individu_pakaian wanita aceh
TRANSCRIPT
Inilah wajah hukum dari Pemda di Aceh. Regulasi yang digodok atau dirancang,
diujikan, kemudian disahkan ternyata belumlah sangat matang. Kontroversi, pro dan
kontra semakin mewarnai daerah dengan regulasi-regulasinya. Keefektifan Perda, UU
dan lainnya masih perlu dipertanyakan lagi.
Jika Perda yang dibuat melahirkan instabilitas daerah tersebut, para pembuat peraturan
patut mempertanyakan kembali efektifitas aturan-aturan tersebut.
Perda pelarangan mengenakan pakaian (jeans) ketat di daerah Aceh, tidak menutup
kemungkinan mengandung unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), terkhusus
pada perempuan. Padahal, sudah seyogyanya Perda yang dibuat untuk meninggikan
harkat dan derajat manusia, dalam arti harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM bagi masyarakat. Namun, jika Perda yang
dibuat bermuatan pelanggaran HAM, tentu hal ini akan melahirkan pelanggaran-
pelanggaran HAM yang jauh lebih besar lagi.
Hal ini sudah seharusnya menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Pemda dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat dalam membuat sebuah regulasi. Tidak
buruk, jika sebelumnya Perda yang akan dibuat berdasarkan masukan dan ide-ide dari
masyarakat dan dari berbagai kalangan. Karena Perda yang akan dibuat dan disahkan
terkhusus kepada perempuan kelaknya, mengakomodasi saran serta ide-ide dari
kalangan perempuan pun juga harus diperbanyak dan diperdalam. Hal ini demi
terwujudnya sebuah regulasi yang efektif, yang tidak hanya menyelesaikan gejala suatu
penyakit namun mampu mengobati dan menumpasnya hingga ke akar-akarnya.
Begitu juga dengan Provinsi Sumatra Barat (Sumbar), yang notabene akan
memuarakan syariat Islam ke dalam Perda atau regulasi-regulasi bagi masyarakat
Sumbar. Belajar dari Aceh, juga bukanlah hal yang sia-sia. Iklim-iklim demokrasi dan
jiwa pancasila harus tetap didukung dan ditegakkan. Tidak ada pemaksaan, tidak ada
kesewenang-wenangan, apalagi diskriminasi terutama kepada perempuan.
Munawarah mempercepat laju sepeda motornya, dia harus segera ke kampus karena
akan mempresentasikan tugas kuliah. Meskipun kampus telah mengeluarkan aturan
agar mahasiswi tidak memakai celana jins saat kuliah, Munawarah dan mahasiswi
Universitas Syiah Kuala lainnya tetap membandel. Celana jins tetap menjadi celana
kesukaan mereka saat kuliah.
Selasa (22/5), Munawarah juga masih memakai celana jins meskipun ia akan tampil ke
depan untuk mempresentasikan tugas makalah yang telah dikerjakannya. “Tidak semua
dosen melarang mahasiswi memakai celana jins, beberapa dosen malah cuek dengan
pakaian mahasiswa, makanya saya hari ini memakai celana jins,” ujar Munawarah.
Munawarah yang mengaku berasal dari Kabupaten Bireun Provinsi Aceh tersebut terus
memacu sepeda motor matis miliknya. Dia berharap bisa tiba ke kampus beberapa
menit sebelum kuliah, karena harus membagikan makalah kepada teman satu
kelompok dengannya.
Namun, semua rencana Munawarah gagal, karena saat melintas di Simpang Mesra,
Kota Banda Aceh, Polisi Wilayatul Hisbah (WH) Provinsi Aceh sedang melaksanakan
razia pakaian ketat terhadap pengguna Jalan T Nyak Arif.
Munawarah berusaha kabur dengan menghindari razia tersebut, namun tiga personel
WH berhasil mengadangnya di tengah jalan. Munawarah tidak berhasil menerobos
adangan tersebut. Ia hanya pasrah dan menepikan sepeda motor. “Pak saya lagi buru-
buru, mau masuk kuliah, tolong lepaskan saja saya,” ujar Munawarah kepada personel
WH.
Dua personel WH tidak menghiraukan permintaan Munawarah. WH meminta
Munawarah menghadap dua personel WH lainnya yang bertugas mendata pengguna
jalan yang tidak memakai jilbab atau berpakaian ketat. Setelah didata, Munawarah juga
diharuskan mendengar nasihat dari anggota WH. Nasihat yang diberikan hanya
imbauan agar Munawarah memakai pakaian yang menutup aurat dan tidak memakai
pakaian ketat. Itu untuk kaum perempuan, sementara kaum laki-laki diminta tidak
memakai celana pendek, karena hal tersebut bertentangan dengan syariat islam yang
berlaku di Aceh.
Kepada SH, Munawarah mengaku tidak mempermasalahkan penangkapan yang
dilakukan WH karena dirinya memakai celana jins. “Asal tidak diperlakukan sewenang-
wenang tidak masalah, memang saya yang salah karena memakai pakaian yang tidak
sesuai aturan,” tutur Munawarah saat dimintai tanggapannya.
Munawarah mengatakan memakai celana jins hanya agar lebih leluasa bergerak dalam
mengendarai sepeda motor. “Kalau pakai rok susah bergerak. Pergerakan juga
terbatas, makanya saya memakai celana jins,” tuturnya lagi.
Tidak Efektif
Namun, Munawarah mengatakan, razia yang dilaksanakan Wilayatul Hisbah
merupakan tindakan yang tidak efektif. Menurutnya, polisi syariat sebenarnya harus
mengkritik para pengguna celana ketat mulai dari akhlaknya. “Untuk apa kritik celana
ketat kalau akhlaknya masih sama juga? Untuk apa pakai pakaian muslimah kalau
akhlaknya gak bagus?” ujarnya kepada wartawan.
Ia menambahkan, polisi syariat seharusnya jangan hanya menyasar pengguna pakaian
ketat, tetapi juga membina akhlak. Ia mengaku tidak keberatan dengan razia yang
digelar. “Tidak keberatan sih, kalau cuma gini hanya buang-buang waktu. Seharusnya
mereka membina akhlak juga,” ujarnya.
Lain halnya dengan Siska, salah seorang mahasiswa Unsyiah lainnya. Ia mengatakan
tidak menerima penangkapan yang dilakukan WH, karena menurutnya semua orang
berhak menentukan sendiri pakaian seperti apa yang dipakai. “WH tidak berhak
melarang saya memakai celana ketat. Orang tua saya saja tidak pernah melarangnya,”
tutur Siska.
Siska menyebutkan, seharusnya WH tidak perlu mengurus pakaian orang lain, karena
masih banyak hal lain yang harus diurus seperti perjudian dan perzinaan. “Urus itu dulu,
kalau itu sudah berhasil dibasmi baru tertibkan pakaian warga,” tutur Siska.
Kepala Seksi Penegakan dan Pelanggaran di Kantor Satpol PP dan WH Provinsi Aceh,
Syamsuddin, menyebutkan, puluhan warga Aceh terjaring dalam razia dan sosialisasi
penegakan syariat Islam yang dilakukan tim gabungan yang terdiri dari personel WH,
Satpol PP, TNI, dan Polri di kawasan Simpang Mesra Banda Aceh.
Para perempuan dan laki-laki yang tidak memakai pakaian seperti yang diatur dalam
qanun syariat Islam didata dan mendapat pengarahan agar lebih sopan dalam
berbusana. “Semua yang terjaring telah kami data dan mereka telah menandatangani
surat perjanjian untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar qanun syariat
Islam,” ujar Syamsuddin.
Larangan perempuan bercelana panjang jeans dan ketat, dan ancaman “gunting di
tempat” bagi yang melanggar (Serambi, 27/10/09) menuai pro kontra. Majelis Ulama
Bireuen, memberi dukungan dan menganjurkan supaya mencontoh kebijakan Pemkab
Aceh Barat. Mereka memprotes pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi yang
mengharapkan daerah lain tidak meniru aturan ditetapkan Bupati Aceh Barat, Ramli
MS. Menteri Agama, Suryadharma Ali, menilai aturan itu bersifat lokal, jadi tak ada
masalah.
Sementara, sebagian wanita Aceh Barat sendiri yang dimotori sejumlah organisasi
wanita dan elemen masyarakat tidak setuju. Karena dianggap terlalu kaku dan
membatasi kebebasan bergerak kaum wanita. Ketua MPU Aceh Tgk. Muslim Ibrahim,
menyikapi polemik dengan “moderat”. Menurutnya, perempuan boleh saja memakai
celana panjang, asalkan tidak ketat.
Tampaknya, aturan melarang celana panjang bagi wanita yang digagas Bupati Aceh
Barat, Ramli, sebagai aktualisasi semangat bersyariat Islam begitu besar; hal ini tentu
saja harus kita syukuri. Ide ini juga dianggap dapat menyelesaikan masalah
kecenderungan banyak perempuan Aceh kepada mode pakaian masa kini yang
cenderung “memamerkan” perempuan. Maka gagasan Bupati itu dianggap tepat, paling
kurang sebagai uji publik.
Aurat wanita
Alquran, menyatakan bahwa perempuan harus menutup kepala yang memanjang
sampai ke dada (an-Nur 31). Nabi Muhammad saw, memerincinya, bahwa aurat wanita
adalah seluruh anggota badan, kecuali muka dan telapak tangan. Apakah dengan
menutup seluruh anggota badan seperti dituntut hadis ini berarti seorang muslimah
telah menjalankan syariat Islam?
Ternyata tidak! Karena ada hadis lain yang menyatakan bahwa wanita yang berpakaian
seperti telanjang, berjalan lenggak lenggok, menggoda/memikat, kepala mereka
bersanggul besar dibalut laksana punuk unta; mereka ini tidak akan masuk sorga dan
tidak akan dapat mencium harumnya, padahal keharuman sorga dapat tercium dari
jarak yang jauh (HR Muslim).
Sebetulnya yang dituntut oleh Islam bukanlah rok dan jilbab yang sekedar
“membungkus” kulit tubuh sehingga tidak kelihatan, atau “melapisi” badan dengan kain
tipis sehingga warna kulit dan bentuk tubuh tampak transparan. Tetapi “menutup”
bagian-bagian tubuh wanita, sehingga ciri kewanitaan pada tubuhnya tidak diketahui
orang lain, baik warna kulit maupun bentuk atau lekukan-lekukan tubuh. Dengan cara
itulah Islam menjaga kehormatannya sebagai wanita. Artinya, tujuan perintah menutup
aurat adalah untuk menghormati dan melindungi wanita itu sendiri.
