indoktrinasi manipol-usdek sebagai hegemoni politik (1959
TRANSCRIPT
1
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai Hegemoni Politik (1959-1967)
Agil Kurniadi, Dr. Ita Syamtasiyah Ahyat
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jawa Barat, 16424, Indoneesia
Email: [email protected]
Abstrak
Jurnal ini membahas tentang indoktrinasi Manipol-USDEK pada masa demokrasi terpimpin. Masa demokrasi terpimpin dicirikan dengan kekuasaan yang otoriter dengan peraturan yang terpusat. Kekuasaan otoriter digunakan oleh Sukarno sebagai cara strategis indoktrinasi Manipol-USDEK untuk memberikan pedoman bagi rakyat. Melalui hal tersebut, indoktrinasi Manipol-USDEK terus diusahakan dengan berbagai macam regulasi yang mendukung indoktrinasi tersebut. Proses indoktrinasi akan dipaparkan sejak proses awal hingga berakhirnya rezim.
Kata kunci: Manipol-USDEK, indoktrinasi, Sukarno
Indoctrination of ‘Manipol-USDEK’ as a Political Hegemony (1959-1967)
Abstract
This journal is discussing about indoctrination of Manipol-USDEK in thu guided democracy.The guided democracy’s regime was characterized the power of authoritarian with the central of authority. The power of authoritarian was used by Sukarno as Strategic way the indoctrination of Manipol-USDEK for gave guidance for the people. Because of that, the indoctrination of Manipol-USDEK made being effort with the regulations which support the indoctrination. The process of indoctrination had being explored since the beginning until the end.
Key words: Manipol-USDEK, indoctrination, Sukarno
Pendahuluan
Demokrasi Terpimpin menjadi rezim Sukarno pada masa 1959-1967. Keberadaan
demokrasi terpimpin menempatkan Sukarno sebagai “ujung tombak” dalam mengendarai
“nahkoda kepemimpinan”. Dalam memimpin jalannya pemerintahan, Sukarno membuat suatu
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
2
konsepsi nasional yang bertujuan sebagai pedoman jalannya arah kekuasaan. Konsepsi nasional
tersebut bernama Manipol-USDEK1.
Manipol-USDEK menjadi sebuah agenda penting bagi pemerintah. Menurut Roeslan
Abdulgani, Manipol-USDEK memiliki makna sebagai keseluruhan pidato presiden Sukarno
yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959.2 Keberadaan
Manipol-USDEK benar-benar tidak bisa terlepas dari Dekrit Presiden 5 juli 1959.3 Bagi Sukarno,
Manipol-USDEK sangatlah penting untuk “menyelesaikan revolusi”. Peran penting dari
Manipol-USDEK menjadi garis besar kebijakan yang penting untuk melaksanakan kekuasaan.
Oleh karena itu, Manipol-USDEK wajib disebarluaskan dalam bentuk indoktrinasi.
Untuk mengindoktrinasikan Manipol-USDEK kepada rakyat Indonesia, diperlukan
langkah-langkah yang penting guna menyukseskannya. Secara garis besar, langkah-langkah
daripada indoktrinasi Manipol-USDEK terbagi menjadi dua, yakni retooling4 dan nation and
character building5. Bagi Sukarno, retooling harus dilaksanakan di berbagai bidang—bidang
eksekutif, legislative, yudikatif, pertahanan negara, alat-alat produksi, dan organisasi-organisasi
masyarakat.6 Dalam realisasinya, retooling benar-benar terjadi seperti yang diungkapkan
Sukarno. Retooling terjadi di Jaksa Agung7, DPR, hingga ke partai politik. Lalu, setelah
melakukan retooling, langkah Nation and Character Building diterapkan. Sukarno menerapkan
langkah-langkah tersebut dengan cara otoriter. Seringkali, langkah-langkah retooling dilakukan
secara paksa. Beberapa pelarangan terhadap organisasi yang dianggap menyimpang seperti
sekte-sekte keagamaan berupa Rotary Club, Freemasons dan Rosicrucians terjadikarena 1 Manipol-USDEK merupakan singkatan dari Manifestasi Politik-Undang-Undang dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional. 2 Roeslan Abdul Gani, “Pendjelasan Manipol dan USDEK” dalam Printono, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1960, hlm. 7 3 Secara hierarki, Manipol-USDEK merupakan penjelasan resmi dari Dekrit Presiden. Melalui hal tersebut Manipol-USDEK berdasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 karena Manipol-USDEK tidak bisa dilepaskan dari Dekrit Presiden. Sukarno, “ Manifestasi Politik Republik Indonesia” dalam Printono (ed), op.cit., 1961, hlm. 9 Ibid. 4 Retooling merupakan tindakan membongkar pasang lembaga-lembaga. Bagi sukarno, berarti mengganti sarana, alat, dan paratur yang tidak sesuai dengan pikiran demokrasi terpimpin agar menjadi sesuai. Sukarno, “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dalam Sukarno, Amanat Proklamasi III 1956-1960, Jakarta: PT Indayu Press, 1986, hlm. 114 5 Nation and Character Building menyangkut dalam pembangunan identitas bangsa. 6 Sukarno, “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dalam Sukarno, op.cit., hlm. 114 7 Retooling di Jaksa Agung terjadi pada 20 Januari 1960 bersamaan dengan kepolisian. Letjend. A. H. Nasution mengadakan rapat dengan jaksa agung untuk menyempurnakan koordinasi dan instansi pejabat yang berkepntingan dengan tugas-tugas kenegaraan. “Retooling & Reorganisasi Penting pada Kejaksaan Agung” dalam Duta Masyarakat No. 1736/VI, 19 Januari 1960, hlm. 1
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
3
dianggap membahayakan negara.8 Kemudian, Sukarno juga menerapkan retooling ke partai
politik berupa penyederhanaan partai dengan mencabut Maklumat X tentang Pembentukan
partai-partai dan menggantinya dengan Penpres No. 1/1959. Sukarno juga mengkritik, prinsip
trias politica, yakni pemisahan legislative, eksekutif, dan yudikatif.9 bagi sukarno, lembaga
legislative dan yudikatif hanyalah lembaga yang bertugas sebagai pembantu presiden untuk
melaksanakan kekuasaan. Sukarno berdebat dengan DPR mengenai penerimaan dan pengeluaran
negara dalam rancangan anggaran membuat Sukarno geram akan keputusan DPR. Keberadaan
DPR mengenai rancangan anggaran menghalangi kepentingan Sukarno. Sukarno mencari jalan
keluar dengan melobi partai-partai penguasa parlemen seperti PNI, PKI, dan NU serta wakil dari
angkatan darat untuk menyetujui kepentingannya untuk membubarkannya dan
merestrukturisasinya kembali. Mereka setuju. Akhirnya, pada 24 Juni 1960, Sukarno
merestrukturisasi kembali DPR menjadi DPR-GR dengan Penpres. No. 4/1960 yang berisi
tentang susunan kembali DPR-GR. Sementara itu, Mahkamah Agung menjadi Sukaeno untuk
menyempurnakan Manipol-USDEK di bidang hukum.10
Restrukturisasi DPR menjadi DPR-GR ternyata membuat perlawanan terhadap Sukarno.
