induksi & inhibisi_er
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Di dalam tubuh, obat , zat kimia dan toksin semuanya merupakan
benda asing untuk tubuh kita. Tubuh kita berusaha menyingkirkan
sendiri zat-zat kimia asing tersebut tanpa memperhatikan apakah
bersifat terapeutik atau berbahaya. Kebanyakan obat-obat harus
melalui biotransformasi, dan dimetabolisme sebelum dapat
diekskresikan.
Di dalam tubuh obat mengalami biotransformasi dimana tubuh
memetabolisme suatuobat dengan upayah mengubah bentuk obat
menjadi bentuk lain secara enzimatik yang berguna untuk tujuan
tertentu, utamanya adalah mengubah bentuk obat menjadi bentuk
hidrofil agar lebih mudah dieksresikan melalui urin.
Hasil biotransformasi atau metabolisme pada umumnya
bersifat kurang larut dalam lipid tidak aktif, mudah berionisasi
pada pH fisiologis, kurang terikat pada protein pada plasma
dan jaringan, sedikit tersimpan di dalam lemak dan kurang mampu
menembus membran sel, sehingga obat lebih mudah terionisasi,
tereksresi karena absorbsi secara difusi pada tubuli ginjal berkurang.
Jadi dengan biotransformasi yang umumnya dengan enzim mikrosomal
mati, aktivitas zat akan berkurang atau hilang walaupun ada kalanya
hasil biotransformasi bersifat aktif.
Namun di dalam tubuh juga dapat terjadi inhibisi antar obat.
Dimana pada saat obat yang berbeda diberikan dan memiliki efek
inhibisi yang mana bahan-bahan atau obat-obat yang mempengaruhi
kerja enzim makrosomal hati, maka kemungkinan obat yang satu dapat
mempengaruhi proses biotransformasi obat lain.
Oleh sebab itu percobaan studi induksi dan inhibisi metabolisme
obat dilakukan dengan pengukuran nilai Ke (laju eksresi), t1/2 (waktu
paruh), dan AUC (Area Under Curve) pada hewan coba dalam hal ini
kelinci (Oryctolagus cuniculus. Membuat kita mengetahui bagaimana
efek penghambatan dari pemberian suatu obat terhadap
biotransformasi obat lain secara invivo.
I.2 MAKSUD PERCOBAAN
Maksud dari percobaan ini adalah Untuk megetahui dan memahami
pengaruh pemberian suatu obat terhadap biotransformasi obat lain
secara in vivo.
I.3 TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengukur efek inhibisi
rebusan daun paliasa 10% pada enzim glukoronidase dengan
parameter penghambatan metabolism asetosal.
I.4 PRINSIP PERCOBAAN
Prinsip dari percobaan ini adalah pengukuran efek inhibisi rebusan
daun paliasa 10% pada enzim glukoronidase dengan parameter
penghambatan metabolism asetosal dengan membandingkan jumlah
kadar asetosal dalam darah kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang
diberikan rebusan daun paliasa 10% selama 5 hari dengan kadar
asetosal dalam darah kelinci (Oryctolagus cuniculus) tanpa pemberian
rebusan daun paliasa 10% berdasarkan nilai Ke (laju eksresi), t1/2
(waktu paruh), dan AUC (Area Under Curve).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 TEORI UMUM
Metabolisme/biotransformasi adalah upaya tubuh dalam
mengubah bentuk obat menjadi bentuk lain yang berguna untuk tujuan
tertentu. Utamanya adalah mengubah bentuk obat menjadi bentuk
hidrofil agar lebih mudah dieksresikan melalui urin
(//http;metabolisme_obat.org// 25 April, 2010).
Defenisi obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnose
pengobatan, melunakkan, menyenbuhkan atau mencegah penyakit
pada manusia atau pada hewan (Anief, 2003).
Biofarmasi meneliti pengaruh formulasi obat terhadap efek
terapeutiknya. Dengan kata lain, dalam bentuk sediaan aman, obat
harus dibuat agar menghasilkan efek yang optimal. Ketersediaan hayati
obat dalam tubuh untuk diresorbsi dan untuk melakukan efeknya juga
dipelajari (Farmaceutical dan Biological availability). Begitu pula
kesetaraanterapeutis dari sediaan yang mengandung zat aktif sama
(Therapeutic equivalence). Ilmu bagian ini berkemabang akhir tahun
1950-an dan erat hubungannya dengan farmakokinetika (Tjay,2002).
Organ utama yang bertanggung jawab untuk biotransformasi
obat adalah hati. Akan tetapi jaringan intestine, paru dan ginjal juga
mengandung sejumlah enzim biotransformasi. Jaringan lain dan
mikroflora intestine dapat pula berperan dalam biotransformasi obat
(G:\Biofar-Q\metabolisme-obat.html, 25 April 2010).
Biotransformasi terjadi terutama dalam hati dan hanya dalam
jumlah yang sangat rendah terjadi dalam organ lain misalnya dalam
usus, ginjal, paru-paru, limfe, otot, kulit atau dalam darah (G:\Biofar-
Q\BIOTRANSFORMASI « Moko Apt.htm, 25 April, 2010).
Sebagian besar biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim
mikrosom hati, demikian juga biotransformasi asam lemak, hormon
steroid, dan bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat
melintasi membran, masuk ke dalam retikulum endoplasma, dan
berikatan dengan enzim mikrosom. Sistem enzim mikrosom untuk
reaksi oksidasi disebut oksidase fungsi campur (mixed-function
oxidase = MFO) atau monooksigenase; sitokrom P-450 ialah
komponen utama dalam sistem enzim ini. Reaksi yang dikatalisis oleh
MFO meliputi reaksi N- dan O-dealkilasi, hidroksilasi cincin aromatik
dan rantai sampingnya, deaminasi amin primer dan sekunder, serta
desulfurasi (G:\Biofar-Q\BIOTRANSFORMASI « Moko Apt.htm, 25
April, 2010).
Obat yang telah diresorbsi usus ke dalam peredaran
didiangkut melalui sistem pembuluh porta ke dalam hati ; dengan
pemberian sublingual, rectal (sebagian), atau sebagian injeksi sistem
porta dan hati dielakkan. Dalam hati obat seluruhnya atau sebagian
mengalami perubahan-perubahan kimia dan umumnya hasil
perubahan (metabolit) tidak atau kurang aktif lagi, maka proses ini
sering dinamakan proses setoksifikasi atau bioinaktifasi (Tjay. 2002).
