instalasi bedah sentral bph dengan millins

33
LAPORAN PENDAHULUAN “BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) DENGAN MILIN’S” disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi Ners(P3N) Stase Keperawatan Medikal Bedah Oleh Luluk Minarsih NIM 092311101051

Upload: luluk-minarsih

Post on 30-Sep-2015

37 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

millins

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) DENGAN MILINS

disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi Ners(P3N)

Stase Keperawatan Medikal Bedah

Oleh

Luluk Minarsih

NIM 092311101051

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2015

A. TINJAUUAN KASUS

a. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar atau jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994: 193).

Pengertian BPH di bawah ini menurut beberapa sumber yaitu:

1. Benigna Prostat Hiperplasia adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan pengendalian hormon prostat (Elin, 2011).

2. BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000: 671).

3. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2002).

Kesimpulannya BPH adalah suatu penyakit dimana prostat mengalami pembesaran memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.

b. Etiologi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah:

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut.

2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.

4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.

Ada beberapa faktor kemungkinan penyebab antara lain:

1. Dihydrotestosteron

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.

2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron

Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.

3. Interaksi stroma-epitel

Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.

4. Berkurangnya sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

5. Teori sel stem

Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (Roger Kirby, 1994: 38).

c. Patofisiologi BPH

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dari bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra.

Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika serta kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis.

Tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel.

Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersensitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).

d. Tanda dan Gejala BPH

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium yaitu:

a) Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.

b) Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa tidak enak BAK atau disuria dan menjadi nokturia.

c) Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

d) Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow inkontinen).

Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa manifestasi klinis dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.

Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini:

1. Rectal Gradding

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong:

a) Grade 0: Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.

b) Grade 1: Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.

c) Grade 2: Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.

d) Grade 3: Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.

e) Grade 4: Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.

2. Clinical Gradding

Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.

a) Normal: Tidak ada sisa.

b) Grade I: sisa 0-50 cc.

c) Grade II : sisa 50-150 cc.

d) Grade III : sisa > 150 cc.

e) Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu:

1. Gejala Obstruktif yaitu :

a) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.

b) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.

c) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.

d) Pancaran lemah: kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.

e) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

2. Gejala Iritasi yaitu:

a) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.

b) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (nokturia) dan pada siang hari.

c) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

Kategori keparahan BPH berdasarkan tanda dan gejala yaitu:

1. Ringan memiliki kekhasan tanda dan gejala yaitu asimtomatik, kecepatan urinary puncak < 10 ml/s, volume urin residual setelah pengosongan > 25-50 ml, peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin serum.

2. Sedang memiliki kekhasan tanda dan gejala yaitu semua tanda di atas ditambah obstruktif penghilangan gejala dan iritatif penghilangan gejala (tanda dari detrusor tidak stabil).

3. Parah memiliki kekhasan tanda dan gejala yaitu semua tanda di atas ditambah satu atau dua lebih komplikasi BPH (Elin, 2011).

e. Komplikasi BPH

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: seiring dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal (Corwin, 2000).

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

f. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain:

1. Anamnesa

Kumpulan gejala pada BPH

2. Pemeriksaan Fisik

a) Pemeriksaan abdomen

Pada daerah supra simfisis pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.

b) Rectal touch/pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :

a. Derajat I = beratnya 20 gram.

b. Derajat II = beratnya antara 20-40 gram.

c. Derajat III = beratnya 40 gram.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.

b) Pemeriksaan urin lengkap.

c) Prostatik Spesific Antigen (PSA) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.

d) Sedimen Urin, untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih..

e) Kultur Urin, Untu mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi

4. Pemeriksaan Uroflowmetri

Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian:

a) Flow rate maksimal 15 ml / dtk = non obstruktif.

b) Flow rate maksimal 10 15 ml / dtk = border line.

c) Flow rate maksimal 10 ml / dtk = obstruktif.

5. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik

a. Buik Overzich (BOF): untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.

b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.

c. Pemeriksaan Panendoskop

Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli-buli.

d. Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

g. Penanganan BPH

Jenis penanganan pada pasien dengan tumor prostat tergantung pada berat dan gejala kliniknya. Berat deratajat klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan siasa volume urin. Seperti yang tercantum dalam bagan berikut ini:

No

Derajat

Colok Dubur

Sisa Volume Urin

1.

I

Penonjolan prostat, batas atas mudah teraba

< 50 ml

2.

II

Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai

50-100 ml

3.

III

Batas atas prostat tidak dapat diraba

> 100 ml

4.

