internalisasi nilai pendidikan karakter hindu pada …
TRANSCRIPT
95 INTERNALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER HINDU
PADA ANAK USIA DINI
Pratama Widya : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Volume 5, No. 2, Oktober 2020
pISSN: 25284037 eISSN: 26158396
https://www.ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PW/issue/archive
INTERNALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER HINDU
PADA ANAK USIA DINI
Oleh:
Ni Wayan Arsini1, Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani2, Ni Komang Sutriyanti3
1SD Negeri 1 Batubulan, 2,3Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa
e-mail : [email protected], [email protected],
Diterima 29 Juni 2020, direvis 3 Agustus 2020, diterbitkan 20 Oktober 2020
ABSTRAK
Pembentukan karakter anak dimulai dari sejak usia dini yaitu di lingkungan keluarga
yang merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak sebelum melangkah
ke lembaga pendidikan. Taman Kanak-Kanak Jambe Kumara merupakan salah satu lembaga
pendidikan formal anak usia dini yang berada di wilayah Kabupaten Gianyar. Taman Kanak-
Kanak Jambe Kumara hanya memiliki guru yang berlatar belakang pendidikan guru anak usia
dini. Guru Taman Kanak-Kanak Jambe Kumara tidak memiliki keahlian khusus di bidang
pendidikan agama. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah proses internalisasi nilai pendidikan karakter Hindu pada anak usia dini Taman
Kanak-Kanak Jambe Kumara Kabupaten Gianyar?, (2) Hambatan apa sajakah yang dihadapi
guru PAUD dalam menginternalisasikan nilai pendidikan karakter Hindu pada anak usia dini
Taman Kanak-Kanak Jambe Kumara Kabupaten Gianyar?, selanjutnya (3) Bagaimanakah
dampak internalisasi nilai pendidikan karakter Hindu pada anak usia dini Taman Kanak-Kanak
Jambe Kumara Kabupaten Gianyar?. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Teori
Belajar Sosial dari Albert Bandura, (2) Teori Belajar Kognitif dari Jean Piaget, dan (3) Teori
Motivasi dari Maslow serta Mc.Clelland. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data
adalah metode observasi non partisipan, wawancara terstruktur, studi kepustakaan, dan
dokumentasi. Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif
kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) Proses internalisasi nilai pendidikan karakter
Hindu pada anak usia dini Taman Kanak-Kanak Jambe Kumara Kabupaten Gianyar
dilaksanakan melalui (a) Pembiasaan, (b) Keteladanan (Modelling), (c) Pengembangan Budaya
Sekolah, dan (d) Kegiatan Ekstra Kurikuler. (2) Hambatan yang dihadapi guru PAUD dalam
menginternalisasikan nilai pendidikan karakter Hindu pada anak usia dini Taman Kanak-Kanak
Jambe Kumara Kabupaten Gianyar adalah berupa faktor internal dan faktor eksternal. (3)
Dampak internalisasi nilai pendidikan karakter Hindu pada anak usia dini Taman Kanak-Kanak
Jambe Kumara Kabupaten Gianyar adalah terbentuknya karakter anak usia dini yang
beriman/religius (sradha), disiplin (yoga sadhana), mandiri (rtvig rtvijam), dan ramah tamah
(samiksantam).
Kata Kunci: Internalisasi, Nilai Pendidikan Karakter Hindu, Anak Usia Dini
ABSTRACT
The formation of a child's character starts from an early age, namely in the family
environment which is the first and foremost vehicle for children's character education before
going to an educational institution. Jambe Kumara Kindergarten is one of the early childhood
96 Ni Wayan Arsini, Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, Ni Komang Sutriyanti
formal education institutions in the Gianyar Regency. Jambe Kumara Kindergarten only has
teachers with an early childhood teacher education background. The Jambe Kumara
Kindergarten Teacher has no special expertise in the field of religious education. The problems
that will be examined in this study are: (1) How is the process of internalizing the value of Hindu
character education in early childhood Jambe Kumara Kindergarten Gianyar Regency ?, (2)
What obstacles do PAUD teachers face in internalizing the value of Hindu character education
in early childhood Jambe Kumara Kindergarten Gianyar Regency ?, then (3) What is the impact
of internalizing the value of Hindu character education on early childhood Jambe Kumara
Kindergarten in Gianyar Regency?. The theory used in this study are: (1) Social Learning
Theory from Albert Bandura, (2) Cognitive Learning Theory from Jean Piaget, and (3)
Motivation Theory from Maslow and McLelland. The method used to collect data is non-
participant observation methods, structured interviews, library studies, and documentation. The
collected data was then analyzed with qualitative descriptive techniques. The results of this study
indicate (1) the process of internalizing the value of Hindu character education in early
childhood Jambe Kumara Kindergarten in Gianyar Regency is carried out through (a)
habituation, (b) exemplary (Modeling), (c) School Culture Development, and (d )
Extracurricular activities. (2) The obstacles faced by PAUD teachers in internalizing the value
of Hindu character education in early childhood Jambe Kumara Kindergarten in Gianyar
Regency are in the form of internal factors and external factors. (3) The impact of internalizing
the value of Hindu character education in early childhood Jambe Kumara Kindergarten Gianyar
Regency is the formation of the character of early childhood believers / religious (sradha),
discipline (yoga sadhana), independent (rtvig rtvijam), and friendly (samiksantam).
Keywords: Internalization, Value of Hindu Character Education, Early Childhood
I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan segala usaha
yang dilaksanakan dengan sadar dan
bertujuan mengubah tingkah laku manusia
ke arah yang lebih baik dan sesuai dengan
yang diharapkan. Mochtar Buchori
menekankan bahwa pendidikan bermakna
menolong, sedangkan pendidikan yang tidak
bermakna hanya menjadi beban hidup
(Lasmawan, 2012). Sehingga kebermaknaan
belajar menjadi isu pendidikan yang sangat
penting untuk dicermati, dikedepankan dan
dikaji. Pendidikan membantu
mengembangkan potensi-potensi seseorang
ke arah yang lebih baik, membentuk
manusia yang mandiri, bertanggung jawab,
berilmu, memiliki etika dan moral yang
baik. Begitu pentingnya pendidikan untuk
kehidupan manusia sehingga semua negara
di dunia menaruh perhatian utamanya
memajukan pendidikan untuk
perkembangan dan kelangsungan hidup
bangsa dan Negara. Pendidikan di Indonesia
dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan
Indonesia. Hal ini terdapat dalam UU RI
No.20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 2 sebagai
berikut:
“Pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional Indonesia
dan tanggap terhadap perubahan zaman
(Penyusun, 2013).”
Selanjutnya pada Pasal 3 dijelaskan:
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa,
97 INTERNALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER HINDU
PADA ANAK USIA DINI
bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang demokratis
dan bertanggung jawab.”
Secara konseptual pendidikan nasional
sudah sangat sempurna dengan harapan
tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Tetapi tujuan pendidikan dan hasil dari
pendidikan nasional seperti apa yang dicita-
citakan ternyata masih jauh dari harapan
karena terjadinya degradasi moral terhadap
peserta didik dan remaja. Hal ini disebabkan
oleh adanya penyimpangan sosial, pengaruh
budaya asing, kurangnya pengawasan dan
perhatian orang tua, kemajuan teknologi
(IPTEK) melahirkan berbagai macam media
yang mutakhir seperti televisi, handphone,
internet dan lain-lain. Tujuan pendidikan
nasional tidak hanya membentuk manusia
yang cerdas dan pintar tetapi juga berakhlak
mulia serta beriman bertakwa kepada Tuhan.