Mereka, pihak-pihak yang melawan, membentuk sebuah “lembaga tandingan” yang bernama
Liga Demokrasi. Namun, penantangan terhadap Sukarno justru menjadi sebuah “malapetaka”
bagi Liga Demokrasi. Liga Demokrasi memperoleh banyak kecaman. Di Jawa Tengah, Liga
Demokrasi dilarang atas pertimbangan untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum.11
Sementara itu, di Surabaya, rapat Liga Demokrasi bubar karena diserbu ratusan pemuda.12
Pelarangan Liga Demokrasi dilakukan juga oleh Kolonel Sambas Atmadinata dengan melarang
anggota legion veteran RI untuk berhubungan dengan Liga Demokrasi.13 Keputusan mengenai
8 Herbert Feith, Sukarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 86 9 Ibid. 10 Ibid., hlm. 87 11 Panglima Kolonel Pranoto menginstruksikan untuk melarang sementara Liga Demokrasi di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, berdasarkan pertimbangan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum. “Liga Demokrasi Dilarang di Jawa Tengah atas Pertimbangan untuk Memelihara Keamanan dan Ketertiban Umum” dalam Bintang Timur, No. 93/XXXII, 14 Mei 1960, hlm. 1 12 Para pemuda yang berjumlah ratusan orang menghancurkan ruangan rapat seperti meja, kursi, kaca-kaca karena para anggota Liga Demokrasi membawa poster-poster anti-Sukarno dan anti-DPR-GR. “Parat Liga Demokrasi di Surabaya Bubar Diserbu Ratusan Pemuda” dalam Bintang Timur, No. 94/XXXIV, 16 Mei 1960, hlm. 1 13 “Berhubungan dengan Liga Demokrasi Bisa Dihukum” dalam Bintang Timur, No. 100/XXXIV, 23 Maret 1960, hlm. 3
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
4
pembubaran Liga Demokrasi dikeluarkan melalui Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No.
8/1961 mengenai “Larangan Liga Demokrasi”.
Indoktrinasi Manipol-USDEK ke Aspek-Aspek Kehidupan
Dalam penerapan indoktrinasi Manipol-USDEK di bidang pers, Sukarno memberikan
mandat kepada Roeslan Abdulgani14. Upaya mempengaruhi pers terjadi melalui pengaturan pers
melalui Penpres. No. 6 Thn. 1963 tentang pembinaan pers harus memberikan berita-berita yang
konstruktif. Segala hal mengenai izin penerbitan harus dimiliki oleh surat kabar dan majalah dan
semua izinnya harus ada dalam aturan Menteri Penerangan.15 Penerbitan surat kabar dan majalah
wajib mendukung pemberitaan mengenai Manipol-USDEK yang konstruktif dengan bersifat
mendukung Manipol-USDEK. Para penerbit surat kabar yang ingin memperoleh izin terbit
harus menjadi anggota SPS-OPS Pers.16 Bagi yang tidak menjadi anggota SPS-OPS Pers/
melanggar ketentuan yang berlaku, izin terbit akan dicabut.17
Berita-berita dari media massa nasional yang sifatnya berseberangan dengan kepentingan
pemerintah dilarang terbit. Kebijakan tersebut akan memperlancar kepentingan negara sehingga
menyuburkan kebijakan-kebijakan dari Manipol-USDEK. Namun, kritik tetap terjadi. Dalam
surat kabar Suluh Indonesia, dijelaskan mengenai hambatan-hambatan tersebut berupa
14 Roeslan Abdulgani, atau Cak Roes, dilahirkan di Surabaya, 24 November 1914. Ia merupakan anak dari saudagar kaya Haji Abdulgani. Ia memperoleh pendidikan agama yang kuat dari ibunya sehingga memberikan ilmu-ilmu agama yang kokoh. Ia memiliki kedekatan hubungan yang baik dengan Sukarno. Hubungan keduanya semakin erat ketika masa demokrasi terpimpin. Karena kedekatan hubungan antara keduanya tersebut, Roeslan Abdulgani memiliki kemampuan dalam menangkap dan menerjemahkan pemikiran-pemikiran dan keinginan Bung Karno. Bahkan, kedekatan Cak Roes dengan Sukarno membuat Cak Roes memperoleh kesempatan untuk memegang jabatan penting yang strategis. Pada tanggal 24 Oktober 1962, Sekretariat Negara mengumumkan pengangangkatan Roeslan Abdulgani sebagai Wakil Menteri Pertama Bidang Khusus sekaligus juga Menteri Penerangan. Diangkatnya Roeslan Abdulgani sebagai pejabat penting dalam struktur kenegaraan sangat disambut baik oleh banyak pers. Kolom-kolom Koran seperti Suluh Indonesia, Berita Indonesia, Warta Bakti, dan Bintang Timur sangat menyambut Roeslan Abdulgani sebagai sesorang yang telah diakui kualitas kecerdasan dan keuletannya dalam bidang penerangan. Lihat di Subiyarto, “Roeslan Abdulgani: Peranannya dalam Penerapan Pemikiran Bung Karno tentang Pembangunan Bangsa dan Pembangunan Karakter (Tesis)”, Depok: FIB UI, 2009, hlm. 95-96 15Presiden RI, Penetapan Prseiden. No. 6 Thn. 1963 tentang Pembinaan Pers, Pasal 6 16“Pers jangan Tinggalkan Kegotongroyongan Tidak Masuk SPS-OPS Pers, Izin Terbit Dicabut” dalam Suluh Indonesia, No. 258/X, 9 Agustus 1963, hlm. 1 17Ibid.
