isbd fix tugas klp bab 3

of 33 /33
I. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN SOSIAL A. Manusia sebagai makhluk individu Kata individu merupakan sebutan yang dipakai untuk menyatakan satu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia secara keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu perseorangan manusia. Manusia sebagai makhluk individual bermakna tidak terbagi atau tidak terpisahkan antara jiwa dan raga. Dalam perkembangannya, manusia sebagai makhluk individu tidak hanya bermakna kesatuan jiwa dan raga, tetapi akan menjadi pribadi yang khas dengan corak kepribadiannya, termasuk kemampuan kecakapannya. Manusia sebagai makhluk individu berbeda dengan manusia lain dan sebgai pribadi yang khas yang berupaya menggali potensi dirinya. Kata individu berasal dari bahasa Inggris, yaitu kata in artinya tidak, serta divided yang berarti terbagi. Sedangkan dalam bahasa Latin yaitu individum, yang artinya tidak terbagi. Manusia lahir merupakan sebagai makhluk individual yang makna tidak terbagi atau tidak terpisah antara jiwa dan raganya. Dalam perkembangannya, manusia sebagai makhluk individu tidak hanya bermakna kesatuan antara jiwa dan raga,tetapi akan menjadi hal yang khas dengan corak kepribadiannya. Pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :

Author: agus-hendra-jaya

Post on 06-Aug-2015

28 views

Category:

Documents


5 download

Embed Size (px)

TRANSCRIPT

I.

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN SOSIAL A. Manusia sebagai makhluk individu Kata individu merupakan sebutan yang dipakai untuk menyatakan satu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia secara keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu perseorangan manusia. Manusia sebagai makhluk individual bermakna tidak terbagi atau tidak terpisahkan antara jiwa dan raga. Dalam perkembangannya, manusia sebagai makhluk individu tidak hanya bermakna kesatuan jiwa dan raga, tetapi akan menjadi pribadi yang khas dengan corak kepribadiannya, termasuk kemampuan kecakapannya. Manusia sebagai makhluk individu berbeda dengan manusia lain dan sebgai pribadi yang khas yang berupaya menggali potensi dirinya. Kata individu berasal dari bahasa Inggris, yaitu kata in artinya tidak, serta divided yang berarti terbagi. Sedangkan dalam bahasa Latin yaitu individum, yang artinya tidak terbagi. Manusia lahir merupakan sebagai makhluk individual yang makna tidak terbagi atau tidak terpisah antara jiwa dan raganya. Dalam perkembangannya, manusia sebagai makhluk individu tidak hanya bermakna kesatuan antara jiwa dan raga,tetapi akan menjadi hal yang khas dengan corak kepribadiannya. Pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : a. Pandangan nativistik yang menyatakan pertumbuhan ditentukan atas dasar faktor individu itu sendiri. b. Pandangan empiristik yang menyatakan bahwa pertumbuhan didasarkan atas faktor lingkungan. c. Pandangan konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi atas dasar individu dan lingkungannya B. Manusia sebagai Makhluk Sosial Sebagai makhluk individu manusia juga tidak mampu hidup sendiri artinya manusia juga harus hidup bermasyarakat. Adapun yang menyebabkan manusia selalu bermasyarakat antara lain karena adanya dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia, misalnya :

1. 2. 3.

Hasrat untuk memenuhi keperluan makanan dan minuman. Hasrat untuk membela diri. Hasrat untuk mengadakan keturunan. Hal ini dinyatakan semenjak manusia lahir yang dinyatakan untuk mempunyai

dua keinginan pokok, yaitu : 1. 2. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia disekelilingnya. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam disekitarnya.

C. Peranan Manusia sebagai Makhluk Individu dan Sosial 1. Peranan manusia sebagai makhluk individu Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai individu, yang dapat

diketahui bahwa manusia memilki harkat dan martabat yang mempunyai hak-hak dasar,dimana setiap manusia memiliki potensi diri yang khas,dan setiap manusiamemiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Sebagai makhluk individu manusia berperan untuk mewujudkan halhal sebagai berikut : 1. Menjaga dan mempertahankan harkat dan martabatnya. 2. Mengupayakan terpenuhinya hak-hak dasarnya sebagai manusia. 3. Merealisasikan segenap potensi diri baik sisi jasmani maupun rohani. 4. Memenuhi kebutuhan dan kepentingan diri demi kesejahteraan hidupnya.

2. Peranan manusia sebagai makhluk sosial Manusia sebagai pribadi adalah berhakikat sosial. Artinya manusia akan selalu berhubungan dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia terhadap norma-norma sosial yang tumbuh sebagai patokan dalam bertingkah laku manusia dalam kelompok. Norma-norma yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Norma agama atau religi, yaitu norma yang bersumber dari Tuhan untuk umatNya.

