inflasi dalam perspektif triangle-model1.doc

46
INFLASI DALAM PERSPEKTIF TRIANGLE MODEL” SUATU ANALISIS DETERMINAN INFLASI DI INDONESIA PERIODE 2002 – 2007 SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN MONETER Oleh: NUNING TRIHADMINI ABSTRACT Central Bank of Indonesia with Inflation Targeting Framework (ITF) have a single objective, i.e. reach and maintenance price stability. High inflation causes decline in purchasing power and economics growth, so price stability is needed for economy stimulation in order to realized sustainable economic’s growth This research aims to find what variables in the “Triangle Model” have a significant impact to inflation in Indonesia, during 2002 -2007, with the simultaneous equation. Two Stage Least Square (2SLS) is used for data estimation. The data estimation’s result indicates that the factors which have impact alternately on Indonesian inflation are expectation, supply side, and than demand’s inflation side. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, kebijakan moneter bank sentral diarahkan untuk mencapai 1

Upload: nuning-trihadmini

Post on 29-Sep-2015

35 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

INFLASI DALAM PERSPEKTIF TRIANGLE MODEL

SUATU ANALISIS DETERMINAN INFLASI DI INDONESIA

PERIODE 2002 2007

SERTA

IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN MONETEROleh:

NUNING TRIHADMINI

ABSTRACTCentral Bank of Indonesia with Inflation Targeting Framework (ITF) have a single objective, i.e. reach and maintenance price stability. High inflation causes decline in purchasing power and economics growth, so price stability is needed for economy stimulation in order to realized sustainable economics growth

This research aims to find what variables in the Triangle Model have a significant impact to inflation in Indonesia, during 2002 -2007, with the simultaneous equation. Two Stage Least Square (2SLS) is used for data estimation.

The data estimations result indicates that the factors which have impact alternately on Indonesian inflation are expectation, supply side, and than demands inflation side. 1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, kebijakan moneter bank sentral diarahkan untuk mencapai single objective kestabilan harga yang menjadi goals dari Inflation Targeting Framework. Kestabilan harga apabila dilihat dari sisi internal terwujud dalam tingkat inflasi yang rendah dan stabil, dan apabila dilihat dari sisi eksternal adalah tercapainya stabilitas nilai tukar.

Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi menimbulkan dampak negatif pada distribusi pendapatan. Masyarakat golongan bawah dan berpendapatan tetap akan menanggung beban inflasi dengan turunnya daya beli mereka. Sebaliknya, masyarakat menengah dan atas yang memiliki asset-aset finansial seperti tabungan dan deposito dapat melindungi kekayaannya dari inflasi, sehingga daya beli mereka relatif tetap. Kedua, inflasi yang tinggi berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Tingkat inflasi yang tinggi sering diikuti dengan inflasi yang berfluktuasi, sehingga ketidakpastian inflasi menyebabkan investor cenderung melakukan investasi finansial jangka pendek yang cenderung bersifat spekulatif daripada melakukan investasi pada proyek yang bersifat produktif. Disamping itu, tingginya inflasi juga merupakan cermin dari ketidakpastian nilai uang yang menyebabkan tingginya premi resiko (risk premium) di pasar keuangan, yang menyebabkan pasar keuangan tidak efisien dan tingginya biaya pendanaan investasi yang kemudian berdampak negatif pada pertumbuhan. Apalagi dalam perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka (small open economy) dengan mobilitas modal luar negeri yang bebas, mengharuskan kita menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Dalam kondisi demikian, inflasi yang tinggi dan berfluktuatif merupakan faktor yang secara signifikan menyebabkan ketidakstabilan perekonomian, seperti yang tercermin dari tingginya volatilitas nilai tukar, tidak stabilnya pasar keuangan serta tingginya sensitivitas aliran modal.

Selain alasan di atas, bank sentral sebagai otoritas moneter tentu bertanggung jawab atas kemantapan dan kestabilan situasi moneter. Pengertian ini baik dalam arti pencapaian sasaran laju inflasi yang rendah ataupun kestabilan nilai tukar serta perkembangan makro ekonomi yang sehat. Salah satu konsensus yang ada dewasa ini adalah bahwa inflasi yang rendah dan stabil berperan penting dalam pertumbuhan perekonomian dan mekanisme pasar.

Kestabilan harga diperlukan dalam pembangunan karena secara umum inflasi menyebabkan timbulnya sejumlah biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat menurun. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

Oleh karena itu, menjadi prioritas utama bagi perekonomian untuk mencapai inflasi yang sehat dan stabil, yang diharapkan dapat memberikan stimulus bagi perekonomian, sehingga pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan dapat terwujud. Pemahaman tentang kebijakan moneter serta hal-hal yang mempengaruhi inflasi sangat diperlukan agar pergerakan variabel-variabel yang disinyalir berpengaruh terhadap inflasi lebih dapat diarahkan.

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa peran perubahan nilai tukar terhadap pembentukan inflasi di Indonesia adalah dominan, begitu juga perannya terhadap perilaku variabel ekonomi lainnya juga kuat. Perubahan kebijakan sistem nilai tukar dari managed floating ke free floating tentunya berdampak pada perilaku variabel makro, sehingga peran variabel-variabel tersebut sebagai bagian pembentuk inflasi, tentunya juga berbeda.

Agar dapat dirumuskan kebijakan yang tepat untuk mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, Bank Indonesia perlu memahami karakteristik inflasi di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu, masyarakat juga perlu mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap inflasi, sehingga dengan pengetahuan tersebut akan membantu masyarakat dalam pembentukan ekspektasi terhadap inflasi, yang akan mempengaruhi preferensi dalam melakukan kegiatan ekonomi.

Penelitian ini mengestimasi dan menganalisis determinan inflasi di Indonesia melalui pendekatan Triangle Model dengan memodifikasi model yang telah dikembangkan oleh Bank Indonesia (Small-scale Macromodel). Triangle Model mengacu pada teori ekonomi Neo-Keynesian yang dikemukakan oleh Robert Gordon, dimana dalam pendekatan tersebut determinan inflasi dijelaskan melalui inflasi permintaan, inflasi penawaran, dan ekspektasi inflasi. Pendekatan model pembentukan inflasi ini dikenal juga dengan Expectation-Augmented Philips Curve.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, kajian mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap inflasi sangat penting, khususnya bagi bank sentral, untuk mampu mengarahkan kebijakan moneter dalam mencapai sasaran inflasi. Oleh karena itu tulisan ini mencoba mengidentifikasi variabel-variabel apa saja yang berpengaruh terhadap tekanan inflasi melalui suatu persamaan simultan. Oleh karena itu, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Variabel apa saja dalam perspektif Triangle Model yang berpengaruh terhadap inflasi,

b. seberapa besar pengaruh inflasi permintaan, inflasi penawaran serta expected inflation terhadap inflasi di Indonesia?

c. di antara variabel-variabel tersebut, variabel manakah yang paling berpengaruh terhadap inflasi?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah mengestimasi dan menganalisis variabel-variabel dalam persamaan output gap, aggregate supply, real money balance, inflasi impor, dan nilai tukar, pengaruhnya terhadap inflasi di Indonesia, serta untuk mengetahui keseimbangan hubungan jangka pendek dan jangka panjang di antara variabel yang berpengaruh.

1.4Manfaat Penelitian

a.Bagi penulis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang keterkaitan hubungan antar variabel makro dalam perekonomian, khususnya pengaruh variabel tersebut terhadap inflasi, serta mengetahui peran kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi, sehingga dapat membantu pelaksanaan tugas penulis sebagai akademisi dalam menjelaskan fenomena perekonomian dan kebijakan moneter bank sentral, kepada anak didik khususnya.

b. Bagi masyarakat tulisan ini diharapkan dapat sedikit banyak memberikan penjelasan tentang inflasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, keterkaitan antara variabel moneter dengan variabel lainnya seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi, sehingga dapat memberikan masukan kepada masyarakat dalam menilai efektivitas kebijakan moneter, yang akan memberikan pengaruh terhadap pembentukan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi.

c. Bagi Bank Sentral, tulisan ini diharapkan bermanfaat untuk lebih memahami karakteristik inflasi di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, agar dapat dirumuskan kebijakan yang tepat untuk mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

2. KERANGKA TEORETIS DAN TINJAUAN LITERATUR

Tulisan tentang teori inflasi ini disarikan dari tulisan R. Akhis Hutabarat (Determinan Inflasi Indonesia, Bank Indonesia, 2005)

2.1 Teori Pembentukan Inflasi

Pembahasan determinan dan karakteristik inflasi Indonesia mengacu pada teori ekonomi Neo-Keynesian, yang oleh Robert Gordon disebut The Triangle Model Dengan pendekatan ini determinan inflasi Indonesia dijelaskan oleh inflasi permintaan, inflasi penawaran, dan ekspektasi inflasi.

Pendekatan model pembentukan inflasi ini dikenal juga dengan Expectation-Augmented Philips Curve. Inflasi permintaan direfleksikan sebagai pergerakan sepanjang kurva Philip sedangkan inflasi penawaran dan ekspektasi inflasi direfleksikan sebagai pergeseran kurva Philip sehingga mengubah trade-off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi atau tingkat pengangguran.

2.1.1Inflasi Permintaan (Demand-pull Inflation)

Inflasi permintaan merupakan inflasi yang dipicu oleh interaksi permintaan dan penawaran domestik jangka panjang. Jenis inflasi ini biasa dikenal sebagai Philips Curve inflation. Kebijakan moneter merupakan determinan penting jenis inflasi ini melalui pengaruhnya terhadap konsumsi, produksi dan investasi. Faktor lain yang mempengaruhi inflasi ini adalah perubahan gradual atau kejutan kebijakan fiskal, permintaan luar negeri, perubahan perilaku konsumen dan produsen serta tingkat dan pertumbuhan efisiensi dan produktivitas perekonomian.

Tekanan inflasi dari sisi permintaan direpresentasikan oleh variabel output gap, yaitu diskrepansi antara output dengan output potensial, atau tingkat output yang konsisten dengan kondisi full employment. Dalam kondisi output berada di atas output potensialnya (output gap positif), kenaikan output gap menggambarkan tekanan inflasi yang meningkat. Sebaliknya, dalam kondisi output lebih kecil dari output potensial, kenaikan output gap berarti mengurangi tekanan inflasi.

Penggunaan indikator output gap pada umumnya lebih representatif menjelaskan tekanan inflasi sisi permintaan dalam kondisi siklus usaha yang normal. Untuk perekonomian yang berada dalam kondisi khusus, misalnya stagflasi atau pasca krisis ekonomi, indikator level output gap tidak efektif dalam menjelaskan tekanan inflasi. Misalnya, pada saat stagflasi output gap berada dalam posisi negatif namun terdapat tekanan inflasi yang tinggi. Untuk itu diperlukan indikator tambahan yaitu kenaikan output gap untuk menjelaskan kenaikan inflasi di tengah kondisi output yang lebih kecil dari output potensial.

