irene anestesi

44
Bab I Laporan Kasus ICU a. Identitas Pasien Nama : Ny.R Jenis kelamin : Perempuan Umur : 41 tahun Alamat :Sambikerto RT 021/RW 06 Kelurahan Kalipakis Kecamatan Sukorejo. Kota/Kab. Kendal Tanggal Masuk ICU : 27 April 2014 b. Primary Survey Airway : Terpasang kanul nasal Breathing : Napas dengan spontan frekuensi 23 kali/ menit Circulation : TD 179/110 mmHg, N : 95 kali/ menit. ireguler Disability : GCS 15 ( E4V5M6) compos mentis Exposure : temperature axilla 36,4 C c. Secondary Survey 1. Anamnesis Keluhan Utama Sesak napas hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dalam keadaan tidak sesak, sebelumnya pasien sudah ditangani di RS Harapan lalu dirujuk ke RST dr Sudjono. Riwayat Penyakit Dahulu

Upload: kartikasariirdan

Post on 02-Oct-2015

245 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

finish

TRANSCRIPT

Bab ILaporan Kasus ICU

a. Identitas PasienNama : Ny.RJenis kelamin: PerempuanUmur: 41 tahunAlamat:Sambikerto RT 021/RW 06 Kelurahan Kalipakis Kecamatan Sukorejo. Kota/Kab. KendalTanggal Masuk ICU: 27 April 2014

b. Primary SurveyAirway: Terpasang kanul nasalBreathing: Napas dengan spontan frekuensi 23 kali/ menitCirculation: TD 179/110 mmHg, N : 95 kali/ menit. iregulerDisability: GCS 15 ( E4V5M6) compos mentisExposure: temperature axilla 36,4 C

c. Secondary Survey1. AnamnesisKeluhan Utama Sesak napas hilang timbul sejak 2 bulan yang laluRiwayat Penyakit SekarangPasien datang dalam keadaan tidak sesak, sebelumnya pasien sudah ditangani di RS Harapan lalu dirujuk ke RST dr Sudjono. Riwayat Penyakit DahuluPasien merasa sesak bila beraktivitas berat. Pasien sering tidur dengan menggunakan 3 bantal pada malam hari, sering terbangun pada malam hari karena sesak.Riwayat Hipertensi pada pasien sejak tahun 2008.Riwayat DM (-), asma (-), Alergi obat (-)Riwayat Penyakit KeluargaPenyakit Jantung (-), Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (+) nenek pasienRiwayat AlergiNy.R tidak memiliki riwayat alergi makanan, alergi obat, asma, rhinitis.2. Pemeriksaan fisik umumBerat badan: 56 kgTinggi badan: 160 cmIMT: Keadaan umum: tampak sakit sedangKesadaran: compos mentis GCS 15Keadaan gizi: baikKulit: warna kulit sawo matang, lembab, sianosis (-), lesi kulit (-)

a. Kepala leherUmum: tampak sakit sedangMata: konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-), pupil bulat isokor.b. Thorax1. ParuInspeksi: tidak ada kelainan bentuk dada, simetris, ketinggalan paru (-)Palpasi: tidak ada kelainan, nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris kanan- kiriPerkusi: sonor di lapang paru kanan dan kiriAuskultasi: suara dasar vesikuler +/+ , Ronkhi -/- , wheezing -/-

2. JantungInspeksi: tidak tampak adanya peningkatan ictus cordisPalpasi: ictus cordis teraba 2 jari di ICS VI midclavicula sinistraPerkusi : Batas jantung kanan di ICS 4 parasternal dextra Batas jantung kiri atas di ICS 2 midclavicula sinistra Batas jantung kiri bawah di ICS VI axillaris sinistrac. AbdomenInspeksi: tampak perut datarAuskultasi: Bising usus (+) 5 x/ menitPalpasi: hepar tidak teraba adanya pembesaran, lien tidak terabaPerkusi: timpani seluruh lapang abdomen

d. Ekstremitas superior dan inferiorTidak ada deformitas, gerak tidak terbatas, tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, edema (-), kulit lembab, akral hangat.3. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan laboratorium tgl 27 April 2014Hematocrite: 33.0%Trombosit: 474.000

