isi referat.docx
DESCRIPTION
ototoksikTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Otoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran,
dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten maka daftar obat-obatan
ototoksik makin bertambah.1 Obat-obatan dan zat kimia dapat mempengaruhi telinga
dalam dan mekanisme pendengaran. Umumnya efek yang muncul adalah gangguan
vestibular dan pendengaran. Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau
ireversibel.2
Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat yang telah
diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran adalah golongan
aminoglikosida, diuretik, Nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID), agen-agen
kemoterapi, dan obat tetes telinga golongan aminoglikosida.1 Antibiotik
aminoglikosid dan agen kemoterapi platinum merupakan dua kelompok obat utama
yang saat ini sering digunakan secara klinis yang dapat menyebabkan gangguan
pendengaran permanen. Seperti yang telah diketahui bahwa aminoglikosid memiliki
peran penting dalam pengobatan infeksi jangka panjang dan platinum sebagai agen
kemoterapi yang sangat efektif dalam pengobatan kanker. Kedua obat tersebut
menyebabkan kerusakan sel rambut pada telinga dalam sehingga menyebabkan defisit
fungsional. Mekanisme yang mendasari hal tersebut diduga melibatkan produksi
reaktif oksigen spesies pada koklea yang memicu kematian sel.3
Telah diketahui bahwa gangguan pendengaran atau ketulian mempunyai
dampak yang merugikan bagi penderita, keluarga, masyarakat maupun negara.
Gangguan pendengaran menyebabkan seseorang kesulitan dalam berkomunikasi
dengan lingkungannya dan terisolasi, kehilangan kesempatan dalam aktualisasi diri,
mengikuti pendidikan formal di sekolah umum, kehilangan kesempatan memperoleh
pekerjaan yang pada akhirnya berakibat pada rendahnya kualitas hidup yang
bersangkutan. Kesulitan-kesulitan tersebut diatas akan bertambah besar di negara
1
berkembang mengingat masih terbatasnya infrastruktur kesehatan telinga dan
pendengaran dalam melakukan pencegahan, deteksi dini, penatalaksanaan dan
habilitasi / rehabilitasi.
Dari hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4
negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3
negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%).
Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% adalah angka cukup tinggi,
yang dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil Survei
Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksanakan
di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan pendengaran akibat
obat ototoksik sebesar 0,3%.4
Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas kini sangat
sering ditemukan oleh karena penggunaan obat-obatan ototoksis yang semakin sering.
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan
menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obatan ototoksik.1 Dengan mengetahui jenis
obat dan mekanisme ototoksiknya, diharapkan menjadi salah satu cara untuk
mengurangi prevalensi ototoksisitas di Indonesia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.1
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala
vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus
koklearis).1
Gambar.1 Anatomi Telinga Dalam.5
3
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media
berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan
endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s
membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini
terletak organ Corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang
disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ
Corti.1
2.2. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong.1
Gambar.2 Proses Pendengaran.5
4
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibula bergerak.
Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus
auditorius.1 Serabut-serabut saraf ini berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan
ventralis dan menuju kolikulus inferior kotralateral,tetapi sebagian serabut tetap
berjalan ipsilateral. Penyilanga berikutnya terjadi pada lemnikus lateralis dan
kolikulus inferior yang selanjutnya berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian
menuju ke korteks pedengaran di lobus temporalis.5
2.3 Ototoksisitas
2.3.1 Definisi
Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak
struktur dan/atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur
auditori dan/atau vestibular telinga dalam.2 Obat-obat ototoksik seringkali
menimbulkan reaksi toksik yang menyebabkan gangguan pendengaran pada individu
yang mengkonsumsinya. Gangguan pendengaran dapat bermanifestasi pada satu atau
kedua telinga, dengan derajat kerusakan dari yang ringan hingga berat, dan efeknya
ada yang bersifat sementara hingga menetap. 6
Berdasarkan American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) dan
the National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse Event
(CTCAE), ototoksisitas didefinisikan sebagai berikut :7
5
Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometric nada murni pada satu
frekuensi
Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada dua frekuensi yang berdekatan
Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali
pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.
Adapun derajat ototoksisitas didefinisikan oleh CTCAE dan Brock sebagai
berikut :7
CTAE :
Derajat 1 : ambang dengar turun 15-25 dB dari pemeriksaan sebelumnya (1
tahun), dirata-rata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan.