2. Norma kesusilaan atau moral, yaitu norma yang bersumber dari hati nurani manusia untuk mengajarkan kebaikan. 3. Norma kesopanan atau adat, yaitu norma yang bersumber dari masyarakat atau dari lingkungan masyarakat yang bersangkutan. 4. Norma hukum, yaitu norma yang dibuat masyarakat secara resmi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan. Berdasarkan hal diatas, maka manusia sebagai makhluk sosial memiliki implikasi-implikasi sebagai berikut : 1. Kesadaran akan ketidakberdayaan bila manusia seorang diri. 2. Kesadaran untuk senatiasa dan harus berinteraksi dengan orang lain. 3. Penghargaan atas hak-hak orang lain. 4. Ketaatan terhadap norma-norma yang berlaku. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial menjadikan manusia melakukan peran-peran sebagai berikut : 1. Melakukan interaksi dengan manusia lain atau kelompok. 2. Membentuk kelompok-kelompok sosial. 3. Menciptakan norma-norma sosial sebagai pengaturan tata tertib kehidupan kelompok tersebut.

D. Korelasinya terhadap Budaya Daerah di Indonesia 1. Budaya Bali a) Megibung Megibung adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat atau sebagian orang untuk duduk bersama saling berbagi satu sama lain, terutama dalam hal makanan. Tidak hanya perut kenyang yang didapat dari kegiatan ini namun sembari makan kita dapat bertukar pikiran bahkan bersenda gurau satu sama lain. Megibung bersasal dari kata dasar gibung yang mendapat awalan me-. Gibung berarti kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang yaitu saling berbagi antara orang yang satu dengan yang lainnya, sedangkan awalan me- berarti melakukan suatu kegiatan. Saat ini kegiatan megibung kerap kali dapat dijumpai pada saat prosesi

berlangsungnya upacara adat dan keagamaan seperti misalnya dalam upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya. Pada kegiatan ini biasanya yang punya acara memberikan undangan kepada kerabat serta sanak saudaranya guna menyaksikan prosesi kegiatan upacara keagamaan tersebut. Sehingga prosesi upacara dapat berlangsung seperti yang diharapkan. Proses penyembelihan babi pun dilakukan sebagai salah satu menu di dalam mempersiapkan hidangan yang disebut Gibungan ini. Daging babi diolah sedemikian rupa dan di kasi bumbu tertentu sehingga daging yang mentah menjadi menu pelengkap yang menggugah selera seperti sate, lawar, sup (komoh), Gegubah/lempyong, pepesan serta yang lainnya. Menu yang dihidangkan dalam Megibung tidaklah harus daging babi, namun daging ayam, kambing serta daging sapipun tidaklah masalah. Dalam Megibung biasanya terdiri dari lima hingga tujuh orang, yang dilakukan dengan duduk bersama membentuk lingkaran. Adapun ciri khas dari megibung ini adalah : Duduk bersila membentuk lingkaran yang terdiri dari 5-7 orang. Nasi yang disuguhkan ditaruh dalam satu wadah (nare besar). Lauk atau pelengkap nasi berupa sate, lawar, soup, gegubah/lempyong, pepesan yang ditempatkan dalam satu wadah (nare kecil). Kegiatan makan dilakukan secara bersamaan dan makan menggunakan tangan. Pada saat makan tidak boleh ada yang terjatuh di wadah/tempat nasi namun harus di luar nare tempat nasi tersebut. Apabila ada salah seorang peserta megibung ada yang terlebih dahulu kenyang, orang tersebut tidak boleh terlebih dahulu bangun atau meninggalkan tempat megibung namun harus menunggu yang lain selesai makan dan bangun secara bersama-sama. Kegiatan megibung ini merupakan salah satu contoh kebudayaan yang menunjukkan manusia sebagai makhluk sosial karena kegiatan ini menunjukkan makna sangatlah besar bagi kita semua terutama dalam hal kebersamaan serta saling berbagi satu sama lain tanpa melihat kasta dan materi yang dimiliki seseorang. Kegiatan megibung ini menunjukkan adanya interaksi sosial yang setara antar masyarakat di Bali, hal ini terlihat jelas dengan tidak adanya perbedaan status sosial yang memperngaruhi posisi maupun menu makanan yang di dapatkan saat acara