2.1.2 Inflasi Penawaran (Cost-push & Supply Shocks Inflation)

Cost-push inflation merupakan jenis inflasi penawaran yang disebabkan oleh kenaikan pada biaya produksi atau biaya pengadaan barang dan jasa. Inflasi penawaran mencakup juga supply shocks inflation yang memicu kenaikan harga penawaran barang. Faktor kejutan yang termasuk dalam jenis inflasi ini adalah kenaikan harga komoditas internasional, termasuk harga minyak mentah dunia, kenaikan harga komoditas yang harganya dikontrol pemerintah, kenaikan atau penurunan harga bahan makanan karena kejutan produksi yang disebabkan iklim, dan perubahan harga barang impor karena perubahan nilai tukar dan/atau karena kenaikan inflasi luar negeri.

2.1.3Ekspektasi Inflasi

Ekspektasi inflasi merupakan determinan inflasi yang berperan penting secara subyektif dalam pembentukan harga dan upah. Jika perusahaan menilai bahwa berdasarkan pengalaman inflasi masa lalu inflasi akan tetap terjadi atau bertahan, maka perusahaan akan menaikkan harga, meskipun prospek ekonomi tidak menunjukkan tanda-tanda bakal terjadi tekanan permintaan. Jadi dalam hal ini sebagian dari besaran inflasi pada dasarnya terjadi karena pandangan subyektif dari pelaku ekonomi mengenai apa yang akan terjadi ke depan.

Perilaku pembentukan ekspektasi inflasi ini disebut ekspektasi inflasi adaptif, yang terbentuk dari peristiwa-peristiwa ekonomi di masa lalu yang membuatnya bertahan hingga kini. Pembentukan inflasi ini dipengaruhi oleh (a) inflasi permintaan yang persisten di masa lalu, (b) inflasi penawaran yang besar atau sering terjadi, atau (c) inflasi penawaran yang diperkuat oleh kebijakan moneter yang akomodatif. Ketiga jenis kejadian inflasi masa lalu tersebut berkontribusi bagi perilaku pembentukan harga yang dianggap normal dalam perekonomian. Jenis inflasi ini disebut juga sebagai built-in inflation, hangover inflation, inertial inflation atau structural inflation.

Dari sisi mikro perusahaan, ekspektasi persistensi inflasi dipengaruhi oleh perilaku sejumlah harga yang fleksibel untuk berubah untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran (market clearing). Di sisi lain harga mempunyai perilaku yang kaku untuk turun dalam merespon penurunan permintaan atau biaya.

Ekspektasi inflasi selanjutnya berinteraksi dengan dan spiral harga-upah sehingga dapat memperburuk ekspektasi inflasi dengan membentuk lingkaran setan inflasi, dimana pada akhirnya inflasi mendorong inflasi itu sendiri untuk bertahan. Pekerja yang berekspektasi bahwa inflasi akan bertahan atau bahkan meningkat karena prospek kenaikan permintaan dan biaya, akan menuntut kenaikan upah nominal untuk mempertahankan upah riil. Jika tuntutan itu berhasil, biaya produksi akan meningkat dan untuk mempertahankan target keuntungan, pengusaha membebankannya pada kenaikan harga. Kondisi ini mendorong siklus lanjutan spiral harga-upah tersebut.

Kekuatan jalur spiral harga-upah dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu struktur pasar, kekuatan posisi tawar pekerja, dan produktivitas tenaga kerja. Struktur pasar yang semakin kompetitif akan memaksa perusahaan untuk meningkatkan efisiensi dalam menghadapi tekanan kenaikan biaya sehingga meminimalkan dampaknya terhadap harga produk. Sementara itu posisi tawar pekerja antara lain dipengaruhi kondisi tingkat pengangguran dimana posisi tawar umumnya meningkat dalam kondisi tingkat pengangguran yang rendah. Di samping itu posisi tawar pekerja juga dipengaruhi oleh kemampuan serikat pekerja dan peranan pemerintah dalam memperjuangkan dan menyikapi tuntutan kenaikan upah. Dampak spiral harga-upah dapat juga dikurangi jika produktivitas tenaga kerja meningkat melebihi kenaikan upah riil sehingga laju kenaikan harga dapat diredam.

Dampak negatif perilaku ekspektasi adaptif dan spiral harga-upah terhadap pembentukan built-in inflation dapat dikurangi apabila agen ekonomi menuju perilaku ekspektasi yang forward-looking dengan mengacu pada sasaran inflasi bank sentral. Kebijakan anti inflasi bank sentral yang kredibel menjadi sangat penting untuk meyakinkan pelaku ekonomi agar mengurangi perilaku pembentukan ekspektasi inflasinya yang adaptif.

Evolusi kredibilitas bank sentral ditentukan oleh tiga faktor. Pertama, ketepatan inflasi masa lalu dari target inflasi. Jalur pembentukan kredibilitas ini lebih berperan untuk agen ekonomi yang lebih berperilaku ekspektasi backward looking. Kedua, perilaku bank sentral dalam mencapai target. Mekanisme ini terjadi pada agen ekonomi yang lebih berperilaku forward looking, dimana pelaku ekonomi tidak hanya melihat kinerja pencapaian inflasi tetapi juga menilai prospek pencapaian sasaran inflasi berdasarkan kualitas dan konsistensi kebijakan moneter. Kedua jalur tersebut dapat diperkuat oleh mekanisme penetapan dan pengumuman lintasan sasaran inflasi yang jelas.

2.2Tinjauan Literatur

Ahmed dan Kapur (1990) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan moneter terhadap tingkat inflasi di Indonesia dengan menggunakan metode OLS, dimana hasil penelitiannya adalah bahwa inflasi yang terjadi di Indonesia merupakan fenomena moneter semata. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, pada satu sisi perlambatan laju pertumbuhan jumlah uang beredar dapat menekan inflasi, sementara pada sisi yang lain transmisi dari tingkat inflasi internasional adalah cukup besar pengaruhnya terhadap inflasi yang terjadi di dalam negeri.

Sementara itu, Taguchi (1995) mengemukakan pendapat bahwa kebijakan moneter di Indonesia ibarat pedang bermata dua, dimana untuk mencapai kestabilan harga diperlukan kebijakan yang kontraktif terhadap uang beredar, sementara pada sektor investasi menghendaki sebaliknya, yaitu kebijakan yang ekspansif terhadap uang beredar. Taguchi mengemukakan bahwa Bank Indonesia berupaya untuk dapat mencapai keduanya, baik kestabilan harga maupun berkembangnya sektor investasi, melalui kontrol terhadap base money untuk mencapai kestabilan harga, serta melakukan ekspansi M 2 melalui deregulasi sektor keuangan untuk meningkatkan investasi. Siregar (1996) juga melakukan penelitian tentang inflasi di Indonesia kaitannya dengan nilai tukar rupiah. Metode yang digunakan adalah dengan uji cointegrasi dan Granger causality. Kesimpulan yang dihasilkan adalah terjadinya depresiasi nilai rupiah akan meningkatkan kinerja ekspor, selanjutnya akan berdampak pada Inflasi.

Mc.Leod (1997) dalam studinya tentang faktor-faktor yang menimbulkan inflasi di Indonesia mengusulkan bahwa base money targeting adalah cara yang paling baik dilakukan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi. Mc.Leod mengemukakan bahwa kebijakan yang dilakukan otoritas moneter akan berpengaruh pada inflasi dalam jangka menengah sampai dengan jangka panjang, melalui jumlah uang yang beredar, base money. Beliau juga menjelaskan bahwa ketidaksanggupan Bank Indonesia untuk mencapai inflasi dibawah 5 % merupakan kegagalan dalam mengendalikan penawaran base money sejalan dengan jumlah permintaannya. Mc.Leod berpendapat bahwa kebijakan Bank Indonesia sebelum krisis ekonomi tahun 1997 cenderung ekspansif (longgar- broader) terhadap besaran moneter seperti M1, M2, serta banyak terjadi kesalahan dalam penempatan kredit perbankan.

Penelitian tentang inflasi di Indonesia juga dilakukan oleh Uma Ramakrishnan dan Athanasios Vamvakidis yang disampaikan dalam IMF Working Paper (Juni 2002), yang mencoba untuk melakukan studi tentang transmisi efek domestik dan internasional terhadap inflasi, serta menganalisa beberapa indikator yang diduga menimbulkan inflasi di Indonesia. Model yang digunakan adalah multivariate dengan observasi data dari tahun 1980 sampai dengan 2000. Dalam model yang digunakan dinyatakan bahwa kenaikan tingkat harga dapat3. METODE PENELITIAN

3.1 Spesifikasi Model

Spesifikasi model di atas mengadobsi dan memodifikasi Small-Scale Macromodel yang dikembangkan oleh Bank Indonesia.3.2 Diskripsi Operasional Persamaan

Determinan inflasi melalui Triangle Model secara keseluruhan dijelaskan dalam persamaan pertama. Dalam model ini determinan inflasi dijelaskan oleh inflasi permintaan yang tercermin dalam output gap ( 4) , inflasi dari sisi penawaran yang disebabkan oleh external shock dari inflasi impor , perubahan harga minyak dunia, serta perubahan nilai tukar . Sementara expected inflation dijelaskan melalui backward expectations , serta forward expectations .

Persamaan ke-dua dan ke-tiga merupakan penjabaran inflasi permintaan, yang merupakan hasil interaksi antara pasar barang (IS) dan pasar uang (LM). Pasar barang di dalamnya meliputi pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah serta ekspor neto yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh output, tingkat suku bunga, penerimaan pajak, tingkat inflasi serta perubahan nilai tukar. Sementara pasar uang ditunjukkan oleh real money balance yang dijabarkan dalam persamaan ke tiga, yang merupakan fungsi dari real balance periode sebelumnya, income, suku bunga serta inflasi.

Inflasi penawaran dijelaskan dalam persamaan ke-empat dan ke-lima, dimana persamaan ke empat menjelaskan inflasi impor yang dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar serta inflasi luar negeri, sedangkan persamaan ke lima menjelaskan perubahan nilai tukar dipengaruhi oleh interest rates differential serta dummy sistem nilai tukar yang diterapkan.

3.3 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan merupakan data bulanan yang dimulai dari tahun 2002 sampai dengan 2007. Adapun data-data yang digunakan adalah:

CPI Nilai Tukar

Inflasi Suku bunga SBI

Target Inflasi Penerimaan Pajak

GDP Uang Beredar M2

GDP Potensial CPI USA

WPI US Prime

Harga Minyak Dunia M2 USA

Sumber data diperoleh dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, serta beberapa data dari BPS dan Departeman Keuangan.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Unit-Root Test (Stasioneritas Data)Sebelum menganalisa hubungan antar variabel, langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan pengujian stasioneritas, yang diperlukan untuk mengetahui sifat dan kecenderungan data yang digunakan, apakah mempunyai pola yang stabil, normal, stasioner atau tidak. Suatu series dikatakan stasioner apabila series tersebut mempunyai konstan mean, konstan varian dan konstan kovarian untuk masing-masing lag yang berbeda, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut:

a stationary series can be defined as one with a constant mean, constant variance, and constant autocovariances for each given lag. (Christ Brooks, hal 367, 2002)

Shock yang terjadi pada suatu series yang stasioner dampaknya lambat laun akan hilang, sehingga efek shock pada periode t dampaknya akan lebih kecil pada periode t +1, t + 2, dst. Sementara pada series yang tidak stasioner, efek suatu shock cenderung akan persisten sehingga dampak shock yang terjadi pada periode t, tidak akan lebih kecil pada periode t + 1, t + 2, dst.