Derajat 2 : ambang dengar turun 25-90 dB dari pemeriksaan sebelumnya (1
tahun), dirata-rata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan.
Derajat 3 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu
dengar (> 20dB bilateral pada frekuensi percakapan, > 30dB unilateral pada
frekuensi percakapan).
Derajat 4 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu
dengar dan implan koklea.
Brock :
Derajat 0 : ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi
Derajat 1: ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz
Derajat 2 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz
Derajat 3 : ambang dengar > 40 dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz
Derajat 4 : ambang dengar > 40 dB pada frekuensi 1.000-8.000Hz
2.3.2 Mekanisme Ototoksik
Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan
terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang disebabkan telah terjadi
6
perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan yang ditimbulkan
oleh preparat ototoksik tersebut antara lain :1
a. Degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini dapat terjadi pada
penggunaan semua jenis obat ototoksik.
b. Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini dapat terjadi pada organ
corti dan labirin vestibuler, akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel
rambut luar lebih terpengaruh daripada sel rambut dalam, dan perubahan
degenerative ini terjadi dimulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga
akhirnya sampai ke bagian apeks.
c. Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya
degenerasi dari sel epitel sendiri.
Adapun berikut ini diuraikan beberapa preparat ototoksik dan mekanismenya.
2.3.2.1 Aminoglikosid
Obat-obat yang termasuk golongan aminoglikosida adalah: Streptomisin,
Neomisin, kanamisin, Gentamisin, Tobramisin, Amikasin dan yang baru adalah
Netilmisin dan Sisomisin. Netilmisin mempunyai efek seperti gentamisin tetapi sifat
ototoksisitasnya jauh lebih kecil. Sisomisin juga mempunyai efek ototoksisitas yang
jauh lebih kecil dibandingkan dengan aminoglikosida-aminglikosida lain.1
Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas
terhadap koklea dan vestibula. Penelitian terhadap hewan dan manusia mencatat
terjadinya akumulasi obat-obat ini secara progresif dalam perilimfe dan endolimfe
telinga dalam. Akumulasi terjadi bila konsentrasi obat dalam plasma tinggi. Waktu
paruh amioglikosida 5-6 kali lebih lama di dalam cairan otik daripada di dalam
plasma. Sebagian besar ototoksisitas bersifat ireversibel dan terjadi akibat destruksi
progresif sel-sel epitel sensorik.8 Aminoglikosida dilaporkan menimbulkan
kehilangan pendengaran pada 33% individu yang diterapi dengan obat ini.9
7
Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti melalui
mekanisme mechano-electrical transducer channels, akan terbentuk kompleks
aminoglikosida dengan logam (Fe). Terbentuknya kompleks aminoglikosida-Fe
mengaktifkan substansi Reactive Oxygen Species (ROS), yaitu superoxide anion
radical, hydrogen peroxide, hydroxyl radical,peroxynitrite anion. Substansi-substansi
tersebut mengaktifkan JNK (c-Jun- N-terminal kinase) yang akan membuat
mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c menginisiasi
apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan hilangnya sel-sel rambut pada organ
korti.9
Dengan dosis yang meningkat serta pemajanan yang diperlama, kerusakan
berkembang dari dasar koklea, tempat suara berfrekuensi tinggi di proses, ke apeks,
tempat suara berfrekuensi rendah di proses. Aminoglikosida diduga juga mengganggu
sistem transpor aktif yang penting untuk mempertahankan kesetimbangan ion pada
endolimfe. Jika sel sensorik hilang, regenerasi tidak akan terjadi. Hal ini akan diikuti
dengan degenerasi saraf pendengaran yang memburuk, sehingga menyebabkan
hilangnya pendengaran secara ireversibel.8
Gambar.3 Mekanisme Ototoksisitas Aminoglikosida (AG) pada Sel Rambut.9
8
Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari organ korti dan sel
rambut vestibular tipe 1. Sel penunjang dan sel rambut dalam pada organ korti tidak
terpengaruhi. Salah satu penyebab yang mungkin dari pernyataan sebelumnya
adalah kandungan antioksidan. Kadar glutathione, suatu antioksidan endogen
intraselular, pada sel rambut luar lebih rendah dibandingkan sel lainnya. Selain itu
terdapat gradien level glutathione dari basis ke apeks koklea. Sel rambut luar pada
apeks koklea memiliki kadar glutathione yang lebih tinggi dari sel rambut luar di
basis koklea.10
Gambar 4. Scanning dengan mikrograph elektron pada organ korti guinea pig , memperlihatkan kehilangan sel rambut setelah terapi aminoglikosida
Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan jumlah sel-sel
rambut sensorik yang rusak dan berkaitan pula dengan lama pajanan obat.
