inkontinensia.docx
TRANSCRIPT
BAB II
TEORI DAN KONSEP
1. Definisi
Inkontinensia urine adalah keadaan hilangnya kontrol urine involunter yang secara objektif dapat terlihat jelas dan cukup berat sehingga dapat masalah sosial dan masalah higiene. Sedangkan menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan sfingter eksternal dalam mengontrol ekskresi urin yang berlangsung sementara atau menetap.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa inkontinensia urine adalah ketidakmampuan mengontrol sfingter uretra eksterna sehingga dapat menimbulkan kehilangan control dalam berkemih yang berlangsung sementara atau pun menetap dan juga Inkontenensia ini dapat menimbulkan masalah dalam sosisal maupun masalah higine bagi penderita. Dan menurut kasus juga didapatkan pasien terkena inkontinensia akibat stress yang mana tandanya pasien sering berkemih secara tiba-tiba dan tidak terkontrol ketika klien tertawa, batuk, atau bersin hal ini dikarenakan meningkatnya tekanan pada abdomen secara tiba tiba sehingga otot spingter tidak bisa menahan keluarnya urine.
Klasifikasi
Tipe tipe Inkontinensia Urine
a. Inkontenensia akibat stres, merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan intra abdomen. Inkontinensia stress disebabkan karena otot spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan karena meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba, seperti saat batuk atau bersin. Tipe inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cedera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, dan sejumlah keadaan lainnya. Disamping itu, gangguan ini juga dapat dikarenakan kelainan kongenital.
b. Urge incontinence (mendesak), terjadi ketika pasien berkeinginan untuk urinasi tetapi pasien tidak mampu untuk menanhannya cukup lama sebelum mereka mencapai toilet. Mereka tidak merasakan adanya tanda dalam berkemih. Keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih atau pada pasien dengan gejala lokal iritasi akibat insfeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih.
c. Overflow Incontinence, ditandai dengan eliminasi urine yang sering dan kadang kadang terjadi hampir terus menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal meskipun eliminasi urin sering terjadi. Overflow incntinance dapat disebabkan oleh kelainan neurologis (lesi medulla spinalis) atau oleh faktor yang menyumbat saluran keluar urine (penggunaan obat obatan, tumor).
d. Inkontinensia fungsional, merupakan inkontinesia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif yang membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi urinasi (misalnya : alzaimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit untuk menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.
(Smelzer,Suzanne C.2001)
e. Inkontinensia refleks
Inkontinensia refleks terjadi karena kondisi pada sistem saraf pusat yang mengalami gangguan seperti pada dimensia. Pengosongan pada kandung kemih dipenaruhi oleh refleks yang dirangsang oleh pengisihan. Dalam hal ini, kemampuan rasa ingin berkemih dan berkemih tidak ada atau tidak dirasakan.
f. Inkontinensia Uretra
Kelainan uretra : obesitas, multiparitas, persalinan sulit, fraktur pelvis, pascaprostatektomi.
Kelainan kandung kemih : kelainan destrusor neuropatik atau nonneuropatik, infeksi, sistitis interstisial, batu kandung kemih atau tumor.
Kelainan nonurinarius : gangguan mobilitas atau fungsi mental.
g. Inkontinensia nonuretra
Fistula urinarius : vesikovagina
Ektopia ureter : ureter berlanjut ke uretra (biasanya ureter dupleks).
(Pierce A.Grace.2006)
Inkontinensia urine digolongkan menjadi 3 bagian, yaitu disfungsi buli buli sfingter neuropatik, disfungsi non neuropatik dan inkontenensia struktural akibat kelainan anatomik.
Tabel 1 Klasifikasi Etiologik Disfungsi Saluran Kemih Bawah :
1) Disfungsi sfingter buli buli neuropatik
a. Malformasi kongenital susunan saraf pusat
Mielomeningokel
Occult spinal dysraphism
Syringocele
Diastematomielia
Malformasi sakrum
b. Kelainan susunan saraf pusat yang didapat
Spatisitas cerebral (akibat asfikia perinatal)
Penyakit degeneratif proliferatif
Sklerosis multipel
Sindrom Guillain Barre
Radikullitis
Trauma medulla spinalis
Infeksi medulla spinalis
Tumor
Malformasi vaskular medulla spinalis
c. Kelainan kongenital fungsi otot polos
Displasia neuronal
d. Kelainan kongenital fungsi otot serat
Duchenne muscuar dystrophy
Spinal muscle atrophy
Amytropic lateral sclerosis
2) Disfungsi sfingter buli buli non neuropatik
a. Classifiable
Sindrom ure
Disfungsi berkemih
Sindrom lazy bladder
b. Non classifiable
Inkontinensia giggle
Sindrm Hinman
3) Kelainan strktural atau anatomik
a. Kelainan bawaan
Ekstrofi
Epispadia
Ureterokel
Katup uretra posterior
b. Kelainan didapat
Trauma
Latrogenik
Hiperkalsiuria
Distensi buli buli kronik
Ffibrosis dinding buli buli.