tersebut. Cengkrama serta diskusi yang terjadi selama kegiatan ini juga menunjukkan terjadi suatu interaksi sosial yang dinamis. b) Nguopin Gotong-royong sebagai solidaritas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terutama mereka yang membentuk komunitas-komunitas, karena dalam komunitas seperti ini akan terlihat dengan jelas. Gotong-royong terjadi dalam beberapa aktivitas kehidupan, seperti gotong-royong dalam bentuk kerja bakti, dilakukan untuk kepentingan bersama; gotong-royong dalam bentuk tolong menolong pada saat melakukan pesta pernikahan, atau khitanan, beberapa hari sebelum pesta akan dilakukan terjadi sumbangan dari kenalan, tetangga ataupun kerabat datang membantu dalam bentuk bahan makanan, uang, ataupun tenaga, kemudian bantuan ini harus dikembalikan minimal dengan nilai yang sama. Bahkan gotong-royong dapat pula terjadi pada saat adanya musibah ataupun kematian salah seorang warga komunitas, hal ini tidak dapat disebut kepentingan bersama ataupun kepentingan peribadi tetapi rasa kemanusiaan yang muncul di antara warga, karena musibah datangnya tidak diperhitungkan ataupun diketahui, sehingga warga yang mendapat musibah tersebut memerlukan bantuan dari warga lainnya. Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi aktivitas di sawah (seperti menanam, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacaraupacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik). Misalnya suatu perkumpulan gamelan ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan. bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk keperluan agama, masyarakat maupun pemerintah Dalam budaya Bali, gotong royong dikenal dengan istilah nguopin. Nguopin merupakan kegiatan yang kerap dilakukan masyarakat untuk membantu anggota masyarakat lainnya yang akan mengadakan upacara adat seperti pernikahan,

kematian, maupun upacara lainnya. Nguopin biasa dilakukan dalam bentuk kegiatan bersih-bersih, membuat banten (sesajen), maupun menyiapkan makanan bagi orangorang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Biasanya kaum laki-laki melakukan nguopin berupa memotong hewan yang akan digunakan sebagai sarana upacara maupun mempersiapkan peralatan seperti bambu, kayu, maupun dekorasi. Sedangkan para wanita nguopin dengan mejejaitan (membuat banten) maupun memasak untuk keluarga dan tamu yang hadir.

c) Sistem Kekerabatan keluarga Bali

Sistem garis keturunan dan hubungan kekerabatan orang Bali berpegang kepada prinsip sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa). Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena pada saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga dan warga kelompok kerabat. Maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Orang-orang yang masih satu kelas (tunggal kawitan, tunggal dadia dan tunggal sanggah) sama-sama tinggi tingkatannya. Dalam perkawinan klen dan kasta ini yang paling ideal adalah antara pasangan dari anak dua orang laki-laki bersaudara.

d) Tingkat kedudukan

Orang orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klennya, terjagalah kemungkinan akan ketegangan-ketegangan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya, karena perkawinan itu akan membawa malu kepada keluarga, serta menjatuhkan gengsi dari seluruh kasta dari anak wanita tersebut.

e) Kasta

Masyarakat Bali Hindu terbagi ke dalam pelapisan sosial yang dipengaruhi oleh tiga sistem nilai, yaitu utama, madya dan nista. Kasta utama atau tertinggi adalah golongan Brahmana, kasta Madya adalah golongan Ksatrya dan kasta nista adalah golongan Waisya. Selain itu masih ada golongan yang dianggap paling rendah atau tidak berkasta yaitu golongan Sudra, sering juga mereka disebut Jaba Wangsa (tidak berkasta). Dari kekuatan sosial kekerabatannya dapat pula dibedakan atas klen Pande, Pasek, Bujangga dan sebagainya. Sistem Penamaan Keluarga Bali: Sistem penamaan keluarga Bali didasarkan pada kasta: Brahmana : Ida Bagus (Laki-Laki), Ida Ayu (Wanita). Ksatria : Anak Agung, Waisya : Gusti Bagus (Laki Laki), Gusti Ayu (Wanita). Sudra : Wayan (Anak Pertama), Made (Anak Kedua), Nyoman (Anak Ketiga), Ketut (Anak Keempat).

f)

Sistem Sosial Budaya Masyarakat Bali

Kehidupan sosial budaya masyarakat Bali sehari-hari hampir smuanya dipengaruhi oleh keyakinan mereka kepada agama Hindu Dharma yang mereka anut. Oleh karena itu studi tentang masyarakat dan kebudayaan Bali tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem religi Hindu. Agama Hindu Dharma atau Hindu Jawa yang mereka anut mempercayai Tuhan Yang Maha Esa dalam konsep Tri Murti, yaitu Tuhan yang mempunyai tiga wujud, yaitu Brahma (Pencipta), Wisnu (Pelindung) dan Siwa (Pelebur Segala yang Ada). Semuanya perlu di hormati dengan mengadakan upacara dan sesajian. Mereka juga mengangap penting konsepsi tentang Roh abadi yang disebut Atman, adanya buah setiap perbuatan (Karma Phala), kelahiran kembali sang jiwa (Punarbawa) dan kebebasan jiwa dari kelahiran kembali (Moksa). Dalam menyelenggarakan pemakaman anggota keluarga orang Bali selalu melaksanakan tiga tahapan upacara kematian. Pertama, upacara pembakaran mayat (ngaben), kedua, upacara penyucian (nyekah) dan ketiga, upacara ngelinggihang. Ajaran-ajaran di agama Hindu Dharma itu termaktub dalam kitab suci yang disebut Weda.