Keseimbangan antara pengembangan
kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual.
Pendidikan hendaknya mengembangkan
ketiga aspek kecerdasan dalam peserta didik.
Pembangunan karakter dewasa ini
menjadi salah satu perhatian dari
pemerintah, pendidikan karakter harus
dikembangkan dalam bingkai utuh sistem
pendidikan nasional. Proses pendidikan
karakter akan melibatkan pengetahuan
afektif, kognitif, dan psikomotorik sehingga
dalam pemahaman anak atau peserta didik
akan mendapatkan pengetahuan baru,
sesungguhnya hal tersebut akan membentuk
perkembangan karakter anak ke arah yang
positif (Lickona, 2012). Upaya
pengembangan kualitas peserta didik dalam
kepribadian dan karakter merupakan hal
penting yang harus dilaksanakan secara
sungguh-sungguh. Kepribadian dan karakter
bangsa yang mantap dan kokoh merupakan
aspek penting dari kualitas manusia
Indonesia yang ikut menentukan kemajuan
suatu bangsa ke depan. Terlebih lagi anak
usia dini, karena merupakan masa kritis dan
strategi bagi pembentukan karakter
seseorang (M. Noor, 2012). Jambe Kumara
merupakan salah satu lembaga pendidikan
anak usia dini yang berbentuk taman kanak-
kanak swasta di lingkungan Dinas
Pendidikan Kabupaten Gianyar yang
mempunyai visi untuk mewujudkan sumber
daya manusia yang berkualitas, mampu
bersaing atas dasar sradha bhakti terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Taman Kanak-
Kanak Jambe Kumara memiliki sejumlah
pendidik dengan lulusan pendidikan guru
anak usia dini (PG PAUD) dan tidak tidak
memiliki keahlian khusus di bidang
pendidikan agama Hindu.
II. METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Moleong (2006) secara tegas
menyatakan bahwa penelitian kualitatif tidak
menggunakan lingkungan penelitian yang
disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak
dapat diubah lagi, melainkan bersifat
fleksibel (Moleong, 2006). Data yang
dipergunakan adalah data kualitatif yaitu
kategori-kategori gambar, pernyataan atau
kata-kata ditambah dengan informasi-
informasi dan dokumen-dokumen terkait
subjek dan objek penelitian. Sumber data
yang dipergunakan dalam penelitian ini
dapat dibedakan menjadi dua yakni data
primer dan data sekunder. Data primer
dalam penelitian ini diperoleh secara
langsung dari informasi-informasi yang
diberikan oleh para informan yang berada di
Taman Kanak-kanak Jambe Kumara, yang
terdiri dari kepala sekolah, para guru, siswa
serta staf sekolah. Sedangkan sumber data
sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari
buku-buku yang relevan dengan tema
penelitian, yaitu buku-buku yang terkait
98 Ni Wayan Arsini, Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, Ni Komang Sutriyanti
dengan pendidikan karakter Hindu pada
anak usia dini. Informan adalah orang yang
dimanfaatkan untuk memberikan informasi
tentang situasi dan kondisi latar penelitian
(Moleong, 2006). Informan dalam penelitian
ini dipilih dengan teknik purposive.
Data dikumpulkan dengan teknik
observasi, wawancara, studi kepustakaan,
dan studi dokumentasi. Observasi
merupakan cara memperoleh data dengan
jalan mengadakan ”pengamatan dan
pencatatan” secara sistematis tentang suatu
objek tertentu (Wardhani, 2010). Teknik
observasi yang digunakan yaitu obervasi
non partisipan yang tidak menuntut
keterlibatan peneliti berfokus terhadap
kegiatan dari subjek yang diteliti (Sugiyono,
2013). Wawancara merupakan teknik
pengumpulan data yang langsung diperoleh
dari sumbernya. Wawancara (interview)
dilakukan dengan cara mengajukan
pertanyaan secara langsung oleh interviewer
kepada yang diwawancara (Komariah,
2014). Wawancara terstruktur digunakan
sebagai teknik pengumpulan data, bila
peneliti atau pengumpul data telah
mengetahui dengan pasti tentang informasi
apa yang akan diperoleh. Studi kepustakaan,
dilakukan untuk mengumpulkan data-data
melalui sumber literatur. Sedangkan studi
dokumentasi suatu cara untuk
mengumpulkan data dengan melakukan dan
mengumpulkan segala macam dokumen
yang sudah didokumentasikan serta
mengadakan pencatatan secara sistematis.
Setelah dikumpulkan data dianalisis secara
deskriptif kualitatif. Teknik deskriptif
kualitatif adalah suatu cara analisis data
penelitian yang dilakukan dengan cara
menyusun secara sistematis, factual, dan
akurat mengenai fakta-fakta dari suatu fakta-
fakta dari suatu peristiwa-peristiwa atau
gejala-gejala tertentu. Data yang sudah
dianalisis, selanjutnya disajikan dalam
bentuk teks naratif yaitu penyajian data atau
hasil penelitian dideskripsikan
menggunakan kata-kata biasa.
III. PEMBAHASAN
3.1 Proses Internalisasi Nilai
Pendidikan Karakter Hindu pada
Anak Usia Dini pada Taman Kanak-
Kanak Jambe Kumara Kabupaten
Gianyar
Pendidikan karakter dalam konteks
mikro berpusat pada satuan pendidikan
secara holistik. Pengembangan karakter
dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan
belajar mengajar di kelas, kegiatan
keseharian dalam bentuk pengembangan
budaya satuan pendidikan, kegiatan ko-
kurikuler dan/atau ekstra kurikuler, serta
keseharian di rumah dan masyarakat (M.
Noor, 2012). Internalisasi nilai karakter
Hindu pada anak usia dini di Taman Kanak-
Kanak Jambe Kumara dilaksanakan melalui
pembiasaan, keteladanan (modelling),
pengembangan budaya sekolah serta
kegiatan ekstra kurikuler.
3.1.1 Pembiasaan
El-Khuluqo (2014) menyatakan
pendidikan karakter anak usia dini memiliki
makna lebih tinggi dari pendidikan moral
karena tidak hanya berkaitan dengan
masalah benar salah, akan tetapi bagaimana
menanamkan kebiasaan (habit) tentang
berbagai perilaku yang baik dalam
kehidupan, sehingga anak memiliki
kesadaran dan pemahaman yang tinggi, serta
kepedulian dan komitmen untuk
menerapkan kebajikan dalam kehidupan
sehari-hari. Peranan pembiasaan dalam
pengajaran terhadap berfungsi untuk
menumbuhkan serta mengembangkan
kecerdasan jiwanya dalam menemukan nilai
budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur,
dan etika religius yang lurus. Pembiasaan
merupakan dimensi praktis dalam upaya
pembentukan anak untuk mempersiapkan
dirinya dalam menjalani proses kehidupan
99 INTERNALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER HINDU
PADA ANAK USIA DINI
dan mendukung kariernya. Segi praktis ini
dapat dilakukan dengan melatih anak
menaati agama dan Tuhan dan menjauhi
larangannya. Melalui wawancara yang
dilakukan, I Dewa Made Ngurah Badra
menyatakan sebagai berikut:
“Taman Kanak-Kanak Jambe Kumara
telah menerapkan program kegiatan
pembiasaan yang harus diikuti oleh
anak-anak. Kegiatan pembiasaan
meliputi memberi salam, sembahyang
pagi/ sembahyang purnama tilem,
mencuci tangan setelah bermain atau
akan makan, berdoa sebelum makan,
membuang sampah pada tempatnya,
budaya antri, serta merapikan alat tulis
sendiri (wawancara tanggal 02 Mei
2018)”.