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
5
ketidakseimbangan mengenai hak menerbitkan surat kabar yang hanya bisa dikeluarkan jika
memiliki afiliasi pada organ-organ politik.18
Pemerintah juga memperkuat doktrinasi nilai-nilai Manipol-USDEK tersebut dengan
mengeluarkan kembali kebijakan mengenai pembinaan perfilman. Film menjadi perhatian bagi
orang-orang menengah ke atas pada saat itu. Pemicu diterbitkannya kebijakan perfilman ini
adalah pasaran film dikuasai 90% oleh film impor.19 Sementara itu, film-film buatan Indonesia
sendiri masih minim produksi. Dominasi film import milik negara-negara barat sangat
mengkhawatirkan. Pemerintah khawatir bahwa film-film yang ditampilkan tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia sehingga akan membentuk konstruksi pemikiran masyarakat yang tidak
nasionalis.
Pemerintah di bawah naungan Roeslan Abdulgani mengatur tentang pembinaan
perfilman di nasional. Pemerintah mengetatkan kebijakan di bagian penerbitan film impor
dengan syarat berupa tidak bertentangan Pancasila, kepribadian Indonesia, dan Manipol-USDEK
beserta pedoman-pedoman pelaksanaannya; tidak menjadi alat propaganda yang berasal dari
negara asing; sesuai dengan syarat-syarat ketertiban umum di Indonesia.20 Ketatnya penyeleksian
keluar masuknya film impor bertujuan untuk membangun kreativitas industri film dalam negeri
agar mampu menerbitkan film buatan sendiri.
Salah satu bentuk nyata dari pemerintah untuk membangkitkan industri film nasional
adalah mendukung Festival Film Asia Afrika (FFAA) III. Eksistensi dari FFAA III dijadikan
sebagai sarana propaganda dalam berjuang mencapai kesetaraan antara negara-negara Asia-
Afrika. Bagi Sukarno, penyelenggaraan FFAA didasarkan pada segi politis untuk
18 Ada tiga macam surat kabar. Pertama, surat kabar dalam golongan suara pemerintah, partai, dan organisasi golongan karya, tergabung dalam Front Nasional; kedua, surat kabar yang berafiliiasi dengan partai, atau organisasi/golongan karya yang tergolong dalam sekretariat bersama Front Nasional; ketiga, surat kabar independen/mandiri. Hal yang menjadi permasalahan adalah ketidakseimbangan mengenai hak dalam menertibkan surat kabar. Sebagai contoh, organ SOBSI tidak bisa mengeluarkan surat kabar, sedangkan organ lokal yang tergabung Front Nasional dengan mudahnya bisa mengeluarkan surat kabar. Lihat di“Masalah Penertiban Pers” dalam Suluh Indonesia, No. 207/XII, 8 Juni 1964, hlm. 2 19“Memetjahkan Masalah Pokok Perfilman Nasional sebagai Bangsa Merdeka”, Suluh Indonesia, No.132/XI, 4 Maret 1964, hlm. 3 20 Presiden RI, Penetapan Presiden No. 1 Thn. 1964 tentang Pembinaan Perfilman, Pasal 10
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
6
memperjuangkan persatuan dan membentuk dunia baru.21 FFAA juga dijadikan sebagai sarana
pengganyangan Malaysia selain sebagai persahabatan antarnegara.
Tahapan awal yang dilakukan oleh pemerintah memajukan pendidikan berlandaskan
Manipol-USDEK adalah menyeleksi koleksi-koleksi buku yang tersebar di wilayah Indonesia.
Pemerintah berupaya untuk mengantisipasi terbitnya buku-buku di luar nilai-nilai Manipol-
USDEK. Terbitnya buku-buku di luar nilai-nilai Manipol-USDEK sangat dicemaskan oleh
pemerintah karena mampu membentuk konstruksi berpikir yang menyimpang.
Sementara itu, Berbagai partai politik dan lembaga masyarakat menegaskan kembali
tentang pendidikan Pancasila. Berbagai partai politik dan lembaga masyarakat seperti NU, PSII,
Muhammadiyah, Protestan, Katolik, Hindhu Bali, Taman Siswa, Angkatan Bersenjata, PGRI,
IPPI, dan lain-lain tergabung dalam Musyawarah Penegasan Pancasila sebagai Dasar Pendidikan
(MPPDP).22 MPPDP dilaksanakan di Lembaga Administrasi Negara Jakarta pada 16 dan 17 Juli
1963 dan bertujuan untuk menegaskan Pancasila sebagai dasar pendidikan nasional.23 MPPDP
mendesak kepada Presiden Sukarno untuk memerintahkan kepada Menteri PD & K supaya
mengganti sistem Panca Wardhana menjadi sistem pendidikan nasional.24 Mereka menganggap
bahwa kebijaksanaan yang dijalankan oleh menteri PD & K adalah usaha tambal sulam serta
menekankan tafsiran Pancasila yang tidak tepat.25
Pancasila sebagai dasar pendidikan akhirnya disetujui oleh Sukarno. Disahkan pula
Penpres.No. 19 tahun 1965 tentang sistem pendidikan nasional Pancasila pada 25 Agustus 1965.
Sistem pendidikan nasional yang dirancang dalam pendidikan formal ini dibagi dalam dua bagian,
pendidikan sekolah dan di luar sekolah. Sistem yang tercipta secara sistematik ini menjadi landasan
bagi pemerintah untuk mewujudkan langkah nyata Manipol-USDEK. Dengan demikian, diharapkan
tidak ada sumber daya manusia yang menyimpang dari Pancasila.
Nation & Character Building menjelaskan bahwa pembangunan harus meliputi
pembangunan jasmani dan rohani untuk membentuk manusia sosialis Indonesia sejati. Untuk
21 “FFAA III Soal Politik Perluas Djadi FF NEFOS”, Suluh Indonesia, No. 138/XI, 11 Maret 1964, hlm. 1 22 “Pantjasila Satu-Satunya Dasar Pendidikan”, Suluh Indonesia, No. 237/X, 15 Juli 1963, hlm. 1 23Ibid. 24“Pantjasila Harus Dipegang Teguh sebagai Satu rangkaian Kesatuan”, Suluh Indonesia, No. 240/X, 18 Juli 1963, hlm. 1 25Ibid.
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
7
memperoleh tujuan tersebut, pengembangan olahraga menjadi salah satu prioritas
pengembangan pemuda. Dalam seminar olahraga di Hotel Indonesia, Soemali Prawirosoedirjo26
menekankan doktrin olahraga sebagai blueprint pelaksanaan kegiatan revolusi keolahragaan
Indonesia.