Ureum: 122,8 Kreatinin: 5.3

Protein: 4.3Albumin: 3.71Globulin: 0.99

Glukosa puasa: 84.7Glukosa 2 jam PP: 89.3

Lab tgl 25 April 2014Kolesterol total: 229 Kolesterol LDL: 158.4 Kolesterol HDL: 45.4Trigliserida: 126.0

ElektrolitK: 3.13 Na: 132.7 Cl: 102.7Ca: 8.7As.urat: 11.02

UrinalisisEritrosit: 75Berat Jenis: 1.015Nitrit: (-)pH: 5Protein: 100Glukosa: normalKeton: (-)Urobilinogen: normalBilirubin: (-)Darah: 104. Diagnosis: Hipertensi, gagal ginjal kronis, congestive heart failure

d. Diagnosis Banding: Acute Renal Failure, e. Terapi di UGDa. Razilez / B lepers 300 mg0-0-1b. Amineuron3x1c. Vomitrasd. Allopurinol3x1e. Pamol3x1 jika perluf. Simvastatin0-0-1g. Diazepam5 mg 0-0-1h. Amlodipine5 mg 1-0-0i. Nabic2x1Injeksi Lasix1x1 Tricker3x1 Cepraz2x1 gr Renxamin1 fls/ hari

f. Perjalanan Penyakit di ICU27 april 201428 April 2014

Tekanan Darah173/ 100170/ 116

Nadi 95103

Respiration rate2329

Balance cairanInput 450Input 1150

Output 1100Output 1300

650 150

O2 kanul nasal 5 lpm IV RL 1 jalur 30 tpm EAS lanjut Asering 10 tpm Perdipin 1mg/jam Razilez Amineuron 3x1 Simvastatin 20 mg Nabic Valisanbe 5 Norvask 5 mg Cepraz 2x1 Norvask 2x10 gr Irtan 1x 300 Captopril 3x 50 mg Lasix 1-0-0 Allopurinol 3x100 Simvastatin 20 mg Nabic tab 3x1 Valisanbe 0-0-1 Cefamax

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi CKD adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada akhirnya berujung pada gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang membutuhkan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sndrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada CKD.Tabel 1. Kriteria CKD1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomelrulus (LFG), dengan manifestasi : Kelainan patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

(Suwitra, 2009)B. Klasifikasi Chronic Kidney Disease diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan nilai LFG, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin buru, yang dihitung dengan rumus KocKcroft-gault sebagai berikut (Suwitra, 2009) :LFG = (140-umur) x berat badan72 x kreatinin

Tabel 2. Klasifikasi Chronic Kidney Disease DerajatDeskripsiKlasifikasi Berdasarkan Keparahan

LFGmL/min/1.73 m2Keadaan Klinis

1Kerusakan ginjal dengan LFG Normal atau meningkat 90Albuminuria, proteinuria, hematuria

2Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan60-89Albuminuria, proteinuria, hematuria

3Penurunan LFG sedang30-59Insufisiensi ginjal kronik

4Penurunan LFG berat15-29Insufisiensi ginjal kronik, pre-ESRD

5Gagal ginjal< 15Atau dialisisGagal ginjal, uremia, ESRD

(Suwitra, 2009)

C. Etiologi Tabel 3. Penyebab utama penyakit ginjla kronis di amerika serikatPenyebabInsiden

Diabetes mellitus44 %

Hipertensi dan pembuluh darah besar27 %

Glomerulonephritis 10 %

Nefritis intertitialis4 %

Kista dan penyakit bawan yang lain3 %

Neoplasma 2 %

Tidak diketahui4 %

Penyakit lain4 %

(Suwitra, 2009)

Tabel 4. Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di IndonesiaPenyebabInsiden

Glomerulonephritis 46,39 %

Diabetes mellitus18,65 %

Obstruksi dan infeksi12,85 %

Hipertensi 8,46 %

Sebab lain13,65 %

(Suwitra, 2009)D. PatofisiologiMenurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit seharihari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik. Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001) adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.

E. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al., 2007).a. Kelainan hemopoeisisAnemia normokromik normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik (Suwitra, 2009).Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al., 2007; Suwitra, 2009).Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2009).

b. Kelainan saluran cernaMual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.c. Kelainan mataVisus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.d. Kelainan kulitGatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Kumar et al., 2007).e. Kelainan kardiovaskularPatogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

F. Penegakan Diagnosis Penegakan diagnosis CKD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan dibantu hasil pemeriksaan penunjang. 1.Anamnesis dan Pemeriksaan Fisika. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti DM, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.b.Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang sampai koma.c.Gejala komplikasinya, seperti anemia, asidosis metabolik, dan sebagainya.

2.Pemeriksaan Laboratorium a. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan fungsi LFG.b. Kelainan biokimiawi darah seperti penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemi, hiponatremi, hiper atau hipokloremia, hipokalsemia, dan asidosis metabolik.C. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria dan leukosuria.

3.Gambaran radiologis;a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opakb. USG bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

4.BiopsiBiopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan pada penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara invasif sulit ditegakkan (Suwitra, 2007).

G. PenatalaksanaanDiagnosis CKD harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang tepat untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan umum. Tujuan dari terapi CKD adalah (K/DOQI, 2002):1. Terapi Spesifik terhadap Penyakit DasarnyaWaktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak bermanfaat (Suwitra, 2009).2. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi KomorbidPenting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2009).3. Memperlambat Pemburukan Fungsi GinjalFaktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2009):a. Pembatasan asupan proteinPembatasan mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganic lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia, dengan demikian pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan progresivitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia (Suwitra, 2009).b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulusPemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, karena proteinuria merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama golongan ACE inhibitormelalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2009).4. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hperfosfatemia, dan terapi terhadap cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan (Suwitra, 2009).5. Pencegahan dan Terapi terhadap KomplikasiPenyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi, yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2009):a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89 ml/menit) : tekanan darah mulai meningkatb. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia, hipokalsemia, anemia, hiperparatiroid, hipertensi, dan hiperhomosisteinemiac. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemiad. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau TransplantasiTerapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan Gula darah juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002).

H. PrognosisPasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Medscape, 2011).

I. PencegahanUpaya pencegahan terhadap CKD sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini CKD. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan.

CONGESTIVE HEART FAILURE ( Gagal Jantung)

A. Pengertian Gagal Jantung Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala), yang ditandai dengan sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung (Panggabean, 2006).Kriteria Framingham dapat di pakai untuk diagnosis gagal jantung kongestifa. Kriteria mayor Paroksismal nocturnal dispneu Distensi vena leher Ronki paru Kardiomegali Edema paru akut Gallop s3 Peninggian tekanannvena jugular Refluks hepatosellulerb. Kriteria minor Edema ekstremitas Batuk malam hari Hepatomegaly Efusi pleura Penurunan kapasitas vital 1/3 normal TakikardiGagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup. Gagal jantung juga dikatakan sebagai suatu sindroma dimana fungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup. European Society of Cardiology, 1995 juga menjelaskan adanya gejala gagal jantung yang reversible dengan terapi, dan bukti objektif adanya disfungsi jantung.B. Etiologi Gagal Jantung 1) Hipertensi 2) Ischaemic heard disease 3) Alcohol 4) Hypothyroidsm 5) Congenital (defek septum, atrial septal defek, ventrical septal defek)6) Kardiomiopati (dilatasi, hipertropik, restriktif)7) Infections 8) Nutritional9) dll