Obat-obat yang dimetabolisme sebelum diabsorbsi, baik pada
lumen ataun jaringan usus dapat menunjukkan ketersediaan hayati
yang menurun sebagai contoh alprenolol dimetabolisme decara
ekstensif oleh dinding usus saat diberikan dalam bentuk pelepasan
terkendali (Yandi syukri, 2002).
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat
dibedakan berdasarkan letaknya di dalam selnya, yakni snzim
mikrosom yang terdapat dalam retikulumsndoplasma halus (yang
pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan snzim non mirosom.
Kedua macam snzimuntuk metabolisme ini terutama terdapat di dalam
sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain msalnya ginjal, paru,
epitel saluran cerna, dan plasma. Di lumen saluran cerna juga
terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim
mikrososm mengkatalisis reaksi konyugasi glukoronid, sebagian besar
reaksi oksidasi obat. Serta reaksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan
enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya,
beberapa reaksi reduksi dan hidrolisis (Ganiswarna S., 1995).
Sebagian besar biotarnsformasi obat dikatalisis oleh enzim
mikrosom hati,demikian juga biotransformasi asam lemak, hormone
steroid, dan bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat
melintasi membran, masuk ke dalam retikulum endoplasma, dan
brikatan dengan enzim mikrosom (Ganiswarna S., 1995).
Enzim biotransformasi hepatik memainkan peranan penting
untuk inaktivasi dan selanjutnya eliminasi obat-obat yang ridak
terbersihkan dengan mudah melalui ginjal. Untuk obat-obat ini
misalnya teofilina, fenitoina, asetaminofen, dan lainnya., menunjukkan
hubungsan yang terbalik antara laju metanbolisme obat
(biotransformasi)dan waktu paruh eliminasi obat (Shargel Leon,
1988).
Reaksi-reaksi fase biasanya mengubah obat induk menjadi
metabolit lebih polar dengan menambahkan atau memfungsikan suatu
kelompok fungsional (OH, -NH2, -SH). Seringkali metabolit-metabolit
ini tidak aktif, meskipun dalam hal tertentu aktivitasnyahanya
dimodifikasi. Kalau metabolit fase I cukup terpolar, maka metabolit-
metabolit tersebut kemungkinan mudah diekskresi. Namun , banyak
produ-oroduk fase I tidak segera dieliminasi dan mengalami reaksi
berikutnya dimana suatu substrat endogen seperti glucuronic
acid,sulfuric acid, acetic acid, atau amino acid bergabung dengan
gugusan fungsional yang baru terjadi membentuk konjugat sangat
polar. Reaksi-reaksi konyugasi atau reaksi-reaksi sintesis yang
demikian adalah tanda-tanda metabolisme fase II (Ganiswarna S.,
1995).
Satu ciri menarik dari beberapa substrat-substrat obat tertentu
yang berbeda secara kimia adlah kemampuan mereka, dalam
pemberian obat secara berulang, untuk “menginduksi” sitokrom P450
dengan menaikkan laju degradasinya. Induksi ini berakibat pada suatu
akselerasi metabolisme dan biasanya penurunan dalam kerja
farmakologik penginduksi (inducer) dan jugs obat-obat yang diberikan
bersamanya. Namun, berkenaan dengan obat-obat yang
ditransformasi secara metabolic menjadi suatu metabolit-metabolit
reaktif, induksi enzim kemungkinan besar memperbesar toksisitas
jaringan yang dimediasi metabolit. (Bertram., 2001).
Aktifitas enzim bertambah bila jumlah protein enzim dalam sel
meningkat. Induksi enzim yang berperan dalam suatu metabolisme
obat akan mempercepat pnghancuran obat tersebut dan mengurangi
kerjanya Proses ini umumnya dipelajari di parenkim hati, namun
terjadi juga di sel lain misalnya fibroblast dan limfosit (Howard,. 1990).
Dalam hal tertentu, sebagtian besar biotransformasimetabolik
terjadi peda suatu tahap diantara penyerapan obat ke dalam sirkulasi
umum dan eliminasi melalui ginjalnya. Beberapa transformasi terjadi
di dalam lumen usus (intestinum) atau dinding usus. Secara umum,
s3mua reaksi ini dapat dimasukkan dalam satu dari dua kategori
utama yang disebut reaksi-reaksi fase I dan fase II (Bertram., 2001).
Tiga kelompok iobat pemacu kerja enzim (Howard,. 1990):
1. Obat yang meransang metabolisme dengan banyak cara misalnya
barbiturate.
2. Hidrokarbon polisiklik ( misalnya 3-4 benzo(a) pirin.Zat ini
merangsang metabolisme secara terbatas.
3. Steroid, terutama merangsang enzim mikrosom.
Banyak xenobiotika (dan demikian obat), khususnya senyawa-
senyawayang larut air dalam lemak dengan masa kontak dalam hati
lama, mampu menginduksi pembentukan enzim-enzim yang terlibat
dalam biotransformasi. Karena itu disebut sebagai inductor (enzim)
dan dibedakan menurut enzim yang diinduksi; jenis fenibarbital dan
jenis metilkolantren. Induksi jenis fenobarbital, yang sangat penting
untuk metabolisme obat, menaikkan proliferasi retikulum endoplasma
dan dengan demikian bekerja dengan jelas bobot hati. Induksi
menyangkut terutama sitokrom P450, disamping itu antara lain,
glokoronitransferase, glutationtransferase dan epoksidahidrolase lebih
banyak dibentuk. Induksi terjadi relative cepat dalam waktu beberapa
hari (Mustcler., 1999).
Bila obat yang dapat menstimulasi aktivitas enzim seringkali
digunakan, maka biotransformasinya dipercepat dan juga ekskresinya
sehingga jangka waktu kerjanya diperpendek. Dengan demikian pada
analgetika dan barbirturat tertentu terjadi toleransi. Karena enzim-
enzim ini kerjanya tidak selektif, artinya ridak bekerja hanya pada satu
obat, maka metabolisme obat-obat lain digunakan bersamaan juga
dapat dipercepat hingga aktivitasnya dan lama kerjanya berkurang
(Tjay. 2002).
Tahap- Tahap dalam Biotransformasi (BIOTRANSFORMASI «
Moko Apt.htm, 25 April, 2010) :
Reaksi metabolisme yang mengubah molekul obat secara
oksidasi, reduksi dan hidrolisis disebut reaksi fase I. Sedangkan pada
reaksi fase II terjadi penggabungan (konjugasi) molekul-molekul obat
dan juga metabolit-metabolit yang terjadi pada reaksi fase I dengan
senyawa tubuh sendiri. Dalam banyak hal diperlukan fase I sebagai
persyaratan reaksi konjugasi.