Berdasarkan penuturan informan,
Taman Kanak-Kanak Jambe Kumara telah
menerapkan program kegiatan pembiasaan
meliputi memberi salam, sembahyang pagi/
sembahyang purnama tilem, mencuci tangan
setelah bermain atau akan makan, berdoa
sebelum makan, membuang sampah pada
tempatnya, budaya antri, serta merapikan
alat tulis sendiri.
3.1.2 Memberi Salam
Berdasarkan hasil observasi peneliti di
lapangan, anak-anak Taman kanak-Kanak
Jambe Kumara ketika memasuki halaman
sekolah selalu memberi salam kepada
Bapak/Ibu Gurunya. Selain itu juga,
pembelajaran di kelas diawali dengan
ucapan salam “Selamat Pagi Bapak/Ibu
Guru” serta mengucapkan salam Panganjali
Umat “Om Swastyastu”. Seperti terlihat
pada gambar 4.9 di bawah ini. Menurut
penuturan informan Ni Made Astrini, S.Ag
menyatakan bahwa :
“Menjadi seorang guru harus mampu
merubah kebiasaan buruk yang dibawa
oleh anak dari rumah. Di sekolah
seorang guru harus mampu menanamkan
kebiasaan baik. Walaupun guru itu
kesannya terlalu cerewet di depan orang
tua dan murid. Namun, hal ini kita
lakukan demi kebaikan anak-anak kelak.
Terutama mengarahkan anak untuk
hormat tidak hanya saja kepada kita
gurunya namun semua orang yang ada di
sekitar kita. Kita mengajarkan mereka
untuk hormat dengan cara salim ketika
ketemu dengan orang yang lebih tua.
Jangan menunggu anak-anak yang
menyalami, sambutlah anak-anak
dengan meyodorkan tangan. Baru sepeti
itu bukannya seorang guru itu gila
hormat. Hal-hal yang sering dilakukan
berulang-ulang, anak menjadi terbiasa
hormat dengan memberikan salam.
Pembiasaan mengarahkan anak-anak
untuk terbiasa hormat kepada sesama
maupun kepada orang yang lebih tua
termasuk Bapak/Ibu Guru maupun orang
yang lebih tua (wawancara tanggal 5
Mei 2018)”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas,
dapat disimpulkan bahwa salah satu
kegiatan pembiasaan yang dilaksanakan di
Taman Kanak-Kanak Jambe Kumara yaitu
memberi salam kepada orang lain. Anak-
anak dibimbing untuk hormat kepada semua
orang yang ada di lingkungan sekitarnya,
baik itu guru, staf sekolah maupun orang
yang lebih tua. Kegiatan pembiasaan ini
diterapkan untuk membentuk karakter anak
yang santun dan ramah tamah.
3.1.3 Sembahyang Pagi/Sembahyang
Purnama Tilem
Sembahyang/berdoa merupakan salah
satu kegiatan rutin yang wajib dilakukan
oleh anak sebelum memasuki kelas. Anak-
anak berbaris di depan halaman sekolah
sesuai dengan kelasnya masing-masing yang
diarahkan dan dipantau oleh Bapak/Ibu
guru. Sebelum sembahyang/berdoa anak-
anak diajak menyayikan salam agama Hindu
dengan menggunakan bahasa daerah Bali.
Anak-anak diajak bersikap anjali yaitu
100 Ni Wayan Arsini, Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, Ni Komang Sutriyanti
tangan dicakupkan dan berada di depan
dada. Menurut penuturan informan I Dewa
Made Ngurah Badra menyatakan bahwa:
“Sebagai orang asli Bali hendaknya kita
bia melestarikan budaya yang kita miliki
yaitu pengenalan bahasa daerah Bali
kepada anak-anak kita. Disini saya
selaku kepala sekolah menekankan
kepada bawahan untuk menggunakan
bahasa bali serta diterjemahi lagi dengan
bahasa Indonesia karena kami
mempunyai beberapa orang anak yang
bukan orang asli Bali dan tidak pernah
diajarkan berbahasa Bali. Penggunaan
bahasa Bali ini merupakan salah satu
program pembiasaan, supaya anak-anak
sedari kecil sudah mengenal bahasa
ibunya.Kita menggunakan dua bahasa
dalam mengucapkan salam maupun
berdoa. Berdoa pertama kita memuja
Dewa Ganapati lalu dilanjutkan dengan
Gayatri Mantram. Pertama kita antarkan
pakai bahasa Bali lalu kita antarkan lagi
pakai bahasa Indonesia. Apalagi di era
sekarang dengan canggihnya teknologi,
anak-anak lebih cepat meniru budaya
luar yang sering mereka tonton dan
dengar di layar televisi maupun
handphone. Sekolah juga mengharapkan
daya dukung orang tua dalam
mengenalkan bahasa daerah Bali di
lingkungan keluarga. Melalui kegiatan
pembiasaan inilah kita membentuk
karakter anak-anak. Mengucapkan salam
dan berdoa salah satu internalisasi nilai
karakter Hindu religius (wawancara
tanggal 02 Mei 2018)”.
Berdasarkan hasil wawancara dan
observasi di lapangan, peneliti menemukan
bahwa kegiatan berdoa diawali dengan
menggunakan bahasa daerah Bali lalu lagu
pujaan terhadap “Dewa Ganesha”
dinyanyikan dengan menggunakan nyanyian
berbahasa Indonesia. Mengingat asal-usul
siswa di Taman Kanak-Kanak tidak hanya
berasal dari orang Bali asli tetapi ada orang
rantauan dari daerah lain yaitu bahasa jawa.
Nyanyian Lagu Ganesha sebagai berikut:
“ Ayo kawan-kawan semua, ayo kawan-
kawan semua, mari belajar dan memuja,
mari belajar dan memuja, Tuhan Yang
Maha Esa, Om Sri Ganapati, Om Sri
Ganapati, Om Sri Ganapati, berkatilah
kami agar jadi anak pintar, kuat dan
berbudi, berkatilah kami agar jadi anak
pintar, kuat dan berbudi (Hasil
pengamatan tanggal 5 Maret 2018).
3.1.4 Mencuci Tangan Setelah Bermain
Atau Sebelum Makan
Anak-anak Taman Kanak-Kanak
Jambe Kumara dididik untuk hidup sehat.
Bagaimana cara merawat diri sendiri
maupun lingkungan. Dengan fasilitas yang
telah disediakan oleh pihak sekolah, anak-
anak diharapkan terbiasa mengikuti pola
hidup sehat seperti mencuci tangan setelah
bermain atau mencuci tangan sebelum
makan. Kegiatan ini merupakan kegiatan
pembiasaan penanaman pendidikan karakter
bertanggung jawab terhadap kesehatan diri
sendiri. Taman Kanak-Kanak Jambe
Kumara telah menyediakan beberapa tempat
cuci tangan yang bisa digunakan oleh anak-
anak. Setelah bermain atau sebelum makan
anak-anak tanpa disuruh akan mencuci
tangannya sendiri (Warniasih, wawancara
tanggal 5 Mei 2018).