C. Patogenesis Gagal Jantung Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi eurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (system RAA) serta kadar asopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung. Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

D. Diagnosis Gagal Jantung 1) Pemeriksaan Fisik a) Gejala dan tanda sesak nafas.b) Edema paru c) Peningkatan JVP d) Hepatomegali e) Edema tungkai 2) Pemeriksaan Penunjang a) Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis.Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.b) Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia. c) Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat disinggirkan. d) Tes darah dirkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal jantung sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan. e) Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi ventrikel dan sangat berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi sulit diperoleh. Pemindahan perfusi dapat membantu dalam menilai fungsional penyakit jantung koroner.

E. Penatalaksanaan Gagal Jantung 1) Terapi Umum dan Faktor Gaya Hidup a) Aktifitas fisik harus disesuaikan dengan tingkat gejala. Aktifitas yang sesuai menurunkan tonus simpatik, mendorong penurunan berat badan, dan memperbaiki gejala dan toleransi aktivitas pada gagal jantung terkompensasi dan stabil. b) Oksigen merupakan vasorelaksan paru, merupakan afterload RV, dan memperbaiki aliran darah paru. c) Merokok cenderung menurunkan curah jantung, meningkatkan denyut jantung, dan meningkatkan resistensi vascular sistemik dan pulmonal dan harus dihentikan.d) Konsumsi alkohol merubah keseimbangan cairan, inotropik negative, dan dapat memperburuk hipertensi. Penghentian konsumsi alcohol memperlihatkan perbaikan gejala dan hemodinamik bermakna.2) Terapi obat-obatan a) Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki peningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung. Diuterik yang sering digunakan golongan diuterik loop dan thiazide. Diuretik Loop (bumetamid, furosemid) meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa henle asenden, namun efeknya bila diberikan secara oral dapat menghilangkan pada gagal jantung berat karena absorbs usus. Diuretik ini menyebabkan hiperurisemia.Diuretik Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid, mefrusid, metolazon). Menghambat reabsorbsi garam di tubulus distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik ini kurang efektif dibandingkan dengan diuretic loop dan sangat tidak efektif bila laju filtrasi glomerulus turun dibawah 30%. Penggunaan kombinasi diuretic loop dengan diuretic thiazude bersifat sinergis. Tiazide memiliki efek vasodilatasi langsung pada arterior perifer dan dapat menyebabkan intoleransi karbohidrat . b) Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham menemukan penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea). Glikosida seperti digoksin meningkatkan kontraksi miokard yang menghasilkan inotropisme positif yaitu memeperkuat kontraksi jantung, hingga volume pukulan, volume menit dan dieresis diperbesar serta jantung yang membesar menjadi mengecil. Digoksin tidak meneyebabkan perubahan curah jantung pada subjek normal karena curah jantung ditentukan tidak hanya oleh kontraktilitas namun juga oleh beban dan denyut jantung. Pada gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas dan menghilangkan mekanisme kompensasi sekunder yang dapat menyebabkan gejala.c) Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan dinding ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan oksigen moikard, menurunkan konsumsi oksigen miokard dan meningkatkan curah jantung. Vasodilator dapat bekerja pada system vena (nitrat) atau arteri (hidralazin) atau memiliki efek campuran vasodilator dan dilator arteri (penghambat ACE, antagonis reseptor angiotensin, prazosin dan nitroprusida). Vasodilator menurukan prelod pada pasien yang memakan diuterik dosis tinggi, dapat menurunkan curah jantung dan menyebabkan hipotensi postural. Namun pada gagal jantung kronis, penurunan tekanan pengisian yang menguntungkan biasanya mengimbangi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Pada gagal jantung sedang atau berat, vasodilator arteri juga dapat menurunkan tekanan darah. d) Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta adrenoreseptor biasanya dihindari pada gagal jantung karena kerja inotropik negatifnya. Namun, stimulasi simpatik jangka panjang yang terjadi pada gagal jantung menyebabkan regulasi turun pada reseptor beta jantung. Dengan memblok paling tidak beberapa aktivitas simpatik, penyekat beta dapat meningkatkan densitas reseptor beta dan menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih tinggi terhadap simulasi inotropik katekolamin dalam sirkulasi. Juga mengurangi aritmia dan iskemi miokard. Penggunaan terbaru dari metoprolol dan bisoprolol adalah sebagai obat tambahan dari diuretic dan ACE-blokers pada dekompensasi tak berat. Obat-obatan tersebut dapat mencegah memburuknya kondisi serta memeperbaiki gejala dan keadaan fungsional. Efek ini bertentangan dengan khasiat inotrop negatifnya, sehingga perlu dipergunakan dengan hati-hati.e) Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat pembentukan fibrin. Antagonis vitamin K ini digunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk memebeku yang meningkat, misalnya pada trombosis. Pada trobosis koroner (infark), sebagian obat jantung menjadi mati karena penyaluran darah kebagian ini terhalang oleh tromus disalah satu cabangnya. Obat-obatan ini sangat penting untuk meningkatkan harapan hidup penderita. f) Antiaritmia dapat mencegah atau meniadakan gangguan tersebut dengan jalan menormalisasi frekuensi dan ritme pukulan jantung. Kerjanya berdasarkan penurunan frekuensi jantung. Pada umumnya obat-obatn ini sedikit banyak juga mengurangi daya kontraksinya. Perlu pula diperhatikan bahwa obat-obatan ini juga dapat memeperparah atau justru menimbulkan aritmia. Obat antiaritmia memepertahankan irama sinus pada gagal jantung memberikan keuntungan simtomatik, dan amiodaron merupakan obat yang paling efektif dalam mencegah AF dan memperbaiki kesempatan keberhasilan kardioversi bila AF tetap ada.