2. Epidemiologi
Menurut WHO, inkontinensia urin merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar dan diperkirakan sekitar lebih dari 200 juta orang diseluruh dunia mempunyai masalah dalam pengontrolan berkemih. Konferensi Konsensus Kesehatan Nasional Amerika (1998) dalam Thom et al (2007) menyatakan bahwa dua per tiga dari 10 juta orang dewasa yang mengalami inkontinensia adalah seorang wanita. Di Indonesia prevalensi angka kejadian inkontinensia urin belum dapat terdeteksi secara pasti, dikarenakan masih banyak orang yang menganggap bahwa inkontinensia urin ini merupakan suatu hal yang wajar yang terjadi setelah wanita melahirkan dan kebanyakan mereka merasa malu untuk memeriksakannya ke tenaga kesehatan. Stres inkontinensia merupakan salah satu tipe dari inkontinensia urin yang mana dapat terjadi pada semua umur dan prevlensi meningkatnya usia. Namun hal ini, banyak ditemukan pada wanita daripada laki laki.
Tabel 2 Inkontinensia pada Anak di RSCM Jakarta ( September 1989 Agustus 2001)
Jenis Kelainan
Laki laki
Perempuan
Jumlah
Disfungsi buli buli sfingter neuropatik
3
7
10
Disfungsi buli buli sfingter non neuropatik
4
2
6
Inkontinensia struktural atau anatomik
3
1
4
Jumlah
10
10
20
Selama kurun waktu Maret 2008 sampai dengan Januari 2009 di RSU Prof. Dr. R.D Kandou Manado, terdapat 62 responden yang memenuhi kriteria. Yang terdiagnosis sebagai inkontinensia urin 34 kasus (53,12%). Berdasarkan status perkawinan diperoleh 82,81% responden sudah kawin dan 17,19% responden yang belum kawin, dan yang mengalami inkontinensia urin sebanyak 53,12%. Berdasarkan pendidikan modusnya dari kelompok tamatan SLTA sebesar 25,80%. Sementara berdasarkan pekerjaan paling banyak pada kelompok petugas kesehatan sebesar 22,58%. responden yang mengalami inkontinensia urin paling banyak dari kelompok usia 30-39 tahun sebesar 25,80%.
3. Etiologi
Penyabab inkontinensia transien adalah delirium, infeksi, urertritis atau vaginitis atrofik serta obat obatan. Penyebab lain yang lebih jarang adalah depresi, pembentukan urine yang berlebihan (diabetes), impaksi tinja.
a. Delirium. Sensorium yang berkabut akan menghalangi kemampuan pasien untuk mengenali keinginan urinasi dan lokasi toilet yang terdekat untuk memenuhi keinginan tersebut, setelah keadaan delirium tersebut menghilang, inkontinensia akan mereda.
b. Relaksasi dasar panggul (disfungsi)
c. Infeksi. Infeksi traktus urinarius yang simptomatik sering menyebabkan timbulnya keadaan inkontenansia, infeksi yang asimptomatik tidak menimbulkan masalah ini.
d. Atrofi
e. Obat obatan (diuretik kuat, analgesik narkotik, antikolinergik, penghambat saluran alsium, dekongestan, alkohol)
f. Keluaran urine berlebihan. Penyebab keadaan ini adalah penggunaan diuretik, masukan cairan yang berlebihan dan abnormalitas metabolisme (misalnya hiperglikemia, hiperkalsemia)
g. Imobilitas. Jika mobilitas pasien tidak dapat diperbaiki, kemudahan pasien untuk menjangka urinal atau pispotnya dapat memulihkan keadaan kontinensia.
h. Disfungsi usus
i. Faktor fisiologik (depresi, regresi)
j. Kenaikan berat badan. Seiring dengan naiknya berat badan, otot panggul melemah, kantung kemih menjadi turun menekan vagina.
Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran , dan penggunaan obat narkotik atau sedative. Inkontinensia tidak harus dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat dialami setiap individu pada usia berapa pun, walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh lansia.