TABEL Ringkasan umum alur metabolisme Fase I dan II
Fase I atau reaksi fungsionalisasi
Reaksi Oksidasi
Oksidasi gugus aromatis
Oksidasi pada benzilik, atom karbon allilik, atom karbon
alfa pada karbonil dan imina
Oksidasi oada atom karbon alifatik dan alisiklik
Oksidasi melibatkan sistem C-heteroatom:
- C-N (amina alifatik dan aromatik, meliputi : N-
dealkikasi, deaminasi oksidatif, formasi N-okside,
N-hidroksilasi)
- C-O (O-dealkilasi)
- C-S (S-dealkilasi, S-oksidasi, dan desulfurasi)
Oksidasi alkohol dan aldehida
Reaksi Reduksi
Reduksi aldehid dan keton
Reduksi senyawa nitro dan azo
Reaksi Hidrolisis
Hidrolisis ester dan amida
Hidrasi epoxide dan arene okside oleh epoxide hidrase
Fase II atau Reaksi Konjugasi
Konjugasi asam glukuronat
Konjugasi sulfat
Konjugasi dengan glisin, glutamin, dan AA lain
Konjugasi glutation atau asam merkapturat
Asetilasi
Metilasi
Reaksi fase I
Pada reaksi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih
polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif, atau lebih aktif daripada
bentuk aslinya. Fungsi utama metabolisme fase I adalah menyiapkan
senyawa untuk metabolisme II dan tidak menyiapkan obat untuk
diekskresi. Yang termasuk dalam reaksi fase I adalah oksidasi,
reduksi, dan hidrolisis.
Reaksi Oksidasi
Yang sangat penting untuk biotransformasi ialah reaksi oksidasi
yang melibatkan oksidase, monooksigenase, dan dioksigenase.
Oksidase mengoksidasi melalui penarikan hidrogen atau elektron.
Oleh monooksigenase, satu atom oksigen dari molekul oksigen diikat
pada bahan asing dan atom oksigen lain direduksi menjadi air.
Sebaliknya, dioksigenase memasukkan kedua atom dari 1 molekul
oksigen ke dalam xenobiotika. Monooksigenase (mikrosom) yang
mengandung sitokrom P-450 dan juga sitokrom P-448 yang
merupakan protein heme memiliki makna terbesar untuk
biotransformasi oksidasi obat.
Reaksi Reduksi
Dibandingkan dengan oksidasi, reduksi hanya memegang
peranan kecil pada biotransformasi. Senyawa karbonil dapat
direduksi menjadi alkohol oleh alkoholdehidrogenase atau aldol
ketoreduktase sitoplasma. Untuk penguraian senyawa azo menjadi
amina primer melalui tahap antara hidrazo tampaknya ada
beberapa enzim yang terlibat, di antaranya NADPH-sitokrom P-450
reduktase. Yang masih belum diketahui seluruhnya ialah enzim
yang terlibat dalam reduksi senyawa nitro menjadi amina yang
sesuai. Secara toksikologik berarti ialah dehalogenisasi reduktif,
misalnya pada karbromal serta dari karbontetraklorida menjadi
kloroform.
Reaksi Hidrolisis
Reaksi biohidrolisis penting :
o penguraian ester dan amida menjadi asam dan alkohol serta amina
oleh esterase (amidase). Hidrolisis ester dapat berlangsung dalam
plasma (asetilkolinesterase nonspesifik, pseudokolinesterase dan
esterase-esterase lain) atau dalam hati. Amida dapat dihidrolisis
oleh esterase plasma meskipun lebih lambat dari esternya tetapi
lebih mungkin dihidrolisis oleh amidase hati.
o pengubahan epoksida menjadi diol berdampingan (visinal) oleh
epoksidahidratase ( sinonim epoksidahidrolase ) serta
o hidrolisis asetal ( glikosida ) oleh glikosidase.
Reaksi fase II
Merupakan penggabungan obat aslinya atau metabolitnya
dengan bermacam-macam komponen endogen. Reaksi konjugasi
yang dilakukan oleh enzim transferase memerlukan baik komponen
endogen maupun eksogen. Reaksi konjugasi mencakup:
reaksi antara senyawa yang mempunyai gugus hidroksil alkohol
atau fenol, gugus amino, gugus sulfhidril dan sebagian juga gugus
karboksil dengan senyawa tubuh sendiri yang kaya akan energi.
reaksi penggabungan antara senyawa asing, setelah diaktivasi dengan
senyawa tubuh sendiri (tidak teraktivasi). Kedalam reaksi terakhir
termasuk konjugasi asam karboksilat dengan asam amino.
II.2 URAIAN BAHAN
1. Alkohol (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi : Aethanolum
Sinonim : Alkohol
RM / BM : C2H6O / 46,07
Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah
menguap dan mudah bergerak, bau khas,
rasa panas, mudah terbakr denngan
memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam
kloroform P dan dalam eter P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan :Sebagai antiseptik
2. Aquadest (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi : Aqua Destillata
Sinonim : Air suling
RM / BM : H2O / 18,02
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau
dan tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pelarut.
3. Nama Resmi : Natrii Carboxymethylcellulosum
Sinonim : Natrium karboksimetilselulosa
Kelarutan : Mudah mendispersi dalam air, membentuk
suspensi koloidal, tidak larut dalam etanol
(95%)P, dalam eter P dan dalam pelarut
organik lain.
Rumus struktur :
Pemerian : Serbuk atau butiran; putih atau putih
kuning gading; tidak berbau atau hampir
tidak berbau; higroskopik.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai bahan pensuspensi
4. TCA (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : ACIDUM TRICHLOROACETICUM
Nama lain : Asam Trikloroasetat
RM / BM : C2HCl3O2/163,39
Asetosa
l
CH2OCH2COONa
C
OOH
CH2OCH2COONaOH
OHO
O
n
Pemerian : Hablur atau massa hablur; sangat rapuh; tidak
berwarna; rasa lemah atau getir dan khas.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam etanol
(95%) P dan dalam eter P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai pengendap.
5. Asetosal (Ditejn POM, 1979)
Nama Resmi : ACIDUM ACETYLSALICYLICUM
Nama lain : Asam Asetilsalisilat, Asetosal
RM / BM : C9H8O4 / 180,16
Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur
putih; tidak berbau; atau hampir tidak berbau;
rasa asam.
Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam
etanol (95 %) P; larut dalam kloroform P dan
dalam eter P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai sampel
Uraian Obat (Schmitz, 2009)
Nama Paten : Aspilets®
Indikasi : Nyeri ringan hingga sedang, demam,
peradangan, penghambatan agregasi
trombosit sebagai profilaksis sekunder pada
gangguan sirkulasi serebral, angina pectoris,
infark jantung.
Kontra Indikasi : Penderita hipersensitivitas (termasuk asma).
Penderita tukak lambung (maag), pernah atau
sering mengalami perdarahan di bawah kulit.
Penderita hemophilia dan trombositopenia,
karena dapat meningkatkan risiko terjadinya
pendarahan. Penderita yang sedang terapi
dengan antikoagulan.
Efek Samping : Retensi asam urat pada bagian pirai makin
kuat; pada overdosis : tinnitus, vertigo, mual,
muntah, pendarahan GI; alergi murni
(terutama disebabkan oleh pengotoran
bahan); sindrom Reye : hepatoensefalopati
pada anak-anak sebagai kelanjutan sakit virus
flu, infeksi saluran pernapasan atas, infeksi
Varicella.
Farmakodinamik : Hambatan siklooksigenase irrreversibel
dengan jalan asetilasi pada pusat aktif.
Farmakokinetik : Dengan absorbs oral 100%, bioavailabilitas
dalam plasma 68%, ikatan dengan protein
plasma 50-80% (makin tinggi dosis, makin
rendah ikatan plasma), mempunyai waktu
paruh 15 menit menit, di eliminasi di ginjal
(bergantung pada pH).
PP-nya 90-95%, plasma-t1/2 –nya 15-20 menit,
masa paruh asam salisilat adalah 2-3 jam
pada dosis 1-3 g/hari(Tjay, 2002).
Interaksi Obat : Furosemid: toksisitas salisilat meningkat,
paraben:alergi silang, Asetildigoksin:
penurunan kadar digoksin dalam plasma
(absorpsi berkurang), Imipramin: kasus
kematian pada takar lajak ASS pada waktu
yang sama.
Dosis : Pada nyeri dan demam oral 4 dd 0,5-1 g
p.c.,maksimum 4 gram sehari, anak-anak
sampai 1 tahun 10 mg/kg 3-4 kali sehari, 1-12
tahun 4-6 dd, diatas 12 tahun 4 dd 320-500
mg.
II.3. Uraian Tanaman
- Ekstrak paliasa (www.google.com)
a. Klasifikasi Tanaman
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Class : Dycotiledoneae
Sub class : Apetalae
Ordo : Malvaceales
Familia : Malvaceae
Genus : Klenhopia
Species : Klenhopia hospitale L
b. Morfologi tanaman
Tumbuhan paliasa merupakan pohon yang tingginya 5-
20 meter, daun bertangkai panjang berbatang jantung, lebar
berukuran 4,5-2,7 x 3 x 24 cm pada pangkal tulang daun
bercabang sehingga bertulang menjari, bunga bentuk malai,
diujung batang leher berambut halus, daun pelindung oval, tajuk
berkelompok, bentuk lanset, panjang 6-10 cm, berambut bentuk
bintang, daun mahkota 5 dan 4 bentuk pita lebar, dengan
pangkal berbentuk kantung, tajuk panjang 6 mm, berwarna
merah, kepala sari tertancap seperti perisai.
c. Kandungan kimia
Daun paliasa mengandung asam prusel, baherpinoid,
alkaloid, dan minyak atsiri serta sianida.
d. Kegunaan
Sebagai pencuci rambut, obat cuci mata dan obat
penyakit kuning.
II.4.Uraian Hewan Coba
a. Klasifikasi Hewan Coba
Klasifikasi Kelinci (Oryctolagus cuniculus), (Jassin, 1992)
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Sub class : Theria
Ordo : Logormoipha
Family : Orytolagidae
Genus : Oryctologus
Species : Oryctolagus cuniculus
b. Karakteristik Hewan Coba
Kelinci (Oryctolagus cuniculus), (Malole, 1989)
- Konsumsi pakan per hari : 100 – 200 g
- Konsumsi air minum per hari : 200 – 500 ml
- Diet Protein : 14%
- Ekskresi urine per hari : 35 ml
- Lama hidup : 5 – 7 tahun
- Bobot badan sewasa
- Jantan : 4 – 5,5 Kg
- Betina : 4,5 – 6,5 Kg
- Bobot lahir : 30 – 100 gr
- Dewasa kelamin :
- Jantan : 5 – 6 bulan ( 4,5 Kg )
- Betina : 6 – 7 bulan ( 4 Kg )
- Siklus estrus ( menstruasi ) : polyestrus ( diinduce )
- Umur sapih : 8 minggu , 1,8 Kg
- Mulai makan pakan kering : 16 – 18 hari
- Waktu untuk kawin kembali : 35 – 42 hari
- Rasio kawin : 1 Jantan 6 – 10 betina
- Jumlah kromosom : 44
- Suhu rektal : 39,50 C
- Laju respirasi : 51 kali / menit
- Denyut jantung : 200 – 300 kali / menit
- volume darah : 55 – 56 mL/ Kg
- Pengambilan darah maksimum : 7,7 mL /Kg
- Jumlah sel darah merah : 4 – 7 x 106
- Kadar hemoglobin ( Hb ) : 10 – 15 g / dl
II.5.Prosedur Kerja (Anonim, 2010)
a. Induksi
1. Disiapkan hewan coba yang telah dipelihara dan diadaptasikan
beberapa hari dan ditimbang masing-masing berat hewan coba.
2. Hewan coba dikelompokkan menjadi II, kelompok pertama
hanya diberi asetosal, kelompok kedua diberikan rebusan daun
paliasa 10% dilakukan selama 5 hari padsa hari ke 6 diberikan
asetosal.
3. Disiapkan anti koagulan pada masing-masing vial yang akan
dimasukkan plasma darah dari hewan coba.
b. Pengukuran Farmakokinetik
1. Kelinci yang telah diinduksi disiapkan.
2. Dibuat kurva baku asetosal pada masing-masing kelompok
hewan uji dengan konsentrasi 2, b4, 6, 8, 10 ppm, kemudian
masing-masing konsentrasi diukur serapannya pada panjang
gelombang 280 nm.
3. Panjang gelombang maksimum diambil dari slah satu larutan
baku asetosal ditentukan λ max pada daerah 280 nm yaitu 270-
290 nm.
