isi evapro radiet
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari
pembangunan nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan
adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Guna menuju tercapainya tujuan pembangunan kesehatan tersebut
diselenggarakanlah berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh
(komprehensif) yang meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif secara berjenjang dan terpadu (Notoatmodjo, 2003).
Pada pelaksanaannya, pembangunan kesehatan saat ini harus lebih
mengutamakan paradigma sehat daripada paradigma sakit. Hal ini berarti
pelayanan kesehatan lebih diarahkan secara terpadu pada proses promotif dan
preventif, tanpa mengesampingkan kuratif dan rehabilitatif. Salah satu langkah
untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan pengembangan sarana dan
prasarana kesehatan oleh pemerintah, diantaranya adalah Polindes, Puskesmas
dan Rumah Sakit (Notoatmodjo, 2003).
Selama menjalankan fungsinya, khususnya Puskesmas yang
berhubungan langsung dengan masyarakat, sangat diperlukan koordinasi
antara seluruh sarana pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerjanya
sesuai dengan kewenanganya serta melaksanakan pembinaan terhadap peran
serta masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan. Dengan
demikian, Puskesmas dapat menjadi pusat pengembangan, pembinaan dan
pelayanan kesehatan masyarakat yang sekaligus sebagai pos terdepan dalam
pembangunan kesehatan (Azwar, 1996).
Sebagai Primary Health Care (PHC), Puskesmas Pekuncen saat ini
harus lebih mengoptimalkan fungsinya sebagai lini terdepan dalam bidang
kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, Puskesmas Pekuncen sebagai PHC
harus dapat mengembangkan dan membina kesehatan masyarakat serta
menyelenggarakan pelayanan kesehatan terdepan dan terdekat dengan
masyarakat Kecamatan Pekuncen dalam bentuk kegiatan pokok yang
menyeluruh dan terpadu di wilayah kerjanya.
Puskesmas Pekuncen yang terletak di Desa Banjaranyar, Kecamatan
Pekuncen, Kabupaten Banyumas, berjarak sekitar 20 km dari kota
Purwokerto. Dalam menjalankan fungsinya, Puskesmas Pekuncen dibantu
oleh dua Puskesmas Pembantu (Pustu), yaitu Pustu Legok di Desa Pekuncen
dan Pustu Karangklesem di Desa Karangklesem. Wilayah kerjanya meliputi
16 desa di seluruh wilayah Kecamatan. Kegiatan pokok yang telah rutin
dilaksanakan adalah enam program pokok Puskesmas yang meliputi KIA-KB,
Pengobatan, Pemberantasan Penyakit Menular (P2M), Gizi Masyarakat,
Kesehatan Lingkungan, dan Promosi Kesehatan (Promkes). Tiap-tiap program
tersebut dilaksanakan melalui suatu rangkaian yang sistematis, meliputi
perencanaan (P1), penggerakan dan pelaksanaan (P2), pengawasan,
pengendalian, dan penilaian (P3).
Selama pelaksanaan enam program pokok Puskesmas, tidak semuanya
berjalan baik dan lancar. Tetap saja ada beberapa program pokok yang tidak
dapat berjalan dengan baik. Masalah ini disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya; wilayah kerja yang sangat luas, tenaga kesehatan yang sangat
terbatas jumlahnya, sarana dan prasarana Puskesmas yang kurang lengkap,
baik jumlah maupun jenis, dan kondisi sosial ekonomi dan budaya/tradisi
penduduk sekitar terhadap penerimaan program kesehatan Puskesmas.
Dari enam program pokok yang telah dijalankan, salah satu program
yaitu Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) masih memiliki beberapa
kendala. Kendala ini terkait masih tingginya prevalensi penyakit menular di
Kecamatan Pekuncen, seperti TBC, diare, ISPA, dan penyakit menular
lainnya. Berdasarkan data yang ada, P2M yang saat ini masih bermasalah
adalah tentang pembrantasan penyakit TB pulmo yang sampai sekarang belum
maksimal. Data profil Puskesmas Pekuncen menunjukkan bahwa jumlah
kasus TB Paru Positif pada tahun 2011 sebanyak 32 kasus atau CDR (Case
Detection Rate) BTA positif sebesar 46,43 per 100.000 penduduk. Dari hasil
statistik menunjukkan bahwa angka CDR pasien TB paru di Puskesmas
Pekuncen lebih rendah dari target CDR TB paru nasional (≥70%).
Permasalahan yang saat ini dihadapi Puskesmas Pekuncen dalam
pemberantasan TB adalah penemuan deteksi kasus masih bersifat pasif.
Artinya penemuan kasus hanya mengandalkan pasien yang berkunjung ke
Balai Pengobatan (BP) saja dan memiliki tanda dan gejala TB. Sementara
deteksi secara aktif dengan melibatkan masyarakat, terutama kader kesehatan
belum berjalan dengan baik.
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis dimana sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian
akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga
kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan,
persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang
paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien
TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangga sekitar
20-30%. Jika ia meninggal akibat TB maka akan kehilangan pendapatannya
sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan
dampak buruk secara sosial-stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat
(Depkes RI, 2006).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara
negara yang sedang berkembang.
2. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya).
Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang
tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami
krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
4. Dampak pandemi infeksi HIV (Depkes, 2006).
Ada sekitar delapan juta penderita baru tuberkulosis di seluruh dunia
dalam setahunnya, dan hampir tiga juta orang yang meninggal setiap
tahunnya akibat penyakit ini. Paling sedikit satu orang akan terinfeksi
Tuberkulosis setiap detik, dan setiap sepuluh detik ada satu orang yang mati
akibat Tuberkulosis. Banyak orang mempertanyakan gambaran tuberkulosis di
masa mendatang. Dye (2010) menyatakan bahwa bila situasi penanggulangan
tuberkulosis tetap bertahan seperti sekarang, maka jumlah kasus tuberkulosis
pada 2020 akan meningkat menjadi 11 juta orang. Peneliti lain, Pil Heu (1998)
menyatakan bahwa insidens tuberkulosis akan terus meningkat dari 8,8 juta
kasus pada 1995 menjadi 10,2 juta kasus pada tahun 2000 dan 11,9 juta kasus
tuberkulosis baru pada tahun 2005 (Eddy W, 2004).
Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat
dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada negara yang
dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden
countries). Menyikapi hal tersebut pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB
sebagai kedaruratan dunia (global emergency).
Gambar 1.1: Insidens TB di dunia (Depkes, 2007)
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah
India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari jumlah total pasien TB
di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru
dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per
100.000 penduduk (Depkes, 2007).
Di Jawa Tengah penemuan tersangka TB (klinis) dari tahun 2003 ke
2004 terjadi kenaikan yang cukup tinggi (57%) berarti jangkauan pelayanan
TB di UPK (Puskesmas, BP4 dan Rumah Sakit) sudah ada peningkatan,
begitu juga pada penemuan penderita BTA positif. Angka penemuan penderita
di Jawa Tengah tahun 2003 dan tahun 2004 terjadi peningkatan penemuan
penderita BTA positif walaupun angka tersebut masih jauh dibawah target
<70%, namun ada beberapa Kabupaten/Kota yang pencapaian penemuan
penderita diatas 60% karena target tahun 2004 adalah 60% yaitu Kota
Pekalongan 94,44 %, Kabupaten Pekalongan 77,18 %, Kabupaten Tegal 66,52
%, Kota Tegal 63,87 % dan Kota Surakarta 60,07 %. Hal tersebut dikarenakan
belum semua UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) khususnya di Rumah Sakit
belum semua mengikuti program TBC dengan strategi DOTS sehingga belum
teregistrasi.
Angka kesembuhan (cure rate) di Jawa Tengah masih dibawah
target < 85 %, namun angka kesembuhan dari tahun 2003 ke tahun 2004 (s/d
triwulan ke 2) terjadi peningkatan, bila dilihat dalam satu tahun 2004 belum
bisa diketahui karena sistem kohort sehingga evaluasinya setiap tribulan. Di
Jawa Tengah angka kesembuhan penderita yang diobati di Puskesmas dan
BP4 tahun 2004 (sampai dengan TW 2) sebesar 81,18% (target nasional 85%
dan target Jawa Tengah 83%). Terdapat 14 Kabupaten/Kota yang telah
berhasil mencapai angka kesembuhan 83% (target Jawa Tengah pada tahun
2004) adalah : Kota Surakarta (94,94 %), Kab. Sragen (94,50%), Kab.
Wonogiri (92,79%), Kab. Jepara (92,55%), Kab. Pekalongan (92,14%), Kab.
Karanganyar (89,92%), Kab. Batang (88,89%), Kab. Sukoharjo (88,51%),
Kab. Grobogan (88,31%), Kab. Purworejo (88,04%), Kab. Wonosobo (86,52
%) dan Kab. Tegal (86,11%) (Profil Kesehatan Jawa Tangah, 2004).
Dalam usaha pemberantasan penyakit TB paru, pencarian kasus
merupakan unsur yang penting untuk keberhasilan pelaksanaan program
pengobatan. Hal ini ditunjang oleh sarana diagnostik yang tepat. Diagnosis
terhadap TB paru umumnya dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan
klinis (dari anamnesis terhadap keluhan penderita dan hasil pemeriksaan fisik
penderita), hasil pemeriksaan foto toraks, hasil pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan penunjang lainnya (Eddy W, 2004).
Gambaran Umum Puskesmas Pekuncen
Deskripsi Situasi dan Kondisi Puskesmas dan Wilayah Kerja
Kecamatan Pekuncen merupakan salah satu kecamatan yang
berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten lain yaitu Kabupaten Brebes.
Kecamatan Pekuncen memiliki luas wilayah kurang lebih 92.70 km2.
Kecamatan Pekuncen terdiri dari 16 desa yaitu: Desa Pekuncen, Desa
Kranggan, Desa Karangkemiri, Desa Banjaranyar, Desa Cikawung, Desa
Krajan, Desa Glempang, Desa Pasiraman Lor, Desa Pasiraman Kidul, Desa
Karangklesem, Desa Candinegara, Desa Cikembulan, Desa Cibangkong, Desa
Semedo dan Desa Petahunan.
Keadaan Demografi Kecamatan Pekuncen
A. Pertumbuhan Penduduk
Berdasarkan data statistik Kecamatan Pekuncen, hasil Registrasi
Penduduk pada tahun 2011 jumlah penduduk Kecamatan Pekuncen
adalah 64.689 jiwa, yang terdiri dari 32.056 jiwa laki-laki (49,55%) dan
32.633 jiwa perempuan (50,44%). Terdiri dari 17.068 rumah tangga/KK
dengan rata-rata jiwa/ rumah tangga adalah 3 orang.
Jumlah penduduk Kecamatan Pekuncen tahun 2011 yang tertinggi/
terbanyak adalah di desa Pekuncen yaitu sebanyak 6.575 jiwa dan paling
sedikit adalah Desa Pasiraman Kidul sebanyak 1.587 jiwa. Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2010 , terjadi penurunan
sebesar 1,85 % pada tahun 2011.
B. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk Kecamatan Pekuncen Tahun 2011 sebesar
698 jiwa/km2, dengan tingkat kepadatan tertinggi yaitu di desa
Cikembulan sebesar 2.433 jiwa/km2, sedangkan tingkat kepadatan
terendah yaitu di desa Krajan sebesar 184 jiwa/km2.
C. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur
Berdasarkan data statistik kecamatan, dapat diketahui bahwa
proporsi penduduk menurut umur di Kecamatan Pekuncen adalah
kelompok umur terbesar pada umur 10-14 tahun yaitu sebanyak 5.998
jiwa, sedangkan kelompok umur terkecil yaitu pada kelompok umur > 75
tahun sebanyak 415 jiwa.
Keadaan Sosial Ekonomi
1. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Pekuncen pada
tahun 2010 dapat dilihat pada tebel berikut:
Tabel 2.1. Distribusi penduduk Kecamatan Pekuncen berdasarkan jenis
kelamin
No. Jenis PendidikanJenis Kelamin
JumlahLaki-laki Perempuan
1.
2.
3
4.
5
6
Tidak/ Belum pernah sekolah
Tidak/ Belum tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Perguruan Tinggi
1.475
6.558
16.209
3.742
3.060
446
1.365
6.060
14.378
3.321
3.060
339
2.840
12.618
30.587
7.063
2.214
785
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
penduduk sebagian besar adalah tamat SD, yaitu sebesar 30.587 orang atau
54,51% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah tingkat pendidikan
terkecil yaitu Perguruan tinggi sebanyak 785 orang atau 1,40 % dari
jumlah penduduk.
Angka melek huruf di Kecamatan Pekuncen juga sudah cukup
tinggi, hal ini dapat dilihat dari penduduk usia 10 tahun ke atas yang melek
huruf di kecamatan Pekuncen yaitu sebesar 83,01%.
2. Jenis Pekerjaan
Berdasarkan data statistik Kecamatan Pekuncen, dapat diketahui
bahwa sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian pada sektor
informal, yaitu sebesar 50,33 % dari jumlah penduduk, sedangkan yang
memiliki mata pencaharian pada sektor formal sebesar 1,89 % dari total
penduduk. Secara spesifik, mata pencaharian sebagian besar penduduk
Kecamatan Pekuncen adalah sebagai buruh tani yaitu sebanyak 11.890
orang atau sebesar 18,50% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah
terkecil adalah penduduk yang bekerja pada BUMN/BUMD yaitu
sebanyak 18 orang atau sebesar 0,03 % dari total penduduk.
Pencapaian Program Kesehatan
Pembangunan kesehatan di Kabupaten Banyumas diarahkan pada masih
rendahnya derajat kesehatan, status gizi, dan kesejahteraan sosial. Oleh karena
itu pembangunan kesehatan diarahkan dalam upaya perbaikan kesehatan
masyarakat melalui perbaikan gizi, kebersihan lingkungan, pemberantasan
penyakit menular, penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan ibu dan
anak.
Pembangunan kesehatan di Puskesmas Pekuncen yang telah
dilaksanakan sampai saat ini belum dapat dikatakan berhasil seluruhnya.
Hasil-hasil yang dapat dicapai dalam pembangunan kesehatan di Puskesmas
Pekuncen dapat dilihat dari indikator-indikator di bidang derajat kesehatan,
perilaku masyarakat, kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan.
Derajat Kesehatan Masyarakat
1. Angka Kesakitan
Penyakit menular yang diamati:
1. Penyakit Diare
Kejadian atau kasus penyakit diare di wilayah Puskesmas
Pekuncen, berdasarkan data dari programmer P2 Diare Puskesmas
Pekuncen adalah sebanyak 1.041 kasus atau sebesar 16,09 per 1000
penduduk. Berdasarkan analisis pelaporan kasus dapat diketahui bahwa
kejadian diare tahun 2011, terbanyak terjadi pada bulan Januari dan
Juli.
2. Penyakit Malaria
Kasus penyakit Malaria Klinis tahun 2011 sebanyak 0 kasus atau
sebesar 0,00 per 1.000 penduduk. Kasus Malaria di Puskesmas
Pekuncen biasanya merupakan kasus import dari luar jawa. Meski
demikian ini perlu diwaspadai oleh petugas kesehatan dan masyarakat
terutama untuk Desa Tumiyang, Cikembulan, Semedo, Petahunan dan
Cibangkong yang memiliki letak geografis yang memungkinkan untuk
terjadinya malaria.
3. TB Paru
Jumlah kasus TB Paru Positif pada tahun 2011 sebanyak 32 kasus
atau CDR (Case Detection Rate) BTA positif sebesar 46,43 per 100.000
penduduk. Pada tahun 2011 jumlah pasien TB Paru yang diobati
sebanyak 33 kasus dan yang sembuh sebanyak 16 atau 48,48% sembuh,
dengan pengobatan lengkap sebanyak 15 atau sebesar 45,45%. Dari
hasil statistik menunjukkan bahwa angka CDR pasien TB paru di
Puskesmas Pekuncen lebih rendah dari target CDR TB paru nasional
(≥70%).
4. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Jumlah kasus DBD di Kecamatan Pekuncen tahun 2011 sebanyak
6 kasus atau sebesar 9,28 per 100.000 penduduk. Dari semua kasus
DBD yang ada tersebut, semuanya (100%) mendapat penanganan dan
tidak terdapat kematian akibat DBD.
5. HIV
Jumlah kasus HIV-AIDS di kecamatan Pekuncen pata tahun 2011
adalah 0 kasus. Kasus HIV-AIDS merupakan fenomena gunung es
sehingga kemungkinan adanya kasus HIV-AIDS yang tidak terdeteksi
atau tidak terdata.