4. Faktor resiko
Faktor-fakor risiko timbulnya inkontinensia urin adalah usia, kehamilan dan paritas dimana dampak jangka panjangnya masih dalam penelitian (Tendean, 2007). Sedangkan menurut (Syukur, 2010), faktor risiko yang telah diteliti dapat meningkatkan kejadian stres inkontinensia urin pada wanita pasca persalinan adalah usia, paritas, cara melahirkan, berat bayi lahir, ruptur perineum spontan, ekstrasi vakum dan forsep, dan riwayat stres inkontinensia urin saat hamil .
Beberapa faktor resiko yang berperan dalam terjadinya inkontinensia urine telah dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain :
1. Usia. Bertambahnya usia merupakan salah satu fakor resiko untuk mengalamin inkontinensia urine. Melville baru-baru ini melaporkan bahwa prevalensi IU sekitar 28% pada wanita berusia 30-39 tahun dan 55% pada wanita berusia 80-90%. Peningkatan prevalensi pada wanita manula mungkin disebabkan oleh kelemahan otot pelvis dan jaringan penyokong uretra terkait usia. Apalagi, faktor-faktor pada manula seperti gangguan mobilitas dan atau kemunduran status mental yang dapat meningkatkan risiko episode inkontinensia.
2. Herediter. Prevalensi inkontinensia urin stres hampir 3 kali lebih tinggi (20,3% berbanding 7,8%) terjadi pada wanita turunan pertama dari wanita dengan inkontinensia urin. Data ini menunjukkan bahwa mungkin ada penurunan sifat secara familial yang dapat meningkatkan insiden inkontinensia urin stres.
3. Obesitas. Beberapa penelitian epidemiologik telah menunjukkan bahwa peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan faktor risiko yang signifikan dan independen untuk inkontinensia urin semua tipe.
4. Merokok. Merokok telah diidentifikasi sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya inkontinensia urin dalam beberapa penelitian, dengan efek terkuat terlihat pada inkontinensia urin tipe stres dan campuran pada perokok berat. Mekanisme patofisiologi mungkin efek langsung pada uretra dan tidak langsung, dimana perokok umumnya terjadi peningkatan tekanan kandung kemih akibat batuk, yang melampaui kemampuan uretra untuk menutup rapat.
5. Alkohol
6. Kehamilan. Kehamilan dapat merusak dinding pelvik disebabkan karena perubahan hormonal dan penekanan kepala bayi. Kandung kemih akan lebih cenderung berada diabdomen daripada dipelvik.
7. Cara persalinan.
a. Persalinan pervagina
Persalinan merupakan faktor penyebab terjadinya inkontenensia pada wanita.
kelahiran merusak dasar panggul sebagai konsekuensi dari regangan dan melemahnya otot dan jaringan ikat selama proses melahirkan.
Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh laserasi dan episiotomi menyebabkan pergeseran dan posisi organ pelvik dari tempat yang seharusnya.
b. Persalinan perabdominan
Partus pervaginam merupakan faktor resiko yang dapa menyebabkan inkontinesa urin pada 3 bulan post partum. Seksio sesaria mrupakan faktor yang protektif terhadap stres inkontinensia urin pasca persalinan. Hal ini mungkin disebabkan oleh denervasi dari kandung kemih saat operasi.
8. Berat bayi lahir. Faktor resiko obstetrik seperti melahirkan bayi besar >4000 gram mempunyai resiko yang meningkat terhadap kejadian stress inkontinensia urin pada usia gestasi 16 minggu jika dibandingkan dengan melahirkan bayi 7 kali/hari
Pengeluaran uriene dalam jumlah banyak
Bangun pada malam hari untuk berkemih
b. Inkontinensia stres
Kebocoran urine selama aktivitas fisik
Jumlah rine yang keluar sedikit disertai inkontinensia
Kesulitan mencapai toilet tepat waktunya, mengikuti desakan untuk berkemih.
c. Inkontinensia kombinasi. Beberapa gejala, baik inkontinensia urgensi dan stres yang telah dijelaskan sebelumnya.
2. Dapatkan daftar riwayat obat obatan yang lengkap yang pasien konsumsi yang mana dapat menyebabkan inkontinensia
a. Urgensi : diuretik dan kafein
b. Sering berkemih : diuretik
c. Retensi urine : antikolinergik, narkotik, beta adtrenergik dan penyekat saluran kalsium.
d. Inkontinensia overflow : antikolnergik dan penyekat saluran kalsium.
e. Inkontinensia stres : antagonis alfa dan adrenergik.
B. Lakukan pemeriksaan fisik lengkap
1. Observasi gaya berjalan, dan status mental.
2. Lakukan pemeriksaan ginekologi lengkap : adanya lei, massa, posisi dan ukuran serviks, observasi tonus uretra, periksa keutuhan saraf pudental.