4. Diambil darah pada hewan uji kelompok pertama pada menit ke
15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240. Lalu masukkan dalam vial
yang berisi anti koagulan.
5. Disentrifuge darah yang telah diambil dari hewan uji, untuk
mendapatkan serum darah, diukur absorban pada lat
spektrofotometri.
BAB III
METODE KERJA
III.1. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah :
1. Alat cukur (silet)
2. Batang pengaduk
3. Corong
4. Gelas kimia 100 ml
5. Gelas ukur 50 ml
6. Jarum suntik insulin
7. Kandang fisiologis
8. Kateter
9. Kuvet
10.Mouth Block
11.Sendok tanduk
12.Sentrifuge
13.Spektrofotometri
14.Spoit insulin
15.Spoit oral 1 ml, 3 ml, 10 ml
16.Stopwatch
17.Tabung Sentrifuge
18.Timbangan analitik
19.Timbangan hewan
20.Vial
III.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah :
1. Air suling
2. Alkohol 70 %
3. Aluminium foil
4. Aspilets® tablet
5. Betadine
6. NaCMC 1%
7. Rebusan daun paliasa 10%
8. Trichloroasetat (TCA)
III.3. Hewan coba
Adapun hewan coba yang digunakan dalam praktikum Studi
Induksi dan Inhibisi Biotransformasi Obat secara In Vivo adalah
kelinci (Oryctolagus cuniculus).
III.4. Cara Kerja
a. Penyiapan Hewan Coba
1. Disiapkan 2 ekor kelinci jantan yang dewasa dan sehat.
2. Ditimbang hewan coba.
3. Dikelompokkan hewan coba menjadi dua kelompok,
kelompok I tanpa pemberian rebusan daun paliasa 10% dan
kelompok II dengan pemberian rebusan daun paliasa 10%
selama 3 hari.
4. Dicukur bulu pada vena marginalis hewan coba
5. Dihitung volume pemberian obat pada hewan coba
b. Pembuatan Bahan
1. Pembuatan TCA 10%
a. Disiapkan alat dan bahan.
b. Ditimbang 10 gram TCA
c. Dilarutkan dengan 50 ml air suling
d. Dicukupkan dengan aquadest sebanyak 100 ml.
e. Dihomogenkan
2. Pembuatan NaCMC 1%
a. Disiapkan alat dan bahan.
b. Ditimbang Na CMC 1 gram.
c. Dipanaskan air 100 ml dan masukkan Na CMC lalu diaduk
hingga homogen dan disimpan dalam kulkas selama 1x24
jam.
3. Pembuatan Antikoagulan
a. Natrium sitrat ditimbang sebanyak 18 g
b. Natrium sitrat dilarutkan dengan air suling sedikit demi
sedikit sambil diaduk dengan menggunakan batang
pengaduk hingga jernih
c. Dipindahkan kedalam labu takar 100 ml kemudian
cukupkan volumenya sampai 100 ml
d. Disimpan kedalam lemari pendingin dan siap digunakan.
4. Pembuatan Rebusan Daun Paliasa 10%
a. Disiapkan alat dan bahan.
b. Ditimbang daun Paliasa sebayak 10 gram.
c. Direbus daun paliasa dengan 100 ml air hingga mendidih.
d. Disaring dan didinginkan
c. Pembuatan Larutan Obat
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Ditimbang Aspilets® sebanyak 406,14 mg.
3. Disuspensikan dengan NaCMC sebanyak 50 ml sambil
diaduk-aduk di atas penangas hingga homogen.
d. Perlakuan Hewan Coba
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Disiapkan dua kelompok kelinci yang telah diberi rebusan
daun paliasa 10% selama 3 hari dan tanpa pemberian
rebusan daun paliasa 10%.
3. Disiapkan vial sebanyak 16 buah kemudian diisi antikoagulan
natrium sitrat masing-masing 3 ml
4. Dibersihkan bulu-bulu yang ada dibagian permukaan daun
telinga menggunakan pisau cukur.
5. Dilakukan pengambilan darah awal pada vena marginalis
menggunakan spoit insulin yang diisi sedikit antikoagulan
sebanyak 1 ml sebagai darah blanko.
6. Diberikan obat Aspilets® secara per oral berdasarkan volume
pemberian pada masing-masing kelompok hewan coba
dengan menggunakan kateter dan mouth block.
7. Diambil darah dari vena marginalis pada masing-masing
kelompok hewan coba pada menit 15, 30, 45, 60, 90, 120 dan
150 menit sebanyak 0,5 ml.
8. Ditambahkan TCA 10% sebanyak 3 ml ke dalam masing-
masing vial
9. Dimasukkan masing-masing sampel darah ke dalam tabung
sentrifuge.
10.Disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 5 rpm
11.Dilakukan pengukuran pada spektrofotometer dengan cara
dipisahkan antara serum dan larutan baku
12.Dibuat data pengamatan dan kesimpulan.
13.Diambil supernatan yang terbentuk.
14.Diukur absorbannya menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 280 nm.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1. Data Kurva Baku
Kurva Baku Asetosal
Konsentrasi
(ppm)Absorban
2 0,118
4 0,201
6 0,295
8 0,380
10 0,450
IV.2. Data Plasma
Kadar Asetosal dari Kelompok Kontrol
X(t) Absorban
15 0,0770
30 0,1488
45 0,3033
60$ 0,3847
90 0,2611
120 0,1528
150 0,0476
Kadar asetosal dari Kelompok Perlakuan
X(t) Absorban
15 0,0855
30 0,1588
45 0,3166
60 0,3970
90 0,2760
120 0,1738
150 0,0550
BAB V
PEMBAHASAN
Biotranformasi adalah peristiwa perubahan kimiawi obat dalam
tubuh. Hasil biotranformasi atau metabolit pada umumnya bersifat kurang
larut dalam lipid, tidak aktif, mudah terionisasi pada pH fisiologis, kurang
terikat pada protein plasma dan jaringan, sedikit tersimpan di dalam lemak
dan kurang mampu menembus membrane sel sehingga obat akan lebih
mudah terekskresi karena reabsorbsi obat secara difusi pada tubulus
ginjal berkurang. Jadi dengan biotransformasi aktivitas obat akan
berkurang atau hilang.