Jadi, prinsip dasarnya adalah menutup aurat sebagai penghormatan dan perlindungan
kepada wanita dan itulah yang wajib hukumnya. Sedangkan model, warna, dan bahan
yang digunakan untuk menutup aurat itu bukanlah sebuah kewajiban, tetapi merupakan
pilihan (mubah) yang disesuaikan menurut situasi dan kondisi. Maka ada perbedaan
antara hukum menutup dengan teknik menutup.
Menutup aurat itu wajib. Teknisnya mubah, namun dengan tetap pada prinsip bahwa
kita sedang “menutup”, bukan “membungkus”. Dan hukum Islam itu elastis (lentus,
luwes). Sifat ini harus ada sebagai konsekuensi hukum Islam berlaku universal, tidak
dibatasi waktu dan tempat. Tentang jual beli, misalnya, hanya ada empat ayat hukum
yang berhubungan dengan jual beli, yaitu al-Baqarah: 275, an-Nisa: 29, al-Baqarah:
282, dan al-Jum`ah: 9.
Ayat-ayat tersebut menuangkan hukum bolehnya jual beli, persyaratan keridaan kedua
belah pihak, larangan riba, dan larangan jual beli waktu azan Jumat. Rasul juga
menjelaskan beberapa aspek lain yang berlaku pada masa beliau. Selebihnya, tradisi
dan perkembangan perekonomian sangat menentukan bentuk jual beli. Semuanya
dapat berjalan dalam Islam asalkan prinsip-prinsip yang dikemukakan ayat-ayat
tersebut tidak dilanggar.
Begitu juga aturan berpakaian. Islam hanya menuangkan prinsip menutup aurat yang
bukan sekedar “membungkus” tapi benar-benar menunjukkan penghormatan kepada
kewanitaan seseorang dan perlindungan terhadapnya. Selain itu, tradisi, perkembangan
kebutuhan masyarakat, perkembangan mode dan bahan pakaian sangat menentukan
corak bagaimana bentuk yang muncul dari upaya menutup aurat itu. Dengan kata lain,
bentuk pakaian sudah masuk ke ruang kebudayaan dan kebudayaan ditentukan oleh
ruang dan waktu.
Alquran tidak masuk sampai ke detil bentuk, bahan, dan mode pakaian. Alquran tidak
menutup rasa keindahan (estetika) manusia dan rasa seninya. Baju kurung pun tidak
dapat disebut islami bila sengaja disempitkan sehingga jelas segala bentuk badan
laksana ular melilit. Pakaian “bobosca” yaitu gaun ala Italia abad pertengahan yang
demikian longgar dan panjang akan lebih baik daripada baju kurung seperti itu.
Alangkah tampak akan manis bila bobosca dipadukan dengan jilbab yang juga panjang.
Bahkan, contoh yang lebih ekstrem adalah pakaian para biarawati di gereja Vatikan,
tampak jauh lebih sopan daripada pakaian umumnya remaja muslimah Aceh sekarang.
Atas dasar itu, celana kulot (celana panjang yang sangat longgar sehingga lebih
tampak seperti rok) yang dulu populer dapat dianggap memenuhi kriteria menutup
aurat, sekaligus dapat memenuhi tuntutan modern karena wanita lebih dapat bergerak
lebih leluasa: mengenderai motor, naik bus kota, naik tangga, berbelanja, atau
keperluan lain. Ini tentu berbanding terbalik dengan jeans yang sangat merapat ke paha
dan kaki sehingga lebih mirip kaos kaki yang sepanjang kaki atau celana dalam yang
dipanjangkan.
Model yang sedang populer bagi perempuan Aceh itu persis seperti ungkapan Nabi:
berpakaian seperti telanjang. Tampaknya, perancang busana memang menyediakan
celana jenis ini untuk ditutupi lagi dengan rok. Jadi memang dipakai di dalam, tetapi
sebagian wanita Aceh memakainya di luar, lalu dikombinasi dengan baju sebatas
sekitar lutut dan, tidak lupa, jilbab yang memenuhi syarat “membungkus”.
Barangkali, mengutip pendapat Kadis Syariat Islam Aceh Barat, inilah yang disebut
dengan berpakaian yang mengolok-olok aturan Syariat Islam. Karena itulah, Azyumardi
Azra menyatakan ada perempuan yang memakai celana panjang untuk menarik
perhatian, tapi ada juga karena kebutuhan, keamanan dan kenyamanan (Serambi,
Jumat 30/10/09).
Pakaian adat Aceh
Secara nasional, wanita Aceh dianggap lebih dinamis; bukan hanya karena dalam
sejarah pernah memimpin Kerajaan Aceh sampai 59 tahun dan keberadaan pahlawan-
pahlawan wanitanya dalam perang melawan penjajah, tetapi juga tampak dalam
kesenian dan pakaian adatnya. Bukanlah bagian bawah pakaian adat wanita Aceh
adalah celana panjang yang di bagian atasnya menggunakan kain sarung seperti rok
pendek? Dan pakaian ini, sebagaimana kita saksikan, sangat elastis, luwes, fleksibel,
sehingga amat serasi dengan budaya seni tarinya yang juga sangat dinamis. Yang lebih
penting, pakaian itu “menutup” tubuh wanita Aceh, bukan “membungkusnya”.
Secara sosiologis, wanita Aceh dulu memang membutuhkan pakaian yang seperti itu
karena aktifitas mereka sebagai serdadu perang (inong balee), bahkan panglima laut
seperti Laksamana Malahayati. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya anggota lasykar
inong balee tersebut turun naik gunung, berlari, melompat, dan merayap, sambil
menyandang senjata sekiranya pakaian mereka adalah jenis baju kurung atau rok
panjang. Aktifitas lain wanita Aceh seperti bersawah dan berkebun di pedalaman Aceh
memang sangat membutuhkan pakaian yang tidak sekedar menutup aurat tapi juga
dapat digunakan dengan tetap terasa nyaman dan aman di badan sehingga aktifitas
tetap dapat dilakukan dengan semestinya. Karena itu, tampaknya celana panjang
perempuan Aceh masa lampau mencerminkan ketaatan pada syariat Islam sekaligus
menunjukkan jatidirinya sebagai perempuan yang dinamis.
Kerajaan Aceh tidak mengurung wanitanya di rumah (purdah) dengan menutup seluruh
badannya seperti di sebagian negara Timur Tengah. Inilah salah satu buah dari
kepaduan hukum Islam dan adat Aceh yang tercermin dalam hukom ngon adat lagee
zat ngon sipeut.
Akhirnya, ide Bupati Aceh Barat tetap harus kita dukung. Hukum Islam yang kaffah
memang harus menjadi prioritas utama pembangunan moral dan spiritual orang Aceh,
tetapi agar hukum Islam tidak kehilangan sifat universal dan elastisnya, kajian akademis
yang melibatkan para ulama dari berbagai kalangan, elemen masyarakat, dan
organisasi massa harus dilakukan sebelum aturan tersebut dibuat dan diterapkan.
Prinsip-prinsip berpakaian dalam Islam di satu sisi juga mampu menyerap kebutuhan
muslimah Aceh masa kini yang sudah jauh berbeda dengan kebutuhan muslimah Arab
dulu.
Mengintip Bacaan Remaja Aceh
FLP Aceh | 9 July 2012 | 0 Comments
Oleh Amalia Masturah
MASA remaja memang masa yang menyenangkan, ada banyak hal yang dapat
dilakukan pada masa ini. Semua macam kegiatan biasanya ingin dicoba oleh remaja.
Hal ini terkait masanya memang mencari sesuatu yang menyenangkan baginya.
Sesuatu yang menyenangkan itu akan dilakukan demi apapun dan akan menjadi
obsesinya ke depan. Itu sebabnya masa remaja disebut masa mencari jati diri. Karena
memang pada masa inilah dengan segala keiinginannya ia akan mencari yang menjadi
“aku” pada dirinya sendiri.
Namun, pada masa ini perlu diperhatikan bahwa tidak semua pencarian jati diri itu
semuanya menuai kesuksesan. Ada banyak pula kegiatan yang tidak bermanfaat bagi
remaja untuk hidupnya. Ada banyak kegiatan yang hanya akan membuatnya
bersenang-senang sebentar dan menenggelamkan kehidupannya.
Gencarnya perkembangan informasi sekarang ini yang dapat di akses di mana
membuat remaja dapat melihat dunia dan membuat impiannya tercapai kalau ia mampu
memanfaatkan. Di pedesaan memang kini sudah mulai banyak media seperti internet.
Internet yang bisa didapat dengan adanya warnet yang mulai menjamur di kabupaten
memang memudahkan remaja menulusuri dunia. Namun, biaya yang harus ditebus
untuk masuk ke warnet juga kadang membuat remaja berpikir untuk masuk ke
dalamnya.
Untuk itu, mereka mencari media yang lain yang memudahkan mereka mencari yang
mereka inginkan. Media tabloid dan bacaan adalah alternatifnya. Apalagi saat ini, hal
yang menarik bagi remaja sekarang adalah artis-artis baik dari dalam negeri maupun
dari luar negeri ada di bacaan tersebut.
Bukan hanya mencari informasi idolanya, namun juga berlagak agak artisnya, seperti
menyerupai penampilannya, dan meniru sifat, serta budayanya. Sayang sekali saat ini
banyak sekali remaja meniru hal yang tidak baik dari artis-artis idolanya.
Gambar artis
Saya sempat kaget saat membuka salah satu tabloid remaja yang cukup terkenal, di
dalamnya kebanyakan informasi-informasi artis terkini. Dan benarlah saya menemukan
sebuah gambar artis luar negeri yang pakaiannya kurang dari cukup. Berlebihan dan
kelewatan.
Apakah tidak ada foto lain? Atau mengapa tidak di-crop saja bagian yang tidak senonoh
itu? Pakaiannya memang lebih dari kurang, persis seperti baju renang. Bukankah saat
Miss Indonesia beberapa tahun silam yang mengikuti kontes di luar negeri
diperselisihkan oleh para ulama terkaitnya penampilan dalam kontes itu memakai baju
renang?
Oh, lihatlah para ulama, saat inipun di tabloid remaja, media yang begitu familiar
sampai ke pedesaan sudah kurang bermanfaat. Lihatlah para pemimpin calon-calon
pemimpin bangsa kini tak lagi jernih matanya seperti kekeruhan mata para pejabat yang
kini asyik bermain umpet-umpetan uang negera. Lihatlah orang tua kini anak-anak
kebanggaan telah tidak sama dengan masa kecilnya.
Sebenarnya ada badan pemerintahan tertentu yang bertanggung jawab akan hal ini.