Penggunaan data yang tidak stationer cenderung akan menghasilkan Spurious Regression, yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal kenyataannya tidak sesuai dengan hasil estimasi tersebut, serta meningkatkan kecenderungan untuk menerima hipotesis alternatif (H1) atau dengan kata lain cenderung untuk memberikan kesimpulan bahwa regresi yang dihasilkan signifikan secara statistik.

3.4.2 Identifikasi Persamaan

Di dalam persamaan struktural (1) sampai dengan (5), variabel-variabel yang ada dalam model persamaan simultan tersebut ada dua jenis, yaitu variabel yang bersifat endogen, dimana nilainya ditetapkan dalam model, serta predetermine variabel, yaitu variabel-variabel yang nilainya ditetapkan di luar model. Variabel endogen dianggap bersifat stokastik, sedangkan variabel yang ditetapkan lebih dulu diperlakukan sebagai non stokastik.

Penyelesaian sebuah persamaan simultan diawali dengan mengidentifikasi variabel dalam persamaan. Order dan Rank Condition merupakan aturan yang digunakan sebagai acuan apakan suatu sistem persamaan dapat diselesaikan sehingga nilai koefisien persamaan struktural dapat diperoleh. Menurut Order and rank condition agar sebuah sistem persamaan simultan dengan M persamaan struktural dapat diidentifikasi maka setidaknya harus memiliki M-1 variabel endogen. Jika jumlah variabel endogen tepat M-1 maka persamaan tersebut dikatakan exactly identified, dan jika jumlah varibel endogen lebih dari M-1 maka persamaan tersebut dikatakan over identified. Agar sebuah sistem persamaan simultan dengan M persamaan struktural dapat diselesaikan, jumlah variabel predetermine yang ada dalam persamaan tersebut harus tidak kurang dari jumlah variabel endogen yang ada dalam persamaan dikurangi satu. Jadi, bila:

M = jumlah variabel endogen dalam sistem / model

m = jumlah variabel endogen pada setiap persamaan struktural

K = jumlah variabel predetermine dalam sistem / model

k = jumlah variabel predetermine pada setiap persamaan struktural

maka:

a. Jika K k = m 1, maka persaman tersebut dikatakan exactly identified

b. Jika K k > m 1, maka persamaan tersebut over identifiedc. Jika K k < m 1, maka persamaan tersebut under identifiedApabila hasil identifikasi persamaan menunjukkan bahwa persamaan tersebut Exactly Identified maka metode estimasi yang digunakan bisa ILS ( Indirect Least Square) atau 2SLS (Two Stage Least Square). Tetapi apabila hasilnya over identified maka harus digunakan 2SLS.

3.4.3 Pengujian Asumsi Dasar Ekonometrika

Analisis ekonometri dilakukan untuk mengetahui apakah model yang digunakan memenuhi asumsi dasar untuk mendapatkan estimasi parameter yang BLUE dengan motode OLS. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian Autocorrelation, Multicollinearity, serta Heteroscedasticity.

A.Uji Heteroskedastisitas

Asumsi yang dipakai dalam penerapan model regresi linear adalah varians dari setiap gangguan adalah konstan. Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana asumsi di atas tidak tercapai. Uji ini dilakukan apabila terdapat varians dan kovarians yang tidak konsisten, atau jika varians dari gangguan berubah yang disebabkan oleh korelasi antara varians dengan variabel eksogen. Heteroskedastisitas biasanya muncul pada data cross section, dan biasanya tidak terjadi pada data time series (deret waktu) karena perubahan-perubahan dalam variabel dependen dan perubahan dalam satu atau lebih variabel independen kemungkinan adalah sama besar.

Efek dari heteroskedastisitas adalah pendugaan kuadrat terkecil membobot lebih berat pada observasi yang memiliki varians galat lebih besar dibanding pada observasi yang memiliki varians galat lebih kecil. Hal ini terjadi karena jumlah residual kuadrat dari galat yang memiliki varians lebih besar kemungkinan adalah lebih besar dari pada jumlah residual kuadrat dari galat yang mempunyai varians yang lebih kecil. Garis regresi akan disesuaikan untuk meminimumkan jumlah residual kuadrat total, dan ini dilakukan dengan memastikan kecocokan dalam porsi varians besar dari data. Karena pembobotan implisit ini, penduga-penduga parameter kuadrat terkecil biasa adalah tidak bias dan konsisten, tapi tidak efisien, yaitu varians dugaannya bukanlah varians minimum. Selain itu, varians dugaan dari parameter-parameter dugaan adalah penduga-penduga yang bias dari varians yang sebenarnya.Jadi pada dasarnya dampak dari adanya heteroskedastisitas adalah tidak efisiennya proses estimasi, sementara hasil estimasinya sendiri tetap konsisten dan tidak bias. Dengan adanya masalah heteroskedastisitas akan mengakibatkan hasil uji t dan uji F dapat menjadi tidak berguna (misleading).

Pada studi ini, uji heteroskedastisitas diterapkan dengan menggunakan white heteroskedasticity yang tersedia pada program Eviews version 3.1. Uji ini diterapkan pada hasil regresi dengan menggunakan prosedur equations dan metode TSLS untuk masing-masing persamaan perilaku dalam persamaan simultan. Hasil yang perlu diperhatikan dari uji ini adalah nilai F dan Obs*Rsquared, secara khusus adalah nilai probability dari Obs*Rsquared.

B.Uji Autokorelasi / Korelasi Serial

Salah satu asumsi dasar dari metode regresi dengan kuadrat terkecil adalah tidak adanya korelasi antar gangguan. Autokorelasi terjadi jika galat-galat dari observasi yang berbeda berkorelasi, atau dengan kata lain terjadi korelasi galat antar waktu. Jika galat-galat dari periode-periode waktu yang berbeda (biasanya berdekatan) berkorelasi, dikatakan bahwa galat itu berkorelasi serial. Korelasi serial biasanya terjadi pada data time series. Korelasi serial tidak mempengaruhi ketidakbiasan atau konsistensi penduga-penduga kuadrat terkecil biasa, tetapi ia mempengaruhi efisiensinya.

Dengan adanya masalah autokorelasi ini akan menghasilkan estimasi koefisien yang konsisten dan tidak bias, tetapi dengan varian yang besar, atau dengan perkataan lain hasil penafsiran tidak efisien. Varians estimasi parameter yang tidak efisien ini menyebabkan nilai t hitung cenderung kecil dan hasil pengujian cenderung menerima hipotesis nol (H0).

Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah dengan cara melakukan pengujian berikut ini :

(i) Uji Durbin Watson

Uji Durbin Watson, meliputi perhitungan uji statistik yang didasarkan pada residual-residual dari prosedur regresi kuadrat terkecil biasa. Statistiknya didefinisikan sebagai : d = ( ( (t - (t-1 )2 Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai statistik DW yang dihitung dengan nilai batas atas (Dwu) dan nilai batas bawah (DW1) dari tabel Durbin Watson, dengan memperhatikan jumlah observasi dan variabel bebas ditambah satu. Selang kepercayaan yang didapat dari hasil pengujian mencakup 5 daerah, yaitu : (1) kurang dari DW1 , (2) antara DW1 dan DWu, (3) Antara DWu dan 4 DWu; (4) Antara 4 DWu dan 4 DW1; Dan (5) lebih dari 4 DW1.

Jika DW hitung terletak pada interval 1 atau 5 maka model menunjukkan adanya masalah autokorelasi. Sedangkan apabila nilai DW hasil perhitungan terletak pada interval 3 maka model tidak terdapat masalah autokorelasi. Bila hasil perhitungan statistik DW terletak pada interval 2 atau 4 maka hasil pengujian tidak dapat disimpulkan, apakah ada atau tidaknya masalah autokorelasi.

(ii) Serial Correlation LM Test

Durbin Watson statistik hanya dapat digunakan untuk AR (1) error, sedangkan LM Test dapat digunakan untuk orde yang lebih tinggi dan tetap dapat diterapkan untuk model yang mengandung lagged dependent variabel.

C.Uji Kolinieritas Berganda

Kolinieritas berganda adalah adanya hubungan linear yang signifikan antara beberapa atau semua variabel independen dalam model regresi. Kolinearitas jamak muncul jika diantara variabel independen memiliki korelasi yang tinggi. Apabila terjadi kolinieritas berganda maka dampaknya adalah :

(i)Penafsiran dari koefisien-kofisien regresi sangat sulit. Kita sulit memisahkan efek satu variabel independen terhadap variabel dependen dari efek variabel independen yang lain.

(ii)Distribusi parameter regresi sangat peka terhadap korelasi antar peubah-peubah bebas dan besaran galat baku regresi. Kepekaan ini nampak dalam bentuk varians dan galat baku parameter regresi yang sangat tinggi. Varians dan galat baku untuk koefisien regresi menjadi tinggi sehingga nilai t hitung menjadi lebih kecil dan sebagai akibatnya kita cenderung tidak dapat menolak hipotesa nol karena besarnya galat baku dugaan. Dengan t hitung yang mengecil menyebabkan signifikansi dari t menjadi turun.

(iii)Nilai koefisien regresi bukan nilai yang sebenarnya. Ada koefisien yang overestimates dan ada koefisien yang underestimates.Pelanggaran ini menjadi masalah jika tujuan melakukan regresi adalah untuk menafsirkan koefisien regresi. Tetapi jika tujuan kita adalah untuk meramal maka kolinearitas jamak tidak menjadi masalah.

Indikasi-indikasi adanya kolinearitas jamak

(i)Jika ditemukan nilai R2 yang tinggi dan nilai statistik F yang signifikan, tetapi sebagian besar nilai statistik t tidak signifikan.

(ii)Korelasi sederhana yang relatif tinggi (0,9 atau lebih) antara satu atau lebih pasang variabel independen. Jika koefisien korelasi kurang dari 0.9 berarti masalah tidak terlalu serius, belum terjadi kolinearitas berganda. Jika koefisien korelasi lebih dari 0.9 berarti kolinearitas berganda merupakan masalah yang serius.

Selanjutnya metode estimasi yang bisa digunakan dalam persamaan simultan diantaranya adalah Two Stage Least Square (TSLS) dan Three Stage least Square (3SLS). Estimasi dengan metode Three Stage least Square (3SLS) terhadap sistem persamaan memiliki keunggulan atas metode estimasi OLS yang bias dan tidak efisien, serta TSLS yang memiliki varians yang lebih besar dari OLS . Pendugaan parameter dengan 3SLS akan menghasilkan estimasi parameter yang lebih efisien dibanding dengan TSLS, karena telah memperhitungkan Cross Equation Correlation antar error.

3.4.4 Analisis Statistik

Analisis statistik diperlukan untuk mengetahui signifikansi masing-masing variabel secara individu melalui t-tes, ataupun secara bersama-sama dengan F-tes, serta untuk mengetahui goodness of fit yang dilihat dari Adjusted R2.