Penggunaan aminoglikosida secara berulang, yang dalam setiap pemakaiannya
menyebabkan hilangnya sel lebih banyak lagi, dapat menyebabkan ketulian. Oleh
karena jumlah sel menurun seiring bertambahnya usia, pasien lanjut usia mungkin
lebih rentan terhadap ototoksisitas. Obat seperti asam etakrinat dan furosemid
meningkatkan efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba. Walaupun semua
9
aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea maupun vestibula, beberapa
toksisitas khusus dapat terjadi. Streptomisin dan gentamisin terutama menimbulkan
efek pada vestibula, sementara amikasin, kanamisin, dan neomisin terutama
mempengaruhi fungsi pendengaran. Tobramisin memberikan pengaruh yang sama
pada keduanya. Selain itu, 75% pasien yang menerima 2 gram streptomisin selama
lebih dari 60 hari menunjukkan gejala nistagmus atau ketidakseimbangan postural.
Pasien yang menerima dosis tinggi dan/atau pemakaian amioglikosida jangka panjang
sebaiknya dipantau.8
Tuli yang diakibatkannya bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan
kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral
dan dapat disertai gangguan vestibuler.1Gejala pertama dari toksisitas adalah
timbulnya tinitus nada tinggi. Jika pemakaian obat tidak dihentikan, gangguan
pendengaran dapat terjadi setelah beberapa hari. Suara mendenging ini dapat bertahan
selama beberapa hari hingga 2 minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena persepsi
suara dalam rentang frekuensi tinggi (di luar rentang pembicaraan normal)
merupakan yang pertama hilang, maka individu yang terganggu ini terkadang tidak
sadar akan kesulitan ini, dan tidak akan dapat terdeteksi kecuali dilakukan
pemeriksaan audiometri.8
Pasien kebanyakan tidak akan memiliki keluhan gangguan pendengaran
hingga pada suatu saat mereka telah kehilangan 30 dB pada frekuensi 3000 Hz-4000
Hz. Monitoring fungsi pendengaran penting pada pasien yang mengalami insufisiensi
ginjal atau pada pasien yang mendapatkan dosis terapi obat yang lebih tinggi dari
dosis normal.2
2.3.2.2 Eritromisin
Merupakan antibiotik golongan makrolida. Eritromisin biasanya bersifat
bakteriostatik, tetapi dapat bakterisida dalam konsentrasi yang tinggi terhadap
10
mikroorganisme yang sangat rentan. Laporan ototoksisitas eritromisin pertama kali
dilaporka pada tahun 1972. Gangguan pendengaran sementara merupakan komplikasi
yang mungkin timbul dalam pengobatan menggunakan eritromisin. Hal ini teramati
setelah pemberian intravena eritromisin gluseptat atau laktobionat dosis tinggi ( 4
gr/hari) atau konsumsi oral eritromisin estolat dosis tinggi.7
Mekanisme dari ototoksisitas eritromisin belum sepenuhnya dimengerti dan
lokasi kerusakan masih belum jelas diketahui. Beberapa peneliti menyatakan
kerusakan terjadi pada striae vaskularis, yang pada akhirnya mengganggu potesial
ionik. Peneliti lain menyatakan obat ini mempengaruhi jaras pendengaran sentral.
Faktor resiko untuk terjadinya ototoksisitas eritromisin adalah pasien dengan
gangguan renal, hepar, dan lanjut usia.7
Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah kurang
pendengaran, tinitus subjektif, dan terkadang vertigo. Pernah dilaporkan bahwa
terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah pemberian IV dosis
tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah pengobatan
dihentikan. Antibiotika lain seperti Vankomisin, Viomisin, Minoksiklin dapat
mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu fungsi
ginjalnya.1,2
2.3.2.3 Loop Diuretics
Ethycrynic acid, furosemid,dan bumetanid adalah diuretik kuat yang memblok
pompa Na+-K+-2Cl—di bagian asenden tebal ansa Henle, sehingga diuretik ini
disebut juga sebagai diuretik loop.8 Ketiga obat yang tersebut di atas adalah obat yang
paling ototoksik dari golongan diuretik loop. Diuretik digunakan untuk memodifikasi
komposisi dan/atau volume dari cairan tubuh untuk menangani kondisi seperti
hipertensi, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis dan sindrom nefrotik.
