlu dilakukan koordinasi antara negara-negara anggota yang
dilandaskan pada semangat persatuan dan persaudaraan untuk menentukan posisi yang
sama (common position) dan melaksanakan aktivitas gabungan. Ketentuan ini dijabarkan
lebih lanjut dalam Aturan 4 ROP. Common position negara-negara anggota ASEAN
tersebut akan digunakan sebagai dasar negosiasi dengan subyek hukum internasional
yang lain dalam membentuk sebuah persetujuan internasional. Permasalahannya adalah
berbedanya agenda dan kepentingan nasional dari masing-masing negara anggota yang
menyebabkan sulitnya diraih common position sehingga persetujuan yang diinginkan
menjadi tidak terbentuk, atau meski terbentuk tetapi hanya berupa kesepahaman politik
dan pengaturannya bersifat deklaratif saja (tidak memberi kewajiban hukum).
Terlepas dari pandangan penulis yang menyatakan bahwa substansi MoU
umumnya tidak memuat kewajiban hukum, praktek penyusunan MoU ASEAN perlu
dipandang sebagai bagian dari treaty-making process ASEAN. Namun, penulis
memandang bahwa dengan mengurangi pembentukan MoU dan membentuk persetujuan,
ASEAN menunjukkan komitmen implementasi personalitas hukum internasionalnya
secara lebih efektif. Atas dasar itu, perlu dibentuk instrumen tambahan dalam ROP yang
memuat template standar perjanjian internasional, dan Piagam ASEAN perlu
diamandemen (atau dibuat dalam bentuk additional protocol) untuk memuat hal-hal apa
saja yang menjadi lingkup kekuasaan ASEAN ketika membuat persetujuan. Perlu
kesepakatan secara spesifik oleh negara-negara anggota ASEAN mengenai bidang-
bidang kompetensi di mana ASEAN dapat membuat persetujuan atas nama ASEAN
sebagai organisasi. Penentuan bidang-bidang ini tentu berangkat dari fungsi dan tujuan
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
399
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
pembentukan ASEAN. Dengan adanya lingkup kompetensi, harapannya akan
meminimalisir gesekan politik kepentingan karena suplemen tersebut dibuat atas dasar
kesepakatan negara-negara anggota sendiri dan menjamin sistem pertanggungjawaban.
Negara-negara anggota tetap bisa membentuk persetujuan secara kolektif dalam
koordinasi ASEAN dan ditandatangani masing-masing wakil pemerintah.
Meskipun ROP sudah menjabarkan dengan cukup komprehensif mengenai
prosedur pembuatan persetujuan internasional oleh ASEAN, yang merupakan poin vital
untuk keberlanjutan ASEAN sebagai organisasi internasional adalah integrasi negara-
negara anggota ASEAN sendiri, dan tanpa integrasi tidak mungkin ASEAN bisa aktif
berperan dalam kerja sama dengan subyek hukum internasional yang lain. Belajar dari
Uni Eropa, Peter Gontha (mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik
Indonesia untuk Polandia) menyatakan keprihatinannya melihat persatuan Uni Eropa
yang mulai goyah.74 Dari segi proses, ASEAN memang tidak secepat organisasi yang lain
dan sering disebut sebagai forum diplomasi tanpa kekuatan hukum, namun di satu sisi hal
tersebut merupakan sebuah keuntungan apabila ASEAN dapat tetap mempertahankan
prinsip koordinasi dan memperkuat culture of compliance melalui supervisi. Akan tetapi,
perlu adanya pengaturan yang jelas mengenai hal-hal apa saja yang menjadi wewenang
ASEAN dalam hal pembuatan perjanjian internasional agar implementasi personalitas
hukum ASEAN dapat efektif dilakukan.
74 Peter Frans Gontha, Uni Eropa di Ujung Tanduk, Halaman Opini Kompas edisi Sabtu, 1 April 2017,
Hlm. 7.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
400
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
DAFTAR PUSTAKA
Instrumen Hukum Nasional dan Internasional:
Charter of the Association of Southeast Asian Nations, 20 November 2007.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, 23 Oktober
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012).
Vienna Convention on the Law of Treaties, 23 Mei 1969, 1155 U.N.T.S. 331.
Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations 1986, 21 Maret 1986, 25
I.L.M. 543.
Treaty of Lisbon Amending the Treaty on European Union and the Treaty Establishing
the European Community, 13 Desember 2007.
Consolidated version of the Treaty on the Functioning of the European Union, 13
Desember 2007.