3.4.5 Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi dilakukan dengan melakukan interpretasi terhadap hasil estimasi masing-masing persamaan regresi. Analisis ekonomi akan dibagi dalam empat sub bahasan, yaitu: determinan utama penyebab inflasi dijelaskan dalam persamaan pertama, faktor inflasi permintaan yang tercermin dalam persamaan output gap dan real money balance dijabarkan dalam persamaan ke dua dan ke tiga, faktor inflasi penawaran yang meliputi external shock dan inflasi impor dijabarkan dalam persamaan keempat dan ke lima, serta faktor ekspektasi inflasi yang tercermin dalam target inflasi dan inflasi inertia secara implisit dijelaskan dalam determinan utama inflasi.

4. ANALISIS DATA

4.1 Analisis Stasioneritas Data

Tabel 4.1. Hasil Pengujian Stasioneritas Data

VariabelAughmented Dickey Fuller Test (ADF Test)

Level data1st Diff.2nd Diff.

CPI-2.765017-3.771823-8.448053

Nilai Tukar-2.501997-3.054057-7.567019

Depr. Nilai Tukar-2.107702-2.141062-3.506592

Fed rate-1.486885-6.029136-9.852941

GDP-1.331951-8.445581-8.129448

Inflasi-2.243073-3.392353-8.346962

Inflasi USA-3.135863-4.543783-5.104611

M2 1.055929 0.021110-3.233267

Oil Price-0.351558 1.733551 2.762156

Real Balance-0.956552-4.315972-9.846888

SBI-2.414861-2.562094-4.138441

Target Inflasi-15.08156-12.00026-3.694393

Tax Revenue-0.280791-1.920705-3.624849

WPI-1.815649-8.429539-9.988998

Critical Value

1%-4.094550-3.527045-3.528515

5%-3.475305-2.903566-2.904198

10%-3.165046-2.589227-2.589562

Sumber : Data Diolah

Dari Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa semua variabel stasioner, baik dalam level data, first difference, ataupun baru stasioner pada second difference. Dengan demikian, analisis dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya.

4.2 Identifikasi Persamaan

Identifikasi persamaan diperlukan untuk mengetahui apakah koefisien model struktural dapat ditentukan. Apabila dapat ditentukan maka dikatakan bahwa model struktural tersebut identified. Persaman yang identified dapat dibedakan atas exactly identified apabila diperoleh nilai uniq koefisien struktural. Jika dapat diperoleh lebih dari satu koefisien struktural, dikatakan over identified. Penentuan identifikasi ini berkaitan dengan metode estimasi yang akan digunakan, apakah 2SLS atau ILS. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan terhadap masing-masing persamaan struktural, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.2 Hasil Identifikasi Sistem Persamaan

Persamaan StrukturalK - k>, 5 4Over Identified

(2) Persamaan Output Gap14 7>5 4Over Identified

(3) Persamaan Real Money Balance14 5>5 2Over Identified

(4) Persamaan Inflasi Impor14 3>5 2Over Identified

(5) Persamaan Nilai Tukar14 - 2>5 1Over Identified

Sumber: data dioleh

Berdasarkan hasil identifikasi persamaan dapat diketahui bahwa semua persamaan over-identified, sehingga metode estimasi yang digunakan adalah Two-Stage Least Squares (2SLS).

4.3 Pengujian Asumsi Dasar Ekonometrika

4.3.1 Pengujian Korelasi Serial (Autocorrelasi)

Korelasi serial adalah terjadinya korelasi antar gangguan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test karena di dalam pemodelan untuk masing-masing persamaan terdapat variabel AR1 atau AR2 sebagai variabel treatment.

Hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : Tidak terdapat AutocorrelationH1 : Terdapat AutocorrelationPengambilan kesimpulan dilakukan dengan membandingkan antara probability Obs*R-Squared dengan tingkat alpha yang digunakan. Apabila probability Obs*R-Squared lebih besar dibandingkan alpha, maka H0 diterima yang artinya tidak terjadi Autocorrealtion, demikian sebaliknya. Hasil pengujian Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test selengkapnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4.3 Hasil Pengujian Breusch-Godfrey Serial Correlation LM TestPersamaan Inflasi

Obs*R-squared0.884246 Probability0.642670

Persamaan Output Gap

Obs*R-squared8.262081 Probability0.310052

Persamaan Real Balance

Obs*R-squared1.573842 Probability0.455244

Persamaan Imported Inflation

Obs*R-squared1.837780Probability0.398962

Persamaan Perubahan Nilai Tukar

Obs*R-squared2.937425 Probability0.230222

Sumber : data diolah

Dengan menggunakan tingkat 5%, berdasarkan hasil pengujian di atas diketahui bahwa p-value lebih besar dari alpha, sehingga cenderung menerima H0 dan dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan model yang digunakan tidak mengandung korelasi serial antar error /Autocorrelation.4.3.2 Pengujian Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah model dalam system persamaan mempunyai konstan varian atau tidak. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity Test. Hipotesis yang akan diujia adalah:

H0 : Tidak terdapat heteroskedastis

H1 : Terdapat heteroskedastis

Penentuan terdapat heteroskedastisitas atau tidak dilakukan dengan membandingkan antara Probability Obs*R-squared dengan tingkat alpha yang digunakan. Hasil pengujian selengkapnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4.4. Hasil Pengujian White Heteroskedasticity TestPersamaan Inflasi

F-statistic1.742905 Probability0.071838

Obs*R-squared28.04071 Probability0.108439

Persamaan Output Gap

F-statistic10.34017 Probability0.091534

Obs*R-squared15.76543 Probability0.262029

Persamaan Real Balance

F-statistic2.590983 Probability0.010702

Obs*R-squared23.60088 Probability0.023037

Persamaan Imported Inflation

F-statistic0.787820 Probability0.640242

Obs*R-squared8.334674 Probability0.596182

Persamaan Perubahan Nilai Tukar

F-statistic1.753208Probability0.080539

Obs*R-squared21.02430Probability0.101011

Sumber: Data diolah

Dengan menggunakan tingkat 1 % dikatahui bahwa p-value lebih besar dibandingkan alpha sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada semua persamaan dalam sistem.

4.3.3 Pengujian Kolinieritas Berganda (Multicollinearity)Kolinieritas berganda adalah adanya hubungan linear yang signifikan antara beberapa atau semua variabel independen dalam model regresi. Pendeteksian Multicollinearity dilakukan dengan menggunakan correlation matrix. Apabila koefisien korelasi antar dua variable bebas lebih dari 0.7, maka kedua variabel tersebut mengindikasikan terjadinya kolinieritas berganda. Hasil pengujiannya ditampilkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.5. Correlation MatrixFED

RATEGDPGDP

POTGDPR

USINF

USAM2M2USOIL

PRICEREAL

SBISBITGT

INFTX

REVWPI

FEDRATE 1.000 0.795 0.891 0.943 0.377 0.902 0.922 0.881-0.128 0.405 0.597 0.917 0.915

GDP 1.000 0.966 0.914 0.267 0.945 0.937 0.853 0.217-0.054 0.403 0.952 0.930

GDPPOT 1.000 0.975 0.309 0.994 0.983 0.929 0.091 0.088 0.488 0.997 0.983

GDPRUS 1.000 0.364 0.977 0.996 0.939-0.040 0.134 0.632 0.985 0.983

INFUSA 1.000 0.345 0.352 0.449-0.277 0.222 0.406 0.320 0.411

M2 1.000 0.982 0.934 0.037 0.134 0.511 0.995 0.987

M2US 1.000 0.934-0.016 0.086 0.609 0.988 0.984

OILPRICE 1.000-0.184 0.188 0.608 0.936 0.964

REALSBI 1.000-0.385-0.452 0.049-0.052

SBI 1.000-0.038 0.135 0.151

TGTINF 1.000 0.515 0.591

TXREV 1.000 0.986

WPI 1.000

Sumber: Data diolah

Multicolinearity terjadi apabila dua atau lebih variabel (kombinasi variabel) mempunyai korelasi yang tinggi (tetapi tidak sempurna) dengan variabel lainnya (Pyndyck : 1998 hal.96)

Berdasarkan correlation matrix dalam Tabel 4.5 diketahui beberapa variabel mempunyai koefisien korelasi yang tinggi, dimana hal ini mengindikasikan terjadinya multikolinearity, seperti antara M2 dengan GDP dan GDP potensial, antara harga minyak internasional dengan GDP dan inflasi, antara penerimaan pajak dengan GDP, GDP Amerika, inflasi serta uang beredar M2. Terjadinya multikolinearity secara teoretis dapat dijelaskan bahwa memang di antara variabel-variabel tersebut terdapat hubungan yang kuat, seperti antara M2 dengan GDP. Di Indonesia sampai saat ini uang beredar digunakan sebagai target operasional yang akan mengantarkan instrumen kebijakan moneter mencapai sasaran, diantaranya tingkat inflasi yang stabil, yang akan berdampak pada pencapaian tingkat output. Sehingga secara teoretis memang terdapat kaitan yang erat. Begitu juga untuk variabel harga minyak internasional. Kenaikan / perubahan harga minyak akan mempengaruhi penetapan harga jual BBM pada masyarakat, sehingga kenaikan BBM mempunyai kaitan langsung dengan tingkat harga ataupun inflasi. Kemudian dari inflasi ditransmisikan perubahannya pada tingkat output. Dalam hal ini, terjadinya multocolinearity adalah sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan.

Dampak terjadinya multicolinearity adalah tetap diperolehnya parameter yang unbiased, tetapi penaksiran dari koefisien-koefisien regresi sangat sulit, karena kesulitan memisahkan efek satu variabel independen terhadap variabel dependen dari efek variabel independen yang lain. Selain hal tersebut hasil estimasi cenderung menghasilkan standard error yang cenderung besar sehingga variansnya tidak minimum.

4.4 Analisis Statistik dan Ekonomi

Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui signifikansi variabel baik secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama, serta untuk mengetahui goodness of fit dari model yang digunakan.

Analisis ekonomi akan dibagi dalam empat sub bahasan, yaitu: determinan utama penyebab inflasi, yang memberikan gambaran umum penyebab inflasi dari sisi permintaan, faktor penawaran serta faktor ekspektasi. Sub bahasan kedua lebih rinci menganalisa inflasi dari sisi permintaan yang tercermin melalui output gap berdasarkan hasil estimasi dari Phillips curve. Output gap terjadi sebagai hasil interaksi dari aggregate demand dengan aggregate supply. Aggregate demand itu sendiri merupakan perpaduan interaksi dari pasar uang (LM) dengan pasar barang (IS), yang akan dijabarkan dalam persamaan ke dua dan ketiga. Sub bahasan ketiga akan menganalisis inflasi dari sisi penawaran, yang akan dijabarkan dalam persamaan ke empat dan ke lima. Kemudian terakhir, faktor ekspektasi dijabarkan atas forward looking expectation melalui target inflasi, serta backward looking expectation melalui inflasi inertia, secara eksplisit dijelaskan dalam persamaan pertama.