Bentuk nyata dalam merealisasikan doktrin olahraga pesta olahraga bagi masyarakat
dunia. Ganefo (Games of new Emerging Forces) merupakan wujud nyata realisasinya. Ganefo
menyelanggarakan kompetisi olahraga berkapasitas pesta olahraga dunia sekelas Olimpic
Games. Ganefo dijadikan sebagai ajang persatuan antar negara, terutama negara Nefos27 (The
New Emerging Forces).28
Dalam penyelenggaraannya, persiapan para pemuda untuk berkontribusi dalam pesta
olahraga Ganefo menjadi salah satu prioritas. Tiap putra-putri diharapkan mampu memberikan
segenap jiwa raganya kepada pelaksanaan Ganefo.29 Pemerintah telah mengadakan pembinaan
pemuda ke berbagai daerah. Dalam pembinaan tersebut, setiap daerah harus mengerahkan
sumbangan wakil-wakil olahragawan untuk diseleksi kembali sebagai perwakilan terbaik dari
tim Indonesia.30 Olahragawan terbaik disiapkan untuk berkompetisi di Ganefo.31
Penyelenggaraan Ganefo pada 10-24 November 1963 ternyata memberikan kesuksesan
yang besar. Pembukaan Ganefo dihadiri oleh 100.000 orang dan perwakilan dari 42 negara; serta
juga meliputi 2799 olahragawan dan official.32 Pendapat masyarakat umum mengatakan bahwa
26 Soemali Prawirosoedirjo merupakan seorang wakil ketua Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) 27The new emerging forces (Nefos) adalah negara-negara baru dan masih berkembang. 28 Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo S. H., Ganefo bertujuan sebagai wadah persatuan perjuangan antara negara-negara yang masih muda dan berkembang untuk menghalang atau jika terpaksa menghancurkan the old estabilished forces jika pemerintah mereka tidak mampu mengakhiri aktivitas-aktivitas imperialism yang dijalankan oleh warga negaranya. The new emerging forces (Nefos) merupakan negara-negara baru yang masih berkembang, sedangkan the old estabilished forces (Oldefos) merupakan negara yang telah lama merdeka dan biasanya melaksanakan imperialisme dan kolonialisme. Keberadaan negara Oldefos sebagai pelaksana imperialisme dan kolonialisme di negara Nefos menghasilkan merugikan Nefos sehingga berdialektika. Dialektika inilah yang diramalkan akan memenangkan Nefos sehingga terciptalah perdamaian dunia yang santa diimpikan. Lihat di Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo S. H., “GANEFO I adalah Persatuan Perdjuangan Negara-Negara The New Emerging Forces Melawan Kolonialisme dan Imperialisme” dalam Mimbar Indonesia, No. 9/XVII, September 1963, hlm. 12 29“Ganefo Menyangkut Prestise bangsa, Sukseskan!” dalam Suluh Indonesia, No. 264/X, 16 Agustus 1963, hlm. 7 30Ibid. 31Ibid. 32“Ganefo Jadi Kenyataan, Stadion Utama Terasa Kecil Menampung Arus Gelombang Nefos” dalam Suluh Indonesia, No. 36/XI, 11 November 1963, hlm. 1
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
8
Ganefo terasa lebih hebat dan lebih harmonis dibandingkan Asian Games IV.33 Apresiasi dari
berbagai negara berdatangan.34 Tujuan Ganefo sebagai alat pemersatu berbagai negara Nefos
berhasil. Kepala Team RPA, Touny, mengatakan bahwa mereka tidak begitu memerhatikan
medali, tetapi lebih banyak memerhatikan persahabatan.35
Upaya menghegemoni politik agama dalam nation building terlihat dari simpatinya
pemerintah untuk mendukung agama. Bentuk nyatanya adalah dukungannya terhadap berbagai
hari raya keagamaan.36 Upaya politisasi agama ini dilaksanakan oleh para redaktur surat kabar.
Salah satu surat kabar menjelaskan bahwa perjuangan nabi Muhammad di tanah Arab mampu
membentuk ikatan nasionalisme di kalangan umat Arab, yang pada akhirnya menciptakan negara
nasional Arab.37 Motif tulisan tersebut sungguh bersifat politis sehingga terlihat jelas bahwa
agama dipolitisasi untuk kepentingan pemerintah agar menjadi sarana pembinaan bangsa dalam
nation building.
Menjelang tahun 1965, pengaruh agama berkembang semakin kuat.Kuatnya pengaruh
agama berdampak pada jaringan-jaringan agama saat itu.38Beberapa bentuk menguatnya peran
agama terlihat pada doktrinasi agama dan solidaritas agama Islam. Doktrinasi agama semakin
menguat seiring dengan semakin dekatnya Sukarno dan PKI. Dapat dikatakan oleh penulis
bahwa hal-hal seperti ini adalah persaingan antara kubu agama dan komunis.