g) Sistem Kemasyarakatan

Sistem kemasyarakatan merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah/teritorial administrasi (perbekelan/kelurahan) yang pada umumnya terpecah lagi menjadi kesatuan sosial yang lebih kecil yaitu banjar &

teritorial adat. Banjar mengatur hal-hal yang bersifat keagamaan, adat & masyarakat lainnya. Dari sistem kemasyarakatan yang ada ini maka warga desa bisa masuk menjadi dua keanggotaan warga desa, yaitu: sistem pemerintahan Desa Dinas sebagai wilayah administratif. Dari kehidupan masyarakat setempat terdapat pula kelompokkelompok adat. Sistem kemasyarakatan di Bali adalah sebagai berikut : 1). Banjar merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh ksatuan adat & upacara-upacara keagaman. Di daerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan di daerah dataran, sifat keanggotaannya tidak tertutup & terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu.

h) Subak

Subak di Bali seolah-olah lepas dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yg menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik/para penggarap sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sekeha dalam kehidupan kemasyarakatan di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekeha. Organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yg bersifat sementara. Ada sekeha yang fungsinya adalah menyelenggarakan upacara yang berkenaan dengan desa, misalnya sekeha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekeha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekeha memula (perkumpulan menanam), sekeha manyi (perkumpulan menuai), sekeha gong (perkumpulan gamelan) dll. Sumber : Tradisi Megibung dari Karangasem: Kiriman I Gede Suwidnya, Mahasiswa PS Seni Karawitan. Bintarto, R. 1980. Gotong-Royong : Suatu Karakteristik Bangsa Indonesia. Surabaya : PT. Bina Ilmu. Koentjaraningrat. 1983. Ciri-Ciri Kehidupan Masyarakat Pedesaan di Indonesia. dalam Sajogyo dan Sajogyo, Pudjiwati. Sosiologi Pedesaan. Jilid 1. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

http://www.slideshare.net/mayasungeb/sistem-kekerabatan-bali diakses tanggal 15 Oktober 2012. Maya Sungeb, Meilina K. Ayu, Miftakul Prasetya, K M. Fahim R, 2011. Keluarga Bali. Bali: Presentation Transcript.

2. Budaya Sumatera Barat Salah satu budaya atau suku yang terdapat di Sumatera Barat adalah Minangkabau. Masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam sukunya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Dengan kata lain seorang anak di Minangkabau akan mengikuti suku ibunya. Segala sesuatunya diatur menurut garis keturunan ibu. Tidak ada sanksi hukum yang jelas mengenai keberadaan sistem matrilineal ini, artinya tidak ada sanksi hukum yang mengikat bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap sistem ini. Sistem ini hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun demikian, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Peran dan kedudukan Perempuan Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak. Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan.

Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya. Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Peran dan Kedudukan Laki-laki Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian maupun pembagian harta pusaka. Perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak. Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan. Sebagai rentetan dari hasil perkawinan menimbulkan tali kerabat tali kerabat antara keluarga istri dengan keluarga rumah gadang suami dan sebaliknya. Tali kerabat itu seperti tali induak bako anak pisang, tali kerabat sumando dan pasumandan, tali kerabat ipar, bisan dan menantu. 1. Tali kerabat induak bako anak pisang, yaitu hubungan kekerabatan antara seseorang anak dengan saudara-saudara perempuan bapaknya, atau hubungan seseorang perempuan dengan anak-anak saudara laki-lakinya. Saudara-saudara perempuan dari seorang bapak, adalah induak bako dari anak-anaknya. Sedangkan anak-anak dari seorang bapak merupakan anak pisang dari saudarasaudara perempuan bapaknya. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan bapak adalah bakonya. 2. Tali kekerabatan sumando dan pasumandan. Dengan adanya perkawinan maka terjadi hubungan sumando pasumandan. Bagi seluruh anggota rumah gadang istri, suaminya, menjadi urang sumando (orang semenda) seseorang istri bagi keluarga suaminya menjadi pasumandan. 3. Sumando berasal dari bahsa sansekerta yaitu sandra, sedangkan dalam bahasa Minangkabau menjadi sando dengan sisipan um menjadi sumando. Persamaan kata sando adalah gadai. Dalam kehidupan sehari-hari ada istilah