4.4.1 Determinan Pokok Inflasi dalam Triangle Model

Berdasarkan output pada Tabel 4.6 diketahui bahwa secara keseluruhan inflasi di Indonesia dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yaitu : inflasi dari sisi permintaan, inflasi dari sisi penawaran serta dari ekspektasi inflasi. Ketiga faktor tersebut secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan inflasi di Indonesia, serta dapat menjelaskan fenomena inflasi sebesar 91,29 %, selebihnya dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model.

Tabel 4.6 Determinan Utama Inflasi Triangle Model

Dependent Variable: INFLASI

Method: Two-Stage Least Squares

Date: 02/17/09 Time: 11:17

Sample(adjusted): 2003:04 2007:12

Included observations: 27

Excluded observations: 30 after adjusting endpoints

Instrument list: INFLASI(-1) TGTINF TGTINF(-2) LOG(OILPRICE) GDP

SBI TXREV REALBLN(-1) INFUSA FEDRATE D(OILPRICE)

DLOG(ER) DLOG(ER(-1)) (WPI) LOG(GDP(-1)) DEPR(-1)

DLOG(SBI) REALBLN(-2) DEPR(-1) DEPR(-2) D(SBI(-3)) D(SBI(

-2)) INFLASI(-3) INFLASI(-2) LOG(M2)-LOG(M2US) LOG(GDP)

-LOG(GDPRUS) D(LOG(M2)-(M2US)) D(LOG(GDP-GDPRUS))

D(SBI-FEDRATE) DEPR(-2) DEPR(-3)

VariableCoefficientStd. Errort-StatisticProb.

C-0.2230290.059261-3.7635020.0017

INFLASI(-1)0.9224950.1817385.0759640.0001

INFLASI(-2)-0.2629330.182734-1.4388870.1695

TGTINF-1.3501620.660836-2.0431130.0579

TGTINF(-2)1.2774190.6493651.9671830.0667

LOG(OGAP)-0.0067050.002466-2.7197110.0151

LOG(OGAP(-1))0.0072500.0025122.8865840.0107

WPI-0.0007240.000171-4.2288910.0006

LOG(OILPRICE)0.1567040.0362644.3212420.0005

LOG(ER)-0.1290970.074857-1.7245640.1039

DLOG(ER(-1))0.1954700.0635813.0743260.0073

R-squared0.946419 Mean dependent var0.060867

Adjusted R-squared0.912931 S.D. dependent var0.016371

S.E. of regression0.004831 Sum squared resid0.000373

F-statistic28.26151 Durbin-Watson stat1.959410

Prob(F-statistic)0.000000

Sumber: Data diolah

Penjelasan masing-masing faktor adalah sebagai berikut:

(i)Secara keseluruhan, inflasi di Indonesia dominan dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi, terutama inflasi inersia. Perilaku ekspektasi inflasi berpola ke belakang (backward expectation) menunjukkan bahwa pola ekspektasi masyarakat terhadap inflasi cenderung adaptive terhadap inflasi masa lalu yang telah terjadi, dibandingkan dengan pola ekspektasi ke depan dengan melihat target inflasi. Walaupun demikian, forward looking expectation melalui target inflasi juga signifikan mempengaruhi inflasi. Signifikannya ekspektasi inflasi mengkonfirmasikan bahwa sangat penting untuk mengkomunikasikan secara efektif target inflasi ke depan kepada masyarakat, serta penting untuk secara konsisten mengupayakan inflasi yang rendah dan stabil, karena hal tersebut akan sangat mempengaruhi masyarakat dalam melakukan ekspektasi terhadap inflasi.

(iii) Faktor dominan kedua adalah inflasi dari sisi penawaran. Terdapat tiga variabel yang membentuk inflasi dari sisi penawaran, yaitu gejolak nilai tukar, gejolak harga minyak internasional, serta inflasi luar negeri. Ketiga veriabel tersebut secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pembentukan inflasi di Indonesia.Dari ketiga variabel tersebut, perubahan nilai tukar mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap pembentukan inflasi dari sisi penawaran, kemudian diikuti oleh perubahan harga minyak internasional, baru kemudian inflasi luar negeri.

Besarnya pengaruh perubahan nilai tukar terhadap inflasi penawaran, dapat dijelaskan bahwa apabila rupiah terdepresiasi, biaya yang dikeluarkan oleh produsen untuk membiayai usahanya akan meningkat. Kompensasi atas kenaikan biaya produksi tersebut diantaranya akan dibebankan pada konsumen dalam bentuk kenaikan harga jual. Apabila ini berlaku secara umum, yang akan terjadi adalah kenaikan inflasi.Sementara itu, perubahan harga minyak internasional juga mempunyai pengaruh yang relatif besar. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pergerakan harga minyak dunia sampai dengan akhir periode 2007 mempunyai slope positif yang tajam, dimana pergerakan harga pada awal 2002 sekitar USD 18,6 USD/ barel kemudian senantiasa mengalami kenaikan sampai sekitar USD 93,19 / barel pada akhir 2007. Kenaikan harga minyak akan mempengaruhi komponen harga energi pada biaya produksi, sehingga hal ini mendorong produsen untuk menyesuaikan harga jual produk terhadap penyesuaian harga minyak.

Pengaruh inflasi impor terhadap pembentukan harga dari sisi penawaran relatif kecil. Hal ini dapat dijelaskan bahwa inflasi luar negeri, terutama negara mitra dagang Indonesia, ataupun negara dimana barang impor Indonesia berasal, relatif rendah. Hal ini berdampak impor Indonesia terutama impor barang yang masih akan digunakan lagi dalam proses produksi harganya relatif stabil, sehingga relatif tidak mempengaruhi preferensi produsen untuk menaikkan harga sebagai akibat komponen impornya.

(iii)Faktor ketiga sebagai pembentuk inflasi adalah output gap, sebagai proksi inflasi dari sisi permintaan. Output gap dan output gap satu periode yang lalu signifikan mempengaruhi inflasi di Indonesia. Output gap itu sendiri adalah selisih antara output aktual dibandingkan output potensial. Meningkatnya output gap merefleksikan kenaikan output aktual, sehingga mendorong harga untuk meningkat.

4.4.2 Faktor Ekspektasi

Perilaku ekspektasi inflasi dapat berpola ke depan (forward expectation) dan ke belakang (backward expectation). Signifikannya target inflasi (forward expectation) serta inflasi inertia (backward expectation) mengkonfirmasikan bahwa masyarakat dalam melakukan ekspektasi memanfaatkan semua informasi, baik informasi masa lalu ataupun informasi masa yang akan datang.

Target inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah wujud konsekuensi dari pelaksanaan kerangka kerja inflation targeting, dimana kerangka kerja tersebut ditandai dengan diumumkannya target inflasi yang akan dicapai oleh bank sentral satu periode ke depan. Informasi target inflasi diharapkan menjadi guidance yang akan memandu dan mengarahkan ekspektasi masyarakat tentang besarnya inflasi, sehingga akan mempengaruhi pola masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi, menabung ataupun berinvestasi. Signifikannya target inflasi mengkonfirmasikan bahwa bank sentral sedikit banyak telah berhasil mengkomunikasikan serta menyebarkan informasi tentang adanya target inflasi kepada masyarakat, sehingga dalam jangka panjang diharapkan bahwa besarnya ekspektasi ini tidak akan jauh berbeda dengan besarnya inflasi yang terjadi (Perfect Forsight).

Target inflasi (TGTINF) mempunyai total koefisien sebesar 0,07274, artinya bahwa apabila target iflasi meningkat 1% maka inflasi aktual akan turun sebesar 0.07 %. Tanda negatif ini justru bermakna positif yang artinya bahwa peningkatan target inflasi memberikan signal kepada masyarakat bahwa kondisi perekonomian memprediksikan kemungkinan kenaikan harga, yang justru mendorong masyarakat lebih rasional dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dampaknya justru inflasi aktual yang lebih rendah dibandingkan target inflasi.

Berdasarkan koefisien regresi maka inflasi inertia atau besarnya inflasi pada periode yang lalu (INFLASI(-1)), dimana dalam penelitian ini adalah satu periode yang lalu merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap inflasi. Dengan koefisien sebesar positif 0.922495, maka berarti bahwa setiap kenaikan 1% inflasi periode lalu akan menaikkan sebesar 0.922 % inflasi yang terjadi pada saat ini.

Besarnya pengaruh inersia ini disebabkan oleh ekspektasi masyarakat yang cenderung adaptif, dimana ketersediaan informasi tentang inflasi masa lalu, dipergunakan sebagai acuan dalam melakukan kegiatan ekonomi saat ini, berupa keputusan untuk melakukan konsumsi ataupun investasi, yang kemudian berpengaruh pada aggregate demand dan inflasi. Ekspektasi itu sendiri sebenarnya adalah hal yang tidak bisa diobservasi, tetapi pewujudannya merupakan psychological variable yang bisa dijelaskan sebagai rata-rata tertimbang dari tingkat inflasi masa lalu, dengan catatan semakin jauh masa lalu akan semakin kecil bobotnya karena semakin tidak relevan.

4.4.3Faktor Inflasi Permintaan

Inflasi permintaan merupakan inflasi yang dipicu oleh interaksi permintaan dan penawaran domestik jangka panjang. Jenis inflasi ini biasa dikenal sebagai Philips Curve inflation. Kebijakan moneter mempunyai pengaruh yang penting terhadap jenis inflasi ini melalui pengaruhnya terhadap produksi, konsumsi serta investasi. Faktor lain yang mempengaruhi jenis inflasi ini adalah perubahan gradual atau kejutan kebijakan fiskal, permintaan luar negeri, perubahan perilaku konsumen dan produsen serta tingkat dan pertumbuhan efisiensi dan produktivitas perekonomian.

Selain hal tersebut, inflasi permintaan juga merupakan hasil interaksi antara pasar barang (IS) dengan pasar uang (LM), sehingga pemilihan variabel-variabel dalam persamaan inflasi permintaan ini disusun berdasarkan teori ekonomi yang mempengaruhi kedua pasar tersebut. Permintaan masyarakat secara agregat terdiri atas konsumsi rumah tangga, investasi suasta, pengeluaran pemerintah serta perdagangan luar negeri melalui ekspor dan impor. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan masyarakat yang disusun dalam persamaan output gap adalah: tingkat output (GDP), suku bunga SBI, penerimaan pajak pemerintah (TXREV), perubahan nilai tukar (DEPR), keseimbangan permintaan dan penawaran uang / real balance (REALBLN), serta output gap satu tahun yang lalu.

Tabel 4.7 Inflasi Permintaan

Dependent Variable: LOG(OGAP)

Method: Two-Stage Least Squares

Date: 02/17/09 Time: 16:21

Sample(adjusted): 2003:05 2007:12

Included observations: 23

Excluded observations: 33 after adjusting endpoints

Instrument list: INFLASI(-1) TGTINF TGTINF(-2) LOG(OILPRICE) GDP

SBI TXREV REALBLN(-1) INFUSA FEDRATE D(OILPRICE)

DLOG(ER) DLOG(ER(-1)) (WPI) LOG(GDP(-1)) DEPR(-1)

DLOG(SBI) REALBLN(-2) DEPR(-1) DEPR(-2) D(SBI(-3)) D(SBI(

-2)) INFLASI(-3) INFLASI(-2) LOG(M2)-LOG(M2US) LOG(GDP)

-LOG(GDPRUS) D(LOG(M2)-(M2US)) D(LOG(GDP-GDPRUS))

D(SBI-FEDRATE) DEPR(-2) DEPR(-3)

VariableCoefficientStd. Errort-StatisticProb.