33Ibid. 34Salah negara yang mengapresiasi adalah negara Jepang. Toyama Tatsukumi, ketua delegasi olahraga Jepang ganefo I, menyatakan sukses besar dalam pertandingan persahabatan Ganefo. Baginya, Ganefo menjadi alat pengukur dan pengoreksi yang baik bagi IOC. Hal yang mendorong pemuda Jepang ikut Ganefo adalah hasrat persahabatan dengan bangsa Indonesia dan bangsa New Emerging Forces dalam gelanggang dan pertandingan. Lihat di “Ganefo Adalah Pengoreksi yang tegas Bagi IOC” dalam Suluh Indonesia, No. 54/XI, 2 Desember 1963, hlm. 3 35 “Kepala Team RPA Ke Ganefo I, Ad Touny: Ganefo I adalah Suatu Sukses Besar!”, dalam Suluh Indonesia, No. 57/XI, 5 Desember 1963, hlm. 3 36Sukarno selalu memberikan petuah-petuah agama dalam upaya mempengaruhi tokoh-tokoh agama dan rakyat agar turut bersatu dalam menyelesaikan revolusi.dalam hari raya natal pada 23 Desember 1963, Sukarno memberi petuah mengenai perjuangan kisah Nabi Isa. Sukarno mengemukakan bahwa seluruh hidup Nabi Isa, baik perkataan maupun perbuatannya, baik ajaran maupun amalnya, seluruhnya ditujukan kepada keselamatan dan kebahagiaan umat manusia yang menderita. Lihat di “Presiden Ajak Umat Kristen: Teruskan Perjuangan Kisah Nabi Isa” dalam Suluh Indonesia, no. 72/XI, 23 Desember 1963, hlm. 1 37 M. Assegaf, “Peranan Nabi Besar Muhammad SAW dalam Nation Building” dalam Suluh Indonesia, No. 264/X, 16 Agustus 1963, hlm. 7 38Beberapa jaringan agama Islam tersebut seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lain-lain. Ada pun salah satu jaringan agama Islam yang berada di kalangan mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
9
Salah satu kekuatan agama yang besar adalah pelaksanaan Konferensi Islam Asia Afrika
(KIAA). KIAA dilaksanakan pada 14 Maret 1965. Keberadaan KIAA bertujuan sebagai kunci
utama untuk membangun solidaritas beragama, terutama umat Islam. Penyelenggaraan KIAA
diketuai oleh H. Idham Chalid39 dan dua wakil ketua dari Asia dan Afrika, serta satu sekretaris
jenderal yang terpilih bernama H. A. Sjaichu40.41 KIAA terbagi menjadi organizing Committe
yang bersifat policy dan executive Committee yang bersifat pelaksanaan. Berbagai publikasi dan
propaganda disebarkan melalui siaran, bulletin mingguan, dan majalah bulanan.42 Dalam
penyelenggaraannya, diselenggarakan pekan film KIAA di Jakarta dan Bandung bioskop-
bioskop kelas 1.43 Pekan film KIAA digunakan sebagai alat dakwah menyebarluaskan ajaran
Islam .44 Selain itu, terdapat pula geleri-galeri pameran foto dan drama Islam untukk
memberikan pengetahuan seni dan agama Islam.45
Terbentuknya KIAA tidak bisa terlepas oleh peran menteri agama, Prof. K.H. Saifuddin
Zuhri. Ia menempatkan KIAA sebagai salah satu pilar persatuan umat Islam. Agama dijadikan
sebagi unsur mutlak dalam nation dan character building.46 Ia juga menandaskan bahwa KIAA
harus digelar sebaik mungkin sebagai dinamika bagi Islam dan umat-umatnya.47 Ia juga sangat
mendukung upaya pendidikan agama. Beberapa hal lain yang diliriknya juga mengenai buku-
buku cetak. Menteri agama mengajak kaum penerbit agar para penerbit turut memperhatikan
buku-buku pendidikan karakter dan indoktrinasi mental bangsa menuju ketahanan ideologi
negara.48
KIAA dilaksanakan juga untuk melaksanakan kepentingan nasional. Sekjen KIAA
mengatakan bahwa KIAA adalah peristiwa nasional dikarenakan KIAA bukan kepentingan kaum
39 H. Idham Chalid merupakan seorang wakil perdana menteri pada kabinet Ali Sastroamidjoyo II 40K. H. A. Sjaichu merupakan salah satu orang yang pernah menjabat ketua PBNU. 41 M. Suwardy, “Gema Konferensi Islam Asia Afrika” dalam Gema Islam, No. 67/IV, 1 Februari 1965, hlm. 18 42Beberapa siaran tersebut adalah RRI dan TVRI; bulletin yang diterbitkan berupa Aneka Warta KIAA; dan majalah bulanan yang diterbitkan berupa Gelora KIAA dan The Violence of AAIC (majalah Inggris). Lihat di Ibid. 43“Gema KIAA” dalam Gema Islam, No. 68/IV, 15 Februari 1965, hlm. 26 44Ibid. 45Ibid. 46“Menjadi Tanggung jawab Ummat Islam untuk Menggalang Persatuan Nasional” dalam Duta masyarakat, No. 5324/XII, 25 Februari 1965, hlm. 1 47“Mengabaikan dan Menodai Terhadap Kepercayaan Beragama Tidak Dapat Dibenarkan” dalam Duta Masyarakat, No. 5328/XII, 1 Maret 1965, hlm. 1 48 “Buku-Buku Kitapun Harus Mendidik Rakyat” dalam Duta Masyarakat, No. 5320/XII, 20 Februari 1965, hlm. 1
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
10
muslimin, tetapi untuk seluruhnya.49 Empat puluh negara mendaftar dalam KIAA tersebut.50
Dukungan terhadap penyelenggaraan KIAA berdatangan. Ikatan Sarjana Katolik Indonesia
(ISKI) menyatakan dukungannya, serta bersyukur kepada Tuhan atas terselenggaranya KIAA di
Bandung.51 Keoptimisan ini dirasakan juga oleh negara di luar Indonesia. Ketua delegasi US
berpendapat bahwa Islam punya pedoman hidup berdampingan secara damai.52
Akhir dari Manipol-USDEK
Menjelang bulan September 1965, pertentangan antara PKI dan TNI AD memanas.
Manipol-USDEK digunakan oleh PKI dalam melaksanakan programnya yang disebut tahap
“nasional demokrasi dan tahap sosial demokrasi” yang pada akhirnya mewujudkan masyarakat
sosialis/komunis.53 PKI menyatakan bahwa melaksanakan Manipol-USDEK berarti sama saja
merealisasikan “masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia”, tetapi pihak-pihak yang tidak
melaksanakan Manipol-USDEK berarti anti-Pancasila dan menentang Sukarno.54 Selain itu,
Politik luar negeri “konfrontasi” menjadi momentum bagi NI AD dan PKI. Angkatan Darat
tersudutkan dalam politik “konfrontasi”, sementara PKI semakin memperoleh simpati. Konflik
tanah yang ada di daerah-daerah membuat PNI dan NU di daerah-daerah tersebut geram untuk
melemahkan PKI. Selain itu, kehadiran Partai Murba juga berusaha untuk melemahkan PKI.