IV

Batas atas prostat tidak dapat diraba

Retensi urin total

Menurut Sjamsuhidayat & Jong (2002) penatalaksanaan BPH menurut empat derajat BPH dar pemeriksaan colok dubur yaitu:

1. Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi pengobatan konservatif.

2. Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection/tur)

3. Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka, melalui trans vesikal retropubik/perianal

4. Derajat empat tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine total dengan pemasangan kateter.

Modalitas terapi BPH adalah:

1. Observasi

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien.

2. Medikamentosa

Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.

3. Pembedahan

Indikasi pembedahan pada BPH adalah :

a) Klien yang pernah/sedang mengalami retensi urin akut

b) Klien dengan residual urin 100 ml.

c) Terapi medikamentosa tidak berhasil.

d) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

Pembedahan dapat dilakukan dengan :

a. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat (90 - 95%)

b. Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy

c. Perianal Prostatectomy

d. Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy

e. Open prostatectomy

f. Laparoscopy prostatectomy

g. Robotic-assisted prostatectomy

h. Radical perineal prostatectomy

i. Radical retropubic prostatectomy

j. Insisi prostat transuretral (TUIP)

k. Trans Uretral Needle Ablation (TUNA),

4. Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi Ultrasonik.

(Perubahan usia lanjutKetidakseimbangan produksi estrogen dan testosteroneKadar testosterone menurunProliferasi sel prostatHiperplasi sel stroma pada jaringan prostatBPHObstruksi saluran kemihPembedahanKompensasi otot destruksorKontraksi otot suprabpubikDekompensasi otot destruksorNyeri akutKesulitan berkemihDipasang kateterKurang pengetahuanCemasSpasme otot destruksorPenebalan dinding urinariaKontraksi ototResiko infeksiRetensi urinPerdarahan Resiko kekurangan volume cairanTerputusnya kontinuitas jaringanNyeri akut Imobilitas fisikKerusakan integritas kulitAdanya media masuk kuman)Pathway

B. TINJAUAN TINDAKAN (OPERASI MILINS)

a. Definisi OPERASI Retropubik Transkapsular Prostatektomi (caraMillin)

Operasi terbuka ini dianjurkan pada BPH dengan berat lebih dari 50 gram atau yang diperkirakan tidak dapat reseksi dengan sempurna dalam waktu satu jam. BPH yang disertai penyulit, misalnya batu buli-buli yang diameternya lebih dari 2,5 cm atau multipel dan bila tidak tersedia fasilitas untuk melakukan TUR Prostat baik sarana maupun tenaga ahlinya. Keuntungannya sumber perdarahan jelas dan apeks prostat lebih mudah dicapai.

b. Teknik Operasi:

1. Pasang foto-foto pada light-box

2. Setelah dilakukan anestesi baik regional ataupun general, penderita diletakkan dalam posisi supinasi .

3. Dilakukan desinfeksi dengan larutan povidone iodine 5% dari bawah os xyphoid sampai pertengahan kedua paha dan skrotum di sangga dengan doek steril kecil.

4. Lapangan operasi di persempit dengan doek steril (lapangan operasi di mid line antara umbilikus dan os pubis).

5. Insisi supra pubik dan infra umbilikal (midline) lapis demi lapis

6. Muskulus rektus abdominis dipisahkan ke lateral (pada linea alba) sambil merawat perdarahan

7. Lemak perivesikal disisihkan ke proksimal, identifikasi buli-buli dan prostat selanjutnya dipasang spreader.

8. Pasang bantalan pada kiri dan kanan prostat (dengan kasa) dengan tujuan :

a. agar prostat lebih menonjol

b. identifikasi prostat lebih mudah

9. Jahit (hemostasis) kapsul prostat pada 4 tempat dengan chromic catgut no. yaitu

a. lateral kanan dan kiri (arah oblique)

b. tengah atas dan bawah kira-kira 1 cm dan 2 cm dari leher buli-buli.

10. Insisi kapsul prostat arahnya horisontal (diantara ke empat jahitan tersebut) sampai nampak adenoma prostat.

11. Adenoma prostat dipisahkan dari kapsulnya dengan gunting metzeubaum secara tajam dan tumpul.

12. Setelah ada ruang antara kapsul dengan adenoma prostat sampai keluar semua adenomanya. Bekas enukleasi di tekan dengan kassa sebanyak 4-5 lembar selama 5 menit untuk menghentikan perdarahan.

13. Kasa diambil 2 sumber perdarahan dijahit dengan chormic catgut No. 0 pada jam 5 dan 7 secara figure of eight. Rawat perdarahan yang lain dengan kauterisasi.