3.1.5 Berdoa Sebelum Makan
Penanaman karakter religius dapat
dilakukan dengan cara pembiasaan berdoa
sebelum makan. Menggunakan etika makan
yang benar seperti tidak mengajak bercakap-
cakap teman yang sedang makan. Sebelum
menyantap makanan anak-anak diarahkan
untuk berdoa agar senantiasa makanan yang
disantap membawa kesehatan serta
mengucapkan syukur atas makanan yang
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan,
sebelum makan bersama anak-anak
101 INTERNALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER HINDU
PADA ANAK USIA DINI
mengambil sikap duduk yang baik. Tangan
berada di atas meja dan dilipat. Mata
dipejamkan dan mulai berdoa diarahkan
oleh ibu gurunya. Doa yang diucapkan
sebagai berikut:
“Terima kasih Tuhan atas pemberianmu
hari ini.”
Menurut penuturan informan Desak Putu
Wahyuni, S.Pd.AUD menyatakan bahwa:
“Anak-anak kami biasakan untuk
mensyukuri atas berkah yang telah
diberikan oleh Tuhan. Kami
mengarahkan anak-anak agar bersyukur
bisa menikmati makanan berlimpah. Di
luar sana masih banyak orang ain yang
kekurangan makanan. Kami
mengarahkan anak-anak untuk
menghabiskan makanan tanpa sisa.
Ucapan syukur kita ucapkan dengan doa
sederhana yaitu terima kasih Tuhan atas
pemberianmu hari ini (wawancara
tanggal 4 Mei 2018).”
3.1.6 Membuang Sampah Pada
Tempatnya
Pihak Taman Kanak-Kanak Jambe
Kumara membuatkan rambu-rambu untuk
tidak membuang sampah sembarangan
dengan media gambar, sehingga mudah
dipahami maksudnya oleh anak-anak. Selain
itu, tentu saja melalui persuasi atau nasihat
langsung yang sifatnya lisan. Sekolah sudah
menyediakan tempat sampah dengan jumlah
yang memadai atau sesuai kebutuhan, serta
telah dipisah antara tempat sampah organik
atau basah dan tempat sampah non organik
atau kering. Berdasarkan penuturan
informan, Ni Made Ariani, S.Pd
menyatakan bahwa:
“Kita mengingatkan anak-anak untuk
membiasakan diri saling mengingatkan
teman, jika ada di antara teman-temanya
yang lupa membuang sampah
sembarangan. Jadi, anak-anak diarahkan
untuk saling mengawasi dan
mengingatkan di antara sesama teman.
Hal ini bagus, secara tidak langsung
anak-anak digiring pada satu
pemahaman bahwa kebersihan sekolah
adalah tanggung jawab bersama, dan
oleh karena mereka harus saling
mewujudkan dan menjaganya
((wawancara tanggal 05 Mei 2018).”
Senada dengan pernyataan tersebut,
Desak Putu Wahyuni, S.Pd.AUD
menambahkan bahwa :
“Kita bapak/ibu guru harus bisa
memberi contoh untuk peduli pada
kebersihan lingkungan sekolah, misal
dengan kesediaan untuk memungut
sampah yang tercecer. Lakukan itu
sambil memberikan arahan kepada anak-
anak untuk melakukan hal yang sama.
Karena mereka langsung diberikan
contoh, tentu mereka akan lebih mudah
untuk mengikutinya. Pada saat kegiatan
pembelajaran, ada hari tertentu yang
digunakan untuk mengajak anak-anak
menanam bunga, sayur dan pohon.
Selain membuat lingkungan sekolah
akan indah dan sejuk, anak-anak juga
akan turut menjaganya, karena tanaman
tersebut mereka yang menanam. Dan
sudah barang tentu karena tanaman
tersebut hasil karya sendiri, mereka tidak
akan merusaknya (wawancara tanggal 4
Mei 2018).”
Berdasarkan hasil wawancara di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan
membuang sampah pada tempatnya
merupakan salah satu penerapan metode
pembiasaan yang dilakukan oleh guru
Taman Kanak-Kanak Jambe Kumara untuk
menumbuhkan budaya hidup sehat pada
peserta didik.
3.1.7 Budaya Antri
Kesadaran anak untuk terbiasa
mengantri merupakan hasil pendidikan yang
dilakukan secara terus menerus dan
berkelanjutan. Budaya mengantri tidak bisa
dilatihkan kepada anak hanya dalam waktu
satu atau dua bulan saja. Di samping itu
102 Ni Wayan Arsini, Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, Ni Komang Sutriyanti
keteladanan dari semua pihak di lingkungan
sekolah merupakan contoh terbaik bagi
anak-anak untuk membudayakan mengantri.
Berdasarkan wawancara dengan Ni Ketut
Sarmini, S.Pd.AUD menyatakan bahwa:
“Banyak hal yang dapat dipelajari oleh
anak ketika mengantri yaitu anak belajar
bersabar menunggu giliran ketika
mereka mendapatkan antrian di tengah
atau di belakang, anak belajar disiplin
serta tidak menyerobot hak orang lain,
anak belajar bersosialisasi menyapa dan
berkomunikasi dengan orang lain di
antrian dan anak belajar memiliki rasa
malu, jika menyerobot antrian dan hak
orang lain (wawancara tanggal 07 Mei
2018).”
Berdasarkan hasil wawancara di atas
dapat disimpulkan bahwa pembiasaan
budaya antri dilakukan untuk membentuk
karakter anak didik yang disiplin dan bisa
bersosialisasi dengan orang lain di
sekitarnya. Belajar bersabar dan tidak
menyerobot hak orang lain.
3.1.8 Merapikan Alat Tulis Sendiri
Berdasarkan hasil observasi di
lapangan Taman Kanak-Kanak Jambe
Kumara menyedikan peralatan belajar baik
itu alat tulis maupun buku pendukung di
sekolah beserta loker untuk masing masing
siswa. Setiap memulai pembelajaran di kelas
anak-anak mengambil peralatan belajarnya
sendiri. Apabila sudah selesai menggunakan
peralatan belajar dirapikan dan ditaruh di
tempat semula. Anak-anak dibiasakan
belajar mandiri, menjaga dan merapikan
peralatan sekolah sendiri.
“Semua anak kita wajibkan untuk
menjaga isi lokernya dengan baik. Baik
menjaga keutuhan isi loker maupun
kerapian isi loker. Anak-anak
mempunyai loker masing-masing yang
diberi tanda dengan gambar buah yang
mencirikan identitas individu anak
(wawancara tanggal 05 Mei 2018).”
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa program kegiatan
pembiasaan Taman Kanak-Kanak Jambe
Kumara Kabupaten Gianyar yang meliputi
memberi salam, sembahyang pagi/
sembahyang purnama tilem, mencuci tangan
setelah bermain atau akan makan, berdoa
sebelum makan, membuang sampah pada
tempatnya, budaya antri, serta merapikan
alat tulis sendiri dapat menumbuhkan
karakter Hindu anak usia dini.
3.1. 9 Keteladanan (Modelling)
Keteladanan adalah metode atau cara
mendidik/memberikan pembelajaran kepada
anak dengan cara memberikan contoh yang
baik, baik melalui perkataan ataupun
perbuatan yang akan senantiasa tertanam
dalam diri pribadi anak. Keteladanan dalam
pendidikan merupakan metode yang
berpengaruh dan terbukti paling berhasil
dalam mempersiapkan dan membentuk
aspek moral, karakter, spiritual dan etos
sosial anak yang tindak tanduknya dan
sopan santunnya disadari atau tidak akan
ditiru oleh anak-anak (Sudijono, 1999).