Partai Murba mencoba membentuk Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) sebagai resistensi
terhadap PKI, tetapi Sukarno melihat BPS sebagai ancaman terhadap PKI Partai Murba
dibubarkan pada 6 Januari 1965.55
Pertentangan antara PKI dan TNI AD sudah tidak dapat diredam sehingga muncullah
peristiwa tragis G 30 S. peritiwa ini membunuh 6 elite tentara. Ada lima skenario di mana dalam
skenario tersebut memiliki perspektif masing-masing untuk mengungkapkan dalang siapa di
balik kudeta yang gagal itu. Lima skenario itu terbagi indikasi menjadi PKI sebagai dalang;
49“40 Negara yang mendaftar ikut KIAA Suara Umat Islam dari Dua Jazirah” dalam Duta Masyarakat, No. 5329/XII, 2 Maret 1965, hlm. 1 50Ibid. 51Ibid. 52“Islam Punya Pedoman-Pedoman Mengenai Koeksistensi Damai” dalam Duta Masyarakat, No. 5352/XII, 25 Maret 1965, hlm. 1 53 Kopkamtib, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia, Kopkamtib: cetakan khusus, 1978, hlm. 48 54Ibid. 55Ibid., hlm. 111
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
11
masalah internal angkatan darat; Sukarno yang bertanggung jawab; Suharto di balik Gestapu;
dan jaringan intelejen dan CIA.56 Namun, beberapa oknum PKI tetap menjadi dalang dalam
peristiwa tragis ini. Nyoto mengungkapkan bahwa memang ada oknum-oknum PKI yang
terlibat, tetapi juga ada oknum CIA.57 Dikatakan pula, Beberapa negara asing juga terlibat dalam
peristiwa ini. beberapa negara tersebut seperti negara Amerika, Inggris, dan Jepang. Ketiga
negara tersebut mencoba untuk menyingkirkan Sukarno dalam struktur kekuasaan. Keterlibatan
ini nyatanya sangat terlihat pada sat terjadinya orde baru. Amerika dan Jepang memperoleh
keuntungan melalui perusahaan-perusahaannya yang berbondong-bondong datang ke
Indonesia.58 Sementara itu, Inggris memperoleh keuntungan karena adanya penghentian
konfrontasi Malaysia.59 Kudeta PKI yang hampir berhasil mengakibatkan gagalnya PKI dalam
memperoleh kekuasaan pemerintahan.
Pasca terjadinya G 30 S, ketidakstabilan politik mulai bangkit dan mengancam
indoktrinasi Manipol-USDEK. Rakyat dan mahasiswa kembali turun ke jalan untuk menuntut
pembubaran PKI. Situasi tersebut membuat PKI terdesak untuk diganyang. Reaksi tersebut
membentuk gerakan “anti-G30 S/PKI” yang dinamakan sebagai sebagai Kesatuan Aksi
Pengganyangan G 30 S/PKI Front Pancasila (KAP Gestapu/Front Pancasila) untuk memberantas
sikap PKI.60 Lalu, muncul pula tuntutan mahasiswa untuk membubarkan PKI dengan
menyampaikan tritura pada tanggal 10 Januari 1966.61 Bahkan, PWI pun juga menuntut
pembubaran PKI. Dalam kongres luar biasa PWI yang disahkan menjadi Kongres Biasa PWI
XII, diambil keputusan bahwa secara aklamasi menuntut dibubarkannya PKI dengan segala
56 Hermawan Sulistyo, seorang akademisi sekaligus juga pengkaji tentang Pembantaian PKI, mengungkapkan lima scenario tersebut dengan dukup detail. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di Hermawan Sulistyo, Pallu Arit di Ladang Tebu,Jakarta: KP Gramedia, 2000, hlm. 47 57Lihat di W. F. Wertheim, G 30 S (di Mata Penulis Asing) Bila Arsip-Arsip Dibuka (Apakah Soeharto Terlibat G 30 S), Kronik Book (Cetakan Khusus), 1999, hlm. 8 58Ibid., hlm. 9 59Ibid., hlm. 10 60 Sulastomo, op.cit., hlm. 157 61Saat itu, HMI bersama organ gerakan-gerakan lainnya membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk melaksanakan tuntutan berupa pembubaran PKI. Sikap HMI jelas, yakni membubarkan PKI, walaupun HMI berdalih bahwa tindakan ini atas dasar pertimbangan ideologi, bukan atas rasa balas dendam atas perbuatan PKI karena telah mengebiri HMI. Lihat di Ibid., hlm. 160
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
12
ormas-ormas yang bernaung di bawahnya yang terlibat dalam G 30 S.62 Berita-berita tentang
indoktrinasi Manipol-USDEK tersingkirkan oleh berita-berita mengenai “pembersihan PKI”.
Sementara itu, Presiden Sukarno menegaskan bahwa peristiwa G 30 S itu terkutuk dan
sangat mencela Dewan Revolusi yang telah mendemisionerkan Kabinet Dwikora untuk
menyelesaikan peristiwa itu secara politis.63 Baginya, G 30 S dengan usaha membentuk Dewan
Revolusi dan yang akan melakukan coup itu adalah benar-benar tindakan yang terkutuk dan
tercela.64
Indoktrinasi Manipol-USDEK telah mengalami kehabisan umur karena insiden Gestapu.
Kini, konstelasi politik berubah.PKI semakin sulit untuk bernafas dikarenakan terjebak dalam
kudetanya yang gagal. Sebagaimana yang diungkapkan dalam induk karangan, kondisi sosial dan
politik telah dimenangkan oleh kekuatan rakyat yang Pancasilais bersama ABRI.65 Berikut
ungkapan dalam induk karangan.
“…Dengan hancurnya PKI dan terlarangnya kegiatan dan pikiran mereka, tentulah persoalan tahapan revolusi
Indonesia sepenuhnya harus tunduk kepada falsafah Pancasila, sebagai ajaran baru yagn menolak Deklarasi
Kemerdekaan AS dan Manifesto Komunis. Tidak bisa lagi ada kesempatan dalam bentuk dan ukuran apapun untuk
menerapkan ajaran marxisme di dalam penyelesaian tahap demi tahap revolusi Indonesia…
… Masuknya revolusi ke tahap sosialis sama sekali bukan menurut hukum dialektik marxis yang diukur dari
sampainya PKI ke puncak kekuasaan mutlak, melainkan harus diukur dari kondisi kekuatan Pancasilais yang
tergabung dalam orpol dan ormas sekarang ini, karena memang sosialisme yang kita kehendaki adalah sosialisme
yang berdasar Pancasila yang diridhai Allah SWT.”66
Presiden Sukarno memberikan langkah pengamanan berupa SP 11 Maret kepada Suharto
agar mengondusifkan keadaan. Namun, Sukarno enggan untuk membubarkan PKI. Padahal,
MPRS –yang saat itu telah dipimpin oleh Nasution– sangat mendukung pembubaran PKI.
Dukungan pembubaran PKI dibuktikan dengan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 yang
62“Kongres Biasa PWI ke XII Secara Aklamasi Menuntut Bubarkan PKI/Ormas-Ormasnya” dalam Berita Yudha, No. 267/I, 6 November 1965, hlm. 1 63“Bantulah Memulihkan Ketenangan Tanpa Takut-Takut” dalam Berita Yudha, No. 269/I, 8 November 1965, hlm. 1 64Ibid. 65“Tentang Tahapan Revolusi” (Induk Karangan) dalam Duta Masyarakat, No. 5691/XII, 15 April 1966, hlm. 1 66Ibid.
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
13
ditandatangani pada 5 Juli 1966.67 Keadaan inilah yang membuat rakyat menjadi kecewa
terhadap Sukarno.