pagang gadai. Bagi pihak yang menerima jaminan berupa benda harta yang digadaikan disebut sando, sedangkan orang yang memberikan hartanya sebagai jaminan dikatakan menggadaikan. Demikianlah sebagai penerima dari keluarga perempuan terhadap seorang menjadi suami anak kemenakannya dikatakan sebagai sumando. Namun demikian jangan lah diartikan secara negatif seperti terjadinya pegang gadai dalam kehidupan sehari-hari. 4. Seorang istri yang menjadi pasumandan dari anggota rumah gadang suaminya di aberperan sebagai komunikator antara suaminya dengan tungganai dan mamak rumah gadangnya. Sedang untuk mengkomunikasikan kepentingan sendiri sebagai istri, biasanya melalui saudara-saudara perempuan suami. 5. Tali kekerabat ipar, bisan dan menantu. Bagi seorang suami, saudara-saudara perempuan istrinya menjadi bisannya. Sedangkan saudara-saudara laki-laki dari istrinya adalah menjadi iparnya. Sebaliknya, saudara-saudara perempuan suaminya adalah merupakan bisannya, dan saudara laki-laki suaminya menjadi iparnya. Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau menyebut ipar, bisan ini ipa bisan dan kadang-kadang disambung saja jadi pabisan Sumber : Safwan, Drs. Mardanas, 2011. Sistim Kekerabatan Matrilineal Dalam Masyarakat Minangkabau. pakguruonline.pendidikan.net. Floresyona, Dita. 2008. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Asrama Bundo Kanduang. Yogyakarta. http://mersi.wordpress.com/2008/08/14/sistem-kekerabatan-di-minangkabau. Diakses tanggal 15 Oktober 2012. http://palantaminang.wordpress.com/sejarah-alam-minangkabau/f-sistem-kekerabatan. Diakses tanggal 15 Oktober 2012.

3. Budaya Jawa Timur Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya. Prof. Dr. Deliar Noer menyebutkan bahwa Madura adalah benteng Islam di Indonesia sebab kekentalan agamis masyarakat

dan akar paham yang sangat kuat sekalipun kadang melakukan ritual Petik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji). Jadi tidak perlu heran jika Aceh dikenal sebagai serambi Mekkah, maka Madura adalah serambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang mendapat kehormatan dilekati label istimewa ini. Dari kedua atribut tersebut dengan mudah terlihat posisi dan kultur yang khas, yakni kelekatannya dengan tradisi keislaman, bahkan menurut Rasul Junaidy suku Madura memiliki tiga nilai yang sangat menjadi acuan berpikir dan bertindak, ketiga nilaitersebut di tuangkan kedalam unsur unsur prilaku kehidupan sehari hari yaitu: Kesopanan Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa

pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta'tao batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak tahu tata krama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang keharusan bersopan santun adalah pa tao ajalan jalana jalane, pa taon eng ngenneng, pa tai a ca ca (yang menjadi kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tahu saatnya berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tatakrama dalam setiaptindakannyaSelain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tata kramana, sanajjan bagus tapi tata kramana jube', yang terpenting bukan ketampanan atau kecantikan, namun tata kramanya. Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial. Kehormatan Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan namun bermasyarakat. demikian M asyarakat diri Madura juga tidak mau

diremehkan,

penonjolan

tidak

dihargai.

contohnya ungkapan m a d u b e n d e r e ( m a d u d a n darah), yang berarti bila orang Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Hubungan sosial

masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai s e b a g a i s e s a m a m a n u s i a d a n m e n j a g a u n t u k t i d a k s a l i n g m e n ya k i t i . H a l i n i s a n g a t nampak dari ajaran ja'nobi' oreng mon aba'na e tobi' sake (janganlah menyakiti orang lain, kalau diri sendiri merasa sakit jika disakiti orang). Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu ( r a s a m a l u atau todus. Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate' (obatnya malu adalah mati), apotetolang etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air. Sumber : http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/7749. Oktober 2012. http://madib.blog.unair.ac.id/ethnography-of-madura/adaptasi-sosial-ekonomimasyarakat-petani-keturunan-madura/. Diakses 15 Oktober 2012. Diakses 15

4. Budaya Sumatra Utaraa.

Hubungan Sosial Nilai kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam

pelaksanaan adat Dalian Na Talu, dimana seseorang harus mencari jodoh diluar kelompoknya, orang-orang dalam satu kelompok saling menyebut Sabutuha (bersaudara), untuk kelompok yang menerima gadis untuk diperistri disebut Hulahula. Kelompok yang memberikan gadis disebut Boru.

b. Perkawinan

Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen.Untuk mahar perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah. c. Kekerabatan Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri dari Kuta. Marga tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga. Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya, Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu perbedaan tigkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian dan status kawin. d. Mata Pencaharian Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan . Peternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata. Sumber : Hidayah, Zuliyani, 1997, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

-

Koentjaraningrat, 1971, Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Djambatan.