Kegiatan keteladanan dalam praktek
pendidikan dan pengajaran, dilaksanakan
dalam dua cara, yaitu; pertama, secara
langsung (direct) maksudnya bahwa
pendidik benar-benar menjadikan dirinya
sebagai contoh teladan yang baik bagi anak
didik. Kedua, secara tidak langsung
(indirect) yang maksudnya, pendidik
menceritakan riwayat kisah-kisah orang
besar, pahlawan ,yang tujuannya agar anak
didik menjadikan tokoh-tokoh tersebut
sebagai suri teladan dalam kehidupannya.
Melalui wawancara yang dilakukan dengan
Ni Nengah Muriani,S.Pd menyatakan
bahwa:
“Seorang pendidik tidak memberikan
prinsip-prinsip atau teori-teori saja
kepada anak didik akan tetapi pendidik
atau guru harus dapat merealisasikannya
103 INTERNALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER HINDU
PADA ANAK USIA DINI
dalam kehidupan sehari-hari. Karena
pendidik merupakan figur yang baik
dalam pandangan anak didik, semua
tindak-tanduk dan sopan santunnya
disadari atau tidak akan ditiru oleh
mereka bahkan bentuk perkataan,
perbuatan dan tingkah lakunya serta
senantiasa tertanam dalam kepribadian
anak. Suri tauladan dari pendidik
merupakan faktor yang besar
pengaruhnya dalam kepribadian anak.
Hal ini dapat membentuk seorang anak
menjadi manusia yang berkarakter dan
beriman (wawancara tanggal 03 Mei
2018)”.
Berdasarkan hasil wawancara
tersebut di atas, menjadi seorang pendidik
harus bisa menjadi panutan atau suri
tauladan bagi anak-anak. pendidik
merupakan figur yang baik dalam
pandangan anak didik karena semua tindak-
tanduk dan sopan santun disadari atau tidak
akan ditiru oleh anak-anak bahkan bentuk
perkataan, perbuatan dan tingkah lakunya
serta senantiasa tertanam dalam kepribadian
anak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
keteladanan memberikan pengaruh yang
besar terhadap kepribadian dan karakter
anak.
3.2 Hambatan yang Dihadapi Guru
PAUD dalam Menginternalisasi
Nilai Pendidikan Karakter Hindu
pada Anak Usia Dini pada Taman
Kanak-Kanak Jambe Kumara
Kabupaten Gianyar Pembentukan karakter merupakan
segala sesuatu yang dilakukan guru yang
mampu mempengaruhi karakter peserta
didik. Anis (2006) menyatakan bahwa
secara garis besar ada dua faktor yang
mempengaruhi karakter seseorang yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Banyak
hambatan yang dialami oleh guru PAUD
dalam menanamkan pendidikan karakter
Hindu. Hambatan-hambatan tersebut juga
berkaitan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi penanaman karakter Hindu
pada siswa yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Lebih jelasnya peneliti akan
menjelaskan sebagai berikut:
3.2.1 Faktor Internal
Hambatan yang dilalui dalam
internalisasi nilai karakter Hindu pada anak
usia dini Taman Kanak-Kanak Jambe
Kumara Kabupaten Gianyar disebabkan oleh
faktor yang berasal ada dalam diri individu
anak usia dini. Hambatan internal
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor
jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor
kelelahan.
a. Faktor Jasmaniah
Faktor penghambat
pelaksanaan internalisasi nilai
karakter Hindu jika dilihat dari
faktor jasmaniah yaitu faktor
kesehatan dan kondisi fisik. Anak
usia dini dapat mengikuti kegiatan
sekolah dengan baik apabila dalam
keadaan sehat. Kegiatan sekolah
anak usia dini akan terganggu jika
kesehatannya terganggu. Apabila
kesehatannya terganggu anak usia
dini akan merasa cepat lelah, kurang
bersemangat, mengantuk ketika ada
gangguan/kelainan fungsi alat indera
serta tubuhnya.
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan
faktor kejiwaan dari peserta didik.
Ada empat faktor yang tergolong ke
dalam faktor psikologis yang
mempengaruhi belajar yaitu :
intelegensi, perhatian, minat, dan
kelelahan (Slameto, 2004).
3.2.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang
berasal dari luar diri individu. Faktor
ekternal adalah faktor yang bersumber dari
104 Ni Wayan Arsini, Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, Ni Komang Sutriyanti
luar manusia, akan tetapi dapat
mempengaruhi perilaku manusia, baik
langsung maupun tidak langsung. Hal-hal
yang termasuk dalam faktor eksternal ini
adalah faktor keluarga, faktor lingkungan
sekolah, dan faktor lingkungan masyarakat.
a. Faktor Keluarga
Ki Hajar Dewantara (dalam
Shochib, 1998) menjelaskan bahwa
keluarga merupakan pusat
pendidikan yang pertama dan
terpenting karena sejak timbulnya
adab kemanusiaan sampai saat ini,
keluarga selalu memengaruhi
pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap
manusia. Disamping itu, orang tua
dapat menanamkan benih kebatinan
yang sesuai dengan kebatinannya
sendiri ke dalam jiwa anak. Inilah
hak orang tua yang utama dan tidak
bisa dibatalkan oleh orang lain.
Menurut Syarbini (2012) keluarga
adalah lingkungan utama yang dapat
membentuk watak dan karakter anak.
Baik buruknya karakter anak sangat
tergantung pada baik buruknya
pelaksanaan pendidikan dalam
keluarga. Keluarga memiliki peran
yang sangat penting dalam
membentuk kepribadian anak.
Keluarga merupakan tempat yang
paling menentukan seorang anak
tumbuh menjadi orang yang
bergunan atau tidak bagi masyarakat.
Lickona (2012) menegaskan
keluarga sebagai pendidik karakter
yang paling utama. Keluarga adalah
pihak pertama yang paling penting
dalam mempengaruhi karakter anak.
Tugas sekolah adalah memperkuat
nilai karakter positif (etos kerja, rasa
hormat, tanggung jawab, jujur, dan
lain-lain) yang diajarkan di rumah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas
dapat disimpulkan keluarga
merupakan jalur pendidikan pertama
dan utama bagi anak merupakan
tempat pertama kalinya anak-anak
memperoleh pendidikan dan
pengajaran dari orang tua. Keluarga
juga memiliki tempat dan fungsi
yang sangat unik, dinamis, memiliki
peran sosial, pendidikan sekaligus
peran keagamaan. Seorang anak
sebelum mengenal masyarakat yang
lebih luas dan mendapat bimbingan
dari sekolah, lebih awal memperoleh
bimbingan dari keluarga. Seorang
anak pertama kalinya mendapatkan
penanaman dan pembentukan
karekter dari kedua orang tua.
Demikian pula dalam
keseluruhannya kehidupan anak
lebih banyak dihabiskan dalam
lingkungan keluarga.
Penanaman nilai-nilai karakter
dalam keluarga merupakan salah satu
upaya peningkatan mutu pendidikan
karakter sehingga terwujud sumber
daya manusia yang berkualitas
(Sutriyanti, 2016). Selain itu, yang
juga penting adalah adanya
komunikasi yang baik antara suami
dan istri. Sekarang ini dengan alasan
untuk memperbaiki tingkat ekonomi
keluarga, banyak pasangan suami-
istri, memilih untuk bekerja mencari
nafkah. Kesibukan yang terus
meningkat membuat pasangan
suami-istri sering lupa akan
pentingnya komunikasi tatap muka
untuk menjaga hubungan pernikahan
tetap harmonis. Minimnya
komunikasi seperti itu rentan
memunculkan permasalahan dalam
hubungan suami istri. Jika dibiarkan,
bisa jadi pasangan itu akhirnya harus
bercerai (Kurniawan, 2012). Baik
buruknya hubungan atau interaksi
antara suami dan istri atau ayah dan
ibu sangat menentukan kesuksesan
105 INTERNALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER HINDU
PADA ANAK USIA DINI
pendidikan karakter di lingkungan
keluarga, terutama dalam
menciptakan situasi dan interaksi
edukatif. Situasi edukatif adalah
terciptanya suasana atau keadaan
yang memungkinkan terjadinya
proses tindakan yang mengarah pada
proses pendidikan. Sementara
interaksi edukatif adalah interaksi
yang mengandung nilai-nilai
pendidikan. Situasi dan interaksi ini
tidaklah muncul dengan sendirinya,
tetapi harus diciptakan, diusahakan
bahkan direkayasa oleh suami istri
atau ayah ibu, dan orang-orang
dewasa lain yang bertanggung jawab
dalam pelaksanaan pendidikan
karakter di lingkungan keluarga.