14. Kemudian pasang kateter three way 24F sampai ke buli-buli (balon jangan diisi dulu)

15. Kapsul prostat dijahit dengan chromic catgut No. 0 secara simpul bedah sampai tidak ada kebocoran (water tight).

16. Isi buli-buli dengan NaCl 0,9% untuk melihat kebocoran buli.

17. Setelah tidak bocor, balon kateter diisi air 40 cc dan di fraksi dan dipasang spoel dengan NaCl 0,9%.

18. Rawat perdarahan dan pasang redon drain pada cavum Retzii

19. Semua kasa yang ada didalam dikeluarkan

20. Luka operasi ditutup lapis demi lapis : Otot dan fascia dijahit dengan chromic catgut

a. Lemak dijahit dengan plain catgut

b. Kulit dijahit dengan benang sutra (side)

Perlu dikaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi), sedangkan pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.

g)Seksualitas

Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.

h)Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena pengharuh dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

b.Diagnosa Keperawatan

a)Pre Operasi :

1.Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi berhubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat.

2.Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli-buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.

3.Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah

4.Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi

b) Intra Operasi

1. Resiko perdarahan berhubungan dengan pembedahan

c) Post Operasi :

1.Nyeri berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada pembedahan

2.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.

c. intervensi Keperawatan

No

Diagnosa Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

Pre Operasi

1

Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi berhubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam eliminasi urine menjadi efektif

NOC :

Urinary elimination

Urinary continuence

Kriteria Hasil :

a. Kandung kemih kosong secara penuh

b. Tidak ada residu urine >100-200cc

c. Tidak ada spasme bladder

Balance cairan seimbang

NIC :

Urinary retention care

1. Kaji kemampuan berkemih pasien secara komprehensif

R=Skrining kemungkinan tidak adekuatnya eliminasi urine

2. Monitor keadaan bladder setiap 2 jam

R=Mencegah terjadinya distensi bladder

3. Diskusikan mengenai bladder training R=Meningkatkan kekuatan dan fungsi bladder

4. Kolaborasi: pengobatan dan kateterisasi

R=Mengatasi faktor penyebab

5. Pantau asupan dan keluaran cairan

R= Mencegah dehidrasi

2

Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli-buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, nyeri yang dirasakan pasien berkurang.

NOC:

a. Pain level

b. Pain control

c. Comfort level

Kriteria Hasil:

a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab dan mampu menggunakan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)

b. Mampu mengurangi nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

c. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NIC: Pain Management

1. lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteistik, durasi, frekuensi, kualitas, dan factor presipitasi

R: untuk menentukan intervensi yang sesuai dan keefektifan dari therapi yang diberikan

2. Amati isyarat non verbal tentang kegelisahan

R: Membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidaknyamnan

3. Fasilitasi lungkangan yang nyaman bagi pasien

R: meningkatkan kenyamanan pasien

4. Ajarkan penggunaan tekhnik tanpa pengobatan (relaksasi, distraksi)

R: Meningkatkan relaksasi dan membantu untuk menfokuskan perhatian shg dapat meningkatkan sumber coping

5. Bantu pasien menemukan posisi yang nyaman

R: Peninggian lengan menyebabkan pasie rileks

6. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

R: Mengurangi nyeri dan memungkinkan pasien untuk mobilisasi tanpa nyeri

Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, ansietas berkurang

NOC :

Anxiety self-control

Anxiety level

NIC: Anxiety Reduction

a. Identifikasi tingkat kecemasan pasien

a. R= Mengidentifikasi seberapa jauh penyakit menyebabkan kecemasan pada pasien dan merupakan pedoman dalam menentukan intervensi yang tepat bagi pasien

b. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur

R= Membantu menentukan teknik untuk mengurangi kecemasan pada pasien

c. Pahami perspektif pasien terhadap kecemasan

R= Mencegah pasien mengalami cemas yang berulang akibat ketidakmampuan dalam mengenal situasi

d. Dorong keluarga untuk senantiasa menemani pasien dan memberikan ketenangan pada pasien

R= Mengurangi beban pasien terhadap ansietas yang dirasakan

e. Berikan informasi mengenai kondisi penyakit pasien

R= informasi yang jelas dapat mengurangi kecemasan

f. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, dan persepsi terhadap rasa sakit yang dialaminya

g. Kolaborasikan pemberian obat untuk menenangkan pasien

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi

NOC:

Knowledge: disease process

Knowledge: health behavior

Kriteria Hasil:

Pasien dan keluarga paham tentang kondisi, prognosis, dan program pengobatan

Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar

Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali

NIC: Teaching: disease process

a. Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya

R: Mempermudah dalam memberikan penjelasan pada klien

b. Jelaskan tentang proses penyakit (tanda dan gejala), identifikasi kemungkinan penyebab