Enzim yang berperan adalah sitokrom P-450. hasil biotransformasi
atau metabolit pada umumnya bersifat kurang larut dalam lemak, tidak
aktif, mudah terionisasi pada pH fisiologis, kurang terikat dalam protein
plasma dan jaringan sedikit tersimpan dalam lemak dan kurang mampu
menembus membran sel sehingga obat secara difusi pada tubulus ginjal
berkurang.
Pada percobaan ini akan diamati pengukuran efek inhibisi rebusan
daun paliasa 10% pada enzim glukoronidase dengan parameter
penghambatan metabolism asetosal dengan membandingkan jumlah
kadar asetosal dalam darah kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang diberikan
rebusan daun paliasa 10% selama 5 hari dengan kadar asetosal dalam
darah kelinci (Oryctolagus cuniculus) tanpa pemberian rebusan daun
paliasa 10% berdasarkan nilai Ke (laju eksresi), t1/2 (waktu paruh), dan
AUC (Area Under Curve).
Pada percobaan ini digunakan hewan coba kelinci (Oryctolagus
cuniculus). Hewan coba tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, dimana
kelinci 1 diberikan rebusan daun paliasa 10% selama 5 hari sebelum
praktikum, dan pada hari ke 6(hari praktikum) diberikan larutan obat
asetosal. Sedangkan kelinci 2 tidak diberi rebusan paliasa tetapi hanya
diberikan larutan obat asetosal pada hari praktikum.
Jalur metabolisme asetosal sama dengan jalur metabolism kortisol
yakni jalur glukoronidase. Kortisol adalah hormone kortikosteroid dimana
metabolismeya melalui enzim glukoronidase yang sama dengan asetosal
sehingga perubahan farmakokinetik asetosal dapat menggambarkan efek
terhadap kotisol endogen.
Rebusan paliasa 10% mengakibatkan inhibisi metabolisme
asetosal. Efek inhibisi rebusan daun paliasa 10% terhadap metabolism
asetosal menggunakan perubahan parameter farmakokinetik asetosal,
dimana kerja enzim glukoronidase yang memetabolisme asetosal akan
dihambat oleh kerja rebusan daun paliasa. Jika terjadi penghambatan
kerja enzim glukoronidase, maka kadar asetosal dalam darah kelinci
jantan akan lebih banyak di dalam darah disbanding kelinci control (hanya
diberi asetosal).
Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan kelinci yang
sebelum diberi perlakuan terlebih dahulu dicukur bulu bagian telinganya
agar vena marginalisnya lebih tampak dan pada saat pengambilan darah
dapat cepat berlangsung tanpa dihambat oleh adanya bulu-bulu disekitar
pengambilan darah. Pengambilan darah bukan dari pembuluh darah besar
karena bisa mengakibatkan pendarahan bahkan kolaps yakni suatu
kelemahan tubuh disertai depresi dan gangguan peredaran darah. Selain
itu karena kelinci memiliki vena marginalis yang jelas pada telinganya
yang memudahkan untuk pengambilan sampel darah. Pengambilan darah
dimulai dari daerah telinga bagian keluar ke dalam dengan maksud agar
pada saat pengambilan darah, darah tidak langsung keluar semuanya
yang nantinya dapat mengakibatkan pendarahan serta mencegah agar
jangan sampai hanya satu kali pengambilan darah langsung terambil
semuanya.
Pengambilan darah pada kelinci (Oryctolagus cuniculus) melalui
vena marginalis pada telinga kelinci yang akan ditampung pada botol vial
yang telah berisi antikoagulan. Tujuan antikoagulan dimaksudkan agar
plasma darah tidak membeku atau menggumpal, sehingga plasma darah
tetap cair. Dimana antikoagulan juga berfungsi mencegah terbentuk dan
meluasnya thrombus dan emboli, maupun untuk mencegah terbentuk dan
meluasnya darah invitro pada pemeriksaan laboratorium atau transfusi.
Sampel darah yang baru saja diambil dari vena marginalis telinga
kelinci langsung diletakan pada vial yang berisi anti koagulan. Hal ini
dimaksudkan agar plasma darah yang diambil tidak langsung membeku
dan tetap cair untuk pengukuran selanjutnya. Mekanisme antikoagulan ini
sendiri yakni menghambat pembentukan fibrin dan digunakan secara
profilaktid untuk mengurangi insident tromboemboli terutama pada vena.
Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah
dengan jalan menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan darah.
Antikoagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk dan meluasnya
thrombus dan emboli, maupun untuk mencegah terbentuk dan luasnya
darah invitro pada pemeriksaan laboratorium atau tranfusi. Antikoagulan
menghambat pembentukan fibrin dan digunakan secara profilaktid untuk
mengurangi incident tromboemboli terutama pada vena.
Untuk mengukur sample darah dengan spektofotometer
sebelumnya sampel darah tersebut disentrifus dengan penambahan
pengendap TCA yang dimaksudkan untuk mengendapkan protein-protein
darah dengan supernatannya, yang diambil sehingga tidak menggangu
pengukuran absorben sedangkan reagen pewarna dimaksudkan untuk
memberikan warna yang terang pada serum darah karena akan lebih
cepat menyerap cahaya pada spektrofotometer sehingga kadar obat
dalam plasma dapat diukur.
Sentrifuge dimaksudkan agar supernatan yang diperoleh adalah
supernatan yang jernih sehingga pengukuran absorben dapat maksimal
yang intinya memisahkan serum dan plasma, pada dasarnya serum dan
plasma dapat terpisah secara alami dengan cara didiamkan tetapi agar
lebih mudah dan cepat dengan menggunakan sentrifuge.
Mekanisme kerja sentrifuge yaitu terjadi momen gaya pada
sistemnya dari sampel yang ada dalam tabung terhadap pusat rotasi gaya
pada sistem tabung dan menyebabkan partikel-partikel zat terlarut dalam
pelarut menjadi pusat atau rotasi dengan kecepatan berbeda-beda,
bergantung pada besarnya partikel yang terlarut sehingga pada akhirya
partikel-partikel sukar larut sistem larutan berkumpul pada bagian terujung
dari sistem rotasi ini. Dengan metode ini maka zat tak larut ataupun
kelarutan yang rendah dapat diendapkan dengan menggunakan
sentrifuge.
Mekanisme kerja spektrofotometer yaitu sumber cahaya (lampu
tungsten/lampu deuterium) akan memancarkan cahaya polikromator atau
polikromatik yang akan mengenai sampel pada kuvet. Cahaya yang
mengenai sampel akan diserap sebagian sebagai absorban dan
sebagiannya akan ditransmisikan sebagai transmutasi. Monokromator
berfungsi (penguat) untuk mendapatkan radiasi monokromatis yang
memancarkan radiasi polikromatis dari suatu senyawa obat, detektor
berfungsi untuk mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal
elektronik. Kemudian analisis dengan spektrofotometri UV-VIS
meneruskan pembacaan absorban (A) dari transmitan.