Upaya pembentukan karakter
anak di keluarga pada dasarnya tidak
terlepas dari bagaimana bentuk pola
asuh yang diterapkan orang tua pada
anak-anaknya. Pola asuh dapat
didefinisikan sebagai pola interaksi
antara anak dengan orang tua yang
meliputi pemenuhan fisik (makan,
minum dan lain-lain) dan kebutuhan
psikologis (rasa aman, kasih sayang
dan lain-lain), serta sosialisasi
norma-norma yang berlaku di
masyarakat agar dapat anak dapat
hidup selaras dengan lingkungannya.
Dengan kata lain, pola asuh juga
meliputi pola interaksi orang
tuandengan anak dalam rangka
pendidikan karakter anak (M. Noor,
2012). Pola asuh atau parenting style
adalah salah satu faktor yang secara
signifikan turut membentuk karakter
anak. Keluarga yang harmonis,
rukun dan damai akan tercermin dari
kondisi psikologis dan karakter anak-
anaknya. Begitu sebaliknya, anak
yang kurang berbakti, tidak hormat,
bertabiat buruk, sering melakukan
tindakan di luar moral kemanusiaan
atau berkarakter buruk, lebih banyak
disebabkan oleh ketidakharmonisan
dalam keluarga. Semestinya orang
tua menyadari menjadi sosok
demokratis agar karakter mulia
tumbuh berkembang pada anak.
Sebaliknya para orangtua harus
menghindari pola asuh yang permisif
dan otoriter karena terbukti
membentuk karakter buruk pada
anak (Wibowo, 2017).
Setiap orang tua atau pasangan
suami-istri atau ayah-ibu senantiasa
mengharapkan kehadiran anak
sebagai bukti dari buah cinta kasih
mereka. Namun hubungan antara
orang tua dan anak bukanlah
hubungan kepemilikan, melainkan
hubungan pemeliharaan. Hubungan
atau interaksi antara orang tua
dengan anak selalu ditandai dengan
perkataan dan perbuatan. Namun,
tidak sedikit dari perilaku atau
perangai orang tua justru membuat
anak tertekan atau stres bahkan
depresi. Melalui wawancara dengan
Desak Putu Wahyuni, S.Pd.AUD,
menyatakan bahwa :
“Lingkungan rumah dapat terdiri
dari orang tua, kakek nenek atau
asisten rumah tangga. Dalam
proses penanaman nilai karakter,
kebiasaan di rumah dapat
menjadi menjadi penghambat.
Sekolah sudah membiasakan
anak-anak untuk melakukan
segala sesuatu sendiri misalnya,
namun jika di rumah anak-anak
masih dilayani. Selain itu sikap
orang tua yang mempercayakan
anak-anaknya ke sekolah 100%
tetapi mereka sibuk dengan
pekerjaan tanpa memberikan
perhatian dan kasih sayang serta
memberikan contoh yang baik di
rumah. Hal ini akan menghambat
106 Ni Wayan Arsini, Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, Ni Komang Sutriyanti
penanaman nilai karakter pada
anak (wawancara tanggal 12 Mei
2018).”
Berdasarkan hasil wawancara
di atas dapat disimpulkan bahwa,
pola asuh orang tua di rumah dapat
menjadi penghambat dalam
internalisasi nilai karakter. Tidak
adanya sinkronisasi antara yang telah
diajarkan dengan lingkungan yang
tidak mendukung membuat nilai-
nilai karakter Hindu yang
ditanamkan di sekolah tidak dapat
terinternalisasi dengan baik.
b. Faktor Lingkungan Sekolah
Menurut M. Noor (2012)
menyatakan sekolah sebagai institusi
formal yang memiliki tugas penting
bukan hanya meningkatkan
penguasaan informasi dan teknologi
peserta didik, tetapi juga bertugas
dalam pembentukan kapasitas
bertanggung jawab dan kapasitas
pengambilan keputusan yang bijak
dalam kehidupan. Sebab, seseorang
tidak secara otomatis memiliki
karakter moral yang baik sehingga
perlu dipikirkan upaya untuk
mendidik karakter secara efektif
(effective character education).
Menurut Wibowo (2017), guru
PAUD yang profesional secara
umum memiliki tugas utama untuk:
(1) mendidik; (2)membimbing;
(3)mengarahkan; (4) melatih; (5)
menilai; (6) mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar dan pendidikan menengah.
Guru PAUD juga diharapkan mampu
bekerja secara profesional dan dapat
menjadi agen perubahan sosial baik
di sekolah maupun masyarakat.
Seorang guru yang benar-benar
menerapkan pendidikan yang santun
dalam mendidik siswanya, akan
selalu berpikir kreatif dan inovatif
dalam menciptakan lingkungan
pembelajaran yang menyenangkan,
agar anak usia dini lebh mudah
mengerti apa yang hendak
disampaikan oleh gurunya.
Penggunanaan metode yang sesuai
dengan materi akan sangat
berpengaruh. Seorang guru juga
harus mengedepankan rasa kasih
sayang dan cinta kasih kepada anak
didiknya melalui perkataan dan
perbuatan yang bisa menjadi contoh
untuk anak didiknya(El-Khuluqo,
2014).
Anak usia dini adalah anak
yang sedang dalam tahap
perkembangan pra operasional
kongkrit sebagaimana yang
dikemukakan oleh Piaget. Sementara
nilai-nilai karakter atau moral
merupakan konsep-konsep yang
abstrak, sehingga dalam hal ini anak
belum bisa dengan serta merta
menerima apa yang diajarkan
guru/orang tua yang sifatnya abstrak
secara cepat. Oleh karena itu guru
harus mampu memilih metode yang
tepat dan efektif untu menanamkan
nilai moral kepada anak agar apa
yang disampaikan benar-benar
sampai dan dipahami oleh anak
untuk bekal kehidupannya kelak.
Berdasarkan hasil observasi di
lapangan, masih terdapat guru
PAUD yang belum bisa sepenuhnya
menjadi figur kebajikan dan suri
tauladan yang pantas untuk digugu
dan ditiru. Profil guru PAUD yang
kurang kreatif dan inovatif dalam
menciptakan lingkungan belajar
yang menyenangkan juga dapat
menghambat internalisasi nilai
karakter Hindu pada anak usia dini.
107 INTERNALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER HINDU
PADA ANAK USIA DINI
c. Faktor Lingkungan Masyarakat
Sebagai makhluk sosial maka
setiap siswa tidak mungkin
melepaskan dirinya dari interaksi
dengan lingkungan. Sebagai
makhluk sosial sejak dini memang
sebaiknya anak kita dikenalkan pada
lingkungan masyarakat. Dalam
proses perkebangan anak,
lingkungan merupakan faktor yang
sangat penting setelah pembawaan
(Aunurrahman, 2012). Melalui
wawancara dengan Ni Made
Warniasih, S.Pd dinyatakan sebagai
berikut:
“Lingkungan tempat tinggal
sangat berpengaruh tehadap
pembentukan karakter anak.