R: Meningkatan pengetahuan dan mengurangi cemas

c. Jelaskan tentang program pengobatan dan alternatif pengobantan

R: Mempermudah intervensi

d. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin digunakan untuk mencegah komplikasi

R: Mencegah keparahan penyakit

e. Diskusikan tentang terapi dan pilihannya

R: Memberi gambaran tentang pilihan terapi yang bisa digunakan

f. Tanyakan kembali pengetahuan klien tentang penyakit, prosedur perawatan dan pengobatan

R: mengevaluasi intervensi apakah pasien dan keluarga sudah paham tentang kondisi pasien

Intra Operasi

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume cairan secara signifikan akibat pembedahan

Volume cairan klien akan seimbang dengan kebutuhan cairan klien selama perawatan 1x24 jam.

NOC :

Fluid balance

Kriteria Hasil

1. Tekanan darah dalam rentang normal

2. Integritas kulit baik

3. Membran mukosa lembab

NIC: Fluid management

1. Monitor tanda-tanda vital klien

R= TTV untuk mengetahui adanya keabnormalitasan pada tubuh klien

2. Pasang kateter urin sesuai indikasi

R= Kateter urin untuk menghitung haluaran cairan dan melakukan analisa urin

3. Monitor status hidrasi klien

R= Status hidrasi yang buruk mengindikasikan adanya kekurangan tubuh yang bermakna dan dapat membahayakan klien

4. Beri terapi cairan sesuai indikasi

R= Terapi cairan yang sesuai akan membantu mengurangi keparahan dari kondisi klien

5. Monitor respon hemodinamik

R= Menganalisis status hemodinamik untuk mendeteksi secara dini adanya kelainan pada tubuh klien

6. Kolaborasi pemberian terapi farmakologis untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh klien

R= Pemberian obat untuk menjaga agar kelebihan haluaran cairan dapat diminimalkan.

Post operasi

Nyeri berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada pembedahan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, nyeri yang dirasakan pasien berkurang.

NOC:

d. Pain level

e. Pain control

f. Comfort level

Kriteria Hasil:

d. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab dan mampu menggunakan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)

e. Mampu mengurangi nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

f. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NIC: Pain Management

1. lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteistik, durasi, frekuensi, kualitas, dan factor presipitasi

R: untuk menentukan intervensi yang sesuai dan keefektifan dari therapi yang diberikan

2. Amati isyarat non verbal tentang kegelisahan

R: Membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidaknyamnan

3. Fasilitasi lungkangan yang nyaman bagi pasien

R: meningkatkan kenyamanan pasien

4. Ajarkan penggunaan tekhnik tanpa pengobatan (relaksasi, distraksi)

R: Meningkatkan relaksasi dan membantu untuk menfokuskan perhatian shg dapat meningkatkan sumber coping

5. Bantu pasien menemukan posisi yang nyaman

R: Peninggian lengan menyebabkan pasie rileks

6. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

R: Mengurangi nyeri dan memungkinkan pasien untuk mobilisasi tanpa nyeri

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x6 jam infeksi dapat dihindari

NOC:

1. Immune status

2. Risk control

3. Knowledge: Infection control

Infection control

1. Inspeksi kulit adanya iritasi atau robekan kontinuitas.

R= Mengkaji adanya iritasi atau robekan kontinuitas

2. Kaji kulit yang terbuka terhadap peningkatan nyeri, rasa terbakar, edema, eritema, drainase/bau tidak sedap. R= Mengetahui ada/tidaknya tanda-tanda infeksi

3. Berikan perawatan kulit dengan steril dan aseptik. R= Mengurangi resiko infeksi

4. Tutup dan ganti balutan dengan prinsip steril.

R= Mengurangi resiko penyebaran infeksi

5. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain terkait pemberian obat antibiotik sesuai indikasi.

R= Mencegah terjadinya infeksi

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda. Yogyakarta: Mediaction.

Corwin, E. J. 2000. Buku Saku Pathofisiologi, Editor Endah P. Jakarta: EGC.

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Elin, Y. 2011. ISOFarmakologis. Jakarta: ISFI.

Engram, B. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Jong, et al. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Lab /UPF Ilmu Bedah. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya: Fakultas Kedokteran Airlangga/RSUD. dr. Soetomo.

Price, S. A., & Wilson, L. M., 2005, Pathofsiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa: Editor Caroline Wijaya, Edisi 4. Jakarta: EGC.

Purnomo, B. B. 2000. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Info Medika.

Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddarth, Editor Suzane, C. S., Brenda, G. B., Edisi 8. Jakarta: EGC.