Dokumen Majelis Umum PBB:
Report of the International Law Commission, General Assembly Official Record, 66th
Session, Supplement No. 10, U.N. Doc. A/66/10.
United Nations General Assembly, Observer Status for the Association of Southeast
Asian Nations in the General Assembly, U.N. Doc. A/RES/61/44, 4 Desember 2006.
United Nations General Assembly, Cooperation Between the United Nations and the
Association of Southeast Asian Nations, U.N. Doc. A/RES/61/46, 4 Desember 2006.
United Nations General Assembly, Cooperation Between the United Nations and the
Association of Southeast Asian Nations, U.N. Doc. A/RES/63/35, 26 November
2008.
Kasus Hukum:
Reparations for Injuries Suffered in the Service of the United Nations, Advisory Opinion,
(1949) I.C.J. Rep. 174.
Buku:
Acharya, Amitav, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the
Problems of Regional Order (Routledge, New York, 2001).
Amerasinghe, C. F., Principles of the Institutional Law of International Organization,
Edisi Ke-2 (Cambridge University Press, New York, 2005).
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
401
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
Aust, Anthony, Modern Treaty Law and Practice (Cambridge University Press,
Cambridge, 2000).
Barkin, J. Samuel, International Organizations: Theories and Institutions (Palgrave
Macmillan, New York, 2006).
Bernhardt, Rudolf (ed.), Encylopedia of Public International Law: Instalment 5 (Elsevier
Science Publishers B.V., Belanda, 1983).
Boyle, Alan, et al., The Making of International Law (Oxford University Press, Oxford,
2007).
Brierly, J. L., The Law of Nation, Edisi Ke-5, 1955.
Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, Edisi Ke-6 (Oxford University
Press, Oxford, 2003).
Caballero-Anthony, Mely, Regional Security in Southeast Asia: Beyond the ASEAN Way
(ISEAS Publications, Singapura, 2005).
Cassese, Antonio, International Law, Edisi Ke-2 (Oxford University Press, Oxford,
2005).
Davidson, Paul, ASEAN: The Evolving Legal Framework for Economic Cooperation
(Times Academic Press, Singapura, 2002).
Higgins, Rosalyn, Problems & Process: International Law and How We Use It (Oxford
University Press, Oxford, 2006).
Klabbers, Jan, An Introduction to International Institutional Law (Cambridge University
Press, New York, 2002).
Koh, Tommy, et al. (eds.), The Making of the ASEAN Charter (World Scientific
Publishing Co. Pte. Ltd., Singapura, 2009).
Oishi, Mikio (ed.), Contemporary Conflicts in Southeast Asia: Towards a New ASEAN
Way of Conflict Managament, Vol. 3 (Springer, Singapura, 2016).
Portmann, Roland, Legal Personality in International Law (Cambridge University Press,
New York, 2010).
Schermers, Henry G., et al., International Institutional Law: Unity within Diversity
(Martinus Nijhoff Publishers, Boston, 2011).
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
402
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
Schermers, Henry G., et al. (eds.), Proliferation of International Organizations: Legal
Issues (Kluwer Law International, Den Haag, 2001).
Severino, Rodolfo C., ASEAN: South Asia Background Series No. 10 (ISEAS
Publications, Singapura, 2008).
Severino, Rodolfo C., Southeast Asia In Search of an ASEAN Community: Insights from
the Former ASEAN Secretary General (ISEAS Publications, Singapura, 2006).
Jurnal dan Artikel:
Agusman, Damos Dumoli, Treaty Making Power in ASEAN: Legal Analysis on ASEAN
Practices, 14 Opinio Juris 9, 2013.
Bederman, David J., The Souls of International Organizations: Legal Personality and the
Lighthouse at Cape Spartel, 36 Va. J. Int. L. 275, 1996.
Brunee, Jutta, Enforcement Mechanisms in International Law and International
Environmental Law, 1 Environmental Law Network International Review 3, 2005.
Chesterman, Simon, Does ASEAN Exist? The Association of Southeast Asian Nations as
an International Legal Personality, 12 Sing. Y.B. Int’L. L. 199, 2008.
Chimni, B. S., International Institutions Today: An Imperial Global State in the Making,
15 Eur. J. Int. L. 1, 2004.
Crawford, James, International Law as Discipline and Profession, 106 Proceedings of
the Annual Meeting (American Society of International Law) 471, 2012.