Misal anak-anak yang bertempat
tinggal di sekitar perumahan
TNI/POLRI cenderung anak-
anak lebih berani dan disiplin,
lain halnya anak-anak yang
tinggal di wilayah perkotaan
yang sesama tetangga tidak
saling mengenal. Ini juga akan
berdampak buruk terhadap
karakter anak. Anak-anak
cenderung menjadi anak yang
individualism. Selain itu,
pengaruh masyarakat yang sering
berjudi atau mabuk-mabukan
akan juga memberikan pengaruh
yang negatif. Karena anak usia
dini ini merupakan peniru yang
ulung, mereka akan sangat
gampang meniru apa yang dilihat
(wawancara tanggal 07 Mei
2018).”
Berdasarkan uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa lingkungan
masyarakat juga merupakan salah
satu faktor penghambat nilai karakter
Hindu pada anak usia dini.
Hendaknya masyarakat ikut berperan
dalam pembentukan moral dan
karakter anak bangsa sehingga kelak
menjadi anak-anak yang berguna.
3.3 Upaya untuk Mengatasi Hambatan
dalam Mengiternalisasikan Nilai
Karater Hindu pada Anak Usia Dini
Taman Kanak-Kanak Jambe
Kumara Kabupaten Gianyar
Berdasarkan hambatan-hambatan yang
dihadapi oleh guru PAUD dalam
menginternalisaskan nilai karakter Hindu
pada anak usia dini Taman Kanak-Kanak
Jambe Kumara Kabupaten Gianyar, perlu
adanya solusi untuk mengatasi hambatan
tersebut sehingga tujuan dalam
menginternaisasikan nilai karakter Hindu
dapat tercapai dengan baik. Untuk
meningkatkan keefektifan sekolah dalam
menanamkan pendidikan karakter Hindu
diperlukan berbagai perubahan. Perubahan
yang diperlukan tidak hanya perubahan di
sekolah, tetapi juga pada lingkungan yang
mempengaruhi proses dan internaisasi nilai
karakter di sekolah. Upaya yang dilakukan
oleh pihak sekolah antara lain
pengembangan kultur sekolah (caring
community) dan pengembangan pendidik
yang profesional.
a. Pengembangan Kultur Sekolah
(Caring Community) Kultur sekolah merupakan
kreasi bersama yang dapat dipelajari
dan teruji dalam memecahkan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi
sekolah dalam mencetak lulusan
yang cerdas, terampil, mandiri dan
bernurani. Pendidikan karakter akan
semakin efektif, relevan dan
berkesinambungan jika terarah pada
pengembangan kultur sekolah yang
menghargai individu dalam
mengembangkan karakter
pribadinya. Pada dasarnya kualitas
sebuah lembaga pendidikan bisa
dilihat dari sejauh mana
108 Ni Wayan Arsini, Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, Ni Komang Sutriyanti
keberhasilannya dalam
meningkatkan kualitas mulai dari
kultur organisasi atau institusi.
Melalui wawancara dengan I Dewa
Made Ngurah Badra selaku Kepala
Sekolah menegaskan bahwa:
“Kultur sekolah sangat
mempengaruhi sikap maupun
perilaku warga sekolah. Kultur
sekolah yang positif akan
menciptakan suasana kondusif
sedangkan kultur negatif akan
menimbulkan banyak kendala bagi
sekolah. Contoh kultur sekolah
yang baik yaitu kesungguhan
dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban sedangkan contoh kultur
negatif contohnya minimya
komitmen dan motivasi berprestasi
pada warga sekolah. Untuk dapat
membentuk anak yang berkarakter,
diperlukan komunikasi yang baik
antara sekolah dengan warga
sekolah. Kehadiran sekolah yang
bermutu dapat menjadi model
sekolah yang lainnya. Dapat
dikatakan kultur pendidikan
karakter di sekolah dapat
mempengaruhi lingkungan
pendidikan lainnya (wawancara
tanggal 02 Mei 2018).”
Berdasarkan hasil wawancara
di atas dapat disimpulkan bahwa,
kultur sekolah semestinya
dikembangkan sedemikian rupa
sehingga pendidikan karakter
menjadi lingkungan yang sehat bagi
pengembangan karakter seluruh
individu dalam lingkungan
pendidikan. Sekolah seharusnya
menjadi tempat dimana komunitas
moral itu tumbuh.
b. Pengembangan Pendidik yang
Profesional
Pendidikan anak usia dini
merupakan awal dari pendidikan
yang lebih tinggi dan menjadi kunci
dalam memperbaiki kualitas bangsa.
Untuk mendapatkan hasil
pembentukan karakter anak yang
berkualitas perlu didukung oleh
pendidik yang profesional.
Profesional berarti bekerja sesuai
prosedur, mengikuti etika profesi dan
ilmu PAUD serta tidak melakukan
kesalahan. Pengembangan pendidik
yang profesional merupakan bagian
penting dalam membentuk
pendidikan karakter yang utuh dan
menyeluruh. Salah satu cara untuk
membentuk pendidik yang
professional yaitu pelatihan.
Pelatihan merupakan cara untuk
meningkatkan kemampuan guru agar
menjadi pendidik karakter yang
efektif (Sutriyanti, 2019).
3.3.1 Terbentuknya Karakter Anak Usia
Dini yang Religius (Sraddha)
Religius (sraddha) merupakan sikap
dan perilaku yang menunjukkan keyakinan
akan adanya kekuatan sang pencipta atau
Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini
disertai kepatuhan dan ketaatan dalam
mengikuti perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Ini diwujudkan dengan taat
beribadah dan berperilaku yang sesuai
dengan apa yang telah diatur oleh agama
dan tidak melakukan apa yang dilarang oleh
agama (Titib, 2006). Sikap dan perilaku
yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain
(Balitbangpusku, 2010). Adapun religiusitas
merupakan orang yang menganggap
beragama sebagai sesuatu yang penting
lebih dikenal sebagai orang yang bekerja
untuk mereka yang memerlukan
pertolongan, ikut serta berkampanye untuk
keadilan sosial, dan menyisihkan uang untuk
109 INTERNALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER HINDU
PADA ANAK USIA DINI
memberikan pertolongan, terutama dalam
jangka waktu yang panjang (Suhardi, 2014).
Nilai religius merupakan nilai
pembentuk karakter yang sangat penting.
Manusia berkarakter adalah manusia yang
religius. Religius adalah penghayatan dan
implementasi ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari (Character Building,
2012). Sikap religius merupakan cerminan
orang beriman yang memiliki keyakinan
yang mantap terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam kitab Rgveda dijelaskan:
abhi venā anūṣateyakṣanti
pracetasaḥ,majjanty-avicetasaḥ.
(Rgveda IX.64.21)
Terjemahannya:
Orang yang beriman kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang terpelajar
mempersembahkan doa-doa dan para
ahli keagamaan yang dicerahkan berniat
menghaturkan yajña. Orang yang tidak
beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dan orang yang bodoh akan tenggelam
(Titib, 2006).