Penyeleksian tabloid biasanya dilakukan, tapi tidak tahu sekarang, apakah masih ada
penyeleksian dan sensor pada buku bacaan? Apalagi dengan isi bacaan dari
tabloid/majalah remaja yang kini lebih banyak informasi artisnya ketimbang informasi
keremajaan yang berguna bagi remaja.
Tabloid-tabloid itu khususnya di desaku, Tulaan, kecamatan Gunung Meriah adalah
media yang acap kali dikonsumsi remaja. Begitu banyak fans berat dari artis di luar dan
dalam negeri di sini. Terlebih fans-nya dance-dance dari Korea itu.
Benar memang sebuah ungkapan, kamu adalah apa yang kamu baca. Maksudnya
adalah sebuah tindakan yang kita lakukan tak jauh-jauh dengan apa yang kita baca.
Bila kita membaca bacaan yang bermanfaat maka kemungkinan sikap kita akan
menjadi positif. Begitu juga bila kita membaca bacaan yang tidak bermanfaat maka
sikap kita pun akan negatif. Contoh-contohnya dapat terlihat langsung di masyarakat
Aceh.
Belum lama ini, misalnya, seorang remaja memasuki sebuah toko untuk membeli
tabloid/majalah remaja. Dipilihnyalah sebuah majalah remaja yang berwarna-warni
cover-nya. Pakaian remaja itu hampir sama dengan pakaian artis di dalam majalah.
Memakai baju tidur ke luar rumah masih bisa lumrah di masyarakat kita, tapi yang
terlihat saat ini adalah memakai celana pendek yang kurang dari lutut. Tak perlu jauh-
jauh, untuk tingkat memakai kerudung saja masyarakat kini sudah banyak yang
meninggalkannya.
Begitulah perkembangan remaja saat ini di pedesaan. Cukup mengiris hati. Para orang
tua, masyarakat, dan pemimpin sepatutnya membuka mata terkait hal ini. Apalagi kita di
Aceh punya aturan mengenai pakaian ini ada tertulis dalam Qanun pasal 13. Pada ayat
satu berbunyi, setiap orang Islam wajib berbusana Islami.
Jelas dari ayat tersebut menyatakan bahwa masyarakat harus memakai pakaian yang
biasa tampak dan seperti aturan dalam Islam. Apalagi sekarang banyak macam
pakaian muslim yang layak dipakai. Ayat kedua, pimpinan instansi pemerintah, lembaga
pendidikan, badan usaha, dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana
Islami di lingkungannya.
Mencermati ayat ini tampaknya inilah yang mulai memudar di masyarakat kita. Jika
sudah memakai pakaian Islami enggan menegur orang-orang yang di sekitarnya yang
belum memakai pakaian yang demikian. Padahal sebenarnya setiap manusia punya
sifat saling membantu, saling menasihati, terlebih bagi anak sendiri, keluarga sendiri.
Harus dicegah
Oleh sebab itulah mulai sekarang harus dicegah sebelum semakin parah. Sebaiknya
hal ini harus dimulai dari keluarga. Orang tua sebaiknya menyeleksi bacaan bagi
anaknya, minimal mengetahui bacaan apa yang dibaca si anak. Kemudian setiap kita
hendaknya saling membantu dan menyikapi jika melihat yang tidak wajar.
Sebenarnya masyarakat kita masih kental dengan keislaman, terlihat bahwa sejauh ini
banyaknya kajian keislaman (pengajian) di tiap tempat. Namun, sayang sekali tak
banyak masyarakat yang mau berbagi pada keluarganya ataupun melaksanakannya
dan menjadi masyarakat itu sendiri gerah.
Selain itu, pemerintah harus tegas. Tanpa memberikan ketegasan dan arahan, sulit
masyarakat kita mengerti. Arahan demi arahan harus disampaikan agar masyarakat tau
apa manfaat dari aturan yang telah dibuat tersebut.
Kemudian, perlu adanya tim khusus untuk menyeleksi buku bacaan yang boleh masuk
di Aceh juga penting. Dengan begitu, kita akan tahu mana bacaan yang bagus mana
yang tidak. Mana yang layak dibaca mana yang tidak.
Selanjutnya, sebagai warga negara, siapa pun itu, baik pejabat, polisi, WH, ibu rumah
tangga, mahasiswa, pelajar, dan lain-lain punya hak dan kewajiban menasihati sesama
orang-orang di sekitarnya dan tak membiarkannya. Hal inilah yang perlu sekali kita
kembalikan untuk Aceh yang bermartabat.
Aceh Barat Resmi Larang Perempuan Berpakaian Ketat, Celana Jin, dan Tembus
Pandang.
Peraturan Bupati No.5/2010 tentang penegakan syariat Islam, khususnya untuk
perempuan daerah itu ditandatangani Bupati Aceh Barat Ramli MS pada Kamis (20/5
2010). Perempuan dilarang berpakaian ketat, memakai celana jin, dan pakaian tembus
pandang. Perbub ini juga mengatur soal larangan lelaki mengenakan celana pendek.
Inilah beritanya:
Larangan Mengenakan Pakaian Ketat di Aceh Barat Diberlakukan
Kamis, 27 Mei 2010 17:52 WIB
Penulis : Hendra Saputra
ACEH BARAT–MI: Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) secara resmi mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbub) yang melarang
perempuan mengenakan pakaian ketat di wilayah itu.
Dengan terbitnya perbub yang ditandatangani Bupati Aceh Barat Ramli MS pada
Kamis (20/5), perempuan dilarang berpakaian ketat, memakai celana jin, dan pakaian
tembus pandang. Perbub ini juga mengatur soal larangan lelaki mengenakan celana
pendek.
Pemkab Aceh Barat telah menyediakan 20 ribu rok yang akan dibagi-bagikan kepada
perempuan yang kedapatan memakai celana jin dan celana ketat. Sejumlah petugas
dari Wilayatul Hisbah (polisi syariat Islam) telah disiagakan di perbatasan kabupaten
seperti di lintasan Meulaboh-Calang, Meulaboh-Pidie, dan lMeulaboh-Nagan Raya.
Hari ini (Kamis, 27/5), razia busana muslimah digelar di Desa Pasi Jambu,
Kecamatan Kawai XIV, Aceh Barat. Polisi syariat menghentikan setiap kendaraan
yang melintas di kawasan tersebut dan meminta perempuan yang mengenakan
celana jin untuk turun dari kendaraan.
Petugas membagi-bagikan rok panjang kepada perempuan yang terjaring dalam
razia ini. Setelah diberikan siraman rohani dan didata oleh petugas, mereka
dipersilahkan melanjutkan perjalani.
Untuk menyosialiasikan perbub larangan berpakaian ketat, Pemkab Aceh Barat juga
melibatkan sejumlah elemen masyarakat. Mereka terdiri dari kepala desa, kepala
mukim, tokoh adat, ulama, dan tokoh masyarakat.
Menurut Bupati Ramli, larangan memakai celana ketat diberlakukan sebagai upaya
melaksanakan syariat Islam secara sempurna di Aceh. “Pembagian rok ini agar
warga tidak merasa teraniaya dengan kebijakan yang kita buat. Rok ini juga sebagai
bentuk ganti rugi bagi warga,” kata, Ramli. (HP/OL-01)
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/05/27/145458/126/101/Larangan-
Mengenakan-Pakaian-Ketat-di-Aceh-Barat-Diberlakukan
Dukungan ulama
Sementara itu Antara Sumbar memberitakan, Sekretaris Rabithah Thaliban Aceh,
Tgk. Asqalanimenyatakan, kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Aceh Barat tersebut perlu mendapat dukungan dari semua pihak,
sehingga peraturan itu akan menjadi rahmat bagi masyarakat dan
pemerintah setempat.
Dikatakan, apa yang telah dilakukan Pemkab Aceh Barat sudah mendapat dukungan
para ulama di Aceh, melalui musyawarah dan seminar, sehingga tidak ada
yang diragukan lagi.
Oleh karenanya, bagi warga muslim di Kabupaten Aceh Barat tidak ada
alasan untuk tidak mematuhinya, dan itu merupakan bagian dari ibadah
yang wajib ditaati, artinya bila dilaksanakan berpahala, ditinggalkan
berdosa, katanya.
Ia juga berharap kepada warga non muslim agar menghormati dengan cara
berpakaian yang sopan.
“Memang Perbup itu tidak diberlakukan bagi warga non-Muslim, tapi mereka
harus menghormati. Jangan sampai para wanita memakai celana pendek di
luar rumah, itu tidak menghargai,” katanya.
Proyek percontohan
Serambinews.com menulis imbauan berjudul Soal Pakaian Ketat, Aceh Barat Butuh
Dukungan Moral.Diantaranya dikemukakan:
Lebih penting lagi, diam-diam sebetulnya orang melihat apa yang dilakukan di
Kabupaten Aceh Barat tersebut menjadi semacam proyek percontohan bagi
kabupaten/kota lain nantinya. Oleh sebab itulah, agar rencana Ramli MS dkk itu bisa
sukses, maka perlu mendapat support dari kita semua. Termasuk pemikiran dalam
proses pematangan Perbup tadi.
Sedangkan razia terhadap wanita di dalam kendaraan umum maupun pribadi, kita
harap dilakukan secara sangat hati-hati dan penuh etika. Jangan sampai
menyinggung perasaan para terazia. Sebaliknya, para wanita yang diperiksa
hendaknya memaklumi dan jangan gampang tersinggung. Toh dengan bersikap
kooperatif, berarti kita semua telah memberi dukungan moral terhadap pelaksanaan
syariat Islam. (serambinews.com).
Ketika umaro’ dan ulama bersama-sama menjunjung syari’at, maka yang diterapkan
adalah hukum yang diridhoi Allah Ta’ala. Sebaliknya, ketika dua-duanya bersama-sama
menyingkiri syari’at maka yang diterapkan adalah apa-apa yang sesuai dengan hawa
nafsu mereka.(nahimunkar.com)
Anda mungkin juga memina
7 Responses to ““Syarat” Pakaian wanita untuk trip ke Sabang – Aceh”
1. titi hidayatun Says:
April 30th, 2012 at 9:13 am
halo mbak Dwi, tahun baru kmaren saya ke Banda Aceh dan Sabang, gak ada aturan
khusus berpakaian kok mbak.. apalagi buat pendatang. asal sopan aja. kalo bisa
nggak pake celana pendek/rok mini dan tank top/ you can see. gak harus pake jilbab
juga. pake celana jeans boleh kok. tapi kalo mau masuk ke masjid, harus pake baju
lengan panjang, rok/celana panjang dan juga kerudung. semoga membantu ya.
salam, Titi
2. Anonymous Says:
April 30th, 2012 at 9:18 am
Hai Dwi….