Diuretik loop bekerja pada bagian asending loop of Henle ginjal. Target kerja dari
11
obat ini adalah protein soldium-potassium-2 chloride (Na+-K+-2 Cl-) cotransporters.
Protein ini ternyata banyak ditemukan pada sel epitelial dan non-epitelial dan juga
terlokalisasi pada stria vaskularis koklea. Inhibisi dari kerja protein ko-transporter
tersebut menyebabkan eksresi Na+ dari sel marginal ke ruang intrastrial sehingga
menimbulkan edema pada ruang intrastrial dan juga pada sel penyusun stria
vaskularis. Akan terjadi penurunan potensial positif endolimfe. Kondisi ini akan
mempengaruhi potensial endokoklea, yang penting untuk mempertahankan potensial
sel rambut dalam batasan yang normal.10 Furosemid dilaporkan memiliki efek
langsung pada motilitas sel rambut luar ( outer hair cell) yang akan menimbulkan
disfungsi sensori.10
Diuretik loop dapat menyebabkan munculnya gejala tinitus, gangguan
pendengaran, ketulian, vertigo, dan rasa “penuh” pada telinga Biasanya gangguan
pendengaran yang terjadi ringan atau reversible, tetapi pada kasus-kasus tertentu
dapat menyebabkan tuli permanen. Ototoksisitas paling sering terjadi pada pemberian
intravena secara cepat dan sangat jarang terjadi pada penggunaan oral, terlebih lagi
bila diberikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Faktor resiko lainnya adalah
pemberian IV secara cepat (≥ 25 mg/menit). Asam etakrinat menginduksi
ototoksisitas lebih sering dibandingkan diuretik lainnya. Bila bersamaan digunakan
bersama aminoglikosida, dapat memperberat ototoksisitas yang muncul.1,8,10
Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92 menit pada orang sehat. Pada
pasien dengan gagal ginjal, waktu paruh obat ini memanjang menjadi 3 jam. Kadar
plasma > 50 mg/L berkaitan dengan munculnya gangguan pendengaran.2
2.3.2.3 Obat antiinflamasi
Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas adalah obat-obat
anti inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-antipiretik, anti-
inflamasi, dan pencegah trombosis serebral. NSAID diketahui menghambat
12
metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin. Namun, ternyata NSAID juga
menghambat derivat non-prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion lipofilik,
dan bila pH semakin rendah (daerah inflamasi biasanya pH asam) maka semakin
besar kelarutannya. Asam asetilsalisilat (Aspirin) secara umum menghambat
translokasi anion melewati membran sel, yang berkontribusi pada munculnya
ototoksisitas obat ini. Singkatnya, salisilat menghambat protein membran (prestin)
dari sel rambut luar koklea yang memfasilitasi elektromotilitas melalui translokasi
transmembran dari anion monovalen seperti Cl-, sehingga mempengaruhi daya
choclear amplifier. Penelitian pada tulang temporal pasien yang sebelumnya telah
diterapi dengan salisilat menunjukkan struktur koklea yang normal. Hal ini
menyatakan bahwa efek ototoksisitas obat ini adalah reversibel.7
Konsentrasi serum asam salisilat 20-50 mg/dL berhubungan dengan
kehilangan pendengaran > 30 dB. Gangguan pendengaran yang ditemukan adalah tuli
sensorineural frekuensi tinggi dan tinitus. Namun apabila pengobatan dihentikan
pendengaran akan pulih kembali dan tinitus menghilang.1,7
2.3.2.4 Obat Anti Malaria
Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.1
Pemberian klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang tinggi (> 250
mg) untuk mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat mengakibatkan
ototoksisitas.8 Ototoksisitas terjadi pula bila obat diberikan secara parenteral,
misalnya pada malaria serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran dan
tinitus. Namun bila pengobatan dihentikan maka pendengaran akan pulih kembali dan
tinitus hilang. Klorokuin dan kina dapat melalui plasenta sehingga dapat terjadi tuli
kongenital dan hipoplasia koklea karena pengobatan malaria sewaktu ibu sedang
hamil.1
Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan pendengaran bila digunakan
dalam jangka waktu yang panjang dan dengan dosis tinggi. Dosis oral kuinin yang
13
fatal untuk dewasa adalah 2-8 gram. Kerusakan N.VIII menimbulkan tinitus,
berkurangnya ketajaman pendengaran, dan vertigo.8
2.3.2.5 Obat Anti Tumor
Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan dalam terapi
tumor ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala-leher. Seperti banyak agen
neoplastik lain, cisplatin dapat menyebabkan efek-efek yang tidak diinginkan antara
lain ototoksisitas. Efek ini terjadi pada 30% pasien yang diterapi dan pada akhirnya
menimbulkan ketulian permanen/reversibel. Banyak studi penelitian menyatakan
cisplatin menyebabkan kematian sel rambut yang merupakan organ sensori penting.