I. Gagal Jantung Akut A. Pengertian Gagal Jantung Akut Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolic.

B. Diagnosis Gagal Jantung Akut Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto thoraks, biomarker dan ekokardiografi Doppler. Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik.

C. Pengobatan Gagal Jantung Akut 1) Terapi Medikamentosa a) Morfin dan analog morfin diindikasikan pada stadium awal apabila pasien gelisah dan sesak nafas (class IIb recommendation, level of evidens B). morfin boleh diberikan bolus IV 3mg segera sesudah dipasang intravenous line. b) Vasodilator diindikasikan pada gagal jantung akut sebagai first line therapy, apabila hipoperfusi padahal tekanan darah adekuat dan tanda-tanda kongesti dengan dieresis sedikit, untuk membuka sirkulasi perifer dan mengurangi pre-load.c) Nitrat mengurangi kongesti paru tanpa memepengaruhi stroke volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokard pada gagal jantung akut. Akan lebih baik di kombinasikan dengan furosemid dengan dosis rendah (class I recommendation, lefel of evidence B). d) II. Jantung Kronik A. Gagal Pengertian Gagal Jantung Kronik Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Gagal jantung kronis juga didefinisikan sebagai sindroma klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatiq baik dalam keadaan istirahat maupun beraktifitas.

B. Pengobatan Gagal Jantung Kronik Diuretik (diureik loop, thiazide, metolazon) penting untukpengobatan simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti paru dan edema perifer.1) Beta bloker direkomendasikan pada semua gagal jantung ringan, sedang dan berat yang stabil baik dalam keadaan iskemi atau kardiomiopati non iskemi dalam pengobatan standard seperti diuretic atau penyekat enzim konversi angiotensin. 2) Nitrat sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak, jangka panjang tidak terbukti memperpanjang simtom gagal jantung.