November tahun lalu saya ke Aceh – Sabang. Untuk di Banda Aceh sendiri, Saya rasa
selama kita berpakaian dg sopan ga masalah kok (tidak memakai pakaian terlalu ketat,
atau pendek).
Kemarin saya pakai jeans, pakai kaos biasa. Ga ada yang memandang saya dengan
aneh kok. Ga diharuskan pakai kerudung, tapi tetap saya pakai pashmina untuk jaga-
jaga walaupun tidak dikerudungkan.
Untuk di sabang malah lebih bebas karena mungkin ini tempat wisata yah jadi ga
seketat di Banda Aceh.
Semoga membantu Salam Powered by Telkomsel BlackBerry®
3. Shakuntala Shasa Sigit Says:
April 30th, 2012 at 11:51 am
Berdasarkan pengalaman tahun lalu ke Banda Aceh dan Sabang, memang di
berlakukan peraturan adat ‘syariah Islam’, di ‘mulut’ desa di Iboih (P.weh) bahkan ada
papan peraturannya. Tapi ga ketat diberlakukan. Lain halnya kalo di Banda Aceh,
saking ketatnya saya naik becak terbuka pas kerudung yg saya pake lepas saja
ditunjuk2 orang, lalu di mesjid Baiturrahman, walau sudah pakai pakaian tertutup dan
kerudung masih dianggap kurang sopan sehingga satpam meminta saya keluar area
mesjid dengan kurang sopan
well, itu pengalaman pribadi ya, mungkin beda orang beda cerita
Shasa
2012/4/30
4. Anonymous Says:
April 30th, 2012 at 9:41 pm
Hi, salam kenal.
Akhir tahun kemarin saya sempat ke Gapang,Sabang. Klo di sabang,pakaiannya sih
bebas.pake celana sependek apapun boleh kok coz kbanyakan org d sabang adl turis
dr luar. Tapi klo di aceh,pakaiannya memang harus agak tertutup. Gak harus pake
kerudung (utk yg non muslim ya). Yg penting pakaiannya sopan dan tdk ketat. Coz klo
lagi apes,kita bisa aja ketemu dgn polisi yg ngasih teguran ke kita. Yah,jaga2 saja lah.
Well,have fun jalan2nya ya… Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat
INDOSAT
5. Andika Soemarno Says:
May 1st, 2012 at 4:54 am
Hi dwi,
Salam kenal.
Terakhir saya ke aceh bersama keluarga, yaitu bulan okt kemarin.
Tidak ada yg perlu dikwatirkan. Orang2 banda aceh ramah. Yang penting pakaian kita
sopan dan baik. Namun ada tempat tempat tertentu mewajibkan peraturan berpakaian
ketat. Hal yang wajar ya.
untuk sabang, Ini agak longgar ya, terutama bila kita turis. Maklum, sabang adalah
kawasan turis. Banyak wanita asing berpakaian bebas, namun sopan, tidak
dipermasalahkan.
Jadi, kiranya kunjungan anda bisa sangat menyenangkan
Thanks
[Non-text portions of this message have been removed]
6. Made Adhi Gunadi Says:
May 1st, 2012 at 4:55 am
Salam backpacker,
Ketentuan pakain muslim memang tidak sama di semua wilayah. Untuk Banda Aceh,
sebetulnya sekarang sudah malah lebih longgar dibanding masa-masa 5 tahun lalu.
untuk yang perempuan tidakk harus berkerudung, tapi memang harus tertutup dan
tidak ketak. Kalau saya perhatikan pakai celana jeans sepertinya disamakan dengan
pakaian ketat, jadi perlu diperhatikan juga. Kemudian, ketentuan ini juga berlaku untuk
laki-laki. Tahun lalu waktu saya mengunjungi Banda Aceh Festival, teman-teman saya
yang pakai celana pendek juga sempat ditegur.
Eniwei, jangan keder duluan dengan ketentuan tersebut, karena Aceh memang
memiliki banyak pesona alam dan budaya yang sayang dilewatkan.
Salam, Made Adhi
2012/5/1
[Non-text portions of this message have been removed]
Perempuan Aceh di Era Modern
Rabu, 21 Maret 2012 09:16 WIB
More Sharing ServicesShare|Share on facebookShare on myspaceShare on
googleShare on twitter
Berita Terkait
Meluruskan Makna Metodologi Dakwah
Berubah, Haruskah Menunggu Momentum?
Puasa Blokade Kezaliman
Merawat Perdamaian Melalui Mimbar Masjid
Politik dan Pengkhianat
Mengenal Gempa Bumi Susulan (Aftershocks)
Oleh Fardelyn Hacky Irawani
MEMBACA artikel “Inong Aceh Jameun Jinoe” yang dimuat di halaman Opini (Serambi,
08/03/2012), membuat saya, sebagai seorang perempuan Aceh, merasa prihatin
dengan beberapa kesimpulan yang disodorkan penulis ke khalayak. Penulis hanya
melihat inong jameun jinoe dari sisi negatifnya saja, tanpa mempertimbangkan sisi
positif yang dimiliki para perempuan Aceh di era globalisasi ini.
Oleh penulis, inong jameun jinoe dimaknai sebagai perempuan yang bukan perempuan
baik-baik. Inong jameun jinoe adalah; yang hanya tergila-gila dengan fashion, yang
hanya menghabiskan berjam-jam waktunya di salon, yang hanya suka kongkow
(ngumpul) di cafe atau warung kopi, yang suka meniru gaya orang lain, dan wanita
karir. Begitu kira-kira yang bisa saya simpulkan antara judul dan isi tulisan.
Membaca tulisan ini, saya teringat sebuah berita yang pernah saya baca di sebuah
media online di Aceh, tentang hasil survei di sebuah sekolah di Banda Aceh, bahwa 60
persen siswinya tidak perawan lagi (silakan unduh beritanya di sini:
http://www.theglobejournal.com/Feature/banyak-siswi-sma-di-aceh-tidak-perawan-lagi/
index.php). Mengapa saya membandingkan opini saudara Arifin S dengan fakta yang
ditulis oleh sebuah media online tersebut? Karena keduanya bisa menimbulkan sebuah
kesimpulan yang salah di masyarakat.
Hanya meluruskan
Di sini saya tidak akan membahas tentang hasil survei dalam berita tersebut yang
masih perlu dipertanyakan keakuratanya. Saya hanya perlu meluruskan pendapat
negatif tentang perempuan, khususnya perempuan Aceh, bahwa tidak semua
perempuan Aceh itu hobinya menghabiskan berjam-jam waktunya untuk duduk-duduk
di warung kopi, rebonding, membuka aurat, atau bekerja pontang-panting lalu tak ingat
pulang.
Mungkin benar fakta itu ada, tapi jangan sampai fakta yang memiliki nilai seperti nila
setitik ini dijustifikasi secara umum hingga rusaklah susu sebelanga (semua perempuan
Aceh). Padahal tak kurang perempuan yang memiliki nilai positif diri hingga
menghasilkan prestasi yang membanggakan. Nilai positif diri yang saya maksud
adalah, masih banyak perempuan yang tetap ingat batas diri, mana batas yang aman
dilalui dan yang tidak boleh dilanggar dengan berpijak pada aturan agama.
Masih banyak perempuan Aceh yang menjadi wanita karir yang sukses namun sukses
pula menjadi ibu rumah tangga; istri dan ibu yang baik. Kita juga lupa fakta bahwa, di
bawah gemerlapnya arus globalisasi, masih banyak perempuan Aceh yang berjuang
sendiri menghidupi diri dan keluarga. Yang mengais rejeki di pagi buta hingga paginya
lagi.
Memang benar, zaman sudah berubah. Pola pikir dan gaya hidup berubah. Begitu juga
dengan tuntutan dan gaya hidup perempuan. Perempuan di era modern dituntut
bergerak cepat dan tanggap terhadap perubahan zaman. Perempuan sekarang lebih
banyak yang bekerja jika dibandingkan jumlah perempuan yang bekerja pada beberapa
dekade silam.
Hal ini disebabkan karena selain sudah adanya persamaan hak laki-laki dan
perempuan dalam bidang pendidikan, juga mudahnya fasilitas pendidikan tinggi yang
bisa dijangkau bahkan dari luar kota sekalipun. Ditambah dengan adanya pendapat;
keupeu sikula manyang meunyoe hana jeut keu peugawe (untuk apa sekolah tinggi-
tinggi jika tidak menjadi pegawai negeri, pen). Intinya, orangtua memiliki harapan,
setelah mereka menyekolahkan anak perempuannya, mereka mengharapkan si anak
bisa bekerja di bidang tertentu.
Pandangan Islam
Bagaimana Islam menghargai perempuan? Islam menempatkan perempuan dalam
empat peranan, yaitu perempuan sebagai anak, sebagai istri, sebagai ibu, dan
perempuan dalam peranan sosial. Perempuan sekarang memang sudah dapat bekerja
dan melakukan banyak kegiatan. Tetapi apakah baik jika perempuan bekerja di luar
rumah?
Dalam hal peranan sosial, tidak ada satu pun ayat Alquran atau hadis yang mengekang
atau menghambat perempuan berkembang dan mengambil peranan aktif di luar rumah,
asalkan tetap dalam koridor yang baik dan tidak mengabaikan tugasnya sebagai ibu
rumah tangga. Lihatlah contohnya ibu kita yang berprofesi sebagai guru. Pulang ke
rumah lewat tengah hari. Setelah pulang dari sekolah, seabrek pekerjaan rumah sudah
menunggu; memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan lain sebagainya. Sebelum
berangkat ke sekolah, pagi-pagi sekali ibu kita sudah menyiapkan sarapan untuk
keluarganya. Jadi beliau tetap dapat bekerja meski harus mengurus keluarga.
Memang benar wilayah domestik adalah wilayah yang didominasi oleh perempuan.
Mengurus keluarga, memastikan rumah bersih, dan berbagai pekerjaan rumah tangga
lainnya. Tapi bukan berarti haram hukumnya laki-laki memasuki wilayah ini. Di era
modern seperti ini, pekerjaan seperti memasak atau membersihkan rumah bukan lagi
pekerjaan yang tabu dilakukan oleh laki-laki.
Dalam rumah tangga, laki-laki dan perempuan harus saling tolong menolong. Suami
yang baik, jika memiliki banyak waktu luang berada di rumah, akan menolong istrinya
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Istri pun demikian, tak tertutup kemungkinan
menolong menambah pendapatan anggaran rumah tangga dengan bekerja di instansi
pemerintah, swasta, atau memiliki usaha sendiri. Semua pilihan terbuka lebar, tentu
saja dengan berbagai konsekuensinya. Yang penting dari semua itu adalah tetap ingat
tanggung jawab dan kodratnya sebagai perempuan.