6. Acute Flaccid Paralysis (AFP)
Jumlah penemuan kasus AFP di kecamatan Pekuncen pada tahun
2011 sebanyak 0 kasus. Standar penemuan kasus polio adalah 2 per
100.000 penduduk usia kurang dari 15 tahun. Tidak ditemukannya
kasus polio karena pengetahuan masyarakat mengenai gejala-gejala
penyakit polio masih sangat kurang sehingga seringkali pasien
terlambat untuk datang ke puskesmas.
7. ISPA pada Balita
Jumlah kasus ISPA pada balita ditemukan/ditangani di Kecamatan
Pekuncen adalah sebanyak 20 kasus dari jumlah perkiraan penemuan
kasus pneumonia balita sebanyak 485 atau hanya sebesar 9,93%.
Banyaknya kasus ISPA yang tidak ditangani ini sebagian besar
disebabkan karena kesadaran orang tua yang masih kurang dan
menganggap anaknya dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak
dibawa ke puskesmas.
2. Angka Kematian (Mortalitas)
Berikut ini akan diuraikan perkembangan tingkat kematian pada
periode tahun 2011 yaitu sebagai berikut :
a. Angka Kematian Bayi
Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Pekuncen dapat
diketahui bahwa, pada tahun 2011 terdapat 1.076 kelahiran hidup dan
jumlah lahir mati sebanyak 19 bayi. Angka Kematian Bayi (AKB) di
Kecamatan Pekuncen pada tahun 2011 adalah sebesar 11,2 per 1000
kelahiran hidup.
b.Angka Kematian Ibu
Berdasarkan hasil laporan dari petugas KIA Puskesmas Pekuncen
diketahui bahwa jumlah kematian ibu hamil di Kecamatan Pekuncen
sebanyak 0 orang, jumlah kematian ibu bersalin sebanyak 1 orang, dan
jumlah kematian ibu nifas sebanyak 1 orang. Sehingga Angka Kematian
Ibu (AKI) di Kecamatan Pekuncen sebesar 185,9 per 100.000 kelahiran
hidup.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN)
tahun 2010-2014 di bidang kesehatan, target angka kematian ibu adalah
118 per 100.000 penduduk, dan Millenium Development Goals (MDG)
tahun 2015 adalah 102 per 100.000 penduduk. Angka kematian ibu di
Kecamatan Pekuncen masih tinggi. Namun bila dibandingkan dengan
data tahun 2010 (262,93 per 100.000), angka kematian ibu di
Kecamatan Pekuncen sudah mengalami penurunan.
c. Angka Kecelakaan
Kejadian kecelakaan lalu lintas di Kecamatan Pekuncen pada tahun
2011 sebanyak 145 kejadian, dengan korban mati sebanyak 3 orang,
luka berat sebanyak 23 orang, dan luka ringan sebanyak 139 orang.
Dengan demikian rasio kejadian kecelakaan per 100.000 penduduk
adalah sebesar 255,07.
3. Status Gizi
Berdasarkan pemantauan status gizi Balita pada tahun 2011 dengan
jumlah balita yang ditimbang 3.594 ditemukan:
a. Balita dengan Gizi Lebih sebanyak 16 anak (0,45%)
b. Balita dengan Gizi Baik sebanyak 3.534 anak (98,33%)
c. Balita dengan Gizi Kurang sebanyak 30 anak (0,83%)
d. Balita dengan Gizi Buruk sebanyak 14 anak (0,39%)
Jumlah balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk sebanyak 44 anak dan
dari jumlah tersebut semuanya mendapat perawatan. Standar Pelayanan
Minimal (SPM) untuk balita gizi buruk mendapatkan perawatan adalah
sebesar 100%. Sehingga cakupan gizi buruk mendapat perawatan di
Kecamatan Pekuncen dibanding dengan SPM sudah memenuhi target.
Disamping itu berdasarkan laporan petugas gizi puskesmas, Kecamatan
Pekuncen termasuk kecamatan yang bebas rawan gizi.
Perilaku Masyarakat
Perilaku masyarakat ditentukan pada peran serta masyarakat di bidang
kesehatan melalui penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) baik di
masyarakat, di sekolah maupun di instansi dalam rangka penurunan angka
kematian bayi, balita dan ibu serta berbagai upaya mewujudkan derajat
kesehatan yang baik.
I. Posyandu
Berdasarkan data tahun 2011, jumlah posyandu di wilayah
Puskesmas Pekuncen sebanyak 134 Posyandu.
II. Stratifikasi PHBS Tatanan Rumah Tangga
Berdasarkan hasil pendataan dengan menggunakan kuesioner
PHBS tatanan rumah tangga, dengan jumlah sampel sebanyak 17.068 KK,
dan pada tahun ini semua desa yang di data, dengan cakupan pendataan
sebesar 5.670 atau 33,2% dari seluruh jumlah yang dipantau.
III. Penyuluhan Kesehatan
Jumlah kegiatan penyuluhan kesehatan kelompok (secara
langsung) yang dilakukan sebanyak 4.818 dan yang jumlah kegiatan
penyuluhan massa adalah 18. Materi penyuluhan adalah mengenai
masalah-masalah kesehatan seperti PHBS, KIA, Kesehatan Lingkungan,
Gizi, NAPZA dan Penyakit Menular.