Kekecewaan rakyat terhadap Sukarno menjadi “bumerang” baginya. Kewibawaannya
jatuh. Berbagai gelar nama besarnya tidak diakui. Gelar “Bapak Marhaenisme” yang diberikan
oleh PNI kepada Sukarno dicabut.68 Kejatuhan wibawa Sukarno juga terlihat dari Laporan
Pertanggungjawabannya dalam pidato “Nawaksara”. Berbagai penolakan muncul
pascapertanggungjawaban.
Nasib buruk juga menimpa kepada Manipol-USDEK seiring jatuhnya kewibawaan
Sukarno. Kritik-kritik terhadap Manipol-USDEK berdatangan. B. M. Diah menuding bahwa
Manipol-USDEK adalah “program komunis” yang umumnya terdapat pada program politik,
ekonomi, dan kebudayaan.69 Dikatakan pula bahwa Manipol-USDEK menciptakan dualisme,
berbeda dengan UUD 1945 yang tidak demikian.70
Manipol-USDEK dianggap sebagai biang keladi dari maneuver PKI untuk menjalankan
strategi-strategi politiknya. Para pimpinan PKI selalu menggunakan Manipol-USDEK sebagai
pembuka jalan bagi konsepsinya sendiri.71 Maka dari itu, Presiden Sukarno dianggap telah
melakukan dua kesalahan, yakni tidak wasapada dalam mengamankan Pancasila dan
membiarkan pertumbuhan PKI.72 Sukarno pun terdesak. Desakan tersebut yang akhirnya
membuat Sukarno menjadi benar-benar melepas jabatannya sebagai presiden. Pada 20 Februari
1967, Sukarno menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Suharto sebagai pengemban Tap
MPRS No. IX/MPRS/1966 dengan aturan Tap MPRS No.XV/MPRS/1966.73 Pelantikan presiden
Suharto terjadi pada 12 Maret 1967. Dalam Tap MPRS No.XXXIII/MPRS/1967, Presiden 67Dalam isi yang ditampilkan di Tap tersebut, pembubaran PKI diikuti juga dengan semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.Lihat di MPRS, Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NRI Bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme, Pasal 1 dalam MPR, op.cit., hlm. 190 68 Telah dikabarkan oleh Dewan Pimpinan daerah PNI/Front Marhaenis Jawa Barat bahwa Bung Karno tidak diakui sebagai “Bapak Marhaenisme” karena masih mengakui sebagai marxis. Lihat di Kompas, No. 180/II, 4 Februari 1967, hlm. 1 69“Manipol, Jarek Adalah Program Komunis” dalam Kompas, No. 181/II, 6 Februari 1967, hlm. 1 70 Gustav Trinanda, “Manipol Menciptakan Dualisme dan Anarkisme” dalam Kompas, No. 192/II, 18 Februari 1967, hlm. 3 71“Tuntutan Hapusnya Manipol” dalam Kompas, No. 210/II, 11 Maret 1967, hlm. 2 72Ibid. 73“Presiden Sukarno Menyerahkan Kekuasaan Pemerintahan pada Jenderal Suharto” dalam Kompas, No. 196/II, 23 Februari 1967, hlm. 1
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
14
Sukarno tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional, sebagaimana layaknya
kewajiban seorang mandataris terhadap MPRS sebagai memberikan mandat, yang diatur dalam
UUD 1945.74 Tap tersebut juga mengangkat Jenderal Suharto sebagai presiden.75 Dalam sidang
tersebut, MPRS mencabut Tap MPRS No.1/MPRS/1960 tentang Manipol-USDEK sebagai garis-
garis besar haluan negara, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang dengan
mengeluarkan Tap MPRS No.XXXIV/MPRS/1967.76 Tap tersebut menjelaskan bahwa
“Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai
garis-garis besar haluan negara, sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang”.77
Kesimpulan
Indoktrinasi Manipol-USDEK menjadi suatu hal yang penting dalam pelaksanaan
kekuasaan pada masa demokrasi terpimpin. Indoktrinasi Manipol-USDEK mampu
melagitimasikan kekuasaan Sukarno sebagai pemimpin besar, sekaligus juga digunakan untuk
mempengaruhi rakyat agar tunduk kepada pemerintah. Melalui indoktrinasi tersebut, Sukarno
juga memiliki kesempatan untuk mengejawentahkan hasil pemikirannya mengenai Indonesia
yang ia inginkan. Impiannya mengnenai Indonesia yang bersih dari penjajahan, baik secara fisik
ataupun nonfisik, dan juga bersatunya golongan agama, komunis, dan nasionalis sangat dicita-
citakan. Akan tetapi, Sukarno tidak berhasil melaksanakan impiannya. Indoktrinasi Manipol-
USDEK gagal terlaksana karena pecahnya golongan komunis dan agama.
Langkah-langkah indoktrinasi berupa retooling dan nation & character building menjadi
gerakan strategis bagi pelaksanaan indoktrinasi. Langkah-langkah indoktrinasi tersebut sekaligus
juga menjadi propaganda yang mampu “mengambil hati rakyat” sebagai legitimasi dari
indoktrinasi dan besarnya kekuasaan Sukarno. Di balik langkah-langkah tersebut, otoritarianisme
tetap menjadi kendali utama bagi pemerintah untuk memperkuat kekuasaan. Namun, tidak dapat
74MPRS, Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno, Pasal 1 dalam MPRS, op.cit., hlm. 271 75MPRS, Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno, Pasal 4 dalam MPRS, log.cit. 76Manipol/USDEK Ditinjau Kembali” dalam Angkatan Bersenjata, No. 533/II, 13 Maret 1967, hlm. 1 77MPRS, Ketetapan MPRS No.XXXIV/MPRS/1967 tentang Peninjauan kembali Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republic Indonesia sebagai Garis-Garis Besar haluan Negara dalam MPR, op.cit., hlm. 278
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
15
dipungkiri bahwa keadaan politik yang penuh dengan nuansa “revolusi” mampu membuat rakyat
membentuk kekuatan pengendali jika terjadi penyimpangan dari jalannya “revolusi”. Dengan
demikian, demokrasi terpimpin memiliki keunikan di mana pemerintah dan rakyat memeliki
kekuatan masing-masing sebagai penyeimbang kekuatan.