Setelah diinjeksi secara sistemik, cisplatin terakumulasi di cairan telinga dalam dan
diabsorbsi oleh sel epitel telinga. Platinated DNA ditemukan pada sel rambut dan sel-
sel penunjang. Pajanan cisplatin juga meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS)
di dalam sel rambut dan menyebabkan pengeluaran sitokin-sitokin tertentu. Namun,
studi lain menyatakan target primer cisplatin masih belum jelas, sel rambut ataukah
tipe sel epitel sensori telinga lain. Penelitian sebelumnya menyebutkan terapi cisplatin
menginduksi perubahan struktural pada sel-sel penunjang koklea.11
Gambar 4. Kehilangan sel rambut setelah 24 jam terapi cisplatin pada koklea
hewan.11
14
Gambar 5. Kehilangan sel rambut ujung distal lebih sering ( daerah
frekuensi rendah) terapi cisplatin pada hewan.11
Dari hasil penelitian pada sel rambut koklea hewan, didapatkan bahwa terapi
dengan cisplatin menyebabkan kehilangan progresif stereosilia, dimulai dari
distal/basal ke proksimal/apikal (distal-to-proximal pattern).11 Pola kerusakan ini
berkaitan erat dengan dimulainya penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi
tinggi terlebih dahulu. Selain itu cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria
vaskularis.7
Sejak pertama kali dikenalkan, dosis standar cisplatin adalah 50 mg/m2 .
Peningkatan pemberian dosis menimbulkan peningkatan kejadian dan derajat
gangguan pendengaran. Gejala yang ditimbulkan CIS Platinum, sebagai ototoksisitas
adalah tuli subjektif, tinitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan
keseimbangan. Tinitus biasanya samar-samar.1 Dilaporkan bahwa pada pasien yang
mendapatkan terapi cisplatin 150-225 mg/m2 mengalami gangguan pendengaran.
Gangguan pendengaran biasanya terjadi secara bilateral dan muncul pertama kali
pada frekuensi tinggi ( 6000 Hz dan 8000 Hz) kemudian terkena ke frekuensi yang
lebih rendah ( 2000 Hz dan 4000 Hz) bila terapi dilanjutkan. Bila tuli ringan pada
penghentian pengobatan pendengaran akan pulih, tetapi bila tulinya berat biasanya
bersifat menetap. Gejala ototoksisitas dapat menjadi lebih berat setelah pemberian
15
obat melalui bolus injeksi. Efek ototoksik dapat dikurangi dengan cara pemberian
secara lambat (slow infusion) dan pembagian dosis.2
2.3.2.6 Obat Tetes Telinga
Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida
seperti Neomisin dan Polimiksin B. Terjadiya ketulian oleh karena obat tersebut
dapat menembus membran tingkap bundar (round window membrane). Walaupun
membran tersebut pada manusia lebih tebal 3 x dibandingkan pada baboon (semacam
monyet besar) (± > 65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus
obat-obatan tersebut.1
Obat tetes telinga diindikasikan untuk pasien yang menderita infeksi telinga
luar. Beberapa laporan pada literatur menguraikan gejala ototoksisitas muncul setelah
pemberian agen ototopikal pada pasien dengan perforasi membran timpani. Jalur
untuk obat ototopikal melewati telinga tengah ke telinga dalam adalah melewati
tingkap bundar dan menuju perilimfe skala timpani. Membran tingkap bundar terdiri
atas 3 lapisan yang mengandung micropinocytotic vesicles. Vesikel ini memberikan
jalan pada banyak substansi, misalnya elektrolit, peroksidase, dan albumin. Masuknya
substansi tersebut melalui 3 mekanisme yaitu difusi, transpor inter-epitelial, dan
transpor-intraepitelial. Permeabilitas membran tingkap bundar ditemukan secara