Kesehatan Lingkungan
Keadaan lingkungan masyarakat mempunyai peranan yang sangat
penting dalam mempengaruhi derajat kesehatan perilaku masyarakat itu
sendiri. Dan sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan lingkungan
masyarakat, beberapa indikator penting yang dapat mempengaruhi kesehatan
lingkungan yaitu sebagai berikut :
a. Rumah Sehat
Berdasarkan hasil pendataan yang telah dilakukan dapat diketahui
bahwa dari jumlah rumah sebanyak 17.299 rumah dengan jumlah rumah
yang diperiksa sebanyak 837 rumah atau 4,8%. Didapatkan bahwa
sebanyak 624 rumah atau sebesar 74,6 % termasuk dalam rumah sehat.
b. Air Bersih
Dari 20.181 kepala keluarga (KK) yang ada dengan jumlah KK
yang diperiksa sebanyak 837 KK atau sebesar 4,1 %, didapatkan bahwa
sebanyak 66 KK atau 7,9 % menggunakan ledeng sebagai sumber air
bersihnya.
Selain itu sarana dan prasarana lain yang ada antara lain :
i. Tempat Umum dan Pengelolaan Makanan (TUPM) Sehat
Berdasarkan data petugas sanitarian Puskesmas Pekuncen, dapat
diketahui bahwa terdapat 6 restauran dan Jumlah yang diperiksa ada 4,
dengan hasil pemeriksaan terdapat 3 restauran atau 75 % sehat.
ii. Keluarga yang memiliki sarana kesehatan lingkungan
Pembuangan air limbah atau tinja yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dapat menyebabkan rendahnya kualitas air serta menyebabkan
penyakit menular di masyarakat. Sarana kesehatan lingkungan di wilayah
Puskesmas Pekuncen dari jumlah keluarga yang diperiksa mempunyai
sarana kesehatan lingkungan sebagai berikut :
1. Tempat BAB/Jamban
Dari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah
KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa sebanyak 638
KK atau 76,2 % memiliki jamban dan dari jumlah tersebut, jumlah
jamban yang sehat sebanyak 407 atau 63,8 %.
2. Tempat sampah
Dari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah
KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa sebanyak 710
KK atau 84,8% memiliki tempat sampah dan jumlah tempat sampah
yang sehat sebanyak 131 atau sebesar 18,50%.
3. Persediaan air bersih
Dari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah
KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa semua KK
yang dijadikan sampel pemeriksaan memiliki persediaan air bersih
(100%).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui masalah-masalah kesehatan yang terjadi di Puskesmas
Pekuncen terkait pelaksanaan Enam Program Pokok Puskesmas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit
TB di Puskesmas Pekuncen.
b. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tidak maksimalnya
pemberantasan TB.
c. Mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan Puskesmas dalam
melaksanakan pemberantasan penyakit TB .
C. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Praktis
a. Memberikan Informasi kepada pembaca tentang penyakit TB baik faktor
risiko, cara penularan, pengobatan, dan pencegahan.
b. Menjadi dasar ataupun masukan bagi Puskesmas dalam mengambil
kebijakan jangka panjang dalam upaya pemberantasan penyakit TB.
2. Manfaat Teoritis
Menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya bagi pihak yang membutuhkan.
BAB II
ANALISIS POTENSI DAN IDENTIFIKASI ISU STRATEGIS
- INPUT
A. Man
a. Kelebihan
Secara umum, tenaga medis dan non medis yang terdapat pada
Puskesmas Pekuncen menurut data profil puskesmas tahun 2012 terdiri
dari tenaga medis sebanyak 3 orang (2 orang dokter umum, 1 orang
dokter gigi), tenaga perawat 9 orang, bidan 21 orang, tenaga gizi tidak
ada, tenaga kesehatan masyarakat 1 orang, sanitarian 2 orang, tenaga staf
administrasi sebanyak 5 orang, tenaga farmasi 1 orang, dan sopir
ambulans 1 orang.
b. Kekurangan
1) Belum semua petugas puskesmas terutama paramedis (perawat,
bidan desa) mengetahui secara tepat cara menjaring tersangka TB
2) Kurang optimalnya pemanfaatan kader-kader posyandu sehingga
kader TB belum tersedia di setiap desa sehingga kegiatan
pemantauan tidak dapat dilakukan secara maksimal
B. Money
a. Kelebihan
Tersedia dana dari pemerintah untuk TB mulai dari penemuan kasus,
pemeriksaan sampai pengobatan.
b. Kekurangan
Tidak adanya dana khusus (reward) untuk petugas yang terlibat
langsung dengan program pemberantasan TB, misalnya dana untuk
petugas tiap kali melakuakan pemeriksaan dahak, dana bagi petugas
yang mengirim sampel dahak bila hasil pemeriksaan BTA (+) serta dana
bagi petugas jika seorang pasien TB sembuh.
C. Material
a. Kelebihan
o Terdapat Puskesmas, Pustu (Puskesmas Pembantu), Posyandu, dan
Polindes sebagai pusat kesehatan masyarakat.
o Puskesmas Pekuncen memiliki ambulans sebagai alat transportasi ke
masyarakat, sehingga memudahkan petugas untuk mengadakan
kunjungan rumah penderita TB paru.
b. Kekurangan
o Masih minimnya media promosi yang ada (misalnya poster).
o Belum semua orang dengan kriteria tersangka TB yang terjaring di
Poli terutama Pustu, dapat diperiksa dahaknya (dahak tidak
keluar/tersangka TB tidak mengirimkan dahaknya).
o Belum tersedianya laboratorium sebagai sarana untuk pemeriksaan
dahak suspek TB.