Jakarta:

-

Melalatoa, M. Junus, 1997, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

5. Budaya Kalimantan Selatan Sistem kekerabatan suku Banjar pada umumnya adalah sama, untuk daerah seluruh Kalimantan Selatan. Suku Banjar mendasarkan kekerabatan mereka menurut garis dari keturunan ayah dan garis keturunan ibu atau bilateral. Tetapi di akui bahwa dalam hal-hal tertentu terutama yang menyangkut masalah kematian, perkawinan yang menjadi wali asbah adalah garis dari pihak ayah. Dalam hal masalah keluarga besar dan pengertian keluarga besar, maka berlaku garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu, keduanya diberlakukan sama. Masyarakat suku Banjar mengenal istilah Bubuhan, yang dimaksud dengan istilah bubuhan dalam masyarakat Banjar adalah kelompok kekerabatan yang merupakan kumpulan dari keluarga batih yang merupakan satu kesatuan. Bentuk dari kelompok bubuhan ini paling sedikit mempunyai lima unsur atau ciri sebagai berikut : 1. Mempunyai suatu sistem norma yang mengatur kelakuan warga kelompok. 2. Mempunyai rasa kepribadian kelompok yang didasari rasa kesadaran oleh semua warganya. 3. Aktivitas berkumpul warga kelompok bubuhan pada waktu-waktu tertentu. 4. Adanya suatu sistem hak dan interaksi serta kewajiban dari warga bubuhan. 5. Adanya satu orang yang ditokohkan dalam kelompok bubuhan ini. Bubuhan ini yang menurut pengertian sosiologi adalah keluarga besar, yaitu yang terdiri dari dua keluarga batih atau lebih yang masih mempunyai hubungan keturunan satu sama lain, baik menurut garis keturunan ayah atau ibu. Keluarga bubuhan, yang disebut keluarga besar, tetapi disebut pula keluarga luas. Dari perkawinan terbentuklah suatu kelompok kekerabatan yang sering disebut keluarga inti atau keluarga batih. Satu keluarga batih terdiri dari satu suami dan satu istri (atau lebih). Selama satu tahun tersebut, keluarga batih baru ini diberi kesempatan untuk mengerjakan sawah atau ladang sendiri dan orang tua istri, mereka selalu membantu kehidupan keluarga baru ini. Tetapi kalau keluarga baru ini belum mempunyai kemampuan hidup berpisah dari rumah keluarga istrinya, kecenderungan menetap

dalam keluarga istri ini disebut matrilokal atau uksorilokal. Kalau ikut di keluarga pihak suami disebut patrilokal. Kalau mereka telah mempunyai kemampuan untuk hidup sendiri dan berpisah dari orang tua (dari istri atau suami) disebut neolokal. Sumber : http://lizaanggraini.wordpress.com/2009/04/07/sistem-kekerabatan-bubuhan. Diakses 15 Oktober 2012

6. Budaya Papua Struktur sosial masyarakat Papua, kita harus mulai dengan hubungan sosial, yaitu cara mereka berinteraksi, hal-hal yang mereka katakan dan lakukan dalam hubungan mereka satu sama lain. Tetapi terdapat juga gagasan mereka tentang hubungan mereka, konsepsi masing-masing tentang pihak yang lain, pemahaman dan strategi serta pengharapan yang menuntun perilaku mereka. Baik pola perilaku maupun sistem konseptual mempunyai struktur, dalam arti tidak kacau balau atau sembarangan, tetapi kedua hal tersebut merupakan struktur yang berbeda jenis (Keesing, 1989 : 2008-209). Pouwer (1966) berdasarkan studi antropologinya, menunjukan bahwa dalam pengelompokan orang Papua paling sedikit dapat dibagi ke dalam empat golongan berdasarkan sistem kekerabatan : 1. Kelompok kekerabatan menurut tipe Iroquois. Sistem ini mengklasifikasikan anggota kerabat saudara sepupu parallel dengan istilah yang sama dengan saudara kandung. Juga untuk menyebut istilah yang sama untuk ayah maupun sesama saudara laki-laki ayah dan saudara laki-laki ibu. Adapun kelompok etnik Papua yang tergolong dalam tipe ini adalah : orang Biak, Iha, Waropen, Senggi, Marindanim, Teluk Humboldt dan orang Mee. 2. Kelompok kekerabatan menurut tipe Hawaian. Sistem pengelompokan yang menggunakan istilah yang sama untuk menyebut saudara-saudara sekandung dan semua saudara-saudara sepupu silang dan parallel. Adapun kelompok etnik yang tergolong tipe ini adalah : Orang Hatam-Manikion, Mairsai, Mimika, Asmat dan Pantai Timur Sarmi. 3. Kelompok kekerabatan menurut tipe Omaha. Sistem ini mengklasifikasikan saudara-saudara sepupu silang matrilateran dan patrilateral dengan istilah yang