Dari hasil praktikum dperoleh bahwa pada kelini yang diberi
perlakuan pemberia obat aspilet(asetosal) dengan pemberian paliasa 10%
selama 5 hari memliki nilai Ke adalah 0,0081 g/menit, t1/2 adalah 85,56
menit, dan AUC adalah 280 menit/ml. Sedangkan untuk kelinci yang diberi
aspilet (asetosal) tanpa pemberian aliasa 10% diperoleh bahwa nilai Ke
adalah 0,0096 g/menit, t1/2 adalah 72,18 menit, dan AUC adalah 0,57
menit/ml.
BAB VI
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum dperoleh bahwa pada kelini yang diberi
perlakuan pemberia obat aspilet(asetosal) dengan pemberian paliasa
10% selama 5 hari memliki nilai Ke adalah 0,0081 g/menit, t1/2
adalah 85,56 menit, dan AUC adalah 280 menit/ml. Sedangkan
untuk kelinci yang diberi aspilet (asetosal) tanpa pemberian aliasa
10% diperoleh bahwa nilai Ke adalah 0,0096 g/menit, t1/2 adalah
72,18 menit, dan AUC adalah 0,57 menit/ml.
VI.2 Saran
Jika boleh dilakukan percobaan menggunakan obat/bahan
lain masing-masing kelompok yang diketahui mempunyai daya ihibisi
selain paliasa 10%, agar kita dapat melihat bgaimana
perbandingannya hasil percbaan masing-masing kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Penuntun Praktikum Biofarmasi. Universitas Muslim
Indonesia : Makassar.
Anief,Moh,. 2003. Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Gadjah
Mada University Press : Yogyakarta. Hal 3
Ditjen POM, 1979., “ Farmakope Indonesia”., Edisi III, DEPKES RI.,
Jakarta.
Ernst Mustcler., 1999., “ Dinamika Obat”., Edisi V., ITB Bandung.
Ganiswarna S., 1995., “ Farmakologi dan Terapi”., Edisi IV., Bagian
Farmakologi, FK-UI, Jakarta.
Jassin Moeskoeri., 1997., “ Sistematika Hewan”, Sinar Wijaya Press,
Jakarta.
Katzung Bertram., 2001.,” Farmakologi Dasar dan Klinik”., Salemba
Medika., Jakarta.
Malole., 1989.,” Penggunaan Hewan Percobaan Di Laboratorium”.,
Depdikbud, Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.,
Bogor.
Mycek., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar, Widya medika : Jakarta.
Regers Howards dan Spector Rey,, 1990.,” Praktis Dalam
Faramakologi”,. Binarupa Aksara,. Jakarta.
Shargel Leon., 1988., “ Biofarmaseutika dan Farmakokinetika
Terapan”., Bagian Farmasi dan Farmakologi., fakultas farmasi
dan Ilmu Kesehatan , Boston.
Tan Hoan Tjay dan Rahardja Kirana., 1991., “Obat-Obat Penting”., Edisi
IV., Media Komputindo., Gramedia Jakarta.
Yandi syukri., 2002., “ Biofarmaseutika”., UI-Press. Jakarta.
G:\Biofar-Q\BIOTRANSFORMASI « Moko Apt.htm, 25 April, 2010.
G:\Biofar-Q\metabolisme-obat.html, 25 April, 2010
//http//metabolisme_obat.org//, 25 April, 2010
SKEMA KERJA
Disiapkan 2 ekor kelinci yang sehat
Kelinci I Kelinci II
Diberi rebusan daun paliasa 10% selama 5 hari
Diberi obar asetosal pada hari praktikum
Diberi obat asetosal pada hari ke 6/pada hari praktium
Ambil darah pada menit 15, 30,45, 0, 90, 120, dan 150.
Sentrifuge
Spektrofotometer
Pengolahan data tanpa daun paliasa 10 %
a. Kurva Baku Asetosal
Konsentrasi
(ppm)Absorban
2 0,118
4 0,201
6 0,295
8 0,380
10 0,450
a1 = 0,0522b1 = 0,0298r1 = 0,6802y1 = a1 + bx ……… (1) = 0,0522+ 0,0298 x
Regresi konsentrasi [ ] Vs AX(t) Absorban Cp Log Cp
15 0,0770 0,8322 0,079
30 0,1488 3,2416 0.511
45 0,3033 8,426 0,926
Pengolaan data
Tentukan nilai Ke, t1/2, dan AUC
Bandingkan kedua kelinci tersebut
60 0,3847 11,16 1,048
90 0,2611 7,0101 0,846
120 0,1528 3,376 0,528
150 0,0476 0,1544 0,811
Data plasma
A – aCp =
b 0,0770 – 0,0522
µ Cp (t = 15) = 0,0298
= 0,8322
0,1488– 0,0522µ Cp (t = 30) =
0,0298
= 3,2416
0,3033 – 0,0522µ Cp (t = 45) = 0,0298
= 8,426
0,3847 – 0,0522µ Cp (t = 60) = 0,0298
= 11,16
0,2611– 0,0522µ Cp (t = 90) =
0,0298
= 7,0101
0,1528 – 0,0522
µ Cp (t = 120) = 0,0298
= 3,376
0,0476 - 0,0522µ Cp (t = 150) =
0,0298
= 0,1544Regresi 3 data terakhir (fase ekskresi)
T Log Cp90 0.846
120 0,528150 0,811
a2 = 0,214
b2 = 0,0042
y2 = 0,214 + 0,0042x ……. (2)
Ke = -b2 x 2,303
= 0,0042 x 2,303
= 0,0096 g/menit
0,693t½ =
Ke
0,693=
0,0096
= 72.18 menit
Cp = anti log a2