D. Metode
a. Kelebihan
o Terdapat SOP untuk melaksanakan upaya pemeriksaan suspek TB
paru di puskesmas. Dahulu digunakan metode “active promotive
case finding” sehinggga penemuan kasus baru bisa lebih
signifikan.
o Pemeriksaan dahak dengan menggunakan metode yang sudah
terstandarisasi (metode Ziehl Nielson)
b. Kekurangan
o Metode yang digunakan adalah passive promotive case finding.
o Penyuluhan dilakukan jika ditemukan suspek penderita TB dan hanya
dilakukan kepada keluarga suspek penderita TB.
E. Minute
a. Kelebihan
o Terdapat petugas yang khusus menangani P2M tuberkulosis paru,
sehingga pelaksanaan program bisa lebih intensif
o Terdapat jadwal yang sudah berjalan
b. Kekurangan
o Cakupan penemuan baru kasus TB dan penyuluhan relatif sedikit
karena waktu yang dimiliki tidak efektif.
o Belum terbentuk kordinasi yang baik antara petugas promosi
kesehatan dengan kader TB yang ada.
F. Market
Sasaran masyarakat pada program Pemberantasan Penyakit
Menular khususnya dalam hal deteksi kasus TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Pekuncen.
1. Proses
a. Perencanaan
Arah : Terwujudnya KECAMATAN PEKUNCEN SEHAT 2015
b. Pengorganisasian
1. Penggalangan kerjasama dalam Tim Pemberantasan
Penyakit Menular.
2. Penggalangan kerjasama lintas sektoral
3. Penggalangan kerjasama antar tim medis dan nonmedis
di Kecamatan Pekuncen.
4. Penggalangan Desa Siaga
5. Mempertimbangkan jumlah tenaga, beban kerja dan
sarana
c. Penggerakan dan pelaksanaan program
Tim Puskesmas Pekuncen khususnya bagian P2M serta
kader bekerjasama dengan masyarakat guna meningkatkan
peran serta masyarakat dalam deteksi kasus TB paru.
d. Pengawasan dan pengendalian untuk kelancaran kegiatan
1. Dinas Kesehatan wilayah Bayumas
2. Puskesmas Pekuncen khususnya bagian program
Pemberantasan Penyakit Menular.
3. Kader atau perangkat desa setempat.
4. PWS (Pemantauan Wilayah Setempat)
2. Output
Jumlah kelompok masyarakat yang sudah diberikan pengetahuan
mengenai gejala dan tanda penyakit TB paru masih enggan untuk
memeriksakan diri apabila menemukan gejala dan tanda penyakit TB
paru. Sementara, pihak puskesmas khususnya bagian program
Pemberantasan Penyakit Menular sudah cukup dalam mempublikasikan
kegiatan seperti penyuluhan di wilayah kerja Puskesmas Pekuncen. Hal
inilah yang menyebabkan masih banyak kasus TB paru yang belum
terdeteksi.
3. Effect
Dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam mendeteksi
kasus TB paru yang belum terpantau oleh puskesmas agar selanjutnya
dapat ditangani oleh tenaga kesehatan yang berkompeten.
4. Outcome
Dampak program yang diharapakan adalah dapat meningkatkan
Case Detection Rate TB paru di Kecamatan Pekuncen sehingga dapat
memenuhi CDR nasional TB paru (>70%).
- Identifikasi Isu Strategis (Analisis SWOT)
A. Strength
a. Sumber daya P2M
Untuk program P2M Puskesmas Pekuncen hanya memiliki
seorang tenaga kesehatan yang mengurusi masalah pemberantasan
penyakit menular.
b. Sarana dan prasarana
1 unit mobil ambulans, 1 kulkas tempat menyimpan vaksin,
dan termos.
B. Weakness
1. Terbatasnya tenaga kesehatan di bidang P2M khususnya yang
menangani masalah TB yaitu hanya satu orang sehingga kurang
optimal dalam penemuan penderita TB.
2. Belum semua petugas puskesmas terutama paramedis (perawat, bidan
desa) mengetahui secara tepat cara menjaring tersangka TB
3. Sistem deteksi penyakit TB masih dilakukan secara pasif, yaitu hanya
mengandalkan pasien yang datang ke puskesmas dan memiliki tanda
dan gejala TB. Deteksi penderita secara aktif, penyuluhan kesehatan
ke desa-desa dan pembentukan kader kesehatan dalam penananganan
TB belum berjalan.
4. Pengetahuan penderita yang kurang mengenai penyakit TB paru, cara
pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat.
5. Tidak adanya kader TB di tiap desa.
C. Opportunity
Dinas Kesehatan turut aktif dalam pemberantasan penyakit
menular.
D. Threat
1. Banyak warga Kecamatan Pekuncen yang sama sekali tidak
mengetahui tentang penyakit TB, baik faktor risiko, cara penularan,
maupun tanda dan gejala.
2. Sarana dan prasarana yang belum memadai.
Dari hasil analisis SWOT, dapat disimpulkan permasalahan yang terjadi
seputar P2M TB, baik dari dalam maupun dari luar Puskesmas. Sebenarnya
Puskesmas Pekuncen memiliki kekuatan dalam upaya melaksanakan program
P2M TB, yaitu etak puskesmas yang berada di pusat kecamatan sehingga
masyarakat Kecamatan Pekuncen mudah menjangkaunya. Selain itu adanya
fasilitas berupa mobil puskesmas yang memudahkan petugas P2M TB dalam
melaksanakan tugasnya. Akan tetapi kondisi ini kurang mendukung karena
tenaga kesehatan di bidang P2M sangat terbatas yaitu hanya satu orang
sedangkan wilayah kerja Puskesmas Pekuncen cukup luas. Kondisi ini jelas
mempersulit cakupan P2M TB secara aktif dengan terjun langsung ke
masyarakat. Penjaringan penderita TB maupun suspek TB juga melibatkan
tenaga analis laboratorium puskesmas, namun tenaga analis laboratorium ini
juga terbatas dan belum dilengkapi dengan alat perlindungan diri yang
memadai.