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan bukan untuk saling bersombong-sombong
dan membanggakan diri, Allah menciptakan keduanya sebagai pelengkap satu sama
lain. Demikian juga, Islam memberikan tanggung jawab, hak, kewajiban, serta peranan
yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan agar tercipta keseimbangan, bukan
untuk saling menjerat dan mengekang kebebasan.
Eksis di luar rumah
Perempuan Aceh era modern mulai berpikir untuk eksis di luar rumah seperti kuliah,
bekerja, berorganisasi, berkumpul di sebuah kelompok sesuai minat dan bakat. Bahkan
tak jarang yang berprestasi. Remaja perempuan Aceh zaman sekarang adalah remaja
kreatif yang tak hanya pergi sekolah di pagi hari, pulang lalu menghabiskan sisa hari
sampai esok menjelang paginya lagi.
Jadi, saya rasa sah-sah saja, jika perempuan nongkrong atau ngumpul bareng di
warung kopi, cafe, dan sejenisnya, asal yang menjadi agenda dan topik pembicaraan
adalah hal-hal positif menyangkut pengembangan dan pemberdayaan diri. Islam tidak
melarang perempuan tampil cantik dengan mengikuti mode yang berlaku saat ini, asal
tidak menyalahi aturan berpakaian yang dianjurkan agama yaitu tidak mengumbar
aurat.
Perempuan juga tidak dilarang berbaur dan berdiskusi dengan sekelompok laki-laki,
asal tidak berdua-duaan di tempat sepi. Kita tidak bisa menampikkan hadirnya budaya
baru (asing). Yang mesti kita lakukan adalah kita yang harus memengaruhi
(beradaptasi dengan baik) terhadap budaya asing bukannya terpengaruh oleh budaya
tersebut.
Apa pun zaman dan eranya, yang kita harapkan adalah hadirnya perempuan Aceh
yang senantiasa bisa beradaptasi, menyeimbangkan diri bahkan mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya, berprestasi, serta menjaga marwah dan martabat keluarga
dengan akhlak dan perilaku islami.
BANDA ACEH- Bagi Anda seorang wanita yang biasa menggunakan pakaian ketat,
sebaiknya jangan menggunakannya di Aceh. Jika tidak anda akan terjaring razia yang
digelar Polisi Syariah atau Wilayatul Hisbah (WH).
Dalam razia busana di depan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh hari ini, petugas
menjaring 118 perempuan berpakaian ketat dan tidak mengenakan jilbab karena dinilai
melanggar qanun (Perda) Syariat Islam.
Razia Polisi Syariah dibantu Satpol PP dengan menghentikan para pengendara sepeda
motor yang melintas, khususnya jika dilihat berpakaian ketat. Petugas langsung
mencatat identitas pengendara jika dinilai berpakaian tidak sesuai Syariat Islam.
“Mereka hanya diberi pembinaan saja tidak ditangkap. Kami hanya mencatat
identitasnya jika diketahui melakukan hal sama lagi akan ditindak,” kata Kepala Seksi
Penyidikan Satpol PP dan WH Aceh, Samsuddin, di sela razia, Kamis (9/5/2011).
Sebanyak 118 perempuan yang terjaring razia tersebut adalah mahasiswi. Menurut
Samsuddin perbuatan mereka melanggar qanun nomor 11/2002 tentang Syariat Islam
bidang akidah, ibadah, dan syiar.
Mereka yang terjaring diberi pembinaan di lokasi razia agar tidak lagi mengenakan
pakaian tetap. “Ini razia rutin untuk menyosialisasikan qanun nomor 11,” ujarnya.
Insiden memalukan sempat mewarnai jalannya razia. Seorang perempuan berpakaian
ketat menolak dicatat namanya oleh petugas. Dia pun mengaku sebagai istri Polisi.
Untuk menciutkan nyali petugas menjaringnya, dia lantas menelpon suaminya. Tak
lama kemudian sang suami datang dengan berpakain bebas, membantu pembebasan
isterinya. Polisi Syariah tak berkutik. Mereka akhirnya melepaskan perempuan tersebut.
“Untuk menghindari ribut,” kilah seorang Polisi Syariah.
Sayangnya nasib yang sama tidak berlaku bagi 118 mahasiswi yang terjaring dan
diceramahin di lokasi razia.(kem).
(http://international.okezone.com/read/2011/06/09/340/466571/berpakaian-ketat-118-
wanita-terjaring-razia)
PETUGAS MEMBAGIKAN ROK-ROK GRATIS KEPADA PARA WANITA YANG
TERKENA RAZIA
ACEH,Buanasumsel – Hanya dalam waktu dua jam, Satuan Polisi Pamong Paraja dan
Wilayatul Hisbah Kabupaten Aceh Barat menjaring 82 cewek bercelana ketat atau jins.
Mereka selanjutnya diberi rok gratis agar tidak lagi melanggar apa yang disebut sebagai
penerapan syariat Islam. Razia di tengah Kota Meulaboh itu cukup mengejutkan warga
karena biasanya dilakukan di kawasan perbatasan.
Petugas Wilayatul Hisbah dibantu Satpol PP segera mencatat identitas para pelanggar
pakaian syariat, selanjutnya diberikan bimbingan dan arahan agar tidak melanggar lagi.
Razia ini merupakan tindak lanjut dari peraturan Bupati Aceh Barat tentang rok.
Kepala Seksi Penegakan Daerah dan Syariat Islam dari Kantor Satpol PP dan WH
Aceh Barat Fadlian Syahputra mengatakan, razia di dalam kota ini merupakan langkah
antisipasi agar warga tak lagi menggunakan pakaian yang melanggar syariat.
Fadlian menambahkan, razia penegakan syariat Islam dengan membagi-bagi rok
kepada pelanggar akan terus dilancarkan dalam Kota Meulaboh dan akan terus fokus
dalam kota.
Selama ini, pengawasan juga dilakukan terutama pada hari Sabtu dan Minggu, yakni
melakukan pemeriksaan pada kafe-kafe di kawasan obyek wisata, baik itu di Ujong
Kareng maupun di Suak Ribee.(Serambi Indonesia). (http://buanasumsel.com/82-
cewek-bercelana-ketat-kena-terjaring/)
Pelanggar syariat Islam di Banda Aceh Mulai Menurun
BANDA ACEH, Kepala Bidang Kebijakan Daerah dan Syariat Islam Satuan Polisi
Pamong Praja dan Wilayatul Hisban Banda Aceh, Yustamin, mengatakan pelanggar
syariat Islam di Banda Aceh mulai menurun dibandingkan sebelum terbentuknya
lembaga Wilayatul Hisbah atawa Polisi Syariat.
Menurutnya, meski angka pelanggaran menurun tetapi masih banyak juga warga Aceh
yang belum mematuhi qanun-qanun dalam syariat Islam. Hal ini dibuktikan dengan
terjaringnya puluhan warga Banda Aceh saat digelar razia.
“Insya Allah dengan adanya Satpol PP dan WH ini pelanggar syariat Islam sudah mulai
menurun,” kata Yustamin kepada wartawan usai razia di Simpang Mesra Banda Aceh,
Selasa (22/5).
Ia menambahkan untuk mengurangi angka pelangaran, pihaknya sudah melakukan
pelbagai cara termasuk pembinaan terhadap khatib Jumat. Pembinaan ini dilakukan
setelah Pj Gubernur Tarmizi A. Karim mengeluarkan surat keputusan untuk membina
khatib masjid se-Aceh.
Mengenai penutupan tempat wisata seperti Ulee Lheue dan Lhoknga pada malam hari,
ia menjelaskan bahwa itu merupakan tindakan untuk mengurangi angka pelanggaran
syariat Islam di bumi Serambi Mekkah ini.
“Penutupan itu kami lakukan bekerja sama dengan sejumlah LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) dan para aparat gampong, ini sudah berjalan hampir satu bulan,” jelasnya.
Yustamin mengungkapkan, upaya yang sudah dilakukan Satpol PP dan WH berjalan
sangat efektif. Mereka juga menjaga pelbagai tempat yang diduga rawan kemaksiatan
setiap malam guna menghindari hal-hal yang melanggar syariat.
(http://www.acehbarat.com/2012/05/pelanggar-syariat-islam-di-banda-aceh-mulai-
menurun/)
ATURAN BARU ACEH : DILARANG MENJUAL PAKAIAN KETAT
Menyusul razia yang berlangsung awal pekan lalu, yang mendapati sejumlah lelaki dan
perempuan berpakaian ketat, Provinsi Aceh akan mengeluarkan aturan pelarangan
penjualan pakaian semacam itu. Kepala Penegakan Hukum Islam di Aceh , Samsudin
menyatakan surat edaran perihal pelarangan ini segera disampaikan pada pemilik toko.
Dalam razia yang digelar tersebut, terjaring lebih dari 50 perempuan dan 3 laki laki
tertangkap tangan mengenakan pakaian ketat dan celana pendek.
Secara rutin Polisi syariah di Aceh melakukan razia. Dan dua bulan terakhir saja sudah
terjaring 300 pelanggar peraturan. Pada saat razia berlangsung pekan lalu ada
peristiwa unik. Salah seorang warga, Munawar mengaku bercelana pendek bukan tidak
paham aturan, namun saat tertangkap polisi syariah ia sedang memasang batu, karena
ia pekerja bangunan.“Saya ke luar karena ingin membeli cat.” kata Munawar.
(KF-Mrg/12/Deutsche Welle) | Follow KF di Twitter: @koranfesbuk.
(https://www.facebook.com/121994582490/posts/10151005853752491)
Diposting oleh Abu Fahd Negara Tauhid
Referensi:
- http://international.okezone.com/
- http://buanasumsel.com
- http://www.acehbarat.com
- @koranfesbuk
- http://gizanherbal.wordpress.com/
- dll
Baju kurung
Baju kurung adalah salah satu pakaian adat masyarakat Melayu di Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailandbagian selatan. Baju kurung
sering diasosiasi dengan kaum perempuan. Ciri khas baju kurung adalah rancangan
yang longgar pada lubang lengan, perut, dan dada. Pada saat dikenakan, bagian paling
bawah baju kurung sejajar dengan pangkal paha, tetapi untuk kasus yang jarang ada
pula yang memanjang hingga sejajar dengan lutut. Baju kurung tidak dipasangi kancing,
melainkan hampir serupa dengan t-shirt. Baju kurung tidak pula berkerah, tiap ujungnya
direnda. Beberapa bagiannya sering dihiasi sulaman berwarna keemasan.