3. Uji labolatorium
4. Pengobatan
a. Estrogen : baik dosis oral 0,3 1,25 mg, diminum tiap hari maupun krim vagina memperbaiki keadaan estrogen pada uretra.
b. Agonis adrenergik alfa seperti pseudofedrin 15 30 mg dosis oral, diminum 2 kali/hari, menghasilkan kontraksi otot polos, memperbaiki tekanan penutupan uretra yang maksimal. Obat ini digunakan untuk inkontenensia stress.
c. Obat antikolinergik
1. Ditropan atau ditropan XL untuk mencegah kontraksi dekstrusor spontan. Efek samping mulut kering, iritabilitas, ansietas, dan retensi urine.
2. Detrol atau detrol LA memiliki sedikit efek samping karena obat ini memiliki afinitas selektif yang tinggi terhadap reseptor muskarinik dikandung kemih.
d. Antidepresan trisiklik seperti imipiramin. Obat ini memiliki efek antikolinergik dan alfa kolinergik.
C. Inkontinensia urgensi
Terapi medikamentosa : modifikasi asupan cairan, hindari kafein, obati setiap penyebab (infeksi, tumor), latihan berkemih, antikolinergik/relaksan otot polos.
Terapi pembedahan : sistoskopi dan distensi kandung kemih, sistosplasti augmentasi.
D. Inkontinensia stres
Terapi medikamentosa : latihan otot otot dasar panggul, estrogen untuk vaginitis atrofik.
Terapi pembedahan : uretropeksi retropubik atau endoskopik, perbaikan vagina, sfingter buatan.
E. Inkontinensia overflow
Jika terdapat obtruksi : obati penyebab ostruksi, misalnya TURP.
Jika tidak terdapat obtruksi : drainase jangka pendek dengan kateter untuk memungkinkan otot detrusor pulih dari peregangan berlebihan. Kemudian penggunaan stimulan otot destrusor jangka pendek. Jika semuanya gagal, kateterisasi intermiten yang dilakuka sendiri.
F. Fistula urinarius : selalu membutuhkan terapi pembedahan. (Pierce A.Grance.2006)
G. Penatalaksanaan pembedahan
Koreksi dengan pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi inkontinensia stres. Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan : perbaikan vagina, suspensi kandung kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria.
H. Pelatihan kebiasaan. Dorong pasien untuk berkemih disaat yang normal seperti di pagi hari, sebelum tidur, sesudah makan, dll.
I. Latihan dasar panggul (senam kegel). Terutama berguna pada inkontinensia tekana. Angka kesembuhan 16% dan 54% membaik. (Graber,Mark A.2006)
Terapi non farmakologis, seperti :
1.Modifikasi asupan cairan2. Hentikan konsumsi kafein3. Latihan otot-otot dasar pinggul
4. Gaya hidup sehat
Penanganan operatif
Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan beberapa cara meliputi :
1. Kolporafi anterior
2. Uretropeksi retropubik
3. Prosedur jarum
4. Prosedur sling pubovaginal
5. Periuretral bulking agent
6. Tension vaginal tape (TVT)
9. Komplikasi
Mendapatkan masalah pada kulit ( ruam kulit atau iritasi)
Personal distress. Jika pasien mengalami inkontinensia stres dengan aktivitas sehari-hari, pasien mungkin merasa malu dan tertekan oleh kondisi tersebut. Hal ini dapat mengganggu pekerjaan , kegiatan sosial, hubungan interpersonal dan bahkan hubungan seksual.
Komplikasi fisik seperti keputihan, nyeri selama hubungan seksual jarang terjadi namun bau yang tidak enak mungkin sering terjadi .
Kebocoran anastomose merupakan komplikasi yang paling serius pasca tindakan bedah definitif, yang dapat diikuti dengan terbentuknya abses di rongga pelvik, peritonitis umum, sepsis dan kematian.
10. Pencegahan
Berhenti merokok dan menjahui asap rokok dari orang lain.
Berhenti dalam mengkonsumsi alkohol
Membatasi dalam konsumsi minuman yang bersoda dan mengandung kaffein,
Konsumsi makanan yang tinggi serat untuk mencegah terjadinya konstipasi atau sembelit.
Melakukan buang air kecil secara rutin ( misalnya dilakukan setiap 2 atau 3 jam sekali) jangan menahan apabila sedang ingin untuk melakukan buang air kecil.
Menjaga berat badan agar senantiasa berat badan normal.
Menjaga diri agar dapat terhindar dari penyakit yang dapat menimbulkan inkontenensia urine.
Melakukan aktifitas fisik ataupun olah raga secara rutin.