BAB IIIPEMBAHASANPasien Ny.R wanita usia 41 tahun dirawat dengan diagnosis gagal ginjal kronis dan congestive heart failure. Pada kasus ini diperlukan pengelolaan yang intensive dengan monitoring di ICU karena terjadinya gejala sesak napas disertai peningkatan tekanan darah diatas 170/100 yaitu JNC VII stage III. Pengeolaan pasien di ICU meliputi tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi vital seperti airway (fungsi jalan napas), breathing ( fungsi pernapasan), circulation ( fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak) dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitive. Pada kasus ini airway patent, breathing spontan dan sirkulasi peningkatan atau penurunan tekanan darah dimonitor memakai alat.a. Manajemen airwayKarena memiliki riwayat sesak, untuk melancarkan jalan napas, maka posisi pasien disesuaikan untuk duduk.

b. Manajemen breathing

Pada pasien dipasang nasal kanul karena keadaan pernapasan pasien yang kurang stabil yaitu kadang timbul sesak. Pemberian nasal kanul dapat memberikan oksigen 24- 44%.c. Manajemen sirkulasi

Pasien diberi cairan RL intravena pada hari pertama di ICU. Cairan RL bersifat isotonis. Cairan tersebut memiliki osmolaritas tinggi sehingga cairannya mendekati serum ( bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien agar dapat menurunkan tekanan darahnya.

Terapi Cairan :Berat badan pasien 56 kg, tekanan darah tinggi, riwayat sesak hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu.

Penghitungan dengan rumus Holiday Saga:

Maintenance :4x 10 = 402x10 = 201x 36= 3696 cc/ jamMakro = 96 cc/jam : 3 = 32 tpm

BAB IVPENUTUP

a. Kesimpulan1. Berdasarkan anamnesis ditemukan keluhan utama sesak napas sejak tadi sore dan sesak napas sudah berlangsung sejak 2 bulan yang lalu. Sesak yang dirasakan timbul saat beraktivitas berat. Sesak napas juga membuat pasien tidur dengan 3 bantal tiap malam dan sering terbangun pada malam hari. Dari gejala yang timbul disimpulkan pasien mengalami gejala gejala penyakit jantung congestive .Selain sesak napas, pasien juga memiliki riwayat penyakit hipertensi sejak tahun 2008. Hipertensi yang diderita pasien termasuk Hipertensi stage III. Pada penyakit darah tinggi ini, sebaiknya juga dilihat keadaan ginjal pasien. Setelah dicek kreatinin, dilakukan penghitungan laju filtrasi glomerulus, dengan hasil yang didapat nilai 14. Yaitu stage 5 atau End Stage Renal Disfunction atau disebut gagal ginjal kronis.2. Untuk menegakkan diagnose, disarankan untuk melakukan roentgen dan untuk melihat keadaan jantungnya dilakukan pemeriksaan EKG.3. Terapi pasien CHF berupa :Furosemid: diurtetik kuat, menghalangi penyerapan kembali natrium, clorida dan air yang diserap ginjal.Amlodipine: Ca Channel Blocker. Menurunkan tekanan darah, meningkatkan kontraktilitas jantung.Ranitidine: H-2 reseptor antagonis yang menghambat asam lambungAllopurinol: untuk mengurangi jumlah asam urat berlebih dalam tubuh. Allopurinol dapat juga menurunkan tekanan darah tinggi.Simvastatin: berfungsi menurunkan kadar kolesterol LDL.4. Pada pasien sebaiknya jumlah cairan dibatasi karena adanya factor gagal ginjal kronis, juga rutin di cek darah rutin, elektrolit.

Daftar Pustaka

Kidney Disease Outcome Quality Initiative. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. New York: National Kidney Foundation.

Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. 2007. Robbins buku ajar patologi volume 2 edisi 7. Jakarta: EGC.Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.

Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC.

Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3.Panggabean, 2006. Gagal jantung dalam buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Jakarta : FKUISaint Barnabas Hearth Centers. A Patient Guide. The Heart of New Jerseys Cardiac Care. www.saintbarbanas.gov