= anti log 0.214
= 1,637
Regresi 3 data pertama (Fase absorbsi)T Log Cp15 0,07930 0,51145 0,926
a3 = 0,229
b3 = 0,0043
y3 = 0,229 + 0,0043x ……. (3)
Cdiff = a log Ce - a log Ca
t (menit) Log Ce Log Ca a Log Ce a log Ca15 0,277 0,294 1,982 1,96730 0.34 0,358 2,187 2,28045 0,403 0,423 2,529 2,648
a log Ce = anti log Ce
log Ce = y2 Subtitusi ke pers. (2)
y (15) = 0,214 + 0,0042(15)
= 0,277
y (30) = 0,214 + 0,0042 (30)
= 0,34
y (45) = 0,214 + 0,0042 (45)
= 0,403
a log Ca = anti log Ca
log Ca = y3 Subtitusi ke pers. (3)
y (15) = 0,229 + 0,0043 (15)
= 0,294
y (30) = 0,229 + 0,0043 (30)
= 0,358
y (45) = 0,229 + 0,0043 (45)
= 0,423
Cdiff (15) = 1,982 - 1,967 = 0,015
Cdiff (30) = 2,187 - 2,280 = 0,093
Cdiff (45) = 2,529 - 2,648 = 0,119
T C diff Log C diff15 0,015 1,82430 0,093 1,03145 0,119 0,924
Regresi t Vs log C diff
a4 = 0,347
b4 = 0,0039
y4 = 0,347 + 0,0039 x ………(4)
Ka = -b x 2,303
= 0,0039 x 2.303
= 0,0089 menit
ln (Ka / Ke)t maks =
Ka - Ke
ln (0,0089 / 0,0096) =
0,0089– 0,0096
= 108,285 menit
Db0 x F x Ka
Vd = Cp
0 (Ka – Ke)
2,1 x 0,8 x 0,0089 =
1,637(0,0089-0,0096)
= 130,48
F x Db0
AUC = Ke x Vd
0,8 x 2,1 =
0,0226 x130,48
= 0,57 menit/ml Pengolahan data dengan daun paliasa 10 %
a. Kurva Baku Asetosal
Konsentrasi
(ppm)Absorban
2 0,118
4 0,201
6 0,295
8 0,380
10 0,450
a1 = 0,0522b1 = 0,0298r1 = 0,6802y1 = a1 + bx ……… (1) = 0,0522+ 0,0298 x
Data plasma
Kadar asetosal dari Kelompok Perlakuan
X(t) Absorban Cp Log Cp
15 0,0855 1,117 0,048
30 0,1588 3,577 0,553
45 0,3166 8,872 0.948
60 0,3970 11,72 1,068
90 0,2760 7,51 0,875
120 0,1738 3,408 0,532
150 0,0550 0,093 1,031
A – aCp =
B 0,0855 – 0,0522
µ Cp (t = 15) = 0,0298
= 1,117
0,1588– 0,0522µ Cp (t = 30) =
0,0298
= 3,577
0,3166 – 0,0522µ Cp (t = 45) = 0,0298
= 8,872
0,3970 – 0,0522µ Cp (t = 60) = 0,0298
= 11,57
0,2760– 0,0522µ Cp (t = 90) =
0,0298
= 7,51
0,1738 – 0,0522µ Cp (t = 120) =
0,0298
= 3,408
0,0550 - 0,0522µ Cp (t = 150) =
0,0298
= 0,093
Regresi 3 data terakhir (fase ekskresi)
T Log Cp90 0,875
120 0,532150 1,031
a2 = 0,381
b2 = 0,0035
y2 = 0,381 + 0,0035x ……. (2)
Ke = -b2 x 2,303
= 0,0035 x 2,303
= 0,0081 g/menit
0,693t½ =
ke
0,693=
0,0081
= 85,56 menit
Cp = anti log a2
= anti log 0,381
= 2,41
Regresi 3 data pertama (Fase absorbsi)T Log Cp15 0,04830 0,55345 0,948
a3 = 0,377
b3 = 0,0037
y3 = 0,377+ 0,0037x ……. (3)
Cdiff = a log Ce - a log Ca
t (menit) Log Ce Log Ca a Log Ce a log Ca15 0,434 0,432 2,716 2,70330 0,486 0,488 3,062 3,07645 0,539 0,544 3,459 3,499
a log Ce = anti log Ce
log Ce = y2 Subtitusi ke pers. (2)
y (15) = 0,381 + 0,0035 (15)
= 0,4335
y (30) = 0,381 + 0,0035(30)
= 0,486
y (45) = 0,381 + 0,0035 (45)
= 0,539
a log Ca = anti log Ca
log Ca = y3 Subtitusi ke pers. (3)
y (15) = 0,377+ 0,0037(15)
= 0,432
y (30) = 0,377+ 0,0037(30)
= 0,488y (45) = 0,377+ 0,0037(45)
= 0,544
Cdiff (15) = 2,716 - 2,703 = 0,013
Cdiff (30) = 3,062 - 3,076 = 0,014
Cdiff (45) = 3,459 - 3,499 = 0,04
T C diff Log C diff15 0,013 1,8830 0,014 1,8545 0,04 1,39
Regresi t Vs log C diff
a4 = 7,95
b4 = - 0,056
y4 = 7,95+ - 0,056x ………(4)
Ka = -b x 2,303
= 0,056 x 2.303
= 0,129 menit
ln (Ka / Ke)t maks =
Ka - Ke
ln (0,129 /0,0081) =
0,129– 0,0081
= 22,88 menit
Db0 x F x Ka
Vd = Cp
0 (Ka – Ke)
2,8 x 0,8 x 0,129 = 2,41 (0,129 – 0,0081)
= 0,99
F x Db0
AUC = Ke x Vd
0,8 x 2,8 =
0,0081 x 0,99
= 280 mg menit/ml
Cp maks = Cp0 (e –Ke x t,maks) – (e-Ka x t maks)
= 3,49 (e-0,000166 x 81,66) – (e-0,0759 x 81,66)
= 1,919(0,986 - 0,00203)
= 1,88 mg/ml
Perhitungan Dosis & Bahan
1. Natrium sitrat (Antikoagulan) = 3 %
Artinya ditimbang 3 g dalam 100 ml aquadest
2. Aspilets®
Dosis = 30 mg
BE = 80 mg
Berat rata-rata = 222,8 mg
Untuk kelinci 1,5 kg = 500 x 0,07
= 35 mg
Untuk kelinci 2 kg = 2,0 x 35 1,5
= 46,667 mg
Untuk kelinci 2,5 kg = 2,5 x 35 1,5
= 58,33 mg
Larutan stok 50 ml
50 ml x 58,33 mg = 145,833 mg/50ml20 ml
Berat yang ditimbang = 145,833 mg x 222,8 mg 80 mg
= 406,14 mg
Vp kelinci untuk 1,5 kg = 1,5 x 20 = 12 ml2,5
Vp kelinci untuk 2 kg = 2,0 x 20 = 16 ml2,5