Sloka tersebut di atas menegaskan
bahwa orang yang beriman kepada Tuhan
Yang Maha Esa, orang yang terpelajar selalu
mempersembahkan doa-doa pujian. Orang
yang tidak beriman kepada Tuhan Yang
Maha Esa serta orang yang bodoh akan
tenggelam ke jurang penderitaan. Oleh
karena itu, menjadi manusia harus selalu
mempertebal sraddha dan bhakti kepada
Tuhan Yang Maha Esa karena manusia tidak
ada apa-apanya dihadapan Tuhan.
3.3.2 Terbentuknya Karakter Anak Usia
Dini yang Disiplin (Yoga Sadhana)
Disiplin (yoga sadhana) merupakan
suatu tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan (Balitbangpuskur, 2010: 9).
Disiplin adalah kepatuhan untuk
menghormati dan melaksanakan suatu
sistem yang mengharuskan orang untuk
tunduk kepada keputusan, perintah, dan
peraturan yang berlaku. Juga diartikan
bahwa disiplin adalah sikap mentaati
peraturan dan ketentuan yang telah
diterapkan tanpa pamrih (Titib, 2006).
Disiplin tidak bisa dibangun secara
instan dibutuhkan suatu proses panjang agar
disiplin menjadi kebiasaan yang melekat
kuat dalam diri seorang anak. Oleh karena
itu penananaman disiplin harus dilakukan
sejak dini. Tujuannya untuk mengarahkan
anak agar merasa belajar mengenai hal-hal
baik yang merupakan persiapan bagi masa
dewasa. Jika sejak dini sudah ditanamkan
disiplin, meraka akan menjadikannya
sebagai kebiasaan dan bagian dari dirinya
(Naim, 2012: 143).
3.3.4 Terbentuknya Karakter Anak Usia
Dini yang Mandiri (rtvig rtvijam)
Mandiri (rtvig rtvijam) adalah sikap
dan perilaku yang tidak mudah tergantung
pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-
tugas. Dalam keluarga, kemandirian (self-
relience) adalah salah satu nilai karakter
yang harus dibentuk oleh orang tua dalam
kehidupan sehari-hari. Mustari (2014)
menyatakan bahwa orang mandiri adalah
orang yang cukup-diri (self-sufficient), yaitu
orang yang mampu berpikir dan berfungsi
secara independen, tidak perlu bantuan
orang lain, tidak menolak risiko dan bisa
memecahkan masalah, bukan hanya
khawatir tentang masalah-masalah yang
dihadapinya. Orang seperti ini akan percaya
pada keputusannya sendiri, jarang
membutuhkan orang lain untuk meminta
pendapat atau bimbingan orang lain. Orang
yang mandiri dapat menguasai
kehidupannya sendiri dan menangani apa
saja dari kehidupan ini yang ia hadapi.
3.3.5 Terbentuknya Karakter Anak Usia
Dini yang Ramah Tamah
(Samiksantam)
Ramah tamah (samiksantam)
merupakan sikap dan perilaku dengan budi
110 Ni Wayan Arsini, Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, Ni Komang Sutriyanti
bahasa yang baik, tutur kata dan sikap yang
manis. Hal ini diwujudkan dengan perilaku
yang menyenangkan, menenangkan serta
membuka pintu kepada orang lain. Usia dini
merupakan usia yang sangat tepat dalam
pembentukan karakter anak. Guru PAUD
menggunakan berbagai strategi dalam
meninternalisasikan nilai karakter Hindu
walaupun guru PAUD tidak memiliki
kompetensi di bidang keilmuan agama.
Berbagai cara dilakukan seperti dengan
memberi contoh atau keteladanan
(modelling). Melalui wawancara dengan Ni
Ketut Sarmini, S.Pd.AUD menyatakan
bahwa:
“Seorang guru wajib hukumnya bersikap
ramah tamah baik kepada anak-anak
maupun warga sekolah yang lain. Mulai
dari menyapa dengan tutur kata yang
manis dan murah senyum. Seorang guru
harus berpenampilan rapi. Dengan
menggunakan seragam yang bersih,
menggunakan ikat pinggang, menata
rambut agar rapi untuk para ibu guru.
Hal yang kita lakukan akan ditiru oleh
anak-anak. Sehingga setiap bertemu
dengan orang lain baik itu temannya
sendiri, guru, maupun orang tua
temennya dia bersikap ramah tamah
(wawancara tanggal 5 Mei 2018).”
Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara di lapangan dapat disimpulkan
bahwa untuk membentuk karakter anak
didik yang ramah tamah (samiksantam) guru
PAUD membimbing anak usia dini melalui
pembiasaan maupun keteladanan. Karena
anak usia dini lebih gampang meniru
perbuatan yang pernah dilihat dan dialami.
DAFTAR PUSTAKA
Anis, M. (2006). Arsitek Peradaban. PT
Remaja Rosdakarya.
Aunurrahman. (2012). Belajar dan
Pembelajaran. Alfabeta.
Balitbangpusku. (2010). Bahan Ajar
Pelatihan Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai
Budaya Untuk Membentuk Daya Saing
dan Karakter Bangsa. Kemendiknas.
Character Building. (2012). AR.
Ruzzmedia.
El-Khuluqo, I. (2014). Manajemen PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini)
Pendidikan Taman Kehidupan Anak.
Pustaka Belajar.
Komariah, S. & A. (2014). Metodelogi
Penelitian Kualitatif. Alfabeta.
Kurniawan, S. (2012). Pendidikan Karakter.
Ar-Ruzz Media.
Lasmawan, W. (2012). Pengembangan
Model KurikulumAlternatif Berbasis
Teori Rekonstruksi Sosial Ala Vigotsky.
Undiksha Press.
Lickona, T. (2012). Educating For
Character( Mendidik Untuk
Membentuk Karakter). Bumi Aksara.
M. Noor, R. (2012). Mengembangkan
Karakter Anak Secara Efefktif di
Sekolah dan Rumah. Pedagogia.
Moh, S. (1998). Pola Asuh Orang Tua
dalam mebantu Anak Mengembangkan
Disiplin. Renika Cipta.
Moleong, L. J. (2006). Metodologi
Penelitian Kualitatif. PT Remaja
Rosdakarya.
Mustari, M. (2014). Nilai Karakter Refleksi
Pendidikan. Rajawali Pers.
Penyusun, T. (2013). Undang-Undang
Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional)
2003. Depdiknas.
Slameto. (2004). Belajar dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta.
Sudijono, A. (1999). Evaluasi Pendidikan.
Rosdakarya.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian
Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Alfabeta.
Suhardi, D. (2014). Nilai Karakter Refleksi
Untuk Pendidikan. PT RajaGrafindo
Persada.
Sutriyanti, N. K. (2016). PENINGKATAN
MUTU PENDIDIKAN KARAKTER
111 INTERNALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER HINDU
PADA ANAK USIA DINI
MELALUI PERAN ORANG TUA
DALAM KELUARGA. Jurnal
Penjaminan Mutu, 2(1), 14–27.
https://doi.org/10.25078/jpm.v2i1.57
Sutriyanti, N. K. (2019). Karakteristik
Keluarga Hindu Di Desa Bayunggede
Provinsi Bali. Religious: Jurnal Studi
Agama-Agama Dan Lintas Budaya.
Syarbini, A. (2012). Buku Pintar Pendidikan
Karakter. As@-Prima Pustaka.
Titib, I. M. (2006). Menumbuhkembangkan
Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak.
Pustaka Bali Post.
Wardhani, N. K. S. K. (2010). Metodelogi
Penelitian. IHDN.
Wibowo, A. (2017). Pendidikan Karakter
Usia Dini (Strategi Membangun
Karakter di Usia Emas). Pustaka
Belajar.