Mulanya, baju kurung biasa dipakai untuk upacara kebesaran melayu oleh kaum
perempuan di dalam kerajaan, dipakai bersama-sama kain songket untuk
dijadikan sarungnya, aneka perhiasan emas, dan tas kecil atau kipas. Karena sebagian
besar masyarakat melayu memeluk Islam, banyak perempuan pengguna baju kurung
yang menyerasikannya dengan jilbab, meskipun demikian terdapat juga yang tidak
menggunakannya. Kini baju kurung banyak dipakai oleh masyarakat biasa, digunakan
anak-anak untuk mengaji, atau ibu-ibu untuk ke pasar, tanpa disertakan pernak-pernik
yang terkesan mewah.
Beberapa Pertanyaan Awal
Bagi sebagian orang dari luar Aceh, ungkapan "formalisasi syariat (atau lebih sering
ditulis syariah) Islam" untuk merujuk pada pemberlakuan syariat Islam sebagai
landasan pengaturan tertib sosial dalam bentuk regulasi pemerintah daerah di provinsi
Aceh (belakangan berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, NAD), mungkin
merupakan nasib sosiologis masyarakat Aceh yang tidak terlalu perlu dipersoalkan.
Sebutan "Serambi Mekah" yang pada dasarnya sedikit, kalau bukan tidak ada sama
sekali, hubunganya dengan kondisi kehidupan dan ketaatan masyarakat Aceh pada
ajaran Islam, misalnya, oleh orang non-Aceh seringkali dilihat sebagai indikasi tentang
senyawa antara Aceh dan Islam. Julukan yang semula hanya merujuk pada gagasan
tentang jarak spasial dalam rute jamaah haji Indonesia menuju tanah suci di Mekah
Saudi Arabia, kemudian berubah menjadi ekpresi atau bahkan testimoni sosial tentang
kehidupan religius masyarakat Aceh dalam naungan nila-nilai dan ajaran Islam: Aceh
adalah Islam (meskipun mungkin tidak berlaku sebaliknya). Dipahami dalam konteks
seperti itu, klaim kota Manokwari di Papua Barat sebagai "Serambi Yerusalem" atau
"kota Injil", semacam usaha untuk meraih status distingtif dalam versi Nasrani, yang
merujuk pada Aceh sebagai preseden historisnya, misalnya, memperlihatkan
berlangsungnya (kekeliruan) konotasi konseptual yang terlanjur terbentuk di tengah
masyarakat non-Aceh tentang senyawa tadi.
Aceh memang sering diidentikkan dengan sebuah wilayah tempat Islam bukan hanya
menjadi agama mayoritas penduduknya, melainkan juga dianggap sebagai sebuah
karakteristik yang membedakannya dengan wilayah lain. Islam sebagai sebuah jalan
hidup, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam pengertian yang paling
mungkin dalam masyarkat Indonesia kontemporer, bolehjadi memang sudah lama
berlaku di Aceh. Ungkapan lokal (hadih Madja)"Adat ngön syariat lagee dzat ngön
sifeut" (adat dan syariat seperti zat dan sifatnya) dengan cukup terang memperlihatkan
bagaimana orang Aceh memandang syariat Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari:
bahwa syariat (ajaran Islam) dan adat (yang bisa berarti kebudayaan dalam arti luas
tapi juga bisa berarti pola-pola kebiasaan hidup sehari-hari) merupakan kesatuan yang
tidak terpisahkan.
Paling tidak sejak tahun 1959 Aceh diberi klaim tentang sebuah status istimewa, dalam
arti memiliki status yang distingtif dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di
Indonesia terutama karena asumsi tentang atau identifikasi Aceh dengan Islam.
Dengan demikian relasi negara Indonesia modern dan Aceh sebagai bagian dari
wilayah kedaulatannya memang menggunakan, untuk meminjam konsep Wittgenstein,
permainan bahasa (language game) yang berbeda dibandingkan dengan wilayah-
wilayah administratif lainnya dalam republik Indonesia.[1] Kesediaan orang Aceh,
khususnya para ulama yang berpengaruh saat itu, untuk berintegrasi dengan Indonesia
sebagiannya karena mayoritas penduduk daerah lain di Indonesia beragama Islam,
sehingga Indonesia dianggap memiliki identitas yang sama dengan orang
Aceh. Integrasi juga ditentukan oleh kepercayaan bahwa negara Indonesia merdeka
akan memperbolehkan orang Aceh secara resmi menegakkan hukum Islam di
wilayahnya (Salim, 2004). Aceh mendukung kemerdekaan Indonesia tahun 1945,
bahkan mengirimkan pasukan untuk melawan belanda di Sumatra Utara, karena
mengira bahwa hal tersebut akan membawa pada kemerdekaan atau otonomi lokal
dalam wadah struktur negara federal (Kingsbury, 2007).
Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh
Foto: Hikmat Budiman
Sebagai seorang pemula dalam kajian tentang Aceh, saya memulai perjalanan singkat
saya di Aceh dengan beberapa pertanyaan awal yang sangat sederhana, yang
bolehjadi memang mencerminkan keterbatasan pemahaman saya tentang Aceh.
Sayangnya, sampai fieldworksingkat saya berakhir tidak semua bisa ditemukan
jawabannya secara memuaskan. Pertanyaan pertama saya adalah, karena jauh
sebelum terjadi formalisasi syariat Islam Aceh sudah secara luas identik dengan Islam,
kebutuhan dan kondisi apa yang mendorong munculnya kebijakan untuk
memberlakukan formalisasi tersebut saat ini? Sebelumnya memang pernah ada upaya
formalisasi yang hampir sama di Aceh tapi dihambat oleh kekuasaan Orde Baru di
Jakarta, sehingga dengan demikian bisa diduga bahwa apa yang terjadi belakangan ini
sedikit banyak mencerminkan terjadinya perubahan pada pola kekuasan yang ada di
Jakarta. Kalau sebuah masyarakat terikat demikian kuat pada konsepsi-konsepsi
religius tertentu dalam praktek hidupnya sehari-hari, kemungkinan-kemungkinan apa
yang bisa dilihat ketika negara justru berusaha keras memformalkan sesuatu yang
bersifat kultural tersebut menjadi produk-produk struktural? Jawaban sementara yang
saya dapatkan selama berada di kota Banda Aceh, sebagian warga kota ternyata
menyikapi upaya struktural tersebut dengan sebuah sikap kultural yang secara padat
terangkum dalam ungkapan "gak open". Dalam vernakular bahasa Indonesia,
ungkapan "gak open" ini lebih kurang berarti "tidak peduli".
Kalau masyarakat cenderung bersikap tidak peduli atau "tidak mau tahu" terhadap
formalisasi syariat Islam, kemungkinan besar ada kebutuhan lain yang menurut mereka
lebih penting dan lebih mendasar daripada sekedar membakukan apa yang sudah
biasa mereka praktekan sehari-hari (syariat Islam) menjadi aturan-aturan hukum formal.
Kalau apa yang dibutuhkan rakyat dan apa yang dilakukan negara tidak sejalan,
sehingga muncul kesan seolah-olah berlangsung "duo-monolog" dalam komunikasi
politik antara rakyat dan negara, problem apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ini
merupakan duplikasi dari problema yang sama yang berlangsung pada level yang lebih
luas di tingkat nasional, ataukah ini merupakan gejala yang tipikal Aceh semata?
Plang penanda Kawasan Wajib Berbusana Muslim
Foto: Hikmat Budiman
Ketiga, dari mana sebenarnya inisiatif formalisasi itu berasal? Jawaban termudah
adalah dari negara.[3] Tapi negara tidak bisa dibayangkan sebagai sebuah kesatuan
yang monolit, serba sama di seluruh tingkatan. Pertanyaan tersebut, dengan demikian,
bisa dipertajam menjadi apakah inisiatif tersebut berasal dari elit-elit negara lokal di
Aceh ataukah ia merupakan tawaran dari pusat kekuasaan di Jakarta. Jawaban
tercepat dan paling akurat atas pertanyaan tersebut tentu saja adalah bahwa inisiatif itu
memang berasal dari Jakarta. Tapi jika demikian adanya, persoalannya kemudian
adalah mengapa Jakarta memiliki inisiatif memberi Aceh ruang untuk melakukan
formalisasi agama ke dalam tata aturan pemerintahan daerahnya. Berbeda dengan
kasus-kasus yang terjadi di wilayah lainnya di Indonesia, formalisasi syariat Islam di
Aceh saat ini pada mulanya bukan hasil dari formulasi kepentingan daerah tapi lebih
menampakkan kepentingan besar kekuasaan di Jakarta atas Aceh. Tentu bukan tanpa
alasan Jakarta menawarkan opsi pemberlakuan syariat Islam di Aceh tapi tidak di
daerah lain. Yang menjadi persoalan adalah di mana kepentingan Jakarta dan
kepentingan Aceh itu bertemu?
Keempat, Aceh abad 21 adalah Aceh yang berbeda dari sebelumnya. Selain telah
lepas dari periode yang menempatkannya sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) di
zaman Orde Baru, Aceh juga baru saja diguncang oleh prahara alam tsunami tahun
2004 yang lalu. Di samping itu, nasib Aceh (baru) kemudian banyak ditentukan oleh
hasil nota kesepakatan (Memorandum of Understanding, MoU) Helsinki tahun 2005.
Formalisasi syariat Islam diberlakukan sekitar dua tahun sebelum tsunami dan MoU
Helsinki. Meskipun pada awalnya MoU Helsinki disambut dengan kontraversi opini di
tingkat nasional, satu hal yang tidak bisa dimungkiri adalah kenyataan bahwa sekarang
Aceh mulai memasuki sebuah fase sejarah baru. Beberapa warga yang sempat saya
ajak berbincang-bincang memberi tekanan pada faktor "rasa aman" sebagai pembeda
utama antara periode saat ini dengan masa-masa sebelumnya.