C-155.667553.37624-2.9164190.0113

GDP0.0004080.0001073.8116400.0019

D(SBI)0.3598920.3929360.9159060.3752

TXREV-8.96E-052.45E-05-3.6534260.0026

DEPR-3.3207091.060680-3.1307350.0074

REALBLN16.753006.1250312.7351700.0161

D(REALBLN)-11.901996.011030-1.9800250.0677

LOG(OGAP(-1))1.3044080.4252383.0674770.0084

LOG(OGAP(-2))-0.9755070.236158-4.1307470.0010

R-squared0.965839 Mean dependent var7.825438

Adjusted R-squared0.946318 S.D. dependent var0.833354

S.E. of regression0.193082 Sum squared resid0.521929

F-statistic49.47806 Durbin-Watson stat2.250476

Prob(F-statistic)0.000000

Sumber : Data diolah

Berdasarkan Tabel 4.7, secara sendiri-sendiri semua variabel signifikan berpengaruh kecuali perubahan suku bunga SBI (DSBI), serta secara bersama-sama semua variabel pembentuk persamaan inflasi permintaan signifikan berpengaruh. Model tersebut dapat menjelaskan sebesar 94,63 % fenomena inflasi permintaan, sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model.

Variabel yang paling mempengaruhi inflasi permintaan adalah keseimbangan permintaan dan penawaran uang (REALBLN) dengan total koefisien sebesar 4.852. Artinya adalah, pada saat keseimbangan permintaan dan penawaran uang meningkat 1%, maka inflasi permintaan akan naik sebesar 4.852%. Secara teoretis, kenaikan keseimbangan permintaan dan penawaran uang akan menurunkan suku bunga keseimbangan, sehingga penurunan suku bunga ini aka direspon oleh kenaikan investasi, kenaikan konsumsi, serta terdepresiasinya mata uang dalam negeri. Ketiga hal tersebut akan meningkatkan aggregate demand yang pada saat yang sama akan menaikkan output dan harga. Dengan adanya temuan empiris ini, walaupun bank sentral tidak menjadikan uang beredar sebagai nominal anchor, tetapi pengendaliannya tetap harus dicermati, karena besarnya pengaruh uang beredar terhadap inflasi permintaan.

Variabel yang pengaruhnya juga besar terhadap inflasi permintaan adalah perubahan nilai tukar (DEPR), dengan arah hubungan yang negatif. Artinya pada saat nilai tukar terdepresiasi (nominal meningkat), output gap akan menurun. Menurunnya output gap mengindikasikan menurunnya output aktual. Pada saat nilai tukar terdepresiasi, harga barang menjadi lebih mahal, sehingga dampaknya pengeluaran konsumsi masyarakat akan menurun, cost of production perusahaan meningkat sehingga menurunkan minat sektor suasta untuk melakukan investasi, sehingga secara keseluruhan aggregate demand menurun. Menurunnya permintaan masyarakat akan menggeser kurva aggregate demand ke kiri, sehingga harga dan output mengalami kontraksi.

Penerimaan pajak pemerintah (TXREV) mempunyai hubungan negatif dengan output gap. Secara teoritis hubungan ini seharusnya positif, yang artinya peningkatan penerimaan pajak oleh pemerintah akan meningkatkan kemampuan pemerintah untuk mendanai sektor riil dan sektor produktif lainnya, sehingga dampaknya akan meningkatkan output. Meningkatkan output aktual akan menurunkan output gap, yaitu selisih antara output aktual dengan nilai potensialnya. Hasil estimasi ini menunjukkan arah hubungan yang negatif, yang mengkonfirmasikan bahwa semakin tinggi pajak yang diterima pemerintah, maka semakin besar efek kontraksi terhadap perekonomian. Secara teori makro hal ini memang ada pembenarannya, karena pengenaan pajak akan mengurangi disposable income, sehingga daya beli masyarakat akan menurun. Menurunnya daya beli akan menurunkan konsumsi, menurunkan investasi, sehingga secara keseluruhan aggregate demand dan output akan mengalami kontraksi. Dalam konteks penelitian ini, semakin tinggi penerimaan pajak pemerintah, maka semakin besar dampak kontraksinya terhadap perekonomian.

Berikutnya adalah output (GDP), yang walaupun kecil, pengaruhnya signifikan terhadap inflasi permintaan dengan arah hubungan yang positif. Meningkatnya output akan meningkatkan output gap yang mengkonfirmasikan bahwa output aktual meningkat. Apabila output aktual meningkat, peningkatannya akan selalu diiringi dengan kenaikan harga, sehingga inflasi permintaan juga meningkat.

Setelah real balance, perubahan nilai tukar, penerimaan pajak serta GDP yang kesemuanya signifikan mempengaruhi inflasi permintaan, kontrasnya adalah perubahan suku bunga SBI (DSBI) yang tidak signifikan berpengaruh. Temuan ini sangat kontradiktif dengan peran suku bunga sebagai nominal ancor kebijakan moneter, dimana seharusnya suku bunga SBI mempunyai peran yang besar dalam mengarahkan variabel makro lainnya menuju arah yang diinginkan. Tidak signifikannya suku bunga SBI dalam pembentukan inflasi permintaan dapat dijelaskan bahwa suku bunga SBI biasanya memerlukan periode waktu untuk melakukan transmisi, sehingga perubahan suku bunga yang terjadi saat ini, dampaknya terhadap variabel lainnya tidak dapat secara serta merta langsung dirasakan, tetapi memerlukan lag beberapa periode untuk dapat terasa pengaruhnya. Real balance sebagai variabel yang paling mempengaruhi inflasi permintaan, dijelaskan secara lebih rinci dalam persamaan berikut ini:

Real balance (M/P) adalah keseimbangan permintaan dan penawaran uang di masyarakat. Permintaan uang oleh masyarakat didasarkan atas 3 motif, yaitu transaksi, berjaga-jaga serta untuk spekulasi. Sementara penawaran uang oleh bank sentral dianggap sebagai variabel eksogen / given sehingga jumlahnya tidak ditentukan dalam model. Secara teoretis, permintaan uang masyarakat merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, suku bunga nominal, suku bunga riel serta tingkat harga, sehingga pemilihan variabel-variabel dalam persamaan real balance didasarkan atas teori tersebut.

Model persamaan dalam Tabel 4.8 dapat menjelaskan keseimbangan permintaan dan penawaran uang sebesar 97,4%, selebihnya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model. Dalam persamaan Tabel 4.8, diketahui bahwa variabel yang paling mempengaruhi real balance adalah real balance satu dan dua periode yang lalu, dengan total koefisien sebesar 0,831254. Artinya adalah, apabila real balance periode yang lalu naik 1 %, maka real balance saat ini akan mengalami kenaikan 0,83%.

Tabel 4.8 Keseimbangan Permintaan dan Penawaran Uang (Real Balance)

Dependent Variable: REALBLN

Method: Two-Stage Least Squares

Date: 02/18/09 Time: 14:06

Sample(adjusted): 2003:04 2007:12

Included observations: 57 after adjusting endpoints

Instrument list: INFLASI(-1) TGTINF TGTINF(-2) LOG(OILPRICE) GDP

SBI TXREV REALBLN(-1) INFUSA FEDRATE D(OILPRICE)

DLOG(ER) DLOG(ER(-1)) (WPI) LOG(GDP(-1)) DEPR(-1)

DLOG(SBI) REALBLN(-2) DEPR(-1) DEPR(-2) D(SBI(-3)) D(SBI(

-2)) INFLASI(-3) INFLASI(-2) LOG(M2)-LOG(M2US) LOG(GDP)

-LOG(GDPRUS) D(LOG(M2)-(M2US)) D(LOG(GDP-GDPRUS))

D(SBI-FEDRATE) DEPR(-2) DEPR(-3) D(SBI-INFLASI1)

VariableCoefficientStd. Errort-StatisticProb.

C0.3316640.2741731.2096890.2322

REALBLN(-1)1.3287630.10817112.283870.0000

REALBLN(-2)-0.4975090.111463-4.4634470.0000

LOG(GDP)-0.1758000.056415-3.1161780.0031

D(SBI)0.0013650.0040630.3360000.7383

INFLASI1-0.0007720.000385-2.0018150.0509

LOG(GDP(-1))0.2650510.0574954.6099840.0000

D(SBI-INFLASI1)0.0052990.0015443.4329540.0012

R-squared0.977261 Mean dependent var8.129356

Adjusted R-squared0.974012 S.D. dependent var0.058967

S.E. of regression0.009506 Sum squared resid0.004428

F-statistic300.8405 Durbin-Watson stat1.849833

Prob(F-statistic)0.000000

Sumber : Data Diolah

Signifikannya pengaruh keseimbangan permintaan & penawaran uang periode lalu terhadap keseimbangan periode sekarang dapat dijelaskan melalui teori Life Cycle Hypothesis yang menyebutkan bahwa permintaan uang saat ini untuk transaksi ekonomi tidak saja dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, tetapi dipengaruhi oleh pendapatan masa lalu serta harapan pendapatan masa yang akan datang.

Variabel berikutnya yang mempengaruhi real balance adalah tingkat pendapatan saat ini (LOG(GDP)) serta satu periode yang lalu (LOG(GDP(-1)), dengan arah hubungan positif. Artinya semakin tinggi pendapatan, maka akan meningkatkan kecenderungan masyarakat dalam holding money, sehingga keseimbangan permintaan dan penawaran uang juga meningkat.

Perubahan suku bunga riel (D(SBI-INFLASI)) juga signifikan mempengaruhi real balance, dengan arah hubungan positif. Peningkatan suku bunga riel dapat disebabkan oleh dua hal, pertama meningkatnya suku bunga SBI dalam kondisi inflasi konstan, kemudian kemungkinan kedua adalah, dengan tingkat suku bunga SBI konstan, peningkatan suku bunga riel pasti disebabkan oleh menurunnya inflasi. Arah hubungan positif antara suku bunga riel dengan real balance dapat dijelaskan dalam konteks yang kedua, yaitu dalam kondisi inflasi menurun, harga barang mempunyai kecenderungan lebih murah, sehingga mendorong masyarakat untuk memperbesar konsumsi, sehingga permintaan uang di masyarakat meningkat.

Inflasi mempunyai arah hubungan negatif dengan real balance, yang artinya bahwa semakin tinggi inflasi, akan mengurangi kemampuan masyarakat dalam melakukan konsumsi, sehingga permintaan holding money juga menurun. Perubahan suku bunga SBI (DSBI) tidak mempunyai pengaruh secara langsung terhadap real balance, sehingga variabel tersebut tidak signifikan.