Sementara itu, jika kita melihat ke masyarakat Kecamatan Pekuncen,
sebenarnya lebih banyak kekuatan yang dapat dioptimalkan. Kondisi ini
terlihat dari antusiasme warga yang sangat tinggi terhadap masalah kesehatan.
Dari mereka juga banyak yang menjadi kader kesehatan di desa masing-
masing. Sementara, hambatan yang terjadi yaitu masalah pengetahuan
kesehatan yang rendah.
Jika dilihat kekuatan dan kelemahan yang telah dianalisis, baik dari
dalam dan luar Puskesmas, mengajak peran serta masyarakat dalam
penanggulangan TB adalah solusi yang cukup tepat, dibanding hanya
mengandalkaan peran petugas kesehatan saja yang jumlahnya terbatas untuk
turun langsung ke masyarakat. Hal ini mengingat mereka, masyarakat
Kecamatan Pekuncen memiliki tingkat partisipatif yang cukup baik di bidang
kesehatan dan dapat diajak kerjasama.
BAB III
PEMBAHASAN ISU STRATEGIS DAN ALTERNATIF PEMECAHAN
MASALAH
A. Pembahasan Isu Strategis
Melihat hasil analisis SWOT pada BAB II, didapatkan isu strategis yang
dapat dilakukan untuk mengatasi masalah TB di Kecamatan Pekuncen. Isu
startegis tersebut lebih mengarah ke peran serta masyarakat dalam deteksi pasien
TB secara aktif. Startegi ini berdasarkan analisis SWOT dianggap paling realistis,
mengingat jika orientasi pemecahan masalah ini lebih ke arah interna Puskesmas,
maka lebih banyak kesulitan, terutama masalah terbatasnya tenaga kesehatan di
bidang P2M dan luasnya wilayah kerja kecamatan Pekuncen yang membawahi 16
desa. Padahal di kecamatan lain di Kabupaten Banyumas, satu kecamatan
biasanya mempunyai dua Puskesmas.
Dalam deteksi kasus TB secara aktif yang dalam hal ini lebih berorientasi
pada peran serta masyarakat, maka diperlukan strategi utama dan strategi
alternatif unntuk mengatasi masalah ini. Strategi utama yang sangat tepat
dilakukan adalah Pembentukan Pengawas Minum Obat di tiap-tiap desa di semua
wilayah Kecamatan Pekuncen dan strategi alternatif yang dapat dilakukan adalah
melakukan penyuluhan secara intensif dan berkesinambungan dengan mengajak
peran serta masyarakat.
Pengawas minum obat merupakan salah satu bagian dari strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short-Course) dalam upaya pembrantasan penyakit
TB yang sifatnya menular. Strategi DOTS sangaat penting karena saat ini TB
masih menjadi masalah kesehatan utaama di Indonesia. Mycobacterium
tuberculosis yang menjadi bakteri penyebab penyakit tuberkulosis atau TB telah
menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Tahun 1993, WHO mencanangkan
kedaruratan global penyakit TB karena pada sebagian besar negara di dunia,
penyakit TB ini tidak terkendali. Diperkirakan pada tahun 1995 ada 9 juta pasien
TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Kira-kira 95% dari kasus
TB dan 98% kematian akibat TB di seluruh dunia terjadi pada negara-negara
berkembang termasuk Indonesia.(4)
Kematian TB ini merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya
dapat dicegah. Demikian juga dengan jumlah kematian wanita akibat TB lebih
banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.(2) Syafrizal et
al. (2007) yang meneliti tentang Pengelolaan Penanganan Pengobatan
Tuberkulosis di RS. Dr. M. Djamil Padang, menemukan sebanyak 92% pasien TB
yang dirawat di rumah sakit adalah penderita baru.(4)
TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia.
Data WHO tahun 2006 menyatakan bahwa Indonesia sebagai penyumbang TB
terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar
539.000 kasus dan jumlah kematian sekitar 101.000 orang pertahun. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga atau SKRT tahun 2004 memperlihatkan bahwa insiden
penyakit TB secara nasional telah turun dari 130/100.000 penduduk menjadi
110/100.000 penduduk.(5)
Meningkatnya jumlah kasus TB dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama pada negara-negara berkembang yang memiliki masalah
TB yang besar termasuk Indonesia, maka pada tahun 1995 WHO
merekomendasikan penggunaan program nasional penanggulangan TB melalui
strategi DOTS atau Directly Observed Treatment Shortcourse di Indonesia.
Dalam bahasa Indonesia, strategi DOTS berarti pengobatan TB jangka pendek
dengan pengawasan secara langsung.(5)
Strategi ini sangat bermanfaat untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian, mencegah terjadinya resistensi obat, memberikan angka kesembuhan
yang tinggi dan Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi
kesehatan yang paling cost effective. Dengan strategi DOTS, manajemen
penanggulangan TB di Indonesia di tekankan pada tingkat kabupaten/kota.
Penelitian Vasantha et al. (2008) mendapatkan bahwa probabilitas kelangsungan
hidup diketahui sama pada semua pasien tuberkulosis tanpa memperhatikan jenis
OAT yang dipakai (kategorisasi). Usia, berat badan awal, riwayat pengobatan
sebelumnya dan alkoholisme adalah faktor resiko untuk angka kematian yang
tinggi.