Daftar Referensi
Arsip
Presiden RI, Penpres No. 3 Tahun 1959tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(lembaran cetak ulang)
Presiden RI, Penetapan Presiden RI No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan
Penyederhanaan Kepartaian (lembaran cetak ulang)
Presiden RI, Peraturan Presiden RI No. 1 tahun 1959 tentang Pembentukan Badan Pengawas
Kegiatan Aparatur Negara (lembaran cetak ulang)
Presiden RI, Peraturan Presiden RI No. 13 Tahun 1959 tentang Front Nasional (lembaran cetak
ulang)
Presiden RI, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam
Negeri
Presiden RI, Penetapan Preiden. No. 6 Thn. 1963 tentang Pembinaan Pers (lembaran cetak
ulang)
Presiden RI, Penetapan Presiden RI No. 13 Tahun 1963 tentang Larangan Mendengar Siaran
Radio dan Televisi Malaysia
Presiden RI, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 1963 tentang Pembentukan Institut Agama Islam
Negeri
Presiden RI, Penetapan Presiden No. 1 Thn. 1964 tentang Pembinaan Perfilman
Presiden RI, Penetapan Presiden No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan
Nasional Pancasila (Cetak Ulang)
Presiden RI, Peraturan Presiden RI No. 14 Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional
Presiden Republik Indonesia
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
16
Sumber Sejaman
A. Koran
Angkatan Bersenjata, Maret 1967
Berita Yudha, Oktober, November, Desember 1965
Duta Masyarakat, Januari 1960
_________, Februari, Maret 1965
_________, April 1966
_________, April 1967
Harian Rakyat, No. 2518/IX, 7 Januari 1960
Kompas, Januari 1960
_________, Agustus 1965
_________, Februari, Maret 1967
Suluh Indonesia, Mei, Juni, Juli, Agustus, November, Desember 1963
_________, Maret 1964
_________, Juni 1965
_________, Juli 1965
Warta Bhakti, September 1965
B. Majalah
Mimbar Indonesia, Februari, Juni, Agustus, September 1963
Historia, 2014
Gema Islam, Februari 1965
Kamus
Departemen Pendidikan Nasional, KBBI Android 3.02, 2008.
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
17
Buku
Abdulgani, Roeslan. 1964. Dihadapkan Tunas Bangsa. Jakarta: Bp. Prapantja
Adams, Cindy. 2011. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Penerbit
Media Pressindo
Adil, Hilman. 1993. Hubungan Australia dengan Indonesia 1945-1962 Jakarta: Djambatan
Budiarjo, Prof. Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Crtichley, Susan. 1995. Hubungan Australia dengan Indonesia. Jakarta: UI Press
Dahm, Bernhard. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan.Jakarta: LP3ES
Dake, Antonie C.A. 2005. Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan.
Jakarta: Aksara Karunia
Green, Marshall. 1992. Dari Soekarno ke Soeharto: G30S-PKI dari Kacamata Seorang Duta
Besar. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Feith, Herbert. 1995. Sukarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Hatta, Mohammad. 1960. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Djakarta: Penerbit Djambatan
_________,1960. Demokrasi Kita. Djakarta: PT Pustaka Antara
K., Iman Toto. 2001. Bung Karno dan Partai Politik. Jakarta: Grasindo
Kasenda, Peter. 2010. Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933. Jakarta: Komunitas
Bambu
Kopkamtib. 1978. Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia. Kopkamtib: cetakan
khusus
Legge, John D. 1972. Sukarno: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan
Lindblad, J. Thomas. 2000. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia, Berbagai Tantangan Baru.
Jakarta: LP3ES
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
18
MPR RI. 2001. Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 s/d 2000 (terbitan khusus),
sekjen MPR RI
Nasution, DR. A. H..1989. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5 Kenangan Masa Orde Lama.
Jakarta: PT Intidayu Press
Okham, Ong. 2009. Sukarno: Orang Kiri Revolusi dan G30S 1965. Jakarta: Komunitas Bambu
Patria, Nezar dan Andi Arif. 2009. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Pr., Subagyo, Hendra. 2001. Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Manipol-USDEK dalam Mata
Pelajaran. Djakarta: PP Tjipta Karya
Printono. 1961. Tudjuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Djakarta: Departemen Penerangan RI
Soepardo. 1963. Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia. Djakarta: Balai Pustaka
Sukarno. 1961. Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Manifestasi Politik Republik Indonesia.
Djakarta: Departemen Penerangan
Sukarno. 1933. Mentjapai Indonesia Merdeka. Bandung: Departemen Penerangan RI (Cetakan
Khusus)
_________, 1986.Amanat Proklamasi III. Jakarta: PT Indayu Press
_________, 1986.Amanat Proklamasi IV. Jakarta: PT Inti Idayu Press
_________, 2001.Indonesia Menggugat.Jakarta: Toko Gunung Agung
_________, 2001.Pemikiran-Pemikiran Politik Marhaen Sukarno.Yogyakarta: Media Pressindo
Sulastomo. 2008. Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke orde Baru: Sebuah Memoar.
Jakarta: Kompas
Sulistyo, Hermawan. 2000. Palu Arit di Ladang Tebu. Jakarta: KP Gramedia
Toto, Iman dan K. Rahardjo dkk. (ed.). 2001. Bung Karno dan Tata Dunia Baru; Kenangan 100
Tahun Bung Karno. Jakarta: PT Grasindo
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014
19
_________, 2001.Bung Karno wacana Konstitusi dan Demokrasi. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana,
Wertheim, W. F. 1999. G 30 S (di Mata Penulis Asing) Bila Arsip-Arsip Dibuka (Apakah
Soeharto Terlibat G 30 S).Kronik Book (Cetakan Khusus)
Yasni. Z. Dr. (ed.). 1978. Bung Hatta Menjawab. Jakarta: PT Gunung Agung
Disertasi
Ashidique, Jimlly. 1993. “Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam
Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-
1980-an” (Disertasi). Jakarta: Fakultas PascaSarjana UI
Tesis
Hasanah, Nur. 2006. “Hubungan Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat pada Masa Demokrasi
Terpimpin pada Tahun 1959-1966” (Tesis), Jakarta: FISIP UI Dep. Ilmu Politik Pasca
Sarjana,
Subiyarto. 2009. “Roeslan Abdulgani: Peranannya dalam Penerapan Pemikiran Bung Karno
tentang Pembangunan Bangsa dan Pembangunan Karakter (Tesis)” Depok: FIB UI
Suyanti, Sri. “Kebijakan Moneter: Sanering dalam Menahan Laju Inflasi pada Sistem Ekonomi
Terpimpin 1959-1966” (tesis), Depok: Program Pascasarjana FIB UI, 2004
Indoktrinasi Manipol-USDEK sebagai..., Agil Kurniadi, FIB UI, 2014