4.4.4Faktor Inflasi Penawaran

Estimation Equation:

=====================

INFLASI = C(1) + C(2)*INFLASI(-1) + C(3)*INFLASI(-2) + C(4)*TGTINF + C(5)*TGTINF(-2) + C(6)*LOG(OGAP) + C(7)*LOG(OGAP(-1)) + C(8)*WPI + C(9)*LOG(OILPRICE) + C(10)*DLOG(ER) + C(11)*DLOG(ER(-1))Substituted Coefficients:

=====================

INFLASI = -0.22 + 0.92*INFLASI(-1) - 0.263*INFLASI(-2) - 1.35 *TGTINF + 1.28*TGTINF(-2) - 0.0067*LOG(OGAP) + 0.00725*LOG(OGAP(-1)) - 0.000724*WPI + 0.157*LOG(OILPRICE) - 0.129*DLOG(ER) + 0.195*DLOG(ER(-1))Inflasi penawaran sebagaimana diestimasi dalam persamaan pertama, terdiri atas inflasi yang berasal dari luar negeri (Imported Inflation) yang diproksi melalui Whole Sale Price Index (WPI), harga minyak internasional (OILPRICE) serta perubahan nilai tukar (DLOG(ER)). Perubahan nilai tukar serta inflasi impor secara khusus akan dijabarkan ke dalam persamaan empat dan lima. Model tersebut dapat menjelaskan sebesar 91,29% dari inflasi penawaran, selebihnya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model.

Di antara beberapa variabel tersebut, perubahan nilai tukar (DLOG(ER)) mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap inflasi penawaran, dengan arah hubungan positif dengan koefisien sebesar 0.1954. Artinya, bila rupiah terdepresiasi 1 %, maka inflasi penawaran akan meningkat sebasar 0,1954%. Dominannya pengaruh depresiasi nilai tukar terhadap pembentukan harga di tingkat produsen dapat dijelaskan bahwa, apabila terdapat komponen bahan baku yang diimpor oleh produsen, depresiasi nilai tukar membuat harga barang impor menjadi lebih mahal, sehingga sebagai kompensasi atas perubahan nilai tukar tersebut produsen menaikkan harga jual untuk mengimbangi kenaikan cost of production. Benang merah dari kondisi ini adalah, apabila rupiah terdepresiasi, maka inflasi ditingkat produsen akan meningkat.

Perubahan nilai tukar sebagai variabel dominan terhadap inflasi penawaran diperinci lebih lanjut dalam persamaan berikut:

Tabel 4.9 Depresiasi Nilai Tukar

Dependent Variable: DEPR

Method: Two-Stage Least Squares

Date: 01/27/09 Time: 13:26

Sample(adjusted): 2003:04 2007:12

Included observations: 57 after adjusting endpoints

Instrument list: INFLASI(-1) TGTINF TGTINF(-2) LOG(OILPRICE) GDP

SBI TXREV REALBLN(-1) INFUSA FEDRATE D(OILPRICE)

DLOG(ER) DLOG(ER(-1)) (WPI) LOG(GDP(-1)) DEPR(-1)

DLOG(SBI) REALBLN(-2) DEPR(-1) DEPR(-2) D(SBI(-3)) D(SBI(

-2)) INFLASI(-3) INFLASI(-2) LOG(M2)-LOG(M2US) LOG(GDP)

-LOG(GDPRUS) D(LOG(M2)-(M2US)) D(LOG(GDP-GDPRUS))

D(SBI-FEDRATE) DEPR(-2) DEPR(-3) D(SBI-INFLASI1)

VariableCoefficientStd. Errort-StatisticProb.

C0.0697280.1026170.6794900.5000

D(SBI-FEDRATE)0.0164860.0081182.0309050.0477

LOG(M2)-LOG(M2US)0.0477180.0351631.3570810.1810

LOG(GDP)-LOG(GDPRUS)-0.0900840.057714-1.5608590.1250

SBI-0.0055290.001658-3.3355380.0016

DEPR(-1)1.4485790.10300814.062770.0000

DEPR(-2)-0.5976670.095595-6.2520820.0000

D(LOG(M2)-(M2US))-0.0002100.000117-1.8023440.0776

R-squared0.962702 Mean dependent var0.002436

Adjusted R-squared0.957374 S.D. dependent var0.074247

S.E. of regression0.015329 Sum squared resid0.011514

F-statistic180.6773 Durbin-Watson stat1.724994

Prob(F-statistic)0.000000

Sumber: Data diolah

Penyusunan variabel dalam persamaan determinan nilai tukar di atas didasarkan atas teori moneteris, dimana nilai tukar dipengaruhi oleh suku bunga relatif, uang beredar relatif, serta output relatif. Selain itu nilai tukar dipengaruhi oleh suku bunga dalam negeri serta nilai tukar periode yang lalu. Nilai relatif diperoleh dengan mengurangkan nilai variabel tersebut di dalam negeri dengan nilai variabel yang sama di negara Amerika Serikat, dengan pertimbangan negara dengan mata uang paling kuat. Secara keseluruhan, variabel-variabel dalam persamaan signifikan mempengaruhi perubahan nilai tukar, dan dapat menjelaskan sebesar 95,73% variabilitas nilai tukar, dan selebihnya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model.

Variabel yang paling mempengaruhi perubahan nilai tukar saat ini adalah perubahan nilai tukar satu dan dua periode yang lalu, dengan total koefisien sebesar 0.8509. Artinya bila rupiah periode yang lalu terdepresiasi 1%, maka rupiah saat ini ada kecenderungan untuk terdepresiasi sebesar 0.85%.

Variabel berikutnya adalah suku bunga relatif atau interest rate differential dengan arah hubungan positif. Artinya semakin besar interest rate differential maka rupiah akan menguat. Peningkatan interest rate differential dapat terjadi bila suku bunga domestik meningkat dengan asumsi suku bunga luar negeri konstan, atau suku bunga domestik konstan dalam kondisi suku bunga luar negeri menurun. Peningkatan suku bunga dalam negeri akan meningkatkan capital inflow dalam bentuk valuta asing, sehingga penawaran valuta asing meningkat. Meningkatnya penawaran valas akan menurunkan harga valas sehingga rupiah menguat. Demikian pula sebaliknya.

Apabila dikaitkan dengan uang beredar relatif, penurunan uang beredar relatif akan meningkatkan suku bunga ekuilibrium, sehingga capital inflow meningkat. Peningkatan capital inflow akan membuat mata uang dalam negeri meningkat / menguat. Sementara itu, GDP relatif antara Indonesia dan Amerika tidak signifikan mempengaruhi perubahan nilai tukar. Hal ini dapat disebabkan oleh kesenjangan output yang sangat besar antara Indonesia dengan Amerika, sehingga hal tersebut tidak relevan mempengaruhi penguatan ataupun pelemahan nilai tukar di Indonesia.

Kembali lagi pada determinan inflasi penawaran, variabel kedua yang mempunyai pengaruh paling besar adalah guncangan harga minyak internasional (LOG(OILPRICE)), dengan koefisien sebesar 0, 157 dengan arah hubungan positif. Artinya, apabila harga minyak dunia naik 1 %, maka inflasi penawaran akan meningkat 0,157%. Kenaikan harga minyak akan menaikkan biaya energi di dalam proses produksi, sehingga produsen mengimbanginya dengan kenaikan harga jual produk. Semakin besar kenaikan harga minyak internasional, semakin besar pula produsen menaikkan harga jual, sehingga inflasi ditingkat produsen juga akan meningkat.

Variabel ketiga yang mempengaruhi inflasi penawaran adalah imported inflation (WPI), dengan koefisien sebesar -0.000724. Koefisien negatif tersebut dapat diartikan bahwa bila harga barang impor mengalami kenaikan, maka inflasi akan menurun. Secara logika, arah hubungan tersebut seharusnya positif yang artinya adalah bila inflasi di luar negeri meningkat yang terbawa melalui barang-barang impor, maka inflasi ditingkat produsen yang menggunakan bahan impor juga akan meningkat. Tetapi dalam penelitian ini arah hubungannya adalah negatif, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: bila barang impor mengalami kenaikan (yang bisa disebabkan oleh meningkatnya inflasi di luar negeri ataupun oleh terdepresiasinya mata uang dalam negeri) maka produsen akan mengurangi penggunaan barang impor melalui substitusi impor. Apabila produsen melakukan substitusi impor, kemungkinan besar cost of production perusahaan justru akan menurun, sehingga inflasi penawaran juga menurun.

Imported inflation, sebagai guncangan inflasi penawaran berasal dari inflasi di luar negeri, tercermin pada indeks harga perdagangan besar untuk barang ekspor dan impor (WPI). Imported inflation secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar (DEPR), inflasi yang terjadi di Amerika (INFUSA), serta imported inflation satu dan dua periode yang lalu. Model dalam persamaan dapat menjelaskan variabilitas inflasi impor sebesar 99,79%, dan sedikit sekali yang dijelaskan variabel lain yang tidak terdapat dalam model. Hasil estimasi persamaannya adalah sebagai berikut:

Tabel 4.10 . Imported Inflation

Dependent Variable: WPI

Method: Two-Stage Least Squares

Date: 02/19/09 Time: 10:12

Sample(adjusted): 2003:04 2007:12

Included observations: 57 after adjusting endpoints

Instrument list: INFLASI(-1) TGTINF TGTINF(-2) LOG(OILPRICE) GDP

SBI TXREV REALBLN(-1) INFUSA FEDRATE D(OILPRICE)

DLOG(ER) DLOG(ER(-1)) (WPI) LOG(GDP(-1)) DEPR(-1)

DLOG(SBI) REALBLN(-2) DEPR(-1) DEPR(-2) D(SBI(-3)) D(SBI(

-2)) INFLASI(-3) INFLASI(-2) LOG(M2)-LOG(M2US) LOG(GDP)

-LOG(GDPRUS) D(LOG(M2)-(M2US)) D(LOG(GDP-GDPRUS))

D(SBI-FEDRATE) DEPR(-2) DEPR(-3)

VariableCoefficientStd. Errort-StatisticProb.

C26.3943812.829792.0572720.0448

ER-0.0043390.001672-2.5955190.0123

DEPR25.0462810.801922.3186870.0245

INFUSA1.4820330.7990171.8548200.0694

WPI(-1)1.5135990.14759510.255110.0000

WPI(-2)-0.4873760.153306-3.1790980.0025

R-squared0.998109 Mean dependent var440.8663

Adjusted R-squared0.997924 S.D. dependent var71.81315

S.E. of regression3.272263 Sum squared resid546.0929

F-statistic5386.659 Durbin-Watson stat1.991779

Prob(F-statistic)0.000000

Sumber: Data diolah

Variabel yang dominan mempengaruhi imported inflation adalah perubahan nilai tukar, dengan arah hubungan positif. Apabila nilai tukar dalam negeri terdepresiasi, inflasi impor akan meningkat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa depresiasi nilai tukar menyebabkan harga barang impor menjadi lebih mahal, sehingga inflasi yang berasal dari luar negeri ini meningkat.