Sejauh menyangkut karya-karya akademik ilmuwan Indonesia, studi paling
komprehensif tentang formalisasi syariat Islam di Aceh sejauh ini adalah karya yang
justru ditulis oleh pendukung utamanya sendiri, yakni Prof. Dr. Al Yasa' Abubakar, yang
sampai awal Maret 2008 menjabat sebagai Kepala Dinas Syariat provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Beberapa karyanya, terutama yang berjudul Syariat Islam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, tidak bisa dilewatkan
oleh siapa pun yang ingin mengkaji problematik pemberlakuan SI di Aceh bahkan di
Indonesia umumnya secara serius. Di dalamnya Al Yasa secara terang benderang
menyoroti seluruh dimensi persoalan formalisasi SI di Nanggroe Aceh Darussalam,
dimulai dari penjelasan tentang beberapa konsep dasar yang berhubungan dengan
syariat Islam, latar belakang sosial, budaya dan politik formalisasi SI, dasar-dasar
hukum pemberlakuannya, program yang sudah dilaksanakan, hambatan pelaksanaan
program, bahkan sampai beberapa kekeliruan dalam cara masyarakat awam
memahami syariat Islam. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa karya Al Yasa' ini
merupakan magnum opus tentang SI di Aceh yang sulit ditandingi oleh karya-karya
sejenis di daerah lain. Kelengkapan karya ini juga menjadikan kritik-kritik terhadap
formalisasi syariat Islam jadi tidak lagi terlalu berwibawa secara intelektual, terutama
karena kebanyakan kritik tersebut hanya berupa artikel-artikel pendek di media massa.
Tentang pelaksanaan SI di Aceh ia menulis (Abubakar, 2005, h. 20-21):
Masyarakat Aceh menginginkan pelaksanaan SI dalam arti yang seluas-
luasnya, sehingga selain tiga aspek ajaran di atas, akan ditambahkan
aspek-aspek yang meliputi pendidikan, kebudayaan (kesenian), tatanan
ekonomi dan keuangan, pelayanan kesehatan, dan penggunaan obat-
obatan (tidak mengandung zat yang diharamkan), kegiatan olahraga,
serta berbagai aspek lainnya. Begitu juga masyarakat Aceh
menginginkan SI yang akan dilaksanakan adalah SI yang dapat
menjawab permasalahan yang ada sekarang dan sesuai dengan
kebutuhan masa kini. Jadi bukan SI seperti yang dipahami oleh ulama
masa lalu, yang cocok untuk masa mereka dan tidak cocok lagi untuk
kebutuhan kita sekarang. Masyarakat Aceh tidak ingin dan tidak akan
berusaha menarik jarum jam kehidupan masyarakat mundur ke
belakang.[6]
Pasar Aceh dekat Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Foto: Hikmat Budiman
Dari kutipan di atas, ada beberapa konsep yang bisa didiskusikan. Pertama,
pemberlakuan syariat Islam di Aceh, yang kemudian diatur oleh beberapa produk
formalisasi SI, itu ditarik sampai titik terjauh kemungkinan implementasinya dalam
sebanyak-banyaknya bidang kehidupan masyarakat sehari-hari. Kedua, kenginan untuk
melakukan revitalisasi ajaran lama untuk kebutuhan pengaturan sosial kontemporer,
dan; Ketiga, sebagai konsekwensinya ada kebutuhan untuk melakukan
rekontekstualisasi syariat Islam dengan kondisi masyarakat saat ini yang sudah jauh
berbeda. Perluasan cakupan konsep syariat akan membawa kita pada diskusi tentang
apa yang belakangan di Aceh disebut "pelaksanaan syariat secara kaffah".
Dalam upaya revitalisasi ajaran lama untuk mengatur kehidupan kontemporer
masyarakat Aceh tersebut, paling tidak ada dua hal yang saling terkait: pertama,
asumsi bahwa Aceh pernah mengalami sebuah periode historis ketika syariat Islam
digunakan sebagai acuan sistem hukum dalam masyarakat yang dibayangkan jauh
lebih baik daripada yang terjadi saat ini; kedua, asumsi bahwa segala hal negatif yang
terjadi saat ini bisa dicarikan solusinya melalui penerapan ajaran lama tadi. Di lain
pihak, kebutuhan untuk melakukan rekontekstualisasi sebuah ajaran pada dasarnya
adalah sebuah pengakuan bahwa kalau diperlukan maka ajaran tersebut harus
diperbaharui. Rekontekstualiasi berarti mengukur relevansi sosial konsepsi-konsepsi
dengan sebuah konteks objektif. Konsekwensinya, kalau keduanya tidak berkesesuaian
maka yang harus diubah adalah konsepsinya bukan konteksnya. Tapi bukankah
formalisasi syariat justru bertujuan untuk mengubah kehidupan masyarkat agar sesuai
dengan ajaran Islam? Artinya, formalisasi bertujuan mengubah konteks ke mana ia
akan disesuaikan.
Salah satu karya mutakhir yang cukup baik mendeskripsikan formalisasi SI mulai dari
proses pembuatan Peraturan Daerah (Perda), implementasinya sampai pengawasan
pelaksanaannya dirangkum dalam sebuah manuskrip yang, sayangnya, sampai saat ini
belum diterbitkan. Manuskrip tersebut didasarkan pada hasil penelitian di 7 (tujuh)
kabupaten/kota di tiga provinsi yakni di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan
Kalimantan Selatan.[7] Kelebihannya terletak pada kesanggupannya untuk bukan
hanya menginventarisasi beberapa persoalan pelik sebagai ekses pemberlakuan
integrasi agama dan aturan negara, melainkan juga menempatkan fenomen formalisasi
SI dalam konteks proses demokratisasi di tingkat lokal (daerah tingkat II). Studi-studi
yang dilakukan di ketujuh wilayah tadi memperlihatkan bahwa upaya formalisasi SI
lebih memperlihatkan peta kontestasi kepemimpinan daerah di antara sesama elit lokal
daripada kesungguhan untuk menjalankan ajaran agama secara benar dalam praktek
hidup masyarakat. Pragmatisme politik elit lokal untuk meraih supremasi dalam
pemilihan kepada daerah (Pilkada), dengan kalimat lain, telah mendorong mereka
memobilisasi dukungan melalui upaya-upaya pengerahan dan manipulasi sentimen-
sentimen keagamaan.
Deskripsi Singkat tentang Syariat Islam di Aceh
Dua peristiwa penting yang terjadi di Aceh yang krusial sifatnya pada politik nasional
adalah pemberlakuan otonomi khusus melalui UU No. 18/2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dan peristiwa prahara tsunami tahun 2004. Kebijakan otonomi daerah
yang secara nasional berlaku pada tingkat kabupaten/kota, di Aceh, dan kemudian
Papua, justru diberlakukan pada tingkat provinsi. Padahal, salah satu alasan mengapa
otonomi daerah diberlakukan pada level daerah tingkat II adalah untuk menghindari
potensi separatisme kalau hal itu diberlakukan pada satuan teritorial yang lebih luas
setingkat provinsi. Tapi bukankah Aceh dan Papua justru merupakan dua wilayah yang
paling rawan memisahkan diri dari kesatuan wilayah Indonesia? Bagaimana otonomi
daerah diberikan untuk mencegah disintegrasi tapi di sisi lain justru dilihat sebagai
pembawa potensi disintegrasi nasional, bolehjadi memperlihatkan kondisi dilematis
yang dialami Indonesia ketika memasuki periode transisi dari era otoritarianisme.
Pemberian otonomi khusus bagi Aceh mengukuhkan klaim tentang keistimewaan
daerah ini dibanding wilayah-wilayah lain di Indonesia. Empat keistimewaan Aceh
adalah keistimewaan dalam kehidupan beragama, adat, pemerintahan, dan (peran)
ulama.
Salah satu pusat perbelanjaan modern di kota Banda Aceh.
Foto: Hikmat Budiman
Salah satu produk kebijakan dalam kerangka otonomi khusus Aceh adalah formalisasi
SI. Secara sederhana, formalisasi SI adalah proses integrasi beberapa ajaran yang
terkandung dalam fiqih Islam ke dalam bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah daerah.
Tujuan utamanya adalah untuk mengatur kehidupan warga provinsi NAD agar sesuai
dengan kaidah-kaidah atau ajaran Islam. Membentuk masyarakat Islami
dimanifestasikan dalam bentuk upaya memberlakukan kontrol atas tertib sosial dengan
mengacu pada hukum-hukum Islam (syariat). Legitimasi atas kontrol sosial tersebut
dikukuhkan dengan penerbitan beberapa peraturan daerah (Perda) yang di Aceh
Darussalam disebut Qanun[8], yang maknanya lebih kurang sepadan dengan
istilah Canon dalam bahasa Inggris. Qanun yang secara khusus mengatur pelaksanaan
syariat Islam biasa disebut Qanun syariat.
Syariat dan Islam dalam frase "syariat Islam" sudah diterima sebagai dua hal yang
identik satu dengan lainnya. Bukan saja karena penggunaan kata syariat secara
spesifik memang hanya dipakai dalam konteks pembicaraan tentang ajaran Islam (tidak
ada diskusi tentang syariat Kristen atau Hindu, misalnya), melainkan juga karena
sebagian orang cenderung menganggap keduanya identik satu dengan lainnya. Al
Yasa' Abubakar, kepala Dinas Syariat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2001-
Maret 2008) mengartikan syariat sebagai:
Penutup
Sejauh menyangkut perkembangan pelaksanaan implemantasi SI di Aceh, ada
beberapa hal yang cukup menarik diperhatikan. Pertama, secara substantif cukup sulit
mencari kalangan yang secara terbuka menentang gagasan formalisasi SI di Aceh.
Kalau selama ini perempuan niscaya dianggap sebagai korban pertama dari
pemberlakuan syariat Islam di mana pun, tapi itu tidak lantas menjadikan gerakan
perempuan di Aceh menolak formalisasi SI. Salah seorang aktivis gerakan perempuan
Aceh menegaskan bahwa sejak awal gerakan perempuan di Aceh tidak
mempersoalkan penerapan syariat Islam, tapi berusaha sangat kritis terhadap
beberapa ekses negatif yang ditimbulkan dalam implementasinya.[27] Cukup sulit
menghindari kesan bahwa formalisasi SI sebagai sebuah gagasan sudah hampir
dianggap selesai.
Kedua, sejauh menyangkut sikap-sikap kritis masyarakat terhadap implementasi
formalisasi SI, ada dua level implementasi yang saling terkait satu dengan lainnya:
bagaimana gagasan formalisasi SI diimplementasikan dalam bentuk kebijakan
pemerintah daerah, dan bagaimana pula kebijakan tersebut diimpementasikan di
lapangan. Pada level pertama kritik ditujukan kepada produk-produk kebijakan (Perda
atau Qanun) yang sudah dan akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sikap kritis
masyarakat dalam konteks ini bisa dilihat dari seringnya muncul pertanyaan tentang
mengapa pemerintah daerah dan DPRD hanya sibuk membuat aturan tentang hal-hal
kecil seperti perjudian atau khalwat, tapi tidak pernah membuat aturan tentang masalah
yang jauh lebih penting dan menyangkut kepentingan rakyat yang lebih besar seperti
tentang tindakan korupsi oleh para pejabat pemerintah. Pada level kedua, kritik
ditujukan kepada bentuk-bentuk praktek inkonsistensi, diskriminasi, penyalahgunaan
wewenang, sampai akibat-akibat negatif penerapan SI bagi warga yang menjadi objek
pemberlakuannya.