eksperimental meningkat 48jam setelah munculnya infeksi telinga tengah. Selama
infeksi kronis (OMSK), membran tingkap bundar menjadi lebih tebal akibat deposisi
dari jaringan ikat dan juga terbentuknya mucosal web. Hal ini menyebabkan
membran menjadi kurang permeabel selama inflamasi kronik berlangsung.12
Ototoksisitas dari penggunaan topikal tetes telinga menampakkan derajat yang
bervariasi dalam derajat toksisitas vestibular dan koklea. Contohnya, pada pasien
dengan kadar plasma aminoglikosida yang tinggi (dalam jangka waktu yang lama),
akan terjadi kerusakan vestibulo-koklea. Namun, pada kadar teraupetikya (kadar
16
plasma normal), pada beberapa pasien aminoglikosida dapat menimbulkan
ototoksisitas Hal ini disebabkan aminoglikosida dapat berada di telinga dalam,
terbebas dari ekresi renal atau metabolisme hepar. Preparat topikal telinga yang
memiliki efek protektif terhadap koklea dan vestibular adalah iron chelator, salisilat,
kortikosteroid, leupeptin, dan asam lipoik alfa.12
2.3.3 Gejala
Masing-masing obat ototoksik dapat menimbulkan gejala vestibuler dan
pendengaran. Umumnya efek yang ditimbulkan irreversible, kendatipun bila
dideteksi cukup dini dan pemberian obat dihentikan, sebagian ketulian dapat
dihentikan. Adapun gejala utama ototoksisitas adalah sebagai berikut :
a. Tinitus
Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan
bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz dan 6 Khz. Pada kerusakan yang
menetap tinitus lama-kelamaan tidak begitu kuat, tetapi juga tidak pernah
hilang. Tinitus ini seringkali mendahului serta lebih mengganggu daripada
gangguan pendengaran (tuli) yang dialami.1
Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa
menit setelah penyuntikan intravena. Akan tetapi, pada kasus-kasus yang tidak
begitu berat, dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan
progresif dengan hanya disertai tinitus ringan.1
b. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik bersifat tuli
sensorineural. Biasanya tuli bersifat bilateral, tetapi tidak jarang yang
unilateral. Tuli dapat terjadi berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan
atau menetap setelah selesai pengobatan. Akan tetapi, kurang pendengaran
yang reversible dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina. Selain itu,
17
tuli akut yang disebabkan oleh loop diuretics dapat pulih dengan
menghentikan pengobatan dengan segera.1
Kurang pendengaran yang disebabkan oleh pemberian antibiotika
biasanya terjadi setelah 3-4 hari, tetapi mungkin akan lebih jelas setelah dosis
pertama. Akan tetapi, tuli ringan juga pernah dilaporkan sebagai akibat
antibiotik aminoglikosida, biasanya menetap atau hanya sebagian yang pulih
kembali.1
Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri penurunan yang
tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram, sedangkan diuretik yang dapat
menimbulkan ototoksisitas biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar
atau sedikit menurun.1
Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas sangat
sering ditemukan, oleh karena pemberian gentamisin dan streptomisin.
Terjadinya secara perlahan-lahan dan beratnya sebanding dengan lama dan
jumlah obat yang diberikan serta keadaan fungsi ginjalnya.1
c. Vertigo
Ototoksisitas juga dapat menimbulkan gejala gangguan keseimbangan
badan dan sulit memfiksasikan pandangan terutama setelah perubahan posisi.