Davidson, Paul, The ASEAN Way and Role of Law in ASEAN Economic Cooperation. 8
Sing. Y.B. Int’l. L. 165, 2004.
Gontha, Peter Frans, Uni Eropa di Ujung Tanduk, Halaman Opini Kompas edisi Sabtu, 1
April 2017.
Koesnaidi, Joseph Wira, et al., For a More Effective and Competitive ASEAN Dispute
Settlement Mechanism, Paper for WTI/SECO Project, 2014.
Möldner, Mirka, Responsibility of International Organizations: Introducing the ILC’s
DARIO, 16 Max Planck U.N.Y.B. 281, 2012.
Seah, Daniel, Problems Concerning the International Law-Making Practice of ASEAN:
A Reply to Chen Zhida, 6 Asian J. Int’l. L. 265, 2015.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
403
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
Severino, Rodolfo C., The Year in ASEAN: The Charter, Trade Agreements, and the
Global Economic Crisis, 10 Southeast Asian Affairs 60, 2010.
Singapore Parliamentary Debates Vol. 84, 28 Februari 2008.
Zhida, Chen, ASEAN and Its Problematic Treaty-Making Practice: Can International
Organizations Conclude Treaties “on Behalf of” Their Member States?, 4 Asian J.
Int’l. L. 391, 2014.
Persetujuan ASEAN:
Agreement on the Establishment of the ASEAN Secretariat, 24 Februari 1976, diakses
pada http://asean.org/?static_post=asean-secretariat-basic-documents-agreement-
on-the-establishment-of-the-asean-secretariat-bali-24-february-1976-2.
Framework Agreements on Enhancing ASEAN Economic Cooperation, 28 Januari 1992,
diakses di
http://www.asean.org/storage/images/2012/Economic/AFTA/Common_Effective_
Preferential_Tariff/Framework%20Agreements%20on%20Enhancing%20ASEAN
%20Economic%20Cooperation%20.pdf.
Treaty on the Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone, 15 Desember 1995, (berlaku
27 Maret 1997), diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20131230234315.pdf.
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, berlaku 25 November 2003,
diakses di http://agreement.asean.org/media/download/20190702041932.pdf.
Arrangement Between the ASEAN Secretariat and the United States Patent and
Trademark Office (USPTO) on Cooperation in the Field of Intellectual Property
Rights, 19 April 2005, diakses di http://treaty.kemlu.go.id/uploads-
pub/5428_ASEAN-2005-0214.pdf.
Memorandum of Understanding Between the Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN) and the United Nations (UN) on ASEAN-UN Cooperation, 27 September
2007, diakses di http://asean.org/wp-content/uploads/images/21918.pdf.
Memorandum of Understanding Between the Association of Southeast Asian Nations and
the Government of Australia on the Second Phase of the ASEAN-Australia
Development Cooperation Program (AADCP II), 23 Juli 2009, diakses di
http://asean.org/wp-
content/uploads/images/2013/external_relations/Australia/agreements/MOUONA
ADCPII.pdf.
Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 2, Desember 2020: 372-404
404
P-ISSN: 1693-4458
E-ISSN: 2598-5906
ASEAN Convention on Counter Terrorism, berlaku 27 Mei 2011, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20131229172152.pdf.
ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalisation of Passenger Air Services,
berlaku 30 Juni 2011, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20140117165827.pdf.
ASEAN Coordinating Council, Rules of Procedure for the Conclusion of International
Agreements by ASEAN, 17 November 2011.
ASEAN Human Rights Declaration, 18 November 2012.
Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN) on Hosting and Granting Privileges and
Immunities to the ASEAN Secretariat, berlaku 20 November 2012, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20140416010338.pdf.
ASEAN Petroleum Security Agreement, berlaku 22 Maret 2013, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20140119100436.pdf
ASEAN Agreement on Customs, berlaku 7 November 2014, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20140117163238.pdf.
ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children,
berlaku 8 Maret 2017, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20160303122945.pdf.
Protocol to the ASEAN Charter on Dispute Settlement Mechanisms, status instrumen
ratifikasi, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20200128121018.pdf.
Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, diakses di
http://agreement.asean.org/media/download/20160901074559.pdf.
Lain-lain:
Association of Southeast Asian Nations, External Relations,
http://asean.org/asean/external-relations/.
Media Release – ASEAN Leaders Sign ASEAN Charter, Singapura, 20 November 2007,
diakses di http://asean.org/?static_post=media-release-asean-leaders-sign-asean-
charter-singapore-20-november-2007.