Inflasi yang terjadi di negara Amerika juga membawa dampak terhadap imported inflation, dengan analisis bahwa apabila inflasi di Amerika meningkat, sementara komponen impor Indonesia yang berasal dari Amerika relatif besar, maka kenaikan harga yang terjadi di Amerika akan terbawa ke barang impor yang kita beli dari negara tersebut, sehingga inflasi di tingkat produsen meningkat. Imported inflation satu dan dua periode yang lalu juga signifikan mempengaruhi, yang artinya bahwa bila inflasi impor di masa lalu meningkat, maka inflasi impor saat ini akan meningkat juga.

4.4.5Implikasi Determinan Inflasi terhadap Kebijakan Moneter

Hasil estimasi data dalam system persamaan simultan menunjukkan bahwa faktor ekspektasi adalah faktor yang sangat berperan dalam pembentukan inflasi di Indonesia. Ekspektasi itu sendiri sebenarnya adalah psychological variabel yang bersifat subyektif, dan pewujudannya merupakan rata-rata tertimbang inflasi masa lalu, serta peramalan inflasi yang akan datang. Mengingat dominannya faktor ekspektasi inflasi, maka peran kebijakan moneter dalam mengarahkan ekspektasi masyarakat menjadi sangat penting. Peran tersebut dapat diwujudkan dalam komitmen bank sentral dalam mewujudkan dan menjaga kestabilan harga, sehingga kredibilitas bank sentral di mata masyarakat mendapatkan apresiasi yang baik. Apabila demikian, akan lebih mudah bagi bank sentral untuk mengarahkan ekspektasi masyarakat sesuai dengan target inflasi yang ditetapkan ke depan. Sehubungan dengan target inflasi, penting bagi bank sentral untuk meningkatkan komunikasi dengan masyarakat, khususnya dalam upaya melakukan sosialisasi target inflasi ke depan.

Terdapat literatur yang menyebutkan bahwa inflasi yang dapat dikendalikan oleh bank sentral adalah inflasi dari sisi permintaan. Dari estimasi persamaan inflasi permintaan dapat ditekankan bahwa peran bank sentral dalam mengandalikan inflasi adalah melalui pengendalian uang beredar / real money balance, pengendalian nilai tukar serta penetapan BI rate yang dapat mengkondisikan variabel lain ke arah pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Yang masih menjadi permasalahan sampai dengan saat ini adalah efektifitas suku bunga SBI dalam mempengaruhi variabel lain masih perlu dikaji lagi, karena biasanya dampak dari perubahan suku bunga SBI tidak dapat secara serta merta / contemporaneous dirasakan, tetapi variabel tersebut termasuk dalam long and variable lag, sehingga efektifitas pengaruhnya baru dapat dirasakan beberapa periode kemudian.

Selain dari itu, adalah pentingnya pengendalian nilai tukar, karena nilai tukar mempengaruhi inflasi baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Tidak diragukan lagi upaya bank sentral untuk senantiasa menstabilkan nilai tukar dengan intervensinya, tetapi yang lebih penting adalah menjaga kokohnya fundamental sistem keuangan, sehingga tidak rapuh apabila terdapat shock dari luar seperti krisis keuangan global yang baru saja terjadi.

V. KESIMPULAN

1. Secara keseluruhan, determinan inflasi berdasarkan Triangle Model signifikan mempengaruhi pembentukan inflasi di Indonesia. Artinya bahwa faktor pembentuk inflasi dari sisi permintaan, inflasi dari sisi penawaran serta expected inflation, ketiga-tiganya signifikan mempengaruhi inflasi di Indonesia periode 2002- 2007.

2. Dari ketiga faktor, expected inflation adalah faktor yang paling mempengaruhi pembentukan inflasi, disusul kemudian inflasi penawaran kemudian baru inflasi permintaan. 3. Expected inflation dominan dipengaruhi oleh inflasi inertia yang merupakan backward expectations, walaupun target inflasi yang diumumkan oleh bank sentral juga mempunyai pengaruh yang relatif besar.4. Dari sisi inflasi penawaran, perubahan nilai tukar mempunyai pengaruh paling besar, disusul penyebab yang berasal dari perubahan harga minyak internasional, dan terakhir adalah pengaruh imported inflation. Perubahan nilai tukar itu sendiri dipengaruhi kuat oleh perubahan nilai tukar periode sebelumnya serta interest rate differential. Sementara imported inflation secara multak dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar. 5. Dari sisi inflasi permintaan, real money balance adalah penyebab inflasi permintaan yang utama. Real money balance itu sendiri dipengaruhi oleh real balance periode sebelumnya serta tingkat pendapatan. Kemudian penerimaan pajak pemerintah mempunyai efek negatif dan keterkaitan yang kuat juga dengan inflasi permintaan. Suku bunga SBI sebagai nominal anchor kebijakan moneter justru tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap pembentukan inflasi permintaan. 6. Peran bank sentral melalui kebijakan moneter sebagai pengendali inflasi adalah sangat besar karena variabel ekspektasi inflasi, nilai tukar, suku bunga SBI serta keseimbangan permintaan dan penawaran signifikan mempengaruhi inflasi, dan variabel-variabel tersebut berada dalam kendali bank sentral. DAFTAR RUJUKAN

Ahmed, S and B.K. Kapur. How Indonesias Monetary policy Affects key Variables. World Bank Policy, Research, and external Affairs Working Paper, 1990.

Andrew Rennison. Comparing Alternative Output Gap. Working Paper, Bank of Canada, 2003.

Anonim. Report on Potential Output and Output Gap. Economic Policy Committee, Brussels, 2001.

Anonim. Pigau / Real Balance Effect.http://econ.papers.com.

Angelica E. Njuguna, et all. Alternative Methodologies for Measuring Kenyas Potential Output and Output Gap. Department of Economics, Kenyatta University and Kenya Institute for Public Policy Reseach and Analysis (KIPPRA) Nairobi, Kenya, 2001.

Bernanke, Ben S. at all. Inflation Targeting; Lesson From The International Experience. Princeton University Press, 1999.

Bank Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Beberapa terbitan.

Bank Indonesia. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Beberapa terbitan

Boediono. Ekonomi Makro, Seri Sinopsis. BPFE Yogyakarta, 1982.

Bronfenbrenner, M .and Holzmann, F.D. A Survey of inflation. American Economic Review, 1963.

Brooks, Christ, Introductory Econometrics for Finance, Cambridge, 2002

Baro,R.J. Gordon, DB. Rules, Discretion and reputation in A Model of Monetary Policy. 1983.

Claus, Iris. Is The Output Gap a Useful Indicator of inflation? Discussion Paper Series, Reserve Bank of New Zaeland, 2000.

DeLong,J.Bradford.The Short-Run Trade-Off Between Inflation and unemployment. University of California, 2001.

De Brouwer,Gordon. Estimating Output Gaps. Research Discussion Paper, Economic Research Department, Reserve Bank of Australia, 1998.

Dornbusch, Rudiger, at all. Macroeconomic, McGraw-Hill, 2001.

Eitrheim, Oyvind. and Tore Anders. Empirical Comparison of Inflation Models Forecast Accuracy. Discussion Papers, Norges Bank, 2000

Enders, Walter. Applied econometric Time Series. Iowa State University, John Wiley & Son, Inc. 1995.

Frisch, Helmut. Theories of Inflasi. Cambridge University Press, 1983.

Friedman, Milton. The Role of Monetary Policy, American Economic Review, dalam Anton H Gunawan, Anggaran Pemerintah Dan Inflasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Gandolfo,Giancarlo. International Finance and Open-Economy Macroeconomics. Springer, 2000.

Gujarati, Damodar. Ekonometrika dasar. Erlangga, Jakarta, 1978.

Gunawan, Anton Hermanto. Anggaran Pemerintah Dan Inflasi di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991

Hamilton, James D. Time Series Analysis. Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1994.

Hutabarat, R. Akhis, Determinan Inflasi Indonesia,

Iswardono SP,Drs,MA. Uang Dan Bank. BPFE, Yogyakarta, 1990.

Judge, GG et all. The Theory and Practice of Econometrics. 1985

Joseph, Charles, dan Anton H. Gunawan. Monetary Policy and Inflation Targeting in Emerging Economies. Jakarta, 2002.

Jossa, Bruno. Inflation, Unemployment and Money, Interpretations of the Phillips Curve. Edward Elgar Publishing, Inc. 1998

Leitemo, Kai. and Ingunn Lonning. Simple Monetary Policy Making Without The Output Gap, Working Paper, Norges Bank, 2002

Laidler, D.E.W. and Parkin, M.J. Inflation A Survey, Economic journal, 1975

Lipsey,R.G. Dan P.O.Steiner. Makroekonomi, Binarupa Aksara, 1997

Madjardi, Fadjar. The Inflation Forecasting Model, dalam Appendix-3, Monetary Policy and Inflation Targeting in Emerging Economies. Jakarta, 2000.

McLeod,R.H. Explaining Chronic Inflation in Indonesia,Journal of Development Studies, vol.33 no.3 1997.

McCallum, Bennett T. Monetary Economics, Theory and Policy. Carnegie-Mellon University, Macmillan Publishing Company, 1989.

Paish, F.W. Rise and Fall of Income Policy. London: Institute of Economic Affairs (1969), dalam Anton H. Gunawan, Anggaran Pemerintah Dan Inflasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Phelps, Edmund. Inflation Policy and Unemployment Theory. 1972.

Pindyck, S. Robert, Econometric Models and Economic Forecasts, Fourth Edition, McGraw-Hill International Editions, 1998.

Ramakrishnan, Uma. and Athanasios Vamvakidis. Forecasting Inflation in Indonesia. IMF Working Paper, 2002.

Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus, Economics. Seventeenth Edition, McGraw-Hill, 2001.

Scarth, William M. Macroeconomics, An Introduction to Advanced Methods. McMaster University, Dryden, 1996.Soediyono, DR. Ekonomi Makro, Analisa IS-LM Dan Permintaan Penawaran Agregatif. Liberty, Yogyakarta, 1997.

Siregar, R.Y.Real Exchange Rate Targeting and Inflation in Indonesia, Theory and Empirical Evidence. Pacific Basin Working Paper Series, Federal Reserve Bank of San Francisco, 1996.

Solow, Robert M. John B. Taylor. Inflation, Unemployment, and Monetary Policy. The MIT Press, Cambridge Massachusetts, 1999.

Taguchi, H. Policy Assignment on Money supply: The Case of Indonesia in the 1980s. ASEAN Economic Bulletin, Vol. 12 No. 1, 1995.

Turvey, R. Theory of Inflation in a Closed Economy, Economic Journal, 1997.

Warjiyo, Perry and Juda Agung . Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia, Bank Indonesia, 2002.

Walsh, Carl E. The Output Gap and Optimal Monetary Policy. http://,econ.papers.com, 2000.

(1)

(5)

(4)

(3)

(2)

Inflasi dari sisi ekspektasi

sisis

Inflasi dari sisi permintaan

Inflasi dari sisi

Penawaran

_1269694266.unknown

_1269694783.unknown

_1296544880.unknown

_1269694923.unknown

_1269694645.unknown

_1269694211.unknown