berbeda dan untuk saudara sepupu silang dipengaruhi oleh tingkat generasi dan bersifat tidak simetris. Sebutan untuk anak laki-laki saudara laki ibu (MBS) adalah sama dengan saudara laki-laki ibu (MB). Istilah untuk anak laki-laki saudara perempuan ayah (FZS) adalah sama untuk anak laki-laki saudara perempuan (Z). Adapun etnik yang tergolong dalam kelompok ini adalah orang Awyu, Dani, Meibrat, Mek di Pegunungan Bintang dan Muyu. 4. Kelompok kekerabatan menurut tipe Iroquois-Hawaian. Tipe ini adalah tipe campuran. Kelompok yang tergolong dalam tipe ini adalah Orang Bintuni, Tor dan Pantai Barat Sarmi. Kecuali penggolongan berdasarkan istilah kekerabatan, orang Papua juga dibedakan berdasarkan prinsip pewarisan. Ada dua prinsip pewarisan keturunan yaitu : 1. Melalui garis keturunan ayah atau patrilineal, dan terdapat pada orang Meibrat, Mee, Dani, biak, Waropen, Wandamen, Sentani, Marind-anim dan Nimboran. 2. Melalui prinsip bilateral yaitu melalui garis keturunan ayah dan ibu, terdapat pada orang dipedalaman Sarmi. 3. Masyarakat berdasarkan struktur ambilateral atau ambilineal, dimana kadangkadang diatur menurut garis keturunan pihak ibu dan ayah. Terdapat pada orang Yagai, Manikion, Mimika (De Brijn, 1959 : 11 of van der Leeden, 1945, Pouwer, 1966). Orang Papua juga mengenal pembagian masyarakat ke dalam phratry atau moiety yang terbagi atas dua paroh masyarakat. Terdapat pada orang Asmat (aipmuaipem), Dani (Waita-Waya), Waropen (buriworai-buriferai) dalam (Mansoben, 1974, 1995; Held, 1947; Kamma, 1972; Schoorl, 1957; Heider, 1979-1980). Sumber: http://www.artpapua.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=bl og&id=42&Itemid=65

7. Budaya Sulawesi Selatan

Di daerah Sulawesi Selatan sangat menonjol perasaan kekeluargaan. Hal ini mungkin didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan berasal dari satu rumpun. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ditemukan sistem kekerabatan. Sistem kekrabatan tersebut adalah sebagai berikut: a) Keluarga inti atau keluarga batih. Keluarga ini merupakan yang terkecil. Dalam bahasa Bugis keluarga ini dikenal dengan istilah Sianang , di Mandar Saruang Moyang, di Makassar Sipaanakang/sianakang, sedangkan orang Toraja menyebutnya Sangrurangan. Keluarga ini biasanya terdiri atas bapak, ibu, anak, saudara laki-laki bapak atau ibu yang belum kawin. b) Sepupu. Kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah. Hubungan darah tersebut dilihat dari keturunan pihak ibu dan pihak bapak. Bagi orang Bugis kekerabatan ini disebut dengan istilah Sompulolo, orang Makassar Toraja

mengistilkannya

dengan Sipamanakang.

Mandar Sangandan

menyebutkan Sirampaenna. Kekerabatan tersebut biasanya terdiri atas dua macam, yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Yang tergolong sepupu dekat adalah sepupu satu kali sampai dengan sepupu tiga kali, sedangkan yang termasuk sepupu jauh adalah sepupu empat kali sampai lima kali. Keturunan. Kekerabatan yang terjadi berdasarkan garis keturunan baik dari garis ayah maupun garis ibu. Mereka itu biasanya menempati satu kampung. Terkadang pula terdapat keluarga yang bertempat tinggal di daerah lain. Hal ini bisanya disebabkan oleh karena mereka telah menjalin hubungan ikatan perkawinan dengan seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Bagi masyarakat Bugis, kekerabatan ini disebut dengan Siwija orang Mandar Siwija, Makassar

menyebutnya dengan istilah Sibali dan TorajaSangrara Buku. c) Pertalian sepupu/persambungan keluarga. Kekerabatan ini muncul setelah adanya hubungan kawin antara rumpun keluarga yang satu dengan yang lain. Kedua rumpun keluarga tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga sebelumnya. Keluarga kedua pihak tersebut sudah saling menganggap keluarga sendiri. Orang-orang Bugis mengistilahkan kekerabatan ini

dengan Siteppang-teppang, Makassar Mandar Sisambungsangana dan Toraja Sirampe-rampeang.