Indikator nasional yang dipakai untuk menentukan keberhasilan
pencapaian program TB adalah angka penemuan penderita (Case Detection Rate)
minimal 70%, angka kesembuhan (Cure Rate) minimal 85%, angka konversi
(Conversion Rate) minimal 80% dan angka kesalahan laboratorium (Error Rate)
maksimal 5% .(5)
Dalam pembrantasan penyakit TB, PMO memiliki peranan yang cukup
besardalam pemberantasan TB. PMO memiliki persyaaratan, tugas, dan
pengetahuan yang cukup baik tentang TB.(5)
a. Persyaratan PMO
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien.
b. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,
Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada
petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader
kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.
c. Tugas seorang PMO
Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil
obat dari unit pelayanan kesehatan.
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien
dan keluarganya:
TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK.
Mengingat pentingnya PMO dalam upaya pemberantasan TB di
Kecamatan Kebasen, maka sangat diperlukaan pembentukan PMO di wilayah
kerja Puskesmas Kebasen. Pembentukan PMO ini memiliki arti penting karena
PMO biasanya berasal dari kader kesehatan ataupun tokoh masyarakat yang
dihormati, sehingga ketaatan dan kepatuhan pasien TB dalam minum obat
semakin membaik. Hal lain yang penting adalah dengan dibentuknya PMO, maka
deteksi kasus dapat ditemukan secara aktif dengan cost efective yang tinggi,
mengingat petugas kesehatan tidak harus turun langsung ke lapangan untuk
mencari kasus (Anthony, dkk. 2009).
Adanya PMO memudahkan deteksi kasus baru, gagal, atau kambuh secara
aktif. Hal ini karena tugas PMO juga memberikan penyuluhan pada anggota
keluarga atau tetangga terdekat pasien yang memiliki tanda dan gejala TB, untuk
kemudian memeriksakan diri ke Puskesmas terdekat. Selain membentuk kader
PMO, alternatif lain yang dapat dilakukan adalah memberikan penyuluhan tentang
TB ke masyarakat melalui petugas kesehatan, warga masyarakat yang memiliki
pengaruh cukup besar, terutama Kepala desa, RT, RW, kader PKK, Guru, Kaum
Ulama.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sukana, dkk
(2003), faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan penyuluhan TB adalah
penyuluhan yang intensif dan berkesinambungan dengan melibatkaan peran serta
masyarakat, terutama tokoh masyarakat.(6) Selain itu, penyuluhan juga sebaiknya
jangan hanya menekankan tanda dan gejala TB saja, tapi juga membahas tentang
faktor risiko, cara penularan, dan ketaatan dalam minum obat yang memang
sangat lama.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Penemuan kasus TB di Kecamatan Kebasen masih bersifat pasif, dimana
penemuan kasus dilakukan pada pasien yang berobat ke BP dan memiliki
tanda dan gejala TB
2. Petugas kesehatan yang terbatas menyebabkan penyuluhan langsung ke
desa-desa sangat sulit.
3. Kekuatan yang dimiliki Puskesmas adalah memiliki laboratorium yang
sudah dapat untuk pemeriksaan BTA dan tenaga kesehatan yang loyal.
Kelemahan yang dimiliki Puskesmas adalah terbatasnya tenaga kesehatan
di bidang P2M dan Wilayah kerja yang sangat luas.
4. Kekuatan yang berasal dari masyarakat adalah mereka mudah diajak
kerjasama di bidang kesehatan dan memiliki antusiasme yang tinggi untuk
dijadikan kader kesehatan. Kelemahan yang berasal dari masyarakat hádala
banyak yang terkendala wilayah yang terpencil.
5. Melihat kekuatan dan kelemahan yang ada, maka deteksi TB secara aktif
dengan melibatkan peran serta masyarakat diperlukan , mengingat jumlah
tenaga kesehatan yang terbatas.
6. Cara yang dapat dilakukan adalah membentuk kader PMO dan mengadakan
penyuluhan dengan melibatkan peran serta masyarakat, terutama tokoh
masyarakat.
B. Saran
1. Penemuan kasus TB secara aktif dengan melibatkan peran serta
masyarakat perlu dikembangkan guna percepatan pemberantasan TB di
Kecamatan Kebasen.
2. Diperlukan penyuluhan yang lebih intensif pada kader PMO dan tokoh
masyarakat, agar mereka lebih mengetahui tentang faktor risiko, penyebab,
cara penularan, dan ketaatan pengobatan penderita TB.
DAFTAR PUSTAKA
Notoatmodjo Soekidjo, Prof. Dr. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-
Prinsip Dasar. PT Rineka Cipta; Jakarta.
Azwar Azrul, M.P.H, DR. Dr. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan.
Binarupaaksara; FK UI, Jakarta.
Depertemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006. p.1-,
131.
Widodo. Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat dan Tenaga Kesehatan
dalam Pemberantasan Tuberkulosis. Makalah Pribadi Pengantar Falsafah
Sains Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2004.
p.1-16.
PROFIL PUSKESMAS PEKUNCEN. 2010-2011.
Antoni, Syahrizal, Luthfan Lazuardi, dan Andjani Woerdjandari. 2009.
Implementasi Penemuan Suspek Tuberculosis di Puskesmas Kabupaten
Pesisir Selatan. Jurnal KMPK UGM. Vol 14.
Depertemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis edisi ke-2. Depkes RI : Jakarta
Sukana, Bambang, Heryanto, dan Supraptini. 2003. Pengaruh Penyuluhan
Terhadap Pengetahuan Penderita TB Paru di Tangerang. Jurnal Ekologi
Kesehatan. Vol 2 (3) : 282-9.