2.3.4 Pemeriksaan Audiologi
Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan
audiologi. Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE)
mendeteksi secara dini gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik
dibandingkan dengan kovensional Pure-tone threshold testing.13
1. Ultra High Frequency Audiometry (Ultra-HFA)
Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar di bagian basal
dari koklea. HFA merupakan tes hantaran udara ( air-conduction threshold testing )
18
untuk frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar di atas 16 atau 20 kHz. HFA dapat
mendeteksi gangguan pendengaran akibat aminoglikosida atau cisplatin. Oleh karena
itu HFA saat ini umum digunakan untuk memonitoring kasus-kasus ototoksisitas.7,13
Namun pemeriksaan ini belum tentu cocok diaplikasikan pada semua pasien.
Banyak pasien menderita gangguan pendengaran pada kisaran frekuensi
konvensional, yang mungkin tidak terukur dengan HFA yang sensitif terhadap
gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi.7
2. Otoacoustic emission (OAE)
Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang
dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut
saraf eferen dan mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan sel-sel rambut
akan menginduksi depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara
memasukkan probe ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat
mikrofon dan pengeras suara yang berfungsi untuk memberikan stimulus suara.
Mikrofon berfungsi untuk menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah
pemberian stimulus.1
Gambar 6. Probe OAE. 1
Otoacoustic emission dibagi mejadi 2 kelompok, yaitu :1
1. Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)
19
2. Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)
Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang timbul dengan
adanya stimulus suara. Terdapat 3 jenis, yaitu : 1). Stimulus-frequency Otoacoustic
Emission; 2). Transiently-evoked Otoacoustic Emission (TEOAE); 3). Distortion-
product Otoacoustic Emission (DPOAE).1
Gambar 7. Distortion-product Otoacoustic Emission
(DPOAE).13
20
Untuk gangguan pendengaran akibat obat ototoksik DPOAE efektif untuk
deteksi dini. DPOAE menggunakan stimulus dua nada murni (F1,F2) dengan
frekuensi tertentu.1,13
3. Pure Tone Audiometry (Audiometri nada murni )
Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya gangguan
pendengaran akibat obat ototoksik. Akan didapatkan tuli sensorineural frekuensi
tinggi pada audiogram.13
Gambar 8. Audiometri Nada Murni pada pasien dengan terapi
cisplatin.13
21
2.3.5 Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada
waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dapat
diketahui secara audiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus
segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat,
jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang menderita
insufisiensi ginjal dan sifat obat itu sendiri.1
Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain
dengan alat bantu dengar (ADB), psikoterapi, auditory training, termasuk cara
menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total
dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapata
dipertimbangkan pemasangan implant koklea (Cochlear implant).1,13
2.3.6 Pencegahan
Oleh karena tidak ada pengobatan tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan
menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,
memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala
keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinitus, kurang pendengaran, dan
vertigo.1
Dalam menangani pasien yang mendapat obat-obatan yang berpotensi
ototoksik, aturan pertama adalah pasien harus diingatkan mengenai efek samping
yang mungkin. Jika mungkin dilakukan suatu penelitian dasar yang mencakup uji
keseimbangan dan pendengaran sebelum obat diberikan. Pada tanda peringatan yang
pertama, lakukan pengujian ulangan. Pada beberapa kasus, pemantauan kadar obat
akan menunjukkan kadar toksik sebelum timbulnya efek toksik obat.14
22
2.3.8 Prognosis
Prognosis sangat bergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya
pengobatan, kerentanan pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik malah
mungkin buruk.1
23
BAB III
KESIMPULAN
Ototoksisitas merupakan efek berbahaya dari obat dan substansi kimia pada
organ pendengaran dan keseimbangan. Penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik
akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain degenerasi
stria vaskularis, degenerasi sel epitel sensori dan degenerasi sel ganglion.
Dari hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4
negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%). Hasil
Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang
dilaksankan di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan
pendengaran akibat obat ototoksik sebesar 0,3%.
Banyak obat dilaporkan memiliki efek ototoksik. Beberapa obat yang paling
sering digunakan dan bersifat ototoksik antara lain aminoglikosida, eritromisin,
diuretik loop, obat anti inflamasi, obat anti malaria, anti tumor, dan obat tetes telinga.
Masing-masing obat ini memiliki mekanisme tersendiri dalam merusak struktur
pendengaran dan keseimbangan. Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau
ireversibel.
Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan
audiologi. Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE)
mendeteksi secara dini gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik. Tuli yang
diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Apabila ketulian sudah
terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat bantu dengar,
psikoterapi, auditory training, belajar berkomunikasi total dengan belajar membaca
24
bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan
implan koklea.
25