Sikalu-kaluki,

d) Sikampung. Sistem kekerabatan yang terbangun karena bermukim dalamsatu kampung, sekalipun dalam kelompok ini terdapat orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan darahnya/keluarga. Perasaan akrab dan saling menganggap

saudara/ keluarga muncul karena mereka sama-sama bermukim dalam satu kampung. Biasanya jika mereka itu kebetulan berada di perantauan, mereka saling topang-menopang, bantu-membantu dalam segala hal karena mereka saling menganggap saudara senasib dan sepenaggungan. Orang Bugis menyebut jenis kekerabatan ini dengan Sikampong, Makassar Sambori, suku Mandar mengistilahkan Sikkampung dan Toraja menyebutkan Sangbanua.

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Sumber : Abd. Kadir Ahmad, 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Makassar, Balai Litbang Agama Makassar. Mattuladda, 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar. Berita Antropologi No. 16 Fakultas Sastra UNHAS. ------------, 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis., Makassar: Disertasi.

8. Budaya Jawa Barat Orang Sunda mengenal pengelompokan status dalam masyarakat berdasarkan materi. Ada orang kaya dan orang miskin. Orang miskin biasanya bekerja sebagai petani, buruh, pedagang asongan, dll. Sekalipun secara vertikal terdapat hubungan yang bersifat super suboordinasi, tetapi secara horizontal menunjukan hubungan kooperatif-inferior. Kenyataan bahwa hampir seluruh masyarakat Sunda yang hidup di pedesaan adalah berprofesi sebagai petani. Berdasarkan umur seseorang dalam masyarakat Sunda, dikenal kelompok orang dewasa dan kelompok orang tua yang berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosialnya. Kelompok tua lebih berperan sebagai pembimbing. Terdapat etika dan adab yang dijalankan oleh setiap individu pada masyarakat Sunda tanpa pemaksaan. Disini kita akan melihat betapa luhur dan agungnya budaya Sunda dalam aspek etika

pergaulan di masyarakat. Seorang anak (kelompok dewasa) yang bertingkah mencampuri urusan orang tua (kelompok tua) disebut kokolot begog. Kurang baik apabila kelompok muda lebih berpartisipasi aktif melampaui perang kelompok tua, walaupun kapabilitas seorang pemuda lebih tinggi dari seorang tua, hal ini terkait adat dan kebiasaan masyarakat Sunda. Penerapan tenggang rasa dapat kita rasakan ketika melihat realitas di atas. Namun, dalam beberapa kasus, masih ada peran pemuda yang memporsikan lebih dari perang orang tua. Misalnya, seorang anak menjadi penanggungjawab keutuhan dan kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja lebih dari pekerjaan orang tua. Terlepas dari hal ini, etika dalam sistem organisasi kemasyarakat Sunda merupapak potret ideal dalam menjalani kehidupan yang lebih dinamis. Kehidupan bersama dalam balutan gotong royong tampak terasa dalam kebiasaan nguyang, yaitu memberikan sesuatu (biasanya palawija) kepada orang lain dengan mengharap balasan yang lebih besar. Hubungan dalam masyarakat Sunda sifatnya subjektif. Artinya, kepentingan individu adalah kepentingan bersama dan kepentingan kelompok juga merupakan kepentingan individu (perseorangan). Menyangkut masalah internal keluarga, dalam masyarakt Sunda, ayah biasa dipanggil abah dan ibu dipanggil ema. Kakek dipangil aki dan nenek dipanggil nini. Adik ayah dan ibu yang laki-laki dipanggil amang sedangkan adik ayah dan ibu yang perempuan dipanggil bibi. Dalam perkawinan, suami biasa panggil salaki dan istri dipanggil pamajikan. Masyarakat Sunda menganut garis keturunan secara bilateral yaitu dari kedua belah pihaknya baik dari garis laki-laki maupun dari garis perempuan. Antara kerabat si ayah dan si ibu itu derajatnya sama dalam keluarga. Namun ada juga perbedaannya yaitu kerabat jauh dan kerabat dekat.

Sumber : Buku Salam Sahabat Nusantara: Jawa Barat yang Memesona, Penerbit: Doenia Aksara. Muflihah, Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap Sekolah Dasar, Penerbit: Puspa Swara, Jakarta, 2007.