Ketiga, jika dilihat dari produk-produk legal yang telah diterbitkan sejak
pemberlakuannya lima tahun yang lalu, formalisasi syariat Islam di Aceh relatif bisa
dikatakan hanya berjalan di tempat. Setelah hampir tujuh tahun, misalnya, relatif tidak
banyak peraturan daerah (Qanun) yang diterbitkan yang langsung berkaitan dengan
pelaksanaan formalisasi SI. Dinas Syariat Islam NAD juga tampak relatif lebih hati-hati
dalam mempersiapkan rancangan Qanun yang diperkirakan bisa menimbulkan
kontraversi. Rancangan Qanun tentang pencurian, misalnya, sampai saat ini tidak
diteruskan pembahasannya dan "diendapkan" sampai waktu yang tidak ditetapkan
setelah ia mendapat banyak reaksi negatif ketika gagasan tentangnya diperkenalkan
kepada masyarakat.[29]
Keempat, kondisi sehari-hari masyarakat Aceh ternyata tidaklah seperti dalam
beberapa pemberitaan yang biasa dibaca di luar Aceh. Sebagian terbesar populasi
perempuan di Banda Aceh memang mengenakan jilbab, tapi di hampir semua tempat
umum sudah mulai banyak perempuan yang tidak mengenakannya. Wilayatul
Hisbah (WH), atau yang juga dikenal dengan sebutan "Polisi syariat" juga sudah
semakin jarang melakukan razia terhadap warga, terutama sejak terjadi kasus
tertangkapnya sepasang anggota polisi syariat yang sedang melakukan tindakan
asusila tahun 2007 yang lalu.[30] Kejadian ini juga memicu friksi antara WH tingkat
provinsi Aceh dengan WH tingkat kota Banda Aceh.[31]
Apa yang terjadi di Aceh, paling tidak di kota Banda Aceh, bolehjadi memperlihatkan
adanya jarak antara prakonsepsi yang sudah tertanam di kepala sebagian orang dari
luar Aceh dengan realitas yang ada di Aceh. Realitas sosial terus berubah, tapi
prakonsepsi tentangnya cenderung sering bertahan dan membekas lebih lama. Sejak
tujuh tahun lalu bayangan orang luar tentang Aceh dibentuk oleh sistem pekabaran dan
paparan diskursif tentang pelaksanaan formalisasi syariat Islam di wilayah ini. Setelah
tsunami tahun 2004 yang lalu, konstruksi yang berlangsung bukan hanya upaya
memulihkan kondisi fisik Aceh yang hancur akibat prahara alam, tapi juga dalam bentuk
bermacam-macam wacana yang ditulis tentang Aceh oleh sembarang jenis orang dari
berbagai jurusan keahlian dan kiblat kepentingan. Aceh yang hadir kepada sebagian
besar orang Indonesia dan dunia adalah Aceh hasil representasi yang berlapis-lapis,
saling merujuk satu sama lain, mulai dari surat kabar, berita TV tentang pelaksanaan
hukum cambuk, sampai rempah ruah cerita dalam blogosphere di internet.[32]
Hasilnya adalah sebuah konstruksi tentang Aceh yang mencekam, yang bukan hanya
masih terancam oleh kemungkinan bencana sosial seperti kelangkaan lapangan kerja
setelah periode rekonstruksi fisik selesai, atau problem dislokasi spasial para ex-
combatant GAM dalam struktur sosial masyarakat Aceh, tapi juga oleh ancaman razia
oleh polisi syariat yang bisa terjadi kapan saja. Meskpun sebagian warga menduga
bahwa razia-razia tersebut akan kembali banyak dilakukan pada bulan April 2008, tapi
secara keseluruhan kondisi Aceh di bawah rezim syariat Islam, paling tidak selama
kerja lapangan untuk studi ini dilakukan, tidaklah semencekam seperti apa yang selama
ini diberitakan.
Melihat Indonesia dari Aceh akan memberi kita sebuah gambaran yang menarik
tentang negara Indonesia setelah era Suharto. Berbeda dengan beberapa anggapan
tentang melemahnya negara vis a vis rakyat setelah rezim otorianisme Orde Baru
runtuh, pemberlakuan formalisasi SI di Aceh justru memperlihatkan bahwa Negara
masih sangat powerful dalam menentukan nasib rakyatnya. Sebagai sebuah cara untuk
meredam konflik atau sebagai sebuah ruang tempat para elit ulama meraih kembali
peran dan status tradisionalnya dalam masyarakat Aceh yang sedang berubah, negara
pusat berperan sangat menentukan. Melalui inisiatif formalisasi SI, pemerintah pusat
telah menciptakan sebuah kondisi sosial politik yang membuat elit dan masyarakat
Aceh terokupasi oleh apa yang secara historis diklaim sebagai identitas milik Aceh
hampir secara eksklusif: Islam. Dalam ungkapan lain, kesibukan elit dan masyarakat
Aceh dengan formalisasi SI tidak lain adalah proses deradikalisasi politik justru dengan
membawa peran dan status ulama kembali ke pusat wacana dan praktek politik lokal di
Aceh.
Simalakama politiknya sekarang berada di Aceh sendiri: Kalau formalisasi SI berhasil
dilaksanakan, Aceh beresiko dipandang sebagai sebuah wilayah ekslusif Islam dalam
khasanah Indonesia yang pluralistik. Dengan demikian, dalam konteks Indonesia baru,
kesulitan pertama pemerintah daerah Aceh kemudian adalah memberikan argumen
yang meyakinkan bahwa formalisasi syariat Islam di Aceh memang berhasil dan pantas
diteruskan bahkan mungkin diduplikasi di tempat lain, dan setelah itu menjelaskan
keberhasilan itu dalam konteks tegangan antara penekanan pada diversitas dan
komitmen pada kebangsaan yang telah disepakati. Dengan tinjauan tentang
problematik politik pengakuan (the politics of recognition) yang sudah diuraikan
sebelumnya di atas, status istimewa juga bisa dilihat sebagai sebuah perlakuan bagi
kelompok sosial yang dianggap minoritas dalam konteks ranah warga sebuah bangsa
yang lebih besar, seolah-olah tanpa keistimewaan itu kelompok tersebut tidak akan bisa
berpartisipasi dalam ranah-ranah publik dalam sebuah negara. Sebaliknya, kalau
formalisasi SI tidak berhasil dijalankan dengan sungguh-sungguh, dan tidak membawa
perbaikan pada kehidupan masyarakat Aceh, pemerintah pusat bisa mengalamatkan
seluruh kesalahannya kepada pemerintah dan warga Aceh sendiri. Sayangnya, dalam
praktek politik, di Indonesia sejauh ini paing tidak, jauh lebih mudah menetapkan batas
kategori kegagalan sebuah proyek kekuasaan daripada mengapresiasi
keberhasilannya.
Apakah dengan demikian biasa dikatakan bahwa sejak zaman Snouck Hurgronje
sampai saat ini Aceh adalah sebuah wilayah yang tidak pernah bisa ditundukkan
dengan kekuatan senjata tapi mudah dikendalikan dengan pendekatan keagamaan?
Apakah pemerintah pusat di Jakarta memang mengadopsi siasat Hurgronje dengan
memberi ilusi tentang identitas Aceh[33] sebagai wilayah tempat Islam dipraktekkan
secara kaffah dalam hidup masyarakat dan pemerintahannya sehari-hari, dan dengan
itu bukan hanya perlawanan politik dan senjata bisa dihentikan tapi malah menjadikan
Aceh, dalam pengertian sebagian dari elitnya, makin bergantung kepada Jakarta?
[34] Dalam kalimat lain, bisakah kita secara cukup aman mengatakan bahwa dalam
kasus Aceh, "biarkan orang Aceh sibuk dengan urusan syariat Islam, dan Indonesia
bisa terus berjalan tanpa gangguan ancaman separatisme dari elit-elit setempat"?
Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi sebuah rekomendasi bagi kajian lebih lanjut
tentang Aceh dan Indonesia baru.
Bibliografi
Abubakar, Al Yasa', Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Paradigma,
Kebijakan dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, 2005).
Akhmad, Chairul, "Syariat Islam setelah Irwandi Menang", dalam Rakyat Aceh Online,
tgl. 22 Januari 2007 <http://rakyataceh.com/ index.php?
open=view&newsid=1370&tit=Berita%20Utama%20-%20Syariat
%20Islam%20Setelah%20Irwandi% 20Menang >
Alisjahbana, Sutan Takdir, "Menuju Masyarakat Baru dan Kebudayaan Baru',
Indonesia-Prae-Indonesia" dalam Polemik Kebudayaan: pokok pikiran
St. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Poerbatjaraka, Dr. Sutomo,
Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, Ki Hajar Dewantara,disunting
oleh Achdiat K. Mihardja (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977)
Arif, Ahmad, dan Sidik Pramono, "Syariah Ketat di Serambi yang Terbuka",
dalam Kompas, 14 Agustus 2006.
Chalil, Zaki Fuad, Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimensi (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007).
Danial, Mahdi, dan Usamah, Pelaksanaan Syariat Islam dan Kekerasan Di Nanggroe
Aceh Darussalam, Laporan Penelitian The Aceh Institute (Banda Aceh:
The Aceh Institute, 2007).
Dominggus A. Mampioper, "Injil di Kepala Burung" in Voice of Human Rights (VHR)
News , 26 June 2007 <http://www.vhrmedia.com/vhr-news/bingkai-
detail.php?.g=news&.s=bingkai&.e=28 > (accessed 30 December
2007).
Formalisasi Agama. Tantangan Demokrasi Lokal. Temuan Penelitian di Tujuh
Kabupaten/Kota di Indonesia (Jakarta: LAPAR-YPKM-LK3, akan terbit).
Gutman, Amy, Identity in Democracy (Princeton and Oxford: Princeton University Press,
2003).
Ismail, Azman dkk., Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007).
Kamil, Sukron, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Ciputat:
Center for the Study of Religion and Culture).
DAFTAR PUSTAKA
http://jonnianwar.blogspot.com/2009/11/celana-panjang-wanita-aceh.html
Diakses tanggal 13 Oktober 2012 pukul 12.30
http://aceh.tribunnews.com/2012/03/21/perempuan-aceh-di-era-modern